KECAP IKAN_LORENTIA SANTOSO_12.70.0078_KLOTER A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download KECAP IKAN_LORENTIA SANTOSO_12.70.0078_KLOTER A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 16

description

Pembuatan Kecap Ikan dari produk samping pengolahan ikan secara enzimatis dengan bantuan enzim papain

Transcript of KECAP IKAN_LORENTIA SANTOSO_12.70.0078_KLOTER A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:Nama: Lorentia SantosoNIM: 12.70.0078Kelompok: A2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014Acara II10

1.

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap IkanKel.PerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)Penampakan

A1Enzim papain 0,4%++++++++++3,0++

A2Enzim papain 0,8%+++++++++++2,8++

A3Enzim papain 1,2%++++++++++3,3++

A4Enzim papain 1,6%+++++++++++3,5+++

A5Enzim papain 2%++++++++++2,8+++

A6Enzim papain 2,5%++++++++++3,3+

4

2

Keterangan:Warna: +: tidak coklat gelap++: kurang coklat gelap +++: agak coklat gelap ++++: coklat gelap +++++: sangat coklat gelap Rasa+: sangat tidak asin++: kurang asin+++: agak asin++++: asin+++++ : sangat asinAroma: +: sangat tidak tajam++: kurang tajam+++: agak tajam++++: tajam+++++: sangat tajam Penampakan :+: sangat cair++: cair+++: agak kental++++: kental+++++ : sangat kental

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa setiap kelompok menambahkan enzim papain yang memiliki konsentrasi berbeda-beda dalam pembuatan kecap ikan. Pada parameter warna semua kecap ikan yang dihasilkan memiliki warna kurang coklat gelap kecuali pada kelompok A6 yang berwarna agak coklat gelap. Pada parameter rasa kecap asin yang memiliki tingkat keasinan paling rendah adalah pada kelompok A6. Aroma yang dihasilkan untuk semua kelompok sama yaitu kecap ikan dengan aroma yang tajam. Salinitas tertinggi ada pada kelompok A4. Jika dibandingkan antara rasa (tingkat keasinan) dan salinitasnya, kelompok A2, A3, dan A6 menunjukan hasil yang tidak sebanding. Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang dihasilkan, kelompok A6 menghasilkan kecap asin yang paling cair dibandingkan kelompok yang lain. Kelompok A4 dan A5 menghasilkan kecap asin yang memiliki karakteristik yang agak kental.

2. 3. PEMBAHASANBahan utama yang digunakan dalam pembuatan kecap ikan pada kloter A adalah tulang ikan yang diperoleh dari ikan tongkol. Menurut Rahman (1992), kecap merupakan hasil fermentasi kacang kedelai hitam atau jenis kacang-kacangan lain yang akan menghasilkan cairan berwarna coklat hingga hitam. Tidak semua kecap terbuat dari bahan nabati, selain kecap yang berasal dari bahan nabati, kecap juga dapat dibuat dari bahan hewani misalnya ikan. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan adalah kecap yang dihasilkan dari fermentasi sari ikan atau hasil fermentasi produk sampingan dari sisa produk pengolahan ikan, dalam praktikum ini digunakan bahan sampingan dari pembuatan surimi yaitu tulang ikan tongkol.

Berdasarkan jurnal Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production oleh Sayed (2010), dinyatakan bahwa kecap ikan merupakan produk yang dapat dibuat dengan harga yang relatif lebih murah karena pada umumnya dpat dibuat dari bahan yang merupakan produk sampingan dari pengolahan ikan yang tidak terpakai. Kecap ikan juga digunakan sebagai bahan penyedap rasa yang berwarna coklat serta berbentuk cair yang pada umumnya sering dimanfaatkan di daerah Asia tenggara. Oleh karena itu untuk setiap negara memiliki istilah nama yang berbeda-beda untuk penyebutan kecap ikan. Jika dibandingkan dengan kecap biasa, kecap ikan memiliki kelebihan karena memiliki campuran asam amino dan merupakan hasil produk dari aktivitas degradasi protein. Selama pembuatan kecap ikan dibutuhkan adanya mikroba yang dapat menghasilkan enzim protease, enzim protease yang dihasilkan akan bermanfaat untuk mengurangi waktu produksi dan dapat memaksimalkan produktivitas bahan yang digunakan. Mikroba yang yang digunakan merupakan golongan mikroba yang tahan dalam kondisi garam tinggi (salt tolerant) sedangkan pada umumnya enzim yang memiliki aktivitas proteolitik tinggi justru tidak tahan pada kondisi garam tinggi yang berarti bahwa tidak berisfat salt tolerant. Sifat enzim yang tahan terhadap garam (salt tolerant) ini sangat penting karena garam dapat menghambat kerja enzim jika enzim itu tidak tahan terhadap kondisi garam yang tinggi. Salah satu mikroba penghasil enzim protease yang dapat tahan terhadap garam adalah Aspergillus oryzae yang sering digunakan dalam pembuatan kecap kedelai menurut Vietman & Tran (2006) dalam jurnal Characterization of Protease From Aspergillus Oryzae Surface Culture and Application In Fish Sauce Processing . Oleh karena itu selama proses pembuatan kecap ikan juga dapat digunakan bahan alami yang dihasilkan oleh mikroba penghasil protease.Arbianto (1985) menjelaskan bahwa kecap ikan merupakan larutan ekstraksi yang diperoleh dari proses fermentasi ikan, hasil ekstraksi inilah yang nantinya akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap. Selama proses fermentasi telah terjadi proses penguraian protein yang terkandung dalam ikan menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu peptida dan asam amino. Kualitas dalam pembuatan kecap ikan sangta ditentukan oleh kualitas ikan yang digunakan dan kualitas garam yang ditambahkan selama pembuatan kecap ikan. Berdasakan teori dari Prescott dan Dunns (1981), garam yang digunakan selama proses fermentasi ikan berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Sedangkan Fardiaz (1967) mengungkapkan bahwa fungsi penggunaan garam adalah sebagai penarik air dan jaringan dari ikan dan menghilangkan mikroba yang tidak bermanfaat untuk proses fermentasi sehingga hanya mikroba-mikroba yang berguna dalam fermentasi saja yang dapat hidup.Dougan dan Howard (1975) berpendapat bahwa kecap ikan memiliki aroma yang khas yang disebabkan karena adanya asam lemak berantai pendek sedangkan aroma yang hampir sama dengan ammonia dapat dikarenkan adanya senyawa amida atau amina yang dihasilkan dari asam glutamat. Sebenarnya penilaian kualitas kecap ikan yang dihasilkan berdasarkan kandungan protein yang terkandung dalam kecap ikan tersebut. Sedangkan rasa, aroma, dan warna merupakan penilaian yang didasarkan oleh selera tiap konsumen dan sangat tergantung dengan bumbu-bumbu yang ditambahkan selama proses pembuatan kecap ikan namun rasa, aroma, dan warna dari kecap ikan dapat berperan penting karena sangat mempengaruhi tingakt kesukaan atau penerimaan konsumen terhadap suatu produk kecap ikan yang ada. Selama proses fermentasi berlangsung telah terjadi reaksi-reaksi biodegradasi dari jaringan ikat yang ada sehingga terbentuk senyawa-senyawa yang memiliki berat molekul yang rendah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzimatis yang dihasilkan oleh mikroba yang ada (Leon, 1979).Dalam pembuatan kecap ikan pada praktikum ini, pertama-tama dilakukan pemisahan bagian daging ikan tongkol dengan tulang dan ekor ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap ikan. Afrianto & Liviawaty (1989) menyatakan bahwa ikan yang digunakan sebagai bahan dasar sebaiknya masih segar sehingga dapat menghasilkan kecap ikan dengan kualitas yang tinggi. Pada praktikum ini dilakukan fermentasi secara enzimatis yaitu dengan bantuan enzim papain. Karim dan Hassan (1987) menyatakan bahwa kecap ikan dapat dibuat secara tradisional yaitu melalui proses fermentasi namun cara fermentasi ini relatif membutuhkan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu sekarang telah dikembangkan pembuatan kecap ikan secara enzimatis yang membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan proses fermentasi. Untuk mendapatkan kecap ikan dengan waktu yang lebih singkat maka penting untuk ditambahkan enzim dalam proses pembuatan kecap ikan. Pada praktikum kali ini, enzim yang digunakan adalah enzim papain dalam proses pembuatan kecap ikan. Menurut Daryono dan Muhidin (1974) papain merupakan endopeptidase yang memiliki kestabilan yang lebih baik jika dibandingkan dengan enzim protease lainnya. Enzim papain relatif lebih tahan terhadap suhu tinggi, pelarut organik, dan reagen yang dapat mendenaturasi enzim. Enzim papain stabil pada pH 5 dan mulai mengalami kerusakan jika berada pada pH kurang dari 3 atau lebih dari 11.Pembuatan kecap ikan dilakukan dengan mengambil bagian tulang, kepala, dan ekor ikan kemudian dihaluskan dan diambil sebanyak 34 gram (disesuaikan dengan total berat yang ada). Menurut Lay (1994) penghalusan atau penghancuran bahan yang dilakukan bertujuan untuk mempermudah proses pencampuran dengan bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang rata atau homogen. Adonan yang sudah halus tersebut kemudian dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi berbeda-beda untuk masing-masing kelompok untuk mendapatkan perbandingan hasil (kelompok A1= 0,4% ; kelompok A2= 0,8%; kelompok A3=1,2%; kelompok A4=1,6%; kelompok A5=2% dan kelompok A6= 2,5%). Lay (1994) menyatakan bahwa enzim papain merupakan golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan peptida pada substrat dalam kondisi tertentu. Proses hidrolisis yang berlangsung akan memecah ikatan peptida yang panjang, oleh karena itu proses fermentasi kecap akan berlangsung dalam waktu yang lebih singkat. Afrianto & Liviawaty (1989) juga menambahkan selain dapat mempercepat proses pemecahan protein, enzim papain juga dapat mempertajam rasa pada kecap ikan yang dihasilkan dan dapat meningkatkan nilai protein yang terkandung dalam kecap ikan yang dihasilkan. Maka dari itu penggunaan enzim papain ini sudah sesuai karena dapat mempercepat proses fermentasi kecap dan menghasilkan kecap dengan kualitas yang baik.

Kemudian dilakukan inkubasi selama 3 hari dalam kondisi toples yang tertutup rapat, setelah diinkubasi 3 hari adonan yang berada di dalam toples ditambahkan air sebanyak 250 ml lalu diaduk dan disaring dengan menggunakan kain saring dan diambil cairannya (ekstrak). Dalam jurnal Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish Sauce oleh Tungkawachara (2001) dijelaskan bahwa selama penyimpanan, enzim yang ada akan secara perlahan-lahan menghidrolisa protein ikan. Selain itu, Moeljanto (1992) juga menambahkan, proses katabolisme yang dialami selama fermentasi kecap ikan akan menguraikan senyawa-senyawa kompleks yang terkandung pada jaringan ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana karena adanya bantuan enzim protease atau dari mikroorganisme sehingga selama 3 hari inkubasi akan terbentuk warna, aroma dan rasa yang berbeda dibandingkan sebelum proses inkubasi. Penyaringan menggunakan kain saring bertujuan untuk memisahkan cairan(filtrat/ekstrak) yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran.

Filtrat tersebut lalu dididihkan dan ditambahkan dengan bumbu (gula jawa, garam dan bawang putih yang telah dicincang halus) masing-masing sebanyak 50 gram, setelah itu dilakukan pengamatan secara sensori yang meliputi warna, aroma, rasa da penampakan serta dilakukan uji untuk mengetahui tingkat salinitas dengan menggunakan alat hand refractometer. Fachruddin (1997), bawang putih dapat memperpanjang umur simpan dari kecap ikan karena terdapat senyawa allicin yang mampu membunuh bakteri dan karena sifat antimikroba yang dimiliki oleh bawang putih. Gula jawa berfungsi untuk memberikan flavor yang spesifik pada kecap ikan dan memberikan warna coklat karamel pada kecap serta dapat meningkatkan viskositas secara umum (Kasmidjo, 1990). Sedangkan fungsi penambahan garam sendiri adalah bertujuan untuk memberikan efek preservasi atau pengawetan karena garam dapat menurunkan aw (water activity) dan menurunkan kelarutan oksigen sehingga dapat menyeleksi keberadaan mikroorganisme. Garam dapat mengganggu keseimbangan ionik sel karena terjadi peningkatan proton dalam sel. Sel dari mikroorganisme harus mengeluarkan energi yang lebih banyak untuk mengkompensasi aliran proton yang disebabkan oleh keberadaan garam sehingga pertumbuhan sel terhambat atau mati (Desrosier & Desrosier, 1977). Selain itu, garam juga akan mempengaruhi karakteristik sensori dari kecap ikan terutama rasa karena garam akan membuat kecap ikan lebih terasa asin (Astawan & Astawan, 1991). Kultsum (2009) berpendapat bahwa untuk mengukur padatan terlarut maka dapat menggunakan alat hand refractometer yang terukuran dengan satuan obrix (derajat brix). Brix sendiri memiliki pengertian zat padat yang terlarut (satuan gram) setiap 100 gram larutan. Brix pada praktikum ini digunakan untuk mengukur salinitas (kadar garam) pada kecap ikan. Pengujian dilakukan dengan cara mengencerkan 1 ml kecap ikan yang dihasilkan dengan 9 ml aquades kemudian campuran tersebut diteteskan pada hand refractometer dan diamati skala yang ada. Salinitas dari kecap ikan yang dihasilkan dinyatakan dalam persen (%) dengan perhitungan sebagai berikut :

Berdasarkan hasil praktikum, dapat dilihat bahwa tiap kelompok memberikan perlakuan berbeda pada masing-masing bahan ikan. Kelompok 1 memberi penambahan enzim papain sebesar 0,4%, kelompok 2 menambahkan enzim papain sebesar 0,8%, kelompok 3 menambahkan enzim papain sebesar 1,2%, kelompok 4 menambahkan enzim papain sebesar 1,6% dan kelompok 5 menambahkan enzim papain sebesar 2%. Dengan adanya perlakuan yang berbeda tersebut, produk kecap ikan yang dihasilkan pun memiliki perbedaan sifat dari segi sensoris maupun salinitasnya.

Dari hasil pengamatan, dapat terlihat bahwa warna yang dihasilkan pada setiap kelompok rata-rata berwarna kurang coklat gelap kecuali pada kelompok A6 yaitu berwarna agak coklat gelap. Rasa yang dihasilkan berkisar dari agak asin hingga sangat asin dan tentu saja akan mempengaruhi obrix yang dihasilkan. Pada kelompok A4 terlihat nilai obrix tertinggi dan hal tersebut terkait dengan rasa asin yang ternyata paling asin (sangat asin) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Namun pada kelompok A2, A3, dan A6 nilai salinitas yang dihasilkan tidak sebanding dengan tingkat keasinan yang ada. Seharusnya semakin tinggi nilai salinitas maka semakin asin rasa kecap ikan yang dihasilkan. Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan penilaian panelis yang sangat bersifat subjektif berkaitan dengan indera perasanya. Rasa asin yang muncul pada kecap ikan dapat berasal dari enzim papain dengan konsentrasi tinggi sehingga mengakibatkan lebih banyak protein yang teruirai menjadi peptida, pepton serta asam amino lain yang menimbulkan rasa asin pada kecap ikan. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan kelompok A6 yang menggunakan enzim papain dengan konsentrasi terbesar (2,5%) menghasilkan salinitas yang terbesar yang seharusnya menghasilkan tingkat keasinan yang paling tinggi. Rasa kecap ikan yang khas dikarenakan adanya asam glutamat yang berasal dari hidrolisa protein. Seharusnya semakin banyak enzim papain yang digunakan maka senyawa turunan protein yang dihasilkan akan semakin menimbulkan rasa dan flavor kuat (Astawan & Astawan, 1988), hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa enzim dengan konsentrasi tertinggi yang memiliki warna dan salinitas tertinggi. Tetapi untuk rasa dari kelompok A6 tidak sebanding dengan nilai salinitasnya sedangkan untuk aroma untuk keenam kelompok menghasilkan aroma yang sama (tidak ada perbedaan) sehingga dalam praktikum ini perbedaan konsentrasi enzim papain yang digunakan tidak berpengaruh pada aroma kecap asin yang dihasilkan. Perbedaan teori dengan praktikum dapat terjadi karena dapat terjadi kesalahan penimbangan saat menimbang enzim papain, perbedaan cara memasak serta penilaian panelis yang kurang akurat atau bersifat sangat subjektif.

Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang dihasilkan berkisar dari sangat cair hingga agak kental. Menurut Sayed (2010) kecap ikan pada umumnya memiliki penampakan yang encer/sangat cair. Jika dibandingkan teori dengan hasil pengamatan yang ada maka, kecap asin kelompok A6 dengan menggunakan enzim papain pada konsentrasi tertinggi merupakan kecap asin yang memiliki penampakan yang paling sesuai dengan teori. Sedangkan untuk kelompok lain yang belum sesuai dengan teori yang ada dapat dikarenakan perbedaan cara pengadukan selama pemasakan, penyaringan, dan terlalu banyak bumbu yang ditambahkan. Menurut jurnal dari Ng et al. (2011) yang berjudul Proteolytic Action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for Fish Sauce Production, perbedaan jenis ikan akan mempengaruhi sifat fisikokimiawi dari kecap ikan. Pada penelitian yang telah dilakukan, dari segi biokimia, kecap ikan yang dibuat dari jenis I. melastoma mengandung lebih banyak protein terlarut serta lebih banyak digunakan untuk memproduksi kecap ikan. Selain itu juga dapat digunakan jenis V. seheli sebagai alternatif dalam menghasilkan kecap ikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu ikan dengan jenis yang berbeda-beda akan menghasilkan kecap ikan dengan warna, rasa, dan aroma serta kandungan nutrisi berbeda-beda pula.

Pada praktikum ini, digunakan enzim protease dalam bentuk enzim papain. Menurut jurnal dari Sangjindavong (2009) yang berjudul Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste, selain papain dapat juga digunakan enzim bromelain yang terdapat dari buah nanas. Bromelain telah banyak digunakan dalam banyak industri pangan, di Jepang sudah menggunakan bromelain untuk meningkatkan rasa dan aroma tahu dibandingkan penggunaan jamur. Bromelain juga dapat digunakan untuk mempersingkat waktu fermentasi produk ikan seperti kecap ikan dan pasta ikan atau surimi. Maka dari itu dapat pula membuat kecap ikan dengan papain dari buah-buahan seperti pepaya dan juga dari buah nanas.

Dalam jurnal berjudul Chemical and sensory changes associated Yu-lu fermentation process- A traditional Chinese fish sauce oleh Jiang et al. (2007) dilakukan pembuatan Yu-lu atau kecap ikan yang merupkan produk fermentasi tradisional yang ada di China. Yu-lu diproduksi dengan melakukan inkubasi pada campuran ikan anchovy dengan 30% garam. Pada suhu 30C selama 180 hari dan suhu ditingkatkan hingga 50C selama 7 hari. Selama inkubasi diamati perubahan total nitrogen terlarut, asam trikloroasetat, komposisi asam amino, pencoklatan secara non-enzimatis, dan jumlah mikroba pada Yu-lu. Total nitrogen terlarut, formaldehid, asam trikloroasetat, dan pencoklatan non-enzimatis mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan melakukan inkubasi 180 hari akan mempercepat pembentukan flavor pada Yu-lu.

Hjalmarsson et al. (2006) dalam Seasonal effects on the pyhsicochmical characteristics of fish sauce made from capelin (Mallotus villosus) menyatakan bahwa ada perbedaan perlakuan selama pembuatan kecap ikan dari ikan capelin yang ditangkap pada musim panas dan musim dingin dalam hal pengaturan suhu. Pembuatan kecap ikan dimaksimalkan dengan mengontrol temperatur, konsentrasi garam, dan waktu reaksi. Dilakukan proses inkubasi pada suhu 50C selama 270 hari untuk ikan capelin yang ditangkap pada musim panas dan 360 hari untuk ikan capelin yang ditangkap pada musim dingin. Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kandungan air, protein, pH, dan warna yang dihasilkan. Kandungan protein diuji menggunakan metode Kjeldahl.

Gambar 1. Kandungan asam amino pada kecap ikan yang telah difermentasi (summer capelin dan winter capelin)Dari Gambar 1 di atas didapatkan bahwa kandungan protein pada ikan capelin yang ditangkap pada musim dingin lebih rendah dibandingkan yang diangkap pada musim panas. Kandungan air dan pH ikan capelin yang ditangkap pada musim panas lebih rendah.

Gambar 2. Perbedaan warna pada kecap ikan summer capelin dan winter capelin

Pembentukan warna coklat atau pencoklatan terukur lebih cepat pada kecap ikan yang terbuat dari ikan capelin yang ditangkap pada musim panas. Sedangkan pada kecap ikan yang terbuat dari winter capelin meskipun telah mengalami inkubasi yang lebih lama, warna coklat yang dihasilkan tidak segelap seperti kecap ikan yang dihasilkan dari summer capelin. Dari hasil penelitian yang ada penggunaan summer capelin lebih efektif digunakan untuk pembuatan kecap ikan jika tidak ditambahkan enzim selama pembuatannya.

4. KESIMPULAN Pembuatan kecap dapat dilakukan dengan 2 cara fermentasi yaitu fermentasi dengan menggunakan garam dan juga fermentasi dengan enzim. Kecap ikan dapat dibuat dengan bantuan enzim protease untuk mengurangi waktu produksi serta meningkatkan produktivitas bahan (fermentasi kecap ikan secara enzimatis). Kualitas kecap ikan yang dihasilkan ditentukan oleh kualitas ikan, kualitas garam, dan kualitas bumbu yang digunakan. Penghalusan bahan bertujuan untuk mempermudah proses pencampuran dengan bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang homogen. Enzim papain adalah golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan peptida pada substrat dalam kondisi tertentu serta dapat memperjatam rasa pada kecap serta meningkatkan nilai protein yang terkandung dalam kecap ikan yang dihasilkan. Selama 3 hari masa inkubasi akan terbentuk warna, aroma dan rasa yang berbeda. Penyaringan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan filtrat yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran. Gula jawa berperan dalam memberikan flavor spesifik pada kecap asin dan menyebabkan warna kecap menjadi coklat karamel serta meningkatkan viskositas. Garam dapat memberi efek pengawetan karena dapat menurunkan aw (water activity). Derajat brix yang terbaca pada hand refractometer digunakan untuk mengukur salinitas (kadar garam) pada kecap ikan. Rasa dan aroma kecap ikan yang khas berasal dari asam glutamat yang berasal dari hidrolisa protein. Semakin banyak konsentrasi enzim papain yang digunakan maka kecap asin yang dihasilkan akan semakin memiliki rasa dan aroma yang kuat. Derajat brix atau nilai salinitas berbanding lurus dengan tingkat keasinan dari kecap ikan yang dihasilkan. Selain papain, dapat juga menggunakan enzim bromelain yang terdapat dari buah nanas dalam pembuatan kecap ikan secara enzimatis. Ikan capelin (Mallotus villosus) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kecap ikan, ikan capelin yang ditangkap pada musim panas (summer capelin) lebih efektif dibandingkan winter capelin.

Semarang, 27 September 2014Asisten DosenPraktikan, -Yuni Rusiana

Lorentia Santoso(12.70.0078)5. DAFTAR PUSTAKAAfrianto, E dan Liviawaty, W. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Daryono, M dan Muhidin. 1974. Penentuan Aktivitas dan Produksi Papain Kasar Tiap Buah dari Beberapa Varietas Pepaya. Buletin Penelitian Hortikultura 2.

Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dougan, J and G. G. Howard. 1975. Some Flavoring Constituents of Fermented Fish Sauce. Journal of Food Agriculture. 26 : 887-894.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1976. Pengaruh Penggaraman Pembuatan Ikan Peda. Bulletin Teknologi Hasil Pertanian. 16 : 9.

Hjalmarsson, Gustaf Helgi; Jae W. Park and Kristberg Kristbersson. 2006. Seasonal effects on the pyhsicochmical characteristics of fish sauce made from capelin (Mallotus villosus). Elsevier Ltd. All rights reserved. Food Chemistry. 103 : 495-504.

Jiang, Jin-Jin; Qing Xiao Zeng; Zhi Wei Zhu and Li Yan Zhang. 2007. Chemical and sensory changes associated Yu-lu fermentation process- A traditional Chinese fish sauce. Food Chemistry. Elsevier Ltd. All rights reserved. 104 : 1629-1634.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kultsum, Umi. (2009). Pengaruh variasi nira tebu (Saccharum officinarum) dari beberapa varietas tebu dengan penambahan sumber nitrogen (N) dari tepung kedelai hitam (Glycine soja) sebagai substrat terhadap efisiensi fermentasi etanol. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.Leon, S. Y. 1979. Tropical food in the far east, Di dalam G. E. Tuglett dan G. Chara Lambaous. Chemistry and Nutrition. Vol 2. Academic Press, New York.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah,W.A. (2011). Proteolytic Action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for Fish Sauce Production. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-254.

Prescott dan Dunns. 1981. Industrial Microbiology. MCGraw Hill Book Company, New York.

Rahman, A. ( 1992 ). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Sangjindavong, M., Mookdasanit, J., Wilaipun, P., Chuapoehuk, P. and Akkanvanitch, C. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart Journal of Science. 43 : 791 - 795 (2009).

Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).

Tungkawachara, S. ,Park, J.W, and Choi, Y.J. (2001). Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish Sauce. Food Chemistry and Toxicology 2001 Marine Drive #253,Astoria, OR 97103.

Vietman, L. V. and Tran Thi Anh Tuyet. (2006). Characterization of Protease From Aspergillus Oryzae Surface Culture and Application In Fish Sauce Processing. Department of Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.

6. LAMPIRAN6.1. Perhitungan

Rumus :

Kelompok A1Hasil pengukuran = 30

Kelompok A2Hasil pengukuran = 28

Kelompok A3Hasil pengukuran = 33

Kelompok A4Hasil pengukuran = 35

Kelompok A5Hasil pengukuran = 28

Kelompok A6Hasil pengukuran = 33

6.2. Foto

Gambar 1. Warna kecap ikan A1-A6 (kiri-kanan)6.3. Digram Alir6.4. Laporan Sementara