Referat Icha

51
BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi. Prevalensi LES adalah 5 berbanding 100 per 100,000 individu, tergantung dari populasi studi. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15–40 tahun, dengan rasio wanita dan laki-laki 5 : 1. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi di Negara Cina dan Asia Tenggara.Sedangkan Indonesia, RS Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 – April 2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1- 2 kasus LES. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada

Transcript of Referat Icha

Page 1: Referat Icha

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic

lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang

belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai

perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode

remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan

dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks

dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan

hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi.

Prevalensi LES adalah 5 berbanding 100 per 100,000 individu, tergantung

dari populasi studi. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15–40 tahun,

dengan rasio wanita dan laki-laki 5 : 1. Dari berbagai laporan kejadian LES ini

tertinggi di Negara Cina dan Asia Tenggara.Sedangkan Indonesia, RS

Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 – April

2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES. Etiologinya

tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks

histokompatibilitas mayor klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA DR3.

Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65%

setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih

tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE

berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang

berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerotik.

Page 2: Referat Icha

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana

organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding

autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa

menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti,

dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat

remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody

dalam tubuh.

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus.

Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa

yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah

sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi

pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin,

melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya

untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan ”Loup”,yang dalam

bahasa perancis berarti serigala atau ”wolf” dalam bahasa Inggris.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang

berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi

yang muncul dan organ yang terkena.

2.2 Epidemiologi

Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di

seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus.

Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih

banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling

sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10

tahun.

Page 3: Referat Icha

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis.

Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi

putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika.

Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis

selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1

sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,

sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan

menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio

tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit

LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan

dengan penduduk berkulit putih.

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-

Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9

(per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika;

2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-

Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena

diagnosis dapat sukar dipahami.

2.3 Etiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik,

infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.

Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel

dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan

menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam

Page 4: Referat Icha

pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun

sistemik dengan kerusakkan multiorgan.

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun

lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi

yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel

darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum

sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan

keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:

Infeksi

Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)

Sinar ultraviolet

Stres yang berlebihan

Obat-obatan tertentu

Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen

penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen

dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang

tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.

Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus

yang akan menderita penyakit ini.

Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa

diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria

maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering

menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum

menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon

(terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Page 5: Referat Icha

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian

pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Faktor Resiko terjadinya SLE

1. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering

daripada pria dewasa

Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering

dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen

mengurangi resiko ini.

3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi

menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah

berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan

prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun

secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah

4. Imunitas

Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi

terhadap sel T

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan

diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus

obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat

yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

Page 6: Referat Icha

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,

metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid

Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,

penisilamin, dan kuinidin

Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis

antibiotic dan griseofurvin

6. Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-

kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi

7. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah

memiliki kecendrungan akan penyakit ini.  

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis

Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's

Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Ultraviolet B light

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;

Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;

Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;

Interferon-a.

2.4 Manifestasi Klinis

Page 7: Referat Icha

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit

dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem

dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang

lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah

5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan

remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat

seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya

golongan sulfa.

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Manifestasi yang paling

sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,

limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau

terus-menerus.

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada penderita gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa

athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang

paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh

lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan

kaki.

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% penderita LES, umumnya

simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya

sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ

yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan

ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan

dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan

vaskulopati.

Page 8: Referat Icha

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit

berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit

edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam

kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah

pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.

Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua

daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang

tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat

sembuh tanpa bekas.

Page 9: Referat Icha

2). Lesi Kulit Sub Akut

Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah

15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5

tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan

laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang

disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,

telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan

berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,

tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.

Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.

Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,

mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada

sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua

DLE terjadi di masa kanak-kanak.

Page 10: Referat Icha

4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.

5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah

penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada Ginjal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama

karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada

dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada

50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada

awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada

kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang

dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari

gambaran histologis.

(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

(3) Kelas III: focal lupus nephritis

(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis

(5) Kelas V: membranous lupus nephritis

(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering

ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis

pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.

Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak

sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang

sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai

dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan

penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

Page 11: Referat Icha

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik

dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi

pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan

pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan

sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai

tahap lanjut.

G. Gastrointestinal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi

manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang

disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate

aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika

SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan

selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang

melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia, perdarahan,

dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi

immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk

pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari

terapi tambahan.

H.Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi

jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang

atau kembali normal.

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.

Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.

Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.

J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan

motorik. Biasanya bersifat sementara.

Page 12: Referat Icha

K.Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan

kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk

mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.

Trombosis vena serebralis biasanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.

Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu

psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya

ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.

Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas

kelainan organik otak.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.

Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena

mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,

aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,

neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan

saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara

lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis

trombositopenia, dan lekopenia.

M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan

kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium

pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

2.5 Pemeriksaan penunjang dan Diagnosis

Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah  Analisis

darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear

(ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF,

antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM,

Page 13: Referat Icha

IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji

Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin

(total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto

rontgen dada.

Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat

berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka

dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan

hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan  antibodi anti-ds

DNA.

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan

tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of

Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit

4 dari 11 kriteria ACR tersebut.

Tabel 2. Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of

Rheumatology).

 (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

No Kriteria Definisi

1 Bercak malar (butterfly rash)

Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

6 Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.

Page 14: Referat Icha

ataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan.ataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada >  1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada >  2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema

11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

Page 15: Referat Icha

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%

spesifisitas

Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus

aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat

ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan

lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus,

mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik

komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan

memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit.

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan

prevalensinya.

Tabel 3. Autoantibody pada penderita SLE.

Incidence %

Antigen detected

Clinical importance

Antinuclear antibodies

98 Multiple nuclear

Substrat sel manusia lebih sensitive dari murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-turut menyingkirkan SLE.

Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.

Anti-Sm 30 Protein complexed to 6 species or small nuclear RNA

Spesifik untuk SLE.

Anti-RNP 40 Protein complexed to U1RNA

Titer tinggi pada sindrom dengan manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed connective tissue disease.Jika + tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis rendah.

Anti-Ro(SS-A) 30 Protein complexed to y1-y5 RNA.

Berhubungan dengan Sjorgen’s Syndrome,subacute cutaneus lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-negative lupus,lupus in eldery,neonatal lupus,congenital heart block.Dapat

Page 16: Referat Icha

menyebabkan nephritis.

Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko nephritis rendah bila +.Berhubungan dengan Sjorgen’s Synd.

Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced lupus(95%) daripada spontaneous lupus.

Antiphospholipid 50 Phospholipid 3 tipe- lupus anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan false-positive test for syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal loss,thrombocytopenia,valvular heart disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I bagian dari grup ini.

Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat mrnnyebabkan hemolisis.

Antiplatelet 30 Platelet surface + cytoplasma

Berhubungan dengan thrombocytopenia pada 15% penderita.

Antilymphocyte 70 Lymphocyte surface

Kemungkinan berhubungan dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T.

Antiribosomal 20 Ribosomal P protein

Berhubungan dengan psikosis atau depresi dengan CNS SLE.

2.6 Patogenesis SLE

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis

SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep

bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi

autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi

komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin

Page 17: Referat Icha

(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor

imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks

dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi

kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu

terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal

membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun.

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-

immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada

penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara

langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator

yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi

kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita

lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain

yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,

dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel

limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.

Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk

dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk

kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis

autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis

autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah

antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,

kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai

korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,

yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat

juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel

Page 18: Referat Icha

makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis

mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula

autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat

berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,

sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear

telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat

berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis

ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi

antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam

darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui

pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif

dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES

didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang

terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan

aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi

komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan

terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang

sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).

Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan

aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan

penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars

dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi

oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause

dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan

estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan

hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan

Page 19: Referat Icha

LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone),

LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan

dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan

estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan

postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat

perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi

prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Umum :

1. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan

penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang

cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan

derajat keparahan penyakit yang berbeda-beda, sehingga penderita SLE

memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.

2. Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita

harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau

karena penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau

komplikasi dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan

manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi

sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya

mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi

aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.

3. Merokok

Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita

perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat

fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan

yang terkandung pada rokok.

4. Cuaca

Page 20: Referat Icha

Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan

hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan

keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan

mempengaruhi proses inflamasi.

5. Stres dan trauma fisik

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma

fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen

limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK

(Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit,

sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya.

Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya

dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki

penyakitnya.

6. Diet

Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang

berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan

bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic

acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel

monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol

perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.

7. Sinar ultra violet

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua

dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.

Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore,

sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari

pada waktu-waktu tersebut.

8. Kontrasepsi oral

Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan

memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan

penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis

jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

Page 21: Referat Icha

Penatalaksanaan Medikamentosa :

Untuk SLE derajat Ringan;

Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,

perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.

Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan

non-steroid

Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.

Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria

(hydroxycloroquine)

Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.

Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai

kebutuhan

Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada

saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun

kacamata.

Untuk SLE derajat berat;

Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia

hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal,

penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya

Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis

sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.

Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat

bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan

Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat

pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang

baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada

kortikosteroid dosis tinggi.

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun

dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari

tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi

yang timbul pada setiap pasien.

Page 22: Referat Icha

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik,

antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE

dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang

paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per

oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran

pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru,

COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat

mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya

pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas,

gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.

2. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan

sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan

pertama untuk SLE kulit terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan

Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan cara

mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen

yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga

menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran

fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar

UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV.

Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan

juga bersifat sebagai anti trombotik.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin

(dosis 200 mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin

(100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin,

dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling

sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah,

timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu

Page 23: Referat Icha

pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek samping

antimalaria.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam

manifestasi klinis SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi

kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan

oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya

bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari,

secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan

konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali,

kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat

kemudian dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting

seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik,

umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari.

Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai

ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus

metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang

lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi,

infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis,

osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia,

menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu,

setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera

diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari

tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi

beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis,

dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000

unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga

diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

Page 24: Referat Icha

4. Terapi Imunomodulator

A. Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ

yang berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid

dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif

disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal,

mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut

WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik adalah pada

lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan

cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat,

perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan

sampai 2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit

>3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu.

Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi.

Rambut rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat

dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12

hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah

leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus

terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan

kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia.

Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide

yang dapat menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan

terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa

transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian

cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan

Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis

cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika

urinaria juga perlu dilakukan.

B. Mycophenolate mofetil (MMF)

Page 25: Referat Icha

MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate

dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF

akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi

molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus

nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum

kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan

cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya adalah

leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-

1000 mg, 2 kali per hari.

C. Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam

nukleat dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle,

obat ini digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk

pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk

manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan

sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5

mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu

menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3

dan neutrofil > 1000/mm3.

Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan

efek samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan

eksresinya di ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic.

Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal.

Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan

manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase.

Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat

dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti limfoma non

Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat

azathioprine.

D. Leflunomide

Page 26: Referat Icha

Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang

digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat

pada pasien SLE yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya

dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti

dengan dosis 20 mg/hari.

E. Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat

dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat

sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu

kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit

dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan

serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.

E. Cyclosporine

Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan

untuk sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada

umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap

proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds

DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah

hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum

kreatinin.

5 Agen Biologis

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi

sel B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui

immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya

akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu

antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang

dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi

terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal,

vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus sodium dapat

mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan mengurangi

antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.

Page 27: Referat Icha

Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian

deoxyribonukleotida yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator

limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari keluarga tumor necrosis factor

(TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan

antibody monoclonal human terhadap BlyS.

6. Terapi Hormon

Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk

mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE.

Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas

ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-

1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama

trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen

Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

7. Terapi Lain

Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid

dengan dosis maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi

remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap sebanyak 60%.

Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan

kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada

penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada

kehamilan karena efek teratogeniknya.

Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi

beberapa kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki

efek anti inflamasi dan immunosuppressive telah digunakan luas baik

secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang kronis.

Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator

dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc,

regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG

tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan

dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan

Page 28: Referat Icha

trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter

immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit

kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya

adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES

1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat

(maksimal 400 mg/hari)

2. Kortiko-steroid  : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis

alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg);

prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama

methylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum

mg) per minggu.

3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari

selama 3 minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus

terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap

dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine  1-3

mg/kg/hari PO 4 kali sehari.

4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari

Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari

Diclofenac

< 12 tahun : tak dianjurkan

> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D        

Kalsium karbonat      

< 6 bulan : 360 mg/hari

6-12 bulan : 540 mg/hari

1-10 bulan : 800 mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari

Calcifediol

< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

Page 29: Referat Icha

6. Anti-hipertensi

Nifedipin  0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,

diulang tiap 4-8 jam.

Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa

ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari

Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan

bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

2.8 Komplikasi

Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central

berupa psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial

neuropati, transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat

induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui

dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik

bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya

diturunkan.

Komplikasi  renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.

Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal

bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis

membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan

asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan

semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2

macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis

lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat.

Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.

2.9 Prognosis

Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate

lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus

saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan

Page 30: Referat Icha

infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi

kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit kompleks.

LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.

Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal

ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.

Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival

rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates

sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien

LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami

sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan

menetap.

BAB IV

Page 31: Referat Icha

KESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana

sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES masih belum

terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik,

faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi

perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan,

kelainan sistem imun dan hormon.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi

yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of

Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4

dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf,

ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah,

gangguan imunologi dan gangguan antinuclear.

Komplikasi LES pada meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan,

gangguan paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen, gejala

neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi gonad.

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan

organ yang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 32: Referat Icha

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last

update: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org

2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009.

Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.

3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last

update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.

4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus

Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,

Philadelphia. 2003. p810-813.

5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007.

Available at htttp://www.emedicine.com.

6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus

Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

7. Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : FKUI

8. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2004. Patofisiologi. Edisi 4.

Volume 2. Jakarta: EGC

9. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6.

Volume 2 Jakarta : EGC

10. Albar, Zuljasri. 2004. Ilmu Penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta : FKUI

11. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus

Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Balai Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214.

12. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober

2004; hal201-213.

13. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and

Musculosceletal disorder ; page 805-807.

14. Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 1922-

1928.

15. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.

16. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12th ed. Atlanta: Arthritis

Foundation. 2001: 329-334

Page 33: Referat Icha

17. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised

criteria for the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis

Rheum 1997; 40: 1725

18. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus

erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96

19. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of

rheumatology. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997

20. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal,

neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann

Intern Med 1995; 122 : 940–50.

21. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994;

20 : 243-263.

22. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical

trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199