Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

29

Click here to load reader

description

Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Transcript of Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Page 1: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN

PENDAHULUAN

Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif, dapat pula

dijumpai pada wanita hamil. Gejala yang ditemukan sangat kompleks, dapat melibatkan kelainan

fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler, oleh karena itu harus dapat dibedakan dari

penyakit psikiatrik. 

Diagnosis dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit

karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum

ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang berbahaya dari

penyakit ini, serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin. Anamnesis dan pemeriksaan

fisik yang seksama akan memberikan dasar untuk menegakkan diagnosis yang akurat untuk

penanganan lebih lanjut. 

Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada sistem

saraf pusat. Keterpaparan sinar X terhadap janin bila kurang dari 1 rad masih dianggap aman. CT

otak yang memakai sinar X dan arteriografi bukan merupakan suatu kontraindikasi mutlak untuk

mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi dari keterpaparan sinar X selama prosedur

neuroradiologik. Bahan kontras intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa

melibatkan radiasi ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan,

sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang melibatkan radiasi

dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko terbesar dari myelografi terutama

pada awal kehamilan.

A. NYERI KEPALA (HEADAACHE)

Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya jinak tapi kadang-

kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil, untuk itu perlu

Page 2: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala tersebut antara lain

preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol, pheochromocytoma, perdarahan

subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara

lain ensefaliti dan meningitis.

Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri kepala tipe

tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik yang dirasakan seperti diikat,

ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral,

intensitasnya dari ringan sampai sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan

stres situasional, selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren

merupakan nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat

disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas fisik, 80 % kasus

membaik saat penderita hamil. Pemeriksaan CT. Scan kepala sebaiknya dihindari kecuali

dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.

Penanganan nyeri kepala pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana

yaitu Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik dan

pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat menolong dan tidak

menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan Benzodiasepin reguler sebaiknya

dihindari.

Kenyataan bahwa sebagian besar obat dapat melewati sawar plasenta dan dapat

berpengaruh terhadap janin menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama

kehamilan. Sejumlah strategi seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan

serangan.

Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan kontraindikasi selama

kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan gangguan vaskuler pada janin,

Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan secara intravena sangat efektif dalam

penanganan migren namun termasuk kelas C dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau

acetaminophen dengan codein juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang

meperidine, morfin dan hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin

dan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin

Page 3: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren rekuren dapat

diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun demikian karena propranolol

dapat melewati plasenta dan mengakibatkan bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi

pada migren refrakter.

B. GANGGUAN NEUROMUSKULER

KRAM OTOT

Diperkirakan 25 % ibu hamil mengalami kram otot setiap pagi saat memulai aktivitas

selama trimester akhir kehamilan. Kekurangan natrium (garam), kalium dan kondisi metabolik

lainnya dapat menyebabkan kram. Tablet magnesium laktat dan magnesium sitrat (122 mg pada

pagi hari dan 244 mg pada malam hari) dapat memberi perbaikan pada 80 % penderita.

Kalsium carbonat atau glukonat oral, 500 mg diberikan 3 –4 kali sehari juga dapat memeberi

perbaikan namun placebo tampaknya efektif pada 40 % penderita.

MIASTENIA GRAVIS

Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh kelemahan atau

kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah

istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai beberapa jam, akibat penurunan jumlah

reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari

kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeleruh yang fatal. Kira-kira 33

% hanya terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa

disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20 % ditemukan kesulitan

mengunyah dan menelan.

Selama kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3 dapat

memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi,

penelitian terakhir melaporkan 41 % terjadi selama kehamilan dan 30 % terjadi pada waktu nifas.

Page 4: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 % menyebabkan kematian ibu. Timbulnya

MG pada suatu kehamilan bukan merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan

berikutnya. Aborsi tidak menyebabkan remisi, kurang lebih setengahnya memburuk pada saat

puerperium. Minimal 12 - 19 % bayi yang lahir dari ibu MG menderita MG neonatal transitory

dan harus dimonitoor secara ketat paling kurang selama 4 hari dapat berlangsung 10 sampai

dengan 15 minggu, gejala yang timbul antara lain gangguan menelan (87 %), kelemahan (69 %),

kesulitan pernapasan (65 %), feeble cry (60 %)dan parese facialis (54 %).

Penanganan MG pada Kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan, kurangnya data yang

tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin intravena selama kehamilan. Perlu

diingat bahwa magnesium sulfat merupakan kontra indikasi pada MG dengan kehamilan karena

akan meningkatkan kelemahan otot dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan

kepekaan membran postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia

dengan MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada MG

Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan Azathioprine diekskresi

melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif dan potensi tumorigenik oleh karena itu

sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang

kecil, Obat anticholinergic dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat

menyebabkan gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui 

NEUROPATI

BELL’S PALSY

Bell’s Palsy atau prosoplegia adalah Parese facialis tipe perifer terjadi secara akut dan

penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi

nervus fasialis.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun demikian lebih sering terjadi pada umur

20 – 50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan

timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali lebih banyak. Penyakit ini biasanya sembuh dengan

Page 5: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

sendirinya namun terapi kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien

dengan parese facialis yang komplit. 

MERALGIA PARESTHETICA

Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis lateralis

akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentun inguinale. Keluhan ini dapat timbul pada usia

kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa

baal, tidak enak, rasa terbakar atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit

neurologik lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas, lordosis

dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut. 

Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik dalam 3

bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau injeksi steroid – lidokain

dapat berguna. 

GUILLIAN BARRE SYNDROME

Guillian Barre Syndrome (GBS) suatu kelainan immunobiologik baik secara primary

immune response maupun immune mediated process yang ditandai oleh kelemahan /

kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif biasanya muncul setelah infeksi. Penyebab

infeksi umumnya virus dari kelompok herpes namun dapat pula didahului oleh infeksi bakteri,

vaksinasi, gangguan endokrin, tindakan operasi anaestesi dan sebagainya. 

GBS yang timbul bersamaan dengan kehamilan merupakan suatu koinsidental. GBS

sendiri secara umum tidak dipengaruhi oleh kehamilan demikian pula sebaliknya kehamilan dan

persalinan tidak dipengaruhi oleh GBS. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita GBS umumnya

tidak terpengaruh. Pemberian plasmapheresis cukup aman selama kehamilan meskipun ibu hamil

khususnya dengan disfungsi autonomik dapat menjadi sensitif terhadap perubahan dalam volume

Page 6: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

plasma.

PARESE OBSTETRIK MATERNAL

Kepala bayi, pemakaian forcep dan posisi yang tidak sesuai pada sandaran tungkai dapat

menyebabkan jebakan saraf perifer (entrapment of peripheral nerve) intrapartum. Disproporsi

sefalopelvik dan dystosia sering mendahului penyakit ini. Umumnya ibu hamil yang terkena

adalah primipara dengan keluhan nyeri tajam atau terbakar.

Parese obstetrik maternal yang tersering adalah iritasi / kompresi unilateral pada pleksus

lumbosacral (radiks L4 dan L5) oleh kening janin saat melewati tepi posterior pelvis. Perbaikan

biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu.

C. GANGGUAN CEREBRAL

CHOREA GRAVIDARUM

Chorea gravidarum adalah suatu gerakan involunter berupa gangguan hiperkinetik yang

ditandai dengan gerakan tungkai yang kasar, cepat, tidak dapat dipertahankan, tanpa tujuan,

ireguler dan tidak berirama. 

Penyebab yang paling sering adalah penyakit jantung rematik, sistemik lupus

eritamatosus, antiphospholipid antibodi. Selain itu dapat disebabkan oleh Wilson”s disease,

Cerebrovascular disease, Meningovascular syphilis, Hyperthyroidism, Neuroacanthocytosis,

Huntington”s disease, Adult onset Tay Sachs, obat-obatan : Antiepileptic drug, Neuroleptic,

Theophylline derivates, Lithium, Tricyclic antidepressants, Lead toxicity, Amphetamines,

Cocaine, Metaclopramide,

Chorea gravidarum biasanya timbul pada trimester kedua kehamilan dan sembuh spontan

dalam waktu minggu sampai bulan, sering dalam waktu singkat setelah melahirkan. Pilihan

terapi tergantung pada penyebab dan beratnya penyakit. Haloperidol dan kortikosteroid dapat

digunakan untuk terapi jangka pendek.

Page 7: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

MULTIPLE SKLEROSIS

Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinating yang mengenai sistem

saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang bervariasi. Kelainan ini sering

ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali

lebih banyak dari pada pria.

Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan disfungsi

neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang rekuren dengan ekserbasi

dan remisi.

Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan keseimbangan pada

saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan kelelahan. Hampir 40% penertita

mengalami neuritits optik selama perjalanan penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya

mempunyai sedikit pengaruh pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun

sejalan dengan bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS

mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.1,2

Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti interferon) terhadap

janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan. Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus

gravid mungkin memperburuk fungsi kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama

kehamilan sering meningkat seiring meningkatnya kontraksi uterus.

Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan konseling harus

dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit. Kenyataan bahwa kebanyakan penderita

mengalami perbaikan seiring bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan

untuk menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita juga

harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko untuk menderita

penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Kortikosteroid hanya

dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi tidak dapat memberikan perbaikan yang

menetap.1 Pengobatan yang digunakan untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer

Page 8: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

acetat, interferon ß1b dan interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini

pada kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan.

Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan meningkatnya

aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan karena kurangnya informasi. Bila

terdapat gangguan pada saluran kemih, maka perlu dilakukan skreening untuk pemeriksaan

bakteriuri. Terapi fisik dan latihan peregangan harus tetap dilakukan.

Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh terrhadap

proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa kehamilan membutuhkan

penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim digunakan adalah 100 mg perenteral setiap

8 jam. Kelelahan ibu pada kala II dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum

ekstraksi. Dulu, penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan

risiko eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian

pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan. Menyusui tetap

dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau memperberat relaps postpartum.

HIPERTENSI INTRAKRANIAL IDIOPATIK (PSEUDO TUMOR SEREBRI)

Hipertensi Intrakranial Idiopatik (HII) memburuk pada kehamilan. Sebaiknya menunda

kehamilan sampai semua gejala hilang. Pengakhiran kehamilan tidak dianjurkan. Bayi bisa sehat

meskipun HII timbul sebelum atau selama kehamilan. HII biasanya berkembang pada kehamilan

14 minggu dan menghilang setelah 1-3 bulan, tetapi kadang-kadang menetap sampai awal

puerpuralis. Penatalaksanaan sama dengan wanita tidak hamil yaitu melakukan punksi lumbal

untuk menurunkan tekanan intra kranial dan mengurangi nyeri kepala, Acetazolamide oral, 250

mg diberikan 2 kali sehari, selain itu elektolit hendak dimonitor untuk menghindari acidosis

metabolik. Biasanya tidak kambuh lagi pada kehamilan berikutnya.

EPILEPSI

Insidens kejang pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus frekuensi

serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat kehamilan. Meningkatnya

Page 9: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester terakhir dan terutama pada penderta epilepsi

berat.

Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali

sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa sebelum kehamilan

hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam sembilan bulan.Fungsi ginjal juga

meningkat dengan adanya peningkatan creatinine clearance 50% yang berdampak pada

metabolisme. Hal ini akan menurunkan kadar OAE dalam sirkulasi darah, sehingga kebutuhan

OAE meningkat. Selain itu, estrogen yang bersifat epileptogenik meningkat selama

kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ke tiga. Hal itu berdampak

pada peningkatan frekuensi bangkitan.

Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap sebagai penyebab

meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme hepar yang meningkat, absorpsi

gastrointestinal yang menurun serta peningkatan konsentrasi estrogen dan progesteron

mempercepat metabolisme enzim. Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan

konsentrasi obat dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site

yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu Kadar konsentrasi obat

antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali tiap trimester, dalam bulan

terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum. Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi,

dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema,

akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan

hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang

mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron danmempresipitasi bangkitan. Pemantauan kadar

konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering pada frekuensi kejang yang tinggi,

terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat

peningkatan frekuensi kejang atau status epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus

dibuat untuk mengontrol kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik

saat mendekati aterm. Untuk menghindari toksistas dosis obat sebaiknya diturunkan setelah 1

bulan postpartum. Selama kehamilan konsentrasi Carbamazepin, fenitoin, valproic acid dan

Page 10: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

fenobarbital menurun. Hanya konssentrasi fenobarbital bebas menurun, dan konsentrasi valproic

acid bebas jelas meningkat. 

Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan

Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi selama kehamilan

adalah :

1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom epilepsi.

2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang paling rendah dan

efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.

3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat keluarga tentang defek

neural tube. 

4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine dan fenobarbital.

5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin, periksalah kadar OAE

bebas atau terikat.

6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma normal dan kadar folat

sel darah merah selama periode organogenesis pada trimester pertama.

7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi. Bagilah obat tadi 3 – 4

kali pemberian setiap harinya. 

8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, tawarkanlah untuk pemeriksaan

alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada

kehamilan 18 – 19 minggu, untuk mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-

24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.

Page 11: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital sebagai

obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di berhentikan

atau tidak mendapat pengobatan.

Page 12: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Komplikasi janin 

Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sejumlah

outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah kematian janin, malformasi

kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan,

kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak.

Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal asphyxia” dan

trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus dan persalinan prematur. Bayi

baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama kehamilan berisiko untuk penyakit

perdarahan. Defisiensi Vit. K yang tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan

pemberian antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian Vit .K intra muskuler

secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi kongenital pada bayi baru

lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebaning dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.

Status epileptikus

Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat dan membutuhkn perawatan rumah

sakit dan pengobatan. Faktor penyebab seperti infeksi atau metabolik harus dipikirkan, dan

mengontrol kejang harus secepatnya dilakukan.

PENYAKIT SEREBROVASKULER 

Diperkirakan 5 –10 %, kematian ibu karena stroke. Angka kematian stroke iskemik dengan

kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa kehamilan hanya 10 %. 

Page 13: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

STROKE ISKEMIK

Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu pertama post

partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal postpartum.

Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia.

Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam

kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai

faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati, kelainan

darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren,

kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat

menyebabkan stroke iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan

nekrosis hipofise akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui.

Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis yang meluas

secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal merupakan bagian

yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala

yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder

akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena

cendrung mengalami perdarahan. Penyakit yang berpredisposisi pada keadaan ini adalah

polisitemia vera, kanker, leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis

vena serebral diperkirakan 25 %.

PENANGANAN

Antenatal, persalinan, pasca persalinan

Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara (< 24 jam)

atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia serebral. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan informasi yang cukup untuk menegakkan

diagnosis.

Pencitraan (imaging) untuk menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi.

Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa serum, blood urea

nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin, faktor reumatik, VDRL dan

Page 14: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan darah lainnya seperti protein C dan S dan

antitrombin, resistensi protein C aktif dan polymerase chain reaction untuk faktor V Leiden,

bersama-sama dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan

toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal dari jantung,

EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis venosus profunda

diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui,

dianjurkan untuk melakukan angiografi serebral.

Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik dibutuhkan pada

keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin merupakan obat pilihan.

Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek samping berupa embryopathy pada

trimester pertama dan potensial untuk perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta

dan kerjanya lebih singkat daripada warfarin. Pemberian warfarin bila heparin tidak

memungkinkan adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-

hati.

Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripatum menjadi lebih mudah

dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin selain perdarahan adalah

trombositopenia dan osteopeni.

Pemeriksaan faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin

harus dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang mutlak.

Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan heparin sudah diihentikan 4

– 6 jam sebelumnya.

Akhir-akhir ini heparin dengan molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan.

LMWH memberikan efek antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah

dan mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin dan neonatal

karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil, walaupun diberikan selama

dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan

efek antitrombotik dan diduga menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal

penggunaan selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik

serebral.

Page 15: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya belum jelas.

Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum kehamilan dan

memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah ditegakkan.

Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum diketahui.

Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal untuk sindrom

antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi

atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita

kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun

terapeutik.

Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen dan

reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian penggunaan aspirin

60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman, walaupun terdapat peningkatan

insidens solusio plasenta.

STROKE HEMORAGIK

Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub

arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor tiga

paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau pemakai

kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia,

ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinomo.

Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis interna.

Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral, kemungkinan

ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran khas dari ruptur

aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan

status mental sampai dengan koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 %

mengalami perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan

sebelumnya. 

Page 16: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa

kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian lain

melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko

terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM

sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada penderita tidak hamil.  

AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum. Perdarahan oleh

karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian dibanding 10 % pada

penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %.

Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan

perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda.

PENANGANAN

Antenatal

Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering menyebabkan

keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya kelainan neurologis pada

ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan

angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan

lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal,

pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan

serospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada

keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam

menentukan adanya abnormalitas vaskuler. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.

Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya sedikit perubahan

selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati komplikasi neurologis.

Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post

SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal

dengan pembedahan pada penderita yang hamil.

Page 17: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk

dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien

memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.

Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum

dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko ruptur

aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman bagi janin,

tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah

kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik

sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek

hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal hearth monitoring. Bila

terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan

tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu. Banyak obat-obat anestesia yang dapat

menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring.

Hiperventilasi yang berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian

sodium nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis

menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.

Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi otak dari

iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin

menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin.

Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang

dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada ruangan yang

gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu

dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan

neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena

keamanannya belum sepenuhnya diakui.

Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat

aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan

insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya perbaikan

dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh

Page 18: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan

hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.

Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati

edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan hasil

penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak.

Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga harus

diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema serebri, pemberian

manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara

intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg.

Persalinan

Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM,

diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi penyebab dari

SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.

Page 19: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.scribd.com/doc/79233618/Kelainan-Neurologik-Pada-Kehamilan

2. http://digilib.unsri.ac.id/download/epilepsi%20dlm%20kehamilan.pdf

3. http://journal.uii.ac.id/index.php/JKKI/article/view/547/471

Page 20: Kelainan Neurologik Pada Kehamilan

oleh :

Ni Luh Made Murniasih Jayanthi

0861050147

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

PERIODE 16 APRIL – 12 MEI 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA