Mata Kuliah Kualitatif Desentralisasi Dengan Hati: Studi tentang Pemikiran

24
Mata Kuliah Kualitatif Desentralisasi Dengan Hati: Studi tentang Pemikiran Josef Riwu Kaho Ardiansyah Bahrul A. 11/317992/SP/24872 Deasy Kumalasari Dewi 11/317981/SP/24862 Dias Prasongko 11/312395/SP/24543 Hidayatul Mashuroh 11/312490/SP/24558 Muhammad Gufron Rum 08/267564/sp/22971 Permadi Tunggul Surya W. 11/311843/SP/24442 Satria Triputra W. 11/317852/SP/24739 Sholeh Tri Harjoko 09/283809/SP/23679 Sukma Jati Setya W. 11/317943/SP/24825 Yuda Pamungkas 11/312511/SP/24564 Jurusan Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada 2013

Transcript of Mata Kuliah Kualitatif Desentralisasi Dengan Hati: Studi tentang Pemikiran

Mata Kuliah Kualitatif

Desentralisasi Dengan Hati: Studi tentang Pemikiran

Josef Riwu Kaho

Ardiansyah Bahrul A. 11/317992/SP/24872

Deasy Kumalasari Dewi 11/317981/SP/24862

Dias Prasongko 11/312395/SP/24543

Hidayatul Mashuroh 11/312490/SP/24558

Muhammad Gufron Rum 08/267564/sp/22971

Permadi Tunggul Surya W. 11/311843/SP/24442

Satria Triputra W. 11/317852/SP/24739

Sholeh Tri Harjoko 09/283809/SP/23679

Sukma Jati Setya W. 11/317943/SP/24825

Yuda Pamungkas 11/312511/SP/24564

Jurusan Politik Pemerintahan

Universitas Gadjah Mada

2013

Abstraksi

Tulisan ini akan mengangkat pemikiran Josef Riwu Kaho terhadap desentralisasi

pasca tahun 1999. Josef Riwu Kaho dikenal sebagai ilmuwan politik di dalam bidang

desentralisasi dan otonomi daerah. Beliau paham betul sejarah bangsa Indonesia secara

detail dan terperinci. Beliau juga menjadi saksi hidup dinamika Indonesia pasca

kemerdekaan tahun 1945. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan biografi

kepada Josef Riwu Kaho untuk melihat bagaimana pemikiran beliau tentang desentralisasi

pasca 1999? Dan juga penelitian ini menyertai dalil pemikiran-pemikiran tersebut hingga

sampai muncul ke permukaan sampai menjadi produk pemikiran beliau.

Keyword: desentralisasi, pemikiran, Josef Riwu Kaho, biografi

Pendahuluan

Berbicara tentang desentralisasi di Indonesia, barangkali pendekatan yang akan

sering digunakan ialah dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan ini

menterjemahkan proses desentralisasi yang dilakukan oleh setiap rezim dalam sebuah

negara. Desentralisasi sendiri bisa diartikan sebagai penyerahan kewenangan oleh

pemerintahan pusat kepada pemerintahan di daerah untuk mengurusi rumah tangganya

masing-masing di dalam bidang-bidang tertentu. Menurut Litvack & Seddon (1992),

desentralisasi diartikan sebagai : “The transfer of authority for public from the central

government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private

sector.” Sementara Rondinelli (1981) menekankan desentralisasi pada aspek transfer of

political power.

Perjalanan prospek desentralisasi di Indonesia dapat dikatakan penuh liku-liku.

Semenjak masa penjajahan oleh Belanda, hingga pascareformasi, desentralisasi diketahui

dalam konteks Indonesia, digunakan sebagai alat pemersatu keberagaman, dan

membangun semangat nasionalisme. Indonesia memilih menggunakan desentralisasi,

karena pilihan sentralisasi dianggap akan memperburuk proses-proses tersebut, ketika

setiap daerah diperlakukan sama.

Secara historis, latar belakang kelahiran desentralisasi diawali dengan kemerdekaan

bangsa Indonesia. Tarik ulur kepentingan yang terjadi menyebabkan munculnya tiga versi

negara Indonesia. Pertama, Indonesia itu nusantara, yakni wilayah Indonesia sampai ke

Filipina dan Malaysia. Hal ini ditolak sebab akan menimbulkan perkara baru. Kedua, hanya

Jawa saja, versi ini pun ditolak karena setiap wilayah di sekitar Jawa pun ikut bergerak

melawan penjajahan dan memiliki nasib yang sama. Kemudian, ketiga (yang dipilih hingga

sekarang) adalah Indonesia itu adalah wilayah jajahan kolonial Hindia-Belanda.

Negara Indonesia pun muncul, logika dasar yang digunakan adalah for the good of

mankind. Karena setiap konsep seharusnya memiliki tujuan untuk kebaikan manusia.

Berdasarkan hal itu, para pendiri bangsa kemudian menggunakan desentralisasi untuk

mengakomodir daerah-daerah yang memiliki keberagaman suku, agama, bahasa, dan

budaya.

Beranjak kepada konteks rezim Soeharto, kita melihat bahwa pada rezim ini,

pemerintah menggunakan pendekatan sentralistik di dalam menjalankan kepemimpinanya.

Meskipun pada saat itu kita temukan amanat konstitusi untuk mendelegasikan kekuasaan

pemerintahan kepada daerah. Konstirusi tersebut yakni UU No.5 tahun 1974 yang mengatur

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini hadir sebagai pengganti dari UU No.18 tahun

1965. Namun pada kenyataannya, kita hanya melihat beberapa proses desentralisasi semu,

yakni proses administratif kemudian dipolitisasi untuk pemenangan partai penguasa.

Desentralisasi yang terjadi di Indonesia difokuskan pada pendistribusian beberapa

wewenang. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, desentralisasi ini biasanya berada pada

level-level administratif pemerintahan. Salah satu hasil dari proses reformasi tahun 1998

yakni sumber-sumber kekuasaan didistribusikan ulang secara merata agar tidak terjadi lagi

keadaan too strong government pada roda pemerintahan.

Di era sebelum reformasi, kita melihat rezim yang ada merupakan rezim yang

memusatkan segala aktivitas pemerintahannya di pusat. Sementara di daerah, hanyalah

kepanjangan dari apa yang menjadi keputusan para teknokrat birokrat yang ada di Jakarta.

Proses ini bukanlah sebuah peristiwa kebetulan, melainkan sebuah sistem yang digunakan

oleh rezim dalam kerangka melakukan kontrol penuh agar terciptanya konsolidasi politik

dan ekonomi sehingga menciptakan negara yang kondusif dari sisi iklim politik.

Namun yang dikorbankan dari rezim otoriter adalah keleluasaan daerah.

Kemandirian daerah untuk berkembang menjadi mandeg. Daerah kiranya telah kehilangan

gairah untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Daerah pada kala itu hanya sebagai

sampiran untuk memenangkan partai Golkar ketika tahun-tahun politik tiba. Hingga muncul

adagium “Siapa yang memilih Golkar, maka daerah tersebut akan mendapat

pembangunan.”.

Tahun 1998 merupakan titik balik proses desentralisasi yang selama rezim

sebelumnya hanyalah bersifat normatif. Seiring munculnya proses demokratisasi, wacana

akan desentralisasi yang implementatif pun mulai digencarkan untuk menghadang

kehadiran rezim traumatik yang pernah ada.

Penelitian biografi juga dipandang menarik ketika digunakan untuk menarik

kerangka historis bagaimana proses tarik ulur desentralisasi yang menjadi bagian dari proses

demokratisasi di Indonesia. Dan juga, melihat bagaimana pemetaan desentralisasi pasca

tahun 1999. Tak luput pula, dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana perjalanan seorang

Josef Riwu Kaho menjadi seorang ilmuwan politik Indonesia yang ahli terhadap

desentralisasi di Indonesia. Pertanyaan penelitian yang coba ingin dijawab dalam tulisan kali

ini ialah Bagaimana pemikiran politik Josef Riwu Kaho terhadap desentralisasi Indonesia

pasca 1999?

Memahami Desentralisasi

Desentralisasi merupakan istilah yang dapat dipakai dalam berbagai lintas disiplin

ilmu. Oleh karena itu tidak ada satu definisi pasti tentang istilah desentralisasi itu sendiri.

Dalam berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu Administrasi Negara, dan Ilmu Politik, cakupan

pembahasan tentang teori desentralisasi tentu saja akan menghasilkan fokus kajian yang

berbeda. Desentralisasi dalam frame politik akan lebih banyak mengarahkan titik

pembahasan pada bagaimana konsep penyebaran dan distribusi kekuasaan diantara

kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dalam hal ini, desentralisasi bisa dimaknai ketika kita

dihadapkan pada kenyatakaan adanya dua kutub kekuatan politik yakni antara “pusat” dan

“daerah”. Sedangkan di bidang Ilmu Administrasi Negara, pembahasannya lebih banyak

tersita untuk menjawab pertanyaan berkaitan manajemen atau tata kelola governance

dalam menghasilkan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Dilihat dari sisi etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yang terdiri

dari dua kosa kata “de” dan ‘’centrum”. “De” berarti lepas sedangkan “centrum” berarti

pusat, keduanya membentuk kata desentralisasi yang bila diartikan menjadi melepaskan diri

dari pusat. Dari sudut ilmu politik dan ketatanegaraan, desentralisasi adalah penyerahan

kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membentuk tata kelola

pemerintahan yang berdiri secara otonom. Secara umum, ada dua perspektif utama dalam

melihat desentralisasi. Yang pertama adalah cara pandang administratif dan yang kedua

adalah cara pandang demokratik. Cara pandang demokratik didasarkan pada persepsi

bahwa kekuatan lokal sebagai positive purposive untuk mencapai tujuan bersama,

sedangkan cara pandang administrasi cenderung mengedepankan kepentingan “pusat”

[Ratnawati, 2003).

Tujuan dari kebijakan desentralisasi biasanya berkaitan dengan pengambilan

keputusan yang kewenangannya dilimpahkan kepada daerah agar sesuai dengan kebutuhan

dan kondisi daerah. Langkah tersebut sebagai respon terhadap sentralisasi kekuasaan yang

cenderung mengabaikan berbagai kepentingan di tingkat lokal. Atau dengan kata lain,

pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan di tingkat pusat.

Disamping itu, ada beberapa alasan yang biasanya menjadi latar belakang

diterapakannya kebijakan desentralisasi (Smith, 1986). Mengapa desentralisasi dianggap

perlu diantaranya adalah; untuk pendidikan politik, latihan kepemimpinan politik, menjaga

stabiltas politik baik di pusat maupun daerah, mencegah konsentrasi kekuasaan berada di

pusat, memperkuat akuntabilitas publik, dan meningkatkan sensifitas elit terhadap

kepentingan publik.

Selanjutnya, pada tataran operasional, kebijakan desentralisasi berimplikasi pada

pola distribusi kekuasaan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui kerangka

undang-undang yang ada. Namun, tidak semua kekuasaan didistribusikan ke daerah, ada

beberapa bidang yang menyangkut kepentingan nasional seperti politik luar negeri,

pertahanan dan keamanan, kekuasaan kehakiman, serta kebijakan moneter yang mutlak

menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selanjutnya, distribusi kekuasaan dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu distribusi kekuasaan berdasarkan wilayah atau distribusi kekuasaan

berdasarkan fungsi-fungsi tertentu pemerintahan. Hal ini menurut Samuel Humes dapat

dikategorikan sebagai berikut :

“the power to govern locally is distributed two ways : areally and functionally. On an

area [also called teriteritorial) basis, the power to manage local public affairs is distributes

among a number of general purpose regional and local governments. On a functional basis,

the power to manage local public services is distributed among number of specialized

ministries and other agencies concerned with the operation of one or more related activities.

Thus the way power is distributed affects which central agencies exert control over which

loal institutions” (Humes, 1991)

Dengan demikian kekuasaan pemerintah lokal mempunyai dua jenis kekuasaanyaitu

kekuasaan desentralisasi atau otonomi dan kekuasaan tugas pembantuan (medelbewind).

Menurut Constantijn Kortman dan Paul Bovend’Ert kekuasaan otonomi adalah kekuasaan :

“to regulate and administer their own affairs.”

Selanjutnya dinyatakan bahwa :

“… in areas where it has autonomous powers, the decentralized authority conducts

its own polices, deciding for it self its aim and means.” (Costantijn & Eert, 2000)

Sedangkan kekuasaan tugas pembantuan merupakan :

“…cooperates in the implementation of policy which has been decided by other

government institutions.” (Costantijn & Eert, 2000)

G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rodinelli [1983) menyatakan bahwa ada empat

bentuk utama dari desentralisasi. Keempat bentuk tersebut adalah dekonsentrasi, delegasi,

devolusi dan privatisasi atau debirokratisasi. Sejalan dengan bentuk-bentuk desentralisasi

tersebut, Brian C. Smith mengemukakan bahwa dalam sistem politik negara kesatuan,

devolusi dan dekonsentrasi merupakan bentuk yang fisibel untuk diterapkan. Bentuk

devolusi sendiri adalah upaya pengalihan beberapa kewenangan atau tanggung jawab

administrasi di internal kementerian atau jawatan. Dari pengertian tersebut, tidak ada

transfer kewenangan yang nyata karena pihak yang diberikan kewenangan menjalankan

tugas atas nama atasan dan bertanggungjawab kepadanya. Sedangkan pengertian devolusi

sendiri merupakan pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintahan di tingkat

lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat seminimal mungkin dan terbatas pada

bidang-bidang tertentu saja [Smith, 1986)

Desentralisasi dalam Negara Kesatuan

Terdapat rentang sejarah yang panjang berkaitan dengan pengalaman Indonesia

dalam membentuk diri sebagai sebuah negara bangsa. Setelah sengitnya perjuangan

merebut kemerdekaan dan berproses menuju kesepakatan atas identitas bersama yang

kemudian dilegitimasi menjadi ‘Indonesia’ itu ternyata belum cukup. Masih banyak energi

lain yang harus tercurahkan, revolusi telah berakhir dan saatnya kini membangun Indonesia

menuju kesejahteraan, demikian kata Bung Hatta di masa awal pemerintahan Indonesia

berdaulat. Pergolakan dan pemberontakan di daerah seperti PRRI/Permesta, Andi Aziz, serta

gejolak lain di Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan merupakan sekelumit persoalan

yang menggambarkan betapa keragaman saat itu tidak mampu tertampung dan disatukan

dalam bejana yang bernama NKRI. Elit politik begitu heroik mengobarkan nilai nasionalisme

namun senyatanya mereka dangkal dalam memahami realitas sosial politik di daerah-

daerah. Mereka sibuk melakukan konsolidasi nasional namun abai terhadap kepentingan

aspirasi di daerah, yang pada akhirnya menimbulkan konflik antara daerah dengan

pemerintah pusat yang baru seumur jagung itu.

Bisa dikatakan, masalah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

sudah ada sejak awal negara ini terbentuk. Demikian pula ketika terjadi suksesi

kepemimpinan di pucuk pemerintahan ketika Soeharto menggantikan Soekarno di tahun

1966. Tidak banyak perubahahan berarti di bidang tata pemerintahan pusat-daerah di masa

pemerintahan Orde Baru. Dibutuhkan waktu yang lama hingga lahirnya UU N0.5 Tahun 1974

tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah kemudian di susul dengan diundang-

undangkannya UU No.5 Tahun 1979. Keduannya sarat kepentingan dominatif dan represif

oleh pusat kepada daerah (Lay, 2003). Analoginya, di masa itu Jakarta makin seenaknya

mengatakan ‘akulah Indonesia’, padahal Indonesia terdiri dari banyak kepingan puzzle yang

tersebar dari Aceh hingga Papua. Kondisi tersebut berlanjut hingga penghujung millennium

kedua ketika rezim pemerintahan Soeharto digoyang demonstrasi yang menjadi titik balik

bagi gerakan reformis yang menuntut pergantian kepemimpinan di pemerintahan. Di

tengah hingar bingar nyanyian reformasi tersebut, seolah semua orang alergi terhadap

segala bentuk represi dan otoritarianisme yang sudah demikian melekat pada pemerintahan

Soeharto. Pun demikian, pendulum sentralisasi pemerintahan kemudian bergeser ke arah

berlawanan, desentralisasi.

Sadar akan hal itu, Habibie sebagai pewaris mandat dari mentor politiknya tidak bisa

tidak mengakomodasi tuntutan para reformis. Di tengah gejolak dalam negeri yang diwarnai

dengan krisis ekonomi dan memburuknya situasi keamanan, Habibie mengambil langkah

cepat dengan melahirkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sampai pada titik ini format

hubungan pusat-daerah seperti memperoleh angin segar, eksperimen pun dimulai.

Reformasi menghadirkan euphoria optimistis melihat masa depan Indonesia. Sayangnya,

perubahan yang liberal dalam skema hubungan pusat-daerah tersebut justru menghadirkan

masalah baru. Negara justru gagap dalam menjalankan desentralisasi ketika dihadapkan

pada realitas munculnya raja-raja kecil mengatasnamakan otonomi daerah. Kebijakan

desentralisasi pada awalnya menghadirkan ekspektasi, namun realitasnya tidak sama

seperti yang diharapkan. Desentralisasi yang digadang-gadang menjadikan tata kelola

pemerintahan di daerah menjadi lebih demokratis, mempercepat pencapaian kesejahteraan

rakyat, serta perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi lebih baik senyatanya hanya

fatamorgana. To much to soon, demikian istilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan

kebijakan desentralisasi di masa awal reformasi (Hidayat, 2007).

Pada akhirnya UU No.22 Tahun 1999 kemudian direvisi setelah DPR mengesahkan

draft RUU Pemerintahan Daerah yang baru. UU 32 Tahun 2004 menjadi kerangka baru bagi

implementasi kebijakan otonomi daerah yang lebih tertata. Otonomi daerah dan

desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. istilah otonomi lebih

cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan Negara (political aspect), sedangkan

desentralisasi lebih cenderung berada dalam apsek administrasi Negara [administration

aspect). Sebaliknya jika dilihat dari sharing of power kedua istilah tersebut mempunyai

keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai otonomi

daerah, tentu akan menyangkut pula pada pembicaraan seberapa besar wewenang untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah,

demikian pula sebaliknya (Surianingrat, 1981)

Secara umum, otonomi daerah berangkat dari hal tersebut maka inti pelaksanaan

otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power)

untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar mengembangkan dan

memajukan daerahnya (Widjaja, 1998). Di sini masyarakat tidak saja dapat menentukan

nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah

berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Konsep desentralisasi dan otonomi daerah

akan terus mengalami pasang surut. Meskipun telah mengalami beberapa kali perubahan

terkait karakteristik hubungan antara pusat dan daerah, desentralisasi bisa menjadi titik

penting kajian yang akan terus berkembang di Indonesia. Mengingat kondisi Indonesia yang

sangat beragam, akomodasi terhadapnya tidak bisa dilakukan dengan parsial. Keberagaman

tersebut mencakup sebaran geografis, demografis dan sebaran ekonomi (Dardias, 2012).

Di sisi yang lain, kesepakatan untuk memilih bentuk Negara kesatuan adalah

konsekuensi bersama yang tentu akan berpengaruh bagi masa depan kebijakan hubungan

pusat-daerah. Desentralisasi merupakan konsep yang mengkerangakai relasi antara

pemerintah pusat dengan daerah. Dalam Negara kesatuan, seluruh urusan dan kepentingan

Negara dikelola oleh pemerintah pusat. Mengingat kondisi keterbatasan pemerintah pusat

dalam mengelola segala urusan serta luasnya wilayah Negara, maka beberapa urusan

pemerintahan kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah. Konsep desentralisasi

tersebut tentu berbeda bila dibandingkan dengan konsep negara federal. Tarik ulur

kepentingan politik dan ekonomi antara pusat dan daerah adalah sebuaha keniscayaan yang

tidak bisa dihindari. Implikasinya, mungkin saja otonomi khusus kelak tidak hanya akan

diberlakukan di Aceh, Papua dan D.I.Y saja. Jika sudah demikian, menarik untuk disimak

apakah negara ini akan mampu menemukan bentuk desentralisasi yang tepat. Jadi,

desentralisasi pada dasarnya adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Di

dalam pola relasi tersebut mengatur hubungan yang berkaitan dengan kewenangan,

kelembagaan, keuangan dan kontrol. Ilmuwan desentralisasi Indonesia senior membagi

desentralisasi menjadi tiga hal: kewenangan, keuangan dan kontrol (Riwu Kaho, 2012).

Mengenal Josef Riwu Kaho

Josep Riwu Kaho, Drs., M.P.A lahir di Atambua, Nusa Tenggara Timur, 22 Maret

1938. Beliau adalah anak ke 3 dari 7 bersaudara yang tinggal dalam sebuah rumah

sederhana bersama kedua orang tuanya. Pada pertengahan akhir tahun 1946 saat peralihan

setelah kemerdekaan, beliau masuk sekolah SD yang didirikan untuk pertama kalinya.

Semenjak kecil beliau dididik untuk disiplin dan hidup sederhana. Setiap hari, setelah

bangun tidur sampai sepulang sekolah, beliau dan saudara-saudaranya mempunyai tugas

masing-masing untuk bekerja dan membantu orang tuanya. Ada sesuatu yang tidak biasa

dari ayahanda yaitu mengambil anak-anak terlantar dipasar atau jalanan untuk dipungut

kerumahnya dan diperlakukan seperti anaknya sendiri, bisa sampai sekitar 50 an orang.

Pada tahun 1951 beliau melanjutkan sekolahnya di Kupang, karena di Atambua

sendiri tidak ada sekolah SMP. Disana beliau berhasil menembus ujian masuk dari seleksi 22

orang dan yang diterima hanya 2 orang yang salah satunya adalah beliau sendiri. Tamat dari

SMP, pada tahun 1955 beliau tetap ingin melanjutkan sekolah SMAnya yang terletak tidak

jauh dari yang sebelumnya di Kupang. Selama 6 tahun beliau hidup mandiri dan bertempat

tinggal di Kupang yang berjarak sekitar 287 km dari Atambua. Jarak itu ditempuh dalam

waktu 2 hari namun jika musim hujan bisa sampai 10 hari dengan menggunakan kendaraan

truk yang hanya dijumpai dalam satu minggu sekali.

Setelah lulus dari bangku SMA, selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan tinggi di

Kota Jogja. Mengingat keadaan di NTT sana, dimana keberadaan perguruan tinggi yang tidak

ada, kemudian hal inilah yang memutuskan beliau untuk melanjutkan pendidikan tinggi di

pulau Jawa. Dan setelah melalui proses yang panjang dari Atambua hingga duduk dibangku

kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FIsipol), Universitas

Gadjah Mada (UGM) , ternyata ada hal yang menarik dibalik semua cerita tersebut.

Awalnya, pada 14 Juli 1958 Pak Josef memutuskan untuk merantau ke Jawa demi

melanjutkan pendidikan tinggi yang lebih layak. Perjalanan 14 hari ditempuh dengan

menggunakan kapal pengangkut hewan dari Atambua ke Surabaya. Di Surabaya, yang

merupakan tujuan utama beliau mendaftar perguruan tinggi, maka mendaftarlah Pak Josef

sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sembari menunggu

pengumuman, kali ini Pak Josef berangkat menuju Jogja untuk mencoba peruntungannya

mendaftar sebagai mahasiswa di UUGM, tempat dimana kakaknya menempuh pendidikan

terlebih dahulu. Di UGM beliau mendaftar ke empat fakultas sekaligus ; Fakultas Ekonomi,

Pertanian, Hukum, dan terakhir Fisipol yang hanya kebetulan karena diajak menemani

temannya mendaftar.

Selang beberapa waktu menunggu, akhirnya pengumuman pendaftaran pun

diumumkan. Dari kelima tempat Pak Josef mendaftar, Fakultas Fisipol-lah yang pertama kali

mengumumkan bahwa beliau diterima disana. Uang kuliah sejumlah Rp. 240,- yang harus

dibayarkan tanda diterimanya sebagai mahasiswa Fisipol pun dibayarkan. Walaupun

terpaksa dan tak ada pilihan lain, akhirnya beliau bersedia menjadi mahasiswa Fisipol UGM

dengan cara yang tidak sengaja tersebut. Pada akhirnya seluruh tempat dimana beliau

mendaftar menyatakan bahwa Pak Josef diterima sebagai mahasiswa baru. Tapi apadaya,

uang saku sejumlah Rp. 500,- yang diberikan oleh orang tua, dikurangi biaya kuliah Rp. 240,-

yang dibayarkannya di Fisipol UGM, dan sisanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-

harinya, sekaligus menutup pilihan beliau untuk menjadi mahasiswa baru ditempat yang

diinginkan.

Menarik memang bila kita mendengar cerita Pak Josef mengenai pengalamannya

kuliah di Jogja, khususnya di Fisipol UGM, tempat dimana beliau meniti kesuksesannya

hingga kini. Dan ketika kami menanyakan “apakah ada penyesalan dari bapak sebelumnya

karena berkuliah di Fisipol UGM, yang notabene bukan pilihan utama dan pribadi Pak Josef

?”, beliau menjawab, “ya, bagaimanapun harus saya jalani, karena ini takdir Tuhan kepada

saya.” Berkaca pada sikap itulah yang hingga akhirnya mengantarkan beliau ke jalan

kesuksesan, sebab beliau yakin bahwa Fisipol UGM-lah takdir Tuhan yang dikirimkan

kepadanya untuk menjadi jembatan menuju kesuksesan.

1 Agustus 1960 adalah awal permulaan bagi Pak Josef berkuliah di Jurusan Ilmu

Pemerintahan Fisipol UGM. Selama duduk dibangku kuliah, Pak Josef memegang teguh

semangat untuk mencapai target lulus cepat dengan hasil yang memuaskan. Sebab beliau

berkeyakinan sekali bila ia dapat lulus cepat dengan hasil yang memuaskan, maka untuk

mencari pekerjaan pun akan mudah. Pada saat itu Pak Josef memikirkan sekali bagaimana

caranya agar dirinya tidak lagi membebani orang tua, dan satu-satunya cara ialah mencari

pekerjaan. Sebab bila kita ketahui bersama bahwasannya Pak Josef adalah seorang anak

petani sederhana di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Kehidupan yang sederhana sudah

biasa baginya, bahkan hingga beliau bersekolah di Jogja.

Oleh karena itu, untuk merubah nasibnya beliau sangat bersungguh-sungguh dan

bekerja keras dalam menempuh pendidikan di Fisipol UGM. Lima hingga enam jam perhari

waktunya dihabiskan untuk belajar, displin tinggi dalam mengejarkan tugas kuliah, dan

bersunguh-sungguh dalam memperhatikan dosen mengajar dikelas adalah jurus jitu Pak

Josef dalam berkuliah. Tak mengherankan bila Pak Josef dulu semasa kuliah selalu

memperoleh hasil yang memuaskan dan nilai terbaik. Keberhasilan tersebut tak terlepas

dari peran teman dan senior Pak Josef dulu semasa kuliah. Teman yang sangat

dibanggakanya tersebut adalah Pak Mariun dan The Liang Gie. Mereka berdua adalah orang

yang membentuk mental dan sikap displin Pak Josef hingga berhasil seperti saat ini.

Semasa kuliah Pak Josef selalu berpegang teguh pada motto “bila orang lain bisa,

kenapa saya tidak”. Hal tersebut dipikirkan beliau berkaca pada senior-seniornya yang

terlebih dahulu sukses. Hal inilah yang selalu menjadi api semangat Pak Josef dalam

menjalankan studinya di Fisipol UGM. Hingga akhirnya beliau dapat lulus cepat menjadi

sarjana muda, yaitu tiga tahun enam bulan, dengan nilai yang terbaik. Tak lama berselang

beliau diangkat menjadi asisten dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Orang

yang telah berjasa dalam membuka jalan awal karirnya tersebut adalah Prof. Sudjiono

Wachid. Hingga prestasinya kini beliau mampu menjabat sebagai Dekan Fisipol sebanyak

dua kali, Sekretaris Jurusan dua kali, Ketua Jurusan selama 19 tahun, dan Dosen Jurusan

Ilmu Pemerintahan dari 1966 hingga kini.

Menikah ditahun 1964 saat usia beliau menginjak 26 tahun dan memperoleh empat

orang anak adalah bagian dari target dan perencanaan hidup dari bapak Josef Riwo Kaho.

Beliau selalu berkata kepada kami, “bahwa hidup itu harus direncanakan, sebab yang

menentukan keberhasilan kita adalah rencana kita sendiri, bukan orang lain”. Bahkan hingga

beliau bersekolah S2 di College Public Administration, University of the Philippines tahun

1977 dan lulus Master tahun 1979, adalah merupakan sebagian dari agenda yang

direncanakan oleh Pak Josef. Menjadi PNS dan pensiun ditahun 1989 dengan golongan

tertinggi 4E, juga merupakan perencanaan dan target yang berhasil dicapai oleh Pak Josef.

Keberhasilan dan kesuksesan yang digapai Pak Josef hingga kini merupakan hasil dari

kerja kerasnya dulu, dimana sikap disiplin dan bersungguh-sungguh serta target dan

perencanaan matang selalu dijunjung tinggi oleh Pak Josef. Peran orang-orang disekitar juga

tidak lepas dalam mengantarkan Pak Josef menjadi orang yang sukses dan berhasil. Orang

tua dan kampung halaman Atambua adalah pengobar semangat penuntun kesuksesan Pak

Josef, yang menjadi harapan untuk merubah situasi disana. Setidaknya konsep desentralisasi

yang telah dipikirkan Pak Josef sejak dari dulu adalah salah satu bentuk yang dapat

digunakan untuk mensejahterahkan masyarakat lewat pemerintahan daerah. Begitulah

harapan Pak Josef untuk kampung halamannya disana, yang mengalami kesenjangan sangat

jauh dengan daerah-daerah lainnya, terutama daerah di pulau Jawa. Konsep desentralisasi

dan pemerintahan daerah adalah konsep yang telah dipikirkan oleh Pak Josef sejak

berkuliah di JIP Fisipol UGM dulu. Sejak duduk jadi mahasiswa maupun dosen beliau sangat

konsen terhadap hal tersebut, terbukti dengan skripsi, tesis, serta buku-buku yang

dibuatnya mayoritas bertemakan politik lokal dan desentralisasi.

Kemunculan Desentralisasi

Desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia berkaitan dengan pemilihan bentuk

negara yakni negara kesatuan. Hal ini juga berkaitan dengan pilihan dalam pembagian

kekuasaan yakni pemilihan antara sentralisasi atau otonomi daerah. Sejak Indonesia

merdeka tahun 1945, sudah dipastikan bahwa bentuk negara adalah negara kesatuan dan

menggunakan otonomi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Hal itu

tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 19545), Pasal 1 ayat 1 UUD

194545, dan Pasal 18 UUD 194545. Pemilihan otonomi daerah memiliki konsekuensi

diberlakukannya desentralisasi oleh pemerintah pusat.

Josef (1988) dalam bukunya “Prospek otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”

sendiri mengatakan cenderung mengikuti pendapat Mariun yang mengatakan bahwa alasan

dianutnya desentralisasi adalah:

1. Demi tercapainya efektivitas pemerintahan;

2. Demi terlaksananya demokrasi di/dari bawah (grassroots democracy).

Pelaksanaan desentralisasi dinilai akan membawa efektivitas dalam pemerintahan

karena pihak negara terdiri dari berbagai daerah yang memiliki sifat-sifat khusus. Misalnya

faktor-faktor geografis (letak, iklim, sumber daya), ekonomi, budaya, pendidikan, dan

lainnya. Selain itu, dengan melaksanakan desentralisasi dikatakan akan membawa

pemerintahan yang lebih demokatis. Alasanya karena negara seharusnya memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam

pemerintahan. Untuk itu realisasi dari semboyan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat juga dilaksanakan di daerah.

Josef juga memaparkan keuntungan yang diperoleh dengan diberlakukannya sistem

desentralisasi, antara lain:

1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan

2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan

cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi pemerintah pusat.

3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan

dapat segera dilaksanakan.

4. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang

berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi territorial, dapat

lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan/keperluan dan keadaan

khusus daerah.

5. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan

semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan,

yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat

diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik, dapat

dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah

untuk ditiadakan.

6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.

7. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi

daerah-daerah karena difatnya yang lebih langsung.

Selain sisi kebaikan dari desentralisasi, beliau juga memaparkan kelemahan dari

desentralisasi antara lain:

1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan

bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.

2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah

dapat lebih mudah terganggu.

3. Khusus mengenai desentralisasi territorial, dapat mendorong timbulnya apa yang

disebut daerahisme atau provinsialisme.

4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan

perundingan yang bertele-tele.

5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebuh banyak dan

sulit untuk memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.

Pelaksanaan desentralisasi menimbulkan akibat timbulnya daerah-daerah otonom.

Dalam perjalanan dan perkembangannya, daerah otonom menjadi daerah yang berhak dan

berkewajiban untuk mengatur mengurus rumah tangganya sendiri.

Esensi Desentralisasi Josef Riwu Kaho

Setiap konsep yang dihasilkan oleh buah pikir manusia pasti memiliki inti. Inti

pemikiran inilah yang kemudian dikembangkan menjadi argumentasi-argumentasi yang

saling berkaitan satu sama lain. Demikian juga dengan pemikiran desentralisasi milik Josef

Riwu Kaho. Dihadapkan dengan pluralisme negeri ini, Josef mulai memikirkan suatu bentuk

pemerintahan yang sesuai dengan kondisi Indonesia tersebut. Keanekaragaman Indonesia

lah yang kemudian mendorong beliau menemukan konsep desentralisasi dalam pikirannya.

Pak Josef, demikian kami biasa memanggilnya, mengingat dengan detail luas

bentang daratan dan lautan Indonesia. Beliau juga hafal jumlah pulau milik Indonesia yang

ribuan jumlahnya. Suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia serta berbagai macam

bahasa yang mereka gunakan juga beliau sebutkan jumlahnya. “Kita ini negara yang luar

biasa,” demikian yang beliau katakan ketika memulai kisah panjang desentralisasi Indonesia.

Beliau dengan senang hati membagi ilmunya kepada mahasiswa Jurusan Politik dan

Pemerintahan yang butuh banyak bimbingan. Seringkali Pak Josef menyampaikan ilmunya

dalam bentuk kisah pengalaman yang dahulu beliau alami.

Pak Josef menyebut Kabupaten Alor sebagai daerah asalnya. Daerah itu, bersama

dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya didiami oleh banyak suku yang masing-masing

berkumpul untuk membentuk perkampungan. Hal yang luar biasa adalah setiap kampung

menggunakan bahasa yang berbeda dari kampung lain. Hal ini dikarenakan sering terjadi

peperangan antarkampung. Perbedaan bahasa ini digunakan sebagai tindakan pengamanan

agar musuh tidak mengetahui strategi yang digunakan oleh lawan.

Jangankan di pulau-pulau kecil yang jauh dari perkotaan, tengok saja pulau Jawa.

Meski dinamai pulau Jawa, tidak hanya bahasa Jawa yang digunakan di pulau ini. Di samping

bahasa Jawa, tentunya bahasa Sunda, bahasa Betawi, dan bahkan bahasa lokal Suku Badui

pun masih digunakan. Orang Jawa pun tidak seiya sekata dalam menggunakan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa yang digunakan di daerah Jogja tidak sama dengan yang digunakan di Solo,

bahkan Banyumas memiliki kekhasan dalam bahasa Jawa yang dipergunakan, yakni ngapak.

Berangkat dari hal ini, perbincangan kami dengan Pak Josef mulai masuk lebih dalam ke

dalam pemikiran beliau.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara berkarakteristik plural.

Tidak hanya bahasa dan adat istiadat, bahan makanan serta kondisi alam daerahnya pun

berbeda-beda. Dengan keanekaragaman yang begitu luar biasa, tentu saja pola

pemerintahan yang sentralistik tidak dapat bekerja dengan baik. Sebagai ilustrasi sederhana,

pada Orde Baru pemerintah pusat mendeklarasikan bahwa makanan pokok orang Indonesia

adalah beras. Deklarasi ini tentu saja bersifat Jawa-sentris dan mengabaikan penduduk

Indonesia timur, sebagai contoh, yang biasa makan sagu. Penduduk Indonesia bagian timur

dipaksa menjadi orang Jawa dengan makan nasi, padahal kondisi alam tidak memungkinkan

untuk ditanami padi. Hal itulah yang kemudian disebut sebagai pemerintahan yang

sentralistik, terfokus pada penyeragaman.

Sebuah penolakan dari Josef ditujukan kepada sentralisasi. Masyarakat yang

beraneka ragam tidak dapat diseragamkan oleh pemerintahan yang sentralistik begitu saja.

Oleh karena itu, desentralisasi sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang berbentuk negara

kesatuan. Dengan desentralisasi, keragaman Indonesia tidak dimusnahkan, justru

desentralisasi memfasilitasi pengembangan potensi masing-masing daerah Indonesia.

Akomodasi keanekaragaman, inilah pandangan Josef mengenai desentralisasi, ‘Sedangkan

desentralisasi itu lebih akomodatif terhadap keanekaragaman’. Desentralisasi dipandang

sebagai penyelamat keanekaragaman Indonesia.

Paska reformasi hubungan pusat dan daerah mengalami perubahan yang signifikan,

daerah mendapatkan hak otonom atas daerahnya yang sering disebut dengan

desentralisasi. Josef Riwu Kaho menerangkan beberapa hal penting dalam buku analisis

hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, yaitu dalam tahap awal reformasi

hubungan pusat dan daerah adalah memberikan dasar filosofi yaitu bahwa Indonesia

memiliki keanekaragaman dalam kesatuan, bukan lagi keseragaman yang menjadi dasar

filosofi orde baru. Hal tersebut dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) No. 22 tahun

1999. Hal ini merupakan kebijakan pertama yang mengubah wajah hubungan pemerintah

pusat dan daerah dalam masa reformasi. Daerah bukan lagi menjadi mesin pemerintah

pusat baik secara politis maupun penyelenggaraan kebijakan. Pada orde baru, daerah

dijadikan alat politik oleh pusat, selain itu hasil sumber daya alam daerah dibawa kepusat.

Daerah hanya menjadi “sapi peras” pusat saja. Akan tetapi dengan adanya reformasi ini

daerah diberikan keleluasaan dalam mengatur daerahnya sendiri dengan

tujuanmemberikan kesejahteraan yang merata di daerah.

Dengan kemajuan informasi dan adanya evaluasi dalam implementasi UU No. 22

Tahun 1999 ternyata semakin tidak lagi komperhensif dan ada celah masalah. Kurangnya

pengetahuan dalam menjalankan dan mendefinisikan asas desentralisasi yang dimaksud

dam peraturan ini justru membalikan kembali masalah lama serta timbulnya masalah baru.

Kemudian UU No.22 tahun 1999 ini dievaluasi dan diperbaharui dengan dikeluarkannya UU

No. 32 Tahun 2004. Undang-undang tersebut menurut Josef pada dasarnya memiliki misi

utama menyediakan pelayanan dasar (Basic Service) dan mengembangkan sektor unggul

(Core Competence) dengan cara-cara yang demokratis. Dalam UU No. 32 tahun 2004 ini

lebih komperhensif dan rinci serta mendetail, hubungan pusat dan daerah serta daerah

berjenjang (Provinsi-Kabupaten/Kota) dapat terbagi dengan jelas fungsi dan tugas pokoknya

masing-masing. Perselisihan antara daerah dan pusat berkurang, karena sudah jelas mana

yang menjadi tugas pusat dan mana tugas daerah.

Tantangan Bagi Desentralisasi di Indonesia

Tak ada gading yang tak retak inilah peribahasa yang tepat bagi peraturan

pemerintah yang diungkapkan Josef Riwu Kaho. Tujuan peraturan tersebut terkadang tidak

selalu sesuai dengan apa yang direncanakan. Pemberian otonomi serta urusan kewenangan

pada pemerintah daerah bisa menjadi boomerang ketika penggunaan otonomi yang

diberikan ini tidak sesuai dengan semestinya. Evaluasi yang dilakukan kemudian menyingkap

tabir persoalan yang lebih serius lagi: meluasnya korupsi dan nepotisme di ranah politik

lokal. Data awal tahun 2013 dari Depertemen Dalam Negeri menunjukan hampir 300

gubnernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sedang

dihadapkan pada persoalan hukum terkait korupsi. Dari data tersebut mengungkapkan

bahwa semakin merebaknya praktek ‘politik keluarga atau dinasti’ di ranah lokal yang makin

menjauhkan desentralisasi dan otonomi daerah dari demokrasi. Menurut Dirjen Otonomi

Daerah, memberitakan semakin meluasnya dinasti di daerah-daerah. Diindikasikan, setidak-

tidaknya terdapat 57 kepala daerah yang membangun dinasti ditingkat lokal1 (Lay, 2013).

Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak

selalu menghasilan kebaikan tapi juga penyimpangan sosial yang dilakukan aktor yang

mengimplementasikannya.

Josef yang memiliki fokus pada desentralisasi dan otonomi daerah ini mengatakan

bahwa ada beberapa masalah terkait desentralisasi yang tidak memenuhi harapan. Bagi

beliau yang menjadi faktor utama dalam permasalahan ini adalah manusia. Manusia

merupakan faktor utama yang menentukan berhasil atau gagalnya desentralisasi .

Perumusan kebijakan, implementasi, dan evaluasi selalu terkait dengan manusia, karena

manusialah yang menciptakan, menerapkan dan mengontrol semua itu. Dari banyak

manusia yang menjalankan desentralisasi, sebagian besar tidak memiliki cinta pada negara.

Josef menekankan regulasi dan kebijakan pada dasarnya membantu implementasi menjadi

lebih baik, namun apabila manusianya merupakan orang-orang yang tidak mengerti

mengapa mereka diciptakan didunia ini. Manusia bagi Josef Riwu Kaho merupakan makhluk

Tuhan yang diciptakan untuk membantu sesamanya di dunia, karena ketidakpahaman

manusia itulah kini desentralisasi menjadi tidak seperti yang kita inginkan.

Manusia oleh Josef diibaratkan sebagai inti dari kehidupan manusia, termasuk

masalah desentralisasi. Tidak semua memang tapi sebagian besar dari manusia yang

menempatkan diri pada posisi strategis melakukan kecurangan dan kerusakan. Niat setiap

manusia tidak selalu benar, oleh sebab itu manusia sering melakukan korupsi, nepotisme

dan lain-lain yang merugikan semua manusia. Manusia dianggap begitu penting karena

semua pemikiran adalah hasil dari manusia, termasuk desentralisasi juga merupakan bagian

dari pemikiran manusia. Desentralisasi pada dasarnya digunakan untuk menjalankan tugas

yang tuhan berikan yaitu menolong sesama manusia. Desentralisasi diciptakan untuk

1 Dalam catatan Kompas, 6 Maret 2013, fenomena paling menonjol adalah di Banten dimana jaringan kekerabatan Ratu Atut Chosifah, Gubernur Banten menguasai politik di kawasan ini: Atut adalah kakak kandung Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri walikota Serang, Tb Hairul Jaman; kakak ipar walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany; dan sekaligus anak tiri wakil bupati Pandeglang, Heryani. Gejala serupa ditemui di Sulsel, Sulut, Sumbar, Lampung, Jateng, Jatim, dan masih banyak daerah lainnya.

manusia, yang melaksanakan manusia, pelaksanaanya tentu harus baik, orientasi

pemikirannya juga harus baik apalagi niat individu itu harus lebih baik. Dari semua itu

manusia-lah yang bertanggung jawab berjalan atau tidak berjalannya hasil pemikirannya itu

(desentralisasi).

Faktor selanjutnya yang mengurangi optimalisasi berjalannya desentralisasi adalah

keseragaman yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Semenjak reformasi lewat UU No.32

Tahun 2004 pola hubungan pusat dan daerah dianggap dan dijadikan sama atau seragam.

Padahal kita bisa melihat Indonesia itu tidak seragam dari banyak hal, bahasa, adat istiadat

dan lain sebagainya. Singkatnya Indonesia ini menjadi ladang keberagaman.

Kesalahan tersebut dapat dilihat, pada kasus di KabupatenSleman. Sebagai daerah

kabupaten, Sleman diberikan tugas yang sebenarnya tidak mereka miliki potensi dan

sumber dayanya yakni perikanan dan kelautan. Jelas keseragaman seperti ini tidak bisa

ditolelir, selain salah sasaran dalam memberikan tugas pada daerah negara juga akan

mengalami defisit pembiayaan yang begitu tinggi. Banyak daerah tidak berkembang justru

karena dipaksakan untuk seragam. Contohnya adalah NTT yang bukan merupakan wilayah

tepat untuk menanam karet, tetapi diciptakan daerah untuk penanaman karet rakyat.

Kesimpulanya kita tidak bisa menyeragamkan daerah satu dengan daerah lainnya

karena potensi sumber daya alam dan manusia yang memang berbeda. Karena itu kita

terlebih dahulu harus dapat membandingkan infrastruktur serta pendidikan yang berbeda

antara daerah satu dengan daerah yang lain.

Jadi memberikan urusan rumah tangga dan otonomi itu didasarkan pada

kemampuan, keadaan dan kebutuhan yang nyata. Kemampuan daerah pastilah berbeda

karena sumberdaya yang juga berbeda, urusan setiap daerah perlu disesuaikan dengan hal

tersebut. Bagi Josef Riwu Kaho otonomi bukan merupakan hal yang statis, seharusnya

dinamis, daerah dituntut berkembang sehingga urusan diberikan bertahap, jika kemampuan

daerah bertambah urusannya pun ditambah dan jika daerah tidak bisa menjalankan

urusannya bisa diserahkan kembali pada pusat agar pusat bisa membantu, bukan dengan

carapukul rata semua daerah.

Kesimpulan

Dari semua penjelasan di atas ada beberapa yang kemudian harus digaris bawahi

terkait pemikiran seorang Josef Riwu Kaho mengenai desentralisasi. Pertama, desentralisasi

menurut beliau dianggap sebagai cara atau media untuk mengakomodasi keberagaman

yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Sistem desentralisasi dipilih karena menuruh Josef

memang merupakan sistem yang paling kuat dan bagus daripada dengan sistem

federalisme. Beliau mengandaikan bahwa sistem hanya sebagai ‘wadah’, sedangkan yang

lebih penting adalah isinya. Jika isinya sudah pas dan benar maka, permasalahan wadah

kemudian menjadi tidak berarti lagi secara signifikan. Kedua, ada dua faktor yang menurut

beliau menjadi penentu keberhasilan dari penerapan sistem desentralisasi di dalam

masyarakat, yakni faktor manusia dan faktor sumber daya. Faktor manusia merupakan

faktor yang paling dominan dan berpengaruh terhadap keberhasilan tidak hanya sistem

desentralisasi tetapi juga sistem-sistem yang lain. Beliau percaya bahwa, manusia yang baik

tentu juga akan membawa pengaruh yang baik juga terhadap sistem yang ada. Kemudian

terkait sumber daya. Josef menekankan bahwa jika ingin mengunakan sistem ini harus

melakukan takaran yang pas terkait pemberian kewenangan kepada daerah dari pemerintah

pusat. Hal itu dilakukan karena perbedaan potensi dan kemampuan daerah dalam

mengelola keleluasaan untuk menguasai dan mengatur daerahnya sendiri.

Dari hasil pemikiran beliau dapat ditarik dua kemungkinan mengapa dirinya tertarik

dan setuju dengan menggunakan konsep desentralisasi. Pertama, terkait masalalu beliau

yang tinggal di luar Pulau Jawa. Keadaan pada waktu itu ada terjadi perbedaa yang kentara

antara Jawa dengan tempat tinggalnya, dalam hal ini perbedaam infrastruktur. Memori

masa kecil yang kemudian turut membentuk pemikiran beliau mengenai desentralisasi. atau

juga bisa dikatakan sebagai rasa traumatik akibat dari pola-pola pemberlakukan yang tidak

seimbang antara daerah satu dengan daerah yang lain akibat proses pemerintahan yang

sentralistik. Kemudian faktor kedua yang mendukung yakni terkait konteks era pada saat itu.

Keadaan pada waktu itu ialah telah muncul rasa-rasa ketidaksukaan pada Orde Baru yang

menerapkan sentralisasi bagi pemerintahan di Indonesia yang menyebabkan tidak

meratanya pembangunan.

Pada perjalanannya, desentralisasi mengalami dinamika yang begitu kompleks.

Kemunculannya dihadapkan pada harapan dan tantangan yang hadir seiring dengan lahirnya

desentralisasi. Michael S. Malley mengatakan bahwa desentralisasi yang demokratis di

Indonesia telah menghasilkan perubahan baru dalam pengaturan pemerintahan lokal, tapi

masih tetap berhadapan dengan struktur lama yang menghambat demokrasi dan

desentralisasi. Adanya bukti perubahan dengan hadirnya desentralisasi didukung dengan

hadirnya era transisi yang terjadi di Indonesia. Adanya transisi ini menimbulkan

ketidakpastian dengan dihadapkannya berbagai harapan, idealisme, perubahan,

pembahasan dan kemajuan yang harus berbenturan dengan kegelisahan, pragmatisme,

ketidakpastian, kesulitan, hambatan dan konservatisme (Eko, 2005 : 416).

Secara teoretis, desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan bisa mempromosikan

demokrasi lokal, membawa negara lebih dekat kepada masyarakat, menghargai identitas

lokal yang beragam, memperbaiki kualitas layanan publik yang relevan dengan kebutuhan

lokal, membangkitkan potensi dan prakarsa lokal dan memperkuat partisipasi masyarakat

lokal (Eko, 2005 : 416). Namun mimpi-mimpi ideal ini sangat jauh dari harapan. Bahkan

dapat dikatakan bahwa desentralisasi ini disalahartikan. Desentralisasi yang dimaknai

dengan penyerahan wewenang kepada daerah untuk mengurus urusannya sendiri sesuai

dengan potensi daerah yang dimiliki demi meningkatkan kesejahteraan rakyat nyatanya

hanya dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan untuk menggugat negara. Hal ini sangat

nyata dalam pandangan Josef Riwu Kaho dengan adanya Dewan Penguatan Daerah (DPD)

untuk dijadikan sama kewenangannya dengan DPR, menurut Josef Riwu Kaho, akan

berpotensi seperti menjadi negara bagian. Padahal ide desentralisasi itu sendiri lahir karena

negara ini menganut negara kesatuan.

Hadirnya desentralisasi tidak hanya menimbulkan dampak konseptual yang luas

dalam tataran negara, namun juga berdampak pada praktek-praktek tidak mendidik elit-elit

lokal daerah. Desentralisasi hanya dimaknai sebagai jalan untuk melanggengkan

kepentingan pribadi, utamanya pribadi-pribadi yang memiliki modal. Beliau mengatakan

bahwa dominasi elit lokal ada dalam arena pengembangan industri kecil di era

desentralisasi. Jalan yang paling sering ditempuh adalah dengan pemekaran daerah.

Pemekaran yang pada awalnya dilakukan untuk mendekatkan akses pelayanan publik

kepada masyarakat digunakan sebagai dalih untuk melindungi kepentingan pribadi yang

kemudian dengan permainan politiknya berhasil menempati pucuk pimpinan untuk

membuat regulasi yang melindungi kepentingannya. Tidak hanya kepentingan modal

pribadi, namun juga melindungi modal-modal kroni dan golongannya.

Pemekaran daerah merupakan salah satu manifestasi cara yang ditempuh untuk

mencapai desentralisasi. Massifnya pemekaran daerah yang terjadi di negara ini membawa

kembali pertanyaan fondasional lahirnya pemekaran daerah. Apakah benar pemekaran ini

bertujuan untuk kesejahteraan rakyat ataukah hanya permainan elit lokal untuk melindungi

kepentingannya? Josef Riwu Kaho pun heran dengan adanya fenomena ini. Dengan adanya

fakta bahwa 90% daerah pemekaran gagal dan hanya sekitar 10% yang berhasil

memunculkan keraguan dengan munculnya fenomena ini. Josef memberikan prasyarat dan

mekanisme tertentu suatu daerah dapat dilakukan pemekaran. Suatu daerah dapat

dikatakan dimekarkan apabila dalam waktu sepuluh tahun sejak daerah itu berdiri sudah

dapat mandiri dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apabila

dalam kurun waktu tersebut daerah yang dimekarkan tidak dapat berdiri secara mandiri

maka sudah selayaknya daerah itu kembali kepada daerah induknya.

Selain kepada aspek kemampuan daerah, yang perlu dipertimbangkan adalah adanya

spesifikasi dan standar kualifikasi pejabat yang akan mengisi jabatan di daerah tersebut.

Karena sudah barang tentu sebuah daerah yang baru memerlukan pejabat-pejabat yang

memiliki tingkat dedikasi tinggi disertai kapabilitas yang memadai untuk membangun

pondasi awal mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tataran pemerintahan

dan pelayanan publik yang baik. Terlebih seringkali di daerah baru mudah dijumpai adanya

not the right man in the right place. Akibatnya pembangunan di daerah tersebut tidak

berjalan sesuai dengan koridor yang seharusnya. Konsepsi inilah yang nantinya akan

memulai babak baru pemekaran daerah supaya sesuai dengan tujuan awal dari hadirnya

pemekaran daerah tersebut.

Fenomena lain yang terjadi dalam era desentralisasi ini adalah adanya heavy

legislatif. Josef Riwu Kaho mengatakan bahwa legislatif dalam hal ini adalah DPRD yang

memiliki kekuasaan bermacam-macam cenderung menggunakannya untuk menjatuhkan

eksekutif. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan sudah tumbang pada

tataran proses perumusan kebijakan, ketika DPRD tidak menghendaki suatu kebijakan maka

secara otomatis kebijakan ini tidak akan pernah berjalan di daerahnya. Hal inilah yang

menurut Josef Riwu Kaho menjadi celah korupsi, karena akan ada banyak anggaran yang

tidak terserap dan terjadi proses-proses lobi yang kecenderungan korupsinya sangat tinggi.

Maka dengan hal ini, adanya fakta-fakta di atas yang terjadi kiranya perlu untuk

memahami kembali hadirnya desentralisasi di negara ini. Desentralisasi hadir untuk

memberikan kesempatan kepada daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi daerah

yang dimilikinya. Perencanaan pembangunan betul-betul harus mencakup semua aspek di

daerah dan semua kepentingan rakyat berdasarkan potensi daerah yang dimilikinya.

Kesempatan bagi tiap daerah untuk berkembang akan memunculkan adanya pemerataan

pembangunan di setiap daerah yang ada, dengan hal inilah ketimpangan pembangunan

antar daerah akan minim ditemui. Pembangunan di daerah tidak hanya mencakup kepada

kesiapan sumber daya potensial yang ada di daerah namun juga perlu didukung oleh

hadirnya pemimpin daerah yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi membangun

daerahnya. Pemimpin daerah ini juga harus cerdas dalam bernegosiasi dengan DPRD demi

merealisasikan kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk daerahnya. Sehingga dengan

kombinasi-kombinasi yang mendukung dari semua lini pembangunan di daerah akan

mampu mewujudkan desentralisasi daerah sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama

filosofis desentralisasi.

Daftar Pustaka

Dardias, Bayu. 2012. Desain Desentralisasi Asimetris di Indonesia. Makalah pada

seminar LAN Jatinangor 26 November 2012

Fisipol UGM.

Gunawan, Jamil dkk. (Ed). 2005. Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal.

Jakarta Pustaka LP3ES Indonesia.

Kaho, J.R. 2012. Analisa Hubungan Pusat an Daerah di Indonesia. Yogyakara : PolGov

JPP Fisipol UGM.

Kaho, Josef Riwu. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Jakarta: Rajawali Pers.

Lay, Cornelis, 2013. Desentralisasi Asimetris: Sebuah Model Bagi Indonesia?, dari

bahan Mata Kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah, tanggal 5 Juni 2013, Jurusan Politik

dan Pemerintahan. Fisipol Universitas Gadjah Mada.

Lay, Cornelis. 2009. Pengembangan Assymetrical Decentralization Sebagai Model

Pengelolaan Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia. Yogyakarta : Jurusan Politik dan

Pemerintahan

Pratikno, dkk. 2010. Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.

Yogyakarta : Penelitian Jurusan Politik Pemerintahan, Fisipol UGM.

Sumber Online

Kompas, 6 Maret 2013