Post on 17-Oct-2021
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pre-eklampsia
2.1.1 Definisi pre-eklampsia
The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada
tahun 2015 mendefinisikan pre-eklampsia (PE) sebagai penyakit hipertensi yang
terspesifik pada kehamilan dengan pengikutsertaan kerusakan multisistem. Pre-
eklampsia ditandai dengan tekanan darah > 140/90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan jarak 4 jam, atau tekanan darah dan disertai proteinuria >
300mg/24 jam setelah usia kehamilan 20 minggu. Dikatakan PE berat jika
terdapat salah satu dari kriteria berikut ini: tekanan darah > 160/110mmHg
minimal pada dua kali pengukuran, proteinuria > 5g / 24 jam, terjadi eklampsia,
sindrom HELLP, terdapat keluhan nyeri kepala terus menerus, nyeri pada perut
kanan atas, atau pertumbuhan intrauterine < 5 persentil.
Pre-eklampsia, gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan,
merupakan salah satu penyebab teratas kematian ibu dan janin. Insidensinya kira-
kira 10% yang tentunya berbeda pada setiap populasi. Meskipun etiologi yang
tepat untuk terjadinya PE belum dapat dipahami, tampaknya ada gangguan pada
plasentasi, dimana trofoblas tidak mampu berdiferensiasi dengan baik. Hal ini
dapat menyebabkan invasi yang dangkal pada desidua, sehingga infiltrasi pada
arteri spiralis berkurang serta terjadi modifikasi pada arteri spiralis (Zhong &
Laivuori, 2001). Arteri pada uterus juga dapat terjadi obstruksi oleh adanya arteri
8
osclerosis dengan hasil akhirnya adalah iskemia uteroplasenta (Levine, et al.,
2004). Sampai saat ini, tidak ada parameter tunggal yang dapat digunakan untuk
memprediksi adanya PE. Oleh karena itu diperlukan sebuah tes yang dapat
diterima dan terjangkau untuk menegakkan diagnosis sebelum timbulnya gejala
klinis. Dahulu, metode yang digunakan untuk diagnosis prenatal diantaranya
adalah, biopsi korion dan amnion, cordosintesis, metode ini bersifat invasif dan
memiliki risiko komplikasi yang cukup tinggi. Sampai saat ini ada beberapa
modalitas non invasif yang sedang dikembangkan, diantaranya adalah,
pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan biomarker dari darah maupun urin.
DNA ekstraseluler merupakan salah satu biomarker yang dapat diperiksa dan
dapat memberikan arti klinis termasuk diagnosa prenatal (Hahn, et al., 2011).
Penggunaan DNA sebagai biomarker dalam bidang medis, seperti penegakan
diagnosis, prognosis, dan monitoring terapi, sampai saat ini telah mengalami
kemajuan yang pesat. DNA yang bersirkulasi pada plasma sebagai biomarker
memiliki sifat accessible, reliable, dan reproducible. Adanya DNA ekstraseluler
pada sirkulasi darah manusia pertama kali ditemukan oleh Mandel dan Metais di
tahun 1948. Dengan menggunakan teknik kuantitatif, peneliti tersebut berhasil
mendeteksi adanya DNA dan RNA yang bersirkulasi pada plasma dari individu
yang sakit maupun yang sehat. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan cell free
fetal (cff) DNA (DNA fetal ekstraseluler) ditemukan dengan kadar yang lebih
tinggi pada individu dengan penyakit autoimun dan keganasan. Pengamatan ini
membuka kemungkinan untuk mengembangkan metode diagnostik dan tindak
9
lanjut yang sifatnya non invasif dengan akurasi yang tinggi dan biaya yang
rasional (Hahn, et al., 2011).
2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2011, penyakit hipertensi pada kehamilan terjadi pada
10% maternal di seluruh dunia. Termasuk di dalamnya PE dan eklampsia,
hipertensi gestasional dan hipertensi kronis. Terutama pada ras Asia dan Afrika,
hampir sepersepuluh kematian maternal disebabkan oleh kelainan hipertensi pada
kehamilan, bahkan seperempat kematian maternal pada ras Amerika Latin,
disebabkan oleh komplikasi ini. Pada negara berkembang, sebanyak 5-8% dari
kehamilan dengan PE akan ditemukan kejang atau yang disebut eklampsia.
Sebanyak 10-20% dari maternal dengan pre-eklampsia berat akan mengalami
sindrom HELLP. Insidensi pada populasi nullipara berkisar dari 3-10%, dan lebih
banyak dibandingkan multipara (Staff, et al., 2014).
Pre-eklampsia juga dihubungkan dengan peningkatan kadar bagian sel dari
fetus atau partikel fetus pada sirkulasi maternal, salah satunya adalah adanya
peningkatan kadar eritroblas pada darah tepi maternal dengan PE. Belakangan ini,
DNA fetal ekstraseluler juga didapatkan pada sirkulasi maternal melalui
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Zhong & Laivuori, 2001).
Adanya perubahan jumlah dari DNA fetal ekstraseluler pada pasien pre-
eklampsia pertama kali dilaporkan oleh Luo,et al., 2001, dimana penelitian
tersebut membandingkan 20 wanita PE dengan 20 kontrol. Jumlah DNA fetal
ekstraseluler yang diukur dengan menggunakan PCR untuk gen SRY pada
kromosom Y meningkat 5 kali lipat pada pasien dengan PE jika dibandingkan
10
dengan kontrol. Untuk jumlah total DNA fetal ekstraseluler pada plasma maternal
yang diukur dengan mengunakan GAPDH atau gen beta globin juga mengalami
peningkatan (Hahn, et al., 2011). Untuk jumlah total DNA fetal ekstraseluler
sebagai prediktif marker untuk PE sampai saat ini masih kontroversial, namun
peningkatan total DNA fetal ekstraseluler ini dapat digunakan untuk memprediksi
atau mendiagnosa komplikasi lanjut dari PE seperti hemolisis, peningkatan enzim
hati, dan jumlah trombosit yang menurun (HELLP) (Zhong & Laivuori, 2001).
Penelitian Leung, et al. (2001) dengan menggunakan 18 sampel yang
nantinya menjadi PE, serta 33 kontrol, mendapatkan bahwa DNA fetal
ekstraseluler mengalami peningkatan yang signifikan sebelum timbulnya gejala
klinis. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa peningkatan DNA fetal
ekstraseluler bersifat bifasik atau terjadi dalam dua fase, dimana awalnya dimulai
pada minggu ke 17- 28 dan peningkatan kedua terjadi pada 3 minggu sebelum
onset timbulnya gejala klinis. Sedangkan jika wanita yang nantinya akan
menderita PE, DNA fetal ekstraseluler akan mengalami peningkatan jika
penyakitnya bertambah parah, onset dimulai sebelum usia kehamilan 37 minggu,
dan memiliki bayi dengan berat badan kurang dibanding masa kehamilannya.
Peningkatan ini merupakan tanda awal adanya gangguan pada plasenta,
dimana fisiologi maternal belum menunjukkan tanda-tanda adanya gangguan
(Levine, et al., 2004; Hahn, et al., 2011). Sedangkan pada wanita yang telah
mengalami PE, peningkatan DNA fetal ekstraseluler terjadi apabila penyakitnya
memburuk. Penelitian oleh Sifakis,et al.,(2009) menunjukkan bahwa peningkatan
DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal juga berhubungan dengan derajat
11
kerusakan dari perfusi plasenta yang dapat dinilai dengan menggunakan colour
doppler transabdominal. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa terdapat
peningkatan yang signifikan dari jumlah DNA fetal ekstraseluler dan PI
(pulsatility index) arteri uterina pada pasien dengan PE berat awitan dini
dibandingkan dengan yang awitan lanjut.
Peningkatan DNA fetal ekstraseluler dapat dideteksi pada kehamilan awal
pada maternal yang selanjutnya akan mengalami PE, dan adanya peningkatan
DNA fetus ini berhubungan dengan peningkatan risiko sebanyak 8 kali lipat.
Perkembangan penyakit ini tergantung dari seberapa banyak jumlah DNA yang
didapatkan. Penelitian mengungkapkan bahwa, 65% kontrol memiliki < 10.000
kopi/mL pada sirkulasi maternal, sedangkan kadar 10.000-50.000 kopi DNA fetus
berhubungan dengan rasio kecenderungan 2,32 dengan sensitifitas 82% dan
spesifisitas 65% (Cotter & Martin ,2004).
2.1.3 Kriteria diagnosis pre-eklampsia
Untuk menegakkan diagnosis PE harus dipenuhi dua kriteria, yaitu: tekanan
darah sistolik lebih tinggi atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah
distolik lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg dan protein uria dengan kadar
protein 0,3 g atau lebih yang diukur dari urin tampung 24 jam yang terjadi setelah
usia kehamilan 20 minggu. Pre-eklampsia berat didiagnosis bila didapatkan
tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih besar dari 160 mmHg atau tekanan
darah diastolik sama dengan atau lebih besar dari 110 mmHg dan proteinuria
sama dengan atau lebih besar dari 5 g yang diukur dari urin tampung 24 jam, serta
didapatkan adanya gejala lainnya seperti oliguria, gangguan penglihatan atau
12
kesadaran, edema paru atau sianosis, nyeri epigastrik, gangguan fungsi hati,
trombositopenia, dan gangguan pertumbuhan janin dalam rahim (Wagner, 2004)
2.1.4 Patomekanisme pre-eklampsia
2.1.4.1 Iskemia plasenta
Penyebab PE sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti, walaupun
demikian diketahui bahwa pembentukan plasenta yang tidak sempurna merupakan
faktor predisposisi yang penting Peran penting plasenta pada pre-eklampsia
didukung pula oleh kenyataan bahwa gejala PE berkurang setelah melahirkan.
Menurut kelompok peneliti dari Oxford, PE berawal dari kelainan pada plasenta
yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi gangguan remodelling arteri
spiralis yang berakhir dengan kekurangan aliran darah ibu yang mensuplai
plasenta, tahap ini merupakan tahap preklinik yang asimptomatik. Tahap kedua
merupakan dampak yang muncul pada ibu maupun janin sebagai akibat dari
iskemia pada plasenta, pada tahap ini baru muncul gejala klinik PE (Raijmakers,
et al., 2004a).
Peristiwa penting yang terjadi selama pembentukan plasenta adalah
terbentuknya sirkulasi darah ibu yang efektif untuk memenuhi kebutuhan janin
(Raijmakers, et al., 2004a). Pada awal kehamilan terjadi invasi sel sitotrofoblas ke
arteri spiralis uterus. Invasi sel sitotrofoblas menyebabkan perubahan pada arteri
spiralis yaitu : kerusakan lapisan otot, elastik dan jaringan saraf yang terdapat
pada dinding arteri spiralis dan penggantian sel endotel dengan sel sitotrofoblas
(Granger, et al., 2001). Sel sitotrofoblas yang melapisi arteri spiralis menunjukan
ciri-ciri seperti sel endotel, hal ini terjadi melalui diferensiasi sel sitotrofoblas
13
selama invasi. Proses tersebut disebut sebagai pseudovasculogenesis (Davidson,
et al., 2004). Jika invasi sel sitotrofoblas tidak mengalami hambatan, maka pada
akhir trimester kedua kehamilan arteri spiralis pada uterus hanya dilapisi oleh sel
sitotrofoblas, sehingga sel endotel tidak didapatkan lagi pada endometrium dan
miometrium bagian superfisial (Granger, et al., 2001). Remodelling pada arteri
spiralis ini mengakibatkan arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih besar
dan bertahanan rendah, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan suplai
darah ke fetus yang sedang berkembang (Granger, et al., 2001).
Pada pre-eklampsia invasi sel sitotrofoblas tidak sempurna (Fisher, 2004),
yaitu hanya terjadi pada bagian proksimal desidua dan sebagai akibatnya
sebanyak 30-50 persen arteri spiralis pada dasar plasenta tidak mengalami
remodelling. Arteri spiralis yang terdapat pada miometrium tidak mengalami
remodelling sehingga secara anatomis masih utuh yaitu masih mempunyai
komponen otot, elastik dan jaringan saraf (Granger, et al., 2001). Penelitian in
vitro maupun in vivo memperlihatkan bahwa sel sitotrofoblas yang berasal dari
penderita PE gagal mengalami pseudovaskulogenesis (Davidson, et al., 2004).
Hal tersebut diatas mengakibatkan arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih
kecil dan bertahanan tinggi bila dibandingkan dengan arteri spiralis pada
kehamilan normal. Selain itu juga terjadi atherosis akut, yaitu adanya kerusakan
endotel yang disertai nekrosis fibrinoid dan penimbunan sel busa yang berisi lipid
serta leukosit yang mengakibatkan arteri spiralis tersumbat sebagian atau
seluruhnya (Raijmakers, et al., 2004a). Kedua hal tersebut diatas, yaitu diameter
arteri spiralis yang kecil dan atherosis akut menyebabkan aliran darah ke plasenta
14
berkurang. Aliran darah yang tidak cukup menyebabkan kurangnya suplai oksigen
dan nutrisi, hal ini memicu plasenta melepaskan bahan-bahan kedalam sirkulasi
sistemik ibu yang kemudian menyebabkan munculnya gejala klinik pre-eklampsia
(Raijmakers, et al., 2004a). Kekurangan perfusi ke plasenta juga menyebabkan
terjadinya infark pada plasenta (Granger, et al., 2001). Peran plasenta dalam
patogenesis PE didukung pula oleh penelitian yang mendapatkan bahwa wanita
hamil yang mengalami penurunan aliran darah ke plasenta lebih cenderung akan
menderita PE (Fisher, 2004).
2.1.4.2 Gangguan adaptasi imun
Adanya keterlibatan faktor imun pada pre-eklampsia didasari oleh beberapa
kenyataan, yaitu: pre-eklampsia sebagian besar terjadi pada kehamilan pertama
dan sangat jarang pada kehamilan kedua, hal ini mengindikasikan adanya adaptasi
ibu terhadap kehamilan. Adaptasi bersifat spesifik, yaitu bila wanita yang sudah
pernah hamil kemudian berganti pasangan maka risiko pre-eklampsia akan
meningkat. Sistem imun maternal berperan dalam mengatur invasi sel trofoblas,
sehingga sel trofoblas tidak dikenali sebagai benda asing oleh tubuh. Keadaan
tersebut memungkinkan terjadinya pembentukan plasenta dan remodelling arteri
spiralis. Reaksi yang berlebihan dari sistem imun ibu akan menyebabkan
gangguan invasi sel trofoblas sehingga plasenta tidak terbentuk dengan sempurna
(Raijmakers, et al., 2004a).
2.1.4.3 Faktor genetik
Studi klinis menunjukan adanya pewarisan kecenderungan untuk menderita
pre-eklampsia pada keluarga penderita pre-eklampsia, walaupun pola
15
penurunannya masih belum jelas. Gen yang diduga kuat menyebabkan
kecenderungan menderita pre-eklampsia adalah gen yang mengatur tekanan
darah, fungsi plasenta, penyakit pembuluh darah (Kim, et al., 2001). Insidensi
pre-eklampsia pada wanita yang lahir dari ibu yang sama dilaporkan pertama kali
oleh Chesley, et al. (1968). Dalam laporannya insiden pre-eklampsia pada wanita
yang lahir dari ibu yang mengalami pre-eklampsia sebesar 26%, dan hanya 8%
pada wanita yang lahir dari wanita yang tidak menderita pre-eklampsia.
Predisposisi genetik untuk pre-eklampsia kemungkinan berhubungan dengan
implantasi dan pembentukan plasenta (Raijmakers, et al., 2004a).
Penelitian aspek familial pre-eklampsia (PE) menuntun penemuan PE sebagai
sindroma penyakit dengan karakteristik yang diwariskan, dimana hal tersebut
berdasarkan pada genetik. Publikasi Adams & Finlayson. (1961) merupakan
publikasi tertua yang mengamati kecenderungan familial bersifat kuat terhadap
PE dan hipertensi pada kehamilan, menemukan bahwa 49% saudara perempuan
dari wanita PE pernah mengalami pengalaman serupa dengan penyakit ini.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mendukung hal ini dimana
ditemukan peningkatan frekuensi PE pada sejumlah ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek dari wanita yang memiliki sindroma PE ini. Kemudian
faktor genetik ibu, faktor genetik janin juga muncul dalam berperan terjadinya PE
melalui transmisi paternal. (Esplin et al., 2003). Pada penelitian retrospektif
kelahiran Norwegia (data dari MBRN) menunjukkan bahwa lelaki yang terlahir
dari kehamilan PE memunculkan risiko sedang (1,5 kali) dibandingkan ayah yang
memberikan kehamilan PE. Faktor genetik diyakini bertanggungjawab pada lebih
16
dari 50% terjadinya PE namun pola pasti pewarisannya masih belum diketahui.
(Esplin, et al., 2003).
Upaya untuk menjelaskan kerentanan genetik pada PE memiliki bukti yang
memadai pada wanita hamil yang memiliki lokus kerentanan dan lokus-lokus
heterogen pada sejumlah orang Islandia, Australia/New Zealand, Belanda dan
Finlandia dari kohort keluarga (lihat tabel 2.1) (Moses, et al., 2000; Moses, et
al.,2006; Fitzpatrick et al., 2004; Johnson, et al., 2007). Pemindaian genom pada
keluarga Islandia mengungkapkan kerentanan lokus pada kromosom ibu untuk
pre-eklampsia 2p13. Dalam kohort Aust / NZ, hubungan keluarga ke kromosom 2
dikonfirmasi oleh identifikasi keterkaitan yang signifikan pada 2p12 dan linkage
sugestif di 2q23.(Moses, et al., 2000) Itu menyarankan bahwa temuan Islandia
dan Australia diwakili wilayah kromosom yang sama pada 2p. Tapi analisis
berikutnya dari Australia / New Zealand, pemindaian data linkage genome diatur
dengan menerapkan komponen varians berbasis prosedur , kemudian diselesaikan
dan memperkuat sinyal hubungan kromosom 2 untuk 2q22. (Moses, et al., 2006).
Analisis ini mengidentifikasi dua pendekatan baru juga kerentanan pre-eklamsia
dari lokus sifat kuantitatif pada kromosom 5q dan 13q. (Johnson, et al., 2007)
sebuah sifat kuantitatif, juga disebut sifat terus menerus, bervariasi pada rentang
yang terus-menerus dari fenotipe.
17
Tabel 2.1
Studi Hubungan Genom Pada Keluarga Pre-eklampsia (Moses, et al.,
2000; Moses, et al., 2006; Fitzpatric, et al., 2004)
Negara Kromosom dengan
hubungan yang
bermakna
Kromosom
dengang hubungan
yang sugestif
Pubikasi
Islandia 2p13 2q23 Arngrimsson et al.,
1999
Australia/New
Zealand
2q22,5q,13q 4q34,11q23 Moses et al.,2000;
Johnson et al., 2007;
Harrison et al., 1997
Belanda --- 10q,12q,22q Lachmeijer et al.,
2001
Finland 2q25,9p13 4q32 Laivouri et al., 2003
Pemindahan genom pada keluarga Islandia telah mengungkapkan kerentanan
lokus pada kromosom ibu untuk pre-eklampsia 2p13. Dalam kohort keluarga
Australia / New Zealand linkage ke kromosom 2 dikonfirmasi oleh identifikasi
keterkaitan yang signifikan pada 2p12 dan linkage sugestif di 2q23. (Moses, et al.,
2000). Menyatakan bahwa temuan Islandia dan Australia diwakili wilayah
kromosom yang sama pada 2p. Tapi analisis berikutnya dari Australia / New
Zealand linkage genome memindai data set , menerapkan komponen varian
berbasis prosedur, diselesaikan dan memperkuat sinyal hubungan kromosom 2
untuk 2q22. (Moses, et al., 2006)
Analisis ini mengidentifikasi dua pendekatan baru yaitu kerentanan pre-
eklampsia pada lokus kromosom 5q dan 13q.209 bersifat kuantitatif terjadi terus
menerus, bervariasi pada rentang fenotipe dan berlawanan dengan kualitatif, atau
terputus-putus, sifat yang diekspresikan dalam bentuk fenotipe yang berbeda.
18
Munculnya sifat kuantitatif biasanya menandakan keterlibatan beberapa lokus
genetik, meskipun hal ini tidak mesti terjadi. Secara khusus, lokus polimorfik
tunggal dengan beberapa alel yang diekspresikan secara berbeda dapat
menimbulkan variasi kontinyu dalam populasi alami. Sifat multifaktorial luar
penyakit berkontribusi seperti apa yang kita lihat dengan ciri-ciri yang kontinyu
seperti tekanan darah tinggi dan yang dapat diukur dengan beberapa cara
kuantitatif. Sifat-sifat ini umumnya menunjukkan distribusi kontinyu normal.
Sebuah pemindaian keterlibatan genom dari keluarga Finlandia juga telah
mengkonfirmasi hubungan pada kromosom 2, namun pada lokus yang berbeda,
2p25, daripada lokus Islandia dan Australia.(Laivuori, et al., 2003).
Selain itu, hubungan signifikan diidentifikasi pada kromosom 9p13 di
keluarga Finlandia, yang telah terbukti menjadi daerah calon untuk diabetes tipe 2
di keluarga Finlandia dan Cina. (Luo, et al., 2001; Lindgren, et al., 2002).
Pemindaian genom pada saudara-pasangan keluarga Belanda yang mengalami PE
tidak menemukan linkage pada kromosom 2, tapi mengungkapkan bukti sugestif
untuk linkage pada kromosom 10q dan 22q.
2.1.4.3.1 Kandidat gen pre-eklampsia
Studi lebih dari 50 kandidat gen telah dilaporkan, tetapi ini sejauh ini masih
gagal mengidentifikasi gen rentan yang diterima secara universal (Mutze, et al.,
2008) (Nejatizadeh, et al., 2008). Sekitar 70% dari studi kandidat gen yang
diterbitkan dalam pengaruhnya terhadap pre-eklampsia berfokus pada hanya
delapan gen. (Chappell, et al., 2006).
Sebagian besar penelitian kandidat gen juga telah membahas peran genotipe
19
ibu, namun satu studi multisenter dalam skala besar yang ditujukan untuk melihat
kontribusi dari kedua risiko utama gen ibu dan janin terkait dengan sejumlah
single nucleotide protein (SNP) telah mengungkap adanya kontribusi genetik
terhadap pre-eklamsia masih tetap merupakan salah satu tantangan yang paling
fundamental di bidang obstetri.(Roberts & Cooper, 2001).
Gambar 2.1 Skema Tentang Faktor-Faktor yang Berperan dalam Perkembangan
PE (Dimodifikasi Weissgerber, et al., 2003) dan Interaksi Diantara
nya. *Panah padat mengindikasikan interaksi yang diterima dalam
pathogenesis pre-eklampsia, dan panah terputus mengindikasikan
kemungkinan hubungan.
Penelitian kandidat gen di PE dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yang
berbeda sesuai dengan peran mereka yang dijelaskan dalam patofisiologi : gen
Predisposisi Genetik
- Maternal
- Fetal/Paternal
- Interaksi maternal-fetal
Adaptasi imun
Perkembangan
plasenta abnormal dan
pernurunan perfusi Stress oksidatif Faktor Konstitusional
Maternal - Genetik
- Obesitas
- Hipertensi kronis
- diabetes - resistensi insulin
- hiperhomosisteinemia
- suku berkulit putih Respon inflamasi
Aktifasi/ disfungsi endothelial sistemik
Pre-eklampsia
20
yang mengkode: 1 ) protein yang vasoaktif dan terlibat dalam renovasi vaskular, 2
) protein yang terlibat dalam trombofilia, 3 ) protein yang terlibat dalam stres
oksidatif, metabolisme lipid dan kerusakan endotel, 4 ) protein yang mengatur
imun, 5 ) protein yang terlibat dalam plasentasi dan 6 ) faktor-faktor
pertumbuhan. (Mutze, et al., 2004).
2.1.4.4 Faktor DNA Fetal Ekstraseluler
Disfungsi sel endotel merupakan salah satu ciri khas dari pre-eklampsia, dan
kegagalan plasentasi merupakan kunci utamanya. Beberapa data menunjukkan
bahwa DNA ekstraseluler ini berasal dari trofoblas yang membentuk plasenta, dan
diperkirakan 2-6% DNA pada darah ibu berasal dari fetus (Livine, et al., 2011 ;
Hahn, et al., 2011). DNA fetus dapat memasuki sirkulasi maternal melalui
peluruhan dari mikropartikel plasenta. Oleh karena itu, DNA ekstraseluler dapat
menggambarkan bagaimana kondisi plasenta. Pada fase pertama peningkatan
DNA ekstraseluler, yaitu umur kehamilan 17-28 minggu, terjadi kegagalan arteri
spiralis uterina untuk bertransformasi sehingga terjadi keterbatasan aliran darah
ibu yang mengandung oksigen menuju jaringan plasenta, sehingga perfusi
plasenta terganggu (Hahn, et al., 2011). Juga terjadi perubahan keseimbangan dari
angiogenic growth factor seperti vaskular endothelial growth factor, dan placenta
growth factor mengakibatkan gangguan pertumbuhan vaskular diantara villi,
sebagai akibatnya, plasenta menjadi hipoksia kronis, dan memicu timbulnya stres
oksidatif, sehingga dapat mengakibatkan apoptosis dan nekrosis dari plasenta
yang diikuti dengan peluruhan jaringan plasenta yang mengandung DNA
ekstraseluler ke dalam sirkulasi maternal (Hahn, et al., 2011).
21
Peningkatan DNA ekstraseluler pada fase kedua yaitu 3 minggu sebelum
onset timbulnya gejala klinis sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi endotel
(Levine, et al., 2004). Baik jumlah maternal maupun fetal DNA meningkat
terjadinya PE, dimana DNA sel bebas maternal lebih banyak dibandingkan DNA
fetal ekstraseluler, yang kemungkinan disebabkan oleh kerusakan dari endotel dan
juga meredam reseptor makrofag yang memetabolisme DNA yang bersirkulasi
pada plasma maternal sehingga mengurangi laju eliminasi dari DNA ekstraseluler.
Bukti lain yang menunjukkan peningkatan DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi
maternal adalah penurunan klirens ginjal pada pasien dengan PE. Pada kehamilan
normal, DNA fetal ekstraseluler ini dapat dideteksi pertama kali pada saat 5
minggu post coitus, meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan dan akan
hilang 2 jam setelah persalinan. Sedangkan pada pasien dengan pre-eklampsia,
laju klirens ginjal menjadi lebih lambat hingga 4 kali lipat dibandingkan dengan
kehamilan normal (Levine, et al., 2004).
Pada saat sebelum timbulnya gejala, jumlah peningkatan DNA fetal
ekstraseluler berbeda tergantung dari berat ringannya penyakit, onset timbulnya
penyakit, dan adanya bayi berat badan kurang masa kehamilan, dan setelah
timbulnya pre-eklampsia perbedaan tersebut tidak ditemukan lagi, hal ini
menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang luas saat sudah timbul gejala klinis.
Proses invasi trofoblas secara normal memerlukan waktu 20 minggu kehamilan,
maka kelainan pada plasenta yang menyebabkan timbulnya pre-eklampsia sudah
terjadi jauh sebelum timbulnya gejala klinis (Levine, et al., 2004).
22
Peningkatan DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal yang menderita
pre-eklampsia merupakan hasil dari peningkatan sel fetal seperti trofoblas dan
eritroblas ke dalam sirkulasi maternal. Meskipun etiologi dari pre-eklampsia
masih belum diketahui, disfungsi endotel dan inflamasi memegang peranan
penting.
2.1.4.5 Stres oksidatif
Pada PE terjadi keadaan stres oksidatif, yaitu keadaan dimana kadar
prooksidan lebih tinggi bila dibandingkan dengan antioksidan. Stres oksidatif
terjadi bila pembentukan radikal bebas melebihi kapasitas antioksidan. Radikal
bebas mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga akan
cenderung mengambil elektron dari molekul non radikal disekitarnya. Molekul
yang kehilangan elektron akan menjadi radikal, sehingga akan terjadi reaksi yang
berantai dengan perpindahan elektron dari satu molekul ke molekul yang lainnya
(Poston & Raijmakers, 2004).
Keadaan stres oksidatif pada plasenta penderita pre-eklampsia ditandai oleh
peningkatan produk stres oksidatif antara lain peningkatan isoprostane (Walsh,
2000), protein karbonil, dan nitrotyrosine (Poston & Raijmakers, 2004), dan
penurunan kapasitas antioksidan, yaitu : penurunan ekspresi mRNA Cu/ZnSOD
dan Gluthathione yang merupakan antioksidan enzimatik yang penting, serta
penurunan antioksidan non enzimatik yaitu vitamin E (Poston & Raijmakers,
2004).
Pada plasma penderita pre-eklampsia juga didapatkan keadaan stres oksidatif,
yaitu terjadi peningkatan peroksidasi lipid yang ditandai oleh peningkatan kadar
23
malondialdehid (MDA) plasma sebanyak 4,5 kali lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kehamilan normal (Takacs, et al., 2001) dan peningkatan kadar F2-
isoprostane (Morreti, et al., 2004). Sedangkan kadar antioksidan glutathione
(Raijmakers, et al., 2004a), α-tokoferol, β-karotin dan asam askorbat mengalami
penurunan pada plasma penderita pre-eklampsia.
2.1.4.5.1 Teori oksidasi
Remodelling terhadap arteri spiralis yang tidak sempurna pada pre-eklampsia,
menyebabkan keadaan hipoksia yang diikuti oleh reoksigenasi pada plasenta. Hal
ini terjadi karena arteri spiralis yang tidak mengalami remodelling masih
mempunyai komponen otot polos dan saraf pada dindingnya, sehingga arteri
spiralis masih bisa mengalami konstriksi karena pengaruh rangsangan saraf atau
hormon dari ibu. Konstriksi arteri spiralis ini menyebabkan aliran darah ke
plasenta menjadi intermittent, sehingga terjadi keadaan hipoksia yang diikuti
reoksigenasi yang berulang pada plasenta (Burton & Hung, 2003). Raghuvanshi,
et al. (2005) menyatakan bahwa keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan
peningkatan pembentukan radikal bebas.
Poston & Raijmakers (2004), menyatakan bahwa, peningkatan radikal bebas
pada plasenta penderita pre-eklampsia merupakan kombinasi dari peningkatan
pembentukan radikal bebas oleh mitokondria dan sintesa radikal bebas melalui
Xanthine oxidase serta NAD (P) H oxidase. Pengecatan imunohistokimia terhadap
xanthine oxidase/dehydrogenase mengalami peningkatan pada sel sitotrofoblas
plasenta penderita pre-eklampsia. Peningkatan aktivitas enzim ini merupakan
respon terhadap keadaan hipoksia dan reoksigenasi pada plasenta (Poston &
24
Raijmakers, 2004). Xanthine oxidase dan dehydrogenase merupakan enzim yang
berperan dalam metabolisme purin. Peningkatan aktivitas enzim ini pada keadaan
hipoksia yang diikuti reoksigenasi menyebabkan terbentuknya O2.- dan H2O2 yang
terjadi melalui reduksi terhadap molekul oksigen (Szocs, 2004). Enzim NAD(P)H
oxidase juga merupakan salah satu sumber radikal bebas pada plasenta
(Raijmakers, et al., 2004b). Enzim NAD(P)H oxidase didapatkan pada plasenta
saat usia kehamilan 6 sampai 8 minggu, peningkatan aktivitas enzim ini
mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas. Beberapa keadaan yang dapat
menstimulasi aktivitas NAD(P)H oxidase pada pre-eklampsia yaitu : peningkatan
sitokin TNFα, peningkatan tahanan aliran darah uteroplasenta, LDL yang
teroksidasi dan peningkatan sensitifitas terhadap angiotensin II (Poston &
Raijmakers, 2004; Raijmakers, et al., 2004b). Electron transport chain pada
mitokondria merupakan salah satu sumber ROS yang penting.
Pada keadaan fisiologis hanya sedikit oksigen yang berubah menjadi
superoksid dan dengan cepat akan didismutase oleh MnSOD. Pada keadaan
hipoksia mitokondria merupakan salah satu sumber ROS yang penting.
Peningkatan produksi ROS oleh mitokondria disebabkan oleh tidak tersedianya
electron acceptor yaitu O2 sehingga produksi ROS meningkat terutama oleh
complexes I-III (Szocs, 2004). Mitokondria pada pre-eklampsia mengalami
kerusakan oksidatif, yang disebabkan oleh peningkatan kadar TNF-α sehingga
aliran elektron pada mitokondria terganggu. Hal ini mengakibatkan pelepasan
radikal bebas dan terjadi peroksidasi lipid pada mitokondria, yang ditandai oleh
meningkatnya kadar malondialdehid (Granger, et al., 2001; Poston & Raijmakers,
25
2004). Keadaan iskemia yang diikuti reoksigenasi juga berhubungan dengan
terjadinya aggregasi dan aktivasi platelet, sehingga kemudian terjadi peningkatan
produksi radikal bebas oleh platelet (Raghuvanshi, et al., 2005).
2.1.4.5.2 Stres oksidatif pada plasenta menyebabkan stres oksidatif pada sirkulasi
sistemik
Stres oksidatif yang terjadi pada plasenta baik secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan keadaan stres oksidatif pada sirkulasi ibu. Peningkatan
radikal bebas pada plasenta memicu terjadinya apoptosis pada sel sinsiotrofoblas,
fragmen sel sinsiotrofoblas yang terlepas kedalam sirkulasi menyebabkan aktivasi
endotel dan leukosit pada sirkulasi ibu. Selain itu leukosit juga dapat teraktivasi
secara lokal di plasenta ketika leukosit melewati plasenta karena terbawa oleh
aliran darah (Poston & Raijmakers, 2004; Raijmakers et al., 2004a). Leukosit
yang teraktivasi menghasilkan radikal bebas dan sitokin (Raijmakers et al.,
2004a). Peningkatan radikal bebas dan sitokin dalam plasma menyebabkan
aktivasi endotel, yang selanjutnya akan menyebabkan perlekatan leukosit pada
endotel. Leukosit yang menempel pada endotel akan teraktivasi dan akan
melepaskan radikal bebas serta sitokin, sehingga akan semakin meningkatkan
jumlah radikal bebas pada plasma (Raijmakers, et al., 2004a).
2.1.4.5.3 Keadaan stres oksidatif menyebabkan munculnya gejala klinik pre-
eklampsia
Penyebab dan patogenesis PE sampai saat ini masih belum jelas, walaupun
demikian hampir semua peneliti setuju bahwa patogenesis PE melibatkan endotel
pembuluh darah yang meliputi aktivasi dan disfungsi endotel (Roberts, et al.,
26
2001; Takacs, et al., 2001). Granger, et al. (2001) menyatakan bahwa disfungsi
endotel terjadi sebelum munculnya gejala klinik pre-eklampsia, sehingga
merupakan penyebab bukan sebagai akibat dari PE.
Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi dan disfungsi endotel (Granger, et
al., 2001). Beberapa penanda adanya aktivasi dan disfungsi endotel dilaporkan
pada wanita yang menderita PE, yaitu : peningkatan faktor VIII, fibronektin,
peningkatan ICAM-1 melalui aktivasi NF-КВ (Takacs,et al., 2001), gangguan
keseimbangan tissue plasminogen activator/plasminogen activator inhibitor
(tPA/PAI), gangguan keseimbangan PGI2/thromboxane A2 (TAX2) dan penurunan
kadar nitrit oksida (Granger, et al. (2001).
Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara lain mengatur tekanan
darah melalui pelepasan bahan vasokontriktor dan vasodilator, mengatur fungsi
antikoagulan, antiplatelet, dan fibrinolisis (Granger, et al., 2001). Gangguan
fungsi dan struktur endotel dapat menjelaskan munculnya gejala klinik pre-
eklampsia yaitu hipertensi, protein uria, edema dan aktivasi sistem koagulasi
(Takacs, et al., 2001). Perubahan endotel yang khas bisa diamati pada pre-
eklampsia adalah endoteliasis pada glomerulus ginjal, yang meliputi
pembengkakan kapiler dan glomerulus yang dipenuhi oleh sel endotel yang
membengkak. Disamping itu juga terjadi kerusakan pada keutuhan lapisan sel
endotel pada glomerulus yang mengakibatkan terjadinya protein uria. Kerusakan
endotel juga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, yang
menyebabkan protein masuk keruang interstisial sehingga terjadi penurunan
volume plasma. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah ini menyebabkan
27
munculnya gejala edema pada pre-eklampsia. Hipertensi pada pre-eklampsia
disebabkan oleh adanya peningkatan tahanan pembuluh darah. Sel endotel
mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pengatur tahanan pembuluh
darah, dengan cara mensekresikan faktor yang menyebabkan vasodilatasi seperti
endothelial-derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin (PGI2) dan faktor yang
menyebabkan vasokontriksi seperti endothelin, platelet-derived growth factor
(PDGF) dan prostaglandin (Raijmakers, et al., 2004a).
Pada PE terjadi keadaan yang mengakibatkan vasokontriksi melalui
peningkatan kadar endothelin yang memacu peningkatan kadar tromboksan A2
yang merupakan vasokontriktor kuat. Di lain pihak terjadi penurunan substansi di
atas yang menyebabkan vasodilatasi berupa penurunan produksi Endothel derived
relaxing factor (EDRF), penurunan vasodilator PGI2, dan penurunan kadar nitrit
oksida. Selain karena hal tersebut di atas, peningkatan tekanan darah pada PE juga
disebabkan oleh peningkatan kepekaan ginjal terhadap angiotensin II, hal ini
disebabkan oleh peningkatan kadar tromboksan, penurunan nitrit oksida dan
prostasiklin (Granger, et al., 2001).
2.1.4.6 Faktor Lingkungan
Walaupun PE merupakan penyakit plasenta, namun pre-eklampsia merupakan
penyakit multifaktorial dimana faktor lingkungan juga ikut mempunyai pengaruh.
Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi PE termasuk riwayat hipertensi
kronis, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit yang berhubungan dengan renal
(Hill, et al., 2011).
28
2.2 Polimorfisme Genetik
Definisi polimorfisme genetik dalam kata benda berarti: 1. Eksistensi
bersama dari beberapa bentuk sekuens DNA pada sebuah lokus di dalam populasi.
2. Variasi genetik yang bersifat diskontinyu yang menghasilkan perbedaan bentuk
dan tipe individu sebagai anggota dalam spesies tunggal. Polimorfisme genetik
mempromosikan perbedaan dalam sebuah populasi. Hal ini sering menetap
sepanjang beberapa generasi karena tidak satu pun bentuk yang secara
keseluruhan lebih unggul atau sebaliknya dibandingkan dengan yang lain menurut
seleksi alam. Sebuah contoh yang umum adalah perbedaan bentuk alel dapat
memberikan pengaruh terhadap golongan darah yang berbeda pada manusia.
(Anonim a, 2016)
2.2.1 Polimorfisme nukleotid tunggal
Polimorfisme nukleotid tunggal (single nucleotide polymorphisms), sering
disebut dengan SNP (diucapkan sebagai “snips”), merupakan jenis variasi genetic
yang umum pada sejumlah orang. Setiap SNP merepresentasikan sebuah
perbedaan pada sebuah blok bangunan DNA yang disebut dengan nukleotid.
Sebagai contoh, sebuah SNP dapat mengganti nukleotid cytosine (C) dengan
nukleotid thymine (T) pada tempatnya yang tepat di DNA (Anonim b, 2016).
SNP normal terjadi pada DNA seseorang. Dimana terjadi sekali pada setiap
sekitar 300 nukleotid, artinya terdapat sekitar 10 juta SNP pada genom manusia.
Paling sering, variasi ini ditemukan pada DNA antara beberapa gen. Mereka dapat
berperan sebagai penanda biologis, membantu para ilmuwan menentukan lokasi
sebuah gen atau menentukan bagian regulator dekat gen, dimana mereka dapat
29
memainkan peran secara langsung pada penyakit yang berdampak pada fungsi
gen. (Anonim b, 2016)
Sebagian besar SNP tidak memberi dampak pada kesehatan dan
perkembangan. Beberapa perbedaan genetik ini telah terbukti sangat penting
dalam penelitian kesehatan manusia. Beberapa peneliti menemukan SNP dapat
membantu dalam memperkirakan respon individu terhadap obat-obatan, respon
terhadap faktor lingkungan seperti toksin, dan risiko berkembangnya suatu
penyakit. SNP dapat juga digunakan untuk menelusuri pewarisan gen penyakit
pada keluarga. Penelitian mendatang akan mengidentifikasi hubungan SNP
dengan penyakit-penyakit kompleks seperti penyakit jantung, diabetes, dan kanker
(Anonim b, 2016).
2.2.2 Protein ERAP2, Polimorfisme rs2549782 Gen ERAP2 dan Pre-
eklampsia
Protein ERAP2 diketahui sampai saat ini dapat berhubungan dengan pre-
eklampsia melalui jalur-jalur berikut :
2.2.2.1 Renin angiotensin system (RAS)
Protein ERAP2 meregulasi tekanan darah melalui jalur RAS, dimana ERAP2
memotong angiotensin III dan kallidin. Angiotensin III dan kallidin diketahui
terlibat meregulasi dilatasi dan konstriksi pembuluh darah. Abnormalitas pada
proses produksi substansi vasoaktif tersebut dapat mengakibatkan perubahan
tekanan darah ibu (Hill, et al., 2011).
30
2.2.2.2 Respon imun
Pre-eklampsia diketahui berhubungan dengan respon imun yang didominasi
oleh sel T Helper 1 (Th1) dimana terjadi penurunan plasentasi, inflamasi dan
disfungsi sel endotel. Sel Th1 berhubungan erat dengan MHC kelas I dan fungsi
protein ERAP2 adalah pemotongan peptida HLA kelas I dan pada pre-eklampsia
ditemukan penurunan level HLA-G pada sirkulasi darah penderita dan penurunan
tingkat ekspresi pada permukaaan sel trofoblas. Oleh karena adanya perubahan
pada protein ERAP2 yang disebabkan oleh polimorfisme gen ERAP2 dapat
mempengaruhi respon imun yang didominasi oleh sel Th1 dan pada akhirnya akan
menginduksi PE (Hill, et al., 2011).
Penelitian selanjutnya berupa studi kohort pada populasi Australia dan
Norwegia memperlihatkan asosiasi polimorfisme rs2549782 gen ERAP2 pada
ibu dengan PE (Johnson et al., 2009). Lebih lanjut Hill, et al. (2011) menemukan
hasil yang serupa pada fetus populasi Afrika-Amerika pada studi kasus-kontrol.
Adanya polimorfisme rs2549782 Gen ERAP2 dimana merupakan mutasi
missense diprediksi merubah struktur tiga dimensi protein ERAP2 dan merubah
fungsinya. Lebih lanjut polimorfisme rs2549782 terletak pada domain zinc-
binding yang sangat terkonservasi sehingga diprediksi juga mempengaruhi
fungsinya. Protein ERAP2 mempunyai fungsi yang banyak, sehingga adanya
polimorfisme rs2549782 dapat menyebabkan konsekuensi fisiologis yang
berbeda-beda pula (Hill, et al., 2011).
31
2.3 DNA Fetal Ekstraseluler
Ada beberapa keuntungan yang didapat jika kita menggunakan DNA fetal
sebagai salah satu metode diagnose prenatal non-invasive (Poon & Lo, 2001).
1. Salah satu alasan utama adalah konsentrasi dari DNA fetal ekstraseluler pada
plasma maternal sangat tinggi selama kehamilan. Sebagai contoh, DNA
kromosom Y dapat ditemukan hanya dengan menggunakan 10 µl plasma
maternal yang mengandung fetal laki-laki. Jumlah DNA fetal ekstraseluler
berkisar antara 0,39-11,9% pada kehamilan awal, dan 2,33-11,4% pada
kehamilan lanjut. Karena jumlahnya yang tinggi pada plasma maternal,
menjadikan plasma maternal sebagai sumber untuk diagnosis prenatal yang
sifatnya non invasive karena mudah terjangkau.
2. Klirens dari DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal sangat cepat,
dengan rata-rata half-life 16,3 menit. Sehingga pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai monitoring keadaan fisiologis maupun patologis.
3. Penggunaan PCR sebagai alat bantu diagnosis yang sangat sensitif untuk
mendeteksi adanya DNA dalam plasma maternal. Dengan menggunakan
metode single tube PCR, dalam mendeteksi fetal kromosom Y spesifisitasnya
mencapai 94%. Lo dan kawan-kawan juga menemukan bahwa dengan
menggunakan PCR assay untuk mendeteksi kromosom Y pada semua ibu
hamil dengan fetus laki-laki didapatkan hasil tanpa nilai positif semu.
4. Kemudahan dalam mengakses DNA fetus dalam plasma ibu dengan
menggunakan PCR kuantitatif yang real time, sehingga dapat digunakan
untuk pemeriksaan dalam skala yang besar.
32
2.3.1 Aplikasi klinis dari DNA fetal ekstraseluler pada darah maternal
Penemuan DNA fetal ekstraseluler pada darah maternal, dengan konsentrasi
yang tinggi, dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis prenatal. Hal ini
pertama kali dilakukan untuk mendeteksi kromosom Y pada maternal dengan
fetus laki-laki, yang dapat digunakan untuk diagnosis prenatal dalam mendeteksi
kelainan sex-linked. Teknologi ini tidak hanya untuk mendeteksi DNA laki-laki
saja, namun segera setelah ditemukannya kromosom Y dalam plasma ibu, status
rhesus fetal D (RhD) dapat juga ditentukan pada plasma ibu hamil dengan RhD
negatif (Karina & Thomasz, 2009). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya kelainan jumlah dan struktur dari kromosom fetus seperti
identifikasi kromosom trisomi, dan mendeteksi kelainan genetik yang bersifat
resesif (cystic fibrosis, congenital adrenal hyperplasia), dan dominan (dystrophia
myotonica protein kinase, Huntington disease). Penyakit autosomal, seperti
achondroplasia yang disebabkan oleh mutasi poin juga dapat dideteksi (Karina &
Thomas, 2009).
Dengan penggunaan teknologi PCR saat ini, dapat dipelajari secara detail
konsentrasi DNA fetal ekstraseluler pada plasma maternal. Pada beberapa
penelitian, penemuan ini dapat digunakan untuk marker diagnosis pada kehamilan
patologis. Pada kehamilan normal, DNA fetal ekstraseluler dapat ditemukan pada
plasma ibu hamil saat usia kehamilan 7 minggu, dan jumlahnya akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada partus iminens ditemukan ada
peningkatan konsentrasi DNA fetal ekstraseluler secara mendadak pada akhir
trimester ketiga. Selain itu konsentrasi DNA fetal ekstraseluler yang tinggi juga
33
didapatkan pada wanita yang mengalami persalinan preterm, PE, polihidramnion
idiopatik, dan fetus aneuploid. Jadi, bila ditemukan peningkatan konsentrasi DNA
fetal ekstraseluler yang tidak biasa pada plasma ibu dapat merupakan indikasi
adanya kehamilan yang abnormal (Alberry & Maddoks, 2009).
2.3.2 Prosedur Pemeriksaan DNA Ekstraseluler
Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi DNA ekstraselular
adalah dengan menggunakan analisis PCR yang prosesnya diawali dengan
melakukan ekstraksi DNA. Plasma darah dipisahkan dengan sentrifugasi
kemudian disimpan dalam kondisi beku, kemudian DNA di ekstraksi dari 400 µL,
pada proses ini, prosedur anti kontaminasi wajib dilakukan. Setelah DNA
diperoleh melalui ekstraksi, DNA kemudian diberikan larutan buffer sebanyak 50
µL, dimana 2 µL digunakan sebagai template untuk reaksi PCR. Analisis PCR
yang digunakan disini adalah untuk mendeteksi DNA fetus laki-laki yang
bersirkulasi pada plasma ibu, serta mengetahui jumlah DNA total yang ada
(Zhong & Laivuori, 2001). Dengan mengetahui jumlah DNA fetus laki-laki, maka
didapatkan bahwa terdapat peningkatan DNA fetus laki-laki secara signifikan
pada ibu hamil dengan PE dibandingkan dengan subjek kontrol. Sedangkan
jumlah total DNA fetus yang terdapat pada sirkulasi maternal berkisar antara
1,4%-1,5%, hal ini menunjukkan bahwa jumlah DNA yang terdapat pada sirkulasi
sebagian besar berasal dari maternal (Zhong & Laivuori, 2001). Jumlah DNA
pada plasma ibu dengan PE secara signifikan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan subjek kontrol, peningkatan ini juga berbanding lurus
dengan berat ringannya penyakit (Zhong & Laivuori, 2001).
34
Mekanisme pasti yang menyebabkan terdapatnya DNA fetal ekstraseluler
pada sirkulasi masih belum jelas, namun penjelasan yang dapat diterima mengenai
penyebab adanya fragmen DNA pada sirkulasi adalah mekanisme apoptosis atau
bentuk lain dari kematian sel. Penjelasan ini didukung oleh data yang
menunjukkan bahwa DNA yang terdapat pada sirkulasi menunjukkan
karakteristik dari fragmen DNA apoptosis. Konsentrasi DNA yang tinggi juga
didapatkan pada pasien dengan penyakit keganasan yang memiliki kecepatan
kematian sel yang lebih tinggi dibandingkan pasien normal (Zhong & Laivuori,
2001).
2.4 Protein Sistatin C
Sistatin C adalah protein nonglikosilasi dengan berat molekul rendah sekitar
13kDa terdiri dari 120 asam amino, yang dihasilkan oleh semua sel berinti dengan
kadar yang konstan. Gen sistatin C terdapat pada lengan pendek kromosom 20
yang disebut CST3. Gen sistatin C tersebut tidak memiliki elemen regulator. Dari
perspektif fungsi ginjal, karakter sistatin C yang penting adalah ukurannya yang
kecil dan level isolectric yang tinggi, yang memungkinkan sistatin C terfilterisasi
secara bebas. Protein sistatin C terdistribusi luas pada ruang ekstraseluler, dan
peningkatan sistatin C pada trimester kedua merupakan respon terhadap
kerusakan jaringan (Saleh, et al., 2010; Sumithra, et al., 2013)
Protein sistatin C difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, kemudian
direabsorbsi dan dikatabolisme oleh sel tubulus proksimal (Sumithra, et al.,
2013). Di samping itu protein sistatin C tidak disekresikan oleh tubulus ginjal,
sehingga sangat sensitif terhadap perubahan minimal laju filtrasi glomerulus yang
35
timbul pada stadium awal kelainan ginjal. Konsentrasi serum sistatin C dapat
mencerminkan GFR lebih akurat dibandingkan serum kreatinin, baik pada wanita
hamil maupun tidak hamil, wanita sehat maupun wanita hipertensi. Terutama pada
individu dengan penurunan GFR yang minimal atau moderate. Kadar sistatin C
akan sangat tinggi saat GFR menurun hingga 88-95 ml/menit per 1,73m2 (Saleh,
et al., 2010; Farag, et al., 2011).
Terdapat perbedaan fisiologis antara proses filtrasi ginjal pada wanita hamil
dan tidak hamil, baik dari segi size-dependent, configuration-dependent, ataupun
charge dependent. Menurut studi oleh Saleh, et al. (2010), pada pasien pre-
eklampsia peningkatan serum sistatin C saat trimester kedua dapat disebabkan
oleh perubahan pada selektivitas polaritas glomerulus, yang mana hal tersebut
tidak berpengaruh pada kadar kreatinin (Saleh, et al., 2010).
Pengukuran serum kreatinin memiliki kelemahan saat kondisi hamil normal,
dimana serum kreatinin akan menurun akibat peningkatan aliran plasma ginjal dan
laju filtrasi glomerulus saat hamil (Jummaat, et al., 2014). Di lain pihak serum
sistatin C tidak akan menurun pada kehamilan normal cukup bulan, meskipun laju
filtrasi glomerulus untuk substansi dengan berat molekul rendah meningkat
sekitar 40% pada trimester ketiga (Saleh, et al., 2010).
Konsentrasi serum sistatin C tidak terpengaruh oleh masa otot, umur, proses
inflamasi, demam, ataupun agen eksogen. Meskipun pada beberapa laporan,
terdapat keterkaitan antara konsentrasi sistatin C dengan fungsi tiroid dan steroid
(Farag, et al., 2011). Di lain pihak serum kreatinin dipengaruhi oleh masa otot,
36
dipengaruhi sekresi dan reabsorpsi tubulus ginjal, asupan makanan, atau bahkan
proses analisis kadar kreatinin itu sendiri (Saleh, et al., 2010).
Pada saat hamil, kadar serum sistatin C biasanya mengalami peningkatan
pada trimester ketiga, akibat menurunnya ekskresi dan meningkatnya sintesis oleh
unit fetoplasenta (Sharma, et al., 2014). Peningkatan ini akan jauh lebih tinggi
pada pre-eklampsia karena terjadi perubahan fungsional dan struktural organ
ginjal (Sharma, et al., 2014). Pada studi Sharma, et al., (2014) dilakukan
pengukuran rerata kadar serum sistatin C pada 197 wanita dengan kehamilan
normal. Hasilnya rerata serum sistatin C pada semua pasien sebesar 0,82 + 0,18
mg/l. Dimana serum sistatin C cukup tinggi sekitar 0,89 + 0,12 mg/l saat trimester
pertama, kemudian menurun secara signifikan menjadi 0,65 + 0,14 mg/l saat
trimester kedua dibanding pada trimester pertama (p<0,001) dan kemudian
meningkat kembali sebesar 0,82 + 0,19 mg/l pada trimester ketiga. Studi menurut
Strevens et al. (2002), kadar sistatin C meningkat secara proporsional sepanjang
kehamilan (Jummaat, et al., 2014). Strevens, et al (2001) juga mendapatkan
bahwa sistatin C dapat digunakan sebagai marker, tidak hanya pada gangguan
fungsi ginjal, namun juga tingkat endotheliosis gromerulus dan peningkatan
volume glomerulus pada wanita hamil, serta cukup signifikan dalam memonitor
kehamilan dengan PE (Saleh, et al., 2010). Dari hasil studi tersebut didapat hasil
bahwa sensitivitas sistatin C pada populasi pre-eklampsia sebesar 91,1% dan
spesifisitasnya sebesar 86,6% (Jummaat, et al., 2014).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kristensen, et al. (2007) telah
melaporkan bahwa kadar sistatin C dan beta-2-microglobulin di plasma
37
meningkat bermakna pada PE. Kadar sistatin C yang tinggi pada PE merupakan
refleksi dari iskemia plasenta (Saleh, et al.,2010).