Post on 02-Jan-2016
description
Journal Review
GANGGUAN NEUROLOGIS PADA KEHAMILAN
Disusun Oleh: Margaretta
Moderator:
dr. Retnaningsih, SpS(K)-KIC
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FK UNDIP / RSUP Dr. KARIADI
2013
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................. i
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GANGGUAN NEUROMUSKULAR
1. Restless Legs ................................................................... 1
2. Miastenia Gravis ................................................................... 1
3. Distrofi Myotonik ................................................................... 3
B. PENYAKIT SARAF TEPI
1. Bell’s Palsy ............................................................................. 4
2. Sindroma Terowongan Karpal ................................................ 5
3. Meralgia Parestetika ................................................................ 5
C. PENYAKIT SEREBROVASKULAR
1. Epilepsi ................................................................................. 6
2. Stroke Iskemik ...................................................................... 8
3. Stroke Hemoragik ...................................................................... 11
4. Nyeri Kepala ...................................................................... 15
5. Multiple sklerosis ...................................................................... 16
6. Preeklampsia-Eklampsia .......................................................... 18
BAB III. KESIMPULAN ...................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif,
dapat pula dijumpai pada wanita hamil. Gejala yang ditemukan sangat kompleks,
dapat melibatkan kelainan fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler,
oleh karena itu harus dapat dibedakan dari penyakit psikiatrik. Diagnosis dan
penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit karena
keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum
ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang
berbahaya dari penyakit ini serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar
untuk menegakkan diagnosis yang akurat dalam penanganan lebih lanjut.
Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada
sistem saraf pusat. CT scan otak dan arteriografi bukan merupakan suatu
kontraindikasi mutlak untuk mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi
dari keterpaparan sinar X selama prosedur neuroradiologik. Bahan kontras
intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa melibatkan radiasi
ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan,
sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang
melibatkan radiasi dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko
terbesar dari myelografi terutama pada awal kehamilan.
Penanganan yang optimal dan efektif membutuhkan kerjasama beberapa
disiplin ilmu antara lain ahli obstetri atau fetomaternal dan ahli neurologi.
Keterlibatan ahli anestesia dibutuhkan pada saat persalinan untuk memberikan
anestesia yang tepat. Keterlibatan spesialis anak dibutuhkan lebih awal untuk
mengantisipasi kebutuhan neonatal dan perawatan bayi baru lahir yang adekuat.
Gangguan neurologis hanya sesekali terjadi kehamilan, dan komplikasi
serius jarang terjadi. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa kelainan
neurologis yang cukup sering terjadi meliputi gangguan neuromuskular, penyakit
saraf tepi, dan penyakit serebrovaskular.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GANGGUAN NEUROMUSKULER
1. Restless Legs
Keluhan penderita restless legs bukan nyeri melainkan perasaan tidak
nyaman yang terus menerus bilamana tungkai diam oleh karena itu penderita
menggerak-gerakan atau menggoyang-goyangkan tungkainya terus menerus
sehingga tampak seperti gelisah.1
Berjalan–jalan dan mandi air hangat sebelum istirahat dapat memperpanjang
periode laten dan cukup untuk menolong penderita tertidur. Untuk Restless Leg
berat selama kehamilan, pemberian Carbidopa / L-Dopa 25mg / 100mg dosis
tunggal mungkin efektif menanggulangi sindroma in. Pada ibu hamil diperkirakan
kurang lebih 10 – 30 % mengalami Sindroma Restless Legs selama trimester akhir
kehamilan. Gangguan ini timbul 30 menit setelah penderita baring. Konsumsi
kafein yang berlebihan dan anemia memicu timbulnya sindroma tersebut.
Suplemen asam folat peroral (500 mg perhari) menurunkan frekuensi Restless
Leg, selain itu potensi teratogeniknya cukup rendah. 1
2. Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh
kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan
pulih kekuatannya setelah istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai
beberapa jam, akibat penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction. Prevalensi penyakit ini adalah 1 dari 10.000 hingga 1 dari 50.000
penduduk, dimana 65-70 % dari individu yang terkena adalah wanita produktif.2
Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya
terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas
tanpa disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20%
ditemukan kesulitan mengunyah dan menelan.2
1
2
Selama kehamilan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3
dapat memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Battocchi et al mempelajari 47
wanita hamil dengan MG didapatkan hasil 42% memiliki gejala klinik yang
menetap, 39% membaik dan 19% memburuk. Beberapa wanita bahkan
membutuhkan obat imunosupresif selain dari obat antikolinesterase untuk
mengontrol gejala tanpa henti. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi,
penelitian terakhir melaporkan 41% terjadi selama kehamilan dan 30% terjadi
pada waktu nifas. MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 %
menyebabkan kematian ibu. Timbulnya MG pada suatu kehamilan bukan
merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan berikutnya.2
Polizzi et al melaporkan kejadian 21% neonatal transient myasthenia gravis
(TNMG) pada bayi yang lahir dari ibu dengan MG. Dalam laporan ini, 67%
terjadi dalam beberapa jam pertama setelah lahir dan 78% dalam 24 jam pertama
kehidupan neonatus. Onset lebih dari 3 hari setelah lahir belum pernah dilaporkan.
Secara klinis, terdapat 2 bentuk TNMG yaitu: khas (71%) dan atipikal (29%).
Gambaran klinis dari bentuk atipikal termasuk adanya arthrogriposis multipleks
congenital (AMC) pada janin atau bayi baru lahir, poor sucking, dan hipotonia
general. Tingkat keparahan AMC pada bayi adalah bervariasi dan tidak
berhubungan dengan tingkat keparahan MG ibu selama kehamilan. Gejala yang
timbul lainnya antara lain gangguan menelan (87%), kelemahan (69%), kesulitan
pernapasan (65%), feeble cry (60%) dan parese facialis (54%).3
Penanganan MG pada kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan,
kurangnya data yang tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin
intravena selama kehamilan. Pemberian magnesium sulfat merupakan kontra
indikasi pada MG dengan kehamilan karena akan meningkatkan kelemahan otot
dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan membran
postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia dengan
MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada
MG.4
Otot polos rahim tidak terpengaruh oleh MG. Durasi persalinan tidak
berbeda secara signifikan pada wanita hamil dengan MG. Tindakan intervensi
3
4
seperti vakum ekstraksi atau sectio caesaria biasanya dilakukan untuk alasan
obstetri. Namun, beberapa penulis merekomendasikan penggunaan forsep untuk
mengurangi kelelahan ibu. Pasien MG sangat sensitif terhadap pengobatan muscle
relaxan non-depolarizing. Oleh karena itu, anestesi umum biasanya dihindari.
Periode post partum berbahaya, sebanyak 30% dari wanita hamil dengan MG
memiliki gejala eksaserbasi dalam waktu 3 minggu setelah persalinan, sehingga
disarankan untuk observasi setidaknya 10 hari.4
Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan
Azathioprine diekskresi melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif
dan potensi tumorigenik oleh karena itu sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga
disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang kecil, Obat anticholinergic
dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui.4
3. Distrofi Myotonik
Myotonia merupakan kelainan genetik autosomal yang bersifat dominan
yang ditandai dengan kelemahan otot, keadaan ini disebabkan karena relaksasi
yang tertunda dari otot yang terkena akibat abnormalitas membran serabut otot.
Fenomena klinik dicirikan berupa kontraksi otot yang berkepanjangan mengikuti
kontraksi volunter, pukulan (mekanik) atau elektrik pada otot tersebut, keluhan
penderita berupa tangan kaku, tidak mampu mengendorkan genggaman, gangguan
bicara, atrofi maseter dan sternokleidomastoideus, ptosis, katarak dan suara
melemah.5
Myotonia baik yang merupakan distropi myopati maupun myotonia
kongenital, sering meningkat selama pertengahan trimester dua kehamilan.
Distropi miotonik ada kaitannya dengan penyakit jantung, dengan gejala berupa
gangguan sistem konduksi, aritmia atau penyakit jantung kongestif, sedangkan
distropi miotonik kongenital umumnya bersifat hipotonia dan kelemahan yang
menyeluruh. Otot-otot pernapasan mungkin terkena sehingga menyebabkan
kesulitan bernapas pada neonatus. Kematian neonatus sering ditemukan, tetapi
bila dapat bertahan dalam minggu-minggu awal kelahiran, umumnya akan
memperlihatkan perbaikan. Walaupun demikian, prognosis jangka panjang
5 Grella P, Santarossa C, Pennazzato S, Bonanni G, Menegazzo E, Angelini C. Pregnancy, Labour, and Delivery in Myotonic Distrophy. Basic Appl. Myol 1997; 7(5):351-355
umumnya buruk. Distropi miotonik kongenital umumnya ditemukan pada bayi
dengan ibu yang mengalami distropi miotonik.5
Kontraksi uterus yang tidak efektif, persalinan prematur dan presentasi
bokong sering merupakan komplikasi dalam persalinan. Oxytocin dapat
merangsang uterus yang miotonik untuk memperbaiki kontraksi. Anestesi
regional lebih disukai daripada anestesi umum. Setelah persalinan disfungsi uteri
hipotonik menyebabkan meningkatnya risiko retensio plasenta dan perdarahan
post partum. Setengah dari anak yang lahir dari ibu dengan myotonia mewarisi
kelainan tersebut.6
Penanganan sebelum kehamilan dan antenatal berupa pemeriksaan EKG dan
tes fungsi paru harus dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya gejala dan tanda
aritmia. Aktivitas fisik sebaiknya dikurangi untuk memperlambat progresifitas
dari gejala. Konseling genetik dan pemeriksaan DNA sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan USG secara serial dilakukan untuk menghitung volume cairan
amnion.6
Selain risiko terjadinya persalinan prematur, disfungsi otot polos uterus dan
gangguan proses persalinan. Hal ini dapat diatasi dengan augmentasi his dengan
oksitoksin dan biasanya memberikan hasil yang efektif. Mempersingkat kala II
dilakukan pada wanita dengan kelemahan yang nyata. Perdarahan postpartum
merupakan komplikasi yang tersering dan harus diantisipasi. Kelemahan otot-otot
pernapasan dapat terjadi dan harus dipertimbangkan dalam pemberian analgesia /
anestesia. Anestesia lokal atau regional lebih disukai. Adanya risiko terjadi apneu,
membuat bahan narkotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Obat penghambat
neuromuskuler non-depolarisasi sebaiknya dihindari sebab kontraktur otot
generalisata menyulitkan penanganan jalan napas. Ahli pediatrik harus berada di
ruang bersalin untuk memberikan resusitasi dan ventilasi neonatal. 6
B. PENYAKIT SARAF TEPI
1. Bell’s Palsy
Hubungan antara bell’s palsy dengan kehamilan ditemukan pertama kali
pada tahun 1830 oleh Sir Charles Bell. Tingkat prevalensi Bell’s palsy pada
6 Longman C. Myotonic Distrophy. J R Coll Physicians 2006;36:51-55
kehamilan diperkirakan mencapai 45,1 kasus per 100 000 wanita, jauh lebih tinggi
dibanding populasi wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali
lebih banyak.7
Insidensi bell’s palsy lebih tinggi pada trimester ketiga kehamilan karena
terjadi peningkatan volume cairan ekstraselular ibu yang menyebabkan edema
perineural hingga mengenai nervus fasialis. Berdasarkan beberapa penelitian
dikatakan kejadian bell’s palsy berhubungan dengan pre - eklampsia (22%) dan
hipertensi gestasional (7,3%). Pre-eklampsia sering bermanifestasi dengan edema
subkutan dan sistem jaringan, mungkin menciptakan suatu efek
neurocompressive. Penjelasannya mungkin terkait keadaan hiperkoagulasi terkait
dengan pre-eklampsia, yang mengakibatkan trombosis dari vasa nervorum,
sehingga menyebabkan iskemik saraf dan paralisis. Namun dari semuanya itu,
etiologi bell’s palsy masih tetap tidak diketahui pasti karena bersifat
multifaktorial.7,8
Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya namun terapi
kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien dengan
parese facialis yang komplit. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat
membantu untuk menilai prognosis, jika denervasi melebihi 10 hari maka
penyembuhan lebih lama bahkan mungkin sembuh tidak sempurna.8
2. Sindroma Terowongan Karpal
Sindroma terowongan karpal terjadi akibat kompresi atau terjebaknya
nervus medianus pada carpal tunnel dipergelangan tangan. Diperkirakan kurang
lebih 1/5 ibu hamil mengalami CTS sewaktu hamil utamanya pada akhir trimester
ketiga, gejalanya berupa rasa baal / parestesia pada jari ketiga dan keempat tangan
pada malam hari saat ingin tidur. Faktor predisposisi terhadap keadaan ini adalah
peningkatan berat badan yang berlebihan dan retensi cairan. Oleh karena ibu
hamil dengan sindroma terowongan karpal dapat diharapkan gejalanya membaik
7Eclampsia. Q J Med 2002; 95:359-3628 Aggarwal J, Singhal V.P, Bansal S. Pregnancy with Facial Palsy-Complete Recovery Following Late Corticosteroid Administration. International Journal of Gynae Plastic Surgery 2003; IV (I) 41-43
setelah persalinan maka terapi konservatif merupakan pilihan berupa istirahat dan
membebat pergelangan tangan.
3. Meralgia Parestetica
Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis
lateralis akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentum inguinale. Keluhan ini
dapat timbul pada usia kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan
meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa baal, tidak enak, rasa terbakar
atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit neurologik
lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas,
lordosis dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut.
Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik
dalam 3 bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau
injeksi steroid – lidokain dapat berguna.
C. PENYAKIT SEREBROVASKULER
1. Epilepsi
Insidens epilepsi pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus
frekuensi serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat
kehamilan. Meningkatnya frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester
terakhir.9
Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap
sebagai penyebab meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme
hepar yang meningkat, absorpsi gastrointestinal yang menurun serta peningkatan
konsentrasi estrogen dan progesteron mempercepat metabolisme enzim.
Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan konsentrasi obat
dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site
yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu kadar
konsentrasi obat antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali
tiap trimester, dalam bulan terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum.
Pemantauan kadar konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering
pada frekuensi kejang yang tinggi, terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya
9 Japardi I. Epilepsi pada Kehamilan. USU Digital Library. 2002
kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat peningkatan frekuensi kejang atau status
epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus dibuat untuk mengontrol
kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik saat
mendekati aterm. Untuk menghindari toksisitas dosis obat sebaiknya diturunkan
setelah 1 bulan postpartum.10
Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan 9,10
Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi
selama kehamilan adalah :
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom
epilepsi.
2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.
3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat
keluarga tentang defek neural tube.
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine
dan fenobarbital.
5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin,
periksalah kadar OAE bebas atau terikat.
6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma
normal dan kadar folat sel darah merah selama periode organogenesis pada
trimester pertama.
7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi.
Bagilah obat tadi 3 – 4 kali pemberian setiap harinya.
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu
dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18 – 19 minggu, untuk
mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu
dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.
Komplikasi janin
10 Harden C.L, Pennell P.B, Koppel B.S. Practice Parameter Update: Management Issues for Women with Epilepsy-Focus on Pregnancy. Journal of the American Academy of Neurology 2009;73:142
Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal
asphyxia” dan trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus
dan persalinan prematur. Bayi baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama
kehamilan berisiko untuk penyakit perdarahan. Defisiensi vitamin K yang
tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan pemberian
antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian vitamin K intra
muskuler secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi
kongenital pada bayi baru lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebanding
dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.9
2. Stroke Iskemik
Stroke iskemik sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu
pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal
postpartum. Oklusi arteri akuta terjadi pada 60–80% stroke iskemik dalam periode
kehamilan dan post partum. Faktor risiko untuk stroke iskemik meliputi
hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik
belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam kehamilan dikaitkan
dengan hiperkoagulabilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai faktor
yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati,
kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain
seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. 11
Tabel 1. Faktor resiko stroke dalam kehamilan
11 Zotto E.D, Giossi A, Volonghi I, Costa P, Padovani A, Pezzini A. Ischemic Stroke during Pregnancy and Puerperium. 2011, Article ID 606780, 13 pages doi:10.4061/2011/606780
Trombosis vena serebral lebih sering terjadi pada masa nifas. Trombosis
sinus sagitalis yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer
pada vena kortikal merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis
sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala yang progresif disertai mual
dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan
intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Angka
kematian trombosis vena serebral diperkirakan 25 %.12
Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara
(< 24 jam) atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia
serebral. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan
informasi yang cukup untuk menegakkan diagnosis. Pencitraan (imaging) untuk
menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi.12
Gambar 1. Waktu terjadinya infark pada periode kehamilan
Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa
serum, blood urea nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin,
faktor reumatik, VDRL dan pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan
darah lainnya seperti protein C dan S dan antitrombin, resistensi protein C aktif
dan polymerase chain reaction (PCR) untuk faktor V Leiden, bersama-sama
12 World Stroke Academy. Pregnancy Related Stroke and Its Management [Internet].c2010 [cited 2012 oct 31]. Available from: http://www.world-stroke-academy.org/pdf/WSA_Pregnancy_related_stroke_learning%20Module.pdf
dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan
toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal
dari jantung, EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis
venosus profunda diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga
direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan
angiografi serebral. 12
Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik
dibutuhkan pada keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin
merupakan obat pilihan. Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek
samping berupa embriopati pada trimester pertama dan potensial untuk
perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta dan kerjanya lebih
singkat daripada warfarin. Pemberian warfarin bila heparin tidak memungkinkan
adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-
hati. Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripartum menjadi
lebih mudah dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin
selain perdarahan adalah trombositopenia dan osteopenia. 12,13
Dosis profilaktik untuk heparin cenderung meningkat selama kehamilan dan
makin meningkat sehubungan dengan peningkatan usia kehamilan. Dosis tipikal
adalah 7500 – 10.000 IU/ml subkutan tiap 12 jam, untuk mencapai kadar heparin
plasma 0,2 – 0,4 Iu/mL atau activated partial thromboplastin time (aPTT) rasio
1,5 kali dari nilai kontrol 6 jam setelah pemberian. Untuk profilaksis, Toglia dan
Weg menganjurkan regimen yang sama sebab hiperkoagulopati yang
dihubungkan dengan kehamilan adalah 7500 – 10.000 IU 2 kali sehari untuk
mencapai kadar heparin plasma dalam 6 jam adalah 0,1 – 0,2 IU/mL. Pemeriksaan
faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin harus
dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang
mutlak. Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan
heparin sudah diihentikan 4 – 6 jam sebelumnya. Akhir-akhir ini heparin dengan
molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan. LMWH memberikan efek
antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah dan
mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin
dan neonatal karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil,
walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk
durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga
menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan
selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik
serebral. 13,14
Terapi optimal untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih
diteliti. Bebarapa penulis merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah
(60-80 mg/hari) dan heparin selama kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid,
imunosupresi atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak
direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan
heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik. 13,14
Terapi trombolitik untuk stroke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati.
Efek penggunaannya pada kehamilan dan saat menyusui belum diketahui.
Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen
dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian
penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan
aman, walaupun terdapat peningkatan insidensi solusio plasenta. 13,14
Tabel 2. Overview terapi stroke iskemik pada kehamilan dan puerperium
3. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan
subarahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non
obstetrik nomor tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh ruptur aneurisma,
AVM, eklampsia atau pemakai kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia,
hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia, ruptur AVM, thrombosis
vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinoma. 13
Tabel 3. Penyebab ICH dan SAH dalam kehamilan
Aneurisma serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri
carotis interna. Diperkirakan 1% wanita usia reproduksi mempunyai aneurisme
serebral, kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara
klinis gambaran khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang
hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan
koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50% mengalami
perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa
bulan sebelumnya. 13
Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir
menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada
insidens ruptur. Penelitian lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih
banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85
% berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab
perdarahan 50% pada kehamilan dan 10% pada penderita tidak hamil.
AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum.
Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka
kematian dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian
keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang
tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral
dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda. 13
Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering
menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran.
Adanya kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT
scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan
pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe
perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal,
pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia.
Cairan serebrospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi
dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral
merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentuan adanya abnormalitas
vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan adanya penyebab
SAH pada 20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang untuk
menghilangkan false-negatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.13
Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya
sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan
mengobati komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4
hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil
luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan
pada penderita yang hamil. Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna,
kurang memungkinkan untuk dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab
dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien memerlukan terapi
medikamentosa sampai keadaan membaik.14
Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial
disebabkan karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat
diterima adalah melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.
Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum
dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan
risiko ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal
merupakan ancaman bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium
13 Jaigobin C, Silver F.L. Stroke and Pregnancy. Journal of The American Heart Association 2000;31:2948-295114 Morgenstern L.B, Hemphill J.C, Anderson C, Becker K, Broderick J.P, Connoly E.S. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage : A Guideline for Healthcare Professional. Journal of the American Heart Association 2010;41:2108-2129
nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian,
pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik sianida terhadap
janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek
hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal health
monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung
menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu.
Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena
itu menyulitkan interpretasi fetal health monitoring. Hiperventilasi yang
berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium
nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa
penulis menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah
matur.15
Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk
melindungi otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka
retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat
ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan
dengan hipotermi dan hipotensi masih kontroversi. 15
Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien
ditempatkan pada ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses,
sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu dihydropyridine calcium channel blocker
sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan
untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya
belum sepenuhnya diakui. 15
Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan asam traneksamat digunakan untuk
menghambat aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik
utama dan menurunkan insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik,
tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan
karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi
fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan hyalin
membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini. Glukokortikoid yang
paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati edema
serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan
hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 15
Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral,
sehingga harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan
oleh edema serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan.
Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap
mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg. 15
Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneurisma atau
AVM, dianjurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM
menjadi penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi. 15
4. Nyeri kepala
Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya ringan tapi
kadang-kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil,
untuk itu perlu dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala
tersebut antara lain preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol,
pheochromocytoma, perdarahan subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor
serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara lain ensefalitis dan
meningitis.15
Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri
kepala tipe tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik
yang dirasakan seperti diikat, ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud
rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral, intensitasnya dari ringan sampai
sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan stres situasional,
selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren merupakan
nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat
disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas
fisik, gejala tambahan meliputi nyeri kepala saat menstruasi. Insidens migren 3 –
5 % dari populasi umum namun pada 80 % kasus membaik saat penderita hamil.16
15 Menon R, Bushnell C.D. Headache and Pregnancy. The Neurologist 2008; 14(2):108-11916 Aegidius K, Zwart J.A, Hagen K, Stouner L. The Effect of Pregnancy and Parity on Headache Prevalence: The Head-HUNT Study. Journal American Headache Society 2009; 49:851-859
Diagnosis NKTT dan migren ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pemeriksaan CT Scan kepala
sebaiknya dihindari kecuali dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.16,17
Secara umum tujuan penanganan nyeri kepala adalah mengidentifikasi
etiologi atau faktor predisposisi, mengurangi / menghilangkan nyeri dengan obat
yang kurang toksik terhadap ibu dan janin, dan mengurangi berat dan frekuensi
serangan. Pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana yaitu
Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik
dan pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat
menolong dan tidak menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan
Benzodiasepin reguler sebaiknya dihindari. Kenyataan bahwa sebagian besar obat
dapat melewati sawar plasenta dan dapat berpengaruh terhadap janin
menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama kehamilan. Penderita
dengan fungsi harian yang tetap berjalan normal tidak membutuhkan penanganan
yang bermakna, pengobatan nonfarmakologik dianjurkan. Sejumlah strategi
seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan serangan. 16,17
Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan
kontraindikasi selama kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan
gangguan vaskuler pada janin, Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan
secara intravena sangat efektif dalam penanganan migren namun termasuk kelas C
dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau acetaminophen dengan codein
juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang meperidine, morfin dan
hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin dan NSAID
sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin
dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren
rekuren dapat diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun
demikian karena propranolol dapat melewati plasenta dan mengakibatkan
bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi pada migren refrakter. 16,17
5. Multiple Sklerosis
Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinisasi yang
mengenai sistem saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang
bervariasi. Kelainan ini sering ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak
insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali lebih banyak dari pada pria.
Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan
disfungsi neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang
rekuren dengan ekserbasi dan remisi.17
Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan
keseimbangan pada saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan
kelelahan. Hampir 40% penderita mengalami neuritis optik selama perjalanan
penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruh
pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun sejalan dengan
bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS
mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.18
Tabel 4. Pengaruh multipel sklerosis pada kehamilan
Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti
interferon) terhadap janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan.
Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus gravid mungkin memperburuk fungsi
kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama kehamilan sering meningkat
seiring meningkatnya kontraksi uterus.18
17 M.Lee, P O’Brien. Pregnancy and Multiple Sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;79:1308-131118 Fragoso Y.D, Finkelsztein A, Frota E.R.C, Gama P.D, Grzesiuk A.K, Khouri J.M.N et al. Pregnancy and Multiple Sclerosis. Arq Neuropsiquiatr 2009; 67 (3-A):657-660
Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan
konseling harus dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit.
Kenyataan bahwa kebanyakan penderita mengalami perbaikan seiring
bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan untuk
menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita
juga harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko
untuk menderita penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk
penyakit ini. Kortikosteroid hanya dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi
tidak dapat memberikan perbaikan yang menetap. Pengobatan yang digunakan
untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer acetat, interferon ß1b dan
interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini pada
kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan. 19
Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan
meningkatnya aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan
karena kurangnya informasi. Bila terdapat gangguan pada saluran kemih, maka
perlu dilakukan skrining untuk pemeriksaan bakteriuri. Terapi fisik dan latihan
peregangan harus tetap dilakukan. 18,19
Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh
terrhadap proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa
kehamilan membutuhkan penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim
digunakan adalah 100 mg perenteral setiap 8 jam. Kelelahan ibu pada kala II
dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum ekstraksi. Dulu,
penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan risiko
eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian
pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan.
Menyusui tetap dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau
memperberat relaps postpartum. 18,19
6. Preeklampsia - Eklampsia
Eklampsia adalah salah satu penyebab paling umum kematian ibu. Di
negara maju, insidensi sekitar 0,05-0,2 % dari kehamilan dan meningkat menjadi
1% di negara berkembang. Preeklamsia atau toksemia gravidarum adalah
kompleks gangguan yang terdiri atas hipertensi, oedema, disertai proteinuria
setelah kehamilan 20 minggu. Tekanan darah dianggap tinggi apabila lebih besar
dari 140/90 mmHg atau jika tekanan darah diastolik meningkat 15-25 mmHg
dibanding sebelum hamil. Proteinuria didefinisikan sebagai kadar protein urin
lebih besar dari 300 mg per 24 jam atau 30 mg / dL pada sampel urin. Eklampsia
adalah kelainan akut pada wanita hamil yang ditandai dengan timbulnya kejang
atau koma. Kejang dapat muncul dalam bentuk fokal motorik atau general tonik
klonik, biasanya muncul dalam 24 jam pertama post partum. 19
Perubahan neuropatologikal pada eklampsia meliputi edema subarachnoid
difus, perdarahan serebral, perdarahan subkortikal, dan mikroinfark pada beberapa
tingkat dari neuraxis. Beberapa pasien dengan eklampsia mengeluhkan gangguan
visual yang berhubungan dengan perubahan pada korteks visual atau vasospasme
serebral. Faktor metabolik atau hipertensi encefalopati dapat berkontribusi pada
patogenesis eklampsia.20
Pada kondisi pre-eklampsia dan eklampsia berat, tujuan utama adalah
menghentikan berulangnya kejang dan terminasi kehamilan dengan cara yang
aman. Strategi pengobatan meliputi kontrol autoregulasi serebral, penurunan
edema otak, dan penanganan kejang. Penggunaan magnesium sulfat banyak
digunakan karena terbukti memiliki efek antikonvulsan. Kejang harus segera
diatasi dengan diazepam intravena, dan fenitoin atau chlormethiazole untuk
mencegah kejang berulang. Disarankan untuk rawat bersama dengan neurologis
untuk manajemen kejang dan kejadian serebrovaskular.20,21
Penegakan diagnosis sebagian besar dengan gejala klinis, namun dapat
diperkuat dengan pencitraan otak. Temuan MRI pada eklampsia meliputi
hipertensi ensefalopati dengan leukoencephalopathy posterior. Pencitraan dapat
mengungkapkan infark, perdarahan, edema, dan bahkan herniasi atau
hidrosefalus. Pola pencitraan yang khas adalah edema materi serpiginosa
subkortikal putih dengan kecenderungan untuk zona DAS posterior dan ujung-
19 Sawle G.V, Ramsay M.M. The Neurology of Pregnancy. J Neurol Neurosurgery Psychiatry 1998; 64:711-72520 To W.K, Cheung R.T.F. Neurological Disorders in Pregnancy. HKMJ 1997;3:400-8
ujung lobus oksipital. Edema serebral biasanya reversibel dengan pengobatan
hipertensi, biasanya terjadi selama beberapa hari. 20,21
Manajemen diarahkan pada perawatan intensif hipertensi, jika perlu dalam
perawatan unit intensif. Terapi meliputi labetolol, hydralazine, atau nifedipin.
Magnesium sulfat dapat menghentikan kejang berulang dan bertindak sebagai
suatu antikonvulsan. Pemberian diazepam bolus intravena 10 mg dalam waktu > 2
menit diikuti dengan infus 40 mg dan 500 mL saline normal selama 24 jam.
Fenitoin diberikan intravena dosis 1 gram dilanjutkan 100 mg setiap 6 jam selama
24 jam. Pengobatan ini menunjukkan penurunan kejadian kejang berulang 52%
setelah pemberian magnesium sulfat dibandingkan dengan diazepam dan
penurunan sebanyak 67% dibandingkan dengan fenitoin. 20,21
BAB III
KESIMPULAN
Kelainan neurologik cukup sering dijumpai pada wanita hamil. Diagnosis
dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit
karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang
umum ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena resiko terhadap
janin.
Gangguan neuromuskular memiliki pengaruh tidak saja terhadap kehamilan
namun juga persalinan dan pasca persalinan. Dibutuhkan beberapa alternatif
tindakan agar persalinan dapat berjalan aman dan tidak membahayakan ibu dan
janin. Prevalensi penyakit saraf tepi dalam kehamilan cukup tinggi, terjadi seiring
dengan bertambahnya usia kehamilan. Terapi yang diperlukan bersifat konservatif
karena gejala akan hilang setelah persalinan. Gangguan serebrovaskuler
membahayakan kehamilan dan janin sehingga membutuhkan penatalaksanaan
yang serius baik dari segi keamanan dan efektivitas obat.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar
untuk menegakkan diagnosis yang akurat dalam penanganan lebih lanjut.
Prosedur pencitraan (imaging) juga harus dipertimbangkan. Penanganan yang
optimal dan efektif membutuhkan kerjasama beberapa disiplin ilmu antara lain
ahli obstetri atau fetomaternal dan ahli neurologi.
DAFTAR PUSTAKA
1. G.G.Lennox. Neurological Disease in Pregnancy [internet]. c2010 [cited 2012 Oct 31]. Available from: http://www.health.am/pregnancy/neurological-disease/
2. Anan G.D, Lionel J, Alkandari M.H. Myasthenia Gravis with Pregnancy. Kuwait Medical Journal 2005;37(2):127-129
3. Zenteno J.F.T, Ronquillo L.H, Salinas V, Estanol B, Silva O. Myasthenia gravis and pregnancy: clinical implications and neonatal outcome. BMC Musculoskeletal Disorders 2004;5:42
4. Rajab K.E, Skerman J.H, Issa A.A. Pregnancies Complicated by Myasthenia Gravis. Bahrain Med Bull 2002; 24(2)
5. Grella P, Santarossa C, Pennazzato S, Bonanni G, Menegazzo E, Angelini C. Pregnancy, Labour, and Delivery in Myotonic Distrophy. Basic Appl. Myol 1997; 7(5):351-355
6. Longman C. Myotonic Distrophy. J R Coll Physicians 2006;36:51-55
7. Shmorgun D, Chan W.S, Ray J.G. Association Between Bell’s Palsy in Pregnancy and Pre Eclampsia. Q J Med 2002; 95:359-362
8. Aggarwal J, Singhal V.P, Bansal S. Pregnancy with Facial Palsy-Complete Recovery Following Late Corticosteroid Administration. International Journal of Gynae Plastic Surgery 2003; IV (I) 41-43
9. Japardi I. Epilepsi pada Kehamilan. USU Digital Library. 2002
10. Harden C.L, Pennell P.B, Koppel B.S. Practice Parameter Update: Management Issues for Women with Epilepsy-Focus on Pregnancy. Journal of the American Academy of Neurology 2009;73:142
11. Brophy G.M, Bell R, Claasen J, Alldredge B, Bleck J.P, Glauser T. Guidelines for The Evaluation and Management of Status Epilepticus. 2012, Neurocrit Care DOI 10.1007/s12028-012-9695-z
12. Zotto E.D, Giossi A, Volonghi I, Costa P, Padovani A, Pezzini A. Ischemic Stroke during Pregnancy and Puerperium. 2011, Article ID 606780, 13 pages doi:10.4061/2011/606780
13. World Stroke Academy. Pregnancy Related Stroke and Its Management [Internet].c2010 [cited 2012 oct 31]. Available from: http://www.world-stroke-academy.org/pdf/WSA_Pregnancy_related_stroke_learning%20Module.pdf
14. Jaigobin C, Silver F.L. Stroke and Pregnancy. Journal of The American Heart Association 2000;31:2948-2951
15. Morgenstern L.B, Hemphill J.C, Anderson C, Becker K, Broderick J.P, Connoly E.S. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage : A Guideline for Healthcare Professional. Journal of the American Heart Association 2010;41:2108-2129
16. Menon R, Bushnell C.D. Headache and Pregnancy. The Neurologist 2008; 14(2):108-119
17. Aegidius K, Zwart J.A, Hagen K, Stouner L. The Effect of Pregnancy and Parity on Headache Prevalence: The Head-HUNT Study. Journal American Headache Society 2009; 49:851-859
18. M.Lee, P O’Brien. Pregnancy and Multiple Sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;79:1308-1311
19. Fragoso Y.D, Finkelsztein A, Frota E.R.C, Gama P.D, Grzesiuk A.K, Khouri J.M.N et al. Pregnancy and Multiple Sclerosis. Arq Neuropsiquiatr 2009; 67 (3-A):657-660
20. Sawle G.V, Ramsay M.M. The Neurology of Pregnancy. J Neurol Neurosurgery Psychiatry 1998; 64:711-725
21. To W.K, Cheung R.T.F. Neurological Disorders in Pregnancy. HKMJ 1997;3:400-8