-REFLEKSI-KASUS-anestesi

8
REFLEKSI KASUS SYOK ANAFILAKTIK Nama : Febriana Putri Nara Heswari NIM : 20070310134 Stase : Anestesi dr. Pembimbing : dr. K. Trubus. P. Sp.An 1. Rangkuman Kasus I. Identitas Pasin Nama : Tn. BR Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 24 tahun Alamat : Gamping II. Pemeriksaan Subjektif : Pasien mengeluhkan rasa gatal di seluruh tubuhnya, sulit untuk bernafas, dan mual dan ingin muntah, sebelumnya pasien menerangkan bahwa dirinya di gigit serangga, kemudian gatal di daerah seluruh tubuh. Wajah dan kulit pasien terlihat kemerahan, hal ini mulai di rasakan 30 menit yang lalu . 2. Masalah yang dikaji - Patofisiologi syok anafilaktik? - Penanganan syok anafilaktif? 3. Analisis masalah - Patofisiologi syok anafilaktik Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan

description

resus

Transcript of -REFLEKSI-KASUS-anestesi

Page 1: -REFLEKSI-KASUS-anestesi

REFLEKSI KASUSSYOK ANAFILAKTIK

Nama : Febriana Putri Nara HeswariNIM : 20070310134Stase : Anestesidr. Pembimbing : dr. K. Trubus. P. Sp.An

1. Rangkuman KasusI. Identitas Pasin

Nama : Tn. BR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 24 tahun

Alamat : Gamping

II. Pemeriksaan Subjektif :

Pasien mengeluhkan rasa gatal di seluruh tubuhnya, sulit untuk bernafas, dan

mual dan ingin muntah, sebelumnya pasien menerangkan bahwa dirinya di gigit

serangga, kemudian gatal di daerah seluruh tubuh. Wajah dan kulit pasien terlihat

kemerahan, hal ini mulai di rasakan 30 menit yang lalu .

2. Masalah yang dikaji

- Patofisiologi syok anafilaktik?

- Penanganan syok anafilaktif?

3. Analisis masalah

- Patofisiologi syok anafilaktik

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,

Page 2: -REFLEKSI-KASUS-anestesi

serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

- Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

 

Page 3: -REFLEKSI-KASUS-anestesi

- Penanganan syok anafilaktikTindakan

- Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

- Obat-obatan- Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk

mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung

Page 4: -REFLEKSI-KASUS-anestesi

sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

- Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

- Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

-- Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid

tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.

- Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

- Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.

- Terapi Cairan- Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk

koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Page 5: -REFLEKSI-KASUS-anestesi

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

4. Dokumentasi

III. Pemeriksaan Objektif :

Urtikaria (+), Angiodema di sekitar bibir (+), Takikardi (+), Palpitasi (+), Takikardi (+), Hipotensi (+), Nyeri (+) di dada dan di perut.

Nadi / HR : 100 x/menit Suhu badan : 38OCTekanan darah: 100/60Pernafasan : 28 x/menit

5. Kesimpulan

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung

dan tekanan arteri yang menurun hebat. Didalam penanganan syok anafilaksis perlu

dilakukan dengan cepat dan tepat, terutama pada saat pasien sudah menampakkan

gejala urtikaria, karena akhir dari syok adalah henti nafas atau henti jantung yang

memerlukan perawatan yang lebih intensif kepada pasien. Untuk itu operator harus

faham gejala klinis dari syok anafilaksis dan penangan yang tepat untuk pasien.

6. Daftar pustaka

Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam, p: 190-193

Mansjoer A, Wardhani WI, Setowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. 3rd ed. Jilid 1.

2000. Jakarta : Media Aesculapus.p : 622 -1623

Penatalaksanaan syok anafilaktik in http://nursingbegin.com/penatalaksanaan-syok-

anafilaktik/ accessed in May 12 nd,2011