PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK (Studi...

29
1 PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK (Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati’ dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan) Disusun oleh: Nama : Desiana Rizka Fimmastuti NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358 JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

Transcript of PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK (Studi...

1

PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

(Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati’ dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan)

Disusun oleh:

Nama : Desiana Rizka Fimmastuti

NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

SUMMARY v

A. Pendahuluan 1

B. Telaah Pustaka 2

- Kebijakan Publik 2

- Kebijakan Perlindungan Produk Tembakau 3

C. METODE 5

D. PP No 109 tahun 2012:Celah Meningkatnya Ketergantungan Produk Tembakau 6

E. Pembatasan Kadar Tar dan Nikotin : Sebuah Upaya Penyelesaian Masalah 11

F. Pembentukan Tim Gabungan dalam Pengecekan Kadar : Sebuah Tawaran Implementasi

Kebijakan Melalui Instrumen State Auxiliary Agencies 14

- Pengendalian Secara Halus : Reaksi Atas Komposisi Kepentingan yang Kompleks 14

- State Auxiliary Agencies dalam Implementasi Kebijakan 17

- Kontekstualisasi Kebijakan : Sebuah Upaya Lanjutan 18

G. Pengawasan dan Pengawalan Kebijakan: Sebuah Kewajiban 20

H. Kesimpulan 23

DAFTAR REFERENSI 24

3

SUMMARY

PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK

MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

RESTRICTION OF TAR AND NICOTINE : A PRIORITY TO LET THE NATION FREE

FROM THE DANGER OF CIGARETTES

(Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati' dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai

Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan)

A study of "half-hearted"public policy in PP 109/2012 about the RESTRICTION of

tobacco as an addictive substance for health

Government has the highest power in a country, and also has to manage various

interest in the society. Because of these reasons, government has to accomplish the people's

welfare and manages social order to its society in various aspects. Government can achieve it

by making public policy. It contains details of the rule, so people will understand which one

is the best one. If we analize many health regulations, I can suggest you that tobacco

regulation is the most interesting one. As we know that the regulation has fluctuation and

contains a lot of interest from corporate, state, employee, tobacco's farmer, and also health

activist.

I have a standing position, as an activist, that people's health is the most important

thing. Tobacco, especially cigarettes have impact toward people's helath. Government has

regulate about that by UU 26/2009 that contains various aspects of health. Beside that,

government have producted PP 109/2012 about protection to tobacco products as an addictive

substance. Many people consider that the policy is comprehensive enough because it

regulates about design, no smoking area, and also the advertisements in the mass media.

Those details were not been set in the previous policy. But I think, the policy ignore an

important thing : the restriction of tar and nicotine. It will increase the level of cigarettes

addiction

Moreover, it can show us about ‘consensus' between government and corporations to

protect market. The market has to be protected because of its great contribution to APBN. If

4

the existence was blocked, it was predicted that economic stability would be disrupted.

Further information, cigarettes workers dan farmers will make a massive protest.

Because of these reasons, government should be wise to provide the best solution for

us. We know that cigarette consumption is increasing and also the quality of health is

decreasing. Furthermore, the budget of ‘jamkesmas' is given so much for the treatment of

diseases caused by smoking. In this condition, there should be any restrictions on tar and

nicotine, as in the previous era. The government can establish a team in a process of checking

the content of tar and nicotine in cigarettes. When the tar and nicotine is in conformity with

the regulations, then the authorized team will give permission to release the product.

Meanwhile, in anticipation of the turmoil stemming from the company and the community,

the government should disseminate why it should be done. Socialization is accompanied by

the exposure of sanctions that will be imposed on those who commit offenses. When this is

executed, then the level of addiction to society caused by smoking can be derived. But the

government also should not turn a blind eye to the risks that may come if the policy is

applied. Tobacco farmers and factory workers would be threatened his life because of a

dwindling cigarette consumption. Furthermore , the government must prepare for alternative

employment, which may include optimization of garment enterprises, replacement alternative

seed , fertilizer subsidies, and so on .

All discussion of policy alternatives are also accompanied by analysis to

implementation and monitoring, followed by evaluation. Through the stages of the policy

cycle, the policy will be scrutinized and given alternative solutions.

5

PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK

MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

Sebuah Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati’ dalam PP No 109 tahun 2012

Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan

A. PENDAHULUAN

Kesejahteraan dan kehidupan yang layak merupakan dambaan setiap lapisan

masyarakat. Untuk mewujudkannya diperlukan peran dari berbagai pihak, salah satunya

adanya negara yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengelola dan mewujudkan cita- cita

tersebut. Otoritas tertinggi yang dimilikinya ini menjadikan Negara berperan penting dalam

menekankan tujuan utamanya, yaitu servicing, empowerment, dan making public policy

(regulation).

Kebijakan menjadi salah satu pijakan dalam melihat bagaimana kepiawaian

pemerintah dalam mengelola publik yang beragam. Dengan melakukan analisa kebijakan

dapat terlihat sejauhmana intervensi pemerintah dalam dimensi yang penting, salah satunya

adalah dimensi kesehatan yang dampaknya begitu luas dirasakan oleh masyarakat. Berkaitan

dengan hal ini, pemerintah telah mengeluarkan UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan,

dimana mengatur berbagai aspek mengenai kesehatan. Guna semakin mempertajam regulasi

tersebut, pemerintah belum lama ini mengeluarkan PP No 109 tahun 2012 tentang

pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Produk tembakau menjadi

hal yang menarik untuk dilihat karena selama ini, kebijakan tembakau menjadi topik yang

diperdebatkan mengingat terdapat banyak kepentingan di dalamnya.

Produk hukum tersebut memang terlihat komprehensif dalam mengatur mengenai

produk tembakau, seperti telah mengatur mengenai desain kemasan, kawasan tanpa rokok,

hingga iklan di media massa. Aspek ini merupakan hal yang harus dipandang positif karena

dinilai dapat mengurangi konsumsi rokok di Indonesia. Detail tersebut memang belum diatur

pada kebijakan sebelumnya. Akan tetapi jika ditelaah lebih dalam kebijakan ini masih

bersifat setengah hati karena abai terhadap hal detail dalam mengatur mengenai produk

tembakau, yaitu mengenai pembatasan kadungan tar dan nikotin dalam setiap produk. Ini

6

merupakan celah yang justru mampu membuat tingkat kecanduan rokok di Indonesia

semakin tinggi. Terlihat dengan jelas bahwa fenomena ini adalah sebuah kesengajaan yang

dilakukan pemerintah untuk bernego dengan pihak perusahaan. Atas dasar inilah kebijakan

ini menarik untuk dielaborasi karena melibatkan dimensi politis yang begitu kental, mulai

dari banyak stakeholder terlibat hingga dampaknya yang begitu besar bagi masyarakat.

Untuk itu diperlukan tambahan pembatasan kandungan tar dan nikotin yang juga

dikombinasikan dengan pengaturan mengenai iklan dan kemasan dalam kebijakan

selanjutnya. Atas dasar hal ini, rumusan masalah dalam karya ini adalah : Bagaimanakah

langkah kebijakan ideal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk membatasi kadar tar

dan nikotin?

Tulisan ini hendak membahas gagasan baru dalam mengelola kepentingan publik

terkait dengan hal tembakau, serta lengkah interventif yang harus dilakukan pemerintah untuk

menjamin kepentingan publik tersebut. Pembatasan kadar tar dan nikotin adalah upaya halus

dalam mengurangi daya rusak rokok terhadap kesehatan masyarakat. Upaya halus memang

pas untuk diterapkan dalam kondisi sosial masyarakat Indonesia, karena jika pemerintah

melakukan upaya keras maka akan ada gerakan penolakan yang begitu massif dari

masyarakat. Selain itu, harapan akhir melalui solusi ini adalah mampu mengurangi tingkat

kecanduan masyarakat akibat adanya nikotin dan tar dalam rokok. Dengan begitu, kebijakan

yang dihasilkan akan lebih komprehensif, yang mana dapat diterapkan oleh pemerintahan

hasil suksesi tahun 2014.

B. TELAAH PUSTAKA

Kebijakan Publik

Pemerintah yang merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah Negara,

memang seharusnya melakukan langkah- langkah untuk mensejahterakan rakyat dan

mewujudkan tertib sosial. Kesemua itu dilakukan melalui instrument yang disebut kebijakan.

Dari hal ini, dapat dilihat bahwa kebijakan merupakan hal yang dilakukan pemerintah atau

tidak dilakukan oleh pemerintah (Dye dalam Badjuri dan Yuwono, 2005). Pada kondisi ini,

7

pemerintah harus memutuskan desain terhadap permasalahan yang tengah dihadapi (Laswell

dalam Badjuri dan Yuwono, 2005).

Pemerintah berupaya membuat kebijakan publik dalam rangka merespon isu- isu yang

ada di masyarakat. Isu- isu tersebut diartikulasikan oleh aktor politik, dan kemudian

diagregasikan guna direspon melalui kebijakan. Hal inilah yang memperlihatkan bahwa

kebijakan merupakan produk dari proses politik, dimana banyak aktor terlibat didalamnya.

Hal ini bertujuan agar kebijakan lebih komprehensif dan akuntabel.

Perlu diingat bahwa proses pembuatan kebijakan tidaklah sesederhana itu. Badjuri

dan Juwono (2005) memaparkan bahwa siklus kebijakan dimulai dari identifikasi isu,

kemudian terus berproses melalui agenda kebijakan, analisis kebijakan, pengambilan

keputusan, implementasi, evaluasi dampak kebijakan, dilanjutkan dengan umpan balik

kebijakan, dan seterusnya sehingga terbentuklah sebuah proses yang tidak berhenti.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa kebijakan public merupakan upaya

yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Jika dianalisa secara

mendalam, terdapat kekurangan dan kelebihdan dalam setiap kebijakan. Untuk itu, menjadi

penting adanya analisa kebijakan untuk memberikan input bagi kebijakan selanjutnya.

Setidaknya ada dua perspektif dalam analisis kebijakan yaitu pertama, perspektif yang

dibangun dengan premis objektifitas dan kedua, perspektif yang dibangun di atas prinsip

intersubjektifitas analisis (Santoso 2010, h. 8). Perspektif pertama telah berkontribusi dalam

berkembangnya analisis terhadap kebijakan (analysis of policy), sedangkan perspektif kedua

telah berkontribusi dalam berkembangnya analisis untuk kebijakan (analysis for policy)

(Santoso 2010, h. 9). Pada tulisan ini, penulis akan menerapkan analisis untuk kebijakan,

yang ditujukan untuk memproduksi suatu produk yang secara spesifik menjadi bagian dari

proses kebijakan tertentu (Santoso 2010, h. 30). Secara lebih spesifik, penulis akan

menggunakan model mixed scanning dalam menganalisa, dimana akan berusaha memadukan

dimensi teknis-administratif dan politis. Disinilah kebijakan dilihat sebagai proses untuk

mengakomodir berbagai kepentingan, yang berujung pada alternatif yang dianggap rasional

dan efektif.

Kebijakan Perlindungan Produk Tembakau

8

Indonesia merupakan sebuah Negara dunia ketiga yang sedang mengalami dinamika

dari waktu ke waktu. Pemerintah pun senantiasa berbenah untuk menghasilkan kebijakan

yang mampu mensejahterakan rakyat. Namun hingga bulan Maret 2013, jumlah penduduk

miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang (11,37 persen) dari total penduduk (Data BPS,

2013). Berbicara soal kemiskinan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai komoditas

yang mendominasinya. Sebagaimana data BPS (2013) menunjukkan bahwa rokok merupakan

komoditas kedua yang berpengaruh setelah beras. Pada September 2013, misalnya, kontribusi

rokok terhadap GK mencapai 10,08 persen di perkotaan dan 8,31 persen di pedesaan (Kadir,

2014). Dari hal ini, terlihat bahwa para penduduk miskin rela mengeluarkan pendapatannya

untuk membeli rokok daripada komoditas lainnya seperti telur dan gula pasir. Hal ini

menunjukkan bahwa rokok membuat masyarakat merasakan efek ketergantungan, sehingga

mengorbankan pendapatannya untuk kepuasan sesaat.

Melihat fenomena rokok dan ketergantungan yang tercipta, pemerintah telah

melakukan intervensi terhadap keberadaan produk ini melalui PP No 109 tahun 2012. Berikut

adalah substansi dari peraturan tersebut :

1. PP Tembakau ini mengatur produksi& impor, peredaran, perlindungan khusus bagi

anak dan perempuan hamil, dan Kawasan Tanpa Rokok.

2. Pelarangan untuk menggunakan nama merek dagang dan logo produk termasuk brand

image, serta tidak bertujuan untuk promosi, dan dilarang untuk kegiatan yang diliput

media. Produsen dilarang mencantumkan kata- kata promotif seperti “light”,

“mild”,”slim”,”low tar” dan sebagainya. Tidak hanya itu, produsen dilarang

mengemas kurang dr 20 batang dalam setiap kemasan. Hal ini dilakukan untuk

meningkatkan harga jual setiap bungkusnya.

3. Iklan produk yang melalui media luar ruang, hanya dapat diletakkan sejajar dengan

bahu jalan, dengan tidak diperbolehkan secara melintang, dan tidak boleh diletakkan

dijalan utama. Sedangkan iklan di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah

pukul 21.30- 05.00 waktu setempat, dengan mencantumkan peringatan kesehatan

gambar dan tulisan paling sedikit 10% dr total durasi iklan dan atau 15% dr total luas

iklan disertai tanda 18+

9

4. Terkait dengan desain kemasan, diatur bahwa produsen harus menyertakan gambar

pada bagian atas (depan & belakang) kemasan dengan luas 40%. Tidak lupa harus

diawali dengan kata "Peringatan” dengan huruf warna putih & dasar hitam.

Terlihat dalam regulasi tersebut pemerintah telah mengatur hal detail mengenai

produk tembakau. Ini menunjukkan adanya intervensi yang besar terhadap industry rokok di

Indonesia. Intervensi besar juga tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi dinegara lain

seperti di India dan Thailand (Susanto & Julianto 2013). Pada tahun 2008, India telah

melarang adanya iklan di media massa, media luar ruang, ataupun menjadi sponsor olahraga

dan pergelaran musik. Di samping itu, mereka juga mengatur pencantuman gambar efek

negative rokok, serta melarang penggunaan kalimat ‘light’. ‘low tar’ dan sebagainya.

Sedangkan di Thailand, terdapat dua regulasi yang berperan dominan dalam

menurunkan prevalensi rokok dari 70 % pada tahun 1995 menjadi 49 % di tahun 2013. Pada

UU Pengendalian Produk Tembakau, telah diatur mengenai pengemasan, pelabelan, promosi,

periklanan, dan sponsorship produk tembakau. Pengaturan mengenai peringatan kesehatan

berupa teks dan gambar di kemasan rokok telah diaturnya sejak Maret 2005. Thailand juga

melarang hampir semua iklan dan promosi tembakau. Sedangkan melalui UU Perlindungan

Kesehatan bagi Nonperokok, pemerintah telah melarang semua kegiatan merokok di tempat

publik, tempat kerja, dan transportasi publik. Tidak hanya itu, harga rokok di Thailand cukup

mahal, sekitar Rp 50.000 per pak, disebabkan oleh cukai rokok yang dinaikkan bertahap dari

55 persen (1992) hingga 85 persen (2009) (Susanto & Julianto 2013).

C. METODE

Penulisan dalam karya tulis ilmiah ini menggunakan metode deskriptif analitik

dengan analisis data kualitatif. Fokus analisis diarahkan kepada proses, muatan dan actor

yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlindungan produk tembakau. Kebijakan yang

dimaksudkan di sini terdiri dari salah satukebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah

mengenai tembakau, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012. Hal

ini akan dibantu menggunakan modelling dalam prakteknya. Secara lebih lanjut modelling

yang diterapkan akan terejawantah dalam analisa tahapan kebijakan, dimana terdiri dari fase

agenda setting dan persiapan kebijakan, implementasi, dan monitoring dan evaluasi

10

kebijakan. Keseluruhan paparan tersebut akan diakhiri dengan rekomendasi yang diberikan

penulis.

Penulis menggunakan dua sumber data dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, yakni

sumber primer dan sekunder. Sumber primer dilakukan dengan melakukan wawancara secara

mendalam, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari sumber kedua atau data yang

telah diolah oleh pihak lain. Dalam hal ini diperoleh melalui berbagai literatur, majalah, dan

hasil penelitian pihak lain.

Pada karya ini, penulis menggunakan teknik analisa kualitatif. Proses analisa ini

dimulai dengan mengumpulkan seluruh data yang diperoleh, kemudian menelaah data yang

bersumber baik dari wawancara maupun dokumen-dokumen yang telah didapatkan. Setelah

data tersebut dibaca, dipelajari dan ditelaah selanjutnya data tersebut direduksi menjadi

rangkuman- rangkuman penting (inti).

Penulis kemudian melakukan penafsiran data, dengan memiliki standing position

yang telah ditetapkan sejak awal proses. Penulis melihat kebijakan berdasarkan sebuah

keyakinan bahwa kesehatan merupakan aspek utama yang harus diperjuangkan. Penulis

mengakui bahwa penulis menganut nonpositivisme, yang mana realitas merupakan bagian

dari kehidupannya. Masih ada aspek- aspek yang terabaikan oleh negara dalam mewujudkan

Indonesia yang benar- benar sehat, salah satunya adalah tidak diaturnya kadungan nikotin dan

tar dalam produk tembakau. Pada titik inilah kebijakan dinilai memiliki celah yang justru

dapat membuat rokok semakin menjamur di Indonesia.

Terkait dengan sistematika penulisan karya ini, penulis akan terlebih dahulu

memaparkan substansi regulasi yang mengatur mengenai tembakau. Kemudian penulis akan

memaparkan hasil analisa data- data. Dengan adanya pamaparan tersebut, diharapkan mampu

meyakinkan publik bahwa aspek pengaturan kadungan tar dan nikotin merupakan hal yang

bersifat prioritas karena akan menyangkut kepentingan masyarakat luas. Tidak hanya itu,

penulis juga akan mengelaborasi tahap penentuan kebijakan dimana akan menerapkan model

mixed scanning. Pada akhir penulisan, terdapat sebuah subbab yang memaparkan simpulan

atas bahasan yang telah dilakukan, serta menguraikan beberapa poin pembelajaran agar

kebijakan selanjutnya akan lebih komprehensif.

11

D. PP No 109 tahun 2012 : Celah Meningkatnya Ketergantungan Produk

Tembakau

Tembakau merupakan sebuah tanaman yang menjadi bahan baku utama rokok.

Memang sekilas nampaknya tidak menjadi sebuah permasalahan serius. Akan tetapi setelah

dilakukan kajian yang mendalam, diketahui bahwa rokok memiliki dampak yang begitu

serius bagi masyarat baik bagi perokok aktif maupun pasif. Apalagi Indonesia menduduki

peringkat ke-3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan

data tahun 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok saat ini mencapai 34,7%.

Banyaknya para perokok di Indonesia bukanlah merupakan isapan jempol semata,

yakni 70% dari total penduduk atau 141,44 juta orang (Depkes, 2006) . Hal ini jelas

memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat, dimana 76,6% dari mereka merokok

di dalam rumah bersama anggota keluarga (Depkes, 2010). Realitas ini menunjukkan bahwa

para perokok akan berpotensi untuk menyebarkan berbagai macam penyakit kepada

keluarganya akibat asap rokok. Setidaknya ada beberapa fakta yang mendasarinya salah

satunya adalah ancaman kesehatan yang akan terganggu. Perokok berpotensi untuk terkena

berbagai macam penyakit seperti kanker paru-paru, gangguan pernafasan akut, jantung,

stroke, melemahnya fungsi otak pada anak, sulit konsentrasi bahkan bisa menimbulkan gejala

kematian mendadak pada bayi yang lebih dikenal dengan sebutan sudden infant death

syndrome (SIDS) (detail ini dapat dilihat di doktersehat.com, 2013). Hal ini terbukti pula

dimana data menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat lebih 5 juta orang yang

meninggal akibat penyakit yang disebabkan rokok, atau setiap 1 menit terdapat 9 orang yang

meninggal akibat racun pada rokok (Prasetya 2010, h. 4). Ini merupakan rangkaian fakta yang

menunjukkan bahwa pencegahan rokok menjadi hal yang utama untuk diagendakan.

Pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi memang sudah selayaknya mengatur

rokok melalui produk hukum dan kebijakan. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan PP No 109

tahun 2012 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan.

Landasan legal formal ini merupakan turunan atas adanya Undang- Undang No 36 tahun

2009 tentang kesehatan. Secara detail PP tersebut mengatur tentang hal- ikhwal yang

berkaitan dengan rokok, seperti detail mengenai desain kemasan produk, iklan dan peredaran,

kawasan tanpa rokok, serta upaya perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil.

Berbagai hal tersebut kini telah diterapkan sebuah kebijakan publik, yang notabene sudah

12

memiliki kemajuan yang signifikan daripada sebelumnya. Kesemua itu dilakukan untuk

menekan konsumsi rokok, sehingga dampak negatif rokok dapat terbendung.

Meskipun kebijakan tersebut terlihat detail dan sangat komprehensif, akan tetapi

terdapat sebuah aspek yang telah terabaikan jika dibandingkan dengan sebelumnya. Aspek

tersebut menyangkut kadungan tar dan nikotin yang notabene belum diatur dalam kebijakan

tersebut. Jika kita mau menilik kebijakan jauh sebelumnya yang diatur dalam PP No 81 tahun

1999 yang notabene lahir atas adanya UU no 23 tahun 1992. Pada pasal 4 (1) disebutkan

bahwa “Kadar kandungan nikotin dan tar pada batang rokok yang beredar di wilayah

Indonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandungan tar 20

mg”. Hal ini merupakan hal yang sangat disayangkan karena justru mengurangi hal yang

telah diatur sebelumnya dengan baik.

Melihat adanya realitas yang sangat disayangkan dalam kebijakan pengamanan

produk tembakau, saya selaku seorang nonpositifis yang menganut pentingnya kesehatan,

menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah selayaknya diperbaharui

demi mewujudkan tatanan yang ideal yaitu dengan mengatur kadar nikotin dan tar dalam

produk tembakau. Aspek mengenai pemabatasan kadar tar dan nikotin memang perlu untuk

segera diatur karena tar dan nikotin adalah sumber ketergantungan akan produk tembakau.

Disamping itu, terdapat ada beberapa pertimbangan dari arus politik, arus kebijakan, dan arus

masalah.

Isu mengenai pembatasan kadar nikotin dan tar memang pernah diatur oleh

pemerintah pada tahun 1999. Akan tetapi paska direvisinya UU No 23 tahun 1992 menjadi

UU No 36 tahun 2009, pemerintah terkesan setengah hati dalam melakukan perlindungan

terhadap produk tembakau. Pada segi arus politik, saya mengamati bahwa isu pembatasan

nikotin dan tar memang sengaja disetting untuk tidak menjadi prioritas pemerintah,

mengingat terdengar berita bahwa terdapat indikasi penghapusan pasal nikotin sebagai zat

adiktif dalam UU No 36 tahun 2009. Ternyata hal ini berlanjut pada kebijakan selanjutnya

yang tertuang dalam PP No 109 tahun 2012. Pada PP tersebut belum ada aturan mengenai

pembatasan kadar tar dan nikotin, padahal pada PP sebelumnya (PP No 81 tahun 1999) sudah

dilakukan pembatasan.

Jika diamati lebih jauh, terdapat berbagai aktor yang juga berperan dalam tidak

diaturnya kadar nikotin dan tar yaitu swasta, petani dan buruh. Jika ditinjau dari kekuatan

13

organisasi politik, swasta dalam hal ini perusahaan rokok memiliki power yang begitu kuat.

Produk mereka memiliki andil yang cukup besar dalam keuangan negara. Di samping itu,

mereka juga memiliki pengaruh besar terhadap mata pencaharian para buruh dan petani.

Namun pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi seakan- akan lemah dihadapan para

aktor kebijakan tersebut. Saya melihat bahwa pemerintah sangatlah pragmatis untuk

‘melindungi’ pasar yang berperan signifikan. Upaya ini juga dilakukan untuk menjaga geliat

para buruh, yang memiliki potensi gerakan yang luar biasa untuk mengganggu kestabilan

politik negara. Berikut adalah beberapa hal yang dapat menjelaskan realitas ini.

Pertama, pemerintah menilai bahwa ketika zat pencandu nikotin dan tar diatur dengan

jelas, maka hal ini menjadi bumerang bagi eksistensi industri rokok. Untuk itu, pemerintah

sengaja tidak mengaturnya karena untuk menjaga eksistensi rokok yang sangat kontributif

pada sumber keuangan negara. Data menunjukkan bahwa mulai dari tahun 1997 hasil cukai

rokok tercatat sebesar Rp 4,792 triliun sampai dengan tahun 2007 dengan mencapai angka Rp

42 triliun (Departemen Keuangan, RAPBN 2008). Realitas ini menunjukkan bahwa

peningkatan penerimaan cukai selama satu dasawarsa sangat luar biasa melebihi dari 5 kali

lipat yang dihasilkan oleh industri rokok (Departemen Keuanga, RAPBN 2008). Di samping

itu, data terbaru menunjukkan bahwa penerimaan cukai rokok pada tahun 2011 adalah Rp

73,3 triliun, dan pada tahun 2012 telah naik menjadi Rp. 90,5 triliun (Almawadi, Issa 2013).

Dengan melihat peningkatan pendapatan akibat cukai rokok tersebut, tidak ayal jika

pemerintah memang dengan sengaja ‘menjaga’ keradaan rokok yang notabene memberikan

sumbangan yang begitu signifikan pada pemasukan negara.

Kedua, pemerintah juga memang dengan sengaja tidak mengatur mengenai

kandungan tar dan nikotin karena melihat banyaknya petani tembakau dan para buruh yang

menggantungkan hidupnya pada rokok. Ketika tar dan nikotin tidak diatur, maka industri

rokok dapat leluasa memproduksi rokoknya tanpa takut akan dikenai sanksi. Di sinilah

masyarakat dimungkinkan akan tetap mengalami kecanduan akibat kandungan tersebut.

Dengan demikian, kehidupan para pekerja dan petani tidak akan terganggu lagi.

Pada kondisi inilah, saya melihat bahwa pemerintah berupaya melakukan

pembentukan konsensus dalam PP 109 tahun 2012. Hal ini dikarenakan, PP ini lebih detail

mengatur produk tembakau berupa peraturan iklan dan desain gambar daripada regulasi

sebelumnya. Namun di sisi lain, pemerintah memang tidak mengatur kadar nikotin dan tar

14

yang notabene tergambar pada kebijakan sebelumnya. Ini merupakan upaya untuk

pembentukan konsensus berbagai aktor, sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah tidak

memiliki kebakuan sikap politik yang jelas.

Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya segera mengagendakan isu mengenai

pembatasan tar dan nikotin dalam kebijakan tersebut. Menurut saya, hal ini merupakan akar

dari ketergantungan akan rokok. Tar mengandung kurang lebih empat puluh tiga bahan yang

menjadi penyebab kanker, sedangkan nikotin merupakan zat adiktif yang menyebabkan

ketagihan. Pengaturan mengenai iklan dan desain kemasan tidaklah cukup untuk mengurangi

konsumsi rokok, karena pada dasarnya akar pemicu kanker dan ketergantungan adalah tar

dan nikotin. Secara ril, pemerintah harus memiliki kebakuan sikap dengan cara memaktubkan

batasan tar dan nikotin dalam produk hukum. Kandungan tar yang semakin rendah dapat

menurunkan resiko kanker bagi penikmatnya (detail ini dapat dilihat di blog.ub.ac.id, 2013).

Sedangkan jika kandungan nikotin dibatasi, maka tingkat kecanduan masyarakat akibat rokok

akan berkurang. Hal ini sudah diteliti oleh ilmuwan dari UCSF dan San Francisco General

Hospital Medical Center, yang mana menunjukkan bahwa jika kadar nikotin dalam rokok

rendah maka tingkat kecanduan dapat dihindari. Pada penelitian tersebut, para perokok dapat

mengurangi atau malah mengakhirinya (detail ini dapat dilihat di id.prmob.net,2013). Dengan

begitu masyarakat lama- kelamaan akan terbebas dari belenggu rokok. Solusi ini merupakan

hal memang tepat karena meskipun iklan dan desain rokok diatur, tetapi kadar tar dan nikotin

justru bebas maka ini akan menimbulkan efek yang lebih berat. Kadar yang tidak dibatasi,

akan memberi pintu lebar bagi perusahaan untuk mengatur kadar dengan bebas sehingga

dapat memberikan efek kecanduan yang lebih besar pula.

Hal yang membuat semakin memprihatikannya realitas ini adalah ketergantungan

pada rokok tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja. Akan tetapi ketergantungan rokok

juga telah menjangkiti generasi muda. Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa mayoritas

perokok memulai merokok ketika masih anak-anak. Berdasarkan data tersebut, sebanyak

78% telah memulai dibawah usia 19 tahun. Hal ini tentunya akan menciptakan

katergantungan dini, sehingga lama-kelamaan mereka akan semakin sulit untuk melepaskan

diri. Pada akhirnya, anak- anak ini akan menjadi bagian dari 427.948 jiwa yang melayang

setiap tahunnya akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok.

15

Kandungan tar dan nikotin merupakan hal yang harus segera diatur kadarnya, dan

kemudian ditambahkan pada kebijakan yang telah berlaku. Kedua zat ini dapat

mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit

darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan (Badan POM, 2013). Data

menyebutkan bahwa 25% dari para pengidap penyakit jantung disebabkan oleh kegiatan

merokok (Priyatna, Andi 2012). Tidak hanya itu banyaknya penderita penyakit akibat rokok

berimplikasi pada tersedotnya anggaran publik yang dialokasikan untuk jamkesmas. Data

menunjukkan bahwa sebanyak Rp. 2,11 triliun dari total Rp. 7,4 triliun dana jamkesemas

telah dihabiskan untuk pembiayaan pengobatan penyakit akibat rokok (Unoviana 2012).

Realitas ini merupakan wujud dari pemborosan anggaran publik. Dana yang seharusnya dapat

dimanfaatkan untuk kesehatan umum justru dimanfaatkan untuk mengobati penyakit akibat

kesalahan pribadi para perokok. Untuk itu pemerintah memang sudah seharusnya mengatur

mengenai pembatasan tar dan nikotin mengingat dampaknya pada sektor kesehatan dan dana

kesehatan masyarakat begitu luar biasa.

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa aspek pengaturan kadar tar dan nikotin

memang harus diprioritaskan untuk ditelurkan dalam kebijakan. Memang tar dan nikotin

sepintas terlihat hal yang kecil. Akan tetapi jika diamati lebih jauh hal ini justru merupakan

akar dari tingginya ketergantungan akan rokok. Untuk itu, pada bagian selanjutnya saya ingin

memaparkan mengenai langkah- langkah yang harus dilakukan dalam merespon

permasalahan tersebut.

E. Pembatasan Kadar Tar dan Nikotin : Sebuah Upaya Penyelesaian Masalah

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa isu pembatasan tar dan nikotin

merupakan hal yang harus segera diprioritaskan mengingat dampaknya yang begitu luar biasa

tatkala tidak ada aturan mengenai hal ini. Aspek ini harus menjadi program tambahan dalam

kebijakan perlindungan produk tembakau. Pada bagian ini, saya akan memaparkan langkah-

langkah yang perlu diambil untuk merespon hal ini. Tidak lupa saya juga akan memaparkan

bagaimana langkah- langkah tersebut dilakukan dan juga dipantau. Kesemua itu akan

dibungkus dengan pendekatan mixed scanning, dimana saya akan memberikan pemaparan hal

yang seharusnya diterapkan pada kondisi ini, akan tetapi di sisi lain saya juga tidak

melepaskan dari analis dengan logika rasional. Untuk memberikan sebuah analisa yang

tajam, alternatif solusi haruslah dikaji secara rasional, salah satunya dapat menggunakan

16

analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Hal ini akan bemanfaat dalam

menganalisa dan mencari informasi (Santoso 2004, h. 85), sehingga mampu menunjukkan

bahwa pembatasan tar dan nikotin merupakan hal yang terbaik dan harus ditambahkan pada

kebijakan tersebut.

Isu mengenai pembatasan tar dan nikotin merupakan hal yang sangat sensitif.

Sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya pemerintah memang tidak mau mengotak atik

hal ini karena akan secara langsung mengancam eksistensi rokok. Ada berbagai kejadian

yang terlihat ‘sengaja’ dilakukan, salah satunya adalah penghapusan pasal nikotin sebagai zat

adiktif dalam UU No 36 tahun 2009. Namun jika diamati sebelumnya ketika masa

pemerintahan B. J Habibie dimana diberlakukannya UU No 23 tahun 1992, secara riil

pemerintah mengeluarkan PP No 81 tahun 1999 yang secara tegas mengatur mengenai kadar

tar dan nikotin. Akan tetapi, hal ini justru tidak diatur pada kebijakan yang terbaru. Ketika

ketergantungan masyarakat akan rokok tinggi maka pemerintah seharusnya semakin

memperketat kadar tar dan nikotin. Pada kebijakan sebelumnya, kadungan nikotin maksimal

adalah 1,5 mg, sedangkan untuk tar adalah 20 mg. Untuk itu, pemerintah seharusnya semakin

membatasinya, misalkan dengan mengatur kadar nikotin maksimal 0,5 mg dan untuk tar

adalah 5 mg. Penetapan batas maksimal ini harus berdasarkan uji tar dan nikotin.

Di sisi lain, dapat dilakukan analisa latar belakang pentingnya pembatasan kadar tar

dan nikotin dari dua segi internal dan ekternal.Dari segi internal, terdapat dua aspek yang

penting yaitu adanya kekuatan dan kelemahan pembatasan kadar tar dan nikotin. Kekuatan

dari solusi tersebut adalah pertama, dapat mengurangi tingkat kecanduan rokok masyarakat.

Sebagaimana kita tahu bahwa semakin tinggi kadar tar dan nikotin maka tingkat kecanduan

rokok dan ancaman kesehatan juga akan semakin meningkat. Kedua, pembatasan tar dan

nikotin dapat menekan impor rokok dari negara lain. Sebagaimana kita tahu bahwa mayoritas

rokok dari luar negeri berkadar tar 14 mg, dan nikotin 1 mg. Kandungan tar dan nikotin yang

tinggi dalam rokok luar berpotensi untuk menimbulkan kecanduan bagi masyarakat, dan

mengancam kesehatan lebih jauh. Dengan dibelakukannya kadar tar dan nikotin maksimal

akan secara langsung membendung masuknya rokok dari luar negeri, sehingga rokok luar

yang ‘berbahaya’ akan semakin dapat ditekan peredarannya di Indonesia.

Namun harus diakui pula bahwa tawaran ini memiliki kelemahan tersendiri yaitu

adanya pembatasan tar dan nikotin berpotensi untuk menimbulkan geliat bagi perusahaan

17

yang awalnya mengandung kadar tar dan nikotin yang dibawah standar untuk meningkatkan

tar dan nikotin agar maksimal. Di sinilah akan terdapat kelemahan tersendiri yang akan

datang dari perusahaan. Untuk itu diperlukan adanya pasal penjelas, yang memaparkan

bahwa pabrik rokok yang sudah memiliki kadar tar dan nikotin dibawah standar dilarang

untuk meningkatkan kadar tersebut.

Sedangkan dari segi eksternal dapat diamati dua aspek yang harus diperhatikan yaitu

adanya peluang dan ancaman. Dari segi peluang dapat dilihat adanya point utama. Pertama

dengan melakukan pembatasan tar dan nikotin, dampak positifnya adalah dapat mengurangi

tingkat ketergantungan dan mengurangi resiko bahaya efek rokok di kalangan masyarakat.

Para perokok berat mayoritas sudah mantap dengan satu merk rokok dengan kandungan tar

dan nikotin tertentu. Ketika rokok merk tersebut dikurangi kandungan tar dan nikotinnya,

biasanya para perokok akan merasakan pahit ketika menghisap batang rokok (Aang 2013,

komunikasi personal 23 Juni). Hal inilah yang bisa membuat para perokok kapok untuk

mengkonsumsi karena rokok tersebut sudah tidak sesuai harapan. Jika mereka ingin beralih,

maka mereka dimungkinkan akan beralih pada rokok yang kandungan tar dan nikotinnya jauh

lebih rendah atau justru berhenti sama sekali. Dengan demikian tingkat kecanduan dan

ancaman kesehatan akibat rokok dapat diminimalisir, sehingga kualitas hidup akan lebih

baik. Kedua, pembatasan tar dan nikotin dapat memberikan kenyamanan bagi orang yang

tidak merokok. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa pembatasan dapat

mengurangi konsumsi rokok. Alhasil hal ini akan berkontribusi pada banyaknya orang yang

akan berhenti merokok. Inilah yang akan membuat kenyamanan bagi masyarakat luas karena

terbebas dari asap, sehingga ancaman gangguan kesehatan bagi perokok pasif akan semakin

rendah.

Namun harus diakui pula bahwa pengambilan keputusan mengenai pembatasan tar

dan nikotin juga memiliki ancaman tersendiri yang harus disadari. Pertama, sebagaimana

telah dipaparkan sebelumnya bahwa kadar tar dan nikotin yang minim akan berimplikasi

pada menurunnya tingkat ketergantungan rokok. Ini juga akan berimplikasi langsung pada

menurunnya konsumsi rokok. Bagi industri rokok yang sudah besar, konsumsi rokok yang

menurun akan berdampak pada pemasukan perusahaan yang minim dan pajak yang

diesetorkan ke pemerintah juga mengalami penurunan. Inilah yang membuat pemasukan

negara juga mengalami penurunan yang signifikan mengingat industri rokok adalah

penyumbang dana besar dalam APBN negara. Di samping itu, menurunnya penghasilan bagi

18

industri rokok bisa saja berpeluang pada semakin berkurangnya kegiatan yang disponsori

oleh rokok, seperti turnamen bulutangkis serta beasiswa pendidikan. Sedangkan bagi

perusahaan rokok yang masih kecil, hal ini dapat mengakibatkan banyaknya industri dan

pengusaha rokok akan gulung tikar karena masyarakat memiliki ketergantungan yang kecil

atas rokok. Kedua, minimnya konsumsi rokok atas pembatasan tar dan nikotin membuat

perusahaan berfikir ulang untuk mempekerjakan buruh pabrik dalam jumlah banyak. Inilah

yang membuat banyak perusahaan berpotensi untuk mengurangi jumlah pekerja, sehingga

akan tercipta pengangguran dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, petani selaku produsen

tembakau juga akan merasa kehilangan pembeli tembakau hasil panenannya, dan lama

kelamaan akan gulung tikar. Di sinilah dikhawatirkan akan memicu terjadinya demo dan aksi

protes dari kalangan buruh dan petani karena pekerjaan mereka terancam.

Berdasarkan analisa SWOT yang telah dilakukan, memang terlihat bahwa pembatasan

kadar tar dan nikotin memang sebuah hal yang memberikan ancaman yang bagitu terasa baik

dampaknya pada keuangan negara maupun sektor pekerjaan. Namun saya meyakini bahwa

hal ini dapat disiasati untuk menutup atau meminimalisir ancaman ini. Untuk itu diperlukan

adanya startegi implementasi yang tepat agar solusi ini aplikatif dan mampu menjawab

problematika yang membelenggu Indonesia. Pada bagian selanjutnya, akan dipaparkan

mengenai implementasi yang ditawarkan agar impact yang muncul dapat sesuai dengan

harapan.

F. Pembentukan Tim Gabungan dalam Pengecekan Kadar : Sebuah Tawaran

Implementasi Kebijakan Melalui Instrumen State Auxiliary Agencies

Pengendalian Secara Halus : Reaksi Atas Komposisi Kepentingan yang Kompleks

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa pembatasan kadar tar dan nikotin

adalah program yang seharusnya segera dilakukan. Permasalahan mengenai kebijakan

tembakau merupakan sebuah lokus yang rumit, dimana didalamnya terdapat berbagai

kepentingan yang saling berkontestasi. Penghapusan pasal nikotin sebagai zat adiktif dalam

UU No 36 tahun 2009 ditengarai sebagai titik mula adanya sebuah setting yang sengaja

dilakukan oleh aktor yang berkepentingan. Hal inilah yang mengawali lahirnya PP No 109

tahun 2012, yang ternyata ‘melepaskan diri’ dari problematika mendasar yaitu pembatasan tar

dan nikotin.

19

Pembatasan kadar tar dan nikotin merupakan upaya yang dilakukan secara soft untuk

melakukan pengendalian. Pemerintah bisa saja melakukan cara yang lebih radikal, yaitu

dengan menutup pabrik rokok. Akan tetapi cara radikal tersebut dapat menuai protes yang

besar dari kalangan buruh dan masyarakat pro rokok. Mereka bisa melakukan gerakan dan

perlawanan kepada pemerintah. Untuk itu, selain adanya peraturan hal detail kemasan, iklan

dan kawasan tanpa rokok, pemerintah harus melakukan intervensi lebih lanjut.

Pembatasan tar dan nikotin adalah hal yang harus diprioritaskan. Namun kita tidak

bisa menutup mata bahwa terdapat aktor lain yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan

ini. Untuk itu diperlukan strategi implementasi yang taktis agar program ini dapat diterapkan

dengan baik. Setidaknya jika dilakukan pemetaan, ada aktor- aktor yang bermain di dalamnya

yaitu perusahaan rokok, aktivis antirokok, dan pemerintah. Jika dilakukan elaborasi,

kepentingan antara aktivis anti rokok dengan perusahaan rokok sangat bertentangan. Jika

pembatasan tar dan nikotin dilakukan, perusahaan rokok selaku aktor yang dirugikan jelas

akan melakukan upaya untuk menggagalkan implementasi program tersebut. Namun ada hal

yang lebih dikhawatirkan, yaitu perusahaan tidak melakukan perlawanan, akan tetapi mereka

justru berkecenderungan untuk melakukan penyelewengan. Kadar tar dan nikotin memang

hanya tercantum dalam kemasan rokok, namun perhitungan kadar tersebut sejauh ini

dilakukan oleh perusahaan. Untuk itu, pemerintah harus melihat adanya kepentingan-

kepentingan yang bermain dalam kebijakan ini agar kelak dapat berjalan.

Dengan melihat banyaknya kepentingan yang ada dalam kebijakan tersebut,

pemerintah tidak boleh gentar dalam mengimplementasikannya. Karena dengan dilakukannya

pembatasan tar dan nikotin, akan ada manfaat pada aspek kesehatan dimana tingkat

ketergantungan terhadap rokok akan berkurang. Ketika tingkat ketergantungan ini berkurang,

maka masyarakat juga akan semakin sedikit yang terjangkit penyakit akibat rokok. Tipe

manfaat yang sudah dipaparkan akan dirasakan secara umum oleh masyarakat. Namun

derajat perubahan ini juga berpotensi menimbulkan pro dan kontra. Pada masyarakat umum,

pemberlakuan kebijakan pembatasan kadar tar dan nikotin akan menekan konsumsi rokok.

Konsumsi rokok yang menurun membuat perusahaan mengurangi pekerjanya atau bahkan

gulung tikar, sehingga berimplikasi pada nasib buruh rokok dan petani juga akan mengalami

ketidakjelasan.

20

Melihat dampaknya yang begitu luar biasa, untuk itu diperlukan adanya upaya

pencegahan yang dilakukan. Memang, pengambilan keputusan mengenai pembatasan tar dan

nikotin memang terletak pada pemerintah, dalam hal ini kementrian kesehatan. Dalam

pengambilan keputusan ini, kemenkes sebaiknya terlebih dahulu menggalang dukungan dari

masyarakat luas baik yang mendukung maupun tidak mendukung. Kemenkes harus

melakukan upaya penyadaran pada berbagai pihak agar kebijakan ini tidak gagal. Hal penting

yang harus disadari pula bahwa akan ada tawar menawar dalam pemberlakukan regulasi. Jika

kemenkes tidak mempunyai strategi pengelolaan konflik yang tepat, timbulnya konflik akan

menjadi hal yang harus diwaspadai. Masyarakat awam seringkali tidak menyadari pentingnya

aspek kesehatan, dan terkadang tidak mau tahu. Para buruh hanya menginginkan

mendapatkan lapangan perkerjaan tepat, sedangkan petani tembakau hanya menginginkan

hidup dengan layak. Mereka terkadang tidak mau tahu dampak apa yang akan ditimbulkan

atas produk mereka. Mereka seringkali mengorganisir masa dan melakukan tindak anarki

agar kebijakan bisa digagalkan. Untuk itu, pemerintah juga harus memikirkan solusi jitu agar

konflik tidak akan terjadi.

Di samping adanya potensi konflik yang terjadi, harus diakui pula bahwa keberhasilan

implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh implementor kebijakan. Guna menghasilkan

implementasi yang sesuai dengan harapan, para implemetor adalah orang- orang yang

memiliki kompetensi dan idealisme yang tinggi agar tidak mudah melakukan penyelewengan.

Secara konkret, hal yang harus dilakukan pemerintah agar implementasi pembatasan tar dan

nikotin berjalan dengan baik adalah membentuk badan atau tim yang bertugas untuk

melakukan pengukuran kadar tar dan nikotin terhadap rokok lokal maupun luar. Dengan

adanya hal ini, akan ada alat ukur standar yang berlaku sehingga validitasnya dapat terjaga.

Secara konkret badan ini berhak untuk mengeluarkan ijin beredarnya suatu produk tembakau.

Terkait dengan detailing mengenai tim implementor ini akan dijelaskan pada bagian

selanjutnya.

Pembatasan tar dan nikotin menjadi salah satu pilihan yang harus dilakukan untuk

melengkapi kebijakan sebelumnya. Pemilihannya juga didasarkan atas sumberdaya manusia

dan sumberdaya keuangan yang tersedia. Dana jamkesmas sebesar Rp. 2,11 triliun dari total

Rp. 7,4 triliun telah tersedot untuk mengobati penyakit akibat rokok. Ini akan berbeda halnya

jika dilakukan pembatasan sehingga dana yang tadinya dipakai untuk pengobatan bisa

dialihkan kepada hal lainnya.

21

State Auxiliary Agencies dalam Implementasi Kebijakan

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pembatasan tar dan nikotin adalah sebuah

program yang perlu ditambahkan dalam kebijakan perlindungan produk tembakau. Hal yang

tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah siapakah sosok implementor program yang tepat.

Tim implementor ini sebaiknya berupa state auxiliary agencies, yang berperan untuk

memabantu lembaga eksekutif untuk menyelesaikan permasalahan publik. Contoh SAI yang

sudah ada di Indonesia adalah KPK, KPU, Komnas HAM, dan sebagainya. Misalnya,

pembentukan KPK melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi disebabkan karena lembaga pemerintah yang ada baik kejaksaan maupun kepolisian

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam menangani korupsi. Hal ini bisa

diberlakukan pula pada konteks ini. Alas an yang mendasarinya adalah karena upaya untuk

menurunkan tingkat kecanduan rokok memerlukan pendekatan dari berbagai sisi, baik sisi

iklan dan desain kemasan, kawasan tanpa rokok, dan tambahan mengenai kadar. Cakupan

yang luas dan kompleks inilah yang membuat lembaga ini prioritas untuk dibentuk. Berikut

adalah penjelasan detail mengenai lembaga ini :

1. Komposisi anggota tim

Lembaga/ Tim ini harus beranggotakan dari berbagai kalangan masyarakat, yang

terdiri dari perwakilan dari kalangan industri, aktifis antirokok, kalangan ilmuwan, dan juga

staf pemerintah. Dengan adanya tim implementor yang terdiri dari berbagai kalangan akan

terjadi pengawasan secara bersama sehingga tim tersebut senantiasa objektif. Objektifitas

inilah yang harus dijaga karena kadar tar rawan diselewengkan karena hanya berbentuk

tulisan pada kemasan rokok. Di samping itu, adanya perwakilan setiap kalangan dalam tim

justru dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengendalikan konflik yang berada di luar.

Misalkan, perwakilan petani dalam tim tersebut adalah elit yang memiliki legitimasi dalam

asosiasi petani. Ketika terjadi protes oleh para petani, maka elit inilah yang bertugas

memberikan penjelasan. Dengan bagitu, konflik dalam masyarakat dapat secara langsung

termanajemen. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya jika pemerintah membentuk badan yang

bertugas mengawasi setiap proses yang dilakukan. Dengan adanya pengawasan ini, maka

implementasi pembatasan tar dan nikotin akan bisa berjalan lebih baik.

2. Kewenangan dan Pertanggungjawaban

22

Tim ini berbentuk state auxiliary agencies, yang dibekali dengan kewenangan yang

perlu diatur lebih lanjut. Setidaknya kewenangan mendasar yang perlu dimiliki tim ini adala

kewenangan untuk melakukan pengujian produk, mengawasi dan menindak setiap

pelanggaran. Jika kewenangan hanya sebatas pada kewenangan memberi rekomendasi,

dikhawatirkan kasus demi kasus tidak direspon oleh pemerintah. Hal ini bisa jadi karena

pemerintan ingin ‘melindungi’ pasar yang berkontribusi dalam meningkatkan APBN.

Selain memiliki kewenangan yang besar, komite ini juga harus memiliki pola

pertanggungjawaban yang jelas. Komite ini sebaiknya diatur secara sentralistis, dan memiliki

perwakilan di setiap daerah di Indonesia. Kesemua ini dilakukan agar pengawasan dapat

terjadi secara efektif dan efisien. Sedangkan terkait pola pertanggungjawaban, komite ini

harus bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

3. Instrumentasi dan Anggaran

Secara lebih jauh, hal yang perlu dipikirkan adalah instrumentasi yang digunakan

dalam pelaksanaannya. Tidak hanya itu, pendekatan implementasi yang digunakan haruslah

secara top down karena terdapat detail- detail yang harus dipenuhi oleh implementor. Tim

penguji kadar merupakan tim yang dibuat oleh pemerintah harus dibekali dengan alat- alat,

detail kadar maksimal, serta cara- cara melakukan pengujian. Detail ini telah ditetapkan oleh

pemerintah, agar kesemua hal itu berlaku secara umum. Di samping itu, proses tersebut juga

menggunakan pendekatan prosedural dimana implementasi kebijakan haruslah sesuai dengan

proses dan prosedur yang tepat.

Seperti organisasi lainnya, Komisi yang akan dibentuk ini membutuhkan dukungan

dana bagi pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Untuk itu pemerintah perlu mengalokasikan

sebagian dana bagi operasionalisasi tim ini. Dana ini dapat berasal dari berbagai sumber,

salah satunya dari hasil menaikkan cukai rokok. Ini merupakan salah satu solusi tambahan

selain melakukan pembatasan tar dan nikotin. Cukai rokok perlu dinaikkan agar harga pasar

akan naik. Ketika harga pasar naik, harapannya keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi

rokok juga berkurang seperti yang terjadi di Thailand.

Kontekstualisasi Kebijakan : Sebuah Upaya Lanjutan

23

Untuk melaksanakan tujuan kebijakan, hal yang harus dilakukan adalah

mengkontekstualisasikan tujuan kebijakan dengan kondisi setempat dimana kebijakan ini

akan diimplementasikan. Agar tujuan dapat tercapai pemerintah harus

mengkontekstualisasikan dengan pihak pengusaha dan juga masyarakat. Terkait

kontekstualisasi tujuan dengan para pengusaha, pemerintah harus memaparkan produk

hukum dan sanksi yang tegas. Pada momen ini pemerintah seharusnya memberikan

penjelasan yang logis mengapa pembatasan tar dan nikotin harus dilakukan. Di samping itu

pemerintah juga memaparkan adanya sanksi yang tegas apabila ada perusahaan yang

melanggarnya. Dengan adanya hal ini, maka perusahaan menjadi enggan untuk melakukan

penyelewengan kadar.

Meskipun pembatasan tar dan nikotin hanya dilakukan terhadap perusahaan, akan

tetapi pemerintah juga harus melakukan kontektualisasi tujuan dengan para petani dan buruh.

Hal ini dikarenakan mereka akan terkena dampaknya meskipun secara tidak langsung, yaitu

terkait dengan penghidupan mereka. Untuk itu, pemerintah juga harus melakukan pendekatan

dan memberikan penjelasan mengenai tujuan kebijakan yaitu agar terbebas dari kecanduan

akibat rokok. Konteks yang memang terdapat di kalangan petani dan buruh adalah mereka

tidak ingin kehilangan sumber penghidupan mereka. Untuk mengurangi adanya

pengangguran atas tutupnya pabrik rokok, pemerintah dapat mensiasatinya dengan membuka

lapangan pekerjaan padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang

banyak. Lapangan kerja ini dapat berupa pendayagunaan ladang atau perkebunan milik

pemerintah, optimalisasi garmen dan sebagainya. Selain itu, para petani tembakau juga secara

perlahan diberikan pengarahan untuk menanam tanaman pengganti tembakau. Meski menarik

perhatian para petani bukan merupakan hal yang mudah, pemerintah bisa memberikan

edukasi cara penanaman, bibit gratis bagi petani, serta subsidi pupuk bagi petani. Dengan

demikian para buruh dan petani tidak lagi mengalami gejolak karena pemerintah sudah

mempersiapkan alternatif lapangan pekerjaan yang dapat dimanfaatkan.

Pendayagunaan pekerjaan lain secara masif inilah yang juga mampu menjadi sarana

untuk menutup pendapatan negara yang berkurang drastis, pemerintah dapat secara perlahan

mengalihkan sumber pendanaan pada ekspor ke luar negeri. Hal ini akan berkaitan dengan

para buruh dan petani yang diberikan alternatif pekerjaan. Hasil perkebunan, pertanian,

maupun garmen dapat diolah menjadi barang jadi di dalam negeri. Barang ini kemudian dapat

diekspor ke luar negeri dengan harga yang sesuai. Mekanisme ini memang tidak dapat secara

24

langsung dapat menutup kekurangan tersebut. Akan tetapi jika dilakukan terus menerus,

mekanisme ini justru akan menyuntikkan semangat perekonomian dalam negeri untuk

bangkit dan mewujudkan swasembada. Untuk itu, pembatasan tar dan nikotin memang sudah

harus segera dilakukan. Hal ini merupakan mekanisme dasar yang harus dilakukan serta

diimbangi dengan pengetatan iklan dan desain produk agar mewujudkan Indonesia bebas dari

rokok.

Sedangkan terkait dengan masyarakat awam, hal yang dilakukan justu lebih mudah.

Jika diamati, masyarakat di Indonesia masih memiliki budaya merokok yang masih kuat

karena kesadaran dan tingkat pengetahuan yang rendah. Mungkin saja masyarakat akan

melakukan protes karen produk rokok sudah tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu

diperlukan adanya penyadaran sejak dini kepada masyarakat. Tim yang bertugas melakukan

uji kadar juga diberikan amanah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat awam.

Sosialisasi ini dilakukan dengan membentuk tim kecil yang tersebar di seluruh provinsi dan

kabupaten. Ketika ingin mewujudkan Indonesia bebas dari rokok, memang diperlukan usaha

yang keras. Tim yang tersebar di berbagai wilayah tersebut kemudian melakukan koordinasi

dengan dinas terkait untuk melakukan sosialisasi secara berkala. Sosialisasi ini dapat berupa

bahaya rokok, simulasi anti rokok, serta pemberian poster profokatif sehingga dapat

meningkatkan semangat masyarakat untuk berhenti merokok.

G. Pengawasan dan Pengawalan Kebijakan: Sebuah Kewajiban

Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai implementasi pembatasan kadar

tar dan nikotin. Harus menjadi perhatian bahwa implementasi tidaklah cukup, karena

diperlukan adanya monitoring agar penerapan kebijakan sesuai dengan harapan. Namun perlu

dicatat pula bahwa monitoring pembatasan kadar tar dan nikotin bukanlah hal yang terpisah

dari evaluasinya. Informasi yang didapatkan melalui proses monitoring dapat menjadi data

tambahan dalam melihat kinerja dan output kebijakan penerapan tar dan nikotin secara

umum.

Dalam rangka melakukan monitoring, hal yang harus dilakukan adalah menyoroti hal

detail atas pelaksanaan kebijakan. Untuk itu, diperlukan adanya desain monitoring yang jelas

pula dengan memperhatikan instrumen monitoring, pelaksanaan monitoring, dan temuan

monitoring (Santoso 2010, h. 146). Kesemua itu harus mampu menjawab mengenai

monitoring implementasi dan juga monitoring atas dampaknya.

25

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pembatasan kadar tar dan nikotin

secara nyata dilakukan dengan membuat tim yang terdiri dari berbagai pihak. Tim ini

bertugas untuk melakukan pengukuran kadar, dan pemberian ijin terhadap produk tembakau.

Kesemua itu dilakukan secara top down. Untuk itu dalam monitoring harus dilakukan adalah

mmemastikan bahwa formula kebijakan dan desain implementasi diwujudkan secara konkret.

Untuk itu dalam rangka proses monitoring, terdapat poin verivikasi yang perlu

diperhatikan. Point verivikasi terdiri dari :

1. Kesesuaian dengan prosedur dengan kinerja tim

Poin ini perlu dilakukan pengawasan karena hal prosedural seringkali

dilewatkan. Bisa saja untuk produk tertentu diuji secara berulang kali untuk mencapai

data yang valid. Tapi bisa pula produk tidak dilakukan uji atas adanya pesanan dari

pihak yang berkepentingan. Untuk itu, diperlukan monitoring untuk menjamin adanya

perlakuan sama sesuai dengan prosedur yang tertuang dalam juklak juknis. Secara

nyata, pengawasan ini dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu kementrian kesehatan

selaku instansi yang menaungi, LSM/NGO, serta tim khusus yang bertugas

melakukan pengawasan.

2. Inspeksi Lapangan dalam Rangka Pengecekan

Diperlukan upaya untuk mengecek rokok yang beredar apakah sudah sesuai

dengan takaran yang dimaksud. Hal ini dikarenakan bisa dimungkinkan bahwa

tim melakukan pengukuran pada awal produksi. Namun pada akhir produksi

perusahaan melakukan penyelewengan. Untuk itu harus ada sidak di lapangan

untuk menilai apakah sudah terlaksana ataukah belum. Pada poin ini peran serta

masyarakat juga penting, karena masyarakatlah yang akan bersentuhan langsung

dengan produk. Ketika terdapat kejanggalan pada produk, maka masyarakat juga

dapat melakukan pelaporan untuk ditindaklanjuti lebih jauh.

3. Pengamatan Terhadap Target

Proses ini melihat apakah penerapan pembatasan tar dan nikotin sudah sampai

pada target yaitu perusahaan lokal dan luar negeri baik yang skalanya masih kecil

maupun yang sudah besar. Hal ini dilakukan dengan melakukan antara data target

26

dengan hasil yang telah dicapai oleh tim. Menjadi agak sulit adalah perusahaan

lokal yang skalanya masih kecil, karena terkadang banyak yang mendaftarkan diri.

4. Mengamati Respon Publik

Proses ini dilakukan dengan melihat apakah terdapat protes yang dilakukan

masyarakat. Sebagaimana kita tahu bahwa pembatasan tar dan nikotin berdampak

yang signifikan pada kehidupan sosial. Hal yang bisa diamati adalah apakah ada

protes yang signifikan dari direksi perusahaan, gerakan buruh dan petani

tembakau. Pada kondisi ini, aspirasi mereka harus diakomodir. Aspirasi mereka

terkadang menunjukkan keluputan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

Dengan adanya beberapa poin yang dilihat dalam monitoring, dapat diambil beberapa

pelajaran menarik sehingga kelak akan alternatif untuk mengubah atau menambahkan aturan

mengenai tembakau jika memang aturan yang ada belum mampu mencapai harapan. Data

statistik dan aspirasi yang diutarakan oleh para pemilik perusahaan, para buruh, dan petani

tembakau dapat menjadi feedback bagi kebijakan selanjutnya untuk mengurangi tingkat

kecanduan akibat rokok.

Jika beberapa point di atas sudah dilakukan, perlu bagi kita untuk melihat apakah

output yang dilakukan pemerintah sudah memberikan outcome yang sesuai dengan harapan.

Hal yang harus dilakukan pula adalah melakukan langkah yang lebih strategis dengan melihat

dampak kebijakan kepada publik. Pada titik ini, akan mengelaborasi secara mendalam

mengenai pembatasan kadar tar dan nikotin dalam upayanya untuk menyehatkan bangsa. Hal

ini memang tidak dapat dilihat secara instan, akan tetapi pemerintah seharusnya bekerjasama

dengan BPS atau lembaga survey untuk melihat apakah tingkat kecanduan sudah menurun.

Aspek- aspek yang bisa diamati seperti jumlah konsumsi rokok apakah sudah menurun

atauakah belum, penggunaan dana jamkesmas karena penyakit akibat rokok. Hal-hal tersebut

rupanya bisa menunjukkan secara umum mengenai tingkat kecanduan rokok. Namun

pemerintah juga harus jeli dalam melihat kondisi masyarakat dengan melakukan survey

mengapa mereka berhenti merokok, apakah karena tar dan nikotin yang terbatas ataukah hal

lain. Dengan adanya pandangan lain dari masyarakat, pemerintah bisa mengembangkan hal

tersebut untuk lebih menyempurnakan kebijakan selanjutnya.

27

H. Kesimpulan

Rangkaian tulisan di atas dapat membuka mata kita bahwa kebijakan public

merupakan hal yang penting untuk dianalisa. Disinilah kepiawaian pemerintah dalam

managing public interest dapat dielaborasi mendalam. Pada bidang kesehatan, pemerintah

memang terlihat piawai karena mengeluarkan PP No 109 tahun 2012 yang telah sangat detail

mengatur mengenai desain, kawasan tanpa rokok, iklan media massa, dan sebagainya.

Namun kebijakan ini belum komprehensif untuk mengurangi daya rusak rokok, karena belum

mengatur kadar tar dan nikotin. Padahal kadar ini sudah diatur pada kebijakan sebelumnya.

Pembatasan tar dan nikotin adalah hal yang penting karena tar dan nikotin merupakan

zat yang menyababkan ketergantungan bagi para perokok. Jika pembatasan tar dan nikotin

ditambahkan, penulis merasa kebijakan akan lebih komprehensif dalam menurunkan

ketergantungan terhadap rokok. Ketergantungan rokok menjadi akar dari berbagai masalah

lainnya. Selain kualitas kesehatan yang menurun, di samping itu anggaran jamkesmas juga

banyak yang tersedot untuk pengobatan penyakit akibat rokok.

Pada kondisi terebut, harus dilakukan pembatasan tar dan nikotin seperti pada era

sebelumnya. Secara konkret, kebijakan ini dapat direalisasi dengan pembentukan state

auxiliary agencies yang memiliki kewenangan untuk mengawasi sekaligus menindak setiap

pelanggaran yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengapa

hal ini penting dilakukan beserta sanksi yang menyertainya. Kesemua itu harus senantiasa

dibarengi dengan proses monitoring, evaluasi, dan mengamati impact yang dihasilkan.

Dengan begitu, pemerintah dapat mempertimbangkan alternatif untuk mengubah atau

menambahkan aturan mengenai tembakau jika memang aturan yang ada belum mampu

mencapai harapan.

Pada kondisi ini pembatasan tar dan nikotin menjadi hal penting untuk dilakukan.

Dengan adanya ini, ketergantungan rokok dapat dikurangi. Namun hal lain yang dapat

dirasakan jika ketergantungan menurun adalah sumbangsih rokok dalam APBN akan

berkurang. Pemerintah memang harus berfikir jangka panjang, dan harus berani menunjukkan

kekuatan intervensinya dalam kebijakan ini. Ini merupakan langkah halus yang harus

ditempuh. Karena jika pemerintah menggunakan langkah radikal (seperti melarang rokok)

maka akan mendapat protes yang begitu massif dari masyarakat.

28

DAFTAR REFERENSI

‘Bahaya Merokok Bagi Kesehatan’, 2012, dilihat pada 21 April 2013

<http://doktersehat.com/bahaya-merokok-bagi-kesehatan/#ixzz2R4wHKB9k>

‘Fakta Tentang Rokok MILD , KRETEK dan CERUTU’, 2012, dilihat pada 19 Juni 2013

<http://blog.ub.ac.id/adityascania/2010/02/28/fakta-tentang-rokok-mild-kretek-dan-

cerutu/>

‘Ketergantungan Nikotin memangkas dalam Tes Strategi Merokok Rokok Baru’, 2012,

dilihat pada 19 Juni 2013 <http://id.prmob.net/rokok/nikotin/food-and-drug-

administration-485389.html>

‘Sosialisasi isi PP no. 109 thn 2012 mengenai tembakau’,2013, dilihat pada 28 Januari 2014, <

http://chirpstory.com/li/54454>

Almawadi, Issa 2013, ‘Pendapatan cukai negara dari HM Sampoerna Rp 27,7T’ dilihat pada

21 April 2013 <http://nasional.kontan.co.id/news/pendapatan-cukai-negara-dari-hm-

sampoerna-rp-277t>

Badan POM 2013,’ Dampak Negatif Senyawa Nikotin Dan Tar Dalam Rokok’ dilihat pada

21 April 2013

<http://ulpk.pom.go.id/ulpk/index.php?task=view&id=173&option=com_easyfaq&I

temid=26&lang=in>

Badjuri, Abdulkahar & Yuwono, Teguh 2005, Kebijakan Publik Konsep dan Strategi,

Semarang, Universitas Diponegoro Press.

BPS 2013,’Jumlah Penduduk Miskin Maret 2013 Mencapai 28,07 Juta Orang’, dilihat pada

28 Januari 2014 < http://www.bps.go.id/?news=1023>

Data dilihat dari Seminar Nasional Kawasan Tanpa Rokok 2012, ‘Solusi Perlindungan

Terhadap Bahaya Asap Rokok’ dilihat pada 21 April 2013

<http://www.psikm.unud.ac.id/kawasan_tanpa_rokok/?page_id=4

Kartika Unoviana 2013, ‘Rp 2 Triliun Habis untuk Pengobatan akibat Rokok’ dilihat pada 21 April

2013 <

29

http://health.kompas.com/read/2013/01/23/17290227/Rp.2.Triliun.Habis.untuk.Peng

obatan.akibat.Rokok>

Prasetya, Lukyta Dwi 2010, Pengaruh Negatif Rokok bagi Kesehatan di Kalangan Remaja,

dilihat pada 21 April 2012 <

http://www.Fimadiklus.googlecode.com%2Ffiles%2F10%2520lukyta%2520Pengar

uh%2520Negatif%2520Rokok%2520bagi%2520Kesehatan%2520di%2520Kalanga

n%2520Remaja.pdf&ei=RYpzUabfNsaKrQf664DoDA&usg=AFQjCNH4MLq7aqJ

60wKh_rZKV3SEopLmlg&bvm=bv.45512109,d.bmk >

Priyatna, Andi 2012, ‘Bahaya Merokok’ dilihat pada 22 April 2012

<http://www.geschool.net/667708/blog/post/view?id=17918>

Ruslan, Kadir 2014, ‘Rokok, Si Miskin, dan Anak-anak’, dilihat pada 28 Januari 2014

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/01/20/rokok-si-miskin-dan-anak-anak-

625865.html

Santoso, Purwo 2010, Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Research

Center for Politics and Government Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL

UGM.

Seminar Nasional Kawasan Tanpa Rokok 2012, ‘Solusi Perlindungan Terhadap Bahaya Asap

Rokok’ dilihat pada 21 April 2013

<http://www.psikm.unud.ac.id/kawasan_tanpa_rokok/?page_id=4>

Susanto, Ichwan & Julianto, Irwan 2013,’Belajar dari Regulasi Rokok Negara Lain’, dilihat

pada 28 Januari 2014 <

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/01/17201573/Belajar.dari.Regulasi.

Rokok.Negara.Lain >