TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUANDALAM
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DIAH SEPTITA H.
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2010
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUANDALAM
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Tesis untuk Memperoleh Gelar MagisterPada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DIAH SEPTITA H.NIM : 0590561041
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2010
ii
Lembar Pengesahan
Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 13 April 2010
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. I Made Widnyana, SH Purwati, SH,MHNIP. 130346027 NIP. 130515141
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaMagister Ilmu Hukum Universitas Udayana,Program PascasarjanaUniversitas Udayana,
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 195604191983031003 NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 13 April 2010
Panitia Penguji TesisBerdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 0584/H14.4/HK/2010
Ketua : Prof. I Made Widnyana, SH
Sekretaris : Purwati, SH,MH
Anggota : 1. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH,MH
2. Wayan Tangun Susila, SH,MH
3. Gede Made Swardhana, SH,MH
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah
SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini pula penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S
(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana
Universitas Udayana
3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU, atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program
Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
4. Prof. I Made Widnyana, SH selaku Pembimbing I, dan Ibu Purwati,
SH, MH selaku Pembimbing II, yang demikian sabar dan penuh perhatian telah
v
memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta semua kebaikannya kepada
penulis termasuk transfer ilmu yang penulis tidak terima di bangku kuliah.
5. Penguji tesis, yaitu Dr. I Gst. Ketut Ariawan, SH, MH, Wayan Tangun
Susila, SH, MH, dan Gede Made Swardhana, SH, MH yang telah memberikan
saran dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.
6. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, ilmunya yang tersampaikan dalam
bentuk lisan maupun tulisan telah menginspirasi dan penyemangat dalam tesis ini.
7. Seluruh tenaga pengajar Program Magister Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana khususnya pada jurusan
Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.
8. Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
9. Seluruh karyawan/karyawati Perpustakaan Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
10. Almarhumah Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta yang telah
menghidupi penulis sejak dalam janin dan telah membimbing penulis sampai
terbentuk karakter seperti sekarang ini, serta kakak sulungku Ir. Prasetyo Hadi
“Mas Didik” sekeluarga yang terhormat, yang selalu perhatian dengan segala
kebaikannya mendukung penulis baik spiritual maupun material. Terima kasih
juga diucapkan kepada kakakku Dodit Hariyanto, SE, MBA “Mas Yanto”
sekeluarga yang telah menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam
vi
tesis. Baik budi dan jasa kalian tidak bisa dibalas dengan apapun. Subhanallah,
Allah Maha Kuasa!
11. Lekna dan Umi sekelurga yang selalu melapangkan hati, teman-teman,
serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang selalu membantu
tanpa pamrih.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pihak yang terkait
terutama tentang perlindungan perempuan yang mendapat perlakuan semena-mena.
Denpasar, 13 April 2010
Penulis
vii
ABSTRAK
Perlindungan terhadap perempuan terutama dalam kasus KDRT masih belum sepenuhnya menjamin walaupun tak kurang peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan. Apalagi sejak diberlakukannya UUPKDRT, perlindungan terhadap perempuan lebih spesifik terutama terhadap korban KDRT.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Bahan hukum yang diteliti meliputi bahan primer yang terdiri dari KUHP, UU Ratifikasi CEDAW, UU HAM, UUPKDRT, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UUPTPPO, dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, dan internet.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya telah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik tentang KDRT adalah UUPKDRT. Namun dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan perempuan belum cukup akomodatif atas kebutuhan perempuan sebagai korban. Adanya bias gender yang mempengaruhi pola pikir masyarakat termasuk lembaga legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang serta adanya ketidaksingkronan atau bahkan mendukung ke arah legalisasi secara tidak langsung atas suatu tindak pidana.
Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khususnya korban KDRT ini bukan sekedar dalam taraf implementasi penegakan hukumnya, tetapi terakomodasinya kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban KDRT ke dalam bentuk undang-undang yang benar-benar menjamin perlindungan hukum atas dirinya dan masyarakat pada umumnya. Di sini lah dibutuhkan peran kebijakan legislatif dalam kebijakan kriminal untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan akan perlindungan hukum khususnya dalam kasus KDRT
Kata Kunci : Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KDRT, Kebijakan Kriminal
viii
ABSTRACT
Protection for women especially on domestic violence cases is yet to completely ensuring, although there is not less than considerable amount of laws protecting women available. Especially ever since Domestic Violence Elimination Code has been applied, protection of women is even more specific, notably towards domestic violence victims.
This research is a normative one. Legal material studied including primary sources, including Criminal Law Code, CEDAW Code Ratification, Human Rights Code, Domestic Violence Elimination Code, Commissions of Truth and Reconciliation Code, Witness and Victim Protection Code, Human Trafficking Prevention Code, as well as secondary source from legal text books, legal journals, papers or legal practitioner’s point of view published on mass media, dictionary and encyclopedia, and internet.
The result from this research shows that protection on female domestic violence victims were actually has been applied in the form of various legislations. One of the legislation specifically regulate domestic violence is the Domestic Violence Elimination Code. However, from various legislation that regulates women protection is not thoroughly accommodative for women as a victim. Existing gender bias influence community mindset and legislative institutions as legislatures, and asynchronous condition, even towards indirect legalization of a crime.
Legal protection effort of women, especially domestic violence victim, is not only in the level of implementation of law enforcing, but on the fulfill of public needs especially women as domestic violence victim into a form of legislation that really ensure legal protection of themselves and the general public. At this very point legislative policy is needed to accommodate women’s needs of legal protection especially on domestic violence cases.
Keywords: Legal Protection on Women inDomestic Violence, Criminal Policy
ix
RINGKASAN
Penelitian ini disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat
dkemukakan sebagai berikut :
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang
melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian.
Bab II adalah bab yang menguraikan tentang definisi kekerasan dan korban,
serta batasan yang digunakan dari definisi kekerasan dan korban sebagai batasan
penelitian.
Bab III berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan
terhadap perempuan khususnya korban KDRT. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan adalah KUHP,
UU HAM, UUPKDRT, UUPTPPO, UU perkawinan dan UU Ratifikasi CEDAW
sebagai dasar hukum perlindungan perempuan dalam ruang lingkup internasional.
Selain itu, KUHPerdata juga menjamin perempuan untuk menggugat ganti kerugian
atas kerugian yang dialaminya.
Bab IV merupakan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada
Bab I. Bab ini berisi tentang perlindungan perempuan dalam KDRT dalam perspektif
perbandingan hukum baik dengan RKUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 maupun
dengan hukum pidana negara lain. Selain itu juga dibahas tentang politik kriminal
x
yang sebaiknya dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan khususnya
korban KDRT dan masyarakat pada umumnya.
Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan dibuat berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Sedangkan saran adalah beberapa hal yang dapat penulis rekomendasikan dalam
penelitian ini ke arah yang lebih baik untuk perlindungan hukum terhadap perempuan
khususnnya korban KDRT dan masyarakat pada umumnya.`
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERSYRATAN GELAR .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
LEMBAR PENETAPAN PENGUJI ......................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................................. ix
RINGKASAN ............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................18
1.3. Ruang Lingkup Masalah .........................................................................18
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................18
1.4.1. Tujuan umum ............................................................................ 19
1.4.2. Tujuan khusus ........................................................................... 19
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 19
1.5.1. Manfaat teoritis ......................................................................... 19
xii
1.5.2. Manfaat praktis ......................................................................... 20
1.2. Landasan Teoritis................................................................................... 20
1.2.1. Perlindungan Hukum ................................................................ 20
1.2.2. Kebijakan Hukum Pidana ........................................................ 26
1.3. Metode Penelitian ................................................................................. 38
1.3.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 38
1.3.2. Jenis Pendekatan ....................................................................... 39
1.3.3. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 39
1.3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 41
1.3.5. Teknik Analisis ......................................................................... 41
BAB II TINJAUAN UMUM .................................................................................... 43
2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga ......................................................... 43
2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum .......................................... 43
2.1.2. Pengertian kekerasan menurut peraturan perundang-undangan 53
2.2. Korban .................................................................................................. 59
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT ........ 71
3.1.Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP ...................... 73
3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP .................. 78
BAB IV POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA..................................................................... 104
4.1.Perbandingan Hukum ............................................................................ 104
xiii
4.1.1. Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008 .............................. 107
4.1.2. Kajian perbandingan dengan negara lain ................................... 121
4.2.Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan
pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa
Mendatang ............................................................................................ 127
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 158
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 158
5.2. Saran .................................................................................................... 160
DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara
kuantitatif cenderung meningkat dengan modus operandi yang beragam dengan
dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-laki.
Keprihatinan terhadap korban kekerasan ini semakin mengemuka karena
banyaknya kasus kejahatan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan
dampak terhadap korban pada saat kejadian hingga pasca viktimisasi cukup
mengenaskan dan membawa traumatik berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat
menimpa siapa pun dan di mana pun. Namun, bila ditelusuri secara seksama
dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada
perempuan yang dikarenakan mereka adalah ”perempuan” cenderung
meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan
kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual yang mayoritas
ditujukan pada perempuan. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan
yang berbasis gender atau gender violence. Konsep ini sejatinya mengacu pada
posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless
1
dan powerful, dengan kata lain, terdapat ketimpangan kekuasaan antara
perempuan dan laki-laki.1
Kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut baik di sektor domestik
maupun publik. Tidak menutup kemungkinan adanya dark number walaupun
pemerintah telah menjamin hak perempuan dalam berbagai produk hukum.
Begitu juga dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) tidak menjamin serta merta
dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial
budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik,
merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat
peradilan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan
hubungan antar individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, serta
dikukuhkan oleh persoalan ketergantungan ekonomi, dan masa depan, serta
status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup
rapat kasus domestiknya.
Dengan sistem budaya patriarki, laki-laki akan merasa bahwa dirinya
memiliki kekuasaan dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan.
Mahar yang tinggi dan tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi keluarganya
serta adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, membuat kaum `adam`
merasa memiliki kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan
1Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 226.
2
memperlakukan apa saja terhadap perempuan.2 Apalagi di beberapa daerah,
masih ada adat yang mengkultuskan garis laki-laki secara tegas sehingga garis
keturunan keluarga, warisan dan sebagainya jatuh ke tangan laki-laki. Adat
kebiasaan seperti itu memang sulit untuk dihilangkan karena sudah diakui dan
diterapkan secara turun temurun. Sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga hanya dinilai sebagai masalah internal sehingga
para tetangga maupun sanak famili tidak sepantasnya ikut campur.3 Seorang
perempuan berstatus istri saja diperlakukan seperti itu, apalagi hanya seorang
pembantu rumah tangga yang level derajatnya jauh lebih rendah dapat
dipastikan akan mendapat perlakuan yang lebih buruk.
Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi
batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke
tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah tidak layak
diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan
terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada
peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan
hukumnya.4 Ditambah lagi, sifat undang-undang ini adalah delik aduan (klacht
2Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.
3Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, www.sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.
4
4
Romany Sihite, Op.cit., h. 145.
3
delict). Tujuan sifat delik aduan ini adalah untuk melindungi ”privacy”, agar
tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”.5
Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang
seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami
kekerasan bersedia melaporkan kasusnya.6 Mereka lebih banyak mendiamkan
permasalahannya untuk menutupi aib keluarganya. Korban kekerasan dalam
rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dimana posisinya yang
tersubordinat enggan untuk melakukan pengaduan. Bagi mereka, membutuhkan
keberanian yang sangat besar untuk memutuskan pengaduan atas kelakuan
suami mereka. Korban akan berpikir seribu kali untuk melaporkan tindak
pidana yang dialaminya. Keadaan tertekan dan ketergantungan hidup biasanya
yang menjadi alasan terbesar.
Berikut contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga :
1. Ag bin S melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Ny. S, yang menyebabkan pendarahan pada hidung, luka memar di dada, dan pernah pingsan. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat oleh dr. Basuki pada RS Panti Rapih Yogyakarta tanggal 12 November 1990 Nomo 373/WS/MR/VIS/UM/11/90 atas nama Ny. S menyimpulkan bahwa penderita mengalami gejala gegar otak akibat kekerasan benda tumpul. Menurut terdakwa, ia melakukan penganiayaan hanya merupakan pelampiasan saja dari perbuatan istri terhadap terdakwa yang main serong dengan laki-laki lain dan pagi itu ia meminta uang kepada korban tidak
5Mardjono Reksodiputro, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1), Sumber : http://reformasikuhp.org/, Senin, 17 Desember 2007,www.jodisantoso.blogspot.com.
6Siti Musdah Mulia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan dari Makalah Seminar Sehari diselenggarakan Tim PUG Departemen Agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, 22 Juni 2004 di Jakarta, www.icrp-online.org.
4
diberi, malahan korban ngomel. Padahal kenyataannya terdakwa sendiri yang melakukan penyelewengan dan menghendaki kawin lagi. Dan terdakwa saat ini sedang menjalani pidana penjara pada kasus penganiayaan terhadap WILnya. Atas perbuatan terdakwa tersebut Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan karena terdakwa Ag bin S telah terbukti secara sah dan keyakinan bersalah melakukan tindak pidana ”penganiayaan yang dilakukan terhadap istrinya” (melanggar Pasal 351 ayat (1) jo. 356 ke-1 KUHP) sebagaimana hasil putusan pengadilan No. 14/Pid/B/1991/PN.YK.7
2. Yup bin Sup melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Tik binti Wak, yang telah dinikahinya enam bulan yang lalu. Selama perkawinannya tersebut, mereka sering cekcok karena terdakwa sudah punya wanita lain. Berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 356 ke-1 KUHP, Yup bin Sup telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan penganiayaan terhadap istri sahnya, maka dalam putusannya 84/1/B/2002/PN Smg, hakim memutuskan pidana penjara selama tiga bulan.8
3. Merasa laporannya tidak menemui titik terang setelah melapor ke Polres Bengkayang, korban KDRT, Er, warga asal Kampung Kaum Kabupaten Bengkayang, mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PeKa) Kota Singkawang.
Er mengatakan, yang memukulnya adalah Jn, yang tidak lain sebagai mantan suaminya. Er menduga, tidak adanya perkembangan kasus tersebut lantaran pelaku yang memukulnya dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Er meminta kasusnya diusut tuntas. Dan berharap pelaku dapat ditindak tegas. Wanita berusia 27 tahun melaporkan suaminya Jn Bin Bjg ke Polres Bengkayang, 12 Desember 2008.
Direktur LBH PeKa, Rosita Ningsi sebagai lembaga yang mendampingi mengatakan, kasus KDRT yang diterima Er ini divisum di Dokter Bengkayang Jalan Sanggau Ledo nomor 32 Bengkayang.
“Hasil kesimpulan dokter, bahwa pada korban terdapat pembengkakan dan memar di pipi kiri dan kepala sebelah kiri akibat benturan benda tumpul,” kata Rosita mendampingi Er.
Kemudian, kata Rosita, pengacara korban pada 15 Desember 2008 meminta pihak Polres Bengkayang untuk memeriksakan kejiwaan tersangka Jn bin Bjg ke Rumah Sakit Jiwa Bodok Singkawang (RS Jiwa Provinsi Kalbar).
7Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelsaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 152.
8Ibid.
5
Kata Rosita, kemudian Kapolres Bengkayang saat itu mengirimkan surat ke RS Jiwa Provinsi Kalbar di Singkawang meminta agar kejiwaan tersangka diperiksa. Lalu, lanjut Rosita, pada tanggal 12 Januari 2009 keluarlah surat keterangan dari Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar yang menyatakan tersangka mengalami gangguan kejiwaan. “Dengan keluarnya surat keterangan itu, pemeriksaan dan proses hukum terhadap tersangka tidak bisa dilanjutkan pihak kepolisian karena tersangka telah lama mengalami gangguan kejiwaan dan mental (tidak sehat rohani) yang cukup berat,” jelas Rosita. Hingga, tersangka pun tidak diproses.
Menurut Rosita, Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar, dr. Suliana merasa tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani surat itu. Rosita menjelaskan, dr Suliana bukan dokter kejiwaan, melainkan dokter umum. “Dokter Suliana juga pernah mendatangi saya. Dia tidak pernah mengeluarkan surat keterangan itu.,” terang Rosita.
Rosita menerangkan, dr. Suliana kemudian melapor ke Polres Singkawang, karena merasa tidak pernah menandatangani surat tersebut. Namun, sampai sekarang ini belum jelas, sampai di mana proses tindak lanjut terhadap laporan itu.9
4. Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada hari Senin (22/02/2010) di pengadilan negeri (PN) Situbondo tampaknya marak dengan rekayasa antara hakim dan keluarga terdakwa, Adi (30). Dalam kasus terssebut sebelumnya, Adi yang juga anak dari kepala kantor kecamatan (Camat) Arjasa itu didakwa telah menganiaya sang istri, Rista (29) yang juga seorang bidan di desa Seliwung. Selain menganiaya istri, Adi juga telah didakwa membunuh janin di dalam rahim bidan Rista.
Dalam sidang perdananya kemarin, Senin (22/02/2010), para majelis hakim di sidang yang digelar di pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jawa Timur (Jatim) tersebut seolah telah merekayasa kasus dengan keluarga terdakwa. Sebab Ketua majelis hakim menyatakan bahwa Adi dinyatakan telah menjadi tahanan kota. Ada apa dengan para hakim di PN Situbondo. Sedangkan sang keluarga terdakwa, terutama sang ayah yang juga Camat Arjasa menjamin jabatannya selaku Camat serta juga menjamin jabatan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) “Abdur Rahim”, dr Tony sebagai pimpinan Adi yang hingga kini masih tenaga sukwan di RSUD itu.10
9http://borneotribune.com/singkawang/kasus-kdrt-tak-kunjung-selesai-warga-bengkayang- Melapor-ke-lbh-peka.html
6
Akhirnya kasus KDRT tersebut, Adi diputus bersalah dengan dijatuhi pidana penjara 6 bulan. Atas putusan tersebut, Adi sedang melakukan upaya banding.Hingga saat ini belum ada berita kejelasannya.
5. Seorang terdakwa dosen perguruan tinggi negeri di Jakarta Dr AMA dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (1/7) kemarin terancam hukuman pidana 4 tahun penjara. Tuduhannya yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Pri-nuka Arrom adalah AMA telah menganiaya isteri nikah sirinya Tiur Mauli Siregar (41) hingga mengalami luka memar.
Korban, mengaku pernah diancam terdakwa dengan todongan senjata api ke mulutnya. Bahkan saat hamil 5 bulan korban ditin-dih hingga kandungannya keguguran. Kehamilan dan keguguran tersebut ada keterangannya dari rekam medis RS MMC Jakarta, 2 Januari 2005. Akhirnya Tiur terpaksa kabur dari rumah selanjutnya mengadu ke Polres Jakarta Timur dengan Surat Pengaduan No. 344/K/III/2010/RES.JT.
Di depan sidang PN Jakarta Timur, Kamis (1/7) dengan majelis hakim diketuai Jesayas Tarigan dengan anggota S Donatus, Wahyu Prasetyo, terdakwa dituduh melanggar pasal pidana penganiayaan sesuai pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan ancaman 6 bulan penjara. Rencananya sidang dilanjutkan Kamis (8/7) dengan menghadirkan saksi dari a de charge yang meringankan terdakwa Sehari sebelumnya (30/6) Tiur selaku korban KDRT sudah melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan di Jalan Latu-harhari, Jakarta Pusat.11
Kelima contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga di atas
menunjukkan implementasi yang berbeda atas perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban dengan penerapan hukum yang berbeda dimana pada
kasus pertama dan kedua masih menggunakan Pasal 351 (penganiayaan) dan
Pasal 356 ke 1 KUHP sebagai dasar hukum perlindungan terhadap korban pada
10http://politik.kompasiana.com/2010/02/23/kasus-kdrt-anak-camat-arjasa-diduga-disetting-hakim/
11 http://bataviase.co.id/node/278492
7
kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perlindungan terhadap terhadap
perempuan lebih tampak nyata dengan diprosesnya kasus tersebut secara hukum
hingga dijatuhkannya sanksi pidana kepada pelaku dibandingkan dengan
penerapan UUPKDRT pada kasus ketiga, keempat, dan kelima yang pada saat
itu telah diberlakukan tetapi implementasi perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban masih jauh dari harapan walaupun perlindungan
hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga
menjadi salah satu pokok tujuan dibuatnya UUPKDRT. Pada kasus ketiga dan
keempat, nampak sekali keberpihakan kepada laki-laki yang mempunyai
kekuasaan lebih besar dibanding perempuan yang ditempatkan pada posisi
powerless. Untuk mendapatkan keadilan, butuh perjuangan yang sangat berat
bagi perempuan. Di samping itu juga kuaslitas sumber daya manusia pada
posisi aparat penegak hukum masih rendah. Sedangkan pada kasus terakhir,
pelaku dijerat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 351 KUHP dan UUPKDRT
untuk menghindari lolosnya pelaku dari jeratan pasal pidana dimana ancaman
pidana pada UUPKDRT jauh lebih ringan dibanding ketentuan Pasal 351
KUHP. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya antara KUHP dengan
UUPKDRT. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPKDRT dibuat untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum khususnya
perempuan karena KUHP belum mengatur secara eksplisit tentang kekerasan
dalam rumah tangga.
8
UUPKDRT menentukan beberapa tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga sebagai delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 52, dan 53
karena sifatnya yang privat sehingga undang-undang ini sulit untuk
diberlakukan secara optimal. Dianutnya delik aduan dalam undang–undang ini
hanya memperkuat kengganan korban untuk tidak mengadukan tindak
kekerasan yang dialaminya karena dengan sifat delik aduan ini dapat diartikan
bahwa adanya keberpihakan terhadap pelaku yang didominasi laki-laki. Secara
sosiologis, manusia cenderung untuk menyelamatkan kepentingannya,
termasuk menyelamatkan diri dari hukuman. Bukankah kemudian akan muncul
keadaan yang lebih parah yaitu para pelaku akan mendiamkan saja peristiwanya
bahkan menyembunyikan karena ia takut dipidana? Sedangkan secara alami
jelas disadari bahwa wanita kaum yang lemah,12 pelaku akan mengintervensi
korban untuk tidak mengadukan kepada pihak berwajib sehingga pelaku
semakin berkuasa atas diri korban sewenang-wenang melakukan kekerasan.
Apabila undang-undang ini tetap bersifat delik aduan, maka sulit rasanya untuk
melindungi kaum perempuan seluruhnya. Tidak mustahil bila undang-undang
ini hanya bersifat pajangan atau sebagai pelengkap hukum nasional kita bagi
perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang hidup di
tengah masyarakat berpola pikir patriarki. Mereka akan terus menjadi korban
selama hidupnya. Maka secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa hak
12I Ketut Artadi, 2004, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahannya, Cetakan Keempat, Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 226-227.
9
asasi warga negara khususnya korban tidak terjamin. Padahal apabila membaca
konsideran undang-undang ini, jelas sekali terlihat perhatian negara terhadap
perlindungan warga negaranya terutama terhadap perempuan yang umumnya
rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sangat besar.
Selengkapnya, isi konsideran tersebut sebagai berikut :
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis
kelamin (perempuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia yang
mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hal ini terlihat di dalam dokumen-
dokumen HAM. Misalnya di dalam UDHR (Universal Declaration of Human
Rights), antara lain ditegaskan :13
Pasal 1 :13Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 65. (selanjutnya disebut Barda I)
10
”All human beings are born free and equal in dignity and rights.”
Pasal 2 :
”Everyone is entitled to all the rights and freedom set fort in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or social origin,
property, birth or other status.”
Negara kita pun menjamin hak perempuan tanpa diskriminasi. Dalam
Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Sebagai negara hukum, salah satu cirinya adalah adanya jaminan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam segala segi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia
merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan senatiasa melekat pada
kehidupan dan keberadaban manusia itu sendiri. Hal ini tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal yang tersusun dalam
Batang Tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1)
mengatur tentang ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut, dapat
diartikan sebagai bentuk hak asasi setiap orang atas pengakuan, jaminan,
11
perlindungan, keadilan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintah.
Dalam penugasan hak asasi manusia, dikeluarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga Tinggi Negara dan
seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat serta segera meratifikasi sebagai instrumen Perserikatan Bangsa-
bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan tersebut, Negara Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Wanita, dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Woman) tanggal 24 Juli 1984, yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 29. Pengesahan terhadap
Konvensi Wanita mengandung makna bahwa (1) Negara Indonesia mengakui
adanya diskriminasi, (2) Mengutuk diskriminasi, (3) Negara sepakat menghapus
diskriminasi, dengan segala cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, (4) Aparat
negara, aparat propinsi dan daerah lainnya dituntut bertanggung jawab bila
masih ada diskriminasi.14
14I Gusti Ariyani, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas Udayana ke 43 dan HUT FH Universitas Udayana ke 41, di Denpasar 30 Agustus 2005, h. 2.
12
Selain itu, jaminan atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi ini juga
diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan
hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk
direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat, salah satunya
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa kedua hal
tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal
sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai
perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak
asasi dalam penegakan hukun pidana adalah berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap korban tindak kejahatan.
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan
kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan
yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat : ”to
much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the
victims.”15
15Gilbert Geis, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc., New York, h. 1600.
13
Untuk itu perlu kiranya perhatian khusus terhadap korban. Menurut Arif
Gosita, dasar diperlukannya perhatian terhadap kedudukan si korban dalam
tindak pidana, adalah antara lain sebagai berikut :
1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai si korban secara yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban.2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 yang mewajibkan setiap warga negara melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan hukum acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban.4) Adanya peningkatan kejahatan internasional yang mungkin juga menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini apabila tidak ada yang mau memberikan kompensasi tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.5) Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin dalam peraturan hukum pidana kolonial dan nasional, (siapakah pada hakekatnya seorang gelandangan, germo, pencuri, koruptor, pembunuh Indonesia bagi kita sesama orang Indonesia).6) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu.7) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar pada si pembuat korban daripada si korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana. Seolah-olah undang-undang hukum pidana membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dan si korban, sedangkan masing-masing mempunyai peranan fungsional, hubungan yang erat satu sama yang lain dalam terjadinya suatu tindak pidana. Tanggapan yang tidak benar ini dapat berakibat adanya ketidakadilan dalam pemberian hukuman dan ganti rugi.8) Adanya kurang perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam
14
perkara pidana. Antara lain hal ini dirasakan pada proses peradilan penyelesaian masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat korban dan si korban yang sedikit banyak bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tindak pidana bersama-sama tidak berhadapan secara langsung satu sama lain. Melainkan si korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi kepentingan umum (penguasa). Si korban tidak mempunyai arti lagi karena diabstrakkan. Si korban hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai saksi kalau diperlukan, sebagai alat bukti saja.9) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin mendapatkan/menuntut penggantian kerugian ia harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama. Bagi si korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan hidupnya dengan segera ketentuan ini adalah sangat merugikan dan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian perlu dicarikan cara penyelesaian yang lebih sederhana dan cepat, tetapi tepat dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan.10) Agar dapat lebih baik lagi merealisasikan keadilan, maka ada pendapat, bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana perlu dimasukkan lagi dimensi hukum perdata yang lebih kuat lagi dan menetralisasikan sifat eksklusif hukum publik dari peradilan pidana.16
Dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum pidana terhadap
korban, Quinney menulis bahwa konsep hukum pidana dikembangkan ketika
kesalahan pribadi dan masyarakat digantikan oleh asas bahwa negara dirugikan
ketika di antara masyarakat diserang. Hak masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan salah telah diambil alih oleh negara sebagai wakil masyarakat.17
Dengan demikian, negara bertindak sebagai sarana hukum pidana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini terkait dengan tujuan negara
16Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 80-82.
17Richard Quinney, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown and Company, Canada, h. 44.
15
Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Pancasila sila kelima.
Sesuai dengan pendapat Quinney di atas, Mardjono Reksodiputro, yang
melihat pada sejarah perkembangan hukum pidana18, menulis :
Pada mulanya reaksi terhadap pelanggaran adalah sepenuhnya hak (dan kewajiban) korban. Akibat dari dendam (darah) yang sering tidak berkeputusan, telah timbul keadaan, bahwa lambat laun ganti rugi oleh pelanggar dapat dibayar dengan harta. Selanjutnya, dirasakan pula bahwa pelanggaran itu tidak hanya hubungan (urusan) pelaku dan korban. Pelaku pelanggaran dianggap juga mengganggu keseimbangan ketertiban dalam masyarakat sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam keseimbangan antara pelaku dan masyarakatnya. Rupanya, gangguan yang terakhir inilah yang lebih diperhatikan sehingga masyarakat (negara) sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut ’ganti rugi’ dari pelaku.
Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan
bahwa negara telah gagal untuk memberi pehatian terhadap keluhan para
korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan
anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Dalam implementasinya, apabila negara tidak menjamin perlindungan
hukum terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain
UDHR dan CEDAW, the International Covenant on Civil and Political Rights
(”ICCPR”), the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (“IESCR”), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,
18Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, h. 75.
16
or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”) adalah dokumen HAM
Internasional yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia,
dimana para korban KDRT dapat mengugat negaranya masing-masing.19 Serta
beberapa dokumen HAM regional yang dapat dijadikan andasan bagi korban
KDRT antara lain The European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on
Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on
the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women
(“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African
Charter on Human and Peoples Rights (“African Charter”).20 Hal ini lebih
dipertegas lagi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan umum UUPKDRT
Pasal 1 angka 2 yang berbunyi sebagai berikut :
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
1.2. Rumusan Masalah
19Yuhong Zhao, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211, h. 223.
20Perlindungan terhadap Perempuan melalui Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga : Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India, www.jurnalhukum.blogspot.com.
17
Sebagaimana latar belakang yang telah terurai di atas, maka yang menjadi
pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam kebijakan kriminalisasi
terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Sebagaimana telah tersebut dalam rumusan masalah, maka tulisan ini hanya
akan membahas seputar hak perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dan kebijakan hukum pidananya dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 2004.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai meliputi tujuan umum (het van het
ondeerzoek) dan tujuan khusus (het doel in het onderzoek), yaitu :
1.4.1. Tujuan umum
1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
2. Untuk mengkaji secara mendalam bagaimana kebijakan hukum
pidana.
1.4.2. Tujuan khusus
18
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana atas kriminalisasi tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga yang sebaiknya digunakan
untuk masa mendatang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa hak-hak perempuan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai korban tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga beserta kebijakan hukum
pidananya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004.
1.5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1.5.1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan
masukan atau solusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum
pidana sehubungan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga.
1.5.2. Manfaat praktis
Bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat
kebijakan dalam perumusan perundang-undangan dan pemidanaan
mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga maupun pihak
19
lembaga penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
1.2. Landasan Teoritis
1.2.1. Perlindungan Hukum
Perlindungan dari kata lindung, mendapat awalan per dan akhiran
–an. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia disusun W.J.S.
Poerwodarminto bahwa perlindungan artinya tempat berlindung.
Terkait dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon
menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana
perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif.
Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan
azas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum.
Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani
oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan
badan-badan khusus.21
Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh
pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu
tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu
21Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya , h. 10.
20
adalah perlindungan terhadap umum (protection of the public)22
termasuk di dalamnya perlindungan hukum terhadap korban.
Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi, menyebutkan
bahwa pada hakikatnya hukum pidana mempunyai dua tujuan utama,
yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan
konflik. Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan
penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi yang lain
juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat
sebagaimana layaknya.23 Sedangkan menurut Aruan Sakidjo dan
Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, usaha hukum pidana untuk mencapai tujuannya itu
tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straf) yang
dapat dirasakan sebagai custodia honesta, tetapi samping itu juga
dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregel) yang dapat
dirasakan sebagai noncustodia honesta. Tindakan ini pun merupakan
suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga
maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada
masyarakat terhadap orang-orang atau anak-anak yang sedikit
banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan-perbuatan
22Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985,Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15-16.
23Ibid., h. 12.
21
pidana.24 Tidak beda jauh dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro,
bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan,
untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun
secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan
kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
(special preventie), atau untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang
yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang
yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.25
Jika dilihat dari tujuan hukum pidana menurut pendapat para ahli
yang pada intinya adalah bersifat pengayoman pada masyarakat dan
mengembalikan (menyembuhkan pelaku (pelanggar atau penjahat) pada
jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku),
menurut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, hal ini dapat diartikan
bahwa tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu
tindak kejahatan. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini
merupakan salah satu hak yang dapat dituntut oleh pihak korban.
Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para
penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan
perbuatan pelaku. Maka, diperlukan penerapan sanksi sebagai bentuk
24Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 99.
25Ibid., h. 99-100.
22
perlindungan hukum terhadap korban. Mereka menyatakan bahwa
dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak
langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan)
secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada
perempuan yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas
pada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang
menimpanya.26
Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat
dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan
pelaku (pelanggar/penjahat), sedangkan kepentingan (hak asasi)
masyarakat, kurang mendapatkan perhatian nyata sampai akhirnya
masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang
juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB
VII Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyogyanya
dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan
pidana.27 Dalam hubungan ini, sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah,
Zvonimir Paul Separovic menulis bahwa The rights of the victims are a
component part of the concept of human rights. Lebih lanjut
dikemukakan, The rights of those whose human rights have been
26Ibid., h. 96.27Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53.(selanjutnya disebut Barda II)
23
threatened or destroyed need also to be guaranteed. Menurut Maslow
sebagaimana dikutip oleh Separovic The most important rights of man is
to security wich is one of the basic human needs.28
Ini berarti, secara filosofis manusia selalu mencari perlindungan
dari ketidakseimbangan yang dijumpainya baik yang menyangkut hak-
haknya maupun perilaku terhadapnya. Perlindungan itu, menurut Irsan,
dapat berupa perbuatan maupun melalui aturan-aturan sehingga tercapai
keseimbangan yang selaras bagi kehidupan. Hukum, menurut Irsan,
dalam hal ini hukum pidana, merupakan salah satu upaya untuk
menyeimbangkan hak-hak tersebut.29
Sehubungan dengan itu, Kongres PBB ke-7 di Milan, Italia,
tersebut juga menyebut tentang perlunya diambil tindakan-tindakan
sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang selengkapnya
dinyatakan sebagai berikut :
The necessary legislative and other measures should be taken in
order to provide the victims of crime with effective means of legal
protection, including compensation for damage suffered by them
as a result of the crimes.
28M. Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, h. 81.
29Koesparmono Irsan, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, dalam Sahetapy (ed)., Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, h. 15.
24
Untuk lebih konkret lagi, yaitu apa yang dilakukan oleh Komite
para Menteri Dewan Eropa (Committee of Ministers of the Council of
Europe) pada tanggal 28 Juni 1985 menyetujui rekomendasi (85) 11
terhadap kedudukan korban dalam kerangka hukum pidana dan hukum
acara pidana, sebagai bagian dari kampanye untuk memperbaiki
perlakuan terhadap korban kejahatan dan terjadinya viktimisasi
sekunder. Namun demikian, Dewan Eropa tersebut bukan merupakan
organisasi satu-satunya yang telah melakukan upaya untuk memperbaiki
kedudukan korban kejahatan dalam hukum pidana dan hukum acara
pidana. Karena, pada tahun yang sama, PBB menyetujui Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Deklarasi tersebut adalah sebuah resolusi Majelis Umum PBB (Resolusi
No. 40/34) yang disetujui pada tanggal 29 November 1985 oleh Mejelis
Umum PBB, hanya beberapa bulan setelah Committee of Ministers of
the Counil of Europe menyetujui Rekomendasi (85) 11, dan itu
mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk
memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan
pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut
didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan
diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan.30 Karena itu,
korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan
30M. Arief Amrullah, Op. cit., h. 82-83.
25
ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping
itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai
yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah-masalah lain yang
disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban.
Selain pengenaan sanksi pidana kepada pelaku, hak-hak korban tersebut
di atas inilah juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban.
1.2.2. Kebijakan hukum pidana
Istilah ”kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah policy
(Inggris) atau politiek (Belanda) yang secara umum dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam
mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan dan mengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau
kemakmuran masyarakat (warga negara). (”Policy is The general
principles by which a government is guided in its management of public
affairs, or the legislature in measures...this term, as applied to a alaw,
ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency
26
considered as directed to the welfare or prosperity of the state
community”)31
Berdasarkan pada kedua istilah asing ini, maka istilah ”kebijakan
Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik Hukum
Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ”politik Hukum Pidana”
tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,
criminal law policy, atau strafrechtpolitiek.32 Selanjutnya politik hukum
(law policy/rechtpolitiek) dapat diartikan sebagai :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.33
Menurut A. Mulder, strafrechtpolitiek adalah garis-garis
kebijakan untuk menentukan :
a. In welk opzich de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden (Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui);
b. Wat gedaan kan worden om strafrechtelijk gedrad te voorkomen (Apa yang dapat diperbaharui untuk mencegah terjadinya tindak pidana);
31Black, Henry Camphell, et. al., 1979, Black’s Law Dictionary, Fith Edition, St. Paulminn West Publishing C.O., h. 1041.
32Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 24. (Selanjutnya disebut Barda III)
33Sudarto, 1987, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159 dan Sudarto, 1977, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Jakarta, h. 20. (Selanjutnya disebut Sudarto I)
27
c. Hoe de upspring, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen (Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan).34
Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana dapat didefinisikan
sebagai ”usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa yang akan datang”. Kata sesuai dalam pengertian tersebut
mengandung makna ”baik” dalam arti memenuhi syarat keadilan dan
daya guna.35
Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan
Hukum Pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan
Hukum Pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut : Hukum Pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari
budaya, struktur, dan substansi hukum, sedangkan undang-undang
merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian kebijakan
Hukum Pidana bukan hanya sekedar menggunakan pendekatan yuridis
normatif, namun juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang
dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan
memerlukan pula pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya.
34Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Baktyi, Bandung, h. 28-29. (Selanjutnya disebut Barda IV)
35Ibid., h. 28.
28
Ruang lingkup kebijakan Hukum Pidana sebenarnya lebih luas
daripada pembaharuan Hukum Pidana. Hal ini disebabkan karna
kebijakan Hukum Pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap
konkretisasi/oprasionalisasi/fungsionalisasi Hukum Pidana yang terdiri
dari :
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto untuk badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampaike pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan Hukum Pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.36
Kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada
hakekatnya tidak lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan
demikian kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.37 Dalam
praktek selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan (politik hukum) yang diatur di
Indonesia.
36Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 13.
37Soetoprawiro Korniatmanto, 1999, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia, Jakarta, h. 83.
29
Atas keterkaitan tahap-tahap dalam kebijakan Hukum Pidana
dengan hakekat kebijakan Hukum Pidana dengan tujuan
penanggulangan kejahatan, sebagaimana pendapat Barda bahwa upaya
atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (”criminal policy”).
Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih
luas, yaitu ”kebijakan sosial” (”social policy”) yang terdiri dari
”kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (”social welfare
policy”) dan ”kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat”
(”social defence policy”)38 sebagai salah satu bentuk ide
monodualistik.
Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana
”penal” (hukum pidana), maka ”kebijakan hukum pidana” (”penal
policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif
(penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan
mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa
”social welfare” dan ”social defence”.39
38Barda IV, Op.cit., h. 29-30. Lihat juga Barda III, Op.cit., h. 3.39Barda I, Op.cit., h. 77., lihat juga Barda Nawawi Arief, 2001,Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.
30
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan
utama dari politik kriminal ialah ”perlindungan masyarakat”40
sebagaimana dirumuskan juga dalam salah satu laporan khusus latihan
ke 34 yang diselenggarakan oleh UNAFAEL di Tokyo tahun 1973
sebagai berikut :41
Most of group members agreed some discussion that ”protection of the society” could be accupted as the final goal of Criminal Policy, although not the ultimate aim of society, which migh perhaps be described by terms like ”happines”of citizens”, ”a whole some and cultural living”, ”social welfare” or ”equality”.
Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana berkaitan dengan
proses penegakan Hukum Pidana secara menyeluruh. Di lihat sebagai
suatu proses mekanisme penegakan Hukum Pidana, maka ketiga
tahapan itu diharapkan merupakan suatu jalinan mata rantai yang
saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem kebijakan legislatif pada
dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan
perencanaan proses fungsionalisasi Hukum Pidana. Tahap ini
merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan
pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya yaitu tahap
aplikasi dan tahap eksekusi.
40Barda III, Op.cit., h. 2.
41Summary Report, 1974, Resource Material Series No. 7 UNAFAEL, h. 95., dalam I Ketut Sudira, 2000, Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan dalam Peraturan Hukum Pidana Indonesia, Program Pasca Sarjana UNUD, Denpasar, h.13.
31
Selanjutnya kebijakan Hukum Pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan-tindakan :
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan Hukum Pidana
2. Bagaimana merumuskan Hukum Pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan Hukum Pidana
4. Bagaimana mengenakan Hukum Pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.42
Untuk mencapai tujuan kebijakan sosial dalam rangka
perlindungan korban khususnya perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga, perlu kiranya pembaharuan undang-undang (hukum)
pidana sebagai usaha penanggulangan kejahatan untuk melindungi
korban pada khususnya, dan perlindungan masyarakat pada umumnya.
Maka dirasa perlu melakukan pembangunan sistem hukum pidana
nasional. Pembangunan sistem pidana nasional sendiri adalah bagian
dari pembangunan sistem hukum nasional yang berorientasi pada nilai
keseimbangan Pancasila dan pembangunan nasional yang berorientasi
pada keseimbangan social defence dan social welfare yang menjadi
tujuan pembangunan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
42Wisnubroto, Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h. 12.
32
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.43
Kebijakan Hukum Pidana (pendekatan Penal) merupakan
sarana yang sangat vital dalam proses penegekan hukum dalam
pertanggungjawaban pidana. Hal ini dipertegas dalam salah satu
kesimpulan Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 sebagai berikut :
Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.44
Dalam ruang lingkup kebijakan kriminal dengan mengenakan
pidana, perlu pula dikemukakan konklusi tulisan Packer dalam
bukunya “The Limit of Sanction” yang menyatakan : 45
a. The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it.
b. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm.
c. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanly, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it I threatener.
43Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Bahan Kuliah Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Udayana, 2006.
44Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 92. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda I)
45H.L. Packer, 1968, The Limit of Criminal Sanction, h.3.
33
Sudarto pernah mengemukakan apabila hukum pidana
hendaknya digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan
politik kriminil atau ”social defence planning” yang ini pun harus
merupakan bagian integral dari terencana pembangunan nasional.46
Terkait hal tersebut di atas, lebih spesifik Hoefnagels
berpendapat bahwa :
”Criminal policy as science of policy, is part of a larger
policy; the law enforcement policy...The legislative and
enforcement policy is in turn part of social policy”.47
Politik kriminal sendiri menurut Marc Ancel sebagai ”the
rational organization of the control of crime by society”48 dan ”the
rational organization of the social reaction to crime”.49 Tak beda jauh
dengan pendapat Marc Ancel, Hoefnagels mengartikannya dalam
berbagai rumusan yaitu ”the science of responses”, ”the science of
crime prevention”, ”a policy of designating human behavior as
crime”, dan ”a rational total of the responses to crime”.50 Muladi dan
46Sudarto I, h. 104.
47G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, h. 57.
48Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Kegan Paul, London, h. 209.
49G.P. Hoefnagels, Op.cit., h. 57.50Ibid., h. 57, 99, 100.
34
Barda menyimpulkan bahwa politik kriminil adalah pengaturan atau
penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh
masyarakat.51 Sebagai bagian dari politik kriminal, politik Hukum
Pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan Hukum Pidana. Politik kriminal merupakan bagian dari politik
penegakan Hukum Pidana dalam arti luas (law enforcement policy).
Semua merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yakni
usaha masyarakat atau Negara untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya.52
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
(1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
(2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.53
51Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi revisi, Alumni, Bandung, h.157. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda II)
52Muladi dan Barda I, Op.cit., h. 1. 53Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Op.cit., h. 160.
35
Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial
itulah kiranya Prof. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi
masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah
kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai
berikut :
a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;b. perbuatan yang disahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan ”perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;c. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip ”biaya dan hasil” (cost-benefit principle).d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemapuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).54
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan
dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu
yang mempertimbangkan banyak faktor, diantaranya keseimbangan
sarana-sarana untuk mencapai hasil, analisa biaya atas hasil dan tujuan,
penilaian tujuan terkait dengan tujuan lain yang diprioritaskan
sehubungan dengan pengalokasian SDM, dan pengaruh sosial
54Sudarto I, Op.cit., h. 44-48.
36
kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berhubungan dengan pengaruh
sekunder. Berikut pendapat Bassiouni tentang pertimbangan faktor-
faktor tersebut :
1. The proportionality of the means used in relationship to the outcome obtained;2. The cost analysis of the outcome in relationship to the objectives sought;3. The appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the allocation of resources of human power;4. The social impact of criminalization and decriminalization in terms of its secondary effects.55
Terkait dengan hasil yang ingin dicapai dalam penentuan
kriminalisasi, maka perlu sanksi pidana yang efektif. Menurut Ted
Honderich, sanksi pidana akan efektif atau sebagai alat pencegah yang
ekonomis (economical deterrents) apabila :56
a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya kerugian yang lebih kecil.
Bertolak dari pendapat Ted Honderich tersebut, maka hasil dari
kebijakan yang dibuat dengan menggunakan sanksi pidana diharapkan
tidak melenceng jauh dari tujuan dan sanksi pidana benar-benar
diposisikan sebagai economical deterrents.
55M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas, Publisher, Springfield, Illinois, USA, h. 82.
56Ted Honderich, 1971, Punishment, h. 59.
37
1.3. Metode Penelitian
1.3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum meurut jenisnya dapat dibedakan
menjadi dua yaitu Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum
Empiris.57 Keduanya sama pentingnya, mempunyai bobot dan urgensi
yang sama dalam upaya pengembangan ilmu hukum.
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian kepustakaan yang mencakup :
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum.58
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian dengan pendekatan terhadap
UUPKDRT itu sendiri baik dari sisi konsep, kebijakan, dan kajian
perbandingan hukum dengan negara lain.
1.3.2. Jenis Pendekatan
57Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
58Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 14.
38
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan
kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus berorientasi pada
nilai (value ariented approach).59
1.3.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yaitu :
1. Bahan hukum primer, terdiri atas :
a.Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
b. Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
c.Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia.
d. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
e.Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
f. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
59Barda III, Op.cit, h. 3.
39
g. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang bersumber dari buku-buku
ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum60, seperti :
a.Buku-buku hukum (text book)
b. Jurnal-jurnal hukum
c.Karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa
d. Kamus dan ensiklopedia
e.Internet
60Abdul Muhammad Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 202.
40
1.3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam
kajian ini menggunakan metode bola salju (snow ball), yaitu bahan
hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka
yang satu ke pustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan
sumber pustaka atau pendapat dari pustaka pertama. Metode
kepustakaan sistematis, khususnya untuk undang-undang dilacak sumber
yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.61
1.3.5. Teknik Analisis
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul
maka penulis menggunakan teknik analisis :
1. Teknik deskripsi yakni dasar analisis yang dilakukan terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum.
2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis penafsiran
gramatika, historis, sistematis, teleologis, kontekstual, dan lain-lain.
3. Teknik evaluasi yakni penilaian terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera
dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder,
61Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya, h. 14.
41
kemudian dieavaluasi/dinilai oleh peneliti apakah tepat atau tidak
tepat benar atau salah, sah atau tidak sah.
4. Teknik argumentasi, teknik ini dapat terlepas dari teknik
evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum. Makin banyak argumentasi yang dipakai
dalam membahas permasalahan hukum maka hal ini menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.
42
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti :62
1. perihal yang bersifat, berciri keras;
2. perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain;
3. paksaan.
Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umunya dipahami hanya
menyangkut serangan fisik belaka.63 Sebagaimana yang didefinisikan
oleh Kandish Sanford64 bahwa :
62Kamus Bahasa Indonesia, 1988, h. 425.
63Mansour Fakih, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender (Perempuan dalam Wacana Perkosaan), PKBI, Yogyakarta, h. 6.
64Kandish Sanford, et.al., 1983, Encyclopedia of Criminal Justice, Collier Macmillan, h. 1618.
43
”All type of illegal behavior, or either threatened or actual that
result in the damage or destruction of property or in the injury or
death of on individual”.
Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encyclopedia of
Crime and Justice mendefinisikan “Violence” 65 sebagai :
“…a general term referring to all types of behaviour, either
threatened or actual, that result in or are intended to result in the
damage or destruction of property or the injury or death of an
individual.
Bertolak belakang dari latar belakang diatas, nampak bahwa
kekerasan atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama
harus bertentangan dengan undang-undang, tidak dibedakan dalam jenis-
jenisnya secara khusus baik berupa ancaman saja maupun merupakan
suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta
benda, fisik, atau menyebabkan kematian pada seseorang. Maka
tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan, seperti
layaknya terdapat dalam delik material. Definisi ini sangat luas sekali,
karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” di samping suatu
tindakan nyata.
65Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol. 4, The Free Press, A Division of Macmillan Inc.
44
La violencia di Kolombia, the vendetta barbaricana di Sardinia,
Italia, la vida vale nada (life is worth nothing) di El Safador,66 violence
dalam bahasa Inggris berarti kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara
etimologi, kata ”violence” merupakan gabungan dari kata ”vis” yang
berarti daya atau kekuatan dan ”latus” yang berasal dari kata ”ferre”
yang berarti membawa. Jadi, kekerasan adalah tindakan yang membawa
kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik
maupun non fisik67, atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan
atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti
yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander yang dikutip oleh
Rika Saraswati, bahwa :68
”In general, violence is aggresive behavior with the intent to cause
harm (physical or psychological). The word intent is central;
physical or psychological harm that occurs by accident, in the
absence of intent, is not violence.”
Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh
B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri,
66
6
John Hagan, 1987, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hillbook Com., Singapore, h. 181.
67Romli Atmasasmita, 1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, h. 55. 68Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 13.
45
dapat diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua
faktor penentu69 yaitu :
a. Adanya penggunaan kekerasan, dan
b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang
bertentangan dengan orang lain.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo kekerasan terhadap perempuan
tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam sistem hukum,
termasuk aparat hukum dan budaya hukum yang ada di masyarakat
Indonesia karena pemaknaan kekerasaan atau persepsi mengenai tindak
kekerasan yang ada di dalam masyarakat.70
Berbeda dengan pengertian kekerasan yang dikemukakan oleh
Jerome Skolnick :
”violence is... an ambigious term whose meaning is established
through political process.”71
Dari pendapat Alan Weiner, Zahn dan Sagi yang mencoba
merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai :
69Sagung Putri M.E. Purwani, Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari, h. 3.
70Harkristuti Harkrisnowo, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan, KKCW-PKWJ UI, Jakarta, h. 79.
71Ibid.
46
”...the threat, attempt, or use of physical force by one or more
presons that result in physical or nonphysical harm to ne or more
that preson...”72
Pendapat tersebut di atas memperlihatkan bahwa makna
kekerasan memang tidak terlepas dari konsep yang dimiliki oleh
masyarakat dan bahwa konsep itu hanya dibatasi pada kekerasan fisik
saja, sementara dalam kenyataannya masih ada konsep kekerasan lain
yang berakibat pada perempuan sebagai korban.
Dalam Encyclopedia of Feminist Theories, “Violence”73 diartikan
sebagai :
“…feminist have encompassed a much wider domain, including
physical, sexual and psychological or emotional abuse commited
against persons, harmful cultural practices and in some contexts,
damaging words and images.”
Kekerasan terhadap perempuan dapat didefinisikan secara
sederhana sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada
perempuan yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak
nyaman dan bahkan perasaan takut hingga akibat berupa pelukaan fisik.
Definisi ini sedemikian luasnya sehingga meliputi mulai dari pelecehan
72Ibid. 73Encyclopedia of Feminist Theories, 2004, edited by Lorraine Code, Routledge, London-New
York, h. 482.
47
seksual berupa siulan atau godaan terhadap perempuan, hingga
pembiaran oleh Negara pada kondisi perempuan sebagai warga
negaranya yang menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan, lebih spesifik lagi sering
dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal itu disebabkan
kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan adanya
ketimpangan gender karena adanya relasi kekuasaan yang tidak
seimbang. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam
rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki
kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.
Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus
pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan,
yaitu bahwa di antara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender
dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan
korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan
tersebut.74
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan,
baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
74Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”,
48
seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan secara
stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak (burden)75
Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga
dengan gender-related violence mempunyai macam dan bentuk
kejahatan76, diantaranya :
Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural.
Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap negara dan masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkap mereka, tetapi di lain pihak negara juga menaruik pajak dari mereka. Selain itu, masyarakat selalu memandang rendah perlacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki-laki.
75Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12.
76Ibid., h. 20.
49
Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan nonfisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya bukan saja pada perempuan, melainkan berasal dari kaum laki-laki juga.
Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh peremuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan atau di tempat umum.
Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal tidak menyenangkan bagi perempuan.
Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya
kekerasan terhadap perempuan77 :
1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan misalnya. Sehingga ketika di hadap jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.
77Zaitunah Subhan, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, h. 14-15.
50
2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib nagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan.
Rika Saraswati melalui hasil penelitiannya di Rifka Annisa
Women’s Crisis Centre Yogyakarta, bahwa terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga karena faktor gender dan patriarki, relasi kuasa yang
timpang, dan role modelling (perilaku hasil meniru).78 Gender dan
patriarki akan menimbulkan relasi kuasa yang tidak setara karena laki-
laki dianggap lebih utama daripada perempuan berakibat pada
kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekuasaan untuk mengatur
rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya. Anggapan bahwa
istri milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan yang lebih
tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki
berpeluang melakukan kekerasan.
Sementara itu Aina Rumiati Azis menambahkan faktor cara
pandang atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor-
faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang
dikemukakan oleh Aina Rumiati Azis79 :
78Rika Saraswati,Op.cit., h. 20.
79 Aina Rumiati Aziz, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, www.indonesia.com, h. 2.
51
1. Budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.
Fathul Djannah lebih memperinci faktor penyebab kekerasan
dalam rumah tangga80 sebagai berikut :
1. Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
2. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.
3. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.
5. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
6. Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Tak beda jauh, Sukerti berpendapat tentang faktor penyebab
kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitiannya, ditemukan
tambahan faktor baru 81 sebagai berikut :
80Fathul Djannah, et al, 2002, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta, LKIS, h. 51.
81Ni Nyoman Sukerti, 2005, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga : Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus Di Kota Denpasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, h. 84.
52
1. Karena suami cemburu.2. Suami merasa berkuasa.3. Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa ijin.4. Ikut campurnya pihak ketiga (mertua). 5. Suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan).6. Karena suami suka berjudi.
Dari beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan terhadap
perempuan seperti telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan
adalah budaya patriarki. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya
hukum masyarakat.
2.1.2. Pengertian kekerasan menurut peraturan perundang-undangan
Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89
KUHP, yaitu :
Yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi
pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).
“Melakukan kekerasan” mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara yang tidak sah. “Pingsan” diartikan tidak ingat
atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, yang dimaksud “tidak
berdaya” dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama
sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, tetapi
53
seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang
terjadi atas dirinya.82
Perbuatan kekerasan seperti tersebut di atas dapat dikatakan
penganiayaan. Penganiayaan di dalam KUHP digolongkan menjadi dua,
yaitu : penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 KUHP dan
penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP. Pengertian penganiayaan
berat adalah bila perbuatannya mengakibatkan luka berat, seperti yang
diatur dalam Pasal 90 KUHP, luka berat dirumuskan sebagai jatuh sakit
atau dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh atau yang
menimbulkan bahaya maut, tidak mampu terus menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian, kehilangan salah
satu panca indra, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh,
terganggu daya pikir selama empat minggu, gugurnya/mati kandungan
seorang perempuan.83
Kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya
dalam KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi
kekerasan dalam bentuk lainnya. Selain membatasi pada jenis kekerasan
secara fisik, KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap
perempuan hanya dapat dilakukan di luar perkawinan saja. Sehingga
kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan yang terlibat
82R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 98. 83
8
Rika Saraswati, Op.cit., h. 14.
54
dalam perkawinan, tidak dikriminalisasi sebagai suatu kejahatan dalam
KUHP kecuali perempuan yang tersebut belum cukup umur untuk
dikawini seperti yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) berikut :
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam
pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
sebelum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun
Apabila pasal ini dikaji ulang dengan merujuk pada Pasal 89
dimana akibat yang ditimbulkan adalah membuat korban pingsan atau
lemah, Pasal 352 dan Pasal 354, maka seharusnya pada Pasal 288 ini
pun bisa dijadikan dasar hukum kekerasan seksual dalam rumah tangga
walaupun perbuatan “setubuh” dengan istri yang masih di bawah umur
tersebut dilakukan dengan persetujuan istri tanpa paksaan mengingat
adanya pengenaan pidana yang diperberat apabila perbuatan
penganiayaan dilakukan terhadap ibu, bapak, istri, atau anaknya
sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Di sisi lain, seorang istri
harus sadar akan kodratnya untuk selalu siap melayani suami walaupun
dalam keadaan tidak siap. Artinya, istri wajib melayani suami sekali pun
dalam keadaan terpaksa. Pengaturan pasal ini hanya diberlakukan
55
terhadap suami apabila dilakukan terhadap istrinya yang masih di bawah
umur.
Lain halnya dengan undang-undang perkawinan yang tidak
menyebutkan secara jelas yang dimaksud dengan kekerasan. Undang-
undang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam penjelasannya Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan menyebutkan alasan-alasan yang dijadikan dasar
untuk perceraian. Sebagamana telah disebutkan dalam bab sebelumnya,
salah satunya adalah bentuk kekerasan.
Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan
kekerasan sebagai :
Setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang.
Ketentuan ini mengartikan kekerasan secara luas dalam segala
bentuk atau cara dan kepada siapapun tanpa batasan.
56
Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan84
adalah :
Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang, wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat
pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai
kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat
disebutkan “...atau dalam kehidupan pribadi”. Kehidupan pribadi dapat
dimaksudkan sebagai kehidupan dalam rumah tangga.85
Rekomendasi Umum dari Konvensi Perempuan Nomor 19
memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan
berbasis gender tersebut dengan menyebutkan :
”...bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk
diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan
perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas
dasar persamaan hak dengan laki-laki.”86
84Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, h 47.
85Ni Nyoman Sukerti, Op.cit., h. 6.86Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 19, dalam Sidang ke-11, tahun 1992.
57
Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan
atau diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan
berbasis gender sebagai :
”Tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya.” 87
Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai
korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-undang
No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga
(PDKRT).
Terhadap jenis-jenis kekerasan, dalam Undang-undang PDKRT
lebih diperluas lagi. Jenis-jenis kekerasan lain selain kekerasan fisik
yang dilakukan terhadap perempuan, seperti kekerasan psikis, ekonomi,
dan seksual dapat ditemui pada Pasal 1 sebagai berikut :
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
87Ibid.
58
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Namun lingkup pengaturan undang-undang tersebut hanya dalam
cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan
atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat
diberlakukan kepada korban perempuan pada umumnya yang tidak
memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Dengan berlakunya
Undang-undang PDKRT, dalam pandangan yang progresif kiranya
hakim dapat mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut
di dalam Undang-undang PDKRT dari perspektif perlindungan terhadap
korban kekerasan, sebagai salah satu acuan dalam memutus suatu
perkara kekerasan terhadap perempuan.
2.2. Korban
Kata ”kata” korban (victim) berasal dari bahasa Latin victima.88 Menurut
Stanciu, korban (dalam pengertian luas) adalah orang yang menderita akibat dan
ketidakadilan. Dengan demikian, lanjut Stanciu, ada dua sifat yang mendasar
(melekat) yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya
korban tidak hanya dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang illegal,
sebagai hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan korban, seperti
88Benjamin Mendelsohn, Victimology and Contemporary Society’s Trends, dalam Emilio C. Viano, (ed), 1976, Victims and society, Visage Press, Inc., Washington D.C., h. 9.
59
korban akibat prosedur hukum. Stanciu membatasi tulisannya pada korban
dalam arti sempit sebagaimana diatur dalam hukum positif. Lebih lanjut, ia
menulis apabila kejahatan dalam pengertian yuridis merupakan perbuatan yang
dijatuhi hukuman oleh hukum pidana, pemahaman para ahli kriminologi
mengenai hal itu mempunyai pengertian yang lebih dalam lagi. Seperti dalam
kasus kejahatan, konsep tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam
pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan
penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban
ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya
baik dilakukan secara individu, kelompok atau pun oleh negara.89
Dalam memberikan batasan, Arif Gosita mengemukakan bahwa korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang menderita. Mereka
di sini dapat berarti : individu, atau kelompok baik swasta maupun
pemerintah.90
Sependapat dengan apa yang dikemukakan Arif Gosita, Separovic
memberikan suatu ulasan seputar masalah korban sebagai berikut :
... those person who are threatened, injured or destroyed by an act or ommission of another (man, structure, organization or institution) and
89Stanciu, Victim-Producting Civilizations and Situations, dalam Emilio C. Viano, (ed), 1976, Victims and Society, Washington D.C., Visage Press, Inc., h. 29.
90Arif Gosita, Op.cit., h. 63.
60
consequntly, a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non-fulfillment of work duties) or an accidents (accident at work, at home, traffict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man-made victim) or another structure, where people are also involved.91
Dari batasan tersebut, dapat diketahui bahwa korban adalah orang yang
mengalami derita yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lain, baik perbuatan
yang dilakukan oleh manusia, struktur, organisasi ataupun institusi.
Berkenaan dengan korban, Kindern sebagaimana dikutip Mulyana W.
Kusumah, mengemukakan :
Salah satu kesulitan utama yang dihadapi di dalam merumuskan mengenai apa arti ”korban” berasal dari perluasan tingkat pendekatan viktimologi atas bentuk-bentuk kejahatan dan delikuensi. Sebagai akibatnya, pertanyaan yang timbul adalah sejauh mana pengertian korban, dapat secara beralasan diterapkan pada kasus dimana tidak terdapat penderitaan badan, kehilangan atau rusaknya hak milik atau juga ancaman terhadap seseorang harus pasti bahwa korban benar-benar mengalami derita fisik atau psikologis atau bahwa bentuk-bentuk kerugian tertentu telah dilakukan atas korban secara pribadi atau bukan.92
Dari apa yang dikemukakan Kindern nampak bahwa untuk sampai pada
pemberian batasan korban, diperlukan adanya suatu kriteria yang harus
dipenuhi. Hal ini tentunya dapat diterima, karena konotasinya dapat mengarah
pada ”crime without victim” atau kejahatan tanpa korban.
91Z.P. Separovic, 1985, Victimology, Studies of Victim, Zagreb, h. 23.
92Mulyana W. Kusumah, 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, h. 109.
61
Menurut Sola, korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or
physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or
attempted criminal offense committed by another ...”93
Lebih diperinci lagi oleh Muladi sebagai orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-
haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar
hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.94
Korban (victim) adalah ”... whose pin and suffering have been neglected by
the state while it spends immense resources to hunt down and punish the
offender who responsible for that pain and suffering”.95 Di sini, pengertian
korban lebih ditekankan pada kelalaian negara terhadap korban.
Berikut definisi korban menurut beberapa peraturan perundang-undangan :
Hukum International pun telah mengatur tentang perlindungan korban.
Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power 1985 menyebutkan bahwa :
93Ralph de Sola, 1998, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, h. 188.
94Muladi, 2005, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 108.
95Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, h. 9.
62
victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including phisical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power” ... through acts or omission that do not yet constitute violations of natrional criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.96
Patut dicatat, bahwa pengertian ”kerugian” (”harm”) menurut resolusi
tersebut, meliputi fisik maupun mental (”physical or mental injury”),
penderitaan emosional (”emosional suffering”), hak asasi mereka (”substantial
impairment of their fundamental rights”).97
UUPKDRT menyebutkan definisi korban, adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Artinya,
siapa saja bisa menjadi korban ketika seseorang menjadi bagian dari sebuah
keluarga. Bentuk kekerasan yang diatur dalam undang-undang ini tersebut
dalam Pasal 5 dengan jelas yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual dan penelantaran rumah tangga. Yang dimaksud penelantaran rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah mengabaikan atau
melalaikan kewajiban pemenuhan kebutuhan hidup secara finansial termasuk
mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi terhadap seseorang dalam
lingkup rumah tangga.
96Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 48.
97Barda Nawawi Arief, 1998, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 16.
63
Sedangkan Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi mengartikan korban sebagai orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Jadi, yang dimaksud dengan
korban di sini, tidak hanya yang mengalami penderitaan secara langsung, tetapi
meluas termasuk ahli waris korban karena dimungkinkan sekali efek
penderitaan korban juga akan dialami oleh ahli warisnya.
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
mendefinisikan korban secara umum seperti yang tercantum dalam Pasal 1
angka 2, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana.
Sedangkan UUPTPPO mendefinisikan korban sebagaimana tersebut dalam
Pasal 1 angka 3 adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,
fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana
perdagangan orang. Penderitaan yang dialami korban yang dimaksud dalam
undang-undang ini lebih luas dibandingkan UUPKDRT. Tidak menutup
kemungkinan seorang korban sebagaimana tersebut dalam UUPTPPO adalah
anggota keluarga pelaku atau termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Jadi,
undang-undang ini sangat erat kaitannya dengan UUPKDRT. UUPKDRT
memberi ancaman pidana yang lebih rendah dan bersifat alternatif serta bersifat
64
delik aduan. Sedangkan UUPTPPO memberi ancaman yang lebih berat dengan
mengatur batas minimal dan maksimal ancaman pidananya dan tidak bersifat
alternatif serta terhadap semua tindak pidana di dalamnya bukanlah delik aduan.
Sangat sulit bagi pelaku untuk menghindar bahkan untuk meminimalisir pidana
yang akan diterimanya jika dikenakan ketentuan-ketentuan UUPTPPO. Apalagi
ditambah dengan pemberatan, yaitu penambahan beberapa pidana tambahan
apabila si pelaku terlibat dalam suatu lembaga tertentu yang mengeksploitasi
korban. Ketimpangan ini akan menjadi celah bagi pelaku untuk mendapatkan
pidana yang lebih rendah sebagaimana diputuskan oleh hakim pengadilan,
berdasarkan pada Pasal 1 ayat (2) KUHP dimana terhadap pelaku akan
diberlakukan hukum yang lebih menguntungkan bagi pelaku.
Dari beberapa definisi korban sebagaimana diatur baik UUPKDRT maupun
UUPTPPO, yang perlu dicermati adalah bahwa korban yang dimaksud adalah
hanya seorang korban yang secara langsung mengalami tindak pidana. Padahal
sangat memungkinkan sekali atas suatu tindak pidana tersebut dampak yang
dirasakan meluas, tidak hanya oleh korban yang secara langsung mengalami
tindak pidana bahkan dampak tindak pidana tersebut juga dirasakan oleh ahli
warisnya apalagi korban tidak punya hubungan darah dengan pelaku.
Ada 5 (lima) tipologi korban menurut Sellin dan Wolfgang98, yaitu :
1. Primary victimization : yang dimaksud di sini adalah korban individual dan bukan kelompok;
98Ibid.
65
2. Secondary victimization : yang menjadi korban adalah kelompok atau pun badan hukum;
3. Tertiary victimization : yang menjadi korban adalah masyarakat luas;4. Mutual victimization : yang menjadi korban adalah pelaku sendiri,misalnya
dalam praktek pelacuran, perjudian atau pun perzinahan; dan5. No victimization, di sini bukan berarti tidak ada korban, tetapi korban tidak
segera dapat diketahui. Misalnya dalam tindak pidana penipuan konsumen.
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih
memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian
muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :
a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.c. Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.99
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan
dengan tipologi korban yang oleh Schafer diidentifikasi menurut keadaan dan
status korban100, yaitu sebagai berikut :
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku,
99Muladi, Op.cit., h. 42.
100Suryono Ekotama, et.al., 2000, Abortus Provocatus bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 176-77; Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta, h. 42; Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.cit., h. 50-51.
66
misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.
Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menulis ada tiga
tipologi keadaan sosial dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan101
yaitu:
- calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan.
- calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban.
- calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban.
Tidak berbeda jauh dengan klasikasi sebelumnya, namun lebih terperinci
sebagaimana Mendelsohn maupun Hentig, masing-masing mengklasifikasikan
tipologi korban, sebagai berikut :
101Sagung Putri M.E. Purwani, Op.cit., h. 4.
67
Mendelsohn mengklasifikasikan korban menurut kesalahan, di antaranya:1. The completely innocent victim (ideal victim). Mendelsohn regards him as the ideal victim and refers first of all to children and those who suffer a crime while they are unconsciousr;2. The victim with minor guilth and the victim due to his ignorance. Mentioned here as an example is the woman who provokes a miscarriage and as a result pay with her life;3. The victim as guilty as the offender and the voluntary victim. In the explanation Mendelsohn lists the following sub types : suicide by throwing a coin, if punishable by law :a. Suicide by adhesion;b. Euthanasia (to be killed by one’s own wish because of an incurable and
painful disease);c. Suicide commited by a couple (for example desperate lovers, healthy
husband and sick wife).4. The victim more guilty than offender. There are two sub types :
a. The provokes victim, who provokes someone to crime;b. The imprudent victim, who induce someone commite a crime.
5 The most guilty victim and the victim who is guilty alone. This refers to the aggressive victim who is alone guilty of a crime for example, the attacker who is killed by another an self-defence.6 The simulating victim and the imagine victim. Mendelsohn refers here to those who mislead the administration of justice I order to obtain a sentence of punishment against an accused person. This type includes persoid, hysterical persons, senile persons and children.102
Sedangkan Hentig membuat tipologi korban berdasarkan faktor psikologi,
sosial, dan biologi. Ia membagi korban ke dalam beberapa kategori, di
antaranya :
a. the young;b. the female;c. the old;d. the mentally defective and other mentally deranged;e. immigrants;f. dull normals ;
102Stephen Schafer, 1968, The Victim and His Criminal, Random House, New York.
68
g. the minorities;h. the depressed;i. the acquisitive;j. the wanton; k. the lonesome and the heartbrokenl. tormentors;m. the blocked, examples and fighting.103
Pandangan kedua tokoh tersebut menunjukkan bahwa kajian terhadap
korban masih terbatas pada interaksi antara korban dan pelaku, yaitu sampai
seberapa jauh korban mempengaruhi pelaku untuk melakukan kejahatan atau
sampai seberapa jauh pelaku kejahatan memanfaatkan kelemahan korban. Tipe
korban yang digambarkan terbatas pada kejahatan konvensional.104
Dari sekian banyak definisi korban, terkait dengan penelitian ini, penulis
lebih menitikberatkan pada perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga karena kelemahannya sebagai perempuan (Biologically
weak victims) mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 27 Tahun
2004, ataupun penelantaran istilah yang digunakan dalam UUPKDRT, dan
103Hans Von Hentig, 1946, The Criminal and His Victim Studies Indonesia The Sociobiology of Crime, New Haven Yale University, Kansas City, h. 404-433.
104M. Arief Amrullah, Op.cit., h. 73-74.
69
bahkan karena status sosialnya yang lebih rendah (Socially weak victims),
perempuan rentan mengalami tindak pidana kekerasan dalam rumah tanga.
70
BAB III
PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT
Selama berabad-abad kekerasan domestik seolah terkubur tanpa pernah
tercatat sebagai bentuk kejahatan pada statistik kriminal dan dianggap tidak ada.
UUPKDRT terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah
tangga. Hal ini merupakan pertanda baik karena mereka korban kekerasan dalam
rumah tangga dicerahkan karena dapat melakukan penuntutan dan dilindungi secara
hukum. Namun, akankah undang-undang ini dapat menuju paradigma bahwa lingkup
domestik dan publik sudah tidak mengenal dikotomi dalam hal pencapaian keadilan
dan penyadaran akan pentingnya mengangkat isu domestik ke tingkat publik.
Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender
untuk melindungi perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya
menjamin perempuan dari pelanggaran HAM. CEDAW yang cukup revolusioner
telah menjamin hak-hak perempuan atas pekerjaan, politik, pendidikan, perkawinan
dan kesehatan. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya
harus menjamin perolehan hak-hak secara de jure tetapi yang terpenting secara de
facto. Sesungguhnya CEDAW merupakan senjata ampuh bagi perempuan menentang
segala bentuk diskriminasi.
71
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sering tidak dapat berbuat
banyak atau dalam keadan bingung, karena tidak tahu harus mengadu ke mana, ke
rumah asal belum tentu diterima. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya dimana
perempuan yang sudah kawin menjadi tanggung jawab suaminya. Sehingga apabila
terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sering tidak terungkap ke
permukaan karena masih dianggap membuka aib keluarga. Dengan sulit
terungkapnya kekerasan terhadap perempuan, ini berarti perempuan korban kekerasan
secara tidak langsung belum terjamin haknya secara hukum.
Ancaman kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang sering
dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti
KDRT yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga
perempuan. Korban seperti ini sering tidak berani melapor, antara lain karena ikatan-
ikatan kekeluargaan, nilai-nilai sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun
dirinya atau korban merasa khawatir apabila si pelaku melakukan balas dendam.
Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan akan muncul apabila korban
melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kerap kali pernah
berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu. Jadi masing-
masing adalah fungsional atau mempunyai peran tertentu pada adanya atau timbulnya
suatu kejahatan atau viktimisasi kriminal tertentu.105
Pengaruh negatif KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat
hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di
105Sagung Putri M.E. Purwani, Op.cit., h. 3
72
dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh
korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya
membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum,
sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi
perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak
yang kemudian menjadi sumber masalah sosial. Melihat kondisi perempuan-
perempuan Indonesia yang sangat rentan menjadi korban, sampai sejauh mana negara
melindungi perempuan terutama yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah
tangga. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan hukum terhadap perempuan.
3.1. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP
Kejahatan dengan kekhususan korbannya perempuan, seperti yang
dirumuskan di dalam Pasal 285, 286, 287, 288, dan 297 dimasukkan ke dalam
Bab XIV di bawah judul Kejahatan terhadap Kesusilaan atau Kejahatan
terhadap Kesopanan.106 Dalam bab ini, pasal yang dirumuskan khusus bagi
korban yang berjenis kelamin perempuan adalah Pasal 285 tentang perkosaan,
Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau
pingsan, Pasal 287 tentang persetubuhan dengan perempuan di bawah umur,
Pasal 288 tentang persetubuhan dengan istri yang masih di bawah umur dan
Pasal 297 tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki. Beberapa pasal
106Niken Savitri, 2008, Op.cit., h. 68.
73
tersebut diberlakukan pemberatan dengan penambahan 1/3 (sepertiga) pidana
pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 291 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterankan dalam Pasal 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan mati, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Ketentuan Pasal 285 telah menempatkan perempuan dalam hal ini istri pada
posisi yang mempunyai hak apapun dalam hubungan seks dengan suami.
Ketentuan ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa para istri harus selalu patuh
pada kehendak seksual antara suami istri, hukum tidak bertanggung jawab
untuk melindungi istri karena istri dianggap tidak patuh kepada suaminya.
Ketentuan ini berarti tidak menghukum ”perkosaan” yang terjadi dalam
perkawinan (morital rape) yang dihukum adalah pelaku perkosaan terhadap
perempuan yang ”bukan istrinya”. Dalam kenyataannya perkosaan dalam
perkawinan banyak terjadi dalam kehidupan perkawinan.107
Sedangkan untuk Pasal 297, obyek yang dimaksud hanya wanita dan anak
laki-laki di bawah umur. Ketentuan ini mengatur secara luas. Tidak disebutkan
tentang bagaimana cara-cara yang dilakukan untuk melakukan perdagangan
wanita dan anak laki-laki di bawah umur tersebut. Dapat diartikan bahwa
dengan cara apapun yang bertujuan untuk memperdagangkan perempuan dan
107Nursyahbani Katjasungkana, 2002, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan, Galang Printika, Yogyakarta.
74
anak laki-laki di bawah umur dapat dijerat dengan ketentuan pasal ini. Dalam
hal pemidanaan, selain dikenakan ancaman pidana penjara sebagai pidana
pokok, diberlakukan ancaman pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal
298 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 281, 284-290 dan 292-297, pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah, melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297 dalam melakukan pencariannya, hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Berikut hak-hak yang tersebut dalam Pasal 35 :
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;2. hak memasuki angkatan bersenjata;3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;4. hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
Perlu ditambahkan juga bahwa selain pasal-pasal yang tersebut oleh Niken
Savitri, ada beberapa pasal lain dalam KUHP yang mengatur perlindungan
hukum bagi perempuan yaitu Pasal 284, 356, dan 304.
Pasal 284 adalah ketentuan yang mengatur tentang perzinahan (overspell)
dimana perempuan sebagai istri berhak mengadukan atas perbuatan zina yang
dilakukan oleh suami dan rekannya. Tindak pidana atau delik yang dimaksud
dalam ketentuan ini bersifat delik aduan (klach delict) sehingga perbuatan
75
tersebut dapat atau tidaknya dipidana sangat bergantung pada adanya
pengaduan dari pasangan yang tercemar.
Untuk kekerasan fisik terhadap perempuan, KUHP hanya mengatur dalam
Pasal 356 walaupun hanya dibatasi dengan batas maksimal, tetapi pidana yang
diancamkan lebih berat yaitu dengan pemberatan penambahan pidana 1/3
(sepertiga) dari pidana pokok.
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) :
Ke-1 : bagi yang melakukan kejahatan terhadap ibunya, bapaknya
menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.
Ketentuan ini hanya terbatas pada perempuan yang terikat sebagai istri,
anak atau orang tua walaupun tidak membatasi ruang lingkup dimana terjadinya
tindak pidana apakah di dalam atau di luar ruang lingkup rumah tangga.
Tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut hanya
khusus mengatur tentang penganiayaan atau kekerasan fisik. Untuk tidak pidana
lainnya seperti kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga, KUHP tidak
terlalu menekan dengan pemberian ancaman pidana yang berat. Bahkan pada
kekerasan psikis, KUHP tidak mengatur sedikit pun. Ruang lingkup objeknya
pun terbatas, yaitu terhadap ibu, bapak, istri atau anaknya.
Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
76
Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Ketentuan ini diatur tentang penggunaan ketentuan dimana ancaman pidananya
yang lebih rendah.
Pada Pasal 304 mengatur tentang perlindungan hukum terhadap orang yang
ditelantarkan oleh orang yang bertanggung jawab atas hidup si terlantar.
Ketentuan pasal ini mengatur secara umum. Akibat yang ditimbulkan yaitu
penelantaran yang menjadi syarat mutlak ketentuan ini. Walaupun tidak tersebut
secara kongkret siapa obyek yang dimaksud dalam ketentuan pasal ini, dapat
dikonotasikan bahwa perempuan sebagai istri ataupun perempuan yang bekerja
bisa saja yang akan menjadi obyek atau korban. Ketentuan ini pun diberlakukan
pemberatan dengan penambahan pidana 1/3 (sepertiga) pidana pokok
sebagaimana diatur dalam Pasal 306 berikut ini :
(1) Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 304 dan 305 itu
menyebabkan luka berat, maka si tersalah dihukum penjara slama-lamanya
tujuh tahun enam bulan.
(2) Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, si tersalah itu
dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
77
Penambahan 1/3 (sepertiga) pidana pokok sebagaimana dimaksud pada
Pasal 306 ini lebih diperberat lagi dengan adanya pidana tambahan yaitu
dicabutnya beberapa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 309 sebagai berikut :
Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam Pasal 304-408, dapat dijatuhkan hukuman pencabutan
hak yang tersebut dalam Pasal 35 No. 4.
Hak yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 No. 4 adalah hak
menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke
bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas.
3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hubungan
hukum antar individu dengan individu sehingga termasuk hubungan yang
diatur oleh hukum perdata, maka pengertian kekerasan tidak diatur di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan undang-undang hukum pidana yang merupakan hukum
publik yang mengatur hubungan individu dengan Negara dimana kekerasan
diatur di dalamnya. Meski demikian, ada beberapa ketentuan dalam Undang-
undang Perkawinan yang tersirat mengatur tentang kekerasan.
Pada Pasal 24 mengatur tentang pembatalan perkawinan apabila salah satu
pihak masih terikat perkawinan dengan dirinya. Pasal ini sangat erat kaitannya
78
dengan Pasal 5 ayat (1) dimana suami yang akan berpoligami diharuskan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mapu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Apabila syarat-syarat yang tersebut pada Pasal 5 ayat (1) ini tidak dipenuhi,
sangat dimungkinkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang
menyebabkan keadaan tertekan secara psikologis bagi si istri, bahkan perceraian
pun bisa saja terjadi.
Pada Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Selanjutnya Pasal 39 ayat (2) menentukan bahwa :
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
79
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain dimana pihak lain yang dimaksud di sini adalah korban
yang bisa saja adalah istri.
Alasan-alasan tersebut setidaknya telah mewakili penderitaan istri secara
fisik,ekonomi maupun psikologis sehingga ketentuan ini bisa dikatakan hanya
melindungi perempuan hanya pada bagian fisik, ekonomi dan psikologisnya
saja dengan cara bercerai. Tidak diatur dengan jelas apakah yang dimaksud
dengan kekejaman atau penganiayaan berat dalam ketentuan ini termasuk
kekerasan seksual.
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah undang-
undang yang dibuat pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, Negara Indonesia
mengakui dan terikat pada konvensi tersebut. Para perempuan yang menjadi
korban, dapat menjadikan undang-undang sebagai senjata pamungkas untuk
mendapatkan perlindungan hukum karena undang-undang ini membuat
keterikatan Negara Indonesia dengan dunia internasional sehingga apabila
perempuan yang menjadi korban tidak mendapat perlindungan hukum, mereka
80
dapat saja mengajukan perlindungan hukum atas dirinya kepada hukum
internasional.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 sebagai undang-undang penjamin
HAM warga negara terkait dengan perlindungan perempuan sebagai korban
Pasal 17 menentukan bahwa :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Selain itu, perempuan juga terjamin dan terlindungi haknya secara khusus
oleh undang-undang ini karena fungsi reproduksinya sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat (3) berikut :
Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Selanjutnya, terkait dengan perlindungan hukum terhadap perempuan,
produk hukum yang terbaru adalah UUPTPO sehubungan dengan semakin
tingginya kasus trafficking terhadap perempuan dan anak. Dalam undang-
undang ini, setiap tindak pidana diancam dengan pidana yang sangat berat
dengan diberikan batas minimal dan maksimal dan bersifat kumulatif atas
pidana yang diancamkan, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu,
pada beberapa ketentuan pasalnya juga diberinya penambahan 1/3 (sepertiga)
81
pidana dari pidana pokok yang diancamkan. Pengaturannya tersebut dalam
Pasal 2, 3, 4 dan 12.
Pasal 2 menentukan tentang larangan eksploitasi orang di wilayah Indonesia
dengan cara merekrut, mengangkut, mengirim, memindah, atau menerima
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yng memegang kendali atas orang tersebut.
Pasal 3 mengatur tentang larangan membawa masuk orang ke wilayah
Indonesia dengan tujuan eksploitasi.
Sedang Pasal 4 mengatur tentang larangan membawa warga Negara
Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan tujuan eksploitasi.
Pada Pasal 12 berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya yaitu memanfaatkan
korban. Cara-cara yang digunakan untuk memanfaatkan korban dengan cara
melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya, mempekerjakan korban
untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil
tindak pidana perdagangan orang.
Dalam undang-undang ini memang tidak disebutkan secara konkret siapa
korban yang dimaksud. Yang tersebut hanya orang dan anak, tidak disebut
secara jelas jenis kelaminnya. Tetapi bila dilihat pada konsideran undang-
undang ini, salah satu dasar hukum dibentuknya undang-undang ini adalah UU
No. 7 Tahun 1984 mengingat bahwa perdagangan orang, dalam hal ini adalah
82
perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan
martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sebagai tindak pidana yang
terorganisir dan lintas negara, sehingga harus diberantas. Maka, jelas sekali
bahwa selain anak, obyek undang-undang ini adalah perempuan. Tetapi tidak
menutup kemungkinan korban yang dimaksud juga termasuk laki-laki.
Sebegitu gigihnya pembuat UUPTPO untuk mencapai tujuan undang-
undang ini agar pemberlakuan undang-undang ini benar-benar efektif, demi
lancarnya proses peradilan dan tercapainya kata ”melindungi segenap bangsa”
sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 55 menyebutkan
bahwa selain perlindungan yang telah diatur secara khusus dalam undang-
undang ini, bentuk perlindungan juga diperkuat oleh produk hukum lainnya.
Menurut Pasal 44, perlindungan terhadap korban diberikan sebelum, selama,
dan sesudah proses pemeriksaan perkara. Undang-undang ini juga mengenal
istilah verstek sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) bahwa hakim dapat
memutus secara verstek untuk mempersempit ruang gerak pelaku yang ingin
menghindari proses pemeriksaan.
Selain itu, peran masyarakat sangat mutlak dibutuhkan sebagaimana diatur
dalam Pasal 60 ayat (2), bahwa masyarakat dapat berperan serta dengan
melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum
atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban.
Sehubungan dengan tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga, telah
dibentuk UUPKDRT. Dalam Pasal 2 UUPKDRT membatasi ruang lingkup
83
berlakunya hanya terbatas dalam rumah tangga. Artinya, selain suami, istri,
anak, orang yang mempunyai hubungan darah dan orang lain yang bekerja
membantu rumah tangga menetap dalam rumah tangga tersebut. Perbuatan yang
dilarang diatur dalam Pasal 5 meliputi :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal
50 dimana pidana yang diancamkan adalah bersifat alternatif dengan ancaman
pidana maksimal yang berbentuk pidana penjara dan pidana denda tanpa
menyebutkan ancaman pidana minimal dengan menggunakan kata ”dan/atau”.
Artinya, melalui putusan hakim, pelaku bisa mendapat pidana semau yang
dimau yaitu pidana seminimal mungkin bahkan bisa jadi pidana penjara bisa
diganti dengan pidana denda untuk menghindari rasa malu pelaku. Di sini, uang
adalah segalanya sehingga dapat diartikan pula bahwa tindak pidana yang
diperbuatnya bisa ditolerir dan cukup dibayarkan sejumlah uang sebagai ganti
bentuk pidana denda. Dampak psikologis yang dirasakan korban tidak dapat
dibayarkan dengan pidana denda. Trauma dan rasa tidak aman yang dirasakan
korban akan terus menghantui bila pelaku masih berkeliaran. Dari bentuk-
bentuk kekerasan yang dimaksud Pasal 5 tersebut, setiap tindak pidana yang
84
berkaitan dengan ketentuan pasal tersebut ancaman pidananya tidak selalu dapat
diganti dengan uang mengingat kasus semacam ini akan membawa konsekuensi
yang amat serius bagi perempuan secara sosial, ekonomi, maupun psikologis
(traumatis, depresi) dan beban yang ditanggung oleh perempuan secara
individual maupun keseluruhan dalam hal ini anak dan/atau keluarga sepanjang
hidupnya. Ini bukti bahwa hukum belum berpihak pada perempuan sebagai
korban. Hukum masih didominasi pemikiran patriarki dan buta gender. Semua
ini luput dari perhatian hukum karena hukum tidak antisipatif dengan fenomena
sosial yang cepat berubah. Sejumlah pasal memang mampu menjerat pelaku,
tetapi di sisi lain substansi dan rumusannya masih merugikan perempuan karena
tidak memperhatikan aspek psikologis dan fakta-fakta sosial dari korban.
Kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam KUHP sebagaimana
diatur dalam Pasal 356 tidak bersifat delik aduan walaupun tidak disebutkan
locus delictinya, hanya karena berdasarkan hubungan darah antara orang tua
dan anak ataupun hubungan suami istri. Pengaturan dalam UUPKDRT bersifat
delik aduan terhadap perbuatan yang tidak menimbulkan sakit atau luka yang
menghalangi korban untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatannya sehari-hari. UUPKDRT ini dibuat dengan maksud
sebagai undang-undang hukum pidana yang dibuat untuk melengkapi
kekurangan KUHP sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat
pada umumnya, perempuan khususnya sebagai korban. Dengan tujuan tersebut
di atas, tetapi di sisi lain undang-undang ini bersifat delik aduan, sangat sulit
85
untuk mencapai tujuan. Walaupun hanya pada beberapa ketentuan (Pasal 51, 52,
dan 53) diberlakukan sifat delik aduan, tetapi dampak dari suatu perbuatan yang
dilakukan pelaku dimana laki-laki yang mendominasi dalam suatu rumah
tangga terhadap perempuan sebagai kaum yang lemah dan selalu harus
mengalah, sehingga dirasa masih kurang berpihak undang-undang ini. Sifat
delik aduan yang menyebabkan undang-undang ini sangat sulit untuk menjamin
perlindungan hukum bagi korban. Perempuan korban KDRT tidak cukup
mempunyai keberanian untuk melaporkan atas tindak pidana yang menimpanya
sehigga mereka lebih banyak mendiamkan masalahnya dengan lebih banyak
“nrimo” menjadi korban karena jenis kelaminnya perempuan.
Seharusnya dengan dibuatnya UUPKDRT sebagai hukum pidana dimana
tujuan awal pada umumnya adalah karena belum ada pengaturan khusus dalam
KUHP sebagai bentuk jaminan perlindungan sehingga dibentuklah UUPKDRT
ini dengan harapan adanya hukum pidana yang baru di luar KUHP akan
diaturnya lebih detail sebagimana pengaturan dalam UUPTPO yang mengatur
lebih detail seperti percobaan (Pasal 10), permufakatan (Pasal 11), dan tindak
pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.
Walaupun dalam Pasal 55 UUPKDRT yang memberi kemudahan kepada
korban dengan hanya mensyaratkan 2 dua alat bukti saja, tetapi menjadi sia-sia
ketika mengingat tindak pidana dalam undang-undang ini masuk dalam wilayah
domestic rumah tangga dan posisi tawar perempuan yang sangat rendah yang
membuat enggan perempuan untuk melaporkan masalah rumah tangganya
86
(tindak pidana yang dialaminya) apalagi beberapa ketentuan tindak pidana
ditentukan sebagai delik aduan. Beberapa tindak pidana dalam undang-undang
ini yang bersifat delik aduan tersebut adalah sebagai berikut :
- Pasal 51 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) adalah delik aduan;
- Pasal 52 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) adalah delik aduan;
- Pasal 53 menyebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh
suami atau istri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 adalah delik aduan.
Tindak pidana dalam Pasal 51 dan 52 bersifat delik aduan karena akibat
yang ditimbulkan tidak ada. Padahal tindak pidana adalah tetap tindak pidana
karena unsur sengaja. Akibat yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana itu
hanya sebuah hasil. Tetapi apabila mengingat korban KDRT sebagian besar
adalah perempuan yang sangat perasa, akan lebih banyak mengakibatkan efek
buruk secara psikis yang bersifat traumatis selain efek buruk lainnya yang
tampak secara kasat mata. Dalam KUHP, suatu tindak pidana tetap diancam
pidana, apalagi jika perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang buruk akan
memperberat ancaman pidananya.
Sedang Pasal 53 UUPKDRT ditentukan sebagai delik aduan adalah
sangat tidak adil bagi perempuan. Tidak dapat dijadikan alasan tentang sebuah
perkawinan adalah urusan privat sehingga Negara tidak bisa mencampuri
87
urusan rumah tangga warga negaranya dalam hal ini kekerasan seksual. Tidak
dapat disangkal bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di luar
perkawinan, tetapi juga terjadi di dalam perkawinan. Marital rape, istilah asing
yang biasa dikenal atas kekerasan seksual dalam perkawinan menjadi sulit
dijangkau oleh UUPKDRT ketika disifatkan menjadi delik aduan. Negara telah
memberikan ruang kebebasan kepada warga negaranya sebagai urusan privat
atas suatu perkawinan. Hal ini menambah ciut nyali perempuan untuk
mendapatkan keadilan karena sifatnya sebagai delik aduan. Dengan keadaan
seperti ini, dapat dikatakan UUPKDRT belum mampu menjamin perlindungan
hukum bagi perempuan sebagai korban. Sudah tidak bisa lagi digunakan secara
mutlak atas sifat delik aduan bila suatu tindak pidana telah mengancam
kepentingan umum. Di Eropa, perkawinan dianggap sebagai kontrak sehingga
ketika terjadi suatu perbuatan yang membuat tidak nyaman salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan sadar dan akan menuntut atas perbuatan yang
menimpanya. Berbeda dengan Indonesia dimana pola pikir masyarakat
Indonesia yang sebagian besar patriarki, memposisikan perempuan lebih rendah
dari posisi laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin mempunyai kuasa penuh
atas seluruh keluarganya sehingga kekerasan dalam rumah tangga sebagai
kawasan domestic atau privat sangat terasa kental . Suatu perkawinan terjadi
melalui beberapa prosedur yang harus dilewati dimana dalam prosedur-prosedur
tersebut perkawinan tidak hanya terbatas pada 2 (dua) orang saja, antara laki-
laki dan perempuan, tetapi melibatkan hubungan keluarga kedua belah pihak,
88
masyarakat sekitar sebagai kelompok yang akan dimasuki oleh keluarga baru,
dan tentunya perkawinan akan menjadi urusan negara ketika perkawinan itu
harus melalui pencatatan sebagai bentuk kewajiban anggota masyarakat dalam
hal tertib administrasi sebagai jaminan perlindungan hukum atas perkawinan
yang telah dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Mengenai penentuan penting tidaknya sifat delik aduan yang terkait
dengan uraian di atas, mengutip pendapat Barda bahwa lembaga perkawinan
bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual, melainkan terkait
pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan
keluarga, kepentingan kaum dan kepentingan lingkungan. Hubungan
perkawinan bukan semata-mata hubungan perjanjian antara individu yang
bersangkutan, melainkan juga terkait hubungan kekeluargaan dan kekerabatan
kedua belah pihak. Proses perkawinan bukan semata-mata proses individual,
melainkan juga proses kekeluargaan, kekerabatan dan bahkan lingkungan108
sehingga dianutnya delik aduan dalam UUPKDRT adalah sangat tidak adil bagi
perempuan. Apalagi, dalam kebijakan tidak ada yang bersifat absolut. Bisa saja
108Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 291.
89
suatu kebijakan berubah, bergantung pada situasi dan tujuan yang ingin
dicapai.109
Terkait tersebut di atas, Jonkers mengingatkan bahwa110 :
Dari beberapa pihak timbul keberatan terhadap penentuan delik-delik
pengaduan, karena kepentingan perseorangan didahulukan dari pada
kepentingan umum dan karena merupakan kewajiban penguasa untuk
mendahulukan yang terakhir ini…
Ditambahkan pula oleh Jonkers111 :
…sebaik-baiknya jangan tergesa-gesa menentukan suatu peristiwa pidana sebagai delik aduan. Meskipun seperti saya katakan delik-delik aduan dalam Kitab Undang-undang kita agak sedikit, saya meragukan apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini cukup berhati-hati, terutama karena asas opportuniteit merupakan salah satu corak yang pokok dari hukum acara pidana kita, yang memberi kebebasan pada penuntut umum apabila kepentingan pribadi dan kepentingan umum saling bertentangan, untuk membiarkan suatu perkara supaya tidak dituntut.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa apabila dalam suatu
hubungan hukum, titik berat berada pada kepentingan orang per orang
(individu), maka kita masih ada di bidang hukum perdata. Apabila hubungan
hukum itu titik berat pada kepentingan-kepentingan orang-orang sebagai
109Ibid.
110Jonkers, 1987, Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Terjemahan, h. 247.
111Ibid.
90
kumpulan orang banyak, maka kita mulai menginjak bidang hukum publik,
dimana kita ada kemungkinan menginjak pula pada bidang hukum pidana.112
Ketika akan diputuskan atas suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu
kajian yang mendalam apakah pantas atau tidak untuk ditetapkan sebagai delik
aduan mengingat tujuan untuk melindungi “segenap bangsa” dalam hal ini
kepentingan umum harus didahulukan berikut dampak positif dan negatif yang
ditimbulkan ketika suatu tindak pidana ditetapkan atau tidak sebagai delik
aduan. Negara bertanggung jawab atas perlindungan hukum terhadap “segenap
bangsa” tersebut sehingga pantas kiranya apabila tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga tidak lagi bersifat privat mengingat kepentingan ini untuk
perlindungan hukum terhadap perempuan secara keseluruhan bukan individual.
Bertolak dari uraian di atas, maka dengan adanya kajian ulang terhadap
pemberlakuan UUPKDRT melalui kebijakan Hukum Pidana atau pembaharuan
hukum pidana dapat dipikirkan kembali atas penentuan sifat delik aduan pada
beberapa pasal dalam undang-undang tersebut mengingat tujuan dibentuknya
undang-undang ini adalah melindungi kaum perempuan dan UUPKDRT
sebagai salah satu wujud kebijakan Hukum Pidana dimana kebijakan itu sendiri
tidak bersifat absolut, tergantung situasi dan tujuan yang ingin dicapai
sebagaimana dikemukakan oleh Barda.
112Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 11.
91
Tidak efektifnya pemberlakuan UUPKDRT ini tidak dapat dijadikan
pelindung bagi korban. Maka sebagai gantinya, untuk menjerat pelaku akan
digunakan undang-undang lain dalam hal ini KUHP. Sedangkan KUHP tidak
mengatur secara lengkap. Untuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal
53 UUPKDRT, KUHP hanya mengatur apabila tindak pidana dilakukan
terhadap istri yang diketahuinya belum mampu untuk dikawini atau belum
cukup umur dan mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 288
KUHP. Hal ini akan mengigatkan kita pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP
yang pada intinya mengatur tentang ketentuan yang menguntungkan yang
berlaku bagi pelaku setelah adanya perubahan.
Dalam UUPKDRT, pembatasan individu terlihat pada latar belakang
pembuatan undang-undang ini dibuat. Dalam pertimbangannya disebutkan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu, bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan bentuk
diskriminasi yang harus dihapus. Lebih spesifik lagi, disebutkan tentang
keharusan perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Dalam hal korban ingin mendapatkan perlindungan dan keadilan atas
tindak pidana yang dialaminya, Pasal 26 mengatur bahwa korban dapat melapor
atas tindak pidana yang dialaminya secara langsung maupun tidak langsung
92
yang dikuasakan kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan
dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara sebagaimana diatur dalam ayat (2). Namun
faktanya, seperti pengalaman peneliti sendiri bahwa orang lain dalam hal ini
masyarakat hanya memandang iba dengan kondisi korban seolah-olah korban
adalah ’tontonan gratis yang menarik’ dan berpikir atas apa yang menimpa
korban termasuk wilayah privat sehingga mereka enggan untuk menolong
ataupun memberi support dalam bentuk apapun untuk penyelesaian secara
hukum. UUPKDRT seolah-olah melegitimasi apa yang dipikirkan masyarakat.
Terbukti pada Pasal 15, peran serta masyarakat hanya terbatas pada :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat;
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Dari sekian banyak peran serta masyarakat dalam penegakan undang-
undang ini seolah hanya menjadi pelengkap undang-undang ini karena sifat
delik aduan pada undang-undang ini. Ketidakberpihakan UUPKDRT ini tampak
sangat jelas bahwa peran serta masyarakat hanya bersifat membantu dalam hal
perlindungan terhadap korban. Apa artinya peran serta masyarakat apabila
undang-undang ini menganut delik aduan? Sampai kapan batas waktu
keikhlasan masyarakat untuk berperan serta dalam hal upaya perlindungan
93
terhadap korban tanpa dibarengi dengan proses hukum terhadap pelaku?
Apalagi pihak keluarga yang lebih cenderung menyalahkan korban yang
terkesan menantang atau menimbulkan rangsangan atas terjadinya tindak pidana
terhadap diri korban. Apalagi jika korban melaporkan tindak kekerasan yang
dialaminya, hanya akan memperuncing masalah. Padahal, korban hanyalah
seorang perempuan yang secara biologis lebih lemah dibandingkan laki-laki
serta dianutnya sistem budaya patriarki yag lebih mengagungkan posisi laki-
laki. Maka sangat mustahil bila perempuan sebagai korban diangap menantang
atau memicu terjadinya tindak pidana kekerasan. Bukankah secara fisik
perempuan pasti kalah terhadap laki-laki? Belum lagi ditambah adanya hasutan
pemikiran dari pihak keluarga untuk tidak memproses tindak pidana yang
menimpanya tersebut secara hukum karena hanya akan membuka aib keluarga.
Pemikiran ini yang paling menentukan untuk membuat korban bingung. Di satu
sisi, korban terdzalimi. Korban sangat ingin mendapat keadilan atas apa yang
dialaminya. Namun di sisi lain, baik karena hubungan darah atau pun karena
tinggal serumah dengan pelaku, harus bisa menjaga keutuhan dan keharmonisan
rumah tangga dengan tidak melapor tidak pidana yang menimpanya sehingga
tampak luar oleh warga masyarakat sekitar, kehidupan keluarga tersebut
berjalan rukun dan harmonis. Padahal, sifat delik aduan tersebut hanya pada
beberapa ketentuan saja, tidak berlaku untuk semua tindak pidana. Tetapi
pemahaman masyarakat termasuk aparat penegak hukum tentang gender
terutama tentang pemahaman undang-undang ini kurang karena pengaruh
94
sistem budaya patriarki. Apalagi UUPKDRT tidak menuntut peran aktif
masyarakat dalam penegakan hukum undang-undang ini.
Berbeda dengan UUPTPPO yang bersifat mutlak, tidak bersifat delik
aduan. Keadaan ini akan menjadi celah yang sangat menguntungkan pelaku
untuk menghindari ancaman pidana yang lebih berat ketika korban UUPTPPO
masuk dalam lingkup rumah tangga mengingat ketentuan Pasal 1 ayat (2)
KUHP yang menegaskan tentang ketentuan yang menguntungkan yang berlaku
bagi pelaku..
UUPKDRT tidak menyebut pengaturan tentang penyertaan dan
pembantuan. Atas ketiadaan pengaturan tentang hal-hal tersebut, maka
ketentuan dalam KUHP yang akan berlaku sebagai dasar hukumnya. Berbeda
halnya dengan UUPTPPO yang mengatur semuanya sebagaimana halnya
dengan KUHP. Mulai dari pembantuan, aktor intelektual, permufakatan,
peniadaan pidana terhadap pelaku, tata cara peradilan yang lebih
menguntungkan korban, penambahan pidana tambahan sampai pada
keikutsertaan masyarakat untuk melaporkan adanya tindak pidana.
UUPKDRT mengatur kekerasan seksual dalam pemberian pidana berbeda
dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Pada Pasal 47 dan 48, ancaman pidananya
diberi batasan minimal dan maksimal walaupun masih tetap bersifat alternatif
dengan penggunaan kata “atau”. Seharusnya pemberian batasan mimal dan
maksimal tersebut berlaku terhadap semua ketentuan pidana untuk menghindari
pengenaan pidana yang terlalu rendah sehingga diharapkan ada rasa aman dan
95
nyaman pada diri korban ketika suatu ketentuan pidana yang diancamkan diatur
secara jelas. Hal ini sangat berpengaruh pada emosional korban mengingat
dampak yang timbul dari tindak pidana kekerasan baik itu kekerasan fisik,
kekerasan seksual, kekerasan psikis, ataupun penelantaran ekonomi akan
mengakibatkan dampak psikologis yang sangat berat dan sangat sulit untuk
pulih kembali.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, bisa jadi dibentuknya UUPKDRT
hanya sekedar pajangan mengingat pasal 1 ayat (2) KUHP menentukan :
Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka
kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan.
Boleh jadi ancaman pidana dalam UUPKDRT sangat tinggi tetapi
ancaman pidananya ditentukan dengan batas maksimal saja dan bersifat
alternatif, maka ketentuan-ketentuan tersebut bisa menjadi celah bagi pelaku
untuk menghindari ancaman pidana maksimal yang begitu tinggi pada
UUPKDRT walaupun keputusan penjatuhan pidana sepenuhnya menjadi
kewenangan hakim. Hanya beberapa ketentuan saja yang ancaman pidananya
ditentukan batasan minimal dan maksimalnya, yaitu pada Pasal 47 dan 48,
tetapi tetap bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan
ditentukannya batasan minimal dan maksimal pada ancaman pidana, sangat
jelas akan kepastian hukumnya, setidaknya ada efek jera bagi pelaku atau
96
tekanan khusus kepada masyarakat secara umum untuk tidak melakukan
perbuatan sebagaimana diatur dalam UUPKDRT.
Bertolak dari uraian di atas sehubungan dengan ditentukannya batasan
maksimal saja pada ancaman pidana, berlaku delik aduan serta kurangnya peran
aktif masyarakat, sangat jelas UUPKDRT lebih memihak pada laki-laki sebagai
pelaku. Wajar apabila banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi
dark number. Pada satu sisi, perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai
korban dengan adanya UUPKDRT ini terjamin, tetapi faktanya undang-undang
ini belum dapat melindungi korban dengan banyak berpihaknya undang-undang
kepada laki-laki sehingga sulit sekali undang-undang ini untuk menjerat pelaku
dalam artian perempuan sebagai korban benar-benar terjamin secara hukum atas
perlindungan dirinya. Hal ini akan sangat membingungkan padahal asas
legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP masih berlaku sampai detik ini. Semakin
terkatung-katung tindak pidana yang menimpa perempuan. Akan semakin
terlunta-lunta nasib perempuan sebagai korban dan terjadinya tingkat keseriusan
yang tinggi atas tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang
lumrah. Di sini perlu kiranya kita mengingat pada suatu asas hukum pidana
yaitu asas culpabilitas, adalah asas yang menentukan tentang tiada pidana tanpa
kesalahan, sebagai pasangan asas legalitas untuk mewujudkan ide
keseimbangan (ide monodualistik). Pandangan monodualistik ini dikenalkan
dengan istilah daad-daderstrafrecht yaitu hukum pidana yang memperhatikan
segi-segi objektif dari pembuatan (daad) dan juga segi-segi subjektif dan
97
orang/pembuat (dader).113 Ide ini bermaksud ingin mempertahankan dua asas
fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas
(kesalahan). Atas dasar perbuatan-perbuatan yang telah dikriminalisasi yang
kemudian diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai bentuk
asas culpabilitas, maka asas legalitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP dapat benar-benar menjamin perlindungan perempuan sebagai
korban.
Terkait dengan asas legalitas, Niken Savitri mengemukakan dalam
bukunya HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP,
bahwa teori hukum (khususnya Common Law Theory) atau positivisme hukum
cenderung patriarkhal atau didukung oleh ideologi maskulin mungkin tidak
terlihat secara eksplisit.114 Pendapatnya tersebut dikuatkan dengan beberapa
argumen berikut :
Pertama, secara empiris dapat dikatakan bahwa hukum dan teori hukum
adalah domain laki-laki. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa laki-laki
yang menulis hukum dan teori-teori hukum. Hal ini tampak dari para ahli teori
hukum yang mengemukakan teorinya, yang hampir keseluruhan dari mereka
adalah laki-laki. Dengan demikian penulisan dan hasil pemikiran para ahli pikir
hukum yang hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki itu langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya. Atau dengan
113Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 108.
114Niken Savitri, 2008, Op.cit., h. 81.
98
kata lain, teori-teori tersebut dihasilkan melalui kerangka berpikir dan
berdasarkan sudut pandang dari laki-laki pula.
Kedua, hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum
adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat dunia hukum
melalui imaji mereka dan mempertanyakannya dengan kebenaran yang menurut
mereka absolut. Apa yang kemudian muncul dari nilai-nilai maskulin, itula yang
mendominasi dan mewarnai masyarakat dan akhirnya hukum serta apa yang
dihasilkan oleh hukum. Kemudian permasalahan muncul, yaitu yang berkaitan
dengan kelompok yang terpinggirkan dan pembuat keputusan dan teori-teori
hukum tersebut (dalam hal ini perempuan). Permasalahan juga muncul pada
nilai-nilai yang ada pada sistem dan budaya yang diterapkan oleh kelompok-
kelompok tertentu tersebut.115 Apabila suatu produk hukum yang dibuat
mengandung nilai-nilai tertentu yang secara kultural melekat pada laki-laki,
maka tidak heran hukum tersebut akan berbicara atau lebih banyak berpihak
pada laki-laki.
Ketiga, secara tradisional teori hukum adalah patriarki karena sering
berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum. Hukum itu
sendiri tidak netral dan kenyataan bahwa hukum dapat digunakan oleh orang
yang berpengalaman pertimbangan bagi pembuat hukum.116 Juga tidak menjadi
pertimbangan bahwa banyak orang dalam banyak kasus dipengaruhi pesan
115Margaret Davies, 1994, Asking the Law Question, The Law Book Company Limited, h. 167.
116Ibid.
99
tertentu dari hukum dan kultur yang ada, sehingga hanya kekuatan dari ideologi
yang besar saja yang dapat memenangkan persengketaan dan berpengaruh pada
pesan tersebut. Hal ini menjadi relevan manakala seorang perempuan
berhadapan dengan laki-laki dalam sebuah sengketa hukum, akan berpihak pada
kelompok dari mana ideologi hukum itu berasal. Hal ini juga akan nampak
manakala seorang penegak hukum (bisa laki-laki maupun perempuan)
menerjemahkan pesan hukum tersebut kepada seorang korban perempuan,
dengan memaknainya dari sudut pandang laki-laki dan bukan sudut pandang
perempuan sebagai korban.117
Lebih sederhana, adanya bias patriarki pada hukum, menurut beberapa
feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya, dan
kekuasaan. Catherine Mac Kinnon memberikan teori atas kritiknya dengan
mendasarkan pada difference and dominance :
“…difference theory maintains that law disadvantages women because it
derives from male through and experience. Dominance theory assert that
male bias in law results from men subjection of women.”118
Hal tersebut di atas berjalan pula dengan apa yang dikemukakan oleh
Dworkin yang diikuti oleh Wayne Morrison tentang adanya politik dalam
117Niken Savitri, 2006, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerja sama dengan NZ AID, Yayasan Obor.
118Catherine Mac Kinnon, 1987, Feinism Unmodified, Harverd University Press, h. 33-34.
100
proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan. Yaitu bahwa
setiap sistem hukum merupakan ekspresi dari filsafat hukum yang dominan
yang juga merupkan kesatuan dan sangat berpengaruh pada sistem hukum
tersebut.119 Lebih lanjut menurut Dworkin :
“…this philosophy is expressed in the values and traditions of the law and
is worked out daily in the practice of developing law and deciding cases –
it is not a parely academic philosophy. The political system is also made
up of legal principles and these express the dominant political values of
the system.”120
Dworkin juga mengatakan bahwa pembangunan hukum ini dipengaruhi oleh
kebijakan, namun kebijakan adalah kekuatan internal yang ada di dalam proses
legislasi. Kebijakan legislasi yang dipengaruhi oleh suatu nilai yang dominan
akan secara implisi mewarnai kebijakan tersebut. Apabila kemudian kebijakan
tersebut berhadapan dengan kelompok yang bertentangan, maka warna
kebijakan tersebutlah yang akan mendimanasi dan berpengaruh pada tata kerja
kebijakan tersebut.
Menurut Anthon Freddy, rumusan atau teks perundang-undangan
setelah memiliki makna akan kebenaran yang tidak dapat dibantah lagi.
119Wayne Morrison, 1994, Elements of Jurisprudence, International Law Book Services, h. 208.120Ibid.
101
Rumusan tersebut diyakini oleh para positivist sebagai suatu yang diturunkan
dari kebenaran yang bersifat hipotesis.121 Berdasarkan pemikiran itu, para
penegak hukum akan menerapkannya pada kasus konkret berdasarkan makna
yang sudah dibakukan dalam rumusan dan teks tersebut. Digunakannya
positivisme hukum sebagai dasar landasan pengundangan dan pelaksaan suatu
peraturan, maka negara akan ‘terpaksa’ menafikan adanya kebutuhan peradilan
secara khusus yang dibutuhkan oleh kelompok tertentu. Karena positivisme
mengandaikan hukum secara liberal klasik yang menganggap kumpulan
masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak
yang sama.122 Dengan demikian, karena masyarakat dianggap homogen,
memiliki otonomi dan hak yang sama, hukum harus dapat berlaku objektif dan
netral kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut. Namun yang
terlupakan oleh adanya konsekuensi logis tersebut di atas adalah proses
perumusan hukum yang netral dan objektif tersebut dilakukan oleh sekelompok
orang yang memiliki pola pikir yang seragam, yaitu pola pikir patriarki
sehingga hukum yang akan dihasilkan akan memotret pola pikir tersebut ke
dalam realitas rumusan dan pelaksanaannya yang ternyata membuahkan
ketidakadilan bagi sekelompok lainnya yang tidak mendominasi pola pikir
pembuatan hukum. Ketika hukum harus dilaksanakan secara netral dan objektif,
121Anthon Freddy Susanto, 2000, Semiotika Hukum, dari Dekontruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, h. 182.
122Donny Danardono, 2006, Teori Hukum Feminis, Menolak Netralis Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, akarta, h. 6.
102
hasilnya adalah ketidakadilan bagi kelompok yang tidak terwakili secara
dominan dalam perumusan tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok
perempuan.
Selain diatur dalam undang-undang hukum pidana, perlindungan hukum
terhadap perempuan korban kekerasan juga diatur dalam KUHPerdata. Hak-hak
korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan dasar hukum Pasal
1365, 1370, 1371 BW. Korban yang dimungkinkan mendapat ganti kerugian
dari hakim pidana bilamana hakim menetapkannya sebagai syarat dalam suatu
putusan pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf c KUHP.123
Dalam KUHAP pun juga diatur tentang hak korban untuk mengajukan gugatan
ganti kerugian dengan memohon penggabungan perkara pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 98 sampai 101.
123Mardjono Reksodiputro, 1979, Mengapa Dperlukan Viktimologi, Makalah, Jakarta, h. 6.
103
BAB IV
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
4.1. Perbandingan Hukum
Sebelum berlakunya UUPKDRT, KUHP yang digunakan untuk
menjerat tindak pidana serupa. Sebenarnya KUHP hanya mengatur secara
umum, tidak secara lengkap. Secara keseluruhan, ketidaksempurnaan
ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini masih lebih baik dibanding UUPKDRT.
Hal ini disebabkan adanya ketidaksinkronan antara antara KUHP sebagai
hukum pidana secara umum yang mengatur sebelumnya dibandingkan dengan
UUPKDRT sebagai hukum pidana yang lebih khusus. Untuk tindak pidana
kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UUPKDRT, telah diatur dalam
KUHP Bab XX tentang Penganiayaan. Sedangkan tindak pidana kekerasan
psikis yang diatur dalam Pasal 45 UUPKDRT, KUHP tidak mengatur sama
sekali. Untuk tindak pidana berupa kekerasan seksual yang ditentukan dalam
Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UUPKDRT, telah diatur dalam KUHP Bab
XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Adapun tindak pidana
penelantaran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UUPKDRT, KUHP
104
tidak mengatur sedikit pun sebagai tindak pidana, tetapi di dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat (3), hal tersebut
telah diatur sebagai perbuatan yang melalaikan kewajiban. Beberapa ketentuan
pidana yang tidak sinkron tersebut adalah sebagai berikut :
a. Beberapa ketentuan UUPKDRT diatur sebagai delik aduan. Pasal 44 ayat (4)
jo Pasal 51 UUPKDRT bersifat delik aduan. Sedangkan Pada Pasal 352 ayat
(1) KUHP tidak dikategorikan sebagai delik aduan, bahkan apabila tindak
pidana tersebut dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau berada
di bawah perintahnya, ancaman pidananya diperberat dengan penambahan
1/3 (sepertiga) dari pidana pokok. Ketentuan lain yang diatur sebagai delik
aduan adalah Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 52 tentang kekerasan psikis yang
dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dan Pasal 46 jo Pasal 53
tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suaminya terhadap istrinya
atau sebaliknya. Padahal tindak pidana adalah tetap tindak pidana dimana
dalam suatu tindak pidana akan timbul korban sebagai pihak yang dirugikan
tinggal serumah dengan pelaku, terlebih lagi apabila melihat akibat yang
ditimbulkan dari adanya tindak pidana yang tidak hanya berdampak secara
fisik tetapi juga secara psikis.
105
b. Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) UUPKDRT adalah tindak pidana kekerasan
fisik yang diatur secara biasa. Berbeda halnya dengan Pasal 356 KUHP yang
memperlakukan lebih spesial terhadap korban yang mempunyai hubungan
keluarga dengan pelaku. Ketentuan pasal ini memperberat ancaman
pidananya dengan penambahan 1/3 (sepertiga) dari pidana pokok apabila
tindak pidana dilakukan terhadap bapak, ibu, istri atau anaknya.
c. Pemidanaan dalam UUPKDRT yang bersifat alternatif antara pidana penjara
dan/atau pidana denda menambah keberpihakan terhadap pelaku dimana
pada beberapa ketentuan pasalnya hanya menyebut pidana maksimal saja,
yaitu Pasal 44, 45, 46, dan 49. Ancaman pemidanaan yang bersifat alternatif
ini memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana
secara akumulatif atau memilih salah satu jenis pidana yang diancamkan.
Sedangkan pencantuman ancaman pidana maksimal saja memberikan
peluang bagi pelaku mendapat sanksi pidana yang rendah karena ketiadaan
batasan minimal.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, penulis mencoba melakukan kajian
perbandingan dengan RKUHP 2008 dan hukum pidana di beberapa negara lain
sebagai bentuk masukan bagaimana sebaiknya UUPKDRT di masa mendatang
yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai
korban.
106
4.1.1. Kajian perbandingan dengan RKUHP 2008
Rancangan KUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 mengatur tentang
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Namun, tindak pidana
dalam ruang lingkup rumah tangga ini lebih sedikit dibanding
UUPKDRT. Dalam RKUHP, penelantaran rumah tangga tidak
dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Sedangkan tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dengan mengabaikan locus delicti-nya tidak harus
serumah dengan pelaku, pengaturannya sama dengan KUHP yang
berlaku saat ini yaitu masih diancam pidana dengan pemberatan dengan
ditambah 1/3 (satu per tiga) pidana pokok.
Kekerasan dalam rumah tangga diatur menjadi satu bab dengan
penganiayaan, yaitu pada Buku Kedua Bab XXIII Tindak Pidana
Penganiayaan Bagian Ketiga. Berikut ketentuan-ketentuan yang
mengatur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga :
- Pasal 587 mengatur tentang kekerasan fisik
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
107
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori
III dan paling banyak Kategori V.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori IV dan
paling banyak Kategori VI.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori II.
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau
istri.
Pada ayat (1), tidak ditentukan batasan minimal hanya batasan
maksimal. Ketentuan tersebut juga hanya menyebut perbuatan yang
108
dikriminalisasi tanpa menyebut akibat yang ditimbulkan. Sedangkan
ayat (2) dan (3), terhadap perbuatan yang menimbulkan akibat jatuh
sakit/luka atau bahkan matinya korban, ancaman pidananya ditentukan
batasan minimal dan maksimal. Seperti pada umumnya, atas perbuatan
pelaku yang tidak menimbulkan akibat yang mengganggu aktivitasnya
sebagaimana diatur dalam ayat (4), ancaman pidananya lebih ringan
dan tidak mencantumkan batasan minimal serta bersifat delik aduan
sebagaimana diatur pada ayat (5). Menurut penulis, antara ayat (1) dan
ayat (4) agak membingungkan dan bisa dikatakan kabur. Yang
menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi perbedaan antara ayat (1)
dengan ketentuan pada ayat lainnya yang lebih spesifik? Hanya
ketentuan ayat (1) yang mengatur secara umum. Padahal hukum itu
harus jelas dan tegas. Apabila diartikan secara mudah, anggap saja
ketentuan ayat (1) untuk menutup peluang pelaku menghindar jeratan
pidana.
RKUHP ini tidak beda jauh dengan UUPKDRT. Untuk
ancaman pidana penjara pada RKUHP memang lebih rendah dari
UUPKDRT tetapi sebagian besar ketentuannya menggunakan batas
minimal dan batas maksimal sehingga sedikit lebih tegas ketentuan
dalam RKUHP dibandingkan UUPKDRT. Apabila korban merasa
kurang mendapatkan keadilan dengan penjatuhan pidana penjara,
kekecewaan korban masih bisa ditutupi dengan ancaman pidana denda
109
yang menggunakan batasan minimal dan maksimal dengan angka
nominal yang tinggi walaupun sifatnya alternatif. Pada ketentuan yang
dilakukan terhadap istri yang tidak menimbulkan dampak buruk yang
dapat mengganggu aktivitas korban, masih tetap delik aduan. Namun
yang membedakan UUPKDRT dan RKUHP adalah ketentuan pidana
dendanya yang diseragamkan sedemikian rupa untuk menghindari
disparitas atas putusan hakim walaupun pada beberapa ketentuan tidak
menyebut batas minimal, hanya menyebut batas maksimal saja.
Pengaturan keseragaman pidana tersebut diatur pada Pasal 80 ayat (3)
berikut ini :
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori,
yaitu :
a. Kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b. Kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c. Kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
d. Kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lma juta rupiah);
e. Kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
f. Kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Apabila dibandingkan dengan Pasal 582 tentang penganiayaan
terhadap badan secara umum yang berbunyi :
110
(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III atau paling
banyak Kategori IV.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1)
mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4) Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Kategori II.
Ketentuan Pasal 582 ini dimana perbuatan tindak pidananya
tidak memperhatikan locus delictinya memberikan ancaman pidana
penjara saja yang lebih ringan dengan tetap diberi batasan minimal
dan maksimal. Bahkan, percobaan atas tindak pidana ini pun diancam
pidana walaupun hanya diancam pidana denda. Pada ayat (1),
ketentuannya bersifat umum. Hanya ketentuan ayat (1) saja yang
111
ancaman pidananya diatur secara alternatif antara pidana penjara dan
pidana denda. Setidaknya, ketentuan pasal ini telah berusaha untuk
meminimalisir tindak pidana penganiayaan.
Selanjutnya Pasal 583, tentang penganiayaan ringan :
(1) Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582,
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian,
dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya, maka pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Kategori I.
Pasal ini tidak beda jauh dengan Pasal 582. Ada yang menarik
pada ketentuan ini, bahwa perbuatan yang dilakukan kepada orang
112
yang bekerja kepada pelaku tanpa dibatasi tempat, dikenakan
pemberatan pidana yaitu ditambah 1/3 (satu per tiga).
Selanjutnya, Pasal 585 tentang penganiayaan dengan pemberatan:
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582 dan
Pasal 584, dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika tindak pidana
tersebut dilakukan :
a. terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya;
b. terhadap pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
atau
c. dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Pasal 584 tentang penganiayaan berat yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena
melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun.
113
Ketentuan pasal ini mirip dengan Pasal 356 KUHP. Walaupun
RKUHP mengatur tersendiri tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga, tetapi ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana tanpa
melihat locus delictinya yang dilakukan salah satunya kepada orang-
orang yang mempunyai hubungan darah yaitu ibu, bapak, istri atau
anaknya.
- Pasal 588 mengatur kekerasan psikis
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis
dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori II.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.
114
Ketentuan tentang kekerasan psikis ini ancaman pidananya lebih
ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam
ruang lingkup rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari
kekerasan psikis ini sama beratnya dengan kekerasan fisik karena
berkaitan dengan harga diri walaupun kekerasan psikis ini tidak
meninggalkan luka pada fisik sehingga sulit untuk dilihat dengan mata
telanjang.
- Pasal 589 mengatur kekerasan seksual
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit
Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.
Pasal 490 tentang perkosaan diancam pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun apabila
laki-laki bersetubuh dengan perempuan :
115
(1) a. dilakukan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak
perempuan tersebut;
b. dilakukan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan
tersebut;
c. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi
persetujuan tersebut dicapai dengan melalui ancaman untuk
dibunuh atau dilukai;
d. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut karena
perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tesebut adalah
suaminya yang sah;
e. usia perempuan di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan
persetujuannya; atau
f. dilakukan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(2) a. Dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan; atau
b. memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian
tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan
Ketentuan Pasal 490 tidak membatasi locus delicti. Ancaman
pidana Pasal 490 adalah pidana penjara saja yang lamanya sama
dengan Pasal 589. Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pasal 490
ancaman pidananya lebih berat dibandingkan Pasal 589. Pasal 589
116
ancaman pidananya bersifat alternatif, keputusan hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan hakim.
Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat
alternatif, bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana
denda. Adanya pilihan dalam pengenaan pidana denda kepada
terpidana ini akan sangat menguntungkan pelaku, sehingga pelaku
tidak perlu menjalani pidana penjara dalam kurun waktu tertentu.
Pelaku masih bebas berkeliaran dan besar kemungkinan timbul rasa
tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.
Dikenakannya pidana tidak hanya sekedar untuk membalaskan
dendam korban, tetapi lebih dari sekedar balas dendam, yaitu rasa
aman dan perasaan nyaman yang terlindungi secara hukum. Bahkan
untuk melindungi seluruh masyarakat. Selain itu, pengenaan pidana
yang efektif akan menimbulkan dampak kehidupan yang tertib dalam
masyarakat. Berdasarkan Pasal 55, bahwa dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan :
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
117
g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Atas beberapa hal tersebut yang menjadi pertimbangan dalam
menentukan pidana yang pantas, harus pula dengan pertimbangan atas
beberapa hal yang menjadi tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan
berdasarkan Pasal 54 adalah sebagai berikut :
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat
Selanjutnya, Pasal 590 mengenai orang yang telah
memanfaatkan orang lain untuk berhubungan seksual. Ketentuannya
berbunyi berikut ini:
118
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit
Kategori IV dan paling banyak Kategori V.
Perbuatan yang menimbulkan akibat terganggunya kesehatan
baik secara fisik maupun psikis, ancaman pidananya diperberat
sebagaimana diatur dalam Pasal 591 sebagai berikut :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589
dan Pasal 590 mengakibatkan korban mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana
denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori
VI.
119
Sebagian besar ketentuan RKUHP 2008 yang mengatur
tentang KDRT diancam pidana yang bersifat alternatif antara pidana
penjara dengan pidana denda. Untuk ketentuan pidana yang serupa
yang tidak dibatasi dengan locus delicti hanya diancam pidana penjara
saja atau pidana denda saja. Ada hal yang menarik dari konsep
RKUHP 2008 ini. Apabila korban merasa tidak puas dengan pidana
yang dikenakan terhadap pelaku, korban masih dimungkinkan untuk
mendapat ganti kerugian. RKUHP memberikan kesempatan kepada
korban mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas kerugian
yang dideritanya sebagai dampak yang ditimbulkan akibat dari tindak
pidana yang dialaminya. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 67 ayat (1)
RKUHP Tahun 2008 menyebutkan jenis-jenis pidana tambahan, antara
lain :
a. pencabutan hak-hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada ayat (2) disebutkan bahwa :
120
Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
Pada Pasal 99 disebutkan bahwa :
(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk
melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli
warisnya.
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana
penjara pengganti untuk pidana denda.
Ketentuan ayat (2), pidana tambahan dapat diakumulasikan
dengan pidana pokok baik secara individual ataupun kolektif dengan
pidana tambahan lainnya. Walaupun demikian, hakim tetap memegang
kuasa penuh atas keputusan yang akan dijatuhkan kepada pelaku
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 99 ayat (1). Apabila hakim
tetap menjatuhkan pidana tambahan pembayaran ganti kerugian,
sedangkan terpidana tidak mampu untuk membayarnya, kerugian yang
tidak dibayarkan kepada korban tersebut boleh diganti dengan pidana
penjara sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam
ayat (2). Rasa kecewa korban karena tidak mendapat pembayaran
121
ganti kerugian dari terpidana, setidaknya tergantikan dengan
mendekamnya pelaku di penjara.
4.1.2. Kajian perbandingan dengan negara lain
Pengaturan tentang KDRT di Negara lain tidak diatur secara
khusus dalam suatu undang-undang yang spesifik dan tidak membatasi
locus delictinya, namun yang tampak bahwa suatu pengaturan mengatur
suatu tindak pidana yang berkaitan dengan KDRT hanya karena
hubungan pelaku dengan korban. Beberapa tindak pidana yang tersebut
adalah yang berkaitan dengan kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan
penelantaran, antara lain124 :
a. KUHP Bulgaria
Pasal 115 mengatur pembunuhan biasa, diancam pidana
perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty) 10 (sepuluh) tahun
sampai 20 (dua puluh) tahun. Namun, apabila dilakukan oleh orang
tertentu dalam keadaan tertentu terhadap ayah/ibu atau anaknya
sendiri, wanita hamil, dll, ancaman pidananya diperberat menjadi 15
(lima belas) sampai 20 (dua puluh) tahun perampasan kemerdekaan
atau seumur hidup atau mati sebagaimana diatur dalam Pasal 116.
b. KUHP Perancis
124Disarikan dari Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 61-68, dan Barda Nawawi Arief, 2006, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 175-179.
122
Menurut Artikel 221-1, pembunuhan (murder) diancam pidana
30 (tiga puluh) tahun. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap keluarga/orang tuanya sendiri atau ayah dan ibu angkatnya
(a natural or legitimate ascendant or the adoptive father or mother),
ancaman pidananya diperberat menjadi penjara seumur hidup.
Pemberatan pidana ini tidak hanya berlaku pada tindak pidana
pembunuhan, tetapi juga berlaku pada tindak pidana penganiayaan
(torture) sebagaimana diatur dalam Artikel 222-3 dan tindak pidana
kekerasan (violence) yang diatur dalam Artikel 222-8 (violence
causing intended death), Artikel 222-10 (violence causing
mutilation or permanent disability), Artikel 222-12 (violence
causing a total incapacity to work for more than eight days), dan
Artikel 222-13 (violence causing an incapacity to work of eight days
or less).
c. KUHP Korea
Pasal 250 ayat (1) mengatur tentang pembunuhan biasa
dengan ancaman pidana mati, penjara kerja paksa seumur hidup,
atau penjara tidak kurang dari 5 (lima) tahun. Sedangkan pada ayat
(2) yang lebih dikenal dengan istilah Killing an Ascendant, apabila
tindak pidana dilakukan terhadap keluarga/orang tua garis lurus ke
atas (lineal ascendant) dari pihak si pelaku atau pihak istri atau
123
suaminya, diancam dengan pidana mati atau penjara kerja paksa
seumur hidup.
Tindak Pidana terhadap lineal ascendant ini juga berlaku
terhadap beberapa tindak pidana lainnya seperti :
- Penganiayaan dan kekerasan (crimes of bodily injury and
violence) diatur pada Pasal 257:2, 258:2, 259:2, dan 260:2;
- Kejahatan menelantarkan (crimes of abandonment) yang diatur
pada Pasal 271:2, termasuk juga di dalamnya tindakan perlakuan
kejam (cruelty treatment) sebagaimana diatur dalam Pasal 273:2;
- Penahanan/pengurungan/perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum (false arrest and false imprisonment) diatur
pada Pasal 276:2 dan 277:2;
- Kejahatan intimidasi/pengamcaman (crimes of intimidation)
diatur pada Pasal 283:2.
d. KUHP Jepang
Objek tindak pidana sama dengan KUHP Korea, yaitu terhadap
orang tua garis lurus ke atas baik dari pihak suami atau pun istri. Ini
jelas menunjukkan, perwujudan dari nilai budaya “penghormatan,
penghargaan, dan perlindungan martabat orang tua/leluhur” di
Jepang dan Korea. Tindak pidana terhadap a lineal ascendant (of the
offender or his/her spouse) ini meliputi :
- Pasal 200 tentang pembunuhan;
124
- Pasal 205 ayat (2) tentang penganiayaan;
- Pasal 218 ayat (2) tentang penelantaran;
- Pasal 220 ayat (2) tentang penahanan/pengurungan melawan
hukum; dan
- Pasal 222 ayat (2) tentang pengancaman terhadap keluarganya
termasuk orang tuanya.
e. KUHP Singapore dan Malaysia
Pada Bab XVI tentang Offences Affecting The Human Body
Pasal 317, diatur tentang meninggalkan atau menelantarkan anak di
bawah 12 (dua belas) tahun (abandonment o f a child under twelve
years).
f. KUHP Polandia
- Bab 22 Offences Against Liberty Pasal 170 tentang perbuatan
tidak senonoh dengan menyalahgunakan hubungan
ketergantungan;
- Bab 23 Offences Against Decency Pasal 175 tentang hubungan
seksual dalam hubungan keluarga atau dalam hubungan adopsi.
g. KUHP Yugoslavia
Bab XVI Criminal Offences Against the Dignity of the Person
and Morals Pasal 183 diatur tentang persetubuhan yang
menyalahgunakan kedudukan dalam hubungan
125
subordinasi/ketergantungan sebagai guru, pendidik, pembimbing,
orang yang mengadopsi, ayah tiri.
h. KUHP Norwegia
Untuk delik kesusilaan, diatur dalam Bab XIX Offences
Against Public Moral yang meliputi :
- Perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak senonoh
(indecent relations) dengan ancaman pidana berkisar antara 1
(satu) sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Perbuatan tidak senonoh
yang menyalahgunakan hubungan ketergantungan,
jabatan/kedudukan atau hubungannya dengan korban diatur pada
Pasal 198-199;
- Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak
senonoh dengan membujuk atau dengan tipu muslihat
sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ditentukan sebagai berikut :
“Public prosecution shall be initiated only on request of the
victim, unlessrequiredin the public interest”. Selain atas dasar
pengaduan korban, penuntutan juga dapat dilakukan atas dasar
kepentingan umum sekalipun tanpa pengaduan. Jadi, relativitas
pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan
individu/korban, tetapi juga kepentingan umum.125
125Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 177-179.
126
- Perbuatan melakukan hubungan seksual (sexual intercourse) yang
dilakukan dengan keluarga garis lurus ke bawah/ke atas (incest)
sebagaimana diatur pada Pasal 207.
Pada umumnya Negara lain tidak mengatur secara khusus tentang
kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga diatur dalam KUHP dengan ancaman pidana yang sangat
berat seperti tentang pengaturan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik
sampai pada perampasan kemerdekaan (Bulgaria, Perancis, Korea, dan Jepang),
delik asusila (Polandia, Yugoslavia, dan Norwegia) dan tentang
penelantaran rumah tangga (Korea, Singapore, Dan Malaysia). Ada hal unik
yang dapat dijadikan bahan pemikiran dalam pembaharuan hokum pidana
Indonesia adalah penentuan delik aduan atas delik asusila di Norwegia tidak
bersifat delik aduan absolute tetapi lebih cenderung ditentukan sebagai delik
aduan relative demi kepentingan umum sehingga apabila suatu tindak pidana
telah mengancam keamanan dan ketertiban umum, tidak terbatas pada korban
saja, maka suatu tindak pidana tetap dapat diproses menurut hokum sebagai
bentuk tanggung jawab Negara untuk melindungi warga negaranya.
4.2. Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Hukum terhadap Perempuan
pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa
Mendatang
127
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya sebagaimana diungkap
oleh Soetoprawira Korniatmanto bahwa kebijakan hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sudarto bahwa apabila hukum pidana hendak
digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau
”social defence planning” yang ini pun harus merupakan bagian integral dari
rencana pembangunan nasional.126 Politik kriminil sendiri adalah pengaturan
atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh
masyarakat, sebagaimana pendapat Marc Ancel yang menyebutnya sebagai ”the
rational oganization of the control of crime by society”127, dimana tujuan akhir
dari kebijakan kriminil adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan
utama dengan berbagai istilah yaitu kebahagiaan warga masyarakat/penduduk
(happiness of citizens); kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a
wholesome and cultural living); kesejahteraan masyarakat (social welfare); atau
keseimbangan (equality).128
Untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam politik kriminil, menurut
Muladi dan Barda, yang perlu dilakukan adalah :129
126Sudarto I, Op.cit., h. 104.
127Marc Ancel, Op.cit., h. 209.
128Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo, 1973.
129Muladi dan Barda N. Arief, 1998, Op.cit., h. 158-159.
128
1. Pendekatan Integral antara kebijakan penal dan non penal
Selain menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), juga digunakan sarana
”non penal” dengan melakukan usaha-usaha memperbaiki kondisi sosial
tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Dikemukakan juga bahwa sarana ”non penal” ini
mempuyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang
diintensifkan dan diefektifkan sehingga kegagalan dalam usaha ini akan
sangat berakibat fatal. Maka suatu kebijakan kriminil harus dapat
mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang
non penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan
terpadu.
2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum
pidana
Dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal, perlu
dilakukan penentuan tentang :
1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2) sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
129
Hal tersebut di atas senada dengan apa yang telah dibahas dalam
Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus
tahun 1980 di Semarang sebagai berikut :130
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-niali fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut dan tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana teori-teori hukum yang telah tersebut pada Bab I,
mengenai cost-benefit principle dan overbelasting yang dikemukakan
Sudarto sebagai masalah kriminal yang perlu diperhatikan bila
menggunakan pendekatan yang berorientasi kebijakan sosial, sejalan dengan
apa yang disebut faktor penentuan kriminalisasi dan dekriminalisasi oleh
Bassiouni. Apa yang disebut Sudarto sebagai cost-benefit principle dimana
penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil,
Bassiouni lebih memperjelasnya sebagai analisa biaya terhadap hasil-hasil
yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.
Sedangkan yang dimaksud overbelasting oleh Sudarto adalah penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja
badan-badan penegak hukum, Bassiouni menjabarkannya sebagai
keseimbangan sarana yang digunakan untuk hasil dicari atau ingin dicapai
130Ni Wayan Werda Surya dewi, 2009, Kebijakan Hukum Pidana terhadap Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis, Program Pasca Sarja Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 50.
130
dan penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber tenaga
manusia. Faktor terakhir Bassiouni adalah pengaruh sosial kriminalisasi dan
dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya yang
sekunder.
Menurut Bassiouni, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini
seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu ”scientific device” dan
digunakan sebagai alternatif dari pendekatan secara emosional diorientaikan
pada pertimbangan nilai (the emosionally laden value juggement approach)
yang umumnya dilakukan oleh badan legislatif. Namun sayangnya sangat
lamban dilakukan karena permasalahan pada sumber-sumber keuangan.
Proses kriminalisasi pun terus berjalan tanpa didasarkan pada penilaian-
penilaian yang teruji dan tanpa evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap
keseluruhan sistem, sehingga mengakibatkan krisis kelebihan kriminalisasi
(the crisis of overcriminalization) dan krisis pelampauan batas dari hukum
pidana (the crisis of overreach of the criminal law).131 Krisis kelebihan
kriminalisasi dan krisis pelampauan batas dari hukum pidana yang tersebut
oleh Bassiouni ini adalah dampak yang paling nyata tidak efektifnya suatu
produk hukum.
131M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 82-84.
131
Konsep perlindungan masyarakat ini pun membawa konsekuensi pada
pendekatan yang rasional seperti yang diungkapkan oleh J. Andenaes
berikut :132
If one bases the penal law on the concept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum of result must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and the effectiveness of the various forms of sanction.
Artinya, pendekatan kebijakan yang rasional ini menggunakan atau
sangat erat kaitannya dengan prinsip ekonomi, yaitu menggunakan biaya
serendah mungkin dengan harapan yang semaksimal mungkin. Yang
dimaksud prinsip ekonomi di sini adalah biaya yang ditanggung masyarakat
diupayakan seminimal mungkin dengan harapan hasil semaksimal mungkin
dalam hal efektivitas pengenaan sanksi pidana sebagaimana diungkapkan
Ted Honderich bahwa sanksi pidana yang dibuat harus efektif atau alat
pencegah yang ekonomis (economical deterrents).
Ditambahkan oleh Bassiouni, tujuan yang ingin dicapai oleh pidana
yang pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang
mengandung nilai-niai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-
kepentingn sosial tersebut adalah :
a.Pemeliharaan tertib masyarakat;
132J. Andenaes, 1974, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, h. 60.
132
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;c.Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.133
Pendapat Bassiouni di atas sangat cocok dengan kondisi bangsa dan
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan
pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk ”manusia Indonesia
seutuhnya”134. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kejahatan selalu mengancam
kehidupan kita. Di samping merupakan masalah kemanusiaan, kejahatan
merupakan masalah sosial yang diistilahkan Marc Ancel sebagai ”a human
and social problem”135, Benedict S. Alper menganggap sebagai ”the oldest
social problem”136, bahkan Packer menganggap sebagai masalah kebijakan
(the problem of policy137).
Salah satu cara menanggulangi masalah kemasyarakatan yang tertua
ini adalah dengan menggunakan hukum pidana beserta sanksinya yang
berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai
133M. Cherif Bassiouni, Op.cit., h. 78
134Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167.
135Marc Ancel, Op.cit., h. 99.
136Benedict S. Alper, Changing Concept of Crime Criminal Policy, UNAFEI No. 6/1973, h. 85.
137
1
H.L. Packer, Op.cit., h. 3.
133
salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang
kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan
penegakan hukum itu pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu
segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan
(hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.
Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada
hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah
penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif, begitu pendapat
Muladi dan Barda138. Dengan demikian masalah pengendalian atas
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan
hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi
juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).139
Tetapi penggunaan hukum pidana beserta sanksinya dalam
menanggulangi masalah sosial tertua ini menjadi sangat penting. Roeslan
Saleh mengemukakan tiga alasan atas perlunya pidana dan hukum pidana
sebagai berikut :140
a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan
138Muladi dan Barda II, Op.cit., h. 167. 139Ibid., h. 149.
140Ibid., h. 153.
134
terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
Dari ketiga alasan tersebut, Roeslan Saleh tetap mempertahankan pidana
dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan sudut tujuan,
fungsi dan pengaruh dari (hukum) pidana itu sendiri. Packer juga membahas
masalah pentingnya pidana dalam bukunya “The Limit of Sanction”
sebagaiman telah disebut pada Bab I.
Sebagaimana diketahui bahwa ancaman pidana penjara pada
UUPKDRT hanya menyebutkan ancaman maksimal ditambah pidana denda
yang bersifat alternatif, kecuali pada tindak pidana kekerasan seksual. Hal
ini akan memberi peluang terjadinya putusan yang variatif atas kasus yang
serupa sehingga tampak kurangnya kepastian hukum atas ancaman pidana
suatu tindak pidana. Padahal ancaman pidana merupakan instrumen strategis
guna memberi efek penjeraan (deterrence effect)141 bagi pelaku sebagai
cermin rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Dengan ancaman pidana
141Romany Sihite, Op.cit., h. 140.
135
yang ditentukan secara maksimal, dilihat dari sisi positifnya, menurut Collin
Howard sebagai berikut :142
a. Dapat menunjukkan tingkat
keseriusan masing-masing tindak pidana;
b. Memberikan fleksibilitas dan
diskresi kepada kekuasaan pemidanaan;
c. Melindungi kepentingan si
pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari
kekuasaan pemidanaan.
Secara teoritis, ketiga hal di atas telah menunjukkan aspek
perlindungan terhadap masyarakat termasuk di dalamnya pelaku/pelanggar
dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk menentukan pidana
yang akan dijatuhkan kepada pelaku dengan batasan-batasan tertentu yang
telah ditetapkan. Tetapi di sisi lain, hal ini akan membawa konsekuensi yang
menyulitkan hakim untuk menjatuhkan banyaknya/lamanya pidana yang
pantas dikenakan kepada pelaku sebagai bentuk perlindungan dan rasa adil
bagi korban.
Terkait dengan efek penjeraan tersebut di atas, diperlukan pendekatan
humanistis dimana menurut Sudarto bahwa hubungan pengenaan pidana
142Barda Nawawi arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 131-132.
136
terhadap pelaku dan pembaharuan Hukum Pidana tetap berkisar kepada
manusia, sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai
kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.143 Dalam hal
digunakannya pendekatan humanis, pengenaan pidana kepada pelaku tetap
harus dikenakan dengan melihat sisi kemanusiaan kepada si pelaku tanpa
harus meninggalkan efek jera atau dapat membangkitkan kesadaran si
pelaku akan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Menanggapi hal
tersebut, Marc Ancel berpendapat bahwa diperlukan pertanggungjawaban
yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menekankan pada
perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba
untuk merangsang ide tanggung jawab/kewajiban sosial terhadap anggota
masyarakat lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas
sosial.144
Bertolak dari uraian di atas, penggunaan pendekatan nilai yang
humanistik ini menuntut diselipkan ide “individualisasi” sebagaimana
diungkap oleh Marc Ancel dalam kebijakan Hukum Pidana. Ide
individualisasi sendiri mempunyai beberapa karakter sebagai berikut :145
d. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perseorangan (asas personal);
143Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 102. (Selanjutnya disebut Sudarto II)
144Marc Ancel, Op.cit., h. 76, 98, 104-105, 108-109.
145Ni Wayan Merda Surya Dewi, Op.cit., h. 58-59.
137
e. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan);f. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, dapat diartikan bahwa adanya kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
Terkait dengan hal di atas, selain untuk menimbulkan efek jera tanpa
harus meninggalkan rasa kemanusiaan terhadap terpidana, sangatlah penting
untuk menentukan ancaman pidana minimal selain penentuan ancaman
pidana maksimal. Dianut sistem pidana minimal khusus tersebut menurut
Barda, didasarkan pada pokok pemikiran146 :
1. Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;
2. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
3. Dianalogikan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimal pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimal pidana pun hendaknya diperberat dalam hal tertentu.
Perkembangan hukum pidana di Indonesia menunjukkan bahwa sistem
ancaman pidana telah diterapkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, dan kemungkinan juga akan dimasukkan dalam RKUHP yang
baru.
Selain itu, ada hal lain yang terlupakan atas tindak pidana yang
menimpa korban, yaitu tentang kerugian. Atas tindak pidana KDRT yang
146Barda IV, Op.cit., h. 138.
138
menimpa korban, tidak hanya menimbulkan efek secara fisik dan psikis.
Namun, pembuat UUPKDRT belum memikirkan kerugian ekonomi yang
diderita korban sebagai dampak yang ditimbulkan KDRT. Dari tindak
pidana penelantaran rumah tangga saja, UUPKDRT tidak mengatur apapun
yang dapat mengganti kerugian korban. Selain pidana penjara, hanya pidana
denda yang tersebut. Apabila dipikir secara logika, pidana denda tidak
banyak berpengaruh kepada korban. Dampak pidana denda yang dikenakan
kepada pelaku tidak dirasakan secara langsung oleh korban. Pidana denda
yang dibayarkan oleh terpidana itu akan masuk ke kas Negara. Uang yang
didapat dari pembayaran pidana denda akan masuk ke kas Negara, bukan
unuk korban. Lebih cocok ganti rugi dikenakan kepada pelaku yang
nantinya uang ganti rugi tersebut untuk korban.
Ganti rugi terhadap korban yang masih mempunyai hubungan
keluarga (anak, istri, ibu) mungkin terasa janggal karena mereka dalam hal
ini korban memang menjadi tanggung jawab pelaku untuk memenuhi
kebutuhannya. Tetapi akan sangat berarti dan sangat terasa dampaknya bagi
korban ketika korban tidak mempunyai hubungan kekeluargaan atau
menjadi korban KDRT karena termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga
apalagi tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana penelantaran
ekonomi.
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang
yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada
139
orang lain karena kesalahannya tersebut.147 Sanksi ganti kerugian, menurut
Schafer telah dikenal pada masa hukum Primitif. Pada masa ini telah dikenal
adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang
akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau
keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak
pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam
masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization)
bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa
terjadi sehari-hari.148 Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian
merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada
pribadi korban. Serangkai dari sejarah hukum Indonesia, maka dapat
dijumpai tentang ketentuan sanksi Ganti kerugian. Baik dalam hukum Adat
yang tidak tertulis, maupun dalam ketentuan–ketentuan yang tertulis.
Ketentuan yang tertulis dapat dijumpai dalam kitab undang–undang hukum
jaman kerajaan Majapahit, yaitu Kitab Agama (ada juga yang menyebut
dengan nama kitab Adigama). Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti
Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa dan Pamidara, demikian
pula dalam pidana tambahannya dikenal sanksi berupa uang pembeli obat
yang disebut Patibajampi atau Patuku tamba. Sanksi Ganti Kerugian ini
biasanya dibebankan pada pelaku kejahatan pencurian, dalam soal tatayi dan
147Sudarto II, Op.cit., h. 133.
148Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Mandar Maju, Surabaya, h. 1.
140
dusta yang menimbulkan korban, kelalaian yang menyebabkan matinya
orang, pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, merusak milik
orang lain dan sebagainya. Sedangkan mengenai sanksi uang pembeli obat
dibebankan pada pelaku jika pihak korban menderita luka – luka.149 Sanksi
ganti kerugian dalam hukum adat merupakan suatu kewajiban yang harus
dibayar karena adanya tuntutan dari pihak yang telah dirugikan. Tujuannya
agar masalah yang ada terselesaikan dengan damai. Demikian pula sanksi
Ganti Kerugian berupa mengadakan selamatan desa yang bertujuan untuk
mengembalikan keseimbangan masyarakat. Selain Sanksi Ganti Kerugian
materiil dalam hukum Adat dikenal pula sanksi Ganti kerugian yang
immaterial, seperti paksaan menikah pada gadis yang telah dicemarkan.150
Kenyataan diatas telah menunjukkan bahwa hukum Indonesia sejak jaman
dahulu telah mengenal sanksi ganti kerugian, yang harus dibayar oleh orang
yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat
kepada korban (orang yang menderita ataupun keluarga korban). Ganti
kerugian ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun agar
keseimbangan masyarakat pulih kembali. Dalam Pasal 14 huruf c KUHP,
memberikan kewenangan kepada hakim dalam hal menjatuhkan pidana
percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak
akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa
149Slamet Muljana, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Jakarta, h. 20-33.
150Hilman Hadikusumah, 1984, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bandung, h. 24-25.
141
terhukum dalam waktu tertentu, yang lebih rendah dari masa percobaan,
harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana itu.151 Dengan ditentukannya syarat-syarat dalam hal
penjatuhan pidana percobaan, menjadi tergesernya posisi hukum Adat yang
mengatur pemberian sanksi ganti kerugian oleh KUHP telah menjauhkan
kemungkinan korban–korban kejahatan di Indonesia untuk memperoleh
ganti kerugian. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian
dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak–tindak pidana
tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap
korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari
penerapan sanksi ganti kerugian sebagaimana diatur dalam KUHP, sampai
saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal
ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Misalnya, pidana
bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Padahal
sanksi ganti kerugian ini dimaksudkan untuk melindungi korban tindak
pidana.
Pada dasarnya kerugian yang diderita korban ada dua macam, yaitu
kerugian yang bersifat materiil dan kerugian yang bersifat immateriil.152
Kerugian yang bersifat materiil merupakan kerugian yang dapat dinilai
151Soedarto I, Op.cit., h.188.
152Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia,Jakarta, h. 77.
142
dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yakni perasaan takut, sakit,
sedih, kejutan psykis dan lain sebagainya.
Dalam mengganti kerugian yang menyangkut kerugian materiil dapat
langsung dituntut kepada pelaku kejahatan sedangkan upaya memulihkan
keadaan sebagai akibat dari kerugian immateriil sepantasnya negara
menyediakan dana guna membantu korban dan mengingat kerugian yang
mungkin diderita oleh korban sangat penting.153 Pemberian bantuan atau
santunan tersebut merupakan perpaduan dariberbagai usaha di bidang
kesejahteraan sosial, sistem pelayanan kemanusiaan dan peradilan pidana.
Di beberapa negara, pemberian bantuan kepada korban bukan saja
menjadi kewajiban pelaku saja tetapi dalam hal pelaku adalah orang yang
tidak mampu maka kewajiban tersebut dibebankan kepada negara karena
pada dasarnya negara berkewajiban memelihara keselamatan dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat meningkatkan kesejahateraan
warga negaranya.
Pemberian bantuan kepada korban adalah hal wajar karena korban
adalah pihak yang paling menderita, bahkan korban menjadi sangat tidak
berdaya atas tindak pidana yang dialaminya baik fisik maupun finansial
sebagaimana dikemukakan oleh Israel Drapkin dan Emilio C. Viano :
”Although we are accustomedto say that the act affect all of society, we can not deny that the actual victim suffers much more through personal losses than society. In the face incurable, undisputed report,
153Robert Reif, 1979, The Invisible Victim, New York, Basic Book Inc., h. 7.
143
we are also forced to acknowledge that the victim is most often an individual physically or financially unable to recover from criminal”154
(Kendati pun kita biasa mengatakan bahwa tindak pidana mempengaruhi semua masyarakat, kita tidak dapat menyangkal bahwa korban secara individual jauh menderita dari pada kerugian masyarakat. Dalam kenyataan juga diakui bahwa korban secara individu baik secara fisik maupun finansial sering tidak mampu mengatasi tindak pidana.)
Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi focus perhatian
masyarakat dunia sekarang ini. Ada dua cara yang berkembang dewasa ini,
yaitu Prosedural Rights Model dan Service Model. Model yang pertama
menghendaki diikutsertakannya korban dalam proses peradilan, baik terlibat
langsung dalam sidang pengadilan ataupun dibelakang sidang diberikan ikut
mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana.
Sedangkan model yang kedua adalah melayani korban tindak pidana,
dengan menghilangkan atau mengurangi penderitaan korban. Model yang
kedua ini biasanya menggunakan ganti rugi sebagai sarana. Dari dua cara
tersebut nampaknya Service Model lebih tepat untuk dilaksanakan, karena
Prosedural Rights Model akan sangat menghambat kelancaran proses
peradilan yang dikehendaki yaitu cepat tepat adil dan biaya ringan.155
Sebaliknya dengan menerima Service Model maka harus memasukkan
sanksi ganti kerugian ke dalam hukum Pidana. Dengan demikian jika sanksi
ganti kerugian nantinya menjadi bagian hukum pidana, maka hukum pidana
154Israel Drapkin dan Emilio C. Vio, 1974, Victimology : A New Focus, Lexington Books, DC Heath and Company, Massachusetts, London, h. 141.
155www.one.indoskripsi.com .
144
Indonesia akan diterima oleh dunia internasional. Di samping itu akan
menunjukan bahwa KUHP bersifat modern, karena telah memperhatikan
perbuatan, pelaku dan korban (daad-daderstraftrecht dan victim).
Dimasukkannya jenis sanksi ganti kerugian ini sangat terkait dengan tujuan
pemidanaan. Dalam RKUHP 2008 disebutkan tujuan pemidanaan sebagai
berikut :156
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Stephen Schafer membagi lima sistem pemberian restitusi dan
kompensasi kepada korban sebagai berikut :157
a. Damages
Ganti kerugian yang bersifat keperdataan melalui proses keperdataan
dan diberikan melalui proses perdata. Dalam sistem ini diadakan
pemisahan antara tuntutan ganti kerugian dari korban dengan perkara
pidananya sehingga ganti kerugian ini bvaru dapat dituntut oleh korban
setelah pelaku dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
156RKUHP 2008.
157Stephen Schafer, Op.cit., h. 105-108.
145
b. Compensation, civil in character but awarded incriminal proceeding
Merupakan kompensasi yang diberikan melalui proses pidana.
Walaupun kompensasi ini bersifat perdata, kompensasi dapat
dimohonkan dalam proses pidana. Stephen Schafer mengungkapkan
bahwa ”in the German Legal System the hearing of such compensatory
claims in criminal proceeding intermed ’Adhasionprozess’”158 bahwa
kompensasi jenis ini disebut Adhasionprozess dan pemeriksaan perkara
pidana lebih mendominasi dalam proses ini.
Pemberian ganti kerugian pada kompensasi jenis ini diberikan oleh
pemerintah. Ketika korban telah puas atas ganti kerugian yang
diterimanya, pemerintah akan meminta pelaku untuk mengganti biaya
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Proses ini secara umum mirip
seperti apa yang diatur dalam Pasal 14c KUHP, tetapi dalam hal ini
pemerintah tidak terlibat seperti Jerman.
c. Restitution, civil in character but intermingled with penal
characteristics and awarded in criminal proceedings
Adalah restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana
yang diberikan melalui proses pidana, walaupun restitusi di sini tetap
bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Secara
umum, perbendaan antara kompensasi dan restitusi adalah yang
menanggung ganti kerugian. Pada kompensasi, ganti kerugian
158Ibid., h. 106.
146
dibebankan kepada Negara. Sedangkan pada restitusi, ganti kerugian
bersifat penghukuman sehingga tetap ditanggung oleh pelaku.
Setiap korban dapat mengajukan permohonan restitusi dengan syarat :
- Kejahatan tersebut harus dilaporkan;- Pelaku kejahatan harus dapat diketahui atau diidentifikasi;- Pelaku kejahatan harus dijatuhi pidana;- Korban mempunyai cukup waktu dan uang untuk mendapatkan pengacara yang akan mengajukan klaim di pengadilan;- Pelaku kejahatan mempunyai penghasilan yang cukup atau pengahsilan tetap untuk memberikan restitusi.159
d. Compensation, civil character, awarded in criminal proceedings and
backed by the resources of state
Adalah kompensasi yang bersifat perdata diberikan melalui proses
pidanana dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Dalam
hal ini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana, walaupun diberikan
dalam proses pidana. Jadi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,
tetapi negara menanggung kewajiban ganti kerugian yang dibebankan
pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya
tindak kejahatan.160
e. Compensation, neutral in character and awarded through a special
procedure.159Israel Drapkin dan Emilio C. Viano, Op.cit., h. 143.160Barda IV, Op.cit., h. 60.
147
Kompensasi jenis ini bersifat netral dan diberikan melalui prosedur
khusus. Sistem ini berlaku di Swiss (1937), New Zealand (1963), dan
Inggris (1964).
Dalam sistem ini, pelaku tidak mampu membayar. Wewenang
untuk memeriksa bukan pengadilan perdata atau pidana, tetapi prosedur
khusus atau tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan
negara atas permintaan korban.161
Pada beberapa negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap
korban dengan diberikan hak untuk mendapatkan ganti kerugian seperti di
Jerman, Swiss, New Zealand, dan Inggris. Di Indonesia sendiri, hak korban
atas ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 14c KUHP.
Keuntungan diberlakukannya ganti kerugian adalah :
1. Pelaku
Secara fisik, pelaku tidak terlalu lama ditahan dan memperoleh
perlakuan yang lebih baik dalam tahanan. Secara mental, pelaku lebih
tenang dalam mengikuti proses peradilan.
Pidana ganti rugi adalah sanksi pidana alternatif yang lebih ringan
karena bukan pidana badan seperti yang diungkapkan Australian Law
Reform Commission tahun 1980 : …that restitution programe might
161Ibid.
148
provide suitable alternatives to imprisonment where damage was
readily calculable and suspectible to a re-payment nation.162
2. Korban
Untuk memulihkan kondisi korban.
3. Proses rehabilitasi terpidana
Hudson dan Chesney dalam penelitiannya, bahwa penjatuhan
pidana ganti rugi pada pelaku tindak pidana berdampak lebih baik bagi
terpidana dari pada yang dijatuhi sanksi lainnya.163 Jumlah residivis pada
tindak pidana lain adalah 24%, sedangkan pada terpidana yang dijatuhi
pidana ganti kerugian hanya 6%. Jadi pidana ganti kerugian mendukung
rehabilitasi terpidana.164
Walaupun demikian, penetapan ganti rugi dalam praktek mempunyai
kelemahan165 :
a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok;
b. Penetaan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kurungan;
c. Syarat khusus berupa ganti kerugian ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.
162Jocelyne a. Scutt, 1982, Victim and Restitution, The Australian Journal, h. 159.
163Iswanto, 1995, Restitusi kepada Korban Mati atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Tesis, UGM, Yogyakarta, h. 42.
164Ibid.
165Barda V, Op.cit., h. 57.
149
Mengingat Pasal 14 huruf c KUHP, setidaknya ada harapan bagi
korban untuk mendapat ganti kerugian yang dialami sebagai dampak dari
tindak pidana yang menimpanya.
Selain KUHP, KUHAP sebagai hukum formal pidana juga
memberikan peluang kepada korban atas penuntutan ganti kerugian kepada
pelaku. Tidak hanya peraturan perundangan yang bisa menempatkan korban
untuk memantau atau mengontrol jalannya proses peradilan atas dirinya,
tetapi korban juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian yang
digabungkan dengan perkara pidana bersangkutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Seorang korban dari suatu tindak pidana bisa hadir dalam proses
pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Di satu pihak
kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi
guna memberikan kesaksian dalam mengungkap tindak pidana yang sedang
dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan
maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan. Di lain pihak fungsi korban
dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas
penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan dimaksud.
Menurut Asmawi, penggabungan perkara kepada perkara pidananya
tidak akan mempersulit jalannya proses peradilan, bahkan justru merupakan
perlindungan bagi korban dari suatu tindak pidana supaya tidak lagi
150
mengajukan perkara melalui jalur perdata yang biasanya memakan waktu
cukup lama serta biaya yang tidak sedikit.166
Lebih jelasnya, berikut ketentuan yang berkaitan dengan gugatan
ganti kerugian kepada korban menurut KUHAP :
Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa :
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
dalam perkara pidana yang sedang berjalan.
Pasal 99 berbunyi :
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang
kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian
biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
166Hanafi Asmawi M., 1987, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 122.
151
(1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim
hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Pasal 100 menetapkan :
(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara
pidana,maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung
dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan
banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi
tidak diperkenankan.
Atas dasar ketetnuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa tuntutan
ganti kerugian dapat digabungkan dengan perkara pidana yang sedang
berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu dan menghindari
adanya biaya yang lebih besar dari korban itu sendiri, yang pada gilirannya
akan lebih menyengsarakan korban. Mengingat hakikat dari suatu gugatan
ganti kerugian merupakan perkara perdata, maka tetap mengacu pada
ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 101
KUHAP dengan suatu pengecualian yaitu dalam hal gugatan dimaksud
merupakan kerugian yang diderita sebagaimana tertera dalam bukti autentik
seperti kuitansi atau nota, sedangkan kerugian yang masih memerlukan
152
pembuktian yang relatif sulit dan berbelit-belit, ditentukan supaya perkara
ganti kerugian dimaksud diajukan melalui gugatan perdata yang terpisah dari
perkara pidananya guna menghindari adanya hambatan dalam penyelesaian
perkara pidana tersebut. Konsekuensi penggabungan perkara ini
menyebabkan acara pemeriksaan di muka sidang pengadilan atas
penggabungan perkara ini selalu berjalan bersamaan. Begitu pula jika
dilakukan upaya hukum banding, penggabungan perkara tetap berlangsung,
tidak berlaku atas permohonan banding terhadap ganti kerugian saja.
Pasal 1 ayat (2) juga salah satu alasan mengapa UUPKDRT tidak
berlaku secara efektif. Pada Pasal 1 ayat (2) memberi peluang pelaku untuk
diberlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi pelaku. Bunyi
selengkapnya ketentuan pasal tersebut adalah :
Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan
baginya.
Sedangkan Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa :
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih dahulu
dari pada perbuatan itu.
Apabila melihat Pasal 1 ayat (2) KUHP, maka UUPKDRT sebagai
undang-undang yang baru belum bisa dikatakan benar-benar melindungi
153
perempuan. Padahal telah dikuatkan dengan asas legalitas sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (1). Bahkan UUPKDRT seolah-olah melegitimasi
”perbuatan-perbuatan kasar” yang menimpa korban. Undang-undang ini
masih dipersepsikan secara salah terutama masalah delik aduan. Selain itu
juga, kurang tepatnya pengenaan pidana yang diancamkan. Apabila melihat
kekerasan fisik dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 356, pelaku diancam
pidana pemberatan dengan penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana
pokok yang diancamkan. Dalam UUPKDRT, sepintas kedengarannya
ancaman pidananya memang berat. Tetapi ancaman pidana UUPKDRT
menjadi lebih ringan ketika pidana itu sendiri tidak menggunakan batas
minimal, hanya menggunakan batas maksimal saja antara pidana penjara
dan pidana denda, tidak ada penambahan 1/3 (satu per tiga) dari pidana
pokok, dan bersifat alternatif. Apalagi perbuatan yang dikriminalisasi
bersifat delik aduan walaupun berlaku hanya pada beberapa ketentuan saja.
Pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang gender sangat
kurang terutama yang berkaitan dengan UUPKDRT. Sebagaimana pendapat
Barda bahwa pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan
individu/korban, tetapi juga kepentingan umum. Jadi, apabila korban tidak
mengadukan atas suatu tindak pidana yang bersifat delik aduan tetapi tindak
pidana tersebut sangat meresahkan masyarakat, maka proses hukum atas
tindak pidana tersebut tetap berjalan walaupun tanpa pengaduan korban
demi kepentingan umum.
154
Bertolak dari uraian-uraian di atas, UUPKDRT layak untuk
dipertimbangkan atau dikaji ulang terutama pada pidana yang diancamkan
dan sifat delik aduan pada Pasal 51, 52, dan 53 yang membuat UUPKDRT
seharusnya lebih menjamin perlindungan hukum terhadap hak perempuan
sebagai korban yang lemah. Apabila pihak terkait dalam hal ini baik aparat
penegak hukum yang tercakup dalam sistem peradilan pidana maupun
pemerintah dan badan legislatif sebagai pembentuk undang-undang
melakukan pembiaran, maka dapat disebut sebagai kekerasan oleh Negara
(violence by omission) terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlanjut
mengingat minimnya langkah-langkah kongkret untuk menghentikan
lajunya tindak pidana. Bisa jadi, terjadinya pembiaran yang dilakukan oleh
Negara adalah salah satu bentuk hipotesa Hoefnagels, yaitu “Seriousness
decrease, frequency of occurrences increases”167, dimana derajat keseriusan
atas suatu kejahatan menurun jika frekuensi kejadiannya meningkat.
Impunity yakni bebasnya pelaku dari jeratan hukum tanpa adanya
punishment (pidana) menjadi hal biasa.168 Salah satu faktor terbesar tidak
efektifnya UUPKDRT ini adalah sifat delik aduan yang dianut UUPKDRT
dengan alasan tindak pidana yang diatur dalam UUPKDRT termasuk dalam
wilayah privat walaupun hanya berlaku pada beberapa ketentuan saja.
Ditambah lagi pihak perempuan sebagai korban sangat enggan untuk
167Hoefnagels, Op.cit., h.
168Romany Sihite, Op.cit., h. 147.
155
melaporkan tindak pidana yang menimpanya. Adanya ketidaksetaraan laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat memicu munculnya kekerasan
terhadap perempuan, karena superioritas laki-laki menganggap kekerasan
adalah hal wajar. Sehingga tindak pidana ini menjadi kejahatan terselubung
(hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan
pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya.169
Faktor-fator yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto170 adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak
hukum dimana perlu diberi pemahaman yang berperspektif gender dan
untuk lebih memahami suatu undang-undang khususnya UUPKDRT, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat,
dan faktor kebudayaan yang masih lebih dominan patriarki dimana laki-laki
lebih berkuasa atau memegang kendali atas perempuan. Kelima faktor
tersebut saling berkaitan. Untuk faktor masyarakat, efektivitas undang-
undang tergantung peran serta masyarakat. Apabila suatu undang-undang
menghendaki peran serta masyarakat lebih dalam atau mewajibkan
masyarakat untuk ikut menertibkan suatu perbuatan tindak pidana, maka
undang-undang tersebut akan efektif. Begitu sebaliknya, apabila ketentuan
dalam suatu undang-undang menyebut partisipasi masyarakat hanya sekedar
untuk meramaikan saja perannya dalam penegakan hukum, atau bahkan
169Ibid., h. 145.
170Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5 .
156
tidak diatur sama sekali peran serta masyarakat, sangat dimungkinkan
penegakan atas suatu produk hukum tidak akan berjalan efektif. Dapat
diartikan bahwa atas suatu perbuatan yang dikriminalisasi dalam suatu
undang-undang yang tidak mengatur peran serta masyarakat dapat
dianalogikan bahwa penegakan atas undang-undang tersebut bukan
tanggung jawab masyarakat, tetapi menjadi tanggung jawab aparat penegak
hukum sepihak saja. Hal ini sangat terkait dengan sifat delik aduan pada
Pasal 51, 52, dan 53 UUPKDRT. Apabila ketentuan tersebut tidak bersifat
delik aduan absolut dan peran aktif masyarakat maka besar kemungkinan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan
akan dapat diatasi.
157
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
a. Mengenai kebijakan hukum pidana atas tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga dalam UUPKDRT pada beberapa ketentuan pasalnya yang tidak
menimbulkan akibat yang berupa penyakit atau halangan untuk menjalankan
aktivitasnya sehari-hari ditentukan sebagai delik aduan sebagaimana tersebut
pada Pasal 51 (kekerasan fisik), 52 (kekerasan psikis), dan 53 (kekerasan
seksual yang dilakukan oleh suami atau istri). Berbeda halnya dengan Pasal
352 ayat (1) (dilakukan terhadap orang yang bekerja atau berada di bawah
perintah pelaku) dan Pasal 356 angka 1 KUHP (dilakukan terhadap orang tua,
istri, atau anak) ditentukan sebagai delik biasa bahkan ancaman pidananya
diperberat dengan ditambahnya 1/3 (sepertiga) dari pidana pokok walaupun
kedua ketentuan pasal ini terbatas pada kekerasan fisik saja.
b. Sampai sejauh ini perlindungan hukum terhadap perempuan baik yang
mengatur secara langsung maupun tidak langsung kekerasan dalam rumah
tangga telah banyak dituangkan pada beberapa peraturan perundangan seperti
KUHP (Pasal 284, 285, 286, 287, 288, 297, 304, dan 356 angka 1), Undang-
158
undang No. 23 Tahun 2004 (Pasal 44, 45, 46, 47, 48, dan 49), dan Undang-
undang No. 21 Tahun 2007 (Pasal 2, 3, 4, dan 12).
Dari sekian banyak ketentuan pada berbagai peraturan perundangan yang
mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan masih belum maksimal
melindungi perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga karena
adanya ketidaksingkronan antara peraturan perundangan yang satu dengan
yang lainnya dan minimnya pemahaman gender menambah
ketidaksempurnaan ketentuan yang dibuat dalam bentuk undang-undang
sebagaimana dibutuhkan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban
kekerasan dalam rumah tangga walaupun perlindungan hukum terhadap
perempuan telah dikuatkan dengan Pasal 17 dan 49 ayat (3) Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1984.
5.2. Saran
a. Perlu kajian ulang terhadap UUPKDRT yang lebih berwawasan gender
seperti kriminalisasi atas suatu perbuatan, sifat delik aduan pada beberapa
tindak pidana, pencantuman batas minimal dan maksimal serta sifat alternatif
dan/atau akumulatif.
b. Sepantasnya bila dicantumkan pidana tambahan ganti kerugian yang akan
diancamkan kepada pelaku sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap
perempuan sebagai korban yang dirugikan.
159
c. Pemahaman tentang gender pada semua lapisan yaitu lembaga legislatif,
lembaga yudikatif, dan masyarakat perlu diperdalam lagi untuk menghasilkan
peraturan perundangan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat
khususnya perempuan serta sejalan dengan dengan peraturan perundangan
lainnya.
160
DAFTAR BACAAN
I. Buku
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung.
Amrullah, M. Arief, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang.
Ancel, Marc, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Kegan Paul, London.
Andenaes, J., 1974, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press.
Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985,Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 1998, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
158
----------------------------, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
----------------------------, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------------, 2006, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
----------------------------, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta.
----------------------------,1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung.
Bassiouni, M. Cherif, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas, Publisher, Springfield, Illinois, USA.
Danardono, Donny, 2006, Teori Hukum Feminis, Menolak Netralis Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, Jakarta.
Davies, Margaret, 1994, Asking the Law Question, The Law Book Company Limited.Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta.
Djannah, Fathul, et al, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta, LKIS, 2002.
Ekotama, Suryono et.al., 2000, Abortus Provocatus bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Fakih, Mansour, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender (Perempuan dalam Wacana Perkosaan), PKBI, Yogyakarta.
Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Geis, Gilbert, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc., New York.
Gosita, Arif, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya.
Hadjon, Philipus M., 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya.
Hagan, John, 1987, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hillbook Com., Singapore.
Hanafi Asmawi M., 1987, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 122.
Harkrisnowo, Harkristuti, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan, KKCW-PKWJ UI, Jakarta.
Hentig, Hans Von, 1946, The Criminal and His Victim Studies Indonesia The Sociobiology of Crime, New Haven Yale University, Kansas City.
Hoefnagels, G.P. 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland.
Honderich, Ted 1971, Punishment.
Irsan, Koesparmono, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, dalam Sahetapy (ed)., Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung.
Jonkers, 1987, Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Terjemahan.
Katjasungkana, Nursyahbani, 2002, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan, Galang Printika, Yogyakarta.
Kinnon, Catherine Mac, 1987, Feinism Unmodified, Harverd University Press.
Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas”.
Kusumah, Mulyana W., 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Morrison, Wayne, 1994, Elements of Jurisprudence, International Law Book Services.
Muladi, 2005, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi revisi, Alumni, Bandung.
Packer, H.L., 1968, The Limit of Criminal Sanction.
Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Quinney, Richard, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown and Company, Canada.
Saraswati, Rika, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Savitri, Niken, 2006, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerja sama dengan NZ AID, Yayasan Obor.
--------------------------, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung.
Schafer, Stephen, 1968, The Victim and His Criminal, Random House, New York.
Separovic, Z.P., 1985, Victimology, Studies of Victim, Zagreb.
Sihite, Romany, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soesilo, R., 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.
Soekanto, Soerjono, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sola, Ralph de, 1998, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York.
Subhan, Zaitunah, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Susanto, Anthon Freddy, 2000, Semiotika Hukum, dari Dekontruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung.
Viano, Emilio C., (ed), 1976, Victims and society, Visage Press, Inc., Washington D.C.
Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Zhao, Yuhong, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211.
II. Makalah atau Tesis
Alper, Benedict S., Changing Concept of Crime Criminal Policy, UNAFEI No. 6/1973.
Ariyani, I Gusti, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas Udayana ke 43 dan HUT FH Universitas Udayana ke 41, di Denpasar 30 Agustus 2005.
Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Bahan Kuliah Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Udayana, 2006.
Iswanto, 1995, Restitusi kepada Korban Mati atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Tesis, UGM, Yogyakarta.
Mulyati, Sri, 2007, Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang No. 23 Tahnu 2004 dalam Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 116/Pid. B/ PN. Sal/2005 dan No. 20/Pid. B/PN. Sal/2006), Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga.
Reksodiputro, B. Mardjono, 1979, Mengapa Dperlukan Viktimologi, Makalah, Jakarta.
Sudira, I Ketut, 2000, Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan dalam Peraturan Hukum Pidana Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana UNUD, Denpasar.
Sukerti, Ni Nyoman 2005, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga : Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus Di Kota Denpasar), Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
III. Kamus atau Ensiklopedia
Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol. 4, The Free Press, A Division of Macmillan Inc.
Encyclopedia of Feminist Theories, 2004, edited by Lorraine Code, Routledge, London-New York, h. 482.
Kamus Bahasa Indonesia, 1988.
Sanford, Kandish, et.al., 1983, Encyclopedia of Criminal Justice, Collier Macmillan.
IV. Majalah dan Internet
Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.
Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, Sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.
Mulia, Siti Musdah, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan dari Makalah Seminar Sehari diselenggarakan Tim PUG Departemen Agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, 22 Juni 2004 di Jakarta, www.icrp-online.org.
Purwani, Sagung Putri M.E., Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari.
Reksodiputro, Mardjono, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1), Sumber : http://reformasikuhp.org/, Senin, 17 Desember 2007,www.jodisantoso.blogspot.com.
Rumiati Aziz, Aina, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, www.indonesia.com.
Scutt, Jocelyne A., 1982, Victim and Restitution, The Australian Journal.
World Health Orgnization, World Report on Violence on Health 93 (2002), www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/.
V. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
KItab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita .
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 19, dalam Sidang ke-11, tahun 1992.
Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo, 1973.
Putusan Pengadilan Negeri Situbondo No. 304/Pid. B/ PN. Sit/2010.
Jenis Tindak Pidana Undang-undang Pidana Penjara Pidana Denda Pidana Lain Keterangan
KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik Psl. 356 KUHP + 1/3 Pidana pokok + 1/3 Pidana pokok
(1)Penganiayaan(2)Mengakibatkan luka berat(3)Mengakibatkan mati(4)Penganiayaan yang merusak kesehatan(5)Percobaan tindak pidana
Psl. 351 KUHP Max 2 Thn 8 Bln Max Rp 300 Alternatif
(1) Penganiayaan dengan perencanaan
(2) Mengakibatkan luka berat(3) Mengakibatkan mati
Psl. 353 KUHP Max 4 Thn
Max 7 Thn
Max 9 Thn(1)Sengaja melukai mengakibatkan luka berat/penganiayaan berat (2)Mengakibatkan mati
Psl. 354 KUHP Max 8 Thn
Max 10 Thn
(1)Penganiayaan berat dengan rencana(2)Mengakibatkan mati
Psl. 355 KUHP Max 12 Thn
Max 15 Thn
(1) Kekerasan fisik(2) Mengakibatkan jatuh sakit/luka
berat(3) Perbuatan yang dimaksud pada
ayat (2) mengakibatkan mati
Psl. 44 UUPKDRT Max 5 ThnMax 10 Thn
Max 15 Thn
Max Rp 15 JtMax Rp 30 Jt
Max Rp 45 Jt
AlternatifAlternatif
Alternatif
(4) Perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) yang tidak menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian/kegiatan sehari-hari
Max 4 Bln Max Rp 5 Jt Alternatif
(1) Ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, untuk eksploitasi di wilayah RI
(2) Mengakibatkan korban tereksploitasi
Psl. 2 UUPTPPO Min 3 ThnMax 15 Thn
Idem
Min Rp 12 JtMax Rp 600 Jt
Idem
Kumulatif
Idem
(1) Mengakibatkan korban luka berat penyakit menular yang embahayakan jiwanya, kehamilan atau terganggunya/hilangnya fungsi reproduksi atas perbuatan yang dimaksud Psl. 2 ayat (2), (3)-(6)
(2) Mengakibatkan mati
Psl. 7 UUPTPPO + 1/3 Pidana pokok
Min 5 ThnMax Seumur hidup
+ 1/3 Pidana pokok
Min Rp 200 JtMax Rp 5 M
Kumulatif
Kumulatif
(1) Penganiayaan
(2) tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan luka berat
(3) tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang
(4) Percobaan pada ayat (1)
Psl. 582 RKUHP 2008
Min 1 ThnMax 7 ThnMin 2 ThnMax 9 Thn
Min 3 ThnMax 12 Thn
Min Kategori IIIMax Kategori IV
Max Kategori II
Alternatif
(1) penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian (penganiayaan ringan)
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya
(3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Psl. 583 RKUHP 2008
Max 1 Thn
+ 1/3
Max Kategori II
+ 1/3
Max Kategori I
Alternatif
(1) Melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat
(2) indak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang
Psl. 584 RKUHP 2008
Min 2 ThnMax 9 Thn
Min 3 ThnMax 15 Thn
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 582 dan Pasal 584, dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika tindak pidana tersebut dilakukan : a. terhadap ibu, bapak, istri, suami,
atau anaknya;b. terhadap pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah; atau
c. dengan memberikan bahan yang
Psl. 585 RKUHP 2008
+ 1/3 + 1/3
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum
(4) Kekerasan fisik dalam rumah tangga
(5) Perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat
(6) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban
(7) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
(8) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.
Psl. 587 RKUHP 2008
Max 5 Thn
Min 2 ThnMax 9 Thn
Min 3 ThnMax 15 Thn
Max 6 Bln
Max Kategori IV
Min Kategori IIIMax Kategori V
Min Kategori IVMax Kategori VI
Max Kategori II
Alternatif
Alternatif
Alternatif
Alternatif
Delik Aduan
Pembunuhan. Psl. 115 KUHP Bulgaria
pidana perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty) 10 Thn - 20 Thn.
Apabila dilakukan oleh orang tertentu dalam keadaan tertentu terhadap ayah/ibu atau anaknya sendiri, wanita hamil, dll.
Psl. 116KUHP Bulgaria
15 Thn – 20 Thn perampasan kemerdekaan atau seumur hidup atau mati
Pembunuhan (murder)
Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap keluarga/orang tuanya sendiri atau ayah dan ibu angkatnya (a natural or legitimate ascendant or the adoptive father or mother)
Artikel 221-1 KUHP Perancis
30 Thn
Seumur hidup
Tindak pidana penganiayaan (torture)
Artikel 222-3KUHP Perancis
Pemberatan pidana
tindak pidana kekerasan (violence) sebagai violence causing intended death.
Artikel 222-8KUHP Perancis
Pemberatan pidana
violence causing mutilation or permanent disability.
Artikel 222-10KUHP Perancis
Pemberatan pidana
violence causing a total incapacity to work for more than eight days.
Artikel 222-12KUHP Perancis
Pemberatan pidana
violence causing an incapacity to work of eight days or less.
Artikel 222-13KUHP Perancis
Pemberatan pidana
(1) Pembunuhan Psl 250 KUHP Korea
Pidana mati, penjara kerja paksa
(2) Killing an Ascendant, apabila tindak pidana dilakukan terhadap keluarga/orang tua garis lurus ke atas (lineal ascendant) dari pihak si pelaku atau pihak istri atau suaminya.
seumur hidup, atau penjara tidak kurang dari 5 Thn.Pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup.
Penganiayaan dan kekerasan (crimes of bodily injury and violence)
Psl. 257:2, 258:2, 259:2, dan 260:2
KUHP Korea
lineal ascendant
Menelantarkan (crimes of abandonment)
Psl. 271:2KUHP Korea
lineal ascendant
Tindakan perlakuan kejam (cruelty treatment)
Psl. 273:2KUHP Korea
lineal ascendant
Penahanan/pengurungan/perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (false arrest and false imprisonment)
Psl. 276:2 dan 277:2
KUHP Korea
lineal ascendant
Kejahatan intimidasi/pengamcaman (crimes of intimidation)
Psl. 283:2 KUHP Korea
lineal ascendant
Pembunuhan Psl. 200 KUHP Jepang
a lineal ascendant (of the offender or
his/her spouse)Penganiayaan Psl. 205 ayat (2) a lineal ascendant
KUHP Jepang (of the offender or his/her spouse)
Penelantaran 218 ayat (2)KUHP Jepang
a lineal ascendant (of the offender or
his/her spouse)Penahanan/pengurungan melawan hukum
220 ayat (2)KUHP Jepang
a lineal ascendant (of the offender or
his/her spouse)Pengancaman terhadap keluarganya termasuk orang tuanya
222 ayat (2)KUHP Jepang
a lineal ascendant (of the offender or
his/her spouse)
KEKERASAN PSIKIS
(1) Kekerasan psikis(2) Jika tindak pidana tersebut tidak
menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian/kegiatan sehari-hari
Psl. 45 UUPKDRT Max 3 ThnMax 4 Bln
Max Rp 9 JtMax Rp 3 Jt
AlternatifAlternatif
(1) Orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga.
(2) perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.
Psl. 588RKUHP 2008
Max 3 Thn
Max 6 Bln
Max Kategori IV
Max Kategori II
Alternatif
Alternatif
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.
Delik Aduan
KEKERASAN SEKSUAL
Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan (perkosaan)
Psl. 285 KUHP Max 12 Thn
Bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan/tidak berdaya
Psl. 286 KUHP Max 9 Thn
(1) Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga, atau jika umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan pengaduan kecuali jika umur wanitabelum sampai 12 Thn atau jika ada salah satu hal tersebut Psl. 291 dan 294
Psl. 287 KUHP Max 9 Thn
(1) Bersetubuh dengan seorang wanita dalam perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu dikawin mengakibatkan luka
(2) Mengakibatkan luka berat
Psl. 288 KUHP Max 4 Thn
Max 8 Thn
(3) Mengakibatkan mati Max 12 Thn
Kekerasan seksual Psl. 46 UUPKDRT Max 12 Thn Max Rp 36 Jt Alternatif
Memaksa orang menetap dalam rumah angganya untuk melakukan hubungan seksual
Psl. 47 UUPKDRT Min 4 ThnMax 15 Thn
Min Rp 12 JtMax Rp 300 Jt
Alternatif
Mengakibatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengakibatkan gangguan pikiran/kejiwaan min 4 minggu secara terus menerus atau 1 Thn tidak berturut-turut, gugur/janin mati dalam kandungan, atau tidak berfungsinya alat reproduksi
Psl. 48 UUPKDRT Min 5 ThnMax 20 Thn
Min Rp 25 JtMax Rp 500 Jt
Alternatif
Menggunakan atau memanfaatkan korban dengan cara melakukan persetubuhan atau cabul, mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
Psl. 12 UUPTPPO Pidana sama dengan Psl. 2-6
Kumulatif
Laki-laki bersetubuh dengan perempuan :(3) a. dilakukan di luar perkawinan,
bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
b. dilakukan di luar perkawinan,
Psl. 490 RKUHP 2008
Min 3 ThnMax 12 Thn
tanpa persetujuan perempuan tersebut;
c. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai dengan melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
d. dilakukan dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tesebut adalah suaminya yang sah;
e. usia perempuan di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
f. dilakukan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.a. Dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau
b. memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan
(3) Kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap
Psl. 589 RKUHP 2008
Min 3 ThnMax 12 Thn
Min Kategori IVMax Kategori VI
Alternatif
Delik Aduan
istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.
Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Psl. 590 RKUHP 2008
Min 3 ThnMax 15 Thn
Min Kategori IVMax Kategori V
Alternatif
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 dan Pasal 590 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
Psl. 591 RKUHP 2008
Min 3 ThnMax 15 Thn
Min Kategori IVMax Kategori VI
Alternatif
Perbuatan tidak senonoh dengan menyalahgunakan hubungan ketergantungan;
Psl. 170 KUHP Polandia
Hubungan seksual dalam hubungan keluarga atau dalam hubungan adopsi.
Psl. 175 KUHP Polandia
Persetubuhan yang menyalahgunakan kedudukan dalam hubungan subordinasi/ketergantungan sebagai guru, pendidik, pembimbing, orang yang mengadopsi, ayah tiri.
Psl 183 KUHP Yugoslavia
Perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak senonoh (indecent relations) dengan ancaman pidana berkisar antara Perbuatan tidak senonoh yang menyalahgunakan hubungan ketergantungan, jabatan/kedudukan atau hubungannya dengan korban diatur pada
Psl. 198-199KUHP Norwegia
1 - 10 Thn.
Hubungan seksual (sexual intercourse) yang dilakukan dengan keluarga garis lurus ke bawah/ke atas (incest)
Psl. 207 KUHP Norwegia
PENELANTARAN RUMAH TANGGA
Sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku aginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu
Psl. 304 KUHP Max 2 Thn 8 Bln Max Rp 300 Pencabutan hak tersebut dalam Psl. 35 No. 4
Alternatif
Menempatkan anak yang umurnya kurang dari 7 Thn untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri
Psl. 305 KUHP Max 5 Thn 6 Bln Idem
darinya
(1) Jika perbuatan yang diatur dalam Psl. 304 dan 305 mengakibatkan luka berat
(2) Mengakibatkan mati
Psl. 306 KUHP Max 7 Thn 6 Bln
Max 9 Thn
Idem
Jika yang melakukan perbuatan Psl 305 adalah bapak/ibu anak tersebut
Psl. 307 KUHP + 1/3 Pidana pokok Psl. 305 dan 306
KUHP
Idem
Penelantaran rumah tangga Psl. 49 UUPKDRT Max 3 Thn Max Rp 15 Jt Alternatif
Meninggalkan atau menelantarkan anak di bawah 12 Thn (abandonment o f a child under twelve years).
Pasal 317KUHP Singapore dan
Malaysia
Penelantaran Pasal 218 ayat (2) KUHP Jepang
A lineal ascendant (of the offender or
his/her spouse)
Top Related