bells palsy

57
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. 1 Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang- orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun. 2 Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika

description

neuro

Transcript of bells palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial

perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma

paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh

Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan

penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling

sering di dunia.1

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000

orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang,

dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s

palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi

pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-

orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.2

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,

namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan

gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang

ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika

dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan

kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal

pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi

kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi.

Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi

yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan

menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat

menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.2

Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan

membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan

mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga

penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi

dengan masyarakat.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan unilateral nervus fasialis yang penyebabnya

tidak diketahui (idiopatik) yang terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri.4

Definisi lain dari Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-

supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema

jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari

foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.2

ANATOMI

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor

neuron (LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik

yang menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di

saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower motor

neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak

atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya pergi ke otot.

Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri seperti flasid , atoni, atrofi, fasikulasi, reflex

fisiologis menurun namun tidak ditemukan reflex patologis.5

Nervus facialis adalah saraf kranial yang mempunyai serabut-serabut sensorik

berupa somatosensorik dan viserosensorik dan motorik berupa somatomotorik dan

viseromotorik. Saraf facialis mempunyai dua subdivisi, yaitu nukleus motorik yang

mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, sedangkan subdivisi yang lebih kecil yaitu nervus

intermedius yang membawa aferen somatik dan otonom serta eferen otonom. Nervus

facialis akan berjalan dengan Nervus Vestibulocochlearis akan melalui meatus acusticus

internus. Selanjutnya Nervus facialis akan berjalan dalam canalis facialis. Dalam canalis

facialis, nervus facialis membentuk ganglion geniculatum dan chorda tympani kemudian

keluar melalui foramen Stylomastoideus yang selanjutnya mempersarafi otot-otot wajah.6

1.Nucleus facialis

Merupakan nukleus somatomotorik khusus ( branchiomotorik ) yang terletak

dilateral tegmentum pontis kemudian berjalan mengelilingi bagian kranial nukleus

abdusens yang dikenal sebagai genu nervi facialis. Dari genu tersebut berjalan kearah

ventrolateral untuk keluar pada permukaan batang otak pada tepi kaudal pons. Serat-serat

branchiomotorik ini melayani otot-otot muka ( mm faciales ), Platysma myoides, m

stylohyoideus dan venter posterior m digastricus dan secara khusus mengurus m

stapedius. Dari gyrus precentralis lobus frontalis cortex cerebri berjalan tractus

corticonuclearis menuju nukleus facialis. Bagian nukleus facialis yang melayani otot-otot

muka bagian atas menerima fibrae corticonuclearis dari kedua belah hemisfer cerebri.

Sedangkan bagian nukleus facialis yang melayani otot-otot muka bagian bawah menerima

fibrae corticonuclearis dari hemisfer cerebri sisi kontralateral.6

2.Nervus intermedius, mengandung nukleus-nukleus sebagai berikut

a.Nucleus Salivatorius Cranialis

Merupakan sekelompok nukleus viseromotorik ( sekretomotorik ). Berasal dari

bagian dorsolateral formatio retikularis berjalan menuju foramen lacerum dan bergabung

dengan N petrosus profundus yang berasal dari plexus sympaticus carotis interna untuk

membentuk N Canalis pterygoideus Vidianus. Saraf ini akan berjalan didalam Canalis

Pterygoideus Vidii dan mencapai ganglion pterygopalatinus, selanjutnya akan mengurus

glandula lacrimalis, glandula nasalis dan glandula palatina. Nucleus Salivatorius Cranialis

juga mempercabangkan serat sekretomotorik yang berjalan dalam chorda tympani menuju

ganglion submandibulare. Selanjutnya akan mengurus glandula submandibulare dan

glandula sublingualis.6

b.Nucleus Solitarius

Merupakan nukleus viserosensorik yang berjalan dalam chorda tympani, yang

mengandung serat-serat gustatorik yang membawa impuls-impuls rasa pengecap dari

daerah dua per tiga anterior dorsum linguae. Selanjutnya dari nucleus solitarius impuls

diteruskan menuju nucleus thalamus, kemudian dari nucleus thalamus diteruskan menuju

daerah gustatorik ( brodman 43 ).6

c.Nucleus Spinalis Nervi Trigemini

Merupakan nukleus somatosensorik. Serat-serat ini disebarkan kedaerah kulit

sekitar meatus acusticus eksternus.Serabut-serabut sensorik timbul dari sel-sel unipolar di

dalam ganglion genikulatum.Cabang-cabang perifer membawa sensasi pengecap dari

duapertiga anterior lidah melalui saraf-saraf lingualis dan chorda tympani, serta

mengangkut sensasi dari kelenjar parotis melalui ganglion oticum dan nervus

geniculotympanicus. Cabang-cabang central berjalan melalui nervus intermedius ke

nukleus traktus solitarius.6

Gb. Alur perjalanan perjalanan nervus facialis

Dalam perjalanannya melalui os temporalis, nervus fasialis mendapat vaskularisasi dari 3

arteri yaitu : 7

Arteri serebelli anterior yang memberikan vaskularisasi pada fossa posterior. Cabang

arteri ini yaitu arteri auditori interna yang memberikan vaskularisasi pada nervus fasialis

di dalam kanalis auditori interna. Ujung cabang – cabang arteri ini memberikan

vaskularisasi pada saraf sampai ganglion genikulatum

Cabang petrosal dari arteri meningea media memasuki kanalis Falopii pada ganglion

genikulatum dan bercabang menjadi cabang – cabang asendens dan desendens. Cabang

asendens memberikan vaskularisasi daerah proksimal ganglion genikulatum sedangkan

cabang desendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus

Cabang stilomastoideus dari arteri aurikularis posterior memasuki kanalis fasialis melaui

foramen stilomastoideus dan bercabang menjadi cabang asendens dan desendens. Cabang

asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum

sedangkan cabang desendens memberikan vaskularisasi saraf ke foramen stilomastoideus

bersama – sama dengan nervus aurikularis posterior.

EPIDEMIOLOGI

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.

Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun

sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy

rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29%

lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih

rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat

mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada

kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya

Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali

lipat.1

Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang

dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy

sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun.

ETIOLOGI

Bell's palsy adalah kelumpuhan mendadak atau paralisis pada satu sisi otot wajah

karena tidak berfungsinya nervus kranialis ketujuh yaitu nervus fasialis. Nervus ini

berfungsi menggerakkan otot wajah, menstimulasi kelenjar ludah dan air mata serta

menginervasi 2/3 bagian anterior lidah. Bell’s palsy merupakan suatu proses edema yang

menyebabkan sindroma kompresi pada nervus fasialis (entrapment syndrome). Meskipun

dari definisi BP saat ini adalah suatu kelainan idiopatik namun ada beberapa teori yang

diyakini sebagai etiologi terjadinya BP antara lain : 8

1. Teori iskemik vaskular.

Menurut teori ini, terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Terjadi

vasokonstriksi arteriol yang memperdarahi N VII sehingga terjadi iskemik, kemudian

diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat

terjadi transudasi. Cairan transudasi ini akan menekan kapiler limfe sehingga

menutup. Keadaan ini akan menyebaban pengeluaran cairan makin bertambah dan

akan makin menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi

iskemik.

2. Teori virus.

Penderita Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus, sehingga menurut

teori ini penyebab BP adalah virus. Perjalanan penyakit ini juga menyerupai viral

neuropathy pada saraf perifer lainnya. Beberapa virus yang dapat menimbulkan

infeksi menetap (laten) tanpa gejala adalah virus herpes simplek, virus influensa virus

varicella-zoster dan virus Epstein-Barr (keduanya termasuk herpes family). Reaktivasi

infeksi virus (dormant) diduga menimbulkan Bell’s palsy akut. Penelitian

menunjukkan bahwa aktivasi virus tersebut dapat dipicu oleh trauma, faktor

lingkungan, dan gangguan metabolik atau emosional. Dulu, paparan suasana/suhu

dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)

dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai

diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada

ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan

tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s

palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan

endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori

dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus

yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.1,3,9,10

3. Teori herediter.

Menurut Willbrand (1974), mendapatkan 6% penderita BP penyebabnya

adalah herditer, autosomal dominan. Keadaan ini mungkin karena kanalis fallopii

yang sempit pada keturunan tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk

terjadinya BP.11

4. Teori imunologi.

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus

yang timbul sebelumnya atau akibat dari pemberian imunisasi. Bell’s palsy dapat

disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor meteorologi seperti

suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa

pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset

bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan

iritasi nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam

patofisiologi penyakit ini adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV

yang merupakan salah satu teori terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan

perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan,

diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s palsy.10,11

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah

bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,

stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik

dan faktor genetik

Adapun mekanisme patogenesis terjadinya Bell’s palsy menurut Gates yaitu :7

Tipe I

Pada tipe I ini terjadi paresis ringan dan sebagian mengalami

kelumpuhan komplit.

Tipe II

Pada tipe II ini ditandai dengan timbulnya sinkinesis disertai gejala sisa

yang lain akibat degenerasi saraf. Sinkinesis ini terjadi akibat impuls dari

akson menyebar ke akson yang berdekatan sehingga terjadi kontraksi otot

yang seharusnya tidak dipersarafi.

Tipe III

Pada tipe III ini penyebabnya diawali dari timbulnya degenerasi

Wallerian yang terjadi akibat cidera akson pada nervus fasialis. Kerusakan ini

ditimbulkan oleh virus herpes zoster dalam ganglion genikulatum yang

berakibat gangguan sensoris 2/3 bagian anterior lidah.

PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi

salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang

menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari

saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari

tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang

menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang

unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa

mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi

supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras

kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah

somatotropik wajah di korteks motorik primer.8

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan

kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.

Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus

dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di

sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus

dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah

sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis

fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau

gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul

bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan

2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama

Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke

saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus

fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.8

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot

wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat

ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke

atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak

bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar

sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada

karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak

mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus

stapedius.8

Gb. Alur Etiologi Bell’s Palsy

GEJALA KLINIS

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Pada awalnya, penderita akan merasakan kelainan pada

mulut saat bangun tidur, gosok gigi atau berkumur. Otot muka pada sisi yang sakit tak

dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang. Nampak seluruh muka sisi

yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat dan kelopak mata tidak dapat

dipejamkan (lagoftalmos), bila penderita disuruh untuk menutup mata maka bola mata

akan tampak berputar keatas. Penderita akan sulit untuk bersiul atau meniup, bila

penderita berkumur atau minum maka air akan keluar dari sisi yang sakit.

Gejala dan tanda klinis dari paresis N. VII bersifat akut berhubungan dengan

tempat/lokasi dari lesi.5

a. lesi diluar foramen stilomastoideus.

Mulut tertarik ke arah sisi yang sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan

gusi, dan sensasi dalam di wajah hilang, lipatan kulit dahi hilang. Air mata akan

keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala klinis seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya pengecapan lidah

2/3 anterior dan berkurangnya salivasi pada sisi yang lesi. Keadaan ini akibat dari

terlibatnya n. intermedius. Ini menunjukan lesi di daerah antara pons dan titik dimana

korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan M Stapedius)

Gejala dan tanda seperti (a) dan (b) ditambah dengan adanya hiperakusia.

d. Lesi yang melibatkan ganglion genikulatum.

Gejala klinis seperti (a), (b) dan (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di

dalam liang telinga

e. Lesi di meatus akustikus.

Gejala klinis seperti di atas dan disertai dengan tuli sebagai akibat dari

terlibatnya nervus akustikus.

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda seperti diatas dan disertai dengan terlibatnya n trigeminus, n

akustikus dan kadang – kadang N. Abdusens, N. Aksesorius dan N. Hipoglosus.

Tabel. Gangguan neurologis berdasarkan letak lesi

Letak LesiKelainan

motorik

Gangguan

pengecapan

Gangguan

pendengaran

Hiposekresi

saliva

Hiposekresi

lakrimalis

Pons-meatus

akustikus internus+ +

+

tuli/hiperakusis+ +

Meatus akustikus

internus-ganglion

genikulatum

+ +

+

Hiperakusis + +

Ganglion

genikulatum-N.

Stapedius

+ +

+

Hiperakusis + -

N.stapedius-chorda

tympani+ + + + -

Chorda tympani + + - + -

Infra chorda

tympani-sekitar

foramen

stilomastoideus

+ - - - -

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen

stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang

sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media

perforata dan mastoiditis.

DIAGNOSIS

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese

dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata

dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.

Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat

LMN.4,5

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa

mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang

disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.4,5

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.

Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis

muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata

mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam

mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga

saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak

dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,

empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat

hanya setengah bagian lidah yang terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga

akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

b. Pemeriksaan fisik.

Paralisis pada wajah dapat disebabkan oleh berbagai macam hal sehingga

diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti termasuk diantaranya pemeriksaan

pendengaran, lokasi paresis, pemeriksaan radiologi, diagnosis elektroneurologi

serta eksplorasi bedah. Setiap paresis pada daerah wajah harus selalui

ditentukan terlebih dahulu apakah lesi termasuk kelainan UMN atau LMN.4

Cara membedakan lesi UMN dan LMN seperti pada tabel dibawah. Paresis

nervus fasialis antara lesi di sentral dan perifer dapat dibedakan seperti terlihat

pada gambar dibawah. 1,2

Tabel . Beda klinis kelainan fasialis UMN dan LMN

Lesi UMN Lesi LMN

Paresis unilateral dari gerakan volunter

wajah bagian bawah dengan

perkecualian m. frontalis

Kelemahan otot wajah kurang nyata

pada gerakan emosional dari gerakan

volunter

Refleks fasial : tetap/meningkat

Pengecapan 2/3 anterior lidah : tetap

Lakrimasi : normal

Paresis unilateral dari semua otot – otot

wajah

Derajat kelemahan wajah serupa pada

gerakan emosional dengan gerakan

volunter

Refleks fasial : menurun

Pengecapan : mungkin menurun

Lakrimasi : mungkin terganggu

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron

dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.

Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang

menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena

perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.

Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak

sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang

diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang

diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas

nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami

kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.

Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,

sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya

normal.

Untuk mengevaluasi kemajuan motoris penderita BP, SMF/bagian Ilmu Kedokteran

Fisik dan Rehabilitasi RSUP Dr. Kariadi Semarang menggunakan skala Ugo Fisch yang

menilai kondisi simetris – asimetris antara sisi sakit dengan sisi sehat pada 5 posisi. Posisi

yang dinilai adalah saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan bersiul

(tabel 1).1,12

Tabel 1. Penilaian fungsi motoris menurut Ugo Fisch

0%30%

70%

100%

Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteerSimetris : jelek. Kesembuhan yang ada cenderung ke asimetris komplit daripada simetris normalSimetris : cukup. Kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normalSimetris : normal/komplit

Selanjutnya besar persentasi masing – masing posisi wajah diubah menjadi nominal

(angka) sebagai berikut yaitu saat istirahat 20 poin, mengerutkan dahi 10 poin, menutup

mata 30 poin, tersenyum 30 poin dan bersiul 10 poin. Skore Ugo Fisch yang didapat yaitu

antara 0 dan maksimal 100. Untuk lebih jelasnya, tabel 2 memperlihatkan derajat

kelumpuhan otot – otot wajah menurut Fisch. Klasifikasi derajat kelumpuhan menurut

modifikasi Fisch terlihat pada tabel 3.13

Tabel 2. Derajat kelumpuhan otot wajah menurut Fisch

Kesimetrisan wajah Persentase Faktor NilaiSaat istirahat

Mengerutkan dahi

Menutup mata

Tersenyum

Bersiul

0%30%70%100%0%30%70%100%0%30%70%100%0%30%70%100%0%30%70%100%

2020202010101010303030303030303010101010

0614200371009213009213003710

Tabel 3. Klasifikasi kelumpuhan menurut modifikasi Fisch

Skore Fisch Klasifikasi

100

70 – 99

30 – 69

< 30

Normal

Baik

Sedang

Buruk

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan

diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c

dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita

diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun

ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.9

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamnesa dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke

diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi,

karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami

perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami

perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat

menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,

meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-

Scan harus dilakukan.

e. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &

kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA

menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan

kerusakan fasialis ireversibel.

f. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara

mengukur kecepatan hantaran listrik padan. fasialis kiri dan kanan.

g. Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya

otot-otot wajah.

h. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979)

menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana

yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

i. Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit

dengan stimulasi listrik

Pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.

Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi

khorda timpani atau proksimalnya.17

j. Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di

belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan

atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air

mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. Genikulatum

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gangguan pada nervus fasialis dapat

menyerupai BP. Diagnosis banding BP seperti terlihat pada tabel dibawah.

Penyakit Penyebab Faktor – faktor yang membedakanNukleus (perifer)Penyakit Lyme Spirochaeta

Borrelia burgdorferiRiwayat tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah endemis penyakit Lyme

Otitis media Bakteri pathogen Onset secara perlahan, nyeri di telinga, demam dan gangguan pendengaran konduktif

Sindroma RamsayHunt Virus herpes Zoster Nyeri yang semakin memberat, erupsi vesicular pada kanalis telinga atau faring

Sarkoidosis atau Sindroma Guilain Barre

Respons autoimun Kebanyakan bilateral

Tumor Supranuklear (sentral)

Kolesteatoma kelenjar parotis

Onset perlahan

Sklerosis multipel Demielinisasi Tambahan gejala neurologisStroke Iskemik/perdarahan Melibatkan anggota gerak sesisiTumor Metastasis/primer

di otakOnset kronis progresif, perubahan status mental dan riwayat keganasan

TERAPI

Medikamentosa

a. Agen antiviral.15

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan

efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada

etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan

digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena

itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis

dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika

diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

Nama obat

Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan

langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi

secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatric < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat

memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang

bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.15

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu

kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan

dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung

memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah

diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus.

Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3

hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya

dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan

peluang kesembuhan pasien.

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek

farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang

menurunkan kompresi nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikas

i

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,

jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit

tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan

klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat

menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan

metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);

monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat

diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat

memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat

menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia,

osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan

pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan

bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.17,18

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada

mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan

pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air

mata yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun

jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya

adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan

mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami

kontak langsung dengan kornea.

Teknik pembedahan daerah mata

Pada gangguan penutupan kelopak mata atas yang permanen, saat

dapat dilakukan operasi dengan teknik tarsorrhaphy atau canthoplasty yaitu

teknik mempertajam jarak antar kelopak mata sehingga akan memperbaiki

penutupan mata. Dapat pula dilakukan implantasi gold weight yang disisipkan

pada kelopak mata atas sehingga dapat membantu menutupnya kelopak mata.

Implantasi gold pada 16 penderita BP signifikan memperbaiki lagoptalmus

serta membantu penutupan kornea sebesar 100%. Jika terjadi keterlambatan

penutupan kelopak mata maka dapat dibantu dengan pemberian tetes mata.4,13

Kelainan pada kelopak mata bawah dapat menggunakan prosedur tarsal strip

lateral yaitu prosedur yang cocok untuk keadaan paralisis ektropion kelopak

mata bawah dengan teknik canthotomy lateral dan canthopexy medial yaitu

kondisi paralisis ektropion medial pada kelopak mata bawah yang diterapi

dengan teknik precaruncular canthopexy medial.16

Pembedahan

Intervensi bedah dapat menurunkan kompresi pada nervus fasialis. Dekompresi

melalui pembedahan berkembang dengan berbagai macam cara seiring kemajuan teknik

bedah. Tindakan ini dilakukan 12 bulan setelah terjadi BP karena diharapkan dapat

sembuh spontan. Pada tahun 1930 dekompresi dititikberatkan pada foramen

stilomastoideus dan saat ini difokuskan pada foramen meatal. Beberapa peneliti (Adour

2002; Gilden 2004; Grogan 2001; Peitersen 2002) menyatakan bahwa dekompresi pada

nervus fasialis dapat dikerjakan meskipun belum ada data klinis yang cukup. Pembedahan

pada middle fossa craniotomy dapat menyebabkan terjadinya kejang, tuli dan kerusakan

nervus fasialis. Di Amerika tindakan ini tidak rutin dilakukan (bukti D).1,4,12 Beberapa

teknik bedah dan waktu dilakukan pembedahan seperti terlihat pada tabel dibawah.16

Tabel . Waktu dan teknik bedah pada tatalaksana Bell’s palsy

Paralisis fasial akut

(<3 minggu)

Paralisis fasial intermediate

(3 minggu – 2 tahun)

Paralisis fasial kronis

(>2 tahun)

Dekompresinervus fasialis

Transmastoid

Middle-fossa

Translabirintine

Perbaikan nervus fasialis

Primary

Cable graft

Cross-face nerve grafting

Nerve transfers

Hypoglossal

Masseteric

Spinal accessory

Regional muscle

transfers

Temporalis

Masseter

Digastric

Free muscle transfer

Gracilis

Serratus anterior

Latissimus dorsi

Pectoralis minor

Rehabilitasi Medik

Fisioterapi

Salah satu penanganan atau pengobatan pada Bell Palsy ini adalah Fisioterapi.

Pedoman program fisioterapi yang dipakai di SMF / bagian ilmu kedokteran Fisik dan

Rehabilitasi RSUP Dr. Kariadi Semarang adalah :

Dua minggu dari onset, diberikan pemanasan dan pemijatan

Setelah dua minggu dari onset, diberikan latihan dan stimulasi listrik

Diantara modalitas yang efektif dan sering digunakan antara lain; terapi Infra Merah,

terapi Ultrasound, terapi Stimulasi Elektrik, Short wave diathermy, laser, massage, dan

excersise. Pemilihan modalitas yang sesuai tergantung pada pengalaman atau pilihan

fisioterapis yang berpengalaman.

Infra Merah19

Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan

fungsi, tetapi Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata

Penyinaran dengan sinar inframerah diberikan di daerah wajah, belakang telinga sisi

yang lumpuh. Waktu penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara

50 dan 75 cm.

Terapi Ultrasound19

Ultrasound didefinisikan sebagai getaran akustik dengan frekuensi di atas

kisaran yang dapat didengar (yakni,> 20.000 Hz). Ultrasound menggunakan energi

akustik frekuensi tinggi untuk menghasilkan efek panas dan nonpanas pada jaringan.

Sinyal ultrasonik biasanya dihasilkan dengan menggunakan efek piezoelektrik terbalik.

Kristal kuarsa tertentu dan keramik sintetis memiliki karakteristik piezoelektrik,

sehingga ketika mereka bergetar mereka dapat menghasilkan listrik .188 sebaliknya

ketika arus listrik dilewatkan Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve

trunk) di depan tragus telinga dan di daerah antara prosesus mastoideus dan

mandibula. Hal ini diterapkan dengan gerakan melingkar yang lambat dengan dosis

awal 1 watt per sentimeter persegi untuk 10 menit. Dosis dapat ditingkatkan pada sesi

berikutnya jika tidak ada peningkatan yang luar biasa dicatat. Perlu diketahui bahwa

gelombang ultrasound tidak dapat melintasi atau menembus tulang. Itu berarti bahwa

ultrasound memiliki penetrasi nol pada tulang. Secara nyata bahwa gelombang

ultrasound terpantul jauh dari tulang. Jadi tidak ada rasa takut dan khawatir jika terapi

ultrasound diterapkan pada wajah. Penerapan terapi ultrasound pada bell palsy Ini

hanya untuk jenis lesi saraf tepi (Lower Motor Neuron)

Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)19

Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk

mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan

akibat cedera tulang belakang (SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis

lainnya. Satu-satunya bentuk arus listrik yang digunakan pada wajah adalah arus searah

yang diputus-putus (Interrupted Direct Current) atau disebut juga Arus Galvanic,

apakah itu ada reaksi degenerasi atau tidak ada reaksi. Hal ini diminta hanya untuk

menjaga sebagian besar otot-otot wajah dan mencegah atrofi sambil menunggu untuk

reinnervasi dalam kasus axotomesis atau reconduction setelah neurapraxia jika saraf

tidak rusak sepenuhnya. Electrical stimulation (stimulasi listrik) ini diberikan 2 minggu

setelah onset, satu elektroda diletakkan di belakang telinga sisi yang lumpuh sedangkan

elektroda yang lain diletakkan berpindah – pindah pada otot wajah. Diberikan

rangsangan ½ - 2 mA hingga 20 – 50 kontraksi pada masing – masing titik, tindakan ini

dapat diberikan tiap hari. Teknik lain yang termasuk di dalam terapi stimulasi listrik

adalah pemberian electromyography biofeedback (EMG bio). Electrical stimulation dan

EMG bio lebih efektif diberikan pada BP kronis.20

  Tidak ada ruang bagi penggunaan arus faradik pada wajah karena bisa

menyebabkan kontraktur sekunder pada wajah. Selain itu, sebagian besar pasien merasa

tidak mampu menahan nyeri  pada wajah karena stimulasi sensorik yang tidak

nyaman. Hal  ini dikarenakan bahwa arus faradic memiliki frekuensi 50 siklus per

detik, sehingga menghasilkan kontraksi tetanik pada otot-otot yang

terangsang. Meskipun untuk saat ini adalah kontraksi otot arus faradic melonjak untuk

menghasilkan kontraksi alternatif dan relaksasi namun berhubung tipe tatanik pada

kontraksi yang menghasilkan 50 pulse hanya dalam satu detik, tidak diperlukan pada

wajah. Otot-otot wajah yang sangat tipis dan halus dan tidak bisa mentolerir jenis arus

ini yang dapat merusak dan menghasilkan kontraktur sekunder. Jika kontraktur

sekunder terjadi, semua bentuk stimulasi listrik harus ditinggalkan sementara untuk

menghindari kerusakan lebih lanjut pada otot. Wajah harus segera direnggangkan dan

dipijat lembut.

Gb. Peletakan elektroda ES pada Bell’s Palsy

Shortwave Diathermy19

SWD adalah modalitas yang menghasilkan pemanasan yang mendalam

melalui proses konversi energi elektromagnetik menjadi energi termal. Biasanya

digunakan frekuensi pada 27,12 MHz. Aplikasi SWD dapat digunakan dengan teknik

bipolar dan monopolar dimana pada teknik bipolar menggunakan aplikator kapasitif

dimana digunakan dua elektrode, elektrode pertama di pasang di daerah wajah dan

elektrode lain dipasang didaerah lain dari tubuh untuk menyempurnakan sirkuit yang

ada. Sedangkan teknik monopolar hanya mengunakan satu elektrode yang diaplikasikan

langsung didaerah yang akan diterapi. Dalam penggunaan SWD harus diberi handuk

sebelum diaplikasikan dengan elektrode untuk mencegah efek panas berlebih.

Laser

Secara umum efek terapeutik low-level laser dapat dibagi menjadi: 19

1. Efek analgesik dari mekanisme

pelepasan enzim-enzim dan endorfin

aktivasi makrofag

perbaikan mikrosirkulasi

stimulasi resorbsi edema

2. Biostimulasi dari mekanisme

vasodilatasi (terutama pada level mikrovaskuler) yang hanya terjadi pada

vasokonstriksi yang patologis

peningkatan aktivitas enzim yang menambah vasodilatasi kapiler lokal

dan memungkinkan normalisasi tekanan intra-ekstravaskuler

stimulasi makrofag (fagositosis), yg meningkatkan aktivitas antibakterial

stimulasi fibroblas, yang mempercepat penyembuhan jaringan

stimulasi supresor sel T selama ketidakseimbangan produksi antibodi,

yang menormalisasi kompleks imun

dosis yang biasa digunakan adalah pada panjang gelombang 808 nanometer

dengan power 400 mill watt selama 5 minutes dengan cara continuous.

Gb Aplikasi laser pada Bells Palsy

Massage

Pijat adalah manipulasi lapisan superficial otot dan jaringan ikat untuk

meningkatkan fungsi dan relaksasi otot dan kebugaran. Pada kondisi Bell’s palsy

massage diberikan dengan tujuan memobilisasi serabut-serabut otot di area yang

mengalami paralysis sehingga terjadi pergerakan pasif dari otot wajah dan

memberikan stimulasi gerak. selain itu juga berguna untuk mencegah terjadinya

kontraktur otot.

Kabat rehabilitation adalah teknik rehabilitasi kendali motorik yang berdasarkan pada

propioceptive neuromuscular facilitation (PNF). Terapis membantu kontraksi volunter

dari otot yang mengalami gangguan dengan streching kemudian menghambatnya

sambil memotivasi pasien melalui verbal dan kontak manual

Gambar. Teknik pemijatan menurut Kabat.

Exercise20

Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa

Mirror Exercise atau dapat menggunakan EMG biofeedback. Pasien diminta

untuk berdiri di depan cermin sambil berusaha untuk menggerakkan otot

wajah yang mengalami kelumpuhan. Fisioterapis akan mengajarkan bentuk-

bentuk latihan dan menentukan frekuensi atau dosis latihan yang dibutuhkan

pasien. Facial exercise ini dapat mencegah komplikasi sinkinesis. Facial

exercise ini dapat dilakukan dua kali sehari dengan cara menggerakkan otot-

otot mulut, hidung, mata, dahi, dan dagu. Dengan penanganan yang cepat,

tepat, akurat dan hebat maka bell’s palsy dapat disembuhkan

Tahap Selama Fase Pemulihan:

Teknik PNF digunakan untuk edukasi kembali pada otot-otot yamg

mengalami parese atau paralisis:

Peregangan cepat (quick stretch) dapat diterapkan untuk dapat membesarkan

alis mata dan gerakan sudut bibir.

Para fisioterapis dapat memberikan gerakan pasif dan kemudian meminta

pasien untuk menahan, dan kemudian mencoba untuk menggerakannya. goresan

dengan es, menyikat, menekan atau membelai cepat dapat diterapkan sepanjang

otot-otot.misalnya otot zygomaticus

O ccupational T herapy (OT)

Dasar pemberian program ini yaitu memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan

diberikan dalam bentuk aktifitas sehari – hari atau dalam bentuk permainan. Latihan ini

dilakukan bertahap sesuai kondisi penderita. Bentuk latihan yang diberikan antara lain

dengan latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,

latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin, mengucapkan huruf e dan i di

depan kaca serta latihan menutup mata serta mengerutkan dahi di depan kaca. Latihan ini

diberikan pada saat fase akut. Tujuannya yaitu melatih gerak volunter dapat kembali. Caranya

yaitu dengan menghadap cermin dan dengan konsentrasi penuh dilatih untuk mengerutkan

dahi, menutup mulut dan mengangkat sudut mulut.7

S osial M edik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.

Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik

dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara

waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk

masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui

keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas

yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.7

P sikologis

Rasa cemas yang menyertai penderita karena takut kelumpuhan ini akan sembuh atau

tidak sehingga dapat menyebabkan timbulnya depresi. Program yang diberikan yaitu

memberikan informasi tentang penyakit termasuk prognosisnya, mematuhi program

pengobatan baik keteraturan minum obat dan melakukan program fisioterapi lainnya. Pada

penderita yang mengalami depresi dapat dilakukan psikoterapi. Secara umum pengobatan BP

akan berhasil jika ditunjang oleh kondisi psikis penderita yang baik.7

O rthetik P rosthetic (OP)

Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit

tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi

kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum

ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk

mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.7

Gb. Kinesiotape pada Bell’s Palsy

Terapi Alternatif

Akupungtur

Di Cina, Bell’s palsy dikenal dengan nama penyakit Zhong Feng yang berarti wind

attack (serangan angin) dan saat ini sudah mulai dikembangkan pengobatan tradisional untuk

BP.5 Penelitian tentang pengobatan tradisional Cina (akupungtur dan obat herbal) untuk Bell's

palsy yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zhang dkk tahun 1991, Yang dkk

tahun 1994, Zang 1999, Stone 2002, Wolfe 2003, Zhou dkk tahun 2004 telah diakui oleh

beberapa situs resmi seperti Google dan Cochrane. Penelitian oleh Zhou dkk. tahun 2004

dengan menggunakan obat dan akupungtur pada 238 pasien memperlihatkan efek terapetik

akupungtur saja lebih superior daripada akupungtur yang dikombinasi dengan obat atau obat

saja. Meskipun hanya ada penelitian dengan metode penelitian yang kurang baik namun

dapat ditarik kesimpulan tentang efikasi akupungtur (bukti C). 21,22

Akupungtur Cina membagi paralisis nervus fasialis menjadi 4 stage yaitu : fase akut

(sampai dengan 7 hari) yang disertai gejala yang makin memburuk), fase stabil (istirahat)

yaitu pada hari ke 8 – 14, convalescence (>15 hari) disini terlihat mulai terlihat perbaikan

gejala dan fase kronik (>2 bulan). Pasien BP yang tidak mendapatkan terapi apapun selain

akupungtur maka sekitar 85% pasien memperlihatkan perbaikan dalam waktu 3 minggu dan

sisanya terjadi perbaikan sekitar 15% dalam waktu 3 – 5 bulan. Sekitar 66% dapat mengalami

perbaikan sempurna setelah 3 bulan.22

Injeksi toksin botulinum (botulinum toxin/BOTOX)

Botulinum toxin adalah suatu racun yang diproduksi oleh bakteri Clostridium

botulinum. Clostridium botulinum memproduksi 7 jenis toksin yaitu A sampai G namun yang

banyak dikenal yaitu botulinum toxin A (BOTOX®). Mekanisme kerjanya adalah membuat

paralisis melalui menghambat keluarnya asetilkolin pada neuromuscular junction yang terdiri

dari tiga langkah yaitu toksin akan berikatan dan berinteraksi dengan saraf tersebut dan

selanjutnya toksin akan melekat melalui enzim proteolitik internal. Hasil proses ini adalah

hambatan eksositosis asetilkolin. Dosis yang diberikan sebesar 1 standard unit dan dapat

diulang 1 minggu setelahnya dengan dosis 2,5 – 5 U. Toksin ini akan memberikan efek

setelah 24 – 72 jam.23,24

Injeksi Botox secara subkutan atau intramuskuler dapat diberikan pada kasus sinkinesis

dan spasme wajah. Pada penelitian dengan 10 pasien didapatkan 9 pasien memperlihatkan

perbaikan secara obyektif dan subyektif setelah diberikan injeksi pada periorbital. Pada

beberapa kasus diberikan injeksi Botox pada kelopak mata atas yang berfungsi membantu

turunnya kelopak mata secara temporer sehingga dapat memproteksi mata. Pada kasus ini

diperlukan pula konsultasi dengan dokter mata dan dokter bedah plastik jika diperlukan.11,12,24

Home Program

1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah

yang sehat

3. Latihan mandiri di rumah seperti :

ekspresi terkejut kemudian cemberut

menutup mata erat-erat kemudian dibuka lebar-lebar

tersenyum, menyeringai, dan berkata 'o'

mengatakan; e, i, o, u

menyedot dan meniup sedotan

meniup peluit, bersiul, dan bisa juga meniup lilin

4. Perawatan mata :

Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

KOMPLIKASI

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas

kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh

pasien.

Komplikasi yang dapat menyertai Bell’s palsy antara lain :7,18

è Kontraktur otot wajah; kontraktur ini biasanya tidak tampak pada saat otot wajah dalam

keadaan istirahat namun terlihat jelas saat wajah mengalami kontraksi. Lipatan nasolabial

akan terlihat lebih dalam dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang sehat. Spasme

otot terjadi jika penyembuhan inkomplit, dapat timbul 1 – 2 tahun setelah tejadi BP.

è Fenomena crocodiles tears/refleks gustatolakrimal/sindroma Bogorad’s yaitu keluarnya

air mata secara involunter dari mata sisi yang sakit saat mengunyah makanan. Komplikasi

ini timbul beberapa bulan setelah terjadi BP.

è Sinkinesis yaitu gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut otot

yang salah. Neuralgia genikulatum dapat juga terjadi yaitu neuralgia dari nervus fasialis

berasal dari nervus intermedius yang ditandai dengan rasa nyeri paroksismal di dalam dan

sekitar telinga.

è Tidak dapat menutup mata pada sisi yang sakit, keadaan ini dapat menimbulkan iritasi

dan ulserasi kornea. Mata harus mendapatkan lubrikasi agar tidak kering dan rusak.

è Hemifacial spasm

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)

dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.1,4 Pada stadium awal hanya mengenai satu

sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan

psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak

sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS

Prognosis BP tergantung dari waktu mulai terjadinya perbaikan. Semakin cepat

perbaikan memberikan prognosis yang lebih baik daripada yang perbaikannya lambat. Jika

perbaikan terjadi pada minggu pertama akan memberikan penyembuhan sempurna sekitar

88%, pada minggu kedua sekitar 83% dan pada minggu ketiga sekitar 61%. Prognosis yang

baik ditandai pula dengan terdapatnya pengecapan normal dan dapat menangis daripada

terdapatnya gangguan pada fungsi tersebut. Gilden dan Peitersen menyatakan prognosis

buruk bila didapatkan riwayat hipertensi dan DM sebelumnya.1,2

Secara keseluruhan dapat dikatakan prognosis paralisis fasial relatif baik. Lebih dari 80%

pasien dapat perbaikan komplit, sekitar 15% hampir perbaikan komplit dan kurang dari 5%

mempunyai kelemahan otot permanen setelah mengalami BP. Indikator buruknya prognosis

BP seperti terlihat pada tabel dibawah.12

Tabel. Indikator buruknya prognosis Bell’ palsy

Paresis komplit

Tidak ada perbaikan dalam 3 minggu

Usia >60 tahun

Nyeri hebat

Sindroma Ramsey Hunt

Kondisi yang dapat menyebabkan paresis nervus fasialis sekunder

Penurunan potensial aksi otot >50%

Katusic dkk. dan Schaitkin dkk. mendapatkan prognosis pasien BP relatif baik, dapat

sembuh total sebanyak 70-80% kasus, lumpuh sebagian 95 – 99% dan lumpuh total 50 – 60%

sedangkan Devriese dkk. pada tahun 1990 mendapatkan 30% kasus terdapat sekuele berupa

spasme wajah, kontraktur dan rasa baal. Pada prospektif Danish, suatu penelitian 25 tahun

oleh Peitersen tahun 2002 mendapatkan 70% kelumpuhan dapat sembuh sempurna dan

sisanya 30% sembuh sebagian. Kesembuhan terjadi mulai minggu ketiga sebanyak 85%

kasus dan antara tiga sampai lima minggu sebanyak 15%. Jika kesembuhan tidak terjadi pada

minggu keenam maka perlu dinilai tatalaksana selanjutnya.9

Sekitar 10% penderita BP akan mengalami serangan berulang dan biasanya akan mengenai

sisi yang sebelumnya sehat. Sekitar 23% penderita BP mengenai sisi kiri wajah dengan gejala

sedang sampai berat, spasme hemifasial, fenomena crocodile tears, kontraktur dan sinkinesis

(twitching involunter pada wajah atau blinking).7

Penelitian Kasse dkk. pada 1521 pasien BP yang mengacu skala House – Brackman

didapatkan prognosis pasien BP yang berusia kurang dari 30 tahun lebih baik daripada usia

diatas 60 tahun. Jenis kelamin dan sisi wajah yang terkena tidak berkorelasi dengan

prognosis. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan antara awal terjadinya

BP yaitu jika onset cepat maka mempunyai prognosis baik sedangkan onset progresif

mempunyai prognosis buruk.25

BAB III

KESIMPULAN

1. Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan unilateral nervus fasialis yang penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik) yang terjadi secara akut

2. Nervus fasialis berfungsi menggerakkan otot wajah, menstimulasi kelenjar ludah dan air

mata serta menginervasi 2/3 bagian anterior lidah.

3. Teori yang diyakini sebagai etiologi terjadinya Bell’s palsy adalah teori iskemik vaskuler,

teori infeksi virus, teori herediter dan teori imunologi

4. Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

5. Penatalaksanaan pasien Bell’s palsy dapat berupa observasi, obat – obatan, perawatan

mata, dekompresi saraf melalui pembedahan, rehabilitasi medik serta terapi alternatif

lainnya.

6. Komplikasi dari Bell’s palsy seperti kontraktur otot wajah, sinkinesis, fenomena crocodile

tears,dll.

7. Prognosis Bell’s palsy tergantung dari waktu mulainya terjadi perbaikan, semakin cepat

perbaikan prognosisnya lebih baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell's palsy. BMJ 2004; 329: 553 –

7

2. Gilden DH. Bell’s palsy. N Engl J Med 2004; 351: 1323 – 31

3. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam

Physician 2007; 76: 997 – 1002

4. Setyopranoto I. Manajemen Bell’s palsy terkini berdasarkan evidence based medicine.

In : Sjahrir H, Anwar Y, Kadri AS, editors. Neurology up date 2009. Medan;

2009.p.304 – 16

5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,

5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163

6. De Jong's, The neurologic examination. The facial nerve. 5th ed.p.181 – 200

7. Klein CM. Diseases of the seventh cranial nerve. In: Klein CM, editor. Diseases of the

seventh cranial nerve.p.1219 – 52

8. Anderson RG. Facial nerve disorders and surgery. SRPS 2001; 20: 1 – 41

9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam

Physician 2007; 76: 997 – 1002

10. Kanerva MT. Peripheral facial palsy. Helsinki: 2008.p.10 – 49

11. Sellars SL. Idiopathic facial nerve palsy 1983; 64: 379-81

12. Finsterer J. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol

2008; 265: 743 – 52

13. Bell’s palsy. Office practice in neurology. In: Samuel MA, editor. [Cited] at

www.books.google.co.id. Accessed on October 6th 2009

14. Beck DL, Hall III JW. Evaluation of the facial nerve via electroneuronography

(ENoG) The Hearing J 2001; 54: 36 – 44

15. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al.

Early treatment with prednisolone or acyclovir in Bell’s palsy. N Engl J Med 2007;

357: 1598 – 607

16. Mehta RP. Surgical Treatment of Facial Paralysis. CEO 2009; 2: 1 – 5

17. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam

Physician 2007; 76: 997 – 1002

18. Garanhani MR, Cardoso JR, Capelli AMG, Ribeiro MC. Physical therapy in

peripheral facial paralysis: retrospective study. Rev Bras Otorrinolaringol 2007; 73:

112 – 5

19. Braddom Randall L. Physical Medicine and Rehabilitation 4 Edition; Philadelphia:

Saunders, 2011;

20. River G. The treatment of Bell's palsy with acupuncture and Chinese herbs. [Cited] at

www.gancao.net. Accessed on October 3th 2009

21. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affairs

Ministry of Health. Physical therapy management for facial nerve paralysis. [Cited] at

www.pta-kw.com. Accessed on October 6th 2009.

22. Mayor DF. Electroacupuncture: An introduction and its use for peripheral facial

paralysis. J Chinese Med 2007; 84: 1 – 19

23. Mehta RP, Hadlock TA. Botulinum toxin and quality of life in patients with facial

paralysis. Arch Facial Plast Surg 2008; 10: 84 – 7

24. Malhotra PS. BOTOX (R) Injections to improve facial aesthetics. [Cited] at

www.emedicine.medscape.com. Accessed on October 6th 2009

25. Kasse CA, Ferri RG, Vietler EYC, Leonhardt FD, Testa JRG, Cruz OLM. Clinical

data and prognosis in 1521 cases of Bell’s palsy. IFOS 2003; 641 – 7