Jurding Epilepsi Tabel
-
Upload
cynthia-tanuwijoyo -
Category
Documents
-
view
11 -
download
1
description
Transcript of Jurding Epilepsi Tabel
JOURNAL READING
TATALAKSANA AWAL PADA EPILEPSI
DISUSUN OLEH :
INEZ ADELITA S. (07120070001)
DOKTER PEMBIMBING :
dr. Maula, Sp. S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RS. BAYANGKARA TK I R. SAID SOEKANTO
PERIODE 12 DESEMBER 2011 – 13 JANUARI 2012
2
Tatalaksana Awal Pada Epilepsi
Seorang wanita 29 tahun datang untuk berobat. Pada malam sebelumnya, sang
suami yang berada di ruangan sebelah mendengar suara yang tidak biasa dan
mendapati istrinya terbaring di ranjang dan tampak aneh. Dia terlihat bingung
selama beberapa menit tetapi cepat kembali normal. Ketika ditanya dia ingat
bahwa sekitar 1 bulan sebelumnya dia bangun dan merasa sedikit bingung,
merasakan nyeri pada ototnya, dan lidahnya tergigit. Bagaimanakah seharusnya
kondisi seperti ini dievaluasi dan diobati?
Masalah klinis
Epilepsi adalah serangan kejang sebanyak 2 kali atau lebih yang tidak
diprovokasi oleh penyakit atau keadaan tertentu. Epilepsi menyerang sekitar 45
juta orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi epilepsi kurang lebih
sekitar 6 sampai 8 per 1000 populasi, dan insidennya sekitar 26 sampai 40 per
100.000 orang per tahun, dengan jumlah bayi dan orang yang lebih dari 60 tahun
yang mendominasi. Sekitar 70% dari orang dewasa dengan epilepsi yang baru
memiliki kejang parsial (fokal). Sebagian besar kasus (62%) penyebabnya tidak
diketahui. Sisanya disebabkan oleh stroke (9%), alkohol (6%), penyakit
neurodegeneratif (4%), ensefalopati (3,5%), tumor otak (3%), dan infeksi (2%).
Strategi dan Bukti
Diagnosis
Adanya perubahan tingkat kesadaran yang sementara, tingkah laku yang
abnormal, atau pergerakan yang diluar kontrol mengarah kepada diagnosis
epilepsi. Karena kejang epileptikus jarang disaksikan oleh dokter, diagnosis
dibuat berdasarkan dari informasi yang dilengkapi oleh tes-tes tambahan. Langkah
3
pertama adalah dengan menjawab pertanyaan apakah kejadian tersebut adalah
kejang. Yang kedua adalah menetukan apakah pasien memiliki epilepsi.
Anamnesa yang teliti merupakan hal yang paling penting dalam penegakan
diagnosis, dan yang menjadi fokus adalah detail dari episode dan riwayat dari
peristiwa sebelumnya yang mungkin mengarah pada epilepsi. Ketika pasien
memiliki keterbatasan atau tidak dapat mengingat kejadian tersebut, saksi harus
ada untuk menceritakan episode secara detail. Diagnosis banding dapat bervariasi
tergantung dari usia dan gejala pasien (Tabel 1).
Kejang sering muncul pada kelainan metabolik (contoh : uremia,
hipoglikemia, hiperglikemia, dan disfungsi hepar), toksik (contoh : overdosis atau
gejala putus obat), dan infeksi (contoh : meningitis dan ensefalitis). Kejang yang
muncul pada pasien dengan penyakit tersebut tidak menjamin diagnosis epilepsi.
Meskipun obat antiepilepsi seringkali diperlukan untuk menekan kejang pada
waktu yang singkat pada keadaan tersebut, biasanya obat-obatan tidak dilanjutkan
setelah pasien kembali sehat.
Evaluasi
Pemeriksaan neurologis biasanya normal pada pasien dengan epilepsi. Yang
ditemukan biasanya mengarah pada kondisi patologis yang mendasari pada otak
atau kelainan spesifik misalnya kelainan kulit pada sindrom neurokutaneus.
Berdasarkan rekomendasi dari American Academy of Neurology dan American
Epilepsy Society, pasien dengan serangan kejang pertama tanpa provokasi
sebaiknya menjalani pemeriksaan elektoensefalografi (EEG), CT scan atau MRI
kepala, dan pemeriksaan darah sesuai dengan keadaan klinis . Bentuk epilepsi dari
EEG seperti gelombang yang tajam dapat membantu diagnosa dan dalam
mengklasifikasikan kejang sebagai fokal atau umum. Tetapi, baik EEG yang
normal atau abnormal di antara serangan kejang tidak dapat menyingkirkan atau
menegakkan diagnosis epilepsi. EEG tampak abnormal pada 50% pasien dengan
serangan kejang pertama, dan bentuk yang epileptiform hanya tampak pada
setengah pasien tersebut. Insiden dari EEG yang abnormal meningkat ketika
4
dilakukan pemeriksaan EEG berulang atau setelah pasien mengalami kesulitan
tidur. Video untuk memonitor EEG diperlukan jika mengarah pada kejadian
nonepileptik (Tabel 1).
MRI otak lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan untuk
mengidentifikasi lesi struktural yang biasanya berhubungan dengan epilepsi.
Namun, CT scan dapat digunakan dalam keadaan darurat. Diantara pasien yang
baru didiagnosa sebagai epilepsi, CT scan kepala tidak normal pada 34 sampai
56% pasien, dan hasil CT kepala mempengaruhi tatalaksana pada 9 sampai 17%
kasus.
Tes darah rutin jarang membantu penegakkan diagnosa. Namun, tes darah
lengkap, tes fungsi hepar, dan pengukuran level elektrolit berguna sebelum
pemberian obat antiepilepsi dimulai, mengingat penyesuaian dosis diperlukan jika
fungsi hepar dan renal abnormal. Kadar albumin seharusnya diukur sebelum
memberikan obat-obatan yang mengikat protein seperti phenytoin dan valproate,
mengingat fraksi dari obat yang tidak terikat (aktif) menjadi lebih tinggi pada
pasien dengan hipoalbuminemia. Pada pasien dewasa dengan kejang umum yang
tidak dapat dijelaskan, pemeriksaan penyalahgunaan obat perlu dipertimbangkan.
Diagnosis epilepsi dapat mepengaruhi mood pasien, hubungan
interpersonal, fungsi sosial, kualitas hidup, dan kemampuan menyetir. Diskusi
mengenai hal ini diperlukan supaya pasien memahami bahwa aktivitas tertentu
yang biasa dilakukan dapat meningkatkan resiko kematian karena kejang seperti
menyetir, mengoperasikan peralatan dengan kekuatan tinggi, bekerja di
ketinggian, dan berenang atau berendam sendirian. Di sebagian besar negara,
pasien yang belum bebas dari periode kejang dilarang mengemudi, dan diperlukan
periode bebas kejang antara 3 bulan sampai 1 tahun untuk kembali melakukan
aktivitas tersebut.
Sekitar 55% pasien dengan kejang yang tidak terkontrol mengalami
depresi. Bahkan meskipun pasien dengan kejang yang terkontrol pun mempunyai
tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umumnya, dan
5
angka bunuh diri meningkat tiga kali lipat, dengan tingkat tertinggi pada bulan ke
enam setelah diagnosa. Pasien sebaiknya diobservasi apakah terdapat tanda-tanda
deperesi dan memerlukan rujukan dan terapi psikiatri.
Baru-baru ini Food and Drug Administration menemukan adanya
peningkatan resiko bunuh diri diantara pasien yang menjalani pengobatan anti
epilepsi. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien yang menjalani pengobatan
selama 2 sampai 6 bulan, didapatkan bahwa resiko absolut adalah 0,43% diantara
pasien yang menerima terapi dibandingkan dengan 0,22% pada pasien yang
menerima plasebo. Penemuan ini mendukung pentingnya penilaian mood pasien
yang memulai terapi obat antiepilepsi.
Terapi Farmakologis
Masih ada beberapa pendapat mengenai tatalaksana pasien yang hanya mengalami
1 kali kejang, mengingat hanya 25% dari pasien yang akan mengalami kejang
kembali dalam 2 tahun jika tidak terdapat faktor-faktor yang mungkin
mencetuskan kekambuhan kejang (misalnya pada pemeriksaan EEG ditemukan
adanya bentuk epileptikus atau diketahui bahwa penyebabnya adalah trauma
kepala). Meskipun terdapat 1 atau 2 faktor resiko, angka kekambuhan selama 2
tahun tidak lebih dari 40%. Terlebih lagi, walaupun studi yang dilakukan secara
acak menunjukkan bahwa pengobatan menurunkan resiko kekambuhan kejang
sekitar 30 sampai 60%, kecenderungan untuk bebas dari kejang selama 3 sampai 5
tahun setelah kejang pertama atau kedua kurang lebih sama dengan pasien yang
menerima pengobatan setelah kejang pertama atau kedua atau yang
pengobatannya ditunda sampai terjadi kekambuhan dari kejang tersebut.
Dalam 20 tahun terakhir, 9 obat antilepsi jenis baru telah dipasarkan,
sehingga pilihan obat untuk terapi awal menjadi rumit. Obat antiepilepsi
diklasifikasikan sebagai obat spektrum luas maupun sempit dengan efektivitas
yang berbeda untuk tipe kejang tertentu dan sindrom epilepsi. Obat antiepilepsi
spektrum luas berguna pada keadaan tertentu karena merupakan pilihan yang
6
cukup tepat untuk pilihan awal pada sebagian besar pasien, tanpa memperhatikan
jenis kejang atau sindrom. Obat-obatan dengan spektrum luas tersebut antara lain
valproate, lamotrigine, topiramate, dan levetiracetam (yang efektivitasnya [pada
kejang umum] berdasarkan studi terbuka dan pengalaman klinis). Namun
sebaliknya, obat spektrum sempit yang meliputi carbamazepine, phenytoin,
gabapentin, tiagabine, oxcarbazepine, dan pregabalin, harus dibatasi pada pasien
dengan epilepsi fokal dengan kejang umum sekunder dan parsial. Obat-obatan
tersebut kurang efektif dibandingkan obat-obatan berspektrum luas pada sindrom
epilepsi umum yang idiopatik (misalnya juvenile myoclonic epilepsy dan
childhood absence epilepsy), dan juga dapat memperparah beberapa tipe kejang.
Sekitar setengah pasien yang baru didiagnosa menderita epilepsi menjadi bebas
kejang ketika menerima obat antiepilepsi yang pertama kali. Kegagalan dari obat
antiepilepsi yang pertama meningkatkan kecenderungan tidak merespon terhadap
obat lain, namun sekitar 2/3 pasien menjadi bebas kejang setelah menerima obat
kedua atau ketiga.
Suatu studi terbuka menunjukkan adanya efektivitas yang hampir sama
diantara berbagai jenis obat antiepilepsi untuk mengatasi kejang parsial. Namun,
studi belakangan ini menunjukkan bahwa pasien dengan epilepsi umum
menunjukkan asam valproat lebih efektif dibandingkan lamotrigine dan
topiramate. Lamotrigine mempunyai angka kegagalan sampai dua kali lipat
karena ketidakberhasilannya dalam mengontrol kejang, sedangkan topiramate
memiliki efektivitas yang mirip dalam mengontrol kejang tetapi memiliki angka
kegagalan yang lebih tinggi yang disebabkan penghentian obat karena efek
samping yang timbul.
Pemilihan pengobatan harus disesuaikan dengan karakteristik pasien,
meliputi jenis kelamin, usia, dan kondisi yang menyertai yang mungkin
menimbulkan efek yang buruk. Tabel 2 memberikan informasi yang berguna
mengenai inisiasi obat antiepilepsi. Yang biasa dilakukan pada pasien dengan
kejang pertama yaitu pemberian phenytoin di UGD. Namun,sebuah percobaan
menunjukkan bahwa pemberian phenytoin tidak terlalu berguna pada epilepsi
7
yang baru didiagnosa. dan biasanya diberikan obat inisiasi paling tepat
disesuaikan dengan keadaan pasien. Tabel 3 menunjukkan pertimbangan-
pertimbangan yang berhubungan dalam memilih terapi awal pada pasien tertentu.
Efek samping
Tabel 2 memuat dosis, efek obat yang tidak normal, dan efek jangka panjang dari
obat antiepilepsi. Hilangnya densitas tulang dapat muncul selama terapi
phenytoin, carbamazepine, dan phenobarbital. Baik laki-laki maupun perempuan
yang menerima obat tersebut sebaiknya menerima suplemen vitamin D (sampai
2000 IU per hari) dan kalsium (sampai 1200 mg per hari), dan harus menjalani
pemeriksaan kepadatan tulang secara teratur.
Pemilihan Obat Antiepilepsi pada Wanita
Obat antiepilepsi, terutama valproat, telah sering dihubungkan dengan sindrom
ovarium polikistik (seperti siklus menstruasi yang ireguler, peningkatan berat
badan, dan hirsutisme). Hal ini dapat muncul karena epilepsi itu sendiri, namun
pada sebagian besar wanita, obat-obatan memegang peranan yang utama. Studi
menunjukkan adanya hubungan yang penting antara penggunaan valproate, baik
tunggal maupun dikombinasikan dengan obat lain, dan terjadinya ovarium
polikistik, siklus anovulatori, dan hiperandrogenism.
Obat antiepilepsi yang menginduksi enzim hati seperti phenytoin,
carbamazepine, dan phenobarbital, dan juga topiramate dan oxcarbazepine,
meningkatkan eliminasi pil kontrasepsi oral. Karena itu, perempuan yang
menggunakan obat-obatan pil kontrasepsi oral disarankan untuk menggunakan
setidaknya 50g ethinyl estradiol untuk menurunkan kemungkinan kehamilan.
Namun, hal tersebut belum diteliti lebih lanjut sehingga metode kontrasepsi
alternatif disarankan. Dosis lamotrigine perlu disesuaikan jika pil kontrasepsi oral
dimulai atau dihentikan, karena kontrasepsi oral meningkatkan eliminasi
lamotrigine. Bayi yang lahir dari wanita dengan epilepsi mempunyai resiko
malformasi yang lebih tinggi, hal ini diduga dari efek obat antiepilepsi. Studi
terhadap efek obat tertentu dalam kehamilan terhambat karena faktor-faktor yang
8
berpengaruh seperti jenis dan tingkat keparahan epilepsi dan penggunaan lebih
dari 1 obat. Penggunaan obat antiepilepsi tidak dapat dianggap aman. Obat-obatan
yang lebih baru lebih sedikit diteliti, namun temuan terhadap hubungan valproat
dan peningkatan resiko defek bayi baru lahir cukup jelas untuk menghindari
penggunaan obat tersebut pada wanita usia produktif kecuali tidak ada obat
alternatif. Resiko defek pada bayi lahir lebih kecil pada pengobatan monoterapi
dengan dosis obat yang minimal selama kehamilan, walaupun bukti yang
mendukung hal ini masih terbatas. Analisa retrospektif menunjukkan bahwa anak
usia sekolah yang terpapar valproate selama dalam kandungan memiliki IQ yang
lebih rendah dan perkembangan yang terhambat.
Kondisi Medis yang Menyertai
Beberapa pasien, secara khusus pasien lansia, cenderung tidak bebas untuk
menerima obat antiepilepsi karena kondisi medis yang menyertai atau penggunaan
obat yang mungkin berinteraksi dengan obat antiepilepsi.
Pada pasien dengan disfungsi hepar, penyesuaian dosis obat yang
dimetabolisme oleh hepar diperlukan, meskipun penggunaan obat tersebut
mungkin bukan merupakan kontraindikasi, misalnya valproat sebaiknya dihindari
karena dapat meningkatkan kadar amonia. Banyak obat antiepilepsi (khususnya
valproate, phenytoin, phenobarbital, dan carbamazepine) dapat menyebabkan
peningkatan kadar enzim hepatik, seperti alanin aminotrasferase dan -glutamyl-
transferase. Peningkatan ringan yang stabil (meskipun mencapai dua kali lipat dari
nilai normal) tidak perlu dikuatirkan, walaupun hal tersebut dapat mempengaruhi
pemantauan pasien dengan penyakit hepar yang mendasari. Riwayat batu ginjal
merupakan kontraindikasi relatif penggunaan topiramate dan zonisamide, yang
merupakan predisposisi pembentukan batu. Baik carbamazepine dan
oxcarbazepine dapat menyebabkan hiponatremia dan sebaiknya dihindari pada
pasien yang sebelumnya menderita hiponatremia atau resiko hiponatremia (misal
9
pada pasien dengan usia tua, riwayat asupan cairan yang berlebihan, gagal ginjal,
atau penggunaan obat tertentu yang dapat menyebabkan hiponatremia).
Kadar obat yang dimetabolisme oleh enzim hepatik (seperti sitokrom P-
450) dan glucoronyl transferase) dapat berubah karena penggunaan obat
antiepilepsi (Tabel 4). Obat antiepilepsi yang mempengaruhi enzim sebaiknya
dihindari, jika memungkinkan, pada pasien yang menerima terapi antiretroviral
pada kasus HIV, pada pasien yang menjalani transplantasi organ, dan pasien
kanker yang menerima kemoterapi.
Kondisi medis lain dapat juga mempengaruhi pemilihan obat antiepilepsi.
Carbamazepine dapat menyebabkan blokade jantung parsial maupun total dan
memperberat sick sinus syndrome. Carbamazepine dapat menurunkan jumlah
leukosit dan sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan darah karena
perubahan pada hitung leukosit dapat menjadi sulit untuk diinterpretasikan.
Valproat menyebabkan trombositopenia pada dosis tinggi pada 17% pasien dan
sebaiknya dihindari pada pasien dengan resiko perdarahan.
Carbamazepine dan gabapentine berhubungan dengan peningkatan berat
badan ringan (2,3 sampai 4,5 kg) ,valproat dan pregabalin berhubungan dengan
peningkatan berat badan yang lebih hebat (4,5 sampai 23 kg) pada sepertiga
pasien. Obat-obat tersebut sebaiknya dihindari , jika memungkinkan, pada pasien
dengan diabetes atau gangguan makan. Felbamate, topiramate, dan zonisamide
dapat menyebabkan penurunan berat badan. Berat badan sebaiknya didata
sebelum memulai pengobatan antiepilepsi dan pada kunjungan rutin.
Pemantauan
Pemeriksaan EEG rutin biasanya tidak diperlukan, namun penilaian ulang EEG
mungkin berguna untuk menentukan penghentian penggunaan obat antiepilepsi,
mengingat pasien dengan EEG yang abnormal mempunyai resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami kekambuhan. Terdapat kontroversi mengenai seberapa
10
sering kadar obat antiepilepsi perlu dipantau dan juga pemeriksaan laboratorium
rutin lainnya (seperti darah rutin, kadar elektrolit, dan fungsi hepar). Dengan
penggunaan obat antiepilepsi yang lebih kuno (seperti phenytoin, carbamazepine,
valproate, dan phenobarbital), pemantauan setiap tahun sudah cukup pada pasien
yang stabil yaitu yang pada 6 sampai 12 bulan pertama setelah dimulainya terapi
menunjukkan hasil yang normal. Tabel 2 merangkum rekomendasi untuk
pemantauan obat antiepilepsi yang lebih baru. Dosis target berhubungan dengan
kadar rata-rata obat dalam darah diperlukan untuk kemampuan toleransi dan
kejang yang terkontrol. Banyak pasien baik-baik saja dengan kadar di atas atau di
bawah dari nilai tersebut, karenanya dosis sebaiknya disesuaikan terutama dengan
kejang yang terkontrol dan efek sampingnya.
Ketidakpastian
Terdapat ketidakpastian mengenai kapan obat antiepilepsi dapat dihentikan. Pada
berbagai studi, insiden kekambuhan kejang setelah pemberhentian obat setelah
bebas kejang selama 2 tahun berkisar antara 12 sampai 66%. Faktor resiko yang
memungkinkan terjadinya kekambuhan meliputi onset dari epilepsi pada masa
dewasa, kejang parsial, EEG yang abnormal, dan sindrom epilepsi tertentu.
Keputusan untuk menghentikan obat antiepilepsi tergantung dari keadaan masing-
masing pasien.
Pedoman dari Perkumpulan Profesional
American Academy of Neurology, American Epilepsy Society, dan International
League against Epilepsy menerbitkan pedoman pemilihan terapi farmakologis
pada pasien yang baru didiagnosis epilepsi. Seperti dijelaskan di atas, American
Academy of Neurology juga telah menerbitkan pedoman mengenai evaluasi pasien
dengan kejang pertama yang tidak terprovokasi dan neuroimaging dari pasien
11
dengan kejang yang datang di UGD. Rekomendasi yang ada di artikel ini sesuai
dengan pedoman tersebut.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pasien yang dijelaskan pada soal vinyet memiliki dua kejang yang mungkin, yaitu
yang disaksikan dan yang lain melalui riwayat, dan karena itu pemberian obat
antiepilepsi tepat untuk dilakukan. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan neurologis, EEG, dan MRI otak, namun terapi tidak tergantung dari
temuan yang abnormal. Jika EEG dan MRI normal, informasi mengenai
klasifikasi kejangnya yaitu parsial atau umum tidak cukup, sehingga diperlukan
obat antiepilepsi spektrum luas. Jika pasien menggunakan, atau berencana
menggunakan pil kontrasepsi oral, obat antiepilepsi yang dapat meningkatkan
pembuangan pil kontrasepsi oral (lihat di atas) sebaiknya dihindari. Pil
kontrasepsi oral dengan kadar estrogen yang lebih tinggi, yang biasanya
diperlukan pada keadaan tersebut, dapat meningkatkan resiko gangguan
kesehatan. Valproat sebaiknya dihindari karena resiko teratogen. Lamotrigine atau
leviteracetam merupakan pilihan yang lebih baik untuk terapi awal pada pasien
ini, seperti biasanya, rekomendasi ini sebaiknya disesuaikan dengan keadaan
masing-masing pasien.
12