BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

52
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelainan Bawaan (Kelainan Kongenital) adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Sekitar 3-4% bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat. Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5% terdiagnosis ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebanyakan bersifat ringan. Kelainan kongenital pada saluran cerna bagian atas masih banyak ditemukan di indonesia. Beberapa kelainan kongenital yang sering ditemukan diantaranya Atresia Esofagus, Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital, Atresia Duodenum dan Atresia bilier. Diagnosa kelainan kongenital saluran cerna dapat dengan mudah ditegakkan berdasarkan klinisnya. Kelainan tersebut ditemukan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, termasuk pemeriksaan radiologi. 1

description

y

Transcript of BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Page 1: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan Bawaan (Kelainan Kongenital) adalah suatu kelainan pada

struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia

dilahirkan. Sekitar 3-4% bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat.

Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5%

terdiagnosis ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebanyakan bersifat ringan.

Kelainan kongenital pada saluran cerna bagian atas masih banyak ditemukan

di indonesia. Beberapa kelainan kongenital yang sering ditemukan diantaranya

Atresia Esofagus, Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital, Atresia Duodenum dan

Atresia bilier.

Diagnosa kelainan kongenital saluran cerna dapat dengan mudah ditegakkan

berdasarkan klinisnya. Kelainan tersebut ditemukan berdasarkan gambaran klinis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, termasuk pemeriksaan radiologi. 1

Tatalaksana pada kelainan kongenital saluran cerna bagian atas adalah sesuatu

hal yang kompleks. Secara keseluruhan pengelolaan individu yang terkena mungkin

bisa dibagi menjadi dua tahap. Pertama, tatalaksana pada kondisi yang akan

membayakan kehidupan. Kedua, tatalaksana pada cacat bawaan yang dapat

mengakibatkan gejala sisa jangka panjang.1

Dengan perbaikan melalui teknik bedah, spesialisasi neonatal dan fasilitas

setelah pembedahan, prognosis dari kelainan kongenital saluran cerna bagian atas

akan jauh lebih baik dari sebelumnya.1

Page 2: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

1.2. Batasan Masalah

Pembahasan tulisan ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,

patogenesis, gambaran klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan prognosis kelainan kongenital saluran cerna bagian atas.

1.3. Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai kelainan kongenital saluran cerna bagian atas.

1.4. Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.

Page 3: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi saluran pencernaan

Gambar 1. Anatomi saluran pencernaan

Dikatakan saluran cerna bagian atas mulai dari esofagus sampai dengan duodenum

(ligamentum treitz).

B. Embriologi saluran pencernaan

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus,

lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut

membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai

pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana

Page 4: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka,dan ektoderm dari protoderm

atau analpit. (Faradilla, 2009)

C. Fisiologi saluran pencernaan

Fungsi dari saluran pencernaan adalah memenuhi kebutuhan tubuh terhadap air,

elektrolit dan nutrien. Hal ini dilaksanakan melalui:

Fungsi mekanik yaitu gerakan makanan di sepanjang saluran pencernaan

Fungsi sekresi yaitu mensekresikan enzim dan cairan pencernaan

Fungsi Digesti

Fungsi absorpsi

Kontrol fungsi saluran pencernaan

D. Kelainan kongenital saluran pencernaan bagian atas

1. Atresia esofagus

a. Definisi

Atresia esofagus adalah sekelompok kelainan kongenital yang mencakup gangguan

kontinuitas esofagus disertai atau tanpa adanya hubungan dengan trakea.

b. Epidemiologi

Di Amerika Utara insiden dari atresia esofagus berkisar 1:3000-4500 dari

kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum

diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia

yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia esofagus 2-3 kali  lebih sering pada janin yang 

kembar.

c. Etiologi

Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan

terjadinya kelainan atresia esofagus. Atresia esofagus lebih berhubungan dengan

sindroma trisomi 21, 13, dan 18 dengan dugaan penyebab genetik.

d. Embriologi

Page 5: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Secara umum telah diterima bahwa primordial respirasi merupakan evaginasi

ventral dari lantai foregut postfaringeal pada awal gestasi minggu ke-4 dan apeks paru

primitif terletak pada bagian caudal evaginasi ini. Pada masa pertumbuhan cepat,

trakea yang terletak di ventral berpisah dari esofagus yang terletak di dorsal. Menurut

sebuah teori, trakea berpisah akibat pertumbuhan cepat longitudinal dari primordial

respirasi yang menjauh dari foregut.

Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa defek primer diakibatkan tidak

membelahnya foregut akibat kegagalan pertumbuhan trakea ataupun kegagalan trakea

untuk berpisah dari esofagus. Menurut kedua teori ini atresia esofagus proksimal

bukan merupakan malformasi primer tetapi sebagai hasil pengaturan kembali foregut

proksimal. Teori kegagalan pemisahan ini menghubungkan keberadaan celah

trakeoesofageal pada atresia esofagus dengan FTE (fistula trakeoesofageal). Teori lain

menyatakan bahwa atresia esofagus proksimal merupakan malformasi sebagai akibat

dari persambungan antara trakea dengan esofagus distal. Teori kegagalan pemisahan

menyatakan bahwa FTE merupakan persambungan foregut dorsal sedangkan teori

atresia primer menyatakan bahwa fistula tumbuh dari trakea menuju esofagus.

e. Klasifikasi

Klasifikasi asli oleh Vogt tahun 1912 masih digunakan sampai saat ini. Gross

pada tahun 1953 memodifikasi klasifikasi tersebut, sementara  Kluth 1976

menerbitkan "Atlas Atresia Esofagus", dengan masing-masing subtipe yang

didasarkan pada klasifikasi asli dari Vogt. Hal ini terlihat lebih mudah untuk

menggambarkan kelainan anatomi dibandingkan memberi label yang sulit untuk

dikenali.

Page 6: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 2. Klasifikasi Gross of Boston

1. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal distal (82% Vogt III. Gross C).

Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi dan

penebalan dinding otot berujung  pada mediastinum superior setinggi vetebra torakal

III/IV. Esofagus distal (fistel), di mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding

posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm di atasnya. Jarak antara esofagus

proksimal yang buntu dan fistula trakeoesofageal distal bervariasi mulai dari bagian

yang overlap hingga yang berjarak jauh.

Page 7: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 3. Gambar di atas memperlihatkan atresia esofagus dengan fistula

trakeoesofageal distal. Perhatikan selang kateter yang berakhir di esofagus proksimal

dan udara pada lambung.

2. Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 9%, Vogg II, Gross A)

Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen

esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi

mediastinum posterior sekitar vetebra torakalis II. Esofagus distal pendek dan

berakhir pada jarak yang berbeda di atas diafragma.

Gambar 4. Atresia esofagus tanpa fistula. Pandangan depan dada dan abdomen,

tampak kateter pada kantong esofagus proximal. Perhatikan ketiadaan udara pada

lambung.

Page 8: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia ( 6%, Gross E)

Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara anatomi cukup intak

dengan trakea. Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan

diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah.

Biasanya tunggal tetapi pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.

Gambar 5. H-Fistula. Barium esofagogram menunjukkan fistel dari anterior esofagus

menuju trakea secara anterosuperior.

4. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal ( 2%, Vogt III & Gross B)

Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun. Fistula bukan pada ujung distal

esofagus tetapi berlokasi 1-2 cm di atas ujung dinding depan esofagus.

Page 9: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 6. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal.

5. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal distal dan proksimal (<1% Vogt IIIa,

Gross D)

Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan diterapi

sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran

pernapasan berulang, pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat

dilakukan dan diperbaiki keseluruhan. Seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas

banyak keluar dari kantong atas selama membuat/merancang anastomose.

Page 10: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 7. Hubungan antara dua fistula ke trakea dari bagian atas dan bawah

esofagus.

f. Manifestasi Klinik dan Diagnosis

Diagnosa dari atresia esofagus/fistula trakeoesofagus bisa ditegakkan sebelum

bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan

USG prenatal yaitu polihidramnion, di mana terdapat jumlah cairan amnion yang

sangat banyak. Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika ditemukan  harus

dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.

Cairan amnion secara normal mengalami proses sirkulasi dengan cara ditelan,

dikeluarkan melalui urine. Pada  Atresia Esofagus /Fistula Atresia Esofagus cairan

amnion yang ditelan dikeluarkan kembali karena menumpuknya cairan pada kantong 

esofagus sehingga meningkatkan jumlah cairan amnion.

Page 11: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 8. Hasil USG : Polihidramnion berat pada atresia esofagus

Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal dengan penemuan

gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak ada pada USG setelah

kehamilan 18 minggu. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari

Atresia Esofagus (insiden 1%).

Gambar 9. Hasil USG :tidak terdapatnya gambaran stomach bubbe/ gelembung gas

pada atresia esofagus.

Bayi dengan Atresia Esofagus tidak mampu menelan saliva dan ditandai

dengan saliva yang banyak, dan memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu

sebelumnya makan  untuk pertamakali, kateter stiff wide-bored harus dapat melewati

mulut hingga esofagus. Pada atresia esofagus, kateter tidak bisa lewat melebihi 9-10

cm dari alveolar paling bawah.

Page 12: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 10. Panah merah menunjukkan akhir dari tabung orogastrik yang diblokir saat

memasuki esofagus distal dari akibat atresia esofagus pasien. Perhatikan kurangnya gas

dalam perut menunjukkan saluran fistula tidak terhubung ke trakea esofagus distal.

Rontgen dada dan abdomen memperlihatkan ujung kateter tertahan. Di

superior mediatinum (T2-4). Tidak adanya gas gastro intestinal menunjukkan atresia

esofagus yang terisolasi. Perlu diperhatikan bahwa kateter harus bersifat kaku, untuk

mencegah kesalahan penilaian.

Gambar 11. Foto AP dari dada dan perut bagian atas saat lahir. Sebuah tabung

nasogastrik di tempat berakhir dicerukan dada. Bagian perut tidak terisi udara. Temuan ini

konsisten dengan atresia esofagus tanpa fistula distal.

Page 13: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Bayi baru lahir yang dicurigai menderita atresia esofagus/fistula trakeoesofagus

sebaiknya dilakuan pemeriksaan rontgen. Gambarannya berupa dilatasi dari kantong

esofagus, karena adanya penumpukan cairan amnion saat prenatal.

Gambar 11. Gambaran berupa dilatasi dari kantong esofagus

Selama perkembangan janin membesarnya esofagus  menyebabkan penekanan dan

penyempitan dari trakhea. Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya fistula. Adanya

udara pada pada lambung  memastikan adanya fistula.

g. Prognosis

Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada

paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor risiko, antara lain berat

badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan kongenital

lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya kelainan

bawaan lain yang mungkin multipel.

2. Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital

a. Anatomi dan Embriologi

Page 14: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 12. Embriologi lambung

Gambar 13. Anatomi gaster normal dan pyloric stenosis (dikutip dari kepustakaan 7)

Page 15: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 14. penyempitan outlet dari perut ke usus kecil (disebut pilorus) yang terjadi

pada bayi (dikutip dari kepustakaan 8)

b. Insidens dan Patofisiologi

Merupakan kelainan yang terjadi pada otot pilorus yang mengalami hipertrofi

pada lapisan sirkulernya, terbatas pada lingkaran pilorus dan jarang berlanjut ke otot

gaster. Kejadian ini lebih banyak diwariskan dari orang tuanya. Ibu yang menderita

hipertrofi pilorus cenderung akan melahirkan anak yang kemungkinannya menderita

hipertrofi pilorus empat kali lebih besar.

Meskipun diagnosis hipertrofi pilorus telah dapat ditentukan beberapa hari

setelah lahir, gejalanya baru terlihat jelas setelah berumur 3-6 minggu dan jarang

dijumpai setelah bayi berumur 3 bulan. (bedah the jong)

Suatu hipertrofi dan hiperplasia otot polos antrum lambung yang difus akan

menyempitkan lumen sehingga mudah tersumbat. Bagian antrum akan memanjang,

menebal menjadi dua kali ukuran normal dan berkonsistensi seperti tulang rawan.

Penebalan otot tidak pernah hanya terbatas pada suatu kumpulan serabut otot sirkuler

yang terpisah yaitu sfingter pilorus tetapi meluas ke bagian proksimal ke dalam

antrum dan ke bagian distal berakhir pada permulaan duodenum. Sebagai respon

terhadap obstruksi lumen dan peristaltik yang kuat , otot lambung akan menebal

(hipertrofi) dan mengembang (dilatasi).

Page 16: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

c. Manifestasi klinis

- Anak menangis dan gelisah sewaktu sakit perut

- Muntah kuat tersembur jauh (muntah proyektil)

- Gelombang peristaltik lambung dapat terlihat di dinding perut

- Teraba otot pilorus yang menebal seperti tumor sebesar biji rambutan

- Konstipasi

- Oliguri

- Gejala dehidrasi/ tanda turgor turun.

d. Pemeriksaan radiologis

1. Foto polos abdomen

Pada Radiografi abdomen bisa menunjukkan perut berisi cairan atau udara,

pada perut yang membesar, dapat menandakan adanya obstruksi lambung. Adanya

tanda pembesaran perut dengan incisura yang melebar (caterpillar sign) dapat dilihat,

dan dapat juga menandakan adanya peningkatan peristaltik lambung pada pasien. Jika

pasien baru muntah atau terdapat nasogastric tube di dalam perut, perut didekompresi

dan hasil radiografi ditemukan normal. [18]

Gambar 15. posisi supine pada bayi yang muntah menunjukkan caterpillar sign dari

hiperistalsis lambung yang aktif

Page 17: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 16. Abdominal roentgenogram dari stenosis pylorus hipertrofi

(Dikutip dari kepustakaan 19)

2 . Foto MD (Maag Duodenum) atau Barium Meal

Berdasarkan penelitian MD atau barium meal dianggap sebagai salah satu

pemeriksaan radiologi untuk hipertrofi stenosis pilorik. Pada temuan radiografi dari

foto MD dengan kontras didapatkan hasil : [18]

Waktu pengosongan lambung merupakan tanda yang dapat dipercaya

untuk memastikan dari obstruksi gastric outlet oleh karena hipertrofi

stenosis pilorus. [5,18]

Elongasi pylorus. [18]

String sign. Terdapat sebuah garis tunggal dan panjang dari kontras

barium yang melapisi kanalis pylorus.[5,18]

Page 18: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 17. Gambaran string sign pada hypertrophic stenosis pyloric

(dikutip dari kepustakaan 18)

Double track sign. Mukosa dari canalis pyloricum berada di lipatan sentral.

Ketika kontras melewati pilorus maka kontras akan mengisi mukosa bagian atas

maupun bagian bawah yang mengalami hipertrofi, sehingga dapat terlihat

gambaran dua garis yang paralel di area pilorus.[5,18]

Gambar 18. Gambaran double track sign pada hypertrophic stenosis pyloric

(dikutip dari kepustakaan 18)

Page 19: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Shoulder sign memberikan gambaran saluran pilorus yang memanjang,

penonjolan otot pilorus kedalam antrum. [18]

Beak sign, Pada awal pemeriksaan,barium kontras dapat mengisi hanya di pintu

masuk dari canalis piloricum.[18,19]

Mushroom sign. Indentasi dari duodemal bulb. Dasar dari mukosa duodenum

cembung mengikuti otot pylorus yang menebal.[18]

Gambar 19 Hypertrophic pyloric stenosis yang memberikan gambaran “mushroom

sign”.(Dikutip dari kepustakaan 19)

3. Pemeriksaan ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen telah menggantikan pemeriksaan barium dalam

menegakkan diagnosis pada kasus yang sulit. [9]

Ketika seseorang di suspect dengan HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis)

tetapi tidak tampak massa berbentuk olive pada daerah hipokondrium kanan, maka

ultrasound digunakan untuk melihat penebalan dari otot pilorus, dan mempunyai

predictive value sampai 90%. Ultrasonografi dilakukan dengan transduser 7,5 - 13,5

MHz-linear dengan posisi supine pada anak. Ketika massa berbentuk olive telah

teridentifikasi dan ditemukan panjang canalis pyloricum lebih besar dari 17 mm dan

tebal dinding otot lebih besar dari 4 mm maka dapat dipastikan bahwa diagnostiknya

adalah HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis).[18,20]

Gambaran ultrasonografi pada stenosis pilorik hipertrofik adalah :

Target sign pada potongan transversal dari pylorus [18]

Page 20: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 20. Gambaran ultrasonografi potongan Transversal pada pasien dengan stenosis

pilorik hipertrofik menunjukkan target sign dan lapisan otot yang heterogen .

(Dikutip dari kepustakaan 18)

2. Antral nipple sign

Sebuah prolaps mukosa kedalam antrum, yang menyebabkan pseudomass.

Gambar 21. Gambaran ultrasonografi potongan longitudinal pada pasien dengan stenosis

pilorik hipertrofik menunjukkan penebalan mukosa yang memberikan gambaran antral

nipple sign. (Dikutip dari kepustakaan 18)

4. CT-SCAN abdomen

Page 21: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 22. CT-Scan abdomen dengan kontras potongan axial pada pasien yang

mengalami penebalan pada pylorus dan antrum bagian distal (tanda panah).

(Dikutip dari kepustakaan 21)

Gambar 23. CT-scan abdomen dengan kontras potongan koronal, tampak penebalan

fokal pylorus dan antrum bagian distal(21)

e. Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding dari hipertrofi stenosis pylorus adalah:

Page 22: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

1. Spasme pylorus

2. Reflux gastro-esofagus

3. Trauma serebral-meningitis

4. Infeksi, seperti septikemi dan kelainan traktus urogenitalis.

f. Penatalaksanaan

- Perbaikan keadaan umum

- Pembedahan

Prosedur bedah pilihan adalah piloromiotomi ramstedt.

3. Atresia Duodenum

a. Definisi

Merupakan kondisi di mana duodenum tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak

berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan

dari lambung ke usus.

b. Etiologi

Meskipun penyebab yang mendasari belum diketahui, seringnya ditemukan

keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya

menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa

awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan

anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada

perkembangan selanjutnya.

c. Patofisiologi

Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak

adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi

pita padat epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan

bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan

terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan

vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi

dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul

selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia

Page 23: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi

sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan

duodenum daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.

Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun

atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal

dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya

memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan

organogenesis dari duodenum.

d. Epidemiologi

Insiden atresia duodenum di Amerika Serikat adalah 1 per 6000 kelahiran. Tidak

terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini. Setengah dari neonatus yang

menderita atresia atau stenosis duodenum lahir prematur. Hidramnion terjadi pada

sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau stenosis duodenum paling sering

dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien obstruksi duodenum menderita

trisomi 21.

e. Manifestasi Klinis

Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau

duodenal web dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak

atau remaja.

Gejala atresia duodenum:

Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas

Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu

(biliosa)

Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam

Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil

Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.

Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Seringkali

muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi

proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati

Page 24: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang

lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial.

Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenum khas memiliki abdomen skafoid.

Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum

proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak

terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi

kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena

belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan

asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba

orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna

empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.

f. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya

adalah gambaran khas atresia duodenum. Adanya gas pada usus distal

mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali duktus

hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi

pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan

atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.

Page 25: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 24: Radiografi frontal supine dari abdomen menunjukkan double bubble sign:

sebuah pembesaran lambung (S) dan duodenum proksimal (D) pada neonatus dengan

atresia duodenum. Tampak tidak terdapat udara pada distal.

Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum

teridentifikasi sebelum kelahiran. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran

double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu

pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan

prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling

prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehatan yang memiliki

fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.

Page 26: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 25: USG prenatal pada potongan sagital oblik pada janin menunjukkan double

bubble sign pada janin dengan atresia duodenum. Pada uterus, lambung (S) dan

duodenum (D) berisi cairan.

Gambar 26: Atresia duodenum pada neonatus perempuan, usia 8 jam dengan manifestasi

berupa muntah kehijauan. Foto abdominal scout menandakan sebuah distensi lambung

dan duodenum tanpa udara pada sisa traktus intestinal (double bubble sign).

Page 27: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 27: Foto lateral memperlihatkan obstruksi duodenum komplit dengan double

bubble sign, sebuah gambaran yang menunjukkan atresia duodenum.

Gambar 28: Duodenal web pada anak laki-laki 1 tahun dengan muntah yang intermiten.

Foto dengan barium menunjukkan dilatasi lambung dan proksimal duodenum. Sebuah

diafragma yang tidak komplit ditemukan saat operasi.

Page 28: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 29: Diafragma duodenum tanpa obstruksi pada laki-laki 32 tahun. Foto dari

pemeriksaan barium menunjukkan gambaran yang halus, filling defect transversal pada

bagian kedua duodenum (tanda panah), menyebabkan jalur kontras lancar menuju usus

halus.

g. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk atresia dan stenosis duodenum pada neonatus mencakup:

Atresia esofagus

Malrotasi dengan volvulus midgut

Stenosis pylorus

Pankreas anular

Vena portal preduodenal

Atresia usus

Duplikasi duodenal

Obstruksi benda asing

Penyakit Hirschsprung

Refluks gastroesofageal

h. Penanganan

Tuba orogastrik dipasang untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit dikoreksi dengan memberikan cairan dan elektrolit melalui

Page 29: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

infus intravena. Lakukan juga evaluasi anomali kongenital lainnya. Masalah terkait

(misalnya sindrom Down) juga harus ditangani. Pembedahan untuk mengoreksi

kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun tidak darurat.

i. Prognosis

Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir.

Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik

pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.

j. Komplikasi

Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila

tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut

seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks

gastroesofageal.

4. Atresia Bilier

a. Definisi

Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik mengalami

hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi pada aliran

empedu.(1,2,3) Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kolestasis yang harus

segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada kebanyakan bayi baru lahir.(1,2,3,4,5)

Gambar 30: Atresia Biliaris, dikutip dari kepustakaan 1

Page 30: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien. Namun jika

disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi

atresia yang sering ditemukan:(1)

Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus

Tipe II: terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik

ditemukan pada porta hepatis

Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus dextra

dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.

b. Epidemiologi

Insidens di Amerika Serikat adalah 1 per 10.000-15.000 kelahiran hidup.(1,2)

Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris termasuk tinggi di populasi

Asia. Insidens tinggi juga ditemukan pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat

mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras kulit putih, dan lebih sering ditemukan pada

anak perempuan. Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi

baru lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.(1)

c. Etiologi

Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan atresia biliaris antara lain:

Agen infeksius

Ditemukan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris.

Faktor genetik

Masih belum dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan

atresia biliaris.(1,2,7)

Penyebab lain

Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab atresia

biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan

pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris.(2)

Page 31: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

d. Anatomi Sistem Bilier Ekstrahepatik

Sistem bilier esktrahepatik terdiri atas Vesica Fellea (Gallbladder), ductus Cysticus,

ductus Hepaticus, ductus Choledochus, Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk

oleh persatuan ductus cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis.

Di dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:

1. Bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di

sebelah dextro-anterior a. hepatica communis dan vena portae;

2. Bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar

ligamen hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di

sebelah dexter vena portae;

3. Bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah ventral

vena renalis sinister dan vena cava inferior.

Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus

Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars

descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla

duodeni major.

Gambar 31: Anatomi Sistem Bilier Ekstra-hepatik dikutip dari kepustakaan 9

Page 32: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

e. Patofisiologi

Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada sistem

ductus bilier sebagai penyebabnya. Kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris,

ditemukan lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau

gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.(1)

Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier dalam

penyakit atresia biliaris merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan satu faktor

etiologik saja. (1)

f. Gambaran Klinis

Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris,

antar lain:(1)

Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali

juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat

mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.

Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu

Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada

palpasi di area epigastrium.

Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung

bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.

g. Pemeriksaan Radiologi

Ultrasonography (USG)

Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier

ekstrahepatik dengan menggunakan USG, terutama kista koledokal. Saat ini,

diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan USG fetal in utero.(1,2,6)

Pada atresia biliaris, USG dapat menunjukkan ketiadaan kantung empedu dan tidak

berdilatasinya jalur bilier. Namun, sensitifitas dan spesifisitas temuan dari USG tidak

mencapai 80%. Karena alasan ini, US dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi

atresia biliaris.(1)

Page 33: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 32: USG normal pada system biliaris

Gambar 13: Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan

atresia biliaris dan kista sentral besar pada porta hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12

Page 34: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 34 : plak fibrous pada atresia bilier dengan gambaran “ triangular cord”

Hepatobiliary scintiscanning (HSS)

Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai mengalami

atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang sudah diberi

radiolabel dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik.(1) Bahkan pada

atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia biliaris

meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.(13)

Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan ini.

Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi sangat

tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif –palsu dan negatif-palsu

mencapai 10%.(1)

Page 35: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 35: HSS pada pasien dengan atresia biliaris yang menunjukkan tidak adanya

ekskresi marker ke usus dalam 24 jam. Dikutip dari kepustakaan 12

Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)

Meskipun belum digunakan seluas US, MRC dapat menjadi alternatif pilihan untuk

mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan atresia

bliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.14, 15

Page 36: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Gambar 36: MRC pada bayi umur 2 bulan yang dicurigai menderita atresia biliaris pada

pemeriksaan US. Proyeksi intensitas maksimum MRC memberikan gambaran sistem bilier

normal dan kantung empedu yang juga normal (*). Dikutip dari kepustakaan 14.

Gambar 37: Tanda panah pada gambar menunjukkan area triangular MRC yang

memiliki intensitesa tinggi namun tidak menunjukkan adanya sistem duktus

ekstrahepatik pada bayi baru lahir. Dikutip dari kepustakaan 15.

Page 37: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Kolangiografi Intraoperatif

Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris.

Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi

obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam

saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif

dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan

gagal menunjukkan hasil yang adekuat.(1,6)

Gambar 38: Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi

sedang duktus intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum. Dikutip

dari kepustakaan 12.

h. Penatalaksanaan

Tidak ada penatalaksanaan medis primer yang relevan dalam menangani atresia

biliaris ekstrahepatis. Sekali seorang pasien dicurigai menderita atresia biliaris, maka

intervensi bedah hanyalah satu-satunya mekanisme yang memungkinkan untuk

mendiagnosisnya secara definitif (kolagiogram intraoperatif) sekaligus menjadi

terapinya (Kasai portoenterostomy).(1,3,16,17)

Pada kasus patensi bilier yang berkaitan dengan hipoplasia duktal, intervensi bedah

tidak diindikasikan, dan empedu dapat diambil spesimennya untuk mengevaluasi

kelainan metabolisme asam empedu.

Page 38: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

Pada periode post-operasi, metilprednisolon dapat digunakan sebagai anti-inflamasi

dan stimulan non-spesifik terhadap aliran garam empedu. Dosis pemberiaannya

adalah 1.6-2 mg/kg/hari IV.(1)

i. Prognosis

Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan

penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak

penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60%

dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini ,

mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-

anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama

kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang

dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi

portal (>60%).(1)

DAFTAR PUSTAKA

Page 39: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

1. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. April 2009. [cited February 2011]. Available

from URL:http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview

2. Kader H, Balesteri W. Neonatal cholestasis. In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson HB,

Stanton BF, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Ed. Philadelphia: Elsevier Churchill

Livingstone; 2007.p.353

3. Serinet MO,Wildhaber BE, Broue P, Lachaux A, Sarles J, Jacquemin E, et al. Impact of age

at kasai operation on its results in late childhood and adolescence: a rational basis for biliary

atresia screening. In: Pediatrics Journal Vol. 123 No. 5 Illinois;2009.p.1280-1286

4. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam: Kumar, Cotran, Robins, Eds. Buku Ajar

Patologi Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.h.708

5. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology of biliary atresia: a

population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99. Ilinois; 1997. p.376-382

6. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice: test at 2

weeks. In: Clinical Review Canadian Family Physician Vol. 55. Canada; 2009.p.1185-1189

7. Moore TC. Pathogenesis of biliary atresia. In: Pediatrics Journal Vol. 78. Illinois;

1978.p.183.

8. Datu, AR. Viscera abdominis. Dalam: Diktat Anatomi Abdomen. Makassar: Bagian Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004.h.29-30

9. Anonim. Gall blader picture. [online]. 2011. [cited February 2011]. Available from URL:

http://medicalimages.allrefer.com/large/biliary-obstruction-series.jpg

10. Farrant P, Meire HB, Vergani M. Improved diagnosis of extraheptic biliary atresia by high

frequency ultrasound of the gall bladder. In: The British Journal of Radiology Vol.74.

London;2001.p952–954

11. LeeMS, Kim MJ, Yoon CS, Lee MJ, Han SJ, Oh JT, et al. Biliary atresia: color dopler us

findings in neonates and infants. In: Radiology Journal Vol. 252. No.1. US; 2009. p283-289

12. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresiaimaging. [online]. October 2009. [cited February

2011]. Available from URL:http://emedicine.medscape.com/article/927029-media

13. Abut E,Akkaya L, Uysal U, Arman A, Guveli H, Bolukbas C, et al. Selective spleen

scintigraphy in the diagnosis of polysplenia syndrome. In: The British Journal of Radiology

Vol.77. London; 2004.p.698–700

14. Metreweli C, So NMC, Chu WCW, Lam WWM. Magnetic resonance cholangiography in

children. In:The British Journal of Radiology Vol.77. London;2004. p.1059–1064

15. Kim MJ, Park YN, Han SJ, Yoon CS, Yoo HS, Hwang EH, et al. Biliary atresia in neonates

and infants: triangular area of high signal intensity in the porta hepatis at t2-weighted mr

Page 40: BAB II Referat Icha-tari-eko Fix

cholangiography with us and histopathologic correlation. In: Radiology Journal Vol. 215 No.

2. US; 2000. p.353-401

16. Willlot S, Uhlen S, Michbaud L, Briand G, Bonnevalle E, Sfeir R, et al. Effect of

ursodeoxycholic acid on liver function in children after successful surgery for biliary atresia.

In: Pediatrics Journal Vol.122. No. 7. Illinois; 2008. p.1236-1238

17. Kotb M A, Sheba M, Koofy NE, Mansour S, Karaksy HME, Dessouki ME, et al. Post-

portoenterostomy triangular cord sign prognostic value in biliary atresia: a prospective

study.In: The British Journal of Radiology Vol.78. London; 2005.p.884-887