Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama

128
B. Islam dan Aksi Kekerasan atas Nama Agama 1. Aksi Kekerasan atas Nama Agama Dalam kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak dapat dipisahkan dengan kajian tentang agama itu sendiri dan bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya. Menurut perspektif Sosiologi, kajian tentang agama merupakan objek yang menarik dan tidak kunjung usai untuk diperbincangkan. Oleh karena itu dari kajian-kajian menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya berbagai perspektif dari beragam disiplin ilmu. Walaupun demikian, ternyata wacana tentang agama itu masih merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk dibahas. Secara mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi 135

Transcript of Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama

B. Islam dan Aksi Kekerasan atas Nama Agama

1. Aksi Kekerasan atas Nama Agama

Dalam kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak

dapat dipisahkan dengan kajian tentang agama itu sendiri

dan bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya.

Menurut perspektif Sosiologi, kajian tentang agama

merupakan objek yang menarik dan tidak kunjung usai untuk

diperbincangkan. Oleh karena itu dari kajian-kajian

menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya

berbagai perspektif dari beragam disiplin ilmu. Walaupun

demikian, ternyata wacana tentang agama itu masih

merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk

dibahas.

Secara mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan

sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur

hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan

Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan

hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi

135

tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau

doktrin.

Muhammad Iqbal memberi pernyataan tentang agama yang

dikutip Damami, bahwa “religion is an expression of the whole man”,

yaitu agama merupakan pernyataan utuh dari manusia dan

sesuatu yang sangat bernilai atau berharga. Oleh karena

itu, wajar saja jika ada pemeluk agama yang terlihat

begitu fanatik terhadap keyakinan agamanya, bahkan sampai

pada pengakuan kebenaran tunggal (truth claim) bahwa hanya

dalam keyakinan agamanya sajalah satu-satunya terdapat

kebenaran.158

Latar belakang manusia bersedia memeluk dan

menghayati agama adalah disebabkan oleh enam faktor

pendorong, yaitu: Pertama, untuk memperoleh rasa aman.

Kedua, untuk mencari perlindungan. Ketiga, untuk mencari

penjelasan esensial tentang dunia dan kehidupan di

dalamnya. Keempat, untuk memperoleh pembenaran yang

158Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta:LESFI, 2002), 2-3; Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction ofReligious Thought in Islam (London: Oxford University-Humprey Milford,1934), 2.

136

memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya.

Kelima, untuk meneguhkan tata nilai yang telah mengakar

dalam masyarakat. Keenam, untuk memuaskan kerinduan pada

kehidupan.159

Ada empat motivasi yang mendorong orang berperilaku

agama, yaitu: Pertama, agama dapat dipakai untuk mengatasi

frustasi karena alam, sosial, moral, dan kematian. Kedua,

agama dapat dipakai untuk menjaga kesusilaan dan tata

tertib masyarakat. Ketiga, agama dapat dipakai untuk

memuaskan intelek karena dorongan keingintahuan manusia.

Keempat, agama dapat dipakai untuk mengatasi rasa takut.160

Sedangkan Crapps menjelaskan adanya bukti bahwa

manusia dalam memeluk agama disebabkan beberapa faktor,

yaitu: pemikiran, emosi religius, afeksi religius,

kehendak, dan pengambilan keputusan moral.161 Sedangkan

menurut Fowler bahwa beragama itu merupakan gejala

159AM. Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 14-22. 160Nico Syukur Dister OFM., Pengalaman dan Motivasi Beragama(Yogyakarta: Kanisius, 1988), 74-122. 161Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamamaan(Yogyakarta: Kanisius, 1994).

137

universal yang dialami oleh setiap manusia yang hidup di

dunia.162 Dengan demikian agama itu merupakan sesuatu yang

bermakna dan maknanyapun sangat bervariasi antara satu

pemeluk dengan yang lain.

Adapun dalam kaitannya dengan aksi kekerasan atas

nama agama, bahwa pada awalnya istilah kekerasan digunakan

untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt)

atau tertutup (covert), yang bersifat menyerang (offensive)

atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan

kepada orang lain.163 Dalam hal ini, kekerasan digunakan

sebagai sarana untuk memaksa atau menekan orang lain,

dengan cara pergerakan fisik dan sosial.

Menurut Galtung, kekerasan didefinisikan sebagai

akibat perbedaan antara yang potensial dengan yang aktual.

Di satu pihak, manusia mempunyai potensi yang masih berada

di “dalam”. Sedangkan di lain pihak, potensi menuntut

diaktualisasikan yaitu dengan merealisasikan dan162Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.Fowler (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 46-47. 163Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan” dalamTeori-teori Kekerasan, ed. Thomas Santoso (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 11.

138

mengembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang

dipegangnya. Pengertian “actus” mencakup kegiatan,

aktivitas yang tampak (seperti berpikir, merenung dan

kegiatan mental atau psikologis) dan aktivitas yang tidak

tampak. Hal ini menjadi titik tolak (starting point) untuk

memahami kekerasan sebagai akibat perbedaan antara yang

potensial dan aktual. Pengandaian dasarnya ialah apa yang

mungkin atau dapat diaktualisasikan, harus direalisasikan.

Walaupun, pada realitanya tidak semua potensia kemudian

berkembang menjadi actus.164 Jadi kekerasan itu terjadi, jika

manusia dipengaruhi sehingga realisasi mental dan

jasmaninya berada di bawah realisasi potensialnya.165

Galtung juga membedakan Kekerasan Personal,

Struktural dan Kultural. Sifat kekerasan personal adalah

dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang

164Johan Galtung, The True Worlds: A Transnational Perspective (New York:Free Press, 1980). Lihat I. Marshana Windhu, Kekuasaan danKekerasan Menurut Johan Galtung (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 66;Thomas Santoso, “Kekerasan Politik Agama: Suatu StudiKonstruksi Sosial Tentang Perusakan Gereja di Situbondo,”(Disertasi Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002), 24 –26.165Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64.

139

hebat sehingga dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan

kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan

stabilitas tertentu, dan tidak tampak. Dalam masyarakat

statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara

kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam

masyarakat yang dinamis, kekerasan personal dapat dilihat

sebagai hal yang salah dan berbahaya, sementara kekerasan

struktural semakin nyata menampilkan dirinya.166

Kekerasan personal menitikberatkan pada “realisasi

jasmani aktual”. Ada tiga pendekatan untuk melihat hal

tersebut yaitu: Pertama, cara-cara yang digunakan

(menggunakan badan manusia atau senjata). Kedua, bentuk

organisasi (individu, massa atau pasukan). Ketiga, sasaran

(manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari

susunan anatomis (secara struktural) dan fisiologis

(secara fungsional). Anatomis sebagai usaha menghancurkan

mesin manusia sendiri (badan), sedangkan Fisiologis

166Ibid., 73.

140

sebagai usaha untuk mencegah agar mesin itu tidak

berfungsi.167

Perbedaan kekerasan personal dan kekerasan struktural

tidak tajam. Keduanya dapat memiliki hubungan kausal dan

juga hubungan dialektik. Pembedaan antar keduanya berarti

dapat melalaikan unsur struktural dalam kekerasan personal

dan unsur personal dalam kekerasan struktural. Walaupun

kekerasan sudah menjadi satu dengan struktur, namun ada

saja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir

semua kejadian.168

Adapun kekerasan kultural bertalian dengan aspek-

aspek budaya yang dapat digunakan untuk menjastifikasi

kekerasan personal atau kekerasan struktural, yaitu berupa

agama, ideologi, bahasa dan seni. Kekerasan kultural

menjadikan kekerasan personal dan kekerasan struktural

tampak jelas terlihat, dirasakan, dan dibenarkan atau

tidak salah. Studi kekerasan berbicara tentang dua hal,

yaitu penggunaan kekerasan dan jastifikasi penggunaan

167Ibid., 74.168Ibid., 76.

141

kekerasan tersebut. Secara khusus, kekerasan kultural

menyoroti bagaimana cara suatu perbuatan kekerasan

personal dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan

dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Satu cara

bagaimana kekerasan kultural dapat berlangsung, yaitu

dengan mengubah warna moral perbuatan dari merah (salah)

menjadi hijau (benar) atau kuning (dapat diterima). Atau

dengan cara lain yaitu dengan membuat realitas menjadi

tidak jelas atau samar sehingga kita tidak mampu melihat

fakta yang sesungguhnya adalah kekerasan.169 Menurut Pierre

Bourdieu, kekerasan kultural yaitu bentuk kekerasan yang

halus dan tidak tampak atau tersembunyi di balik pemaksaan

dominasi kekuasaan simbolik atau dikenal dalam bentuk

kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Sedangkan

kekerasan semiotik merupakan bentuk kekerasan yang

menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan.170

169Manfred B. Steger & Nancy S. Lind, Violence and Its Alternatives: AnInterdiciplinary Reader (New York: St. Martin’s Press, 1999), 39-40.170Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Oxford: PolityPress, 1991).

142

Dari deskripsi tentang kekerasan, maka dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar. Pertama,

kekerasan sebagai tindakan aktor (actor action) atau kelompok

aktor (actor group). Kedua, kekerasan sebagai produk dari

suatu struktur (violence as a product of the structure). Ketiga,

kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur

(violence as a interrelationship between actor and structure).

Kelompok pertama dipelopori ahli biologi, fisiologi

dan psikologi. Mereka berpendapat bahwa manusia melakukan

kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai

konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka

memang meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis

manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor

biologis sebagai faktor penyebab kekerasan.171 Dan juga

belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia

dari pembawaannya memang menyukai kekerasan.

171Jennifer Turpin & Lester R. Kurtz, The Web of Violence: FromInterpersonal to Global (Urbana and Chicago, University of IllinoisPress, 1997), 3; James Gilligan, Violence: Reflections on a NationalEpidemic (New York: Vintage Books, 1996).

143

Menurut Gustave Le Bon, kekerasan sebagai tindakan

yang dilakukan kelompok aktor (crowd) yang memiliki

kekuatan untuk menghancurkan.172 Ted Robert Gurr

mendefinisikan kekerasan politik sebagai tindakan aktor

atau kelompok aktor yang menentang rezim yang berkuasa.173

Dan Charles Tilly menyatakan bahwa kekerasan akan

berhasil, jika aktor mampu memobilisasi massa lewat suatu

kalkulasi politik.174

Kelompok kedua, pengertian kekerasan sebagai tindakan

yang berkaitan dengan struktur. Johan Galtung menyatakan

bahwa kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan

orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri

secara wajar. Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan

yang tidak langsung, tidak tampak, statis dan

memperlihatkan stabilitas tertentu.175 Dengan demikian,

172Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, The Sociology of Deviance:An Introduction (Boston: Little Brown and Company, 1982), 235.173Santoso, Kekerasan Politik Agama, 28. Lihat Ted Robert Gurr, WhyMen Rebel (Pinceton: Princeton University Press, 1970), 22.174Louise A. Tilly & Charles Tilly ed., Class Conflict and CollectiveAction (London: Sage Publications, 1981) 17-22.175Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64; Santoso, Kekerasan Politik Agama,28.

144

kekerasan tidak hanya dilakukan aktor atau kelompok aktor

namun juga oleh struktur, seperti aparatur negara.

Kelompok ketiga, kekerasan sebagai jejaring aktor

dengan struktur dikemukakan Anthony Gidden, 176 Jennifer

Turpin & Lester R. Kurtz177 sebagai berikut: Pertama, konflik

bersifat endemik bagi kehidupan bermasyarakat. Konflik

tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat positif atau

negatif, namun sebagai sesuatu yang ditentukan. Kedua, ada

sejumlah alat alternatif untuk menyampaikan konflik

sosial. Ketiga, untuk menyampaikan masalah kekerasan sengan

efektif diperlukan perubahan dalam organisasi sosial dan

perubahan sikap individu. Keempat, masalah kekerasan

merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan modern.

Kelima, terdapat hubungan kekerasan level mikro – makro dan

antara aktor – struktur. Pemecahan masalah (problem solving)

kekerasan struktural mengharuskan orang terlibat dalam

kekerasan aktor, demikian pula sebaliknya. Akhirnya,

spesialisasi akademik justru mengaburkan masalah karena176Anthony Gidden, The Nation – State and Violence (Berkeley and LosAngeles: University of California Press, 1985), 294-341.177Turpin & Kurtz, The Web of Violence, 12 – 13.

145

mengabaikan pendekatan yang holistik, termasuk dimensi

ruang dan waktu.

Dari penjelasan ketiga kelompok di atas, menunjukkan

bahwa kelompok pertama dan kedua cenderung memilah-milah

kajian kekerasan. Kekerasan sebagai tindakan aktor

menekankan aspek mikro namun mengabaikan aspek makro, dan

berfokus pada bentuk kekerasan personal yang sering

terbatas ruang dan waktu. Sebaliknya, kekerasan sebagai

produk dari struktur lebih menekankan aspek makro namun

mengabaikan aspek mikro, serta menitikberatkan pada bentuk

kekerasan struktural yang sering meniadakan kompleksitas

kekerasan personal. Oleh karena itu, kekerasan sebagai

jejaring antara aktor dan struktur yang memekankan

pendekatan interdisipliner merupakan cara yang paling

tepat untuk memahami kekerasan secara holistik.

Hal-hal yang juga penting untuk dikaji ialah

bagaimana mobilisasi kekerasan agama dapat terjadi,

seperti dinyatakan Gurr178 bahwa kekerasan dimulai dari

diri aktor. Individu yang sebelumnya memberontak harus178Gurr, Why Men Rebel, 22.

146

memiliki latar belakang situasi seperti terjadinya

ketidakadilan, munculnya kemarahan moral, dan kemudian

memberi respon berupa kemarahan terhadap sumber penyebab.

Selain itu, massa harus merasakan situasi konkrit dan

langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka,

sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.

Sejarah menunjukkan bahwa tidak semua kekerasan di

dunia ini memiliki landasan agama, namun lebih banyak

kekerasan terjadi atas nama agama.179 Secara apologetik

adalah terlalu sederhana untuk mengklaim bahwa ajaran

agama pada dasarnya tidak memiliki unsur kekerasan dan

hanya manusialah yang membelokkan dari makna sesungguhnya.

Dalam realitanya, akar kekerasan dapat ditemukan langsung

dalam agama dan oleh karena itu agama dapat dengan mudah

dijadikan kendaraan bagi tendensi kekerasan. 180

Kenyataan menunjukkan bahwa sejarah kehidupan

manusia, seperti yang tercantum dalam narasi Kitab Suci,

adalah sejarah tentang kekerasan. Agama secara179Wim Beuken & Karl-Josef Kushel ed., Religion as a Source of Violence(London: SCM Press, 1997), vii.180Santoso, Kekerasan Politik Agama, 43 – 44.

147

moralitas memang tidak mengajarkan atau melakukan

kekerasan. Namun agama, terutama agama propetis, akan

melakukan tindakan kekerasan ketika identitas mereka

merasa terancam. Penganut agama ini merasa tindakan

kekerasan yang mereka lakukan dibenarkan oleh “Tuhan”

mereka.

Bila disentuh sistem-sistem agama besar lainnya maka

akan ditemukan jejak yang sama. Naskah-naskah landasan

agama tersebut mencerminkan ritualisasi kekerasan

pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk mencapai kebaikan

tertinggi dan kebutuhan akan kekerasan dalam

mempertahankan iman, bersamaan dengan regulasi etis

kekerasan tidak sah, semuanya bertujuan mencapai

perdamaian tertinggi.181

Dalam pada itu, analisis sosiologis menyatakan bahwa

agama dapat berfungsi mempersatukan masyarakat (integrasi)

atau memecah belah masyarakat (disintegrasi). Ajaran agama

yang menekankan cinta kasih, perdamaian, keadilan,

kejujuran dan pelbagai perbuatan baik lainnya tentulah181Ibid., 44.

148

diharapkan dapat berfungsi integratif. Namun di sisi

lain, kecenderungan setiap agama yang menganggap

agamanya paling benar, sifat ekspansi agama dari daerah

kelahirannya ke daerah-daerah lain, serta penetrasi

agama ke dalam budaya lokal, acapkali menimbulkan tindak

kekerasan yang mengarah pada fungsi agama yang

integratif. Konflik juga semakin bertambah ketika agama

menjadi sumber langsung kekerasan.

Dalam beberapa kasus, agama menghasilkan perbedaan

pemahaman. Beberapa perbedaan tersebut muncul secara mudah

sebagai dasar moralitas yang digunakan

sebagai alasan bagi aksi-aksi kekerasan, dan intensitas

ritual yang digunakan sebagai alat untuk melakukan aksi

itu. Perbedaan-perbedaan lainnya merupakan perbedaan yang

lebih mendalam dan menjadi bagian dan inti agama itu. Citra

agama tentang perjuangan yang gampang dikenali, dan konsep-

konsep tentang perang yang dahsyat telah dilakukan dalam

perjuangan-perjuangan sosialnya. Ketika peperangan itu

diimpi-impikan sebagaimana yang muncul dalam rencana

149

manusia, akhirnya hal itu mereka tuangkan menjadi kenyataan

melalui aksi-aksi kekerasan.182

Permasalahan itu semakin kompleks dengan adanya

pemahaman baru yang menyatakan bahwa agama berperan dalam

bagian dunia yang lain sebagaimana ideologi masyarakat,

khususnya dalam gerakan nasionalisme agama, dimana agama

dan ideologi politik digabungkan. Ketika kasus-kasus ini

diungkap, agama menjadi tidak bersalah, dengan catatan

tidak membawa ke arah kekerasan. Namun kenyataannya, dengan

adanya gabungan dari tatanan kehidupan politik, sosial,

dan ideologi, maka agama lebur dengan ekspresi kekerasan

sebagai perwujudan dari aspirasi sosial, harga diri, dan

gerakan demi perubahan politik.183

Jika agama telah melegitimasi aksi kekerasan

tertentu, mereka juga berusaha untuk membatasi frekuensi

dan ruang aksi tersebut. Sikap yang membingungkan ini

mencerminkan penggunaan kekerasan sebagai suatu alat untuk

182Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of ReligiousViolence (Berkeley – Los Angeles – London: University ofCalifornia Press, 2000), 8.183Ibid., 9.

150

mempertahankan diri diri dan mematuhi norma-norma agama

pada salah satu sisi, namun juga mengetahui potensinya

atas sifat merusak yang tidak dapat terkontrol

terhadap pihak lain. Pada hampir sebagian besar agama

seseorang menjumpai penekanan yang mendalam antara

penggunaan dan sublimasi kekerasan dan suatu

keberanian untuk menjadi “martir yang suci” yang

mengorbankan hidup mereka untuk kehidupan orang lain.184

Untuk meletuskan kekerasan, identitas agama harus

memusnahkan identitas perorangan pada sejumlah besar

orang, membangkitkan kembali perasaan cinta yang

dikaitkan dengan identifikasi awal bersama anggota-

anggota kelompok yang dimiliki seseorang, dan

kebencian terhadap kelompok lain yang anggotanya

dihomogenisasikan, dan dilecehkan martabatnya. Untuk

terjadinya kekerasan, ancaman terhadap identitas agama

harus melawan penghalang tertentu, dimana potensi

tindakan menghakimi menjadi tindakan kemarahan yang184R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence andReconciliation (Lanham – Bouldet – New York – Oxford: Rowman &Littlefield Publisher, 1999), 11.

151

diaktifkan sepenuhnya yang secara jelas melalui dan

antara anggota suatu kelompok- agama. Dipicu oleh

kabar angin, dinyalakan oleh demagog agama, keinginan

untuk menghakimi memberikan sinyal pemusnahan

identitas kelompok dan harus dilawan oleh

pengukuhannya yang kuat.185

Keterlibatan agama dibandingkan identitas sosial

lainnya tidak akan padam secara perlahan, melainkan

sebaliknya, meningkatkan konflik kekerasan. Agama

membawa konflik antara kelompok intensitas emosi yang

lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam

dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap

identitas etnis lainnya.186

Skenario kekerasan dan sasaran yang menjadi

tujuannya secara bersamaan menunjukkan bahwa kekerasan

atas nama agama bukanlah sesuatu yang bersifat alami

maupun sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sebaliknya,

dalam pelbagai kasus diinformasikan bahwa agama telah185Sudhir Kakar, The Colors of Violence, Cultural Identities, Religion and Conflict(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1996), 192.186 Ibid., 192.

152

menjadi sumber kekerasan di berbagai belahan dunia.

Dan lebih dari itu ditunjukkan pula skenario kekerasan

sedang ditangani atas nama agama yang dipahami dan

dipraktikkan dengan cara yang berbeda. la memainkan

peran penting - baik yang positif maupun negatif - di

semua agama-agama besar. Ritual-ritual yang

menimbulkan kekerasan sangat inheren dalam agama.

Kekerasan tidak dapat begitu saja diabaikan dan dengan

naif dihindari. la menjadi bagian dari- kehidupan

manusia. Namun pada saat yang sama, unsur-unsur

destruktif yang imanen dalam kekerasan dapat

ditransformasikan dan kemudian diatasi. Dalam hal ini,

agama pun dapat menjadi dasar yang kuat untuk

mengatasi kekerasan.187

Di sisi lain, unsur pengorbanan merupakan hal

penting dalam kebanyakan agama. Sifat fundamental

kekerasan dan peran pengorbanan dianggap sebagai cara

untuk melarikan diri dari kekerasan. Di sini,

pengorbanan menjadi sesuatu yang semakin ritual, yang187Beuken & Kushel ed., Religion as a Source of Violence, viii.

153

menghasilkan kekerasan simbolik. Sakralisasi kekerasan

membuat kekerasan tersebut dapat dibedakan dari

kekerasan pada umumnya dan akhirnya diterima sebagai

sesuatu yang wajar oleh suatu masyarakat. Agama telah

dijadikan pembenar kekerasan.

Dalam pada itu, kekerasan politik-agama

menempatkan politik dan agama sebagai faktor-faktor

yang menjadi sumber kekerasan. Namun tidak tertutup

kemungkinan pula digunakannya agama sekaligus sebagai

alasan pembenar bagi para pelaku kekerasan. Misalnya,

pertentangan antara yang baik dan yang jahat dalam

Kitab Suci agama-agama (nabi) merupakan sumber

kekerasan yang terkait dengan agama. Pemihakan agama

pada kebaikan telah membenarkan banyak kekerasan dalam

sejarah semua agama.

Kekerasan politik-agama yang banyak terjadi di

negara yang baru merdeka, yang berjuang untuk

menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok

minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan

154

agama memainkan peran yang lebih besar.188 Lituania,

Armenia dan Azeris adalah beberapa contoh di

antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan

otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak

dapat dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah

dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya

untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika

merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah

dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk

menetralisir dosa. Massa yang terbius oleh politik-

agama diyakinkan lewat janji-janji kembalinya dunia

yang telah mereka hancurkan. Jika penentraman seperti

itu telah mendapat dukungan, muncullah ekspresi

kreativitas agama asli di antara orang yang

disubordinasikan.189

Berdasarkan uraian di muka, penulis mendefinisikan

agama sebagai sistem kepercayaan (belief system), yang

muncul dan terwujud dalam kehidupan masyarakat melalui188Peter Janke ed., Ethnic and Religious Conflicts (Europe & Asia:Aldershot, Dartmouth, 1994), viii.189Santoso, Kekerasan Politik Agama, 48.

155

interaksi-interaksi peribadatan (ritual system), dan

tanggap terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh

para penganutnya (community system). Dalam pengertian

tersebut, agama semestinya tidak menimbulkan kekerasan

karena ia diturunkan justru sebagai pedoman untuk

hidup secara damai dan saling menghargai. Namun,

kenyataannya agama dapat menimbulkan kekerasan apabila

bersinggungan dengan faktor lain, misalnya,

kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik.

Agama dapat disalahgunakan dan disalaharahkan baik

dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi

eksternal, agama propetis, seperti Islam dan Kristen,

cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas

mereka terancam. Dari sisi internal, agama propetis

cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin

tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Secara

operasional, kekerasan agama terkait dengan ritual system,

dan community system. Oleh karena itu, pemahaman agama

156

atau bagaimana agama diinterpretasikan merupakan salah

satu alasan yang mendasari kekerasan agama.

2. Perilaku Kekerasan dalam Perspektif Psikologi

Psikologi sebagai ilmu telah memiliki sejarah yang

panjang dalam usahanya

untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan.190 Pada

awalnya, penelitian psikologi lebih menekankan pada

karakter pelaku tindak kekerasan yang unik dan abnormal,

190Tutut Chusniyah, “Ideologi, Mortality Salience dan Kekerasan‘Suci’: Analisis Model Struktural,” (Tesis MA, UniversitasIndonesia, Jakarta, 2005). Studi Psikologi ini telah mengujimodel kekerasan suci, apakah model teoretik yang diajukanmenggambarkan pengaruh ideologi jihad, ideologi politikkonservatif, belief in a just world, mortality salience terhadap kekerasansuci. Sebanyak 371 responden berusia 15-40 tahun dari kelompokIslam fundamentalis mengisi kuesioner untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modelteoretik yang dajukan sesuai untuk menjelaskan kekerasan suci.Kekerasan suci dipengaruhi oleh ideologi jihad, ideologipolitik konservatif, belief in a just world dengan mortality saliencesebagai mediator. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jihadmerupakan ideologi keagamaan yang paling besar pengaruhnyaterhadap kekerasan suci. Saran bagi penelitian selanjutnyaadalah mengembangkan penelitian mengenai jihad dan pengaruhnyaterhadap kekerasan suci dengan memperluas sampel dan mengujivariabel lain yang mungkin juga dapat mempengaruhi kekerasansuci, seperti persepsi terhadap ancaman, identitas dansoldaritas kelompok, RWA, deprivasi, atau juga meneliti jihadsebagai legitimize ideology dalam perspektif teori SDO. Penelitianini juga telah dipresentasikan pada konferensi AASP (AsianAssociation of Psychology) pada tanggal 4 April 2005 di UniversitasVictoria Wellington, New Zealand.

157

misalnya Pizzey yang menemukan bahwa suami yang melakukan

kekerasan fisik terhadap istrinya memiliki kepribadian

yang sadis.191 Namun Strauss menyatakan bahwa hanya 10%

saja kasus kekerasan yang disebabkan oleh kekacauan

pribadi (personal disorder). Temuan tersebut sejalan dengan

hasil penelitian Crenshaw yang tidak menemukan tanda-

tanda bahwa anggota IRA (Irish Republican Army) terganggu secara

emosional.192 Menurut Crenshaw, perilaku teror lebih

dipengaruhi oleh komitmen ideologi dan solidaritas

kelompok.193

Dalam penelitian tentang kelompok, misalnya tawuran

pelajar, ditemukan adanya kontribusi kelompok terhadap

kekerasan. Clayton, Barlow, dan Ballif-Spanvill menyatakan

bahwa pada individu yang bergabung dalam kelompok,

keanggotaannya dalam kelompok akan menyebabkan anonimitas

191D. J. Christie, et. al., Peace, Conflict and Violence: Peace of Psychologyfor 21 Century (New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 2001).192J. M. Post, “Terrorist Psychologic: Terrorist Behavior as aProduct of Psychological Forces” dalam Origin of Terrorism: Psychologies,Ideologies, Theologies, State of Mind. ed. W. Reich (Washington. D. C.:The Woodrow Wilson Center Press, 2003).193M. Cottam, et. al., Introduction to Political Psychology (Mahwa, NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2004).

158

individu. Menurut Diener, perasaan anomi dalam diri

individu ini akan mengurangi kesadaran diri dan mengganggu

persepsi. Keadaan itulah yang menyebabkan individu

berperilaku ekstrim, yang pada keadaan normal bukan

merupakan karakter individu. Sedangkan Festinger

menjelaskan keadaan anonimitas individu ke dalam proses

deindividuasi. Seorang individu yang telah menjadi bagian

dari kelompok tidak lagi menjadi individu, karena

identitas individualnya hilang. Selanjutnya Mullen

mengatakan bahwa deindividuasi ini menghancurkan proses

pengaturan diri (self-regulation) yang normal dan menyebabkan

perilaku agresif. 194

Dalam sejarah kekerasan agama yang dilakukan oleh

kelompok Islam fundamentalis di Indonesia, tercatat

beberapa peristiwa sejak tahun 1970 hingga tahun 2004. Di

antara peristiwa-peristiwa itu misalnya serangan bom

terhadap sejumlah gereja, klab-malam, dan bioskop oleh

Komando Jihad antara tahun 1970-1980-an. Contoh lain194C. J. Clayton, et. al., “Principle of Group Violence withFocus on Terrorism” dalam Collective Violence. ed. H. V. Hall & L.C. Whitaker (Washington D. C.: CRC Press, 1999).

159

adalah teror Warman yang terjadi di Lampung pada

pertengahan tahun 1980-an. Pada tahun 1990-an sampai

dengan sekarang, Front Pembela Islam (selanjutnya disebut

FPI), mengadakan razia dan perusakan bar, klab-malam, dan

hotel.195

Kekerasan yang lebih mutakhir terjadi pada sekitar

tahun 2000, yaitu serangan bom pada malam Natal di

berbagai kota di Indonesia, yang menewaskan belasan orang

dan mencederai puluhan lainnya.196 Kekerasan yang paling

banyak memunculkan reaksi dunia internasional dan paling

banyak menimbulkan korban tewas (yaitu 180 jiwa) adalah

bom yang meledak di Paddy’s Café dan Sari Club Denpasar

Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, peledakan bom di hotel

Mariot Jakarta, dan serangan bom bunuh diri di depan

Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.

Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam

fundamentalis diidentifikasi sebagai kekerasan ‘suci’195A. Purnomo, FPI Disalahfahami (Jakarta: Mediatama Indonesia,2004). 196Kompas, 1 April 2002.”Serangan Bom di Indonesia dan Filipina”.http:// www.kompas,com/ kompas-cetak/0204/01/nasional/radio6.htm. (januari,2004).

160

(sacred violence). Kekerasan ‘suci’ merupakan kekerasan yang

memanipulasi simbol-simbol dan idiom-idiom agama untuk

menyebarkan kebencian, mengintimidasi, mengganggu, melukai

dan membunuh orang lain atas nama Tuhan.197 Kekerasan

‘suci’ ditemukan hampir pada semua agama, bahkan menurut

Hamblim dan Peterson kekerasan ‘suci’ merupakan bagian

integral dari sejarah agama Nasrani. Sejak perang suci

Heraclius pada tahun 620 M, perang agama pada abad 16

dengan munculnya Protestan hingga perang salib. Sampai

saat ini, Christian identity movement (gerakan identitas

Kristen) membenarkan penggunaan kekerasan yang dilakukan

untuk menghukum orang yang menyimpang dari hukum Tuhan.

Dalam agama Hindu, dua epiknya yaitu Mahabarata dan

Ramayana, menceritakan bahwa Tuhan sendiri berinkarnasi

untuk berperang ‘suci’ melawan setan di bumi. Sedang

sejarah perang ‘suci’ pada agama Budha di Jepang

197W. J. Hamblim & D. C. Peterson,”Religion and Violence: an Unholy Combination. ” http://www.meridianmagazine.com/ideas.html. (januari, 2004) ; D. C. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: the Religious Practices of Modern Satanist and Terrorist. ” http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html . (januari,2004).

161

dicontohkan dengan adanya ksatria monyet (buddist sohei) atau

kodifikasi perang yang bersandar pada Budhisme yang

disebut Bushido. Sedang dalam Islam, dalil-dalil al-Qur’an

dan al-Hadits seringkali digunakan sebagai pembenaran

terhadap kekerasan ‘suci’, misalnya pamflet The Neglected Duty

(Al-Faridah Al-Ghai’bah) yang ditulis oleh Abd Al-Salam Faraj

dari kelompok Al-Jihad, yang kemudian menjadi pendorong

untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat

pada tahun 1981.198 Begitu juga halnya dengan alasan moral

yang digunakan para ulama dalam memberikan pembenaran

moral terhadap pelaku bom bunuh diri.199

a. Kajian Teoretik

Penelitian psikologi ini menguji model kekerasan

‘suci’ yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis di

Indonesia yang difokuskan pada teori ideologi dan teori

managemen teror. Penelitian melibatkan empat konstruk198D. Rappoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example fromIslam” dalam Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State ofMind, ed. W. Reich (Washington. D. C.: The Woodrow Wilson CenterPress, 2003).199M. Kramer, “The Moral Logic of Hizballah” dalam Origin ofTerrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind, ed. W. Reich(Washington D.C.: The Woodrow Wilson Center Press, 2003).

162

teoretik yaitu: ideologi jihad, ideologi politik

konservatif, believe in a just world (selanjutnya disebut BJW)

dan mortality salience sebagai mediator.

Pertama, menurut Perlmutter kekerasan ‘suci’

mendapat pembenaran oleh kelompok Islam fundamentalis

dengan menginterpretasi ideologi jihad. Ideologi jihad

merupakan sebuah aliran (genre) yang sangat populer dalam

dunia Islam, namun sampai 11 September 2001 hanya mendapat

sedikit perhatian dalam dunia Barat.200 Jihad dalam dunia

Islam bukan saja sangat populer, bahkan menurut Hamada

popularitas agama Islam sepanjang sejarahnya dikarenakan

Islam memiliki prinsip jihad ini.201

Pengertian jihad sendiri masih diperdebatkan,

sehingga belum ditemukan pengertian tunggal. Istilah jihad

berasal dari kata Arab jahada (kata benda abstrak, juhd)

200D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: The Religious Practices Of Modern Satanist And Terrorist” http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html(januari,2004)201N. Abi-Hashem, “Peace and War In The Middle East: APsychological And Sociocultural Perspective“ dalam UnderstandingTerrorism: Psychological Roots, Consequences and its Interventions, ed. F.Moghaddam, & A. Marsella, (Washington D. C.: American Psychological Assosiation, 2004).

163

yang bermakna berusaha dengan sekuat tenaga, berusaha

dengan segenap hatinya.202 Definisi klasik dari jihad

adalah: “…exerting, one’s umost power, effort, endeavors or ability in

contending with an object of disapprobation”. 203 Sedangkan menurut

pemahaman asketik dan mistik, dibedakan antara jihad besar

yang merepresentasikan perjuangan melawan dirinya sendiri

dan jihad kecil yaitu berjuang di jalan Allah (jihad fi

sabilillah). Dengan demikian, penelitian ini melihat jihad

dalam dua dimensi yaitu: jihad besar dan jihad kecil.

Kedua, kelompok Islam fundamentalis ini biasanya

cenderung menutup diri dari pengalaman dan titik pandang

yang dianggap mempengaruhi pandangan dunia mereka

(worldview). Ketertutupan kelompok fundamentalis terhadap

pandangan lain merupakan mekanisme pemeliharaan

ideologi.204 Mekanisme itu membuat para penganut

fundamental percaya bahwa tidak ada pandangan dunia yang202Madjid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam. Ter. Kiswanto(Yogyakarta: Tarawang Press. 2002).203R. Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (New York: OxfordUniversity Press, 1999).204R. K. Unger. “Them and Us: Hidden Ideologies-Difference inDegree or Kind?” dalam Analyses of Social Issue and Public Policy, 2, 1,(2002), 43-52.

164

dianggap sebagai kebenaran selain pandangan dunia yang

mereka miliki.205 Kelompok Islam fundamentalis ini,

cenderung kaku dan dikotomis (baik-buruk) dalam

mengartikan dunia sosial.206 Mereka cenderung tidak

toleran, ekstrim, fanatik, kaku, dan literalis.207 Gambaran

itu disebut sebagai ciri ideologi politik konservatif.208

Menurut Garcia dan Griffitt, orang yang konservatif

memiliki sikap yang lebih keras dibandingkan dengan orang

yang liberal. Jika dipandang dari perspektif konservatif,

kelompok Islam fundamentalis memiliki pandangan ideologi

politik konservatif terhadap isu-isu sosial politik.

Individu yang memiliki ideologi politik konservatif

cenderung tidak toleran pada perbedaan pendapat dan anti

perubahan.209

205E. Staub. The Roots of Evil: The Origins of Genocide and Other Group Violence(New York: Cambridge University Press, 1989).206T. Adorno, et. al., The Authoritarian Personality (New York: Harper,1950); P. E. Tetlock, “Cognitive Style and Political Ideology”dalam Journal of Personality and Social Psychology, 41, (1983), 207-212.207Achmad Jainuri, et. al., Terorisme dan Fundamentalisme Agama(Malang: Bayu Media Publishing, 2003).208Tetlock, “Cognitive Style and Political Ideology”, 207-212.209J. Vala, et. al., “Perception of Violence as a Function ofObserver’s Ideology and Actor’s Group Membership” dalam BritishJournal of Social Psychology, 27, (1988), 231-237.

165

Ketiga, fenomena kekerasan ‘suci’ ini juga dapat

dilihat dari perspektif managemen teror. Menurut

penelitian J. Greenberg, S. Solomon, N. Veeder, T.

Pyszczynsk, S. Kirkland dan D. Lyon tentang managemen

teror menunjukkan bahwa dengan mengingatkan subjek

terhadap kematiannya sendiri akan menyebabkan reaksi

negatif terhadap orang-orang yang kepercayaan dan nilai-

nilainya berbeda dengan dirinya.210 Dan juga penelitian E.

Harmon-Jones, L. Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon dan H.

McGregor, menemukan bahwa mortality salience (MS) menyebabkan

subjek memberi rekomendasi yang lebih keras terhadap para

pelanggar moral.211 Adapun penelitian J. Greenberg, L.

Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon, N. Veeder, dan D. Chatel

menemukan bahwa individu dengan ideologi politik

konservatif, yang sangat tidak toleran, bila memikirkan

210J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management TheoryII: The Effect of Mortality Salience Relations to the WhoThreaten or Bolster the Cultural Worldview” dalam Journal ofPersonality and Social Psychology, 58, 2, (1990), 308-318.211E. Harmon-Jones et. al., ”Terror Management Theory and Self-Esteem: Evidence that Increased Self-Esteem Reduce MortalitySalience” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1,(1997), 24-26.

166

kematiannya sendiri cenderung untuk bersikap tidak toleran

terhadap orang lain yang berbeda.212 Dengan demikian,

diharapkan pada orang dengan ideologi politik konservatif

dengan melalui MS akan berhubungan secara positif dengan

kekerasan ‘suci’.

Keempat, orang percaya bahwa mereka hidup di dunia

yang setiap orang akan memperoleh apa yang sepatutnya ia

peroleh. Pada orang yang memiliki kepercayaan bahwa dunia

itu adil adanya (belief in an just world atau BJW), menurut C.

Dalbert, I. M. Lipkus, H. Sallay and I.Goch, mereka akan

berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang adil dan hal

itu mempengaruhi perilaku sosialnya dalam kehidupan

sehari-hari.213 Sebaliknya, orang-orang yang percaya bahwa

dunia itu sebetulnya bukan tempat yang adil (belief in an

unjust world atau BUW) menunjukkan kecenderungan untuk

212J. Greenberg, et. al., ”Terror Management and Tolerance: DoesMortality Salience always Intensify Negative Reactions to otherWho Threaten One’s Worldview?” dalam Journal of Personality and SocialPsychology, 63, 2, (1992), 212-220.213C. Dalbert et. al., ” A Just and Unjust World: Structure andValidity of Different World Beliefs ” dalam Personality and IndividualDifferences, 30, (2001), 561-577.

167

berperilaku tidak sesuai dengan aturan-aturan yang adil.214

Hal ini terjadi karena konsep BJW menunjukkan kontrak

personal antara individu dengan dunia sosialnya. Sehingga

semakin kuat individu memegang BJW, maka semakin kuat pula

kewajibannya untuk berperilaku sesuai dengan aturan

keadilan. Sebaliknya individu dengan BUW akan mempertinggi

kemungkinan untuk tidak adil. Bila hipotesis ini benar,

maka diharapkan BJW dan BUW dapat memprediksikan

kekerasan ‘suci’ dengan BUW lebih condong terhadap

kekerasan dibandingkan dengan BJW.

Pada penelitian ini, pertama diukur kekerasan ‘suci’

dari dukungan mereka terhadap berbagai kemungkinan respon

untuk menyerang dan merusak papan iklan bir, papan iklan

bergambar porno, tempat perjudian dan prostitusi, kafé,

bar, klub-malam, dan hotel-hotel. Model kekerasan ‘suci ini

diringkas dalam figur 1:

214M. J. Lerner, The Belief in a Just World: A Fundamental Delution (New York:Plenium Press, 1980).

168

Figur 1. Model Kekerasan ‘suci

Keterangan: Gama (γ) = matrik koefisien yang menghubungkan variabel laten (LVs)

eksogenus dengan (LVs) endogenus. Beta (ß) = matrik koefisien yang menghubungkan satu (LVs)

endogenus dengan satu (LVs) endogenus lainnya.

Perlmutter menjelaskan bahwa sepanjang sejarah dan

lintas budaya, kekerasan ‘suci’ dimaafkan dan dianggap

penting berdasarkan prinsip-prinsip agama pelaku. Penganut

agama secara serius dihadapkan pada paradoks dari penganut

yang menganggap kekerasan ‘suci’ sebagai kewajiban ‘suci’.

Penggunaan kekerasan ‘suci’ selalu dapat dibenarkan bila

dilakukan dalam rangka menghukum pelanggar hukum Tuhan.

Kejahatan yang bertujuan untuk penyucian selalu dapat

dibenarkan.215 Dalam agama Islam pembenaran dilakukan215D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: TheReligious Practices Of Modern Satanist And Terrorist”

Jihad

IPKKekeras

an ‘Suci’

BJW

MS

γ22

γ21

γ12

γ13 γ23

β21

169

melalui interpretasi ideologi jihad, yang dilakukan oleh

kelompok Islam fundamentalis. Individu yang memiliki jihad

tinggi, akan mendukung kekerasan ‘suci’ sehingga kita

harapkan jihad akan berpengaruh langsung terhadap

kekerasan suci. Kecenderungan tersebut semakin kuat bila

individu diingatkan akan kematiannya sendiri atau MS

individu diaktifkan. Dalam persepektif teori manajemen

teror, ketika individu diingatkan akan kematiannya sendiri

individu merasa cemas dan mengatasi kecemasan dengan

kembali pada nilai dan kepercayaan yang dimiliki serta

berusaha untuk hidup sesuai dengan standar nilai dan

kepercayaannya.

Dalam pandangan kelompok Islam fundamentalis,

keberadaan bar, klab-malam, café, hotel, papan iklan

porno, sejumlah tempat prostitusi, dan perjudian,

menyimpan ancaman terhadap validitas kepercayaan, nilai,

dan konsep realitas budaya individu. Menurut Rosenblatt,

Greenberg, Solomon, Pyszczynski, dan Lyon bahwa kelompok

http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html(january, 2004).

170

Islam fundamentalis menganggap transgresor adalah ‘setan’

dan konsekuensinya orang yang melanggar moral harus

dihukum. Oleh karena itu, mengaktifkan MS akan memperkuat

pengaruh jihad kekerasan ‘suci’.216

Islam fundamentalis yang melakukan kekerasan ‘suci’,

memiliki pandangan sangat konservatif terhadap berbagai

isu sosial dan politik. Menurut A. Farina, B. Chapnick, J.

Chapnick dan R. Misiti terdapat sikap otoritarian yang

tinggi pada individu yang konservatif.217 Efek MS dan reaksi

negatif terhadap orang lain yang tidak sama semakin kuat

pada orang yang tinggi otoritariannya. Pada individu yang

konservatif dan tidak toleran maka MS akan mengintensifkan

reaksi negatif terhadap orang yang mengancam pandangan

dunia yang dianutnya sehingga mempengaruhi dukungan

individu terhadap kekerasan ‘suci’. Diprediksikan bahwa

216J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management TheoryII” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 2, (1990),308-318.217A. Farina et. al., ”Political Views And InterprepersonalBehavior” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 22, 3,(1972), 273-278 .

171

ideologi konservatif melalui MS akan berhubungan secara

positif dengan kekerasan ‘suci’.

Dalam konsep BJW, diharapkan berkorelasi negatif

dengan kekerasan ‘suci’ sedang yang sebaliknya terjadi

pada individu dengan BUW. BJW dan BUW dapat berpengaruh

langsung terhadap kekerasan ‘suci’. Menurut Rosenblatt

dkk, budaya memberikan rasa aman dengan cara menjanjikan

kekekalan nyata dan simbolik terhadap orang yang hidup

sesuai standar nilai dan melalui konsep bahwa dunia

merupakan tempat yang adil, sesuatu yang buruk tidak akan

terjadi pada orang yang baik. Jika MS diaktifkan pada

individu dengan BJW, akan memberikan rasa aman dari

ancaman kematian dan ancaman terhadap validitas konsep

realitasnya. Dengan demikian, adanya MS diprediksikan

dapat memperkuat pengaruh BJW terhadap kekerasan ‘suci’.218

b. Proses Penelitian

218A. Rosenblatt et. al., ”Evidence For Terror Management TheoryI: The Effect of Mortality Salience on Reactions to those WhoViolate or Uphold the Cultural Value” dalam Journal of Personality andSocial Psychology, 57, 4, (1989), 681-690.

172

Kuesioner yang disebarkan dalam penelitian ini

sebanyak 450, sedangkan yang kembali 373 kuesioner dan

yang dapat diolah 371 dengan dua kuesioner tidak lengkap

sehingga tidak dapat diolah. Populasi penelitian ini

adalah kelompok Islam fundamentalis dengan sampel

penelitian berasal dari kelompok Front Pembela Islam (FPI)

79 % atau 295 responden, Hizbuttahrir Indonesia (HTI) HTI

16% atau 61 responden dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

5 % atau 15 responden. Sebagian besar subjek berjenis

kelamin laki-laki 83 % atau 309 responden dan perempuan

hanya 17 % atau 62 responden.

Untuk mengukur kekerasan ‘suci’, disusun lima item

skala kemungkinan individu untuk ikut tindakan merusak

dengan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang 6=

sangat setuju terhadap pernyataan). Contoh item skala, ini

antara lain, “Seberapa besar kemungkinan anda ikut

bergabung dengan gerakan yang merusak papan iklan bir”

Validitas item dari skala ini antara 0,77 sampai 0,85,

dengan α=0,92.

173

Sedangkan skala ideologi jihad tersusun 12 item yang

didasarkan definisi operasional ideologi jihad dan

sebelumnya juga dilakukan elisitasi. Skala ini memiliki

validitas antara 0,42 sampai 0,65, dengan α=0,74. Item

pada skala ini juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat

tidak setuju, sedang 6= sangat setuju terhadap

pernyataan). Contoh item skala ini, antara lain, “ Jihad

merupakan perang melawan musuh Islam”

Skala ideologi politik yang terdiri dari 9 item

merupakan adaptasi skala konservatif umum dari

Ray, item disesuaikan dengan kondisi sosial

politik di Indonesia. Ray menggunakan skala konservatif

umum ini untuk meneliti psikopatologi, otoritarianisme dan

orientasi politik pada mahasiswa Universitas Macquarie

Australia, skala ini memiliki α=0,87 dengan validitas

antara 0,24 sampai 0,52. Item pada skala ini juga

menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang

6= sangat setuju terhadap pernyataan).219 Contoh item dari219J. Ray, ”Militarism, Authoritarianism, Neuroticism and AntiSocial Behavior” dalam Journal of Conflict Resolution, 16(3), (1972),319-340.

174

skala ini adalah, “Indonesia harus membuka hubungan

diplomatik dengan Israel”.

Skala BJW ini merupakan skala yang divalidasi oleh

Dalbert pada para tahanan dan petugas penjara, dengan

mengkorelasikan BJW-BUW dengan dengan orientasi keagamaan,

well-being, dan ideologi politik. Skala terdiri dari dua

bagian yaitu 6 item skala BJW dan empat item skala BUW.

Dalbert dkk melihat kedua belief ini sebagai suatu konstruk

yang deskrit, sehingga skala BJW dan BUW mengukur dua hal

yang berbeda. Oleh karena itu, seorang individu pada skala

Dalbert dkk ini dapat memiliki kedua belief ini secara

bersama-sama. Dengan kata lain, individu tersebut tinggi

pada skor BJW dan juga skor BUW-nya. Skala BJW dengan α=74

dan validitas antara 0,36-0,64, sedang skala BUW dengan α

=0,66 dan validitas antara 0,43-0,47. Item pada skala ini

juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju,

sedang 6= sangat setuju terhadap pernyataan). Contoh item

dari skala ini adalah, “Saya percaya bahwa keadilan selalu

menang terhadap ketidakadilan”

175

Skala MS terdiri dari dua bagian, yaitu MS kognitif

dan MS afektif. Skala MS kognitif terdiri dari 6 item

yang disusun berdasarkan hasil elisitasi, berkaitan dengan

apa yang dipikirkan individu akan terjadi sesudah individu

itu mati. Pertanyaan yang digunakan peneliti pada waktu

elisitasi berasal dari pertanyaan terbuka yang digunakan

oleh Greenberg dkk. Sedangkan skala MS afektif berupa 11

item keadaan emosi yang diambil dari Positive and Negative

Affective Scale (PANAS) dari Watson, Clark dan Tellegen,

terdiri dari 6 keadaan emosi negatif dan lima keadaan

emosi positif. MS afektif merupakan perasaan atau emosi

yang timbul ketika individu memikirkan kematiannya

sendiri.220 PANAS ini juga digunakan dalam penelitian

Greenberg. Contoh item skala MS kognitif adalah “Mati

berarti berpisahnya ruh dari badan”. Skala ini memiliki

α=82 dengan validitas antara 0,20 sampai 0,67.

3. Hasil Penelitian

220D. Watson et. al., ”Development and Validation of BriefMeasures of Positive and Negative Affect: The PANAS Scales”dalam Journal of Personality and Social Psychology, 54, (1988), 1063-1070.

176

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan

keterlibatan tiga variabel eksogen, yaitu ideologi jihad,

ideologi politik, dan BJW-BUW terhadap dua variabel

endogen, yaitu kekerasan ‘suci’ dan MS. Prosedur yang

dilakukan dalam pengolahan data adalah model struktural

atau tehnik SEM dengan LISREL 8.5 sebagai softwarenya. Pada

model struktural ini, diuji pengaruh langsung dari

ideologi jihad dan BJW terhadap kekerasan ‘suci’, serta

pengaruh tidak langsung ideologi jihad, BJW dan ideologi

politik terhadap kekerasan ‘suci’. Untuk mendapatkan model

hipotesis yang fit dan dapat menggambarkan data sampel,

sebuah penelitian harus memenuhi kualifikasi berupa: P-

value>0,05, Root Mean Square Error of Approximation

(RMSEA)<0,05, Goodness of fit index (GFI)>0,90 and T-

value>1,96. Model kekerasan ‘suci’ yang diajukan sebagai

hipotesis fit (antara model dengan data sesuai), dengan good

of fit yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Good of fit Model Kekerasan ‘Suci’

177

χ df RMSEA p-value

GFI CFI

1,19 2 0,00

0,77 0,99 0,99

Hubungan struktur antara variabel eksogen dengan

variabel endogen tersebut di atas dapat dilihat dengan

lebih jelas pada figur 2.

Figur 2. Model Struktural Kekerasan Suci

Keterangan: IPK=ideologi politik konservatif, BJW=belief in a just world,MS=mortality salience, garis putus-putus menunjukkan jalur yang tidaksignifikan dengan Taraf signifikansi 0,5%

Dilihat dari koefisien standardized solution (SS), maka

variabel yang paling kuat pengaruhnya adalah pengaruh

ideologi jihad terhadap kekerasan ‘suci’ yaitu 0,45.

Jihad

IPK Kekerasan Suci

BJW

MS

0,45

0,14

-0,33 0,1

4

0,120,07

178

Dengan demikian, individu dengan jihad tinggi cenderung

untuk mau ikut kekerasan ‘suci’. Sedang pengaruh jihad

terhadap MS bersifat negatif yaitu -0,33, individu dengan

jihad tinggi maka MSnya rendah. Pengaruh ideologi politik

konservatif terhadap MS yaitu 0,14, sedang pengaruh MS

terhadap kekerasan ‘suci’ juga 0,14. Maka, individu dengan

ideologi politik konservatif dengan mengaktifkan MS

cenderung mau ikut kekerasan ‘suci’. Sementara pengaruh

yang tidak signifikan terjadi antara BJW terhadap MS,

sedang pengaruh BJW terhadap kekerasan ‘suci’ signifikan

pada 0,12 yaitu individu dengan BJW cenderung mau ikut

kekerasan ‘suci’. Ringkasan pengaruh variabel eksogen

terhadap variabel endogen dapat dilihat secara lebih jelas

pada tabel 2.

Tabel 2. LISREL ESTIMATE (MAXIMUM LIKELIHOOD)

Pengaruh Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen

Pengaruh antar Variabel SS T-value

Jihad terhadap kekerasan ‘suci’ (γ)

Jihad terhadap MS (γ)

Ideologi politik terhadap MS (γ)

0,45*

-0,33*

0,14*

8,63*

-6,74*

2,90*

179

BJW terhadap MS (γ)

BJW terhadap Kekerasan ‘suci’ (γ)

0,07

0,12*

0,6

2,20*

*=signifikan, t-value> 1 ,96(koefisien bermakna pada l.o.s. 0,05)

Takaran signifikansi statistik dalam penelitian ini,

dengan menggunakan t-statistik pada taraf signifikansi

0,05, maka t-statistik (t-value) yang dibutuhkan >± 1,96.

Dari tabel di atas, berdasar t-value maka hanya variabel

BJW yang pengaruhnya tidak signifikan terhadap MS. Sedang

hubungan struktur antar variabel endogen, yaitu antara MS

terhadap kekerasan ‘suci’ signifikan pada 0,14. Dapat

diartikan bahwa variabel MS berpengaruh terhadap kekerasan

‘suci’. Pengaktifan MS berpengaruh terhadap kekerasan

‘suci’. MS tinggi menyebabkan kekerasan ‘suci’.

4. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jihad

berpengaruh langsung terhadap kekerasan ‘suci’ dan

merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap

kekerasan ‘suci’. Seperti yang telah diuraikan di bagian

depan, jihad merupakan prinsip keagamaan yang sangat

180

penting dalam agama Islam. Bagi kelompok Islam

fundamentalis dengan jihad tinggi akan berusaha secara

maksimal untuk menerapkan ajaran Islam dan memberantas

kemungkaran. Jihad digunakan sebagai justifikasi oleh

kelompok Islam fundamentalis yang melakukannya. Berdasar

prinsip-prinsip jihad, penggunaan kekerasan ‘suci’ selalu

dapat dibenarkan dan dianggap penting bila dilakukan dalam

rangka menegakkan kebenaran yang bertujuan untuk

membersihkan berbagai tempat yang digunakan untuk

melanggar hukum Tuhan (seperti tempat yang digunakan untuk

prostitusi dan perjudian).

Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Fukuyama

bahwa bagi kaum Islam fundamentalis, modernisasi dan

nilai-nilai sekular mengancam cara hidup yang mereka anut.

Budaya materialistik Barat merupakan ancaman terhadap

nilai spiritual dan praktek agama Islam, karena ada

kesulitan dalam mensintesiskan dunia sekular dan agama.221

Menurut Marsella dalam kondisi ketakutan dan

221T. Pyszczynski et. al., In The Wake of 9/11: The Psychology of Terror(Washington D. C.: American Psychological Assosiation, 2003).

181

ketidaktentuan ini, Islam fundamentalis menawarkan satu

alternatif pemecahan sederhana terhadap masalah yang

kompleks itu yaitu kepercayaan yang mutlak terhadap dogma

agama. Hal itu terjadi, karena mereka memandang bahwa

kemunduran umat Islam karena berkurangnya puritansi agama.

Oleh karena itu, dalam perspektif mereka maka setiap orang

Islam harus mengambil sedekat mungkin gaya hidup pengikut

Islam pada masa Rosul Muhammad dan sahabat (salaf).222

Kelompok Islam fundamental mengikuti cara hidup seperti

yang diajarkan al-Qur’an secara literal dan sangat detil.

Sebuah cara hidup yang seringkali bertentangan dengan

nilai-nilai modern dan sekular. Lebih lanjut Pyszczynski

menyimpulkan bahwa dalam perspektif Fukuyama, ada potensi

perbenturan antara mereka (setan atau para pelanggar

moral) dengan kami (yang hidup sesuai ajaran al-Qur’an).

Jihad sebagai ideologi keagamaan yang sangat penting

serta menjadi kewajiban setiap muslim dan dapat dipanggil

222F. M. Moghaddam and A. J. Marsella ed, Understanding Terrorism:Psychological Roots, Consequences, and Its Interventions (Washington D. C. :American Psychological Assosiation, 2004).

182

ketika dibutuhkan.223 Keberadaan para pelanggar moral,

memanggil dan mengaktifkan jihad. Aktivasi jihad

menyebabkan Mortality Salience tidak teraktivasi (deactivated).

Pada individu dengan jihad tinggi maka MS-nya tidak

teraktivasi, berarti individu tidak takut untuk mati.

Dalam kepercayaan Islam ada janji surga bagi orang yang

mati ketika berjihad yang berarti melayani Allah. Oleh

karena itu orang dengan jihad tinggi tidak takut mati.

Apabila jihad sudah teraktivasi maka tanpa MS pun individu

akan terdorong untuk melakukan kekerasan ‘suci’.

Meskipun pengetahuan tentang kematian yang tidak

terelakkan bermakna absolute annihilation (penghapusan mutlak),

pada orang dengan jihad tinggi MS tidak teraktivasi.

Menurut Dawkins, hal itu dapat terjadi karena kepercayaan

yang ada di dalam agama seperti kepercayaan terhadap hidup

sesudah mati yang membuat individu ingin sacrifice

(menyucikan) hidupnya. Dalam perspektif Dawkins ini, maka223N. Abi-Hashem, ”Peace and War in the Middle East: APsychological and Sociocultural Perspective” dalam UnderstandingTerrorism: Psychological Roots, Consequences and its Interventions. ed. F. M.Moghaddam and A. J. Marsella (Washington D. C.: AmericanPsychological Assosiation, 2004).

183

merusak berbagai tempat yang digunakan untuk melanggar

hukum Tuhan, merupakan upaya untuk menyucikan diri bagi

kelompok ini.224

Seperti yang diprediksikan sebelumnya, hubungan

ideologi politik konservatif dengan kekerasan ‘suci’

melalui pengaktifan MS. Pada individu yang konservatif dan

tidak toleran, maka mengaktifkan MS menyebabkan individu

tersebut cenderung melakukan kekerasan ‘suci’. Hasil

penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Greenberg dkk.225 Reaksi negatif terhadap

orang yang tidak sama semakin kuat efeknya pada individu

yang konservatif, yaitu individu yang rendah derajat

toleransinya. Kelompok Islam fundamental Islam

fundamentalis yang melakukan kekerasan ‘suci’, memiliki

pandangan sangat konservatif terhadap berbagai isu sosial

dan politik.226 224T. Pyszczynski et. al., ”In The Wake of 9/11”.225J. Greenberg et. al., ”Terror Management and Tolerance”, 212-220 .226M. E. Nielsen,. ”Religion’s Role in Terroris Attack of September 11, 2001” http://www.psywww.com/psyrelig/fundamental.html . (january, 2004)

184

Menurut Keniston pada individu yang konservatif

terdapat sikap otoritarian yang tinggi dan efek MS serta

reaksi negatif terhadap orang lain yang tidak sama semakin

kuat pada orang yang tinggi otoritariannya. Pada individu

yang konservatif dan tidak toleran maka MS akan

mengintensifkan reaksi negatif terhadap orang yang

mengancam pandangan dunia yang dianutnya sehingga

berpengaruh terhadap kemungkinan individu untuk mau ikut

melakukan kekerasan ‘suci’.227 Dalam perspektif manajemen

teror, orang yang menyerang tempat prostitusi dan

perjudian membuktikan bahwa orang tersebut hidup sesuai

dengan standar nilai yang dipegangnya. Kebutuhan untuk

mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya, memunculkan

reaksi negatif terutama pada individu yang tidak

toleran.228

Belief in a Just World (BJW) berpengaruh terhadap kekerasan

‘suci’ secara langsung tanpa melalui pengaktifan MS.227A.Farina, et.al., ”Political Views”, 273-278 . 228J. Greenberg et. al., ”Terror Management and Tolerance”, 212-220 .?M. E. Nielsen,. ”Religion’s Role in Terroris Attack of September 11, 2001”

185

Berbeda dengan prediksi sebelumnya, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa individu dengan BJW tinggi cenderung

untuk ikut dalam kekerasan ‘suci’. Rubin dan Peplau

menemukan bahwa individu dengan BJW yang tinggi akan lebih

religius.229 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara jihad dengan BJW, orang dengan

jihad tinggi juga memiliki kecenderungan untuk tinggi BJW-

nya. Sebagai ideologi keagamaan, jihad sangat besar

peranannya dalam diri individu. Oleh karenanya dalam

perspektif jihad, melakukan kekerasan terhadap para

pelanggar moral merupakan suatu tindakan yang adil.

Kelompok Islam fundamentalis ini memandang tindakannya

merusak berbagai tempat maksiat itu sebagai tindakan yang

adil. Karena dalam BJW ini, terdapat asumsi bahwa orang

memperoleh apa yang sepatutnya ia peroleh, reward dan

punishment diperoleh secara adil sesuai dengan perilaku,

sifat dan karakter individu.230 Apa yang dilakukan oleh229C. Andre, and M. Velasquez, ”The Just World Theory. Issues in Ethics” http://www.scu.edu/ethics/publication/justworld.html . (january, 1990)230N. J. Finkel, Not Fair: The Typology of Commonsense Unfair (Washington,D. C.: APA, 2001).

186

individu di berbagai tempat yang digunakan untuk melanggar

hukum Tuhan (seperti tempat yang digunakan untuk

prostitusi dan perjudian), dalam perspektif para jihadis

ini, patut menerima hukuman.

3. Terorisme sebagai Bentuk Aksi Kekerasan

a. Definisi dan Konsepsi Terorisme

Istilah terorisme memang masih tergolong “baru”,

khususnya di Indonesia. Istilah ini kali pertama muncul

pada tahun 1789 dalam The Dictionnaire of The Academic Francaise

“System, regime de terreur”. Konteks revolusi Prancis lekat di

dalam penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah

terorisme pada waktu itu memiliki konotasi positif, yakni

aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang

lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan. Namun,

praktik-praktik terorisme sudah lama terjadi sejak sekitar

66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrim Yahudi

melakukan sebagai aksi teror, termasuk di dalamnya

pembunuhan, terhadap bangsa Romawi yang melakukan

pendudukan di wilayahnya (kira-kira di wilayah yang

187

dipersengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang).

Sejak saat itu, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan

dunia, yang melibatkan beragam etnik dan agama terus

terjadi.231

Sedangkan menurut Achmad Jainuri, istilah teror dan

terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat

popular pada dekade 1990-an dan awa12000-an sebagai bentuk

kekerasan agama. Meskipun terorisme, sesungguhnya bukanlah

sebuah istilah baru. Tindakan teror telah muncul sepanjang

sejarah umat manusia. Bagaimana putra Adam, Qabil menteror

Habil, karena dinilai menjadi penghambat keinginan Qabil.

Beberapa bentuk teror telah menjadi cara yang umum untuk

mengintimidasi lawan. Orang yang percaya bahwa dengan

kekerasan dapat mengintimidasi musuh atau lawan untuk

menakut-nakuti dan kemudian merasa takut atau menyerah,

maka biasanya orang tidak ragu menggunakan ancaman yang

231Kacung Marijan, "Terorisme dan Pesantren: Suatu Pengantar"dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, ed.Muhammad Asfar (Surabaya: PUSDEHAM dan JP Press, 2003), v;Lihat Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brownand Company, 1987).

188

dimaksud.232 Sebagai sebuah label untuk tindakan kekerasan,

istilah ini mencerminkan makna negatif bagi mereka yang

dijuluki teroris. Dalam pengertian ini teroris disamakan

dengan istilah menyakitkan lainnya dalam khazanah bahasa

politik, seperti rasis, fasis, atau imperialis.233

Terorisme merupakan salah satu dari sekian istilah

dan konsep di dalam ilmu sosial yang penuh kontroversi dan

perdebatan. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa upaya

untuk mendefinisikan terorisme itu tidak dapat dilepaskan

dari berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi

dan politik. Begitu kontroversinya, Walter Laqueur sampai

berpendapat bahwa sebuah definisi yang komprehensif

mengenai terorisme itu tidak ada atau tidak akan dapat

ditemukan di masa mendatang.234 Padahal, pendefinisian

mengenai terorisme itu cukup penting, bukan hanya untuk

kepentingan akademik, melainkan juga untuk kepentingan

232Achmad Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam:Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi,” (Pidato Pengukuhan Guru Besar,IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Selasa 12 September 2006), 2.233Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 3234Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brown and Company, 1987), 5.

189

praktis, yakni bagaimana cara mengatasinya. Memerangi

terorisme terorganisasi, misalnya, harus memiliki

kejelasan apakah organisasi yang diperangi itu termasuk

teroris atau tidak. Kejelasan demikian tentu saja harus

berasal dari definisi yang jelas pula. Tanpa adanya

kejelasan, upaya untuk memerangi itu berdampak kontra

produktif. Sebagai sebuah istilah bahasa, terorisme

seharusnya dipahami dengan sangat hati-hati, bukan menjadi

instrumen propaganda. Oleh karena itu, penting untuk

memberikan definisi terorisme yang jelas. Dengan kejelasan

definisi ini orang akan mengerti makna sebenarnya istilah

terorisme, dan kemudian merancang hukuman yang tepat bagi

para pelaku teror.

Dalam pandangan Jack Gibbs yang dikutip Asfar,

munculnya kontroversi mengenai pendefinisian mengenai

terorisme itu tidak lepas dari fakta bahwa pemberian label

terhadap aksi-aksi terorisme akan merangsang adanya

kecaman-kecaman yang keras terhadap para pelakunya.235

Karena itu upaya untuk mendefinisikannya tidak akan lepas235Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 12.

190

dari bias politik maupun ideologi.

Sementara itu, dalam pandangan Grant Wardlaw, upaya

mendefinisikan terorisme tidak lepas dari masalah moral.

Masalah moral ini berkaitan dengan realitas bahwa di

dalam mendefinisikan terorisme itu tidak lepas dari suatu

penilaian-penilaian bahwa ada peristiwa-peristiwa

kekerasan yang terjastifikasi, di satu sisi dan ada

peristiwa-peristiwa kekerasan yang tidak terjastifikasi,

di sisi lain.236 Karena itu, upaya untuk mendefinisikan

terorisme tidak lepas dari kontroversi.

Beberapa waktu setelah terjadinya peristiwa

pengeboman di dua gedung kembar di New York, Organisasi

Konferensi Islam (OIC) mengadakan pertemua di Kuala

Lumpur, Malaysia. Di antara bahasan penting yang menjadi

perbincangan hangat adalah mengenai masalah terorisme.

Meskipun OIC merupakan negara-negara Islam, yang berarti

terdapat benang merah yang mengikat mereka, OIC gagal

melakukan pendefinisian mengenai terorisme. Di samping

236Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactics and Counter-Measures(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 4.

191

karena pendefinisian itu tidak lepas dari bias-bias

kepentingan politik dan ideologi, sebagian peserta menolak

melakukan pendefinisian larena masalah ini sudah menjadi

masalah besar dari komunitas internasional, bukan hanya

masalah dari OIC. Selain itu, keengganan ini tidak lepas

daru fakta bahwa aksi-aksi terorisme yang mengemuka di

dalam tahun-tahun terakhir ini melibatkan orang Islam.

Menteri Luar Negeri Palestina membela diri:”Kami menolak

segala upaya untuk mengkaitkan terorisme dengan perjuangan

rakyat Palestina untuk memperoleh hak-hak mereka guna

mendirikan sebuah negara merdeka. Kami menolak segala

upaya mengkaitkan negara-negara Islam, resistensi

Palestina dan Libanon dengan terorisme.”237 Bagi dia yang

menjadi “terorisme nomor satu dan terjelek” adalah

“terorisme negara” yang dilakukan Israel. Tentu saja,

Israel juga menolak jika dikatakan sebagai bagian dari

terorisme negara.

Jika ditinjau dari segi etimologi, terorisme berakar

237Nationaire Review On Line, "Defining Terrorism Down", (4 April2002).

192

dari kata terror berarti takut; kecemasan, terrorism berarti

terorisme; penggentaran, terrorist berarti teroris; pengacau,

terrorize (vb) berarti menakut-nakuti.238 Menurut Chomsky,

konsep tentang terorisme, masih tidak jelas dan pada

umumnya orang saling berbeda tentang definisi terorisme.

Istilah terorisme lebih mengarah pada taktik, alat untuk

mencapai tujuan tertentu. Sebagai sebuah taktik, terorisme

selalu dapat digunakan kapan saja untuk sebuah aksi bagi

suatu kelompok. Jika terorisme dipahami sebagai sebuah

taktik, maka sangat keliru orang mendeklarasikan “perang

terhadap terorisme,” karena orang tidak dapat mengalahkan

taktik. Pernyataan perang terhadap terorisme sama halnya

dengan menyatakan perang secara terus menerus

(kenyataannya, inilah maksud yang sesungguhnya).239

238S. Wojowasito & W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap (Bandung:Hasta, 1980), 231.239Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 4; lihatNoam Chomsky, “The CIA as a Terrorist Organization,”www.Serendipity.nofadz.com/cia/cia_terr.html,1. Noam Chomskyadalah seorang Profesor Linguistik di Massachussets Instituteof Technology (MIT) yang sangat terkenal di dunia dn merupakanseorang inteletualtual yang pikirnnya jauh berbeda dengankebanyakan koleganya, karenakritiknya yang tjam terhadapkebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat),

193

Meskipun demikian, untuk memberikan gambaran

bagaimana terorisme itu didefinisikan, terdapat empat

kelompok yang berbeda pandangan mengenai terorisme, yakni

akademisi, pemerintah, masyarakat umum, dan kaum teroris

serta simpatisannya.240 Pada umumnya, kaum akademisi

mengedepankan intelektualitas dan bersikap netral dalam

melakukan penelitian tentang segala sesuatu yang berbau

teroris. Kultur akademis, seperti: keingintahuan,

skeptisisme, dan seperangkat metodologi akan dapat membawa

sikap dan penemuan makna yang lebih independen dan non-

partisan dibandingkan dengan kelompok lain. Definisi

terorisme dari kelompok ini muncul pada 1988, yang

menyebutkan bahwa “terorisme adalah sebuah metode yang

disemangati oleh keinginan melakukan aksi kekerasan secara

berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau

aktor penguasa bawah tanah (clandestine), karena alasan

idiosinkratis, kriminal, atau politik. Oleh karena itu,

240Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 4-5;lihat Alex P. Schmid, “The Problem of Defining Terrorim” dalamInterntional Encyclopedia of Terrorism (Ram Nagar, New Delhi: S. Chand &Company, 1999), 17-20.

194

berbeda dengan asasinasi, yang mengeksekusi langsung

sasaran pembunuhan, sasaran langsung kekerasan teror bukan

orang yang menjadi sasaran utama. Korban kekerasan

biasanya dipilih secara acak (targets of opportunity) atau

dipilih (representative atau symbolic targets) dari warga yang

menjadi sasaran, yang kemudian dijadikan sebagai sumber

pesan. Ancaman dan proses komunikasi yang berbasis

kekerasan antara teroris dan korban digunakan untuk

memanipulasi sasaran utama yang sebenarnya. Sasaran

terakhir inilah yang menjadi sasaran teror, sasaran

tuntutan, atau sasaran perhatian, tergantung pada tingkat

intimidasi, pemaksaan, dan propaganda yang diinginkan.”

Definisi yang dipakai oleh kalangan penguasa

cenderung memaknai istilah terorisme lebih keras, karena

mereka secara aktif berkewajiban memberantas aktifitas

terorisme, dan bahkan menjadi korban dari terorisme.

Pemerintah Inggris adalah yang pertama merumuskan definisi

resmi yang membedakan antara tindakan teroris dan

kriminal. Pada tahun 1974, definisi itu menjelaskan bahwa

195

“terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan

politik, dan termasuk penggunaan kekerasan untuk

menjadikan masyarakat dalam ketakutan.” Pada tahun 1980,

CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama

dengan “ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan

politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok, atas

nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-

takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban

langsung teroris.”241

Mereka yang terlibat terorisme memiliki pandangan

yang berbeda dari para pengamat yang lain. Sementara pada

akhir abad ke-19 banyak pelempar bom dari kaum anarkis dan

sosialis Rusia tidak merasa kecil hati dilabeli sebagai

kaum teroris, namun tidak demikian halnya dengan kaum

teroris kontemporer. Mereka yang disebut terakhir ini

sadar akan stigma panggilan teroris dan karena itu

241Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 5.Untukmelihat berbagai ragam definisi terorisme dan terutama kritikterhadap perlawanan Amerika Serikat, terutama CIA, terhadapterorisme, baca "Real Politic, Definition of Terrorism,Terrorism Research, War on Terrorism" wwwtwf..org/Library/Terrorism.html., 1-7.

196

berusaha untuk menghidari label teroris. Pada waktu

diselenggarakannya konferensi mengenai terorisme di Leiden

pada 1989. Sebuah kelompok yang menamakan diri

“Revolutionary Commando Marinus van de Lubbe” mengirimkan

sepucuk surat pada surat kabar lokal dengan menyatakan

simpatinya kepada masyarakat yang mereka klaim sebagai

tertindas seperti: Palestina, Irlandia, Amerika Tengah,

dan Kurdistan. Mereka mengatakan: “ jelaslah bahwa yang

dinamakan terorisme sebenarnya merupakan perlawanan yang

logis dan adil dari rakyat terhadap terorisme pemerintah,

kapitalisme, rasisme, dan imperialisme.”

Kaum teroris sering melawan balik untuk memperoleh

jastifikasi moral dengan membandingkan kekerasan yang

mereka lakukan dengan kekerasan yang dilakukan oleh lawan-

lawannya. Dengan perbandingan semacam ini, kaum teroris

mencoba memposisikan aksi dan tujuannya pada tingkatan

moral yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah

yang menjadi lawannya. Dalam Perang Dunia II, tentara

pendudukan Jerman melabeli seluruh kelompok perlawanan

197

sebagai “kaum teroris.” Demikian juga kaum penjajah

terhadap rakyat jajahan. Yang disebut terakhir,

sebaliknya, memandang diri mereka sendiri sebagai kaum

patriot yang berjuang untuk sebuah kemerdekaan. Pemerintah

Israel sekarang memandang para pejuang Palestina sebagai

kaum teroris, sebaliknya rakyat Palestina menyebut diri

mereka sebagai pejuang yang membebaskan diri mereka dari

pendudukan teroris negara, Israel. Perbandingan serupa

juga dapat dilihat pada invasi yang dilakukan oleh Amerika

Serikat terhadap rakyat Iraq dan kehadiran tentara Amerika

Serikat di berbagai kawasan Timur Tengah, Saudi Arabia,

yang dirasakan kehadirannya sebagai ancaman dan faktor

ketidakstabilan di kawasan tersebut.

Menurut Jainuri, semua pengertian terorisme seperti

yang diuraikan di atas menunjukkan adanya penekanan tujuan

pokok dari pada taktiknya. Umumnya, kaum teroris mencoba

menghindari pengelompokan taktik perjuangan mereka sebagai

tindakan kriminal. Kaum teroris lebih senang, apabila

perjuangan mereka itu diletakkan dalam kerangka “perang”

198

melawan musuh guna mencapai tujuan politik. Karena, jika

istilah terorisme disamakan dengan tindakan kriminal, maka

keabsahannya sebagai alit perjuangan akin berkurang

apabila dibandingkan dengan penggunaan terminologi

“perang” untuk mendeskripsikan terorisme. Tarik menarik

“pelabelan” terorisme, pada umumnya, dimenangkan oleh

mereka yang berkuasa atas rakyat dan mereka yang kuat atas

yang lemah. Dengan pemberian label terorisme kepada

kelompok kedua ini, maka tindakan apapun yang dilakukan

oleh pihak pertama dinilai sah dan dibenarkan. Gambaran

ini terlihat pada hubungan antara penguasa Israel dan

rakyat Palestina sekarang ini. Karena labelisasi yang

diberikan kepada rakyat Palestina sebagai kaum ekstrimis

dan teroris, maka gempuran tank dan bom atas rakyat yang

tidak berdaya dianggap sah, dan “komunitas

internasional,”242 membiarkan rejim penguasa di Israel

242“International Community" diciptakan oleh kelompok kepentinganrejinv penguasa Barat (Amerika Serikat) dalam rangka memperolehlejitimasi dan menggalang dukungan bagi aksi militer danpolitik represif Amerika Serikat terhadap negara-negara yangtidak mendukung kebijakan politik global Amerika Serikat.

199

dengan leluasa menteror rakyat Palestina dan Arab pada

umumnya.

Di dalam berbagai literatur yang membahas terorisme,

ada yang memasukkan terorisme negara sebagai bagian dari

terorisme, sebagaimana dalam konferensi tentang terorisme

di Universitas Tel Aviv pada Juni tahun 1985. Misalnya,

Anat Kurz mendefinisikan terorisme :”Kegiatan kekerasan

yang dilakukan oleh organisasi non-negara (meskipun

disponsori negara) untuk mencapai tujuan-tujuan

politik”.243

Salah satu definisi netral menurut Grant Wardlaw,

terorisme politik adalah “Penggunaan, atau tercirikan oleh

penggunaan, kekerasan oleh individu atau kelompok, baik

bertindak atas nama pemerintah atau berlawanan terhadap

pemerintah, manakala tindakan-tindakan itu dirancang untuk

menciptakan ketakutan yang ekstrim dan atau ketakutan-

ketakutan pada sasaran yang lebih besar daripada korban-

korban yang menjadi sasaran langsung dengan tujuan untuk

243Anat Kurz ed., Contemporary Trends in World Terrorism (New York:Praeger, ), 13.

200

menekan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran itu untuk

memenuhi tuntutan-tuntutan politik pelakunya”.244

Terlepas dari batasan yang berbeda, ada dimensi-

dimensi dari terorisme yang selama ini dijadikan sebagai

pijakan untuk membatasi terorisme. Pertama, Dimensi

Legalitas. Yang membatasi terorisme dari dimensi ini

biasanya memahami terorisme sebagai aksi kelompok yang

dilakukan untuk melawan penguasa. Di sini, terorisme

dianggap sebagai sesuatu yang illegal. Batasan seperti ini

memiliki kekurangan, di antaranya adalah tidak melihat

apakah aksi itu merupakan “aksi” atau “reaksi” terhadap

penguasa atau kelompok yang sebelumnya melakukan

terorisme.

Kedua, Dimensi Kekerasan. Terorisme selalu dikaitkan

dengan kekerasan. Hanya saja, kekerasan itu dilakukan

terhadap apa dan siapa? Apakah hanya kekerasan terhadap

menusia saja yang tergolong terorisme? Apakah kekerasan

terhadap objek -objek non-manusia itu termasuk terorisme

244Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactics and Counter-Measures(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 16.

201

atau tidak.

Ketiga, Dimensi Tujuan. Terorisme selalu dikaitkan

dengan upaya untuk mencapai tujuan, apakah dalam bentuk

ideologi, kekerasan, atau yang lain. Masalahnya, ada juga

terorisme yang tujuannya dapat saja tidak jelas arahnya.

Misalnya saja terorisme yang dilakukan oleh orang-orang

yang dianggap sakit.

Keempat, Dimensi Kemiliteran. Terorisme juga sering

dikaitkan dengan operasi-operasi melalui cara-cara

militer. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang

membedakan aksi terorisme dengan aksi-aksi militer.

Dilihat dari jenis terorisme, ada dua yaitu: Pertama,

State Terrorism yakni instrumen kebijakan suatu rejim penguasa

dan negara. Dalam dunia politik, istilah terorisme sering

kehilangan makna yang sebenarnya dan menjadi bagian dari

retorika yang menyakitkan antara politikus yang bertikai.

Seseorang atau kelompok yang sedang bertikai biasanya

menuduh lawan politiknya dengan melakukan teror, dan

apabila tujuan teror ini berhasil, maka mereka tidak ragu

202

untuk melakukan secara berulang tindakan teror terhadap

lawan. Akibatnya, “sekali seseorang itu dituduh teroris

maka orang yang menuduh dan yang lain merasa memiliki

kebebasan untuk menyerang dan menghukumnya dengan tindakan

keras dan menyakitkan.” Penggunaan istilah terorisme,

sebagai alat teror politik, sekarang menjadi praktik yang

menggejala dan sangat tidak menyenangkan dilihat dari

sudut pandang moral dan hukum. Kedua, Non-State Terrorism yakni

bentuk perlawanan terhadap perlakuan politik, sosial,

maupun ekonomi yang tidak adil dan represif yang menimpa

seseorang atau kelompok orang.245

Dilihat dari perspektif ideologis, gerakan teroris

dapat dipahami dari interpretasi keagamaan tentang nilai

dan ajaran yang merefleksikan kepentingan dan komitmen

moral, sosial, dan politik.246 Perspektif ini mengasumsikan

bahwa elemen ideologi dipahami sebagai formulasi filosofis

yang tentatif, yang dimodifikasi sesuai dengan perubahan

245Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 2.246Ibid., 3 ; Terence Ball dan Richard Degger, Political Ideologies and the Democratic Ideal (New York: Harper Collins College Publisher, 1995), 9.

203

sosial-budaya.247 Oleh karena itu ideologi bukan sebuah

rumusan kaku yang tidak dapat berubah. Sebagai jawaban

terhadap tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan

bangsa, ideologi dapat berubah. Demikian juga terorisme

bukanlah sebuah bentuk aksi kekerasan yang tetap ada,

meskipun keberadaannya sudah muncul sejak manusia pertama,

Namun is akan mengalami perubahan dan bahkan musnah sama

sekali apabila faktor pendorong munculnya terorisme juga

hilang seiring dengan perubahan sosial-budaya sehingga

dapat dilihat korelasi antara orientasi ideologi dan

aktifitas teror yang dilakukan oleh sebagian orang Islam.

Dilihat dari target atau sasarannya, aksi terorisme

ada dua kategori: Pertama, terorisme langsung (direct

terrorism) yaitu teroris yang berusaha melakukan serangan

langsung kepada sasaran utama, seperti orang-orang yang

memegang kekuasaan atau memiliki jabatan seperti presiden,

raja, ratu, para menteri dan pejabat-pejabat lainnya.

Kedua, terorisme tidak langsung (indirect terrorism) yaitu247Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 3; George A. Theodorson dan Archilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology (New Yoek: Barnes & Noble Books, 1969), 195.

204

terorisme yang berusaha menyerang bukan sasarannya secara

langsung atau antara, namun orang atau objek lain, seperti

melakukan pengeboman pada fasilitas pemerintahan,

perampokan bank, penculikan terhadap orang penting, dengan

tujuan untuk mempengaruhi kredibilitas pemerintah,

mendeskriditkan atau menunjukkan ketidakmampuan pemerintah

dalam menciptakan rasa aman bagi warganya.248

Dari dimensi-dimensi yang ada di dalam terorisme di

atas, dapat dipahami terorisme secara lebih jelas dan

mencakup berbagai aksi terorisme yang ada selama ini,

bahwa ada banyak dimensi yang perlu diperhatikan untuk

mendefinisikan terorisme sebagai suatu fenomena.

b. Latar Belakang Terorisme

Mengapa terorisme itu muncul? Pertanyaan seperti ini

sudah lama muncul dan didiskusikan, jauh sebelum isu

terorisme mencuat belakangan sejak tragedi 11 September

2001. Memang tidak semua penjelasan itu memuaskan.

Misalnya, dalam pandangan Martha Crenshaw, selama ini

248Edward Hyams, Terrosist and Terrorism (London: J.M. Dent & SonsLtd, 1975), 10.

205

penjelasan yang sering muncul ke permukaan lebih banyak

didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak jelas.249

Terlepas dari pandangan yang kritis dari Crenshaw

itu, selama ini, paling tidak terdapat tiga kategori

teoritis yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya

terorisme: struktural, psikologis dan pilihan rasional

(rational choice).250 Secara umum, teori-teori struktural

mencoba mencari penjelasan sebab-sebab terjadinya

terorisme melalui konteks lingkungan, politik, sosial dan

struktur ekonomi suatu masyarakat. Teori-teori psikologis,

secara spesifik, mencoba menjawab pertanyaan mengapa

individu-individu itu tertarik bergabung dengan organisasi

teroris dan perilaku teroris lainnya yang merupakan

akumulasi dari perilaku individual. Terakhir, teori-teori

pilihan rasional mencoba menjelaskan partisipasi di dalam

organisasi teroris dan pilihan menempuh jalan terorisme,

249Martha Crenshaw, "The Causes of Terrorism" dalam ComparativePolitics, 13 (4), (1981), 379-399.250Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 20; JeffreyIan Ross, “Structural Causes of Oppositional PoliticalTerrorism: Towards a Causal Model,” Journal of Peace Research, 30 (3),(1993), 217.

206

melalui penjelasan kalkulasi untung rugi (cost and benefit).

Kategorisasi itu dalam praktiknya memang tidak kaku

(rigit). Dalam perspektif Jeffrey Ian Ross, teori-teori

pilihan rasional mengenai terorisme dapat menjadi bagian

dari teori psikologis, ketika seseorang

mengkonseptualisasikannya sebagai teori motivasi

(motivational theory). Sementara itu, penjelasan dari Crenshaw

yang dimasukkan oleh Ross sebagai bagian dari teori-teori

struktural, juga memasukkan penjelasan kalkulasi sebagai

sebab-sebab terjadinya terorisme dari konteks pilihan

rasional.

Di dalam teori-teori struktural, sebab-sebab

terjadinya terorisme dikelompokkan menjadi dua. Pertama,

faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya terorisme

secara tidak langsung. Menurut Crenshaw, menyebutnya

sebagai faktor-faktor prakondisi (preconditions) atau disebut

Ross sebagai faktor-faktor permissive, yaitu faktor-faktor

yang mempengaruhi munculnya terorisme dalam kurun waktu

yang lama. Kedua, faktor-faktor yang mempercepat

207

(precipitant), yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan

peristiwa-peristiwa yang merangsang munculnya terorisme

atau yang disebut sebagai faktor-faktor yang memiliki

kontribusi langsung terhadap munculnya terorisme.

Adapun yang termasuk faktor-faktor prakondisi

terjadinya terorisme, antara lain: Pertama, modernisasi.

Modernisasi merupakan faktor penting bagi munculnya

kompleksitas sosial ekonomi di dalam masyarakat, termasuk

munculnya teknologi informasi dan transportasi yang

semakin canggih. Terorisme dapat muncul seiring dengan

meningkatnya kompleksitas masyarakat ini. Kedua, lokasi

geografis. Kasus-kasus terorisme selama ini lebih banyak

terjadi di daerah perkotaan daripada di pedesaan. Hal ini

berkaitan dengan lebih banyaknya fasilitas yang mendukung

beroperasinya aksi-aksi terorisme di perkotaan daripada di

pedesaan. Ketiga, sistem politik dan sikap pemerintah.

Dalam analisis sejumlah teoritisi sosial, aksi-aksi

terorisme justru sering terjadi di negara-negara

demokratis.251 Walter Laqueur menyebutkan bahwa di samping251Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 20.

208

terdapatnya beragam motif dan tujuan dari terorisme,

kemunculan terorisme memiliki konteks umum yang

sama.”Mereka dikaitkan oleh munculnya demokrasi dan

nasionalisme”.252 Sementara, Crenshaw melihat bahwa aksi-

aksi terorisme dapat terjadi, jika pemerintah tidak

memiliki kemampuan atau tidak serius melakukan pencegahan

terhadap aksi-aksi terorisme.

Adapun faktor-faktor yang mempercepat terjadinya

terorisme adalah: Pertama, terdapatnya sesuatu yang

dianggap tidak adil secara kongkrit (grievances) pada

kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok minoritas

yang diperlakukan secara tidak adil, diskriminatif atau

dipinggirkan oleh kelompok besar atau berkuasa. Situasi

ini dapat melahirkan perasaan deprivasi relatif yang

ujung-ujungnya dapat memicu munculnya aksi-aksi terorisme

yang tujuannya untuk menuntut keadilan. Kedua,

tersumbatnya saluran partisipasi politik. Rejim yang

menyumbat saluran partisipasi politik, tentu saja dapat

252Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brown andCompany, 1987), 15.

209

melahirkan kekecewaan-kekecewaan yang besar. Ketika

saluran itu semakin tertekan, kelompok yang ingin

merombaknya dapat melakukan melalui cara-cara kekerasan,

termasuk terorisme. Bahkan, jika terdapat akumulasi antara

elit politik yang kecewa dengan massa yang bersifat passive

akan dapat merangsang terjadinya terorisme.253 Ketiga,

faktor-faktor sosial, kultural dan sejarah yang dapat

mempermudah munculnya sikap, keyakinan, pendapat, nilai-

nilai, kebiasaan, mitos dan tradisi yang memungkinkan

berkembangnya nasionalisme, fanatisme, kekerasan dan

terorisme di dalam kelompok-kelompok tertentu. Hal ini

termasuk terorisme yang bermotif agama. Keempat, fasilitas

persenjataan karena terorisme menerapkan kekerasan dalam

aksi-aksinya sehingga dapat mempercepat meletusnya

terorisme. Pada masa lalu, persenjataan tentu masih

sederhana. Namun sekarang, teroris telah menggunakan

persenjataan yang canggih, seperti pemusnah massal atau the

weapons of mass destruction (WMD).253Martha Crenshaw, "The Causes of Terrorism" dalam ComparativePolitics, 13 (4), (1981), 379-399.

210

Teori-teori psikologi, lebih banyak mencoba

menjelaskan sebab-sebab terjadinya terorisme dalam konteks

individu dan kelompok sebagai kumpulan individu-individu.

Problematika yang menjadi fokus kajian psikologi di dalam

masalah terorisme, antara lain: proses rekruitmen dan

pengenalan dalam organisasi teroris, kepribadian,

keyakinan, motivasi dan karier sebagai teroris.

Dari latar belakang, analisis psikologis menemukan

beraneka ragam fakta. Di negara-negara berkembang, orang-

orang yang masuk ke dalam organisasi teroris itu sering

berlatar belakang pengangguran dan individu yang secara

sosial teralinasi. Meskipun demikian, ada juga yang

termotivasi untuk memanfaatkan keahlian yang dimilikinya,

seperti: keahlian merakit dan meledakkan bom. Di kalangan

yang lebih terdidik, mereka lebih banyak didasari motif-

motif politik dan keagamaan. Sementara di negara-negara

Barat, para teroris biasanya mencakup kelompok intelektual

dan idealis.254 Eric D. Shaw mengembangkan “The Personal

254Hutdon, http://www.log.gov//rr/fdr/Sociology- psychology2002Terrorism.htm: 25.

211

Pathway Model” untuk menjelaskan keterlibatan individu-

individu di dalam terorisme. Dalam model ini, orang-orang

yang menjadi teroris biasanya direkrut dari kelompok

tertentu, yaitu kelompok yang disebut memiliki resiko.

Orang-orang yang mudah direkrut menjadi teroris, yakni

orang-orang yang mengalami gangguan awal dalam

kepribadiannya (early damage of their self-esteem).255

Dalam analisis kejiwaan, orang-orang yang terlibat

terorisme sering digambarkan sebagai orang yang tidak

normal, atau dalam perspektif Maxwell Taylor sebagai orang

yang secara mental sakit atau fanatik. Teroris Klaus

Junschke adalah contoh seorang teroris yang bermental

sakit & sebagai pasien sakit jiwa yang masih menjadi

anggota the Socialist Patients' Collective (SPC), sebuah organisasi

teroris di Jerman yang pernah bekerjasama dengan the Baader-

Meinhof Gang. Sedangkan, terorisme yang bermotif keagamaan

banyak terdapat orang-orang yang tergolong fanatik.

Jika aksi terorisme dalam perspektif psikologis

dilakukan orang yang sedang sakit mental, maka dalam255Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 22.

212

perspektif teori pilihan rasional aksi itu dilakukan

karena memperhitungkan perilakunya melalui model kalkulasi

untung rugi (cost and benefit). Contoh aksi terorisme yang

mempertimbangkan untung rugi adalah kelompok-kelompok

sempalan di wilayah Asia Selatan, seperti di Punjab,

Kashmir, Assam di India dan Srilangka.256 Teori Pilihan

Rasional juga melihat perilaku individu sebagai refleksi

dari pertimbangan tentang nilai produk tertinggi dari

preferensi-preferensi yang dipertimbangkan. Dan Moore

membedakan dua jenis pilihan rasional yang dilakukan oleh

individu yang melakukan aksi terorisme. Pertama, ketika

individu dalam memutuskan perilakunya, tanpa

mempertimbangkan perilaku orang lain. Perilaku itu disebut

dengan perilaku “non-strategic” yang dikaitkan dengan

teori “subjective expected utility”. Kedua, ketika

keputusan yang diambil itu didasarkan pada penglihatan

terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Perilaku ini

256Subrata K. Mitra, "The Rasional Politics of CulturalNationalism: Subnational Movement of South Asia in ComparativePerspective" dalam British Journal of Political Science, 25 (1), (1995), 55-77.

213

disebut dengan perilaku “strategic”.257

Di dalam realitas empiris, masing-masing kelompok

teori tersebut tidak dapat bergerak sendiri-sendiri karena

antara teori tersebut dapat saling menutupi kekurangan

(compensation) untuk menjelaskan fenomena munculnya

terorisme. Di dalam menjelaskan fenomena terorisme

keagamaan, misalnya, mungkin kelompok teori struktural dan

psikologi dapat lebih leluasa untuk menerangkannya. Namun,

mungkin masalah costs and benefits juga menjadi bahan

pertimbangan dari pelaku terorisme keagamaan. Benefits yang

menjadi dasar mungkin bukan hanya bersifat material,

melainkan juga spiritual, seperti harapan untuk masuk

surga setelah mati nanti.

Uraian-uraian di atas pada dasarnya dapat ditarik

dalam kerangka teori yang lebih besar (grand theory), yaitu

antara teori-teori yang dibangun atas dasar pendekatan

struktural dan teori-teori mengenai individu. Teori-teori

sosial yang klasik maupun modern, pada dasarnya hendak

257Will H. Moore, “Rational Rebels: Overcoming Free RiderProblem,” Political Research Quarterly, 48 (2), 1995, 421.

214

menjawab: apakah suatu tindakan, termasuk aksi kekerasan

kolektif dan terorisme itu ditentukan oleh individu secara

otonom atau struktur yang melingkupinya, baik struktur

dalam pengertian nilai, budaya, ekonomi maupun politik.

Teori yang lebih condong pada penjelasan pertama,

seperti interaksionisme simbolis, etnometodologi,

fenomenologi dan semacamnya masuk dalam kelompok teori-

teori sosiologi mikro. Sedangkan, teori yang lebih condong

pada penjelasan kedua, seperti institusionalisme,

fungsionalisme struktural, strukturalisme dan semacamnya

dapat masuk ke dalam kelompok teori-teori sosiologi

makro.258

Dalam kaitannya dengan kekerasan kolektif, perdebatan

yang muncul biasanya berkaitan dengan apakah kekerasan itu

dilihat sebagai sesuatu yang bersifat inherent/inherency atau

contingent/contingency. Sesuatu disebut inheren, jika ia akan

selalu terjadi sehingga aktualitas potensi itu hanya dapat

dihalangi, namun tidak dapat dihilangkan. Dalam kerangka258Ian Crab, Teori-Teori Sosial Modern (Jakarta: Rajawali Press, 1985);Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Homewood,Illinois: The Dorsey Press, 1978).

215

inherensi, kekerasan dianggap sebagai suatu fenomena

normal, sebagai salah satu alteranatif untuk menyalurkan

aspirasi dan memperjuangkan tercapainya kepentingan

politik. Oleh karena itu, pertanyaan yang biasa diajukan

para ahli adalah mengapa konflik atau kekerasan tidak

muncul sesering yang seharusnya. Kekerasan atau perilaku

agresif lainnya, secara biologis dianggap sebagai sesuatu

yang inheren pada diri manusia, sebagaimana juga terdapat

pada hewan.259

Sebaliknya, sesuatu dianggap contingent apabila ia

tergantung pada tersedianya kondisi-kondisi tidak lazim

(unusual conditions) yang terjadi secara acak atau mengandung

banyak unsur kebetulan. Kontingensi adalah sesuatu yang

tidak biasa atau tidak rutin sehingga memerlukan

penjelasan. Meskipun begitu, kontingensi bukan berarti

indeterminasi (indeterminacy). Sebab, kondisi-kondisi umum

seperti kenaikan atau penurunan misalnya, memungkinkan

terjadinya suatu kekerasan politik. Dengan begitu,

259Konrad Lorenz, On Aggression (New York: Harcourt, Brace andWorld Inc, 1996).

216

kontingensi bukanlah sesuatu yang bersifat acak (random)

atau suatu peristiwa (kekerasan kolektif atau terorisme)

yang selalu tidak dapat dikontrol keberadaannya.260

Jika cara pandang inherensi dan kontingensi

dikontraskan, maka akan tergambar sebagaimana yang

terlihat dalam tabel berikut:261

Tabel 3.

Kontras antara Inherensi dan Kontingensi262

INHERENSI KONTINGENSI

1. Sifat dasar manusia dalamkehidupan adalahmemaksimalkan pengaruh dankekuasaan dalam prosespembuatan dan pelaksanaankeputusan. Berbagai caraditempuh untuk mencapaitujuan ini, termasuk melalui

1. Sifat dasar manusia dalamkehidupan adalah ke arah“perdamaian”, resolusi ataumenghindari konflik yangmenggunakan kekerasan.Kekerasan dianggap sebagaicara-cara kompetisi yang tidaknormal.

260Harry Eckstein, "Theoritical Approach to Explaining CollectivePolitical Violence" dalam Handbook of Political Conflict: Theory andResearch, ed. Ted R. Gurr (New York: The Free Press, 1980), 138-140.261Muhammad Asfar, ''Kekerasan Politik Pemilu 1999" dalam Prisma,Nomor 1, 1998.262Keith Webb, “Conflict: Inherent and Contingent Theories” dalamWorld Encyclopedia of Peace, Volume 1 (Pegamon: Oxford, 1986), 169 –174; Muhammad Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, ed.Muhammad Asfar (Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM(PusDeHAM) dan Jawa Pos Press, 2003), 25 – 26.

217

kekerasan.2. Karena kekerasan dianggapnormal, persoalan teoriinherensi adalah mengapakekerasan tidak sesering yangsemestinya.

2. Persoalan mendasar teorikontingensi adalah mengapakekerasan terjadi danbagaimana menjelaskanfrekuensinya.

3. Pilihan menggunakankekerasan atau tidak adalahpersoalan taktik, yangmenyangkut perhitungan untungrugi. Artinya, para pelakukerusuhan adalah aktorrasional.

3. Pilihan penggunaankekerasan sangat bersifat“afektif” tidak berdasarkanuntung rugi. Artinya parapelaku kerusuhan adalah aktoryang mengalami deprivasi.

4. Kekerasan dipilih secaraintrinsik, yaitu berdasarkanmotivasi, kalkulasi, dankeinginan yang ada dalam diriaktor atau para pelaku.

4. Kekerasan terjadi secaraekstrinsik, yakni bersumberdari sebab-sebab yang beradadi luar pelaku, dan olehfaktor-faktor kontekstual ataukontingen.

5. Faktor-faktor objektif,seperti perimbangan kekuatanpemaksa dan kondisi-kondisiyang memudahkan keberhasilanpenggunaan kekerasanmerupakan penjelas utamaterjadinya kekerasan.

5. Karena kekerasan bersifatafektif maka perimbangankekuatan pemkas dan kondisi-kondisi yang memudahkankeberhasilan penggunaankekerasan mempunyai daya,jelas sangat kecil.

Berdasarkan tabel di atas, secara sederhana dapat

dikatakan bahwa inherensi melihat kekerasan sebagai suatu

tindakan yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh faktor-

faktor yang ada dalam pelaku kekerasan, sementara

kontingensi menjelaskan kekerasan dari faktor-faktor yang

ada di luar pelaku kekerasan. Betapapun, seringkali

218

bercampur dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu, bagi

Eckstein, persoalannya bukanlah mana yang benar di antara

keduanya, namun mana yang lebih dapat menjelaskan suatu

peristiwa (kekerasan) secara lebih baik. Inherensi dan

kontingensi bukanlah persoalan kubu-kubu filosofis yang

perlu dipertentangkan satu sama lain, namun lebih sebagai

persoalan pilihan strategi penelitian.263

Cara pandang yang menempatkan kekerasan sebagai

sesuatu yang bersifat inherensi atau kontingensi pada

dasarnya sejajar dengan persoalan utama dalam perdebatan

teoritis di kalangan ilmuwan sosial, yakni apakah suatu

kekerasan kolektif itu diletakkan dalam tataran agen atau

struktur. Dalam tataran agen, kekerasan dipahami sebagai

suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan

sengaja untuk mereproduksi dan mentransformasi yang

relatif otonom untuk melakukan tindakan, dan aksi politik

koleltif dipahami sebagai produk dari ilihan rasional

263

?Keith Webb, "Conflict: Inherent and Contingent Theories" dalamWorld Encyclopedia of Peace, Volume 1 (Oxford: Pegamon, 1986), 169-174.

219

seseorang. Oleh karena itu, penjelasan terhadap kekerasan

kolektif selalu silihat dari “faktor-faktor dalam” para

pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor dan kendala

struktural serta proses-proses sosial lainnya. Beberapa

penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis

agen ini diantaranya dilakukan oleh Rule ketika

menjelaskan perilaku kolektif oleh Berk ketika menggunakan

pendekatan permainan untuk menjelaskan kerusuhan massa.264

Sebaliknya, dalam tataran struktur, kekerasan

dipahami sebagai hasil dari proses hubungan-hubungan

sosial atau struktur dimana para pelaku tersebut berada.

Nilai dan norma dipandang sebagai “imperatif struktural”

yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang

berperilaku selaras dengan atau fungsional terhadap

sistem. Oleh karena itu, penjelasan terhadap kekerasan

kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor luar” para

perilaku kekerasan dan mengabaikan faktor-faktor minat,

motivasi, dan strategi. Tindakan agen (dalam bentuk

264James Rule, Theories of Civil Violence (Berkeley: University ofCalifornia Press, 1988), 170-199.

220

kekerasan politik kolektif) dianggap tidak lebih dari

artefak atau produk struktur.265 Beberapa penjelasan

teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis struktur

ini diantaranya dilakukan oleh Gurr, Skocpol dan Davies.266

Secara ontologis, persoalan agen dan struktur pada

dasarnya mempertanyakan sejauhmana tindakan-tindakan

individu merupakan proses sosialisasi dan produk struktur

yang hanya dapat dikontrol secara minimal dan sejauhmana

tindakan-tindakan tersebut merupakan produk pilihan

rasional yang sengaja diambil oleh individu sebagai subjek

yang otonom. Secara epistemologis, persoalan agen dan

struktur pada dasarnya berkisar pada upaya untuk

menjelaskan suatu efek peristiwa tertentu sebagai

konsekuensi tindakan dan niat aktor yang terlibat atau

265Piotr Sztompka, "Evolving Focus on Human Agency inContemporary Social Theory" dalam Evolving Focus on Human Agency andStructure: Reorienting Social Theory, ed. Piotr Sztompka (Switzerland:Gordon and Breach, 1994), 25-34.266Ted R. Gurr, Why Men Rebel (Princeton: Princeton UniversityPress, 1970), 3-58; Theda Skockpol, Social Revolution the Modern World(Cambridge: Cambridge of University Press, 1994), 99-119; JamesC. Davies, ''Toward a Theory of Revolution'' dalam ComparativePolitics: Notes and Readings, ed. Roy C. Macridis and Bernard E. Brown(Homewood: The Dorsey Press, 1968).

221

produk dari struktur dan hubungan-hubungan sosial di mana

para aktor tersebut berada.267Jika kedua kerangka analisis

di atas dikontraskan, maka akan terlihat dan tergambar

dalam tabel 2:

Tabel 4.

Kontras antara Agen dan Struktur268

AGEN STRUKTUR

1. Individu adalah agen yangtindakannya secara sadar dansengaja mereproduksi danmentransformasi realitassosial.

1. Masyarakat terdiri atashubungan-hubungan sosial atau“struktur” yang menjadi kondisiinteraksi dan hasil tindakanagen-agen.

2. “Penjelasan dari dalam”,mengabaikan dan menyepelekanfaktor dan kendalastruktural dan proses-prosessosial.

2. “Penjelasan dari luar”,mengabaikan dan menyepelekanfaktor-faktor motivasi, niat,strategi, dan aksi agen karenadianggap tidak lebih dariartefak atau produk struktur.

3. “Masalah Weber”, yaituperhatian pada individu danaksi manusia penentustruktur sosial.

3. “Masalah Durkheim”, yaituperhatian pada masyarakatsebagai sistem yang “berdikari”,sedangkan individu dianggapsebagai emanasi, representasi,dan epifenomena masyarakat.

267Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus,” 27. 268Anthony Giddens, The Constitution of Society (Cambridge: The PolityPress, 1984), 69; Muhammad Asfar, “Terorisme: Sebab,Perkembangan dan Kasus” dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren,Terorisme dan Bom Bali, ed. Muhammad Asfar (Surabaya: Pusat StudiDemokrasi dan HAM (PusDeHAM) dan Jawa Pos Press, 2003), 28 –29.

222

4. Realitas dipandang“rapuh”, dapat dirundingkan(“bargaining for reality”)dan terbentuk sebagaikonstruksi individu-individuyang subjektif.

4. Nilai dan norma dipandangsebagai “imperatif struktural”yang terinternalisasi dalam diriindividu, sehingga orangberperilaku selaras dengan, ataufungsional terhadap sistem.

5. Hubungan yang monocausaldan sederhana mengaitkanagen dengan struktur: Agenmembentuk struktur.

5. Hubungan yang monocausal dansederhana mengaitkan strukturdengan agen: Struktur membatasidan bahkan menentukan keagenan.

6. Penekanan pada prakti-praktik mikro (micro-practices) dalam interaksisosial yang ditandai dengankeunikan dan kekayaaninteraksi sosial.

6. Penekanan pada aksi yangselalu “tertanam” dalam strukturyang lebih luas (macro-embeddedness).

7. Untuk menjelaskan suatuperistiwa dan akhiri denganindividu.

7. Struktur sosial politikdianggap sebagai alpa dan omegapenjelasan tidakan aktor.

8. Voluntarisme, yaknimemahami peristiwa danfenomena politik denganmemperhatikan niat danmotivasi aktor.

8. Determinisme danteleologisme, yakni pandanganyang menempatkan proses-prosessosial politik dinisbatkankepada ‘historical end-state’,seperti hubungan-hubunganekonomi dengan Marxisme.

9. Penekanan pada bagian-bagian yang membentukkeseluruhan, sepertitindakan individu.

9. Penekanan pada keseluruhanyang mempengaruhi bagian-bagianyang menjadi unsurnya.

Yang menjadi persoalan, tindakan seseorang seringkali

tidak dengan mudah dapat diidentifikasi dan ditempatkan

dalam tataran agen atau struktur. Penjelasan-penjelasan

teoritis dalam tataran agen seringkali bersifat

223

voluntaristik dan cenderung menempatkan individu sebagi

subjek yang membentuk dan mengubah struktur, seolah-olah,

individu hidup dalam kevakuman sosial. Sebaliknya,

penjelasan-penjelasan teoritis yang menpatkan struktur

sebagai faktor penjelas umumnya terlalu deterministik dan

cenderung menempatkan individu hanya sebagai objek dari

struktur, seolah-olah individu seperti robot yang tidak

mempunyai kehendak bebas.

Di samping itu, dalam realitas empirik, antara agen

dan struktur keduanya seringkali bertumpang tindih satu

sama lain. Untuk itu, beberapa ilmuwan mencoba “memadukan”

kedua cara pandang. Bhaskar melihat masyarakat sebagai

kondisi bagi keagenan manusia, namun pada saat yang sama

ia juga merupakan produk (reproduksi) dari keagenan

manusia. Di samping struktur dianggap sebagai kendala,

sekaligus juga dianggap sebagai peluang. Menurut Archer,

“Agency leads structural and cultural elaboration, but is

itself elaborated in the process”.269

269M. S. Archer, Morphogenesis of Social Agency (Uppsala: SCASSS,1989).

224

Cara pandang yang sama juga dapat diikuti dari jalan

pikiran Bourdie.270 Ia melihat bahwa praktik, terutama

praktik budaya merupakan hasil hubungan antara habitus

(struktur sosial yan sudah terinternalisasi) dan field

(jaringan hubungan yang melibatkan posisi agen dan

struktur). Field mengkondisikan habitus, sementara habitus

membentuk field sebagai sesuatu yang bermakna. Formula

sederhana yang ditawarkan Bourdie adalah: P = [ (h) (c) ]

+ f

P = practical c = capital

h = habitus f = field

Pada umumnya, dalam ilmu politik dan ilmu sosial

upaya “memadukan” kedua cara pandang telah dilakukan

secara sistematik oleh Giddens. Bagi Giddens, struktur

tidak hanya menimbulkan kendala (constraint) bagi tindakan

manusia, namun ia juga dapat menciptakan peluang untuk

270Pierre Bourdie, Distiction: A Social Critique of the Judgment of Taste(Cambridge: Harvard University Press, 1994).

225

melakukan tindakan secara otonom. Ia menawarkan kerangka

konseptual/teori yang diberi nama teori strukturasi. Teori

strukturasi pada dasarnya mengandung empat perangkat

konsep, yaitu dualisme struktural (duality of structure),

dualisme subjek-objek, dimensi ruang dan waktu, dan

pemahaman ganda (double hermeneutic).271

Dualisme struktur pada dasarnya memandang bahwa

struktur dan individu-aktor (agent) berinteraksi dalam

proses produksi dan reproduksi institusi serta hubungan-

hubungan sosial. Artinya, agen merupakan hasil (outcome)

dari struktur, namun pada saat yang bersamaan agen

tersebut juga menjadi mediasi bagi pembentukan struktur

baru. Individu atau agen tidak hanya sekedar menjadi

penanggung beban dan selalu menyesuaikan dengan struktur,

namun juga memiliki pengetahuan mengenai realitas dan

berdasarkan pemahaman itu ia bertindak untuk mengubah

realitas di sekitarnya. Pernyataan yang diajukan ialah

271Anthony Giddens, Central Problem in Social Theory (London: Macmillan,1979); Idem, The Constitution of Society (Cambridge: The Polity Press,1984); Idem, The Global Third Way Debate (Cambridge: The Polity Press,2001).

226

“The structural properties of social system are both the

medium and the out come of the practices that constitue

those systems”.272

Perangkat konsep kedua adalah subjek-objek. Dualisme

subjek-objek ini pada dasarnya menyangkut orientasi agen

atau individu-aktor terhadap struktur, yang dapat

dibedakan menjadi tiga. Pertama, Orientasi Rutin-Praktis,

yaitu para aktor yang secara psikologis hanya mencari rasa

aman. Mereka ini hanya berperan sebagai medium untuk

mereproduksi struktur belaka, sama sekali tidak ada upaya

untuk mempersoalkannya, apalagi mengubah struktur yang

ada. Kedua, Orientasi Teoritik, yaitu para aktor yang

memiliki kemampuan memelihara jarak dengan struktur

sehingga ia memiliki pemahaman yang jelas terhadap

struktur dan mampu merespon apa yang diciptakan struktur

kepadanya. Ketiga, Orientasi Strategik Pemantauan, yakni

para aktor yang tidak hanya mampu menjaga jarak, namun

juga berkepentingan terhadap apa yang dilahirkan struktur

sehingga mereka dapat menanggapi struktur. Hanya pada272Giddens, The Constitution of Society, 69.

227

kelompok kedua dan ketiga yang cenderung melahirkan

dualisme subjek-objek.

Perangkat konsep ketiga adalah dimensi ruang dan

waktu. Artinya, setiap institusi dan hubungan-hubungan

sosial berlangsung dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Interaksi sosial tidak hanya berlangsung di dalam dan

dibentuk oleh ruang dan waktu sebagai lingkungan

eksternal, namun pada gilirannya nanti ruang dan waktu

tersebut akan menjadi bagian internal bagi hubungan-

hubungan sosial, karena telah memberi makna sosial bagi

interaksi tersebut.

Perangkat konsep keempat tentang metode untuk

mengungkapkan interaksi antara struktur dan agen dalam

dimensi ruang dan waktu, yaitu Metode Pemahaman Ganda.

Metode ini merupakan pemahaman ilmuwan tentang realitas

(the second order understanding). Jika aliran positivis

memandang kalangan awam sebagai objek pengetahuan,

sedangkan teori ini menganggap awam sebagai objek dan

subjek sekaligus. Kalangan awam dipandang memiliki

228

kemampuan untuk memahami realitas sekelilingnya, sekaligus

mampu menggunakan pemahaman tersebut untuk bertindak.

c. Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi Terorisme

Dalam wacana Islam, banyak orang mengkaitkan ideologi

terorisme dengan doktrin jihad, yang dalam Kristen

disamakan dengan perang salib.273 Ada 35 kali kata jihad

disebutkan dalam al-Qur'an.274 Dalam tradisi Islam, jihad

memiliki makna beragam. Namun, secara garis besar jihad

dibagi menjadi dua konsep: Pertama, perjuangan kaum

muslimin melawan hawa nafsu atau perjuangan melawan diri

sendiri (jihad al-nafs), yang disebut jihad al-akbar. Kedua,

konsep politik, diartikan sebagai konsep “perang yang

adil,” jihad al-asghar. Menurut Bonney, kedua konsep yang

saling berdampingan ini selalu berubah dan berkembang

sepanjang waktu. Pertama, pada awal Islam ketika batas

daerah kekuasaan Islam belum ada, jihad diartikan sebagai

sebuah konsep perang. Namun arti jihad ini berubah ketika273Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 13; LihatMajid Khadduri, The Islamic Law of Nations: Shaybanz's Siyar (Baltimore,Maryland: The John Hopkins Press, 1966), 15.274Hanna E. Kassis, A Concordance of the Qur'an (Berkeley, CA.:University of California Press, 1983), 587-588.

229

pemerintahan Islam berdiri dan telah menentukan batas

willayah kekuasaannya. Proses selanjutnya, dunia Islam

diakui dan kenyataannya hidup rukun dengan negara tetangga

yang bukan Muslim. la menegaskan bahwa penggunaan konsep

jihad masa awal Islam untuk mendefinisikan arti “perang”

dalam era modern Islam merupakan suatu yang anakronistis,

sekaligus merusak reputasi Islam.275

Dalam teori hukum Islam klasik, perang itu terjadi

antara dar al-Islam yang mengalahkan dar al-harb. Keadaan

perang, seharusnya berakhir bersamaan dengan lenyapnya dar

al-harb. Pada tahapan ini, dar al-Islam yang menjunjung tinggi

kedamaian, menjalankan kekuasaannya di suatu kawasan. Oleh

karena itu, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama Islam itu

adalah mencapai kedamaian yang permanen daripada

melangsungkan perang terus menerus. Jadi dalam teori

Islam, jihad merupakan alat yang sah untuk sementara waktu

guna mencapai tatanan masyarakat yang ideal menurut Islam

melalui upaya perubahan dari dar al-harb ke dar al-Islam. Dalam275Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 14; LihatRichard Bonney, Jihad: From the Qur'an to bin Laden (New York: PalgraveMacmillan, 2004), 21-110.

230

praktiknya, kontak antara kaum Muslim dan non-Muslim,

personal maupun resmi, dilakukan dengan cara damai,

meskipun terjadi juga peperangan di kawasan lain antara

kaum Muslim dengan negara lain. Jadi, dalam waktu yang

sama, dua kondisi seperti yang disebutkan di atas, dar al-

Islam dan dar al-harb, terus berlangsung.

Untuk memahami makna jihad, dan statusnya dalam

ajaran Islam, maka orang harus melihat juga aspek

keyakinan Islam dalam konteks historis berkaitan dengan

munculnya jihad. Oleh karena itu, perbedaan di kalangan

para ulama dalam memahami teks tentang jihad dapat

dimaklumi, termasuk bagaimana mereka menginterpretasikan

kata jihad. Perbedaan dalam beberapa aspek ajaran Islam

telah lama ada dan sangat kurang tepat jika konsensus

selalu dipandang sebagai satu-satunya cara pandang dalam

memahami doktrin ajaran Islam. Di dalam al-Qur'an, para

fuqaha mengklasifikasikan makna jihad dalam empat tahapan:

pertama,276 menyebarkan Islam dengan cara damai dan non-

276al-Qur'an, al-Hijr (XV):94 dan 85.

231

konfrontasi; kedua,277 menghadapi kaum kafir dengan

argumentasi; ketiga,278 memerangi orang kafir dengan kondisi

tertentu dan; keempat, 279memerangi orang kafir dengan tanpa

syarat.280

Rueven Firestone memberikan pandangan lain tentang

teori evolusi jihad ini, dan mengusulkan pengelompokan

yang berbeda.281 Pertama adalah kelompok ayat yang berkaitan

dengan cara-cara non-militan dalam menyebarkan dan

mempertahankan Islam, terutama ditujukan kepada ahl al-kitab,

seperti dalam al-Qur'an al-`Ankabut (XXIX): 46 dan al-

Shura (XLII): 15. Dalam ayat-ayat ini ditegaskan bahwa

Nabi dan kaum Muslimin tidak memiliki peran untuk

menerapkan hukuman atau melakukan perang dengan lawan

Islam seperti kaum Yahudi dan Nasrani: “Tuhan kami dan

Tuhanmu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah

277Ibid, al-Nahl (XVI):125 dan al-'Ankabut (XXIX):46.278Ibid, al-Hajj (XXII):39 dan al-Baqarah (II):193.279Ibid, al-Baqarah (II):244.280Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 15. LihatAyatullah Murtaza Mutahhari, Jihad: The Holy War of Islam and Its Legitimacyin the Qur'an (Tehran: Islamic Propogation Society, 1988), 74-75.281Rueven Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (Oxford: OxfordUniversity Press, 1999), 69.

232

diri.” Prinsip ini yang kemudian mengakumulasi pada ayat

al-Qur'an, al-Kafirun (CIX): 6: “Bagimu agamamu dan bagiku

agamaku,” yang dipahami sebagai prinsip ajaran yang

menerima pluralitas, meskipun maksud awalnya adalah

memberikan solusi perbedaan yang tidak terjembatani antara

Islam dan keyakinan orang-orang kafir Quraisy Mekah.282

Kedua adalah kelompok ayat-ayat yang memberikan batasan-

batasan di medan peperangan, misalnya al-Qur'an, al--

Baqarah (II):190, “Berperanglah di jalan Allah terhadap

mereka yang memerangimu, namun jangan melampui batas,

karena Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas,”

misalnya termasuk larangan membunuh wanita, anak, dan

penduduk sipil, serta larangan berperang pada bulan-bulan

tertentu. Ketiga adalah kelompok ayat yang dinilai masih

menjadi perdebatan antara perintah Tuhan dengan respon

kaum Muslimin dan termasuk yang terbesar di antara

kelompok yang lain (al-Qur'an, al-Baqarah (II): 216; Ali282Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 15; LihatAbdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (New York:Oxford University Press, 2001), 36; Yohanan Friedmann, Toleranceand Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition (Cambridge:Cambridge University Press, 2000), 56, 88.

233

'Imran (III): 156, 167-168; al-Nisa' (IV): 72-75, 77, 95;

al-Taubah (IX): 38-39, 42). Keempat adalah kelompok ayat

yang dengan tegas memerintahkan perang di jalan Allah.

Karena itu al-Qur'an, al-Baqarah (II):191 adalah salah

satu ayat yang sering dikutip oleh kelompok Islam garis

keras untuk membenarkan serangan mereka kepada kaum non-

Muslim guna menegakkan pemerintahan Islam.

Secara umum, pemaknaan jihad melahirkan dua kelompok

penting, baik di kalangan ulama maupun kaum kebanyakan (al-

awamun). Kalangan ulama madhab Maliki memahami jihad dalam

bentuknya yang moderat. Bagi para fuqaha Imam Abu Sufyan

al-Thawri (Syria), Ibn Shibrimah (Madinah), dan Imam

madhab Maliki lainnya, termasuk pendiri madhab sendiri,

Imam Malik ibn Anas (w. 179/795), jihad bukan merupakan

aspek ajaran pokok (al-asl) yang menentukan sifat hubungan

antara Muslim dan non-Muslim. Sebaliknya, mereka ini

memahami jihad sebagai prinsip non-agresif, seperti

rekonsiliasi, kedamaian, saling membantu untuk mencapai

kepentingan berdasarkan keadilan, keterbukaan, kebenaran,

234

dan kemerdekaan beragama. Al-Thawri bahkan lebih rinci

mengatakan bahwa “memerangi kaum penyembah berhala bukan

sebuah kewajiban kecuali mereka yang mengawalinya. Jika

demikian persoalannya, maka mereka harus diperangi seperti

yang diperintahkan oleh Allah jika mereka (kaum kafir)

memerangimu, bunuh mereka demikian juga firman lain dan

perangi kaum kafir semuanya jika mereka memerangimu.283

Bagi aliran moderat dari fuqaha klasik, kafir bukan

menunjukkan sebuah tindakan agresif melawan yang lain.

Keyakinan merupakan persoalan iman, yang dalam sebuah ayat

dari surat Madaniyah ditegaskan bahwa “tidak ada paksaan

dalam beragama”.284

Ayat ini diinterpretasikan sebagai ayat yang memiliki

makna lebih luas dari sekedar pengakuan kebebasan

seseorang untuk memeluk agamanya sendiri. Kaum non-Muslim

yang tinggal di dar al-Islam harus diberikan kebebasan untuk

hidup dan melaksanakan ajaran agamanya tanpa campur tangan

pihak lain, termasuk dari pemerintah. Pendukung aliran ini283Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 16; lihatBonney, Jihad, 71.284al-Qur'an, al-Baqarah (II):285.

235

umumnya datang dari ulama Hijaz (Mekah dan Madinah) pada

abad kedua Hijriyah, yang pada dasarnya merupakan penerus

dari tradisi pembaharuan hukum Islam pada akhir abad

pertama Hijriyah di Madinah, yakni Said ibn al-Musayyab

(w. 94/712), dan murid serta kawan dekatnya ‘Ata’ ibn Abi

Rabah (w. 114/732). Pandangan mereka tentang damai dan

perang dalam Islam diterima dan diinterpretasikan kembali

oleh fuqaha berikutnya, termasuk Ibn Jurayh (w.150/767),

‘Amr ibn Dinar (w. 172/788), pendiri madhab Maliki, Malik

ibn Anas, dan yang lainnya. Bagi para fuqaha ini, kaum

kafir seharusnya tidak diperangi karena keyakinan mereka.

Karena hal ini akan bertentangan dengan kebebasan memeluk

agama, sebuah prinsip universal yang secara tegas

disebutkan dalam ajaran Islam. Bagi para fuqaha ini,

perang seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an hanya dapat

dilakukan terhadap kaum Arab kafir pada saat Nabi

Muhammad. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap ahl al-kitab

(Yahudi dan Nasrani), kaum Majusi, dan bahkan orang kafir

non-Arab. Namun demikian, mereka tidak keberatan menyeru

236

jihad melawan kaum kafir yang secara sah diidentikkan

sebagai musuh Islam. Perang terhadap mereka ini tidak

hanya dibenarkan, namun juga sah jika kaum kafir sendiri

yang pertama kali memulai melakukan agresi dan kezaliman

terhadap kaum Muslimin.285

Bagi sebagian besar ulama klasik, khususnya pada abad

kedua hijriyah, persepsi tentang kekafiran dalam al-Qur'an

selalu dikaitkan dengan ketidakadilan (zulm), penindasan

('udwan), dan fitnah (fitnah). Pandangan ini membawa pada

asumsi umum bahwa semua kaum kafir adalah musuh Islam,

tanpa penyelidikan lebih jauh apakah mereka benar-benar

penganjur ketidakadilan, penindasan dan fitnah atau tidak.

Dua tokoh dari madhab Hanafi, al-Shaybani (132/749 atau

750-189/805) dan al-Sarakhsi (400/1010-482/1090) adalah

tokoh penting dari kelompok garis keras tentang jihad.286

Berbeda dengan pandangan di atas, bagi kaum radikalis dari

kelompok “garis keras,” kemungkinan berdamai dengan kaum

kafir merupakan sikap yang sulit diterima. Pandangan ini

285al-Qur'an, al-Baqarah (II):190, 193; dan al-Anfal (VIII):39.286Bonney, Jihad, 73.

237

didasarkan pada asumsi bahwa perintah perang yang

disebutkan dalam al-Qur'an secara total telah menghapus

ayat-ayat non-agresif dalam al-Qur'an, termasuk teks yang

mendorong kaum Muslim melakukan perdamaian.287 Di antara

tokoh penting yang mendukung pendapat terakhir adalah

sebagian ulama Basrah dan mufassir Qatada, terkenal dengan

Abu al-Khattab (60/679-117/735), yang mengatakan bahwa al-

Qur'an, al-Anfal (VIII):61 telah dihapus (mansukh) oleh

ayat yang memerintahkan perang (al-Qur'an, al-Taubah (IX):

5). Karena perdamaian atau solusi diplomatik tidak dapat

dilaksanakan, maka jihad menjadi dasar yang kuat bagi

kebijakan hubungan kaum Muslim dengan dunia non-Muslim.

Jihad melawan kaum non-Muslim merupakan sebuah konsekuensi

agama maupun politik yang harus dilaksanakan. Kaum Muslim

tetap berkewajiban melakukan perang tanpa syarat melawan

kaum non-Muslim sampai yang disebut terakhir ini memeluk

Islam atau membayar pajak, sesuai yang diperintahkan al-

Qur'an, dalam surah al-Taubah (IX): 29, sebagai tanda

287al-Qur'an, al-Anfal (VIII):61.

238

penyerahan diri dan loyalitas kepada pemerintahan

Muslim.288 Al-Shafi'i adalah orang pertama yang merumuskan

doktrin jihad melawan orang kafir karena kekafirannya.289

Atas dasar ini jihad kemudian ditransformasikan sebagai

kewajiban kolektif (fard kifayah) bagi kaum Muslim memerangi

kaum kafir. Dasar hukum ini menimbulkan perdebatan di

kalangan pengikut madhab al-Sha-fi'i dan memunculkan

perbedaan pandangan di kalangan fuqaha madhab Hanafi.

Tahawi (w 321/933), lebih dekat pada doktrin Hanafi awal

mengatakan bahwa perang dapat dilakukan, hanya apabila ada

konflik dengan kaum kafir.290 Namun Sarakhsi, komentator

besar karya-karya Shaybani, menerima doktrin al-Shafi’i

bahwa memerangi kaum kafir adalah “tugas tetap sampai

288M.S. bin Jani, "Sayyid Qutb's View of Jihad: An AnaliticalStudy of His Major Works," Disertasi Ph.D, University ofBirmingham, 1998), 121-122.289Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 18; lihatAl-Shafi'i, Al-Umm, vol. IV, (Kairo, 1321-25/1904-8), 84-85.290Jihad memang sebuah tugas, namun kaum Muslim bolehmeninggalkan tugas tersebut, kecuali ada panggilan yang harusdipebuhi untuk itu. Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salamaal-Tahawi, Kitab al-Mukhtasar, ed. Abu Wafa al-Afghani (Kairo,1370/1950), 281.

239

akhir zaman.”291 Sebagian orang yang datang kemudian

menerima pendapat ini dan menjadikannya sebagai dasar

normatif untuk melakukan jihad perang.

Sesungguhnya terdapat beragam makna jihad yang muncul

dari pemahaman berbagai kelompok dalam masyarakat Muslim

sendiri. Perbedaan itu tidak hanya berkaitan dengan

definisi, keberadaannya sekarang dan kapan jihad itu

dilaksanakan, namun juga berkaitan dengan bagaimana jihad

harus dilakukan. Memang, tidak dapat dibantah bahwa jihad

juga diartikan sama dengan perang, yang dalam era

kontemporer dilakukan dengan teror dalam bentuk bom bunuh

diri. Namun jika diteliti lebih jauh maka, pertama, jihad

merupakan kewajiban berjuang untuk melakukan kebaikan dan

melepaskan diri dari dominasi kesesatan hawa nafsu. Oleh

karena itu, jihad menjadi kewajiban setiap individu.

Kedua, jika jihad diartikan sebagai perjuangan fisik dalam

bentuk perang melawan kaum kafir, maka perang yang

dilakukan adalah dalam rangka mempertahankan diri. Dalam291Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 19; lihatShams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Sahl al-Sarakhsi, Kitab al-Mabsut, vol. X (Kairo, 1324/1906), 2-3.

240

kaitan yang terakhir ini, batasan-batasan dilakukan tidak

hanya pada target dan sasaran perang yang umumnya kaum

sipil: wanita, anak, orang tua, dan para pendeta, namun

juga waktu kapan perang itu dilaksanakan. Dari sini jelas

bahwa tidak serta merta perang terhadap non-Muslim itu

dapat dilakukan tanpa alasan yang jelas. Paling tidak,

apabila syarat-syarat seperti kezaliman dan ketidakadilan,

penindasan, dan fitnah menimpa kaum Muslim itu terpenuhi,

maka perang boleh dilakukan. Syarat inilah yang kemudian

dipakai oleh Imam Samudra melakukan jihad, dengan

menggunakan aksi teror bom, untuk melawan penindasan dan

menghilangkan fitnah.292

Dalam era kontemporer Islam kedua kelompok pemahaman

jihad, baik yang “lunak” maupun yang “keras,” sesungguhnya

memiliki dasar alasan yang sama bahwa jihad fisik

dilakukan karena adanya sebab atau tindakan yang merugikan

kaum Muslim. Di kalangan sebagian kelompok garis keras

memang ada yang menggunakan alasan maju perang dengan

292Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Al-Jazeera, 2004), 95-96.

241

mengabaikan hubungan faktor sebab dan akibat. Mereka ini

lebih mendasarkan, secara literer, “ayat-ayat perang”

(ayat al-sayf: al-Qur'an, al-Taubah (IX):39, 123; al-

Baqarah (II):190; al-Zumar (XXXIX):79), yang dinilai

secara normatif memiliki kekuatan hukum dibandingkan

dengan ayat-ayat yang sama yang datang lebih dulu, yang

dalam tradisi pemahaman ajaran Islam disebut naskh-mansukh.

Sebagian kaum Muslim mengkritisi cara pemahaman seperti

ini dan menyatakan bahwa Allahlah yang memiliki hak untuk

menghapus dan memberlakukan kehendak-Nya. Pada-Nyalah

sumber segala wahyu (al-Qur'an, al-Ra'd (XIII):39).

Meskipun dalam al-Qur'an sendiri ada rujukan yang

menjelaskan adanya perubahan (al-Qur'an, al-Bagarah

(II):106; al-Nahl (XVI):101), atau penggantian wahyu oleh

wahyu yang lain, al-Qur'an sendiri tidak menjelaskan teori

naskh. Jika makna naskh pada umumnya adalah menghapuskan

ajaran atau aturan asli, sementara kata yang asli itu

masih tertulis dalam mushaf, dan kenyataannya kedua

kelompok teks masih ada dalam al-Qur'an, maka keadaan ini

242

bagi kalangan tertentu membingungkan. Kebingungan ini

melahirkan sebuah pemahaman lain tentang teori naskh.

Mereka yang memiliki pemahaman ini menyatakan bahwa naskh

itu pada dasarnya adalah sebuah proses logis dan

diperlukan untuk mengamalkan teks al-Qur'an secara tepat,

karena kondisi, dan menunda pengamalan teks yang lain

sampai kondisi lingkungan memungkinkan untuk

dilaksanakan.293 Jadi, terkait dengan ayat-ayat yang

menjadi sumber ideologi jihad, yang seperti dibicarakan di

atas, semuanya tetap berlaku, yang pengamalannya

tergantung kondisi dan syarat-syarat yang mengharuskannya.

Pemaknaan jihad sebagaimana yang dilakukan oleh

sebagian kelompok garis keras dalam komunitas Muslim juga

menjadi kecenderungan yang umum di kalangan para

orientalis Barat dalam mengkaitkan terorisme dengan konsep

jihad. Mereka yang disebut terakhir ini menjebakkan diri

dalam memahami konsep jihad, yang hanya mendasarkan pada

293Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 20; lihatAbdullahi Ahmed An-Na'im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,Human Rights, and International Law (Syracuse, NY: Syracuse UniversityPress, 1990), 56.

243

keterbatasan kemampuan subjektif dan kepentingan. Jadi

sebenarnya, antara kelompok garis keras Muslim dan kaum

orientalis Barat memiliki pemahaman yang sama tentang

jihad. Mereka memahaminya secara literel dan hanya

mengambil satu makna dari sekian banyak penafsiran tentang

jihad. Pemahaman seperti ini sangat bertentangan dengan

tradisi keilmuan mereka sendiri, yang menjunjung tinggi

keluasan pandangan dan semangat pluralitas dalam memahami

sesuatu. Di antara mereka ini adalah Pipe, Mac Arthur yang

memaknai jihad sama dengan memerangi kaum non-Muslim.294

Kecenderungan pemahaman seperti ini dulu memang menjadi

salah satu ciri menonjol kaum orientalis dalam memahami

Islam.295 Kekurangakuratan pemahaman Islam dan masyarakat

Muslim ini telah dijadikan pijakan oleh rejim penguasa

negara-negara Barat dalam menjalin hubungannya dengan

dunia Muslim. Akibatnya hubungan Barat-Timur dalam periode

yang sangat lama lebih menonjol ditandai oleh konflik dan294Daniel Pipe, "What Is Jihad?", The New York Times, 31 December2002; John MacArthur, Terrorism, Jihad and the Bible: A Response to TerroristAttacts (2001).295R. W. Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge,Mass.: Harvard University Press, 1962), 14.

244

saling mencurigai.296 Kenyataan ini menyadarkan beberapa

kelompok akademisi Barat yang mengkritisi ketimpangan

hubungan ini dan berusaha meluruskan pemahaman Barat

terhadap Islam dan masyarakat Muslim secara proporsional

dan objektif.297 Meskipun mereka ini merupakan kelompok

kecil, namun pengaruh mereka terus tumbuh dan berkembang,

terutama di lingkungan perguruan tinggi.

Pemahaman jihad sebagai landasan normatif perjuangan

fisik disuburkan oleh kondisi sosial, politik, ekonomi,

budaya, dan keagamaan masyarakat Muslim di kawasan negara

yang mayoritas berpenduduk Muslim. Aspek normatif ajaran

jihad menjadi landasan pokok untuk menciptakan keadilan,

menghilangkan penindasan dan fitnah. Demikian juga semua

persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim dalam era

kontemporer menjadi elemen penting dalam merumuskan

ideologi baru. Sebagai sebuah ideologi, terorisme

296Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Edinburgh,Edinburgh University Press, 1960).297Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 21. LihatEdward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979).

245

mempunyai fungsi untuk mengatasi tiga persoalan di atas

yang dihadapi oleh kaum Muslim.

Menurut Jainuri, munculnya gerakan teroris merupakan

gejala kebangkitan dalam melawan ketidakadilan,

penindasan, dan fitnah yang dilakukan oleh sebagian

masyarakat lokal maupun dunia terhadap bagian masyarakat

lain. Namun persoalan yang muncul tetap pada pertanyaan,

mengapa terorisme yang dipilih? Kunci untuk memahami

terorisme sebenarnya terletak pada kecermatan penelitian

sejarah terorisme dan kaitannya dengan kondisi kontemporer

tertentu yang memunculkan terorisme. Oleh karena itu

alasan mengapa terorisme itu muncul merupakan aspek yang

paling penting untuk dipahami. Doktrin jihad dan kondisi

persoalan di lapangan nampaknya merupakan motivasi dan

faktor penting yang mengilhami para pelaku teror, yang

sering menunjukkan kerelaannya untuk memisahkan diri dari

masyarakat luas dan keberaniannya untuk melakukan bom

bunuh diri.298

298Ibid., 21.

246

Pada intinya semua gerakan teror merupakan

konsekuensi alami dari sebuah proses kemanusiaan dan

perubahan budaya. Dalam setiap masyarakat di dunia ini

perubahan berlangsung dalam bentuk dan tahapan yang

beragam. Sebagian anggota masyarakat menerima perubahan

dengan senang, dan sebagian bereaksi dengan keras. Ketika

masyarakat merasakan adanya pemaksaan untuk menerima

perubahan itu, maka sebagian dari mereka ini merasa perlu

menolaknya, yang kadang-kadang dengan kekerasan. Karena

itu dinamika terorisme itu berkaitan erat dengan dinamika

yang ada di dalam maupun di luar kelompok. Ketika suatu

kelompok merasa memiliki hak teritorial dan kekuasaan yang

dengan begitu saja diserobot oleh orang lain, maka yang

menjadi sasaran kritik kemudian adalah kelemahan diri

internal sendiri dan kekuatan luar yang tangguh.

Selain motivasi ideologi seperti yang disebutkan di

atas, ada dua faktor penting yang turut mendorong

munculnya terorisme: Pertama, lemahnya kekuatan kaum

Muslim, yang oleh para tokoh kaum radikalis, dikarenakan

247

kemerosotan moral para elit penguasa Muslim. Kaum

radikalis menuduh elit penguasa Muslim sebagai boneka

negara Barat, bukan hanya karena sistem pemerintahan

sekuler yang mereka terapkan, namun juga karena kebijakan

pemerintahannya yang dinilai lebih menguntungkan Barat

daripada rakyat sendiri. Rakyat tidak memiliki kekuatan

apa-apa dan tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan

persoalannya sendiri, karenanya memudahkan orang luar

menekan dan menindas mereka. Kondisi ini mendorong

munculnya program-program pelatihan fisik dan mental untuk

membentuk dan memperkokoh karakter diri dan memfasilitasi

siapa saja yang ingin menjadi martir guna menegakkan

masyarakat yang dicitakan. Kedua, pengakuan objektif kaum

radikalis terhadap dunia non-Muslim yang telah mencapai

puncak kemajuan, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi,

dan stabilitas politik. Namun, kemajuan mereka ini dipakai

untuk mengeksploitasi bangsa-bangsa lain di dunia,

sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara

Timur (Islam) dan Barat dalam kurun waktu yang cukup lama.

248

Dari era kolonialisme sampai post-kolonialisme hubungan

lebih mengarah pada pemenuhan kepentingan Barat.299

Dua faktor tersebut di atas menjadi fenomena umum

yang secara ringkas dapat dilihat dalam tiga aspek penting

penyebab munculnya aksi terorisme di dunia Muslim. Pertama,

sebab politik yang didominasi oleh konflik berkepanjangan

Israel-Arab dan campurtangan politik dan militer Amerika

Serikat di negara-negara Muslim. Kedua, sebab budaya,

yakni perlawanan terhadap kolonialisme budaya Barat; dan

ketiga, sebab sosial karena kemiskinan dan alinasi.300

Sementara tidak satupun tokoh politik di Barat yang

menolak perang terhadap terorisme, pada saat yang sama,

secara politik mereka juga membenarkan bahwa “kekecewaan

dan perasaan sakit masyarakat Muslim,” karena perlakuan

tidak adil pada tiga aspek yang disebutkan di atas,

299Ibid., 23. Lihat William O. Beeman, “Fighting the Good Fight:Fundamentalism and Religious Revival” dalam Anthropology forthe Real World, ed. J. MacClancy (Chicago: University of ChicagoPress, 2001). Dikutip dari www.brown.edu/Departments/Anthropology/publications/FUNDAMENTALISM.htm, 1)300Ibid., 24. Lihat Samuel Bar, “The Religious Sources of IslamicTerrorism” Policy Review, 125, dikutip dariwww.policyreview.org/jun04/bar.html, 1 )

249

menjadi alasan rasional yang memberikan lejitimasi

tuntutan aksi tindakan terorisme.

Motif politik dari sebagian pemimpin kaum mujahidin

dalam melawan Barat memang tidak diragukan. Namun

jastifikasi moral dan inti dari kekuatan gerakan mujahidin

melawan ketidakadilan adalah semangat ajaran jihad Islam.

Dengan menggunakan dasar agama serta menanamkan prinsip

perlawanan dalam Islam ke dalam setiap jiwa Muslim, para

tokoh gerakan radikal Islam berhasil memotivasi sebagian

mujahidin melakukan perlawanan dengan bom bunuh diri,

menyadarkan mereka akan kondisi sosial yang mengizinkan

aksi mereka serta pemahaman agama yang menyediakan

landasan moral dan hukum bagi tindakan mereka. Sukses

mereka dalam merekrut, memposisikan diri, dan memelihara

ideologi para aktifis (utamanya para pelaku serangan 11

September 2001) tanpa terdeteksi oleh kecanggihan keamanan

Barat merupakan sifat kerja yang melandasi fenomena ini.

Berpihaknya institusi politik dunia kepada

kepentingan Barat dalam menyelesaikan konflik antar bangsa

250

bukan hanya menyebabkan semakin berlarutnya konflik

Israel-Arab, namun juga semakin bertambahnya daerah

konflik di kawasan Islam. Peta dunia tidak lagi hanya

terbagi menjadi maju dan tertinggal, kaya dan miskin,

namun juga equilibrium dan disequilibrium. Negara-negara di

kawasan Islam umumnya termasuk dalam belahan dunia yang

disequilibrium. Harapan untuk menyelesaikan masalah bukan

hanya terkendala oleh lemahnya badan politik dunia dan

kepentingan negara tertentu yang menghendaki kondisi dunia

Islam tetap status-quo, namun juga oleh sikap egoistis warga

masyarakat Muslim sendiri. Fenomena konflik antar sesama

warga dan umat yang disebabkan karena kepentingan dan

kebutuhan sesaat bukan hanya memperlemah potensi bangsa

namun juga mempermudah proses intervensi kekuatan luar

(superpower). Dari sini muncul bertebaran local agent (bukan

local genius) yang lebih menguntungkan kekuatan luar.

Fenomena ini tercermin dalam individu umat Muslim dan pada

skala yang lebih luas terlihat pada semakin melemahnya

solidaritas di kalangan negara-negara Islam (OKI),

251

terutama negara-negara Arab. Yang disebut terakhir ini

tidak mampu memainkan potensi kekayaan yang dimilikinya,

seperti yang telah dilakukan pada tahun 1970-an, yang

secara tepat merespon tantangan dengan mengembargo

pengiriman minyak ke Barat. Ketidakmampuan diri dalam

melepaskan eksploitasi politik kekuatan luar dan semakin

meluasnya intervensi militer Israel ke Palestina dan

Libanon dan Amerika Serikat ke Iraq, Afghanistan, Saudi

Arabia, menjadi faktor dominan sebab menyuburnya

radikalisme atas nama agama.

Faktor kedua adalah sebab budaya. Meskipun faktor ini

tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya sikap

radikalisme dalam Islam, namun memiliki andil besar dalam

membentuk sentimen anti-Barat di kalangan sebagian warga

Muslim. Perasaan ini bermula dari ketidakmampuan diri

mempertahankan nilai-nilai budaya luhur berhadapan dengan

budaya Barat modern yang materialistis. Nilai-nilai etika

Islam yang selama ini menjadi dasar pergaulan antar sesama

umat mulai tergeser oleh budaya Barat, yang meluas melalui

252

jaringan media cetak dan elektronika. Pengaruh budaya

Barat dalam kehidupan kebanyakan kaum Muslim terlihat

mulai dari konsumsi produk makanan-minuman, cara

berpakaian, bergaul sampai dengan praktik ritus keagamaan

yang lebih menonjol pada kemasan entertainment-nya dari pada

makna ibadahnya. Aib pribadi menjadi tontonan yang “wajar”

dan menjadi komoditas bisnis yang mendatangkan banyak

uang. Suguhan adegan keras, erotis, dan seduktif dalam

tayangan media elektronika menjadi acara rutin yang harus

ditonton oleh semua tingkat usia orang. Pengaruh budaya

ini demikian popular di kalangan masyarakat dunia ketiga,

termasuk Muslim, dan menjadi identitas baru mereka.

Pengaruh inilah yang dikenal dalam teori cocacolonisation, yang

menjadi sumber sebab munculnya konflik baru dunia.301

Oleh karena itu, seperti kata Caufield, hal yang

perlu digarisbawahi dalam kaitannya dengan eksploitasi

kaum kolonialis-imperialis itu, bukanlah antara kelas

sosial yang satu menguasai kelas sosial yang lain, namun

301Ibid., 26. Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations andthe Remaking of the World Order (London: The Free Press, 2000))

253

adalah suatu budaya atas budaya lain.302 Para penguasa di

negara-negara Muslim merasa rendah diri bukan karena

kekuatan ekonomi mereka, yang sesungguhnya lebih tinggi,

namun adalah karena apa yang menurut mereka ideal yang

harus dimiliki dan sekaligus sebagai simbol kemajuan,

yakni westernisasi dan budaya konsumerisme, budaya pop dan

moral yang permisif. Dasar argumentasi yang mungkin kuat

dapat dipahami adalah bahwa maraknya para aktifis gerakan

radikal Islam di kawasan Islam sesungguhnya tidak banyak

berkaitan dengan eksploitasi ekonomi, apakah itu berkaitan

dengan eksploitasi sumber alam atau tenaga, namun adalah

degradasi dan desikresi budaya.303 Kecenderungan budaya

seperti inilah yang dikritik oleh Imam Khomeini terhadap

kebijakan Shah Iran yang mempromosikan budaya

konsumerisme. Di mata Imam Khomeini, rakyat Iran (saat

itu) berlomba mencari kepuasan materi. Mobil menjadi

302Ibid. Lihat Mina Davis Caufield, "Culture and Imperialism:Proposing a New Dialectic," dalam Dell Hymes, ed., ReinventingAnthropology (New York: Random House, 1969), 193)303Ibid. Lihat David A. Snow dan Susan E. Marshall, "CulturalImperialism, Social Movements, and the Islamic Revival," Researchin Social Movements, Conflict and Change, 7 (1984), 137.

254

simbol kemewahan dan yang sudah memiliki mobil dan rumah

menginginkan yang lebih bagus dan besar. Kaum Muslim Iran

telah melupakan nilai-nilai agama mereka. Kesederhanaan,

kelemahlembutan, integritas diri, keramahtamahan dan

kejujuran kepada orang lain digantikan oleh semangat

ketamakan dan menghalalkan segala cara. Semua ini harus

dirubah, dan revolusi adalah permulaan dari perubahan

ini.304 Meskipun apa yang disampaikan oleh Imam Khomeini

mungkin terlalu dilebihkan, namun sebenarnya perasaan

anti-budaya Barat dapat dijumpai di banyak negara yang

mayoritas berpenduduk Muslim.

Faktor ketiga, yang merupakan akibat dari faktor

pertama dan kedua, adalah karena kemiskinan dan alinasi.

Jika menggunakan kerangka alinasinya Marx,305 maka alinasi

mencakup dua hat: alinasi dari nilai dan norma yang

berkembang sekarang, seperti yang disebutkan dalam faktor304Ibid. Lihat Youssef M. Ibrahim, “Inside Iran's CulturalRevolution,” The New York Times, 14 Oktober, 1979, 36.305Ibid., 27. Lihat Ken Morrison, Marx, Durkheim, Weber: Formations ofModern Social Thought (London: Sage Publication, 1995), 88-98;Martin Riesebrodt, The Emergence of Modern Fundamentalism in the UnitedStates and Iran (Berkeley: University of California Press, 1993),20.

255

kedua. Nilai dan etika agama yang dimiliki oleh kelompok

radikalis selama ini menjadi tidak ada artinya

(meaninglessness). Dalam konteks ini apa yang mereka miliki

sebagai yang benar, dan mereka memandang diri sendiri

bukan bagian dari mainstream umat pada umumnya, namun

merupakan kelompok penjaga kebenaran. Kedua adalah alinasi

dari peran serta (powerlessness). Kelompok radikalis

merasakan kaum Muslim sebagai kelompok yang tersingkirkan

dalam menangani persoalan global yang terkait dengan dunia

Islam. Bencana yang menimpa dunia Islam, menurut mereka,

adalah akibat perlakuan politik yang tidak adil dan

pemaksaan kepentingan negara-negara Barat yang dibantu

oleh agen lokal mereka yang umumnya menduduki posisi

pemerintahan sekuler di hampir sebagian besar kawasan yang

berpenduduk Muslim. Secara jelas alasan perlawanan

terhadap Barat itu, seperti dikemukakan Chomsky,

disebabkan karena penolakan partisipasi politik kaum

Muslim menyelesaikan persoalan mereka sendiri, meskipun

melalui sistem demokrasi. Jika partisipasi politik mereka

256

ini tersumbat, mereka mencari jalan keluarnya sendiri.

Jalan keluar itu dapat berupa radikalisme agama atau

bentuk kekerasan lain, seperti terorisme.306 Kasus FIS

(Aljazair) dan HAMAS (Palestina), yang memenangkan

pemilihan umum yang dianulir dan tidak diakui oleh

“komunitas internasional,” dukungan Amerika Serikat

terhadap rejinv represif di Saudi Arabia, Mesir, Aljazair,

dan Jordania, serta sederet persoalan politik yang menimpa

kaum Muslim di beberapa kawasan, seperti Afghanistan,

Kashmir, dan lainnya adalah contoh yang menarik untuk

dikemukakan.

Kondisi seperti tersebut di atas menjadi sebab yang

mendorong munculnya tindakan teror, yang berdampak pada:

Pertama, munculnya sikap frustasi bagi sebagian kaum

Muslim, seperti yang diwakili oleh kelompok radikal. Sikap

frustasi ini pada akhirnya mendorong diri menjadi

eksklusif dalam bermasyarakat, reaksioner dalam menghadapi

persoalan, dan cenderung melakukan kekerasan dalam

memecahkan persoalan. Kedua, kegagalan memobilisasi massa306Ibid., 27. Lihat Chomsky, "Noam's Chomsky'sTerms," 7.

257

pendukung aksi kekerasan. Kegagalan ini mungkin juga

disebabkan karma eksklusifitas mereka dalam kehidupan

masyarakat luas. Ketiga, tidak adanya pilihan lain. Dalam

kaitan ini para pelaku teror menganggap diri mereka

sebagai kelompok lemah. Karena kekuatan militer tidak

dimiliki, diplomasi yang selalu dikebiri oleh lembaga

politik internasional dan lokal, maka satu-satunya jalan

yang harus ditempuh dalam melawan ketidakadilan,

penindasan dan fitnah adalah dengan jalan bom bunuh diri,

dan tindakan teror lainnya. Oleh karena itu benar apa yang

dikatakan oleh Martha Grenshaw bahwa terorisme tidak harus

selalu dipahami sebagai tindakan sesat. Mungkin saja teror

merupakan respon yang rasional dan matang terhadap situasi

yang ada.307

Dengan demikian kesimpulan yang dapat dipaparkan

adalah sebagai berikut: Tujuan aksi terorisme ada tiga

aspek yang disebutkan dalam literatur klasik Islam yakni,307Surya, 19 Nopember 2002, 21. Dalam kaitan ini George Tenet,mantan Direktur CIA, yang pada waktu masih menjabat sebagaiDirektur CIA, mengkritisi kebijakan perang anti-terorismepresiden George W. Bush sebagai kehilangan arah karena tidakmenyentuh akar persoalan yang menjadi sebab timbulnya terorisme

258

menyatakan perang melawan ketidakadilan, penindasan dan

fitnah.308 Dalam konteks tersebut, perang itu ditujukan

kepada Barat yaitu Amerika Serikat (AS). Pada era

kontemporer, hubungan Barat dan Timur dalam hal ini Islam

memang tidak harmonis.309

Alternatif jihad kemudian muncul. Bagi mereka (kaum

radikalis), melawan kaum kafir (Barat) merupakan sebuah

konsekuensi agama maupun politik yang harus dilaksanakan.

Mereka adalah orang-orang yang frustasi. Sebab mereka

kalah dalam kemampuan fisik dan selalu dirugikan dalam

dialog. Daripada hidup ditindas dan difitnah, mereka lebih

baik mati sebagai “patriot”. Itulah pikiran yang ada di

benak para pelaku bom bunuh diri dan sikap yang harus

diambil. Dalam melaksanakan aksinya sebagai “patriot”

308Achmad Jainuri, “Janji Surga di Tengah Kemiskinan”, Jawa Pos,15 Oktober 2006, 14.309Berpihaknya institusi politik dunia kepada Barat menjadipemicu utama, seperti: pelucutan senjata oleh AS di Palestina,AS malah mengijinkan Israel memperbanyak stok senjata. Berapabanyak komitmen yang sudah dilanggar Amerika. Standar ganda ASitu kemudian membuat sekelompok muslim kecewa, termasuk kepadaelit politiknya. Kaum radikalis kemudian menuduh elit penguasamuslim sebagai boneka Barat.

259

tersebut, para teroris memunculkan program-program

pelatihan fisik dan mental untuk membentuk serta

memperkukuh karakter diri. Mereka juga menfasilitasi siapa

saja yang ingin menjadi “martir” guna menegakkan

masyarakat yang dicita-citakan.

Latar belakang Indonesia menjadi salah satu lahan

yang subur atau “surga”, baik sebagai sumber perekrutan

kelompok maupun aksi adalah: Pertama, faktor agama Islam

yang dipeluk sebagian besar (majority) rakyat Indonesia.

Kedua, faktor geografis sangat berpengaruh. Luas wilayah dan

bentangan pulau-pulau Indonesia, sangat menuntungkan aksi

terorisme. Sebab mobilitas mereka akan sangat sukar

dideteksi. Selain itu, beragam fasilitas AS yng bercokol

di Indonesia menjadi target. Dan juga kemampuan aparat

keamanan yang terbatas. Ketiga, faktor sosial-ekonomi pelaku

bom yang sangat memprihatinkan menjadi penyebab utama.

Intinya adalah kemiskinan dan alinasi. Menurut mereka,

lebih baik mencari surga daripada hidup dalam kemiskinan

dan selalu diiming-imingi reward yang indah setelah mati.

260

Keempat, faktor karisma tokoh yang menyebarkan ajaran

(doctrine) tersebut yang berpengaruh. Contohnya Dr. Azhari

atau Noordin Moh. Top, para pengikutnya di Indonesia

sangat terpesona oleh kebesaran dua tokoh tersebut.

Terutama, bagaimana mereka dengan rela meninggalkan segala

macam kenikmatan dunia yang mereka miliki untuk berjihad.

Kelima, faktor tingkat pendidikan seseorang berpengaruh pada

pemahaman mereka tentang Islam. Interpretasi juga

dilakukan kelompok teroris. Sayangnya, mereka hanya

menerjemahkan ayat-ayat suci secara hitam dan putih. Jihad

tidak lagi diartikan sebagai perlawanan terhadap diri

sendiri (hawa nafsu), namun pembunuhan dan penghancuran

akan segala hal yang berkaitan dengan Barat. Mereka juga

tidak merasa berdosa dengan turut mengorbankan orang-orang

yang bukan AS dalam serangan bom tersebut, sebab berbeda

dengan asasinasi. Maksudnya, korban bom adalah perantara

untuk menyampaikan pesan kepada pihak yang dikehendaki.

Ada solusi untuk membabat terorisme di Indonesia,

yakni: Pertama, memperbaiki sistem sosial-ekonomi masyarakat

261

Indonesia, terkait erat dengan usaha pemerataan. Pusat

ekonomi seharusnya tidak hanya berpusat di kota, namun

basis ekonomi di desa harus diperkukuh sehingga distribusi

ekonomi merata sehingga tidak ada orang yang menganggur.

Memerangi terorisme lewat ekonomi sangat mungkin

dilaksanakan, sebab para teroris (terutama “kurir”) datang

dari ekonomi kelas bawah. Kedua, memberikan pendidikan dan

pemahaman yang benar tentang Islam. Ini termasuk tindakan

nyata (real action) untuk mengeliminasi kemungkinan aksi

terorisme. Argumentasi saja tidaklah cukup.

262