Post on 27-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelainan Bawaan (Kelainan Kongenital) adalah suatu kelainan pada
struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia
dilahirkan. Sekitar 3-4% bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat.
Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5%
terdiagnosis ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebanyakan bersifat ringan.
Kelainan kongenital pada saluran cerna bagian atas masih banyak ditemukan
di indonesia. Beberapa kelainan kongenital yang sering ditemukan diantaranya
Atresia Esofagus, Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital, Atresia Duodenum dan
Atresia bilier.
Diagnosa kelainan kongenital saluran cerna dapat dengan mudah ditegakkan
berdasarkan klinisnya. Kelainan tersebut ditemukan berdasarkan gambaran klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, termasuk pemeriksaan radiologi. 1
Tatalaksana pada kelainan kongenital saluran cerna bagian atas adalah sesuatu
hal yang kompleks. Secara keseluruhan pengelolaan individu yang terkena mungkin
bisa dibagi menjadi dua tahap. Pertama, tatalaksana pada kondisi yang akan
membayakan kehidupan. Kedua, tatalaksana pada cacat bawaan yang dapat
mengakibatkan gejala sisa jangka panjang.1
Dengan perbaikan melalui teknik bedah, spesialisasi neonatal dan fasilitas
setelah pembedahan, prognosis dari kelainan kongenital saluran cerna bagian atas
akan jauh lebih baik dari sebelumnya.1
1.2. Batasan Masalah
Pembahasan tulisan ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gambaran klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan prognosis kelainan kongenital saluran cerna bagian atas.
1.3. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai kelainan kongenital saluran cerna bagian atas.
1.4. Metode Penulisan
Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi saluran pencernaan
Gambar 1. Anatomi saluran pencernaan
Dikatakan saluran cerna bagian atas mulai dari esofagus sampai dengan duodenum
(ligamentum treitz).
B. Embriologi saluran pencernaan
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus,
lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut
membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai
pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana
kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka,dan ektoderm dari protoderm
atau analpit. (Faradilla, 2009)
C. Fisiologi saluran pencernaan
Fungsi dari saluran pencernaan adalah memenuhi kebutuhan tubuh terhadap air,
elektrolit dan nutrien. Hal ini dilaksanakan melalui:
Fungsi mekanik yaitu gerakan makanan di sepanjang saluran pencernaan
Fungsi sekresi yaitu mensekresikan enzim dan cairan pencernaan
Fungsi Digesti
Fungsi absorpsi
Kontrol fungsi saluran pencernaan
D. Kelainan kongenital saluran pencernaan bagian atas
1. Atresia esofagus
a. Definisi
Atresia esofagus adalah sekelompok kelainan kongenital yang mencakup gangguan
kontinuitas esofagus disertai atau tanpa adanya hubungan dengan trakea.
b. Epidemiologi
Di Amerika Utara insiden dari atresia esofagus berkisar 1:3000-4500 dari
kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum
diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia
yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia esofagus 2-3 kali lebih sering pada janin yang
kembar.
c. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan atresia esofagus. Atresia esofagus lebih berhubungan dengan
sindroma trisomi 21, 13, dan 18 dengan dugaan penyebab genetik.
d. Embriologi
Secara umum telah diterima bahwa primordial respirasi merupakan evaginasi
ventral dari lantai foregut postfaringeal pada awal gestasi minggu ke-4 dan apeks paru
primitif terletak pada bagian caudal evaginasi ini. Pada masa pertumbuhan cepat,
trakea yang terletak di ventral berpisah dari esofagus yang terletak di dorsal. Menurut
sebuah teori, trakea berpisah akibat pertumbuhan cepat longitudinal dari primordial
respirasi yang menjauh dari foregut.
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa defek primer diakibatkan tidak
membelahnya foregut akibat kegagalan pertumbuhan trakea ataupun kegagalan trakea
untuk berpisah dari esofagus. Menurut kedua teori ini atresia esofagus proksimal
bukan merupakan malformasi primer tetapi sebagai hasil pengaturan kembali foregut
proksimal. Teori kegagalan pemisahan ini menghubungkan keberadaan celah
trakeoesofageal pada atresia esofagus dengan FTE (fistula trakeoesofageal). Teori lain
menyatakan bahwa atresia esofagus proksimal merupakan malformasi sebagai akibat
dari persambungan antara trakea dengan esofagus distal. Teori kegagalan pemisahan
menyatakan bahwa FTE merupakan persambungan foregut dorsal sedangkan teori
atresia primer menyatakan bahwa fistula tumbuh dari trakea menuju esofagus.
e. Klasifikasi
Klasifikasi asli oleh Vogt tahun 1912 masih digunakan sampai saat ini. Gross
pada tahun 1953 memodifikasi klasifikasi tersebut, sementara Kluth 1976
menerbitkan "Atlas Atresia Esofagus", dengan masing-masing subtipe yang
didasarkan pada klasifikasi asli dari Vogt. Hal ini terlihat lebih mudah untuk
menggambarkan kelainan anatomi dibandingkan memberi label yang sulit untuk
dikenali.
Gambar 2. Klasifikasi Gross of Boston
1. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal distal (82% Vogt III. Gross C).
Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi dan
penebalan dinding otot berujung pada mediastinum superior setinggi vetebra torakal
III/IV. Esofagus distal (fistel), di mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding
posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm di atasnya. Jarak antara esofagus
proksimal yang buntu dan fistula trakeoesofageal distal bervariasi mulai dari bagian
yang overlap hingga yang berjarak jauh.
Gambar 3. Gambar di atas memperlihatkan atresia esofagus dengan fistula
trakeoesofageal distal. Perhatikan selang kateter yang berakhir di esofagus proksimal
dan udara pada lambung.
2. Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 9%, Vogg II, Gross A)
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen
esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi
mediastinum posterior sekitar vetebra torakalis II. Esofagus distal pendek dan
berakhir pada jarak yang berbeda di atas diafragma.
Gambar 4. Atresia esofagus tanpa fistula. Pandangan depan dada dan abdomen,
tampak kateter pada kantong esofagus proximal. Perhatikan ketiadaan udara pada
lambung.
3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia ( 6%, Gross E)
Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara anatomi cukup intak
dengan trakea. Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan
diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah.
Biasanya tunggal tetapi pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.
Gambar 5. H-Fistula. Barium esofagogram menunjukkan fistel dari anterior esofagus
menuju trakea secara anterosuperior.
4. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal ( 2%, Vogt III & Gross B)
Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun. Fistula bukan pada ujung distal
esofagus tetapi berlokasi 1-2 cm di atas ujung dinding depan esofagus.
Gambar 6. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal.
5. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal distal dan proksimal (<1% Vogt IIIa,
Gross D)
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan diterapi
sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran
pernapasan berulang, pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat
dilakukan dan diperbaiki keseluruhan. Seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas
banyak keluar dari kantong atas selama membuat/merancang anastomose.
Gambar 7. Hubungan antara dua fistula ke trakea dari bagian atas dan bawah
esofagus.
f. Manifestasi Klinik dan Diagnosis
Diagnosa dari atresia esofagus/fistula trakeoesofagus bisa ditegakkan sebelum
bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan
USG prenatal yaitu polihidramnion, di mana terdapat jumlah cairan amnion yang
sangat banyak. Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika ditemukan harus
dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Cairan amnion secara normal mengalami proses sirkulasi dengan cara ditelan,
dikeluarkan melalui urine. Pada Atresia Esofagus /Fistula Atresia Esofagus cairan
amnion yang ditelan dikeluarkan kembali karena menumpuknya cairan pada kantong
esofagus sehingga meningkatkan jumlah cairan amnion.
Gambar 8. Hasil USG : Polihidramnion berat pada atresia esofagus
Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal dengan penemuan
gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak ada pada USG setelah
kehamilan 18 minggu. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari
Atresia Esofagus (insiden 1%).
Gambar 9. Hasil USG :tidak terdapatnya gambaran stomach bubbe/ gelembung gas
pada atresia esofagus.
Bayi dengan Atresia Esofagus tidak mampu menelan saliva dan ditandai
dengan saliva yang banyak, dan memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu
sebelumnya makan untuk pertamakali, kateter stiff wide-bored harus dapat melewati
mulut hingga esofagus. Pada atresia esofagus, kateter tidak bisa lewat melebihi 9-10
cm dari alveolar paling bawah.
Gambar 10. Panah merah menunjukkan akhir dari tabung orogastrik yang diblokir saat
memasuki esofagus distal dari akibat atresia esofagus pasien. Perhatikan kurangnya gas
dalam perut menunjukkan saluran fistula tidak terhubung ke trakea esofagus distal.
Rontgen dada dan abdomen memperlihatkan ujung kateter tertahan. Di
superior mediatinum (T2-4). Tidak adanya gas gastro intestinal menunjukkan atresia
esofagus yang terisolasi. Perlu diperhatikan bahwa kateter harus bersifat kaku, untuk
mencegah kesalahan penilaian.
Gambar 11. Foto AP dari dada dan perut bagian atas saat lahir. Sebuah tabung
nasogastrik di tempat berakhir dicerukan dada. Bagian perut tidak terisi udara. Temuan ini
konsisten dengan atresia esofagus tanpa fistula distal.
Bayi baru lahir yang dicurigai menderita atresia esofagus/fistula trakeoesofagus
sebaiknya dilakuan pemeriksaan rontgen. Gambarannya berupa dilatasi dari kantong
esofagus, karena adanya penumpukan cairan amnion saat prenatal.
Gambar 11. Gambaran berupa dilatasi dari kantong esofagus
Selama perkembangan janin membesarnya esofagus menyebabkan penekanan dan
penyempitan dari trakhea. Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya fistula. Adanya
udara pada pada lambung memastikan adanya fistula.
g. Prognosis
Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada
paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor risiko, antara lain berat
badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan kongenital
lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya kelainan
bawaan lain yang mungkin multipel.
2. Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital
a. Anatomi dan Embriologi
Gambar 12. Embriologi lambung
Gambar 13. Anatomi gaster normal dan pyloric stenosis (dikutip dari kepustakaan 7)
Gambar 14. penyempitan outlet dari perut ke usus kecil (disebut pilorus) yang terjadi
pada bayi (dikutip dari kepustakaan 8)
b. Insidens dan Patofisiologi
Merupakan kelainan yang terjadi pada otot pilorus yang mengalami hipertrofi
pada lapisan sirkulernya, terbatas pada lingkaran pilorus dan jarang berlanjut ke otot
gaster. Kejadian ini lebih banyak diwariskan dari orang tuanya. Ibu yang menderita
hipertrofi pilorus cenderung akan melahirkan anak yang kemungkinannya menderita
hipertrofi pilorus empat kali lebih besar.
Meskipun diagnosis hipertrofi pilorus telah dapat ditentukan beberapa hari
setelah lahir, gejalanya baru terlihat jelas setelah berumur 3-6 minggu dan jarang
dijumpai setelah bayi berumur 3 bulan. (bedah the jong)
Suatu hipertrofi dan hiperplasia otot polos antrum lambung yang difus akan
menyempitkan lumen sehingga mudah tersumbat. Bagian antrum akan memanjang,
menebal menjadi dua kali ukuran normal dan berkonsistensi seperti tulang rawan.
Penebalan otot tidak pernah hanya terbatas pada suatu kumpulan serabut otot sirkuler
yang terpisah yaitu sfingter pilorus tetapi meluas ke bagian proksimal ke dalam
antrum dan ke bagian distal berakhir pada permulaan duodenum. Sebagai respon
terhadap obstruksi lumen dan peristaltik yang kuat , otot lambung akan menebal
(hipertrofi) dan mengembang (dilatasi).
c. Manifestasi klinis
- Anak menangis dan gelisah sewaktu sakit perut
- Muntah kuat tersembur jauh (muntah proyektil)
- Gelombang peristaltik lambung dapat terlihat di dinding perut
- Teraba otot pilorus yang menebal seperti tumor sebesar biji rambutan
- Konstipasi
- Oliguri
- Gejala dehidrasi/ tanda turgor turun.
d. Pemeriksaan radiologis
1. Foto polos abdomen
Pada Radiografi abdomen bisa menunjukkan perut berisi cairan atau udara,
pada perut yang membesar, dapat menandakan adanya obstruksi lambung. Adanya
tanda pembesaran perut dengan incisura yang melebar (caterpillar sign) dapat dilihat,
dan dapat juga menandakan adanya peningkatan peristaltik lambung pada pasien. Jika
pasien baru muntah atau terdapat nasogastric tube di dalam perut, perut didekompresi
dan hasil radiografi ditemukan normal. [18]
Gambar 15. posisi supine pada bayi yang muntah menunjukkan caterpillar sign dari
hiperistalsis lambung yang aktif
Gambar 16. Abdominal roentgenogram dari stenosis pylorus hipertrofi
(Dikutip dari kepustakaan 19)
2 . Foto MD (Maag Duodenum) atau Barium Meal
Berdasarkan penelitian MD atau barium meal dianggap sebagai salah satu
pemeriksaan radiologi untuk hipertrofi stenosis pilorik. Pada temuan radiografi dari
foto MD dengan kontras didapatkan hasil : [18]
Waktu pengosongan lambung merupakan tanda yang dapat dipercaya
untuk memastikan dari obstruksi gastric outlet oleh karena hipertrofi
stenosis pilorus. [5,18]
Elongasi pylorus. [18]
String sign. Terdapat sebuah garis tunggal dan panjang dari kontras
barium yang melapisi kanalis pylorus.[5,18]
Gambar 17. Gambaran string sign pada hypertrophic stenosis pyloric
(dikutip dari kepustakaan 18)
Double track sign. Mukosa dari canalis pyloricum berada di lipatan sentral.
Ketika kontras melewati pilorus maka kontras akan mengisi mukosa bagian atas
maupun bagian bawah yang mengalami hipertrofi, sehingga dapat terlihat
gambaran dua garis yang paralel di area pilorus.[5,18]
Gambar 18. Gambaran double track sign pada hypertrophic stenosis pyloric
(dikutip dari kepustakaan 18)
Shoulder sign memberikan gambaran saluran pilorus yang memanjang,
penonjolan otot pilorus kedalam antrum. [18]
Beak sign, Pada awal pemeriksaan,barium kontras dapat mengisi hanya di pintu
masuk dari canalis piloricum.[18,19]
Mushroom sign. Indentasi dari duodemal bulb. Dasar dari mukosa duodenum
cembung mengikuti otot pylorus yang menebal.[18]
Gambar 19 Hypertrophic pyloric stenosis yang memberikan gambaran “mushroom
sign”.(Dikutip dari kepustakaan 19)
3. Pemeriksaan ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen telah menggantikan pemeriksaan barium dalam
menegakkan diagnosis pada kasus yang sulit. [9]
Ketika seseorang di suspect dengan HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis)
tetapi tidak tampak massa berbentuk olive pada daerah hipokondrium kanan, maka
ultrasound digunakan untuk melihat penebalan dari otot pilorus, dan mempunyai
predictive value sampai 90%. Ultrasonografi dilakukan dengan transduser 7,5 - 13,5
MHz-linear dengan posisi supine pada anak. Ketika massa berbentuk olive telah
teridentifikasi dan ditemukan panjang canalis pyloricum lebih besar dari 17 mm dan
tebal dinding otot lebih besar dari 4 mm maka dapat dipastikan bahwa diagnostiknya
adalah HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis).[18,20]
Gambaran ultrasonografi pada stenosis pilorik hipertrofik adalah :
Target sign pada potongan transversal dari pylorus [18]
Gambar 20. Gambaran ultrasonografi potongan Transversal pada pasien dengan stenosis
pilorik hipertrofik menunjukkan target sign dan lapisan otot yang heterogen .
(Dikutip dari kepustakaan 18)
2. Antral nipple sign
Sebuah prolaps mukosa kedalam antrum, yang menyebabkan pseudomass.
Gambar 21. Gambaran ultrasonografi potongan longitudinal pada pasien dengan stenosis
pilorik hipertrofik menunjukkan penebalan mukosa yang memberikan gambaran antral
nipple sign. (Dikutip dari kepustakaan 18)
4. CT-SCAN abdomen
Gambar 22. CT-Scan abdomen dengan kontras potongan axial pada pasien yang
mengalami penebalan pada pylorus dan antrum bagian distal (tanda panah).
(Dikutip dari kepustakaan 21)
Gambar 23. CT-scan abdomen dengan kontras potongan koronal, tampak penebalan
fokal pylorus dan antrum bagian distal(21)
e. Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari hipertrofi stenosis pylorus adalah:
1. Spasme pylorus
2. Reflux gastro-esofagus
3. Trauma serebral-meningitis
4. Infeksi, seperti septikemi dan kelainan traktus urogenitalis.
f. Penatalaksanaan
- Perbaikan keadaan umum
- Pembedahan
Prosedur bedah pilihan adalah piloromiotomi ramstedt.
3. Atresia Duodenum
a. Definisi
Merupakan kondisi di mana duodenum tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak
berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan
dari lambung ke usus.
b. Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari belum diketahui, seringnya ditemukan
keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya
menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa
awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan
anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada
perkembangan selanjutnya.
c. Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak
adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi
pita padat epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan
bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan
terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan
vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi
dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul
selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi
sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan
duodenum daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun
atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal
dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya
memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.
d. Epidemiologi
Insiden atresia duodenum di Amerika Serikat adalah 1 per 6000 kelahiran. Tidak
terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini. Setengah dari neonatus yang
menderita atresia atau stenosis duodenum lahir prematur. Hidramnion terjadi pada
sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau stenosis duodenum paling sering
dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien obstruksi duodenum menderita
trisomi 21.
e. Manifestasi Klinis
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau
duodenal web dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak
atau remaja.
Gejala atresia duodenum:
Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas
Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu
(biliosa)
Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam
Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil
Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Seringkali
muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi
proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati
deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang
lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenum khas memiliki abdomen skafoid.
Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum
proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak
terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi
kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena
belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan
asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba
orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
f. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya
adalah gambaran khas atresia duodenum. Adanya gas pada usus distal
mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali duktus
hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi
pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan
atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Gambar 24: Radiografi frontal supine dari abdomen menunjukkan double bubble sign:
sebuah pembesaran lambung (S) dan duodenum proksimal (D) pada neonatus dengan
atresia duodenum. Tampak tidak terdapat udara pada distal.
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran
double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu
pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan
prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling
prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehatan yang memiliki
fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.
Gambar 25: USG prenatal pada potongan sagital oblik pada janin menunjukkan double
bubble sign pada janin dengan atresia duodenum. Pada uterus, lambung (S) dan
duodenum (D) berisi cairan.
Gambar 26: Atresia duodenum pada neonatus perempuan, usia 8 jam dengan manifestasi
berupa muntah kehijauan. Foto abdominal scout menandakan sebuah distensi lambung
dan duodenum tanpa udara pada sisa traktus intestinal (double bubble sign).
Gambar 27: Foto lateral memperlihatkan obstruksi duodenum komplit dengan double
bubble sign, sebuah gambaran yang menunjukkan atresia duodenum.
Gambar 28: Duodenal web pada anak laki-laki 1 tahun dengan muntah yang intermiten.
Foto dengan barium menunjukkan dilatasi lambung dan proksimal duodenum. Sebuah
diafragma yang tidak komplit ditemukan saat operasi.
Gambar 29: Diafragma duodenum tanpa obstruksi pada laki-laki 32 tahun. Foto dari
pemeriksaan barium menunjukkan gambaran yang halus, filling defect transversal pada
bagian kedua duodenum (tanda panah), menyebabkan jalur kontras lancar menuju usus
halus.
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk atresia dan stenosis duodenum pada neonatus mencakup:
Atresia esofagus
Malrotasi dengan volvulus midgut
Stenosis pylorus
Pankreas anular
Vena portal preduodenal
Atresia usus
Duplikasi duodenal
Obstruksi benda asing
Penyakit Hirschsprung
Refluks gastroesofageal
h. Penanganan
Tuba orogastrik dipasang untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit dikoreksi dengan memberikan cairan dan elektrolit melalui
infus intravena. Lakukan juga evaluasi anomali kongenital lainnya. Masalah terkait
(misalnya sindrom Down) juga harus ditangani. Pembedahan untuk mengoreksi
kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun tidak darurat.
i. Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir.
Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik
pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
j. Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila
tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut
seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks
gastroesofageal.
4. Atresia Bilier
a. Definisi
Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik mengalami
hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi pada aliran
empedu.(1,2,3) Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kolestasis yang harus
segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada kebanyakan bayi baru lahir.(1,2,3,4,5)
Gambar 30: Atresia Biliaris, dikutip dari kepustakaan 1
Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien. Namun jika
disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi
atresia yang sering ditemukan:(1)
Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus
Tipe II: terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik
ditemukan pada porta hepatis
Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus dextra
dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.
b. Epidemiologi
Insidens di Amerika Serikat adalah 1 per 10.000-15.000 kelahiran hidup.(1,2)
Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris termasuk tinggi di populasi
Asia. Insidens tinggi juga ditemukan pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat
mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras kulit putih, dan lebih sering ditemukan pada
anak perempuan. Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi
baru lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.(1)
c. Etiologi
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan atresia biliaris antara lain:
Agen infeksius
Ditemukan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris.
Faktor genetik
Masih belum dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan
atresia biliaris.(1,2,7)
Penyebab lain
Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab atresia
biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan
pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris.(2)
d. Anatomi Sistem Bilier Ekstrahepatik
Sistem bilier esktrahepatik terdiri atas Vesica Fellea (Gallbladder), ductus Cysticus,
ductus Hepaticus, ductus Choledochus, Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk
oleh persatuan ductus cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis.
Di dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
1. Bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di
sebelah dextro-anterior a. hepatica communis dan vena portae;
2. Bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
ligamen hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di
sebelah dexter vena portae;
3. Bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah ventral
vena renalis sinister dan vena cava inferior.
Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus
Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla
duodeni major.
Gambar 31: Anatomi Sistem Bilier Ekstra-hepatik dikutip dari kepustakaan 9
e. Patofisiologi
Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada sistem
ductus bilier sebagai penyebabnya. Kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris,
ditemukan lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau
gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.(1)
Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier dalam
penyakit atresia biliaris merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan satu faktor
etiologik saja. (1)
f. Gambaran Klinis
Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris,
antar lain:(1)
Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali
juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat
mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada
palpasi di area epigastrium.
Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung
bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.
g. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonography (USG)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier
ekstrahepatik dengan menggunakan USG, terutama kista koledokal. Saat ini,
diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan USG fetal in utero.(1,2,6)
Pada atresia biliaris, USG dapat menunjukkan ketiadaan kantung empedu dan tidak
berdilatasinya jalur bilier. Namun, sensitifitas dan spesifisitas temuan dari USG tidak
mencapai 80%. Karena alasan ini, US dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi
atresia biliaris.(1)
Gambar 32: USG normal pada system biliaris
Gambar 13: Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan
atresia biliaris dan kista sentral besar pada porta hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12
Gambar 34 : plak fibrous pada atresia bilier dengan gambaran “ triangular cord”
Hepatobiliary scintiscanning (HSS)
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai mengalami
atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang sudah diberi
radiolabel dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik.(1) Bahkan pada
atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia biliaris
meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.(13)
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan ini.
Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi sangat
tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif –palsu dan negatif-palsu
mencapai 10%.(1)
Gambar 35: HSS pada pasien dengan atresia biliaris yang menunjukkan tidak adanya
ekskresi marker ke usus dalam 24 jam. Dikutip dari kepustakaan 12
Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)
Meskipun belum digunakan seluas US, MRC dapat menjadi alternatif pilihan untuk
mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan atresia
bliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.14, 15
Gambar 36: MRC pada bayi umur 2 bulan yang dicurigai menderita atresia biliaris pada
pemeriksaan US. Proyeksi intensitas maksimum MRC memberikan gambaran sistem bilier
normal dan kantung empedu yang juga normal (*). Dikutip dari kepustakaan 14.
Gambar 37: Tanda panah pada gambar menunjukkan area triangular MRC yang
memiliki intensitesa tinggi namun tidak menunjukkan adanya sistem duktus
ekstrahepatik pada bayi baru lahir. Dikutip dari kepustakaan 15.
Kolangiografi Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris.
Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi
obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam
saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif
dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan
gagal menunjukkan hasil yang adekuat.(1,6)
Gambar 38: Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi
sedang duktus intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum. Dikutip
dari kepustakaan 12.
h. Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan medis primer yang relevan dalam menangani atresia
biliaris ekstrahepatis. Sekali seorang pasien dicurigai menderita atresia biliaris, maka
intervensi bedah hanyalah satu-satunya mekanisme yang memungkinkan untuk
mendiagnosisnya secara definitif (kolagiogram intraoperatif) sekaligus menjadi
terapinya (Kasai portoenterostomy).(1,3,16,17)
Pada kasus patensi bilier yang berkaitan dengan hipoplasia duktal, intervensi bedah
tidak diindikasikan, dan empedu dapat diambil spesimennya untuk mengevaluasi
kelainan metabolisme asam empedu.
Pada periode post-operasi, metilprednisolon dapat digunakan sebagai anti-inflamasi
dan stimulan non-spesifik terhadap aliran garam empedu. Dosis pemberiaannya
adalah 1.6-2 mg/kg/hari IV.(1)
i. Prognosis
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60%
dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-
anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama
kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang
dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).(1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. April 2009. [cited February 2011]. Available
from URL:http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
2. Kader H, Balesteri W. Neonatal cholestasis. In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson HB,
Stanton BF, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Ed. Philadelphia: Elsevier Churchill
Livingstone; 2007.p.353
3. Serinet MO,Wildhaber BE, Broue P, Lachaux A, Sarles J, Jacquemin E, et al. Impact of age
at kasai operation on its results in late childhood and adolescence: a rational basis for biliary
atresia screening. In: Pediatrics Journal Vol. 123 No. 5 Illinois;2009.p.1280-1286
4. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam: Kumar, Cotran, Robins, Eds. Buku Ajar
Patologi Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.h.708
5. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology of biliary atresia: a
population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99. Ilinois; 1997. p.376-382
6. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice: test at 2
weeks. In: Clinical Review Canadian Family Physician Vol. 55. Canada; 2009.p.1185-1189
7. Moore TC. Pathogenesis of biliary atresia. In: Pediatrics Journal Vol. 78. Illinois;
1978.p.183.
8. Datu, AR. Viscera abdominis. Dalam: Diktat Anatomi Abdomen. Makassar: Bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004.h.29-30
9. Anonim. Gall blader picture. [online]. 2011. [cited February 2011]. Available from URL:
http://medicalimages.allrefer.com/large/biliary-obstruction-series.jpg
10. Farrant P, Meire HB, Vergani M. Improved diagnosis of extraheptic biliary atresia by high
frequency ultrasound of the gall bladder. In: The British Journal of Radiology Vol.74.
London;2001.p952–954
11. LeeMS, Kim MJ, Yoon CS, Lee MJ, Han SJ, Oh JT, et al. Biliary atresia: color dopler us
findings in neonates and infants. In: Radiology Journal Vol. 252. No.1. US; 2009. p283-289
12. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresiaimaging. [online]. October 2009. [cited February
2011]. Available from URL:http://emedicine.medscape.com/article/927029-media
13. Abut E,Akkaya L, Uysal U, Arman A, Guveli H, Bolukbas C, et al. Selective spleen
scintigraphy in the diagnosis of polysplenia syndrome. In: The British Journal of Radiology
Vol.77. London; 2004.p.698–700
14. Metreweli C, So NMC, Chu WCW, Lam WWM. Magnetic resonance cholangiography in
children. In:The British Journal of Radiology Vol.77. London;2004. p.1059–1064
15. Kim MJ, Park YN, Han SJ, Yoon CS, Yoo HS, Hwang EH, et al. Biliary atresia in neonates
and infants: triangular area of high signal intensity in the porta hepatis at t2-weighted mr
cholangiography with us and histopathologic correlation. In: Radiology Journal Vol. 215 No.
2. US; 2000. p.353-401
16. Willlot S, Uhlen S, Michbaud L, Briand G, Bonnevalle E, Sfeir R, et al. Effect of
ursodeoxycholic acid on liver function in children after successful surgery for biliary atresia.
In: Pediatrics Journal Vol.122. No. 7. Illinois; 2008. p.1236-1238
17. Kotb M A, Sheba M, Koofy NE, Mansour S, Karaksy HME, Dessouki ME, et al. Post-
portoenterostomy triangular cord sign prognostic value in biliary atresia: a prospective
study.In: The British Journal of Radiology Vol.78. London; 2005.p.884-887