Kekerasan Pada Anak
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of Kekerasan Pada Anak
Artikel 1
http://www.gizikia.depkes.go.id/sekretariat/dampak-kekerasan-terhadap-tumbuh-
kembang-anak/
Jakarta– Direktorat Bina KesehatanAnak, Ditjen Bina Gizi dan KIA
menyelenggarakan seminar “Dampak Kekerasan Terhadap Tumbuh Kembang Anak”
dalam memperingati Hari Anak Nasional 2014 yang digelar di Aula Siwabessy
gedung Kementerian Kesehatan pada selasa 1/8/2014. Selain dihadiri peserta
dari instansi pelayanan kesehatan, guru, orang tua juga dari kepolisian.
Kasus kekerasan terhadap anak merupakan masalah sosial yang memiliki dampak
besar pada aspek kesehatan yang berpengaruh buruk terhadap proses tumbuh
kembang anak baik secara fisik maupun psikologis terutama trauma psikologis
yang berdampak pada penurunan kualitas hidup anak yang berada dalam proses
tumbuh kembang antar usia 0-18 tahun.
Pembicara dalam seminar, selain pskiatri anak dan remaja, RSCM/FKUI, Bareskrim
juga dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI
Jakarta.
Dalam masing-masing paparan nara sumber disinggug tentang menciptakan
lingkungan yang kodusif untuk mencegah kekerasan terhadap anak, kerjasama
kepolisian, masyarakat dan media dalam pelindungan perempuan dan anak, gerakan
anti kejahatan seksual serta peran P2TP2A dalam pencegahan dan penanganan
kekerasan terhadap anak.
Tujuan penyelenggaran seminar selain untuk meningkatkan peran keluarga,
pendidik, dan masyarakat dalam mencegah timbulnya kekerasan terhadap anak
juga meningkatkan peran serta masyarakat, tenaga kesehatan serta lintas sektor
terkait dalam menditeksi dan menindaklanjuti adanya kasus kekerasan terhadap
anak, dengan harapan meningkatnya kerjasama jejaring dalam penanganan kasus
kekerasan terhadap anak.
Menyinggung hal ini, Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA, dr.Anung
Sugihantoro, M.Kes ketika membuka seminar itu menyampaikan bahwa salah satu
tugas Kementerian Kesehatan adalah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi
kepada anak dan masyarakat, terkait kesehatan reproduksi, dampak kejahatan
seksual terhadap tumbuh kembang anak, pemberdayaan anak, serta upaya lainnya.
Lebih jauh Dirjen Anung sampaikan, “Harus kita sadari bersama bahwa pada
dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada
anak”.
“Namun masih kurangnya kesadaran masyarakat dan petugas kesehatan yang
melaporkan kejadian tindak kekerasan terhadap anak, masih menjadi kendala
saat ini”, ungkap dr.Anung.
Di bagian lain, Wakil Ketua Bidang Program P2TP2A, Jakarta, DR. Margaretha
Hanita, SH.MSi, dalam paparannya berharap kepada para petugas kesehatan untuk
menditeksi secara dini pasien korban kekerasan terhadap anak dan berikan
pelayanan pasien yang menjadi korban dengan lebih responsif dan empati
Katanya lagi, “Laporkan kekerasan terhadap anak kepada polisi, kekerasan
terhadap anak bukan delik aduan tetapi delik murni.!” ujar DR.Margaret
bersemangat.
Artikel 2
http://www.sorasirulo.com/2014/06/28/kekerasan-pada-anak-dan-dampaknya/
Akhir-akhir ini banyak sekali kita saksikan dan dengarkan kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang/ sekelompok orang terhadap orang lain. Kekerasan yang
dilakukan bisa memiliki banyak alasan dan motivasi, tetapi perilaku kekerasan
yang dilakukan memiliki dasar pengalaman kekerasan pada masa sebelumnya. Salah
satunya adalah pengalaman mengalami perlakuan kekerasan pada masa kecil.
Kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan
secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran,
eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya yang mengakibatkan cidera/
kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup
anak, tumbuh-kembangnya anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks
hubungan tanggungjawab.
□ Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata
ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak
adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam
hubungan posisi tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan.
□ Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana
ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan
orang dewasa atau dengan anak lain.
Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi pelaku. Kekerasan
seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada
anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak
untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan
seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest) dan
sodomi.
□ Kekerasan emosional adalah suatu perbuatan terhadap anak yang
mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Beberapa contoh
kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak meremehkan anak,
mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi,
mengejek, atau menertawakan, atau perlakukan lain yang kasar atau penolakan.
□ Penelantaran anak adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu
yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya seperti kesehatan, pendidikan,
perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, dan keadaan
hidup yang aman yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh.
Penelantaran anak dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial.
Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh
layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi, perawatan medis, mental,
gigi, dan pada keadaan lainnya yang bila tidak dilakukan akan dapat
mengakibatkan penyakitnya atau gangguan tumbuh kembang. Kelalaian di bidang
bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang,
tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau
kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.
Kelalaian di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah atau menolak
sekembalinya anak dari kabur dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian
dalam bidang emosional melipti kurangnya perhatian atas kebutuhan kasih
sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan
terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan
narkoba oleh anak.
Dampak Kekerasan Terhadap Anak
Korban atau kasus anak yang mengalami kekerasan dapat berdampak jangka pendek
ataupun jangka panjang.
Jangka pendek. Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah
fisik antara lain: lembam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan
organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat. Di
samping itu seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku
seperti pendiam, menangis, dan menyendiri.
Jangka panjang. Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan
fisik, seksual, maupun emosional.
1. Kekerasan fisik. Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh
anggota tubuh
2. Kekerasan seksual. Kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi
menular seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan /kerusakan organ
reproduksi.
3. Kekerasan emosional. Tidak percaya diri, hiperaktif, sukar
bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi, psikosomatik,
gangguan pengendalian diri, suka mengompol, kepribadian ganda,
gangguan tidur, psikosis, dan penggunaan napza.
Penanganan Kekerasan Pada Anak
Pertama : Pencegahan. Aktivitas pencegahan ini dapat dilakukan secara bersama
dalam bentuk sosialisasi hak-hak anak dan sejumlah peraturan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat dan keluarga.
Kedua : Deteksi Dini. bagi anak-anak yang rentan terhadap terjadinya kekerasan
serta dalam lingkungan keluarga dan masyarakat perlu dilakukan langkah cepat
(quick response) untuk mengevakuasi sementara anak ke tempat yang aman, serta
memberikan peringatan dini kepada lingkungan keluarga yang rentan melakukan
kekerasan. Artinnya, bagi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan sedini
mungkin bisa dihindari.
Ketiga : Intervensi Krisis. Bagi anak-anak yang telah mengalami kekerasan,
langkah yang perlu dilakukan melalui pendekatan Intervensi Krisis. Aktivitas
ini dilakukan dengan metoda mendampingi korban dan keluarga korban untuk
melakukan upaya hukum, dan melakukan terapy terhadap trauma yang diakibatkan
oleh tindak kekerasan.
Menghindari Kekerasan Pada Anak
Ada beberapa upaya yang patut dilakukan agar kita dapat terhindar dari
kekerasan terhadap anak diantaranya adalah : Hargai anak dan bersikap adil :
Ciptakanlah suasana hangat dan penuh kasih sayang di lingkungan anak. Berilah
penghargaan bila anak melakukan perbuatan terpuji dan beritahu kesalahannya
bila melakukan tindakan tidak baik. Dengan demikian anak belajar menghargai
orang lain, terutama orangtuanya.
□ Dengarkan keluhan anak. Bila anak berperilaku buruk, seperti melawan,
suka memukul atau berbohong, maka pahamilah lebih dahulu perasaaanya dan
dengarkanlah penolakan dan keluhannya.
□ Ungkapkan dengan jelas ketidaksetujuan anda ketika anak berperilaku
tidak baik.
□ Hindari ungkapan yang memojokan dan menyalahkan anak. Hindari kata-
kata menghardik seperti “Ayo, cepat mandi, mama tidak suka punya anak bau dan
pemalas!”
□ Gunakanlah kata-kata mengajak, “Yuk mandi sayang, supaya wangi dan
bersih. Setelah itu, kita jalan-jalan”.
□ Peringatan lebih awal. Ketika anda ingin anak anda melakukan sesuatu,
cobalah ingatkan lebih awal dan berikan pilihan serta penjelasan. Misalnya,
“Nak, sepuluh menit lagi waktunya tidur ya, supaya besok pagi kamu tidak
terlambat bangun dan tidak mengantuk ketika sekolah” .
□ Menghindar ketika marah (time out). Ketika anda marah karena perilaku
anak, maka menghindarlah seketika dari anak-anak kemudian tenangkanlah diri
anda, setelah itu dialogkan dengan anak, mengapa anda marah.
□ Berupaya lebih akrab. Binalah hubungan yang lebih hangat dan akrab
dengan anak, sehingga anak menjadi lebih terbuka pada orang tua.
□ Jadilah contoh bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai moral dan
sosial yang berlaku. Dunia anak adalah dunia yang penuh kegembiraan dan
keceriaan, karena itu kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi
anak-anak.
Artikel 3
https://nsholihat.wordpress.com/tag/dampak-psikologis-memukul-anak/
Di 29 negara, kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang dewasa adalah
sebuah perbuatan melanggar hukum. Di 113 negara, sekolah juga dilarang
memberikan hukuman dengan memukul. Dikutip dari Natural Growth, Dr. Peter
Newell, koordinator organisasi End of Punishment of Children mengatakan, semua orang
berhak mendapat perlindungan atas kebebasan fisik mereka, anak-anak termasuk
orang yang berhak itu. Kedua kondisi diatas menunjukkan bahwa melakukan
kekerasan pada anak, adalah sebuah masalah yang sangat penting sehingga perlu
diatur dengan undang-undang, bahkan dibuat lembaga khusus untuk menangani dan
mengurusi mereka yang dibentuk oleh negara. Secara psikologis dan jangka
panjang, beberapa alasan mengapa kita tidak dibolehkan melakukan kekerasan
pada anak adalah sebagai berikut:
1. Memukul anak malah mengajarkan mereka untuk menjadi orang yang suka
memukul. Cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang sering
dipukul memiliki perilaku agresif dan menyimpang saat mereka remaja dan
dewasa. Anak-anak secara alami belajar bagaimana harus bersikap melalui
pengamatan dan meniru orangtua mereka. Makanya jika Anda suka memukul, saat
dewasa nanti, mereka pun akan menganggap apa yang Anda lakukan itu memang
boleh dilakukan. Dan tanpa sadar, mereka juga akan melakukan cara yang sama
untuk anak-anaknya. Maka melakukan kekerasan pada anak, akan menjadi semacam
siklus seumur hidup yang jika tidak diputus, akan berulang terus pada beberapa
generasi.
2. Hukuman kekerasan fisik malah membuat anak tidak belajar bagaimana
seharusnya menyelesaikan konflik dengan cara yang efektif dan lebih manusiawi.
Anak yang dihukum jadi memendam perasaan marah dan dendam. Anak yang dipukul
orangtuanya pun jadi tidak bisa belajar bagaimana menghadapi situasi yang
serupa di masa depan.
3. Hukuman untuk anak dengan kekerasan bisa mengganggu ikatan antara orangtua
dan anak. Ikatan yang kuat seharusnya didasari atas cinta dan saling
menghargai. Pukulan anda, akan membuat anak merasa tidak dihargai. Padahal
harga diri yang positif, adalah aset bagi anak untuk bisa tumbuh dan
berkembang dengan sehat secara psikis. Mungkin saat Anda memukul anak, dan si
anak kemudian menuruti perkataan Anda, tetapi apa yang dilakukannya itu hanya
karena dia takut. Sikap itu pun tidak akan bertahan lama karena pada akhirnya
anak akan memberontak lagi.
4. Pada anak yang mudah marah dan frustasi, kebiasaannya itu tidaklah
terbentuk dari dalam dirinya. Kemarahan tersebut sudah terakumulasi sejak
lama, sejak orangtuanya mulai memberinya hukuman dengan kekerasan. Mungkin
pada awalnya hukuman itu memang sukses membuat anak bersikap baik. Namun, saat
si anak beranjak remaja dan menjadi dewasa, hukuman itu malah menjadi semacam
bahaya laten, yang jika ada masalah yang menjadi triggernya, tingkah laku kita
saat menghukumnya malah menjadi bumerang buat kita sendiri.
5. Hukuman fisik bisa membuat anak menangkap pesan yang salah yaitu ‘tindakan
itu dibenarkan’. Mereka merasa memukul orang lain yang lebih kecil dari mereka
dan kurang memiliki kekuatan, adalah diperbolehkan. Saat dewasa, anak ini akan
tumbuh menjadi orang yang kurang memiliki kasih sayang pada orang lain,
empatinya menjadi kurang berkembang dan selalu merasa takut pada orang yang
lebih kuat dari mereka.
6. Berkaca dari orangtuanya yang suka memukul, anak belajar kalau memukul
merupakan cara yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan perasaan dan
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, sungguh memukul anak bukanlah cara
Artikel 4
http://geraldinyesi.blogspot.com/2012/06/karya-ilmiah-tentang-kekerasan-
terhadap.html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta
elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus
mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data pelanggaran hak anak yangdikumpulkan
Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga perlindungan anak yang
ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada
tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus
dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas Anak juga
melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi
korban kekerasan seksual dari orang terdekat merekaseperti orang tua
kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut,
ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan
anak, anak yang terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba,
anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh
layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas
gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak adalah hal
yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima
hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau
melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami olehanak maka akan
menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan
kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak
akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga
menurunkan prestasi anak disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman -
temannya menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang
seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru
kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul
rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami mimpi
buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.
1.2 Rumusan Masalah
Kekerasan yang dilakukan banyak orang terhadap anak dan perempuan,
mempunyai dampak yang kurang baik. adapun seperti beberapa pertanyaan di bawah
ini, antara lain:
1.2.1 Apakah kekerasan terhadap anak itu ?
1.2.2 Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang sering melakukan
tindakan kekerasan tersebut ?
1.2.3 Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat
menyiksa ?
1.2.4 Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap
Anak ?
1.2.5 Bagaimana upaya pemerintah untuk menyikap kekerasan tersebut ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.
1.3.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan
tindakan kekerasan.
1.3.3 Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.
1.3.4 Mencari solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
1.3.5 Mencari tahu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua
bahwa sebenarnya kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena
anak-anak juga mendapat perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini
juga anak-anak harus menjaga sikap sehingga emosi orangtua tidak terpancing
untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran
dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.
·
Bagi penulis
Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
· Bagi lembaga/ tempat.
Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam menyelesaikan karya ini dengan
topic yang sama.
· Bagi masyarakat atau pembaca.
Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.
1.5 Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu:
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan penulisan
1.4 Manfaat penulisan
1.5 Sistematika penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Uraian materi
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal
yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan
anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab
dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan
hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung
melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih
mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau
tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini
dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol
dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga
perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan
merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan,
pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi
ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk
menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006).
Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan
kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran,
yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez (2006)
kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan
fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan
perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/
jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak
tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya
dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
2.2 Sebab terjadinya kekerasan pada anak
Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat
sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan
jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya
namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi.
Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan
meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau emosional. Namun,
tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu
terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya.
Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat
dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu sebagai berikut :
2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian
berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar
generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan
menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai
model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah
anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak.
Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman
akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang
yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.
2.2.2 Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak
kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
2.2.3 Isolasi sosial
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak
cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan
bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang
berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini
menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak
kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan
dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima
sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman
yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak
mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada
diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak
kekerasan pada anak.
2.2.4. Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak
kekerasan pada anak. Sebagai contoh :
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak
daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan
orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga
lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak
kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih
tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi
pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa
pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang
dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada
anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua
membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.
2.3 Dampak kekerasan pada anak
Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah
frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai
kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan
ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.
Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan
tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan
menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam
Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi
korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak
(child abuse) , antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang
tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku
kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang
agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.
Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental
ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih
kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama
akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara
fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan
kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol
dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991),
kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak
meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri,
kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari
lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah
diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa
atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa
masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh
buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami
hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,
Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku
akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang
akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian
dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan
baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu
berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak
mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
2.4 Solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
· Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui
bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap
perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita
hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan
pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah
perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
· Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan
anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-
monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan,
tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah
monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu
yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan
seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang
orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home,
perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya
anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat
penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-
anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil
keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan
Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada
suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga
yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di
Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di
didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau
mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
· Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya
komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah
stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian
mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga.
Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang
Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban
kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat
tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka.
Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu
mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon,
piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara.
Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas
edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu
mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga
saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang
tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang
sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka
harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-
akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain
· Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu
melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan
diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu,
mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat
dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya
kekerasan terhadap anak
· Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-
nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan
terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
seperti contoh kasus di atas.
· Orang tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak
yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya
ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan
terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
2.5 Upaya yang dilakukan pemeritahan
Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan
anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap
bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam
rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang
lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984,
Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang
No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga
setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak
Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No.
23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat
melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan
dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di
televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU
tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini
paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang
memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan
secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian
membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat
artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan
seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat
yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini
dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah
korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang
yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik
maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3. PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-
masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan
agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan,
penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam
pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.
3.2 Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai
kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan
penelantaran anak, terutama sekali dari kunjungan pasien ke tempat prakteknya.
Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan penelantaran
anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan biasa.
Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.
Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan
kemudian bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak
hukum dalam penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.
Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik
tidak berupah dengan kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta : Penerbit Nuansa,Emmy
Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan
Terhadap Anak.
Mafrukhi dkk. (2006). Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit
Erlangga.
Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload
September 2007.http://www.setneg.go.id
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak