kelainan neurologis dalam kehamilan

42
Journal Review GANGGUAN NEUROLOGIS PADA KEHAMILAN Disusun Oleh: Margaretta Moderator: dr. Retnaningsih, SpS(K)-KIC BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF

description

tugas jurnal reviewku

Transcript of kelainan neurologis dalam kehamilan

Page 1: kelainan neurologis dalam kehamilan

Journal Review

GANGGUAN NEUROLOGIS PADA KEHAMILAN

Disusun Oleh: Margaretta

Moderator:

dr. Retnaningsih, SpS(K)-KIC

BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FK UNDIP / RSUP Dr. KARIADI

2013

Page 2: kelainan neurologis dalam kehamilan

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................. i

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN NEUROMUSKULAR

1. Restless Legs ................................................................... 1

2. Miastenia Gravis ................................................................... 1

3. Distrofi Myotonik ................................................................... 3

B. PENYAKIT SARAF TEPI

1. Bell’s Palsy ............................................................................. 4

2. Sindroma Terowongan Karpal ................................................ 5

3. Meralgia Parestetika ................................................................ 5

C. PENYAKIT SEREBROVASKULAR

1. Epilepsi ................................................................................. 6

2. Stroke Iskemik ...................................................................... 8

3. Stroke Hemoragik ...................................................................... 11

4. Nyeri Kepala ...................................................................... 15

5. Multiple sklerosis ...................................................................... 16

6. Preeklampsia-Eklampsia .......................................................... 18

BAB III. KESIMPULAN ...................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 22

Page 3: kelainan neurologis dalam kehamilan

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif,

dapat pula dijumpai pada wanita hamil. Gejala yang ditemukan sangat kompleks,

dapat melibatkan kelainan fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler,

oleh karena itu harus dapat dibedakan dari penyakit psikiatrik. Diagnosis dan

penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit karena

keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum

ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang

berbahaya dari penyakit ini serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar

untuk menegakkan diagnosis yang akurat dalam penanganan lebih lanjut.

Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada

sistem saraf pusat. CT scan otak dan arteriografi bukan merupakan suatu

kontraindikasi mutlak untuk mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi

dari keterpaparan sinar X selama prosedur neuroradiologik. Bahan kontras

intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa melibatkan radiasi

ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan,

sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang

melibatkan radiasi dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko

terbesar dari myelografi terutama pada awal kehamilan.

Penanganan yang optimal dan efektif membutuhkan kerjasama beberapa

disiplin ilmu antara lain ahli obstetri atau fetomaternal dan ahli neurologi.

Keterlibatan ahli anestesia dibutuhkan pada saat persalinan untuk memberikan

anestesia yang tepat. Keterlibatan spesialis anak dibutuhkan lebih awal untuk

mengantisipasi kebutuhan neonatal dan perawatan bayi baru lahir yang adekuat.

Gangguan neurologis hanya sesekali terjadi kehamilan, dan komplikasi

serius jarang terjadi. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa kelainan

neurologis yang cukup sering terjadi meliputi gangguan neuromuskular, penyakit

saraf tepi, dan penyakit serebrovaskular.

Page 4: kelainan neurologis dalam kehamilan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN NEUROMUSKULER

1. Restless Legs

Keluhan penderita restless legs bukan nyeri melainkan perasaan tidak

nyaman yang terus menerus bilamana tungkai diam oleh karena itu penderita

menggerak-gerakan atau menggoyang-goyangkan tungkainya terus menerus

sehingga tampak seperti gelisah.1

Berjalan–jalan dan mandi air hangat sebelum istirahat dapat memperpanjang

periode laten dan cukup untuk menolong penderita tertidur. Untuk Restless Leg

berat selama kehamilan, pemberian Carbidopa / L-Dopa 25mg / 100mg dosis

tunggal mungkin efektif menanggulangi sindroma in. Pada ibu hamil diperkirakan

kurang lebih 10 – 30 % mengalami Sindroma Restless Legs selama trimester akhir

kehamilan. Gangguan ini timbul 30 menit setelah penderita baring. Konsumsi

kafein yang berlebihan dan anemia memicu timbulnya sindroma tersebut.

Suplemen asam folat peroral (500 mg perhari) menurunkan frekuensi Restless

Leg, selain itu potensi teratogeniknya cukup rendah. 1

2. Miastenia Gravis

Miastenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh

kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan

pulih kekuatannya setelah istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai

beberapa jam, akibat penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular

junction. Prevalensi penyakit ini adalah 1 dari 10.000 hingga 1 dari 50.000

penduduk, dimana 65-70 % dari individu yang terkena adalah wanita produktif.2

Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan

sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya

terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas

tanpa disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20%

ditemukan kesulitan mengunyah dan menelan.2

1

2

Page 5: kelainan neurologis dalam kehamilan

Selama kehamilan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3

dapat memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Battocchi et al mempelajari 47

wanita hamil dengan MG didapatkan hasil 42% memiliki gejala klinik yang

menetap, 39% membaik dan 19% memburuk. Beberapa wanita bahkan

membutuhkan obat imunosupresif selain dari obat antikolinesterase untuk

mengontrol gejala tanpa henti. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi,

penelitian terakhir melaporkan 41% terjadi selama kehamilan dan 30% terjadi

pada waktu nifas. MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 %

menyebabkan kematian ibu. Timbulnya MG pada suatu kehamilan bukan

merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan berikutnya.2

Polizzi et al melaporkan kejadian 21% neonatal transient myasthenia gravis

(TNMG) pada bayi yang lahir dari ibu dengan MG. Dalam laporan ini, 67%

terjadi dalam beberapa jam pertama setelah lahir dan 78% dalam 24 jam pertama

kehidupan neonatus. Onset lebih dari 3 hari setelah lahir belum pernah dilaporkan.

Secara klinis, terdapat 2 bentuk TNMG yaitu: khas (71%) dan atipikal (29%).

Gambaran klinis dari bentuk atipikal termasuk adanya arthrogriposis multipleks

congenital (AMC) pada janin atau bayi baru lahir, poor sucking, dan hipotonia

general. Tingkat keparahan AMC pada bayi adalah bervariasi dan tidak

berhubungan dengan tingkat keparahan MG ibu selama kehamilan. Gejala yang

timbul lainnya antara lain gangguan menelan (87%), kelemahan (69%), kesulitan

pernapasan (65%), feeble cry (60%) dan parese facialis (54%).3

Penanganan MG pada kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan,

kurangnya data yang tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin

intravena selama kehamilan. Pemberian magnesium sulfat merupakan kontra

indikasi pada MG dengan kehamilan karena akan meningkatkan kelemahan otot

dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan membran

postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia dengan

MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada

MG.4

Otot polos rahim tidak terpengaruh oleh MG. Durasi persalinan tidak

berbeda secara signifikan pada wanita hamil dengan MG. Tindakan intervensi

3

4

Page 6: kelainan neurologis dalam kehamilan

seperti vakum ekstraksi atau sectio caesaria biasanya dilakukan untuk alasan

obstetri. Namun, beberapa penulis merekomendasikan penggunaan forsep untuk

mengurangi kelelahan ibu. Pasien MG sangat sensitif terhadap pengobatan muscle

relaxan non-depolarizing. Oleh karena itu, anestesi umum biasanya dihindari.

Periode post partum berbahaya, sebanyak 30% dari wanita hamil dengan MG

memiliki gejala eksaserbasi dalam waktu 3 minggu setelah persalinan, sehingga

disarankan untuk observasi setidaknya 10 hari.4

Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan

Azathioprine diekskresi melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif

dan potensi tumorigenik oleh karena itu sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga

disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang kecil, Obat anticholinergic

dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat menyebabkan

gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui.4

3. Distrofi Myotonik

Myotonia merupakan kelainan genetik autosomal yang bersifat dominan

yang ditandai dengan kelemahan otot, keadaan ini disebabkan karena relaksasi

yang tertunda dari otot yang terkena akibat abnormalitas membran serabut otot.

Fenomena klinik dicirikan berupa kontraksi otot yang berkepanjangan mengikuti

kontraksi volunter, pukulan (mekanik) atau elektrik pada otot tersebut, keluhan

penderita berupa tangan kaku, tidak mampu mengendorkan genggaman, gangguan

bicara, atrofi maseter dan sternokleidomastoideus, ptosis, katarak dan suara

melemah.5

Myotonia baik yang merupakan distropi myopati maupun myotonia

kongenital, sering meningkat selama pertengahan trimester dua kehamilan.

Distropi miotonik ada kaitannya dengan penyakit jantung, dengan gejala berupa

gangguan sistem konduksi, aritmia atau penyakit jantung kongestif, sedangkan

distropi miotonik kongenital umumnya bersifat hipotonia dan kelemahan yang

menyeluruh. Otot-otot pernapasan mungkin terkena sehingga menyebabkan

kesulitan bernapas pada neonatus. Kematian neonatus sering ditemukan, tetapi

bila dapat bertahan dalam minggu-minggu awal kelahiran, umumnya akan

memperlihatkan perbaikan. Walaupun demikian, prognosis jangka panjang

5 Grella P, Santarossa C, Pennazzato S, Bonanni G, Menegazzo E, Angelini C. Pregnancy, Labour, and Delivery in Myotonic Distrophy. Basic Appl. Myol 1997; 7(5):351-355

Page 7: kelainan neurologis dalam kehamilan

umumnya buruk. Distropi miotonik kongenital umumnya ditemukan pada bayi

dengan ibu yang mengalami distropi miotonik.5

Kontraksi uterus yang tidak efektif, persalinan prematur dan presentasi

bokong sering merupakan komplikasi dalam persalinan. Oxytocin dapat

merangsang uterus yang miotonik untuk memperbaiki kontraksi. Anestesi

regional lebih disukai daripada anestesi umum. Setelah persalinan disfungsi uteri

hipotonik menyebabkan meningkatnya risiko retensio plasenta dan perdarahan

post partum. Setengah dari anak yang lahir dari ibu dengan myotonia mewarisi

kelainan tersebut.6

Penanganan sebelum kehamilan dan antenatal berupa pemeriksaan EKG dan

tes fungsi paru harus dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya gejala dan tanda

aritmia. Aktivitas fisik sebaiknya dikurangi untuk memperlambat progresifitas

dari gejala. Konseling genetik dan pemeriksaan DNA sebaiknya dilakukan.

Pemeriksaan USG secara serial dilakukan untuk menghitung volume cairan

amnion.6

Selain risiko terjadinya persalinan prematur, disfungsi otot polos uterus dan

gangguan proses persalinan. Hal ini dapat diatasi dengan augmentasi his dengan

oksitoksin dan biasanya memberikan hasil yang efektif. Mempersingkat kala II

dilakukan pada wanita dengan kelemahan yang nyata. Perdarahan postpartum

merupakan komplikasi yang tersering dan harus diantisipasi. Kelemahan otot-otot

pernapasan dapat terjadi dan harus dipertimbangkan dalam pemberian analgesia /

anestesia. Anestesia lokal atau regional lebih disukai. Adanya risiko terjadi apneu,

membuat bahan narkotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Obat penghambat

neuromuskuler non-depolarisasi sebaiknya dihindari sebab kontraktur otot

generalisata menyulitkan penanganan jalan napas. Ahli pediatrik harus berada di

ruang bersalin untuk memberikan resusitasi dan ventilasi neonatal. 6

B. PENYAKIT SARAF TEPI

1. Bell’s Palsy

Hubungan antara bell’s palsy dengan kehamilan ditemukan pertama kali

pada tahun 1830 oleh Sir Charles Bell. Tingkat prevalensi Bell’s palsy pada

6 Longman C. Myotonic Distrophy. J R Coll Physicians 2006;36:51-55

Page 8: kelainan neurologis dalam kehamilan

kehamilan diperkirakan mencapai 45,1 kasus per 100 000 wanita, jauh lebih tinggi

dibanding populasi wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2

minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali

lebih banyak.7

Insidensi bell’s palsy lebih tinggi pada trimester ketiga kehamilan karena

terjadi peningkatan volume cairan ekstraselular ibu yang menyebabkan edema

perineural hingga mengenai nervus fasialis. Berdasarkan beberapa penelitian

dikatakan kejadian bell’s palsy berhubungan dengan pre - eklampsia (22%) dan

hipertensi gestasional (7,3%). Pre-eklampsia sering bermanifestasi dengan edema

subkutan dan sistem jaringan, mungkin menciptakan suatu efek

neurocompressive. Penjelasannya mungkin terkait keadaan hiperkoagulasi terkait

dengan pre-eklampsia, yang mengakibatkan trombosis dari vasa nervorum,

sehingga menyebabkan iskemik saraf dan paralisis. Namun dari semuanya itu,

etiologi bell’s palsy masih tetap tidak diketahui pasti karena bersifat

multifaktorial.7,8

Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya namun terapi

kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien dengan

parese facialis yang komplit. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat

membantu untuk menilai prognosis, jika denervasi melebihi 10 hari maka

penyembuhan lebih lama bahkan mungkin sembuh tidak sempurna.8

2. Sindroma Terowongan Karpal

Sindroma terowongan karpal terjadi akibat kompresi atau terjebaknya

nervus medianus pada carpal tunnel dipergelangan tangan. Diperkirakan kurang

lebih 1/5 ibu hamil mengalami CTS sewaktu hamil utamanya pada akhir trimester

ketiga, gejalanya berupa rasa baal / parestesia pada jari ketiga dan keempat tangan

pada malam hari saat ingin tidur. Faktor predisposisi terhadap keadaan ini adalah

peningkatan berat badan yang berlebihan dan retensi cairan. Oleh karena ibu

hamil dengan sindroma terowongan karpal dapat diharapkan gejalanya membaik

7Eclampsia. Q J Med 2002; 95:359-3628 Aggarwal J, Singhal V.P, Bansal S. Pregnancy with Facial Palsy-Complete Recovery Following Late Corticosteroid Administration. International Journal of Gynae Plastic Surgery 2003; IV (I) 41-43

Page 9: kelainan neurologis dalam kehamilan

setelah persalinan maka terapi konservatif merupakan pilihan berupa istirahat dan

membebat pergelangan tangan.

3. Meralgia Parestetica

Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis

lateralis akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentum inguinale. Keluhan ini

dapat timbul pada usia kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan

meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa baal, tidak enak, rasa terbakar

atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit neurologik

lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas,

lordosis dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut.

Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik

dalam 3 bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau

injeksi steroid – lidokain dapat berguna.

C. PENYAKIT SEREBROVASKULER

1. Epilepsi

Insidens epilepsi pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus

frekuensi serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat

kehamilan. Meningkatnya frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester

terakhir.9

Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap

sebagai penyebab meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme

hepar yang meningkat, absorpsi gastrointestinal yang menurun serta peningkatan

konsentrasi estrogen dan progesteron mempercepat metabolisme enzim.

Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan konsentrasi obat

dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site

yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu kadar

konsentrasi obat antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali

tiap trimester, dalam bulan terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum.

Pemantauan kadar konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering

pada frekuensi kejang yang tinggi, terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya

9 Japardi I. Epilepsi pada Kehamilan. USU Digital Library. 2002

Page 10: kelainan neurologis dalam kehamilan

kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat peningkatan frekuensi kejang atau status

epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus dibuat untuk mengontrol

kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik saat

mendekati aterm. Untuk menghindari toksisitas dosis obat sebaiknya diturunkan

setelah 1 bulan postpartum.10

Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan 9,10

Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi

selama kehamilan adalah :

1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom

epilepsi.

2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang

paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.

3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat

keluarga tentang defek neural tube.

4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine

dan fenobarbital.

5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin,

periksalah kadar OAE bebas atau terikat.

6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma

normal dan kadar folat sel darah merah selama periode organogenesis pada

trimester pertama.

7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi.

Bagilah obat tadi 3 – 4 kali pemberian setiap harinya.

8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, sebaiknya

dilakukan pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu

dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18 – 19 minggu, untuk

mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu

dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.

Komplikasi janin

10 Harden C.L, Pennell P.B, Koppel B.S. Practice Parameter Update: Management Issues for Women with Epilepsy-Focus on Pregnancy. Journal of the American Academy of Neurology 2009;73:142

Page 11: kelainan neurologis dalam kehamilan

Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal

asphyxia” dan trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus

dan persalinan prematur. Bayi baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama

kehamilan berisiko untuk penyakit perdarahan. Defisiensi vitamin K yang

tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan pemberian

antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian vitamin K intra

muskuler secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi

kongenital pada bayi baru lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebanding

dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.9

2. Stroke Iskemik

Stroke iskemik sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu

pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal

postpartum. Oklusi arteri akuta terjadi pada 60–80% stroke iskemik dalam periode

kehamilan dan post partum. Faktor risiko untuk stroke iskemik meliputi

hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik

belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam kehamilan dikaitkan

dengan hiperkoagulabilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai faktor

yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati,

kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain

seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. 11

Tabel 1. Faktor resiko stroke dalam kehamilan

11 Zotto E.D, Giossi A, Volonghi I, Costa P, Padovani A, Pezzini A. Ischemic Stroke during Pregnancy and Puerperium. 2011, Article ID 606780, 13 pages doi:10.4061/2011/606780

Page 12: kelainan neurologis dalam kehamilan

Trombosis vena serebral lebih sering terjadi pada masa nifas. Trombosis

sinus sagitalis yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer

pada vena kortikal merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis

sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala yang progresif disertai mual

dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan

intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Angka

kematian trombosis vena serebral diperkirakan 25 %.12

Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara

(< 24 jam) atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia

serebral. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan

informasi yang cukup untuk menegakkan diagnosis. Pencitraan (imaging) untuk

menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi.12

Gambar 1. Waktu terjadinya infark pada periode kehamilan

Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa

serum, blood urea nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin,

faktor reumatik, VDRL dan pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan

darah lainnya seperti protein C dan S dan antitrombin, resistensi protein C aktif

dan polymerase chain reaction (PCR) untuk faktor V Leiden, bersama-sama

12 World Stroke Academy. Pregnancy Related Stroke and Its Management [Internet].c2010 [cited 2012 oct 31]. Available from: http://www.world-stroke-academy.org/pdf/WSA_Pregnancy_related_stroke_learning%20Module.pdf

Page 13: kelainan neurologis dalam kehamilan

dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan

toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal

dari jantung, EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis

venosus profunda diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga

direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan

angiografi serebral. 12

Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik

dibutuhkan pada keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin

merupakan obat pilihan. Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek

samping berupa embriopati pada trimester pertama dan potensial untuk

perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta dan kerjanya lebih

singkat daripada warfarin. Pemberian warfarin bila heparin tidak memungkinkan

adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-

hati. Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripartum menjadi

lebih mudah dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin

selain perdarahan adalah trombositopenia dan osteopenia. 12,13

Dosis profilaktik untuk heparin cenderung meningkat selama kehamilan dan

makin meningkat sehubungan dengan peningkatan usia kehamilan. Dosis tipikal

adalah 7500 – 10.000 IU/ml subkutan tiap 12 jam, untuk mencapai kadar heparin

plasma 0,2 – 0,4 Iu/mL atau activated partial thromboplastin time (aPTT) rasio

1,5 kali dari nilai kontrol 6 jam setelah pemberian. Untuk profilaksis, Toglia dan

Weg menganjurkan regimen yang sama sebab hiperkoagulopati yang

dihubungkan dengan kehamilan adalah 7500 – 10.000 IU 2 kali sehari untuk

mencapai kadar heparin plasma dalam 6 jam adalah 0,1 – 0,2 IU/mL. Pemeriksaan

faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin harus

dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang

mutlak. Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan

heparin sudah diihentikan 4 – 6 jam sebelumnya. Akhir-akhir ini heparin dengan

molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan. LMWH memberikan efek

antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah dan

mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin

Page 14: kelainan neurologis dalam kehamilan

dan neonatal karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil,

walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk

durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga

menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan

selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik

serebral. 13,14

Terapi optimal untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih

diteliti. Bebarapa penulis merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah

(60-80 mg/hari) dan heparin selama kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid,

imunosupresi atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak

direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan

heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik. 13,14

Terapi trombolitik untuk stroke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati.

Efek penggunaannya pada kehamilan dan saat menyusui belum diketahui.

Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen

dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian

penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan

aman, walaupun terdapat peningkatan insidensi solusio plasenta. 13,14

Tabel 2. Overview terapi stroke iskemik pada kehamilan dan puerperium

Page 15: kelainan neurologis dalam kehamilan

3. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan

subarahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non

obstetrik nomor tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh ruptur aneurisma,

AVM, eklampsia atau pemakai kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia,

hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia, ruptur AVM, thrombosis

vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinoma. 13

Tabel 3. Penyebab ICH dan SAH dalam kehamilan

Page 16: kelainan neurologis dalam kehamilan

Aneurisma serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri

carotis interna. Diperkirakan 1% wanita usia reproduksi mempunyai aneurisme

serebral, kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara

klinis gambaran khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang

hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan

koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50% mengalami

perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa

bulan sebelumnya. 13

Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir

menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada

insidens ruptur. Penelitian lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih

banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85

% berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab

perdarahan 50% pada kehamilan dan 10% pada penderita tidak hamil.

AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum.

Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka

kematian dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian

keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang

tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral

dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda. 13

Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering

menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran.

Page 17: kelainan neurologis dalam kehamilan

Adanya kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT

scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan

pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe

perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal,

pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia.

Cairan serebrospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi

dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral

merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentuan adanya abnormalitas

vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan adanya penyebab

SAH pada 20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang untuk

menghilangkan false-negatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.13

Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya

sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan

mengobati komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4

hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil

luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan

pada penderita yang hamil. Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna,

kurang memungkinkan untuk dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab

dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien memerlukan terapi

medikamentosa sampai keadaan membaik.14

Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial

disebabkan karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat

diterima adalah melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.

Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum

dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan

risiko ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal

merupakan ancaman bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium

13 Jaigobin C, Silver F.L. Stroke and Pregnancy. Journal of The American Heart Association 2000;31:2948-295114 Morgenstern L.B, Hemphill J.C, Anderson C, Becker K, Broderick J.P, Connoly E.S. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage : A Guideline for Healthcare Professional. Journal of the American Heart Association 2010;41:2108-2129

Page 18: kelainan neurologis dalam kehamilan

nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian,

pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik sianida terhadap

janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek

hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal health

monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung

menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu.

Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena

itu menyulitkan interpretasi fetal health monitoring. Hiperventilasi yang

berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium

nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa

penulis menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah

matur.15

Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk

melindungi otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka

retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat

ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan

dengan hipotermi dan hipotensi masih kontroversi. 15

Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko

perdarahan ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien

ditempatkan pada ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses,

sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu dihydropyridine calcium channel blocker

sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan

untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya

belum sepenuhnya diakui. 15

Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan asam traneksamat digunakan untuk

menghambat aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik

utama dan menurunkan insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik,

tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan

karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi

fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan hyalin

membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini. Glukokortikoid yang

Page 19: kelainan neurologis dalam kehamilan

paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati edema

serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan

hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 15

Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral,

sehingga harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan

oleh edema serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan.

Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap

mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg. 15

Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneurisma atau

AVM, dianjurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM

menjadi penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi. 15

4. Nyeri kepala

Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya ringan tapi

kadang-kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil,

untuk itu perlu dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala

tersebut antara lain preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol,

pheochromocytoma, perdarahan subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor

serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara lain ensefalitis dan

meningitis.15

Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri

kepala tipe tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik

yang dirasakan seperti diikat, ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud

rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral, intensitasnya dari ringan sampai

sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan stres situasional,

selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren merupakan

nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat

disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas

fisik, gejala tambahan meliputi nyeri kepala saat menstruasi. Insidens migren 3 –

5 % dari populasi umum namun pada 80 % kasus membaik saat penderita hamil.16

15 Menon R, Bushnell C.D. Headache and Pregnancy. The Neurologist 2008; 14(2):108-11916 Aegidius K, Zwart J.A, Hagen K, Stouner L. The Effect of Pregnancy and Parity on Headache Prevalence: The Head-HUNT Study. Journal American Headache Society 2009; 49:851-859

Page 20: kelainan neurologis dalam kehamilan

Diagnosis NKTT dan migren ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

cermat dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pemeriksaan CT Scan kepala

sebaiknya dihindari kecuali dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.16,17

Secara umum tujuan penanganan nyeri kepala adalah mengidentifikasi

etiologi atau faktor predisposisi, mengurangi / menghilangkan nyeri dengan obat

yang kurang toksik terhadap ibu dan janin, dan mengurangi berat dan frekuensi

serangan. Pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana yaitu

Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik

dan pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat

menolong dan tidak menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan

Benzodiasepin reguler sebaiknya dihindari. Kenyataan bahwa sebagian besar obat

dapat melewati sawar plasenta dan dapat berpengaruh terhadap janin

menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama kehamilan. Penderita

dengan fungsi harian yang tetap berjalan normal tidak membutuhkan penanganan

yang bermakna, pengobatan nonfarmakologik dianjurkan. Sejumlah strategi

seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan serangan. 16,17

Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan

kontraindikasi selama kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan

gangguan vaskuler pada janin, Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan

secara intravena sangat efektif dalam penanganan migren namun termasuk kelas C

dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau acetaminophen dengan codein

juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang meperidine, morfin dan

hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin dan NSAID

sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin

dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren

rekuren dapat diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun

demikian karena propranolol dapat melewati plasenta dan mengakibatkan

bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi pada migren refrakter. 16,17

5. Multiple Sklerosis

Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinisasi yang

mengenai sistem saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang

bervariasi. Kelainan ini sering ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak

Page 21: kelainan neurologis dalam kehamilan

insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali lebih banyak dari pada pria.

Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan

disfungsi neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang

rekuren dengan ekserbasi dan remisi.17

Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan

keseimbangan pada saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan

kelelahan. Hampir 40% penderita mengalami neuritis optik selama perjalanan

penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruh

pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun sejalan dengan

bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS

mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.18

Tabel 4. Pengaruh multipel sklerosis pada kehamilan

Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti

interferon) terhadap janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan.

Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus gravid mungkin memperburuk fungsi

kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama kehamilan sering meningkat

seiring meningkatnya kontraksi uterus.18

17 M.Lee, P O’Brien. Pregnancy and Multiple Sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;79:1308-131118 Fragoso Y.D, Finkelsztein A, Frota E.R.C, Gama P.D, Grzesiuk A.K, Khouri J.M.N et al. Pregnancy and Multiple Sclerosis. Arq Neuropsiquiatr 2009; 67 (3-A):657-660

Page 22: kelainan neurologis dalam kehamilan

Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan

konseling harus dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit.

Kenyataan bahwa kebanyakan penderita mengalami perbaikan seiring

bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan untuk

menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita

juga harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko

untuk menderita penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk

penyakit ini. Kortikosteroid hanya dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi

tidak dapat memberikan perbaikan yang menetap. Pengobatan yang digunakan

untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer acetat, interferon ß1b dan

interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini pada

kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan. 19

Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan

meningkatnya aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan

karena kurangnya informasi. Bila terdapat gangguan pada saluran kemih, maka

perlu dilakukan skrining untuk pemeriksaan bakteriuri. Terapi fisik dan latihan

peregangan harus tetap dilakukan. 18,19

Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh

terrhadap proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa

kehamilan membutuhkan penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim

digunakan adalah 100 mg perenteral setiap 8 jam. Kelelahan ibu pada kala II

dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum ekstraksi. Dulu,

penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan risiko

eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian

pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan.

Menyusui tetap dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau

memperberat relaps postpartum. 18,19

6. Preeklampsia - Eklampsia

Eklampsia adalah salah satu penyebab paling umum kematian ibu. Di

negara maju, insidensi sekitar 0,05-0,2 % dari kehamilan dan meningkat menjadi

1% di negara berkembang. Preeklamsia atau toksemia gravidarum adalah

Page 23: kelainan neurologis dalam kehamilan

kompleks gangguan yang terdiri atas hipertensi, oedema, disertai proteinuria

setelah kehamilan 20 minggu. Tekanan darah dianggap tinggi apabila lebih besar

dari 140/90 mmHg atau jika tekanan darah diastolik meningkat 15-25 mmHg

dibanding sebelum hamil. Proteinuria didefinisikan sebagai kadar protein urin

lebih besar dari 300 mg per 24 jam atau 30 mg / dL pada sampel urin. Eklampsia

adalah kelainan akut pada wanita hamil yang ditandai dengan timbulnya kejang

atau koma. Kejang dapat muncul dalam bentuk fokal motorik atau general tonik

klonik, biasanya muncul dalam 24 jam pertama post partum. 19

Perubahan neuropatologikal pada eklampsia meliputi edema subarachnoid

difus, perdarahan serebral, perdarahan subkortikal, dan mikroinfark pada beberapa

tingkat dari neuraxis. Beberapa pasien dengan eklampsia mengeluhkan gangguan

visual yang berhubungan dengan perubahan pada korteks visual atau vasospasme

serebral. Faktor metabolik atau hipertensi encefalopati dapat berkontribusi pada

patogenesis eklampsia.20

Pada kondisi pre-eklampsia dan eklampsia berat, tujuan utama adalah

menghentikan berulangnya kejang dan terminasi kehamilan dengan cara yang

aman. Strategi pengobatan meliputi kontrol autoregulasi serebral, penurunan

edema otak, dan penanganan kejang. Penggunaan magnesium sulfat banyak

digunakan karena terbukti memiliki efek antikonvulsan. Kejang harus segera

diatasi dengan diazepam intravena, dan fenitoin atau chlormethiazole untuk

mencegah kejang berulang. Disarankan untuk rawat bersama dengan neurologis

untuk manajemen kejang dan kejadian serebrovaskular.20,21

Penegakan diagnosis sebagian besar dengan gejala klinis, namun dapat

diperkuat dengan pencitraan otak. Temuan MRI pada eklampsia meliputi

hipertensi ensefalopati dengan leukoencephalopathy posterior. Pencitraan dapat

mengungkapkan infark, perdarahan, edema, dan bahkan herniasi atau

hidrosefalus. Pola pencitraan yang khas adalah edema materi serpiginosa

subkortikal putih dengan kecenderungan untuk zona DAS posterior dan ujung-

19 Sawle G.V, Ramsay M.M. The Neurology of Pregnancy. J Neurol Neurosurgery Psychiatry 1998; 64:711-72520 To W.K, Cheung R.T.F. Neurological Disorders in Pregnancy. HKMJ 1997;3:400-8

Page 24: kelainan neurologis dalam kehamilan

ujung lobus oksipital. Edema serebral biasanya reversibel dengan pengobatan

hipertensi, biasanya terjadi selama beberapa hari. 20,21

Manajemen diarahkan pada perawatan intensif hipertensi, jika perlu dalam

perawatan unit intensif. Terapi meliputi labetolol, hydralazine, atau nifedipin.

Magnesium sulfat dapat menghentikan kejang berulang dan bertindak sebagai

suatu antikonvulsan. Pemberian diazepam bolus intravena 10 mg dalam waktu > 2

menit diikuti dengan infus 40 mg dan 500 mL saline normal selama 24 jam.

Fenitoin diberikan intravena dosis 1 gram dilanjutkan 100 mg setiap 6 jam selama

24 jam. Pengobatan ini menunjukkan penurunan kejadian kejang berulang 52%

setelah pemberian magnesium sulfat dibandingkan dengan diazepam dan

penurunan sebanyak 67% dibandingkan dengan fenitoin. 20,21

BAB III

KESIMPULAN

Page 25: kelainan neurologis dalam kehamilan

Kelainan neurologik cukup sering dijumpai pada wanita hamil. Diagnosis

dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit

karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang

umum ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena resiko terhadap

janin.

Gangguan neuromuskular memiliki pengaruh tidak saja terhadap kehamilan

namun juga persalinan dan pasca persalinan. Dibutuhkan beberapa alternatif

tindakan agar persalinan dapat berjalan aman dan tidak membahayakan ibu dan

janin. Prevalensi penyakit saraf tepi dalam kehamilan cukup tinggi, terjadi seiring

dengan bertambahnya usia kehamilan. Terapi yang diperlukan bersifat konservatif

karena gejala akan hilang setelah persalinan. Gangguan serebrovaskuler

membahayakan kehamilan dan janin sehingga membutuhkan penatalaksanaan

yang serius baik dari segi keamanan dan efektivitas obat.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar

untuk menegakkan diagnosis yang akurat dalam penanganan lebih lanjut.

Prosedur pencitraan (imaging) juga harus dipertimbangkan. Penanganan yang

optimal dan efektif membutuhkan kerjasama beberapa disiplin ilmu antara lain

ahli obstetri atau fetomaternal dan ahli neurologi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 26: kelainan neurologis dalam kehamilan

1. G.G.Lennox. Neurological Disease in Pregnancy [internet]. c2010 [cited 2012 Oct 31]. Available from: http://www.health.am/pregnancy/neurological-disease/

2. Anan G.D, Lionel J, Alkandari M.H. Myasthenia Gravis with Pregnancy. Kuwait Medical Journal 2005;37(2):127-129

3. Zenteno J.F.T, Ronquillo L.H, Salinas V, Estanol B, Silva O. Myasthenia gravis and pregnancy: clinical implications and neonatal outcome. BMC Musculoskeletal Disorders 2004;5:42

4. Rajab K.E, Skerman J.H, Issa A.A. Pregnancies Complicated by Myasthenia Gravis. Bahrain Med Bull 2002; 24(2)

5. Grella P, Santarossa C, Pennazzato S, Bonanni G, Menegazzo E, Angelini C. Pregnancy, Labour, and Delivery in Myotonic Distrophy. Basic Appl. Myol 1997; 7(5):351-355

6. Longman C. Myotonic Distrophy. J R Coll Physicians 2006;36:51-55

7. Shmorgun D, Chan W.S, Ray J.G. Association Between Bell’s Palsy in Pregnancy and Pre Eclampsia. Q J Med 2002; 95:359-362

8. Aggarwal J, Singhal V.P, Bansal S. Pregnancy with Facial Palsy-Complete Recovery Following Late Corticosteroid Administration. International Journal of Gynae Plastic Surgery 2003; IV (I) 41-43

9. Japardi I. Epilepsi pada Kehamilan. USU Digital Library. 2002

10. Harden C.L, Pennell P.B, Koppel B.S. Practice Parameter Update: Management Issues for Women with Epilepsy-Focus on Pregnancy. Journal of the American Academy of Neurology 2009;73:142

11. Brophy G.M, Bell R, Claasen J, Alldredge B, Bleck J.P, Glauser T. Guidelines for The Evaluation and Management of Status Epilepticus. 2012, Neurocrit Care DOI 10.1007/s12028-012-9695-z

12. Zotto E.D, Giossi A, Volonghi I, Costa P, Padovani A, Pezzini A. Ischemic Stroke during Pregnancy and Puerperium. 2011, Article ID 606780, 13 pages doi:10.4061/2011/606780

13. World Stroke Academy. Pregnancy Related Stroke and Its Management [Internet].c2010 [cited 2012 oct 31]. Available from: http://www.world-stroke-academy.org/pdf/WSA_Pregnancy_related_stroke_learning%20Module.pdf

14. Jaigobin C, Silver F.L. Stroke and Pregnancy. Journal of The American Heart Association 2000;31:2948-2951

Page 27: kelainan neurologis dalam kehamilan

15. Morgenstern L.B, Hemphill J.C, Anderson C, Becker K, Broderick J.P, Connoly E.S. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage : A Guideline for Healthcare Professional. Journal of the American Heart Association 2010;41:2108-2129

16. Menon R, Bushnell C.D. Headache and Pregnancy. The Neurologist 2008; 14(2):108-119

17. Aegidius K, Zwart J.A, Hagen K, Stouner L. The Effect of Pregnancy and Parity on Headache Prevalence: The Head-HUNT Study. Journal American Headache Society 2009; 49:851-859

18. M.Lee, P O’Brien. Pregnancy and Multiple Sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;79:1308-1311

19. Fragoso Y.D, Finkelsztein A, Frota E.R.C, Gama P.D, Grzesiuk A.K, Khouri J.M.N et al. Pregnancy and Multiple Sclerosis. Arq Neuropsiquiatr 2009; 67 (3-A):657-660

20. Sawle G.V, Ramsay M.M. The Neurology of Pregnancy. J Neurol Neurosurgery Psychiatry 1998; 64:711-725

21. To W.K, Cheung R.T.F. Neurological Disorders in Pregnancy. HKMJ 1997;3:400-8