Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama
B. Islam dan Aksi Kekerasan atas Nama Agama
1. Aksi Kekerasan atas Nama Agama
Dalam kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak
dapat dipisahkan dengan kajian tentang agama itu sendiri
dan bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya.
Menurut perspektif Sosiologi, kajian tentang agama
merupakan objek yang menarik dan tidak kunjung usai untuk
diperbincangkan. Oleh karena itu dari kajian-kajian
menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya
berbagai perspektif dari beragam disiplin ilmu. Walaupun
demikian, ternyata wacana tentang agama itu masih
merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk
dibahas.
Secara mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan
sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi
135
tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau
doktrin.
Muhammad Iqbal memberi pernyataan tentang agama yang
dikutip Damami, bahwa “religion is an expression of the whole man”,
yaitu agama merupakan pernyataan utuh dari manusia dan
sesuatu yang sangat bernilai atau berharga. Oleh karena
itu, wajar saja jika ada pemeluk agama yang terlihat
begitu fanatik terhadap keyakinan agamanya, bahkan sampai
pada pengakuan kebenaran tunggal (truth claim) bahwa hanya
dalam keyakinan agamanya sajalah satu-satunya terdapat
kebenaran.158
Latar belakang manusia bersedia memeluk dan
menghayati agama adalah disebabkan oleh enam faktor
pendorong, yaitu: Pertama, untuk memperoleh rasa aman.
Kedua, untuk mencari perlindungan. Ketiga, untuk mencari
penjelasan esensial tentang dunia dan kehidupan di
dalamnya. Keempat, untuk memperoleh pembenaran yang
158Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta:LESFI, 2002), 2-3; Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction ofReligious Thought in Islam (London: Oxford University-Humprey Milford,1934), 2.
136
memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya.
Kelima, untuk meneguhkan tata nilai yang telah mengakar
dalam masyarakat. Keenam, untuk memuaskan kerinduan pada
kehidupan.159
Ada empat motivasi yang mendorong orang berperilaku
agama, yaitu: Pertama, agama dapat dipakai untuk mengatasi
frustasi karena alam, sosial, moral, dan kematian. Kedua,
agama dapat dipakai untuk menjaga kesusilaan dan tata
tertib masyarakat. Ketiga, agama dapat dipakai untuk
memuaskan intelek karena dorongan keingintahuan manusia.
Keempat, agama dapat dipakai untuk mengatasi rasa takut.160
Sedangkan Crapps menjelaskan adanya bukti bahwa
manusia dalam memeluk agama disebabkan beberapa faktor,
yaitu: pemikiran, emosi religius, afeksi religius,
kehendak, dan pengambilan keputusan moral.161 Sedangkan
menurut Fowler bahwa beragama itu merupakan gejala
159AM. Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 14-22. 160Nico Syukur Dister OFM., Pengalaman dan Motivasi Beragama(Yogyakarta: Kanisius, 1988), 74-122. 161Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamamaan(Yogyakarta: Kanisius, 1994).
137
universal yang dialami oleh setiap manusia yang hidup di
dunia.162 Dengan demikian agama itu merupakan sesuatu yang
bermakna dan maknanyapun sangat bervariasi antara satu
pemeluk dengan yang lain.
Adapun dalam kaitannya dengan aksi kekerasan atas
nama agama, bahwa pada awalnya istilah kekerasan digunakan
untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt)
atau tertutup (covert), yang bersifat menyerang (offensive)
atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan
kepada orang lain.163 Dalam hal ini, kekerasan digunakan
sebagai sarana untuk memaksa atau menekan orang lain,
dengan cara pergerakan fisik dan sosial.
Menurut Galtung, kekerasan didefinisikan sebagai
akibat perbedaan antara yang potensial dengan yang aktual.
Di satu pihak, manusia mempunyai potensi yang masih berada
di “dalam”. Sedangkan di lain pihak, potensi menuntut
diaktualisasikan yaitu dengan merealisasikan dan162Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.Fowler (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 46-47. 163Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan” dalamTeori-teori Kekerasan, ed. Thomas Santoso (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 11.
138
mengembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang
dipegangnya. Pengertian “actus” mencakup kegiatan,
aktivitas yang tampak (seperti berpikir, merenung dan
kegiatan mental atau psikologis) dan aktivitas yang tidak
tampak. Hal ini menjadi titik tolak (starting point) untuk
memahami kekerasan sebagai akibat perbedaan antara yang
potensial dan aktual. Pengandaian dasarnya ialah apa yang
mungkin atau dapat diaktualisasikan, harus direalisasikan.
Walaupun, pada realitanya tidak semua potensia kemudian
berkembang menjadi actus.164 Jadi kekerasan itu terjadi, jika
manusia dipengaruhi sehingga realisasi mental dan
jasmaninya berada di bawah realisasi potensialnya.165
Galtung juga membedakan Kekerasan Personal,
Struktural dan Kultural. Sifat kekerasan personal adalah
dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang
164Johan Galtung, The True Worlds: A Transnational Perspective (New York:Free Press, 1980). Lihat I. Marshana Windhu, Kekuasaan danKekerasan Menurut Johan Galtung (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 66;Thomas Santoso, “Kekerasan Politik Agama: Suatu StudiKonstruksi Sosial Tentang Perusakan Gereja di Situbondo,”(Disertasi Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002), 24 –26.165Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64.
139
hebat sehingga dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan
kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan
stabilitas tertentu, dan tidak tampak. Dalam masyarakat
statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara
kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam
masyarakat yang dinamis, kekerasan personal dapat dilihat
sebagai hal yang salah dan berbahaya, sementara kekerasan
struktural semakin nyata menampilkan dirinya.166
Kekerasan personal menitikberatkan pada “realisasi
jasmani aktual”. Ada tiga pendekatan untuk melihat hal
tersebut yaitu: Pertama, cara-cara yang digunakan
(menggunakan badan manusia atau senjata). Kedua, bentuk
organisasi (individu, massa atau pasukan). Ketiga, sasaran
(manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari
susunan anatomis (secara struktural) dan fisiologis
(secara fungsional). Anatomis sebagai usaha menghancurkan
mesin manusia sendiri (badan), sedangkan Fisiologis
166Ibid., 73.
140
sebagai usaha untuk mencegah agar mesin itu tidak
berfungsi.167
Perbedaan kekerasan personal dan kekerasan struktural
tidak tajam. Keduanya dapat memiliki hubungan kausal dan
juga hubungan dialektik. Pembedaan antar keduanya berarti
dapat melalaikan unsur struktural dalam kekerasan personal
dan unsur personal dalam kekerasan struktural. Walaupun
kekerasan sudah menjadi satu dengan struktur, namun ada
saja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir
semua kejadian.168
Adapun kekerasan kultural bertalian dengan aspek-
aspek budaya yang dapat digunakan untuk menjastifikasi
kekerasan personal atau kekerasan struktural, yaitu berupa
agama, ideologi, bahasa dan seni. Kekerasan kultural
menjadikan kekerasan personal dan kekerasan struktural
tampak jelas terlihat, dirasakan, dan dibenarkan atau
tidak salah. Studi kekerasan berbicara tentang dua hal,
yaitu penggunaan kekerasan dan jastifikasi penggunaan
167Ibid., 74.168Ibid., 76.
141
kekerasan tersebut. Secara khusus, kekerasan kultural
menyoroti bagaimana cara suatu perbuatan kekerasan
personal dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan
dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Satu cara
bagaimana kekerasan kultural dapat berlangsung, yaitu
dengan mengubah warna moral perbuatan dari merah (salah)
menjadi hijau (benar) atau kuning (dapat diterima). Atau
dengan cara lain yaitu dengan membuat realitas menjadi
tidak jelas atau samar sehingga kita tidak mampu melihat
fakta yang sesungguhnya adalah kekerasan.169 Menurut Pierre
Bourdieu, kekerasan kultural yaitu bentuk kekerasan yang
halus dan tidak tampak atau tersembunyi di balik pemaksaan
dominasi kekuasaan simbolik atau dikenal dalam bentuk
kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Sedangkan
kekerasan semiotik merupakan bentuk kekerasan yang
menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan.170
169Manfred B. Steger & Nancy S. Lind, Violence and Its Alternatives: AnInterdiciplinary Reader (New York: St. Martin’s Press, 1999), 39-40.170Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Oxford: PolityPress, 1991).
142
Dari deskripsi tentang kekerasan, maka dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar. Pertama,
kekerasan sebagai tindakan aktor (actor action) atau kelompok
aktor (actor group). Kedua, kekerasan sebagai produk dari
suatu struktur (violence as a product of the structure). Ketiga,
kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur
(violence as a interrelationship between actor and structure).
Kelompok pertama dipelopori ahli biologi, fisiologi
dan psikologi. Mereka berpendapat bahwa manusia melakukan
kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai
konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka
memang meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis
manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor
biologis sebagai faktor penyebab kekerasan.171 Dan juga
belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia
dari pembawaannya memang menyukai kekerasan.
171Jennifer Turpin & Lester R. Kurtz, The Web of Violence: FromInterpersonal to Global (Urbana and Chicago, University of IllinoisPress, 1997), 3; James Gilligan, Violence: Reflections on a NationalEpidemic (New York: Vintage Books, 1996).
143
Menurut Gustave Le Bon, kekerasan sebagai tindakan
yang dilakukan kelompok aktor (crowd) yang memiliki
kekuatan untuk menghancurkan.172 Ted Robert Gurr
mendefinisikan kekerasan politik sebagai tindakan aktor
atau kelompok aktor yang menentang rezim yang berkuasa.173
Dan Charles Tilly menyatakan bahwa kekerasan akan
berhasil, jika aktor mampu memobilisasi massa lewat suatu
kalkulasi politik.174
Kelompok kedua, pengertian kekerasan sebagai tindakan
yang berkaitan dengan struktur. Johan Galtung menyatakan
bahwa kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan
orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri
secara wajar. Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan
yang tidak langsung, tidak tampak, statis dan
memperlihatkan stabilitas tertentu.175 Dengan demikian,
172Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, The Sociology of Deviance:An Introduction (Boston: Little Brown and Company, 1982), 235.173Santoso, Kekerasan Politik Agama, 28. Lihat Ted Robert Gurr, WhyMen Rebel (Pinceton: Princeton University Press, 1970), 22.174Louise A. Tilly & Charles Tilly ed., Class Conflict and CollectiveAction (London: Sage Publications, 1981) 17-22.175Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64; Santoso, Kekerasan Politik Agama,28.
144
kekerasan tidak hanya dilakukan aktor atau kelompok aktor
namun juga oleh struktur, seperti aparatur negara.
Kelompok ketiga, kekerasan sebagai jejaring aktor
dengan struktur dikemukakan Anthony Gidden, 176 Jennifer
Turpin & Lester R. Kurtz177 sebagai berikut: Pertama, konflik
bersifat endemik bagi kehidupan bermasyarakat. Konflik
tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat positif atau
negatif, namun sebagai sesuatu yang ditentukan. Kedua, ada
sejumlah alat alternatif untuk menyampaikan konflik
sosial. Ketiga, untuk menyampaikan masalah kekerasan sengan
efektif diperlukan perubahan dalam organisasi sosial dan
perubahan sikap individu. Keempat, masalah kekerasan
merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan modern.
Kelima, terdapat hubungan kekerasan level mikro – makro dan
antara aktor – struktur. Pemecahan masalah (problem solving)
kekerasan struktural mengharuskan orang terlibat dalam
kekerasan aktor, demikian pula sebaliknya. Akhirnya,
spesialisasi akademik justru mengaburkan masalah karena176Anthony Gidden, The Nation – State and Violence (Berkeley and LosAngeles: University of California Press, 1985), 294-341.177Turpin & Kurtz, The Web of Violence, 12 – 13.
145
mengabaikan pendekatan yang holistik, termasuk dimensi
ruang dan waktu.
Dari penjelasan ketiga kelompok di atas, menunjukkan
bahwa kelompok pertama dan kedua cenderung memilah-milah
kajian kekerasan. Kekerasan sebagai tindakan aktor
menekankan aspek mikro namun mengabaikan aspek makro, dan
berfokus pada bentuk kekerasan personal yang sering
terbatas ruang dan waktu. Sebaliknya, kekerasan sebagai
produk dari struktur lebih menekankan aspek makro namun
mengabaikan aspek mikro, serta menitikberatkan pada bentuk
kekerasan struktural yang sering meniadakan kompleksitas
kekerasan personal. Oleh karena itu, kekerasan sebagai
jejaring antara aktor dan struktur yang memekankan
pendekatan interdisipliner merupakan cara yang paling
tepat untuk memahami kekerasan secara holistik.
Hal-hal yang juga penting untuk dikaji ialah
bagaimana mobilisasi kekerasan agama dapat terjadi,
seperti dinyatakan Gurr178 bahwa kekerasan dimulai dari
diri aktor. Individu yang sebelumnya memberontak harus178Gurr, Why Men Rebel, 22.
146
memiliki latar belakang situasi seperti terjadinya
ketidakadilan, munculnya kemarahan moral, dan kemudian
memberi respon berupa kemarahan terhadap sumber penyebab.
Selain itu, massa harus merasakan situasi konkrit dan
langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka,
sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.
Sejarah menunjukkan bahwa tidak semua kekerasan di
dunia ini memiliki landasan agama, namun lebih banyak
kekerasan terjadi atas nama agama.179 Secara apologetik
adalah terlalu sederhana untuk mengklaim bahwa ajaran
agama pada dasarnya tidak memiliki unsur kekerasan dan
hanya manusialah yang membelokkan dari makna sesungguhnya.
Dalam realitanya, akar kekerasan dapat ditemukan langsung
dalam agama dan oleh karena itu agama dapat dengan mudah
dijadikan kendaraan bagi tendensi kekerasan. 180
Kenyataan menunjukkan bahwa sejarah kehidupan
manusia, seperti yang tercantum dalam narasi Kitab Suci,
adalah sejarah tentang kekerasan. Agama secara179Wim Beuken & Karl-Josef Kushel ed., Religion as a Source of Violence(London: SCM Press, 1997), vii.180Santoso, Kekerasan Politik Agama, 43 – 44.
147
moralitas memang tidak mengajarkan atau melakukan
kekerasan. Namun agama, terutama agama propetis, akan
melakukan tindakan kekerasan ketika identitas mereka
merasa terancam. Penganut agama ini merasa tindakan
kekerasan yang mereka lakukan dibenarkan oleh “Tuhan”
mereka.
Bila disentuh sistem-sistem agama besar lainnya maka
akan ditemukan jejak yang sama. Naskah-naskah landasan
agama tersebut mencerminkan ritualisasi kekerasan
pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk mencapai kebaikan
tertinggi dan kebutuhan akan kekerasan dalam
mempertahankan iman, bersamaan dengan regulasi etis
kekerasan tidak sah, semuanya bertujuan mencapai
perdamaian tertinggi.181
Dalam pada itu, analisis sosiologis menyatakan bahwa
agama dapat berfungsi mempersatukan masyarakat (integrasi)
atau memecah belah masyarakat (disintegrasi). Ajaran agama
yang menekankan cinta kasih, perdamaian, keadilan,
kejujuran dan pelbagai perbuatan baik lainnya tentulah181Ibid., 44.
148
diharapkan dapat berfungsi integratif. Namun di sisi
lain, kecenderungan setiap agama yang menganggap
agamanya paling benar, sifat ekspansi agama dari daerah
kelahirannya ke daerah-daerah lain, serta penetrasi
agama ke dalam budaya lokal, acapkali menimbulkan tindak
kekerasan yang mengarah pada fungsi agama yang
integratif. Konflik juga semakin bertambah ketika agama
menjadi sumber langsung kekerasan.
Dalam beberapa kasus, agama menghasilkan perbedaan
pemahaman. Beberapa perbedaan tersebut muncul secara mudah
sebagai dasar moralitas yang digunakan
sebagai alasan bagi aksi-aksi kekerasan, dan intensitas
ritual yang digunakan sebagai alat untuk melakukan aksi
itu. Perbedaan-perbedaan lainnya merupakan perbedaan yang
lebih mendalam dan menjadi bagian dan inti agama itu. Citra
agama tentang perjuangan yang gampang dikenali, dan konsep-
konsep tentang perang yang dahsyat telah dilakukan dalam
perjuangan-perjuangan sosialnya. Ketika peperangan itu
diimpi-impikan sebagaimana yang muncul dalam rencana
149
manusia, akhirnya hal itu mereka tuangkan menjadi kenyataan
melalui aksi-aksi kekerasan.182
Permasalahan itu semakin kompleks dengan adanya
pemahaman baru yang menyatakan bahwa agama berperan dalam
bagian dunia yang lain sebagaimana ideologi masyarakat,
khususnya dalam gerakan nasionalisme agama, dimana agama
dan ideologi politik digabungkan. Ketika kasus-kasus ini
diungkap, agama menjadi tidak bersalah, dengan catatan
tidak membawa ke arah kekerasan. Namun kenyataannya, dengan
adanya gabungan dari tatanan kehidupan politik, sosial,
dan ideologi, maka agama lebur dengan ekspresi kekerasan
sebagai perwujudan dari aspirasi sosial, harga diri, dan
gerakan demi perubahan politik.183
Jika agama telah melegitimasi aksi kekerasan
tertentu, mereka juga berusaha untuk membatasi frekuensi
dan ruang aksi tersebut. Sikap yang membingungkan ini
mencerminkan penggunaan kekerasan sebagai suatu alat untuk
182Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of ReligiousViolence (Berkeley – Los Angeles – London: University ofCalifornia Press, 2000), 8.183Ibid., 9.
150
mempertahankan diri diri dan mematuhi norma-norma agama
pada salah satu sisi, namun juga mengetahui potensinya
atas sifat merusak yang tidak dapat terkontrol
terhadap pihak lain. Pada hampir sebagian besar agama
seseorang menjumpai penekanan yang mendalam antara
penggunaan dan sublimasi kekerasan dan suatu
keberanian untuk menjadi “martir yang suci” yang
mengorbankan hidup mereka untuk kehidupan orang lain.184
Untuk meletuskan kekerasan, identitas agama harus
memusnahkan identitas perorangan pada sejumlah besar
orang, membangkitkan kembali perasaan cinta yang
dikaitkan dengan identifikasi awal bersama anggota-
anggota kelompok yang dimiliki seseorang, dan
kebencian terhadap kelompok lain yang anggotanya
dihomogenisasikan, dan dilecehkan martabatnya. Untuk
terjadinya kekerasan, ancaman terhadap identitas agama
harus melawan penghalang tertentu, dimana potensi
tindakan menghakimi menjadi tindakan kemarahan yang184R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence andReconciliation (Lanham – Bouldet – New York – Oxford: Rowman &Littlefield Publisher, 1999), 11.
151
diaktifkan sepenuhnya yang secara jelas melalui dan
antara anggota suatu kelompok- agama. Dipicu oleh
kabar angin, dinyalakan oleh demagog agama, keinginan
untuk menghakimi memberikan sinyal pemusnahan
identitas kelompok dan harus dilawan oleh
pengukuhannya yang kuat.185
Keterlibatan agama dibandingkan identitas sosial
lainnya tidak akan padam secara perlahan, melainkan
sebaliknya, meningkatkan konflik kekerasan. Agama
membawa konflik antara kelompok intensitas emosi yang
lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam
dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap
identitas etnis lainnya.186
Skenario kekerasan dan sasaran yang menjadi
tujuannya secara bersamaan menunjukkan bahwa kekerasan
atas nama agama bukanlah sesuatu yang bersifat alami
maupun sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sebaliknya,
dalam pelbagai kasus diinformasikan bahwa agama telah185Sudhir Kakar, The Colors of Violence, Cultural Identities, Religion and Conflict(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1996), 192.186 Ibid., 192.
152
menjadi sumber kekerasan di berbagai belahan dunia.
Dan lebih dari itu ditunjukkan pula skenario kekerasan
sedang ditangani atas nama agama yang dipahami dan
dipraktikkan dengan cara yang berbeda. la memainkan
peran penting - baik yang positif maupun negatif - di
semua agama-agama besar. Ritual-ritual yang
menimbulkan kekerasan sangat inheren dalam agama.
Kekerasan tidak dapat begitu saja diabaikan dan dengan
naif dihindari. la menjadi bagian dari- kehidupan
manusia. Namun pada saat yang sama, unsur-unsur
destruktif yang imanen dalam kekerasan dapat
ditransformasikan dan kemudian diatasi. Dalam hal ini,
agama pun dapat menjadi dasar yang kuat untuk
mengatasi kekerasan.187
Di sisi lain, unsur pengorbanan merupakan hal
penting dalam kebanyakan agama. Sifat fundamental
kekerasan dan peran pengorbanan dianggap sebagai cara
untuk melarikan diri dari kekerasan. Di sini,
pengorbanan menjadi sesuatu yang semakin ritual, yang187Beuken & Kushel ed., Religion as a Source of Violence, viii.
153
menghasilkan kekerasan simbolik. Sakralisasi kekerasan
membuat kekerasan tersebut dapat dibedakan dari
kekerasan pada umumnya dan akhirnya diterima sebagai
sesuatu yang wajar oleh suatu masyarakat. Agama telah
dijadikan pembenar kekerasan.
Dalam pada itu, kekerasan politik-agama
menempatkan politik dan agama sebagai faktor-faktor
yang menjadi sumber kekerasan. Namun tidak tertutup
kemungkinan pula digunakannya agama sekaligus sebagai
alasan pembenar bagi para pelaku kekerasan. Misalnya,
pertentangan antara yang baik dan yang jahat dalam
Kitab Suci agama-agama (nabi) merupakan sumber
kekerasan yang terkait dengan agama. Pemihakan agama
pada kebaikan telah membenarkan banyak kekerasan dalam
sejarah semua agama.
Kekerasan politik-agama yang banyak terjadi di
negara yang baru merdeka, yang berjuang untuk
menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok
minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan
154
agama memainkan peran yang lebih besar.188 Lituania,
Armenia dan Azeris adalah beberapa contoh di
antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan
otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak
dapat dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah
dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya
untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika
merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah
dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk
menetralisir dosa. Massa yang terbius oleh politik-
agama diyakinkan lewat janji-janji kembalinya dunia
yang telah mereka hancurkan. Jika penentraman seperti
itu telah mendapat dukungan, muncullah ekspresi
kreativitas agama asli di antara orang yang
disubordinasikan.189
Berdasarkan uraian di muka, penulis mendefinisikan
agama sebagai sistem kepercayaan (belief system), yang
muncul dan terwujud dalam kehidupan masyarakat melalui188Peter Janke ed., Ethnic and Religious Conflicts (Europe & Asia:Aldershot, Dartmouth, 1994), viii.189Santoso, Kekerasan Politik Agama, 48.
155
interaksi-interaksi peribadatan (ritual system), dan
tanggap terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh
para penganutnya (community system). Dalam pengertian
tersebut, agama semestinya tidak menimbulkan kekerasan
karena ia diturunkan justru sebagai pedoman untuk
hidup secara damai dan saling menghargai. Namun,
kenyataannya agama dapat menimbulkan kekerasan apabila
bersinggungan dengan faktor lain, misalnya,
kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik.
Agama dapat disalahgunakan dan disalaharahkan baik
dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi
eksternal, agama propetis, seperti Islam dan Kristen,
cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas
mereka terancam. Dari sisi internal, agama propetis
cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin
tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Secara
operasional, kekerasan agama terkait dengan ritual system,
dan community system. Oleh karena itu, pemahaman agama
156
atau bagaimana agama diinterpretasikan merupakan salah
satu alasan yang mendasari kekerasan agama.
2. Perilaku Kekerasan dalam Perspektif Psikologi
Psikologi sebagai ilmu telah memiliki sejarah yang
panjang dalam usahanya
untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan.190 Pada
awalnya, penelitian psikologi lebih menekankan pada
karakter pelaku tindak kekerasan yang unik dan abnormal,
190Tutut Chusniyah, “Ideologi, Mortality Salience dan Kekerasan‘Suci’: Analisis Model Struktural,” (Tesis MA, UniversitasIndonesia, Jakarta, 2005). Studi Psikologi ini telah mengujimodel kekerasan suci, apakah model teoretik yang diajukanmenggambarkan pengaruh ideologi jihad, ideologi politikkonservatif, belief in a just world, mortality salience terhadap kekerasansuci. Sebanyak 371 responden berusia 15-40 tahun dari kelompokIslam fundamentalis mengisi kuesioner untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modelteoretik yang dajukan sesuai untuk menjelaskan kekerasan suci.Kekerasan suci dipengaruhi oleh ideologi jihad, ideologipolitik konservatif, belief in a just world dengan mortality saliencesebagai mediator. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jihadmerupakan ideologi keagamaan yang paling besar pengaruhnyaterhadap kekerasan suci. Saran bagi penelitian selanjutnyaadalah mengembangkan penelitian mengenai jihad dan pengaruhnyaterhadap kekerasan suci dengan memperluas sampel dan mengujivariabel lain yang mungkin juga dapat mempengaruhi kekerasansuci, seperti persepsi terhadap ancaman, identitas dansoldaritas kelompok, RWA, deprivasi, atau juga meneliti jihadsebagai legitimize ideology dalam perspektif teori SDO. Penelitianini juga telah dipresentasikan pada konferensi AASP (AsianAssociation of Psychology) pada tanggal 4 April 2005 di UniversitasVictoria Wellington, New Zealand.
157
misalnya Pizzey yang menemukan bahwa suami yang melakukan
kekerasan fisik terhadap istrinya memiliki kepribadian
yang sadis.191 Namun Strauss menyatakan bahwa hanya 10%
saja kasus kekerasan yang disebabkan oleh kekacauan
pribadi (personal disorder). Temuan tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Crenshaw yang tidak menemukan tanda-
tanda bahwa anggota IRA (Irish Republican Army) terganggu secara
emosional.192 Menurut Crenshaw, perilaku teror lebih
dipengaruhi oleh komitmen ideologi dan solidaritas
kelompok.193
Dalam penelitian tentang kelompok, misalnya tawuran
pelajar, ditemukan adanya kontribusi kelompok terhadap
kekerasan. Clayton, Barlow, dan Ballif-Spanvill menyatakan
bahwa pada individu yang bergabung dalam kelompok,
keanggotaannya dalam kelompok akan menyebabkan anonimitas
191D. J. Christie, et. al., Peace, Conflict and Violence: Peace of Psychologyfor 21 Century (New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 2001).192J. M. Post, “Terrorist Psychologic: Terrorist Behavior as aProduct of Psychological Forces” dalam Origin of Terrorism: Psychologies,Ideologies, Theologies, State of Mind. ed. W. Reich (Washington. D. C.:The Woodrow Wilson Center Press, 2003).193M. Cottam, et. al., Introduction to Political Psychology (Mahwa, NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2004).
158
individu. Menurut Diener, perasaan anomi dalam diri
individu ini akan mengurangi kesadaran diri dan mengganggu
persepsi. Keadaan itulah yang menyebabkan individu
berperilaku ekstrim, yang pada keadaan normal bukan
merupakan karakter individu. Sedangkan Festinger
menjelaskan keadaan anonimitas individu ke dalam proses
deindividuasi. Seorang individu yang telah menjadi bagian
dari kelompok tidak lagi menjadi individu, karena
identitas individualnya hilang. Selanjutnya Mullen
mengatakan bahwa deindividuasi ini menghancurkan proses
pengaturan diri (self-regulation) yang normal dan menyebabkan
perilaku agresif. 194
Dalam sejarah kekerasan agama yang dilakukan oleh
kelompok Islam fundamentalis di Indonesia, tercatat
beberapa peristiwa sejak tahun 1970 hingga tahun 2004. Di
antara peristiwa-peristiwa itu misalnya serangan bom
terhadap sejumlah gereja, klab-malam, dan bioskop oleh
Komando Jihad antara tahun 1970-1980-an. Contoh lain194C. J. Clayton, et. al., “Principle of Group Violence withFocus on Terrorism” dalam Collective Violence. ed. H. V. Hall & L.C. Whitaker (Washington D. C.: CRC Press, 1999).
159
adalah teror Warman yang terjadi di Lampung pada
pertengahan tahun 1980-an. Pada tahun 1990-an sampai
dengan sekarang, Front Pembela Islam (selanjutnya disebut
FPI), mengadakan razia dan perusakan bar, klab-malam, dan
hotel.195
Kekerasan yang lebih mutakhir terjadi pada sekitar
tahun 2000, yaitu serangan bom pada malam Natal di
berbagai kota di Indonesia, yang menewaskan belasan orang
dan mencederai puluhan lainnya.196 Kekerasan yang paling
banyak memunculkan reaksi dunia internasional dan paling
banyak menimbulkan korban tewas (yaitu 180 jiwa) adalah
bom yang meledak di Paddy’s Café dan Sari Club Denpasar
Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, peledakan bom di hotel
Mariot Jakarta, dan serangan bom bunuh diri di depan
Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam
fundamentalis diidentifikasi sebagai kekerasan ‘suci’195A. Purnomo, FPI Disalahfahami (Jakarta: Mediatama Indonesia,2004). 196Kompas, 1 April 2002.”Serangan Bom di Indonesia dan Filipina”.http:// www.kompas,com/ kompas-cetak/0204/01/nasional/radio6.htm. (januari,2004).
160
(sacred violence). Kekerasan ‘suci’ merupakan kekerasan yang
memanipulasi simbol-simbol dan idiom-idiom agama untuk
menyebarkan kebencian, mengintimidasi, mengganggu, melukai
dan membunuh orang lain atas nama Tuhan.197 Kekerasan
‘suci’ ditemukan hampir pada semua agama, bahkan menurut
Hamblim dan Peterson kekerasan ‘suci’ merupakan bagian
integral dari sejarah agama Nasrani. Sejak perang suci
Heraclius pada tahun 620 M, perang agama pada abad 16
dengan munculnya Protestan hingga perang salib. Sampai
saat ini, Christian identity movement (gerakan identitas
Kristen) membenarkan penggunaan kekerasan yang dilakukan
untuk menghukum orang yang menyimpang dari hukum Tuhan.
Dalam agama Hindu, dua epiknya yaitu Mahabarata dan
Ramayana, menceritakan bahwa Tuhan sendiri berinkarnasi
untuk berperang ‘suci’ melawan setan di bumi. Sedang
sejarah perang ‘suci’ pada agama Budha di Jepang
197W. J. Hamblim & D. C. Peterson,”Religion and Violence: an Unholy Combination. ” http://www.meridianmagazine.com/ideas.html. (januari, 2004) ; D. C. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: the Religious Practices of Modern Satanist and Terrorist. ” http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html . (januari,2004).
161
dicontohkan dengan adanya ksatria monyet (buddist sohei) atau
kodifikasi perang yang bersandar pada Budhisme yang
disebut Bushido. Sedang dalam Islam, dalil-dalil al-Qur’an
dan al-Hadits seringkali digunakan sebagai pembenaran
terhadap kekerasan ‘suci’, misalnya pamflet The Neglected Duty
(Al-Faridah Al-Ghai’bah) yang ditulis oleh Abd Al-Salam Faraj
dari kelompok Al-Jihad, yang kemudian menjadi pendorong
untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat
pada tahun 1981.198 Begitu juga halnya dengan alasan moral
yang digunakan para ulama dalam memberikan pembenaran
moral terhadap pelaku bom bunuh diri.199
a. Kajian Teoretik
Penelitian psikologi ini menguji model kekerasan
‘suci’ yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis di
Indonesia yang difokuskan pada teori ideologi dan teori
managemen teror. Penelitian melibatkan empat konstruk198D. Rappoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example fromIslam” dalam Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State ofMind, ed. W. Reich (Washington. D. C.: The Woodrow Wilson CenterPress, 2003).199M. Kramer, “The Moral Logic of Hizballah” dalam Origin ofTerrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind, ed. W. Reich(Washington D.C.: The Woodrow Wilson Center Press, 2003).
162
teoretik yaitu: ideologi jihad, ideologi politik
konservatif, believe in a just world (selanjutnya disebut BJW)
dan mortality salience sebagai mediator.
Pertama, menurut Perlmutter kekerasan ‘suci’
mendapat pembenaran oleh kelompok Islam fundamentalis
dengan menginterpretasi ideologi jihad. Ideologi jihad
merupakan sebuah aliran (genre) yang sangat populer dalam
dunia Islam, namun sampai 11 September 2001 hanya mendapat
sedikit perhatian dalam dunia Barat.200 Jihad dalam dunia
Islam bukan saja sangat populer, bahkan menurut Hamada
popularitas agama Islam sepanjang sejarahnya dikarenakan
Islam memiliki prinsip jihad ini.201
Pengertian jihad sendiri masih diperdebatkan,
sehingga belum ditemukan pengertian tunggal. Istilah jihad
berasal dari kata Arab jahada (kata benda abstrak, juhd)
200D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: The Religious Practices Of Modern Satanist And Terrorist” http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html(januari,2004)201N. Abi-Hashem, “Peace and War In The Middle East: APsychological And Sociocultural Perspective“ dalam UnderstandingTerrorism: Psychological Roots, Consequences and its Interventions, ed. F.Moghaddam, & A. Marsella, (Washington D. C.: American Psychological Assosiation, 2004).
163
yang bermakna berusaha dengan sekuat tenaga, berusaha
dengan segenap hatinya.202 Definisi klasik dari jihad
adalah: “…exerting, one’s umost power, effort, endeavors or ability in
contending with an object of disapprobation”. 203 Sedangkan menurut
pemahaman asketik dan mistik, dibedakan antara jihad besar
yang merepresentasikan perjuangan melawan dirinya sendiri
dan jihad kecil yaitu berjuang di jalan Allah (jihad fi
sabilillah). Dengan demikian, penelitian ini melihat jihad
dalam dua dimensi yaitu: jihad besar dan jihad kecil.
Kedua, kelompok Islam fundamentalis ini biasanya
cenderung menutup diri dari pengalaman dan titik pandang
yang dianggap mempengaruhi pandangan dunia mereka
(worldview). Ketertutupan kelompok fundamentalis terhadap
pandangan lain merupakan mekanisme pemeliharaan
ideologi.204 Mekanisme itu membuat para penganut
fundamental percaya bahwa tidak ada pandangan dunia yang202Madjid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam. Ter. Kiswanto(Yogyakarta: Tarawang Press. 2002).203R. Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (New York: OxfordUniversity Press, 1999).204R. K. Unger. “Them and Us: Hidden Ideologies-Difference inDegree or Kind?” dalam Analyses of Social Issue and Public Policy, 2, 1,(2002), 43-52.
164
dianggap sebagai kebenaran selain pandangan dunia yang
mereka miliki.205 Kelompok Islam fundamentalis ini,
cenderung kaku dan dikotomis (baik-buruk) dalam
mengartikan dunia sosial.206 Mereka cenderung tidak
toleran, ekstrim, fanatik, kaku, dan literalis.207 Gambaran
itu disebut sebagai ciri ideologi politik konservatif.208
Menurut Garcia dan Griffitt, orang yang konservatif
memiliki sikap yang lebih keras dibandingkan dengan orang
yang liberal. Jika dipandang dari perspektif konservatif,
kelompok Islam fundamentalis memiliki pandangan ideologi
politik konservatif terhadap isu-isu sosial politik.
Individu yang memiliki ideologi politik konservatif
cenderung tidak toleran pada perbedaan pendapat dan anti
perubahan.209
205E. Staub. The Roots of Evil: The Origins of Genocide and Other Group Violence(New York: Cambridge University Press, 1989).206T. Adorno, et. al., The Authoritarian Personality (New York: Harper,1950); P. E. Tetlock, “Cognitive Style and Political Ideology”dalam Journal of Personality and Social Psychology, 41, (1983), 207-212.207Achmad Jainuri, et. al., Terorisme dan Fundamentalisme Agama(Malang: Bayu Media Publishing, 2003).208Tetlock, “Cognitive Style and Political Ideology”, 207-212.209J. Vala, et. al., “Perception of Violence as a Function ofObserver’s Ideology and Actor’s Group Membership” dalam BritishJournal of Social Psychology, 27, (1988), 231-237.
165
Ketiga, fenomena kekerasan ‘suci’ ini juga dapat
dilihat dari perspektif managemen teror. Menurut
penelitian J. Greenberg, S. Solomon, N. Veeder, T.
Pyszczynsk, S. Kirkland dan D. Lyon tentang managemen
teror menunjukkan bahwa dengan mengingatkan subjek
terhadap kematiannya sendiri akan menyebabkan reaksi
negatif terhadap orang-orang yang kepercayaan dan nilai-
nilainya berbeda dengan dirinya.210 Dan juga penelitian E.
Harmon-Jones, L. Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon dan H.
McGregor, menemukan bahwa mortality salience (MS) menyebabkan
subjek memberi rekomendasi yang lebih keras terhadap para
pelanggar moral.211 Adapun penelitian J. Greenberg, L.
Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon, N. Veeder, dan D. Chatel
menemukan bahwa individu dengan ideologi politik
konservatif, yang sangat tidak toleran, bila memikirkan
210J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management TheoryII: The Effect of Mortality Salience Relations to the WhoThreaten or Bolster the Cultural Worldview” dalam Journal ofPersonality and Social Psychology, 58, 2, (1990), 308-318.211E. Harmon-Jones et. al., ”Terror Management Theory and Self-Esteem: Evidence that Increased Self-Esteem Reduce MortalitySalience” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1,(1997), 24-26.
166
kematiannya sendiri cenderung untuk bersikap tidak toleran
terhadap orang lain yang berbeda.212 Dengan demikian,
diharapkan pada orang dengan ideologi politik konservatif
dengan melalui MS akan berhubungan secara positif dengan
kekerasan ‘suci’.
Keempat, orang percaya bahwa mereka hidup di dunia
yang setiap orang akan memperoleh apa yang sepatutnya ia
peroleh. Pada orang yang memiliki kepercayaan bahwa dunia
itu adil adanya (belief in an just world atau BJW), menurut C.
Dalbert, I. M. Lipkus, H. Sallay and I.Goch, mereka akan
berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang adil dan hal
itu mempengaruhi perilaku sosialnya dalam kehidupan
sehari-hari.213 Sebaliknya, orang-orang yang percaya bahwa
dunia itu sebetulnya bukan tempat yang adil (belief in an
unjust world atau BUW) menunjukkan kecenderungan untuk
212J. Greenberg, et. al., ”Terror Management and Tolerance: DoesMortality Salience always Intensify Negative Reactions to otherWho Threaten One’s Worldview?” dalam Journal of Personality and SocialPsychology, 63, 2, (1992), 212-220.213C. Dalbert et. al., ” A Just and Unjust World: Structure andValidity of Different World Beliefs ” dalam Personality and IndividualDifferences, 30, (2001), 561-577.
167
berperilaku tidak sesuai dengan aturan-aturan yang adil.214
Hal ini terjadi karena konsep BJW menunjukkan kontrak
personal antara individu dengan dunia sosialnya. Sehingga
semakin kuat individu memegang BJW, maka semakin kuat pula
kewajibannya untuk berperilaku sesuai dengan aturan
keadilan. Sebaliknya individu dengan BUW akan mempertinggi
kemungkinan untuk tidak adil. Bila hipotesis ini benar,
maka diharapkan BJW dan BUW dapat memprediksikan
kekerasan ‘suci’ dengan BUW lebih condong terhadap
kekerasan dibandingkan dengan BJW.
Pada penelitian ini, pertama diukur kekerasan ‘suci’
dari dukungan mereka terhadap berbagai kemungkinan respon
untuk menyerang dan merusak papan iklan bir, papan iklan
bergambar porno, tempat perjudian dan prostitusi, kafé,
bar, klub-malam, dan hotel-hotel. Model kekerasan ‘suci ini
diringkas dalam figur 1:
214M. J. Lerner, The Belief in a Just World: A Fundamental Delution (New York:Plenium Press, 1980).
168
Figur 1. Model Kekerasan ‘suci
Keterangan: Gama (γ) = matrik koefisien yang menghubungkan variabel laten (LVs)
eksogenus dengan (LVs) endogenus. Beta (ß) = matrik koefisien yang menghubungkan satu (LVs)
endogenus dengan satu (LVs) endogenus lainnya.
Perlmutter menjelaskan bahwa sepanjang sejarah dan
lintas budaya, kekerasan ‘suci’ dimaafkan dan dianggap
penting berdasarkan prinsip-prinsip agama pelaku. Penganut
agama secara serius dihadapkan pada paradoks dari penganut
yang menganggap kekerasan ‘suci’ sebagai kewajiban ‘suci’.
Penggunaan kekerasan ‘suci’ selalu dapat dibenarkan bila
dilakukan dalam rangka menghukum pelanggar hukum Tuhan.
Kejahatan yang bertujuan untuk penyucian selalu dapat
dibenarkan.215 Dalam agama Islam pembenaran dilakukan215D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: TheReligious Practices Of Modern Satanist And Terrorist”
Jihad
IPKKekeras
an ‘Suci’
BJW
MS
γ22
γ21
γ12
γ13 γ23
β21
169
melalui interpretasi ideologi jihad, yang dilakukan oleh
kelompok Islam fundamentalis. Individu yang memiliki jihad
tinggi, akan mendukung kekerasan ‘suci’ sehingga kita
harapkan jihad akan berpengaruh langsung terhadap
kekerasan suci. Kecenderungan tersebut semakin kuat bila
individu diingatkan akan kematiannya sendiri atau MS
individu diaktifkan. Dalam persepektif teori manajemen
teror, ketika individu diingatkan akan kematiannya sendiri
individu merasa cemas dan mengatasi kecemasan dengan
kembali pada nilai dan kepercayaan yang dimiliki serta
berusaha untuk hidup sesuai dengan standar nilai dan
kepercayaannya.
Dalam pandangan kelompok Islam fundamentalis,
keberadaan bar, klab-malam, café, hotel, papan iklan
porno, sejumlah tempat prostitusi, dan perjudian,
menyimpan ancaman terhadap validitas kepercayaan, nilai,
dan konsep realitas budaya individu. Menurut Rosenblatt,
Greenberg, Solomon, Pyszczynski, dan Lyon bahwa kelompok
http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html(january, 2004).
170
Islam fundamentalis menganggap transgresor adalah ‘setan’
dan konsekuensinya orang yang melanggar moral harus
dihukum. Oleh karena itu, mengaktifkan MS akan memperkuat
pengaruh jihad kekerasan ‘suci’.216
Islam fundamentalis yang melakukan kekerasan ‘suci’,
memiliki pandangan sangat konservatif terhadap berbagai
isu sosial dan politik. Menurut A. Farina, B. Chapnick, J.
Chapnick dan R. Misiti terdapat sikap otoritarian yang
tinggi pada individu yang konservatif.217 Efek MS dan reaksi
negatif terhadap orang lain yang tidak sama semakin kuat
pada orang yang tinggi otoritariannya. Pada individu yang
konservatif dan tidak toleran maka MS akan mengintensifkan
reaksi negatif terhadap orang yang mengancam pandangan
dunia yang dianutnya sehingga mempengaruhi dukungan
individu terhadap kekerasan ‘suci’. Diprediksikan bahwa
216J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management TheoryII” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 2, (1990),308-318.217A. Farina et. al., ”Political Views And InterprepersonalBehavior” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 22, 3,(1972), 273-278 .
171
ideologi konservatif melalui MS akan berhubungan secara
positif dengan kekerasan ‘suci’.
Dalam konsep BJW, diharapkan berkorelasi negatif
dengan kekerasan ‘suci’ sedang yang sebaliknya terjadi
pada individu dengan BUW. BJW dan BUW dapat berpengaruh
langsung terhadap kekerasan ‘suci’. Menurut Rosenblatt
dkk, budaya memberikan rasa aman dengan cara menjanjikan
kekekalan nyata dan simbolik terhadap orang yang hidup
sesuai standar nilai dan melalui konsep bahwa dunia
merupakan tempat yang adil, sesuatu yang buruk tidak akan
terjadi pada orang yang baik. Jika MS diaktifkan pada
individu dengan BJW, akan memberikan rasa aman dari
ancaman kematian dan ancaman terhadap validitas konsep
realitasnya. Dengan demikian, adanya MS diprediksikan
dapat memperkuat pengaruh BJW terhadap kekerasan ‘suci’.218
b. Proses Penelitian
218A. Rosenblatt et. al., ”Evidence For Terror Management TheoryI: The Effect of Mortality Salience on Reactions to those WhoViolate or Uphold the Cultural Value” dalam Journal of Personality andSocial Psychology, 57, 4, (1989), 681-690.
172
Kuesioner yang disebarkan dalam penelitian ini
sebanyak 450, sedangkan yang kembali 373 kuesioner dan
yang dapat diolah 371 dengan dua kuesioner tidak lengkap
sehingga tidak dapat diolah. Populasi penelitian ini
adalah kelompok Islam fundamentalis dengan sampel
penelitian berasal dari kelompok Front Pembela Islam (FPI)
79 % atau 295 responden, Hizbuttahrir Indonesia (HTI) HTI
16% atau 61 responden dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
5 % atau 15 responden. Sebagian besar subjek berjenis
kelamin laki-laki 83 % atau 309 responden dan perempuan
hanya 17 % atau 62 responden.
Untuk mengukur kekerasan ‘suci’, disusun lima item
skala kemungkinan individu untuk ikut tindakan merusak
dengan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang 6=
sangat setuju terhadap pernyataan). Contoh item skala, ini
antara lain, “Seberapa besar kemungkinan anda ikut
bergabung dengan gerakan yang merusak papan iklan bir”
Validitas item dari skala ini antara 0,77 sampai 0,85,
dengan α=0,92.
173
Sedangkan skala ideologi jihad tersusun 12 item yang
didasarkan definisi operasional ideologi jihad dan
sebelumnya juga dilakukan elisitasi. Skala ini memiliki
validitas antara 0,42 sampai 0,65, dengan α=0,74. Item
pada skala ini juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat
tidak setuju, sedang 6= sangat setuju terhadap
pernyataan). Contoh item skala ini, antara lain, “ Jihad
merupakan perang melawan musuh Islam”
Skala ideologi politik yang terdiri dari 9 item
merupakan adaptasi skala konservatif umum dari
Ray, item disesuaikan dengan kondisi sosial
politik di Indonesia. Ray menggunakan skala konservatif
umum ini untuk meneliti psikopatologi, otoritarianisme dan
orientasi politik pada mahasiswa Universitas Macquarie
Australia, skala ini memiliki α=0,87 dengan validitas
antara 0,24 sampai 0,52. Item pada skala ini juga
menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang
6= sangat setuju terhadap pernyataan).219 Contoh item dari219J. Ray, ”Militarism, Authoritarianism, Neuroticism and AntiSocial Behavior” dalam Journal of Conflict Resolution, 16(3), (1972),319-340.
174
skala ini adalah, “Indonesia harus membuka hubungan
diplomatik dengan Israel”.
Skala BJW ini merupakan skala yang divalidasi oleh
Dalbert pada para tahanan dan petugas penjara, dengan
mengkorelasikan BJW-BUW dengan dengan orientasi keagamaan,
well-being, dan ideologi politik. Skala terdiri dari dua
bagian yaitu 6 item skala BJW dan empat item skala BUW.
Dalbert dkk melihat kedua belief ini sebagai suatu konstruk
yang deskrit, sehingga skala BJW dan BUW mengukur dua hal
yang berbeda. Oleh karena itu, seorang individu pada skala
Dalbert dkk ini dapat memiliki kedua belief ini secara
bersama-sama. Dengan kata lain, individu tersebut tinggi
pada skor BJW dan juga skor BUW-nya. Skala BJW dengan α=74
dan validitas antara 0,36-0,64, sedang skala BUW dengan α
=0,66 dan validitas antara 0,43-0,47. Item pada skala ini
juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju,
sedang 6= sangat setuju terhadap pernyataan). Contoh item
dari skala ini adalah, “Saya percaya bahwa keadilan selalu
menang terhadap ketidakadilan”
175
Skala MS terdiri dari dua bagian, yaitu MS kognitif
dan MS afektif. Skala MS kognitif terdiri dari 6 item
yang disusun berdasarkan hasil elisitasi, berkaitan dengan
apa yang dipikirkan individu akan terjadi sesudah individu
itu mati. Pertanyaan yang digunakan peneliti pada waktu
elisitasi berasal dari pertanyaan terbuka yang digunakan
oleh Greenberg dkk. Sedangkan skala MS afektif berupa 11
item keadaan emosi yang diambil dari Positive and Negative
Affective Scale (PANAS) dari Watson, Clark dan Tellegen,
terdiri dari 6 keadaan emosi negatif dan lima keadaan
emosi positif. MS afektif merupakan perasaan atau emosi
yang timbul ketika individu memikirkan kematiannya
sendiri.220 PANAS ini juga digunakan dalam penelitian
Greenberg. Contoh item skala MS kognitif adalah “Mati
berarti berpisahnya ruh dari badan”. Skala ini memiliki
α=82 dengan validitas antara 0,20 sampai 0,67.
3. Hasil Penelitian
220D. Watson et. al., ”Development and Validation of BriefMeasures of Positive and Negative Affect: The PANAS Scales”dalam Journal of Personality and Social Psychology, 54, (1988), 1063-1070.
176
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
keterlibatan tiga variabel eksogen, yaitu ideologi jihad,
ideologi politik, dan BJW-BUW terhadap dua variabel
endogen, yaitu kekerasan ‘suci’ dan MS. Prosedur yang
dilakukan dalam pengolahan data adalah model struktural
atau tehnik SEM dengan LISREL 8.5 sebagai softwarenya. Pada
model struktural ini, diuji pengaruh langsung dari
ideologi jihad dan BJW terhadap kekerasan ‘suci’, serta
pengaruh tidak langsung ideologi jihad, BJW dan ideologi
politik terhadap kekerasan ‘suci’. Untuk mendapatkan model
hipotesis yang fit dan dapat menggambarkan data sampel,
sebuah penelitian harus memenuhi kualifikasi berupa: P-
value>0,05, Root Mean Square Error of Approximation
(RMSEA)<0,05, Goodness of fit index (GFI)>0,90 and T-
value>1,96. Model kekerasan ‘suci’ yang diajukan sebagai
hipotesis fit (antara model dengan data sesuai), dengan good
of fit yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Good of fit Model Kekerasan ‘Suci’
177
χ df RMSEA p-value
GFI CFI
1,19 2 0,00
0,77 0,99 0,99
Hubungan struktur antara variabel eksogen dengan
variabel endogen tersebut di atas dapat dilihat dengan
lebih jelas pada figur 2.
Figur 2. Model Struktural Kekerasan Suci
Keterangan: IPK=ideologi politik konservatif, BJW=belief in a just world,MS=mortality salience, garis putus-putus menunjukkan jalur yang tidaksignifikan dengan Taraf signifikansi 0,5%
Dilihat dari koefisien standardized solution (SS), maka
variabel yang paling kuat pengaruhnya adalah pengaruh
ideologi jihad terhadap kekerasan ‘suci’ yaitu 0,45.
Jihad
IPK Kekerasan Suci
BJW
MS
0,45
0,14
-0,33 0,1
4
0,120,07
178
Dengan demikian, individu dengan jihad tinggi cenderung
untuk mau ikut kekerasan ‘suci’. Sedang pengaruh jihad
terhadap MS bersifat negatif yaitu -0,33, individu dengan
jihad tinggi maka MSnya rendah. Pengaruh ideologi politik
konservatif terhadap MS yaitu 0,14, sedang pengaruh MS
terhadap kekerasan ‘suci’ juga 0,14. Maka, individu dengan
ideologi politik konservatif dengan mengaktifkan MS
cenderung mau ikut kekerasan ‘suci’. Sementara pengaruh
yang tidak signifikan terjadi antara BJW terhadap MS,
sedang pengaruh BJW terhadap kekerasan ‘suci’ signifikan
pada 0,12 yaitu individu dengan BJW cenderung mau ikut
kekerasan ‘suci’. Ringkasan pengaruh variabel eksogen
terhadap variabel endogen dapat dilihat secara lebih jelas
pada tabel 2.
Tabel 2. LISREL ESTIMATE (MAXIMUM LIKELIHOOD)
Pengaruh Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen
Pengaruh antar Variabel SS T-value
Jihad terhadap kekerasan ‘suci’ (γ)
Jihad terhadap MS (γ)
Ideologi politik terhadap MS (γ)
0,45*
-0,33*
0,14*
8,63*
-6,74*
2,90*
179
BJW terhadap MS (γ)
BJW terhadap Kekerasan ‘suci’ (γ)
0,07
0,12*
0,6
2,20*
*=signifikan, t-value> 1 ,96(koefisien bermakna pada l.o.s. 0,05)
Takaran signifikansi statistik dalam penelitian ini,
dengan menggunakan t-statistik pada taraf signifikansi
0,05, maka t-statistik (t-value) yang dibutuhkan >± 1,96.
Dari tabel di atas, berdasar t-value maka hanya variabel
BJW yang pengaruhnya tidak signifikan terhadap MS. Sedang
hubungan struktur antar variabel endogen, yaitu antara MS
terhadap kekerasan ‘suci’ signifikan pada 0,14. Dapat
diartikan bahwa variabel MS berpengaruh terhadap kekerasan
‘suci’. Pengaktifan MS berpengaruh terhadap kekerasan
‘suci’. MS tinggi menyebabkan kekerasan ‘suci’.
4. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jihad
berpengaruh langsung terhadap kekerasan ‘suci’ dan
merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap
kekerasan ‘suci’. Seperti yang telah diuraikan di bagian
depan, jihad merupakan prinsip keagamaan yang sangat
180
penting dalam agama Islam. Bagi kelompok Islam
fundamentalis dengan jihad tinggi akan berusaha secara
maksimal untuk menerapkan ajaran Islam dan memberantas
kemungkaran. Jihad digunakan sebagai justifikasi oleh
kelompok Islam fundamentalis yang melakukannya. Berdasar
prinsip-prinsip jihad, penggunaan kekerasan ‘suci’ selalu
dapat dibenarkan dan dianggap penting bila dilakukan dalam
rangka menegakkan kebenaran yang bertujuan untuk
membersihkan berbagai tempat yang digunakan untuk
melanggar hukum Tuhan (seperti tempat yang digunakan untuk
prostitusi dan perjudian).
Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Fukuyama
bahwa bagi kaum Islam fundamentalis, modernisasi dan
nilai-nilai sekular mengancam cara hidup yang mereka anut.
Budaya materialistik Barat merupakan ancaman terhadap
nilai spiritual dan praktek agama Islam, karena ada
kesulitan dalam mensintesiskan dunia sekular dan agama.221
Menurut Marsella dalam kondisi ketakutan dan
221T. Pyszczynski et. al., In The Wake of 9/11: The Psychology of Terror(Washington D. C.: American Psychological Assosiation, 2003).
181
ketidaktentuan ini, Islam fundamentalis menawarkan satu
alternatif pemecahan sederhana terhadap masalah yang
kompleks itu yaitu kepercayaan yang mutlak terhadap dogma
agama. Hal itu terjadi, karena mereka memandang bahwa
kemunduran umat Islam karena berkurangnya puritansi agama.
Oleh karena itu, dalam perspektif mereka maka setiap orang
Islam harus mengambil sedekat mungkin gaya hidup pengikut
Islam pada masa Rosul Muhammad dan sahabat (salaf).222
Kelompok Islam fundamental mengikuti cara hidup seperti
yang diajarkan al-Qur’an secara literal dan sangat detil.
Sebuah cara hidup yang seringkali bertentangan dengan
nilai-nilai modern dan sekular. Lebih lanjut Pyszczynski
menyimpulkan bahwa dalam perspektif Fukuyama, ada potensi
perbenturan antara mereka (setan atau para pelanggar
moral) dengan kami (yang hidup sesuai ajaran al-Qur’an).
Jihad sebagai ideologi keagamaan yang sangat penting
serta menjadi kewajiban setiap muslim dan dapat dipanggil
222F. M. Moghaddam and A. J. Marsella ed, Understanding Terrorism:Psychological Roots, Consequences, and Its Interventions (Washington D. C. :American Psychological Assosiation, 2004).
182
ketika dibutuhkan.223 Keberadaan para pelanggar moral,
memanggil dan mengaktifkan jihad. Aktivasi jihad
menyebabkan Mortality Salience tidak teraktivasi (deactivated).
Pada individu dengan jihad tinggi maka MS-nya tidak
teraktivasi, berarti individu tidak takut untuk mati.
Dalam kepercayaan Islam ada janji surga bagi orang yang
mati ketika berjihad yang berarti melayani Allah. Oleh
karena itu orang dengan jihad tinggi tidak takut mati.
Apabila jihad sudah teraktivasi maka tanpa MS pun individu
akan terdorong untuk melakukan kekerasan ‘suci’.
Meskipun pengetahuan tentang kematian yang tidak
terelakkan bermakna absolute annihilation (penghapusan mutlak),
pada orang dengan jihad tinggi MS tidak teraktivasi.
Menurut Dawkins, hal itu dapat terjadi karena kepercayaan
yang ada di dalam agama seperti kepercayaan terhadap hidup
sesudah mati yang membuat individu ingin sacrifice
(menyucikan) hidupnya. Dalam perspektif Dawkins ini, maka223N. Abi-Hashem, ”Peace and War in the Middle East: APsychological and Sociocultural Perspective” dalam UnderstandingTerrorism: Psychological Roots, Consequences and its Interventions. ed. F. M.Moghaddam and A. J. Marsella (Washington D. C.: AmericanPsychological Assosiation, 2004).
183
merusak berbagai tempat yang digunakan untuk melanggar
hukum Tuhan, merupakan upaya untuk menyucikan diri bagi
kelompok ini.224
Seperti yang diprediksikan sebelumnya, hubungan
ideologi politik konservatif dengan kekerasan ‘suci’
melalui pengaktifan MS. Pada individu yang konservatif dan
tidak toleran, maka mengaktifkan MS menyebabkan individu
tersebut cenderung melakukan kekerasan ‘suci’. Hasil
penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Greenberg dkk.225 Reaksi negatif terhadap
orang yang tidak sama semakin kuat efeknya pada individu
yang konservatif, yaitu individu yang rendah derajat
toleransinya. Kelompok Islam fundamental Islam
fundamentalis yang melakukan kekerasan ‘suci’, memiliki
pandangan sangat konservatif terhadap berbagai isu sosial
dan politik.226 224T. Pyszczynski et. al., ”In The Wake of 9/11”.225J. Greenberg et. al., ”Terror Management and Tolerance”, 212-220 .226M. E. Nielsen,. ”Religion’s Role in Terroris Attack of September 11, 2001” http://www.psywww.com/psyrelig/fundamental.html . (january, 2004)
184
Menurut Keniston pada individu yang konservatif
terdapat sikap otoritarian yang tinggi dan efek MS serta
reaksi negatif terhadap orang lain yang tidak sama semakin
kuat pada orang yang tinggi otoritariannya. Pada individu
yang konservatif dan tidak toleran maka MS akan
mengintensifkan reaksi negatif terhadap orang yang
mengancam pandangan dunia yang dianutnya sehingga
berpengaruh terhadap kemungkinan individu untuk mau ikut
melakukan kekerasan ‘suci’.227 Dalam perspektif manajemen
teror, orang yang menyerang tempat prostitusi dan
perjudian membuktikan bahwa orang tersebut hidup sesuai
dengan standar nilai yang dipegangnya. Kebutuhan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya, memunculkan
reaksi negatif terutama pada individu yang tidak
toleran.228
Belief in a Just World (BJW) berpengaruh terhadap kekerasan
‘suci’ secara langsung tanpa melalui pengaktifan MS.227A.Farina, et.al., ”Political Views”, 273-278 . 228J. Greenberg et. al., ”Terror Management and Tolerance”, 212-220 .?M. E. Nielsen,. ”Religion’s Role in Terroris Attack of September 11, 2001”
185
Berbeda dengan prediksi sebelumnya, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa individu dengan BJW tinggi cenderung
untuk ikut dalam kekerasan ‘suci’. Rubin dan Peplau
menemukan bahwa individu dengan BJW yang tinggi akan lebih
religius.229 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara jihad dengan BJW, orang dengan
jihad tinggi juga memiliki kecenderungan untuk tinggi BJW-
nya. Sebagai ideologi keagamaan, jihad sangat besar
peranannya dalam diri individu. Oleh karenanya dalam
perspektif jihad, melakukan kekerasan terhadap para
pelanggar moral merupakan suatu tindakan yang adil.
Kelompok Islam fundamentalis ini memandang tindakannya
merusak berbagai tempat maksiat itu sebagai tindakan yang
adil. Karena dalam BJW ini, terdapat asumsi bahwa orang
memperoleh apa yang sepatutnya ia peroleh, reward dan
punishment diperoleh secara adil sesuai dengan perilaku,
sifat dan karakter individu.230 Apa yang dilakukan oleh229C. Andre, and M. Velasquez, ”The Just World Theory. Issues in Ethics” http://www.scu.edu/ethics/publication/justworld.html . (january, 1990)230N. J. Finkel, Not Fair: The Typology of Commonsense Unfair (Washington,D. C.: APA, 2001).
186
individu di berbagai tempat yang digunakan untuk melanggar
hukum Tuhan (seperti tempat yang digunakan untuk
prostitusi dan perjudian), dalam perspektif para jihadis
ini, patut menerima hukuman.
3. Terorisme sebagai Bentuk Aksi Kekerasan
a. Definisi dan Konsepsi Terorisme
Istilah terorisme memang masih tergolong “baru”,
khususnya di Indonesia. Istilah ini kali pertama muncul
pada tahun 1789 dalam The Dictionnaire of The Academic Francaise
“System, regime de terreur”. Konteks revolusi Prancis lekat di
dalam penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah
terorisme pada waktu itu memiliki konotasi positif, yakni
aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang
lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan. Namun,
praktik-praktik terorisme sudah lama terjadi sejak sekitar
66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrim Yahudi
melakukan sebagai aksi teror, termasuk di dalamnya
pembunuhan, terhadap bangsa Romawi yang melakukan
pendudukan di wilayahnya (kira-kira di wilayah yang
187
dipersengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang).
Sejak saat itu, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan
dunia, yang melibatkan beragam etnik dan agama terus
terjadi.231
Sedangkan menurut Achmad Jainuri, istilah teror dan
terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat
popular pada dekade 1990-an dan awa12000-an sebagai bentuk
kekerasan agama. Meskipun terorisme, sesungguhnya bukanlah
sebuah istilah baru. Tindakan teror telah muncul sepanjang
sejarah umat manusia. Bagaimana putra Adam, Qabil menteror
Habil, karena dinilai menjadi penghambat keinginan Qabil.
Beberapa bentuk teror telah menjadi cara yang umum untuk
mengintimidasi lawan. Orang yang percaya bahwa dengan
kekerasan dapat mengintimidasi musuh atau lawan untuk
menakut-nakuti dan kemudian merasa takut atau menyerah,
maka biasanya orang tidak ragu menggunakan ancaman yang
231Kacung Marijan, "Terorisme dan Pesantren: Suatu Pengantar"dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, ed.Muhammad Asfar (Surabaya: PUSDEHAM dan JP Press, 2003), v;Lihat Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brownand Company, 1987).
188
dimaksud.232 Sebagai sebuah label untuk tindakan kekerasan,
istilah ini mencerminkan makna negatif bagi mereka yang
dijuluki teroris. Dalam pengertian ini teroris disamakan
dengan istilah menyakitkan lainnya dalam khazanah bahasa
politik, seperti rasis, fasis, atau imperialis.233
Terorisme merupakan salah satu dari sekian istilah
dan konsep di dalam ilmu sosial yang penuh kontroversi dan
perdebatan. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa upaya
untuk mendefinisikan terorisme itu tidak dapat dilepaskan
dari berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi
dan politik. Begitu kontroversinya, Walter Laqueur sampai
berpendapat bahwa sebuah definisi yang komprehensif
mengenai terorisme itu tidak ada atau tidak akan dapat
ditemukan di masa mendatang.234 Padahal, pendefinisian
mengenai terorisme itu cukup penting, bukan hanya untuk
kepentingan akademik, melainkan juga untuk kepentingan
232Achmad Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam:Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi,” (Pidato Pengukuhan Guru Besar,IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Selasa 12 September 2006), 2.233Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 3234Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brown and Company, 1987), 5.
189
praktis, yakni bagaimana cara mengatasinya. Memerangi
terorisme terorganisasi, misalnya, harus memiliki
kejelasan apakah organisasi yang diperangi itu termasuk
teroris atau tidak. Kejelasan demikian tentu saja harus
berasal dari definisi yang jelas pula. Tanpa adanya
kejelasan, upaya untuk memerangi itu berdampak kontra
produktif. Sebagai sebuah istilah bahasa, terorisme
seharusnya dipahami dengan sangat hati-hati, bukan menjadi
instrumen propaganda. Oleh karena itu, penting untuk
memberikan definisi terorisme yang jelas. Dengan kejelasan
definisi ini orang akan mengerti makna sebenarnya istilah
terorisme, dan kemudian merancang hukuman yang tepat bagi
para pelaku teror.
Dalam pandangan Jack Gibbs yang dikutip Asfar,
munculnya kontroversi mengenai pendefinisian mengenai
terorisme itu tidak lepas dari fakta bahwa pemberian label
terhadap aksi-aksi terorisme akan merangsang adanya
kecaman-kecaman yang keras terhadap para pelakunya.235
Karena itu upaya untuk mendefinisikannya tidak akan lepas235Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 12.
190
dari bias politik maupun ideologi.
Sementara itu, dalam pandangan Grant Wardlaw, upaya
mendefinisikan terorisme tidak lepas dari masalah moral.
Masalah moral ini berkaitan dengan realitas bahwa di
dalam mendefinisikan terorisme itu tidak lepas dari suatu
penilaian-penilaian bahwa ada peristiwa-peristiwa
kekerasan yang terjastifikasi, di satu sisi dan ada
peristiwa-peristiwa kekerasan yang tidak terjastifikasi,
di sisi lain.236 Karena itu, upaya untuk mendefinisikan
terorisme tidak lepas dari kontroversi.
Beberapa waktu setelah terjadinya peristiwa
pengeboman di dua gedung kembar di New York, Organisasi
Konferensi Islam (OIC) mengadakan pertemua di Kuala
Lumpur, Malaysia. Di antara bahasan penting yang menjadi
perbincangan hangat adalah mengenai masalah terorisme.
Meskipun OIC merupakan negara-negara Islam, yang berarti
terdapat benang merah yang mengikat mereka, OIC gagal
melakukan pendefinisian mengenai terorisme. Di samping
236Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactics and Counter-Measures(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 4.
191
karena pendefinisian itu tidak lepas dari bias-bias
kepentingan politik dan ideologi, sebagian peserta menolak
melakukan pendefinisian larena masalah ini sudah menjadi
masalah besar dari komunitas internasional, bukan hanya
masalah dari OIC. Selain itu, keengganan ini tidak lepas
daru fakta bahwa aksi-aksi terorisme yang mengemuka di
dalam tahun-tahun terakhir ini melibatkan orang Islam.
Menteri Luar Negeri Palestina membela diri:”Kami menolak
segala upaya untuk mengkaitkan terorisme dengan perjuangan
rakyat Palestina untuk memperoleh hak-hak mereka guna
mendirikan sebuah negara merdeka. Kami menolak segala
upaya mengkaitkan negara-negara Islam, resistensi
Palestina dan Libanon dengan terorisme.”237 Bagi dia yang
menjadi “terorisme nomor satu dan terjelek” adalah
“terorisme negara” yang dilakukan Israel. Tentu saja,
Israel juga menolak jika dikatakan sebagai bagian dari
terorisme negara.
Jika ditinjau dari segi etimologi, terorisme berakar
237Nationaire Review On Line, "Defining Terrorism Down", (4 April2002).
192
dari kata terror berarti takut; kecemasan, terrorism berarti
terorisme; penggentaran, terrorist berarti teroris; pengacau,
terrorize (vb) berarti menakut-nakuti.238 Menurut Chomsky,
konsep tentang terorisme, masih tidak jelas dan pada
umumnya orang saling berbeda tentang definisi terorisme.
Istilah terorisme lebih mengarah pada taktik, alat untuk
mencapai tujuan tertentu. Sebagai sebuah taktik, terorisme
selalu dapat digunakan kapan saja untuk sebuah aksi bagi
suatu kelompok. Jika terorisme dipahami sebagai sebuah
taktik, maka sangat keliru orang mendeklarasikan “perang
terhadap terorisme,” karena orang tidak dapat mengalahkan
taktik. Pernyataan perang terhadap terorisme sama halnya
dengan menyatakan perang secara terus menerus
(kenyataannya, inilah maksud yang sesungguhnya).239
238S. Wojowasito & W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap (Bandung:Hasta, 1980), 231.239Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 4; lihatNoam Chomsky, “The CIA as a Terrorist Organization,”www.Serendipity.nofadz.com/cia/cia_terr.html,1. Noam Chomskyadalah seorang Profesor Linguistik di Massachussets Instituteof Technology (MIT) yang sangat terkenal di dunia dn merupakanseorang inteletualtual yang pikirnnya jauh berbeda dengankebanyakan koleganya, karenakritiknya yang tjam terhadapkebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat),
193
Meskipun demikian, untuk memberikan gambaran
bagaimana terorisme itu didefinisikan, terdapat empat
kelompok yang berbeda pandangan mengenai terorisme, yakni
akademisi, pemerintah, masyarakat umum, dan kaum teroris
serta simpatisannya.240 Pada umumnya, kaum akademisi
mengedepankan intelektualitas dan bersikap netral dalam
melakukan penelitian tentang segala sesuatu yang berbau
teroris. Kultur akademis, seperti: keingintahuan,
skeptisisme, dan seperangkat metodologi akan dapat membawa
sikap dan penemuan makna yang lebih independen dan non-
partisan dibandingkan dengan kelompok lain. Definisi
terorisme dari kelompok ini muncul pada 1988, yang
menyebutkan bahwa “terorisme adalah sebuah metode yang
disemangati oleh keinginan melakukan aksi kekerasan secara
berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau
aktor penguasa bawah tanah (clandestine), karena alasan
idiosinkratis, kriminal, atau politik. Oleh karena itu,
240Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 4-5;lihat Alex P. Schmid, “The Problem of Defining Terrorim” dalamInterntional Encyclopedia of Terrorism (Ram Nagar, New Delhi: S. Chand &Company, 1999), 17-20.
194
berbeda dengan asasinasi, yang mengeksekusi langsung
sasaran pembunuhan, sasaran langsung kekerasan teror bukan
orang yang menjadi sasaran utama. Korban kekerasan
biasanya dipilih secara acak (targets of opportunity) atau
dipilih (representative atau symbolic targets) dari warga yang
menjadi sasaran, yang kemudian dijadikan sebagai sumber
pesan. Ancaman dan proses komunikasi yang berbasis
kekerasan antara teroris dan korban digunakan untuk
memanipulasi sasaran utama yang sebenarnya. Sasaran
terakhir inilah yang menjadi sasaran teror, sasaran
tuntutan, atau sasaran perhatian, tergantung pada tingkat
intimidasi, pemaksaan, dan propaganda yang diinginkan.”
Definisi yang dipakai oleh kalangan penguasa
cenderung memaknai istilah terorisme lebih keras, karena
mereka secara aktif berkewajiban memberantas aktifitas
terorisme, dan bahkan menjadi korban dari terorisme.
Pemerintah Inggris adalah yang pertama merumuskan definisi
resmi yang membedakan antara tindakan teroris dan
kriminal. Pada tahun 1974, definisi itu menjelaskan bahwa
195
“terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan
politik, dan termasuk penggunaan kekerasan untuk
menjadikan masyarakat dalam ketakutan.” Pada tahun 1980,
CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama
dengan “ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan
politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok, atas
nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-
takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban
langsung teroris.”241
Mereka yang terlibat terorisme memiliki pandangan
yang berbeda dari para pengamat yang lain. Sementara pada
akhir abad ke-19 banyak pelempar bom dari kaum anarkis dan
sosialis Rusia tidak merasa kecil hati dilabeli sebagai
kaum teroris, namun tidak demikian halnya dengan kaum
teroris kontemporer. Mereka yang disebut terakhir ini
sadar akan stigma panggilan teroris dan karena itu
241Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 5.Untukmelihat berbagai ragam definisi terorisme dan terutama kritikterhadap perlawanan Amerika Serikat, terutama CIA, terhadapterorisme, baca "Real Politic, Definition of Terrorism,Terrorism Research, War on Terrorism" wwwtwf..org/Library/Terrorism.html., 1-7.
196
berusaha untuk menghidari label teroris. Pada waktu
diselenggarakannya konferensi mengenai terorisme di Leiden
pada 1989. Sebuah kelompok yang menamakan diri
“Revolutionary Commando Marinus van de Lubbe” mengirimkan
sepucuk surat pada surat kabar lokal dengan menyatakan
simpatinya kepada masyarakat yang mereka klaim sebagai
tertindas seperti: Palestina, Irlandia, Amerika Tengah,
dan Kurdistan. Mereka mengatakan: “ jelaslah bahwa yang
dinamakan terorisme sebenarnya merupakan perlawanan yang
logis dan adil dari rakyat terhadap terorisme pemerintah,
kapitalisme, rasisme, dan imperialisme.”
Kaum teroris sering melawan balik untuk memperoleh
jastifikasi moral dengan membandingkan kekerasan yang
mereka lakukan dengan kekerasan yang dilakukan oleh lawan-
lawannya. Dengan perbandingan semacam ini, kaum teroris
mencoba memposisikan aksi dan tujuannya pada tingkatan
moral yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah
yang menjadi lawannya. Dalam Perang Dunia II, tentara
pendudukan Jerman melabeli seluruh kelompok perlawanan
197
sebagai “kaum teroris.” Demikian juga kaum penjajah
terhadap rakyat jajahan. Yang disebut terakhir,
sebaliknya, memandang diri mereka sendiri sebagai kaum
patriot yang berjuang untuk sebuah kemerdekaan. Pemerintah
Israel sekarang memandang para pejuang Palestina sebagai
kaum teroris, sebaliknya rakyat Palestina menyebut diri
mereka sebagai pejuang yang membebaskan diri mereka dari
pendudukan teroris negara, Israel. Perbandingan serupa
juga dapat dilihat pada invasi yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap rakyat Iraq dan kehadiran tentara Amerika
Serikat di berbagai kawasan Timur Tengah, Saudi Arabia,
yang dirasakan kehadirannya sebagai ancaman dan faktor
ketidakstabilan di kawasan tersebut.
Menurut Jainuri, semua pengertian terorisme seperti
yang diuraikan di atas menunjukkan adanya penekanan tujuan
pokok dari pada taktiknya. Umumnya, kaum teroris mencoba
menghindari pengelompokan taktik perjuangan mereka sebagai
tindakan kriminal. Kaum teroris lebih senang, apabila
perjuangan mereka itu diletakkan dalam kerangka “perang”
198
melawan musuh guna mencapai tujuan politik. Karena, jika
istilah terorisme disamakan dengan tindakan kriminal, maka
keabsahannya sebagai alit perjuangan akin berkurang
apabila dibandingkan dengan penggunaan terminologi
“perang” untuk mendeskripsikan terorisme. Tarik menarik
“pelabelan” terorisme, pada umumnya, dimenangkan oleh
mereka yang berkuasa atas rakyat dan mereka yang kuat atas
yang lemah. Dengan pemberian label terorisme kepada
kelompok kedua ini, maka tindakan apapun yang dilakukan
oleh pihak pertama dinilai sah dan dibenarkan. Gambaran
ini terlihat pada hubungan antara penguasa Israel dan
rakyat Palestina sekarang ini. Karena labelisasi yang
diberikan kepada rakyat Palestina sebagai kaum ekstrimis
dan teroris, maka gempuran tank dan bom atas rakyat yang
tidak berdaya dianggap sah, dan “komunitas
internasional,”242 membiarkan rejim penguasa di Israel
242“International Community" diciptakan oleh kelompok kepentinganrejinv penguasa Barat (Amerika Serikat) dalam rangka memperolehlejitimasi dan menggalang dukungan bagi aksi militer danpolitik represif Amerika Serikat terhadap negara-negara yangtidak mendukung kebijakan politik global Amerika Serikat.
199
dengan leluasa menteror rakyat Palestina dan Arab pada
umumnya.
Di dalam berbagai literatur yang membahas terorisme,
ada yang memasukkan terorisme negara sebagai bagian dari
terorisme, sebagaimana dalam konferensi tentang terorisme
di Universitas Tel Aviv pada Juni tahun 1985. Misalnya,
Anat Kurz mendefinisikan terorisme :”Kegiatan kekerasan
yang dilakukan oleh organisasi non-negara (meskipun
disponsori negara) untuk mencapai tujuan-tujuan
politik”.243
Salah satu definisi netral menurut Grant Wardlaw,
terorisme politik adalah “Penggunaan, atau tercirikan oleh
penggunaan, kekerasan oleh individu atau kelompok, baik
bertindak atas nama pemerintah atau berlawanan terhadap
pemerintah, manakala tindakan-tindakan itu dirancang untuk
menciptakan ketakutan yang ekstrim dan atau ketakutan-
ketakutan pada sasaran yang lebih besar daripada korban-
korban yang menjadi sasaran langsung dengan tujuan untuk
243Anat Kurz ed., Contemporary Trends in World Terrorism (New York:Praeger, ), 13.
200
menekan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran itu untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan politik pelakunya”.244
Terlepas dari batasan yang berbeda, ada dimensi-
dimensi dari terorisme yang selama ini dijadikan sebagai
pijakan untuk membatasi terorisme. Pertama, Dimensi
Legalitas. Yang membatasi terorisme dari dimensi ini
biasanya memahami terorisme sebagai aksi kelompok yang
dilakukan untuk melawan penguasa. Di sini, terorisme
dianggap sebagai sesuatu yang illegal. Batasan seperti ini
memiliki kekurangan, di antaranya adalah tidak melihat
apakah aksi itu merupakan “aksi” atau “reaksi” terhadap
penguasa atau kelompok yang sebelumnya melakukan
terorisme.
Kedua, Dimensi Kekerasan. Terorisme selalu dikaitkan
dengan kekerasan. Hanya saja, kekerasan itu dilakukan
terhadap apa dan siapa? Apakah hanya kekerasan terhadap
menusia saja yang tergolong terorisme? Apakah kekerasan
terhadap objek -objek non-manusia itu termasuk terorisme
244Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactics and Counter-Measures(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 16.
201
atau tidak.
Ketiga, Dimensi Tujuan. Terorisme selalu dikaitkan
dengan upaya untuk mencapai tujuan, apakah dalam bentuk
ideologi, kekerasan, atau yang lain. Masalahnya, ada juga
terorisme yang tujuannya dapat saja tidak jelas arahnya.
Misalnya saja terorisme yang dilakukan oleh orang-orang
yang dianggap sakit.
Keempat, Dimensi Kemiliteran. Terorisme juga sering
dikaitkan dengan operasi-operasi melalui cara-cara
militer. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang
membedakan aksi terorisme dengan aksi-aksi militer.
Dilihat dari jenis terorisme, ada dua yaitu: Pertama,
State Terrorism yakni instrumen kebijakan suatu rejim penguasa
dan negara. Dalam dunia politik, istilah terorisme sering
kehilangan makna yang sebenarnya dan menjadi bagian dari
retorika yang menyakitkan antara politikus yang bertikai.
Seseorang atau kelompok yang sedang bertikai biasanya
menuduh lawan politiknya dengan melakukan teror, dan
apabila tujuan teror ini berhasil, maka mereka tidak ragu
202
untuk melakukan secara berulang tindakan teror terhadap
lawan. Akibatnya, “sekali seseorang itu dituduh teroris
maka orang yang menuduh dan yang lain merasa memiliki
kebebasan untuk menyerang dan menghukumnya dengan tindakan
keras dan menyakitkan.” Penggunaan istilah terorisme,
sebagai alat teror politik, sekarang menjadi praktik yang
menggejala dan sangat tidak menyenangkan dilihat dari
sudut pandang moral dan hukum. Kedua, Non-State Terrorism yakni
bentuk perlawanan terhadap perlakuan politik, sosial,
maupun ekonomi yang tidak adil dan represif yang menimpa
seseorang atau kelompok orang.245
Dilihat dari perspektif ideologis, gerakan teroris
dapat dipahami dari interpretasi keagamaan tentang nilai
dan ajaran yang merefleksikan kepentingan dan komitmen
moral, sosial, dan politik.246 Perspektif ini mengasumsikan
bahwa elemen ideologi dipahami sebagai formulasi filosofis
yang tentatif, yang dimodifikasi sesuai dengan perubahan
245Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 2.246Ibid., 3 ; Terence Ball dan Richard Degger, Political Ideologies and the Democratic Ideal (New York: Harper Collins College Publisher, 1995), 9.
203
sosial-budaya.247 Oleh karena itu ideologi bukan sebuah
rumusan kaku yang tidak dapat berubah. Sebagai jawaban
terhadap tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan
bangsa, ideologi dapat berubah. Demikian juga terorisme
bukanlah sebuah bentuk aksi kekerasan yang tetap ada,
meskipun keberadaannya sudah muncul sejak manusia pertama,
Namun is akan mengalami perubahan dan bahkan musnah sama
sekali apabila faktor pendorong munculnya terorisme juga
hilang seiring dengan perubahan sosial-budaya sehingga
dapat dilihat korelasi antara orientasi ideologi dan
aktifitas teror yang dilakukan oleh sebagian orang Islam.
Dilihat dari target atau sasarannya, aksi terorisme
ada dua kategori: Pertama, terorisme langsung (direct
terrorism) yaitu teroris yang berusaha melakukan serangan
langsung kepada sasaran utama, seperti orang-orang yang
memegang kekuasaan atau memiliki jabatan seperti presiden,
raja, ratu, para menteri dan pejabat-pejabat lainnya.
Kedua, terorisme tidak langsung (indirect terrorism) yaitu247Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam,” 3; George A. Theodorson dan Archilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology (New Yoek: Barnes & Noble Books, 1969), 195.
204
terorisme yang berusaha menyerang bukan sasarannya secara
langsung atau antara, namun orang atau objek lain, seperti
melakukan pengeboman pada fasilitas pemerintahan,
perampokan bank, penculikan terhadap orang penting, dengan
tujuan untuk mempengaruhi kredibilitas pemerintah,
mendeskriditkan atau menunjukkan ketidakmampuan pemerintah
dalam menciptakan rasa aman bagi warganya.248
Dari dimensi-dimensi yang ada di dalam terorisme di
atas, dapat dipahami terorisme secara lebih jelas dan
mencakup berbagai aksi terorisme yang ada selama ini,
bahwa ada banyak dimensi yang perlu diperhatikan untuk
mendefinisikan terorisme sebagai suatu fenomena.
b. Latar Belakang Terorisme
Mengapa terorisme itu muncul? Pertanyaan seperti ini
sudah lama muncul dan didiskusikan, jauh sebelum isu
terorisme mencuat belakangan sejak tragedi 11 September
2001. Memang tidak semua penjelasan itu memuaskan.
Misalnya, dalam pandangan Martha Crenshaw, selama ini
248Edward Hyams, Terrosist and Terrorism (London: J.M. Dent & SonsLtd, 1975), 10.
205
penjelasan yang sering muncul ke permukaan lebih banyak
didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak jelas.249
Terlepas dari pandangan yang kritis dari Crenshaw
itu, selama ini, paling tidak terdapat tiga kategori
teoritis yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya
terorisme: struktural, psikologis dan pilihan rasional
(rational choice).250 Secara umum, teori-teori struktural
mencoba mencari penjelasan sebab-sebab terjadinya
terorisme melalui konteks lingkungan, politik, sosial dan
struktur ekonomi suatu masyarakat. Teori-teori psikologis,
secara spesifik, mencoba menjawab pertanyaan mengapa
individu-individu itu tertarik bergabung dengan organisasi
teroris dan perilaku teroris lainnya yang merupakan
akumulasi dari perilaku individual. Terakhir, teori-teori
pilihan rasional mencoba menjelaskan partisipasi di dalam
organisasi teroris dan pilihan menempuh jalan terorisme,
249Martha Crenshaw, "The Causes of Terrorism" dalam ComparativePolitics, 13 (4), (1981), 379-399.250Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 20; JeffreyIan Ross, “Structural Causes of Oppositional PoliticalTerrorism: Towards a Causal Model,” Journal of Peace Research, 30 (3),(1993), 217.
206
melalui penjelasan kalkulasi untung rugi (cost and benefit).
Kategorisasi itu dalam praktiknya memang tidak kaku
(rigit). Dalam perspektif Jeffrey Ian Ross, teori-teori
pilihan rasional mengenai terorisme dapat menjadi bagian
dari teori psikologis, ketika seseorang
mengkonseptualisasikannya sebagai teori motivasi
(motivational theory). Sementara itu, penjelasan dari Crenshaw
yang dimasukkan oleh Ross sebagai bagian dari teori-teori
struktural, juga memasukkan penjelasan kalkulasi sebagai
sebab-sebab terjadinya terorisme dari konteks pilihan
rasional.
Di dalam teori-teori struktural, sebab-sebab
terjadinya terorisme dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya terorisme
secara tidak langsung. Menurut Crenshaw, menyebutnya
sebagai faktor-faktor prakondisi (preconditions) atau disebut
Ross sebagai faktor-faktor permissive, yaitu faktor-faktor
yang mempengaruhi munculnya terorisme dalam kurun waktu
yang lama. Kedua, faktor-faktor yang mempercepat
207
(precipitant), yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa yang merangsang munculnya terorisme
atau yang disebut sebagai faktor-faktor yang memiliki
kontribusi langsung terhadap munculnya terorisme.
Adapun yang termasuk faktor-faktor prakondisi
terjadinya terorisme, antara lain: Pertama, modernisasi.
Modernisasi merupakan faktor penting bagi munculnya
kompleksitas sosial ekonomi di dalam masyarakat, termasuk
munculnya teknologi informasi dan transportasi yang
semakin canggih. Terorisme dapat muncul seiring dengan
meningkatnya kompleksitas masyarakat ini. Kedua, lokasi
geografis. Kasus-kasus terorisme selama ini lebih banyak
terjadi di daerah perkotaan daripada di pedesaan. Hal ini
berkaitan dengan lebih banyaknya fasilitas yang mendukung
beroperasinya aksi-aksi terorisme di perkotaan daripada di
pedesaan. Ketiga, sistem politik dan sikap pemerintah.
Dalam analisis sejumlah teoritisi sosial, aksi-aksi
terorisme justru sering terjadi di negara-negara
demokratis.251 Walter Laqueur menyebutkan bahwa di samping251Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 20.
208
terdapatnya beragam motif dan tujuan dari terorisme,
kemunculan terorisme memiliki konteks umum yang
sama.”Mereka dikaitkan oleh munculnya demokrasi dan
nasionalisme”.252 Sementara, Crenshaw melihat bahwa aksi-
aksi terorisme dapat terjadi, jika pemerintah tidak
memiliki kemampuan atau tidak serius melakukan pencegahan
terhadap aksi-aksi terorisme.
Adapun faktor-faktor yang mempercepat terjadinya
terorisme adalah: Pertama, terdapatnya sesuatu yang
dianggap tidak adil secara kongkrit (grievances) pada
kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok minoritas
yang diperlakukan secara tidak adil, diskriminatif atau
dipinggirkan oleh kelompok besar atau berkuasa. Situasi
ini dapat melahirkan perasaan deprivasi relatif yang
ujung-ujungnya dapat memicu munculnya aksi-aksi terorisme
yang tujuannya untuk menuntut keadilan. Kedua,
tersumbatnya saluran partisipasi politik. Rejim yang
menyumbat saluran partisipasi politik, tentu saja dapat
252Walter Laqueur, The Age of Terrorism (Boston: Little, Brown andCompany, 1987), 15.
209
melahirkan kekecewaan-kekecewaan yang besar. Ketika
saluran itu semakin tertekan, kelompok yang ingin
merombaknya dapat melakukan melalui cara-cara kekerasan,
termasuk terorisme. Bahkan, jika terdapat akumulasi antara
elit politik yang kecewa dengan massa yang bersifat passive
akan dapat merangsang terjadinya terorisme.253 Ketiga,
faktor-faktor sosial, kultural dan sejarah yang dapat
mempermudah munculnya sikap, keyakinan, pendapat, nilai-
nilai, kebiasaan, mitos dan tradisi yang memungkinkan
berkembangnya nasionalisme, fanatisme, kekerasan dan
terorisme di dalam kelompok-kelompok tertentu. Hal ini
termasuk terorisme yang bermotif agama. Keempat, fasilitas
persenjataan karena terorisme menerapkan kekerasan dalam
aksi-aksinya sehingga dapat mempercepat meletusnya
terorisme. Pada masa lalu, persenjataan tentu masih
sederhana. Namun sekarang, teroris telah menggunakan
persenjataan yang canggih, seperti pemusnah massal atau the
weapons of mass destruction (WMD).253Martha Crenshaw, "The Causes of Terrorism" dalam ComparativePolitics, 13 (4), (1981), 379-399.
210
Teori-teori psikologi, lebih banyak mencoba
menjelaskan sebab-sebab terjadinya terorisme dalam konteks
individu dan kelompok sebagai kumpulan individu-individu.
Problematika yang menjadi fokus kajian psikologi di dalam
masalah terorisme, antara lain: proses rekruitmen dan
pengenalan dalam organisasi teroris, kepribadian,
keyakinan, motivasi dan karier sebagai teroris.
Dari latar belakang, analisis psikologis menemukan
beraneka ragam fakta. Di negara-negara berkembang, orang-
orang yang masuk ke dalam organisasi teroris itu sering
berlatar belakang pengangguran dan individu yang secara
sosial teralinasi. Meskipun demikian, ada juga yang
termotivasi untuk memanfaatkan keahlian yang dimilikinya,
seperti: keahlian merakit dan meledakkan bom. Di kalangan
yang lebih terdidik, mereka lebih banyak didasari motif-
motif politik dan keagamaan. Sementara di negara-negara
Barat, para teroris biasanya mencakup kelompok intelektual
dan idealis.254 Eric D. Shaw mengembangkan “The Personal
254Hutdon, http://www.log.gov//rr/fdr/Sociology- psychology2002Terrorism.htm: 25.
211
Pathway Model” untuk menjelaskan keterlibatan individu-
individu di dalam terorisme. Dalam model ini, orang-orang
yang menjadi teroris biasanya direkrut dari kelompok
tertentu, yaitu kelompok yang disebut memiliki resiko.
Orang-orang yang mudah direkrut menjadi teroris, yakni
orang-orang yang mengalami gangguan awal dalam
kepribadiannya (early damage of their self-esteem).255
Dalam analisis kejiwaan, orang-orang yang terlibat
terorisme sering digambarkan sebagai orang yang tidak
normal, atau dalam perspektif Maxwell Taylor sebagai orang
yang secara mental sakit atau fanatik. Teroris Klaus
Junschke adalah contoh seorang teroris yang bermental
sakit & sebagai pasien sakit jiwa yang masih menjadi
anggota the Socialist Patients' Collective (SPC), sebuah organisasi
teroris di Jerman yang pernah bekerjasama dengan the Baader-
Meinhof Gang. Sedangkan, terorisme yang bermotif keagamaan
banyak terdapat orang-orang yang tergolong fanatik.
Jika aksi terorisme dalam perspektif psikologis
dilakukan orang yang sedang sakit mental, maka dalam255Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”, 22.
212
perspektif teori pilihan rasional aksi itu dilakukan
karena memperhitungkan perilakunya melalui model kalkulasi
untung rugi (cost and benefit). Contoh aksi terorisme yang
mempertimbangkan untung rugi adalah kelompok-kelompok
sempalan di wilayah Asia Selatan, seperti di Punjab,
Kashmir, Assam di India dan Srilangka.256 Teori Pilihan
Rasional juga melihat perilaku individu sebagai refleksi
dari pertimbangan tentang nilai produk tertinggi dari
preferensi-preferensi yang dipertimbangkan. Dan Moore
membedakan dua jenis pilihan rasional yang dilakukan oleh
individu yang melakukan aksi terorisme. Pertama, ketika
individu dalam memutuskan perilakunya, tanpa
mempertimbangkan perilaku orang lain. Perilaku itu disebut
dengan perilaku “non-strategic” yang dikaitkan dengan
teori “subjective expected utility”. Kedua, ketika
keputusan yang diambil itu didasarkan pada penglihatan
terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Perilaku ini
256Subrata K. Mitra, "The Rasional Politics of CulturalNationalism: Subnational Movement of South Asia in ComparativePerspective" dalam British Journal of Political Science, 25 (1), (1995), 55-77.
213
disebut dengan perilaku “strategic”.257
Di dalam realitas empiris, masing-masing kelompok
teori tersebut tidak dapat bergerak sendiri-sendiri karena
antara teori tersebut dapat saling menutupi kekurangan
(compensation) untuk menjelaskan fenomena munculnya
terorisme. Di dalam menjelaskan fenomena terorisme
keagamaan, misalnya, mungkin kelompok teori struktural dan
psikologi dapat lebih leluasa untuk menerangkannya. Namun,
mungkin masalah costs and benefits juga menjadi bahan
pertimbangan dari pelaku terorisme keagamaan. Benefits yang
menjadi dasar mungkin bukan hanya bersifat material,
melainkan juga spiritual, seperti harapan untuk masuk
surga setelah mati nanti.
Uraian-uraian di atas pada dasarnya dapat ditarik
dalam kerangka teori yang lebih besar (grand theory), yaitu
antara teori-teori yang dibangun atas dasar pendekatan
struktural dan teori-teori mengenai individu. Teori-teori
sosial yang klasik maupun modern, pada dasarnya hendak
257Will H. Moore, “Rational Rebels: Overcoming Free RiderProblem,” Political Research Quarterly, 48 (2), 1995, 421.
214
menjawab: apakah suatu tindakan, termasuk aksi kekerasan
kolektif dan terorisme itu ditentukan oleh individu secara
otonom atau struktur yang melingkupinya, baik struktur
dalam pengertian nilai, budaya, ekonomi maupun politik.
Teori yang lebih condong pada penjelasan pertama,
seperti interaksionisme simbolis, etnometodologi,
fenomenologi dan semacamnya masuk dalam kelompok teori-
teori sosiologi mikro. Sedangkan, teori yang lebih condong
pada penjelasan kedua, seperti institusionalisme,
fungsionalisme struktural, strukturalisme dan semacamnya
dapat masuk ke dalam kelompok teori-teori sosiologi
makro.258
Dalam kaitannya dengan kekerasan kolektif, perdebatan
yang muncul biasanya berkaitan dengan apakah kekerasan itu
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat inherent/inherency atau
contingent/contingency. Sesuatu disebut inheren, jika ia akan
selalu terjadi sehingga aktualitas potensi itu hanya dapat
dihalangi, namun tidak dapat dihilangkan. Dalam kerangka258Ian Crab, Teori-Teori Sosial Modern (Jakarta: Rajawali Press, 1985);Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Homewood,Illinois: The Dorsey Press, 1978).
215
inherensi, kekerasan dianggap sebagai suatu fenomena
normal, sebagai salah satu alteranatif untuk menyalurkan
aspirasi dan memperjuangkan tercapainya kepentingan
politik. Oleh karena itu, pertanyaan yang biasa diajukan
para ahli adalah mengapa konflik atau kekerasan tidak
muncul sesering yang seharusnya. Kekerasan atau perilaku
agresif lainnya, secara biologis dianggap sebagai sesuatu
yang inheren pada diri manusia, sebagaimana juga terdapat
pada hewan.259
Sebaliknya, sesuatu dianggap contingent apabila ia
tergantung pada tersedianya kondisi-kondisi tidak lazim
(unusual conditions) yang terjadi secara acak atau mengandung
banyak unsur kebetulan. Kontingensi adalah sesuatu yang
tidak biasa atau tidak rutin sehingga memerlukan
penjelasan. Meskipun begitu, kontingensi bukan berarti
indeterminasi (indeterminacy). Sebab, kondisi-kondisi umum
seperti kenaikan atau penurunan misalnya, memungkinkan
terjadinya suatu kekerasan politik. Dengan begitu,
259Konrad Lorenz, On Aggression (New York: Harcourt, Brace andWorld Inc, 1996).
216
kontingensi bukanlah sesuatu yang bersifat acak (random)
atau suatu peristiwa (kekerasan kolektif atau terorisme)
yang selalu tidak dapat dikontrol keberadaannya.260
Jika cara pandang inherensi dan kontingensi
dikontraskan, maka akan tergambar sebagaimana yang
terlihat dalam tabel berikut:261
Tabel 3.
Kontras antara Inherensi dan Kontingensi262
INHERENSI KONTINGENSI
1. Sifat dasar manusia dalamkehidupan adalahmemaksimalkan pengaruh dankekuasaan dalam prosespembuatan dan pelaksanaankeputusan. Berbagai caraditempuh untuk mencapaitujuan ini, termasuk melalui
1. Sifat dasar manusia dalamkehidupan adalah ke arah“perdamaian”, resolusi ataumenghindari konflik yangmenggunakan kekerasan.Kekerasan dianggap sebagaicara-cara kompetisi yang tidaknormal.
260Harry Eckstein, "Theoritical Approach to Explaining CollectivePolitical Violence" dalam Handbook of Political Conflict: Theory andResearch, ed. Ted R. Gurr (New York: The Free Press, 1980), 138-140.261Muhammad Asfar, ''Kekerasan Politik Pemilu 1999" dalam Prisma,Nomor 1, 1998.262Keith Webb, “Conflict: Inherent and Contingent Theories” dalamWorld Encyclopedia of Peace, Volume 1 (Pegamon: Oxford, 1986), 169 –174; Muhammad Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus”dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, ed.Muhammad Asfar (Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM(PusDeHAM) dan Jawa Pos Press, 2003), 25 – 26.
217
kekerasan.2. Karena kekerasan dianggapnormal, persoalan teoriinherensi adalah mengapakekerasan tidak sesering yangsemestinya.
2. Persoalan mendasar teorikontingensi adalah mengapakekerasan terjadi danbagaimana menjelaskanfrekuensinya.
3. Pilihan menggunakankekerasan atau tidak adalahpersoalan taktik, yangmenyangkut perhitungan untungrugi. Artinya, para pelakukerusuhan adalah aktorrasional.
3. Pilihan penggunaankekerasan sangat bersifat“afektif” tidak berdasarkanuntung rugi. Artinya parapelaku kerusuhan adalah aktoryang mengalami deprivasi.
4. Kekerasan dipilih secaraintrinsik, yaitu berdasarkanmotivasi, kalkulasi, dankeinginan yang ada dalam diriaktor atau para pelaku.
4. Kekerasan terjadi secaraekstrinsik, yakni bersumberdari sebab-sebab yang beradadi luar pelaku, dan olehfaktor-faktor kontekstual ataukontingen.
5. Faktor-faktor objektif,seperti perimbangan kekuatanpemaksa dan kondisi-kondisiyang memudahkan keberhasilanpenggunaan kekerasanmerupakan penjelas utamaterjadinya kekerasan.
5. Karena kekerasan bersifatafektif maka perimbangankekuatan pemkas dan kondisi-kondisi yang memudahkankeberhasilan penggunaankekerasan mempunyai daya,jelas sangat kecil.
Berdasarkan tabel di atas, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa inherensi melihat kekerasan sebagai suatu
tindakan yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh faktor-
faktor yang ada dalam pelaku kekerasan, sementara
kontingensi menjelaskan kekerasan dari faktor-faktor yang
ada di luar pelaku kekerasan. Betapapun, seringkali
218
bercampur dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu, bagi
Eckstein, persoalannya bukanlah mana yang benar di antara
keduanya, namun mana yang lebih dapat menjelaskan suatu
peristiwa (kekerasan) secara lebih baik. Inherensi dan
kontingensi bukanlah persoalan kubu-kubu filosofis yang
perlu dipertentangkan satu sama lain, namun lebih sebagai
persoalan pilihan strategi penelitian.263
Cara pandang yang menempatkan kekerasan sebagai
sesuatu yang bersifat inherensi atau kontingensi pada
dasarnya sejajar dengan persoalan utama dalam perdebatan
teoritis di kalangan ilmuwan sosial, yakni apakah suatu
kekerasan kolektif itu diletakkan dalam tataran agen atau
struktur. Dalam tataran agen, kekerasan dipahami sebagai
suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan
sengaja untuk mereproduksi dan mentransformasi yang
relatif otonom untuk melakukan tindakan, dan aksi politik
koleltif dipahami sebagai produk dari ilihan rasional
263
?Keith Webb, "Conflict: Inherent and Contingent Theories" dalamWorld Encyclopedia of Peace, Volume 1 (Oxford: Pegamon, 1986), 169-174.
219
seseorang. Oleh karena itu, penjelasan terhadap kekerasan
kolektif selalu silihat dari “faktor-faktor dalam” para
pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor dan kendala
struktural serta proses-proses sosial lainnya. Beberapa
penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis
agen ini diantaranya dilakukan oleh Rule ketika
menjelaskan perilaku kolektif oleh Berk ketika menggunakan
pendekatan permainan untuk menjelaskan kerusuhan massa.264
Sebaliknya, dalam tataran struktur, kekerasan
dipahami sebagai hasil dari proses hubungan-hubungan
sosial atau struktur dimana para pelaku tersebut berada.
Nilai dan norma dipandang sebagai “imperatif struktural”
yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang
berperilaku selaras dengan atau fungsional terhadap
sistem. Oleh karena itu, penjelasan terhadap kekerasan
kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor luar” para
perilaku kekerasan dan mengabaikan faktor-faktor minat,
motivasi, dan strategi. Tindakan agen (dalam bentuk
264James Rule, Theories of Civil Violence (Berkeley: University ofCalifornia Press, 1988), 170-199.
220
kekerasan politik kolektif) dianggap tidak lebih dari
artefak atau produk struktur.265 Beberapa penjelasan
teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis struktur
ini diantaranya dilakukan oleh Gurr, Skocpol dan Davies.266
Secara ontologis, persoalan agen dan struktur pada
dasarnya mempertanyakan sejauhmana tindakan-tindakan
individu merupakan proses sosialisasi dan produk struktur
yang hanya dapat dikontrol secara minimal dan sejauhmana
tindakan-tindakan tersebut merupakan produk pilihan
rasional yang sengaja diambil oleh individu sebagai subjek
yang otonom. Secara epistemologis, persoalan agen dan
struktur pada dasarnya berkisar pada upaya untuk
menjelaskan suatu efek peristiwa tertentu sebagai
konsekuensi tindakan dan niat aktor yang terlibat atau
265Piotr Sztompka, "Evolving Focus on Human Agency inContemporary Social Theory" dalam Evolving Focus on Human Agency andStructure: Reorienting Social Theory, ed. Piotr Sztompka (Switzerland:Gordon and Breach, 1994), 25-34.266Ted R. Gurr, Why Men Rebel (Princeton: Princeton UniversityPress, 1970), 3-58; Theda Skockpol, Social Revolution the Modern World(Cambridge: Cambridge of University Press, 1994), 99-119; JamesC. Davies, ''Toward a Theory of Revolution'' dalam ComparativePolitics: Notes and Readings, ed. Roy C. Macridis and Bernard E. Brown(Homewood: The Dorsey Press, 1968).
221
produk dari struktur dan hubungan-hubungan sosial di mana
para aktor tersebut berada.267Jika kedua kerangka analisis
di atas dikontraskan, maka akan terlihat dan tergambar
dalam tabel 2:
Tabel 4.
Kontras antara Agen dan Struktur268
AGEN STRUKTUR
1. Individu adalah agen yangtindakannya secara sadar dansengaja mereproduksi danmentransformasi realitassosial.
1. Masyarakat terdiri atashubungan-hubungan sosial atau“struktur” yang menjadi kondisiinteraksi dan hasil tindakanagen-agen.
2. “Penjelasan dari dalam”,mengabaikan dan menyepelekanfaktor dan kendalastruktural dan proses-prosessosial.
2. “Penjelasan dari luar”,mengabaikan dan menyepelekanfaktor-faktor motivasi, niat,strategi, dan aksi agen karenadianggap tidak lebih dariartefak atau produk struktur.
3. “Masalah Weber”, yaituperhatian pada individu danaksi manusia penentustruktur sosial.
3. “Masalah Durkheim”, yaituperhatian pada masyarakatsebagai sistem yang “berdikari”,sedangkan individu dianggapsebagai emanasi, representasi,dan epifenomena masyarakat.
267Asfar, “Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus,” 27. 268Anthony Giddens, The Constitution of Society (Cambridge: The PolityPress, 1984), 69; Muhammad Asfar, “Terorisme: Sebab,Perkembangan dan Kasus” dalam Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren,Terorisme dan Bom Bali, ed. Muhammad Asfar (Surabaya: Pusat StudiDemokrasi dan HAM (PusDeHAM) dan Jawa Pos Press, 2003), 28 –29.
222
4. Realitas dipandang“rapuh”, dapat dirundingkan(“bargaining for reality”)dan terbentuk sebagaikonstruksi individu-individuyang subjektif.
4. Nilai dan norma dipandangsebagai “imperatif struktural”yang terinternalisasi dalam diriindividu, sehingga orangberperilaku selaras dengan, ataufungsional terhadap sistem.
5. Hubungan yang monocausaldan sederhana mengaitkanagen dengan struktur: Agenmembentuk struktur.
5. Hubungan yang monocausal dansederhana mengaitkan strukturdengan agen: Struktur membatasidan bahkan menentukan keagenan.
6. Penekanan pada prakti-praktik mikro (micro-practices) dalam interaksisosial yang ditandai dengankeunikan dan kekayaaninteraksi sosial.
6. Penekanan pada aksi yangselalu “tertanam” dalam strukturyang lebih luas (macro-embeddedness).
7. Untuk menjelaskan suatuperistiwa dan akhiri denganindividu.
7. Struktur sosial politikdianggap sebagai alpa dan omegapenjelasan tidakan aktor.
8. Voluntarisme, yaknimemahami peristiwa danfenomena politik denganmemperhatikan niat danmotivasi aktor.
8. Determinisme danteleologisme, yakni pandanganyang menempatkan proses-prosessosial politik dinisbatkankepada ‘historical end-state’,seperti hubungan-hubunganekonomi dengan Marxisme.
9. Penekanan pada bagian-bagian yang membentukkeseluruhan, sepertitindakan individu.
9. Penekanan pada keseluruhanyang mempengaruhi bagian-bagianyang menjadi unsurnya.
Yang menjadi persoalan, tindakan seseorang seringkali
tidak dengan mudah dapat diidentifikasi dan ditempatkan
dalam tataran agen atau struktur. Penjelasan-penjelasan
teoritis dalam tataran agen seringkali bersifat
223
voluntaristik dan cenderung menempatkan individu sebagi
subjek yang membentuk dan mengubah struktur, seolah-olah,
individu hidup dalam kevakuman sosial. Sebaliknya,
penjelasan-penjelasan teoritis yang menpatkan struktur
sebagai faktor penjelas umumnya terlalu deterministik dan
cenderung menempatkan individu hanya sebagai objek dari
struktur, seolah-olah individu seperti robot yang tidak
mempunyai kehendak bebas.
Di samping itu, dalam realitas empirik, antara agen
dan struktur keduanya seringkali bertumpang tindih satu
sama lain. Untuk itu, beberapa ilmuwan mencoba “memadukan”
kedua cara pandang. Bhaskar melihat masyarakat sebagai
kondisi bagi keagenan manusia, namun pada saat yang sama
ia juga merupakan produk (reproduksi) dari keagenan
manusia. Di samping struktur dianggap sebagai kendala,
sekaligus juga dianggap sebagai peluang. Menurut Archer,
“Agency leads structural and cultural elaboration, but is
itself elaborated in the process”.269
269M. S. Archer, Morphogenesis of Social Agency (Uppsala: SCASSS,1989).
224
Cara pandang yang sama juga dapat diikuti dari jalan
pikiran Bourdie.270 Ia melihat bahwa praktik, terutama
praktik budaya merupakan hasil hubungan antara habitus
(struktur sosial yan sudah terinternalisasi) dan field
(jaringan hubungan yang melibatkan posisi agen dan
struktur). Field mengkondisikan habitus, sementara habitus
membentuk field sebagai sesuatu yang bermakna. Formula
sederhana yang ditawarkan Bourdie adalah: P = [ (h) (c) ]
+ f
P = practical c = capital
h = habitus f = field
Pada umumnya, dalam ilmu politik dan ilmu sosial
upaya “memadukan” kedua cara pandang telah dilakukan
secara sistematik oleh Giddens. Bagi Giddens, struktur
tidak hanya menimbulkan kendala (constraint) bagi tindakan
manusia, namun ia juga dapat menciptakan peluang untuk
270Pierre Bourdie, Distiction: A Social Critique of the Judgment of Taste(Cambridge: Harvard University Press, 1994).
225
melakukan tindakan secara otonom. Ia menawarkan kerangka
konseptual/teori yang diberi nama teori strukturasi. Teori
strukturasi pada dasarnya mengandung empat perangkat
konsep, yaitu dualisme struktural (duality of structure),
dualisme subjek-objek, dimensi ruang dan waktu, dan
pemahaman ganda (double hermeneutic).271
Dualisme struktur pada dasarnya memandang bahwa
struktur dan individu-aktor (agent) berinteraksi dalam
proses produksi dan reproduksi institusi serta hubungan-
hubungan sosial. Artinya, agen merupakan hasil (outcome)
dari struktur, namun pada saat yang bersamaan agen
tersebut juga menjadi mediasi bagi pembentukan struktur
baru. Individu atau agen tidak hanya sekedar menjadi
penanggung beban dan selalu menyesuaikan dengan struktur,
namun juga memiliki pengetahuan mengenai realitas dan
berdasarkan pemahaman itu ia bertindak untuk mengubah
realitas di sekitarnya. Pernyataan yang diajukan ialah
271Anthony Giddens, Central Problem in Social Theory (London: Macmillan,1979); Idem, The Constitution of Society (Cambridge: The Polity Press,1984); Idem, The Global Third Way Debate (Cambridge: The Polity Press,2001).
226
“The structural properties of social system are both the
medium and the out come of the practices that constitue
those systems”.272
Perangkat konsep kedua adalah subjek-objek. Dualisme
subjek-objek ini pada dasarnya menyangkut orientasi agen
atau individu-aktor terhadap struktur, yang dapat
dibedakan menjadi tiga. Pertama, Orientasi Rutin-Praktis,
yaitu para aktor yang secara psikologis hanya mencari rasa
aman. Mereka ini hanya berperan sebagai medium untuk
mereproduksi struktur belaka, sama sekali tidak ada upaya
untuk mempersoalkannya, apalagi mengubah struktur yang
ada. Kedua, Orientasi Teoritik, yaitu para aktor yang
memiliki kemampuan memelihara jarak dengan struktur
sehingga ia memiliki pemahaman yang jelas terhadap
struktur dan mampu merespon apa yang diciptakan struktur
kepadanya. Ketiga, Orientasi Strategik Pemantauan, yakni
para aktor yang tidak hanya mampu menjaga jarak, namun
juga berkepentingan terhadap apa yang dilahirkan struktur
sehingga mereka dapat menanggapi struktur. Hanya pada272Giddens, The Constitution of Society, 69.
227
kelompok kedua dan ketiga yang cenderung melahirkan
dualisme subjek-objek.
Perangkat konsep ketiga adalah dimensi ruang dan
waktu. Artinya, setiap institusi dan hubungan-hubungan
sosial berlangsung dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
Interaksi sosial tidak hanya berlangsung di dalam dan
dibentuk oleh ruang dan waktu sebagai lingkungan
eksternal, namun pada gilirannya nanti ruang dan waktu
tersebut akan menjadi bagian internal bagi hubungan-
hubungan sosial, karena telah memberi makna sosial bagi
interaksi tersebut.
Perangkat konsep keempat tentang metode untuk
mengungkapkan interaksi antara struktur dan agen dalam
dimensi ruang dan waktu, yaitu Metode Pemahaman Ganda.
Metode ini merupakan pemahaman ilmuwan tentang realitas
(the second order understanding). Jika aliran positivis
memandang kalangan awam sebagai objek pengetahuan,
sedangkan teori ini menganggap awam sebagai objek dan
subjek sekaligus. Kalangan awam dipandang memiliki
228
kemampuan untuk memahami realitas sekelilingnya, sekaligus
mampu menggunakan pemahaman tersebut untuk bertindak.
c. Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi Terorisme
Dalam wacana Islam, banyak orang mengkaitkan ideologi
terorisme dengan doktrin jihad, yang dalam Kristen
disamakan dengan perang salib.273 Ada 35 kali kata jihad
disebutkan dalam al-Qur'an.274 Dalam tradisi Islam, jihad
memiliki makna beragam. Namun, secara garis besar jihad
dibagi menjadi dua konsep: Pertama, perjuangan kaum
muslimin melawan hawa nafsu atau perjuangan melawan diri
sendiri (jihad al-nafs), yang disebut jihad al-akbar. Kedua,
konsep politik, diartikan sebagai konsep “perang yang
adil,” jihad al-asghar. Menurut Bonney, kedua konsep yang
saling berdampingan ini selalu berubah dan berkembang
sepanjang waktu. Pertama, pada awal Islam ketika batas
daerah kekuasaan Islam belum ada, jihad diartikan sebagai
sebuah konsep perang. Namun arti jihad ini berubah ketika273Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 13; LihatMajid Khadduri, The Islamic Law of Nations: Shaybanz's Siyar (Baltimore,Maryland: The John Hopkins Press, 1966), 15.274Hanna E. Kassis, A Concordance of the Qur'an (Berkeley, CA.:University of California Press, 1983), 587-588.
229
pemerintahan Islam berdiri dan telah menentukan batas
willayah kekuasaannya. Proses selanjutnya, dunia Islam
diakui dan kenyataannya hidup rukun dengan negara tetangga
yang bukan Muslim. la menegaskan bahwa penggunaan konsep
jihad masa awal Islam untuk mendefinisikan arti “perang”
dalam era modern Islam merupakan suatu yang anakronistis,
sekaligus merusak reputasi Islam.275
Dalam teori hukum Islam klasik, perang itu terjadi
antara dar al-Islam yang mengalahkan dar al-harb. Keadaan
perang, seharusnya berakhir bersamaan dengan lenyapnya dar
al-harb. Pada tahapan ini, dar al-Islam yang menjunjung tinggi
kedamaian, menjalankan kekuasaannya di suatu kawasan. Oleh
karena itu, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama Islam itu
adalah mencapai kedamaian yang permanen daripada
melangsungkan perang terus menerus. Jadi dalam teori
Islam, jihad merupakan alat yang sah untuk sementara waktu
guna mencapai tatanan masyarakat yang ideal menurut Islam
melalui upaya perubahan dari dar al-harb ke dar al-Islam. Dalam275Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 14; LihatRichard Bonney, Jihad: From the Qur'an to bin Laden (New York: PalgraveMacmillan, 2004), 21-110.
230
praktiknya, kontak antara kaum Muslim dan non-Muslim,
personal maupun resmi, dilakukan dengan cara damai,
meskipun terjadi juga peperangan di kawasan lain antara
kaum Muslim dengan negara lain. Jadi, dalam waktu yang
sama, dua kondisi seperti yang disebutkan di atas, dar al-
Islam dan dar al-harb, terus berlangsung.
Untuk memahami makna jihad, dan statusnya dalam
ajaran Islam, maka orang harus melihat juga aspek
keyakinan Islam dalam konteks historis berkaitan dengan
munculnya jihad. Oleh karena itu, perbedaan di kalangan
para ulama dalam memahami teks tentang jihad dapat
dimaklumi, termasuk bagaimana mereka menginterpretasikan
kata jihad. Perbedaan dalam beberapa aspek ajaran Islam
telah lama ada dan sangat kurang tepat jika konsensus
selalu dipandang sebagai satu-satunya cara pandang dalam
memahami doktrin ajaran Islam. Di dalam al-Qur'an, para
fuqaha mengklasifikasikan makna jihad dalam empat tahapan:
pertama,276 menyebarkan Islam dengan cara damai dan non-
276al-Qur'an, al-Hijr (XV):94 dan 85.
231
konfrontasi; kedua,277 menghadapi kaum kafir dengan
argumentasi; ketiga,278 memerangi orang kafir dengan kondisi
tertentu dan; keempat, 279memerangi orang kafir dengan tanpa
syarat.280
Rueven Firestone memberikan pandangan lain tentang
teori evolusi jihad ini, dan mengusulkan pengelompokan
yang berbeda.281 Pertama adalah kelompok ayat yang berkaitan
dengan cara-cara non-militan dalam menyebarkan dan
mempertahankan Islam, terutama ditujukan kepada ahl al-kitab,
seperti dalam al-Qur'an al-`Ankabut (XXIX): 46 dan al-
Shura (XLII): 15. Dalam ayat-ayat ini ditegaskan bahwa
Nabi dan kaum Muslimin tidak memiliki peran untuk
menerapkan hukuman atau melakukan perang dengan lawan
Islam seperti kaum Yahudi dan Nasrani: “Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah
277Ibid, al-Nahl (XVI):125 dan al-'Ankabut (XXIX):46.278Ibid, al-Hajj (XXII):39 dan al-Baqarah (II):193.279Ibid, al-Baqarah (II):244.280Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 15. LihatAyatullah Murtaza Mutahhari, Jihad: The Holy War of Islam and Its Legitimacyin the Qur'an (Tehran: Islamic Propogation Society, 1988), 74-75.281Rueven Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (Oxford: OxfordUniversity Press, 1999), 69.
232
diri.” Prinsip ini yang kemudian mengakumulasi pada ayat
al-Qur'an, al-Kafirun (CIX): 6: “Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku,” yang dipahami sebagai prinsip ajaran yang
menerima pluralitas, meskipun maksud awalnya adalah
memberikan solusi perbedaan yang tidak terjembatani antara
Islam dan keyakinan orang-orang kafir Quraisy Mekah.282
Kedua adalah kelompok ayat-ayat yang memberikan batasan-
batasan di medan peperangan, misalnya al-Qur'an, al--
Baqarah (II):190, “Berperanglah di jalan Allah terhadap
mereka yang memerangimu, namun jangan melampui batas,
karena Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas,”
misalnya termasuk larangan membunuh wanita, anak, dan
penduduk sipil, serta larangan berperang pada bulan-bulan
tertentu. Ketiga adalah kelompok ayat yang dinilai masih
menjadi perdebatan antara perintah Tuhan dengan respon
kaum Muslimin dan termasuk yang terbesar di antara
kelompok yang lain (al-Qur'an, al-Baqarah (II): 216; Ali282Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 15; LihatAbdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (New York:Oxford University Press, 2001), 36; Yohanan Friedmann, Toleranceand Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition (Cambridge:Cambridge University Press, 2000), 56, 88.
233
'Imran (III): 156, 167-168; al-Nisa' (IV): 72-75, 77, 95;
al-Taubah (IX): 38-39, 42). Keempat adalah kelompok ayat
yang dengan tegas memerintahkan perang di jalan Allah.
Karena itu al-Qur'an, al-Baqarah (II):191 adalah salah
satu ayat yang sering dikutip oleh kelompok Islam garis
keras untuk membenarkan serangan mereka kepada kaum non-
Muslim guna menegakkan pemerintahan Islam.
Secara umum, pemaknaan jihad melahirkan dua kelompok
penting, baik di kalangan ulama maupun kaum kebanyakan (al-
awamun). Kalangan ulama madhab Maliki memahami jihad dalam
bentuknya yang moderat. Bagi para fuqaha Imam Abu Sufyan
al-Thawri (Syria), Ibn Shibrimah (Madinah), dan Imam
madhab Maliki lainnya, termasuk pendiri madhab sendiri,
Imam Malik ibn Anas (w. 179/795), jihad bukan merupakan
aspek ajaran pokok (al-asl) yang menentukan sifat hubungan
antara Muslim dan non-Muslim. Sebaliknya, mereka ini
memahami jihad sebagai prinsip non-agresif, seperti
rekonsiliasi, kedamaian, saling membantu untuk mencapai
kepentingan berdasarkan keadilan, keterbukaan, kebenaran,
234
dan kemerdekaan beragama. Al-Thawri bahkan lebih rinci
mengatakan bahwa “memerangi kaum penyembah berhala bukan
sebuah kewajiban kecuali mereka yang mengawalinya. Jika
demikian persoalannya, maka mereka harus diperangi seperti
yang diperintahkan oleh Allah jika mereka (kaum kafir)
memerangimu, bunuh mereka demikian juga firman lain dan
perangi kaum kafir semuanya jika mereka memerangimu.283
Bagi aliran moderat dari fuqaha klasik, kafir bukan
menunjukkan sebuah tindakan agresif melawan yang lain.
Keyakinan merupakan persoalan iman, yang dalam sebuah ayat
dari surat Madaniyah ditegaskan bahwa “tidak ada paksaan
dalam beragama”.284
Ayat ini diinterpretasikan sebagai ayat yang memiliki
makna lebih luas dari sekedar pengakuan kebebasan
seseorang untuk memeluk agamanya sendiri. Kaum non-Muslim
yang tinggal di dar al-Islam harus diberikan kebebasan untuk
hidup dan melaksanakan ajaran agamanya tanpa campur tangan
pihak lain, termasuk dari pemerintah. Pendukung aliran ini283Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 16; lihatBonney, Jihad, 71.284al-Qur'an, al-Baqarah (II):285.
235
umumnya datang dari ulama Hijaz (Mekah dan Madinah) pada
abad kedua Hijriyah, yang pada dasarnya merupakan penerus
dari tradisi pembaharuan hukum Islam pada akhir abad
pertama Hijriyah di Madinah, yakni Said ibn al-Musayyab
(w. 94/712), dan murid serta kawan dekatnya ‘Ata’ ibn Abi
Rabah (w. 114/732). Pandangan mereka tentang damai dan
perang dalam Islam diterima dan diinterpretasikan kembali
oleh fuqaha berikutnya, termasuk Ibn Jurayh (w.150/767),
‘Amr ibn Dinar (w. 172/788), pendiri madhab Maliki, Malik
ibn Anas, dan yang lainnya. Bagi para fuqaha ini, kaum
kafir seharusnya tidak diperangi karena keyakinan mereka.
Karena hal ini akan bertentangan dengan kebebasan memeluk
agama, sebuah prinsip universal yang secara tegas
disebutkan dalam ajaran Islam. Bagi para fuqaha ini,
perang seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an hanya dapat
dilakukan terhadap kaum Arab kafir pada saat Nabi
Muhammad. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap ahl al-kitab
(Yahudi dan Nasrani), kaum Majusi, dan bahkan orang kafir
non-Arab. Namun demikian, mereka tidak keberatan menyeru
236
jihad melawan kaum kafir yang secara sah diidentikkan
sebagai musuh Islam. Perang terhadap mereka ini tidak
hanya dibenarkan, namun juga sah jika kaum kafir sendiri
yang pertama kali memulai melakukan agresi dan kezaliman
terhadap kaum Muslimin.285
Bagi sebagian besar ulama klasik, khususnya pada abad
kedua hijriyah, persepsi tentang kekafiran dalam al-Qur'an
selalu dikaitkan dengan ketidakadilan (zulm), penindasan
('udwan), dan fitnah (fitnah). Pandangan ini membawa pada
asumsi umum bahwa semua kaum kafir adalah musuh Islam,
tanpa penyelidikan lebih jauh apakah mereka benar-benar
penganjur ketidakadilan, penindasan dan fitnah atau tidak.
Dua tokoh dari madhab Hanafi, al-Shaybani (132/749 atau
750-189/805) dan al-Sarakhsi (400/1010-482/1090) adalah
tokoh penting dari kelompok garis keras tentang jihad.286
Berbeda dengan pandangan di atas, bagi kaum radikalis dari
kelompok “garis keras,” kemungkinan berdamai dengan kaum
kafir merupakan sikap yang sulit diterima. Pandangan ini
285al-Qur'an, al-Baqarah (II):190, 193; dan al-Anfal (VIII):39.286Bonney, Jihad, 73.
237
didasarkan pada asumsi bahwa perintah perang yang
disebutkan dalam al-Qur'an secara total telah menghapus
ayat-ayat non-agresif dalam al-Qur'an, termasuk teks yang
mendorong kaum Muslim melakukan perdamaian.287 Di antara
tokoh penting yang mendukung pendapat terakhir adalah
sebagian ulama Basrah dan mufassir Qatada, terkenal dengan
Abu al-Khattab (60/679-117/735), yang mengatakan bahwa al-
Qur'an, al-Anfal (VIII):61 telah dihapus (mansukh) oleh
ayat yang memerintahkan perang (al-Qur'an, al-Taubah (IX):
5). Karena perdamaian atau solusi diplomatik tidak dapat
dilaksanakan, maka jihad menjadi dasar yang kuat bagi
kebijakan hubungan kaum Muslim dengan dunia non-Muslim.
Jihad melawan kaum non-Muslim merupakan sebuah konsekuensi
agama maupun politik yang harus dilaksanakan. Kaum Muslim
tetap berkewajiban melakukan perang tanpa syarat melawan
kaum non-Muslim sampai yang disebut terakhir ini memeluk
Islam atau membayar pajak, sesuai yang diperintahkan al-
Qur'an, dalam surah al-Taubah (IX): 29, sebagai tanda
287al-Qur'an, al-Anfal (VIII):61.
238
penyerahan diri dan loyalitas kepada pemerintahan
Muslim.288 Al-Shafi'i adalah orang pertama yang merumuskan
doktrin jihad melawan orang kafir karena kekafirannya.289
Atas dasar ini jihad kemudian ditransformasikan sebagai
kewajiban kolektif (fard kifayah) bagi kaum Muslim memerangi
kaum kafir. Dasar hukum ini menimbulkan perdebatan di
kalangan pengikut madhab al-Sha-fi'i dan memunculkan
perbedaan pandangan di kalangan fuqaha madhab Hanafi.
Tahawi (w 321/933), lebih dekat pada doktrin Hanafi awal
mengatakan bahwa perang dapat dilakukan, hanya apabila ada
konflik dengan kaum kafir.290 Namun Sarakhsi, komentator
besar karya-karya Shaybani, menerima doktrin al-Shafi’i
bahwa memerangi kaum kafir adalah “tugas tetap sampai
288M.S. bin Jani, "Sayyid Qutb's View of Jihad: An AnaliticalStudy of His Major Works," Disertasi Ph.D, University ofBirmingham, 1998), 121-122.289Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 18; lihatAl-Shafi'i, Al-Umm, vol. IV, (Kairo, 1321-25/1904-8), 84-85.290Jihad memang sebuah tugas, namun kaum Muslim bolehmeninggalkan tugas tersebut, kecuali ada panggilan yang harusdipebuhi untuk itu. Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salamaal-Tahawi, Kitab al-Mukhtasar, ed. Abu Wafa al-Afghani (Kairo,1370/1950), 281.
239
akhir zaman.”291 Sebagian orang yang datang kemudian
menerima pendapat ini dan menjadikannya sebagai dasar
normatif untuk melakukan jihad perang.
Sesungguhnya terdapat beragam makna jihad yang muncul
dari pemahaman berbagai kelompok dalam masyarakat Muslim
sendiri. Perbedaan itu tidak hanya berkaitan dengan
definisi, keberadaannya sekarang dan kapan jihad itu
dilaksanakan, namun juga berkaitan dengan bagaimana jihad
harus dilakukan. Memang, tidak dapat dibantah bahwa jihad
juga diartikan sama dengan perang, yang dalam era
kontemporer dilakukan dengan teror dalam bentuk bom bunuh
diri. Namun jika diteliti lebih jauh maka, pertama, jihad
merupakan kewajiban berjuang untuk melakukan kebaikan dan
melepaskan diri dari dominasi kesesatan hawa nafsu. Oleh
karena itu, jihad menjadi kewajiban setiap individu.
Kedua, jika jihad diartikan sebagai perjuangan fisik dalam
bentuk perang melawan kaum kafir, maka perang yang
dilakukan adalah dalam rangka mempertahankan diri. Dalam291Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 19; lihatShams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Sahl al-Sarakhsi, Kitab al-Mabsut, vol. X (Kairo, 1324/1906), 2-3.
240
kaitan yang terakhir ini, batasan-batasan dilakukan tidak
hanya pada target dan sasaran perang yang umumnya kaum
sipil: wanita, anak, orang tua, dan para pendeta, namun
juga waktu kapan perang itu dilaksanakan. Dari sini jelas
bahwa tidak serta merta perang terhadap non-Muslim itu
dapat dilakukan tanpa alasan yang jelas. Paling tidak,
apabila syarat-syarat seperti kezaliman dan ketidakadilan,
penindasan, dan fitnah menimpa kaum Muslim itu terpenuhi,
maka perang boleh dilakukan. Syarat inilah yang kemudian
dipakai oleh Imam Samudra melakukan jihad, dengan
menggunakan aksi teror bom, untuk melawan penindasan dan
menghilangkan fitnah.292
Dalam era kontemporer Islam kedua kelompok pemahaman
jihad, baik yang “lunak” maupun yang “keras,” sesungguhnya
memiliki dasar alasan yang sama bahwa jihad fisik
dilakukan karena adanya sebab atau tindakan yang merugikan
kaum Muslim. Di kalangan sebagian kelompok garis keras
memang ada yang menggunakan alasan maju perang dengan
292Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Al-Jazeera, 2004), 95-96.
241
mengabaikan hubungan faktor sebab dan akibat. Mereka ini
lebih mendasarkan, secara literer, “ayat-ayat perang”
(ayat al-sayf: al-Qur'an, al-Taubah (IX):39, 123; al-
Baqarah (II):190; al-Zumar (XXXIX):79), yang dinilai
secara normatif memiliki kekuatan hukum dibandingkan
dengan ayat-ayat yang sama yang datang lebih dulu, yang
dalam tradisi pemahaman ajaran Islam disebut naskh-mansukh.
Sebagian kaum Muslim mengkritisi cara pemahaman seperti
ini dan menyatakan bahwa Allahlah yang memiliki hak untuk
menghapus dan memberlakukan kehendak-Nya. Pada-Nyalah
sumber segala wahyu (al-Qur'an, al-Ra'd (XIII):39).
Meskipun dalam al-Qur'an sendiri ada rujukan yang
menjelaskan adanya perubahan (al-Qur'an, al-Bagarah
(II):106; al-Nahl (XVI):101), atau penggantian wahyu oleh
wahyu yang lain, al-Qur'an sendiri tidak menjelaskan teori
naskh. Jika makna naskh pada umumnya adalah menghapuskan
ajaran atau aturan asli, sementara kata yang asli itu
masih tertulis dalam mushaf, dan kenyataannya kedua
kelompok teks masih ada dalam al-Qur'an, maka keadaan ini
242
bagi kalangan tertentu membingungkan. Kebingungan ini
melahirkan sebuah pemahaman lain tentang teori naskh.
Mereka yang memiliki pemahaman ini menyatakan bahwa naskh
itu pada dasarnya adalah sebuah proses logis dan
diperlukan untuk mengamalkan teks al-Qur'an secara tepat,
karena kondisi, dan menunda pengamalan teks yang lain
sampai kondisi lingkungan memungkinkan untuk
dilaksanakan.293 Jadi, terkait dengan ayat-ayat yang
menjadi sumber ideologi jihad, yang seperti dibicarakan di
atas, semuanya tetap berlaku, yang pengamalannya
tergantung kondisi dan syarat-syarat yang mengharuskannya.
Pemaknaan jihad sebagaimana yang dilakukan oleh
sebagian kelompok garis keras dalam komunitas Muslim juga
menjadi kecenderungan yang umum di kalangan para
orientalis Barat dalam mengkaitkan terorisme dengan konsep
jihad. Mereka yang disebut terakhir ini menjebakkan diri
dalam memahami konsep jihad, yang hanya mendasarkan pada
293Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 20; lihatAbdullahi Ahmed An-Na'im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,Human Rights, and International Law (Syracuse, NY: Syracuse UniversityPress, 1990), 56.
243
keterbatasan kemampuan subjektif dan kepentingan. Jadi
sebenarnya, antara kelompok garis keras Muslim dan kaum
orientalis Barat memiliki pemahaman yang sama tentang
jihad. Mereka memahaminya secara literel dan hanya
mengambil satu makna dari sekian banyak penafsiran tentang
jihad. Pemahaman seperti ini sangat bertentangan dengan
tradisi keilmuan mereka sendiri, yang menjunjung tinggi
keluasan pandangan dan semangat pluralitas dalam memahami
sesuatu. Di antara mereka ini adalah Pipe, Mac Arthur yang
memaknai jihad sama dengan memerangi kaum non-Muslim.294
Kecenderungan pemahaman seperti ini dulu memang menjadi
salah satu ciri menonjol kaum orientalis dalam memahami
Islam.295 Kekurangakuratan pemahaman Islam dan masyarakat
Muslim ini telah dijadikan pijakan oleh rejim penguasa
negara-negara Barat dalam menjalin hubungannya dengan
dunia Muslim. Akibatnya hubungan Barat-Timur dalam periode
yang sangat lama lebih menonjol ditandai oleh konflik dan294Daniel Pipe, "What Is Jihad?", The New York Times, 31 December2002; John MacArthur, Terrorism, Jihad and the Bible: A Response to TerroristAttacts (2001).295R. W. Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge,Mass.: Harvard University Press, 1962), 14.
244
saling mencurigai.296 Kenyataan ini menyadarkan beberapa
kelompok akademisi Barat yang mengkritisi ketimpangan
hubungan ini dan berusaha meluruskan pemahaman Barat
terhadap Islam dan masyarakat Muslim secara proporsional
dan objektif.297 Meskipun mereka ini merupakan kelompok
kecil, namun pengaruh mereka terus tumbuh dan berkembang,
terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Pemahaman jihad sebagai landasan normatif perjuangan
fisik disuburkan oleh kondisi sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan keagamaan masyarakat Muslim di kawasan negara
yang mayoritas berpenduduk Muslim. Aspek normatif ajaran
jihad menjadi landasan pokok untuk menciptakan keadilan,
menghilangkan penindasan dan fitnah. Demikian juga semua
persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim dalam era
kontemporer menjadi elemen penting dalam merumuskan
ideologi baru. Sebagai sebuah ideologi, terorisme
296Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Edinburgh,Edinburgh University Press, 1960).297Jainuri, “Terorisme Dalam Wacana Kontemporer Islam”, 21. LihatEdward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979).
245
mempunyai fungsi untuk mengatasi tiga persoalan di atas
yang dihadapi oleh kaum Muslim.
Menurut Jainuri, munculnya gerakan teroris merupakan
gejala kebangkitan dalam melawan ketidakadilan,
penindasan, dan fitnah yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat lokal maupun dunia terhadap bagian masyarakat
lain. Namun persoalan yang muncul tetap pada pertanyaan,
mengapa terorisme yang dipilih? Kunci untuk memahami
terorisme sebenarnya terletak pada kecermatan penelitian
sejarah terorisme dan kaitannya dengan kondisi kontemporer
tertentu yang memunculkan terorisme. Oleh karena itu
alasan mengapa terorisme itu muncul merupakan aspek yang
paling penting untuk dipahami. Doktrin jihad dan kondisi
persoalan di lapangan nampaknya merupakan motivasi dan
faktor penting yang mengilhami para pelaku teror, yang
sering menunjukkan kerelaannya untuk memisahkan diri dari
masyarakat luas dan keberaniannya untuk melakukan bom
bunuh diri.298
298Ibid., 21.
246
Pada intinya semua gerakan teror merupakan
konsekuensi alami dari sebuah proses kemanusiaan dan
perubahan budaya. Dalam setiap masyarakat di dunia ini
perubahan berlangsung dalam bentuk dan tahapan yang
beragam. Sebagian anggota masyarakat menerima perubahan
dengan senang, dan sebagian bereaksi dengan keras. Ketika
masyarakat merasakan adanya pemaksaan untuk menerima
perubahan itu, maka sebagian dari mereka ini merasa perlu
menolaknya, yang kadang-kadang dengan kekerasan. Karena
itu dinamika terorisme itu berkaitan erat dengan dinamika
yang ada di dalam maupun di luar kelompok. Ketika suatu
kelompok merasa memiliki hak teritorial dan kekuasaan yang
dengan begitu saja diserobot oleh orang lain, maka yang
menjadi sasaran kritik kemudian adalah kelemahan diri
internal sendiri dan kekuatan luar yang tangguh.
Selain motivasi ideologi seperti yang disebutkan di
atas, ada dua faktor penting yang turut mendorong
munculnya terorisme: Pertama, lemahnya kekuatan kaum
Muslim, yang oleh para tokoh kaum radikalis, dikarenakan
247
kemerosotan moral para elit penguasa Muslim. Kaum
radikalis menuduh elit penguasa Muslim sebagai boneka
negara Barat, bukan hanya karena sistem pemerintahan
sekuler yang mereka terapkan, namun juga karena kebijakan
pemerintahannya yang dinilai lebih menguntungkan Barat
daripada rakyat sendiri. Rakyat tidak memiliki kekuatan
apa-apa dan tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan
persoalannya sendiri, karenanya memudahkan orang luar
menekan dan menindas mereka. Kondisi ini mendorong
munculnya program-program pelatihan fisik dan mental untuk
membentuk dan memperkokoh karakter diri dan memfasilitasi
siapa saja yang ingin menjadi martir guna menegakkan
masyarakat yang dicitakan. Kedua, pengakuan objektif kaum
radikalis terhadap dunia non-Muslim yang telah mencapai
puncak kemajuan, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi,
dan stabilitas politik. Namun, kemajuan mereka ini dipakai
untuk mengeksploitasi bangsa-bangsa lain di dunia,
sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara
Timur (Islam) dan Barat dalam kurun waktu yang cukup lama.
248
Dari era kolonialisme sampai post-kolonialisme hubungan
lebih mengarah pada pemenuhan kepentingan Barat.299
Dua faktor tersebut di atas menjadi fenomena umum
yang secara ringkas dapat dilihat dalam tiga aspek penting
penyebab munculnya aksi terorisme di dunia Muslim. Pertama,
sebab politik yang didominasi oleh konflik berkepanjangan
Israel-Arab dan campurtangan politik dan militer Amerika
Serikat di negara-negara Muslim. Kedua, sebab budaya,
yakni perlawanan terhadap kolonialisme budaya Barat; dan
ketiga, sebab sosial karena kemiskinan dan alinasi.300
Sementara tidak satupun tokoh politik di Barat yang
menolak perang terhadap terorisme, pada saat yang sama,
secara politik mereka juga membenarkan bahwa “kekecewaan
dan perasaan sakit masyarakat Muslim,” karena perlakuan
tidak adil pada tiga aspek yang disebutkan di atas,
299Ibid., 23. Lihat William O. Beeman, “Fighting the Good Fight:Fundamentalism and Religious Revival” dalam Anthropology forthe Real World, ed. J. MacClancy (Chicago: University of ChicagoPress, 2001). Dikutip dari www.brown.edu/Departments/Anthropology/publications/FUNDAMENTALISM.htm, 1)300Ibid., 24. Lihat Samuel Bar, “The Religious Sources of IslamicTerrorism” Policy Review, 125, dikutip dariwww.policyreview.org/jun04/bar.html, 1 )
249
menjadi alasan rasional yang memberikan lejitimasi
tuntutan aksi tindakan terorisme.
Motif politik dari sebagian pemimpin kaum mujahidin
dalam melawan Barat memang tidak diragukan. Namun
jastifikasi moral dan inti dari kekuatan gerakan mujahidin
melawan ketidakadilan adalah semangat ajaran jihad Islam.
Dengan menggunakan dasar agama serta menanamkan prinsip
perlawanan dalam Islam ke dalam setiap jiwa Muslim, para
tokoh gerakan radikal Islam berhasil memotivasi sebagian
mujahidin melakukan perlawanan dengan bom bunuh diri,
menyadarkan mereka akan kondisi sosial yang mengizinkan
aksi mereka serta pemahaman agama yang menyediakan
landasan moral dan hukum bagi tindakan mereka. Sukses
mereka dalam merekrut, memposisikan diri, dan memelihara
ideologi para aktifis (utamanya para pelaku serangan 11
September 2001) tanpa terdeteksi oleh kecanggihan keamanan
Barat merupakan sifat kerja yang melandasi fenomena ini.
Berpihaknya institusi politik dunia kepada
kepentingan Barat dalam menyelesaikan konflik antar bangsa
250
bukan hanya menyebabkan semakin berlarutnya konflik
Israel-Arab, namun juga semakin bertambahnya daerah
konflik di kawasan Islam. Peta dunia tidak lagi hanya
terbagi menjadi maju dan tertinggal, kaya dan miskin,
namun juga equilibrium dan disequilibrium. Negara-negara di
kawasan Islam umumnya termasuk dalam belahan dunia yang
disequilibrium. Harapan untuk menyelesaikan masalah bukan
hanya terkendala oleh lemahnya badan politik dunia dan
kepentingan negara tertentu yang menghendaki kondisi dunia
Islam tetap status-quo, namun juga oleh sikap egoistis warga
masyarakat Muslim sendiri. Fenomena konflik antar sesama
warga dan umat yang disebabkan karena kepentingan dan
kebutuhan sesaat bukan hanya memperlemah potensi bangsa
namun juga mempermudah proses intervensi kekuatan luar
(superpower). Dari sini muncul bertebaran local agent (bukan
local genius) yang lebih menguntungkan kekuatan luar.
Fenomena ini tercermin dalam individu umat Muslim dan pada
skala yang lebih luas terlihat pada semakin melemahnya
solidaritas di kalangan negara-negara Islam (OKI),
251
terutama negara-negara Arab. Yang disebut terakhir ini
tidak mampu memainkan potensi kekayaan yang dimilikinya,
seperti yang telah dilakukan pada tahun 1970-an, yang
secara tepat merespon tantangan dengan mengembargo
pengiriman minyak ke Barat. Ketidakmampuan diri dalam
melepaskan eksploitasi politik kekuatan luar dan semakin
meluasnya intervensi militer Israel ke Palestina dan
Libanon dan Amerika Serikat ke Iraq, Afghanistan, Saudi
Arabia, menjadi faktor dominan sebab menyuburnya
radikalisme atas nama agama.
Faktor kedua adalah sebab budaya. Meskipun faktor ini
tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya sikap
radikalisme dalam Islam, namun memiliki andil besar dalam
membentuk sentimen anti-Barat di kalangan sebagian warga
Muslim. Perasaan ini bermula dari ketidakmampuan diri
mempertahankan nilai-nilai budaya luhur berhadapan dengan
budaya Barat modern yang materialistis. Nilai-nilai etika
Islam yang selama ini menjadi dasar pergaulan antar sesama
umat mulai tergeser oleh budaya Barat, yang meluas melalui
252
jaringan media cetak dan elektronika. Pengaruh budaya
Barat dalam kehidupan kebanyakan kaum Muslim terlihat
mulai dari konsumsi produk makanan-minuman, cara
berpakaian, bergaul sampai dengan praktik ritus keagamaan
yang lebih menonjol pada kemasan entertainment-nya dari pada
makna ibadahnya. Aib pribadi menjadi tontonan yang “wajar”
dan menjadi komoditas bisnis yang mendatangkan banyak
uang. Suguhan adegan keras, erotis, dan seduktif dalam
tayangan media elektronika menjadi acara rutin yang harus
ditonton oleh semua tingkat usia orang. Pengaruh budaya
ini demikian popular di kalangan masyarakat dunia ketiga,
termasuk Muslim, dan menjadi identitas baru mereka.
Pengaruh inilah yang dikenal dalam teori cocacolonisation, yang
menjadi sumber sebab munculnya konflik baru dunia.301
Oleh karena itu, seperti kata Caufield, hal yang
perlu digarisbawahi dalam kaitannya dengan eksploitasi
kaum kolonialis-imperialis itu, bukanlah antara kelas
sosial yang satu menguasai kelas sosial yang lain, namun
301Ibid., 26. Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations andthe Remaking of the World Order (London: The Free Press, 2000))
253
adalah suatu budaya atas budaya lain.302 Para penguasa di
negara-negara Muslim merasa rendah diri bukan karena
kekuatan ekonomi mereka, yang sesungguhnya lebih tinggi,
namun adalah karena apa yang menurut mereka ideal yang
harus dimiliki dan sekaligus sebagai simbol kemajuan,
yakni westernisasi dan budaya konsumerisme, budaya pop dan
moral yang permisif. Dasar argumentasi yang mungkin kuat
dapat dipahami adalah bahwa maraknya para aktifis gerakan
radikal Islam di kawasan Islam sesungguhnya tidak banyak
berkaitan dengan eksploitasi ekonomi, apakah itu berkaitan
dengan eksploitasi sumber alam atau tenaga, namun adalah
degradasi dan desikresi budaya.303 Kecenderungan budaya
seperti inilah yang dikritik oleh Imam Khomeini terhadap
kebijakan Shah Iran yang mempromosikan budaya
konsumerisme. Di mata Imam Khomeini, rakyat Iran (saat
itu) berlomba mencari kepuasan materi. Mobil menjadi
302Ibid. Lihat Mina Davis Caufield, "Culture and Imperialism:Proposing a New Dialectic," dalam Dell Hymes, ed., ReinventingAnthropology (New York: Random House, 1969), 193)303Ibid. Lihat David A. Snow dan Susan E. Marshall, "CulturalImperialism, Social Movements, and the Islamic Revival," Researchin Social Movements, Conflict and Change, 7 (1984), 137.
254
simbol kemewahan dan yang sudah memiliki mobil dan rumah
menginginkan yang lebih bagus dan besar. Kaum Muslim Iran
telah melupakan nilai-nilai agama mereka. Kesederhanaan,
kelemahlembutan, integritas diri, keramahtamahan dan
kejujuran kepada orang lain digantikan oleh semangat
ketamakan dan menghalalkan segala cara. Semua ini harus
dirubah, dan revolusi adalah permulaan dari perubahan
ini.304 Meskipun apa yang disampaikan oleh Imam Khomeini
mungkin terlalu dilebihkan, namun sebenarnya perasaan
anti-budaya Barat dapat dijumpai di banyak negara yang
mayoritas berpenduduk Muslim.
Faktor ketiga, yang merupakan akibat dari faktor
pertama dan kedua, adalah karena kemiskinan dan alinasi.
Jika menggunakan kerangka alinasinya Marx,305 maka alinasi
mencakup dua hat: alinasi dari nilai dan norma yang
berkembang sekarang, seperti yang disebutkan dalam faktor304Ibid. Lihat Youssef M. Ibrahim, “Inside Iran's CulturalRevolution,” The New York Times, 14 Oktober, 1979, 36.305Ibid., 27. Lihat Ken Morrison, Marx, Durkheim, Weber: Formations ofModern Social Thought (London: Sage Publication, 1995), 88-98;Martin Riesebrodt, The Emergence of Modern Fundamentalism in the UnitedStates and Iran (Berkeley: University of California Press, 1993),20.
255
kedua. Nilai dan etika agama yang dimiliki oleh kelompok
radikalis selama ini menjadi tidak ada artinya
(meaninglessness). Dalam konteks ini apa yang mereka miliki
sebagai yang benar, dan mereka memandang diri sendiri
bukan bagian dari mainstream umat pada umumnya, namun
merupakan kelompok penjaga kebenaran. Kedua adalah alinasi
dari peran serta (powerlessness). Kelompok radikalis
merasakan kaum Muslim sebagai kelompok yang tersingkirkan
dalam menangani persoalan global yang terkait dengan dunia
Islam. Bencana yang menimpa dunia Islam, menurut mereka,
adalah akibat perlakuan politik yang tidak adil dan
pemaksaan kepentingan negara-negara Barat yang dibantu
oleh agen lokal mereka yang umumnya menduduki posisi
pemerintahan sekuler di hampir sebagian besar kawasan yang
berpenduduk Muslim. Secara jelas alasan perlawanan
terhadap Barat itu, seperti dikemukakan Chomsky,
disebabkan karena penolakan partisipasi politik kaum
Muslim menyelesaikan persoalan mereka sendiri, meskipun
melalui sistem demokrasi. Jika partisipasi politik mereka
256
ini tersumbat, mereka mencari jalan keluarnya sendiri.
Jalan keluar itu dapat berupa radikalisme agama atau
bentuk kekerasan lain, seperti terorisme.306 Kasus FIS
(Aljazair) dan HAMAS (Palestina), yang memenangkan
pemilihan umum yang dianulir dan tidak diakui oleh
“komunitas internasional,” dukungan Amerika Serikat
terhadap rejinv represif di Saudi Arabia, Mesir, Aljazair,
dan Jordania, serta sederet persoalan politik yang menimpa
kaum Muslim di beberapa kawasan, seperti Afghanistan,
Kashmir, dan lainnya adalah contoh yang menarik untuk
dikemukakan.
Kondisi seperti tersebut di atas menjadi sebab yang
mendorong munculnya tindakan teror, yang berdampak pada:
Pertama, munculnya sikap frustasi bagi sebagian kaum
Muslim, seperti yang diwakili oleh kelompok radikal. Sikap
frustasi ini pada akhirnya mendorong diri menjadi
eksklusif dalam bermasyarakat, reaksioner dalam menghadapi
persoalan, dan cenderung melakukan kekerasan dalam
memecahkan persoalan. Kedua, kegagalan memobilisasi massa306Ibid., 27. Lihat Chomsky, "Noam's Chomsky'sTerms," 7.
257
pendukung aksi kekerasan. Kegagalan ini mungkin juga
disebabkan karma eksklusifitas mereka dalam kehidupan
masyarakat luas. Ketiga, tidak adanya pilihan lain. Dalam
kaitan ini para pelaku teror menganggap diri mereka
sebagai kelompok lemah. Karena kekuatan militer tidak
dimiliki, diplomasi yang selalu dikebiri oleh lembaga
politik internasional dan lokal, maka satu-satunya jalan
yang harus ditempuh dalam melawan ketidakadilan,
penindasan dan fitnah adalah dengan jalan bom bunuh diri,
dan tindakan teror lainnya. Oleh karena itu benar apa yang
dikatakan oleh Martha Grenshaw bahwa terorisme tidak harus
selalu dipahami sebagai tindakan sesat. Mungkin saja teror
merupakan respon yang rasional dan matang terhadap situasi
yang ada.307
Dengan demikian kesimpulan yang dapat dipaparkan
adalah sebagai berikut: Tujuan aksi terorisme ada tiga
aspek yang disebutkan dalam literatur klasik Islam yakni,307Surya, 19 Nopember 2002, 21. Dalam kaitan ini George Tenet,mantan Direktur CIA, yang pada waktu masih menjabat sebagaiDirektur CIA, mengkritisi kebijakan perang anti-terorismepresiden George W. Bush sebagai kehilangan arah karena tidakmenyentuh akar persoalan yang menjadi sebab timbulnya terorisme
258
menyatakan perang melawan ketidakadilan, penindasan dan
fitnah.308 Dalam konteks tersebut, perang itu ditujukan
kepada Barat yaitu Amerika Serikat (AS). Pada era
kontemporer, hubungan Barat dan Timur dalam hal ini Islam
memang tidak harmonis.309
Alternatif jihad kemudian muncul. Bagi mereka (kaum
radikalis), melawan kaum kafir (Barat) merupakan sebuah
konsekuensi agama maupun politik yang harus dilaksanakan.
Mereka adalah orang-orang yang frustasi. Sebab mereka
kalah dalam kemampuan fisik dan selalu dirugikan dalam
dialog. Daripada hidup ditindas dan difitnah, mereka lebih
baik mati sebagai “patriot”. Itulah pikiran yang ada di
benak para pelaku bom bunuh diri dan sikap yang harus
diambil. Dalam melaksanakan aksinya sebagai “patriot”
308Achmad Jainuri, “Janji Surga di Tengah Kemiskinan”, Jawa Pos,15 Oktober 2006, 14.309Berpihaknya institusi politik dunia kepada Barat menjadipemicu utama, seperti: pelucutan senjata oleh AS di Palestina,AS malah mengijinkan Israel memperbanyak stok senjata. Berapabanyak komitmen yang sudah dilanggar Amerika. Standar ganda ASitu kemudian membuat sekelompok muslim kecewa, termasuk kepadaelit politiknya. Kaum radikalis kemudian menuduh elit penguasamuslim sebagai boneka Barat.
259
tersebut, para teroris memunculkan program-program
pelatihan fisik dan mental untuk membentuk serta
memperkukuh karakter diri. Mereka juga menfasilitasi siapa
saja yang ingin menjadi “martir” guna menegakkan
masyarakat yang dicita-citakan.
Latar belakang Indonesia menjadi salah satu lahan
yang subur atau “surga”, baik sebagai sumber perekrutan
kelompok maupun aksi adalah: Pertama, faktor agama Islam
yang dipeluk sebagian besar (majority) rakyat Indonesia.
Kedua, faktor geografis sangat berpengaruh. Luas wilayah dan
bentangan pulau-pulau Indonesia, sangat menuntungkan aksi
terorisme. Sebab mobilitas mereka akan sangat sukar
dideteksi. Selain itu, beragam fasilitas AS yng bercokol
di Indonesia menjadi target. Dan juga kemampuan aparat
keamanan yang terbatas. Ketiga, faktor sosial-ekonomi pelaku
bom yang sangat memprihatinkan menjadi penyebab utama.
Intinya adalah kemiskinan dan alinasi. Menurut mereka,
lebih baik mencari surga daripada hidup dalam kemiskinan
dan selalu diiming-imingi reward yang indah setelah mati.
260
Keempat, faktor karisma tokoh yang menyebarkan ajaran
(doctrine) tersebut yang berpengaruh. Contohnya Dr. Azhari
atau Noordin Moh. Top, para pengikutnya di Indonesia
sangat terpesona oleh kebesaran dua tokoh tersebut.
Terutama, bagaimana mereka dengan rela meninggalkan segala
macam kenikmatan dunia yang mereka miliki untuk berjihad.
Kelima, faktor tingkat pendidikan seseorang berpengaruh pada
pemahaman mereka tentang Islam. Interpretasi juga
dilakukan kelompok teroris. Sayangnya, mereka hanya
menerjemahkan ayat-ayat suci secara hitam dan putih. Jihad
tidak lagi diartikan sebagai perlawanan terhadap diri
sendiri (hawa nafsu), namun pembunuhan dan penghancuran
akan segala hal yang berkaitan dengan Barat. Mereka juga
tidak merasa berdosa dengan turut mengorbankan orang-orang
yang bukan AS dalam serangan bom tersebut, sebab berbeda
dengan asasinasi. Maksudnya, korban bom adalah perantara
untuk menyampaikan pesan kepada pihak yang dikehendaki.
Ada solusi untuk membabat terorisme di Indonesia,
yakni: Pertama, memperbaiki sistem sosial-ekonomi masyarakat
261
Indonesia, terkait erat dengan usaha pemerataan. Pusat
ekonomi seharusnya tidak hanya berpusat di kota, namun
basis ekonomi di desa harus diperkukuh sehingga distribusi
ekonomi merata sehingga tidak ada orang yang menganggur.
Memerangi terorisme lewat ekonomi sangat mungkin
dilaksanakan, sebab para teroris (terutama “kurir”) datang
dari ekonomi kelas bawah. Kedua, memberikan pendidikan dan
pemahaman yang benar tentang Islam. Ini termasuk tindakan
nyata (real action) untuk mengeliminasi kemungkinan aksi
terorisme. Argumentasi saja tidaklah cukup.
262