TUGAS I : ANALISA DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SESUDAH ERA OTONOMI DAERAH
Transcript of TUGAS I : ANALISA DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SESUDAH ERA OTONOMI DAERAH
Santika Purwitaningsih 3613100008
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2015
Tugas I Ekonomi Kota
ANALISA DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SESUDAH ERA OTONOMI DAERAH
Purwitaningsih 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah sudah dilaksanakan di Indonesia mulai tahun 2005. Menurut
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau kebebasan
menentukan aturan sendiri.
Otonomi daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dengan
adanya otonomi daerah, maka wewenang dari pemerintah daerah akan semakin besar
yang menyebabkan tanggungjawabnya juga semakin besar sehingga mendatangkan
berkah bagi daerah karena kewenangan pemerintah daerah semakin besar. Namun, di sisi
lain, otonomi daerah juga dapat menjadi beban karena dengan bertambahnya
kewenangan maka semakin besar pula tanggungjawab Pemerintah Daerah.
Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apakah kebijakan
otonomi daerah sudah efektif dalam meningkatkan kemandirian suatu daerah dengan
melihat dari aspek keuangan daerah.
Purwitaningsih 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Penerapan otonomi dan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU
No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2001. Kemudian, kedua
UU tersebut digantikan oleh UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004. Dalam
UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
wewenang Pemerintah, oleh Pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatan Republik Indonesia
(Penulis, Tahun).
Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada tiga bentuk desentralisasi yang berkaitan
dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah, yaitu:
1. Decontretation merupakan pelimpahan kewewenangan dari agen-agen Pemeritah
Pusat yang ada di ibukota negara, pada agen-agen di daerah.
2. Delegation merupakan penunjukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan tanggung jawab
pada Pemerintah Pusat.
3. Devolution merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat pada
pemerintah daerah, dimana daerah juga diberi kewenangan dalam mengelolah
penerimaan dan pengeluaran daerahnya.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, terdapat prinsip “money follow function”, jadi
desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi yang
ketiga atau devolution.
2.2 Derajat Desentralisasi Fiskal dan Kemandirian Daerah
Derajat desentralisasi fiskal merupakan rasio kemandirian keuangan suatu
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang dihitung berdasarkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), sumbangan Hasil Bagi Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan
Daerah (SD), dan Tingkat Pendapatan Daerah yang mana BHPBP dan SD merupakan
sumbangan finansial dari Pemerintah Pusat. Suatu daerah bisa dikatakan mandiri secara
finasial apabila komposisi PAD dalam TPD-nya lebih besar dari jumlah BHPBP dan SD.
Purwitaningsih 4
BAB III REVIEW
3.1 Latar Belakang
Tuntutan masyarakat tentang otonomi yang luas serta perimbangan keuangan yang
lebih adil, proporsional dan transparan antar tingkat pemerintah membawa dampak
terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk menjawab
tuntutan masyarakat tersebut, MPR mengeluarkan Ketetaapan MPR nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut,
pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu UU No.22 Tahun 1999
yang kemudian diganti dengan UU No.32 Tahun 2004, serta UU No.25 Tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan UU No.33 Tahun 2004. Dalam UU No.32 Tahun 2004
disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat
akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya
alam. Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber
pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembiayaan, dan lain-lain
(Maimunah, 2006).
Konsekuensi dari pelaksanaan undang-undang tersebut adalah bahwa daerah harus
mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Di
sisi lain, sekarang ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih
bergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat sehingga dengan
semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaaan otonomi daerah itu sendiri, maka
kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri melalui sumber-sumber
keuangan yang dikuasainya. Peran pemerintah daerah dalam menggali dan
mengembangkan potensi daerah untuk meningkatkan penghasilan daerahnya sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah dalam pelayanan dan
pembangunan masyarakat daerah.
Otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Halim, 2004). Dengan adanya otonomi
daerah, maka wewenang dari pemerintah daerah akan semakin besar yang
menyebabkan tanggungjawabnya juga semakin besar. Otonomi daerah dapat
mendatangkan berkah bagi daerah karena kewenangan pemerintah daerah semakin
besar, di sisi lain, otonomi daerah juga dapat menjadi beban karena dengan
bertambahnya kewenangan maka semakin besar urusan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus
Purwitaningsih 5
disiapkan, salah satunya adalah aspek keuangan. Aspek keuangan merupakan salah satu
dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus
rumah tangganya sendiri.
3.2 Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan dihitung menggunakan analisis desentralisasi fiskal hingga
kemudian ditarik kesimpulan tentang tingkat kemandirian pemerintah daerah dan
pemerintah pusat sebelum masa otonomi daerah dan sesudah masa otonomi daerah.
Data sekunder diperoleh dari laporan tahunan keuangan daerah yang dipublikasikan
setiap tahun. Data yang diambil adalah PAD Kota Malang Tahun 1994-1998 dan Tahun
2005-2009 adalah tahun, data Sumbangan Daerah dan juga data Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak untuk daerah Tahun 1994-1998 dan data tahun 2005-2009.
Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, antara lain :
1. Studi lapangan/observasi.
Studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai perolehan PAD,
Sumbangan Daerah, perolehan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta wawancara
dengan teknik wawancara mendalam dan tidak terstruktur.
2. Studi pustaka/studi literatur.
Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui dengan lebih jelas tentang peraturan
perundang-undangan, peraturan pelaksanaan, serta referensi-referensi lain untuk
mendukung penelitian ini.
Sedangkan untuk teknik analisa datanya sendiri, jurnal ini menggunakan teknik
reduksi data dengan cara menghitung tingkat kemandirian dengan formula seperti di
bawah ini.
Derajat Desentralisasi Fiskal :
DF = PAD/TPD x 100%, BHPBP/TPD x 100%, atau SD/TPD x 100%
PAD/TPD digunakan untuk mengetahui peran Pendapatan Asli Daerah terhadap
pendapatan daerah, BHPBP/TPD digunakan untuk mengetahui peran Bagi Hasil Pajak
dan Bukan Pajak, serta SD/TPD digunakan untuk mengetahui kontribusi pemerintah ke
daerah melalui Sumbangan Daerah yang diperoleh dari akumulasi Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dengan TPD = PAD + BHPBP + SD, jika hasil perhitungan PAD lebih tinggi daripada
jumlah BHPBP dan SD, maka desentralisasinya tinggi, atau daerah tersebut bisa
dikategorikan sebagai daerah yang mandiri. Kemandirian di sini merupakan kemandirian
pemerintah daerah untuk membiayai pengeluarannya tanpa campur tangan pemerintah.
Purwitaningsih 6
Setelah perhitungan derajat desentralisasi fiskal selesai, kemudian dianalisis lagi
menggunakan formula :
Formula tersebut digunakan untuk mengukur prosentase peningkatan kemandirian
daerah yang mana KDTn merupakan Kemandirian Daerah tahun yang bersangkutan, dan
KDTn-1 merupakan Kemandirian Daerah tahun sebelumnya.
3.3 Hasil Analisis dan Pembahasan
Tabel 2 Tabulasi Komponen Data Keuangan Sebelum Otonomi Daerah
Tabel 3 Tabulasi Komponen Data Keuangan Sesudah Otonomi Daerah
Berdasarkan kedua tabel di atas, diketahui bahwa prosentase PAD Kota Malang,
baik itu sebelum maupun sesudah dilaksanakannya otonomi daerah tidak menunjukkan
kemandirian, meskipun prosentase PAD pada tahun 1994-1997 cukup tinggi, tapi masih
saja kurang dari 50% TPD. Pada tahun 1998, Pendapatan Asli Daerah menurun drastis
sebesar 22% dari tahun sebelumnya yang disebabkan oleh krisis moneter yang melanda
Indonesia dan negara-negara lain sehingga mengganggu pelaksanaan pemerintahan
daerah di segala bidang. Memasuki era otonomi daerah, kinerja keuangan Kota Malang
bisa dibilang buruk, karena prosentase PAD tidak lebih dari 15% per tahunnya. Kondisi
tersebut jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan kinerja keuangan Kota Malang
sebelum otonomi daerah.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Malang harus lebih jeli dalam mengelola
keuangan daerah kedepannya karena otonomi daerah merupakan pemberian wewenang
yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur, mengelola, rumah tangganya sendiri
agar tercipta kemadirian dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pemerintah
Purwitaningsih 7
Kota Malang harus bisa mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis
dan besar belanja yang dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efesien, sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang
berakibat pada terciptanya kemandirian keuangan daerah.
Purwitaningsih 8
BAB IV CRITICAL REVIEW
Jurnal ini tidak memiliki landasan teori yang mendukung penelitian yang dilakukan.
Tujuan dari penelitian kurang jelas. Tujuan dari penelitian hanya disampaikan secara singkat
di bagian abstrak. Selain itu, tidak dijelaskan di jurnal ini apa saja penyebab dari
ketidakmandirian keuangan dari suatu pemerintah daerah. Penyebab ketidakmandirian dari
jurnal ini seolah – olah disebabkan hanya karena perhitungan PAD lebih kecil dari pada jumlah
BHPBP dan SD. Namun tidak dikaji lebih dalam lagi, apa yang menyebabkan Pendapatan Asli
Daerah begitu kecil.
Analisis yang dilakukan sudah sesuai dengan landasan dasarnya, namun
pemaparannya kurang detail sehingga terkesan membingungkan. Data tabel yang ditampilkan,
langsung berupa data olahan, jadi terkesan meragukan.
Otonomi daerah memang bisa menjadi berkah bagi suatu daerah karena Pemerintah
Daerah setempat bisa bebas untuk mengelola daerahnya, sehingga akan terjadi perlombaan
(dalam hal perbaikan kualitas) antar daerah di Indonesia, namun hal ini juga bisa memicu
terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah. Misalnya bagi daerah yang sebelum era
otonomi sudah termasuk maju dalam artian infrastruktur, dan fasilitasnya sudah baik, akan
lebih mudah untuk mengembangkan daerahnya dari pada daerah yang sebelum era otonomi
sudah dikatakan tertinggal.
Purwitaningsih 9
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Analisis derajat desentralisasi yang dilakukan menunjukkan bahwa kinerja keuangan
daerah Kota Malang masih buruk terutama pada tahun setelah dilaksanakannya otonomi
daerah, hal ini menandakan bahwa kemandirian keuangan Kota Malang masih tergolong
kurang, jadi otonomi daerah di sini seperti tidak efektif, karena Pemerintah Daerah belum
bisa optimal dalam mengelola keuangannya serta karena sumbangan dana dari
Pemerintah Pusat masih mendominasi Tingkat Pendapatan Daerah.
5.2 Lesson Learned
Adapun pelajaran yang bisa diambil dari jurnal tersebut antara lain:
1. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan Pemerintah Daerah bisa dilakukan
dengan cara analisis desentralisasi fiskal dengan melihat prosentase Pendapatan
Asli Daerah.
2. Agar kemandirian keuangannya meningkat, Pemerintah Daerah harus bisa
mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan daerah dan besar serta jenis
pengeluaran sehingga kinerja keuangan daerah menjadi efisien.
Purwitaningsih 10
Referensi
Anonim. 2012. Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat. Skripsi.
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.
Fattah, Sanusi, Imran. Analisis Ketergantungan Fiskal Pemerintah Daerah di Provinsi
Sulawesi Selatan Pada Era Otonomi Daerah. Fakultas Ekonomi Universitas
Hasanuddin.