BRONKIOLITIS

47
BAB I PENDAHULUAN Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran respiratori akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Penyakit ini sering didapatkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Selain itu, bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada bayi di bawah 1 tahun, terutama usia antara 2 sampai 6 bulan. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala infeksi saluran respiratori akut. 1,2 Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada bayi dan anak yang berusia ≤ 2 tahun. Adapun penyebab yang telah diketahui antara lain Respiratory syncytial virus (50 – 80%), Adenovirus, Human metapneumovirus (3 – 19%), virus Influenza, virus Parainfluenza tipe 3, koinfeksi beberapa virus lain (10 – 30% bayi dirawat). 1 Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima

Transcript of BRONKIOLITIS

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran respiratori akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Penyakit ini sering didapatkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Selain itu, bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada bayi di bawah 1 tahun, terutama usia antara 2 sampai 6 bulan. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala infeksi saluran respiratori akut.1,2

Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada bayi dan anak yang berusia 2 tahun. Adapun penyebab yang telah diketahui antara lain Respiratory syncytial virus (50 80%), Adenovirus, Human metapneumovirus (3 19%), virus Influenza, virus Parainfluenza tipe 3, koinfeksi beberapa virus lain (10 30% bayi dirawat).1

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi < 34 minggu, usia < 3 bulan, sianosis, saturasi oksigen < 90%, laju respiratori > 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat dysplasia bronkopulmoner (bronchopulmonary dysplasia, BPD).1BAB II

TINJAUAN PUSTAKADefinisi

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran respiratori akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala infeksi saluran respiratori akut.

Bronkiolitis adalah peradangan di bronkiolus. Penyakit ini sering didapatkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Selain itu, bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada bayi di bawah 1 tahun, terutama usia antara 2 sampai 6 bulan. Penyakit ditandai oleh sindrom klinis berupa napas cepat, retraksi dada, dan wheezing.Etiologi

Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada bayi dan anak yang berusia 2 tahun. Adapun penyebab yang telah diketahui antara lain Respiratory syncytial virus (50 80%), Adenovirus, Human metapneumovirus (3 19%), virus Influenza, virus Parainfluenza tipe 3, koinfeksi beberapa virus lain (10 30% bayi dirawat).

Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.Epidemiologi

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,5 kali lebih banyak daripada anak perempuan, sedangkan Fjaerli menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.

Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di Negara-negara tropis.

Shay dkk, meneliti data RS di AS selama 17 tahun yaitu tahun 1980-1996, dan menemukan 1,65 juta perawatan karena bronkiolitis pada anak berusia di bawah 5 tahun, 57% pada anak berusia di bawah 6 bulan, dan 81% pada bayi. Terjadi kenaikan angka perawatan di RS pada anak berusia 1-4 tahun di AS, dari 1,3 per 1000 pada tahun 1980 menjadi 2,3 per 1000 pada tahun 1996. Pada periode yang sama terjadi peningkan yang nyata perawatan di RS pada bayi, yaitu 2,4 kali dari 12,9 per 1000 menjadi 31,2 per 1000, terutama pada usia di bawah 6 bulan yaitu meningkat 239%. Selama tahun 1988-1990, bayi laki-laki yang dirawat adalah 24,9 per 1000, lalu meningkat menjadi 38,4 per 1000 selama tahun 1994-1996, sedangkan perempuan meningkat dari 15,1 per 1000 menjadi 24,4 per 1000 pada tahun yang sama. Fjaerli dalam penelitian retrospektif selama tujuh tahun (tahun 1993-2000) di Norwegia juga menemukan bahwa usia di bawah 6 bulan merupakan 45% dari seluruh perawatan bronkiolitis.

Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000, dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1-2 tahun. Iwane yang meneliti secara prospektif di AS selama tahun 2000-2001 menemukan bahwa pada anak dengan pemeriksaan virus positif, angka perawatan di RS adalah 3,5 per 1000 akibat RSV, 1,2 per 1000 akibat virus Parainfluenza, dan 0,6 per 1000 akibat virus Influenza. Lima puluh persen dari jumlah perawatan tersebut adalah bayi berusia di bawah enam bulan.

Median lama perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi premature dan kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi < 34 minggu, usia < 3 bulan, sianosis, saturasi oksigen < 90%, laju respiratori > 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat dysplasia bronkopulmoner (bronchopulmonary dysplasia, BPD).

Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu perubahan criteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih banyak anak yang dititipkan di tempat penitipan anak (TPA), dan factor virus sendiri yaitu perubahan virulensi strain RSV. Selain itu, terdapat juga factor perubahan criteria diagnostic terutama mikrobiologis dan panduan terapi, serta turunnya mortalitas bayi premature dan bayi dengan kelainan bawaan kompleks yang merupakan risiko tinggi perawatan karena RSV. Iwane yang meneliti dua daerah urban di Amerika Serikat, yaitu Monroe County, New York, dan Davidson County, Tennessee, menemukan bahwa usia muda terutama di bawah 1 tahun, ras kulit hitam dan Hispanik, laki-laki, dan adanya penyakit kronis yang mendasari berhubungan dengan tingginya angka perawatan.

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di Negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.Patofisiologi

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air-trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit.

Pemulihan sel epitel baru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. AnamnesisBronkiolitis merupakan penyakit yang menyebabkan penderita umur < 1 tahun harus dirawat di RS, terutama lebih sering pada bayi berumur antara 2 dan 6 bulan.Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan napsu makan.

2. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis.

Obstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu.

Frekuensi napas meningkat diatas 50 60 kali/menit. Denyut nadi juga biasanya meningkat. Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai mencapai 41oC. Pada beberapa pasien, dapat ditemukan konjungtivitis dan otitis, juga faringitis. Seringkali dijumpai ekspirasi memanjang, tetapi suara pernafasan normal. Pada auskultasi bisa terdengar ronkhi dan wheezing atau rales biasanya terdengar di seluruh permukaan paru. Pada beberapa pasien didapatkan sianosis.

Frekuensi pernapasan yang meningkat merupakan gangguan pertukaran gas dan frekuensi napas 60 kali/menit menunjukkan adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2. Saturasi oksigen < 96% didapatkan pada anak dengan peningkatan frekuensi napas, wheezing, dan retraksi.3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjanga. Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik. AGD didapatkan hipoksemia, pada bronkiolitis berat dapat disertai hiperkapnia dan asidosis.Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik adalah jumlah leukosit yang berkisar antara 5000 24.000 sel/l. Pada keadaan leokositosis, batang dan PMN banyak ditemukan.

b. Gambaran radiologiPada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrate (patchy infiltrate), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA), atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan konvalesens.

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya wheezing, dan oksigenasi.c. Serologi

Identifikasi virus bisa dilakukan dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan teknik imunofluoresens untuk RSV dan beberapa virus lain, namun pemeriksaan ini mahal dan terbatas. Pemeriksaan rapid office techniques saat ini dimungkinkan dengan menggunakan kit virus tertentu.

Skala klinis yang digunakan Abul-Ainine dan Luyt adalah :

1. Respiratory Rate (RR): dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan diambil rata-ratanya.

2. Heart Rate (HR): diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.

3. Saturasi O2 : diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya.

4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.

5. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel, dan menangis).

Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut :

1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).

2. Penggunaan otot bantu napas : skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).

3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).

Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma, bronchitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru, yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis. Selain itu, pneumonia dengan berbagai sebab (aspirasi, virus, bakteri, dan mikoplasma) juga dapat memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai bronkiolitis. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.Dalam menilai kegawatan penderita dapat digunakan Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi :

Nilai > 15 : kategori berat Nilai < 3 : kategori ringanDiagnosis Banding

Asma bronchial

Bronkopneumonia

Aspirasi benda asing

Gagal jantung

Fibrosis kistikTatalaksana

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobulin (polyclonal), atau humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab).1. Bronkodilator

Peran bronkodilator masih controversial. Review Cochrane baru-baru ini yang dikutip oleh Wainwright tentang penggunaan bronkodilator untuk bronkiolitis menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek, tetapi tidak terdapat perbaikan gejala oksigenasi atau angka perawatan di RS.

Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis, yaitu sekitar 68-96% bayi di pusat pelayanan pediatric tersier di Kanada. Pada survey yang dilakukan pada 88 pusat pelayanan pediatric di Eropa, 54 pusat pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada semua pasien dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan hanya menggunakan bronkodilator pada pasien risiko tinggi. Di Inggris dan Australia, penggunaan bronkodilator lebih jarang.

Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi -adrenergik dan agonis -adrenergik.

Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik selektif adalah :

1. Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation-perfusion matching.

2. Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.

3. Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.

4. Efek fisiologik antihistamin yang melawah efek histamine seperti edema.

5. Mengurangi sekresi kataral.

Efek Epinefrin terhadap denyut jantung

Penelitian membandingkan antara nebulasi epinefrin dengan normal salina didapatkan dalam bentuk 1% epinefrin tartrat dengan sodium metabisolfit dan vehikulum sebanyak 4 ml, diberikan tiga kali dengan interval 4 jam selama 24 jam pertama dibandingkan dengan normal salin. Tidak ada perbedaan bermakna pada laju respiratori, tekanan darah, atau usaha napas sebelum maupun setelah perlakuan. Akan tetapi, epinefrin menyebabkan kenaikan yang secara statistic tidak bermakna pada laju pernapasan yaitu sebesar 2 x/menit, dan kenaikan tekanan darah sebesar 5 mmHg baik sistolik maupun diastolic, dan nampak usaha napas lebih rendah.

Beberapa peneliti lain memberikan nebulisasi rasemic epinefrin untuk mengurangi efek pada jantung, melaporkan kenaikan tekanan sistolik segera setelah dan 45 menit pascanebulisasi, tetapi tidak terjadi pada 15, 30, dan 60 menit pascanebulisasi. Selain itu, ditemukan juga perbaikan skor klinis untuk jangka pendek setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Perbaikan klinis menetap menentukan lamanya perawatan di RS dan kesiapan pulang. Penggunaan bronkodilator, khususnya bronkodilator kerja cepat, kemungkinan tidak akan mempengaruhi keluaran yang menetap lebih lama kecuali bila terapi diberikan lebih sering. Efek -adrenergik dari nebulisasi epinefrin dapat mengurangi edema jalan napas yang berperan dalam patofisiologi bronkiolitis akut. Pengurangan sementara edema dapat memperbaiki fungsi paru dan pengeluaran secret sehingga memberikan keuntungan jangka panjang. Akan tetapi, epinefrin tidak menurunkan secara bermakna lama perawatan atau lamanya waktu yang diperlukan hingga pasien layak untuk dipulangkan.Efek pemberian terapi suportif

Abul-Ainine dan Luyt meneliti efek jangka pendek nebulisasi adrenalin dibandingkan dengan salin placebo pada bayi dengan bronkiolitis sedang-berat. Penelitian dilakukan pada 38 bayi, 19 bayi diberi nebulisasi 3 ml levo-adrenalin (3 mg) dosis tunggal sementara 19 bayi lainnya diberi 0,9% salin placebo dengan oksigen 6 l/menit. Keluaran yang dinilai yaitu RR, HR, saturasi O2, RDAI, dan tingkat aktivitas pada saat 20, 0, 20, 40, dan 60 menit kemudian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi suportif sebelum perlakuan menyebabkan penurunan bermakna dari RR yaitu 4,3 x/menit, HR 4,6 x/menit, tetapi tidak ada perubahan pada saturasi O2 dan RDAI serta parameter keluaran yang lain. Peneliti menekankan bahwa terapi suportif (menurunkan suhu badan, membersihkan secret hidung, mengganti popok sehingga bayi tidak basah, minum bila sudah memungkinkan, dan minimal handling) akan memberikan penurunan RR dan HR yang bermakna. Ada dua hal penting dalam penelitian penyakit akut yang dapat sembuh spontan. Yang pertama adalah menilai efek terapi suportif dan mengobservasi pasien. Yang kedua adalah membandingkan terapi yang menggunakan pelarut yang diteliti karena pelarutnya juga mungkin berpengaruh positif.

Perbandingan efek terapi epinefrin dengan -agonis

Dari 11 penelitian tentang penggunaan epinefrin pada bronkiolitis, satu penelitian adalah penelitian tanpa kontrol pada pasien yang memakai ventilator, sedangkan 10 penelitian dilakukan pada pasien tanpa ventilator (enam penelitian membandingkan epinefrin dengan albuterol, empat penelitian membandingkan epinefrin dengan placebo). Pada sebagian besar penelitian, epinefrin diberikan dengan nebulizer melalui masker oksigen dengan aliran 6 l/menit, meskipun ada yang diberikan secara parenteral dengan dosis 0,5 8 mg. Keluaran yang diukur adalah perubahan skor klinis, yang diukur dengan pulse oxymetry dan lainnya diukur dengan uji fungsi paru. Kebanyakan penelitian melaporkan perbaikan pada keluaran jangka pendek, meskipun kondisi beberapa pasien memburuk yang diukur dengan skor klinis, uji fungsi paru, atau oksimetri.

Sejak tahun 1993 telah dilakukan delapan penelitian acak terkontrol pada 660 anak dengan bronkiolitis yang diberi epinefrin, baik dibandingkan dengan salin placebo maupun dengan nebulisasi 2 agonis seperti salbutamol dan albuterol. King dkk. Melakukan meta-analisis terhadap delapan penelitian tersebut. Keluaran yang dinilai adalah perubahan jangka pendek pada skor klinis, status fisiologis (RR, HR, dan saturasi O2), pemeriksaan fisis (mengi, retraksi), dan lama perawatan di RS.

Dua penelitian yang metodologinya dinilai sangat baik, dengan jumlah subyek 345, membandingkan racemic epinefrin dengan albuterol dan dibandingkan dengan salin, atau epinefrin dibandingkan dengan placebo menunjukkan hasil tidak ada perbedaan bermakna pada lama perawatan maupun saat siap dipulangkan pada kelompok yang diteliti.

Dari tiga penelitian yang secara metodologi dinilai baik, dua di antaranya membandingkan antara epinefrin dan salbutamol, sedangkan satu penelitian lainnya membandingkan antara racemic epinefrin dan salin placebo, dan dilakukan pada 171 subyek. Dua penelitian tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada perubahan skor klinis dan lama perawatan, tetapi satu penelitian menunjukkan lebih pendeknya lama perawatan pada kelompok epinefrin.

Tiga penelitian dengan kategori metodologi sedang dengan jumlah subyek 144; satu penelitian membandingkan antara racemic epinefrin dan placebo, dengan hasil perbaikan skor klinis tetapi peningkatan saturasi oksigen hanya pada awal pengamatan, yaitu setelah 15 dan 30 menit. Dua penelitian yang membandingkan antara epinefrin dan salbutamol, menunjukkan adanya perbaikan klinis selain HR setelah 1 jam dan penurunan indikasi rawat pada kelompok epinefrin, tetapi satu penelitian tidak menunjukkan peningkatan saturasi oksigen meskipun ada penurunan RR pada kelompok epinefrin. Selain itu, ditemukan berbagai efek samping epinefrin berupa peningkatan HR, pucat, tremor, dan hipertensi ringan.

Wohl dan Chernick berpendapat bahwa tidak ada pengobatan bronkiolitis yang memperpendek lama perawatan, termasuk albuterol, kortikosteroid, maupun epinefrin. Akan tetapi, dibandingkan dengan albuterol, epinefrin dapat mengurangi tahanan saluran respiratori dan menghasilkan perbaikan klinis yang lebih baik.

Efek pemberian terapi -agonis

Beta-agonis masih sering digunakan dengan alas an 15-25% pasien bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi 2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan hanya diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.

Dilakukan meta-analisis efektivitas 2-agonis inhalasi pada bronkiolitis dengan penelitian acak terkontrol, tiga penelitian pada pasien rawat inap dan lima penelitian pasien rawat jalan. Hasil penelitian pada pasien rawat inap saling bertentangan : satu penelitian menunjukkan efektivitas dengan perbaikan skor klinis yang bermakna dan lama perawatan lebih singkat, sedangkan dua penelitian lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada skor klinis, tetapi ada penurunan saturasi oksigen yang bermakna. Penelitian pada pasien rawat jalan menunjukkan bahwa pemberian 2-agonis jangka pendek tidak mempunyai dampak terhadap RR dan angka perawatan, tetapi mempunyai dampak terhadap penurunan saturasi O2 dan laju denyut jantung yang bermakna secara statistic. Yang diteliti pada dua penelitian adalah albuterol 2,5 mg pada semua pasien atau 0,15 mg/kgBB, dan satu penelitianmenggunakan fenoterol 0,4 ml/kgBB yang diberikan dengan interval 30 menit 6 jam.

Dobson meneliti secara prospektif, double-blind, place controlled, randomized clinical trial pada 52 anak berusia di bawah 24 bulan dengan bronkiolitis sedang berat yang diberi albuterol nebulisasi 1,25 mg untuk anak dengan berat badan < 10 kg atau 2,5 mg untuk berat badan > 10 kg dalam normal salin agar menjadi 3 ml dibandingkan dengan placebo. Semua memperoleh terapi suportif seperti oksigen, cairan intravena, isap lender, dan fisioterapi. Keluaran yang dinilai berupa keluaran primer dan sekunder. Keluaran primer yaitu perbaikan saturasi O2 dan waktu yang dibutuhkan hingga pasien memenuhi criteria pulang (SaO2, penggunaan otot bantu napas, dan mengi). Keluaran sekunder yaitu lama perawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nebulisasi albuterol tidak mempercepat penyembuhan atau mengurangi beratnya penyakit.

King juga mengkaji 13 penelitian yang menilai berbagai macam bronkodilator, sebagian dengan perlakuan ganda, dengan jumlah subyek seluruhnya 956. Sebelas penelitian membandingkan salbutamol atau albuterol dengan salin placebo, nebulisasi salin placebo atau placebo yang tidak dijelaskan atau kontrol. Empat penelitian membandingkan dengan nebulisasi ipratropium-bromida, 2 penelitian membandingkan dengan salbutamol atau albuterol oral. Satu penelitian membandingkan salbutamol MDI (metered dose inhaler) dengan salbutamol oral. Keluaran yang diteliti umumnya hal-hal pengganti (surrogate measures) misalnya perbaikan skor klinis, dan berlangsung jangka pendek. Keragaman dan perbedaan obat, dosis, delivery system, setting dan keluaran menyulitkan perbandingan atau penelitian umum. Tujuh penelitian menilai hal-hal yang mempengaruhi lama perawatan, ternyata tidak ada perubahan bermakna pada berbagai kelompok. Dari 12 penelitian dengan pembanding salin placebo, tiga di antaranya menunjukkan perbaikan berbagai pengukuran klinis jangka pendek, yaitu 30 60 menit pascaperlakuan dengan nebulisasi bronkodilator, tetapi satu penelitian bahkan memburuk. Enam penelitian tidak melaporkan efek samping, tujuh penelitian melaporkan peningkatan HR dan penurunan sementara saturasi oksigen. Nebulisasi ipratropium-bromida bersama salbutamol dibandingkan satu sama lain secara tunggal dan placebo pada penelitian degan empat perlakuan. Penelitian lain membandingkan nebulisasi ipratropium-bromida dengan nebulisasi salbutamol, dan yang lain membandingkan nebulisasi ipratropium-bromida ditambah albuterol dengan albuterol ditambah saline placebo. Pada pengamatan lama perawatan dan perbaikan skor klinis pada penelitian dengan salbutamol semua tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Satu penelitian menunjukkan perbaikan saturasi oksigen pada gabungan ipratropium-bromida dengan salbutamol yang dibandingkan dengan hanya ipratropium-bromida atau salbutamol sendiri-sendiri, tetapi bila gabungan ini dibandingkan dengan placebo tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tidak ada perbedaan bermakna antara RR pada albuterol ditambah saline placebo, dan RR pada ipratropium-bromida ditambah albuterol.2. Kortikosteroid

Garrison dkk. Melakukan meta-analisis steroid sistemik pada pengobatan bronkiolitis untuk menjawab dua pertanyaan primer. Pertanyaan pertama, apakah pengobatan steroidsistemik pada bayi yang dirawat dengan bronkiolitis berhubungan dengan penurunan lama rawat di rumah sakit? Pertanyaan kedua, apakah pengobatan tersebut dapat mengurangi gejala?

Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon, metilprednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dalam equivalen mg/kgBB prednisone. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6 6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0 18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuscular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.

Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada bronkiolitis lebih efektif daripada yang dilaporkan sebelumnya, yaitu kortikosteroid menyebabkan penurunan skor gejala klinis dan lamanya perawatan di rumah sakit yang bermakna secara statistic. Sangat mungkin keuntungan kortikosteroid bergantung pada beratnya penyakit saat dimulainya pengobatan.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pasien yang tidak menggunakan ventilator, atau pasien yang mempunyai skor gejala lebih tinggi ketika masuk, lebih responsive terhadap pengobatan. Ada dua implikasi penelitian, yaitu yang pertama; karena hasilnya didapat pada kasus berat, maka tidak dapat digeneralisasikan pada semua pasien rawat jalan, dan kedua; semakin berat penyakit maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh dengan pemberian steroid sistemik. Ini merupakan sasaran pemberian kortikosteroid yang memerlukan penelitian lebih lanjut.

Keluaran yang diukur dari berbagai penelitian adalah perbaikan klinis baik diukur dengan maupun tanpa skor klinis, lama penggunaan oksigen, dan lama perawatan. Karena lama perawatan dapat bergantung pada factor nonmedis, maka beberapa penelitian menggunakan criteria kesiapan pulang.

Penelitian multisenter randomized double blind placebo controlled dilakukan oleh Cade dkk. di lima rumah sakit di West Yorkshire. Seratus enam puluh satu bayi yang dirawat selama musim dingin tahun 1995-1996 dinebulisasi 1 mg budesonid atau placebo, diberikan dua kali sehari hingga 2 minggu setelah pulang, dan dilakukan pemantauan selama 12 minggu. Keluaran yang dinilai adalah lama perawatan, waktu yang diperlukan hingga bebas gejala, angka perawatan kembali, kunjungan ke dokter, dan penggunaan obat untuk mengatasi mengi. Hasilnya menunjukkan tidak ada keuntungan klinis jangka pendek maupun jangka panjang pada pemberian nebulisasi kortikosteroid pada bronkiolitis fase akut. Untuk memastikan bahwa tidak ada yang terlewat dari efek sesaat kortikosteroid pada gejala, peneliti melakukan analisis data 1 bulan setelah pasien pulang dan data keseluruhan setelah 12 minggu. Rata-rata hari batuk dan/atau mengi selama 28 hari setelah pulang sama dengan selama 12 minggu yaitu 17 hari dibandingkan 17,1 hari. Kemungkinan tidak terlihatnya efek perbaikan oleh kortikosteroid adalah karena deposisi di paru sedikit. Pada bayi dengan asma atau anak kecil dengan tidak breathing yang normal, hanya kurang dari 20% dosis budesonid nebulisasi yang masuk ke mulut. Peneliti memperkirakan deposisi di paru mungkin bahkan lebih sedikit lagi karena adanya takipnea, air trapping, dan sekresi berlebihan akibat bronkiolitis.

King melakukan meta-analisis penelitian dengan kortikosteroid, dengan cara oral, parenteral, maupun inhalasi. Pada lima penelitian kortikosteroid oral dibandingkan dengan placebo, empat penelitian meneliti angka dan lamanya perawatan dengan hasil : satu penelitian dengan deksametason menunjukkan angka yang lebih rendah, tetapi penelitian dengan deksametason lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna; penelitian dengan prednisolon menunjukkan lama perawatan lebih rendah pada bayi yang menggunakan ventilator; penelitian oral prednisolon justru menunjukkan lebih tingginya angka perawatan. Penelitian dengan prednisolon ditambah nebulisasi albuterol menunjukkan perbaikan skor klinis pada hari ke-2, tetapi perbedaan ini tidak terlihat pada hari ke-3 6.

Kortikosteroid deksametason intramuscular maupun intravena, dibandingkan dengan placebo, tidak menunjukkan perbedaan pada lama perawatan maupun waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan gejala klinis. Pada enam penelitian kortikosteroid per inhalasi, lima nebulisasi budesonid atau dengan metered dose inhaler (MDI) dan satu flutikason propionate MDI diberikan selama 2 minggu 3 bulan, memiliki kualitas penelitian yang lebih rendah daripada secara oral maupun parenteral. Hasilnya menunjukkan berkurangnya kebutuhan terapi inhalasi 2 tahun kemudian pada kelompok yang menggunakan budesonid selama 2 bulan dibandingkan dengan selama 7 hari dan kelompok kontrol. Dua penelitian menunjukkan memburuknya gejala klinis jangka lama seperti mengi, batuk 1 tahun kemudian, atau perawatan kembali di rumah sakit 6 bulan kemudian. Penggunaan flutikason propionate selama 3 bulan dibandingkan dengan placebo menunjukkan berkurangnya episode batuk malam pada minggu ke-36 pascaterapi, tetapi tidak ada perbedaan gejala batuk dan mengi pada minggu ke-3, 6, 12 dan 24.

Barben & Hammer merangkum terapi di bagian rawat jalan dan rawat inap. Di bagian rawat jalan dilaporkan penggunaan 99% salbutamol, dan 30% ipratropium-bromida dikombinasikan dengan salbutamol. Kortikosteroid digunakan 90%, dengan cara penggunaan 80% inhalasi, 41% sistemik. Kromoglikat digunakan 18%. Di bagian rawat inap penggunaannya adalah 96% salbutamol, 55% ipratropium-bromida (sebagian besar dikombinasi dengan salbutamol). Kortikosteroid pada 85% terutama inhalasi. Teofilin digunakan pada 17%, dan ribavirin 8%.

European Society for Pediatrics Infection Disease (SPID) tahun 1995 meneliti 88 pusat pelayanan di 19 negara. Dilaporkan penggunaan bronkodilator, yaitu ; 61% secara rutin dan 34% pada bayi risiko tinggi. Steroid 11% digunakan secara regular dan 69% pada bayi risiko tinggi.

Pediatric Investigators Collaborative Network in Infections, Kanada tahun 1996 meneliti 9 rumah sakit pelayanan tingkat 3 secara retrospektif. Dilaporkan penggunaan bronkodilator 85% dan steroid 28% secara regular.

Consensus of Australian Pediatric Respiratory Group 1993 melaporkan penggunaan bronkodilator hanya 5% secara rutin; steroid hanya digunakan 1% secara rutin.

Perbedaan penggunaan bronkodilator maupun steroid ini mencerminkan kebiasaan tiap Negara yang disesuaikan dengan masing-masing Panduan Nasional maupun consensus yang berdasarkan bukti.

Dari pemikiran bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecenderungan asma maka kortikosteroid lebih efektif pada anak dengan predisposisi asma daripada dengan anak yang tidak. Karena factor predisposisi tersebut tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka penggunaan kortikosteroid harus dipertimbangkan dengan bijaksana pada bayi yang dirawat dengan bronkiolitis.

3. Ribavirin

Ribavirin yaitu suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik bekerja mempengaruhi pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis protein. Sejak diizinkan penggunaannya pada tahun 1985 oleh Food and Drug Administration (FDA), ribavirin telah digunakan secara luas di Amerika Utara untuk bayi risiko tinggi bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV. Karena beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan, maka American Academy of Pediatrics (AAP) merevisi rekomendasinya tentang penggunaan ribavirin, dari should be menjadi may be considered.

Cochrane review menyimpulkan bahwa ribavirin tidak menunjukkan efek positif yang menetap. Guerguerian meneliti efektivitas klinis ribavirin pada bayi yang sebelumnya sehat kemudian menggunakan ventilator karena distress respirasi akibat bronkiolitis RSV. Digunakan ribavirin aerosol 20 mg/ml dibandingkan dengan placebo yaitu NaCl 0,9% diberikan 18 jam per hari selama maksimum 7 hari atau sampai ekstubasi. Hasilnya menunjukkan aerosol ditoleransi dengan baik dan tidak dilaporkan adanya kematian namun analisis keluaran menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok perlakuan pada lamanya penggunaan ventilator, terapi aerosol, lama perawatan di unit intensif, total terapi oksigen, dan lama perawatan di rumah sakit. Penelitian ini menunjukkan tidak efektifnya ribavirin aerosol untuk mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan perjalanan penyakit pada bayi yang menderita bronkiolitis RSV. Dilaporkan adanya plugging karena sisa ribavirin di pipa endotrakeal dan ventilation circuit. Meert tahun 1994 juga menyatakan bahwa ribavirin tidak mengurangi lamanya ventilasi mekanik.

Sebaliknya, Edell yang meneliti secara prospektif pada bayi dengan bronkiolitis RSV berat sebelum 5 hari dari gejala awal segera diberi ribavirin dosis tinggi jangka pendek : 60 mg/ml selama 2 jam, diberikan 3 kali sampai total 6 g/100 ml tiap 24 jam selama 3 hari dibandingkan dengan terapi konservatif. Pemberian terapi konservatif berupa O2 untuk mempertahankan saturasi O2 transkutan > 92%, cairan intravena, nebulisasi 2,5 mg albuterol tiap 3 4 jam, methylprednisolone 1 mg/kg berat badan/kali intravena tiap 12 jam selama 3 hari dan ranitidine oral 3 mg/kg per kali tiap 12 jam. Pada pengamatan 1 tahun kemudian kelompok ribavirin mempunyai lebih sedikit episode penyakit saluran respiratori reaktif (2,72,3 dibanding 6,24,2 episode per pasien/tahun), berat penyakit saluran respiratori reaktif berkurang (0,08 dibanding 1,09 penyakit sedang sampai berat per pasien/tahun), dan perawatan oleh karena penyakit saluran respiratori berkurang (25 hari perawatan disbanding 90/100 pasien/tahun). Edell menyimpulkan pemberian ribavirin dini kurang dari 5 hari akan mengurangi insidens dan beratnya penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan di rumah sakit, sehingga akan mengurangi biaya. Efek yang menguntungkan ini mungkin juga efek sinergistik pemberian ribavirin sedini mungkin ditambah pengobatan lain yang berpotensi mengurangi reaktivitas saluran respiratori. Beberapa penelitian yang melaporkan hasil positif ribavirin adalah Smith, yang menunjukkan berkurangnya waktu penggunaan ventilator; Garrison melaporkan perbaikan fungsi paru yang dinyatakan dengan berkurangnya wheezing, penyakit saluran respiratori reaktif dan pneumonia.Data invitro menunjukkan pemberian 1 kali saja ribavirin sedini mungkin pada kultur sel trakea yang diinfeksi RSV akan menurunkan konsentrasi kemokin dan menurunkan tingkat inflamasi. Pemberian ribavirin dini dapat mengurangi risiko inflamasi karena virus yang mengakibatkan jejas paru.

Hasil yang tidak konsisten antar berbagai penelitian ini dapat dijelaskan dengan perbedaan banyaknya virus dan pelepasan kemokin dalam stadium penyakit yang berbeda, waktu pemberian ribavirin, placebo yang berbeda pada beberapa penelitian (NaCl 0,9% atau air), variable perancu, dan sampel yang kecil menyebabkan kekuatan statistic rendah.4. Terapi suportif lainnya

Heliox

Heliox adalah campuran helium dan oksigen. Heliox digunakan oleh Barach sejak tahun 1935 untuk asma berat dan sumbatan saluran respiratori atas. Karena hasilnya controversial, maka heliox tidak digunakan secara luas. Efek positifnya dikarenakan densitas Heliox yang lebih rendah daripada campuran udara dan oksigen, sehingga mengurangi tekanan dorong yang dibutuhkan pada aliran turbulen dan mempertahankan aliran laminar. Hal ini akan mengurangi kerja respirasi dengan mengurangi tahanan aliran udara.

Pada bayi dengan bronkiolitis karena RSV derajat sedang-berat, heliox akan memperbaiki status respirasi secara klinis, yang ditunjukkan dengan perbaikan skor klinis serta berkurangnya takikardi dan takipnea. Respons yang baik ini terlihat pada jam pertama dan berlangsung selama terapi heliox diberikan. Akan tetapi, perawatan di pediatric intensive care unit (PICU) tidak dapat diturunkan meskipun pasien mendapat heliox.

Recombinant Human Deoxyribonuclease 1 (rhDNase 1)

Patofisiologi bronkiolitis yaitu inflamasi, edema dan produksi mucus akan menyebabkan mucous plug. Sebagian atau seluruh saluran respiratori dapat tersumbat, kemudian udara dapat terperangkap, sehingga dapat terjadi hiperinflasi atau atelektasis. Oleh karena sel-sel inflamasi mengalami lisis, maka terbentuk banyak DNA pada mucous plug. DNA akan menyebabkan peningkatan viskositas dan meningkatkan daya lekat secret. Oleh karena itu, rhDNase dapat digunakan sebagai mukolitik yang efektif, dan hal ini sudah dibuktikan pada fibrosis kistik. Nasr melakukan suatu randomized, double-blind, placebo controlled trial, yaitu nebulisasi rhDNase solusion 1 mg/ml pada 2,5 ml pelarut (terdiri dari 150 mM NaCl, 1,2 mM CaCl dengan pH 6) satu kali per hari selama 5 hari yang dibandingkan dengan placebo. Kedua kelompok juga mendapatkan nebulisasi albuterol. Keluaran yang dinilai adalah skor klinis dan skor radiologis dada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor klinis dan saturasi oksigen tidak berbeda bermakna, sedangkan skor gambaran radiologis dada berbeda bermakna. Selain itu dilaporkan juga bahwa lama perawatan menjadi lebih pendek. Tidak dilaporkan adanya efek samping.

Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.

Pencegahan

1. Immunoglobulin

Pendekatan profilaksis pada populasi risiko tinggi adalah meningkatkan (augmentation) antibody yang menetralisasi (neutralizing antibody) protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi ibu. Pada manusia, efek immunoglobulin yang mengandung RSV neutralizing antibody titer tinggi atau antibody monoclonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibody monoclonal terhadap protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskuler tiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Akan tetapi, risiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis pada musim RSV boleh diberikan hanya pada bayi dengan risiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.

Sebaiknya profilaksis hanya diberikan pada bayi dengan penyakit paru kronis atau bayi premature yang mempunyai banyak factor risiko untuk dirawat di rumah sakit. Rodriguez meneliti pemberian RSVIG (RSV immunoglobulin) dengan dosis 1500 mg/kgBB, dibandingkan dengan infuse placebo albumin. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi dengan penyakit paru ringan tidak memperoleh keuntungan dari RSVIG, tetapi bayi dengan penyakit lebih berat mempunyai 1,6 hari perawatan yang lebih singkat dan 2,7 hari perawatan di ICU yang lebih cepat.

Keputusan menggunakan palivizumab harus mempertimbangkan efetivitas, keamanan, serta individu atau populasi risiko tinggi untuk menderita RSV berat.

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1 tahun 2004, imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian gamaglobulin yang mengandung titer antibody protektif tinggi. Dosis yang dianjurkan 750 mg/kgBB setiap bulan, diberikan secara intravena pada anak umur < 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan < 35 minggu dan bayi dengan dysplasia bronchopulmonary. Produk lain adalah antibody kelas IgA monoclonal yang diberikan melalui tetes hidung setiap hari dan antibody kelas IgG monoclonal yang diberikan secara intramuscular setiap bulan.2. Vaksinasi

Karena besarnya masalah kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh RSV yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan menghabiskan biaya perawatan yang cukup besar, maka dilakukan penelitian terhadap vaksin RSV. Fisher menjelaskan karakteristik infeksi RSV pada bayi dan anak yang tidak dirawat di rumah sakit, dan kelompok tersebut akan menjadi target pencegahan karena sangat berisiko menderita penyakit RSV berat.

Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live-attenuated. Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold-passaged mutan, efektif untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian, dari permukaan glikoprotein murni dikembangkan DNA dan peptic sintetik. Vaksin live-attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan sistemik.

Menurut Murphy, vaksin live-attenuated sangat menjanjikan berdasarkan virus yang disebut dengan cpRSV yang dibuat dengan extensive passage pada temperature suboptimal. cpRSV hanya bisa sedikit dilemahkan pada simpanse dan manusia dan mengandung 5 non-ts amino acid substitusions pada tiga protein (N, F, dan L). Selanjutnya ketiganya menjadi fenotip yang dilemahkan. Tidak ada satu pun dari kandidat vaksin RSV yang didapat secara biologis terbukti cukup lemah untuk digunakan sebagai vaksin untuk anak. Akan tetapi, dapat dianggap sebagai suatu awal dari proses untuk selanjutnya dilemahkan dengan reverse genetics. Antigenic chimeric virus memberikan cara cepat pengembangan kandidat vaksin baru namun harus sangat dipertimbangkan penggunaannya. Epidemiologi RSV, PIV1, PIV2, dan PIV3 (Parainfluenza virus serotype 1,2,3) menunjukkan bahwa akan lebih tepat memberikan vaksinasi secara berkala dan dengan mempertimbangkan usia anak. Dianjurkan pemberian live-attenuated RSV dan PIV3 sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali, dengan dosis pertama sebelum atau pada usia 1 bulan, diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia 4 dan 6 bulan. Fisher juga menganjurkan dua dosis untuk menstimulasi imunitas. Secara umum, imunisasi merupakan masalah yang kompleks, karena imunisasi harus lengkap pada bulan pertama kehidupan tetapi bayi muda masih sulit menstimulasi imunitas yang memadai.1. Subcommittee on Diagnosis and Management of Bronchiolitis, American Academy of Pediatrics 2006 memberikan panduan berdasar bukti yang telah disetujui oleh The American Academy of Family Physicians, the American College of Chest Physicians dan The American Thoracic Society sebagai berikut :

2. Klinisi seharusnya mendiagnosis bronkiolitis dan menilai beratnya penyakit berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Secara rutin tidak diperlukan pemeriksaan radiologi dan laboratorium.

3. Untuk membuat keputusan mengenai penatalaksanaan dan evaluasi bronkiolitis harus dinilai factor risiko beratnya penyakit seperti umur < 12 minggu, riwayat prematuritas, penyakit jantung paru yang mendasari, atau immunodefisiensi.

4. Bronkodilator seharusnya tidak rutin digunakan pada penatalaksanaan bronkiolitis.

5. Dapat diberikan terapi -adrenergik dan -adrenergik dengan pengawasan ketat. Bronkodilator inhalasi sebaiknya dilanjutkan hanya jika terdapat respons klinis positif nyata dengan menggunakan alat evaluasi yang objektif.

6. Terapi kortikosteroid harusnya tidak rutin digunakan.

7. Ribavirin tidak rutin digunakan.

8. Terapi antibakteri seharusnya hanya digunakan khusus pada anak dengan bronkiolitis bersamaan dengan infeksi sekunder.

9. Bila diberikan Palivizumab profilaksis harus diberikan setiap bulan sampai 5 kali dengan dosis 15 mg/kg per kali secara intramuskuler mulai bulan November atau Desember.

10. Harus dinilai hidrasi dan kemampuan minum per oral.

11. Fisioterapi dada seharusnya tidak rutin digunakan.

12. Indikasi pemberian oksigen adalah jika SpO2 selalu dibawah 90% pada bayi yang sebelumnya sehat. Jika SpO2 terus dibawah 90% harus diberikan oksigen untuk mempertahankan SpO2 diatas 90%. Oksigen dapat dihentikan jika SpO2 90% dan bayi dapat minum dengan baik dan distress respirasinya ringan.

13. Ketika terjadi perbaikan klinis anak, tidak rutin diperlukan penilaian SpO2 terus menerus.14. Bayi premature atau yang mempunyai riwayat penyakit jantung paru yang mengganggu hemodinamik memerlukan monitoring ketat saat oksigen dihentikan.

15. Dianjurkan pemberian ASI pada bayi untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran nafas bawah.

16. Bayi harus dihindarkan dari asap rokok.

17. Perlu dilakukan edukasi tentang kebersihan tangan dan cara desinfeksinya pada petugas kesehatan dan keluarga pasien dengan alcohol atau sabun antiseptic.

Prognosis

Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok kontrol.

Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis mempunyai kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronchial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun RSV negative.

Sekitar 40 50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita mengi di kemudian hari. Peran virus respiratori pada mengi dijelaskan dengan kesamaan respons inflamasi yang ditunjukkan pada serangan asma dan infeksi virus. Infeksi RSV dihubungkan dengan respons sel T, yang terutama ditandai dengan produksi sitokin oleh sel Th tipe 2; hal yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan penggunaan sel T dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamine, kinin, dan leukotrien lain). Pada anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan peningkatan kadar antibody IgE terhadap RSV dan virus Parainfluenza, menunjukkan antibody yang dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya saluran respiratori.

Jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofilia meramalkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. Hal ini diterangkan dengan kelainan imunologis yang mendahului bronkiolitis atau yang dipicu oleh bronkiolitis, dan bukan karena kerusakan structural jalan napas yang disebabkan bronkiolitis. Telah diteliti pengaruh riwayat keluarga dengan asma, jenis kelamin, dan paparan pasif asap rokok, tetapi hanya eosinofilia yang mempunyai hubungan bermakna.

Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecenderungan asma, tetapi bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalensi asma pada anak dari kelompok pengobatan.