PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

197
TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIAH SEPTITA H. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUANDALAM

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DIAH SEPTITA H.

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2010

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUANDALAM

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Tesis untuk Memperoleh Gelar MagisterPada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DIAH SEPTITA H.NIM : 0590561041

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2010

ii

Lembar Pengesahan

Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 13 April 2010

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. I Made Widnyana, SH Purwati, SH,MHNIP. 130346027 NIP. 130515141

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaMagister Ilmu Hukum Universitas Udayana,Program PascasarjanaUniversitas Udayana,

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 195604191983031003 NIP. 195902151985102001

iii

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 13 April 2010

Panitia Penguji TesisBerdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 0584/H14.4/HK/2010

Ketua : Prof. I Made Widnyana, SH

Sekretaris : Purwati, SH,MH

Anggota : 1. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH,MH

2. Wayan Tangun Susila, SH,MH

3. Gede Made Swardhana, SH,MH

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah

SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga tesis ini

dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini pula penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S

(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana

Universitas Udayana

3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU, atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program

Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

4. Prof. I Made Widnyana, SH selaku Pembimbing I, dan Ibu Purwati,

SH, MH selaku Pembimbing II, yang demikian sabar dan penuh perhatian telah

v

memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta semua kebaikannya kepada

penulis termasuk transfer ilmu yang penulis tidak terima di bangku kuliah.

5. Penguji tesis, yaitu Dr. I Gst. Ketut Ariawan, SH, MH, Wayan Tangun

Susila, SH, MH, dan Gede Made Swardhana, SH, MH yang telah memberikan

saran dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.

6. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, ilmunya yang tersampaikan dalam

bentuk lisan maupun tulisan telah menginspirasi dan penyemangat dalam tesis ini.

7. Seluruh tenaga pengajar Program Magister Program Studi Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana khususnya pada jurusan

Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.

8. Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

9. Seluruh karyawan/karyawati Perpustakaan Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

10. Almarhumah Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta yang telah

menghidupi penulis sejak dalam janin dan telah membimbing penulis sampai

terbentuk karakter seperti sekarang ini, serta kakak sulungku Ir. Prasetyo Hadi

“Mas Didik” sekeluarga yang terhormat, yang selalu perhatian dengan segala

kebaikannya mendukung penulis baik spiritual maupun material. Terima kasih

juga diucapkan kepada kakakku Dodit Hariyanto, SE, MBA “Mas Yanto”

sekeluarga yang telah menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam

vi

tesis. Baik budi dan jasa kalian tidak bisa dibalas dengan apapun. Subhanallah,

Allah Maha Kuasa!

11. Lekna dan Umi sekelurga yang selalu melapangkan hati, teman-teman,

serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang selalu membantu

tanpa pamrih.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pihak yang terkait

terutama tentang perlindungan perempuan yang mendapat perlakuan semena-mena.

Denpasar, 13 April 2010

Penulis

vii

ABSTRAK

Perlindungan terhadap perempuan terutama dalam kasus KDRT masih belum sepenuhnya menjamin walaupun tak kurang peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan. Apalagi sejak diberlakukannya UUPKDRT, perlindungan terhadap perempuan lebih spesifik terutama terhadap korban KDRT.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Bahan hukum yang diteliti meliputi bahan primer yang terdiri dari KUHP, UU Ratifikasi CEDAW, UU HAM, UUPKDRT, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UUPTPPO, dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, dan internet.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya telah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik tentang KDRT adalah UUPKDRT. Namun dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan perempuan belum cukup akomodatif atas kebutuhan perempuan sebagai korban. Adanya bias gender yang mempengaruhi pola pikir masyarakat termasuk lembaga legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang serta adanya ketidaksingkronan atau bahkan mendukung ke arah legalisasi secara tidak langsung atas suatu tindak pidana.

Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khususnya korban KDRT ini bukan sekedar dalam taraf implementasi penegakan hukumnya, tetapi terakomodasinya kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban KDRT ke dalam bentuk undang-undang yang benar-benar menjamin perlindungan hukum atas dirinya dan masyarakat pada umumnya. Di sini lah dibutuhkan peran kebijakan legislatif dalam kebijakan kriminal untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan akan perlindungan hukum khususnya dalam kasus KDRT

Kata Kunci : Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KDRT, Kebijakan Kriminal

viii

ABSTRACT

Protection for women especially on domestic violence cases is yet to completely ensuring, although there is not less than considerable amount of laws protecting women available. Especially ever since Domestic Violence Elimination Code has been applied, protection of women is even more specific, notably towards domestic violence victims.

This research is a normative one. Legal material studied including primary sources, including Criminal Law Code, CEDAW Code Ratification, Human Rights Code, Domestic Violence Elimination Code, Commissions of Truth and Reconciliation Code, Witness and Victim Protection Code, Human Trafficking Prevention Code, as well as secondary source from legal text books, legal journals, papers or legal practitioner’s point of view published on mass media, dictionary and encyclopedia, and internet.

The result from this research shows that protection on female domestic violence victims were actually has been applied in the form of various legislations. One of the legislation specifically regulate domestic violence is the Domestic Violence Elimination Code. However, from various legislation that regulates women protection is not thoroughly accommodative for women as a victim. Existing gender bias influence community mindset and legislative institutions as legislatures, and asynchronous condition, even towards indirect legalization of a crime.

Legal protection effort of women, especially domestic violence victim, is not only in the level of implementation of law enforcing, but on the fulfill of public needs especially women as domestic violence victim into a form of legislation that really ensure legal protection of themselves and the general public. At this very point legislative policy is needed to accommodate women’s needs of legal protection especially on domestic violence cases.

Keywords: Legal Protection on Women inDomestic Violence, Criminal Policy

ix

RINGKASAN

Penelitian ini disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat

dkemukakan sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang

melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian.

Bab II adalah bab yang menguraikan tentang definisi kekerasan dan korban,

serta batasan yang digunakan dari definisi kekerasan dan korban sebagai batasan

penelitian.

Bab III berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan

terhadap perempuan khususnya korban KDRT. Beberapa peraturan perundang-

undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan adalah KUHP,

UU HAM, UUPKDRT, UUPTPPO, UU perkawinan dan UU Ratifikasi CEDAW

sebagai dasar hukum perlindungan perempuan dalam ruang lingkup internasional.

Selain itu, KUHPerdata juga menjamin perempuan untuk menggugat ganti kerugian

atas kerugian yang dialaminya.

Bab IV merupakan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada

Bab I. Bab ini berisi tentang perlindungan perempuan dalam KDRT dalam perspektif

perbandingan hukum baik dengan RKUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 maupun

dengan hukum pidana negara lain. Selain itu juga dibahas tentang politik kriminal

x

yang sebaiknya dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan khususnya

korban KDRT dan masyarakat pada umumnya.

Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

Kesimpulan dibuat berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

Sedangkan saran adalah beberapa hal yang dapat penulis rekomendasikan dalam

penelitian ini ke arah yang lebih baik untuk perlindungan hukum terhadap perempuan

khususnnya korban KDRT dan masyarakat pada umumnya.`

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................................ i

LEMBAR PERSYRATAN GELAR .......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI ......................................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................................................. ix

RINGKASAN ............................................................................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................18

1.3. Ruang Lingkup Masalah .........................................................................18

1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................18

1.4.1. Tujuan umum ............................................................................ 19

1.4.2. Tujuan khusus ........................................................................... 19

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 19

1.5.1. Manfaat teoritis ......................................................................... 19

xii

1.5.2. Manfaat praktis ......................................................................... 20

1.2. Landasan Teoritis................................................................................... 20

1.2.1. Perlindungan Hukum ................................................................ 20

1.2.2. Kebijakan Hukum Pidana ........................................................ 26

1.3. Metode Penelitian ................................................................................. 38

1.3.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 38

1.3.2. Jenis Pendekatan ....................................................................... 39

1.3.3. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 39

1.3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 41

1.3.5. Teknik Analisis ......................................................................... 41

BAB II TINJAUAN UMUM .................................................................................... 43

2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga ......................................................... 43

2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum .......................................... 43

2.1.2. Pengertian kekerasan menurut peraturan perundang-undangan 53

2.2. Korban .................................................................................................. 59

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT ........ 71

3.1.Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP ...................... 73

3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP .................. 78

BAB IV POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA..................................................................... 104

4.1.Perbandingan Hukum ............................................................................ 104

xiii

4.1.1. Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008 .............................. 107

4.1.2. Kajian perbandingan dengan negara lain ................................... 121

4.2.Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan

pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa

Mendatang ............................................................................................ 127

BAB V PENUTUP ................................................................................................. 158

5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 158

5.2. Saran .................................................................................................... 160

DAFTAR BACAAN

LAMPIRAN

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara

kuantitatif cenderung meningkat dengan modus operandi yang beragam dengan

dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-laki.

Keprihatinan terhadap korban kekerasan ini semakin mengemuka karena

banyaknya kasus kejahatan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan

dampak terhadap korban pada saat kejadian hingga pasca viktimisasi cukup

mengenaskan dan membawa traumatik berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat

menimpa siapa pun dan di mana pun. Namun, bila ditelusuri secara seksama

dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada

perempuan yang dikarenakan mereka adalah ”perempuan” cenderung

meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan

kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual yang mayoritas

ditujukan pada perempuan. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan

yang berbasis gender atau gender violence. Konsep ini sejatinya mengacu pada

posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless

1

dan powerful, dengan kata lain, terdapat ketimpangan kekuasaan antara

perempuan dan laki-laki.1

Kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut baik di sektor domestik

maupun publik. Tidak menutup kemungkinan adanya dark number walaupun

pemerintah telah menjamin hak perempuan dalam berbagai produk hukum.

Begitu juga dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) tidak menjamin serta merta

dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial

budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik,

merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat

peradilan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan

hubungan antar individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, serta

dikukuhkan oleh persoalan ketergantungan ekonomi, dan masa depan, serta

status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup

rapat kasus domestiknya.

Dengan sistem budaya patriarki, laki-laki akan merasa bahwa dirinya

memiliki kekuasaan dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan.

Mahar yang tinggi dan tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi keluarganya

serta adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, membuat kaum `adam`

merasa memiliki kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan

1Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 226.

2

memperlakukan apa saja terhadap perempuan.2 Apalagi di beberapa daerah,

masih ada adat yang mengkultuskan garis laki-laki secara tegas sehingga garis

keturunan keluarga, warisan dan sebagainya jatuh ke tangan laki-laki. Adat

kebiasaan seperti itu memang sulit untuk dihilangkan karena sudah diakui dan

diterapkan secara turun temurun. Sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap

perempuan dalam rumah tangga hanya dinilai sebagai masalah internal sehingga

para tetangga maupun sanak famili tidak sepantasnya ikut campur.3 Seorang

perempuan berstatus istri saja diperlakukan seperti itu, apalagi hanya seorang

pembantu rumah tangga yang level derajatnya jauh lebih rendah dapat

dipastikan akan mendapat perlakuan yang lebih buruk.

Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi

batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke

tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah tidak layak

diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan

terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada

peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan

hukumnya.4 Ditambah lagi, sifat undang-undang ini adalah delik aduan (klacht

2Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.

3Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, www.sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.

4

4

Romany Sihite, Op.cit., h. 145.

3

delict). Tujuan sifat delik aduan ini adalah untuk melindungi ”privacy”, agar

tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”.5

Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang

seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami

kekerasan bersedia melaporkan kasusnya.6 Mereka lebih banyak mendiamkan

permasalahannya untuk menutupi aib keluarganya. Korban kekerasan dalam

rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dimana posisinya yang

tersubordinat enggan untuk melakukan pengaduan. Bagi mereka, membutuhkan

keberanian yang sangat besar untuk memutuskan pengaduan atas kelakuan

suami mereka. Korban akan berpikir seribu kali untuk melaporkan tindak

pidana yang dialaminya. Keadaan tertekan dan ketergantungan hidup biasanya

yang menjadi alasan terbesar.

Berikut contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga :

1. Ag bin S melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Ny. S, yang menyebabkan pendarahan pada hidung, luka memar di dada, dan pernah pingsan. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat oleh dr. Basuki pada RS Panti Rapih Yogyakarta tanggal 12 November 1990 Nomo 373/WS/MR/VIS/UM/11/90 atas nama Ny. S menyimpulkan bahwa penderita mengalami gejala gegar otak akibat kekerasan benda tumpul. Menurut terdakwa, ia melakukan penganiayaan hanya merupakan pelampiasan saja dari perbuatan istri terhadap terdakwa yang main serong dengan laki-laki lain dan pagi itu ia meminta uang kepada korban tidak

5Mardjono Reksodiputro, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1), Sumber : http://reformasikuhp.org/, Senin, 17 Desember 2007,www.jodisantoso.blogspot.com.

6Siti Musdah Mulia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan dari Makalah Seminar Sehari diselenggarakan Tim PUG Departemen Agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, 22 Juni 2004 di Jakarta, www.icrp-online.org.

4

diberi, malahan korban ngomel. Padahal kenyataannya terdakwa sendiri yang melakukan penyelewengan dan menghendaki kawin lagi. Dan terdakwa saat ini sedang menjalani pidana penjara pada kasus penganiayaan terhadap WILnya. Atas perbuatan terdakwa tersebut Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan karena terdakwa Ag bin S telah terbukti secara sah dan keyakinan bersalah melakukan tindak pidana ”penganiayaan yang dilakukan terhadap istrinya” (melanggar Pasal 351 ayat (1) jo. 356 ke-1 KUHP) sebagaimana hasil putusan pengadilan No. 14/Pid/B/1991/PN.YK.7

2. Yup bin Sup melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Tik binti Wak, yang telah dinikahinya enam bulan yang lalu. Selama perkawinannya tersebut, mereka sering cekcok karena terdakwa sudah punya wanita lain. Berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 356 ke-1 KUHP, Yup bin Sup telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan penganiayaan terhadap istri sahnya, maka dalam putusannya 84/1/B/2002/PN Smg, hakim memutuskan pidana penjara selama tiga bulan.8

3. Merasa laporannya tidak menemui titik terang setelah melapor ke Polres Bengkayang, korban KDRT, Er, warga asal Kampung Kaum Kabupaten Bengkayang, mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PeKa) Kota Singkawang.

Er mengatakan, yang memukulnya adalah Jn, yang tidak lain sebagai mantan suaminya. Er menduga, tidak adanya perkembangan kasus tersebut lantaran pelaku yang memukulnya dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Er meminta kasusnya diusut tuntas. Dan berharap pelaku dapat ditindak tegas. Wanita berusia 27 tahun melaporkan suaminya Jn Bin Bjg ke Polres Bengkayang, 12 Desember 2008.

Direktur LBH PeKa, Rosita Ningsi sebagai lembaga yang mendampingi mengatakan, kasus KDRT yang diterima Er ini divisum di Dokter Bengkayang Jalan Sanggau Ledo nomor 32 Bengkayang.

“Hasil kesimpulan dokter, bahwa pada korban terdapat pembengkakan dan memar di pipi kiri dan kepala sebelah kiri akibat benturan benda tumpul,” kata Rosita mendampingi Er.

Kemudian, kata Rosita, pengacara korban pada 15 Desember 2008 meminta pihak Polres Bengkayang untuk memeriksakan kejiwaan tersangka Jn bin Bjg ke Rumah Sakit Jiwa Bodok Singkawang (RS Jiwa Provinsi Kalbar).

7Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelsaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 152.

8Ibid.

5

Kata Rosita, kemudian Kapolres Bengkayang saat itu mengirimkan surat ke RS Jiwa Provinsi Kalbar di Singkawang meminta agar kejiwaan tersangka diperiksa. Lalu, lanjut Rosita, pada tanggal 12 Januari 2009 keluarlah surat keterangan dari Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar yang menyatakan tersangka mengalami gangguan kejiwaan. “Dengan keluarnya surat keterangan itu, pemeriksaan dan proses hukum terhadap tersangka tidak bisa dilanjutkan pihak kepolisian karena tersangka telah lama mengalami gangguan kejiwaan dan mental (tidak sehat rohani) yang cukup berat,” jelas Rosita. Hingga, tersangka pun tidak diproses.

Menurut Rosita, Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar, dr. Suliana merasa tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani surat itu. Rosita menjelaskan, dr Suliana bukan dokter kejiwaan, melainkan dokter umum. “Dokter Suliana juga pernah mendatangi saya. Dia tidak pernah mengeluarkan surat keterangan itu.,” terang Rosita.

Rosita menerangkan, dr. Suliana kemudian melapor ke Polres Singkawang, karena merasa tidak pernah menandatangani surat tersebut. Namun, sampai sekarang ini belum jelas, sampai di mana proses tindak lanjut terhadap laporan itu.9

4. Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada hari Senin (22/02/2010) di pengadilan negeri (PN) Situbondo tampaknya marak dengan rekayasa antara hakim dan keluarga terdakwa, Adi (30). Dalam kasus terssebut sebelumnya, Adi yang juga anak dari kepala kantor kecamatan (Camat) Arjasa itu didakwa telah menganiaya sang istri, Rista (29) yang juga seorang bidan di desa Seliwung. Selain menganiaya istri, Adi juga telah didakwa membunuh janin di dalam rahim bidan Rista.

Dalam sidang perdananya kemarin, Senin (22/02/2010), para majelis hakim di sidang yang digelar di pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jawa Timur (Jatim) tersebut seolah telah merekayasa kasus dengan keluarga terdakwa. Sebab Ketua majelis hakim menyatakan bahwa Adi dinyatakan telah menjadi tahanan kota. Ada apa dengan para hakim di PN Situbondo. Sedangkan sang keluarga terdakwa, terutama sang ayah yang juga Camat Arjasa menjamin jabatannya selaku Camat serta juga menjamin jabatan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) “Abdur Rahim”, dr Tony sebagai pimpinan Adi yang hingga kini masih tenaga sukwan di RSUD itu.10

9http://borneotribune.com/singkawang/kasus-kdrt-tak-kunjung-selesai-warga-bengkayang- Melapor-ke-lbh-peka.html

6

Akhirnya kasus KDRT tersebut, Adi diputus bersalah dengan dijatuhi pidana penjara 6 bulan. Atas putusan tersebut, Adi sedang melakukan upaya banding.Hingga saat ini belum ada berita kejelasannya.

5. Seorang terdakwa dosen perguruan tinggi negeri di Jakarta Dr AMA dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (1/7) kemarin terancam hukuman pidana 4 tahun penjara. Tuduhannya yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Pri-nuka Arrom adalah AMA telah menganiaya isteri nikah sirinya Tiur Mauli Siregar (41) hingga mengalami luka memar.

Korban, mengaku pernah diancam terdakwa dengan todongan senjata api ke mulutnya. Bahkan saat hamil 5 bulan korban ditin-dih hingga kandungannya keguguran. Kehamilan dan keguguran tersebut ada keterangannya dari rekam medis RS MMC Jakarta, 2 Januari 2005. Akhirnya Tiur terpaksa kabur dari rumah selanjutnya mengadu ke Polres Jakarta Timur dengan Surat Pengaduan No. 344/K/III/2010/RES.JT.

Di depan sidang PN Jakarta Timur, Kamis (1/7) dengan majelis hakim diketuai Jesayas Tarigan dengan anggota S Donatus, Wahyu Prasetyo, terdakwa dituduh melanggar pasal pidana penganiayaan sesuai pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan ancaman 6 bulan penjara. Rencananya sidang dilanjutkan Kamis (8/7) dengan menghadirkan saksi dari a de charge yang meringankan terdakwa Sehari sebelumnya (30/6) Tiur selaku korban KDRT sudah melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan di Jalan Latu-harhari, Jakarta Pusat.11

Kelima contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga di atas

menunjukkan implementasi yang berbeda atas perlindungan hukum terhadap

perempuan sebagai korban dengan penerapan hukum yang berbeda dimana pada

kasus pertama dan kedua masih menggunakan Pasal 351 (penganiayaan) dan

Pasal 356 ke 1 KUHP sebagai dasar hukum perlindungan terhadap korban pada

10http://politik.kompasiana.com/2010/02/23/kasus-kdrt-anak-camat-arjasa-diduga-disetting-hakim/

11 http://bataviase.co.id/node/278492

7

kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perlindungan terhadap terhadap

perempuan lebih tampak nyata dengan diprosesnya kasus tersebut secara hukum

hingga dijatuhkannya sanksi pidana kepada pelaku dibandingkan dengan

penerapan UUPKDRT pada kasus ketiga, keempat, dan kelima yang pada saat

itu telah diberlakukan tetapi implementasi perlindungan hukum terhadap

perempuan sebagai korban masih jauh dari harapan walaupun perlindungan

hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga

menjadi salah satu pokok tujuan dibuatnya UUPKDRT. Pada kasus ketiga dan

keempat, nampak sekali keberpihakan kepada laki-laki yang mempunyai

kekuasaan lebih besar dibanding perempuan yang ditempatkan pada posisi

powerless. Untuk mendapatkan keadilan, butuh perjuangan yang sangat berat

bagi perempuan. Di samping itu juga kuaslitas sumber daya manusia pada

posisi aparat penegak hukum masih rendah. Sedangkan pada kasus terakhir,

pelaku dijerat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 351 KUHP dan UUPKDRT

untuk menghindari lolosnya pelaku dari jeratan pasal pidana dimana ancaman

pidana pada UUPKDRT jauh lebih ringan dibanding ketentuan Pasal 351

KUHP. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya antara KUHP dengan

UUPKDRT. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPKDRT dibuat untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum khususnya

perempuan karena KUHP belum mengatur secara eksplisit tentang kekerasan

dalam rumah tangga.

8

UUPKDRT menentukan beberapa tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga sebagai delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 52, dan 53

karena sifatnya yang privat sehingga undang-undang ini sulit untuk

diberlakukan secara optimal. Dianutnya delik aduan dalam undang–undang ini

hanya memperkuat kengganan korban untuk tidak mengadukan tindak

kekerasan yang dialaminya karena dengan sifat delik aduan ini dapat diartikan

bahwa adanya keberpihakan terhadap pelaku yang didominasi laki-laki. Secara

sosiologis, manusia cenderung untuk menyelamatkan kepentingannya,

termasuk menyelamatkan diri dari hukuman. Bukankah kemudian akan muncul

keadaan yang lebih parah yaitu para pelaku akan mendiamkan saja peristiwanya

bahkan menyembunyikan karena ia takut dipidana? Sedangkan secara alami

jelas disadari bahwa wanita kaum yang lemah,12 pelaku akan mengintervensi

korban untuk tidak mengadukan kepada pihak berwajib sehingga pelaku

semakin berkuasa atas diri korban sewenang-wenang melakukan kekerasan.

Apabila undang-undang ini tetap bersifat delik aduan, maka sulit rasanya untuk

melindungi kaum perempuan seluruhnya. Tidak mustahil bila undang-undang

ini hanya bersifat pajangan atau sebagai pelengkap hukum nasional kita bagi

perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang hidup di

tengah masyarakat berpola pikir patriarki. Mereka akan terus menjadi korban

selama hidupnya. Maka secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa hak

12I Ketut Artadi, 2004, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahannya, Cetakan Keempat, Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 226-227.

9

asasi warga negara khususnya korban tidak terjamin. Padahal apabila membaca

konsideran undang-undang ini, jelas sekali terlihat perhatian negara terhadap

perlindungan warga negaranya terutama terhadap perempuan yang umumnya

rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sangat besar.

Selengkapnya, isi konsideran tersebut sebagai berikut :

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;

c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;

d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis

kelamin (perempuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia yang

mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hal ini terlihat di dalam dokumen-

dokumen HAM. Misalnya di dalam UDHR (Universal Declaration of Human

Rights), antara lain ditegaskan :13

Pasal 1 :13Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 65. (selanjutnya disebut Barda I)

10

”All human beings are born free and equal in dignity and rights.”

Pasal 2 :

”Everyone is entitled to all the rights and freedom set fort in this

Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,

language, religion, political or other opinion, national or social origin,

property, birth or other status.”

Negara kita pun menjamin hak perempuan tanpa diskriminasi. Dalam

Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(Machtsstaat). Sebagai negara hukum, salah satu cirinya adalah adanya jaminan

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam segala segi kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia

merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan senatiasa melekat pada

kehidupan dan keberadaban manusia itu sendiri. Hal ini tercermin dalam

Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal yang tersusun dalam

Batang Tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1)

mengatur tentang ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut, dapat

diartikan sebagai bentuk hak asasi setiap orang atas pengakuan, jaminan,

11

perlindungan, keadilan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan

pemerintah.

Dalam penugasan hak asasi manusia, dikeluarkan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang

Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga Tinggi Negara dan

seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan

menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh

masyarakat serta segera meratifikasi sebagai instrumen Perserikatan Bangsa-

bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan tersebut, Negara Indonesia telah

meratifikasi Konvensi Wanita, dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of

Discrimination Againts Woman) tanggal 24 Juli 1984, yang dimuat dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 29. Pengesahan terhadap

Konvensi Wanita mengandung makna bahwa (1) Negara Indonesia mengakui

adanya diskriminasi, (2) Mengutuk diskriminasi, (3) Negara sepakat menghapus

diskriminasi, dengan segala cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, (4) Aparat

negara, aparat propinsi dan daerah lainnya dituntut bertanggung jawab bila

masih ada diskriminasi.14

14I Gusti Ariyani, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas Udayana ke 43 dan HUT FH Universitas Udayana ke 41, di Denpasar 30 Agustus 2005, h. 2.

12

Selain itu, jaminan atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi ini juga

diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan

hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk

direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat, salah satunya

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa kedua hal

tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal

sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah

perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai

perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak

asasi dalam penegakan hukun pidana adalah berkaitan dengan perlindungan

hukum terhadap korban tindak kejahatan.

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan

kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan

yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat : ”to

much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the

victims.”15

15Gilbert Geis, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc., New York, h. 1600.

13

Untuk itu perlu kiranya perhatian khusus terhadap korban. Menurut Arif

Gosita, dasar diperlukannya perhatian terhadap kedudukan si korban dalam

tindak pidana, adalah antara lain sebagai berikut :

1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai si korban secara yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban.2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 yang mewajibkan setiap warga negara melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan hukum acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban.4) Adanya peningkatan kejahatan internasional yang mungkin juga menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini apabila tidak ada yang mau memberikan kompensasi tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.5) Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin dalam peraturan hukum pidana kolonial dan nasional, (siapakah pada hakekatnya seorang gelandangan, germo, pencuri, koruptor, pembunuh Indonesia bagi kita sesama orang Indonesia).6) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu.7) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar pada si pembuat korban daripada si korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana. Seolah-olah undang-undang hukum pidana membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dan si korban, sedangkan masing-masing mempunyai peranan fungsional, hubungan yang erat satu sama yang lain dalam terjadinya suatu tindak pidana. Tanggapan yang tidak benar ini dapat berakibat adanya ketidakadilan dalam pemberian hukuman dan ganti rugi.8) Adanya kurang perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam

14

perkara pidana. Antara lain hal ini dirasakan pada proses peradilan penyelesaian masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat korban dan si korban yang sedikit banyak bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tindak pidana bersama-sama tidak berhadapan secara langsung satu sama lain. Melainkan si korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi kepentingan umum (penguasa). Si korban tidak mempunyai arti lagi karena diabstrakkan. Si korban hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai saksi kalau diperlukan, sebagai alat bukti saja.9) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin mendapatkan/menuntut penggantian kerugian ia harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama. Bagi si korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan hidupnya dengan segera ketentuan ini adalah sangat merugikan dan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian perlu dicarikan cara penyelesaian yang lebih sederhana dan cepat, tetapi tepat dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan.10) Agar dapat lebih baik lagi merealisasikan keadilan, maka ada pendapat, bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana perlu dimasukkan lagi dimensi hukum perdata yang lebih kuat lagi dan menetralisasikan sifat eksklusif hukum publik dari peradilan pidana.16

Dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum pidana terhadap

korban, Quinney menulis bahwa konsep hukum pidana dikembangkan ketika

kesalahan pribadi dan masyarakat digantikan oleh asas bahwa negara dirugikan

ketika di antara masyarakat diserang. Hak masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan salah telah diambil alih oleh negara sebagai wakil masyarakat.17

Dengan demikian, negara bertindak sebagai sarana hukum pidana untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini terkait dengan tujuan negara

16Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 80-82.

17Richard Quinney, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown and Company, Canada, h. 44.

15

Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan

Pancasila sila kelima.

Sesuai dengan pendapat Quinney di atas, Mardjono Reksodiputro, yang

melihat pada sejarah perkembangan hukum pidana18, menulis :

Pada mulanya reaksi terhadap pelanggaran adalah sepenuhnya hak (dan kewajiban) korban. Akibat dari dendam (darah) yang sering tidak berkeputusan, telah timbul keadaan, bahwa lambat laun ganti rugi oleh pelanggar dapat dibayar dengan harta. Selanjutnya, dirasakan pula bahwa pelanggaran itu tidak hanya hubungan (urusan) pelaku dan korban. Pelaku pelanggaran dianggap juga mengganggu keseimbangan ketertiban dalam masyarakat sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam keseimbangan antara pelaku dan masyarakatnya. Rupanya, gangguan yang terakhir inilah yang lebih diperhatikan sehingga masyarakat (negara) sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut ’ganti rugi’ dari pelaku.

Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan

bahwa negara telah gagal untuk memberi pehatian terhadap keluhan para

korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan

anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Dalam implementasinya, apabila negara tidak menjamin perlindungan

hukum terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain

UDHR dan CEDAW, the International Covenant on Civil and Political Rights

(”ICCPR”), the International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights (“IESCR”), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,

18Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, h. 75.

16

or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”) adalah dokumen HAM

Internasional yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia,

dimana para korban KDRT dapat mengugat negaranya masing-masing.19 Serta

beberapa dokumen HAM regional yang dapat dijadikan andasan bagi korban

KDRT antara lain The European Convention for the Protection of Human

Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on

Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on

the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women

(“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African

Charter on Human and Peoples Rights (“African Charter”).20 Hal ini lebih

dipertegas lagi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan umum UUPKDRT

Pasal 1 angka 2 yang berbunyi sebagai berikut :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan

oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban

kekerasan dalam rumah tangga.

1.2. Rumusan Masalah

19Yuhong Zhao, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211, h. 223.

20Perlindungan terhadap Perempuan melalui Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga : Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India, www.jurnalhukum.blogspot.com.

17

Sebagaimana latar belakang yang telah terurai di atas, maka yang menjadi

pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam kebijakan kriminalisasi

terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai

korban kekerasan dalam rumah tangga?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Sebagaimana telah tersebut dalam rumusan masalah, maka tulisan ini hanya

akan membahas seputar hak perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga dan kebijakan hukum pidananya dalam Undang-undang

No. 23 Tahun 2004.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai meliputi tujuan umum (het van het

ondeerzoek) dan tujuan khusus (het doel in het onderzoek), yaitu :

1.4.1. Tujuan umum

1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

2. Untuk mengkaji secara mendalam bagaimana kebijakan hukum

pidana.

1.4.2. Tujuan khusus

18

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana atas kriminalisasi tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga yang sebaiknya digunakan

untuk masa mendatang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa hak-hak perempuan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai korban tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga beserta kebijakan hukum

pidananya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004.

1.5. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1.5.1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan

masukan atau solusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum

pidana sehubungan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga.

1.5.2. Manfaat praktis

Bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana,

penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat

kebijakan dalam perumusan perundang-undangan dan pemidanaan

mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga maupun pihak

19

lembaga penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga.

1.2. Landasan Teoritis

1.2.1. Perlindungan Hukum

Perlindungan dari kata lindung, mendapat awalan per dan akhiran

–an. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia disusun W.J.S.

Poerwodarminto bahwa perlindungan artinya tempat berlindung.

Terkait dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon

menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana

perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif.

Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan

azas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum.

Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani

oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan

badan-badan khusus.21

Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh

pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu

tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu

21Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya , h. 10.

20

adalah perlindungan terhadap umum (protection of the public)22

termasuk di dalamnya perlindungan hukum terhadap korban.

Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi, menyebutkan

bahwa pada hakikatnya hukum pidana mempunyai dua tujuan utama,

yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan

konflik. Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan

penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi yang lain

juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat

sebagaimana layaknya.23 Sedangkan menurut Aruan Sakidjo dan

Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan

Muhammad Irfan, usaha hukum pidana untuk mencapai tujuannya itu

tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straf) yang

dapat dirasakan sebagai custodia honesta, tetapi samping itu juga

dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregel) yang dapat

dirasakan sebagai noncustodia honesta. Tindakan ini pun merupakan

suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga

maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada

masyarakat terhadap orang-orang atau anak-anak yang sedikit

banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan-perbuatan

22Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985,Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15-16.

23Ibid., h. 12.

21

pidana.24 Tidak beda jauh dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro,

bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan,

untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik

secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun

secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan

kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi

(special preventie), atau untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang

yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang

yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.25

Jika dilihat dari tujuan hukum pidana menurut pendapat para ahli

yang pada intinya adalah bersifat pengayoman pada masyarakat dan

mengembalikan (menyembuhkan pelaku (pelanggar atau penjahat) pada

jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku),

menurut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, hal ini dapat diartikan

bahwa tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu

tindak kejahatan. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini

merupakan salah satu hak yang dapat dituntut oleh pihak korban.

Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para

penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan

perbuatan pelaku. Maka, diperlukan penerapan sanksi sebagai bentuk

24Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 99.

25Ibid., h. 99-100.

22

perlindungan hukum terhadap korban. Mereka menyatakan bahwa

dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak

langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan)

secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada

perempuan yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas

pada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang

menimpanya.26

Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat

dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan

pelaku (pelanggar/penjahat), sedangkan kepentingan (hak asasi)

masyarakat, kurang mendapatkan perhatian nyata sampai akhirnya

masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang

juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB

VII Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and the

Treatment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyogyanya

dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan

pidana.27 Dalam hubungan ini, sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah,

Zvonimir Paul Separovic menulis bahwa The rights of the victims are a

component part of the concept of human rights. Lebih lanjut

dikemukakan, The rights of those whose human rights have been

26Ibid., h. 96.27Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53.(selanjutnya disebut Barda II)

23

threatened or destroyed need also to be guaranteed. Menurut Maslow

sebagaimana dikutip oleh Separovic The most important rights of man is

to security wich is one of the basic human needs.28

Ini berarti, secara filosofis manusia selalu mencari perlindungan

dari ketidakseimbangan yang dijumpainya baik yang menyangkut hak-

haknya maupun perilaku terhadapnya. Perlindungan itu, menurut Irsan,

dapat berupa perbuatan maupun melalui aturan-aturan sehingga tercapai

keseimbangan yang selaras bagi kehidupan. Hukum, menurut Irsan,

dalam hal ini hukum pidana, merupakan salah satu upaya untuk

menyeimbangkan hak-hak tersebut.29

Sehubungan dengan itu, Kongres PBB ke-7 di Milan, Italia,

tersebut juga menyebut tentang perlunya diambil tindakan-tindakan

sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang selengkapnya

dinyatakan sebagai berikut :

The necessary legislative and other measures should be taken in

order to provide the victims of crime with effective means of legal

protection, including compensation for damage suffered by them

as a result of the crimes.

28M. Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, h. 81.

29Koesparmono Irsan, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, dalam Sahetapy (ed)., Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, h. 15.

24

Untuk lebih konkret lagi, yaitu apa yang dilakukan oleh Komite

para Menteri Dewan Eropa (Committee of Ministers of the Council of

Europe) pada tanggal 28 Juni 1985 menyetujui rekomendasi (85) 11

terhadap kedudukan korban dalam kerangka hukum pidana dan hukum

acara pidana, sebagai bagian dari kampanye untuk memperbaiki

perlakuan terhadap korban kejahatan dan terjadinya viktimisasi

sekunder. Namun demikian, Dewan Eropa tersebut bukan merupakan

organisasi satu-satunya yang telah melakukan upaya untuk memperbaiki

kedudukan korban kejahatan dalam hukum pidana dan hukum acara

pidana. Karena, pada tahun yang sama, PBB menyetujui Declaration of

Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.

Deklarasi tersebut adalah sebuah resolusi Majelis Umum PBB (Resolusi

No. 40/34) yang disetujui pada tanggal 29 November 1985 oleh Mejelis

Umum PBB, hanya beberapa bulan setelah Committee of Ministers of

the Counil of Europe menyetujui Rekomendasi (85) 11, dan itu

mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk

memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan

pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut

didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan

diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan.30 Karena itu,

korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan

30M. Arief Amrullah, Op. cit., h. 82-83.

25

ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping

itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai

yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah-masalah lain yang

disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban.

Selain pengenaan sanksi pidana kepada pelaku, hak-hak korban tersebut

di atas inilah juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban.

1.2.2. Kebijakan hukum pidana

Istilah ”kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah policy

(Inggris) atau politiek (Belanda) yang secara umum dapat diartikan

sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan

pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam

mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah

masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-

undangan dan mengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan

(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau

kemakmuran masyarakat (warga negara). (”Policy is The general

principles by which a government is guided in its management of public

affairs, or the legislature in measures...this term, as applied to a alaw,

ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency

26

considered as directed to the welfare or prosperity of the state

community”)31

Berdasarkan pada kedua istilah asing ini, maka istilah ”kebijakan

Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik Hukum

Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ”politik Hukum Pidana”

tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,

criminal law policy, atau strafrechtpolitiek.32 Selanjutnya politik hukum

(law policy/rechtpolitiek) dapat diartikan sebagai :

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.33

Menurut A. Mulder, strafrechtpolitiek adalah garis-garis

kebijakan untuk menentukan :

a. In welk opzich de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden (Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui);

b. Wat gedaan kan worden om strafrechtelijk gedrad te voorkomen (Apa yang dapat diperbaharui untuk mencegah terjadinya tindak pidana);

31Black, Henry Camphell, et. al., 1979, Black’s Law Dictionary, Fith Edition, St. Paulminn West Publishing C.O., h. 1041.

32Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 24. (Selanjutnya disebut Barda III)

33Sudarto, 1987, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159 dan Sudarto, 1977, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Jakarta, h. 20. (Selanjutnya disebut Sudarto I)

27

c. Hoe de upspring, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen (Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan).34

Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana dapat didefinisikan

sebagai ”usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan

pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan

untuk masa yang akan datang”. Kata sesuai dalam pengertian tersebut

mengandung makna ”baik” dalam arti memenuhi syarat keadilan dan

daya guna.35

Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan

Hukum Pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan

Hukum Pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut : Hukum Pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari

budaya, struktur, dan substansi hukum, sedangkan undang-undang

merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian kebijakan

Hukum Pidana bukan hanya sekedar menggunakan pendekatan yuridis

normatif, namun juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang

dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan

memerlukan pula pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan

pembangunan nasional pada umumnya.

34Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Baktyi, Bandung, h. 28-29. (Selanjutnya disebut Barda IV)

35Ibid., h. 28.

28

Ruang lingkup kebijakan Hukum Pidana sebenarnya lebih luas

daripada pembaharuan Hukum Pidana. Hal ini disebabkan karna

kebijakan Hukum Pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap

konkretisasi/oprasionalisasi/fungsionalisasi Hukum Pidana yang terdiri

dari :

1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto untuk badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif

2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampaike pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan Hukum Pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.36

Kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada

hakekatnya tidak lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan

demikian kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.37 Dalam

praktek selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana

merupakan bagian dari kebijakan (politik hukum) yang diatur di

Indonesia.

36Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 13.

37Soetoprawiro Korniatmanto, 1999, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia, Jakarta, h. 83.

29

Atas keterkaitan tahap-tahap dalam kebijakan Hukum Pidana

dengan hakekat kebijakan Hukum Pidana dengan tujuan

penanggulangan kejahatan, sebagaimana pendapat Barda bahwa upaya

atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (”criminal policy”).

Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih

luas, yaitu ”kebijakan sosial” (”social policy”) yang terdiri dari

”kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (”social welfare

policy”) dan ”kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat”

(”social defence policy”)38 sebagai salah satu bentuk ide

monodualistik.

Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan

kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana

”penal” (hukum pidana), maka ”kebijakan hukum pidana” (”penal

policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif

(penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan

mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa

”social welfare” dan ”social defence”.39

38Barda IV, Op.cit., h. 29-30. Lihat juga Barda III, Op.cit., h. 3.39Barda I, Op.cit., h. 77., lihat juga Barda Nawawi Arief, 2001,Masalah Penegakan Hukum dan

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.

30

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan

utama dari politik kriminal ialah ”perlindungan masyarakat”40

sebagaimana dirumuskan juga dalam salah satu laporan khusus latihan

ke 34 yang diselenggarakan oleh UNAFAEL di Tokyo tahun 1973

sebagai berikut :41

Most of group members agreed some discussion that ”protection of the society” could be accupted as the final goal of Criminal Policy, although not the ultimate aim of society, which migh perhaps be described by terms like ”happines”of citizens”, ”a whole some and cultural living”, ”social welfare” or ”equality”.

Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana berkaitan dengan

proses penegakan Hukum Pidana secara menyeluruh. Di lihat sebagai

suatu proses mekanisme penegakan Hukum Pidana, maka ketiga

tahapan itu diharapkan merupakan suatu jalinan mata rantai yang

saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem kebijakan legislatif pada

dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan

perencanaan proses fungsionalisasi Hukum Pidana. Tahap ini

merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan

pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya yaitu tahap

aplikasi dan tahap eksekusi.

40Barda III, Op.cit., h. 2.

41Summary Report, 1974, Resource Material Series No. 7 UNAFAEL, h. 95., dalam I Ketut Sudira, 2000, Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan dalam Peraturan Hukum Pidana Indonesia, Program Pasca Sarjana UNUD, Denpasar, h.13.

31

Selanjutnya kebijakan Hukum Pidana dapat dikaitkan dengan

tindakan-tindakan :

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan Hukum Pidana

2. Bagaimana merumuskan Hukum Pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan Hukum Pidana

4. Bagaimana mengenakan Hukum Pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.42

Untuk mencapai tujuan kebijakan sosial dalam rangka

perlindungan korban khususnya perempuan korban kekerasan dalam

rumah tangga, perlu kiranya pembaharuan undang-undang (hukum)

pidana sebagai usaha penanggulangan kejahatan untuk melindungi

korban pada khususnya, dan perlindungan masyarakat pada umumnya.

Maka dirasa perlu melakukan pembangunan sistem hukum pidana

nasional. Pembangunan sistem pidana nasional sendiri adalah bagian

dari pembangunan sistem hukum nasional yang berorientasi pada nilai

keseimbangan Pancasila dan pembangunan nasional yang berorientasi

pada keseimbangan social defence dan social welfare yang menjadi

tujuan pembangunan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

42Wisnubroto, Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h. 12.

32

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945.43

Kebijakan Hukum Pidana (pendekatan Penal) merupakan

sarana yang sangat vital dalam proses penegekan hukum dalam

pertanggungjawaban pidana. Hal ini dipertegas dalam salah satu

kesimpulan Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 sebagai berikut :

Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.44

Dalam ruang lingkup kebijakan kriminal dengan mengenakan

pidana, perlu pula dikemukakan konklusi tulisan Packer dalam

bukunya “The Limit of Sanction” yang menyatakan : 45

a. The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it.

b. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm.

c. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanly, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it I threatener.

43Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Bahan Kuliah Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Udayana, 2006.

44Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 92. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda I)

45H.L. Packer, 1968, The Limit of Criminal Sanction, h.3.

33

Sudarto pernah mengemukakan apabila hukum pidana

hendaknya digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan

politik kriminil atau ”social defence planning” yang ini pun harus

merupakan bagian integral dari terencana pembangunan nasional.46

Terkait hal tersebut di atas, lebih spesifik Hoefnagels

berpendapat bahwa :

”Criminal policy as science of policy, is part of a larger

policy; the law enforcement policy...The legislative and

enforcement policy is in turn part of social policy”.47

Politik kriminal sendiri menurut Marc Ancel sebagai ”the

rational organization of the control of crime by society”48 dan ”the

rational organization of the social reaction to crime”.49 Tak beda jauh

dengan pendapat Marc Ancel, Hoefnagels mengartikannya dalam

berbagai rumusan yaitu ”the science of responses”, ”the science of

crime prevention”, ”a policy of designating human behavior as

crime”, dan ”a rational total of the responses to crime”.50 Muladi dan

46Sudarto I, h. 104.

47G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, h. 57.

48Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Kegan Paul, London, h. 209.

49G.P. Hoefnagels, Op.cit., h. 57.50Ibid., h. 57, 99, 100.

34

Barda menyimpulkan bahwa politik kriminil adalah pengaturan atau

penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat.51 Sebagai bagian dari politik kriminal, politik Hukum

Pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan Hukum Pidana. Politik kriminal merupakan bagian dari politik

penegakan Hukum Pidana dalam arti luas (law enforcement policy).

Semua merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yakni

usaha masyarakat atau Negara untuk meningkatkan kesejahteraan

warganya.52

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

(1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

(2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.53

51Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi revisi, Alumni, Bandung, h.157. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda II)

52Muladi dan Barda I, Op.cit., h. 1. 53Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Op.cit., h. 160.

35

Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial

itulah kiranya Prof. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi

masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah

kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai

berikut :

a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;b. perbuatan yang disahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan ”perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;c. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip ”biaya dan hasil” (cost-benefit principle).d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemapuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).54

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan

dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu

yang mempertimbangkan banyak faktor, diantaranya keseimbangan

sarana-sarana untuk mencapai hasil, analisa biaya atas hasil dan tujuan,

penilaian tujuan terkait dengan tujuan lain yang diprioritaskan

sehubungan dengan pengalokasian SDM, dan pengaruh sosial

54Sudarto I, Op.cit., h. 44-48.

36

kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berhubungan dengan pengaruh

sekunder. Berikut pendapat Bassiouni tentang pertimbangan faktor-

faktor tersebut :

1. The proportionality of the means used in relationship to the outcome obtained;2. The cost analysis of the outcome in relationship to the objectives sought;3. The appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the allocation of resources of human power;4. The social impact of criminalization and decriminalization in terms of its secondary effects.55

Terkait dengan hasil yang ingin dicapai dalam penentuan

kriminalisasi, maka perlu sanksi pidana yang efektif. Menurut Ted

Honderich, sanksi pidana akan efektif atau sebagai alat pencegah yang

ekonomis (economical deterrents) apabila :56

a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya kerugian yang lebih kecil.

Bertolak dari pendapat Ted Honderich tersebut, maka hasil dari

kebijakan yang dibuat dengan menggunakan sanksi pidana diharapkan

tidak melenceng jauh dari tujuan dan sanksi pidana benar-benar

diposisikan sebagai economical deterrents.

55M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas, Publisher, Springfield, Illinois, USA, h. 82.

56Ted Honderich, 1971, Punishment, h. 59.

37

1.3. Metode Penelitian

1.3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum meurut jenisnya dapat dibedakan

menjadi dua yaitu Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum

Empiris.57 Keduanya sama pentingnya, mempunyai bobot dan urgensi

yang sama dalam upaya pengembangan ilmu hukum.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum

normatif atau penelitian kepustakaan yang mencakup :

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

2. Penelitian terhadap sistematik hukum

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal

4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum.58

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian

hukum normatif, yaitu penelitian dengan pendekatan terhadap

UUPKDRT itu sendiri baik dari sisi konsep, kebijakan, dan kajian

perbandingan hukum dengan negara lain.

1.3.2. Jenis Pendekatan

57Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.

58Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 14.

38

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan

kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus berorientasi pada

nilai (value ariented approach).59

1.3.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, yaitu :

1. Bahan hukum primer, terdiri atas :

a.Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

b. Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita.

c.Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

manusia.

d. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

e.Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi

f. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

59Barda III, Op.cit, h. 3.

39

g. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang bersumber dari buku-buku

ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum60, seperti :

a.Buku-buku hukum (text book)

b. Jurnal-jurnal hukum

c.Karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam

media massa

d. Kamus dan ensiklopedia

e.Internet

60Abdul Muhammad Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 202.

40

1.3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam

kajian ini menggunakan metode bola salju (snow ball), yaitu bahan

hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka

yang satu ke pustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan

sumber pustaka atau pendapat dari pustaka pertama. Metode

kepustakaan sistematis, khususnya untuk undang-undang dilacak sumber

yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.61

1.3.5. Teknik Analisis

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul

maka penulis menggunakan teknik analisis :

1. Teknik deskripsi yakni dasar analisis yang dilakukan terhadap

suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis penafsiran

gramatika, historis, sistematis, teleologis, kontekstual, dan lain-lain.

3. Teknik evaluasi yakni penilaian terhadap suatu pandangan,

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera

dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder,

61Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya, h. 14.

41

kemudian dieavaluasi/dinilai oleh peneliti apakah tepat atau tidak

tepat benar atau salah, sah atau tidak sah.

4. Teknik argumentasi, teknik ini dapat terlepas dari teknik

evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum. Makin banyak argumentasi yang dipakai

dalam membahas permasalahan hukum maka hal ini menunjukkan

kedalaman penalaran hukum.

42

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga

2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti :62

1. perihal yang bersifat, berciri keras;

2. perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang

menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan

kerusakan fisik atau barang orang lain;

3. paksaan.

Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umunya dipahami hanya

menyangkut serangan fisik belaka.63 Sebagaimana yang didefinisikan

oleh Kandish Sanford64 bahwa :

62Kamus Bahasa Indonesia, 1988, h. 425.

63Mansour Fakih, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender (Perempuan dalam Wacana Perkosaan), PKBI, Yogyakarta, h. 6.

64Kandish Sanford, et.al., 1983, Encyclopedia of Criminal Justice, Collier Macmillan, h. 1618.

43

”All type of illegal behavior, or either threatened or actual that

result in the damage or destruction of property or in the injury or

death of on individual”.

Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encyclopedia of

Crime and Justice mendefinisikan “Violence” 65 sebagai :

“…a general term referring to all types of behaviour, either

threatened or actual, that result in or are intended to result in the

damage or destruction of property or the injury or death of an

individual.

Bertolak belakang dari latar belakang diatas, nampak bahwa

kekerasan atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama

harus bertentangan dengan undang-undang, tidak dibedakan dalam jenis-

jenisnya secara khusus baik berupa ancaman saja maupun merupakan

suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta

benda, fisik, atau menyebabkan kematian pada seseorang. Maka

tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan, seperti

layaknya terdapat dalam delik material. Definisi ini sangat luas sekali,

karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” di samping suatu

tindakan nyata.

65Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol. 4, The Free Press, A Division of Macmillan Inc.

44

La violencia di Kolombia, the vendetta barbaricana di Sardinia,

Italia, la vida vale nada (life is worth nothing) di El Safador,66 violence

dalam bahasa Inggris berarti kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara

etimologi, kata ”violence” merupakan gabungan dari kata ”vis” yang

berarti daya atau kekuatan dan ”latus” yang berasal dari kata ”ferre”

yang berarti membawa. Jadi, kekerasan adalah tindakan yang membawa

kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik

maupun non fisik67, atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan

atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti

yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander yang dikutip oleh

Rika Saraswati, bahwa :68

”In general, violence is aggresive behavior with the intent to cause

harm (physical or psychological). The word intent is central;

physical or psychological harm that occurs by accident, in the

absence of intent, is not violence.”

Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh

B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri,

66

6

John Hagan, 1987, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hillbook Com., Singapore, h. 181.

67Romli Atmasasmita, 1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, h. 55. 68Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 13.

45

dapat diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua

faktor penentu69 yaitu :

a. Adanya penggunaan kekerasan, dan

b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang

bertentangan dengan orang lain.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo kekerasan terhadap perempuan

tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam sistem hukum,

termasuk aparat hukum dan budaya hukum yang ada di masyarakat

Indonesia karena pemaknaan kekerasaan atau persepsi mengenai tindak

kekerasan yang ada di dalam masyarakat.70

Berbeda dengan pengertian kekerasan yang dikemukakan oleh

Jerome Skolnick :

”violence is... an ambigious term whose meaning is established

through political process.”71

Dari pendapat Alan Weiner, Zahn dan Sagi yang mencoba

merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai :

69Sagung Putri M.E. Purwani, Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari, h. 3.

70Harkristuti Harkrisnowo, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan, KKCW-PKWJ UI, Jakarta, h. 79.

71Ibid.

46

”...the threat, attempt, or use of physical force by one or more

presons that result in physical or nonphysical harm to ne or more

that preson...”72

Pendapat tersebut di atas memperlihatkan bahwa makna

kekerasan memang tidak terlepas dari konsep yang dimiliki oleh

masyarakat dan bahwa konsep itu hanya dibatasi pada kekerasan fisik

saja, sementara dalam kenyataannya masih ada konsep kekerasan lain

yang berakibat pada perempuan sebagai korban.

Dalam Encyclopedia of Feminist Theories, “Violence”73 diartikan

sebagai :

“…feminist have encompassed a much wider domain, including

physical, sexual and psychological or emotional abuse commited

against persons, harmful cultural practices and in some contexts,

damaging words and images.”

Kekerasan terhadap perempuan dapat didefinisikan secara

sederhana sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada

perempuan yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak

nyaman dan bahkan perasaan takut hingga akibat berupa pelukaan fisik.

Definisi ini sedemikian luasnya sehingga meliputi mulai dari pelecehan

72Ibid. 73Encyclopedia of Feminist Theories, 2004, edited by Lorraine Code, Routledge, London-New

York, h. 482.

47

seksual berupa siulan atau godaan terhadap perempuan, hingga

pembiaran oleh Negara pada kondisi perempuan sebagai warga

negaranya yang menjadi korban kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan, lebih spesifik lagi sering

dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal itu disebabkan

kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan adanya

ketimpangan gender karena adanya relasi kekuasaan yang tidak

seimbang. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam

rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki

kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.

Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus

pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan,

yaitu bahwa di antara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender

dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan

korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan

tersebut.74

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah

sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi

persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan,

baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan.

Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan,

74Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”,

48

seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau

anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan secara

stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih

panjang dan lebih banyak (burden)75

Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga

dengan gender-related violence mempunyai macam dan bentuk

kejahatan76, diantaranya :

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap negara dan masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkap mereka, tetapi di lain pihak negara juga menaruik pajak dari mereka. Selain itu, masyarakat selalu memandang rendah perlacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki-laki.

75Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12.

76Ibid., h. 20.

49

Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan nonfisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya bukan saja pada perempuan, melainkan berasal dari kaum laki-laki juga.

Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh peremuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan atau di tempat umum.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal tidak menyenangkan bagi perempuan.

Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya

kekerasan terhadap perempuan77 :

1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan misalnya. Sehingga ketika di hadap jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.

77Zaitunah Subhan, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, h. 14-15.

50

2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib nagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan.

Rika Saraswati melalui hasil penelitiannya di Rifka Annisa

Women’s Crisis Centre Yogyakarta, bahwa terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga karena faktor gender dan patriarki, relasi kuasa yang

timpang, dan role modelling (perilaku hasil meniru).78 Gender dan

patriarki akan menimbulkan relasi kuasa yang tidak setara karena laki-

laki dianggap lebih utama daripada perempuan berakibat pada

kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekuasaan untuk mengatur

rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya. Anggapan bahwa

istri milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan yang lebih

tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki

berpeluang melakukan kekerasan.

Sementara itu Aina Rumiati Azis menambahkan faktor cara

pandang atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor-

faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang

dikemukakan oleh Aina Rumiati Azis79 :

78Rika Saraswati,Op.cit., h. 20.

79 Aina Rumiati Aziz, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, www.indonesia.com, h. 2.

51

1. Budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.

Fathul Djannah lebih memperinci faktor penyebab kekerasan

dalam rumah tangga80 sebagai berikut :

1. Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.

2. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.

3. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.

4. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.

5. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

6. Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Tak beda jauh, Sukerti berpendapat tentang faktor penyebab

kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitiannya, ditemukan

tambahan faktor baru 81 sebagai berikut :

80Fathul Djannah, et al, 2002, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta, LKIS, h. 51.

81Ni Nyoman Sukerti, 2005, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga : Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus Di Kota Denpasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, h. 84.

52

1. Karena suami cemburu.2. Suami merasa berkuasa.3. Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa ijin.4. Ikut campurnya pihak ketiga (mertua). 5. Suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan).6. Karena suami suka berjudi.

Dari beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan terhadap

perempuan seperti telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan

adalah budaya patriarki. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya

hukum masyarakat.

2.1.2. Pengertian kekerasan menurut peraturan perundang-undangan

Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89

KUHP, yaitu :

Yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi

pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).

“Melakukan kekerasan” mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani tidak kecil secara yang tidak sah. “Pingsan” diartikan tidak ingat

atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, yang dimaksud “tidak

berdaya” dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama

sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, tetapi

53

seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang

terjadi atas dirinya.82

Perbuatan kekerasan seperti tersebut di atas dapat dikatakan

penganiayaan. Penganiayaan di dalam KUHP digolongkan menjadi dua,

yaitu : penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 KUHP dan

penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP. Pengertian penganiayaan

berat adalah bila perbuatannya mengakibatkan luka berat, seperti yang

diatur dalam Pasal 90 KUHP, luka berat dirumuskan sebagai jatuh sakit

atau dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh atau yang

menimbulkan bahaya maut, tidak mampu terus menerus untuk

menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian, kehilangan salah

satu panca indra, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh,

terganggu daya pikir selama empat minggu, gugurnya/mati kandungan

seorang perempuan.83

Kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya

dalam KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi

kekerasan dalam bentuk lainnya. Selain membatasi pada jenis kekerasan

secara fisik, KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap

perempuan hanya dapat dilakukan di luar perkawinan saja. Sehingga

kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan yang terlibat

82R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 98. 83

8

Rika Saraswati, Op.cit., h. 14.

54

dalam perkawinan, tidak dikriminalisasi sebagai suatu kejahatan dalam

KUHP kecuali perempuan yang tersebut belum cukup umur untuk

dikawini seperti yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) berikut :

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam

pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa

sebelum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama

empat tahun

Apabila pasal ini dikaji ulang dengan merujuk pada Pasal 89

dimana akibat yang ditimbulkan adalah membuat korban pingsan atau

lemah, Pasal 352 dan Pasal 354, maka seharusnya pada Pasal 288 ini

pun bisa dijadikan dasar hukum kekerasan seksual dalam rumah tangga

walaupun perbuatan “setubuh” dengan istri yang masih di bawah umur

tersebut dilakukan dengan persetujuan istri tanpa paksaan mengingat

adanya pengenaan pidana yang diperberat apabila perbuatan

penganiayaan dilakukan terhadap ibu, bapak, istri, atau anaknya

sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Di sisi lain, seorang istri

harus sadar akan kodratnya untuk selalu siap melayani suami walaupun

dalam keadaan tidak siap. Artinya, istri wajib melayani suami sekali pun

dalam keadaan terpaksa. Pengaturan pasal ini hanya diberlakukan

55

terhadap suami apabila dilakukan terhadap istrinya yang masih di bawah

umur.

Lain halnya dengan undang-undang perkawinan yang tidak

menyebutkan secara jelas yang dimaksud dengan kekerasan. Undang-

undang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dalam penjelasannya Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Perkawinan menyebutkan alasan-alasan yang dijadikan dasar

untuk perceraian. Sebagamana telah disebutkan dalam bab sebelumnya,

salah satunya adalah bentuk kekerasan.

Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan

kekerasan sebagai :

Setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa

menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang

menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan

terampasnya kemerdekaan seseorang.

Ketentuan ini mengartikan kekerasan secara luas dalam segala

bentuk atau cara dan kepada siapapun tanpa batasan.

56

Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap

Perempuan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan84

adalah :

Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang, wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat

pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai

kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat

disebutkan “...atau dalam kehidupan pribadi”. Kehidupan pribadi dapat

dimaksudkan sebagai kehidupan dalam rumah tangga.85

Rekomendasi Umum dari Konvensi Perempuan Nomor 19

memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan

berbasis gender tersebut dengan menyebutkan :

”...bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk

diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan

perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas

dasar persamaan hak dengan laki-laki.”86

84Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, h 47.

85Ni Nyoman Sukerti, Op.cit., h. 6.86Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 19, dalam Sidang ke-11, tahun 1992.

57

Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan

atau diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan

berbasis gender sebagai :

”Tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya.” 87

Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai

korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-undang

No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-undang No. 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga

(PDKRT).

Terhadap jenis-jenis kekerasan, dalam Undang-undang PDKRT

lebih diperluas lagi. Jenis-jenis kekerasan lain selain kekerasan fisik

yang dilakukan terhadap perempuan, seperti kekerasan psikis, ekonomi,

dan seksual dapat ditemui pada Pasal 1 sebagai berikut :

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

87Ibid.

58

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Namun lingkup pengaturan undang-undang tersebut hanya dalam

cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan

atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat

diberlakukan kepada korban perempuan pada umumnya yang tidak

memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Dengan berlakunya

Undang-undang PDKRT, dalam pandangan yang progresif kiranya

hakim dapat mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut

di dalam Undang-undang PDKRT dari perspektif perlindungan terhadap

korban kekerasan, sebagai salah satu acuan dalam memutus suatu

perkara kekerasan terhadap perempuan.

2.2. Korban

Kata ”kata” korban (victim) berasal dari bahasa Latin victima.88 Menurut

Stanciu, korban (dalam pengertian luas) adalah orang yang menderita akibat dan

ketidakadilan. Dengan demikian, lanjut Stanciu, ada dua sifat yang mendasar

(melekat) yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya

korban tidak hanya dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang illegal,

sebagai hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan korban, seperti

88Benjamin Mendelsohn, Victimology and Contemporary Society’s Trends, dalam Emilio C. Viano, (ed), 1976, Victims and society, Visage Press, Inc., Washington D.C., h. 9.

59

korban akibat prosedur hukum. Stanciu membatasi tulisannya pada korban

dalam arti sempit sebagaimana diatur dalam hukum positif. Lebih lanjut, ia

menulis apabila kejahatan dalam pengertian yuridis merupakan perbuatan yang

dijatuhi hukuman oleh hukum pidana, pemahaman para ahli kriminologi

mengenai hal itu mempunyai pengertian yang lebih dalam lagi. Seperti dalam

kasus kejahatan, konsep tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam

pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan

penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban

ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya

baik dilakukan secara individu, kelompok atau pun oleh negara.89

Dalam memberikan batasan, Arif Gosita mengemukakan bahwa korban

adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan

orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang menderita. Mereka

di sini dapat berarti : individu, atau kelompok baik swasta maupun

pemerintah.90

Sependapat dengan apa yang dikemukakan Arif Gosita, Separovic

memberikan suatu ulasan seputar masalah korban sebagai berikut :

... those person who are threatened, injured or destroyed by an act or ommission of another (man, structure, organization or institution) and

89Stanciu, Victim-Producting Civilizations and Situations, dalam Emilio C. Viano, (ed), 1976, Victims and Society, Washington D.C., Visage Press, Inc., h. 29.

90Arif Gosita, Op.cit., h. 63.

60

consequntly, a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non-fulfillment of work duties) or an accidents (accident at work, at home, traffict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man-made victim) or another structure, where people are also involved.91

Dari batasan tersebut, dapat diketahui bahwa korban adalah orang yang

mengalami derita yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lain, baik perbuatan

yang dilakukan oleh manusia, struktur, organisasi ataupun institusi.

Berkenaan dengan korban, Kindern sebagaimana dikutip Mulyana W.

Kusumah, mengemukakan :

Salah satu kesulitan utama yang dihadapi di dalam merumuskan mengenai apa arti ”korban” berasal dari perluasan tingkat pendekatan viktimologi atas bentuk-bentuk kejahatan dan delikuensi. Sebagai akibatnya, pertanyaan yang timbul adalah sejauh mana pengertian korban, dapat secara beralasan diterapkan pada kasus dimana tidak terdapat penderitaan badan, kehilangan atau rusaknya hak milik atau juga ancaman terhadap seseorang harus pasti bahwa korban benar-benar mengalami derita fisik atau psikologis atau bahwa bentuk-bentuk kerugian tertentu telah dilakukan atas korban secara pribadi atau bukan.92

Dari apa yang dikemukakan Kindern nampak bahwa untuk sampai pada

pemberian batasan korban, diperlukan adanya suatu kriteria yang harus

dipenuhi. Hal ini tentunya dapat diterima, karena konotasinya dapat mengarah

pada ”crime without victim” atau kejahatan tanpa korban.

91Z.P. Separovic, 1985, Victimology, Studies of Victim, Zagreb, h. 23.

92Mulyana W. Kusumah, 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, h. 109.

61

Menurut Sola, korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or

physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or

attempted criminal offense committed by another ...”93

Lebih diperinci lagi oleh Muladi sebagai orang-orang yang baik secara

individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik

atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-

haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar

hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.94

Korban (victim) adalah ”... whose pin and suffering have been neglected by

the state while it spends immense resources to hunt down and punish the

offender who responsible for that pain and suffering”.95 Di sini, pengertian

korban lebih ditekankan pada kelalaian negara terhadap korban.

Berikut definisi korban menurut beberapa peraturan perundang-undangan :

Hukum International pun telah mengatur tentang perlindungan korban.

Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims

of Crime and Abuse of Power 1985 menyebutkan bahwa :

93Ralph de Sola, 1998, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, h. 188.

94Muladi, 2005, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 108.

95Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, h. 9.

62

victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including phisical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power” ... through acts or omission that do not yet constitute violations of natrional criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.96

Patut dicatat, bahwa pengertian ”kerugian” (”harm”) menurut resolusi

tersebut, meliputi fisik maupun mental (”physical or mental injury”),

penderitaan emosional (”emosional suffering”), hak asasi mereka (”substantial

impairment of their fundamental rights”).97

UUPKDRT menyebutkan definisi korban, adalah orang yang mengalami

kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Artinya,

siapa saja bisa menjadi korban ketika seseorang menjadi bagian dari sebuah

keluarga. Bentuk kekerasan yang diatur dalam undang-undang ini tersebut

dalam Pasal 5 dengan jelas yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan

seksual dan penelantaran rumah tangga. Yang dimaksud penelantaran rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah mengabaikan atau

melalaikan kewajiban pemenuhan kebutuhan hidup secara finansial termasuk

mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi terhadap seseorang dalam

lingkup rumah tangga.

96Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 48.

97Barda Nawawi Arief, 1998, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 16.

63

Sedangkan Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi mengartikan korban sebagai orang perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun

emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau

perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Jadi, yang dimaksud dengan

korban di sini, tidak hanya yang mengalami penderitaan secara langsung, tetapi

meluas termasuk ahli waris korban karena dimungkinkan sekali efek

penderitaan korban juga akan dialami oleh ahli warisnya.

Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

mendefinisikan korban secara umum seperti yang tercantum dalam Pasal 1

angka 2, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana.

Sedangkan UUPTPPO mendefinisikan korban sebagaimana tersebut dalam

Pasal 1 angka 3 adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,

fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana

perdagangan orang. Penderitaan yang dialami korban yang dimaksud dalam

undang-undang ini lebih luas dibandingkan UUPKDRT. Tidak menutup

kemungkinan seorang korban sebagaimana tersebut dalam UUPTPPO adalah

anggota keluarga pelaku atau termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Jadi,

undang-undang ini sangat erat kaitannya dengan UUPKDRT. UUPKDRT

memberi ancaman pidana yang lebih rendah dan bersifat alternatif serta bersifat

64

delik aduan. Sedangkan UUPTPPO memberi ancaman yang lebih berat dengan

mengatur batas minimal dan maksimal ancaman pidananya dan tidak bersifat

alternatif serta terhadap semua tindak pidana di dalamnya bukanlah delik aduan.

Sangat sulit bagi pelaku untuk menghindar bahkan untuk meminimalisir pidana

yang akan diterimanya jika dikenakan ketentuan-ketentuan UUPTPPO. Apalagi

ditambah dengan pemberatan, yaitu penambahan beberapa pidana tambahan

apabila si pelaku terlibat dalam suatu lembaga tertentu yang mengeksploitasi

korban. Ketimpangan ini akan menjadi celah bagi pelaku untuk mendapatkan

pidana yang lebih rendah sebagaimana diputuskan oleh hakim pengadilan,

berdasarkan pada Pasal 1 ayat (2) KUHP dimana terhadap pelaku akan

diberlakukan hukum yang lebih menguntungkan bagi pelaku.

Dari beberapa definisi korban sebagaimana diatur baik UUPKDRT maupun

UUPTPPO, yang perlu dicermati adalah bahwa korban yang dimaksud adalah

hanya seorang korban yang secara langsung mengalami tindak pidana. Padahal

sangat memungkinkan sekali atas suatu tindak pidana tersebut dampak yang

dirasakan meluas, tidak hanya oleh korban yang secara langsung mengalami

tindak pidana bahkan dampak tindak pidana tersebut juga dirasakan oleh ahli

warisnya apalagi korban tidak punya hubungan darah dengan pelaku.

Ada 5 (lima) tipologi korban menurut Sellin dan Wolfgang98, yaitu :

1. Primary victimization : yang dimaksud di sini adalah korban individual dan bukan kelompok;

98Ibid.

65

2. Secondary victimization : yang menjadi korban adalah kelompok atau pun badan hukum;

3. Tertiary victimization : yang menjadi korban adalah masyarakat luas;4. Mutual victimization : yang menjadi korban adalah pelaku sendiri,misalnya

dalam praktek pelacuran, perjudian atau pun perzinahan; dan5. No victimization, di sini bukan berarti tidak ada korban, tetapi korban tidak

segera dapat diketahui. Misalnya dalam tindak pidana penipuan konsumen.

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih

memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian

muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :

a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.c. Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.99

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan

dengan tipologi korban yang oleh Schafer diidentifikasi menurut keadaan dan

status korban100, yaitu sebagai berikut :

a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku,

99Muladi, Op.cit., h. 42.

100Suryono Ekotama, et.al., 2000, Abortus Provocatus bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 176-77; Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta, h. 42; Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.cit., h. 50-51.

66

misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menulis ada tiga

tipologi keadaan sosial dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan101

yaitu:

- calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan.

- calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban.

- calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban.

Tidak berbeda jauh dengan klasikasi sebelumnya, namun lebih terperinci

sebagaimana Mendelsohn maupun Hentig, masing-masing mengklasifikasikan

tipologi korban, sebagai berikut :

101Sagung Putri M.E. Purwani, Op.cit., h. 4.

67

Mendelsohn mengklasifikasikan korban menurut kesalahan, di antaranya:1. The completely innocent victim (ideal victim). Mendelsohn regards him as the ideal victim and refers first of all to children and those who suffer a crime while they are unconsciousr;2. The victim with minor guilth and the victim due to his ignorance. Mentioned here as an example is the woman who provokes a miscarriage and as a result pay with her life;3. The victim as guilty as the offender and the voluntary victim. In the explanation Mendelsohn lists the following sub types : suicide by throwing a coin, if punishable by law :a. Suicide by adhesion;b. Euthanasia (to be killed by one’s own wish because of an incurable and

painful disease);c. Suicide commited by a couple (for example desperate lovers, healthy

husband and sick wife).4. The victim more guilty than offender. There are two sub types :

a. The provokes victim, who provokes someone to crime;b. The imprudent victim, who induce someone commite a crime.

5 The most guilty victim and the victim who is guilty alone. This refers to the aggressive victim who is alone guilty of a crime for example, the attacker who is killed by another an self-defence.6 The simulating victim and the imagine victim. Mendelsohn refers here to those who mislead the administration of justice I order to obtain a sentence of punishment against an accused person. This type includes persoid, hysterical persons, senile persons and children.102

Sedangkan Hentig membuat tipologi korban berdasarkan faktor psikologi,

sosial, dan biologi. Ia membagi korban ke dalam beberapa kategori, di

antaranya :

a. the young;b. the female;c. the old;d. the mentally defective and other mentally deranged;e. immigrants;f. dull normals ;

102Stephen Schafer, 1968, The Victim and His Criminal, Random House, New York.

68

g. the minorities;h. the depressed;i. the acquisitive;j. the wanton; k. the lonesome and the heartbrokenl. tormentors;m. the blocked, examples and fighting.103

Pandangan kedua tokoh tersebut menunjukkan bahwa kajian terhadap

korban masih terbatas pada interaksi antara korban dan pelaku, yaitu sampai

seberapa jauh korban mempengaruhi pelaku untuk melakukan kejahatan atau

sampai seberapa jauh pelaku kejahatan memanfaatkan kelemahan korban. Tipe

korban yang digambarkan terbatas pada kejahatan konvensional.104

Dari sekian banyak definisi korban, terkait dengan penelitian ini, penulis

lebih menitikberatkan pada perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga karena kelemahannya sebagai perempuan (Biologically

weak victims) mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,

kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan

hak-hak dasarnya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 27 Tahun

2004, ataupun penelantaran istilah yang digunakan dalam UUPKDRT, dan

103Hans Von Hentig, 1946, The Criminal and His Victim Studies Indonesia The Sociobiology of Crime, New Haven Yale University, Kansas City, h. 404-433.

104M. Arief Amrullah, Op.cit., h. 73-74.

69

bahkan karena status sosialnya yang lebih rendah (Socially weak victims),

perempuan rentan mengalami tindak pidana kekerasan dalam rumah tanga.

70

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT

Selama berabad-abad kekerasan domestik seolah terkubur tanpa pernah

tercatat sebagai bentuk kejahatan pada statistik kriminal dan dianggap tidak ada.

UUPKDRT terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah

tangga. Hal ini merupakan pertanda baik karena mereka korban kekerasan dalam

rumah tangga dicerahkan karena dapat melakukan penuntutan dan dilindungi secara

hukum. Namun, akankah undang-undang ini dapat menuju paradigma bahwa lingkup

domestik dan publik sudah tidak mengenal dikotomi dalam hal pencapaian keadilan

dan penyadaran akan pentingnya mengangkat isu domestik ke tingkat publik.

Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender

untuk melindungi perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya

menjamin perempuan dari pelanggaran HAM. CEDAW yang cukup revolusioner

telah menjamin hak-hak perempuan atas pekerjaan, politik, pendidikan, perkawinan

dan kesehatan. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya

harus menjamin perolehan hak-hak secara de jure tetapi yang terpenting secara de

facto. Sesungguhnya CEDAW merupakan senjata ampuh bagi perempuan menentang

segala bentuk diskriminasi.

71

Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sering tidak dapat berbuat

banyak atau dalam keadan bingung, karena tidak tahu harus mengadu ke mana, ke

rumah asal belum tentu diterima. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya dimana

perempuan yang sudah kawin menjadi tanggung jawab suaminya. Sehingga apabila

terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sering tidak terungkap ke

permukaan karena masih dianggap membuka aib keluarga. Dengan sulit

terungkapnya kekerasan terhadap perempuan, ini berarti perempuan korban kekerasan

secara tidak langsung belum terjamin haknya secara hukum.

Ancaman kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang sering

dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti

KDRT yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga

perempuan. Korban seperti ini sering tidak berani melapor, antara lain karena ikatan-

ikatan kekeluargaan, nilai-nilai sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun

dirinya atau korban merasa khawatir apabila si pelaku melakukan balas dendam.

Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan akan muncul apabila korban

melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kerap kali pernah

berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu. Jadi masing-

masing adalah fungsional atau mempunyai peran tertentu pada adanya atau timbulnya

suatu kejahatan atau viktimisasi kriminal tertentu.105

Pengaruh negatif KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat

hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di

105Sagung Putri M.E. Purwani, Op.cit., h. 3

72

dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh

korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya

membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum,

sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi

perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak

yang kemudian menjadi sumber masalah sosial. Melihat kondisi perempuan-

perempuan Indonesia yang sangat rentan menjadi korban, sampai sejauh mana negara

melindungi perempuan terutama yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah

tangga. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

perlindungan hukum terhadap perempuan.

3.1. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP

Kejahatan dengan kekhususan korbannya perempuan, seperti yang

dirumuskan di dalam Pasal 285, 286, 287, 288, dan 297 dimasukkan ke dalam

Bab XIV di bawah judul Kejahatan terhadap Kesusilaan atau Kejahatan

terhadap Kesopanan.106 Dalam bab ini, pasal yang dirumuskan khusus bagi

korban yang berjenis kelamin perempuan adalah Pasal 285 tentang perkosaan,

Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau

pingsan, Pasal 287 tentang persetubuhan dengan perempuan di bawah umur,

Pasal 288 tentang persetubuhan dengan istri yang masih di bawah umur dan

Pasal 297 tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki. Beberapa pasal

106Niken Savitri, 2008, Op.cit., h. 68.

73

tersebut diberlakukan pemberatan dengan penambahan 1/3 (sepertiga) pidana

pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 291 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterankan dalam Pasal 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan mati, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Ketentuan Pasal 285 telah menempatkan perempuan dalam hal ini istri pada

posisi yang mempunyai hak apapun dalam hubungan seks dengan suami.

Ketentuan ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa para istri harus selalu patuh

pada kehendak seksual antara suami istri, hukum tidak bertanggung jawab

untuk melindungi istri karena istri dianggap tidak patuh kepada suaminya.

Ketentuan ini berarti tidak menghukum ”perkosaan” yang terjadi dalam

perkawinan (morital rape) yang dihukum adalah pelaku perkosaan terhadap

perempuan yang ”bukan istrinya”. Dalam kenyataannya perkosaan dalam

perkawinan banyak terjadi dalam kehidupan perkawinan.107

Sedangkan untuk Pasal 297, obyek yang dimaksud hanya wanita dan anak

laki-laki di bawah umur. Ketentuan ini mengatur secara luas. Tidak disebutkan

tentang bagaimana cara-cara yang dilakukan untuk melakukan perdagangan

wanita dan anak laki-laki di bawah umur tersebut. Dapat diartikan bahwa

dengan cara apapun yang bertujuan untuk memperdagangkan perempuan dan

107Nursyahbani Katjasungkana, 2002, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan, Galang Printika, Yogyakarta.

74

anak laki-laki di bawah umur dapat dijerat dengan ketentuan pasal ini. Dalam

hal pemidanaan, selain dikenakan ancaman pidana penjara sebagai pidana

pokok, diberlakukan ancaman pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal

298 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 281, 284-290 dan 292-297, pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.

(2) Jika yang bersalah, melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297 dalam melakukan pencariannya, hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.

Berikut hak-hak yang tersebut dalam Pasal 35 :

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;2. hak memasuki angkatan bersenjata;3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;4. hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.

Perlu ditambahkan juga bahwa selain pasal-pasal yang tersebut oleh Niken

Savitri, ada beberapa pasal lain dalam KUHP yang mengatur perlindungan

hukum bagi perempuan yaitu Pasal 284, 356, dan 304.

Pasal 284 adalah ketentuan yang mengatur tentang perzinahan (overspell)

dimana perempuan sebagai istri berhak mengadukan atas perbuatan zina yang

dilakukan oleh suami dan rekannya. Tindak pidana atau delik yang dimaksud

dalam ketentuan ini bersifat delik aduan (klach delict) sehingga perbuatan

75

tersebut dapat atau tidaknya dipidana sangat bergantung pada adanya

pengaduan dari pasangan yang tercemar.

Untuk kekerasan fisik terhadap perempuan, KUHP hanya mengatur dalam

Pasal 356 walaupun hanya dibatasi dengan batas maksimal, tetapi pidana yang

diancamkan lebih berat yaitu dengan pemberatan penambahan pidana 1/3

(sepertiga) dari pidana pokok.

Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat

ditambah dengan 1/3 (sepertiga) :

Ke-1 : bagi yang melakukan kejahatan terhadap ibunya, bapaknya

menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.

Ketentuan ini hanya terbatas pada perempuan yang terikat sebagai istri,

anak atau orang tua walaupun tidak membatasi ruang lingkup dimana terjadinya

tindak pidana apakah di dalam atau di luar ruang lingkup rumah tangga.

Tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut hanya

khusus mengatur tentang penganiayaan atau kekerasan fisik. Untuk tidak pidana

lainnya seperti kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga, KUHP tidak

terlalu menekan dengan pemberian ancaman pidana yang berat. Bahkan pada

kekerasan psikis, KUHP tidak mengatur sedikit pun. Ruang lingkup objeknya

pun terbatas, yaitu terhadap ibu, bapak, istri atau anaknya.

Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :

76

Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-

undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Ketentuan ini diatur tentang penggunaan ketentuan dimana ancaman pidananya

yang lebih rendah.

Pada Pasal 304 mengatur tentang perlindungan hukum terhadap orang yang

ditelantarkan oleh orang yang bertanggung jawab atas hidup si terlantar.

Ketentuan pasal ini mengatur secara umum. Akibat yang ditimbulkan yaitu

penelantaran yang menjadi syarat mutlak ketentuan ini. Walaupun tidak tersebut

secara kongkret siapa obyek yang dimaksud dalam ketentuan pasal ini, dapat

dikonotasikan bahwa perempuan sebagai istri ataupun perempuan yang bekerja

bisa saja yang akan menjadi obyek atau korban. Ketentuan ini pun diberlakukan

pemberatan dengan penambahan pidana 1/3 (sepertiga) pidana pokok

sebagaimana diatur dalam Pasal 306 berikut ini :

(1) Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 304 dan 305 itu

menyebabkan luka berat, maka si tersalah dihukum penjara slama-lamanya

tujuh tahun enam bulan.

(2) Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, si tersalah itu

dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

77

Penambahan 1/3 (sepertiga) pidana pokok sebagaimana dimaksud pada

Pasal 306 ini lebih diperberat lagi dengan adanya pidana tambahan yaitu

dicabutnya beberapa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 309 sebagai berikut :

Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang

diterangkan dalam Pasal 304-408, dapat dijatuhkan hukuman pencabutan

hak yang tersebut dalam Pasal 35 No. 4.

Hak yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 No. 4 adalah hak

menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke

bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu

pengawas.

3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hubungan

hukum antar individu dengan individu sehingga termasuk hubungan yang

diatur oleh hukum perdata, maka pengertian kekerasan tidak diatur di dalamnya.

Hal ini berbeda dengan undang-undang hukum pidana yang merupakan hukum

publik yang mengatur hubungan individu dengan Negara dimana kekerasan

diatur di dalamnya. Meski demikian, ada beberapa ketentuan dalam Undang-

undang Perkawinan yang tersirat mengatur tentang kekerasan.

Pada Pasal 24 mengatur tentang pembatalan perkawinan apabila salah satu

pihak masih terikat perkawinan dengan dirinya. Pasal ini sangat erat kaitannya

78

dengan Pasal 5 ayat (1) dimana suami yang akan berpoligami diharuskan

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. adanya kepastian bahwa suami mapu

menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku

adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Apabila syarat-syarat yang tersebut pada Pasal 5 ayat (1) ini tidak dipenuhi,

sangat dimungkinkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang

menyebabkan keadaan tertekan secara psikologis bagi si istri, bahkan perceraian

pun bisa saja terjadi.

Pada Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.

Selanjutnya Pasal 39 ayat (2) menentukan bahwa :

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami

istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

79

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menentukan bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu

pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan

terhadap pihak yang lain dimana pihak lain yang dimaksud di sini adalah korban

yang bisa saja adalah istri.

Alasan-alasan tersebut setidaknya telah mewakili penderitaan istri secara

fisik,ekonomi maupun psikologis sehingga ketentuan ini bisa dikatakan hanya

melindungi perempuan hanya pada bagian fisik, ekonomi dan psikologisnya

saja dengan cara bercerai. Tidak diatur dengan jelas apakah yang dimaksud

dengan kekejaman atau penganiayaan berat dalam ketentuan ini termasuk

kekerasan seksual.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah undang-

undang yang dibuat pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, Negara Indonesia

mengakui dan terikat pada konvensi tersebut. Para perempuan yang menjadi

korban, dapat menjadikan undang-undang sebagai senjata pamungkas untuk

mendapatkan perlindungan hukum karena undang-undang ini membuat

keterikatan Negara Indonesia dengan dunia internasional sehingga apabila

perempuan yang menjadi korban tidak mendapat perlindungan hukum, mereka

80

dapat saja mengajukan perlindungan hukum atas dirinya kepada hukum

internasional.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 sebagai undang-undang penjamin

HAM warga negara terkait dengan perlindungan perempuan sebagai korban

Pasal 17 menentukan bahwa :

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Selain itu, perempuan juga terjamin dan terlindungi haknya secara khusus

oleh undang-undang ini karena fungsi reproduksinya sebagaimana diatur dalam

Pasal 49 ayat (3) berikut :

Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi

reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Selanjutnya, terkait dengan perlindungan hukum terhadap perempuan,

produk hukum yang terbaru adalah UUPTPO sehubungan dengan semakin

tingginya kasus trafficking terhadap perempuan dan anak. Dalam undang-

undang ini, setiap tindak pidana diancam dengan pidana yang sangat berat

dengan diberikan batas minimal dan maksimal dan bersifat kumulatif atas

pidana yang diancamkan, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu,

pada beberapa ketentuan pasalnya juga diberinya penambahan 1/3 (sepertiga)

81

pidana dari pidana pokok yang diancamkan. Pengaturannya tersebut dalam

Pasal 2, 3, 4 dan 12.

Pasal 2 menentukan tentang larangan eksploitasi orang di wilayah Indonesia

dengan cara merekrut, mengangkut, mengirim, memindah, atau menerima

seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi

rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun

memperoleh persetujuan dari orang yng memegang kendali atas orang tersebut.

Pasal 3 mengatur tentang larangan membawa masuk orang ke wilayah

Indonesia dengan tujuan eksploitasi.

Sedang Pasal 4 mengatur tentang larangan membawa warga Negara

Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan tujuan eksploitasi.

Pada Pasal 12 berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya yaitu memanfaatkan

korban. Cara-cara yang digunakan untuk memanfaatkan korban dengan cara

melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya, mempekerjakan korban

untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil

tindak pidana perdagangan orang.

Dalam undang-undang ini memang tidak disebutkan secara konkret siapa

korban yang dimaksud. Yang tersebut hanya orang dan anak, tidak disebut

secara jelas jenis kelaminnya. Tetapi bila dilihat pada konsideran undang-

undang ini, salah satu dasar hukum dibentuknya undang-undang ini adalah UU

No. 7 Tahun 1984 mengingat bahwa perdagangan orang, dalam hal ini adalah

82

perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan

martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sebagai tindak pidana yang

terorganisir dan lintas negara, sehingga harus diberantas. Maka, jelas sekali

bahwa selain anak, obyek undang-undang ini adalah perempuan. Tetapi tidak

menutup kemungkinan korban yang dimaksud juga termasuk laki-laki.

Sebegitu gigihnya pembuat UUPTPO untuk mencapai tujuan undang-

undang ini agar pemberlakuan undang-undang ini benar-benar efektif, demi

lancarnya proses peradilan dan tercapainya kata ”melindungi segenap bangsa”

sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 55 menyebutkan

bahwa selain perlindungan yang telah diatur secara khusus dalam undang-

undang ini, bentuk perlindungan juga diperkuat oleh produk hukum lainnya.

Menurut Pasal 44, perlindungan terhadap korban diberikan sebelum, selama,

dan sesudah proses pemeriksaan perkara. Undang-undang ini juga mengenal

istilah verstek sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) bahwa hakim dapat

memutus secara verstek untuk mempersempit ruang gerak pelaku yang ingin

menghindari proses pemeriksaan.

Selain itu, peran masyarakat sangat mutlak dibutuhkan sebagaimana diatur

dalam Pasal 60 ayat (2), bahwa masyarakat dapat berperan serta dengan

melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum

atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban.

Sehubungan dengan tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga, telah

dibentuk UUPKDRT. Dalam Pasal 2 UUPKDRT membatasi ruang lingkup

83

berlakunya hanya terbatas dalam rumah tangga. Artinya, selain suami, istri,

anak, orang yang mempunyai hubungan darah dan orang lain yang bekerja

membantu rumah tangga menetap dalam rumah tangga tersebut. Perbuatan yang

dilarang diatur dalam Pasal 5 meliputi :

a. kekerasan fisik;

b. kekerasan psikis;

c. kekerasan seksual; atau

d. penelantaran rumah tangga.

Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal

50 dimana pidana yang diancamkan adalah bersifat alternatif dengan ancaman

pidana maksimal yang berbentuk pidana penjara dan pidana denda tanpa

menyebutkan ancaman pidana minimal dengan menggunakan kata ”dan/atau”.

Artinya, melalui putusan hakim, pelaku bisa mendapat pidana semau yang

dimau yaitu pidana seminimal mungkin bahkan bisa jadi pidana penjara bisa

diganti dengan pidana denda untuk menghindari rasa malu pelaku. Di sini, uang

adalah segalanya sehingga dapat diartikan pula bahwa tindak pidana yang

diperbuatnya bisa ditolerir dan cukup dibayarkan sejumlah uang sebagai ganti

bentuk pidana denda. Dampak psikologis yang dirasakan korban tidak dapat

dibayarkan dengan pidana denda. Trauma dan rasa tidak aman yang dirasakan

korban akan terus menghantui bila pelaku masih berkeliaran. Dari bentuk-

bentuk kekerasan yang dimaksud Pasal 5 tersebut, setiap tindak pidana yang

84

berkaitan dengan ketentuan pasal tersebut ancaman pidananya tidak selalu dapat

diganti dengan uang mengingat kasus semacam ini akan membawa konsekuensi

yang amat serius bagi perempuan secara sosial, ekonomi, maupun psikologis

(traumatis, depresi) dan beban yang ditanggung oleh perempuan secara

individual maupun keseluruhan dalam hal ini anak dan/atau keluarga sepanjang

hidupnya. Ini bukti bahwa hukum belum berpihak pada perempuan sebagai

korban. Hukum masih didominasi pemikiran patriarki dan buta gender. Semua

ini luput dari perhatian hukum karena hukum tidak antisipatif dengan fenomena

sosial yang cepat berubah. Sejumlah pasal memang mampu menjerat pelaku,

tetapi di sisi lain substansi dan rumusannya masih merugikan perempuan karena

tidak memperhatikan aspek psikologis dan fakta-fakta sosial dari korban.

Kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam KUHP sebagaimana

diatur dalam Pasal 356 tidak bersifat delik aduan walaupun tidak disebutkan

locus delictinya, hanya karena berdasarkan hubungan darah antara orang tua

dan anak ataupun hubungan suami istri. Pengaturan dalam UUPKDRT bersifat

delik aduan terhadap perbuatan yang tidak menimbulkan sakit atau luka yang

menghalangi korban untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata

pencaharian atau kegiatannya sehari-hari. UUPKDRT ini dibuat dengan maksud

sebagai undang-undang hukum pidana yang dibuat untuk melengkapi

kekurangan KUHP sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat

pada umumnya, perempuan khususnya sebagai korban. Dengan tujuan tersebut

di atas, tetapi di sisi lain undang-undang ini bersifat delik aduan, sangat sulit

85

untuk mencapai tujuan. Walaupun hanya pada beberapa ketentuan (Pasal 51, 52,

dan 53) diberlakukan sifat delik aduan, tetapi dampak dari suatu perbuatan yang

dilakukan pelaku dimana laki-laki yang mendominasi dalam suatu rumah

tangga terhadap perempuan sebagai kaum yang lemah dan selalu harus

mengalah, sehingga dirasa masih kurang berpihak undang-undang ini. Sifat

delik aduan yang menyebabkan undang-undang ini sangat sulit untuk menjamin

perlindungan hukum bagi korban. Perempuan korban KDRT tidak cukup

mempunyai keberanian untuk melaporkan atas tindak pidana yang menimpanya

sehigga mereka lebih banyak mendiamkan masalahnya dengan lebih banyak

“nrimo” menjadi korban karena jenis kelaminnya perempuan.

Seharusnya dengan dibuatnya UUPKDRT sebagai hukum pidana dimana

tujuan awal pada umumnya adalah karena belum ada pengaturan khusus dalam

KUHP sebagai bentuk jaminan perlindungan sehingga dibentuklah UUPKDRT

ini dengan harapan adanya hukum pidana yang baru di luar KUHP akan

diaturnya lebih detail sebagimana pengaturan dalam UUPTPO yang mengatur

lebih detail seperti percobaan (Pasal 10), permufakatan (Pasal 11), dan tindak

pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

Walaupun dalam Pasal 55 UUPKDRT yang memberi kemudahan kepada

korban dengan hanya mensyaratkan 2 dua alat bukti saja, tetapi menjadi sia-sia

ketika mengingat tindak pidana dalam undang-undang ini masuk dalam wilayah

domestic rumah tangga dan posisi tawar perempuan yang sangat rendah yang

membuat enggan perempuan untuk melaporkan masalah rumah tangganya

86

(tindak pidana yang dialaminya) apalagi beberapa ketentuan tindak pidana

ditentukan sebagai delik aduan. Beberapa tindak pidana dalam undang-undang

ini yang bersifat delik aduan tersebut adalah sebagai berikut :

- Pasal 51 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam

Pasal 44 ayat (4) adalah delik aduan;

- Pasal 52 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam

Pasal 45 ayat (2) adalah delik aduan;

- Pasal 53 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh

suami atau istri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 adalah delik aduan.

Tindak pidana dalam Pasal 51 dan 52 bersifat delik aduan karena akibat

yang ditimbulkan tidak ada. Padahal tindak pidana adalah tetap tindak pidana

karena unsur sengaja. Akibat yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana itu

hanya sebuah hasil. Tetapi apabila mengingat korban KDRT sebagian besar

adalah perempuan yang sangat perasa, akan lebih banyak mengakibatkan efek

buruk secara psikis yang bersifat traumatis selain efek buruk lainnya yang

tampak secara kasat mata. Dalam KUHP, suatu tindak pidana tetap diancam

pidana, apalagi jika perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang buruk akan

memperberat ancaman pidananya.

Sedang Pasal 53 UUPKDRT ditentukan sebagai delik aduan adalah

sangat tidak adil bagi perempuan. Tidak dapat dijadikan alasan tentang sebuah

perkawinan adalah urusan privat sehingga Negara tidak bisa mencampuri

87

urusan rumah tangga warga negaranya dalam hal ini kekerasan seksual. Tidak

dapat disangkal bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di luar

perkawinan, tetapi juga terjadi di dalam perkawinan. Marital rape, istilah asing

yang biasa dikenal atas kekerasan seksual dalam perkawinan menjadi sulit

dijangkau oleh UUPKDRT ketika disifatkan menjadi delik aduan. Negara telah

memberikan ruang kebebasan kepada warga negaranya sebagai urusan privat

atas suatu perkawinan. Hal ini menambah ciut nyali perempuan untuk

mendapatkan keadilan karena sifatnya sebagai delik aduan. Dengan keadaan

seperti ini, dapat dikatakan UUPKDRT belum mampu menjamin perlindungan

hukum bagi perempuan sebagai korban. Sudah tidak bisa lagi digunakan secara

mutlak atas sifat delik aduan bila suatu tindak pidana telah mengancam

kepentingan umum. Di Eropa, perkawinan dianggap sebagai kontrak sehingga

ketika terjadi suatu perbuatan yang membuat tidak nyaman salah satu pihak,

maka pihak yang dirugikan sadar dan akan menuntut atas perbuatan yang

menimpanya. Berbeda dengan Indonesia dimana pola pikir masyarakat

Indonesia yang sebagian besar patriarki, memposisikan perempuan lebih rendah

dari posisi laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin mempunyai kuasa penuh

atas seluruh keluarganya sehingga kekerasan dalam rumah tangga sebagai

kawasan domestic atau privat sangat terasa kental . Suatu perkawinan terjadi

melalui beberapa prosedur yang harus dilewati dimana dalam prosedur-prosedur

tersebut perkawinan tidak hanya terbatas pada 2 (dua) orang saja, antara laki-

laki dan perempuan, tetapi melibatkan hubungan keluarga kedua belah pihak,

88

masyarakat sekitar sebagai kelompok yang akan dimasuki oleh keluarga baru,

dan tentunya perkawinan akan menjadi urusan negara ketika perkawinan itu

harus melalui pencatatan sebagai bentuk kewajiban anggota masyarakat dalam

hal tertib administrasi sebagai jaminan perlindungan hukum atas perkawinan

yang telah dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Mengenai penentuan penting tidaknya sifat delik aduan yang terkait

dengan uraian di atas, mengutip pendapat Barda bahwa lembaga perkawinan

bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual, melainkan terkait

pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan

keluarga, kepentingan kaum dan kepentingan lingkungan. Hubungan

perkawinan bukan semata-mata hubungan perjanjian antara individu yang

bersangkutan, melainkan juga terkait hubungan kekeluargaan dan kekerabatan

kedua belah pihak. Proses perkawinan bukan semata-mata proses individual,

melainkan juga proses kekeluargaan, kekerabatan dan bahkan lingkungan108

sehingga dianutnya delik aduan dalam UUPKDRT adalah sangat tidak adil bagi

perempuan. Apalagi, dalam kebijakan tidak ada yang bersifat absolut. Bisa saja

108Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 291.

89

suatu kebijakan berubah, bergantung pada situasi dan tujuan yang ingin

dicapai.109

Terkait tersebut di atas, Jonkers mengingatkan bahwa110 :

Dari beberapa pihak timbul keberatan terhadap penentuan delik-delik

pengaduan, karena kepentingan perseorangan didahulukan dari pada

kepentingan umum dan karena merupakan kewajiban penguasa untuk

mendahulukan yang terakhir ini…

Ditambahkan pula oleh Jonkers111 :

…sebaik-baiknya jangan tergesa-gesa menentukan suatu peristiwa pidana sebagai delik aduan. Meskipun seperti saya katakan delik-delik aduan dalam Kitab Undang-undang kita agak sedikit, saya meragukan apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini cukup berhati-hati, terutama karena asas opportuniteit merupakan salah satu corak yang pokok dari hukum acara pidana kita, yang memberi kebebasan pada penuntut umum apabila kepentingan pribadi dan kepentingan umum saling bertentangan, untuk membiarkan suatu perkara supaya tidak dituntut.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa apabila dalam suatu

hubungan hukum, titik berat berada pada kepentingan orang per orang

(individu), maka kita masih ada di bidang hukum perdata. Apabila hubungan

hukum itu titik berat pada kepentingan-kepentingan orang-orang sebagai

109Ibid.

110Jonkers, 1987, Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Terjemahan, h. 247.

111Ibid.

90

kumpulan orang banyak, maka kita mulai menginjak bidang hukum publik,

dimana kita ada kemungkinan menginjak pula pada bidang hukum pidana.112

Ketika akan diputuskan atas suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu

kajian yang mendalam apakah pantas atau tidak untuk ditetapkan sebagai delik

aduan mengingat tujuan untuk melindungi “segenap bangsa” dalam hal ini

kepentingan umum harus didahulukan berikut dampak positif dan negatif yang

ditimbulkan ketika suatu tindak pidana ditetapkan atau tidak sebagai delik

aduan. Negara bertanggung jawab atas perlindungan hukum terhadap “segenap

bangsa” tersebut sehingga pantas kiranya apabila tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga tidak lagi bersifat privat mengingat kepentingan ini untuk

perlindungan hukum terhadap perempuan secara keseluruhan bukan individual.

Bertolak dari uraian di atas, maka dengan adanya kajian ulang terhadap

pemberlakuan UUPKDRT melalui kebijakan Hukum Pidana atau pembaharuan

hukum pidana dapat dipikirkan kembali atas penentuan sifat delik aduan pada

beberapa pasal dalam undang-undang tersebut mengingat tujuan dibentuknya

undang-undang ini adalah melindungi kaum perempuan dan UUPKDRT

sebagai salah satu wujud kebijakan Hukum Pidana dimana kebijakan itu sendiri

tidak bersifat absolut, tergantung situasi dan tujuan yang ingin dicapai

sebagaimana dikemukakan oleh Barda.

112Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 11.

91

Tidak efektifnya pemberlakuan UUPKDRT ini tidak dapat dijadikan

pelindung bagi korban. Maka sebagai gantinya, untuk menjerat pelaku akan

digunakan undang-undang lain dalam hal ini KUHP. Sedangkan KUHP tidak

mengatur secara lengkap. Untuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal

53 UUPKDRT, KUHP hanya mengatur apabila tindak pidana dilakukan

terhadap istri yang diketahuinya belum mampu untuk dikawini atau belum

cukup umur dan mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 288

KUHP. Hal ini akan mengigatkan kita pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP

yang pada intinya mengatur tentang ketentuan yang menguntungkan yang

berlaku bagi pelaku setelah adanya perubahan.

Dalam UUPKDRT, pembatasan individu terlihat pada latar belakang

pembuatan undang-undang ini dibuat. Dalam pertimbangannya disebutkan

bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari

segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak

asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan bentuk

diskriminasi yang harus dihapus. Lebih spesifik lagi, disebutkan tentang

keharusan perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam

rumah tangga.

Dalam hal korban ingin mendapatkan perlindungan dan keadilan atas

tindak pidana yang dialaminya, Pasal 26 mengatur bahwa korban dapat melapor

atas tindak pidana yang dialaminya secara langsung maupun tidak langsung

92

yang dikuasakan kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan

dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada

maupun di tempat kejadian perkara sebagaimana diatur dalam ayat (2). Namun

faktanya, seperti pengalaman peneliti sendiri bahwa orang lain dalam hal ini

masyarakat hanya memandang iba dengan kondisi korban seolah-olah korban

adalah ’tontonan gratis yang menarik’ dan berpikir atas apa yang menimpa

korban termasuk wilayah privat sehingga mereka enggan untuk menolong

ataupun memberi support dalam bentuk apapun untuk penyelesaian secara

hukum. UUPKDRT seolah-olah melegitimasi apa yang dipikirkan masyarakat.

Terbukti pada Pasal 15, peran serta masyarakat hanya terbatas pada :

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b. Memberikan perlindungan kepada korban;

c. Memberikan pertolongan darurat;

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Dari sekian banyak peran serta masyarakat dalam penegakan undang-

undang ini seolah hanya menjadi pelengkap undang-undang ini karena sifat

delik aduan pada undang-undang ini. Ketidakberpihakan UUPKDRT ini tampak

sangat jelas bahwa peran serta masyarakat hanya bersifat membantu dalam hal

perlindungan terhadap korban. Apa artinya peran serta masyarakat apabila

undang-undang ini menganut delik aduan? Sampai kapan batas waktu

keikhlasan masyarakat untuk berperan serta dalam hal upaya perlindungan

93

terhadap korban tanpa dibarengi dengan proses hukum terhadap pelaku?

Apalagi pihak keluarga yang lebih cenderung menyalahkan korban yang

terkesan menantang atau menimbulkan rangsangan atas terjadinya tindak pidana

terhadap diri korban. Apalagi jika korban melaporkan tindak kekerasan yang

dialaminya, hanya akan memperuncing masalah. Padahal, korban hanyalah

seorang perempuan yang secara biologis lebih lemah dibandingkan laki-laki

serta dianutnya sistem budaya patriarki yag lebih mengagungkan posisi laki-

laki. Maka sangat mustahil bila perempuan sebagai korban diangap menantang

atau memicu terjadinya tindak pidana kekerasan. Bukankah secara fisik

perempuan pasti kalah terhadap laki-laki? Belum lagi ditambah adanya hasutan

pemikiran dari pihak keluarga untuk tidak memproses tindak pidana yang

menimpanya tersebut secara hukum karena hanya akan membuka aib keluarga.

Pemikiran ini yang paling menentukan untuk membuat korban bingung. Di satu

sisi, korban terdzalimi. Korban sangat ingin mendapat keadilan atas apa yang

dialaminya. Namun di sisi lain, baik karena hubungan darah atau pun karena

tinggal serumah dengan pelaku, harus bisa menjaga keutuhan dan keharmonisan

rumah tangga dengan tidak melapor tidak pidana yang menimpanya sehingga

tampak luar oleh warga masyarakat sekitar, kehidupan keluarga tersebut

berjalan rukun dan harmonis. Padahal, sifat delik aduan tersebut hanya pada

beberapa ketentuan saja, tidak berlaku untuk semua tindak pidana. Tetapi

pemahaman masyarakat termasuk aparat penegak hukum tentang gender

terutama tentang pemahaman undang-undang ini kurang karena pengaruh

94

sistem budaya patriarki. Apalagi UUPKDRT tidak menuntut peran aktif

masyarakat dalam penegakan hukum undang-undang ini.

Berbeda dengan UUPTPPO yang bersifat mutlak, tidak bersifat delik

aduan. Keadaan ini akan menjadi celah yang sangat menguntungkan pelaku

untuk menghindari ancaman pidana yang lebih berat ketika korban UUPTPPO

masuk dalam lingkup rumah tangga mengingat ketentuan Pasal 1 ayat (2)

KUHP yang menegaskan tentang ketentuan yang menguntungkan yang berlaku

bagi pelaku..

UUPKDRT tidak menyebut pengaturan tentang penyertaan dan

pembantuan. Atas ketiadaan pengaturan tentang hal-hal tersebut, maka

ketentuan dalam KUHP yang akan berlaku sebagai dasar hukumnya. Berbeda

halnya dengan UUPTPPO yang mengatur semuanya sebagaimana halnya

dengan KUHP. Mulai dari pembantuan, aktor intelektual, permufakatan,

peniadaan pidana terhadap pelaku, tata cara peradilan yang lebih

menguntungkan korban, penambahan pidana tambahan sampai pada

keikutsertaan masyarakat untuk melaporkan adanya tindak pidana.

UUPKDRT mengatur kekerasan seksual dalam pemberian pidana berbeda

dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Pada Pasal 47 dan 48, ancaman pidananya

diberi batasan minimal dan maksimal walaupun masih tetap bersifat alternatif

dengan penggunaan kata “atau”. Seharusnya pemberian batasan mimal dan

maksimal tersebut berlaku terhadap semua ketentuan pidana untuk menghindari

pengenaan pidana yang terlalu rendah sehingga diharapkan ada rasa aman dan

95

nyaman pada diri korban ketika suatu ketentuan pidana yang diancamkan diatur

secara jelas. Hal ini sangat berpengaruh pada emosional korban mengingat

dampak yang timbul dari tindak pidana kekerasan baik itu kekerasan fisik,

kekerasan seksual, kekerasan psikis, ataupun penelantaran ekonomi akan

mengakibatkan dampak psikologis yang sangat berat dan sangat sulit untuk

pulih kembali.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, bisa jadi dibentuknya UUPKDRT

hanya sekedar pajangan mengingat pasal 1 ayat (2) KUHP menentukan :

Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka

kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan.

Boleh jadi ancaman pidana dalam UUPKDRT sangat tinggi tetapi

ancaman pidananya ditentukan dengan batas maksimal saja dan bersifat

alternatif, maka ketentuan-ketentuan tersebut bisa menjadi celah bagi pelaku

untuk menghindari ancaman pidana maksimal yang begitu tinggi pada

UUPKDRT walaupun keputusan penjatuhan pidana sepenuhnya menjadi

kewenangan hakim. Hanya beberapa ketentuan saja yang ancaman pidananya

ditentukan batasan minimal dan maksimalnya, yaitu pada Pasal 47 dan 48,

tetapi tetap bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan

ditentukannya batasan minimal dan maksimal pada ancaman pidana, sangat

jelas akan kepastian hukumnya, setidaknya ada efek jera bagi pelaku atau

96

tekanan khusus kepada masyarakat secara umum untuk tidak melakukan

perbuatan sebagaimana diatur dalam UUPKDRT.

Bertolak dari uraian di atas sehubungan dengan ditentukannya batasan

maksimal saja pada ancaman pidana, berlaku delik aduan serta kurangnya peran

aktif masyarakat, sangat jelas UUPKDRT lebih memihak pada laki-laki sebagai

pelaku. Wajar apabila banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi

dark number. Pada satu sisi, perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai

korban dengan adanya UUPKDRT ini terjamin, tetapi faktanya undang-undang

ini belum dapat melindungi korban dengan banyak berpihaknya undang-undang

kepada laki-laki sehingga sulit sekali undang-undang ini untuk menjerat pelaku

dalam artian perempuan sebagai korban benar-benar terjamin secara hukum atas

perlindungan dirinya. Hal ini akan sangat membingungkan padahal asas

legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP masih berlaku sampai detik ini. Semakin

terkatung-katung tindak pidana yang menimpa perempuan. Akan semakin

terlunta-lunta nasib perempuan sebagai korban dan terjadinya tingkat keseriusan

yang tinggi atas tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang

lumrah. Di sini perlu kiranya kita mengingat pada suatu asas hukum pidana

yaitu asas culpabilitas, adalah asas yang menentukan tentang tiada pidana tanpa

kesalahan, sebagai pasangan asas legalitas untuk mewujudkan ide

keseimbangan (ide monodualistik). Pandangan monodualistik ini dikenalkan

dengan istilah daad-daderstrafrecht yaitu hukum pidana yang memperhatikan

segi-segi objektif dari pembuatan (daad) dan juga segi-segi subjektif dan

97

orang/pembuat (dader).113 Ide ini bermaksud ingin mempertahankan dua asas

fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas

(kesalahan). Atas dasar perbuatan-perbuatan yang telah dikriminalisasi yang

kemudian diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai bentuk

asas culpabilitas, maka asas legalitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat

(1) KUHP dapat benar-benar menjamin perlindungan perempuan sebagai

korban.

Terkait dengan asas legalitas, Niken Savitri mengemukakan dalam

bukunya HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP,

bahwa teori hukum (khususnya Common Law Theory) atau positivisme hukum

cenderung patriarkhal atau didukung oleh ideologi maskulin mungkin tidak

terlihat secara eksplisit.114 Pendapatnya tersebut dikuatkan dengan beberapa

argumen berikut :

Pertama, secara empiris dapat dikatakan bahwa hukum dan teori hukum

adalah domain laki-laki. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa laki-laki

yang menulis hukum dan teori-teori hukum. Hal ini tampak dari para ahli teori

hukum yang mengemukakan teorinya, yang hampir keseluruhan dari mereka

adalah laki-laki. Dengan demikian penulisan dan hasil pemikiran para ahli pikir

hukum yang hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki itu langsung maupun

tidak langsung akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya. Atau dengan

113Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 108.

114Niken Savitri, 2008, Op.cit., h. 81.

98

kata lain, teori-teori tersebut dihasilkan melalui kerangka berpikir dan

berdasarkan sudut pandang dari laki-laki pula.

Kedua, hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum

adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat dunia hukum

melalui imaji mereka dan mempertanyakannya dengan kebenaran yang menurut

mereka absolut. Apa yang kemudian muncul dari nilai-nilai maskulin, itula yang

mendominasi dan mewarnai masyarakat dan akhirnya hukum serta apa yang

dihasilkan oleh hukum. Kemudian permasalahan muncul, yaitu yang berkaitan

dengan kelompok yang terpinggirkan dan pembuat keputusan dan teori-teori

hukum tersebut (dalam hal ini perempuan). Permasalahan juga muncul pada

nilai-nilai yang ada pada sistem dan budaya yang diterapkan oleh kelompok-

kelompok tertentu tersebut.115 Apabila suatu produk hukum yang dibuat

mengandung nilai-nilai tertentu yang secara kultural melekat pada laki-laki,

maka tidak heran hukum tersebut akan berbicara atau lebih banyak berpihak

pada laki-laki.

Ketiga, secara tradisional teori hukum adalah patriarki karena sering

berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum. Hukum itu

sendiri tidak netral dan kenyataan bahwa hukum dapat digunakan oleh orang

yang berpengalaman pertimbangan bagi pembuat hukum.116 Juga tidak menjadi

pertimbangan bahwa banyak orang dalam banyak kasus dipengaruhi pesan

115Margaret Davies, 1994, Asking the Law Question, The Law Book Company Limited, h. 167.

116Ibid.

99

tertentu dari hukum dan kultur yang ada, sehingga hanya kekuatan dari ideologi

yang besar saja yang dapat memenangkan persengketaan dan berpengaruh pada

pesan tersebut. Hal ini menjadi relevan manakala seorang perempuan

berhadapan dengan laki-laki dalam sebuah sengketa hukum, akan berpihak pada

kelompok dari mana ideologi hukum itu berasal. Hal ini juga akan nampak

manakala seorang penegak hukum (bisa laki-laki maupun perempuan)

menerjemahkan pesan hukum tersebut kepada seorang korban perempuan,

dengan memaknainya dari sudut pandang laki-laki dan bukan sudut pandang

perempuan sebagai korban.117

Lebih sederhana, adanya bias patriarki pada hukum, menurut beberapa

feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya, dan

kekuasaan. Catherine Mac Kinnon memberikan teori atas kritiknya dengan

mendasarkan pada difference and dominance :

“…difference theory maintains that law disadvantages women because it

derives from male through and experience. Dominance theory assert that

male bias in law results from men subjection of women.”118

Hal tersebut di atas berjalan pula dengan apa yang dikemukakan oleh

Dworkin yang diikuti oleh Wayne Morrison tentang adanya politik dalam

117Niken Savitri, 2006, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerja sama dengan NZ AID, Yayasan Obor.

118Catherine Mac Kinnon, 1987, Feinism Unmodified, Harverd University Press, h. 33-34.

100

proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan. Yaitu bahwa

setiap sistem hukum merupakan ekspresi dari filsafat hukum yang dominan

yang juga merupkan kesatuan dan sangat berpengaruh pada sistem hukum

tersebut.119 Lebih lanjut menurut Dworkin :

“…this philosophy is expressed in the values and traditions of the law and

is worked out daily in the practice of developing law and deciding cases –

it is not a parely academic philosophy. The political system is also made

up of legal principles and these express the dominant political values of

the system.”120

Dworkin juga mengatakan bahwa pembangunan hukum ini dipengaruhi oleh

kebijakan, namun kebijakan adalah kekuatan internal yang ada di dalam proses

legislasi. Kebijakan legislasi yang dipengaruhi oleh suatu nilai yang dominan

akan secara implisi mewarnai kebijakan tersebut. Apabila kemudian kebijakan

tersebut berhadapan dengan kelompok yang bertentangan, maka warna

kebijakan tersebutlah yang akan mendimanasi dan berpengaruh pada tata kerja

kebijakan tersebut.

Menurut Anthon Freddy, rumusan atau teks perundang-undangan

setelah memiliki makna akan kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi.

119Wayne Morrison, 1994, Elements of Jurisprudence, International Law Book Services, h. 208.120Ibid.

101

Rumusan tersebut diyakini oleh para positivist sebagai suatu yang diturunkan

dari kebenaran yang bersifat hipotesis.121 Berdasarkan pemikiran itu, para

penegak hukum akan menerapkannya pada kasus konkret berdasarkan makna

yang sudah dibakukan dalam rumusan dan teks tersebut. Digunakannya

positivisme hukum sebagai dasar landasan pengundangan dan pelaksaan suatu

peraturan, maka negara akan ‘terpaksa’ menafikan adanya kebutuhan peradilan

secara khusus yang dibutuhkan oleh kelompok tertentu. Karena positivisme

mengandaikan hukum secara liberal klasik yang menganggap kumpulan

masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak

yang sama.122 Dengan demikian, karena masyarakat dianggap homogen,

memiliki otonomi dan hak yang sama, hukum harus dapat berlaku objektif dan

netral kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut. Namun yang

terlupakan oleh adanya konsekuensi logis tersebut di atas adalah proses

perumusan hukum yang netral dan objektif tersebut dilakukan oleh sekelompok

orang yang memiliki pola pikir yang seragam, yaitu pola pikir patriarki

sehingga hukum yang akan dihasilkan akan memotret pola pikir tersebut ke

dalam realitas rumusan dan pelaksanaannya yang ternyata membuahkan

ketidakadilan bagi sekelompok lainnya yang tidak mendominasi pola pikir

pembuatan hukum. Ketika hukum harus dilaksanakan secara netral dan objektif,

121Anthon Freddy Susanto, 2000, Semiotika Hukum, dari Dekontruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, h. 182.

122Donny Danardono, 2006, Teori Hukum Feminis, Menolak Netralis Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, akarta, h. 6.

102

hasilnya adalah ketidakadilan bagi kelompok yang tidak terwakili secara

dominan dalam perumusan tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok

perempuan.

Selain diatur dalam undang-undang hukum pidana, perlindungan hukum

terhadap perempuan korban kekerasan juga diatur dalam KUHPerdata. Hak-hak

korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan dasar hukum Pasal

1365, 1370, 1371 BW. Korban yang dimungkinkan mendapat ganti kerugian

dari hakim pidana bilamana hakim menetapkannya sebagai syarat dalam suatu

putusan pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf c KUHP.123

Dalam KUHAP pun juga diatur tentang hak korban untuk mengajukan gugatan

ganti kerugian dengan memohon penggabungan perkara pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 98 sampai 101.

123Mardjono Reksodiputro, 1979, Mengapa Dperlukan Viktimologi, Makalah, Jakarta, h. 6.

103

BAB IV

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

4.1. Perbandingan Hukum

Sebelum berlakunya UUPKDRT, KUHP yang digunakan untuk

menjerat tindak pidana serupa. Sebenarnya KUHP hanya mengatur secara

umum, tidak secara lengkap. Secara keseluruhan, ketidaksempurnaan

ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini masih lebih baik dibanding UUPKDRT.

Hal ini disebabkan adanya ketidaksinkronan antara antara KUHP sebagai

hukum pidana secara umum yang mengatur sebelumnya dibandingkan dengan

UUPKDRT sebagai hukum pidana yang lebih khusus. Untuk tindak pidana

kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UUPKDRT, telah diatur dalam

KUHP Bab XX tentang Penganiayaan. Sedangkan tindak pidana kekerasan

psikis yang diatur dalam Pasal 45 UUPKDRT, KUHP tidak mengatur sama

sekali. Untuk tindak pidana berupa kekerasan seksual yang ditentukan dalam

Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UUPKDRT, telah diatur dalam KUHP Bab

XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Adapun tindak pidana

penelantaran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UUPKDRT, KUHP

104

tidak mengatur sedikit pun sebagai tindak pidana, tetapi di dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat (3), hal tersebut

telah diatur sebagai perbuatan yang melalaikan kewajiban. Beberapa ketentuan

pidana yang tidak sinkron tersebut adalah sebagai berikut :

a. Beberapa ketentuan UUPKDRT diatur sebagai delik aduan. Pasal 44 ayat (4)

jo Pasal 51 UUPKDRT bersifat delik aduan. Sedangkan Pada Pasal 352 ayat

(1) KUHP tidak dikategorikan sebagai delik aduan, bahkan apabila tindak

pidana tersebut dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau berada

di bawah perintahnya, ancaman pidananya diperberat dengan penambahan

1/3 (sepertiga) dari pidana pokok. Ketentuan lain yang diatur sebagai delik

aduan adalah Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 52 tentang kekerasan psikis yang

dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan

atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dan Pasal 46 jo Pasal 53

tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suaminya terhadap istrinya

atau sebaliknya. Padahal tindak pidana adalah tetap tindak pidana dimana

dalam suatu tindak pidana akan timbul korban sebagai pihak yang dirugikan

tinggal serumah dengan pelaku, terlebih lagi apabila melihat akibat yang

ditimbulkan dari adanya tindak pidana yang tidak hanya berdampak secara

fisik tetapi juga secara psikis.

105

b. Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) UUPKDRT adalah tindak pidana kekerasan

fisik yang diatur secara biasa. Berbeda halnya dengan Pasal 356 KUHP yang

memperlakukan lebih spesial terhadap korban yang mempunyai hubungan

keluarga dengan pelaku. Ketentuan pasal ini memperberat ancaman

pidananya dengan penambahan 1/3 (sepertiga) dari pidana pokok apabila

tindak pidana dilakukan terhadap bapak, ibu, istri atau anaknya.

c. Pemidanaan dalam UUPKDRT yang bersifat alternatif antara pidana penjara

dan/atau pidana denda menambah keberpihakan terhadap pelaku dimana

pada beberapa ketentuan pasalnya hanya menyebut pidana maksimal saja,

yaitu Pasal 44, 45, 46, dan 49. Ancaman pemidanaan yang bersifat alternatif

ini memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana

secara akumulatif atau memilih salah satu jenis pidana yang diancamkan.

Sedangkan pencantuman ancaman pidana maksimal saja memberikan

peluang bagi pelaku mendapat sanksi pidana yang rendah karena ketiadaan

batasan minimal.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, penulis mencoba melakukan kajian

perbandingan dengan RKUHP 2008 dan hukum pidana di beberapa negara lain

sebagai bentuk masukan bagaimana sebaiknya UUPKDRT di masa mendatang

yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai

korban.

106

4.1.1. Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008

Rancangan KUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 mengatur tentang

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Namun, tindak pidana

dalam ruang lingkup rumah tangga ini lebih sedikit dibanding

UUPKDRT. Dalam RKUHP, penelantaran rumah tangga tidak

dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Sedangkan tindak pidana

penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai

hubungan darah dengan mengabaikan locus delicti-nya tidak harus

serumah dengan pelaku, pengaturannya sama dengan KUHP yang

berlaku saat ini yaitu masih diancam pidana dengan pemberatan dengan

ditambah 1/3 (satu per tiga) pidana pokok.

Kekerasan dalam rumah tangga diatur menjadi satu bab dengan

penganiayaan, yaitu pada Buku Kedua Bab XXIII Tindak Pidana

Penganiayaan Bagian Ketiga. Berikut ketentuan-ketentuan yang

mengatur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga :

- Pasal 587 mengatur tentang kekerasan fisik

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan

fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak

Kategori IV.

107

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori

III dan paling banyak Kategori V.

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan

paling banyak Kategori VI.

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau

pidana denda paling banyak Kategori II.

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau

istri.

Pada ayat (1), tidak ditentukan batasan minimal hanya batasan

maksimal. Ketentuan tersebut juga hanya menyebut perbuatan yang

108

dikriminalisasi tanpa menyebut akibat yang ditimbulkan. Sedangkan

ayat (2) dan (3), terhadap perbuatan yang menimbulkan akibat jatuh

sakit/luka atau bahkan matinya korban, ancaman pidananya ditentukan

batasan minimal dan maksimal. Seperti pada umumnya, atas perbuatan

pelaku yang tidak menimbulkan akibat yang mengganggu aktivitasnya

sebagaimana diatur dalam ayat (4), ancaman pidananya lebih ringan

dan tidak mencantumkan batasan minimal serta bersifat delik aduan

sebagaimana diatur pada ayat (5). Menurut penulis, antara ayat (1) dan

ayat (4) agak membingungkan dan bisa dikatakan kabur. Yang

menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi perbedaan antara ayat (1)

dengan ketentuan pada ayat lainnya yang lebih spesifik? Hanya

ketentuan ayat (1) yang mengatur secara umum. Padahal hukum itu

harus jelas dan tegas. Apabila diartikan secara mudah, anggap saja

ketentuan ayat (1) untuk menutup peluang pelaku menghindar jeratan

pidana.

RKUHP ini tidak beda jauh dengan UUPKDRT. Untuk

ancaman pidana penjara pada RKUHP memang lebih rendah dari

UUPKDRT tetapi sebagian besar ketentuannya menggunakan batas

minimal dan batas maksimal sehingga sedikit lebih tegas ketentuan

dalam RKUHP dibandingkan UUPKDRT. Apabila korban merasa

kurang mendapatkan keadilan dengan penjatuhan pidana penjara,

kekecewaan korban masih bisa ditutupi dengan ancaman pidana denda

109

yang menggunakan batasan minimal dan maksimal dengan angka

nominal yang tinggi walaupun sifatnya alternatif. Pada ketentuan yang

dilakukan terhadap istri yang tidak menimbulkan dampak buruk yang

dapat mengganggu aktivitas korban, masih tetap delik aduan. Namun

yang membedakan UUPKDRT dan RKUHP adalah ketentuan pidana

dendanya yang diseragamkan sedemikian rupa untuk menghindari

disparitas atas putusan hakim walaupun pada beberapa ketentuan tidak

menyebut batas minimal, hanya menyebut batas maksimal saja.

Pengaturan keseragaman pidana tersebut diatur pada Pasal 80 ayat (3)

berikut ini :

Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori,

yaitu :

a. Kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);

b. Kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);

c. Kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

d. Kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lma juta rupiah);

e. Kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan

f. Kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Apabila dibandingkan dengan Pasal 582 tentang penganiayaan

terhadap badan secara umum yang berbunyi :

110

(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh)

tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III atau paling

banyak Kategori IV.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1)

mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 9 (sembilan) tahun.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun.

(4) Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling

banyak Kategori II.

Ketentuan Pasal 582 ini dimana perbuatan tindak pidananya

tidak memperhatikan locus delictinya memberikan ancaman pidana

penjara saja yang lebih ringan dengan tetap diberi batasan minimal

dan maksimal. Bahkan, percobaan atas tindak pidana ini pun diancam

pidana walaupun hanya diancam pidana denda. Pada ayat (1),

ketentuannya bersifat umum. Hanya ketentuan ayat (1) saja yang

111

ancaman pidananya diatur secara alternatif antara pidana penjara dan

pidana denda. Setidaknya, ketentuan pasal ini telah berusaha untuk

meminimalisir tindak pidana penganiayaan.

Selanjutnya Pasal 583, tentang penganiayaan ringan :

(1) Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582,

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian,

dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak

Kategori II.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi

bawahannya, maka pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

(3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling

banyak Kategori I.

Pasal ini tidak beda jauh dengan Pasal 582. Ada yang menarik

pada ketentuan ini, bahwa perbuatan yang dilakukan kepada orang

112

yang bekerja kepada pelaku tanpa dibatasi tempat, dikenakan

pemberatan pidana yaitu ditambah 1/3 (satu per tiga).

Selanjutnya, Pasal 585 tentang penganiayaan dengan pemberatan:

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582 dan

Pasal 584, dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika tindak pidana

tersebut dilakukan :

a. terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya;

b. terhadap pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

atau

c. dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau

kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 584 tentang penganiayaan berat yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena

melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun.

113

Ketentuan pasal ini mirip dengan Pasal 356 KUHP. Walaupun

RKUHP mengatur tersendiri tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga, tetapi ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana tanpa

melihat locus delictinya yang dilakukan salah satunya kepada orang-

orang yang mempunyai hubungan darah yaitu ibu, bapak, istri atau

anaknya.

- Pasal 588 mengatur kekerasan psikis

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis

dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara

paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak

Kategori IV.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau

pidana denda paling banyak Kategori II.

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

114

Ketentuan tentang kekerasan psikis ini ancaman pidananya lebih

ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam

ruang lingkup rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari

kekerasan psikis ini sama beratnya dengan kekerasan fisik karena

berkaitan dengan harga diri walaupun kekerasan psikis ini tidak

meninggalkan luka pada fisik sehingga sulit untuk dilihat dengan mata

telanjang.

- Pasal 589 mengatur kekerasan seksual

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual

terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit

Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak

dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Pasal 490 tentang perkosaan diancam pidana penjara paling

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun apabila

laki-laki bersetubuh dengan perempuan :

115

(1) a. dilakukan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak

perempuan tersebut;

b. dilakukan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan

tersebut;

c. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi

persetujuan tersebut dicapai dengan melalui ancaman untuk

dibunuh atau dilukai;

d. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut karena

perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tesebut adalah

suaminya yang sah;

e. usia perempuan di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan

persetujuannya; atau

f. dilakukan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

(2) a. Dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut

perempuan; atau

b. memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian

tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan

Ketentuan Pasal 490 tidak membatasi locus delicti. Ancaman

pidana Pasal 490 adalah pidana penjara saja yang lamanya sama

dengan Pasal 589. Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pasal 490

ancaman pidananya lebih berat dibandingkan Pasal 589. Pasal 589

116

ancaman pidananya bersifat alternatif, keputusan hakim dalam

menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan hakim.

Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat

alternatif, bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana

denda. Adanya pilihan dalam pengenaan pidana denda kepada

terpidana ini akan sangat menguntungkan pelaku, sehingga pelaku

tidak perlu menjalani pidana penjara dalam kurun waktu tertentu.

Pelaku masih bebas berkeliaran dan besar kemungkinan timbul rasa

tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.

Dikenakannya pidana tidak hanya sekedar untuk membalaskan

dendam korban, tetapi lebih dari sekedar balas dendam, yaitu rasa

aman dan perasaan nyaman yang terlindungi secara hukum. Bahkan

untuk melindungi seluruh masyarakat. Selain itu, pengenaan pidana

yang efektif akan menimbulkan dampak kehidupan yang tertib dalam

masyarakat. Berdasarkan Pasal 55, bahwa dalam pemidanaan wajib

dipertimbangkan :

a. kesalahan pembuat tindak pidana;

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. sikap batin pembuat tindak pidana;

d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

e. cara melakukan tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

117

g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak

pidana;

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Atas beberapa hal tersebut yang menjadi pertimbangan dalam

menentukan pidana yang pantas, harus pula dengan pertimbangan atas

beberapa hal yang menjadi tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan

berdasarkan Pasal 54 adalah sebagai berikut :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat

Selanjutnya, Pasal 590 mengenai orang yang telah

memanfaatkan orang lain untuk berhubungan seksual. Ketentuannya

berbunyi berikut ini:

118

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah

tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah

seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain

untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit

Kategori IV dan paling banyak Kategori V.

Perbuatan yang menimbulkan akibat terganggunya kesehatan

baik secara fisik maupun psikis, ancaman pidananya diperberat

sebagaimana diatur dalam Pasal 591 sebagai berikut :

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589

dan Pasal 590 mengakibatkan korban mendapat luka yang

tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami

gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya

selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun

tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam

kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat

reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana

denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori

VI.

119

Sebagian besar ketentuan RKUHP 2008 yang mengatur

tentang KDRT diancam pidana yang bersifat alternatif antara pidana

penjara dengan pidana denda. Untuk ketentuan pidana yang serupa

yang tidak dibatasi dengan locus delicti hanya diancam pidana penjara

saja atau pidana denda saja. Ada hal yang menarik dari konsep

RKUHP 2008 ini. Apabila korban merasa tidak puas dengan pidana

yang dikenakan terhadap pelaku, korban masih dimungkinkan untuk

mendapat ganti kerugian. RKUHP memberikan kesempatan kepada

korban mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas kerugian

yang dideritanya sebagai dampak yang ditimbulkan akibat dari tindak

pidana yang dialaminya. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 67 ayat (1)

RKUHP Tahun 2008 menyebutkan jenis-jenis pidana tambahan, antara

lain :

a. pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa :

120

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan

pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat

dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

Pada Pasal 99 disebutkan bahwa :

(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk

melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli

warisnya.

(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana

penjara pengganti untuk pidana denda.

Ketentuan ayat (2), pidana tambahan dapat diakumulasikan

dengan pidana pokok baik secara individual ataupun kolektif dengan

pidana tambahan lainnya. Walaupun demikian, hakim tetap memegang

kuasa penuh atas keputusan yang akan dijatuhkan kepada pelaku

sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 99 ayat (1). Apabila hakim

tetap menjatuhkan pidana tambahan pembayaran ganti kerugian,

sedangkan terpidana tidak mampu untuk membayarnya, kerugian yang

tidak dibayarkan kepada korban tersebut boleh diganti dengan pidana

penjara sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam

ayat (2). Rasa kecewa korban karena tidak mendapat pembayaran

121

ganti kerugian dari terpidana, setidaknya tergantikan dengan

mendekamnya pelaku di penjara.

4.1.2. Kajian perbandingan dengan negara lain

Pengaturan tentang KDRT di Negara lain tidak diatur secara

khusus dalam suatu undang-undang yang spesifik dan tidak membatasi

locus delictinya, namun yang tampak bahwa suatu pengaturan mengatur

suatu tindak pidana yang berkaitan dengan KDRT hanya karena

hubungan pelaku dengan korban. Beberapa tindak pidana yang tersebut

adalah yang berkaitan dengan kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan

penelantaran, antara lain124 :

a. KUHP Bulgaria

Pasal 115 mengatur pembunuhan biasa, diancam pidana

perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty) 10 (sepuluh) tahun

sampai 20 (dua puluh) tahun. Namun, apabila dilakukan oleh orang

tertentu dalam keadaan tertentu terhadap ayah/ibu atau anaknya

sendiri, wanita hamil, dll, ancaman pidananya diperberat menjadi 15

(lima belas) sampai 20 (dua puluh) tahun perampasan kemerdekaan

atau seumur hidup atau mati sebagaimana diatur dalam Pasal 116.

b. KUHP Perancis

124Disarikan dari Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 61-68, dan Barda Nawawi Arief, 2006, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 175-179.

122

Menurut Artikel 221-1, pembunuhan (murder) diancam pidana

30 (tiga puluh) tahun. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan

terhadap keluarga/orang tuanya sendiri atau ayah dan ibu angkatnya

(a natural or legitimate ascendant or the adoptive father or mother),

ancaman pidananya diperberat menjadi penjara seumur hidup.

Pemberatan pidana ini tidak hanya berlaku pada tindak pidana

pembunuhan, tetapi juga berlaku pada tindak pidana penganiayaan

(torture) sebagaimana diatur dalam Artikel 222-3 dan tindak pidana

kekerasan (violence) yang diatur dalam Artikel 222-8 (violence

causing intended death), Artikel 222-10 (violence causing

mutilation or permanent disability), Artikel 222-12 (violence

causing a total incapacity to work for more than eight days), dan

Artikel 222-13 (violence causing an incapacity to work of eight days

or less).

c. KUHP Korea

Pasal 250 ayat (1) mengatur tentang pembunuhan biasa

dengan ancaman pidana mati, penjara kerja paksa seumur hidup,

atau penjara tidak kurang dari 5 (lima) tahun. Sedangkan pada ayat

(2) yang lebih dikenal dengan istilah Killing an Ascendant, apabila

tindak pidana dilakukan terhadap keluarga/orang tua garis lurus ke

atas (lineal ascendant) dari pihak si pelaku atau pihak istri atau

123

suaminya, diancam dengan pidana mati atau penjara kerja paksa

seumur hidup.

Tindak Pidana terhadap lineal ascendant ini juga berlaku

terhadap beberapa tindak pidana lainnya seperti :

- Penganiayaan dan kekerasan (crimes of bodily injury and

violence) diatur pada Pasal 257:2, 258:2, 259:2, dan 260:2;

- Kejahatan menelantarkan (crimes of abandonment) yang diatur

pada Pasal 271:2, termasuk juga di dalamnya tindakan perlakuan

kejam (cruelty treatment) sebagaimana diatur dalam Pasal 273:2;

- Penahanan/pengurungan/perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum (false arrest and false imprisonment) diatur

pada Pasal 276:2 dan 277:2;

- Kejahatan intimidasi/pengamcaman (crimes of intimidation)

diatur pada Pasal 283:2.

d. KUHP Jepang

Objek tindak pidana sama dengan KUHP Korea, yaitu terhadap

orang tua garis lurus ke atas baik dari pihak suami atau pun istri. Ini

jelas menunjukkan, perwujudan dari nilai budaya “penghormatan,

penghargaan, dan perlindungan martabat orang tua/leluhur” di

Jepang dan Korea. Tindak pidana terhadap a lineal ascendant (of the

offender or his/her spouse) ini meliputi :

- Pasal 200 tentang pembunuhan;

124

- Pasal 205 ayat (2) tentang penganiayaan;

- Pasal 218 ayat (2) tentang penelantaran;

- Pasal 220 ayat (2) tentang penahanan/pengurungan melawan

hukum; dan

- Pasal 222 ayat (2) tentang pengancaman terhadap keluarganya

termasuk orang tuanya.

e. KUHP Singapore dan Malaysia

Pada Bab XVI tentang Offences Affecting The Human Body

Pasal 317, diatur tentang meninggalkan atau menelantarkan anak di

bawah 12 (dua belas) tahun (abandonment o f a child under twelve

years).

f. KUHP Polandia

- Bab 22 Offences Against Liberty Pasal 170 tentang perbuatan

tidak senonoh dengan menyalahgunakan hubungan

ketergantungan;

- Bab 23 Offences Against Decency Pasal 175 tentang hubungan

seksual dalam hubungan keluarga atau dalam hubungan adopsi.

g. KUHP Yugoslavia

Bab XVI Criminal Offences Against the Dignity of the Person

and Morals Pasal 183 diatur tentang persetubuhan yang

menyalahgunakan kedudukan dalam hubungan

125

subordinasi/ketergantungan sebagai guru, pendidik, pembimbing,

orang yang mengadopsi, ayah tiri.

h. KUHP Norwegia

Untuk delik kesusilaan, diatur dalam Bab XIX Offences

Against Public Moral yang meliputi :

- Perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak senonoh

(indecent relations) dengan ancaman pidana berkisar antara 1

(satu) sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Perbuatan tidak senonoh

yang menyalahgunakan hubungan ketergantungan,

jabatan/kedudukan atau hubungannya dengan korban diatur pada

Pasal 198-199;

- Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak

senonoh dengan membujuk atau dengan tipu muslihat

sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ditentukan sebagai berikut :

“Public prosecution shall be initiated only on request of the

victim, unlessrequiredin the public interest”. Selain atas dasar

pengaduan korban, penuntutan juga dapat dilakukan atas dasar

kepentingan umum sekalipun tanpa pengaduan. Jadi, relativitas

pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan

individu/korban, tetapi juga kepentingan umum.125

125Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 177-179.

126

- Perbuatan melakukan hubungan seksual (sexual intercourse) yang

dilakukan dengan keluarga garis lurus ke bawah/ke atas (incest)

sebagaimana diatur pada Pasal 207.

Pada umumnya Negara lain tidak mengatur secara khusus tentang

kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan tentang tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga diatur dalam KUHP dengan ancaman pidana yang sangat

berat seperti tentang pengaturan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik

sampai pada perampasan kemerdekaan (Bulgaria, Perancis, Korea, dan Jepang),

delik asusila (Polandia, Yugoslavia, dan Norwegia) dan tentang

penelantaran rumah tangga (Korea, Singapore, Dan Malaysia). Ada hal unik

yang dapat dijadikan bahan pemikiran dalam pembaharuan hokum pidana

Indonesia adalah penentuan delik aduan atas delik asusila di Norwegia tidak

bersifat delik aduan absolute tetapi lebih cenderung ditentukan sebagai delik

aduan relative demi kepentingan umum sehingga apabila suatu tindak pidana

telah mengancam keamanan dan ketertiban umum, tidak terbatas pada korban

saja, maka suatu tindak pidana tetap dapat diproses menurut hokum sebagai

bentuk tanggung jawab Negara untuk melindungi warga negaranya.

4.2. Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan

pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa

Mendatang

127

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya sebagaimana diungkap

oleh Soetoprawira Korniatmanto bahwa kebijakan hukum pidana juga

merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik

dengan pengertian penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

Sebagaimana diungkapkan oleh Sudarto bahwa apabila hukum pidana hendak

digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau

”social defence planning” yang ini pun harus merupakan bagian integral dari

rencana pembangunan nasional.126 Politik kriminil sendiri adalah pengaturan

atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat, sebagaimana pendapat Marc Ancel yang menyebutnya sebagai ”the

rational oganization of the control of crime by society”127, dimana tujuan akhir

dari kebijakan kriminil adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan

utama dengan berbagai istilah yaitu kebahagiaan warga masyarakat/penduduk

(happiness of citizens); kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a

wholesome and cultural living); kesejahteraan masyarakat (social welfare); atau

keseimbangan (equality).128

Untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam politik kriminil, menurut

Muladi dan Barda, yang perlu dilakukan adalah :129

126Sudarto I, Op.cit., h. 104.

127Marc Ancel, Op.cit., h. 209.

128Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo, 1973.

129Muladi dan Barda N. Arief, 1998, Op.cit., h. 158-159.

128

1. Pendekatan Integral antara kebijakan penal dan non penal

Selain menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), juga digunakan sarana

”non penal” dengan melakukan usaha-usaha memperbaiki kondisi sosial

tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif

terhadap kejahatan. Dikemukakan juga bahwa sarana ”non penal” ini

mempuyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang

diintensifkan dan diefektifkan sehingga kegagalan dalam usaha ini akan

sangat berakibat fatal. Maka suatu kebijakan kriminil harus dapat

mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang

non penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan

terpadu.

2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum

pidana

Dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal, perlu

dilakukan penentuan tentang :

1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2) sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

129

Hal tersebut di atas senada dengan apa yang telah dibahas dalam

Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus

tahun 1980 di Semarang sebagai berikut :130

Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-niali fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut dan tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana teori-teori hukum yang telah tersebut pada Bab I,

mengenai cost-benefit principle dan overbelasting yang dikemukakan

Sudarto sebagai masalah kriminal yang perlu diperhatikan bila

menggunakan pendekatan yang berorientasi kebijakan sosial, sejalan dengan

apa yang disebut faktor penentuan kriminalisasi dan dekriminalisasi oleh

Bassiouni. Apa yang disebut Sudarto sebagai cost-benefit principle dimana

penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil,

Bassiouni lebih memperjelasnya sebagai analisa biaya terhadap hasil-hasil

yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.

Sedangkan yang dimaksud overbelasting oleh Sudarto adalah penggunaan

hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja

badan-badan penegak hukum, Bassiouni menjabarkannya sebagai

keseimbangan sarana yang digunakan untuk hasil dicari atau ingin dicapai

130Ni Wayan Werda Surya dewi, 2009, Kebijakan Hukum Pidana terhadap Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis, Program Pasca Sarja Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 50.

130

dan penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari dalam kaitannya

dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber tenaga

manusia. Faktor terakhir Bassiouni adalah pengaruh sosial kriminalisasi dan

dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya yang

sekunder.

Menurut Bassiouni, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini

seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu ”scientific device” dan

digunakan sebagai alternatif dari pendekatan secara emosional diorientaikan

pada pertimbangan nilai (the emosionally laden value juggement approach)

yang umumnya dilakukan oleh badan legislatif. Namun sayangnya sangat

lamban dilakukan karena permasalahan pada sumber-sumber keuangan.

Proses kriminalisasi pun terus berjalan tanpa didasarkan pada penilaian-

penilaian yang teruji dan tanpa evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap

keseluruhan sistem, sehingga mengakibatkan krisis kelebihan kriminalisasi

(the crisis of overcriminalization) dan krisis pelampauan batas dari hukum

pidana (the crisis of overreach of the criminal law).131 Krisis kelebihan

kriminalisasi dan krisis pelampauan batas dari hukum pidana yang tersebut

oleh Bassiouni ini adalah dampak yang paling nyata tidak efektifnya suatu

produk hukum.

131M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 82-84.

131

Konsep perlindungan masyarakat ini pun membawa konsekuensi pada

pendekatan yang rasional seperti yang diungkapkan oleh J. Andenaes

berikut :132

If one bases the penal law on the concept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum of result must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and the effectiveness of the various forms of sanction.

Artinya, pendekatan kebijakan yang rasional ini menggunakan atau

sangat erat kaitannya dengan prinsip ekonomi, yaitu menggunakan biaya

serendah mungkin dengan harapan yang semaksimal mungkin. Yang

dimaksud prinsip ekonomi di sini adalah biaya yang ditanggung masyarakat

diupayakan seminimal mungkin dengan harapan hasil semaksimal mungkin

dalam hal efektivitas pengenaan sanksi pidana sebagaimana diungkapkan

Ted Honderich bahwa sanksi pidana yang dibuat harus efektif atau alat

pencegah yang ekonomis (economical deterrents).

Ditambahkan oleh Bassiouni, tujuan yang ingin dicapai oleh pidana

yang pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang

mengandung nilai-niai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-

kepentingn sosial tersebut adalah :

a.Pemeliharaan tertib masyarakat;

132J. Andenaes, 1974, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, h. 60.

132

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;c.Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.133

Pendapat Bassiouni di atas sangat cocok dengan kondisi bangsa dan

negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan

pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk ”manusia Indonesia

seutuhnya”134. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kejahatan selalu mengancam

kehidupan kita. Di samping merupakan masalah kemanusiaan, kejahatan

merupakan masalah sosial yang diistilahkan Marc Ancel sebagai ”a human

and social problem”135, Benedict S. Alper menganggap sebagai ”the oldest

social problem”136, bahkan Packer menganggap sebagai masalah kebijakan

(the problem of policy137).

Salah satu cara menanggulangi masalah kemasyarakatan yang tertua

ini adalah dengan menggunakan hukum pidana beserta sanksinya yang

berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai

133M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 78

134Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167.

135Marc Ancel, Op.cit., h. 99.

136Benedict S. Alper, Changing Concept of Crime Criminal Policy, UNAFEI No. 6/1973, h. 85.

137

1

H.L. Packer, Op.cit., h. 3.

133

salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang

kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan

penegakan hukum itu pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu

segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan

(hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.

Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada

hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah

penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif, begitu pendapat

Muladi dan Barda138. Dengan demikian masalah pengendalian atas

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan

hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi

juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).139

Tetapi penggunaan hukum pidana beserta sanksinya dalam

menanggulangi masalah sosial tertua ini menjadi sangat penting. Roeslan

Saleh mengemukakan tiga alasan atas perlunya pidana dan hukum pidana

sebagai berikut :140

a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan

138Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167. 139Ibid., h. 149.

140Ibid., h. 153.

134

terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Dari ketiga alasan tersebut, Roeslan Saleh tetap mempertahankan pidana

dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan sudut tujuan,

fungsi dan pengaruh dari (hukum) pidana itu sendiri. Packer juga membahas

masalah pentingnya pidana dalam bukunya “The Limit of Sanction”

sebagaiman telah disebut pada Bab I.

Sebagaimana diketahui bahwa ancaman pidana penjara pada

UUPKDRT hanya menyebutkan ancaman maksimal ditambah pidana denda

yang bersifat alternatif, kecuali pada tindak pidana kekerasan seksual. Hal

ini akan memberi peluang terjadinya putusan yang variatif atas kasus yang

serupa sehingga tampak kurangnya kepastian hukum atas ancaman pidana

suatu tindak pidana. Padahal ancaman pidana merupakan instrumen strategis

guna memberi efek penjeraan (deterrence effect)141 bagi pelaku sebagai

cermin rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Dengan ancaman pidana

141Romany Sihite, Op.cit., h. 140.

135

yang ditentukan secara maksimal, dilihat dari sisi positifnya, menurut Collin

Howard sebagai berikut :142

a. Dapat menunjukkan tingkat

keseriusan masing-masing tindak pidana;

b. Memberikan fleksibilitas dan

diskresi kepada kekuasaan pemidanaan;

c. Melindungi kepentingan si

pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari

kekuasaan pemidanaan.

Secara teoritis, ketiga hal di atas telah menunjukkan aspek

perlindungan terhadap masyarakat termasuk di dalamnya pelaku/pelanggar

dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk menentukan pidana

yang akan dijatuhkan kepada pelaku dengan batasan-batasan tertentu yang

telah ditetapkan. Tetapi di sisi lain, hal ini akan membawa konsekuensi yang

menyulitkan hakim untuk menjatuhkan banyaknya/lamanya pidana yang

pantas dikenakan kepada pelaku sebagai bentuk perlindungan dan rasa adil

bagi korban.

Terkait dengan efek penjeraan tersebut di atas, diperlukan pendekatan

humanistis dimana menurut Sudarto bahwa hubungan pengenaan pidana

142Barda Nawawi arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 131-132.

136

terhadap pelaku dan pembaharuan Hukum Pidana tetap berkisar kepada

manusia, sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai

kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.143 Dalam hal

digunakannya pendekatan humanis, pengenaan pidana kepada pelaku tetap

harus dikenakan dengan melihat sisi kemanusiaan kepada si pelaku tanpa

harus meninggalkan efek jera atau dapat membangkitkan kesadaran si

pelaku akan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Menanggapi hal

tersebut, Marc Ancel berpendapat bahwa diperlukan pertanggungjawaban

yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menekankan pada

perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba

untuk merangsang ide tanggung jawab/kewajiban sosial terhadap anggota

masyarakat lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas

sosial.144

Bertolak dari uraian di atas, penggunaan pendekatan nilai yang

humanistik ini menuntut diselipkan ide “individualisasi” sebagaimana

diungkap oleh Marc Ancel dalam kebijakan Hukum Pidana. Ide

individualisasi sendiri mempunyai beberapa karakter sebagai berikut :145

d. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perseorangan (asas personal);

143Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 102. (Selanjutnya disebut Sudarto II)

144Marc Ancel, Op.cit., h. 76, 98, 104-105, 108-109.

145Ni Wayan Merda Surya Dewi, Op.cit., h. 58-59.

137

e. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan);f. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, dapat diartikan bahwa adanya kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Terkait dengan hal di atas, selain untuk menimbulkan efek jera tanpa

harus meninggalkan rasa kemanusiaan terhadap terpidana, sangatlah penting

untuk menentukan ancaman pidana minimal selain penentuan ancaman

pidana maksimal. Dianut sistem pidana minimal khusus tersebut menurut

Barda, didasarkan pada pokok pemikiran146 :

1. Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;

2. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;

3. Dianalogikan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimal pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimal pidana pun hendaknya diperberat dalam hal tertentu.

Perkembangan hukum pidana di Indonesia menunjukkan bahwa sistem

ancaman pidana telah diterapkan dalam berbagai peraturan perundang-

undangan, dan kemungkinan juga akan dimasukkan dalam RKUHP yang

baru.

Selain itu, ada hal lain yang terlupakan atas tindak pidana yang

menimpa korban, yaitu tentang kerugian. Atas tindak pidana KDRT yang

146Barda IV, Op.cit., h. 138.

138

menimpa korban, tidak hanya menimbulkan efek secara fisik dan psikis.

Namun, pembuat UUPKDRT belum memikirkan kerugian ekonomi yang

diderita korban sebagai dampak yang ditimbulkan KDRT. Dari tindak

pidana penelantaran rumah tangga saja, UUPKDRT tidak mengatur apapun

yang dapat mengganti kerugian korban. Selain pidana penjara, hanya pidana

denda yang tersebut. Apabila dipikir secara logika, pidana denda tidak

banyak berpengaruh kepada korban. Dampak pidana denda yang dikenakan

kepada pelaku tidak dirasakan secara langsung oleh korban. Pidana denda

yang dibayarkan oleh terpidana itu akan masuk ke kas Negara. Uang yang

didapat dari pembayaran pidana denda akan masuk ke kas Negara, bukan

unuk korban. Lebih cocok ganti rugi dikenakan kepada pelaku yang

nantinya uang ganti rugi tersebut untuk korban.

Ganti rugi terhadap korban yang masih mempunyai hubungan

keluarga (anak, istri, ibu) mungkin terasa janggal karena mereka dalam hal

ini korban memang menjadi tanggung jawab pelaku untuk memenuhi

kebutuhannya. Tetapi akan sangat berarti dan sangat terasa dampaknya bagi

korban ketika korban tidak mempunyai hubungan kekeluargaan atau

menjadi korban KDRT karena termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga

apalagi tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana penelantaran

ekonomi.

Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang

yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada

139

orang lain karena kesalahannya tersebut.147 Sanksi ganti kerugian, menurut

Schafer telah dikenal pada masa hukum Primitif. Pada masa ini telah dikenal

adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang

akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau

keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak

pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam

masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization)

bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa

terjadi sehari-hari.148 Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian

merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada

pribadi korban. Serangkai dari sejarah hukum Indonesia, maka dapat

dijumpai tentang ketentuan sanksi Ganti kerugian. Baik dalam hukum Adat

yang tidak tertulis, maupun dalam ketentuan–ketentuan yang tertulis.

Ketentuan yang tertulis dapat dijumpai dalam kitab undang–undang hukum

jaman kerajaan Majapahit, yaitu Kitab Agama (ada juga yang menyebut

dengan nama kitab Adigama). Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti

Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa dan Pamidara, demikian

pula dalam pidana tambahannya dikenal sanksi berupa uang pembeli obat

yang disebut Patibajampi atau Patuku tamba. Sanksi Ganti Kerugian ini

biasanya dibebankan pada pelaku kejahatan pencurian, dalam soal tatayi dan

147Sudarto II, Op.cit., h. 133.

148Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Mandar Maju, Surabaya, h. 1.

140

dusta yang menimbulkan korban, kelalaian yang menyebabkan matinya

orang, pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, merusak milik

orang lain dan sebagainya. Sedangkan mengenai sanksi uang pembeli obat

dibebankan pada pelaku jika pihak korban menderita luka – luka.149 Sanksi

ganti kerugian dalam hukum adat merupakan suatu kewajiban yang harus

dibayar karena adanya tuntutan dari pihak yang telah dirugikan. Tujuannya

agar masalah yang ada terselesaikan dengan damai. Demikian pula sanksi

Ganti Kerugian berupa mengadakan selamatan desa yang bertujuan untuk

mengembalikan keseimbangan masyarakat. Selain Sanksi Ganti Kerugian

materiil dalam hukum Adat dikenal pula sanksi Ganti kerugian yang

immaterial, seperti paksaan menikah pada gadis yang telah dicemarkan.150

Kenyataan diatas telah menunjukkan bahwa hukum Indonesia sejak jaman

dahulu telah mengenal sanksi ganti kerugian, yang harus dibayar oleh orang

yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat

kepada korban (orang yang menderita ataupun keluarga korban). Ganti

kerugian ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun agar

keseimbangan masyarakat pulih kembali. Dalam Pasal 14 huruf c KUHP,

memberikan kewenangan kepada hakim dalam hal menjatuhkan pidana

percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak

akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa

149Slamet Muljana, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Jakarta, h. 20-33.

150Hilman Hadikusumah, 1984, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bandung, h. 24-25.

141

terhukum dalam waktu tertentu, yang lebih rendah dari masa percobaan,

harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh

tindak pidana itu.151 Dengan ditentukannya syarat-syarat dalam hal

penjatuhan pidana percobaan, menjadi tergesernya posisi hukum Adat yang

mengatur pemberian sanksi ganti kerugian oleh KUHP telah menjauhkan

kemungkinan korban–korban kejahatan di Indonesia untuk memperoleh

ganti kerugian. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian

dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak–tindak pidana

tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap

korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari

penerapan sanksi ganti kerugian sebagaimana diatur dalam KUHP, sampai

saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal

ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Misalnya, pidana

bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Padahal

sanksi ganti kerugian ini dimaksudkan untuk melindungi korban tindak

pidana.

Pada dasarnya kerugian yang diderita korban ada dua macam, yaitu

kerugian yang bersifat materiil dan kerugian yang bersifat immateriil.152

Kerugian yang bersifat materiil merupakan kerugian yang dapat dinilai

151Soedarto I, Op.cit., h.188.

152Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia,Jakarta, h. 77.

142

dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yakni perasaan takut, sakit,

sedih, kejutan psykis dan lain sebagainya.

Dalam mengganti kerugian yang menyangkut kerugian materiil dapat

langsung dituntut kepada pelaku kejahatan sedangkan upaya memulihkan

keadaan sebagai akibat dari kerugian immateriil sepantasnya negara

menyediakan dana guna membantu korban dan mengingat kerugian yang

mungkin diderita oleh korban sangat penting.153 Pemberian bantuan atau

santunan tersebut merupakan perpaduan dariberbagai usaha di bidang

kesejahteraan sosial, sistem pelayanan kemanusiaan dan peradilan pidana.

Di beberapa negara, pemberian bantuan kepada korban bukan saja

menjadi kewajiban pelaku saja tetapi dalam hal pelaku adalah orang yang

tidak mampu maka kewajiban tersebut dibebankan kepada negara karena

pada dasarnya negara berkewajiban memelihara keselamatan dan

memberikan perlindungan kepada masyarakat meningkatkan kesejahateraan

warga negaranya.

Pemberian bantuan kepada korban adalah hal wajar karena korban

adalah pihak yang paling menderita, bahkan korban menjadi sangat tidak

berdaya atas tindak pidana yang dialaminya baik fisik maupun finansial

sebagaimana dikemukakan oleh Israel Drapkin dan Emilio C. Viano :

”Although we are accustomedto say that the act affect all of society, we can not deny that the actual victim suffers much more through personal losses than society. In the face incurable, undisputed report,

153Robert Reif, 1979, The Invisible Victim, New York, Basic Book Inc., h. 7.

143

we are also forced to acknowledge that the victim is most often an individual physically or financially unable to recover from criminal”154

(Kendati pun kita biasa mengatakan bahwa tindak pidana mempengaruhi semua masyarakat, kita tidak dapat menyangkal bahwa korban secara individual jauh menderita dari pada kerugian masyarakat. Dalam kenyataan juga diakui bahwa korban secara individu baik secara fisik maupun finansial sering tidak mampu mengatasi tindak pidana.)

Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi focus perhatian

masyarakat dunia sekarang ini. Ada dua cara yang berkembang dewasa ini,

yaitu Prosedural Rights Model dan Service Model. Model yang pertama

menghendaki diikutsertakannya korban dalam proses peradilan, baik terlibat

langsung dalam sidang pengadilan ataupun dibelakang sidang diberikan ikut

mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana.

Sedangkan model yang kedua adalah melayani korban tindak pidana,

dengan menghilangkan atau mengurangi penderitaan korban. Model yang

kedua ini biasanya menggunakan ganti rugi sebagai sarana. Dari dua cara

tersebut nampaknya Service Model lebih tepat untuk dilaksanakan, karena

Prosedural Rights Model akan sangat menghambat kelancaran proses

peradilan yang dikehendaki yaitu cepat tepat adil dan biaya ringan.155

Sebaliknya dengan menerima Service Model maka harus memasukkan

sanksi ganti kerugian ke dalam hukum Pidana. Dengan demikian jika sanksi

ganti kerugian nantinya menjadi bagian hukum pidana, maka hukum pidana

154Israel Drapkin dan Emilio C. Vio, 1974, Victimology : A New Focus, Lexington Books, DC Heath and Company, Massachusetts, London, h. 141.

155www.one.indoskripsi.com .

144

Indonesia akan diterima oleh dunia internasional. Di samping itu akan

menunjukan bahwa KUHP bersifat modern, karena telah memperhatikan

perbuatan, pelaku dan korban (daad-daderstraftrecht dan victim).

Dimasukkannya jenis sanksi ganti kerugian ini sangat terkait dengan tujuan

pemidanaan. Dalam RKUHP 2008 disebutkan tujuan pemidanaan sebagai

berikut :156

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Stephen Schafer membagi lima sistem pemberian restitusi dan

kompensasi kepada korban sebagai berikut :157

a. Damages

Ganti kerugian yang bersifat keperdataan melalui proses keperdataan

dan diberikan melalui proses perdata. Dalam sistem ini diadakan

pemisahan antara tuntutan ganti kerugian dari korban dengan perkara

pidananya sehingga ganti kerugian ini bvaru dapat dituntut oleh korban

setelah pelaku dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya.

156RKUHP 2008.

157Stephen Schafer, Op.cit., h. 105-108.

145

b. Compensation, civil in character but awarded incriminal proceeding

Merupakan kompensasi yang diberikan melalui proses pidana.

Walaupun kompensasi ini bersifat perdata, kompensasi dapat

dimohonkan dalam proses pidana. Stephen Schafer mengungkapkan

bahwa ”in the German Legal System the hearing of such compensatory

claims in criminal proceeding intermed ’Adhasionprozess’”158 bahwa

kompensasi jenis ini disebut Adhasionprozess dan pemeriksaan perkara

pidana lebih mendominasi dalam proses ini.

Pemberian ganti kerugian pada kompensasi jenis ini diberikan oleh

pemerintah. Ketika korban telah puas atas ganti kerugian yang

diterimanya, pemerintah akan meminta pelaku untuk mengganti biaya

yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Proses ini secara umum mirip

seperti apa yang diatur dalam Pasal 14c KUHP, tetapi dalam hal ini

pemerintah tidak terlibat seperti Jerman.

c. Restitution, civil in character but intermingled with penal

characteristics and awarded in criminal proceedings

Adalah restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana

yang diberikan melalui proses pidana, walaupun restitusi di sini tetap

bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Secara

umum, perbendaan antara kompensasi dan restitusi adalah yang

menanggung ganti kerugian. Pada kompensasi, ganti kerugian

158Ibid., h. 106.

146

dibebankan kepada Negara. Sedangkan pada restitusi, ganti kerugian

bersifat penghukuman sehingga tetap ditanggung oleh pelaku.

Setiap korban dapat mengajukan permohonan restitusi dengan syarat :

- Kejahatan tersebut harus dilaporkan;- Pelaku kejahatan harus dapat diketahui atau diidentifikasi;- Pelaku kejahatan harus dijatuhi pidana;- Korban mempunyai cukup waktu dan uang untuk mendapatkan pengacara yang akan mengajukan klaim di pengadilan;- Pelaku kejahatan mempunyai penghasilan yang cukup atau pengahsilan tetap untuk memberikan restitusi.159

d. Compensation, civil character, awarded in criminal proceedings and

backed by the resources of state

Adalah kompensasi yang bersifat perdata diberikan melalui proses

pidanana dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Dalam

hal ini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana, walaupun diberikan

dalam proses pidana. Jadi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,

tetapi negara menanggung kewajiban ganti kerugian yang dibebankan

pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya

tindak kejahatan.160

e. Compensation, neutral in character and awarded through a special

procedure.159Israel Drapkin dan Emilio C. Viano, Op.cit., h. 143.160Barda IV, Op.cit., h. 60.

147

Kompensasi jenis ini bersifat netral dan diberikan melalui prosedur

khusus. Sistem ini berlaku di Swiss (1937), New Zealand (1963), dan

Inggris (1964).

Dalam sistem ini, pelaku tidak mampu membayar. Wewenang

untuk memeriksa bukan pengadilan perdata atau pidana, tetapi prosedur

khusus atau tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan

negara atas permintaan korban.161

Pada beberapa negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap

korban dengan diberikan hak untuk mendapatkan ganti kerugian seperti di

Jerman, Swiss, New Zealand, dan Inggris. Di Indonesia sendiri, hak korban

atas ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 14c KUHP.

Keuntungan diberlakukannya ganti kerugian adalah :

1. Pelaku

Secara fisik, pelaku tidak terlalu lama ditahan dan memperoleh

perlakuan yang lebih baik dalam tahanan. Secara mental, pelaku lebih

tenang dalam mengikuti proses peradilan.

Pidana ganti rugi adalah sanksi pidana alternatif yang lebih ringan

karena bukan pidana badan seperti yang diungkapkan Australian Law

Reform Commission tahun 1980 : …that restitution programe might

161Ibid.

148

provide suitable alternatives to imprisonment where damage was

readily calculable and suspectible to a re-payment nation.162

2. Korban

Untuk memulihkan kondisi korban.

3. Proses rehabilitasi terpidana

Hudson dan Chesney dalam penelitiannya, bahwa penjatuhan

pidana ganti rugi pada pelaku tindak pidana berdampak lebih baik bagi

terpidana dari pada yang dijatuhi sanksi lainnya.163 Jumlah residivis pada

tindak pidana lain adalah 24%, sedangkan pada terpidana yang dijatuhi

pidana ganti kerugian hanya 6%. Jadi pidana ganti kerugian mendukung

rehabilitasi terpidana.164

Walaupun demikian, penetapan ganti rugi dalam praktek mempunyai

kelemahan165 :

a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok;

b. Penetaan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kurungan;

c. Syarat khusus berupa ganti kerugian ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.

162Jocelyne a. Scutt, 1982, Victim and Restitution, The Australian Journal, h. 159.

163Iswanto, 1995, Restitusi kepada Korban Mati atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Tesis, UGM, Yogyakarta, h. 42.

164Ibid.

165Barda V, Op.cit., h. 57.

149

Mengingat Pasal 14 huruf c KUHP, setidaknya ada harapan bagi

korban untuk mendapat ganti kerugian yang dialami sebagai dampak dari

tindak pidana yang menimpanya.

Selain KUHP, KUHAP sebagai hukum formal pidana juga

memberikan peluang kepada korban atas penuntutan ganti kerugian kepada

pelaku. Tidak hanya peraturan perundangan yang bisa menempatkan korban

untuk memantau atau mengontrol jalannya proses peradilan atas dirinya,

tetapi korban juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian yang

digabungkan dengan perkara pidana bersangkutan sebagaimana diatur

dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Seorang korban dari suatu tindak pidana bisa hadir dalam proses

pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Di satu pihak

kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi

guna memberikan kesaksian dalam mengungkap tindak pidana yang sedang

dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan

maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan. Di lain pihak fungsi korban

dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas

penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan dimaksud.

Menurut Asmawi, penggabungan perkara kepada perkara pidananya

tidak akan mempersulit jalannya proses peradilan, bahkan justru merupakan

perlindungan bagi korban dari suatu tindak pidana supaya tidak lagi

150

mengajukan perkara melalui jalur perdata yang biasanya memakan waktu

cukup lama serta biaya yang tidak sedikit.166

Lebih jelasnya, berikut ketentuan yang berkaitan dengan gugatan

ganti kerugian kepada korban menurut KUHAP :

Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa :

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan

kerugian bagi orang lain, maka hakim atas permintaan orang itu dapat

menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian

dalam perkara pidana yang sedang berjalan.

Pasal 99 berbunyi :

(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara

gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang

kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang

kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian

biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak

berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat

166Hanafi Asmawi M., 1987, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 122.

151

(1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim

hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya

yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Pasal 100 menetapkan :

(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara

pidana,maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung

dalam pemeriksaan tingkat banding.

(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan

banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi

tidak diperkenankan.

Atas dasar ketetnuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa tuntutan

ganti kerugian dapat digabungkan dengan perkara pidana yang sedang

berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu dan menghindari

adanya biaya yang lebih besar dari korban itu sendiri, yang pada gilirannya

akan lebih menyengsarakan korban. Mengingat hakikat dari suatu gugatan

ganti kerugian merupakan perkara perdata, maka tetap mengacu pada

ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 101

KUHAP dengan suatu pengecualian yaitu dalam hal gugatan dimaksud

merupakan kerugian yang diderita sebagaimana tertera dalam bukti autentik

seperti kuitansi atau nota, sedangkan kerugian yang masih memerlukan

152

pembuktian yang relatif sulit dan berbelit-belit, ditentukan supaya perkara

ganti kerugian dimaksud diajukan melalui gugatan perdata yang terpisah dari

perkara pidananya guna menghindari adanya hambatan dalam penyelesaian

perkara pidana tersebut. Konsekuensi penggabungan perkara ini

menyebabkan acara pemeriksaan di muka sidang pengadilan atas

penggabungan perkara ini selalu berjalan bersamaan. Begitu pula jika

dilakukan upaya hukum banding, penggabungan perkara tetap berlangsung,

tidak berlaku atas permohonan banding terhadap ganti kerugian saja.

Pasal 1 ayat (2) juga salah satu alasan mengapa UUPKDRT tidak

berlaku secara efektif. Pada Pasal 1 ayat (2) memberi peluang pelaku untuk

diberlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi pelaku. Bunyi

selengkapnya ketentuan pasal tersebut adalah :

Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,

maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan

baginya.

Sedangkan Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan

ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih dahulu

dari pada perbuatan itu.

Apabila melihat Pasal 1 ayat (2) KUHP, maka UUPKDRT sebagai

undang-undang yang baru belum bisa dikatakan benar-benar melindungi

153

perempuan. Padahal telah dikuatkan dengan asas legalitas sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 ayat (1). Bahkan UUPKDRT seolah-olah melegitimasi

”perbuatan-perbuatan kasar” yang menimpa korban. Undang-undang ini

masih dipersepsikan secara salah terutama masalah delik aduan. Selain itu

juga, kurang tepatnya pengenaan pidana yang diancamkan. Apabila melihat

kekerasan fisik dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 356, pelaku diancam

pidana pemberatan dengan penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana

pokok yang diancamkan. Dalam UUPKDRT, sepintas kedengarannya

ancaman pidananya memang berat. Tetapi ancaman pidana UUPKDRT

menjadi lebih ringan ketika pidana itu sendiri tidak menggunakan batas

minimal, hanya menggunakan batas maksimal saja antara pidana penjara

dan pidana denda, tidak ada penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana

pokok, dan bersifat alternatif. Apalagi perbuatan yang dikriminalisasi

bersifat delik aduan walaupun berlaku hanya pada beberapa ketentuan saja.

Pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang gender sangat

kurang terutama yang berkaitan dengan UUPKDRT. Sebagaimana pendapat

Barda bahwa pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan

individu/korban, tetapi juga kepentingan umum. Jadi, apabila korban tidak

mengadukan atas suatu tindak pidana yang bersifat delik aduan tetapi tindak

pidana tersebut sangat meresahkan masyarakat, maka proses hukum atas

tindak pidana tersebut tetap berjalan walaupun tanpa pengaduan korban

demi kepentingan umum.

154

Bertolak dari uraian-uraian di atas, UUPKDRT layak untuk

dipertimbangkan atau dikaji ulang terutama pada pidana yang diancamkan

dan sifat delik aduan pada Pasal 51, 52, dan 53 yang membuat UUPKDRT

seharusnya lebih menjamin perlindungan hukum terhadap hak perempuan

sebagai korban yang lemah. Apabila pihak terkait dalam hal ini baik aparat

penegak hukum yang tercakup dalam sistem peradilan pidana maupun

pemerintah dan badan legislatif sebagai pembentuk undang-undang

melakukan pembiaran, maka dapat disebut sebagai kekerasan oleh Negara

(violence by omission) terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlanjut

mengingat minimnya langkah-langkah kongkret untuk menghentikan

lajunya tindak pidana. Bisa jadi, terjadinya pembiaran yang dilakukan oleh

Negara adalah salah satu bentuk hipotesa Hoefnagels, yaitu “Seriousness

decrease, frequency of occurrences increases”167, dimana derajat keseriusan

atas suatu kejahatan menurun jika frekuensi kejadiannya meningkat.

Impunity yakni bebasnya pelaku dari jeratan hukum tanpa adanya

punishment (pidana) menjadi hal biasa.168 Salah satu faktor terbesar tidak

efektifnya UUPKDRT ini adalah sifat delik aduan yang dianut UUPKDRT

dengan alasan tindak pidana yang diatur dalam UUPKDRT termasuk dalam

wilayah privat walaupun hanya berlaku pada beberapa ketentuan saja.

Ditambah lagi pihak perempuan sebagai korban sangat enggan untuk

167Hoefnagels, Op.cit., h.

168Romany Sihite, Op.cit., h. 147.

155

melaporkan tindak pidana yang menimpanya. Adanya ketidaksetaraan laki-

laki dan perempuan dalam masyarakat memicu munculnya kekerasan

terhadap perempuan, karena superioritas laki-laki menganggap kekerasan

adalah hal wajar. Sehingga tindak pidana ini menjadi kejahatan terselubung

(hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan

pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya.169

Faktor-fator yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto170 adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak

hukum dimana perlu diberi pemahaman yang berperspektif gender dan

untuk lebih memahami suatu undang-undang khususnya UUPKDRT, faktor

sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat,

dan faktor kebudayaan yang masih lebih dominan patriarki dimana laki-laki

lebih berkuasa atau memegang kendali atas perempuan. Kelima faktor

tersebut saling berkaitan. Untuk faktor masyarakat, efektivitas undang-

undang tergantung peran serta masyarakat. Apabila suatu undang-undang

menghendaki peran serta masyarakat lebih dalam atau mewajibkan

masyarakat untuk ikut menertibkan suatu perbuatan tindak pidana, maka

undang-undang tersebut akan efektif. Begitu sebaliknya, apabila ketentuan

dalam suatu undang-undang menyebut partisipasi masyarakat hanya sekedar

untuk meramaikan saja perannya dalam penegakan hukum, atau bahkan

169Ibid., h. 145.

170Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5 .

156

tidak diatur sama sekali peran serta masyarakat, sangat dimungkinkan

penegakan atas suatu produk hukum tidak akan berjalan efektif. Dapat

diartikan bahwa atas suatu perbuatan yang dikriminalisasi dalam suatu

undang-undang yang tidak mengatur peran serta masyarakat dapat

dianalogikan bahwa penegakan atas undang-undang tersebut bukan

tanggung jawab masyarakat, tetapi menjadi tanggung jawab aparat penegak

hukum sepihak saja. Hal ini sangat terkait dengan sifat delik aduan pada

Pasal 51, 52, dan 53 UUPKDRT. Apabila ketentuan tersebut tidak bersifat

delik aduan absolut dan peran aktif masyarakat maka besar kemungkinan

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan

akan dapat diatasi.

157

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

a. Mengenai kebijakan hukum pidana atas tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga dalam UUPKDRT pada beberapa ketentuan pasalnya yang tidak

menimbulkan akibat yang berupa penyakit atau halangan untuk menjalankan

aktivitasnya sehari-hari ditentukan sebagai delik aduan sebagaimana tersebut

pada Pasal 51 (kekerasan fisik), 52 (kekerasan psikis), dan 53 (kekerasan

seksual yang dilakukan oleh suami atau istri). Berbeda halnya dengan Pasal

352 ayat (1) (dilakukan terhadap orang yang bekerja atau berada di bawah

perintah pelaku) dan Pasal 356 angka 1 KUHP (dilakukan terhadap orang tua,

istri, atau anak) ditentukan sebagai delik biasa bahkan ancaman pidananya

diperberat dengan ditambahnya 1/3 (sepertiga) dari pidana pokok walaupun

kedua ketentuan pasal ini terbatas pada kekerasan fisik saja.

b. Sampai sejauh ini perlindungan hukum terhadap perempuan baik yang

mengatur secara langsung maupun tidak langsung kekerasan dalam rumah

tangga telah banyak dituangkan pada beberapa peraturan perundangan seperti

KUHP (Pasal 284, 285, 286, 287, 288, 297, 304, dan 356 angka 1), Undang-

158

undang No. 23 Tahun 2004 (Pasal 44, 45, 46, 47, 48, dan 49), dan Undang-

undang No. 21 Tahun 2007 (Pasal 2, 3, 4, dan 12).

Dari sekian banyak ketentuan pada berbagai peraturan perundangan yang

mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan masih belum maksimal

melindungi perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga karena

adanya ketidaksingkronan antara peraturan perundangan yang satu dengan

yang lainnya dan minimnya pemahaman gender menambah

ketidaksempurnaan ketentuan yang dibuat dalam bentuk undang-undang

sebagaimana dibutuhkan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban

kekerasan dalam rumah tangga walaupun perlindungan hukum terhadap

perempuan telah dikuatkan dengan Pasal 17 dan 49 ayat (3) Undang-undang

No. 39 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1984.

5.2. Saran

a. Perlu kajian ulang terhadap UUPKDRT yang lebih berwawasan gender

seperti kriminalisasi atas suatu perbuatan, sifat delik aduan pada beberapa

tindak pidana, pencantuman batas minimal dan maksimal serta sifat alternatif

dan/atau akumulatif.

b. Sepantasnya bila dicantumkan pidana tambahan ganti kerugian yang akan

diancamkan kepada pelaku sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap

perempuan sebagai korban yang dirugikan.

159

c. Pemahaman tentang gender pada semua lapisan yaitu lembaga legislatif,

lembaga yudikatif, dan masyarakat perlu diperdalam lagi untuk menghasilkan

peraturan perundangan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat

khususnya perempuan serta sejalan dengan dengan peraturan perundangan

lainnya.

160

DAFTAR BACAAN

I. Buku

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung.

Amrullah, M. Arief, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang.

Ancel, Marc, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Kegan Paul, London.

Andenaes, J., 1974, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press.

Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985,Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 1998, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

158

----------------------------, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

----------------------------, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------------, 2006, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

----------------------------, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta.

----------------------------,1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung.

Bassiouni, M. Cherif, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas, Publisher, Springfield, Illinois, USA.

Danardono, Donny, 2006, Teori Hukum Feminis, Menolak Netralis Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, Jakarta.

Davies, Margaret, 1994, Asking the Law Question, The Law Book Company Limited.Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif

Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta.

Djannah, Fathul, et al, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta, LKIS, 2002.

Ekotama, Suryono et.al., 2000, Abortus Provocatus bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Fakih, Mansour, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender (Perempuan dalam Wacana Perkosaan), PKBI, Yogyakarta.

Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Geis, Gilbert, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc., New York.

Gosita, Arif, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta.

Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya.

Hadjon, Philipus M., 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya.

Hagan, John, 1987, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hillbook Com., Singapore.

Hanafi Asmawi M., 1987, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 122.

Harkrisnowo, Harkristuti, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan, KKCW-PKWJ UI, Jakarta.

Hentig, Hans Von, 1946, The Criminal and His Victim Studies Indonesia The Sociobiology of Crime, New Haven Yale University, Kansas City.

Hoefnagels, G.P. 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland.

Honderich, Ted 1971, Punishment.

Irsan, Koesparmono, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, dalam Sahetapy (ed)., Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung.

Jonkers, 1987, Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Terjemahan.

Katjasungkana, Nursyahbani, 2002, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan, Galang Printika, Yogyakarta.

Kinnon, Catherine Mac, 1987, Feinism Unmodified, Harverd University Press.

Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”.

Kusumah, Mulyana W., 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Morrison, Wayne, 1994, Elements of Jurisprudence, International Law Book Services.

Muladi, 2005, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi revisi, Alumni, Bandung.

Packer, H.L., 1968, The Limit of Criminal Sanction.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Reksodiputro, Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Quinney, Richard, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown and Company, Canada.

Saraswati, Rika, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Savitri, Niken, 2006, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerja sama dengan NZ AID, Yayasan Obor.

--------------------------, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung.

Schafer, Stephen, 1968, The Victim and His Criminal, Random House, New York.

Separovic, Z.P., 1985, Victimology, Studies of Victim, Zagreb.

Sihite, Romany, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soesilo, R., 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.

Soekanto, Soerjono, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sola, Ralph de, 1998, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York.

Subhan, Zaitunah, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.

Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Susanto, Anthon Freddy, 2000, Semiotika Hukum, dari Dekontruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung.

Viano, Emilio C., (ed), 1976, Victims and society, Visage Press, Inc., Washington D.C.

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Zhao, Yuhong, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211.

II. Makalah atau Tesis

Alper, Benedict S., Changing Concept of Crime Criminal Policy, UNAFEI No. 6/1973.

Ariyani, I Gusti, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas Udayana ke 43 dan HUT FH Universitas Udayana ke 41, di Denpasar 30 Agustus 2005.

Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Bahan Kuliah Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Udayana, 2006.

Iswanto, 1995, Restitusi kepada Korban Mati atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Tesis, UGM, Yogyakarta.

Mulyati, Sri, 2007, Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang No. 23 Tahnu 2004 dalam Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 116/Pid. B/ PN. Sal/2005 dan No. 20/Pid. B/PN. Sal/2006), Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga.

Reksodiputro, B. Mardjono, 1979, Mengapa Dperlukan Viktimologi, Makalah, Jakarta.

Sudira, I Ketut, 2000, Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan dalam Peraturan Hukum Pidana Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana UNUD, Denpasar.

Sukerti, Ni Nyoman 2005, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga : Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus Di Kota Denpasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

III. Kamus atau Ensiklopedia

Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol. 4, The Free Press, A Division of Macmillan Inc.

Encyclopedia of Feminist Theories, 2004, edited by Lorraine Code, Routledge, London-New York, h. 482.

Kamus Bahasa Indonesia, 1988.

Sanford, Kandish, et.al., 1983, Encyclopedia of Criminal Justice, Collier Macmillan.

IV. Majalah dan Internet

Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.

Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, Sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.

Mulia, Siti Musdah, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan dari Makalah Seminar Sehari diselenggarakan Tim PUG Departemen Agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, 22 Juni 2004 di Jakarta, www.icrp-online.org.

Purwani, Sagung Putri M.E., Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari.

Reksodiputro, Mardjono, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1), Sumber : http://reformasikuhp.org/, Senin, 17 Desember 2007,www.jodisantoso.blogspot.com.

Rumiati Aziz, Aina, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, www.indonesia.com.

Scutt, Jocelyne A., 1982, Victim and Restitution, The Australian Journal.

World Health Orgnization, World Report on Violence on Health 93 (2002), www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/.

V. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

KItab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita .

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 19, dalam Sidang ke-11, tahun 1992.

Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo, 1973.

Putusan Pengadilan Negeri Situbondo No. 304/Pid. B/ PN. Sit/2010.

Jenis Tindak Pidana Undang-undang Pidana Penjara Pidana Denda Pidana Lain Keterangan

KEKERASAN FISIK

Kekerasan fisik Psl. 356 KUHP + 1/3 Pidana pokok + 1/3 Pidana pokok

(1)Penganiayaan(2)Mengakibatkan luka berat(3)Mengakibatkan mati(4)Penganiayaan yang merusak kesehatan(5)Percobaan tindak pidana

Psl. 351 KUHP Max 2 Thn 8 Bln Max Rp 300 Alternatif

(1) Penganiayaan dengan perencanaan

(2) Mengakibatkan luka berat(3) Mengakibatkan mati

Psl. 353 KUHP Max 4 Thn

Max 7 Thn

Max 9 Thn(1)Sengaja melukai mengakibatkan luka berat/penganiayaan berat (2)Mengakibatkan mati

Psl. 354 KUHP Max 8 Thn

Max 10 Thn

(1)Penganiayaan berat dengan rencana(2)Mengakibatkan mati

Psl. 355 KUHP Max 12 Thn

Max 15 Thn

(1) Kekerasan fisik(2) Mengakibatkan jatuh sakit/luka

berat(3) Perbuatan yang dimaksud pada

ayat (2) mengakibatkan mati

Psl. 44 UUPKDRT Max 5 ThnMax 10 Thn

Max 15 Thn

Max Rp 15 JtMax Rp 30 Jt

Max Rp 45 Jt

AlternatifAlternatif

Alternatif

(4) Perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) yang tidak menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian/kegiatan sehari-hari

Max 4 Bln Max Rp 5 Jt Alternatif

(1) Ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, untuk eksploitasi di wilayah RI

(2) Mengakibatkan korban tereksploitasi

Psl. 2 UUPTPPO Min 3 ThnMax 15 Thn

Idem

Min Rp 12 JtMax Rp 600 Jt

Idem

Kumulatif

Idem

(1) Mengakibatkan korban luka berat penyakit menular yang embahayakan jiwanya, kehamilan atau terganggunya/hilangnya fungsi reproduksi atas perbuatan yang dimaksud Psl. 2 ayat (2), (3)-(6)

(2) Mengakibatkan mati

Psl. 7 UUPTPPO + 1/3 Pidana pokok

Min 5 ThnMax Seumur hidup

+ 1/3 Pidana pokok

Min Rp 200 JtMax Rp 5 M

Kumulatif

Kumulatif

(1) Penganiayaan

(2) tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan luka berat

(3) tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang

(4) Percobaan pada ayat (1)

Psl. 582 RKUHP 2008

Min 1 ThnMax 7 ThnMin 2 ThnMax 9 Thn

Min 3 ThnMax 12 Thn

Min Kategori IIIMax Kategori IV

Max Kategori II

Alternatif

(1) penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian (penganiayaan ringan)

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya

(3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Psl. 583 RKUHP 2008

Max 1 Thn

+ 1/3

Max Kategori II

+ 1/3

Max Kategori I

Alternatif

(1) Melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat

(2) indak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang

Psl. 584 RKUHP 2008

Min 2 ThnMax 9 Thn

Min 3 ThnMax 15 Thn

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582 dan Pasal 584, dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika tindak pidana tersebut dilakukan : a. terhadap ibu, bapak, istri, suami,

atau anaknya;b. terhadap pejabat ketika atau karena

menjalankan tugasnya yang sah; atau

c. dengan memberikan bahan yang

Psl. 585 RKUHP 2008

+ 1/3 + 1/3

berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

(4) Kekerasan fisik dalam rumah tangga

(5) Perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat

(6) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban

(7) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari

(8) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Psl. 587 RKUHP 2008

Max 5 Thn

Min 2 ThnMax 9 Thn

Min 3 ThnMax 15 Thn

Max 6 Bln

Max Kategori IV

Min Kategori IIIMax Kategori V

Min Kategori IVMax Kategori VI

Max Kategori II

Alternatif

Alternatif

Alternatif

Alternatif

Delik Aduan

Pembunuhan. Psl. 115 KUHP Bulgaria

pidana perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty) 10 Thn - 20 Thn.

Apabila dilakukan oleh orang tertentu dalam keadaan tertentu terhadap ayah/ibu atau anaknya sendiri, wanita hamil, dll.

Psl. 116KUHP Bulgaria

15 Thn – 20 Thn perampasan kemerdekaan atau seumur hidup atau mati

Pembunuhan (murder)

Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap keluarga/orang tuanya sendiri atau ayah dan ibu angkatnya (a natural or legitimate ascendant or the adoptive father or mother)

Artikel 221-1 KUHP Perancis

30 Thn

Seumur hidup

Tindak pidana penganiayaan (torture)

Artikel 222-3KUHP Perancis

Pemberatan pidana

tindak pidana kekerasan (violence) sebagai violence causing intended death.

Artikel 222-8KUHP Perancis

Pemberatan pidana

violence causing mutilation or permanent disability.

Artikel 222-10KUHP Perancis

Pemberatan pidana

violence causing a total incapacity to work for more than eight days.

Artikel 222-12KUHP Perancis

Pemberatan pidana

violence causing an incapacity to work of eight days or less.

Artikel 222-13KUHP Perancis

Pemberatan pidana

(1) Pembunuhan Psl 250 KUHP Korea

Pidana mati, penjara kerja paksa

(2) Killing an Ascendant, apabila tindak pidana dilakukan terhadap keluarga/orang tua garis lurus ke atas (lineal ascendant) dari pihak si pelaku atau pihak istri atau suaminya.

seumur hidup, atau penjara tidak kurang dari 5 Thn.Pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup.

Penganiayaan dan kekerasan (crimes of bodily injury and violence)

Psl. 257:2, 258:2, 259:2, dan 260:2

KUHP Korea

lineal ascendant

Menelantarkan (crimes of abandonment)

Psl. 271:2KUHP Korea

lineal ascendant

Tindakan perlakuan kejam (cruelty treatment)

Psl. 273:2KUHP Korea

lineal ascendant

Penahanan/pengurungan/perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (false arrest and false imprisonment)

Psl. 276:2 dan 277:2

KUHP Korea

lineal ascendant

Kejahatan intimidasi/pengamcaman (crimes of intimidation)

Psl. 283:2 KUHP Korea

lineal ascendant

Pembunuhan Psl. 200 KUHP Jepang

a lineal ascendant (of the offender or

his/her spouse)Penganiayaan Psl. 205 ayat (2) a lineal ascendant

KUHP Jepang (of the offender or his/her spouse)

Penelantaran 218 ayat (2)KUHP Jepang

a lineal ascendant (of the offender or

his/her spouse)Penahanan/pengurungan melawan hukum

220 ayat (2)KUHP Jepang

a lineal ascendant (of the offender or

his/her spouse)Pengancaman terhadap keluarganya termasuk orang tuanya

222 ayat (2)KUHP Jepang

a lineal ascendant (of the offender or

his/her spouse)

KEKERASAN PSIKIS

(1) Kekerasan psikis(2) Jika tindak pidana tersebut tidak

menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian/kegiatan sehari-hari

Psl. 45 UUPKDRT Max 3 ThnMax 4 Bln

Max Rp 9 JtMax Rp 3 Jt

AlternatifAlternatif

(1) Orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga.

(2) perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

Psl. 588RKUHP 2008

Max 3 Thn

Max 6 Bln

Max Kategori IV

Max Kategori II

Alternatif

Alternatif

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Delik Aduan

KEKERASAN SEKSUAL

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan (perkosaan)

Psl. 285 KUHP Max 12 Thn

Bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan/tidak berdaya

Psl. 286 KUHP Max 9 Thn

(1) Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga, atau jika umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan pengaduan kecuali jika umur wanitabelum sampai 12 Thn atau jika ada salah satu hal tersebut Psl. 291 dan 294

Psl. 287 KUHP Max 9 Thn

(1) Bersetubuh dengan seorang wanita dalam perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu dikawin mengakibatkan luka

(2) Mengakibatkan luka berat

Psl. 288 KUHP Max 4 Thn

Max 8 Thn

(3) Mengakibatkan mati Max 12 Thn

Kekerasan seksual Psl. 46 UUPKDRT Max 12 Thn Max Rp 36 Jt Alternatif

Memaksa orang menetap dalam rumah angganya untuk melakukan hubungan seksual

Psl. 47 UUPKDRT Min 4 ThnMax 15 Thn

Min Rp 12 JtMax Rp 300 Jt

Alternatif

Mengakibatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengakibatkan gangguan pikiran/kejiwaan min 4 minggu secara terus menerus atau 1 Thn tidak berturut-turut, gugur/janin mati dalam kandungan, atau tidak berfungsinya alat reproduksi

Psl. 48 UUPKDRT Min 5 ThnMax 20 Thn

Min Rp 25 JtMax Rp 500 Jt

Alternatif

Menggunakan atau memanfaatkan korban dengan cara melakukan persetubuhan atau cabul, mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana

Psl. 12 UUPTPPO Pidana sama dengan Psl. 2-6

Kumulatif

Laki-laki bersetubuh dengan perempuan :(3) a. dilakukan di luar perkawinan,

bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

b. dilakukan di luar perkawinan,

Psl. 490 RKUHP 2008

Min 3 ThnMax 12 Thn

tanpa persetujuan perempuan tersebut;

c. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai dengan melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;

d. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tesebut adalah suaminya yang sah;

e. usia perempuan di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau

f. dilakukan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.a. Dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau

b. memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan

(3) Kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya.

(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap

Psl. 589 RKUHP 2008

Min 3 ThnMax 12 Thn

Min Kategori IVMax Kategori VI

Alternatif

Delik Aduan

istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Psl. 590 RKUHP 2008

Min 3 ThnMax 15 Thn

Min Kategori IVMax Kategori V

Alternatif

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 dan Pasal 590 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.

Psl. 591 RKUHP 2008

Min 3 ThnMax 15 Thn

Min Kategori IVMax Kategori VI

Alternatif

Perbuatan tidak senonoh dengan menyalahgunakan hubungan ketergantungan;

Psl. 170 KUHP Polandia

Hubungan seksual dalam hubungan keluarga atau dalam hubungan adopsi.

Psl. 175 KUHP Polandia

Persetubuhan yang menyalahgunakan kedudukan dalam hubungan subordinasi/ketergantungan sebagai guru, pendidik, pembimbing, orang yang mengadopsi, ayah tiri.

Psl 183 KUHP Yugoslavia

Perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak senonoh (indecent relations) dengan ancaman pidana berkisar antara Perbuatan tidak senonoh yang menyalahgunakan hubungan ketergantungan, jabatan/kedudukan atau hubungannya dengan korban diatur pada

Psl. 198-199KUHP Norwegia

1 - 10 Thn.

Hubungan seksual (sexual intercourse) yang dilakukan dengan keluarga garis lurus ke bawah/ke atas (incest)

Psl. 207 KUHP Norwegia

PENELANTARAN RUMAH TANGGA

Sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku aginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu

Psl. 304 KUHP Max 2 Thn 8 Bln Max Rp 300 Pencabutan hak tersebut dalam Psl. 35 No. 4

Alternatif

Menempatkan anak yang umurnya kurang dari 7 Thn untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri

Psl. 305 KUHP Max 5 Thn 6 Bln Idem

darinya

(1) Jika perbuatan yang diatur dalam Psl. 304 dan 305 mengakibatkan luka berat

(2) Mengakibatkan mati

Psl. 306 KUHP Max 7 Thn 6 Bln

Max 9 Thn

Idem

Jika yang melakukan perbuatan Psl 305 adalah bapak/ibu anak tersebut

Psl. 307 KUHP + 1/3 Pidana pokok Psl. 305 dan 306

KUHP

Idem

Penelantaran rumah tangga Psl. 49 UUPKDRT Max 3 Thn Max Rp 15 Jt Alternatif

Meninggalkan atau menelantarkan anak di bawah 12 Thn (abandonment o f a child under twelve years).

Pasal 317KUHP Singapore dan

Malaysia

Penelantaran Pasal 218 ayat (2) KUHP Jepang

A lineal ascendant (of the offender or

his/her spouse)