Lima Pendekatan Kualitatif Penyelidikan

45
PENYELIDIKAN KUALITATIF DAN DISAIN PENELITIAN Memilih di Antara Lima Pendekatan. Oleh: ©John W. Creswell Universitas Nebraska, Lincoln. Alih bahasa oleh: W. Saputro Palembang 2015 Untuk kalangan terbatas 1 Kata kunci: Narasi, Fenomenologi, Etnografi, Grounded Theory, dan Studi Kasus

Transcript of Lima Pendekatan Kualitatif Penyelidikan

PENYELIDIKAN KUALITATIF DAN DISAIN PENELITIAN

Memilih di Antara Lima Pendekatan.

Oleh:

©John W. Creswell

Universitas Nebraska, Lincoln.

Alih bahasa oleh:

W. Saputro

Palembang

2015

Untuk kalangan terbatas

1

Kata kunci:

Narasi, Fenomenologi, Etnografi, Grounded Theory, dan Studi Kasus

Creswell, John W.

Judul asli :

Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches/

John W. Creswell.--2nd ed.

Copyright © 2007 by Sage Publication, Inc.

Printed in the United States of America

Saputro, W

Judul terjemah:

Penyelidikan Kualitatif dan Disain Penelitian: Memilih di Antara Lima Pendekatan

Alih bahasa oleh :

W. Saputro

Palembang, 26 Mei 2015 M/ 7 Sya'ban 1436 H

2

Bab 4

Lima Pendekatan Kualitatif Penyelidikan

alam bab ini, kita mulai eksplorasi rinci kita tentang penelitian narasi, fenomenologi,

grounded theory (teori dasar), etnografi dan studi kasus. Untuk masing-masing

pendekatan, penulis menempatkan definisi, menelusuri secara gamblang tentang

sejarahnya, memeriksa jenis- jenis studi, memperkenalkan prosedur yang dilibatkan

dalam pelaksanaan studi, dan menunjukkan tantangan-tantangan potensial dalam penggunaan

pendekatan. Penulis juga meninjau sejumlah kesamaan dan perbedaan di antara kelima pendekatan,

dengan demikian para peneliti kualitatif dapat memutuskan pendekatan manakah yang terbaik untuk

digunakan dalam studi khusus mereka.

Pertanyaan untuk Diskusi

• Apakah yang dimaksud studi narasi, fenomenologi, grounded theory (teori dasar), etnografi dan

studi kasus?

• Prosedur dan tantangan apa yang digunakan untuk menggunakan masing-masing pendekatan

penelitian kualitatif?

• Apa kesamaan dan perbedaan di antara kelima pendekatan?

Penelitian Narasi

Definisi dan Latar Belakang

Penelitian narasi memiliki banyak bentuk, menggunakan ragam praktik-praktik analitis dan

mengakar dalam masyarakat yang berbeda dan disiplin ilmu kemanusiaan (Datute dan Lightfoot,

2004). Narasi mungkin sebuah istilah yang diperuntukkan untuk semua teks atau wacana, atau ia

mungkin berupa teks dalam konteks sebuah mode penyelidikan dalam penelitian kualitatif (Chase,

2005), dengan fokus khusus pada sejarah yang diceritakan oleh individu (Polkinghorne, 1995).

Seperti saran Pinnegar dan Daynes (2006), narasi dapat berbentuk dua hal, yaitu metode dan

3

D

fenomena studi. Seperti halnya metode, ia mulai dengan pengalaman-pengalaman yang

terekspresikan dalam hidup dan pengisahan sejarah individu. Para penulis telah menyediakan pola-

pola untuk menganalisa dan memahami kehidupan dan pengisahan. Penulis akan

mendefinisikannya di sini sebagai jenis disain kualitatif yang mana narasi difahami sebagai

pembicaraan atau teks tulisan yang memberikan sekumpulan peristiwa/tindakan atau rangkaian

peristiwa/ tindakan, yang secara kronologis memiliki keterhubungan (Czarniawska,2004, hlm.17).

Prosedur untuk penerapan penelitian ini terdiri dari pemokusan pada studi terhadap satu atau dua

individu, pengumpulan data melalui pengumpulan kisah-kisah mereka, pelaporan pengalaman-

pengalaman individual dan penataan secara kronologis (atau menggunakan tahapan wacana

kehidupan) makna-makna pengalaman tersebut.

Meskipun penelitian narasi aslinya berasal dari kajian literatur, sejarah, antropologi,

sosiologi, sosiolinguistik, dan pendidikan, sejumlah disiplin studi tertentu telah menggunakan

pendekatan tersebut (kelompok penelitian narasi) tersebut (Chase,2005). Penulis menemukan gejala

ini dalam sebuah karya para posmodern yang berorientasi keorganisasian di dalam karya

Czarniawska (2004); juga dalam tulisan perspektif pengembangan kemanusiaan dalam karya Daiute

dan Lightfoot (2004); Pendekatan psikologi di Lieblich karya Tuval-Mashiach dan Zilber (1998);

pendekatan sosiologis dalam Cortazzi (1993), Riessman (1993); dan kuantitatif (misalnya, sejarah

statistik dalam pemodelan sejarah peristiwa) dan pendekatan kualitatif dalam karya Elliot (2005).

Sumbangan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada penelitian narasi juga telah didukung oleh

seri tahunan studi narasi kehidupan yang mulai pada tahun 1993 (lihat misalnya, Josselson dan

Lieblich, 1993), dan jurnal penyelidikan narasi dengan banyaknya jumlah buku yang ditulis akhir-

akhir ini dalam penelitian narasi, hal ini tentunya merupakan sebuah field in making (Chase,2005,

hlm.651). Dalam diskusi tentang prosedur narasi dimana penulis mendasarkan pada sebuah buku

yang mudah diperoleh yang ditulis untuk para pelaku ilmu sosial yang disebut penyelidikan narasi

(Clandinin dan Conelly, 2000) yang bertema Apa yang dilakukan oleh peneliti narasi? (hlm. 48).

4

Jenis Studi-Studi Narasi

Sebuah pendekatan terhadap penelitian narasi adalah untuk membedakan jenis-jenis penelitian

narasi oleh strategi analisis yang digunakan oleh para pengarang. Polkinghorne (1995)

menggunakan pendekatan ini dan membedakan antara analisis tentang narasi (hlm. 12),

menggunakan paradigma berfikir untuk membuat deskripsi tema apa yang dipakai ke arah cerita

atau pembagian jenis ceritanya, dan analisis narasi dimana para peneliti mengumpulkan sejumlah

deskripsi peristiwa atau kejadian dan mengkonfigurasinya ke dalam sebuah cerita menggunakan

sebuah alur panduan. Polkinghorne (1995) terus menekankan pada bentuk kedua dalam tulisannya.

Akhir-akhir ini, Chase (2005) menyajikan sebuah pendekatan yang secara khusus beraliansi dengan

analisis tentang narasinya Polkinghorne. Chase menyarankan bahwa para peneliti dapat

menggunakan alasan paradigmatik untuk sebuah studi narasi, seperti bagaimana seorang individu

mampu dan dipaksa oleh sumber-sumber sosial, yang secara sosial disituasikan dalam penampilan

yang saling interaksi dan bagaimana para pelaku narasi mengembangkan penafsiran.

Pendekatan kedua adalah untuk menekankan ragam bentuk dalam praktik penelitian narasi

(lihat misalnya, Casey, 1996/1996). Sebuah studi biografi adalah merupakan sebuah bentuk studi

narasi dimana para peneliti menulis dan mencatat pengalaman-pengalaman hidup orang lain.

Autobiografi adalah tulisan dan catatan oleh individu-individu yang merupakan subjek studi (Ellis,

2004). Sebuah sejarah hidup membawa sebuah keseluruhan hidup individu, ketika cerita

pengalaman individu seseorang adalah berupa studi narasi dari sebuah pengalaman pribadi

seseorang dijumpai dalam episode tunggal atau ganda, stuasi khusus atau cerita rakyat milik

komunitas tertentu (Denzin, 1989a). Sebuah cerita lisan terdiri dari pengumpulan refleksi individu

atau peristiwa dan sebab musababnya dari seorang individu atau sejumlah individu (Plummer,

1983). Studi narasi dapat memiliki sebuah fokus kontekstual khusus seperti guru dan siswa dalam

sebuah ruangan kelas (Ollerenshaw dan Creswell, 2002) atau sejarah yang menceritakan tentang

sebuah organisasi (Czarniawska, 2004). Narasi mungkin saja dipandu oleh sebuah lensa (sudut

5

pandang) atau perspektif. Lensa tersebut mungkin digunakan untuk membela warga Amerika Latin

melalui penggunaan testimoni (kesaksian) (Beverly, 2005), atau mungkin berupa sebuah lensa

feminis yang digunakan untuk melaporkan sejarah wanita (lihat misalnya, Kelompok Narasi

Pribadi, 1989) adalah sebuah lensa yang menunjukkan suara wanita yang diubah, beragam dan

bertentangan (Chase, 2005).

Prosedur Pelaksanaan Penelitian Narasi

Dengan menggunakan pendekatan yang diambil oleh Clandinin dan Conelly (2000) sebagai

panduan prosedural umum, metode pelaksanaan sebuah studi narasi tidak mengikuti sebuah

pendekatan kaku, akan tetapi tentunya menyajikan sebuah kumpulan tidak resmi mengenai topik.

- Menentukan jika pertanyaan atau permasalahan penelitian terbaik untuk penelitian narasi.

Penelitian narasi sangat baik untuk menangkap rincian sejarah atau pengalaman hidup dari

kehidupan tunggal atau kehidupan sejumlah kecil para individu.

- Memilih satu atau lebih para individu yang memiliki kisah atau pengalaman hidup melalui ragam

jenis informasi. Clandinin dan Conelly (2000) merujuk kisah-kisah tersebut sebagai “teks-teks

lapangan”. Partisipan penelitian dapat mencatat kisah mereka dalam buku diari atau jurnal, atau

para peneliti dapat mengamati individu dan mencatat kutipan-kutipan lapangan. Para peneliti juga

dapat mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan oleh para individu, mengumpulkan kisah tentang

individu yang berasal dari anggota keluarga, mengumpulkan dokumen-dokumen seperti memo atau

surat-menyurat kantor tentang individu atau mengumpulkan foto-foto, kotak memori (koleksi dari

artikel yang memicu memori) dan artefak sosial-keluarga-individu lainnya. Setelah memeriksa

sumber-sumber ini, para peneliti mencatat pengalaman-pengalaman hidup individu.

- Mengumpulkan informasi tentang konteks dari kisah-kisah ini. Para peneliti narasi meletakkan

kisah individu dalam konteks pengalaman pribadi partisipan (pekerjaan dan rumah mereka), budaya

mereka (ras atau suku) dan konteks sejarah mereka (waktu dan tempat).

6

- Menganalisa kisah para partisipan dan kemudian menceritakannya kembali ke dalam sebuah

kerangka kerja yang dapat membuat pemahaman. Penceritaan kembali adalah proses pemahaman

kisah ke dalam sejumlah jenis umum kerangka kerja. Kerangka kerja ini dapat terdiri dari

pengumpulan kisah, menganalisanya bagi elemen-elemen kunci dari kisah (misalnya, waktu,

tempat, alur dan sekenario) dan kemudian menuliskan kembali kisah untuk menempatkannya dalam

sebuah urutan kronologis (Ollerenshaw dan Creswell, 2000). Seringkali ketika para individu

menceritakan kembali kisah mereka, mereka tidak menyajikannya dalam sebuah urutan kronologis.

Selama proses penceritaan, para peneliti menyiapkan sebuah hubungan penyebab di antara gagasan-

gagasan. Cortazzi (1993) menyarankan bahwa kronologi penelitian narasi, dengan menekankan

pada urutan, mengatur bagian-bagian narasi dari aliran penelitian lain. Sebuah aspek dari kronologi

adalah bahwa kisah memiliki sebuah awal-tengah dan akhir. Sama halnya dengan elemen utama

yang ditemukan dalam karya novel yang baik, aspek-aspek ini meliputi keadaan berbahaya, konflik

atau perjuangan, pelaku utama atau karakter utama dan sebuah urutan dengan akibat yang

dikandungnya (misalnya sebuah plot) dimana keadaan berbahaya tersebut dapat diselesaikan dalam

sejumlah cara (Carter, 1993). Sebuah kronologi lebih jauh dapat terdiri dari gagasan masa lalu,

sekarang dan yang akan datang (Clandinin dan Conelly, 2000) berdasarkan pada asumsi bahwa

waktu memiliki sebuah arah yang tidak lurus (Polkinghorne, 1995). Dalam sebuah pengertian yang

lebih umum, sebuah kisah dapat memuat jenis elemen lain yang ditemukan dalam sebuah novel,

seperti waktu, tempat, dan cerita (Conelly dan Clandinin, 1990). Alur, garis cerita dapat pula

memuat tiga dimensi ruang penyelidikan narasi, yaitu individu dan sosial (interaksi), masa lalu,

sekarang dan akan datang (kesinambungan) dan tempat (situasi). Garis cerita ini mungkin memuat

informasi tentang seting atau konteks dari pengalaman partisipan. Di depan kronologi, para peneliti

dapat merinci tema yang mencuat dari kisah untuk menyediakan sebuah diskusi yang lebih rinci

tentang makna arti dari kisah tersebut (Huber dan Whelan, 1999). Kemudian analisis data kualitatif

mungkin berupa sebuah deskripsi kedua kisah dan tema yang timbul darinya. Seorang penulis

7

beraliran posmodernis seperti Czarniawska (2004) akan menambahkan elemen lain untuk analisis,

sebuah penghancuran kisah, sebuah penghilangan dari kisah-kisah tersebut seperti strategi analisis,

menyingkap dikotomi, memeriksa kebungkaman dan menghadirkan gangguan dan kesakitan.

- Bekerjasama dengan partisipan secara aktif, melibatkan mereka dalam penelitian (Clandinin dan

Conelly, 2000). Sebagai peneliti yang mengumpulkan kisah-kisah, mereka menegosiasikan

hubungan, perpindahan yang sopan, dan menyediakan cara yang bermanfaat bagi para partisipan.

Dalam penelitian narasi, tema kunci sedang mengarah kepada hubungan antara para peneliti dan

yang diteliti dimana kedua fihak akan belajar dan berubah dalam sebuah pertemuan (Pinnegar dan

Daynes, 2006). Dalam proses ini, masing-masing fihak menegosiasikan makna kisah,

menambahkan sebuah pemeriksaan validasi untuk analisis (Creswell dan Miller, 2000). Dalam

kisah milik partisipan dapat juga terdapat kisah yang terjalin dari para peneliti yang ditambahkan ke

dalam kehidupannya (partisipan) (lihat Huber dan Whelan, 1999). Juga, dalam kisah terdapat

epipani atau poin pengarah dimana garis cerita yang merubah arah secara dramatis. Dan di akhir,

studi narasi akan menceritakan kisah individu yang terbuka dalam sebuah kronologi dari

pengalaman mereka, yang tertata dalam hidup pribadi dan sosial mereka dan konteks sejarah dan

memuat tema penting dalam pengalaman hidup tersebut. “Penyelidikan Narasi merupakan kisah

hidup dan cerita,” demikian dikatakan Clandinin dan Conolly (2000, hlm. 20).

Tantangan

Setelah diberikan karakteristik dan prosedur penelitian narasi ini, penelitian narasi merupakan

sebuah pendekatan menantang (bagi peneliti) untuk diterapkan. Para peneliti perlu mengumpulkan

informasi mendalam tentang para partisipan dan perlu memiliki pemahaman yang jelas akan

konteks kehidupan seseorang individu. Hal tersebut membutuhkan pandangan yang tajam untuk

mengenali sumber materi yang mengumpulkan kisah khusus yang menangkap pengalaman

individu. Seperti komentar Edel (1984) merupakan hal penting untuk mengungkap sosok di bawah

8

karpet (tersembunyi) yang menjelaskan ragam latar konteks sebuah kehidupan. Aktif bekerjasama

dengan para partisipan adalah perlu dan para peneliti perlu membicarakan kisah para partisipan juga

yang merefleksikan tentang latar belakang politik dan pribadi mereka yang membentuk bagaimana

mereka mengisahkan kembali sejumlah bagian-bagian kehidupan mereka. Beragam persoalan

mencuat ketika proses pengumpulan, analisa dan penceritaan kisah individu. Pinnegar dan Daynes

(2006) memunculkan pertanyaan penting berikut ini: Siapa pemilik kisah? Siapa yang dapat

menceritakannya? Siapa yang dapat mengubahnya? Versi siapa yang meyakinkan? Apa yang terjadi

ketika narasi-narasi itu bersaing? Sebagai sebuah komunitas, kisah apa yang terjadi di antara kita?

Penelitian Fenomenologi

Pengertian dan Latar Belakang

Ketika sebuah studi narasi melaporkan sebuah kehidupan dari seorang individu tunggal, studi

fenomenologi mendeskripsikan makna bagi sejumlah individu mengenai pengalaman hidup mereka

mengenai sebuah konsep atau sebuah gejala. Para peneliti fenomenologi fokus pada penggambaran

apa yang dimiliki oleh semua partisipan secara umum seperti yang mereka alami mengenai sebuah

gejala (misalnya, kegagalan adalah pengalaman universal). Tujuan utama fenomenologi adalah

untuk mengkhususkan pengalaman individu dengan sebuah gejala untuk sebuah gambaran inti yang

universal (sebuah pemahaman mengenai sangat alaminya sesuatu, Van Manen, 1990, hlm. 177).

Untuk tiba pada batas akhir ini, para peneliti kualitatif mengidentifikasi sebuah gejala (sebuah objek

pengalaman manusia, Van Manen, 1990, hlm. 163). Pengalaman manusia ini mungkin saja gejala

seperti insomnia, tersisihkan, kemarahan, kesedihan, mengalami pembedahan langsung arteri

koroner (Moustakas, 1994). Para penyelidik kemudian mengumpulkan data dari pribadi-pribadi

yang mengalami gejala tersebut dan mengembangkan sebuah deskripsi campuran mengenai inti

pengalaman bagi semua individu. Deskripsi ini terdiri dari apa yang mereka alami dan bagaimana

mereka mengalaminya (Moustakas, 1994).

9

Di depan semua prosedur ini, fenomenologi memiliki sebuah komponen filosofi yang kokoh

mengenainya. Ia menggambarkan dengan kental dalam sebuah tulisan tentang ahli matematika

berkebangsaan Jerman bernama Edmund Husserl (1859-1938) dan siapa yang ikut memengaruhi

pandangannya, seperti Heidegger, Sartre dan Merleau-Ponty (Spiegelberg, 1982). Fenomenologi

populer di bidang ilmu sosial dan kesehatan, khususnya dalam sosiologi (Borgatta dan Borgatta,

1992; Swingewood, 1991), Psikologi (Giorgi, 1995; Polkinghorne, 1989), keperawatan dan ilmu

kesehatan (Nieswiadomy, 1993; Oiler, 1986), dan pendidikan (Tesch, 1988; Van Mannen, 1990).

Gagasan Husserl adalah abstrak dan seperti pada tahun 1945, Merleau-Ponty (1962) masih

memunculkan pertanyaan seputar, Apa itu fenomenologi?. Faktanya, Husserl telah dikenal

menangani semua proyek baru-baru ini dibawah model fenomenologi (Natanson, 1973).

Para penulis fenomenologi mengikuti langkah-langkah Husserl juga kelihatannya untuk

menunjukkan perbedaan argumen filosofis untuk penggunaan fenomenologi saat ini (bandingkan,

sebagai contoh, dasar filosofis yang dinyatakan dalam karya Moutakas, 1994; dalam karya Stewart

dan Mickunas, 1990; dan dalam karya Van Mannen, 1990). Melihat ke arah semua perspektif ini,

bagaimanapun, kita dapat mengerti bahwa asumsi-asumsi filosofis bersandar pada sejumlah

landasan/ dasar umum: studi mengenai pengalaman seseorang, memandang bahwa semua

pengalaman ini merupakan sebuah kesadaran (Van Mannen, 1990), dan sebuah pengembangan

deskripsi tentang inti pengalaman-pengalaman ini, tidak menjelaskan atau menganalisa (Moustakas,

1994). Pada batasan paling luas, Stewart dan Mickunas (1990) menekankan empat perspektif

filosofis dalam fenomenologi:

-Kembali ke tugas tradisional filosofi. Pada akhir abad ke 19, filosofi telah menjadi terbatas untuk

menunjukkan sebuah dunia dengan arti empiris, yang disebut Saintisme. Kembali pada tugas-tugas

lama filosofi yang telah ada sebelumnya menjadi memikat bersama ilmu empiris yang merupakan

kembalinya ke konsepsi Yunani mengenai filosofi sebagai sebuah usaha pencarian kebebasan.

-Filosofi tanpa presupposisi. Pendekatan fenomenologi adalah untuk menyingkirkan semua

10

penilaian mengenai apa yang nyata- atribut alami- hingga mereka menjumpai dalam sebuah dasar

yang lebih khusus. Suspensi ini disebut epos oleh Husserl.

-Dalamnya kesadaran. Gagasan ini adalah bahwa kesadaran selalu mengarah kepada sebuah objek.

Realitas sebuah objek, kemudian adalah kemampuan eksternal terkait kesadaran seseorang

mengenainya. Kemudian, realitas menurut Husserl, tidak terbagi ke dalam subjek dan objek, tetapi

ke dalam dual alam Cartesian mengenai subjek dan objek, seperti kehadirannya dalam kesadaran.

-Penolakan dikotomi subjek-objek. Tema ini mengalir secara alami dari dalamnya kesadaran.

Realitas sebuah objek adalah hanya difahami dalam pengertian pengalaman dari seseorang individu.

Sebuah penulisan individu tentang fenomenologi akan diizinkan untuk tidak memuat sejumlah

diskusi tentang presupposisi filosofis fenomenologi sepanjang metode-metode yang digunakan

masih dalam bentuk penyelidikan ini. Moustakas (1994) telah menyediakan lebih dari seratus

halaman untuk asumsi-asumsi filosofis sebelum ia kembali ke arah penjelasan mengenai metode-

metode.

Jenis-Jenis Fenomenologi

Dua pendekatan terhadap fenomenologi menyoroti diskusi di bawah ini:

Fenomenologi Hermenetik (Van Mannen, 1990) dan empirik, transendental, atau fenomenologi

psikologi (Moustakas, 1994). Van Mannen (1990), karyanya sering dikutip secara luas dalam

literatur kesehatan (Morse dan Field, 1995). Selaku pendidik, Van Mannen telah menulis sebuah

buku pengajaran dalam fenomenologi hermenetik dimana ia mendeskripsikan penelitian sebagai

orientasi ke arah pengalaman hidup (fenomenologi) dan menafsirkan teks kehidupan (hermenetik)

(Van Mannen, 1990, hlm. 4). Meskipun Van Mannen tidak mendekati fenomenologi dengan

sekumpulan aturan atau metode, ia mendiskusikan penelitian fenomenologi sebagai sebuah

dinamika kegiatan internal di antara kelima kegiatan penelitian. Pertama kali para peneliti harus

mengarah kepada sebuah fenomena (gejala), sebuah konsentrasi yang berkesinambungan (hlm. 31),

11

yang secara serius menarik minat mereka (misalnya, membaca, berlari, mengemudi, dan

pengasuhan). Dalam prosesnya, mereka merefleksi pada tema penting apa yang mengangkat

kealamiahan pengalaman hidup ini. Mereka menulis sebuah deskripsi mengenai fenomena,

memperbaiki hubungan yang kokoh terkait topik penyelidikan dan mengimbangi bagian-bagian dari

penulisan keseluruhannya. Fenomenologi bukan hanya sekedar deskripsi, tetapi juga sebagai sebuah

proses penafsiran di mana para peneliti membuat sebuah penafsiran (misalnya para peneliti

memediasi antara perbedaan makna; Van Mannen, 1990, hlm. 26) makna pengalaman hidup.

Fenomenologi transendental atau transendental karya Moustakas (1994) kurang fokus dalam

penefsiran-penafsiran para peneliti dan lebih fokus pada deskripsi pengalaman partisipan. Sebagai

tambahan, Moustakas fokus pada satu konsep milik Husserl, yaitu epos (atau pengurungan/

pengucilan), dimana para investigator meletakkannya di samping pengalaman mereka sebanyak

mungkin untuk mengambil perspektif yang segar ke arah gejala yang berada dalam pengawasan.

Sebab itu, transendental berarti dimana segala sesuatu dipersepsikan secara segar (asli) seperti

ketika ia hadir untuk pertamakalinya (Moustakas, 1994, hlm. 34). Moustakas membiarkan bahwa

tahap ini jarang diperoleh secara sempurna. Bagaimanapun, penulis melihat para peneliti yang

menggunakan gagasan ini ketika mereka memulai sebuah proyek dengan menggambarkan

pengalaman milik mereka sendiri tentang sebuah gejala dan menghadirkan pandangan-pandangan

mereka sebelum melanjutkan dengan pengalaman-pengalaman lainnya.

Disamping pengisolasian, empirik, fenomenologi transendental tergambar dalam Dusquesne

Studies in Phenomenology Psychology (misalnya, Giorgi, 1985) dan prosedur analisis data karya

Van Kaam (1966) dan Colaizzi (1978). Prosedur-prosedur tersebut digambarkan oleh Moutakas

(1994) terdiri dari pengidentifikasian sebuah fenomenologi terhadap studi, menghadirkan

pengalaman seseorang dan mengumpulkan data dari sejumlah individu yang mengalami gejala-

gejala tersebut. Para peneliti kemudian menganalisa data dengan mengurangi informasi terhadap

pernyataan-pernyataan penting atau mengutip dan menggabungkan pernyataan-pernyataan tersebut

12

ke dalam tema-tema. Menindaklanjuti hal tersebut, para peneliti mengembangkan sebuah deskripsi

tekstural mengenai pengalaman pribadi tersebut (apa yang dialami partisipan), dan juga sebuah

deskripsi struktural pengalaman mereka (bagaimana mereka mengalaminya dalam istilah kondisi,

situasi atau konteks) dan sebuah gabungan deskripsi tekstural dan struktural untuk membawa

sebuah inti keseluruhan dari pengalaman.

Prosedur-Prosedur Pelaksanaan Penelitian Fenomenologi

Penulis menggunakan pendekatan psikologis karya Moustakas (1994) karena memiliki langkah-

langkah yang sistematis dalam prosedur analisis data dan memberikan panduan-panduan untuk

mengumpulkan deskripsi tekstual dan struktural. Pelaksanaan fenomenologi psikologis telah

terwujud dalam sejumlah penulisan, termasuk dalam karya Dukes (1984), Tesch (1990), Giorgi

(1985, 1994), Polkinghorne (1989) dan belakangan dalam karya Moustakas (1994). Langkah-

langkah prosedur utama dalam proses akan digambarkan sebagai berikut:

-Para peneliti menentukan jika permasalahan penelitian diuji dengan cara terbaik dengan

menggunakan sebuah pendekatan fenomenologi. Jenis permasalahan baiknya disesuaikan untuk

bentuk penelitian ini yang merupakan sebuah hal dimana ia penting untuk memahami sejumlah

pengalaman umum individu atau pengalaman berbagi mengenai sebuah gejala. Hal tersebut akan

menjadi penting untuk memahami pengalaman umum ini agar dapat mengembangkan praktik-

praktik atau kebijakan, atau untuk mengembangkan sebuah pengalaman terdalam tentang fitur-fitur

fenomenologi.

-Sebuah gejala kepentingan studi seperti rasa marah, profesionalisme, apakah sesuatu yang

dilakukan itu berarti menjadi ringan atau apakah artinya menjadi sesosok pegulat merupakan

sesuatu yang harus diketahui. Moustakas (1994) menyediakan sejumlah contoh mengenai fenomena

yang sedang distudi.

-Para peneliti menyadari dan mengkhususkan asumsi filosofis luas dari fenomenologi. Sebagai

13

contoh, seseorang dapat menulis tentang gabungan realitas objek dan pengalaman individu.

Pengalaman-pengalaman hidup ini lebih jauh merupakan ‘kesadaran’ dan mengarah pada sebuah

objek. Untuk secara penuh menggambarkan bagaimana partisipan melihat sebuah fenomena, para

peneliti harus menampilkannya sebanyak mungkin pengalaman-pengalaman milik mereka.

-Data dikumpulkan dari para individu yang memiliki pengalaman mengenai gejala. Seringkali

pengumpulan data dalam studi fenomenologi terdiri dari wawancara mendalam dan wawancara

ganda dengan para partisipan. Polkinghorne (1989) menyarankan bahwa para peneliti meneliti dari

5 sampai 25 individu yang memiliki semua penbgalaman-pengalaman tentang sebuah fenomena

tertentu. Bentuk-bentuk lain dari data mungkin dapat dikumpulkan seperti observasi, jurnal, seni,

puisi, musik dan bentuk lain dari seni. Van Mannen (1990) menyebutkan rekaman percakapan,

tulisan resmi, sejumlah pengalaman yang dialami oleh orang lain dalam drama, film, puisi dan

novel.

-Para partisipan ditanya tentang dua hal umum yaitu pertanyaan umum (Moustakas, 1994): Apa

yang telah anda alami dalam istilah yang terkait dengan sebuah fenomenologi? Konteks atau situasi

apa yang secara khas berpengaruh atau berdampak pada pengalaman anda mengenai sebuah gejala

fenomena? Pertanyaan-pertanyaan buka tutup lainnya dapat juga ditanyakan, akan tetapi yang

kedua secara khusus fokus pada perhatian dalam pengumpulan data yang membimbing dan

puncaknya menyediakan sebuah pemahaman pengalaman-pengalaman umum dari para partisipan.

-Langkah-langkah analisis data fenomenologi umumnya serupa bagi semua pakar fenomenologi

psikologis yang mendiskusikan metode-metode (Moustakas, 1994; Polkinghorne, 1989).

Berdasarkan data dari pertanyaan penelitian pertama dan kedua, analisis data berjalan melewati

data-data (misalnya transkrip wawancara) dan menyoroti pernyataan-pernyataan penting, kalimat-

kalimat atau kutipan-kutipan yang menyediakan sebuah pemahaman tentang bagaimana partisipan

mengalami gejala-gejala tersebut. Moutakas (1994) menyebut langkah ini dengan horisontalisasi.

Selanjutnya, para peneliti mengembangkan kelompok makna dari pernyatan-pernyataan penting ini

14

ke dalam tema-tema.

-Pernyataan-pernyataan dan tema penting ini kemudian digunakan untuk menulis sebuah deskripsi

dari apa yang dialami oleh para partisipan (tekstual deskripsi). Mereka juga menggunakannya untuk

menulis tentang pengalaman mereka sendiri. Penulis lebih suka menyingkat prosedur milik

Moustakas dan merefleksikan pernyataan pribadi ini pada awal pembahasan fenomenologi atau

menyertakannya dalam sebuah diskusi metode dari peran para peneliti (Marshall dan Rossman,

2006)

-Dari deskripsi tekstural dan struktural, para peneliti kemudian menulis sebuah deskripsi gabungan

yang menyajikan inti dari sebuah gejala yang biasa disebut esensial, struktur invarian (atau inti).

Utamanya, tinjauan ini fokus pada pengalaman-pengalaman umum dari para partisipan. Sebagai

contoh, itu dapat berarti bahwa semua pengalaman memiliki sebuah struktur yang dikedepankan

(pengalaman adalah sama ketika mencintai seekor anjing, burung betet atau seorang anak). Ia

adalah sebuah pesan yang bersifat deskripsi, sebuah atau dua paragraf panjang, dan para pembaca

harus menjauh dari (penelitian) fenomenologi dengan ungkapan perasaan “Saya memahami lebih

baik apa yang disukai seseorang untuk dialami,” (Polkinghorne, 1989, hlm. 46)

Tantangan-Tantangan

Sebuah penelitian fenomenologi menyediakan sebuah pemahaman yang mendalam mengenai

sebuah gejala sebagai pengalaman oleh sejumlah individu. Mengetahui sejumlah pengalaman

umum dapat menjadi berharga bagi sebuah kelompok seperti para pemberi terapi, para guru,

personel kesehatan dan pembuat kebijakan. Fenomenologi dapat melibatkan sebuah bentuk garis

haluan pengumpulan data dengan menyertakan hanya wawancara ganda atau tunggal dengan para

partisipan. Dengan menggunakan pendekatan Moustakas (1994) uuntuk menganalisis data

membantu menhyediakan sebuah pendekatan terstruktur bagi para peneliti pemula. Dengan istilah

lain, penyelidikan fenomenologi sekurang-kurangnya adalah sejumlah pemahaman terkait asumsi-

15

asumsi filosofis yang luas dan ini harus diidentifikasi oleh para peneliti. Para partisipan yang

terlibat dalam studi perlu berhati-hati untuk memilih peran individu yang memiliki semua

pengalaman tentang sebuah fenomena yang diajukan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian,

dengan demikian para peneliti pada akhirnya dapat menempa sebuah pemahaman umum.

Pengisolasian pengalaman pribadi mungkin sulit bagi para peneliti ketika dalam tahap

implementasi. Sebuah pendekatan penafsiran terhadap fenomenologi akan menunjukkan hal ini

sebagai hal yang mustahil (Van Mannen, 1990)- bagi para peneliti menjadi bagian yang terpisah

dari teks. Mungkin kita perlu sebuah definisi baru epos atau pengisolasian, seperti menggantungkan

pemahaman kita dalam sebuah gerak refleksi yang memperkuat keingintahuan (LeVasseur, 2003).

Kemudian, para peneliti perlu menentukan bagaimana dan dengan cara apa pemahaman individunya

akan mengantarnya ke dalam studi.

Penelitian Teori Dasar

Meskipun sebuah fenomenologi menekankan makna sebuah pengalaman bagi sejumlah individu,

maksud dari sebuah studi teori dasar adalah untuk bergerak melampaui deskripsi dan untuk

melakukan jeneralisir atau mengungkap sebuah teori, sebuah analitis abstrak yang

menggambarkan sebuah proses (atau tindakan atau interaksi, Strauss dan Corbin, 1998). Seluruh

partisipan dalam studi semuanya akan mengalami proses, dan pengembangan teori yang mungkin

ikut membantu menjelaskan praktik atau menyediakan sebuah kerangka kerja untuk penelitian

selanjutnya. Gagasan utamanya adalah bahwa pengembangan teori ini tidak datang dengan

sendirinya, tetapi lebih merupakan jeneralisir atau dasar/landasan dalam data dari para partisipan

yang memiliki pengalaman proses (Strauss dan Corbin, 1998). Kemudian, teori dasar adalah sebuah

disain penelitian kualitatif dimana para penyelidik menjeneralisir sebuah penjelasan umum (sebuah

teori) dari sebuah proses, tindakan atau interaksi yang terbentuk oleh pandangan-pandangan

terhadap sejumlah besar partisipan (Strauss dan Corbin, 1998).

16

Disain kualitatif telah dikembangkan pada tahun 1967 oleh dua peneliti, yaitu Barney Glaser

dan Anselm Strauss, sosok yang merasakan bahwa teori-teori yang digunakan dalam penelitian

seringkali tidak memadai dan kurang sesuai untuk partisipan dalam sebuah studi. Mereka

memperluas gagasan mereka melalui sejumlah buku yang ditulis (Glasser, 1978; Glaser dan Strauss,

1967; Strauss dan Corbin, 1990, 1998). Hal ini berlawanan dengan orientasi a priori (berdasar teori

daripada kenyataan yang sebenarnya), orientasi teoritis dalam sosiologi, teori dasar berpegangan

bahwa teori harus berlandas pada data yang berasal dari lapangan, khususnya dalam tindakan-

tindakan, hubungan atau proses melalui antarhubungan kelompok-kelompok informasi berdasarkan

data yang dikumpulkan dari para individu.

Walaupun kolaborasi awal antara Strauss dan Glaser yang menghasilkan sejumlah kerja

seperti dalam karya Awareness of Dying (kesadaran akan kematian) (Glaser dan Strauss, 1965) dan

Time for Dying (Glaser dan Strauss, 1968), dua pengarang pada puncaknya tidak sepakat tentang

pemaknaan dan prosedur teori dasar. Glaser telah mengkritik pendekatan Strauss terhadap teori

dasar sebagai terlalu kaku dan terstruktur (Glaser, 1992). Dan lebih baru lagi, karya Charmaz (2006)

yang telah membela para kontruktifis teori dasar, kemudian memperkenalkan perspektif lain ke

dalam pembicaraan tentang prosedur. Melalui penafsiran-penafsiran yang berbeda ini, teori dasar

telah memeroleh popularitas dalam sejumlah bidang seperti sosiologi, keperawatan, pendidikan dan

psikologi, sama baik dengan bidang ilmu sosial lainnya.

Perspektif teori dasar lainnya yaitu yang berasal dari Clarke (2005) yang, sama lamanya

dengan Charmaz, mencari cara untuk menegaskan kembali teori dasar dari pondasi positifismenya

(hlm. xxiii). Clarke bagaimanapun juga melangkah lebih jauh dibanding Charmaz yang

menyarankan bahwa situasi sosial harus berasal dari unit analisis kita dalam teori dasar dan bahwa

tiga mode sosiologi dapat bermanfaat dalam penganalisaan situasi ini, dunia/arena sosial, dan peta

kartograpi posisional untuk pengumpulan dan penganalisaan data kualitatif. Ia lebih jauh

memperluas teori dasar dalam after the postmodern turn (setelah giliran posmodern) (hlm. xxiv)

17

dan berdasarkan perspektif posmodern (misalnya, lingkungan politis peneliti dan para penafsir,

merefleksikan sisi tertentu peneliti, memahami permasalahan penyajian ulang informasi, pertanyaan

legitimasi dan otoritas dan memosisikan kembali para peneliti jauh dari kesan Mengetahui semua

analis kepada posisi mengakui posisi partisipan) (hlm, xxvii, xxviii). Clarke dengan sering

mengarahkan pada penulis posmodern dan posstruktural yaitu Michael Foucalt (1972) untuk

membantu mengarahkan wacana teori dasar.

Jenis Studi Teori Dasar

Terdapat dua pendekatan populer terhadap teori dasar yaitu prosedur sistematisnya Strauss dan

Corbin (1990, 1998) dan pendekatan kontruktifisnya Charmaz (2005, 2006). Dalam keadaan yang

lebih sistematis lagi, adalah prosedur analitisnya Strauss dan Corbin (1990, 1998), para investigator

mencari secara sistematis cara untuk mengembangkan sebuah teori yang menjelaskan proses,

tindakan atau interaksi pada sebuah topik (misalnya, proses pengembangan sebuah kurikulum,

keuntungan tarapetik dari berbagi hasil tes psikologi dengan klien).

Para peneliti secara khusus melaksanakan 20 hingga 30 wawancara berdasarkan pada

sejumlah kunjungan ke lapangan penelitian untuk mengumpulkan data wawancara untuk

menjenuhkan pengelompokkan (atau untuk menemukan informasi yang dapat melanjutkan

penambahan informasi kepada mereka hingga tidak ada lagi yang dapat ditemukan). Sebuah

pengelompokkan menyajikan sebuah unit informasi yang berisi peristiwa, kejadian, dan sejumlah

peristiwa (Strauss dan Corbin, 1990). Para peneliti juga mengumpulkan dan menganalisa

pengamatan dan dokumen, tetapi bentuk data ini seringkali tidak digunakan. Ketika para peneliti

mengumpulkan data, ia mulai menganalisa. Kesan penulis mengenai pengumpulan data dalam studi

teori dasar adalah sebuah proses zigzag, keluar lapangan penelitian untuk mengumpulkan data, terus

ke kantor untuk menganalisa data, kembali lagi ke lapangan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi

data, ke kantor lagi untuk melakukan analisa dan demikian seterusnya. Para partisipan yang

18

diwawancarai secara teoritis dipilih (disebut dengan istilah sampling teoritis) untuk membantu para

peneliti bagi menemukan sebentuk teori. Seberapa banyak lintasan yang dibuat seseorang

bergantung pada kategori apakah informasi menjadi jenuh dan apakah sebuah teori dielaborasi

dengan semua kerumitannya. Proses ini mengambil informasi yang berasal dari pengumpulan dan

pembandingan datanya untuk memunculkan kategori yang disebut data constant comparative/

perbandingan tetap analisis data.

Para peneliti mulai dengan membuka kode, pengkodean data kategori informasi utama. Dari

pengkodean ini, pengkodean poros memunculkan dimana para peneliti mengidentifikasi sebuah

kategori pengkodean terbuka untuk fokus pada (disebut Inti fenomena) dan kemudian kembali ke

data dan membuat kategori sekitar fenomena inti ini. Strauss dan Corbin (1990) mensyaratkan jenis

kategori harus mengidentifikasi sekitar fenomena inti. Ia terdiri dari kondisi penyebab (faktor-faktor

apa yang menimbulkan fenomena inti), strategi (tindakan yang diambil dalam merespon fenomena

inti), kontekstual dan kondisi campurtangan (faktor situasional khusus dan luas yang memengaruhi

strategi) dan konsekensi (hasil dari penggunaan strategi). Kategori ini terkait dan mengitari

fenomena inti dalam sebuah model visual yang disebut paradigma pengkodean secara poros.

Langkah akhir, kemudian adalah pengkodean selektif, dimana para peneliti mengambil model dan

mengembangkan proposisi (atau hipotesa) yang menghubungkan kategori dalam sebuah model atau

mengumpulkan sebuah kisah yang mengambarkan kedekatan kategori dalam sebuah model. Teori

ini, dikembangkan oleh para peneliti kemudian diartikulasikan ke arah akhir sebuah studi dan dapat

mengasumsikan sejumlah bentuk seperti sebuah pernyataan narasi (Strauss dan Corbin, 1990),

sebuah gambar visual (Morrow dan Smith, 1995) atau sebuah rangkaian hipotesa atau proposisi

(Creswell dan Brown, 1992).

Dalam diskusi mereka mengenai teori dasar, Strauss dan Corbin (1998) menggunakan

sebuah model yang selangkah lebih maju untuk mengembangkan sebuah matriks kondisional.

Mereka mengembangkan matrik kondisional sebagai sebuah saluran pengkodean untuk membantu

19

para peneliti membuat hubungan antara kondisi makro dan kondisi mikro yang memengaruhi

fenomena. Matriks ini adalah sebuah serangkaian lingkaran pusat pengembangan dengan label yang

dibangun sisi luar dari individu, kelompok dan organisasi terhadap komunitas, wilayah, negara dan

dunia global. Dalam pengalaman penulis, matrik ini jarang digunakan dalam penelitian teori dasar

dan para peneliti secara khusus mengakhiri studi mereka dengan sebuah pengembangan teori dalam

pengkodean selektif, sebuah teori yang mungkin dilihat sebagai sebuah substansi, teori tingkat

rendah dibanding sebuah abstrak, teori dasar (misalnya, lihat Creswell dan Brown, 1992). Meskipun

membuat hubungan antara teori subtantif dan implikasinya yang luas bagi sebuah komunitas,

negara, dan dunia dalam matriks kondisional adalah hal penting (misalnya, sebuah model alur kerja

di sebuah rumah sakit, kekurangan sarung tangan dan garis panduan nasional dalam kasus AIDS

mungkin seluruhnya terkait; lihat contoh ini seperti yang disediakan oleh Strauss dan Corbin, 1998).

Para pakar teori dasar jarang memiliki data, waktu atau sumber untuk disertakan dalam matrik

kondisional.

Sebuah varian kedua dari teori dasar ditemukan dalam sebuah tulisan pakar kontruktifis,

Charmaz (lihat Charmaz, 2005, 2006). Daripada mengambil sebuah studi dari sebuah proses

tunggal atau kategori inti seperti dalam pendekatan Strauss dan Corbin (1998), Charmaz

mendukung sebuah perspektif kontruktifis sosial yang menyertakan penekanan ragam dunia lokal,

realitas ganda dan kompleksitas dunia khusus, pandangan dan tindakan. Teori dasar kontruktifis

menurut pandangan Charmaz (2006) menggariskan secara jujur dalam pendekatan interpretif

terhadap penelitian dengan garis panduan yang fleksibel, fokus pada pengembangan teori yang

bergantung pada pandangan peneliti, mempelajari tentang pengalaman yang dilekatkan di dalam,

jaringan tersembunyi, situasi dan hubungan dan membuat hirarki yang dapat dilihat terhadap

kekuasaan, komunikasi dan kesempatan. Charmaz menempatkan lebih banyak penekanan pada

pandangan, nilai, keyakinan, perasaan, asumsi dan ideokogi individu dibanding pada metode

penelitian, meskipun ia tidak menggambarkan praktik-praktik pengumpulan data yang banyak,

20

pengkodean data, proses memo dan penggunaan sampel teoritis (Charmaz, 2006). Ia menyarankan

bahwa jargon atau istilah yang rumit, diagram, pemetaan konsep, dan pendekatan sistematik (seperti

Strauss dan Corbin, 1990) dikurangi dari teori dasar dan mewakili sebuah usaha untuk memeroleh

kekuatan dalam penggunaannya. Ia juga mendukung penggunaan kode aktif seperti frasa kalimat

berbasis gerund seperti recasting life. Selain itu bagi Charmaz sebuah prosedur teori dasar tidak

mengurangi peran seorang peneliti dalam sebuah proses. Para peneliti membuat keputusan

mengenai kategori melalui proses, membawa pertanyaan-pertanyaa yang diajukan terhadap data dan

mengembangkan nilai-nilai individu, pengalaman dan prioritas. Sejumlah kesimpulan yang

dibangun oleh ahli teori dasar menurut Charmaz (2005) antara lain sugesti, ketidaksempurnaan dan

tidak meyakinkan.

Prosedur Pelaksanaan Penelitian Teori Dasar

Meski pendekatan interpretif Charmaz memiliki banyak elemen menarik (misalnya reflektifitas,

menjadi fleksibel dalam struktur, seperti didiskusikan dalam bab 2), penulis menyandarkan pada

pandangan Strauss dan Corbin (1990, 1998) untuk menggambarkan prosedur teori dasar karena

pendekatan sistematik mereka membantu para individu mempelajari tentang dan menerapkan

penelitian teori dasar.

-Para peneliti perlu memulai dengan menentukan jika teori dasar adalah sangat cocok untuk studi

permasalahan penelitiannya. Teori dasar merupakan sebuah disain bagus untuk digunakan ketika

sebuah teori tidak tersedia untuk menjelaskan sebuah proses. Literatur mungkin memiliki

ketersediaan model tetapi ia dibangun dan diuji pada populasi dan sampel lain daripada hal tersebut

merupakan kecendrungan terhadap peneliti kualitatif. Juga teori tersebut mungkin wujud namun ia

tidak sempurna karena ia tidak diarahkan secara potensial memiliki variabel bernilai kecendrungan

untuk para peneliti. Pada sisi praktis, sebuah teori mungkin perlu dijelaskan bagaimana orang

mengalami sebuah fenomena/gejala dan teori dasar dibangun oleh para peneliti yang akan

21

menyediakan sejumlah kerangka kerja umum.

-Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan penyelidik terhadap partisipan akan fokus dalam

memahami bagaimana individu mengalami proses dan mengidentifiikasi langkah-langkah dalam

proses (apa itu proses? Bagaimana hal itu terungkap?) setelah awalnya mengemukakan

permasalahan-permasalahan ini, para peneliti kemudian kembali kepada partisipan dan mengajukan

pertanyaan lebih rinci yang membantu untuk membentuk fase pengkodean poros, pertanyaan

seperti: apa titik pusat proses? (fenomena inti). Pengaruh dan dampak apa yang terjadi pada

fenomena ini? (kondisi penyebab); strategi apa yang disertakan selama proses berlangsung?

(strategi); apa efek yang terjadi? (konsekuensi)

-Pertanyaan-pertanyaan ini secara khusus diajukan dalam wawancara meskipun bentuk data lain

juga dikumpulkan seperti pengamatan, dokumentasi dan bahan-bahan audiovisual. Titik poinya

adalah mengumpulkan informasi yang cukup untuk secara penuh membangun (kejenuhan) sebuah

model. Hal ini mungkin mencakup 20 hingga 30 wawancara atau 50 hingga 60 wawancara.

-Analisis data berlangsung dalam tahapan-tahapan. Dalam pengkodean terbuka, para peneliti

membentuk kategori informasi mengenai fenomena yang sedang dipelajari oleh segmentasi

informasi. Dalam setiap kategori, para investigator menemukan sejumlah properti (sifat) atau

subkategori dan mencari data untuk mengukur atau menunjukkan kemungkinan-kemungkinan

ekstrim dalam sebuah kesinambungan properti (sifat).

-Dalam pengkodean poros, para investigator mengumpulkan dalam banyak cara setelah pengkodean

terbuka. Penyajian ini menggunakan sebuah paradigma pengkodean atau diagram logis (misalnya,

model visual) dimana para peneliti mengidentifikasi sebuah fenomena pusat (misalnya kategori

pusat mengenai fenomena), menyelidiki kondisi-kondisi penyebab (misalnya pengelompokan

kondisi-kondisi yang memengaruhi fenomena), strategi khusus (misalnya tindakan atau interaksi

yang merupakan hasil dari fenomena pusat) mengenali konteks dan mengintervensi kondisi-kondisi

(misalnya, kondisi luas dan sempit yang memengaruhi strategi itu) dan menjelaskan konsekuensi-

22

konsekuensi (misalnya hasil dari strategi) untuk fenomena ini.

-Dalam pengkodean selektif, para peneliti mungkin menulis sebuah garis cerita yang

menghubungkan kategori-kategori. Secara pilihan, proposisi atau hipotesis secara khusus

menyatakan prediksi keterkaitan

-Akhirnya, para peneliti mungkin mengembangkan dan melukiskan secara visual sebuah matrik

kondisi yang menguraikan aspek sosial, sejarah dan kondisi yang memengaruhi fenomena pusat. Ia

merupakan sebuah langkah pilihan dan sebuah hal dimana penyelidik kualitatif berfikir tentang

model dari perspektif terkecil sampai terluas.

-Hasil dari proses pengumpulan data da analisis ini adalah sebuah teori, teori tingkat subtansi,

diitulis oleh para peneliti dekat dengansebuah permaslahan khusus atau populasi masyarakat. Teori

muncul dengan bantuan dari proses pememoan, sebuah proses dimana para peneliti menulis

gagasan tentang pengembangan teori melalui sebuah proses terbuka, poros dan pengkodean selektif.

Teori tingkat subtansi mungkin diuji mengikuti verifikasi empiriknya dengan data kuantitatif untuk

membatasi jika ia dapat diterapkan ke populasi dan sampel (lihat prosedur disain metode campuran,

Creswell dan Plano Clark, 2007), secara alternatif, studi mungkin berakhir pada poin ini dengan

penerapan sebuah teori sebagai tujuan penelitian.

Tantangan-Tantangan

Sebuah studi teori dasar menantang para peneliti untuk menyertakan alasan-alasan. Para

investigator perlu mengatur kesamping, sebanyak mungkin, gagasan-gagasan teoritis atau pikiran

dengan demikian analitis teori subtantif dapat muncul. Meskipun mengembang, sifat alami induksi

dari bentuk penyelidikan kualitatif ini, para peneliti harus menyadari bahwa ini adalah sebuah

pendekatan sistematis terhadapa penelitian dengan langkah-langkah khusus dalam analisis data, bila

dilihat dari perspektif pendekatan dari Strauss dan Corbin (1990). Para peneliti menghadapi

kesulitan penentuan ketika kategori-kategori mengalami kejenuhan atau ketika sebuah teori telah

23

rinci secara memadai. Sebuah strategi yang mungkin dapat digunakan untuk bergerak ke arah

kejenuhan adalah menggunakan sampel diskriminasi, dimana para peneliti mengumpulkan

informasi tambahan dari para individu, mirip dengan orang yang awalnya diwawancarai untuk

menentukan jika sebuah teori memegang kebenaran bagi para partispan ini. Para peneliti perlu

menyadari bahwa hasil utama dari studi ini adalah sebuah teori dengan komponen khusus; sebuah

fenomena pusat, kondisi penyebab, strategi, kondisi, konteks dan konsekuensi. Semua ini

memastikan kategori informasi dalam teori, dengan demikian pendekatan Strauss dan Corbin (1990,

1998) mungkin tidak memiliki fleksibilitas yang diingini sejumlah peneliti kualitatif. Dalam kasus

ini, pendekatan Charmaz (2006), yang kurang terstruktur dan lebih mudah diadaptasi mungkin

dapat digunakan.

Penelitian Etnografi

Definisi dan Latar Belakang

Meski para peneliti teori dasar membangun sebuah teori dari pengujian banyak individu yang

berbagi dalam proses tindakan atau interaksi yang sama, studi partisipasi sepertinya tidak dapat

ditempatkan pada tempat yang sama atau berinteraksi dengan begitu sering sebagai landasan yang

mereka bangun, berbagi pola perilaku, keyakinan dan bahasa. Seorang etnograper tertarik dalam

pemeriksaan pola berbagi ini dan sebuah unit analisis yang lebih besar dari 20 para individu yang

dilibatkan dalam sebuah studi teori dasar. Etnografi berfokus pada sebuah kelompok budaya

sepenuhnya, diakui meski terkadang kelompok budaya ini mungkin sebuah komunitas (sejumlah

guru, secuil pekerja sosial) tetapi secara khusus adalah luas dan melibatkan banyak orang yang

saling berinteraksi sepanjang waktu (guru dalam sebuah sekolah secara keseluruhan, atau sebuah

komunitas kelompok kerja sosial). Etnografi merupakan sebuah disain kualitatif dimana para

peneliti menggambarkan dan menafsirkan pola-pola berbagi dan mempelajari bentuk nilai-nilai,

perilaku, keyakinan dan bahasa darii sebuah kelompok budaya berbagi (Harris, 1968). Sebagai dua

24

bentuk dari proses dan hasil penelitian (Agar, 1980), etnografi merupakan sebuah cara mempelajari

sebuah kelompok budaya berbagi juga pada akhirnya yang akan menulis produk dari penelitian

tersebut. Sebagai proses, egtnografi melibatkan pengamatan mendalam terhadap kelompok, paling

sering melalui pengamatan partisipan, dimana para peneliti membenamkan diri dari waktu ke waktu

tinggal bersama masyarakat, mengamati dan mewawancarai kelompok partisipan. Para pelaku

etnografi mempelajari makna perilaku, bahasa dan interaksi di antara anggota kelompok budaya

berbagi.

Etnografi dimulai dalam studi perbandingan antropologi budaya yang dilakukan pada awal

abad 20 seperti Boas, Malinowski, Radcliffe-Brown dan Mead. Walaupun para peneliti ini pada

awalnya mengambil disiplin ilmu alam sebagai model untuk penelitian, mereka membedakan dari

penggunaan pendekatan saintifik tradisional melalui pengumpulan (data) dari tangan pertama

(pelaku langsung) yang tertuju pada budaya primitif yang ada (Atkinson dan Hammersley, 1994).

Pada tahun 1920 an dan 1930 an, ahli sosiologi seperti Park, Dewey dan Mead di Universitas

Chicago mengadaptasi metodologi di bidang antropologi terhadap studi kelompok budaya di

Amerika Serikat (Bogdan dan Biklen, 1992). Belakangan ini, pendekatan saintifik terhadap

etnografi telah meluas meliputi mazhab atau subtipe etnografi dengan tujuan dan orientasi teoritis

yang berbeda, seperti fungsionalisme struktural, interaksionalisme simbolis, antropologi kognitif

dan budaya, feminisme, Marsisme, etnometodologi, teori kritis, studi budaya dan posmodernisme

(Atkinson dan Hammersley, 1994). Hal ini telah mengarahkan pada pengurangan sifat ortodok

dalam etnografi dan memiliki hasil dalam pendekatan pluralistik. Banyak buku-buku istimewa yang

tersedia terkait etnografi, termasuk karya Van Mannen (1988) ‘Ragam Wajah Etnografi; Wolcott

(1999) dalam karya Cara Memahami Etnografi; LeCompte dan Schensul (1999) dalam Prosedur

Etnografi yang disajikan dalam bentuk buku ringkasan; Atkinson, Coffey dan Dealmont (2003)

dalam Praktik Etnografi; dan Madison (2005) dalan Etnografi Kritis.

25

Jenis Etnografi

Terdapat ragam bentuk etnografi, seperti etnografi konfessional, sejarah hidup, autobiografi,

etnografi feminis, novel etnografi dan etnografi visual yang dijumpai dalam fotografi dan video dan

media elektronik (Denzin, 1998a; LeCompte, Millroy dan Preissle, 1992; Pink, 2001; Van Mannen,

1988). Dua bentuk populer etnografi yang akan ditekankan di sini adalah etnografi realis dan

etnografi kritis.

Etnografi realis merupakan pendekatan tradisional yang digunakan oleh para antropologi

budaya. Etnografi realis dicirikan oleh Van Mannen (1988), ia merefleksikan sebuah perkembangan

khusus yang dibawa oleh para peneliti ke arah individu yang sedang distudi. Etnografi realis

merupakan sekumpulan objek situasi, secara khusus ditulis dalam titik orang ketiga mengenai

pandangan dan pelaporan secara objektif terkait dengan informasi yang dipelajari dari partisipan

dalam sebuah lapangan penelitian. Dalam pendekatan etnografi ini, para etnografi realis

menceritakan studi dalam bentuk orang ketiga dengan pengungkapan yang tidak memihak dan

melaporkan mengenai apa yang diamati atau didengar dari partisipan. Para peneliti etnografi tinggal

dalam latarbelakang selaku pelapor yang serbatahu tentang fakta-fakta. Para penganut realis juga

melaporkan data objek dalam sebuah moodel yang terukur yang tidak tercemari oleh persangkaan,

tujuan dan pendapat pribadi. Para peneliti mungkin menyediakan rincian biasa mengenai kehidupan

sehari-hari di antara orang-orang yang distudi. Para penganut etnografi juga menggunakan kategori

standar untuk deskripsi budaya (misalnya, kehidupan keluarga, jaringan komunikasi, kehidupan

kerja, jaringan sosial, sistem status). Para penganut etnografi memproduksi pandangan-pendangan

partisipan melalui ungkapan-ungkapan terpilih secara akrab dan memiliki kata pamungkas dalam

hal bagaimana sebuah budaya ditafsirkan dan disajikan.

Bagi kebanyakan peneliti, para penganut etnografi saat ini menggunakan pendekatan kritis

(Carspecken dan Apple, 1992; Madison, 2005; Thomas, 1993) dengan menyertakan dalam

penelitian sebuah perspektif advokasi. Pendekatan ini merupakan sebuah respon terhadap

26

masyarakat saat ini, dimana sistem kekuasaan, martabat, kepemilikan hak istimewa dan para

penguasa melayani dengan maksud memarjinalkan (meminggirkan) orang yang berbeda kelas, ras

dan gender. Etnografi kritis merupakan sebuah jenis penelitian etnografi dimana para pengarang

membela terhadap emansipasi kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat (Thomas, 1993).

Secara khusus para peneliti kritis merupakan para individu yang berpikiran politis, yang mencari

melalui penelitian mereka untuk menyuarakan keadaan dominasi dan ketidaksetaraan (Carspecken

dan Apple, 1992). Sebagai contoh, etnografi mungkin memelajari institusi sekolah yang berpotensi

menyediakan sebuah hak istimewa bagi tipe siswa tertentu atau praktik bimbingan yang melayani

pemberian kebutuhan kelompok–kelompok yang terabaikan. Komponen utama sebuah etnografi

kritis meliputi sebuah orientasi yang memuat nilai-nilai khusus, pemberdayaan masyarakat dengan

memberikan mereka wewenang lebih, menentang keadaan statis dan mengarahkan perhatian

tentang kontrol dan kekuasaan. Para peneliti etnografi akan mempelajari persoalan-persoalan

kekuasaan, pemberdayaan, ketidakmerataan, ketidakadilan, dominasi, ketertekanan, hegemoni dan

pembohongan-pengorbanan.

Prosedur Pelaksanaan Etnografi

Sama halnya dengan penyelidikan kualitatif, tidak ada metode tunggal untuk melaksanakan

penelitian di bidang etnografi. Meski tulisan-tulisan saat ini menyediakan lebih banyak panduan

terhadap pendekatan ini dari yang pernah ada (sebagai contoh, lihat tinjauan istimewa yang

ditemukan dalam karya Wolcott, 1999), yang mengambil pendekatan dengan cara menyertakan

elemen dari kedua pendekatan kritis dan etnografinya penganut aliran realis. Langkah-langkah yang

akan digunakan penulis untuk melaksanakan penelitian etnografi yaitu sebagai berikut:

-Menentukan jika etnografi merupakan disain yang paling tepat yang digunakan untuk studi

permasalahan penelitian. Pendekatan etnografi dikatakan tepat digunakan bila kebutuhan untuk

mendeskripsikan bagaimana sebuah aktivitas/kerja kelompok budaya dan menyelidiki keyakinan,

27

bahasa, perilaku dan sejumlah persoalan seperti kekuasaan, perlawanan dan dominasi. Sebuah

literatur mungkin tidak memadai secara tepat mengetahui bagaimana sebuah kelompok bekerja

karena sebuah kelompok bukanlah sebuah arus utama, masyarakat mungkin tidak akrab dengan

kelompok tertentu, atau caranya demikian jauh berbeda yang (dengan demikian) para pembaca

mungkin saja tidak mengenali kelompok tersebut.

-Mengenali dan menentukan sebuah kelompok budaya berbagi terhadap studi. Secara khas,

kelompok ini merupakan sebuah kelompok yang tinggal bersama untuk jangka waktu yang lama,

dengan demikian mereka berbagi bahasa, pola perilaku, dan sikap yang melebur dalam sebuah pola

yang cerdas. Kelompok ini mungkin juga sebuah komunitas yang sedang mengalami proses

peminggiran oleh masyarakat. Karena para peneliti etnografi menghabiskan waktu berbincang

dengan dan mengamati kelompok ini, mungkin perlu sebuah akses menemukan satu atau lebih

individu dalam sebuah kelompok orang yang akan mengizinkan para peneliti (masuk dalam

kelompok tersebut, apakah ia seorang juru kunci, informan utama atau seorang partisipan).

-Memilih permasalahan atau tema budaya untuk memelajari tentang keadaan sebuah kelompok

tertentu. Kegiatan ini meliputi analisis kelompok budaya berbagi. Tema-tema tersebut mungkin

menyertakan sejumlah topik seperti enkultrasi, sosialisasi, pembelajaran, pengertian, dominasi,

ketidaksamaan atau perkembangan anak atau dewasa (LeCompte, Millroy dan Preissle, 1992).

Seperti didiskusikan oleh Hammersley dan Atkinson (1995), Wolcott (1987, 1994b), dan Fetterman

(1998), para peneliti etnografi memulai studi dengan menyelidiki masyarakat dalam interaksi pada

latar normal dengan berusaha melihat pola-pola yang dapat ditembus seperti daur kehidupan,

peristiwa, dan tema budaya. Budaya merupakan sebuah istilah yang tidak berbentuk, bukan sesuatu

hal tentang kebohongan (Wolcott, 1987, hlm. 41), tetapi merupakan sesuatu perlengkapan khusus

para peneliti terhadap kelompok ketika mencari pola dunia sosial mereka. Hak tersebut disimpulkan

dari ucapan dan tindakan anggota-anggota kelompok, dan itu ditujukan kepada kelompok ini oleh

para peneliti. Ia terdiri dari apa yang dilakukan oleh masyarakat (perilaku), apa yang mereka

28

katakan (bahasa), tegangan potensial antara apa yang mereka lakukan dengan apa yang seharusnya

mereka lakukan, apa yang mereka pakai dan gunakan seperti sejumlah perkakas (Spradley, 1980).

Sejumlah tema yang bermacam-macam seperti yang digambarkan dalam kamus Konsep dalam

Antropologi Budaya karya Winthrop (1991). Fatterman (1998) membicarakan bagaimana para

peneliti etnografi menggambarkan sebuah perspektif yang menyeluruh tentang sejarah kelompok,

agama, politik, ekonomi dan lingkungan. Dalam deskripsi ini, konsep budaya seperti pertalian

keluarga, struktur politik dan hubungan sosial atau fungsi di antara anggota kelompok mungkin

dapat digambarkan.

-Untuk memelajari konsep budaya, menentukan jenis etnografi yang mana untuk digunakan.

Mungkin tentang bagaimana sebuah kelompok bekerja perlu digambarkan, atau etnografi kritis

mungkin perlu menyingkap permasalahan seperti kekuasaan, hegemoni, dan pembelaan terhadap

sebuah kelompok tertentu. Seorang etnografi kritis, sebagai contoh, mungkin memerhatikan sebuah

ketimpangan dalam masyarakat atau sejumlah bagiannya, menggunakan penelitian untuk

melakukan pembelaan dan melakukan perubahan, dan khusus menyingkap sebuah permasalahan,

seperti ketimpangan, dominasi, tekanan atau ketakberdayaan.

-Mengumpulkan informasi dimana sebuah kelompok bekerja dan tinggal. Ini disebut kerja

lapangan (Wolcott, 1999). Pengumpulan tipe informasi secara khas diperlukan dalam sebuah

etnografi terkait dengan lokasi penelitian, menghargai kehidupan sehari-hari para individu di lokasi

dan mengumpulkan ragam materi yang luas. Permasalahan lapangan mengenai rasa menghormati,

hal timbal balik, memutuskan siapa pemilik data, dan orang lain yang menjadi pusat etnografi. Para

peneliti etnografi membawa sebuah kepekaan terhadap permasalahan pekerjaan lapangan

(Hammersley dan Atkinson, 1995), seperti menghadiri bagaimana memeroleh akses, memberikan

umpan balik atau timbal balik terhadap para partisipan dan menjadi lebih santun dalam semua aspek

penelitian seperti dalam menampilkan diri mereka sendiri dan studi. LeCompte dan Schensul (1999)

mengelola tipe data etnografi ke dalam observasi, tes dan pengukuran, survey, wawancara, analisis

29

isi, metode pemunculan, metode audiovisual, pemetaan ruang dan jaringan penelitian. Dari banyak

sumber data yang dikumpulkan, para etnografi menganalisis data untuk menggambarkan kelompok

budaya berbagi, tema yang muncul dari kelompok dan keseluruhan penafsiran (Wolcott, 1994b).

Para peneliti memulai dengan mengumpulkan sebuah gambaran rinci kelompok budaya berbagi,

fokus pada kejadian tunggal atau sejumlah aktivitas atau berada dalam kelompok dalam periode

waktu yang cukup lama. Para etnografi bergerak kepada analisis tema pola atau topik yang

memberitahukan bagaimana kehidupan dan pekerjaan kelompok budaya.

-Menempa serangkaian kegiatan atau pola-pola sebagai produk akhir analisis ini. Produk akhir

bersifat keseluruhan potret budaya dari kelompok yang tergabung dalam pandangan para partisipan

(emik) serupa dengan pandangan para peneliti (etis). Hal tersebut mungkin saja mendukung

kepentingan kelompok atau menyarankan perubahan-perubahan dalam masyarakat untuk

mengarahkan kepentingan kelompok. Sebagai hasilnya para peneliti memelajari tentang kelompok

budaya berbagi dari kedua belah pihak baik para partisipan maupun penafsiran para peneliti. Hasil-

hasil lain mungkin lebih berbentuk kinerja/ penampilan, seperti produksi teater, permainan atau

puisi.

Tantangan

Penelitian menantang penggunaan alasan-alasan lebih lanjut. Para peneliti perlu memiliki sebuah

landasan dalam antropologi budaya dan pemaknaan sebuah sistem sosial budaya juga konsep-

konsep yang secara khusus diselidiki oleh para peneliti. Waktu yang digunakan untuk

mengumpulkan data bersifat luas, meliputi perpanjangan waktu tinggal di lapangan. Dalam banyak

kasus penelitian etnografi, para peneliti narasi biasanya menulis dalam sebuah bentuk literatur,

hampir-hampir menyerupai pendekatan penuturan sejarah, sebuah pendekatan yang mungkin

membatasi ruang para pendengar untuk sebuah pekerjaan dan mungkin saja menantang para

pengarang yang telah terbiasa dengan pendekatan tradisional dalam menulis penelitian ilmu-ilmu

30

sosial dan kemanusiaan. Terdapat sejumlah kemungkinan untuk para peneliti, untuk lebih menjadi

alami lagi dan menjadi tidak mungkin melengkapi studi atau bersepakat dalam studi. Akan tetapi

sebuah isu dalam sebuah aturan yang rumit dari sejumlah persoalan-persoalan kerja lapangan

menghadapkan para peneliti etnografi yang berusaha masuk ke dalam sebuah kelompok budaya

atau sistem yang belum akrab. Sikap peka terhadap kebutuhan individu yang distudi adalah hal

khusus yang penting dan para peneliti perlu menyatakan dampaknya pada masyarakat dan tempat

yang sedang distudi.

Penelitian Studi Kasus

Definisi dan Latar Belakang

Keseluruhan kelompok budaya berbagi dalam etnografi mungkin dapat dipertimbangkan sebagai

sebuah kasus, tetapi yang dimaksudkan etnografi adalah untuk menentukan bagaimana sebuah

budaya, dibanding memahami sebuah permasalahan atau persoalan menggunakan kasus tertentu

sebagai sebuah gambaran khusus. Kemudian, penelitian studi kasus mencakup studi mengenai

sebuah persoalan yang diselidiki melalui satu atau lebih kasus dalam sebuah sistem yang berbatas

(misalnya, sebuah latar, sebuah konteks). Meskipun Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian

studi kasus bukanlah sebuah metodologi akan tetapi sebuah pilihan mengenai apa yang sedang

distudi (misalnya, sebuah kasus dalam sebuah sistem yang berbatas), sementara pakar teori lain

menyajikan studi kasus sebagai sebuah strategi penyelidikan, sebuah metodologi atau sebuah

strategi penelitian yang komprehensif (Denzin dan Lincoln, 2005, Merriam, 1998, Yin, 2003).

Penulis lebih memilih melihat studi kasus sebagai sebuah metodologi, sebuah jenis rancangan

dalam penelitian kualitatif, atau sebuah objek studi, sama seperti sebuah hasil penyelidikan.

Penelitian studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang mana para peneliti memeriksa sebuah

sistem yang berbatas (sebuah kasus) atau sistem ganda berbatas (banyak kasus) secara rinci, dalam

pengumpulan data yang mendalam meliputi sumber informasi ganda (misalnya, pengamatan,

31

wawancara, materi audiovisual, dokumen dan laporan) dan melaporkan sebuah deskripsi kasus dan

sebuah kasus berbasis tema, sebagai contoh, sejumlah program-program (sebuah studi multi situs/

lapangan) atau sebuah program tunggal (studi di lapangan) mungkin dapat dipilih sebagai studi.

Pendekatan studi kasus telah akrab bagi para ilmuan sosial karena kepopularitasannya di bidang

psikologi (Freud), kesehatan (analisis kasus sebuah masalah), hukum, dan ilmu-ilmu politik

(laporan kasus). Penelitian studi kasus memiliki sejarah panjang dan khusus ke sejunlah disiplin

ilmu. Hamel, Dufour dan Fortin (1993) melacak asal muasal studi kasus ilmu-ilmu sosial modern

melalui sosiologi dan antropologi. Mereka mengutip karya antropologi milik Malinowski tentang

Pulau-pulau Trobriand, karya sosiologis pengarang Perancis tentang studi keluarga, studi kasus

Departemen Sosiologi Universitas Chicago dari tahun 1920 an dan 1930 an dan tahun 1950 an

(misalnya, Thomas dan Znanieck, 1958 studi mengenai Petani Sopan di Amerika dan Eopa) sebagai

pengantar penelitian studi kasus. Saat ini, penulis studi kasus memiliki sebuah aturan teks dan

pendekatan luas yang dapat dipilih. Yin (2003), sebagai contoh kedua penelitian baik pendekatan

kuantitatif maupun kualitatif pengembangan studi kasus dan membicarakan eksplanatori,

eksploratori dan studi kasus kualitatif deskriptif. Merriam (1998) mendukung pendekatan umum

terhadap studi kasus kualitatif dalam bidang pendidikan. Stake (1995) secara sistematis menyusun

sejumlah prosedur untuk penelitian studi kasus dan mengutipnya secara ekstensif dalam contoh

karyanya Harper School. Buku karya Stake yang terakhir ini menyajikan sebuah analisis studi kasus

ganda sebuah pendekatan langkah demi langkah dan menyediakan gambaran yang memadai tentang

studi kasus ganda di Ukraina, Slovakia, dan Rumania (Stake, 2006).

Karakteristik Studi Kasus

Karakteristik studi kasus kualitatif ditentukan oleh ukuran kasus yang berbatas, seperti apakah

sebuah kasus mencakup individu tunggal, beberapa individu, sekelompok, program, atau sebuah

32

aktivitas. Diamping itu dikhususkan juga dalam istilah-istilah yang diarahkan dalam analisis kasus.

Terdapat tiga varian yangg ada dalam istilah-istilah yang diarahkan: studi kasus instrumen tunggal,

studi kasus ganda atau gabungan dan studi kasus intrinsik (hakiki). Dalam studi kasus instrumental

tunggal (Stake, 1995), para peneliti fokus pada sebuah masalah atau perhatian sekali lagi dipilih,

tetapi para peneliti memilih studi kasus ganda untuk menggambarkan sebuah permasalahan. Para

peneliti mungkin memilih untuk studi sejumlah program yang berasal dari sejumlah situs (lokasi)

penelitian atau program rangkap dalam sebuah situs (lokasi) tunggal. Seringkali para penyelidik,

dengan maksud tertentu memilih kasus rangkap untuk menunjukkan perspektif yang berbeda dalam

sebuah permasalahan. Yin (2003) menyarankan bahwa disain studi kasus rangkap digunakan dalam

aspek logis peniruan, dimana para penyelidik meniru prosedur untuk masing-masing kasus. Sebagai

aturan umum, para peneliti kualitatif enggan untuk melakukan jeneralisasi dari satu kasus ke kasus

lain karena konteks kasus yang berbeda. Untuk jeneralisasi terbaik, bagaimanapun, para peneliti

perlu memilih kasus yang representatif untuk masuk dalam studi kualitatif. Kekhususan terakhir

disain studi kasus adalah sebuah studi kasus yang hakiki dimana fokusnya pada kasus itu sendiri

(misalnya, evaluasi program atau studi tentang siswa yang memiliki kesulitan belajar, lihat Stake,

1995) karena sebuah kasus menyajikan sebuah situasi yang tidak biasa/ asing dan unik. Ini

menyerupai fokus pada penelitian narasi, tetapi prosedur analisis studi kasus mengenai deskripsi

rinci kasus berada dalam konteksnya atau sekelilingnya masih tetap berlaku.

Prosedur Pelaksanaan Studi Kasus

Sejumlah prosedur juga tersedia untuk pelaksanaan studi kasus (lihat Merriam, 1998, Stake, 1995,

Yin, 2003). Diskusi ini akan disandarkan secara khusus berdasar pada pendekatan pelaksanaan studi

kasus karya Stake (1995).

-Pertama, para peneliti menentukan terlebih dahulu jika pendekatan studi kasus merupakan

pendekatan yang paling tepat diterapkan dalam permasalahan penelitian. Sebuah studi kasus sebuah

33

pendekatan yang baik ketika para penyelidik secara jelas dapat mengenali kasus-kasus dengan

batasan-batasannya dan menyiapkan sebuah pemahaman yang mendalam terhadap kasus atau

sebuah perbandingan sejumlah kasus.

-Lebih jauh, para peneliti perlu mengenali kasus atau sejumlah kasus mereka. Kasus-kasus ini

mungkin meliputi seorang individu, sejumlah individu, sebuah program, sebuah peristiwa, atau

sebuah kegiatan. Dalam pelaksanaan penelitian studi kasus, penulis (Creswell) merekomendasikan

bahwa penyelidik pertamakali mempertimbangkan apa hal khusus dari sebuah studi kasus yang

paling menjanjikan dan bermanfaat. Sebuah kasus dapat berbentuk tunggal atau gabungan, bersitus

rangkap atau bersitus hakiki, fokus pada sebuah atau permasalahan (hakiki, isntrumental) (Stake,

1995, Yin, 2003). Dalam hal pemilihan kasus mana terhadap studi, sebuah aturan kemungkinan

untuk tersedianya sampel purposif sudah tersedia. Penulis lebih suka memilih kasus-kasus yang

menunjukkan perspektif beragam pada sebuah permasalahan, proses atau peristiwa yang ingin

dipotret penulis (disebut sampel maksimal purposif, Creswell, 2005), tetapi penulis juga mungkin

memilih kasus-kasus umum, kasus-kasus yang dapat diakses, atau kasus-kasus yang tidak biasa.

-Pengumpulan data dalam peneltian studi kasus secara khusus bersifat mendalam, menggambarkan

sumber informasi yang rangkap, seperti pengamatan, wawancara, dokumentasi dan materi

audiovisual. Sebagai contoh, Yin (2003) merekomendasikan enam (6) jenis informasi untuk

dikumpulkan; dokumen, catatan arsip, wawancara, pengamatan langsung, pengamatan partisipan

dan perlengkapan fisik.

-Jenis analisis data ini dapat berupa sebuah analisis menyeluruh terhadap keseluruhan kasus, atau

sebuah analisis yang disertakan terhadap aspek khusus dari kasus (Yin, 2003). Melalui

pengumpulan data ini, deskripsi yang rinci terhadap kasus (Stake, 1995) muncul ketika para peneliti

merinci sejumlah aspek sejarah sebuah kasus, kronologi (urutan) peristiwa, atau kejadian rutin yang

turut berkontribusi pada kegiatan-kegiatan sebuah kasus. (Studi kasus pria bersenjata dalam

lampiran F meliputi penelusuran respon kampus terhadap seorang pria bersenjata selama dua

34

minggu secara langsung mengikuti ke arah tragedi dalam kampus.). Setelah mendeskripsikan hal ini

(secara relatif merupakan data yang tak dapat dipertandingkan, Stake, 1995, hlm. 123), para peneliti

dapat fokus pada sejumlah kecil permasalahan (atau analisis tema), bukan untuk melakukan

jeneralisir melampaui kasus, tetapi untuk memahami kerumitan sebuah kasus. Sebuah strategi

analitis akan digunakan untuk mengenali permasalahan dalam setiap kasus dan kemudian mencari

tema umum yang menjernihkan kasus tersebut (Yin, 2003). Analisis ini kaya akan konteks kasus

atau latar dimana sebuah kasus menampilkan dirinya sendiri (Merriam, 1998). Ketika kasus rangkap

dipilih, sebuah bentuk khas pertamakali menyediakan sebuah gambaran rinci mengenai kasus dan

tema dalam kasus yang disebut analisis kasus secara internal dan diikuti sebuah analisis tematik ke

arah kasus yang disebut analisis kasus secara silang, sama halnya seperti pernyataan yang tegas atau

sebuah penafsiran terhadap makna kasus.

-Pada fase akhir penafsiran, para peneliti melaporkan makna kasus, apakah makna tersebut berasal

dari pembelajaran tentang permasalahan-permasalahan dari sebuah kasus (sebuah kasus pelengkap)

atau pembelajaran mengenai sebuah situasi yang asing/ tidak biasa (sebuah kasus hakiki). Seperti

yang disebutkan oleh Lincoln dan Guba (1985), fase ini merupakan pengalaman pembelajaran dari

sebuah kasus.

Tantangan

Sebuah tantangan yang muncul dari dalam pengembangan studi kasus kualitatif adalah bahwa para

peneliti harus mengenali kasusnya sendiri. Penulis tidak dapat mengajukan sebuah solusi yang

terang terhadap tantangan ini. Peneliti studi kasus harus memutuskan sistem batasan mana yang

perlu distudi, memahami bahwa sejumlah aspek berkemungkinan menjadi calon untuk pilihan ini

dan menerapkan salah satu dari dua kasus itu sendiri atau dari sebuah permasalahan, dimana sebuah

kasus atau sejumlah kasus dipilih untuk menggambarkan apa yang layak untuk distudi. Para peneliti

harus mempertimbangkan apakah akan melakukan studi tunggal atau banyak kasus. Studi lebih dari

35

satu kasus mengurangi keseluruhan analisis, banyak kasus studi individu kurang mendalam dalam

kasus tunggal manapun. Ketika seorang peneliti memilih banyak kasus, permasalahan menjadi

berapa banyak kasus? Tidak ada istilah serangkaian kasus. Secara khusus bagaimanapun seorang

peneliti memilih tidak lebih dari empat atau lima kasus. Apa yang memotivasi para peneliti untuk

mempertimbangkan sejumlah besar kasus merupakan sebuah gagasan tentang daya jeneralisir,

sebuah istilah yang menggunakan sedikit pemaknaan bagi kebanyakan peneliti kualitatif (Glesne

dan Peshkin, 1992). Memilih sebuah penyelidikan sebuah kasus berarti bahwa para peneliti

membangun sebuah argumen untuk menggunakan strategi purposif sampelnya untuk memilih

sebuah kasus dan mengumpulkan informasi tentang sebuah kasus. Memiliki informasi yang

memadai untuk menyajikan sebuah potret mendalam sebuah kasus membatasi nilai sejumlah studi

kasus. Dalam perencanaan studi kasus, penulis dibantu sejumlah orang yang mengembangkan

sebuah matrik pengumpulan data dimana mereka mengkhususkan sejumlah informasi yang

sepertinya layak mereka kumpulkan terkait sebuah kasus. Mempertimbangkan batasan-batasan

sebuah kasus, bagaimanapun hal tersebut mungkin dibatasi dalam penyebutan waktu, peristiwa dan

proses merupakan sebuah tantangan. Sejumlah studi kasus mungkin saja tidak memiliki poin awal

dan akhir yang jelas dan peneliti akan perlu mengatur sejumlah batasan yang secara memadai

meliputi sebuah kasus.

Perbandingan Kelima Pendekatan

Kelima pendekatan secara umum memiliki proses lazim mengenai penelitian yang mulai dengan

sebuah permasalahan penelitian dan kemajuan terkait pertanyaan-pertanyaan penelitian, data,

analisis data dan laporan penelitian. Mereka juga menggunakan proses pengumpulan data yang

sama, penyertaan, dalam tingkatan yang bervariasi, wawancara, pengamatan, dukumen, dan bahan

audiovisual. Juga, sepasang kesamaan potensial di antara rancangan harus dicatat. Penelitian

narasi, etnografi dan penelitian studi kasus mungkin terlihat mirip ketika unit analisis merupakan

36

sosok individu tunggal. Benar, seorang peneliti mungkin saja dapat mendekati studi tentang sosok

individu tunggal dengan menggunakan satu dari ketiga pendekatan ini, bagaimanapun jenis-jenis

data sosok tersebut akan dikumpulkan dan dianalisa akan dipertimbangan secara berbeda. Dalam

penelitian narasi, para penyelidik fokus pada sejarah yang dikisahkan dari seorang individu dan

menata kisah ini dalam aturan kronologis. Dalam etnografi, fokusnya pada latar sejarah individu

dalam sebuah konteks budaya dan kelompok budaya berbagi mereka. Dalam penelitian studi kasus,

kasus tunggal secara khusus dipilih untuk menggambarkan sebuah permasalahan dan peneliti

mengumpulkan deskripsi rinci mengenai latar untuk sebuah kasus. Seperti komentar Yin (2003),

Anda akan menggunakan metode studi kasus karena anda dengan sengaja ingin mengungkap

kondisi kontekstual- keyakinan dimana mereka mungkin sangat berhubungan dengan fenomena

studi anda (hlm. 13). Pendekatan penulis yang disarankan adalah jika para peneliti mengingini studi

sosok individu tunggal, pendekatan narasi atau studi kasus tunggal mungkin dapat dipertimbangkan

karena etnografi merupakan sebuah bingkai budaya yang sangat luas. Kemudian ketika

membandingkan studi narasi dengan studi kasus tunggal, penulis merasa pendekatan narasi terlihat

lebih akademis karena studi narasi ditujukan fokus pada individu tunggal, sedangkan studi kasus

seringkali melibatkan lebih dari sebuah kasus.

Dari gambaran ringkas kelima pendekatan ini, penulis dapat mengenali perbedaan mendasar

dari antara jenis penelitian kualitatif ini. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.1, penulis

menyajikan sejumlah dimensi untuk membedakan di antara kelima pendekatan. Pada tingkat yang

paling bawah, kelimanya berbeda dalam hal mengenai apa yang sedang mereka lengkapi pada fokus

mereka atau objek utama dari studi. Penyelidikan sebuah kehidupan merupakan hal yang berbeda

dari proses generalisir sebuah teori atau penggambaran perilaku sebuah kelompok budaya. Selain

itu, meski adanya tumpang tindih dalam menentukan dari mana asal disiplin ilmunya, sejumlah

pendekatan memiliki tradisi disiplin ilmu sendiri (misalnya teori dasar berasal dari sosiologi,

etnografi mengakar pada antropologi atau sosiologi) dan yang lainnya memiliki latarbelakang

37

interdisiplin ilmu yang luas (misalnya, narasi dan studi kasus). Pengumpulan data memiliki

keragaman dalam hal penggunaan istilah dalam titik tekannya (misalnya, lebih banyak pengamatan

dalam etnografi, lebih banyak wawancara dalam teori dasar) dan kesinambungan pengumpulan data

(misalnya, hanya wawancara dalam fenomenologi, bentuk rangkap pengumpulan data dalam

penelitian studi kasus untuk menyajikan potret kasus yang mendalam). Pada tahap analisis data,

perbedaan-perbedaan tersebut sangat nampak. Tidak hanya menyangkut satu perbedaan khusus

mengenai sebuah analisis (misalnya teori dasar sangat bersifat unik, penelitian narasi kurang

terumus dengan baik), tetapi sejumlah langkah yang diambil juga bervariasi (misalnya, langkah

yang luas dalam fenomenologi, sejumlah kecil langkah-langkah dalam etnografi). Hasil dari setiap

pendekatan berupa laporan tertulis mengambil bentuk semua proses-proses sebelumnya. Narasi

tentang kehidupan seseorang membentuk penelitian narasi. Penggambaran sebuah inti pengalaman

fenomena menjadi sebuah fenomenologi. Sebuah teori seringkali tergambar dalam sebuah model

visual, menekankan pada teori dasar dan sebuah pandangan yang menyeluruh tentang bagaimana

kelompok budaya berbagi beraktifitas dihadirkan dalam etnografi. Sebuah studi mendalam

mengenai sebuah sistem atau kasus yang terbatas (atau sejumlah kasus) menjadi sebuah studi kasus.

Terkait dengan dimensi tabel 4.1. terhadap disain penelitian dalam kelima pendekatan akan menjadi

fokus bab selanjutnya. Para peneliti mendapatinya begitu membantu untuk memahami poin ini

secara umum menggambarkan secara keseluruhan struktur dari kelima pendekatan. Mari periksa

pada tabel 4.2. tentang struktur masing-masing pendekatan.

Tabel 4.1 Perbandingan Karakteristik Kelima Pendekatan KualitatifKarakteristik Narasi Fenomenologi Teori Dasar Etnografi Studi KasusFokus Menyelidiki

kehidupan seorang individu

Memahami inti pengalaman

Mengembangkan sebuah teori dasar dalam data yang berasal dari lapangan penelitian

Menggambarkan dan menafsirkan sebuah kelompok budaya berbagi

Mengembangkan sebuah gambaran dan analisis mendalam sebuah kasus tunggal atau kasus ganda

Jenis Permasalahan yang paling sesuai untuk disain

Keperluan untuk mencerikan pengalaman individu

Keperluan untuk menggambarkan inti sebuah fenomena kehidupan

Mendasarkan sebuah teori dalam sudut pandang partisipan

Menggambarkan dan menafsirkan pola berbagi budaya sebuah kelompok

Menyediakan sebuah pemahaman mendalam mengenai sebuah atau banyak kasus

Latar belakang Penggambaran Penggambaran dari Penggambaran dari Penggambaran dari Penggambaran dari

38

disiplin ilmu dari ilmu kemanusiaan meliputi antropologi, leteratur, sejarah, psikologi, dan sosiologi

ilmu psikologi dan pendidikan

ilmu sosiologi ilmu sosiologi ilmu psikologi, hukum, ilmu politik dan kesehatan

Unit Analisis Mempelajari satu atau lebih individu

Mempelajari beberapa individu yang berbagi sebuah pengalaman

Mempelajari proses, tindakan atau interaksi yang meliputi banyak individu

Mempelajari sebuah kelompok yang berbagi budaya yang sama

Mempelajari sebuah peristiwa, sebuah program, sebuah aktivitas dan melibatkan banyak individu

Bentuk pengumpulan data

Mengutamakan penggunaan wawancara dan dokumen

Mengutamakan penggunaan wawancara dengan individu meskipun dokumen, observasi, dan seni mungkin pula dapat dipertimbangkan

Mengutamakan penggunaan wawancara dengan 20-60 individu

Mengutamakan penggunaan pengamatan dan wawancara, tetapi mungkin pengumpulan sumber data lain selama waktu perpanjangan di lapangan penelitian

Menggunakan banyak sumber, seperti wawancara, pengamatan, dokumen dan alat perlengkapan sehari-hari

Strategi analisa data

Menganalisa data untuk sejarah, pengisahan kembali kisah/sejarah, pengembangan tema, sering menggunakan sebuah rentetan kronologi

Menganalisa data untuk pernyataan penting, pemaknaan unit, tekstural dan deskripsi struktural, deskripsi tentang sebuah esensi

Menganalisa data melalui pengkodean terbuka, pengkodean poros, dan pengkodean seleksi

Menganalisa data melalui deskripsi kelompok budaya berbagi, tema-tema tentang kelompok.

Menganalisa data melalui deskripsi kasus dan tema kasus sama seperti tema-tema lintas kasus

Penulisan laporan Mengembangkan sebuah nrasi tentang kisah kehidupan seseorang

Mendeskripsikan isi pengalaman

Penerapan sebuah teori yang digambarkan dalam sebuah bingkai

Mendeskripsikan bagaimana sebuah aktivitas kelompok budaya berbagi

Mengembangkan sebuah analisa rinci mengenai sebuah atau lebih banyak kasus

Tabel 4.2 Struktur Pelaporan Masing-Masing Pendekatan Pendekatan pelaporan

Narasi Fenomenologi Teori Dasar Etnografi Studi Kasus

Struktur umum studi

Pendahuluan (masalah, pertanyaan)

Pendahuluan (masalah, pertanyaan)

Pendahuluan (masalah, pertanyaan)

Pendahuluan (masalah, pertanyaan)

Memasukkan peredupanPendahuluan (masalah, pertanyaan, studi kasus, pengumpulan data, hasil analisis)prosedur penelitian

(sebuah narasi, pentingnya individu, pengumpulan data, hasil analisis)

prosedur penelitian(sebuah asumsi fenomenologi dan filosofis, pengumpulan data dan analisis)

Prosedur penelitian (teori dasar, pengumpulan data, hasil analisis)

Prosedur penelitian (etnografi, pengumpulan data, hasil analisis)

Pelaporan kisah/sejarah

Pernyataan-pernyataan penting

Pengkodean terbuka Deskripsi budaya Deskripsi kasus/kasus-kasus dan isinya

Para individu menteorisasikan tentang kehidupan mereka

Makna pernyataan-pernyataan

Pengkodean poros Analisis tema budaya Pengembangan permasalahan

Mengenali segmentasi narasi

Tema-tema pemaknaan Pengkodean selektif, model dan proposisi teoritis

Penafsiran, pengalaman pembelajaran,

Rincian tentang masalah terpilih

Pernyataan yang

39

pertanyaan yang timbul

tegasBentuk-bentuk pengenalan makna (peristiwa, proses, epipanis, tema)

Deskripsi yang mendalam mengenai fenomena

Diskusi mengenai teori dan mempertentangkan dengan literatur yang sudah ada

Ringkasan Penutupan /penyorotan

Diadaptasi dari karya Denzin, 1989a, 1989b

Diadaptasi dari karya Moustakas, 1994

Diadaptasi dari karya Strauss dan Corbin, 1990

Diadaptasi dari karya Wolcott

Diadaptasi dari karya Stake, 1995)

Garis panduan dalam tabel 4.2. dapat digunakan dalam perancangan sebuah artikel jurnal dari

sebuah penelitian yang panjang, bagaimanapun dikarenakan sejumlah langkah dalam setiap

pendekatan tersebut, rancangan-rancangan itu juga memiliki kemampuan terapan seperti bab-bab

dari sebuah disertasi atau sebuah buku kerja yang tebal. Penulis memperkenalkannya karena

pembaca dengan sebuah bekal pengetahuan sebagai pengantar dari masing-masing pendekatan,

sekarang dapat mengurai secara umum rancang bangun sebuah studi. Tentu saja, rancang bangun ini

akan memunculkan dan dapat membentuk secara khusus dengan cara penyimpulan studi, tetapi ia

menyediakan sebuah kerangka kerja untuk sebuah disain persoalan untuk ditindaklanjuti. Penulis

menganjurkan garis panduan ini sebagai rambu-rambu umum saat ini. Pada bab lima, kita akan

memeriksa artikel-artikel jurnal yang diterbitkan dari kelima pendekatan tersebut, dimana masing-

masing studi menggambarkan sebuah dari kelima pendekatan dan menyelidiki struktur tulisan dari

setiap kelima pendekatan tersebut.

Ringkasan

Dalam bab ini, penulis menggambarkan masing-masing kelima pendekatan terhadap pendekatan

penelitian, -penelitian narasi, fenomenologi, grounded theory (teori dasar), etnografi dan studi

kasus. Penulis menyediakan sebuah definisi (pengertian), sejumlah sejarah pengembangan

pendekatan mengenai pendekatan, dan bentuk-bentuk utama yang dipahami daripadanya dan

penulis merinci prosedur utama untuk pelaksanaan sebuah studi kualitatif. Penulis juga

mendiskusikan sejumlah tantangan utama dalam pelaksanaan setiap pendekatan. Untuk menyoroti

40

sejumlah perbedaan di antara pendekatan tersebut, penulis menyediakan sebuah tabel ulasan yang

memperbandingkan karakteristik fokusnya, jenis permasalahan penelitian yang ditujukan padanya,

latar belakang disiplin ilmu yang mendasarinya, unit analisis, bentuk pengumpulan data, strategi

analisis data dan tentunya tahap akhir yang lumrah yaitu penulisan laporan. Penulis juga

menyediakan garis panduan mengenai struktur setiap pendekatan yang mungkin berguna dalam

perancangan sebuah studi pada masing-masing kelima jenis. Pada bab selanjutnya, kita akan

memeriksa kelima studi yang menggambarkan seriap pendekatan dan melihat lebih dekat struktur

campuran dari setiap jenis pendekatan.

Bacaan Pengaya

Terdapat sejumlah bacaan yang dapat memperluas ulasan singkat dari masing-masing kelima

pendekatan penyelidikan ini. Pada bab 1, penulis telah menyajikan buku-buku utama yang akan

digunakan untuk memahami diskusi tentang setiap pendekatan. Di sini penulis menyediakan daftar

yang lebih melimpah terkait rujukan yang juga menyertakan kegiatan-kegiatan-kegiatan utama.

Dalam penelitian narasi, penulis akan mendasarkan pada karya Denzin (1989a, 1989b),

Czarniawska (2004), dan khususnya karya Clandinin dan Conelly (2000). Penulis juga

menambahkan dalam daftar buku ini tentang sejarah hidup (angrosino, 1989a), metode-metode

humanistik (Plummer, 1983), dan sebuah buku pegangan yang komprehensif dalam penelitian

narasi (Clandinin, 2006).

Angrosino, M.F. (1989a). Documents of interaction: Biography, and life history in social science perspective. Gainesville: university of Florida Press

Clandinin, D,J., dan Conelly (Ed). (2006). Handbook of narrative inquiry; Mapping a methodology. Thousand Oaks, CA: Sage.

Clandinin, D,J., dan Conelly, F.M. (2000). Narrative inquiry: Experience and story in qualitative research. San Fransisco: Josey-Bass

Czarniawska, B. (2004). Narrative in social science research, London: Sage

Denzin, N.K. (1989a). Interpretive biography. Newburry Park, CA: Sage

41

Denzin, N.K. (1989b). Interpretive interactionism. Newburry Park, CA: Sage

Elliot, J. (2005). Using narrative in social research: Qualitative and quantitative approaches. London: Sage

Plummer, K. (1983). Documents of life: An introduction to the problems and litarature of a humanistic method. London: George Allen & Unwin

Untuk fenomenologi, buku-buku mengenai metode penelitian fenomenologi oleh Moustakas (1994)

dan sebuah pendekatan hermenetik oleh Van Mannen (1990) akan menyediakan sebuah landasan

bab-bab selanjutnya. Panduan prosedural lain untuk penyelidikan meliputi Giorgi (1985),

Polkinghorne (1989), Van Kaam (1966), Colaizzi (1978), Spiegelberg (1982), Dukes (1984), Oiler

(1986) dan Tesch (1990). Untuk perbedaan-perbedaan mendasar antar hermenetik dan empiris atau

fenomenologi transendental, lihat Lopez dan Willis (2004) dan untuk sebuah diskusi tentang

permasalahan lebih spesifik dan mendalam, lihat LeVasseur (2003). Sebagai tambahan, untuk

mengkaji lebih mendalam landasan yang kuat dalam (memahami bahwa) asumsi filosofis itu

penting dan seseorang mungkin akan memeriksa karya Husserl (1931, 1970), Marleau-Ponty

(1962), Natanson (1973), dan Stewart dan Mickunas (1990) untuk latar belakang ini.

Colaizzi, P.F. (1978). Psychological research as the phenomenologist views it. In R. Vaile & M. King (Eds), Existential phenomenological alternatives for psychology (pp. 48-71). New York: Oxford University Press.

Dukes, S. (1984). Phenomenological methodology in the human sciences, Journal of Religion and Health, 23, 197-203.

Giorgi, A. (Ed). (1985). Phenomenology and psychological research. Pitsburgh, PA: Duquesne University Press.

Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction to pure phenomenology (D. Carr, Trans). Evanston, IL: Northwestern University Press

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans). Evanston, IL: Northwestern University Press

LeVasseur, J.J. (2003). The problem with bracketing in phenomenology. Qualitative Health Reaserch, 31 (2), 408-420

42

Lopez, K. A, & Willis, D. G. (2004). Descriptive versus interpretive phenomenology: Their contribution to nursing knowledge. Qualitative Health Research, 14 (5), 726-735.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans). London: Routledge & Kegan Paul.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Thousand Oaks, AC: Sage.

Natanson, M. (Wd). (1973). Phenomenology and the social sciences. Evanston, IL: Northewstern University Press

Oiler, C. J. (1986). Phenomenology: The method. In P. L. Munhall & C. J. Oiler (Eds)., Nursing reaserch: A qualitative perspective (pp. 69-82). Norwalk, CT: Appleton-Cemtury-Crofts.

Polkinghorne, D.E. (1989). Phenomenological research methods. In R. S. Valle & S. Halling (Eds.), Existential-phenomenological perspectives in psychology )pp. 41-60). New York: Plenum.

Spiegelberg, H. (1982). The phenomenological movement (3rd ed). The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff

Stewart, D., & Mickunas, A. (1990). Exploring phenomenology: A guide to the field and its literature (2nd wd). Athens: Ohio University Press

Tesch, R. (1990). Qualitative research: Analysis types and software tools. Bristol, PA: Falmer PressVan Kaam, M. (1966). Existential foundations of psychology. Pitsburgh, PA: Dusquesne University Press

Van Mannen, M. (1990). Researching lived experiences: Human sciences for an action sensitive pedagogy. Albany: State University of New York Press.

Dalam penelitian teori dasar, periksa buku karya Strauss dan Corbin (1990) yang sangat dianjurkan

sebelum meninjau karyanya yang lain Glaser dan Strauss (1967), Glaser (1978), Strauss (1978),

Glaser (1992), atau edisi terbaru karya Strauss dan Corbin (1998). Apa yang tersedia pada buku

karya Strauss dan Corbin (1998) yang penulis yakin (memiliki) sebuah panduan prosedural terbaik

daripada buku karya mereka yang diterbitkan pada tahun 1998. Untuk ulasan metodologi yang

gamblang mengenai teori dasar, periksa karya Charmaz (1983), Strauss dan Corbin (1994) dan

Chenitz dan Swanson (1986). Khususnya karya yang sangat membantu, yaitu buku-buku Charmaz

(2006) mengenai penelitian teori dasar ditinjau dari perspektif kontruksionis dan perspektif

postmodern dalam karya Clarke’s (2005).

43

Charmaz,K. (1983). The grounded theory method: An explication and interpretation. In R. Emerson (Ed), Contemporary field research (hlm. 109-126). Boston: Little, Brown

Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory. London: Sage.

Chenitz, W. C, & Swanson, J. M. (1986). From practice to grounded theory: Qualitative research in nursing. Menlo Park, CA: Addison-Wesley.

Clarke, A. E. (2005). Situational analysis: Grounded theory after the postmodern turn. Thousand Oaks, CA: Sage

Glaser, B. G. (1978). Theoretical sensitivity. Mill Valley, CA: Sosiology Press

Glaser, B.G. (1992). Basics of grounded theory analysis. Mill Valley, CA: Sosiology Press

Glaser, B.G., & Strauss, A. (1967). The discovery of grounded theory. Chicago: Aldine.

Strauss, A. (1987). Qualitative analysis for social scientists. New York: Cambridge University Press

Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques. Newbury Park, CA: Sage

Strauss, A., & Corbin, J. (1994). Grounded theory methodology: An overview. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds), Handbook of Qualitative research (hlm. 273-285). Thousand Oaks, CA: Sage.

Strauss, A., & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage

Sejumlah buku-buku terkini yang membahas tentang etnografi akan menyediakan landasan bagi

bab-bab berikutnya: Atkinson, Coffey dan Delamont (2003); volume pertama dalam rangkaian

sarana para etnografi, Disain dan Pelaksanaan Penelitian Etnografi, sama baiknya dengan enam

volume lainnya dalam rangkaian karya LeCompte dan Schensul (1999); dan Wolcott (1994b, 1999).

Sumber lain tentang etnografi termasuk Spradley (1979, 1980), Fetterman (1998), dan Madison

(2005).

Atkinson, P., Coffey, A., & Delamont, S. (2003). Key themes in qualitative research: Continuities and changes. Walnut Creek, CA: Alta Mira

Fetterman, D. M. (1998). Ethnography: step by step (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage

LeCompte, M. D., & Schensul, J.J. (1999). Designing and conducting ethnographic research (Ethnographer’s toolkit, Vol. 1). Walnut Creek, CA: Alta Mira

44

Madison, D. S. (2005). Critical ethnography: Method, ethics, and performance. Thousand Oaks, CA: Sage.

Spradley, J. P. (1980). Participant Observation. New York: Holt, Rinchart & Winston.

Wolcott, H. F. (1994b). Transforming qualitative data: Description, analysis an interpretations. Thousand Oaks, CA: Sage

Wolcott, H. F. (1999). Ethnography: A way of seeing. Walnut Creek, CA: Alta Mira

Dan akhirnya, untuk penelitian studi kasus, silahkan merujuk pada karya Stake (1995) atau buku-

buku terkini seperti karya Lincoln dan Guba (1985), Merriam (1988), dan Yin (2003).

Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills, CA: Sage.

Merriam, S. (1988). Case study research in education: A qualitative approach. San Fransisco: Jossey- Bass

Stake, R. (1995). The art of case study research. Thousand Oaks, CA: Sage

Yin, R. K. (2003). Case study Research: design and method (3rd ed). Thousand Oaks, CA. Sage.

Latihan

1. Pilih satu di antara kelima pendekatan untuk sebuah studi yang diajukan. Tulis sebuah

deskripsi yang jelas mengenai pendekatannya, meliputi definisi, sejarah, dan prosedur yang

terkait dengan pendekatan tersebut, termasuk referensi literatur.

2. Buatlah sebuah pengajuan studi kualitatif yang akan dilakukan. Mulai dengan

menyajikannya sebagai sebuah studi narasi, kemudian bentuk ke dalam sebuah

fenomenologi, grounded theory (teori dasar), etnografi dan akhirnya studi kasus. Diskusikan

untuk masing-masingnya; jenis studi, fokus dari studinya, jenis pengumpulan dan analisis

data dan penulisan laporan akhir

45