STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN; KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN HIV DAN AIDS DI 8...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN; KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN HIV DAN AIDS DI 8...
STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN;
KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN HIV DAN AIDS DI 8 (DELAPAN) PROVINSI
DKI JAKARTA, BANTEN, JAWA BARAT, SUMATERA UTARA,
YOGYAKARTA, JAWA TIMUR, BALI DAN NTB 2013
IPPI
Ikatan Perempuan Positif Indonesia Jaringan Nasional Perempuan Yang HidupDengan HIV Dan Yang Terdampak
Website: www.ippi.or.id
ii
Daftar Isi
DAFTAR ISI ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
DAFTAR TABEL & GAMBAR III
UCAPAN TERIMA KASIH IV
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN IV
BAGIAN 1. PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG 1
1.1. Gambaran Keterkaitan Kekerasan dengan HIV dan AIDS 1
1.2. Kerangka Berpikir 2 Tujuan Pendokumentasian: 4
1.3. Metodologi 4
BAGIAN 2 - HASIL DAN TEMUAN 7
2.1 Data Demografi 7
2.2 Kekerasan dalam perspektif Perempuan dengan HIV&AIDS 9 2.2.1. Pengalaman dan Cara Pandang
2.2.2. Latar Belakang Kekerasan
2.2.3. Upaya-upaya Litigasi maupun Non-Litigasi
2.3 Perempuan dan HIV 16 2.3.1 Pra Kekerasan
2.3.2 Pasca kekerasan
2.4 Jenis-jenis Kekerasan yang Dialami 20
BAGIAN 3. DISKUSI 21
3.1 Siklus Hidup Perempuan dengan HIV dan Kekerasan yang Dialami 21 3.1.1. Media Penyaluran Emosi
3.1.2. Dampak Perluasan Kekerasan
3.1.3. Alasan Bertahan
3.2 Pelanggengan Kekerasan 29
BAGIAN 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 37
DAFTAR PUSTAKA 41
iii
Daftar Tabel & Gambar
TABEL 1: KATEGORISASI MEDIA PENYALURAN EMOSI PEREMPUAN ODHA PASCA KEKERASAN ................................ 24
GAMBAR 1: BENTUK KEKERASAN YANG DIALAMI PEREMPUAN DENGAN HIV ........................................................... 20
DIAGRAM 1: ALUR PENGAMBILAN DATA PENDOKUMENTASIAN PENGALAMAN KEKERASAN PEREMPUAN ODHA .... 5
DIAGRAM 2: DATA DEMOGRAFI INFORMAN PENDOKUMENTASIAN ............................................................................ 8
DIAGRAM 3: KERANGKA ECOLOGICAL YANG DIADAPTASI SESUAI DENGAN HASIL TEMUAN PENDOKUMENTASIAN 23
iv
Ucapan Terima Kasih
Salah satu tujuan besar dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia sebagai jaringan perempuan yang hidup dengan
HIV dan terdampak di Indonesia dalam melakukan pendokumentasian kasus kekerasan ini, adalah bagaimana proses
pendokumentasian ini dapat menjadi sebuah sarana pembelajaran bagi seluruh anggota IPPI, terkait bagaimana
cara-cara mendokumentasikan sebuah kasus kekerasan yang dialami oleh anggota IPPI khususnya secara sistematis
dan melakukan analisa kasus per kasus berdasarkan pedoman yang telah disusun..
Ucapan terima kasih yang sedalam – dalamnya, kami ucapkan kepada seluruh anggota IPPI yang telah berbagi kisah
secara lugas, jujur, dan apa adanya. Tiap tetes air mata yang telah tercurahkan, mrmberikan kekekuatan dalam
melakukan upaya-upaya perubahan. Kami sangat memahami bahwa tidaklah mudah mengurai satu persatu
“trauma” yang pernah dialami.
Kepada semua informan yang telah berpartisipasi dalam menyuarakan suara-suara yang tak terdengar hanya
dengan satu tujuan jangan lagi ada lagi perempuan HIV Positif yang mengalami hal yang serupa.
Kepada Mama Cash dan HIVOS yang telah memberikan dukuan dana, demi terlaksananya kegiatan ini.
Kepada Koordinator Nasional IPPI. Baby Rivona yang telah memberi peluang terlaksananya pendokumentasian dan
studi kualitatif ini.
Kepada tim penyusun konsep. Laura Nevendorff, Oldri Sherli, dan saya sendiri tentunya, atas kerja keras dan
kerjasamanya dalam menyusun pedoman pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan HIV Positif.
Kepada tim pelaksana lapangan di delapan provinsi, Wulan widoereri, Noami Esteria, Ade Nia, Dwi Surya, Rika
Loretta, Nurhayati, Melly Windi, Selvin Pancarina, Via Aura, Yurike Ferdinandus, dan Yulianti atas bantuan dan
loyalitas dalam pelaksanaan pengambilan data dilapangan.
Kepada supporting staff IPPI, Widya dan Leha, atas kerja keras dan kesabarannya dalam mengikuti dan membantu
proses analisa data.
“Tidak banyak yang tahu bahwa kita sebagai perempuan HIV Positif sering memendam perasaan, tidak banyak
yang tahu bahwa kita sebagai perempuan HIV Positif juga memiliki pengalaman –pengalaman hidup yang tidak
menyenangkan , tidak banyak yang tahu bahwa kita sebagai perempuan HIV Positif butuh didengar”.
Banyak perempuan HIV Positif yang terabaikan HAK-HAK nya karena suaranya tidak didengarkan, kebutuhannya
diabaikan dan harapannya dimusnahkan. Jangan ada lagi perempuan HIV Positif yang harus meneteskan air mata
dan darah karena dianggap tidak ada dan HAK nya diabaikan. Kami butuh lebih dari sekedar bertahan. HARUS !!
Salam,
Sari Dewi Aznur
Ikatan Perempuan Positif Indonesia
v
Daftar Istilah dan Singkatan
ISTILAH PENJELASAN
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome/sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem
kekebalannya di rusak oleh virus yang di sebut HIV
ARV Anti-Retroviral: Obat yang digunakan untuk mengobati
retrovirus seperti HIV,untuk menghambat perkembangbiakanya
BAP Berita Acara Pelapor
BP7 Badan Pembina pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila
CATAHU Catatan Tahunan
DKT Diskusi Kelompok Terarah
Diskriminasi Pembedaan perlakuan terhadap sesama warga
negara(berdasarkan warna kulit,golongan,suku,ekonomi,agama
dsb)
Epidemi Penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang
luas dan menimbulkan banyak korban
Estimasi Perkiraan
Gender Pembedaan atau konstruksi vsosial berdasarkan jenis kelamin
HAM Hak Asasi Manusia
HIV Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
kemudian dapat menimbulkan AIDS
Inkonsistensi Ketidak serasian
IMS Infeksi Menular Seksual
IPPI Ikatan Perempuan Positif Indonesia
Jungky Sampah/Pengguna narkotika suntik
KOMNAS Komisi Nasional
vi
ISTILAH PENJELASAN
KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KRP Kekerasan Ranah Pacaran
KUA Kantor Urusan Agama
Narkoba Narkotika dan obat-obatan terlarang
ODHA Orang Dengan HIV dan AIDS
OHIDHA Orang yang hidup dengan ODHA
Poligami Lelaki yang Memiliki lebih dari satu pasangan
Pakau sebutan untuk seseorang yang menggunakan narkotika jenis
suntik (baca putaw)
PNS Pegawai Negri Sipil
Sero-diskordan Adalah hasil tes HIV dengan menggunakan strategi 2 atau 3 tes
HIV dimana hasil tes yang di peroleh dari salah satu alat tes
menunjukan reaktif dan yang lainnyanon reaktif. Sero-diskordan
juga bisa pada status HIV bagi satu pasangan klien dimana salah
satu klien mempunyai status HIV reaktif/positif dan yang lainnya
non reaktif
Sadomasokis Yaitu laki-laki merasakan kepuasan saat melakukan hubungan
seksual dengan menyakiti pasangannya terlebih dahulu
Stigma Ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya
Visum Pernyataan atau keterangan telah mengetahui atau menyetujui
WIL wanita idaman lain
1
Bagian 1. Pendahuluan dan Latar Belakang
1.1. Gambaran Keterkaitan Kekerasan dengan HIV dan AIDS
Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan tingkat epidemi penularan HIV yang terus
berkembang. Badan Pusat Statistik Nasional melaporkan bahwa jumlah populasi di Indonesia
mencapai 237,5 juta jiwa di tahun 2010 dan diestimasikan prevalansi HIV sebesar 0.27% pada
populasi dengan usia 15-49 tahun (Kemenkes, 2009). Sementara itu, situasi epidemi HIV di
Indonesia juga di proyeksikan bahwa akan terjadi sebuah transisi penularan dari mode
transmisi melalui penggunaan jarum suntik mejadi penularan melalui transmisi seksual
dimana transisi penularan HIV melalui transmisi seksual akan ikut berkontribusi pada
kerentanan perempuan dan remaja perempuan akan infeksi HIV. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dalam laporannya mencatat bahwa telah terjadi kenaikan angka kasus
HIV yang cukup signifikan dari 7.195 kasus HIV di tahun 2006 menjadi 98.390 kasus HIV di
tahun 2012 (Kemenkes, 2012), data estimasi nasional penularan HIV tahun 2009 mencatat
bahwa 186.257 orang telah terinfeksi HIV dan 6.4 juta jiwa dalam resiko untuk tertular HIV
(Kemenkes, 2009).
Situasi Epidemi Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Pada
Perempuan (Komnas Perempuan) yang di publikasikan tahun 2011 telah memberikan
gambaran umum tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama tahun 2010.
Dari dokumentasi yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan diperoleh jumlah perempuan
korban sebanyak 105.103 orang.
Berdasarkan data korban yang tercatat, pola kekerasan yang terjadi masih didominasi oleh
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Kekerasan Ranah Pacaran (KRP) yang mencapai
96% (yaitu 101.128). Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas tercatat 3.530
kasus, dan ranah Negara 445 kasus – jumlah ini meningkat 8 kali lipat dibandingkan tahun
2
2009. Pada tahun 2010 ini secara khusus tercatat tindak kekerasan seksual baik di ranah
domestic (864) maupun ranah komunitas sebanyak 1.781 (Komnas Perempuan, 2011).
Kekerasan seksual yang dicatat oleh lembaga mitra mencakup seksual, pencabulan,
percobaan perkosaan, perkosaan. Komnas Perempuan pada tahun ini juga mencatat
sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas. Sampai
pada periode tahun pelaporan situasi Kekerasan Terhadap Perempuan di tahun 2011, belum
ada data yang menunjukkan situasi kekerasan pada perempuan dikarenakan status HIV yang
dimilikinya maupun laporan lembaga yang bekerja dalam untuk perempuan dengan HIV yang
melaporkan kasusnya kepada Komnas Perempuan
1.2. Kerangka Berpikir
Kerentanan perempuan akan infeksi HIV juga sangat kuat relevansinya dengan kerentanan
perempuan akan kekerasan. Kekerasan seksual termasuk pemerkosaan adalah salah satu
contoh dari beberapa pola kekerasan yang dapat mempengaruhi kerentanan perempuan
akan infeksi HIV. Kekerasan terhadap perempuan apabila dikaitkan dengan penularan
HIV&AIDS salah satunya dikarenakan oleh kuatnya patriarkisme dalam kehidupan bernegara
senantiasa melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif perempuan, lalai akan
perlindungan terhadap kaum yang dilemahkan dalam dunia lelaki, bahkan potensial untuk
terjadinya kekerasan – verbal dan non-verbal. Semakin banyaknya perempuan yang
dilaporkan tertular HIV dari pasangannya bahkan kepada bayi-bayi yang dikandungnya dalam
lima tahun terakhir, merupakan fenomena yang tidak bisa dinafikkan saling kait-mengkait
dengan kekerasan terhadap perempuan (IPPI, 2012).
Semakin dipahami pula bahwa persoalan penyebaran HIV&AIDS di berbagai belahan dunia
tidak dapat ditanggulangi melalui upaya-upaya medis semata. Persoalan ini tidak terlepas
dari berbagai macam kepentingan sehingga untuk mengurainya, diperlukan cara pandang
terhadap persoalan yang luas mencakup ekonomi, politik, sosial, serta budaya. Keterkaitan
antara kekerasan terhadap perempuan dan penularan HIV merupakan sebuah pangkal dari
3
satu ujung jawaban atas persoalan yang perlu terus-menerus dikaji dan menjalani siklus aksi-
refleksi.
Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) adalah sebuah jaringan nasional perempuan yang
hidup dengan HIV dan terdampak oleh AIDS berdiri tahun 2007 di Indonesia. IPPI memiliki
perhatian khusus terhadap kekerasan pada perempuan di Indonesia khususnya yang dialami
oleh perempuan dengan HIV dan yang terdampak oleh AIDS sebagai upaya melindungi dan
meningkatkan mutu hidup mereka. IPPI menyadari bahwa terlahir sebagai perempuan telah
berdampak cukup memprihatinkan dengan ketidakadilan gender yang nyata di Indonesia, hal
ini semakin diperburuk dengan situasi ketika perempuan harus menerima dirinya terinfeksi
HIV. Meningkatkan mutu hidup perempuan dengan HIV tidak hanya memberikan informasi
dan mendorong perempuan dengan HIV untuk mengakses layanan kesehatan saja, namun
bagaimana perempuan dengan HIV dapat ditingkatkan mutu hidupnya dengan meproteksi
mereka dari kekerasan dan ketidakadilan.
IPPI kemudian berinsiatif melakukan sebuah survey kuantitatif dalam upaya mengambil
gambaran situasi kekerasan yang dialami para anggota IPPI. Survey ini dilakukan di 8 propinsi
wilayah kerja IPPI dengan total informan 111 anggota IPPI. Dari hasil survey tersebut,
teridentifikasilah beberapa kekerasan yang telah dialami oleh para anggota IPPI, diantaranya
adalah; kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, diskriminasi,
sterilisasi yang cenderung dipaksakan, dan aborsi tidak aman.
4
Berdasarkan survey tersebut, maka menjadi amat penting bagi IPPI untuk melakukan
pendokumentasian kasus-kasus tersebut dalam sebuah alat kerja untuk mencatat secara
sistematis data-data kekerasan terhadap perempuan sesuai kategorisasi yang tersedia dan
kemudian membuat analisa akan data-data tersebut sehingga dapat menghasilkan sebuah
informasi yang komperhensif. Hal ini akan sangat mendukung program kerja yang dijalankan
oleh IPPI terutama untuk mendukung kerja-kerja advokasi baik litigasi maupun nonlitigasi di
berbagai tingkat, lokal, nasional, dan internasional.
Tujuan Pendokumentasian:
1. Mencatat secara sistematis kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV
termasuk menggali alternatif baik litigasi maupun nonlitigasi.
2. Mengidentifikasi sejauh mana perempuan dengan HIV memahami dan
mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
3. Menggali faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan, termasuk pelaku kekerasan
dan tanggapan orang terdekat terkait kekerasan yang dialami perempuan dengan HIV
4. Mengetahui sejauh mana perempuan dengan HIV mengalami kekerasan berdasarkan
status HIV, termasuk kerugian, karakteristik sosial dan upaya pemecahan masalah
yang dilakukan
1.3. Metodologi
Pendokumentasian ini mengadopsi metode penelitian kualitatif, dimana metode
pengambilan data dan analisa bergantung sepenuhnya pada teks (Liamputtong, 2009).
Walaupun tidak mengkategorikan dokumen ini sebagai hasil penelitian yang rigid, namun tim
dokumentasi berusaha sedekat mungkin mengikuti alur penelitian kualitatif untuk
memastikan kualitas data yang diperoleh. Pendokumentasian data diambil melalui metode
diskusi kelompok terarah (DKT) dan wawancara mendalam di 8 (delapan) provinsi yang
merupakan wilayah kerja IPPI, yaitu; DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan NTB. Pemilihan lokasi ditentukan dengan pertimbangan
5
karakteristik budaya yang cukup berbeda, adanya laporan informal tentang kekerasan yang
terjadi.
Pengumpulan data dilakukan sesuai dengan metode kualitatif yang sudah ditentukan
sebelumnya. Pemilhan informan menggunakan metode purposive sampling of context,
dimana informan potensial yang memiliki pengalaman kekerasan di delapan lokasi sengaja
dipilih sebagai sumber informasi. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut;
1] Perempuan ODHA berusia 18-65 tahun,
2] Mengetahui status HIV minimal enam bulan,
3] Pernah mengalami minimal satu dari beberapa jenis kekerasan terhadap perempuan,
4] Berdomisili sesuai dengan lokasi dokumentasi,
5] Bersedia secara sukarela untuk terlibat dan berbagi pengalaman serta pandangan terkait
kekerasan terhadap perempuan.
Pemilihan informan secara purposive dilakukan agar hanya data yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang terkumpul (Bryman, 2012). Perangkat berupa pertanyaan semi-tersturktur
telah disiapkan untuk memandu tim dokumentasi dalam pelaksanaan DKT dan wawancara
mendalam. Pertanyaan semi terstruktur dibuat mengikuti tema besar yang sesuai dengan
tujuan awal pendokumentasian ini dibuat, meliputi;
Diagram 1: Alur pengambilan data Pendokumentasian pengalaman kekerasan perempuan dengan
HIV
Sumber: Metodologi pendokumentasian
Identifikasi informan potensial
Finalisasi jadwal pengambilan data
Metode Pengambilan data 1
Diskusi Kelompok Terarah
Metode Pengambilan data 2
Wawancara mendalam
6
Terdapat empat tahap dalam alur pengambilan data (lihat Diagram 1). Pertama, kordinator
provinsi IPPI bertugas untuk mengidentifikasi informan potensial yang sesuai dengan kriteria
peserta. Setelah informasi awal terkumpul, penawaran untuk terlibat dalam pengambilan
data dilakukan bersamaan dengan pencocokan jadwal pengambilan data. Pengambilan data
pertama, berupa DKT, dilakukan dengan tujuan untuk menggali pendapat dan melihat
kesepakatan terhadap topic utama. Sedangkan pada tahap pengambilan data terakhir
dilakukan wawancara mendalam untuk menggali lebih dalam pengalaman personal terkait
kekerasan yang dialami.
Secara total terdapat 16 DKT dengan total peserta 78 dan 77 wawancara mendalam yang
dilakukan. Kajian menggunakan thematic analysis sebagai metode analisis. Seluruh data
audio yang terkumpul di transkripsi dan dibuat system pengkodean awal dan relasi (axial
coding) untuk memahami data yang didapat. Untuk memperkaya hasil analisis, kajian
literatur dari sumber kedua seperti; dokumen terkait kekerasan terhadap perempuan,
panduan dan hasil kajian sebelumnya akan dilakukan.
7
Bagian 2 - Hasil dan Temuan
2.1 Data Demografi
Latar belakang sosial informan yang terlibat dalam pendokumentasian kekerasan cukup
bervariasi. Secara total, informasi dalam pendokumentasian dan studi ini dikumpulkan
dari 78 orang perempuan HIV positif melalui proses Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dan
77 orang perempuan HIV positif yang bersedia lanjut hingga tahap penggalian data
berikutnya melalui Wawancara Mendalam (WM), 1 orang informan tidak bersedia
mengikuti proses wawancara dikarenakan jarak dan kondisi pada saat proses yang tidak
memungkinkan dimana tempat tinggal informan yang cukup jauh dari lokasi wawancara
dan kondisi dimana informan membawa anaknya yang masih balita bersamanya pada
saat itu. Hal membuktikan bahwa tidak ada paksaan dalam mengikuti proses
pendokumentasian dan studi ini, informan memiliki hak untuk tidak terlibat atau bahkan
mengundurkan diri ditengah jalannya proses pendokumentasian dan studi.
Adapun rincian kegiatan dari masing-masing provinsi adalah sebagai berikut; Banten 11
informan dengan durasi pengambilan data 22- 24 Febuari 2013); DKI Jakarta - 10
informan dengan durasi pengambilan data 2-4 Maret 2013; Jawa Barat – 12 Informan
dengan durasi pengambilan data 8-10 Maret 2013; Sumatera Utara – 8 Informan
dengan durasi pengambilan data 11-13 Juni 2013, Yogyakarta – 11 Informan dengan
durasi pengambilan data 18-20 Juni 2013, Jawa Timur – 11 Informan dengan durasi
pengambilan data 2-4 Juli 2013, Bali – 6 Informan dengan durasi pengambilan data 25-
27 Agustus 2013, dan NTB – 9 Informan dengan durasi pengambilan data 17-19
September 2013.
Hasil pengolahan data menemukan bahwa mayoritas informan berpendidikan terakhir
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, berusia diatas 30 tahun dan pada saat
pengambilan data dilakukan sedang berstatus menikah dengan pasangannya, namun
sebagaian memilih berpisah tanpa bercerai. Latar belakang informan juga mayoritas
sebagai pasangan pengguna napza, dari 77 informan yang di wawancara mendalam
8
sebanyak 71 informan merupakan pasangan dari pengguna napza dari jenis yang cukup
beragaram mulai dari alkohol, sabu-sabu, heroin dan ganja. Namun, kami tidak
melakukan pengolahan data lebih lanjut terkait napza jenis apa yang paling mayoritas
digunakan oleh pasangan informan. Pasangan/ Suami / Pacar/ Laki-laki, dinyatakan oleh
informan sebagai pelaku mayoritas kekerasan yang terjadi pada perempuan yang hidup
dengan HIV, selain dari pihak keluarga, masyarakat dan layanan kesehatan.
Diagram 2: Data demografi informan pendokumentasian
Sumber: hasil pengolahan data
Selain itu, dalam temuan beberapa perempuan menyatakan bahwa memiliki anak yang
berstatus HIV atau memiliki sejarah kematian anak akibat HIV. Tidak semua informan
yang memiliki anak tinggal serumah dengan anaknya. Beberapa informan mengaku,
sampai pada saat pengambilan data dilakukan, anak mereka diasuh oleh mertua atau
19
40
16
2
USIA
18 - 26thn
27 - 35thn
36 - 44thn
45 - 53thn
5
15
52
5
PENDIDIKAN
SD
SMP
SMA
UNIVERSITAS
32
31
10
22
STATUS
Menikah
Cerai Mati
Berpisah
Belum Menikah
Nikah Siri
71
4 2
LATAR BELAKANG
Pasangan Pengguna Napza
Pengguna Napza
Pekerja Seks
9
ibu kandung informan. Alasan yang dikemukanan meliputi; perceraian dengan suami
terdahulu berdampak pada pengambil-alihan hak asuh anak, atau keterbatasan
ekonomi.
2.2 Kekerasan dalam perspektif Perempuan dengan HIV&AIDS
2.2.1. Pengalaman dan Cara Pandang
Cara pandang dan pengalaman yang beragam digali secara interaktif melalui proses DKT,
guna mencari tahu terkait definisi kekerasan, awal mendengar atau mengetahui, dan
sejauhmana informasi yang diterima oleh perempuan yang hidup dengan HIV namun
ada beberapa pula yang terungkap dalam proses Wawancara Mendalam.
Mayoritas informan memahami definisi kekerasan itu sendiri tidak secara deskriptif dan
harfiah, namun lebih pada jenis-jenisnya itu sendiri, antara lain informan menyatakan
bahawa kekerasan itu kekerasan fisik, kekerasan verbal, stigma dan diskriminasi terkait
status HIV yang dimiliki oleh informan, dan beberapa tanpa mengetahui jenis
kekerasannya telah mengarahkan pada kekerasan seksual dan reproduksi.
“dipukul, dicaci maki.. itu juga kan kekerasan, disumpah-sumpahin, dipaksa berhubungan seks, hmmm... disodomi..” (DKT, NTB) “Kekerasan itu perempuan yang diperlakukan yang tidak selayaknya hak kita diambil oleh orang lain, ditekan gitu hak kita... hak kalo kita mau tukar pendapat ga boleh, hak untuk hubungan dengan teman-teman kita juga ga boleh, kalo kita ada masalah mau tukar pikiran juga ga boleh sama suami” (DKT, Sumatera Utara)
“saya mengalami kekerasan dilempar dengan sandal oleh suami saya yang kedua karena status HIV saya. Saya memang tertular HIV dari suami pertama..” (DKT, Jawa Timur)
“....pulang kerja dalam keadaan mabok gitu, nah trus dia minta ML tapi saya malas karna udah kesal ama dia,... trus dia ambil gunting, dia bilang “ayo lo mau ngelayanin gue apa tidak, kalo macam-macam gue tusuk lo” trus “kalo berani kabur dari gue, ketemu kaki lo gue patahin” (DKT, Jakarta)
10
Rata-rata informan menyebutkan mengetahui kekerasan dari media, TV, Infotaintment,
membaca, melihat sendiri serta mengalami sendiri kekerasan dari pasangan dan
keluarga.
“ada sih temen cerita tentang “kemarin gw dipukulin ama cowok gw”. Cuma saya sih mendengarnya aja kasian, kayak gitu...eh tapi besokannya saya yang kena” (DKT, Jakarta)
“karena mengalami sendiri trus tiba-tiba ada di TV, oooh ternyata harus dilaporin” (DKT, Bandung)
Informan juga menyatakan bahwa kekerasan merupakan hal-hal yang ‘lumrah” atau
sering terjadi dalam lingkungan domestik, dalam lingkup rumah tangga yang jika tidak
dilakukan akan dianggap tidak menjalani kodratnya sebagai istri, misalkan adanya
paksaan dalam melakukan hubungan seksual dalam perkawinan, bentuk penyiksaan
yang mengarah kepada organ alat kelamin dan anus (pasangan memasukkan jari ke
dalam vagina istri secara paksa, sodomi secara paksa) dianggap sebagai variatif dalam
bercinta.
“Pasangan saya tidak mau menggunakan kondom. Dan saya paling tidak suka ketika diajak berhubungan seks melalui anus. Suami saya biasanya dalam keadaan mabuk, dan suami saya memaksa untuk melakukan seks melalui anus padahal saya merasakan sakit dan sangat tidak suka. Namun karena itu kewajiban saya sebagai istri, saya menuruti dan tidak pernah menolak” (DKT, Jawa Timur)
“harus melayani suami... iya pokoknya gw harus main sama lu(suami), tapi gue ga mau, ..... dalam keadaan basah kuyup, disundut rokok pula, ...... udah babak belur tapi tetep harus ngelayani dia......” (Wawancara, Banten)
“...pernah kejadian, ..bangun tidur udah ngajak aku berhubungan kan dan dia ga
pernah pakai pengaman ga pernah mau dia, lalu aku bilang harus pakai dia ngga
mau... ” (DKT, Sumatera Utara)
“...Saya terbiasa mencari uang sendiri,tapi batin saya sedih kok menjadi kaya
gini..kok derita saya gak pernah berhenti…saya dulu berfikir karena kita sama-sama
positif kita bisa saling menyanyangi dan mengerti…ternyata tidak,saya malah
mendapatkan banyak siksaan lagi.Kalau keuangan ,suami saya harus tau uang saya
berapa,kalau dia minta uang saya ga kasih dia sumpahin saya mati kafir…yang saya
gak ngerti kenapa setiap dia kena narkoba selalu saya disodomi…” (Wawancara,
NTB)
11
Pemukulan dan serangan fisik seperti penyiksaan terhadap perempuan yang hidup
dengan HIV, penghinaan/psikologi, kekerasan ekonomi dan kekerasan, kebanyakan
informan menyatakan mendapatkannya dari pasangannya. Namun, hal ini tidak juga
menutup adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat, pemberi layanan kesehatan
bahkan sampai terjadinya sterilisasi secara paksa pada perempuan yang hidup dengan
HIV.
“kalo kekerasan seksual yang gw alamin pasti ama oknum polisi.....karena waktu itu gw ditangkap sama polisi gara-gara bawa narkoba..... gw selalu ditakut-takutin..... malah pada waktu gw sakaw, gw disuruh melayani seksual polisi dulu... baru gw dikasi putaw.....” (Wawancara, Jakarta)
“jadi ibu mau di steril apa enggak?....... ya udah rentangan aja. Dalam keadaan dibius jadi belum dijahit jadi masih terbuka” (Wawancara, Bandung)
Defininsi kekerasan menjadi sangat luas karena informan juga menyebutkan adanya
perbuatan “mengancam” dari pelaku kekerasan disamping tindakan nyata.
“Kekerasan terhadap perempuan itu seharusnya tidak hanya berupa fisik, tetapi juga akal dan perasaan, kadang-kadang yang perasaan itu yang diabaikan orang, bahwa dengan menyakiti perasaan itu juga adalah kekerasan. Hmmm… dan karena status HIV saya.. banyak hal yang sudah saya alami..” (DKT, Bali) “.. jadi waktu itu pokoknya harus ada uang aja, gak tau ini gertakan aja atau bagaimana.. tapi anaknya yang umur 3 bulan, dia ambil dari tempat tidur sambil mengancam, jika tidak ada uang... anak ini saya jual! Saya panik.. saya rebut..” (DKT, NTB) “saya tidak berani pulang ke rumah orang tua…kalau pulang karena keluarga saya tidak tahu status HIV saya. Jadi status HIV saya dijadikan senjata sama suami karena suami tahu kalau saya gak berani buka status ke keluarga, jadi dia ngerasa saya tergantung sama dia sehingga dia semena-mena...” (Wawancara, Jawa Barat)
Pada umumnya orang yang melakukan kekerasan pada perempuan dengan HIV adalah
orang terdekat bahkan orang yang dikasihi (suami/pasangan) dan keluarga, namun dari
lempar pendapat yang dilakukan saat DKT, informan menyebutkan juga kekerasan
dialami dari orang lain yang bukan orang dekat dari para informan:
Keluarga : suami dan mertua
12
Non keluarga : pacar, sahabat, rekan kerja, pemberi layanan dan aparat
polisi
Masa kecil : ayah, abang dan ibu (umumnya informan mengatakan
menerima kekerasan yang terjadi di masa kecil dan menganggap hal yang
wajar sebagai bentuk hukuman dari cara-cara mendidik anak)
“kalo dipukul sama orang tua ya..namanya juga masih anak-anak kan ya...masalah nakal...susah dibilangin..ya..dipukul ya...dipukul biasa......” (Wawancara Jakarta)
“.....itu saat gw pulang malam yah, itupun mungkin karena ini ya pergi pulang trus pergi lagi, itu mungkin kesalahan gw itu... makanya papah marah-marah” (Wawancara Banten)
“kekerasan itu datangnya dari orang-orang terdekat dulu deh, kalo orang luar kita bukan dikasari.... tapi omongan dari orang lain” (DKT, Banten)
Kekerasan dalam perpektif perempuan yang hidup dengan HIV diungkapkan rata-rata
berdasarkan pengalaman pribadinya, dengan menyebutkan jenis-jenis kekerasan yang
dialami tersebut, yang telah menggambarkan bahwa pemahaman terkait definisi secara
harfiah tidaklah begitu dipahami oleh para informan, lebih pada apa yang dialami yang
tidak sesuai dengan yang informan harapkan atau inginkan menjadi gambaran perpektif
kekerasan di mata perempuan yang hidup dengan HIV.
Mayoritas menyatakan bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat (suami/ pacar/
keluarga/ mertua/ sahabat) namun ada juga yang mengalami dalam bentuk stigma dan
diskrimanasi dari layanan, bahkan sterilisasi paksa hinga pada kekerasan seksual oleh
aparat hukum.
Perpektif perempuan dengan HIV yang memandang bahwa kekerasan merupakan hal-
hal yang tidak wajar untuk dilakukan walaupun dalam upaya memberi peringatan,
pengajaran atau cara-cara untuk menghukum. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa
kekerasan itu timbul karena dirinya sendiri yang selalu diam, memafkan, dan mengalah.
13
2.2.2. Latarbelakang Kekerasan
Dari analisa hasil DKT dan wawancara mendalam yang dilakukan, ditemukan beberapa
faktor-faktor yang menjadi latar belakang terjadinya kekerasan yang dialami oleh
informan, berdasarkan pendapat informan.
Suami/pasangan yang posesif, suami mabuk/pecandu narkotika, cemburuan dan ego
(tidak mau mengalah) adalah faktor berdasarkan karakter laki-laki yang selama ini
dianggap demikian. Rasa memiliki karena sudah dinikahi dan karena laki-laki memberi
nafkah juga dianggap oleh informan sebagai latar belakang terjadinya kekerasan.
“kayaknya mereka berpikir, karena dia kepala keluarga, pencari nafkah, jadi lo harus turutin gw gitu” (DKT, Jakarta)
Beberapa informan juga menyebutkan bahwa status “janda” dan sudah memiliki anak
saat menikah sering menjadi alasan suami untuk melakukan kekerasan dengan
menghina hingga mengungkit-ungkit masalah keperawanan seperti suami menghina istri
yang sudah tidak perawan saat dinikahi.
“.. sebelumnya saya kos dengan suami dan anak. Tapi setelah ada kejadian mengalami KDRT, anak saya juga mengalami kekerasan dari ayah sambungnya, saya juga, saya pulang ke orang tua saya, sekarang mustii siap untuk bekerja untuk anak dan diri saya sendiri sampai sekarang..” (DKT, Yogyakarta)
Kecenderungan untuk menjadi “Sadomasokis” yaitu pada si laki-laki merasakan
kepuasan saat melakukan hubungan seksual dengan menyakiti pasangannya terlebih
dahulu. Beberapa kasus ditemukan dari hasil wawancara mendalam pada, dimana
pasangannya memaksa untuk mau di-sodomi tanpa bisa melakukan penolakan maupun
perlawanan.
“Saya gak habis pikir apa orang-orang narkoba itu seperti itu ya ?....setiap dia mabok saya pasti dikerjain sampai pagi ya beginilah,yah disodomilah…kadang saya begini..ya Allah…tolong cabut nyawa saya…sampai derita saya ini hilang…,saya cape…saya ingin derita saya hilang semuanya…( terisak-isak ) setiap saya disodomi saya menangis…batin saya sakit…apakah harus begini melayani suami…sudah mencari uang sendiri…” (Wawancara, NTB) “..saya merasakan sakit sampai berhari-hari. Waktu itu aku jongkok biar dia tidak bisa masukin penisnya,tapi dia malah memasukin lewat pantat dan sebelumnya dia memasukkan gagang pembersih kloset kepantatku sebelum dia memasukkan kemaluannya sampai robek dan berdarah” (Wawancara, Jawa Timur)
14
Latar belakang kekerasan yang variatif ditemukan pada pendokumentasian dan studi ini.
Dimana perempuan yang hidup dengan HIV mendapatkan kekerasan dari berbagai
macam faktor penyebab atau pemicu. Mayoritas informan menyatakan penyebab
kekerasan terjadi dipengaruhi oleh penggunaan napza pasangannya, dari mulai jenis
alkohol, heroin, shabu-shabu, sampai dengan ganja. Jenis kekerasan yang dialami juga
bermacam-macam dari mulai fisik, psikis, ekonomi yang sering terjadi untuk pembelian
napzanya, sampai pada kekerasan seksual. Banyak juga kekerasan yang dikemukan
berkaitan dengan status HIV yang disandang oleh para informan. Dimana status HIV
menjadi alasan yang paling mendasar bagi para informan untuk bertahan dan
memberikan kesempatan sekali lagi dan sekali lagi. Tanpa disadari, pemberian
kesempatan inilah yang menjadi bumerang bagi para perempuan sehingga terus berada
pada lingkaran kekerasan, karena terbatasi pada status HIV yang dimilikinya baik untuk
mengakhiri, keluar, bahkan untuk bercerita, mencari pertolongan apalagi melaporkan,
selalu berbenturan pada status HIVnya.
2.2.3. Upaya-upaya Litigasi maupun Non-Litigasi
Ada beberapa korban dari pasca kekerasan yang berusaha berani melaporkan langsung
ke aparat yang berwajib tetapi jika di rata-ratakan kebanyakan informan hanya
dipendam sendiri dengan alasan malu dan menganggap kejadian kekerasan ini
menyangkut aib bagi dirinya dan keluarga.
“ Sampai polisi bilang,.. “ini gimana ?... mau di perpanjang, atau damai secara kekeluargaan… disitu saya mikir lagi,… pada akhirnya saya memutuskan untuk mencabut perkara karena saya kasihan, “ bagaimana pun dia adalah bapak dari anak-anak saya,… meskipun dalam batin saya kesel, marah, dan kecewa….” (Wawancara, Bandung )
“ ketika saya lapor,saya ditanya bekerja dimana. Saya beritahu bahwa saya dan suami bekerja di LSM XX (nama disamarkan.red). Tapi polisi nya malah bilang, suaminya jangan-jangan pengguna narkoba ? Jadi saya malas untuk melapor” (DKT, Jawa Timur)
15
“Saya perempuan positif HIV,saya punya anak yang positif HIV juga dua orang ,saya
tertular dari suami, suami saya sekarang udah meninggal, tapi saya sekarang sudah
menikah lagi dengan pria pemakai narkoba, nyuntik, nyabu, ganja... pikirnya kita
ketemu sama-sama positif gitu… saya menikah. Adapun keluarga menentang
karena saya sebelumnya sudah mengalami banyak penderitaan dari keluarga
suami saya banyak mendapat siksaan luar biasa.” (Wawancara, NTB)
“……Papah sempet lapor ke LBH, tapi karena masalah biaya jadi enggak di terusin. Berapa sih biayanya ? “ ya… mungkin bias 2 juta atau lebih..Papah Cuma pengen minta keadilan karena aku masih di bawah umur ( 16 tahun ). (Wawancara, Bandung )
Dari beberapa kasus kekerasan yang di alami oleh perempuan yang hidup dengan HIV,
beberapa kasus yang di laporkan kepada pihak berwajib tidak di lanjutkan sampai tuntas,
korban mencabut kembali laporan pengaduan yang telah di laporkan ke pihak berwajib
dengan berbagai alasan, dimana mayoritas menyatakan bahwa bagaimanapun pelaku
adalah “bapak dari anak-anak saya”, “suami saya”, “saya masih cinta”, “siapa lagi yang
mau dengan saya yang HIV”, dan bahkan diantara dera kekerasan yang dialami
perempuan masih saja memikirkan nasib pasangannya jika ditinggalkan “kalau dia sakit,
siapa yang akan urus”. Rasa iba, kasihan, cinta, yang jika dianalisa merupakan bentuk-
bentuk ketergantungan perempuan yang hidup dengan HIV terhadap pasangannya
membuat mereka tidak pernah melakukan apa-apa dalam upaya mencari pertolongan
atau memberi hukuman agar pelaku menjadi jera. Yang paling mudah dilakukan hanya
bantuan untik mengurus ke KUA saja. Korban juga tidak mendapatkan informasi untuk
melakukan dokumentasi bukti fisik yang bisa dijadikan barang bukti dalam pelaporan
kasus ini sudah masuk pada ranah hukum pidana bagi pelakunya. Umumnya pasca
setelah kejadian kekerasan itu terjadi korban hanya bercerita pada teman untuk
mendapat suport atau dukungan atau sekedar mencari masukan tindakan apa yang
harus dilakukannya, juga intropeksi pada dirinya sendiri.
“Tanggapan Temen,... mereka bilang ..” Yah kalo laki-laki kaya gitu mah ... lebih baik lo tinggalin....... kapan lo mau bahagia, karna lo juga punya hak untuk bahagia..” ( Wawancara, Jakarta )
16
Kebanyakan informan memilih untuk tetap bertahan dalam hubungannya saat ini,
meskipun secara fisik dan psikologis informan merasa tersiksa. Rata-rata informan
menyatakan bahwa alasan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang buruk, karena
dikelilingi rasa takut.
Beberapa informan menyatakan ketakutan akan status HIVnya yang akan menjadi
masalah jika mereka melaporkan atau bahkan keluar dari lingkaran kekerasan yang
dialami.
2.3. Perempuan dan HIV
Perempuan memiliki kerentanan tersendiri khususnya dalam penularan HIV dan IMS.
Ada 3 aspek kerentanan yang berkontribusi pada penularan tersebut, yaitu:
1. Kerentanan Sosial Budaya (Ketidakadilan Gender)
Posisi tawar yang tidak setara, membuat perempuan terkontruksikan untuk lebih
bersikap penurut, sabar dan setia, sedang laki-laki dikontruksikan secara terbalik
yaitu dominan, agresif, mengambil insiatif dalam melakukan hubungan seksual,
dan dianggap wajar bila memiliki lebih dari satu pasangan (poligami).
2. Kerentanan Ekonomi
Perempuan umumnya tergantung secara ekonomi kepada laki-laki sebagai
kepala rumah tangga. Ini juga yang membuat perempuan tidak mempunyai posisi
tawar untuk menolak, termasuk dalam berhubungan seksual, meskipun dia
mengetahui bahwa pasangannya memiliki perilaku yang berisiko terhadap
penularan HIV dan IMS.
3. Kerentanan Biologis
Secara biologis alat kelamin perempuan (vagina) terdapat banyak lipatan yang
membuat permukaannya jadi lebih luas, serta dindingnya yang tipis membuat
perlukaan mudah terjadi. Anaotomi seperti ini memudahkan air mani
mengendap lebih lama sehingga akan lebih rentan tertular HIV dan IMS.
17
Namun, lagi-lagi sangat disayangkan banyak perempuan yang tidak menyadari faktor
kerentanannya atau walaupun menyadari akan resiko itu, tetap saja perempuan tidak
memiliki posisi tawar untuk bernegosiasi bahkan cenderung mendapatkan kekerasan
secara seksual jika menolak.
2.3.1. Pra Kekerasan
Dalam hal ini informan mengatakan dan mengamini bahwa pihak laki-laki
(suami/pasangan) mempunyai keyakinan melakukan kekerasan kepada istri dibenarkan,
begitu juga dengan pihak istri, akibatnya jika mengalami kekerasan mereka akan
cenderung diam atau tidak membantah bahkan ketika suami/pasangan mau meminta
maaf setelah melakukan kekerasan dapat membuat tenang perasaan informan.
“saya nikah karena udah hamil, lagian pacarananya udah lama. Akhirnya menikah dan saya terima. Istilahnya saya itu membeli laki2 lah ya. Aku jalanin, aku tahu suami kaya apa, ya tetap jalanin namanya juga konsewkensi ya, namanya udah hamil udah dinikahin juga” (DKT Bandung)
“reaksinya gak berdosa sama sekali.gak ada minta maaf, malah saya yang harus bersujud ama dia. Maafin ya kesalahan gw, padahal gw yang dikerasin, kenapa gw yang minta maaf? Harusnya dia dong yang minta maaf” (DKT Banten)
“kadang kita punya pemikiran gini ya, dia suami ya. Kalau kita nolak, biarpun kita kesal, menurut agama kalau suami minta [seks] kita nolak itu dosa” (DKT Bandung)
“laki-laki itu derajatnya lebih tinggi dari perempuan, lo harus nurut, kalo ga nurut lo dosa” (DKT Bandung)
Di satu sisi informan berharap dengan diberikannya kesempatan tersebut membuat
suami/pasangan akan berubah dan kembali menjadi baik, namun sebaliknya dipihak
lain/ pasangan akan menilai pemberian kesempatan tersebut sebagai ketidakmampuan
perempuan untuk mandiri atau takut terhadap status (janda) atau kesendirian mereka.
“...aku pikir ya udahlah kita saling maafin gitu kan, mungkin dia berubah, ya kan, tapi ternyata dia ga berubah...” (Wawancara, Jakarta)
Informan juga meyakini bahwa watak laki-laki berdasarkan suku/ras, sehingga sebagian
informan dapat memaklumi lontaran-lontaran kasar dan kekerasan yang dilakukan oleh
suami/pasangan.
“tau sendiri kan kalo orang batak kan mulutnya memang keras ya...” (DKT, Banten)
18
2.3.2. Pasca Kekerasan
Berdasarkan hasil studi ini, informan cenderung mengalah, mengalami kekerasan secara
seksual dan bahkan ada yang menjadikan seks sebagai “alat’” untuk berdamai.
Adanya pandangan yang bertolak belakang antara Informan saat menyebutkan tipikal
perempuan yang mendapat kekerasan berdasarkan sifat perempuan yang lemah,
pendiam, pemaaf, menerima kondisi karena cinta. Di sisi lain informan juga
menyebutkan tipikal perempuan mendapat kekerasan adalah perempuan yang bawel
dan tidak menurut.
Yang menarik, beberapa informan juga menyebutkan bahwa perempuan yang tidak
banyak pengetahuan dan perempuan HIV positif adalah tipikal perempuan yang
mendapat kekerasan.
“….harus melayani heeh, iya pokoknya gue pengen maen ama elu,tp gue gak mau,ya elu harus elu kan bini gue,elu harus ngelayani gue,dalam keadaan basah kuyup, disundut rokok pula waktu itu kan, udah babak belur tapi tetep harus ngelayani dia gitu” (Wawancara Banten )
“Waktu itu posisi saya tengkurep dan saya sudah teriak-teriak karena dia memasukan alat kelamin ke anus saya. Pada saat dia klimaks, saya menampar dia. Pacar saya itu hiperseks dan saya bertanya kepada pacar saya mengapa melakukan itu pada saya……, jangan melakukan hal seperti itu sama saya. Padahal saya sudah menerima apa adanya,…. Dia hanya menjawab bahwa dia khilaf. Saya tahu kalau ini khilaf,….” (Wawancara Jakarta)
“ … ya kalo biasanya saya cape ngurus anak terus dia pengen berhubungan seks baru dia mengata-ngatai, marah-marah sambil teriak-teriak… “ dosa luu…!!! ga mau ngelayanin suami,… dasar istri durhaka !!!” dan akhirnya saya pasrah melayaninya karena takut di anggap istri yang durhaka. (wawancara, Bandung)
Informan cenderung tidak menyadari bahwa kekerasan yang mereka alami ini
berdampak pada penularan HIV dan IMS yang kemudian akan mengawali kekerasan
dalam bentuk baru lagi, seperti stigma diskriminasi bahkan hinaan akan status HIVnya
serta tudingan sebagai pembawa virus dalam keluarga.
“sampe gua pernah narkobapun itu semua dari suami gua, disuruh nyoba, sekali doing tuh putaw” (Wawancara, Banten)
19
“akh lo jadi ODHA aja bawel” (DKT Bandung)
“lo bukannya kasih anak ama gw, malah kasih penyakit [HIV]” (DKT Jakarta)
“kan masalahnya kenapa fliting2 ama cewe lain…ada aja pembelaannya, da gw mah kan gak ODHA” (DKT Bandung)
“coba dulu nurut ke orang tua [tidak nikah dengan suami], gak mungkin kaya gini, anak dua korban [HIV]” (DKT Bandung)
Bahkan walaupun mendapatkan kekerasan yang bertubi-tubi, informan tetap
“memelihara” perilaku pasangannya dikarenakan status HIVnya.
“Pernah dipukul, ditendang, digampar, dicaci maki dengan kata-kata binatang. Suami pernah mengatakan kalau saya HIV dan tidak ada yang mau kecuali suami saya.” (Wawancara Jakarta )
“Pernah dia ngelecehkan…mengancam sih ga….cuman kalo dia melecehkan gw itu yang…sekarang siapa sih yang mau sama loe dengan posisi loe yang…anak loe dua….loe yang udah HIV...terus sekarang loe kerjaannya ditempat yang kayak gitu lagi…siapa yang mau sama loe kalo bukan gw” (Wawancara Jakarta )
“Sebenarnya, saya ngerasa kalau status HIV saya tertular gara-gara suami saya pecandu jarum suntik, tapi saya juga merasa berhutang budi sama suami sudah mau bertangung jawab sama anak saya, walau kadang ada rasa penyesalan karena tertular HIV” (Wawancara Bandung)
“Padahal saya di tularkan HIV dari suami, tapi menjadi boomerang pada diri saya” ….sering di kata-katai “ dasar perempuan sudah penyakitan tidak tau diri” …status HIV saya dijadikan senjata oleh suami dan mertua karena saya tidak berani untuk bercerita masalah status HIV saya kepada keluarga saya sendiri. (Wawancara, Bandung)
20
2.4. Jenis-jenis Kekerasan
Gambar 1: Bentuk kekerasan yang dialami perempuan dengan HIV
Sumber: hasil pengolahan data
21
Bagian 3. Diskusi
3.1 Siklus Hidup Perempuan dengan HIV dan Kekerasan yang Dialami
Perempuan dengan HIV menggambarkan kekerasan adalah segala hal yang membuat situasi
hati tidak nyaman. Perempuan dianggap/diperlakukan sebagai alat, pada saat kecil milik
orang tua dan setelah menikah milik suami. Konstruksi perempuan sebagai pemilik peran
‘mengurus keluarga’ yang telah disiratkan dalam agama dan budaya, memberikan beban
psikologis bahwa anak tidak bisa ditinggalkan dan memilih untuk terus berada dalam posisi
kekerasan. Selain itu status HIV menjadi factor yang memberatkan perempuan untuk
beranjak
Selain faktor ecologis, khusus bagi perempuan berstatus HIV, pilihan menjadi lebih sempit
karena status HIV membatasi ruang gerak untuk keluar dari situasi kekerasan. Penyebabnya,
relasi kuasa yang tidak seimbang, pembatasan hak antara laki-laki dan perempuan yang
diperkukuh oleh budaya dan agama.
Inkonsistensi antara harapan perubahan perlakuan pasangan dengan kewajiban suami untuk
memberikan nafkah kepada keluarga. Hal ini melanggengkan situasi kekerasan yang dialami
perempuan. Konsep hutang budi yang terus berulang, laki-laki memberi nafkah, perempuan
berkewajiban mengurus suami dan tunduk, kekerasan terjadi, membuat perempuan
beranggapan bahwa itu adalah bagian dari konsekuensi yang harus didapatnya, namun
ternyata ketika posisi tawar perempuan secara ekonomi meningkat, itu juga menimbulkan
suatu harapan konsep hutang budi secara terbalik, dari perempuan ke laki-laki. Faktor-faktor
tersebut berkontribusi terhadap alasan perempuan untuk terus bertahan dalam situasi
kekerasan.
Kekerasan yang dialami perempuan bersifat multi-deminsi, dimana terdapat banyak factor
yang mempengaruhi terjadinya kekerasan. Penjelasan mengenai fenomena kekerasan yang
dialami perempuan ODHA sesuai dengan kerangka teori ecological yang dikemukakan oleh
Heise (1998) yang membagi dalam empat system dalam lingkaran yang saling tumpang-
tindih; Personal, Microsystem, Exosystem dan Macrosystem. Pada lingkaran terdalam,
22
personal, mengambarkan factor individual korban kekerasan yang membawa mereka pada
situasi kekerasan. Lingakran selanjutnya, Microsystem merepresentasikan konteks terdekat
dimana kekerasan terjadi. Pada Exosystem, factor yang mempengaruhi kekerasan meluas
antara institusi dan sturktur social dimana perempuan tersebut berada. Lingkaran terluar,
Macrosystem, adalah pandangan dan budaya yang berlaku di masyarakat secara umum.
Dalam konteks perempuan ODHA di tiga lokasi pendokumentasian (lihat diagram 3)
ditemukan bahwa dalam lingkup Personal, status HIV, pertimbangan kehilangan hak asuh
anak, dan harapan adanya perubahan karakter dari si pelaku kekerasan menjadi factor
penentu yang menghalangi mereka untuk keluar dalam lingkup kekerasan. Pada lingkup
Microsystem, penggunaan alkohol ataupun napza menjadi salah satu faktor pemicu
terjadinya kekerasan. Situasi ini sesuai dengan konteks Indonesia dimana banyak perempuan
ODHA merupakan pasangan pengguna napza suntik ataupun sebagai pengguna napza suntik.
Selain itu, peran sosial yang berlaku di Indonesia dimana laki-laki (dalam konteks
pendokumentasian ini adalah sebagai pelaku kekerasan) bertindak sebagai kepala keluarga
dan pemberi nafkah, memberikan kekuasaan tambahan bagi laki-laki untuk ‘mengatur’
perempuan/istrinya. Hal ini berlaku sebaliknya, dimana bila perempuan memiliki kekuatan
ekonomi lebih besar dapat memimbulkan efek kecemburuan yang dapat berakibat pada
kekerasan.
Pada lingkup Exosystem, ditemukan bahwa factor ekonomi keluarga yang rendah menjadi
pemicu terjadinya pertengkaran yang berujung pada kekerasan. Selain itu, pembatasan ruang
gerak perempuan di Indonesia yang terpatok pada lingkup domestik, seperti; mengurus
keluarga, bersosialisasi atas ijin suami, menjadi alasan tambahan untuk kekerasan dapat
terjadi bila ‘aturan’ tersebut tidak diperankan oleh perempuan. Situasi ini ditekan dengan
lingkup terluar, Macrosystem, dimana masyarakat luas bersepakat terhadap perbedaan
peran yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Situasi seperti; perempuan yang sudah
dinikahi menjadi sepenuhnya milik dan tanggung jawab suami, kekuasaan laki-laki yang lebih
besar dari perempuan dan kecenderungan untuk tidak mau mencampuri urusan rumah
23
tangga, walaupun unsur kekerasan sudah terjadi, melanggengkan dimensi kekerasan yang
diterima oleh perempuan dengan HIV.
Diagram 3: Kerangka Ecological yang diadaptasi sesuai dengan hasil temuan pendokumentasian
Personal - Memiliki status HIV+ - Mengalami/melihat kekerasan - Anak sebagai bahan pertimbangan - Harapan berubah setelah pelaku
meminta maaf Microsystem - Pelaku menggunakan alcohol/napza - Pertengkaran suami-istri - Pelaku sebagai kepala keluarga - Pelaku menafkahi keluarga/korban
berpenghasilan lebih besar
Macrosystem - Kepemilikan laki-laki terhadap perempuan yang
sudah dinikahi - Laki-laki diakui memiliki kekuasaan dan kekuatan
lebih dari perempuan - Perempuan berperan melayani suami/pasangan - Mentolerir kekerasan bila berdasarkan kesalahan
perempuan - Lingkungan sekitar yang menganggap kekerasan
sebagai ranah domestik
Exosystem - Pelaku tidak bekerja/taraf ekonomi
keluarga rendah - Pembatasan ruang lingkup social
perempuan
Sumber: Model diadaptasi dari Heise (1998) dan pengolahan data pendokumentasian IPPI 2013
Macrosystem
Exosystem
Microsystem
Personal
24
3.1.1. Media Penyaluran Emosi
Ada beberapa type berbeda-beda dalam memilih media penyaluran emosi yang dilakukan oleh
para informan saat pasca mengalami kekerasan ;
Tabel 1: kategorisasi media penyaluran emosi perempuan ODHA pasca kekerasan
Sumber: hasil pengolahan data
“...waktu itu akukan sempet dulu sempet minum baygon tuh waktu habis nikahan itu berapa bulannya itu aku udah gak kuat, mau bunuh diri minum baygon, ngga tau nya bukannya mati malah masuk rumah sakit doang, pas abis minum baygon itu orang tua mulai curiga, kan tadinya ngga pernah cerita, gak pernah cerita sama siapa pun gak pernah cerita, paling sama teman,nah begitu dia ngomong entar ibu lu gue perkosa lo, nah itu aku udah mulai takutkan ,takut beneran omongannya itu, soalnya emag dia mah orangnyakan lain ,akhirnya aku mutusin udahlah minum baygon aja,...mati paling...”(Wawancara, Banten )
“.....cuman bisa nangis sama sholat..udah,....( Wawancara, Banten )
“... Dulu sih paling diem di pendem dendiri,.... paling kalo sekarang ya ... paling ketemu sama temen kalo ga sama komunitas,,”... itu aja sih pelarian yang IN lakuin.( Wawancara, Bandung )
3.1.2. Dampak Perluasan Kekerasan
Berbagai bentuk kekerasan rumah tangga yang terjadi tentu saja menimbulkan berbagai dampak
negatif bagi diri korban dan anak-anaknya. Kekerasan fisik umumnya berakibat langsung dan dapat
dilihat dengan kasat mata seperti cidera, luka, dan cacat pada tubuh.
“...iya, dulukan digundulin karena aku kalau abis di pukul itu aku suka pergi tuh terus dia kan nyariin di rumah aku gak ada dia nyariin, aku suka nginepkan di rumah temen ,dia pikir
Tipe Terbuka
•Berbagi pengalaman dengan teman
•Mendatangi psikolog
Tipe Rekreasional
•Mencari hiburan; nonton, ke pantai, mall
•Mengajak anak pergi bermain
Tipe Jalan Pintas
•Melampiaskan kekerasan pada anak
•Selingkuh
•Menyakiti diri sendiri
•Percobaan bunuh diri
Tipe Tertutup
•Menulis buku harian
•Diam dan memendam perasaan
•Menyendiri
•Menangis
•Mengkhayal
25
kalau abis di gundulin kan gak bisa kemana - mana kan ya udah tetep tapi kalau abis di pukul walaupun pakai kerudung, pakai jilbab lo mau pukul gue di sebelah mana lagi nih udah pada biru – biru, aku dah gak kuat, udah gak tahan banget,( tarik napas...aaah ) ( Wawancara, Banten )
“ Di tonjok, di tampar, di jedotin ke kitchen set, mau di tusuk,..... bekasnya sampe memar-memar, kepala benjol wah acur deh pokoknya “… ( Wawancara, Bandung )
Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang diperhatikan tetapi
membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding bentuk kekerasan yang lain. Akibat psikis
ringan yang dialami antara lain ketakutan, perasaan malu, terhina dan terasing. Sedangkan akibat
psikis yang lain yang dialami antara lain perasaan rendah diri, hilangnya konsep diri dan kehilangan
rasa percaya diri. Akibat-akibat psikis tersebut tentu saja tidak baik bagi perkembangan mental
para korban karena menghambat potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang.
“... Berat badan turun sampe 9kg, yah karena gw stres berat, trauma,,.. pokoknya ...sampe sekarang gw masih dendam” ( Wawancara, Bandung )
Kekerasan seksual dapat menimbulkan gangguan pada fungsi reproduksi, haid tidak teratur, sering
mengalami keguguran, dan kesulitan menikmati hubungan seksual.
“ Pernah dulu, pas baru ngelahirin belum jg 40 hari di paksa ngelakuin hubungan seks ....sampe luka ..” ( Wawancara, Bandung )
“ sampe sekarang jadi takut untuk berhubungan seks “( Wawancara, Bandung )
Kekerasan juga mampu menyebabkan korban menderita penyakit kronis, hingga menyebabkan
kematian secara perlahan-lahan. Kekerasan dalam rumah tangga juga menimbulkan dampak
negatif yang serius bagi anak-anak. Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah
kesehatan utama yang dapat melemahkan vitalitas fisik dan emosi, serta menurunkan rasa
percaya diri.
Tumbuh kembang pada anak-ank yang lingkup kekerasan akan menjadi tidak baik, anak-anak
melihat kekerasan fisik dan verbal akan memiliki beberapa kecenderungan, diantaranya; ada yang
mengalami trauma fatal dan ketakutan dalam menjalin sebuah hubungan berkomitmen kelak, ada
pula yang melihat bahwa kekerasan merupaka bentuk-bentuk komunikasi yang wajar dalam
lingkup hidup dan pola relasi. Anak-anak yang melihat adanya kekerasan seksual, akan memiliki
26
kecenderungan untuk berperilaku seksual yang tidak sewajaranya. Bahkan, tindakan
kekerasanpun harus dialami oleh anak-anak tersebut.
“saya ditonjok dan dicekeknya dan tidak hanya itu, anak saya mengalami eee kekerasan juga dari ayah sambungnya, jadi anak saya dibantingnya saat dia sakit karna rewel, seperti itu.” (Wawancara, Yogyakarta)
“kejadiannya sekitar pas jam 12 malem. Jadi anak saya teriak karena ketakutan,,saya juga teriak “ jangan itu kan anak saya …” tapi suami saya bukannya berhenti malah tetep anak saya posisi kakinya di pegang kepalanya dibawah turun naik di got” (Wawancara, NTB) “yang pertama pernah dulu...pada waktu dia umur 3 tahun bapaknya itu berantem sama mamanya pelampiasannya keanakku, anakku tuh dipukul, dimasukan kekamar mandi, tangannya diiket lakban, dicelupin kebak lampunya dimatikan dikunciin, aku itu gatau.....” (Wawancara, Jawa Timur)
Terus besoknya saya pulang,kejadian seperti itu sering terjadi setiap anak saya salah sedikit aja.. padahal dia baru 4 tahun yang tinggal sama saya, yang satu lagi umur 3 tahun. Ada salah sedikit anak saya dimasukin ke kamar ….( terisak-isak ) itu anak saya selalu ditarik rambutnya,di gigit kupingnya,anak saya tuh Cuma bisa teriak “ mama tolong saya mama..ampun “ saya bilang berhenti malah dia makin tambah…mulut anak saya dioles cabe sampe berdarah-berdarah. Saya sebagai ibu Cuma bisa diem karna saya lagi hamil waktu itu,saya cari uang sendiri karna suami saya gak punya kerjaan. (Wawancara, NTB “saya pusing luar biasa dan saya minta, tolong deh dipijit kepala saya, namun bayaran mahal yang harus saya bayarkan untuk dia melakukan hal memijit kepala saya. Jadi, saya harus memberikan dia bahwa dengan melakukan mengoral seks dia di depan anak saya saat itu dan anak saya perempuan, sedangkan saya sampai bilang walaupun dia bukan anak kandungmu tapi tolong jangan lakukan ini. Dia hanya bilang bahwa, itu challenge, seperti itu.” (Wawancara, Yogjakarta)
Dampak perluasan kekerasan yang terjadi pada anak melalui temuan dalam pendokumentasian
dan studi ini, antara lai; anak-anak yang tumbuh dalam kondisi yang seperti ini, harus
mendapatakan perhatian yang lebih terkait masalah psikolginya, ada anak yang memunculkan
sikap kerasnya sehingga turut memperlakun ibunya seperti yang ditiru dari ayahnya, ada pula
yangmerasa trauma dan tidak berminat atau mendeeskreditkan posisi figur seorang ayah dalam
sebuah rumah tangga, ada pula memilik kencendurang memendam rasa dendam yang cukup fatal
jika fatal jika tidak diselesaikan secara medis. Bahkan ada pelampiasan kekerasan yang dilakukan
27
oleh ibu terhadap anaknya sebagai bentuk kekeselan atas apa yang di deritanya, walaupun dalam
studi ini tidak banyak yang mengungapkan hal tersebut.
Satu Informan yang telah melahirkan dan membesarkan anak dari korban perkosaan di Jawa
Timur, sangat memerlukan konsultasi terkait psikologi dalam penerimaan sang anak.
“yah.. sayang sih mbak, tapi kadang-kadang kalau anaknya nakal suka jadi inget kejadian perkosaan itu dan jadi pengen marah” (Wawancara, Jawa Timur)
Adapula pelaku yang memaksa anak gadisnya untuk menjual diri demi kebutuhan bapaknya
sebagai seorang peminum dan penjudi, hal ini menjadi pemicu dan keputusan bagi perempuan
dengan HIV positif meninggalkan suaminya tanpa mengurus perceraian demi menyelamatkan
nasib anak gadisnya yang akan dijual oleh bapak kandungnya sendiri.
Setiap korban kekerasan dan anak-anak yang berada dalam lingkungan kekerasan tersebut, perlu
mendapatkan penanganan lebih lanjut melalui konseling psikologi untuk meminimalisir dampak
buruk pada psikis mereka.
3.1.3. Alasan Bertahan
Adanya ketakutan kalau semua itu akan berakhir atau menghilang. Walaupun berada dalam
kondisi yang cukup buruk namun rata-rata informan menyatakan bahwa akan tetap bertahan dari
pada hidup sendirian dan menjanda. Pola ketergantungan pada pasangan yang cukup tinggi
mengakibatkan perempuan kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan hanya mengangap
semua itu sudah konsekwensi dalam hubungan. Kebanyakan karena semua kebutuhan dipenuhi
oleh pasangan maka informan merasa ketergantungan, takut akan terlantar hidupnya jika di
tinggalkan oleh pasangan/suami.
“ Hidup gw selama ini di tanggung sama suami trus suami ngasih uang gajinya sama ibunya, sementara DW ga pegang sepeser pun, jd gw juga hidup di atur semua sama ibu mertua. Sedangkan gw ga ga punya siapa-siapa disini, mau ga mau gw selama ini bertahan sama pasangan, dan keluarga gw orang biasa-biasa aja” ( Wawancara, Bandung )
“ya merasa kita sudah menikah, istilahnya mengikat gitu. Kalo paracan oke lah mungkin. Cuma kalau menikah itu sacral. Ya udah lo udah gw beli nih, lo mau diapain ya terserah gw dong [kata suami]” (DKT Bandung)
28
Ada pula yang memiliki ketakutan jika melaporkan atau berani keluar dari lingakaran kekerasan,
maka informan tidak bisa bertemu dengan anaknya lagi. Informan tak lagi memperhitungkan
dampak psikologis bagi anak jika melihat orangtuanya sering bertengkar yang bahkan secara tidak
sadar anak juga sering menjadi korban pelampiasan kemarahan atas kondisi yang dialami.
“ Kadang susah kalo mau ketemu orang tua, karna suami kan pemakai dan udah nularin statusnya,..... jadi kayaknya suami takut kalo DW pulang bakalan ngadu ke orang tua DW,.... jd DW selama ini sabar mengalah demi anak aja “( Wawancara, Bandung )
“ Kadang pelaku melampiaskan kekerasannya suka ke anak saya, padahal anak tiri,..... sampe tangan, kakinya di iket tali, mulut di sumpel,.... pernah anak yang perempuan di kurung di kamar mandi,.... itu sampe anaknya tidur,..” ( Wawancara, Bandung )
Perasaan malu pada lingkungan sekitar juga menjadi alasan yang banyak dikemukan oleh
informan, karena anggapan miring bagi perempuan yang kawin cerai dan menyandang status
janda di masyarakat membuat mereka lebih memilih tetap bertahan berada dalam hubungan yang
tidak sehat. Kebanyakan tanggapan dari masyarakat sekitar pada saat kekerasan itu terjadi,
kadang tidak mau ikut campur dengan alasan itu urusan rumah tangga orang. Ada juga pandangan
msyarakat yang menganggap murtad karena status HIV.
Salah satu alasan paling banyak dikemukan oleh informan, yang membuat mereka tetap bertahan
dari hubungan yang buruk adalah karena cinta. Meskipun, sudah terjadi kekerasan fisik maupun
psikis bahkan perselingkuhan, perempuan seringkali dibutakan oleh perasaan yang kerap kali
diasumsikan sebagai cinta.
“Karena saya sayang .. saya berfikir setiap manusia ada berubahnya dan tergantung kita bagaimana menghadapinya aja ...”( Wawancara, Jakarta )
Faktor keluarga ini juga menyebabkan informan tetap bertahan. Ingin menjaga perasaan, nama
baik atau opini keluarga merupakan alasan yang paling umum.
Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih
karena banyaknya beban perempuan yang menjadi korban yang seringkali harus ditanggung
29
sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang
dialaminya, dan cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit
mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan
’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan
menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
“…tapi mau ngelaporin berat..ancamannya…kalau lo laporin gw, lo gak akan ketemu anak lo lagi” (DKT Bandung)
“karena status dia orang terdekat kita sebagai suami. Gw kasihan ama dia, kalau dia masuk penjara yah kasihan sama anak gw juga” (Wawancara Jakarta)
3.2. Pelanggengan Kekerasan
Berdasarkan temuan dalam studi kualitatif ini, ada 3 (tiga) hal mendasar yang memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap pelanggengan kekerasan di Indonesia, dimana seolah-olah
memberikan hak pada laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Dalam setiap
proses pengambilan data, baik wawancara mendalam maupun diskusi kelompok terarah, sudut
pandang informan dalam menyingkapi kasus kekerasan yang dialaminya selalu bermuara dan
dimentahkan pada 3 (tiga) hal tersebut, yaitu aspek hukum, budaya dan agama.
Aspek Hukum
Jika berbicara mengenai hukum, maka perlu dilakukan pencerminan yang akurat akan kondisi kita
saat ini, apakah dunia hukum telah cukup menaungi perempuan atau malah
mengenyampingkannya?
Hukum menunjukkan sejumlah keterbatasan dan keterikatan pada realitas sosial, antara lain;
kenyataan bahwa rumusan hukum itu ”phallocentric” atau suatu keadaan dimana laki-laki lebih
dominan, proses hukum dan struktur hukum yang tidak memihak menjadi masalah dalam
30
memperjuangkan hak-hak perempuan, dan keterbatasan lainnya adalah berkaitan dengan
batasan pengadilan yang memfokuskan pada hal yang rasional dan logis saja.
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dimata hukum, dimana tujuannya
adalah memberikan keadilan yang sama. Namun kenyataannya, mekanisme hukum masih tidak
efektif bagi perempuan, makin mengukuhkan ideologi phallosentrik, khususnya dalam kekerasan
seksual yang dialami perempuan. Dalam hukum pidana, kejahatan asusila dapat dilihat dalam Bab
XVI dimana ada pasal-pasal yang mengatur tentang perkosaan, tertuang dalam pasal 285 KUH
pidana yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa baru dapat dikategorikan sebagai kejahatan
perkosaan atau kekerasan jika dilakukan pada perempuan yang bukan istrinya. Sehingga ketika
seorang perempuan mengalami kekerasan seksual dan perkosaan dalam rumah tangga tidak
dapat diproses secara hukum, tidak dikategorikan sebagai tindak kejahatan karena tidak
dirumuskan dalam pembuatan Undang-undangnya itu sendiri.
Dalam Undang-undang perkawinanpun, tidak memberikan pencerahan bagi kaum perempuan.
Banyak pasal yang justru memihak kaum laki-laki, seperti yang tertuang dalam pasal 4 UU
Perkawinan 1974, dimana menyatakan bahwa suami dapat beristri lebih dari satu dengan
mengacu pada kelemahan sang istri dalam menjalankan kewajibannya, cacat badan atau
menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan tidak dapat memberikan keturunan. Hal ini
makin memperlemah posisi perempuan, khususnya perempuan dengan HIV dalam menaikkan
posisi tawarnya pada pasangan, sedang dimata hukum saja sudah tidak berdaya. Walaupun telah
ada pembaharuan dalam PP tahun 1990, namun hanya dikhususkan pada PNS untuk monogami.
Pernikahan usia dinipun menjadi sah berdasarkan pasal 7 dalam UU yang sama, yang menyatakan
bahwa usia laki-laki 19 tahun dan usia perempuan 16 tahun.
31
Disisi lain, pada Bab VI mengenai hak dan kewajiaban suami istri sebenarnya dapat dijadikan
landasan yang cukup kuat dalam pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga, dimana
dalam pasal-pasalnya memberikan posisi kedudukan yang sama dalam rumah tangga antara suami
dan istri, hanya saja pada pasal 34 kembali konstruksi sosial dibangun kembali, dimana laki-laki
adalah sosok yang kuat yang patut melindungi dan menafkahi sang istri sedang perempuan atau
sang istri dikonstruksi sebagai yang lemah hingga dibebankan pada pengurusan rumah tangga
semata.
Kondisi hukum di Indonesia, bahkan hampir diseluruh belahan dunia, yang tidak memihak
perempuanpun melahirkan suatu gerakan Feminisme Jurisprudence, suatu gerakan dalam
mempengaruhi pemikiran hukum dalam setiap bidang hukum, diantaranya hubungan rumah
tangga (domestic relations) seperti perkawinan, perceraian dan keluarga, kekerasan dalam rumah
tangga, pekerjaan, pelecehan sexual, hak-hak sipil, perpajakan, hak asasi manusia dan hak-hak
reproduksi. Dalam prosesnya gerakan ini terbagi dalam tiga jenis aliran, yaitu; Feminisme liberal
yang lebih fokus pada isu ketimpangan gender, feminisme kultural yang lebih fokus pada isu
perbedaan gender, dan feminisme radikal yang lebih fokus pada isu penindasan gender.
Gerakan inipun melakukan upaya-upaya perubahan kearah kesetaraan gender di Indonesia walau
dengan segala polemiknya yang terjadi. Adanya usaha pembuatan Rancangan Undang Undang
seperti perlindungan kekerasan rumah tangga, perlindungan pekerja wanita migran, perlindungan
anak-anak.
Saat ini di Indonesia sendiri sudah ada terobosan hukum yang cukup baik kerah perlindungan
perempuan dan anak, misalnyya dalam UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan
dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dimana dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
Definisi Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
32
UU ini lahir melalui sebuah terobosan dan perjuangan panjang, dengan tujuan bahwa Negara bias
berupaya melakukan pencegahan terhadap KDRT, yang sebelumnya masih dianggap persoalan
internal yang tidak perlu dicampuri, khususnya oleh Negara. Dalam Pasalnya, secara tegas
dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga
(penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana.
Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan
sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya.
Selain itu, dalam UU PKDRT ini juga memiliki kekuatan dalam mengidentifikasi aktor-aktor yang
memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan:
bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga.
Kemudian hal ini menjadi menarik karena walaupun secara hukum telah ada perlindungannya,
tapi mengapa kasus kekerasan tidak juga berkurang. Ditambah lagi dalam studi ini tidak ada
satupun informan yang melakukan upaya litigasi. Kembali perlu dipertanyakan apakah kurangnya
sosialisi? Mekanisme pelaporan atau pengaduan yang tidak jelas atau membingungkan informan?
Atau ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi upaya hukum tidak berjalan secara maksimal dan
tidak menjadi pilihan korban untuk memberikan efek jera pada para pelaku, padahal melalui
temuan studi hampir setiap informan yang menyatakan memiliki dendam yang mendalam.
Oleh karenanya perlu dilakukan studi lanjutan berkaitan dengan studi kelayakan program layanan
rujukan yang ada guna menjawab celah tersebut.
Aspek Budaya
Dalam beberapa temuan disebutkan adanya faktor budaya patriarkhi yang sangat mempengaruhi.
Budaya Patriarkhi, istilah ini memiliki pengertian yang sempit yang mengacu pada sistem hukum
yunani dan romawi, dimana kepala rumah tangga yang notabene adalah laki-laki memiliki
33
kekuasaan mutlak atas anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Namun kemudian konsep
patriarkhi digunakan secara umum untuk menggambarkan kekuasaan laki-laki atas perempuan,
tidak lagi hanya berada dilingkungan keluarga tapi juga di lingkungan kemasyarakatan. Konsep ini
menggambarkan bahwa ruang lingkup dominasi laki-laki meliputi banyak hal, sehingga perempuan
tidak mendapatkan tempat yang seimbang.
Konsep patriarkhi juga sangat kental dalam budaya Indonesia. Keyakinan bahwa kodrat
perempuan itu lemah, posisinya dibawah laki-laki, ”bertugas” melayani dan mudah ditindas
menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai ”hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan
semena-mena. Hak istimewa yang dimiliki oleh laki-laki ini akibat dari konstrusksi sosial yang telah
mendarah daging dan mengakar pada suatu kebudayaan dan adat istiadat di hampir tiap wilayah
di Indonesia, dimana menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada
perempuan. Semakin disadari bahwa budaya patriarkhi memberi dampak buruk dan kontribusi
pada pelanggengan kekerasan terhadap perempuan, maka seiring itu juga semakin banyak yang
melakukan upaya-upaya pelestarian akan budaya tersebut dan berinfestasi didalamnya, bahkan
ideologi ini makin terus berkembang tidak lagi hanya berbicara didalam keluarga, masyarakat
namun juga pada kebijakan suatu negara. Merasuk dalam kebudayaan dan tertanam dalam
semua sistem kehidupan.
Hal ini menjadi benteng yang sangat kuat dalam menutupi realita bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun, disisi lain banyak sekali kaum
perempuan, khususnya dalam studi kali ini, yang masih belum menyadari bahwa konstruksi sosial
dan budaya telah turut berkontribusi pada kekerasan yang dialaminya, sebagian besar
menganggap bahwa hal yang wajar mereka menerima tindakan kekerasan sebagai takdir
berdasarkan tradisi maupun penafsiran ajaran agama yang seolah memberikan pembenaran
kekerasan berhak dilakukan.
34
Aspek Agama
Penafsiran ajaran agama kerap sekali dikaitkan dengan bentuk pelegalan perlakuan kekerasan
terhadap perempuan. Dalam hal ini, informan yang mayoritas beragama islam beranggapan
bahwa kekerasan yang mereka terima merupakan hal yang wajar dan layak atau ”wajib” diterima
kaum perempuan sebagaimana yang tertuang dalam Ajaran-ajaran agama mereka. Hal ini tidak
bisa dielakkan mengingat tafsir ajaran agama yang berkembang sampai di era saat ini lebih banyak
didominasi tafsir tekstual daripada kontekstual. Penggunaan tafsir yang hanya berbasis “apa yang
dibicarakan” teks tanpa mau mempertimbangkan “apa yang dimaksudkan” teks, secara nyata
memang banyak mengakibatkan adanya diskriminasi peran perempuan baik dalam ruang
domestik terutama di ruang publik.
Perempuan memiliki kesempatan yang sempit dalam mengembangkan dirinya sejajar dengan laki-
laki. Di samping karena tekanan budaya patriarki yang dilestarikan, adat yang dihormati, juga
karena adanya keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perempuan merupakan makhluk nomor dua.
Kedudukannya berada di bawah laki-laki, bukan sejajar.
Padahal dalam teks keagamaan yang bersumber dari al-Qur’an maupun al-Hadits terdapat teks-
teks dan sejumlah pernyataan tentang kaum perempuan yang sejajar dengan kaum laki-laki,
memperoleh hak-hak yang sama untuk terlibat dalam perjuangan sosial-politik, ini bisa dilihat
dalam QS Al-Ahzab 58, QS An Nahl 97, Al Hujurat 13, dan lain-lain. Ada pula hadits nabi yang
berbunyi:
“An Nisa syaqaiq Ar Rijal”, kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki, “tidak menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang memiliki pribadi terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan kecuali orang-orang yang berjiwa rendah” (Muhammad, 2004).
Kitab-kitab kuning sebagai karya para ulama klasik (kutub al turats al qadimah) dipandang sebagai
interpretasi ulama atas sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits, mempunyai otoritas
35
keagamaan yang tinggi dalam memandu sekaligus membentuk tingkah laku keseharian
masyarakat muslim pada umumnya.
Menjadi perlu dipahami juga bahwa Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sarat
dengan tradisi dan budaya diskriminatif serta memarjinalkan kaum perempuan. Tradisi waktu itu
memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua dan direndahkan, tidak berharga, serta tidak
punya hak apa-apa atas hidup mereka, karena haknya dipegang sepenuhnya oleh kaum lelaki.
Bahkan, sebagian di antaranya menganggap perempuan adalah pembawa malapetaka dan
memalukan sehingga harus dimusnahkan. Al-Quran menyatakan:
“Ketika salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira mengenai kelahiran seorang bayi perempuan, maka wajahnya berubah menjadi kelam seraya menahan marah penuh kebencian. Ia menghindari teman-temannya karena keburukan kabar tersebut (dan menimbang-nimbang) apakah anak itu akan terus dipelihara dengan menanggung kehinaan atau apakah ia akan dibenamkan ke dalam tanah. Sungguh, teramat jahat keputusan mereka itu” (QS An Nahl/16:57-59).
“Dan bilamana (bayi-bayi) perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai, karena dosa apa sehingga mereka dibunuh” (QS At Takwir/81: 8-9).
Siti Aisyah dan Ibnu Abbas pernah meriwayatkan bahwa seorang gadis pernah datang kepada
seorang Nabi SAW sambil mengadukan bahwa ayahnya telah memaksanya kawin dengan
seseorang tanpa persetujuannya. Nabi menawarkan pilihan antara menerima dan membatalkan
perkawinannya kepadanya.
Pada akhirnya gadis itu berkata:
“Sebenarnya saya menerima perkawinan itu, tetapi saya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa orang tua tidak memiliki hak atas hal itu (memaksakan seorang suami bagi mereka)” (HR Nasa’i dalam Al Sunan dikutip dalam Muhammad, 2004).
Dengan demikian ajaran agama yang sahih adalah dimana mengajarkan tentang suatu kebenaran,
tidak ada suatu agamapun yang mempersulit umatnya, tanpa memandang jenis kelaminnya, baik
laki-laki maupun perempuan memiliki posisi yang sama di mata Tuhan.
36
Dalam Al-Qur’an khususnya, jelas-jelas menggemakan pesan-pesan moral kemanusiaan secara
universal. Perampasan hak dalam bentuk pemaksaan kehendak terhadap perempuan tidak dapat
dibenarkan, dalam bentuk apapun.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Nahl (16);90)
Lagi-lagi penafsiran ajaran agama yang salah telah menjadi faktor penting dalam pelanggengan
kekerasan yang terjadi tehadap perempuan. Agama dijadikan alasan sebagai pembenaran dari
tindakan-tindakan yang tidak ramah pada perempuan, misalnya oleh para pelaku poligami. Perlu
adanya kesadaran yang tinggi bagi para perempuan dalam mengkaji ajaran agama secara
kontekstual sehingga tidak lagi menganggap bahwa kekerasan yang diterima adalah hal yang wajar
atau takut mengingkari kodrat sehingga tidak lagi merasa takut dituding sebagai pelanggar ajaran
agama. Tidak ada satu agamapun yang akan menyulitkan umatnya baik laki-laki maupun
perempuan.
Ketidakadilan gender bukanlah sesuatu yang serta-merta jatuh dari langit, tapi merupakan
konstruksi sosial, begitupun dengan kekerasan sebagai perwujudan dari bentuk-bentuk
ketidakadilan gender. Jika kekerasan sesuatu yang dibentuk, ditiru, dan dipraktekkan, maka
konsekuensinya bahwa masih dapat diperbaiki atau diganti dengan sesuatu yang lebih baik
seperti, keseimbangan, keadilan dan kedamaian yang notabene juga dibentuk, ditiru dan
dipraktekkan. Bukankah keadilan adalah kebajikan tertinggi dalam sebuah perwujudan
ketakwaan?
37
Bagian 4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam sidang ke-57 komisi PBB tentang status perempuan, maret 2013 di New York, menegaskan
bahwa diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak merupakan
kejahatan kemanusiaan. Sangatlah perlu dilakukan upaya yang secara sistematis oleh negara-
negara yang telah menyepakatinya termasuk Indonesia. Semangat komisi ini jika disesuaikan
dengan konteks kebijakan di Indonesia sesuai dengan semangat UUD 1945; pasal 5 ayat (1), pasal
11, pasal 20 ayat (1), pasal 27 ayat (1) dan (2), pasal 29 ayat (2), pasal 30 ayat (1), dan pasal 31
ayat (1). Indonesia juga sudah meratifikasi hasil dari Committee on the Elimination of
Discrimination againts Women (CEDAW) melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pemerintah Indonesia harus memprioritaskan beberapa hal terkait; keadilan bagi korban,
menghukum pelaku, mensinergikan kebijakan tentang penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dan anak dengan upaya penanggulanggan HIV dan AIDS.
Berdasarkan hasil studi ini, IPPI merekomendasikan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah Indonesia melalui upaya-upaya yang sistematis dan komprehensif, antara lain:
1. Prioritas Keadilan Bagi Korban
a) Menyediakan layanan rujukan bagi korban kekerasan, khususnya pada perempuan
yang hidup dengan HIV, layanan yang mudah dan bersahabat untuk diakses tidak
hanya tersedia di ibukota provinsi saja tapi juga adanya sistem rujukan berbasis
komunitas yang tersosialisasikan sampai tingkat desa.
b) Adanya sebuah wadah (support group) yang dapat mendukung mereka dalam upaya
mendapatkan informasi, meningkatkan pengetahuan dan informasi juga membantu
dalam proses pemulihan.
c) Bantuan hukum bagi korban kekerasan, khususnya yang bersahabat dengan
perempuan yang hidup dengan HIV, sehingga tidak ada lagi keputusan-keputusan
38
yang merugikan korban dan mengancam pada pembukaan status HIVnya di depan
publik.
d) Adanya pendampingan psikologi yang intensif yang berperspektif korban yang
merupakan perempuan yang hidup dengan HIV berserta layanan kesehatan yang
berkualitas, mudah di akses, dan tidak dipungut biaya.
2. Menghukum Pelaku Seberat-beratnya
a) Menjerat pelaku kekerasan berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Memandang kekerasan melalui perpektif korban tidak hanya dilihat berdasarkan
kacamata hukum yang berlaku saja, karena banyak tindak kekerasan yang dialami
oleh perempuan yang hidup dengan HIV tidak hanya dalam sebuah status pernikahan,
banyak pula yang mengalami masih dalam proses berpacaran atau dalam status
pernikahan yang siri.
b) Tidak lagi melakukan upaya-upaya penyelesaian jalan damai atau “musyawarah” dan
cara-cara adat maupun agama, terutama jika kekerasan terjadi dalam ranah domestik
(KDRT). Hal ini sering kali malah merugikan pihak korban.
c) Kekerasan yang berkaitan dengan penularan HIV yang dialami oleh perempuan juga
dapat diperhitungkan untuk ditinjau lagi dan dapat diproses secara pidana untuk
menghukum pelaku sebagai bentuk pelanggaran atas hak kesehatan reproduksi dan
seksual perempuan.
d) Kekerasan yang dilakukan oleh instansi atau layanan publik juga perlu mendapatkan
sanksi baik secara administrasi terhadap instansinya sehingga adanya upaya untuk
melakukan suatu perbaikan, atau juga pemecatan dan penghentian tugas bagi oknum
yang melakukannya.
39
3. Kebijakan dan Sinergitas antara Program Penanggulangan HIV dengan Program Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja pada respon penanggulangan AIDS
juga pada isu pemberdayaan perempuan untuk dapat ditingkatkan perannya dalam
upaya memberikan informasi dan ikut dalam upaya memproteksi perempuan akan
kekerasan. LSM penting untuk dilibatkan dikarenakan akses yang mudah didapatkan
serta rasa nyaman bagi perempuan dalam mengkomunikasikan permasalahan yang
dihadapinya.
b) Adanya sebuah mekanisme dalam mengakses informasi, layanan kesehatan, layanan
bantuan hukum serta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengakses dapat
tersedia dan bersahabat bagi perempuan yang hidup dengan HIV dan AIDS.
c) Mengkaji kembali rumusan kebijakan yang secara khusus berbicara tentang ruang
lingkup kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan baik terjadi dalam ruang
publik maupun domestik, khususnya mengaitkan penularan HIV sebagai dampak dari
kekerasan yang terjadi.
d) Sebuah promosi dan sosialisasi terkait pemberian informasi yang terus menerus dan
berkala dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengintegrasikan program layanan
di multi sektoral.
e) Melakukan kajian dan amandemen kebijakan nasional maupun daerah yang selaras
dengan pemenuhan hak-hak pada perempuan dan anak yang hidup dengan HIV dan
AIDS.
f) Mengembangkan peran aktif perempuan yang hidup dengan HIV dalam merancang
sebuah kebijakan, dari mulai perencanaan, pelaksanaan, maupun sampai pada
monitoring.
g) Membangun sebuah sistem rujukan yang komprehensif yang saling terintegrasi
antara program penanggulangan HIV dan program anti kekerasan terhadap
perempuan yang non diskriminatif, mudah diakses, dan mampu melindungi
40
keamanan dan pencemaran nama baik, khususnya terkait status HIV yang dimiliki oleh
korban.
h) Menyusun atau mengkaji ulang program penanggulangan dan pencegahan penularan
HIV yang telah ada saat ini dan melihat berdasarkan kebutuhan perempuan.
i) Meninjau kembali undang-undang pernikahan, dan memasukkan pra-syarat tes
kesehatan termasuk tes HIV kedalamnya sebagai bentuk perlindungan dan
pencegahan penularan baru terhadap perempuan yang tentunya dilakukan dengan
pemberian informasi yang benar dan tepat mengenai HIV dan AIDS, sehingga dampak
stigma dan diskriminasi dapat di minimalisir.
41
Daftar Pustaka
Heise, L. L. (1998). Violence Against Women An Integrated, Ecological Framework. Violence
against women, 4(3), 262-290.
Liamputtong, P. (2009). Qualitative Research Methods (3rd ed.). South Melbourne: Oxford
University Press.
Yesmil Anwar dan Adang (2009). Hukum Tak Pernah Tidur; Pergulatan antara manusiadan hokum
dalam jagat raya yang penuh keteraturan.
UU Perkawinan 1974
UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
MoH, Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia 2008 - 2014
MoH, Laporan Akhir Tahun Situasi HIV&AIDS di Indonesia, 2006 dan 2012
MoH, Estimation of at-risk Adult Population, 2009
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, CATAHU 2011
Laporan Survey Kekerasan Anggota IPPI, IPPI - 2012