Kekerasan Pada Anak

28
Artikel 1 http://www.gizikia.depkes.go.id/sekretariat/dampak-kekerasan-terhadap-tumbuh- kembang-anak/ Jakarta– Direktorat Bina KesehatanAnak, Ditjen Bina Gizi dan KIA menyelenggarakan seminar “Dampak Kekerasan Terhadap Tumbuh Kembang Anak” dalam memperingati Hari Anak Nasional 2014 yang digelar di Aula Siwabessy gedung Kementerian Kesehatan pada selasa 1/8/2014. Selain dihadiri peserta dari instansi pelayanan kesehatan, guru, orang tua juga dari kepolisian. Kasus kekerasan terhadap anak merupakan masalah sosial yang memiliki dampak besar pada aspek kesehatan yang berpengaruh buruk terhadap proses tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun psikologis terutama trauma psikologis yang berdampak pada penurunan kualitas hidup anak yang berada dalam proses tumbuh kembang antar usia 0-18 tahun. Pembicara dalam seminar, selain pskiatri anak dan remaja, RSCM/FKUI, Bareskrim juga dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta. Dalam masing-masing paparan nara sumber disinggug tentang menciptakan lingkungan yang kodusif untuk mencegah kekerasan terhadap anak, kerjasama kepolisian, masyarakat dan media dalam pelindungan perempuan dan anak, gerakan anti kejahatan seksual serta peran P2TP2A dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Tujuan penyelenggaran seminar selain untuk meningkatkan peran keluarga, pendidik, dan masyarakat dalam mencegah timbulnya kekerasan terhadap anak juga meningkatkan peran serta masyarakat, tenaga kesehatan serta lintas sektor terkait dalam menditeksi dan menindaklanjuti adanya kasus kekerasan terhadap anak, dengan harapan meningkatnya kerjasama jejaring dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak.

Transcript of Kekerasan Pada Anak

Artikel 1

http://www.gizikia.depkes.go.id/sekretariat/dampak-kekerasan-terhadap-tumbuh-

kembang-anak/

Jakarta–  Direktorat Bina KesehatanAnak, Ditjen Bina Gizi dan KIA

menyelenggarakan  seminar “Dampak Kekerasan Terhadap Tumbuh Kembang Anak”

dalam memperingati Hari Anak Nasional 2014 yang digelar di Aula Siwabessy

gedung Kementerian Kesehatan pada selasa 1/8/2014. Selain dihadiri peserta

dari instansi pelayanan kesehatan, guru, orang tua juga dari kepolisian.

Kasus kekerasan terhadap anak merupakan masalah sosial yang memiliki dampak

besar pada aspek kesehatan yang berpengaruh buruk terhadap proses tumbuh

kembang anak baik secara fisik maupun psikologis terutama trauma psikologis

yang berdampak pada penurunan kualitas hidup anak yang berada dalam proses

tumbuh kembang antar usia 0-18 tahun.

Pembicara dalam seminar, selain pskiatri anak dan remaja, RSCM/FKUI, Bareskrim

juga dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI

Jakarta.

Dalam masing-masing paparan nara sumber disinggug tentang menciptakan

lingkungan yang kodusif untuk mencegah kekerasan terhadap anak, kerjasama

kepolisian, masyarakat dan media dalam pelindungan perempuan dan anak, gerakan

anti kejahatan seksual serta peran P2TP2A dalam pencegahan dan penanganan

kekerasan terhadap anak.

Tujuan penyelenggaran seminar selain untuk meningkatkan peran keluarga,

pendidik,  dan masyarakat dalam mencegah timbulnya kekerasan terhadap anak

juga meningkatkan peran serta masyarakat, tenaga kesehatan serta lintas sektor

terkait dalam menditeksi dan menindaklanjuti adanya kasus kekerasan terhadap

anak, dengan harapan meningkatnya kerjasama jejaring dalam penanganan kasus

kekerasan terhadap anak.

 Menyinggung hal ini, Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA, dr.Anung

Sugihantoro, M.Kes ketika membuka seminar itu menyampaikan bahwa salah satu

tugas Kementerian Kesehatan adalah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi

kepada anak dan masyarakat, terkait kesehatan reproduksi, dampak kejahatan

seksual terhadap tumbuh kembang anak, pemberdayaan anak, serta upaya lainnya.

Lebih jauh Dirjen Anung sampaikan, “Harus kita sadari bersama bahwa pada

dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada

anak”.

“Namun masih kurangnya kesadaran masyarakat dan petugas kesehatan yang

melaporkan  kejadian tindak kekerasan terhadap anak, masih menjadi kendala

saat ini”, ungkap dr.Anung.

Di bagian lain, Wakil Ketua Bidang Program P2TP2A, Jakarta, DR. Margaretha

Hanita, SH.MSi, dalam paparannya berharap kepada para petugas kesehatan untuk

menditeksi secara dini pasien korban kekerasan terhadap anak dan berikan

pelayanan pasien yang menjadi korban dengan lebih responsif dan empati

Katanya lagi, “Laporkan kekerasan terhadap anak kepada polisi, kekerasan

terhadap anak bukan delik aduan tetapi delik murni.!” ujar DR.Margaret

bersemangat.

Artikel 2

http://www.sorasirulo.com/2014/06/28/kekerasan-pada-anak-dan-dampaknya/

Akhir-akhir ini banyak sekali kita saksikan dan dengarkan kekerasan yang

dilakukan oleh seseorang/ sekelompok orang terhadap orang lain. Kekerasan yang

dilakukan bisa memiliki banyak alasan dan motivasi, tetapi perilaku kekerasan

yang dilakukan memiliki dasar pengalaman kekerasan pada masa sebelumnya. Salah

satunya adalah pengalaman mengalami perlakuan kekerasan pada masa kecil.

Kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan

secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran,

eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya yang mengakibatkan cidera/

kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup

anak, tumbuh-kembangnya anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks

hubungan tanggungjawab.

□       Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata

ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak

adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam

hubungan posisi tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan.

□       Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana

ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan.

Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan

orang dewasa atau dengan anak lain.

Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi pelaku. Kekerasan

seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,

pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada

anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak

untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan

seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest) dan

sodomi.

□       Kekerasan emosional adalah suatu perbuatan terhadap anak yang

mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau

perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Beberapa contoh

kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak meremehkan anak,

mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi,

mengejek, atau menertawakan, atau perlakukan lain yang kasar atau penolakan.

□       Penelantaran anak adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu

yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya seperti kesehatan, pendidikan,

perkembangan emosional, nutrisi, rumah  atau tempat bernaung, dan keadaan

hidup yang aman yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh.

Penelantaran anak dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan

perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial.

Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh

layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi, perawatan medis, mental,

gigi, dan pada keadaan lainnya yang bila tidak dilakukan akan dapat

mengakibatkan penyakitnya atau gangguan tumbuh kembang. Kelalaian di bidang

bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang,

tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau

kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.

Kelalaian di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah atau menolak

sekembalinya anak dari kabur dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian

dalam bidang emosional melipti kurangnya perhatian atas kebutuhan kasih

sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan

terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan

narkoba oleh anak.

Dampak Kekerasan Terhadap Anak

Korban atau kasus anak yang mengalami kekerasan dapat berdampak jangka pendek

ataupun jangka panjang.

Jangka pendek. Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah

fisik antara lain: lembam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan

organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat. Di

samping itu seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku

seperti pendiam, menangis, dan menyendiri.  

Jangka panjang. Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan

fisik, seksual, maupun emosional.

1. Kekerasan fisik. Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh

anggota tubuh

2. Kekerasan seksual. Kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi

menular seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan /kerusakan organ

reproduksi.  

3. Kekerasan emosional. Tidak percaya diri, hiperaktif, sukar

bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi, psikosomatik,

gangguan pengendalian diri, suka mengompol, kepribadian ganda,

gangguan tidur, psikosis, dan penggunaan napza.

Penanganan Kekerasan Pada Anak

Pertama :  Pencegahan. Aktivitas pencegahan ini dapat dilakukan secara bersama

dalam bentuk sosialisasi hak-hak anak dan sejumlah peraturan ditengah-tengah

kehidupan masyarakat dan keluarga.

Kedua : Deteksi Dini. bagi anak-anak yang rentan terhadap terjadinya kekerasan

serta dalam lingkungan keluarga dan masyarakat perlu dilakukan langkah cepat

(quick response) untuk mengevakuasi sementara anak ke tempat yang aman, serta

memberikan peringatan dini kepada lingkungan keluarga yang rentan melakukan

kekerasan. Artinnya, bagi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan sedini

mungkin bisa dihindari.

Ketiga :  Intervensi Krisis. Bagi anak-anak yang telah mengalami kekerasan,

langkah yang perlu dilakukan melalui pendekatan Intervensi Krisis. Aktivitas

ini dilakukan dengan metoda mendampingi korban dan keluarga korban untuk

melakukan upaya hukum, dan melakukan terapy terhadap trauma yang diakibatkan

oleh tindak kekerasan.

Menghindari Kekerasan Pada Anak

Ada beberapa upaya yang patut dilakukan agar kita dapat terhindar dari

kekerasan terhadap anak diantaranya adalah :  Hargai anak dan bersikap adil :

Ciptakanlah suasana hangat dan penuh kasih sayang di lingkungan anak. Berilah

penghargaan bila anak melakukan perbuatan terpuji dan beritahu kesalahannya

bila melakukan tindakan tidak baik. Dengan demikian anak belajar menghargai

orang lain, terutama orangtuanya.

□       Dengarkan keluhan anak. Bila anak berperilaku buruk, seperti melawan,

suka memukul atau berbohong, maka pahamilah lebih dahulu perasaaanya dan

dengarkanlah penolakan dan keluhannya.

□       Ungkapkan dengan jelas ketidaksetujuan anda ketika anak berperilaku

tidak baik.

□       Hindari ungkapan yang memojokan dan menyalahkan anak. Hindari kata-

kata menghardik seperti “Ayo, cepat mandi, mama tidak suka punya anak bau dan

pemalas!”

□       Gunakanlah kata-kata mengajak, “Yuk mandi sayang, supaya wangi dan

bersih. Setelah itu, kita jalan-jalan”.

□       Peringatan lebih awal. Ketika anda ingin anak anda melakukan sesuatu,

cobalah ingatkan  lebih awal dan berikan pilihan serta penjelasan. Misalnya,

“Nak, sepuluh menit lagi waktunya tidur ya, supaya besok pagi kamu tidak

terlambat bangun  dan tidak mengantuk ketika sekolah” .

□       Menghindar ketika marah (time out). Ketika anda marah karena perilaku

anak, maka menghindarlah seketika dari anak-anak kemudian tenangkanlah diri

anda, setelah itu dialogkan dengan anak, mengapa anda marah.

□       Berupaya lebih akrab. Binalah hubungan yang lebih hangat dan akrab

dengan anak, sehingga anak  menjadi lebih terbuka pada orang tua.

□       Jadilah contoh bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai moral  dan

sosial yang berlaku. Dunia anak adalah dunia yang penuh kegembiraan dan

keceriaan, karena itu kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi 

anak-anak.

Artikel 3

https://nsholihat.wordpress.com/tag/dampak-psikologis-memukul-anak/

Di 29 negara, kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang dewasa adalah

sebuah perbuatan melanggar hukum. Di 113 negara, sekolah juga dilarang

memberikan hukuman dengan memukul. Dikutip dari Natural Growth, Dr. Peter

Newell, koordinator organisasi End of Punishment of Children mengatakan, semua orang

berhak mendapat perlindungan atas kebebasan fisik mereka, anak-anak termasuk

orang yang berhak itu. Kedua kondisi diatas menunjukkan bahwa melakukan

kekerasan pada anak, adalah sebuah masalah yang sangat penting sehingga perlu

diatur dengan undang-undang, bahkan dibuat lembaga khusus untuk menangani dan

mengurusi mereka yang dibentuk oleh negara. Secara psikologis dan jangka

panjang, beberapa alasan mengapa kita tidak dibolehkan melakukan kekerasan

pada anak adalah sebagai berikut:

1. Memukul anak malah mengajarkan mereka untuk menjadi orang yang suka

memukul. Cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang sering

dipukul memiliki perilaku agresif dan menyimpang saat mereka remaja dan

dewasa. Anak-anak secara alami belajar bagaimana harus bersikap melalui

pengamatan dan meniru orangtua mereka. Makanya jika Anda suka memukul, saat

dewasa nanti, mereka pun akan menganggap apa yang Anda lakukan itu memang

boleh dilakukan. Dan tanpa sadar, mereka juga akan melakukan cara yang sama

untuk anak-anaknya. Maka melakukan kekerasan pada anak, akan menjadi semacam

siklus seumur hidup yang jika tidak diputus, akan berulang terus pada beberapa

generasi.

2. Hukuman kekerasan fisik malah membuat anak tidak belajar bagaimana

seharusnya menyelesaikan konflik dengan cara yang efektif dan lebih manusiawi.

Anak yang dihukum jadi memendam perasaan marah dan dendam. Anak yang dipukul

orangtuanya pun jadi tidak bisa belajar bagaimana menghadapi situasi yang

serupa di masa depan.

3. Hukuman untuk anak dengan kekerasan bisa mengganggu ikatan antara orangtua

dan anak. Ikatan yang kuat seharusnya didasari atas cinta dan saling

menghargai. Pukulan anda, akan membuat anak merasa tidak dihargai. Padahal

harga diri yang positif, adalah aset bagi anak untuk bisa tumbuh dan

berkembang dengan sehat secara psikis. Mungkin saat Anda memukul anak, dan si

anak kemudian menuruti perkataan Anda, tetapi apa yang dilakukannya itu hanya

karena dia takut. Sikap itu pun tidak akan bertahan lama karena pada akhirnya

anak akan memberontak lagi.

4. Pada anak yang mudah marah dan frustasi, kebiasaannya itu tidaklah

terbentuk dari dalam dirinya. Kemarahan tersebut sudah terakumulasi sejak

lama, sejak orangtuanya mulai memberinya hukuman dengan kekerasan. Mungkin

pada awalnya hukuman itu memang sukses membuat anak bersikap baik. Namun, saat

si anak beranjak remaja dan menjadi dewasa, hukuman itu malah menjadi semacam

bahaya laten, yang jika ada masalah yang menjadi triggernya, tingkah laku kita

saat menghukumnya malah menjadi bumerang buat kita sendiri.

5. Hukuman fisik bisa membuat anak menangkap pesan yang salah yaitu ‘tindakan

itu dibenarkan’. Mereka merasa memukul orang lain yang lebih kecil dari mereka

dan kurang memiliki kekuatan, adalah diperbolehkan. Saat dewasa, anak ini akan

tumbuh menjadi orang yang kurang memiliki kasih sayang pada orang lain,

empatinya menjadi kurang berkembang dan selalu merasa takut pada orang yang

lebih kuat dari mereka.

6. Berkaca dari orangtuanya yang suka memukul, anak belajar kalau memukul

merupakan cara yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan perasaan dan

menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, sungguh memukul anak bukanlah cara

yang tepat untuk mendidik mereka atau membuat mereka jadi orang yang lebih

baik.

Artikel 4

http://geraldinyesi.blogspot.com/2012/06/karya-ilmiah-tentang-kekerasan-

terhadap.html

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta

elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus

mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data pelanggaran hak anak yangdikumpulkan

Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga perlindungan anak yang

ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada

tahun 2006  jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus

dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625  kasus. Disamping itu Komnas Anak  juga

melaporkan bahwa selama  periode  Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi

korban kekerasan seksual dari orang terdekat merekaseperti orang tua

kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut,

ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak,  kasus perdagangan

anak, anak yang terpapar asap  rokok,  anak yang menjadi korban peredaran narkoba,

anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh

layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas 

gambaran muram tentang  pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan  anak adalah  hal

yang  paling sering  menjadi penyebab  kemarahan orang tua, sehingga anak menerima

hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau

melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami olehanak  maka akan

menimbulkan  luka yang  mendalam  pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan

kebencian  pada orang tuanya dan trauma  pada  anak.  Akibat lain dari kekerasan anak

akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga

menurunkan prestasi anak disekolah  atau  hubungan sosial dan pergaulan dengan teman -

temannya  menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang

seharusnya  terbangun sejak  kecil.  Apa yang dialaminya akan membuat anak  meniru

kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul

rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami mimpi

buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.

 

1.2  Rumusan Masalah

Kekerasan yang dilakukan banyak orang terhadap anak dan perempuan,

mempunyai dampak yang kurang baik. adapun seperti beberapa pertanyaan di bawah

ini, antara lain:

1.2.1        Apakah kekerasan terhadap anak itu ?

1.2.2        Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang sering melakukan

tindakan kekerasan tersebut ?

1.2.3        Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat

menyiksa ?

1.2.4        Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap

Anak ?

1.2.5        Bagaimana upaya pemerintah untuk menyikap kekerasan tersebut ?

1.3  Tujuan Penulisan

1.3.1        Mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.

1.3.2        Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan

tindakan kekerasan.

1.3.3        Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.

1.3.4        Mencari solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.

1.3.5    Mencari tahu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.

1.4  Manfaat Penulisan

Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua

bahwa sebenarnya kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena

anak-anak juga mendapat perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini

juga anak-anak harus menjaga sikap sehingga emosi orangtua tidak terpancing

untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran

dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.

·        

Bagi penulis

Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.

·   Bagi lembaga/ tempat.

Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam menyelesaikan karya ini dengan

topic yang sama.

·   Bagi masyarakat atau pembaca.

Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.

1.5 Sistematika penulisan    

Adapun sistematika  penulisan makalah ini yaitu:

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1     Latar belakang masalah

1.2     Rumusan masalah

1.3     Tujuan penulisan

1.4     Manfaat penulisan

1.5     Sistematika penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN

     2.1 Uraian materi

BAB 3 PENUTUP

  3.1 Kesimpulan

  3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

                                           

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak

           Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal

yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan

anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab

dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan

hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat

pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga

dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung

melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih

mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau

tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini

dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol

dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga

perlu dikontrol dan dihukum.

 Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan

merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan,

pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan

penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi

kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi

ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk

menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006).

Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan

kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran,

yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez (2006)

kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan

fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan

perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/

jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap

anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak

tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya

dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

2.2 Sebab terjadinya kekerasan pada anak

Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat

sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan

jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya

namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi.

Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan

meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau emosional. Namun,

tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu

terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya.

Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat

dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu sebagai berikut :

2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi

Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian

berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar

generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan

menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai

model ketika mereka menjadi orang tua kelak.

Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah

anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak.

Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman

akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang

yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.

2.2.2 Ketegangan Sosial

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak

kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :

• Pengangguran.

• Sakit-penyakit.

• Kemiskinan dalam rumah tangga.

• Ukuran keluarga yang besar.

• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.

• Kematian anggota keluarga.

• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

2.2.3 Isolasi sosial

Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak

cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan

bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang

berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini

menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak

kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan

dalam keluarga.

Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima

sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman

yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak

mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada

diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak

kekerasan pada anak.

2.2.4. Struktur Keluarga

Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak

kekerasan pada anak. Sebagai contoh :

• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak

daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan

orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga

lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak

kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih

tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.

• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi

pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa

pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang

dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada

anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua

membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.

2.3 Dampak kekerasan pada anak

 Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan

dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah

frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai

kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan

ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.

Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan

tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan

menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam

Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi

korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak

(child abuse) , antara lain;

1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang

tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku

kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang

agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.

Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental

ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih

kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama

akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara

fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.

2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering

dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru

perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan

kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol

dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991),

kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak

meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.

 Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang

termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri,

kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari

lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara

korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah

diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa

atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa

masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam

prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh

buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi

mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak

beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah

kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami

hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, 

Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua

menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku

akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang

akan datang.

Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian

dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan

baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu

berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak

mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

2.4 Solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.

·         Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup

Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui

bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap

perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita

hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan

pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah

perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.

·         Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis

Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan

anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-

monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan,

tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah

monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu

yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan

seringkali melukainya.

Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang

orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home,

perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya

anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat

penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-

anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil

keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan

Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point

Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada

suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga

yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di

Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di

didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau

mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).

·         Membangun Komunikasi Yang Efektif

Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya

komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah

stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian

mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga.

Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang

Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban

kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat

tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka.

Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu

mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon,

piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara.

Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas

edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu

mendampingi anak-anaknya.

Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga

saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang

tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang

sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka

harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.

Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-

akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain

·         Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi

Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu

melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan

diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu,

mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat

dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya

kekerasan terhadap anak

·         Orang tua yang terlalu menuntut

Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-

nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan

terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak

seperti contoh kasus di atas.

·         Orang tua yang terlalu keras.

Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak

yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya

ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan

terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).

2.5 Upaya yang dilakukan pemeritahan

Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan

anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap

bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam

rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang

lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984,

Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang

No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti

Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga

setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak

Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.

                   

           

 Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No.

23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,

tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat

melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan

dalam membangun keutuhan rumah tangga.

Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di

televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU

tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini

paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang

memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak

masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan

secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian

membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat

artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan

seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga

Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat

yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini

dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah

korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang

yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik

maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.

Macam-macam kekerasan terhadap anak:

1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).

2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).

3. PelecehanSeksual(SexualAbuse).

4. Pengabaian (Child Neglect).

Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:

1. Lingkaran kekerasan

2. Stres dan kurangnya dukungan

3. Pecandu alkohol atau narkoba

4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga

5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-

masa krisis.

6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.

Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:

1) Kerusakan fisik atau luka fisik;

2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan 

agresif

3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan,

penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;

4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam

pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.

3.2 Saran

Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai

kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan

penelantaran anak, terutama sekali dari kunjungan pasien ke tempat prakteknya.

Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan penelantaran

anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan biasa.

Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.

 Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan

kemudian bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak

hukum dalam penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.

            Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik

tidak berupah dengan kekerasan fisik atau mental.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak  Jakarta : Penerbit Nuansa,Emmy

Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan

Terhadap Anak.

Mafrukhi dkk. (2006). Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit

Erlangga.

Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload

September 2007.http://www.setneg.go.id

UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak