irfinfo risiko fiskal - DJPPR Kemenkeu - Kementerian Keuangan

48
IRF INFO RISIKO FISKAL Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal Edisi 4 Tahun 2011

Transcript of irfinfo risiko fiskal - DJPPR Kemenkeu - Kementerian Keuangan

IRF INFO RISIKO FISKALPusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal

Edisi 4 Tahun 2011

2 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMA

DAFTAR ISI

Privatisasi BUMN :Urgensi dan Strategi Implementasinya

RUBRIK BUMN

Saatnya Membenahi Kebijakan PSOdi BUMN PerkeretaapianOleh : Wiloejo Wirjo Wijono

Menimbang Skema KPS UntukInfrastruktur Penyediaan Air MinumOleh : Slamet Rona Ircham

Saatnya Pola Penyerapan APBN“Naik Kelas”

RUBRIK Inspiring dan Lainnya

4

10

16

20

Oleh : Syahrir Ika, Sofia Arie Damayanty dan Hadi Setiawan

Oleh : Praptono Djunedi

RUBRIK FISKAL

Potensi Risiko Fiskal Dalam PenyelesaianTunggakan KUT TP 1998/1999Oleh : Abdul Aziz

23

Analisis Risiko dalamPengelolaan SBSN

29Oleh : Eri Hariyanto

RUBRIK EdUKASIInvestment GradeMomentum Untuk MendorongEkonomi Indonesia Survive

33

Oleh : Syahrir Ika

Manfaat Asian Infrastructure FundBagi Indonesia

37Oleh : Budi Prijadi

Menyoroti Bentuk Badan Hukum PIP 40Oleh : M. Zainul Abidin

Langkah Ekstrim MengatasKemacetan di Jakarta

43Oleh : Adrianus Dwi Siswanto

KILAS pERISTIWA 47

SAATNYA POLAPENYERAPAN APBN“NAIK KELAS”

20

Investment GradeMomentum Untuk Mendorong

Ekonomi Indonesia Survive

33

3INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

uji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena di penghujung PTahun 2011 ini kami dapat merampungkan buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi

IV Tahun 2011 dengan tulisan-tulisan update yang tetap pada tema dasar yaitu

kebijakan fiskal dan risikonya, serta kebijakan dukungan dan penjaminan

pemerintah terhadap program percepatan penyediaan infrastruktur.

Dalam edisi ini, Rubrik utama mengangkat “

yang merupkan tulisan kolaborasi antara peneliti senior dengan

calon peneliti di Badan Kebijakan Fiskal. Rubrik BUMN berisi 2 tulisan yang

membahas issue tentang pembenahan PSO BUMN perkretaapian yang dirasakan

masih memerlukan banyak pembenahan dalam pengelolaan kebijakan PSO-nya.

Rubrik BUMN makin lengkap dengan tulisan pendatang baru yang mengulas

tentang s

Rubrik Edukasi menampilkan

. Rubrik Inspiring

dan Lainnya berisi tulisan-tulisan hangat dan update diluar rubrik sebelumnya

namun tetap dipandang dari segi fiscal risk management.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang

telah membantu dalam penerbitan buletin ini, terutama kepada para penulis yang

telah meluangkan waktu dalam kesibukan rutinitas sehari-hari untuk menulis artikel

dalam buletin ini, dan kami terus berharap bisa bekerjasama secara kontinyu dalam

edisi-edisi selanjutnya.

Akhir kata, kami berharap semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menjadi

sumber inspirasi dalam kegiatan sehari-hari. Kami senantiasa menerima saran dan

kritik dari pembaca untuk peningkatan kualitas IRF ke depan. Selamat membaca dan

bekerja untuk menjadi lebih baik.

Privatisasi BUMN : Urgensi dan Strategi

Implementasinya

kema KPS untuk infrastruktur penyediaan air minum. Dalam Rubrik Fiskal

membahas pola penyerapan APBN, Potensi risiko fiskal dalam penyelesaian

tunggakan KUT TP 1998/1999, dan rubrik fiskal ditutup dengan tulisan tentang

analisis risiko dalam pengelolaan SBSN. Investment

Grade momentum untuk mendorong ekonomi Indonesia survive

KATA PENGANTAR

Susunan Redaksi

Penanggung Jawab

Penyunting/ Editor

Redaktur

Desain Grafis, Layout, Fotografer

Sekretariat

Freddy R. Saragih

Pandu Patriadi

Brahmantio Isdijoso

Fajar Hasri Ramadhana

Syahrir Ika

Riko Amir

Insyafiah

Mohamad Nasir

Sigit Purnomo

Aan Rustandi

David Rizkiawan

Akhmad Yasin

Moh. Kharis Syukron

Krista Napitupulu

Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam

buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11

spasi 1,5 maksimal 5 halaman. Artikel dapat

dikirim ke [email protected] . Isi buletin ini

tidak mencerminkan kebijakan Badan

Kebijakan Fiskal.

Alamat Redaksi:Gedung R.M. Notohamiprodjo, lantai 4

Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710Telp. 021-3846785, Fax. 021-3452751KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN KEBIJAKAN FISKAL

Privatisasi BUMN :1 2Oleh : Syahrir Ika ,Sofia Arie Damayanty, dan Hadi Setiawan

4 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

Latar Belakang

Pemerintah terus mendorong sejumlah BUMN untuk melantai di bursa saham atau yang umum dikenal dengan istilah 3 4privatisasi (privatization) atau juga disebut IPO (Initial Public Offering) .Tujuan utama privatisasi atau IPO BUMN adalah

memperkuat permodalan perusahaan dalam rangka ekspansi usaha, memperkecil cost of debt, meningkatkan nilai pasar,

mendorong transparansi pengelolaan perusahaan, dan mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG-good

corporate governance). Tujuan lainnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk turut serta memiliki

saham BUMN, serta mendorong pengembangan pasar modal. Melalui artikel ini penulis mencoba melihat sejauh mana

implementasi privatisasi BUMN di Indonesia.

RUBRIK UTAMA

Urgensi dan Strategi Implementasinya

Peran BUMN dalam Mendorong Pasar Modal

Saat ini, jumlah BUMN yang sudah IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) baru sebanyak 18 BUMN atau 12,6 persen dari 142

BUMN. Walaupun demikian, peranan ke 18 emiten BUMN ini dalam mendorong pengembangan pasar modal Indonesia cukup

signifikan, salah satu indikasinya adalah total market capitalization-nya mencapai sekitar Rp777,16 triliun atau 23,12 persen dari

total market capitalization seluruh emiten di BEI yang mencapai 647 emiten (lihat Tabel-01). Kapitalisasi pasar emiten BUMN

yang cukup tinggi tersebut telah meningkatkan kontribusi pasar modal Indonesia, yaitu dari 21,3 persen terhadap GDP (Gross

Domestic Product) pada tahun 2004 menjadi 52,14 persen pada tahun 2011 atau sekitar Rp3.348,75 triliun posisi per 25 5November 2011 (lihat Tabel-02). Hal ini menunjukkan bahwa peranan pasar modal cukup penting dalam mendorong

perekonomian nasional.

Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Calon Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Pengertian sederhana dari privatisasi (privatization) adalah 'offering the securities of government-owned companies to private investors (Frank J Fabozi and Franco Modigliani, Capital Markets : Institution and Instrument', 2009, Prentice Hall-New Yersey)

Definisi IPO adalah 'A company's first public sale of stock; the first offering of an issuer's equity securities to the public through a registration statement' (Blaks Law Dictionary, 7th Edition, West Group,1999,USA).

Lihat Market Capital Market and NBFI Highlight, dalam Market_Update_25-Nov-2011, diakses tanggal 1 Februari 2012.

1

2

3

4

5

5INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMATabel-01 : State Owned Enterprises Market Capitalization

(November 25th, 2011)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

BBRI

BMRI

TLKM

PGAS

BBNI

SMGR

PTBA

JSMR

ANTM

KRAS

BBTN

GIAA

TINS

WIKA

PTPP

KAEF

ADHI

INAF

Bank Rakyat Indonesia Tbk PT

Bank Mandiri Tbk PT

Telekomunikasi Indonesia Tbk PT

Perusahaan Gas Negara Tbk PT

Bank Negara Indonesia Tbk PT

Semen Gresik Tbk PT

Tambang Batubara Bukit Asam Tbk PT

Jasamarga Tbk PT

Aneka Tambang Tbk PT

Krakatau Steel Tbk PT

Bank Tabungan Negara Tbk PT

Garuda Indonesia Tbk PT

Timah Tbk PT

Wijaya Karya Tbk PT

Pembangunan Perumahan Persero Tbk

PT Kimia Farma Tbk PT

Adhi Karya Tbk PT

Indofarma Tbk PT

SOE's Market Capitalization

Total Market Capitalization

159,97

149,00

147,17

70,30

67,39

52,49

38,36

25,67

15,26

12,94

10,76

9,06

8,61

2,89

1,55

1,53

0,83

0,40

777,16

3,384.75

4,78

4,45

4,39

2,10

2,01

1,57

1.15

0,77

0,46

0,39

0,32

0,27

0,26

0,09

0,05

0,05

0,02

0,01

23.12

100.00

No. Code Issuers Rp Trillion %

Sumber: Market_Update_25-Nov-2011 (Disarikan Penulis)

Tabel-02 : Capital Market and NBFI Highlight

Indonesian Composite Index (IHSG)

Equity Market Capitalization (Trilion IDR)

Equity Market Capitalization to GDP (%)

Number of Issuers (Emiten)

1.355,41

1.076,49

21,73

567

2,534,36

2.019,38

35,97

610

3,701,51

3.247,10

50,55

558

3.637,19

3.348,75

52,14

647

-1,79

3,13

3,13

9,21

2008 2009 2010thNov 25 ,

2011Change(%) Ytd

Sumber: Market_Update_25-Nov-2011 (Disarikan Penulis)

Umumnya BUMN yang melakukan IPO memiliki kemampuan untuk

meningkatkan laba secara signifikan karena hanya BUMN untung yang layak untuk

IPO. Para investor hanya mau membeli aset BUMN-BUMN yang sehat sehingga

kelak mereka akan mendapatkan imbal hasil (return) yang lebih tinggi di kemudian

hari. Karena itu bila sebuah BUMN belum sehat, maka harus disehatkan terlebih

dahulu sebelum diprivatisasikan, cara inilah yang dikenal dengan istilah

profitization. Cara yang dipakai antara lain melakukan restrukturisasi termasuk

pembentukan holding (rightsizing), mengganti manajemen dengan figur-figur yang

profesional dan atau melakukan strategic investment. Sebenarnya dari sisi kondisi

keuangan, banyak BUMN yang sudah siap untuk privatisasi melalui IPO karena

sebagian besar diantaranya dalam kondisi sehat sekali. Namun, tidak semua BUMN

sehat harus diarahkan melakukan privatisasi melalui IPO. Privatisasi dapat juga

melalui metode strategic selling atau dengan cara akuisisi.

Sebenarnya privatisasi BUMN sudah direncanakan sejak Kementerian

BUMN dipimpin Tanri Abeng. Namun, realisasinya tidak berjalan sesuai rencana

karena banyak kendala, tidak saja di lingkungan internal BUMN (yang belum siap)

tetapi juga dinamika politik yang kurang kondusif. Banyak masyarakat masih

memandang privatisasi BUMN sebagai kebijakan yang kurang tepat karena mereka

hanya melihat dari sisi masuknya investor/pihak asing untuk membeli atau ikut

memiliki aset-aset pemerintah (BUMN). Mereka tidak melihat manfaat lain yang

lebih strategis dari privatisasi (IPO)

s e b u a h B U M N s e b a g a i m a n a

disebutkan Joseph E.Stiglitz (2002) 'I

believe in privatization (selling off, say

government monopolies to private

companies), but only if it helps

companies become more efficient and 6lower prices for consumers'.

Sebagaimana dikutip A Toni Presetantono, dalam artikelnya berjudul Masa Depan BUMN dan Ambiguitas Privatisasi, yang dimuat dalam buku BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi, Gramedia-Jakarta, 2005.

Private placement atau mitra strategis adalah salah satu bentuk privatisasi tanpa melalui pasar modal, tetapi lebih memberikan keuntungan (profit) dibandingkan dengan privatisasi melalui pasar modal. Mengapa? Karena privatisasi BUMN melalui mitra strategis memiliki manfaat yang lebih besar, tidak saja membawa injeksi kapital tetapi juga teknologi, dan jaringan bisnis global, sedangkan privatisasi BUMN melalui pasar modal lebih mengutamakan injeksi kapital bagi BUMN yang bersangkutan.

6

Privatisasi (IPO) BUMN :Contoh Sukses dan Gagal

Ada pertanyaan menarik yang

sering muncul dalam berbagai diskusi

publik, untuk menjadikan sebuah

B U M N s u k s e s a p a k a h h a r u s

melakukan privatisasi melalui pasar

modal (IPO)? Untuk meningkatkan

keuntungan yang berlipat ganda

apakah hanya bisa dicapai dengan

IPO? Apakah implementasi prinsip-

prinsip transparansi (disclosure) dan

GCG hanya bisa dilakukan BUMN bila

BUMN tersebut melakukan IPO?

Apakah IPO BUMN adalah strategi

yang paling jitu untuk memaksimumkan

nilai bagi pemegang saham?

Privatisasi BUMN melalui pasar

modal (IPO) memang memenuhi

hampir semua unsur tranparansi

(disclosure), namun pengalaman

menunjukkan bahwa IPO tidak selalu 7menguntungkan . Ukuran untung rugi

IPO yang paling praktis adalah posisi

harga saham pada hari pertama

penjualan atau di saat mulai listing. Bila

harga pembukaan dibandingkan

dengan penutupannya mengalami

koreksi (penurunan) maka hasil IPO

t e r s e b u t d i k a t e g o r i k a n t i d a k

menguntungkan, sebaliknya saham-

saham yang dihari penjualan pertama

mengalami kelebihan permintaan

(oversubscribe) menggambarkan IPO

yang menguntungkan. Dalam contoh

ini, IPO Garuda bisa dikategorikan tidak

menguntungkan karena harga saham

7

6 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMA

perdana sebesar Rp750 per saham

sementara harga saham GIAA saat

penutupan perdagangan turun 17,33

persen menjadi Rp620 per saham

(underpriced). Konsekuensinya, sekitar

3.008 miliar lembar saham harus

diserap oleh para penjamin emisi 8 9(underwriter) atau setara Rp2,25 triliun .

Di beberapa negara IPO juga

banyak yang tidak sukses. Ada hasil

penelitian yang menunjukkan bahwa

diantara 1.922 IPO selama periode 1975-

1985 di Amerika Serikat, hanya 600 IPO

yang memiliki kinerja lebih dari indeks

Standard & Poor 500 (Stem dan

Bornstein, 1985). Selain itu, Ritter (1991)

juga menemukan bahwa saham IPO

berkinerja jelek selama kurang lebih tiga

t ahun . Pene l i t i an be r i ku tnya ,

menemukan kinerja jangka panjang

tersebut ternyata lebih panjang menjadi

lima tahun sesudah tanggal penawaran

(Longhran dan Ritter, 1995), di mana hal

itu terjadi di Finlandia (1993), Inggris 10(1993), Brazil, Chile, dan Mexico (1993) .

Namun di sisi lain, berdasarkan

banyak penelitian yang disarikan

Megginson & Netters (2001) tentang

studi kinerja privatisasi BUMN dapat

disimpulkan bahwa BUMN pasca

privatisasi umumnya mengalami

perbaikan kinerja operasional. Konklusi 11tersebut terangkum pada Tabel-03 .

PT Bahana Sekuritas, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Mandiri Sekuritas, ketiganya merupakan anak perusahaan BUMN.

Penyebabnya bisa jadi Garuda salah memilih underwriter atau pilihan underwriter benar namun underwriter tidak cakap menjalankan perannya, atau ketiga underwriter merencanakan benar namun ada presure eksternal yang sulit ditolak underwriter.

Saitma Roni B, Problema Anomali Dalam IPO, puslit2.petra.ac.id, diakses tanggal 31 Januari 2012.

Sebagaimana dikutip Toto Pranoto dalam “Privatisasi, GCG dan Kinerja BUMN(http://lmfeui.com/data/PRIVATISASI%20GCG%20DAN%20KINERJA%20%20BUMN.pdf, diakses 17 Januari 2012)

8

9

10

11

Tabel-03Hubungan Kebijakan Privatisasi dan Kinerja BUMN

Privatisasi mempunyai dampak positif bagi perusahaan untuk menggerakkan pertumbuhan revenue

Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Grossfeld dan Nivet (1997); Frydman dkk (1997); Commander dkk (1996)

Penjualan (real sales)

1.

Privatisasi meningkatkan profitabilitas

Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Dewenter dan Malatesta (1998)

Profit Margin (return on sales) dan Cost per Unit

2.

Privatisasi menghasilkan perbaikan pada efisiensi operasional

Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Dewenter dan Malatesta (1998); Anderson dkk (1997)

Sales per Employee

3.

Privatisasi tidak akan mengurangi jumlah karyawan

Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Commander (1996)

Number of Employee

4.

Privatisasi berpengaruh positif terhadap tingkat upah pekerja

La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Commander (1996)

Unit Labour Cost5.

No Hipotesa yang Diuji Peneliti yang Menguji HipotesisIndikator

yang Dipakai

IPO dan Keadilan Kepemilikan

Privatisasi melalui pasar modal juga berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam kepemilikan aset BUMN

antara investor domestik (masyarakat Indonesia) dan investor asing. Masyarakat seringkali bertanya apakah IPO

BUMN lebih ditujukan untuk menarik sebanyak mungkin masyarakat Indonesia untuk memiliki saham BUMN atau

sebaliknya menarik sebanyak mungkin investor asing dalam kepemilikan saham BUMN? Atau tidak peduli

apakah domestik atau asing, asalkan pasar modal bergairan dan market capitalization meningkat sehingga dunia

usaha bisa memperoleh sumber permodalan dengan cost of capital yang lebih optimal?

Fakta menunjukkan bahwa ownership saham-saham di BEI didominasi oleh asing walaupun dengan tren

yang makin menurun, sebaliknya pembelian obligasi swasta justru didominasi oleh investor domestik (Tabel-04).

Sementara pembelian obligasi negara juga didominasi investor domestik namun tren investor asing makin

meningkat, dimana posisi per 24 Nopember mencapai 35,54%. Pemerintah tentu berkepentingan terhadap

semua itu. Menarik masuk modal asing ke pasar modal Indonesia sangat diperlukan untuk menguji kepercayaan

investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, juga untuk menggerakan sektor riil dan perekonomian

nasional. Namun, risikonya adalah pelarian modal secara tiba-tiba dari pasar modal Indonesia bila kondisi

perekonomian dunia, terutama krisis ekonomi di Eropa dan AS mulai menunjukkan tanda-tanda pulih, atau kondisi

perekonomian dalam negeri memburuk, dan iklim politik dalam negeri kurang kondusif.

7INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMAthTabel-04 : Securities Ownership (Desember 2004-November 24 2011)

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

22.73%

26.95%

26.60%

33.65%

32.16%

32.76%

37.20%

40.02%

77.27%

73.05%

73.40%

66.35%

67.84%

67.24%

62.80%

59.98%

97.06%

94.18%

94.72%

95.42%

96.13%

96.80%

95.61%

95.03%

2.94%

5.82%

5.28%

4.58%

3.87%

3.20%

4.39%

4.70%

97.31%

92.20%

96.88%

83.64%

83.33%

81.44%

69.47%

70.36%

2.69%

7.78%

13.12%

16.13%

16.67%

18.56%

30.53%

29.64%

TahunDomestic Foreign

Equity

Domestic Foreign Domestic Foreign

Corporate Bond Government Bond

Sumber: Market_Update_25-Nov-2011

Maximizing Profitization and Do Privatization

Sebenarnya dari sisi strategi, menurut penulis dual track strategy yang

dikembangkan pemerintah, yaitu maximizing profitization and let's do privatization,

merupakan strategi yang tepat. Pemerintah mendorong BUMN agar mampu

menciptakan keuntungan (profit) dan apabila dalam beberapa tahun mampu

mempertahankan profitnya, maka BUMN tersebut bisa melakukan privatisasi untuk

memperbesar size bisnisnya dan nilai bagi pemegang saham. Pemerintah juga

sudah on track dalam kebijakan profitisasi dan privatisasi. Profitisasi harus diimbangi

dengan fleksibilitas pay out ratio kepada masing-masing BUMN, sehingga setoran

dividen kepada APBN jangan seperti dipaksakan. Sementara privatisasi harus

merupakan resultan dari profitisasi yang maksimal. Pemerintah hanya memberi

peran mengevaluasi dan memberi atau tidak memberi izin kepada BUMN yang ingin

melakukan privatisasi melalui IPO, dan tentunya memberikan arahan agar hasil IPO

harus benar-benar mencapai nilai terbaik. Kinerja beberapa BUMN yang telah go

public berdasarkan harga sahamnya dapat dilihat pada Tabel-05.

Tabel-05. Perkembangan Harga Saham Beberapa BUMN Go Public

PT Telkom Indonesia (TLKM)

12PT Aneka Tambang (ANTM)

PT Kimia Farma (KAEF)

PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA)

PT Bank Mandiri (BMRI)

PT Bank BRI (BBRI)

PT Perusahaan Gas Negara (PGAS)

PT Adhi Karya (ADHI)

PT Jasa Marga (JSMR)

PT Krakatau Steel (KRAS)

PT Garuda Indonesia (GIAA)

14 Nop 1995

27 Nop 1997

04 Jul 2001

23 Des 2002

14 Jul 2003

10 Nop 2003

15 Des 2003

18 Mar 2004

12 Nop 2007

10 Nop 2010

11 Feb 2011

2050

1.400

200

675

575

875

1.500

150

1.700

850

750

7.050

1.620

340

17.350

6.750

6.750

3.175

580

4.200

840

475

5.000

220

140

16.675

6.175

5.875

1.675

430

2.500

(10)

(275)

Emiten BUMN Tanggal IPOHarga Saham

di Pasar Perdana(IPO)

Harga Sahampada Tanggal

30 Desember 2011Up and Down

Sumber : www.idx.co.id dan berbagai sumber, diolah

Tahun 2007 harga saham sempat mencapai Rp15.000 dan manajemen melakukan stock split sebesar 5 kali menjadi Rp3.000 per saham.12

Penulis juga sependapat bahwa

privatisasi tidak boleh dipaksakan, agar

hasil IPO mencapai target yang

maks imal . Karena i tu , se laku

pemegang saham, pemer in tah

memberikan wewenang kepada Direksi

dan Komisaris untuk memperhatikan

timing dan target size dalam melakukan

IPO. Penetuan timing yang tepat akan

mempengaruhi pricing sementara

penetapan target size yang tepat

dengan sasaran penggunaan dana IPO

yang jelas akan mempengaruhi minat

investor untuk membeli saham BUMN.

Kasus IPO PT Garuda (2011), bisa

d in i la i kurang menguntungkan

pemerintah dimana harga saham

BUMN penerbangan ini di penutupan

perdagangan hari pertama terkoreksi

sebesar 17,3 persen (padahal kinerja

keuangannya cukup bagus begitu juga

industri penerbangan justru meningkat

pesat) yang berakibat tiga perusahaan

penjamin emisi atau underwriter (yang

juga anak perusahaan BUMN) harus

menanggung kerugian tersebut,

sehingga hal ini mesti dijadikan

pembelajaran untuk melakukan

privatisasi BUMN lainnya.

8 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMA

Benchmarking to the Success Story

B U M N - B U M N y a n g

merencanakan akan melakukan IPO

perlu melakukan benchmarking ke

beberapa BUMN yang berhasil

melakukan IPO. PT Bank Mandiri Tbk

adalah salah satu contoh yang baik

untuk dijadikan benchmark. Bank

pemerintah ini semula direncanakan

hanya melepas 15 persen saham,

namun setelah melihat animo yang

cukup besar dari investor akhirnya

jumlahnya ditingkatkan lagi menjadi 20

persen. Bank ini kemudian menjadi

bank dengan aset terbesar di Indonesia

dan menjadi pioneer dalam berbagai

k e s u k s e s a n t e r m a s u k d a l a m

menerapkan GCG. Selain itu, PT

Semen Gresik Tbk, juga bisa menjadi

contoh sukes BUMN yang melakukan

IPO. BUMN semen ini selain berhasil

go public pada tahun 1998, juga

berhasil melakukan divestasi melalui

strategic investor, yaitu berhasil

menarik modal dari pemain semen

besar dunia, yaitu Cemex dari Mexico.

Mengingat fundamentalnya yang kuat,

Semen Gres ik juga d ipercaya

pemerintah untuk menjadi induk

(champion) bagi BUMN semen lainnya

yang k in i te lah menjadi anak

perusahaannya (non-BUMN), yaitu

Semen Padang dan Semen Tonasa.

PT. Antam Tbk, juga merupakan

contoh BUMN yang sukses melakukan

IPO yang diukur dari PEM-nya.

Pendapatan Antam juga meningkat

signifikan dari sekitar Rp1,0 triliun pada

tahun 1998 menjadi Rp12 triliun pada

tahun 2007. Sedangkan laba bersih

meningkat dari Rp0,3 triliun pada tahun

1998 menjadi Rp5,13 triliun pada

tahun 2007. Antam juga dalam

beberapa tahun terakhir merupakan

BUMN terdepan dalam praktek GCG.

Privatisasi Antam juga makin membuat

BUMN ini mampu meningkatkan

kemampuan bersaingnya dengan

perusahaan tambang dunia dan

mampu mengatasi setiap tantangan

yang dihadapi serta memberikan nilai

tambah yang lebih besar kepada

pemegang saham.

Di tingkat internasional, pemerintah dan manajemen BUMN bisa belajar dari

pengalaman Singapura ketika memprivatisasikan Singapore Telcom (Sing Tel) pada 13tahun 1993 sejalan dengan kebijakan liberalisasi telekomunikasi yang

diberlakukan pemerintah Singapura. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi

dikorporatisasi menjadi BUMN dengan tiga tujuan utama, yaitu: (i) mengurangi

peran pemerintah di dalam kegiatan bisnis dan menurunkan biaya bisnis

telekomunikasi di Singapura, (ii) sebagai langkah interim untuk menuju deregulasi

yang mengarah kepada industrialisasi dan privatisasi Sing Tel, (iii) agar Sing Tel siap

bersaing dalam aspek SDM, Tekologi, dan Pelanggan, (iv) memperluas kepemilikan

Sing Tel di kalangan publik Singapura, dan (v) mendorong pengembangan pasar

modal Singapura. Privatisasi Sing Tel ternyata berhasil mendorong perusahaan ini

tumbuh secara signifikan. Setelah privatisasi, Sing Tel berhasil memperluas akses

kepada konsumen, mendiversifikasi risiko bisnis, melakukan investasi pada pelaku

bisnis yang menjadi leading brand, memberikan kontribusi melalui pengaruh pemilik 14dan manajemen serta menggerakan sinergi operasional . Setelah go public, Sing

Tel memilkiki empat anak perusahaan termasuk mengkusisi Potus Asutralia, yang

merupakan perusahaan terbesar telekomunikasi kedua di Asutralia. Selain itu, Sing

Tel juga menjadi investor sejumlah perusahaan di beberapa negara seperti terlihat

dalam Bagan-01. Saat ini, Sing Tel merusahaan terbesar di Singapura dan nomor

208 dunia dengan kapitalisasi pasar US$25 juta per Mei 2005 dan pada tahun 2011 15meningkat menjadi US$441 juta .

Mencatatkan saham di Bursa Saham Singapura dan Bursa Saham Australia

Lihat artikel Lim Toon, Privatisasi dan Regionalisasi: Pengalaman Singapore Telcom, dalam buku BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi, Gramedia-Jakarta, 2005, halaman 145-159.

www.investment.com.au, diakses tanggal 30 Januari 2011

13

14

15

9INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK UTAMA

Bagan-01 : Struktur Kepemilikan Sing Tel

SelectedAssociates

Sing TelMobile

SingNet NCSOPTUSAustralia

Sing Tel Group

CapitalGroup

Temasek Others

AIS ThailandGlobe

PhilippinesBharti Telcom

IndiaNCIC

TaiwanTelkomselIndonesia

I2i(India-Singapore)

Sing Post(Singapore)

21,5% 40,2% 28,5% 24,5 35% 50% 31%

100% 100% 100% 100%

4,99% 64,92% 30,09%

Prestasi-prestasi perusahaan yang melakukan IPO seperti ini mestinya

harus terus menerus disosialisaikan pemerintah kepada masyarakat, agar

masyarakat tidak terbelenggu dengan pandangan-pandangan yang keliru tentang

privatisasi BUMN. Selama ini, BUMN yang go public hanya dipamerkan

kebolehannya (melalui berbagai media massa) dengan award-award yang

diberikan oleh berbagai lembaga penilai, namun keberhasilan tersebut tidak terbaca

(terpublikasi) dengan baik oleh masyarakat luas. Persepsi masyarakat tentang

BUMN belum berubah, sehingga hal ini selalu menjadi hambatan bahkan

komoditas/isu politik ketika pemerintah ingin meng-IPO-kan beberapa BUMN.

Masih dalam ingatan publik tentang kasus IPO Indosat, di mana harga asetnya

dinilai sejumlah analis terlalu murah. Ketika Sing Tel ingin mendivestasi

kepemilikannya di Indosat dan pemerintah berniat membelinya (buy back) namun

pengamat mengingatkan bahwa harga buy back terlalu mahal. Kasus Indosat ini

kemudian sering dijadikan benchmark (buruk) untuk menolak rencana pemerintah

memprivatisasi BUMN. Begitu juga dengan kasus IPO Garuda (pricingnya dinilai

terlalu mahal sehingga negara –melalui BUMN Sekuritas- harus menanggung

risikonya) dan IPO Krakatau Steel (yang dinilai relatif murah sehingga ada penilaian

potensi pendapatan yang hilang). Kondisi ini menambah lagi catatan publik dalam

mengkritisi setiap rencana privatisasi BUMN. Pada akhirnya pemerintah sebagai

pemegang saham harus melakukan analisa serta persiapan yang matang dalam

pelaksanaan strategi privatisasi BUMN, agar hasil yang diharapkan dapat terwujud

demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Penutup

10 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

Undang-Undang 23/2007 tentang perkeretaapian membuka era baru

industri jasa perkeretaapian yang mengakhiri monopoli penyelenggaraan usaha

perkeretapian dan membuka ruang yang luas bagi seluruh badan usaha untuk turut

terlibat dalam pengelolaan jasa perkeretaapian nasional. Namun demikian empat

tahun sejak berlakunya UU tersebut, tindak lanjut pelaksanaannya masih berjalan

lambat. Hal ini terlihat dari belum tuntasnya penataan penyelenggaraan sarana dan

prasarana perkeretaapian termasuk pengaturan kelembagaan yang mengelolanya,

perbaikan kondisi PT Kereta Api Indonesia Persero (PT KAI Persero) baik

menyangkut audit menyeluruh, inventarisasi aset maupun penetapan neraca awal

perusahaan, serta penegasan status kewajiban pelayanan publik (public service 1obligation/PSO) .

Salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan penataan adalah penegasan

status PSO perkeretaapian sesuai dengan amanat UU 23/2007, karena hal ini juga

terkait dengan hubungan keuangan antara pemerintah (APBN) dan badan usaha

penyelenggara perkeretaapian yaitu PT KAI (Persero). Satu aturan pelaksanaan

yang telah ada yaitu PP 56/2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian hanya

mengatur ketentuan teknis penyelenggaraan perkeretaapian serta belum

menyinggung aspek kebijakan dan ketentuan PSO. Pelaksanaan PSO

perkeretaapian sampai dengan saat ini masih mengacu ketentuan lama sebelum

UU 23/2007. Adanya desakan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengganti

RUBRIK BUMN

Terkait dengan permasalahan ini telah dibentuk Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional pada tahun 2009 yang dalam Laporan Akhir-nya telah mengeluarkan empat rekomendasi kebijakan yaitu revitalisasi sektor, pengaturan kelembagaan, restrukturisasi korporat, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

1

ketentuan pelaksanaan PSO menuntut

Pemer in tah segera menyusun

peraturan mengenai PSO yang

mengacu UU 23/2007.

Momentum penataan status

PSO perkeretaapian ini semestinya

dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah

sebagai salah satu tahap dalam

pembenahan menye luruh a tas

berbagai permasalahan pada industri

j asa perkere taap ian seh ingga

menjadikan industri ini semakin tertata

baik dan berkembang dan pada

akhirnya akan mampu menjawab

kebutuhan tersedianya moda angkutan

masal yang handal di masa depan.

Berkaitan dengan isu-isu seputar

penataan PSO perkeretaapian

tersebut, tulisan ini mencoba untuk

mengurai benang merah pelaksanaan

PSO di BUMN perkeretaapian yang

berjalan selama ini dan memberi

masukan atas kebijakan PSO sesuai

dengan prinsip-prinsip yang berlaku

umum dan jiwa UU 23/2007.

Pengantar

11INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNPrinsip Kebijakan PSO

PSO pada dasarnya merupakan

instrumen strategis pemerintah karena

dapat d igunakan sebagai a lat

pemerataan pendapatan, disamping

s e b a g a i a l a t u n t u k m e m a c u

pertumbuhan ekonomi, yang pada

gilirannya akan dapat menciptakan

stabilitas ekonomi dan sosial. Fungsi

dari PSO tersebut tentunya akan

terwujud apabila lembaga pelaksana

yang mendapat penugasan PSO

berada dalam keadaan sehat. Guna

memelihara kedua kepentingan ini yaitu

tercapainya sasaran PSO di satu sisi

dan kesinambungan badan usaha

pelaksana di sisi lain, maka penugasan

PSO kepada badan usaha khususnya

BUMN telah diatur dalam UU 19/2003

tentang BUMN yang menegaskan

bahwa setiap penugasan khusus

pemerintah kepada BUMN untuk

menyelenggarakan fungsi kemanfaatan

umum tetap memperhatikan maksud

dan tujuan kegiatan BUMN. Hal ini

berarti penugasan yang secara kajian

keuangan tidak layak, maka pemerintah

harus memberikan kompensasi atas

semua biaya yang telah dikeluarkan

oleh BUMN termasuk marjin yang

diharapkan.

Pengalokasian PSO yang mendukung

pencapaian keseimbangan diatas

semestinya mengacu pada prinsip-

prinsip yang adil bagi semua pihak dan

dapat d iper tanggung jawabkan.

Beberapa prinsip yang dapat dijadikan

sebagai pegangan antara lain: (i)

penyediaan subsidi harus didasarkan

pada peraturan sektor yang berlaku

atau penyataan resmi kebijakan

pemerintah; (ii) maksud dan tujuan

subsidi harus ditentukan dengan jelas;

(iii) para target penerima manfaat

pelayanan yang disubsidi harus

di identif ikasi secara tepat; ( iv)

rancangan subs id i hendaknya

m e n u n j a n g p e n y e d i a a n d a n

penggunaan pelayanan yang efisien;

(v) rancangan subsidi hendaknya

memfas i l i t as i dan mendukung

terciptanya penyediaan pelayanan

yang berkelanjutan dengan biaya

anggaran yang semakin berkurang; (vi)

subsidi hendaknya disediakan untuk

penyediaan output pelayanan tertentu

daripada disediakan untuk input bagi

produksi pelayanan; (vii) keuntungan

yang diharapkan dari sebuah subsidi

hendaknya sama dengan atau melebihi

biaya yang diharapkan; (viii) jumlah

subsidi didasarkan pada biaya

penyediaan pelayanan yang efisien; (ix)

tanggung jawab subsidi sebuah

pelayanan hendaknya terletak pada

tingkat pemerintahan yang mengatur

penyediaan subsidi tersebut; dan (x)

subsidi hendaknya bersifat eksplisit

serta informasi tentang biaya anggaran

dan manfaatnya hendaknya tersedia 2secara terbuka .

Prinsip penugasan PSO kepada BUMN

diatur dalam PP 45/2006 tentang

Pendirian, Pengurusan, Pengawasan,

dan Pembubaran BUMN dengan

ketentuan (i) pemerintah dapat

memberikan penugasan khusus kepada

BUMN untuk menyelenggarakan fungsi

kemanfaatan umum dengan tetap

memperhatikan maksud dan tujuan

serta kegiatan usaha BUMN, (ii)

rencana penugasan khusus tersebut

h a r u s d i k a j i b e r s a m a y a n g

dikoordinasikan oleh Menteri Teknis

yang memberikan penugasan, (iii)

apabila penugasan tersebut secara

keuangan tidak menguntungkan maka

Pemer intah harus member ikan

kompensasi atas semua biaya yang

telah dikeluarkan oleh BUMN termasuk

marjin yang diharapkan, (iv) setiap

penugasan khusus harus disetujui oleh

R U P S / M e n t e r i B U M N k a r e n a

penugasan tersebut pada prinsipnya

mengubah rencana kerja dan anggaran

perusahaan yang telah ada, (v) BUMN

yang melaksanakan penugasan khusus

h a r u s m e l a k u k a n p e m i s a h a n

pembukuan sehingga memudahkan

monitoring dan evaluasi pelaksanaan

PSO serta dalam rangka pencapaian

sasaran usaha perusahaan. Semua

prinsip ini semestinya dituangkan dalam

aturan pelaksanaan PSO, baik dalam

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, “Dengan PSO Menjembatani Kesenjangan Infrastruktur: Kajian Awal Kebijakan Pelayanan Umum (PSO) BUMN Infrastruktur”, Jakarta, 2007, halaman 17.

Kementerian BUMN, “Master Plan BUMN Tahun 2010-2014”, Jakarta, 2010, halaman 111.

2

bentuk Perpres atau PP, terutama

menyangkut SOP pengusulan/penugasan

PSO, pe laksanaan PSO, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan PSO,

aturan mengenai besaran dan

perhitungan marjin pelaksanaan PSO,

dan aturan mengenai penuangan PSO 3dalam suatu kontrak yang jelas .

3

Kebijakan PSOPerkeretaapian Selama Ini

Kebijakan PSO perkeretaapian selama

ini mengacu Keputusan Bersama

Menter i Perhubungan, Menter i

Keuangan, dan Menteri Negara

P e r e n c a n a a n P e m b a n g u n a n

Nasional /Bappenas Nomor KM

1 9 / 1 9 9 9 , 8 3 / K M K . 0 3 / 1 9 9 9 ,

K E P. 0 2 4 / K / 0 3 / 1 9 9 9 t e n t a n g

Pembiayaan Atas Pelayanan Umum

Angkutan Kereta Api Penumpang Kelas

Ekonomi, Pembiayaan Atas Perawatan

dan Pengoperasian Prasarana Kereta

Api, serta Biaya Atas Penggunaan

Prasarana Kereta Api (SKB 1999). SKB

1999 tidak hanya mengatur tentang

PSO tetapi merupakan satu paket

dengan pembiayaan atas perawatan

dan pengoperasian prasarana kereta

api (Infrastructure Maintenance and

Operation/IMO) dan biaya atas

penggunaan prasarana kereta api

(Track Acces Charges/TAC). Hal ini

m e n u n j u k k a n k e b i j a k a n d a n

pengaturan PSO perkeretaapian tidak

dapat lepas dari aspek IMO dan TAC.

PSO perkeretaapian diberikan dalam

bentuk penyediaan pelayanan umum

angkutan kereta api penumpang kelas

ekonomi yang pelaksanaannya

d i t u g a s k a n k e p a d a b a d a n

penyelenggara, dalam hal ini adalah PT

KAI (Persero) yang merupakan satu-

satunya badan usaha penyelenggara

perkeretaapian. Atas penugasan

tersebut pemerintah memberikan

kompensasi dana PSO, yang dihitung

berdasarkan selisih antara biaya yang

dikeluarkan untuk operasi angkutan

kereta api sesuai kriteria dan tolok ukur

12 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNpelayanan umum angkutan kereta api yang efisien dengan biaya angkutan kereta

api penumpang kelas ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah. Disamping

membiayai PSO, pemerintah juga membiayai IMO yang besaran pembiayaannya

diusulkan oleh badan penyelenggara. Sedangkan atas penggunaan prasarana

perkeretaapian, badan penyelenggara wajib membayar TAC kepada pemerintah

yang besarannya ditetapkan oleh pemerintah.

Skema PSO-TAC-IMO sebenarnya telah mengakomodasi kepentingan pemerintah

sebagai pihak yang menguasai perkeretapian dengan segala hak dan kewajibannya

serta kepentingan badan penyelenggara dalam menjalankan usahanya dengan

wajar. Namun pelaksanaan skema tersebut ternyata tidak berjalan seperti yang

telah ditetapkan. Pelaksanaan PSO selama ini masih menyisakan masalah berupa

perbedaan antara dana PSO yang telah dibayarkan pemerintah dan realisasi dana

PSO menurut hasil audit BPK (Tabel 1). Selisih kurang dana PSO akibat perbedaan

ini tidak dibayarkan oleh pemerintah, hal ini terkait dengan klausul dalam kontrak

PSO yang antara lain menyatakan bahwa (i) apabila hasil audit BPK menunjukkan

lebih bayar, maka kelebihan tersebut harus disetor kembali ke kas negara, (ii)

sebaliknya apabila hasil audit BPK menunjukkan dana PSO yang ditanggung PT

Kereta Api lebih besar dari jumlah yang dibayarkan Pemerintah, maka kekurangan

dana tersebut tidak dapat ditagihkan kepada negara.

Tabel 1Perkembangan Dana PSO Perkeretaapian Tahun 2006 s.d. 2010 (Rp miliar)

Subsidi yang dibayar Pemerintah

Realisasi

Selisih

450.00

533.62

(Audit BPK)

-83.62

425.00

423.93

(Audit BPK)

1.06

554.66

715.30

(audit BPK)

-170.64

520.92

543.46

(Audit BPK)

-14.07

535.00

Belum ada hasil Audit

BPK

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2009 dan 2010.

Ketentuan tersebut dinilai kurang adil

dan cenderung dis-insentif bagi badan

usaha yang menjalankan penugasan

PSO, mengingat perubahan dana PSO

juga dipengaruhi oleh fluktuasi kondisi

perekonomian (seperti kenaikan harga

BBM) dan realisasi jumlah penumpang

yang melebihi target dalam kontrak.

Hasil audit BPK atas perhitungan

realisasi dana PSO semestinya telah

memperhitungkan berbagai perubahan

tersebut. Permasalahan PSO lainnya

a d a l a h k e t e r l a m b a t a n

penandatanganan kontrak PSO yang

berakibat pembayaran dana PSO oleh

pemerintah juga terlambat, yang

pencairannya seringkali dilakukan pada 4trilwulan III setiap tahunnya . Kondisi ini

menyebabkan badan usaha pelaksana

PSO harus mendanai terlebih dahulu

kebutuhan operasional PSO. Praktik

seperti ini selain akan mengganggu

aspek tata kelola perusahaan yang baik

Terkait dengan kondisi ini BPK dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2010 telah merekomendasikan kepada Dirjen Perkeretaapian dan Direksi PT KAI (Persero) agar menandatangani kontrak PSO sebelum pelaksanaan PSO serta memperbaiki klausul kontrak PSO terutama klausul mengenai sanksi dan formula penghitungannya.

4

juga akan berdampak buruk pada

k u a l i t a s p e l a y a n a n a n g k u t a n

penumpang kelas ekonomi.

Begitu pula dengan skema TAC-IMO

yang diharapkan dapat menjadi solusi

dalam penyediaan sarana dan

prasarana perkeretaapian yang efisien

dan memenuhi standar ternyata tidak

dapat berjalan. Selama ini Pemerintah

telah menetapkan bahwa besaran IMO

disamakan dengan TAC, walaupun

pada kenyataanya besaran kedua

komponen in i dapat berbeda.

Disamping itu APBN setiap tahunnya

telah mengalokasikan dana yang cukup

besar untuk mendukung IMO. Tahun

2008 telah dianggarkan dana untuk sub

sektor perkeretaapian sebesar Rp3,9

triliun yang selain untuk IMO juga

diperuntukkan untuk pengadaan sarana

kereta api. Namun di pihak lain, PT KAI

(Persero) juga telah mengeluarkan

biaya untuk hal yang sama sebesar

Rp0,8 triliun. Kondisi ini menunjukkan

adanya tumpang tindih tanggung jawab

dan kewajiban penyelenggaraan IMO.

Akibatnya TAC yang semestinya

menjadi penerimaan pemerintah tidak

dapat ditagihkan kepada badan

penyelanggara perkeretaapian.

Kondisi in i diperparah dengan

ketidakjelasan kepemilikan aset baik

sarana maupun prasarana kereta api

yang dikuasai oleh pemerintah dan PT

KAI (Persero). Hal ini terlihat dari

semakin besarnya jumlah aset bantuan

pemerintah yang belum ditentukan

statusnya (BPYBDS) baik yang

dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan

oleh PT KAI (Persero).

13INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMN

Gambar 1Perkembangan BPYBDS pada PT KAI (Persero) Tahun 2006 s.d. 2010 (Rp miliar)

7.000

6.000

5.000

4.000

3.000

2.000

1.000

0

5,546.94

2,534.56

696.82

6,459.17

2,593.42

1,055.89

5,773.86

2,509.94

1,072.94

5,544.50

3,737.68

1,072.94

5,583.60

3,953.24

1,072.94

2006 2007 2008 2009 2010

Total Aset

Ekuitas

Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBS)

Sumber: Laporan Keuangan PT KAI (Persero), diolah.

Berbagai kondisi diatas pada ujungnya

akan berdampak pada kondis i

keuangan PT KAI (Persero) serta dapat

m e n j a d i p e n g h a m b a t d a l a m

implementasi UU 23/2007, mengingat

investasi yang dibutuhkan dalam

industri jasa perkeretaapian sangat

besar dan menuntut adanya kepastian

usaha yang jelas. Sehingga wajar

apabila UU 23/2007 memberikan

kesempatan kepada pemerintah

selama tiga tahun untuk memperbaiki

kondisi PT KAI (Persero) dengan

mengambi l langkah-langkah ( i )

melakukan audit menyeluruh terhadap

PT KAI (Persero), (ii) melakukan

inventarisasi aset prasarana dan

sarana PT KAI (Persero), ( i i i )

menegaskan status PSO dan kewajiban

masa lalu penyelenggaraan program

pension pegawai PT KAI (Persero) eks

PNS PJKA/ Departemen Perhubungan

(past service liabilities) dan (iv)

membuat nerawa awal PT KAI

(Persero).

Kebijakan PSOMenurut UU 23/2007

Kebijakan PSO dalam UU 23/2007

mengalami perubahan setidaknya dari

aspek (i) kewajiban pemerintah dalam

penyediaan perkeretaapian, (ii) dasar

pembebanan dana kompensasi PSO,

(iii) bentuk penugasan PSO, serta (iv)

aspek kelembagaan. Aspek pertama,

k e w a j i b a n p e m e r i n t a h d a l a m

penyediaan perkeretaapian meliputi

PSO angkutan pelayanan kereta api

kelas ekonomi dan angkutan perintis

kereta api. PSO angkutan pelayanan

kereta api kelas ekonomi diberikan

dalam hal masyarakat dinilai belum

mampu membayar tarif yang ditetapkan

penyelenggara sarana perkeretaapian.

Sedangkan angku tan pe r i n t i s

dioperasikan dalam waktu tertentu

untuk melayani daerah baru atau

daerah yang sudah ada jalur kereta

apinya dalam rangka menunjang

pemerataan, pertumbuhan, dan

stabilitas pembangunan nasional, tetapi

s e c a r a k o m e r s i a l b e l u m

menguntungkan.

Photo : Dian NW

14 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNAspek kedua, penggantian dana PSO

yang diajukan oleh badan usaha

penyelenggara tidak lagi berdasarkan

biaya yang dikeluarkan untuk operasi

a n g k u t a n k e r e t a a p i , t e t a p i

diperhitungkan menurut selisih tarif

antara tarif angkutan pelayanan kelas

ekonomi yang di tetapkan oleh

penyelenggara sarana perkeretaapian

dengan tarif angkutan kelas ekonomi 5yang ditetapkan oleh pemerintah .

Apabila tarif yang ditetapkan oleh

pemerintah lebih rendah dari tarif yang

dihitung oleh penyelenggara sarana

perkeretaapian maka selisihnya

menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sedangkan untuk angkutan perintis,

pemer in tah akan member i kan

kompensasi apabila biaya yang

dikeluarkan oleh penyelenggara sarana

perkeretaapian untuk mengoperasikan

sarana perkeretaapian lebih tinggi

daripada pendapatan yang diperoleh

berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh

Pemer in tah . Perubahan dasar

perhitungan ini tentunya akan merubah

ketentuan dan komponen-komponen

yang dijadikan sebagai perhitungan

dana PSO dan subsidi.

Aspek ke t i ga , PSO angku tan

perkeretaapian pelayanan kelas

ekonomi maupun angkutan perintis

pada dasarnya di lakukan oleh

penyelenggara sarana perkeretaapian,

yang artinya tidak hanya dilakukan oleh

PT KAI (Persero) sebagai BUMN tetapi

juga dapat dilaksanakan oleh badan

usaha selain BUMN seperti Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) atau

badan hukum Indonesia yang khusus

didirikan untuk perkeretaapian. Hal ini

b e r a r t i p e l a k s a n a a n P S O

perkeretaapian dilakukan dengan

pelelangan umum, yang tentunya

mengacu pada peraturan yang berlaku

terkait dengan pengadaan barang dan

jasa Pemerintah, kecuali dalam hal

tidak ada badan usaha yang sanggup

melaksanakannya maka dapat

dilakukan penugasan kepada BUMN

yang telah ada. Namun demikian,

dalam jangka panjang penugasan

tersebut semestinya harus dibatasi

untuk memberi kesempatan kepada

b a d a n - b a d a n u s a h a l a i n

mempersiapkan diri dan terlibat dalam

jasa penyelenggaraan perkeretaapian,

guna mewujudkan penyelenggara

sarana perkeretaapian yang lebih

efisien.

Aspek keempat, UU 23/2007 telah

memisahan kelembagaan pelaksana

an ta ra penye lenggara sa rana

perkeretaapian dan penyelenggara

p r a s a r a n a p e r k e r e t a a p i a n .

Penyelenggara sarana perkeretaapian

a d a l a h b a d a n u s a h a y a n g

mengusahakan sarana perkeretaapian

umum, sedangkan penyelenggara

prasarana perkeretaapian adalah pihak

yang menyelenggarakan prasarana

perkeretaapian. Pemisahan in i

merupakan prasyarat terwujudnya

kejelasan status pelaku usaha,

kesetaraan dalam melakukan usaha,

dan akuntabilitas pihak-pihak yang

menyelenggarakan sarana dan

prasarana perkeretapian beserta hak

dan kewajibannya. Selain itu, pemisahan

kelembagaan pengelola ini akan

memungkinkan berjalannya skema IMO-

TAC. Dengan terwujudnya dua lembaga

pengelola tersebut, maka tugas dan

peranan Pemerintah akan lebih focus

sebagai pengatur (regulator) industri jasa

penyelenggaraan perkeretaapian baik

yang menyangkut sarana maupun

prasarana, seperti penetapan pedoman

tarif yang lebih mengakomodasi harapan

para calon investor, standar pelayanan

minimum penyelenggaraan PSO dan

angkutan perintis dengan lebih

mengutamakan peningkatan kualitas

pelayanan, pengalokasian anggaran

PSO yang sehat dan wajar, serta

penetapan besaran biaya penggunaan

biaya prasarana perkeretaapian yang

memadai. Dan terakhir memastikan

semua pihak-pihak yang terlibat dalam

industri jasa perkeretaapian patuh dan

konsisten pada aturan yang telah

ditetapkan.

Terkait dengan pentarifan, penyelenggara sarana perkeretaapian dalam menetapkan tarif baik angkutan orang maupun barang harus mengacu pada pedoman tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah menetapkan pedoman tarif tersebut berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan dan keuntungan.

Suyono Dikun, “Membangun Landasan Untuk Kebangkitan Perkeretaapian”, dalam Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, Edisi 2, Jakarta, April 2010, halaman 10.

5

Berkaitan dengan langkah-langkah

pemerintah dalam rangka menyusun

kerangka ketentuan baru yang

memayungi kebijakan dan pelaksanaan

PSO-IMO-TAC, beberapa catatan yang

perlu diperhatikan antara lain:

Beberapa CatatanDalam Rangka PerumusanKebijakan PSOPerkeretaapian

a. Ketentuan pengganti SKB 1999

selain mengacu UU 23/2007

semestinya juga memperhatikan

ketentuan terkait lainnya seperti UU

19/2003 dan PP 45/2003 karena

keterlibatan BUMN dalam PSO

perkeretaapian harus disetujui

RUPS/Menteri BUMN. Sedangkan

terkait dengan IMO dan TAC perlu

mempertimbangkan PP 6/2006

tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara dan Daerah karena terdapat

s a r a n a d a n p r a s a r a n a

perkeretaapian yang dibiayai oleh

APBN namun pemanfaatannya

dilakukan oleh penyelenggara sarana

maupun prasarana perkeretaapian.

b. Selama belum ada badan usaha

p e n y e l e n g g a r a p r a s a r a n a

perkeretaapian maka dimungkinkan

penugasan khusus kepada BUMN

yang ada untuk melaksanakannya,

dengan tetap memperhatikan hak

dan kewajiban serta jangka waktu

pelaksanaanya. Namun dalam

jangka panjang tetap per lu

dipersiapkan pendirian lembaga

p e n y e l e n g g a r a p r a s a r a n a

perkeretaapian, beberapa alternatif

k e l e m b a g a a n y a n g d a p a t

dipertimbangkan antara lain: (i)

Badan Layanan Umum (BLU) unit

khusus yang mengoperasikan

prasarana perkeretaapian, (ii)

pembentukan anak perusahaan di

bawah PT KAI (Persero) yang

mengoperasikan prasarana yang

nantinya disiapkan sebagai BUMN

tersendiri, dan (iii) sejak awal

membentuk BUMN baru yang

mengelola pengoperasian dan

p e r a w a t a n p r a s a r a n a 6perkeretaapian .6

15INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNc. Perlu dirinci tanggung jawab Kementerian yang harus menyusun peraturan-peraturan pelaksanan lebih lanjut, misalnya

Kementerian Keuangan perlu menyusun PMK tentang tata cara pembayaran subsidi, Kementerian Perhubungan menyusun

peraturan menteri terkait dengan standar pelayanan minimum dan besaran tarif pelayanan angkutan kereta api PSO, dan

Kementerian BUMN sebagai RUPS memberi persetujuan atas penugasan PSO kepada BUMN. Kejelasan pembagian tugas

tersebut sangat penting dalam mendorong akuntabilitas perencanaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan PSO.

d. Perlu dilakukannya pengkajian yang komprehensif atas penugasan PSO kepada BUMN maupun badan usaha lainnya. Hasil

kajian ini untuk memastikan bahwa seluruh aspek yang terkait dengan PSO telah dipertimbangkan seperti siapa sasaran

penumpang kereta api yang dituju dan berapa jumlah yang ditargetkan, PSO berlaku untuk rute yang mana, apakah tarif

yang ditetapkan telah sesuai dengan daya beli masyarakat dan apabila kondisi perekonomian telah berubah apakah perlu

untuk dilakukan penyesuaian, termasuk dalam kajian ini adalah unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam penetapan dan

alokasi dana PSO. Hasil kajian ini sangat penting dalam penetapan perencanaan PSO sehingga pelaksanaannya akan lebih

efisien dan tepat sasaran.

e. Terkait dengan praktik pembayaran dana PSO oleh pemerintah yang selalu terjadi perbedaan dengan realisasi hasil audit

BPK, semestinya harus dibuka ruang yang mengakomodasi apabila terjadi perubahan asumsi-asumsi yang digunakan

dalam perhitungan dana PSO. Sebagai contoh pada saat krisis ekonomi yang mengakibatkan terjadinya kenaikan biaya

operasional maka perlu dilakukan penyesuaian tarif, terkait hal ini perlu ditetapkan kriteria yang menyatakan asumsi-asumsi

apa saja yang dapat diakomodasi perubahannya. Selain itu guna menjaga melonjaknya risiko yang harus ditanggung oleh

APBN maka perlu dipertimbangkan mekanisme yang menetapkan batas tertinggi pembayaran subsidi. Semua perubahan

tersebut semestinya dimasukkan di dalam klausul kontrak pelaksanaan PSO.

f Keterlambatan pembayaran dana PSO kepada pelaksana PSO yang sering dilakukan pada triwulan II tahun berikutnya

semestinya dilakukan perbaikan agar tidak memberatkan keuangan badan usaha. Perlu dipertimbangkan pelaksanaan

pembayaran PSO yang diberikan secara teratur kepada BUMN pelaksana PSO lainnya, seperti PT Pertamina dan PT PLN.

Pembayaran dana PSO dapat dilakukan secara berkala dalam bulanan atau triwulanan, dan atas pembayaran ini cukup

dilakukan verifikasi administratif saja. Pada akhir tahun anggaran baru dilakukan audit oleh BPK yang telah berjalan selama

ini untuk menetapkan jumlah realisasi pembayaran dana PSO yang definitif. Berkaitan dengan hal ini penandatanganan

kontrak pelaksanaan PSO juga harus dilakukan tepap waktu di awal tahun anggaran.

Photo : Dian NW

16 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

Air merupakan salah satu kebutuhan

dasar bagi manusia. Kebutuhan air

menjadi semakin tinggi seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk. Dari

sekian banyak manfaat air bagi manusia,

kebutuhan yang paling utama dan

pertama yaitu sebagai air minum.

Kebutuhan akan air minum biasanya

diperoleh langsung dari alam melalui air

tanah. Namun, seiring berjalannya

waktu ketersediaan dan kualitas air

t a n a h m u l a i t e r g a n g g u

keseimbangannya. Penggunaan air

tanah secara besar-besaran baik rumah

tangga maupun industri, khususnya di

kota-kota besar telah mengurangi

persediaan air tanah secara drastis. Hal

tersebut diperparah dengan pengaruh

dari limbah yang langsung dibuang ke

sungai dan laut. Pencemaran air tanah

oleh limbah telah mengurangi kualitas air

tanah sehingga mengurangi kelayakan

air tanah untuk kebutuhan air minum.

S e l a m a i n i t u l a n g p u n g g u n g

penyediaan air minum dilaksanakan

oleh Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM). PDAM merupakan badan

usaha milik daerah yang berkedudukan

di tingkat Pemerintah Kota maupun

RUBRIK BUMN

Latar Belakang

MENIMBANG SKEMA KPSUNTUK INFRASTRUKTUR PENYEDIAAN AIR MINUMOleh: Slamet Rona Ircham

Kabupaten. Tugas PDAM adalah menyediakan layanan air bersih untuk masyarakat

di sekitarnya. PDAM melaksanakan kegiatan yang meliputi pengolahan air baku

menjadi air bersih. Air bersih ini kemudian didistribusikan kepada para pelanggan di

lingkungan pelayanannya.

Saat ini kondisi pelayanan air minum di Indonesia masih relatif rendah. Pada tahun

2011 saja, proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)

secara nasional baru mencapai 47,71%. Sedangkan total cakupan pelayanan air

minum perpipaan nasional baru mencapai 25,56%. Kondisi tersebut hendak

ditingkatkan melalui target Millenium Development Goal's (MDG's) pada tahun 2015.

Pada tahun 2015, target proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi

(akses aman) secara nasional ditingkatkan menjadi 68,87%. Sedangkan total

cakupan pelayanan air minum perpipaan nasional ditargetkan mencapai 41,03%.

Rincian kondisi dan target pelayanan air minum dapat dilihat pada tabel di bawah.

Kondisi Pelayanan Air Minum Target Pelayanan Air Minum 2015

Proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)

Nasional

Perkotaan

Perdesaan

Nasional

Perkotaan

Perdesaan

:

:

:

:

:

:

47,71 %

49,82 %

45,72 %

25,56 %

43,96 %

11,54 %

Total cakupan pelayanan air minum perpipaan

Proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)

Nasional

Perkotaan

Perdesaan

Nasional

Perkotaan

Perdesaan

:

:

:

:

:

:

68,87 %

78,19 %

61,60 %

41,03 %

68,32 %

19,76 %

Total cakupan pelayanan air minum perpipaan

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2011

Keterangan:

1) Target pelayanan air minum tahun 2015 mengacu pada target MDG's.2) Target pelayanan air minum (akses aman) tahun 2020 sebesar 85% dan target tahun 2025 sebesar

Sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan target tersebut, PDAM masih berkutat

dengan berbagai kendala. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

PERPAMSI, permasalahan yang umum dialami oleh PDAM dapat dilihat dari

17INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNberbagai sisi. Dari sisi teknis, PDAM audit pada tahun 2010 mencatat 341 penghapusan utang non pokok dan

menghadapi permasalahan terkait PDAM di seluruh Indonesia. Dari jumlah penjadwalan ulang pembayaran utang.

rendahnya cakupan pelayanan, tersebut, 142 PDAM mempunyai kinerja Sampai dengan Juni 2011, Menteri

tingginya tingkat kehilangan air, sehat, 128 PDAM mempunyai kondisi K e u a n g a n s u d a h m e n y e t u j u i

rendahnya tingkat penagihan piutang, kurang sehat, dan 71 PDAM dalam restrukturisasi utang untuk 69 PDAM. dan meningkatnya komponen biaya kondisi sakit. Sejak tahun 2007, Proses restrukturisasi yang sedang produksi. Dari sisi keuangan, banyak sebanyak 175 PDAM memi l ik i ber ja lan sebanyak 20 PDAM, PDAM mempunyai hutang yang sangat tunggakan utang kepada Pemerintah sedangkan 28 usulan restrukturisasi besar. Selain itu biaya pegawai senilai Rp4,6 Triliun. Untuk mengatasi dari PDAM dikembalikan karena tidak cenderung meningkat karena adanya berbagai permasalahan tersebut, memenuhi syarat. Pada tahun 2009, inefisiensi tenaga kerja. Di sisi lain, Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai Pemerintah juga mengeluarkan rendahnya tarif penjualan air semakin program, bantuan dan kebijakan kebijakan penjaminan terhadap pokok menjadikan PDAM kesulitan untuk diberikan kepada PDAM untuk kredit investasi PDAM dan memberikan meningkatkan kebijakan investasi yang m e n i n g k a t k a n k i n e r j a d a n subsidi bunga melalui Peraturan terarah. Dari sisi non teknis, campur pelayanannya. Kementerian Pekerjaan Presiden Nomor 29 Tahun 2009. tangan Pemerintah Daerah dan DPRD Umum telah memberikan bantuan Sampai dengan 31 Desember 2011, dalam pengambilan kebijakan PDAM teknis sejak tahun 2007. Pada tahun sudah te rdapa t 5 bank yang terlalu besar. Hal ini menjadikan PDAM 2009, PDAM juga mendapatkan insentif memberikan komitmen pendanaan sulit untuk berkembang secara apabila dapat menyelesaikan utang dengan skema tersebut dengan nilai profesional. tepat pada waktunya. Rp4,22 Triliun. Dari jumlah tersebut

Berbagai permasalahan tersebut Di sisi lain, Pemerintah melalui baru 3 PDAM yang menandatangani

membuat kinerja PDAM sedikit Kementerian Keuangan mengeluarkan perjanjian kredit dengan perbankan

terhambat. Berdasarkan data dari kebijakan restrukturisasi terhadap dengan nilai kredit sebesar Rp50,2

Kementerian Pekerjaan Umum, hasil utang PDAM. Kebijakan ini meliputi Miliar.

Program Penyehatan PDAM 2007 – 2011 dan Kebijakan Terkait

Hasil audit tahun 2007?PDAM Sehat 79?PDAM Kurang Sehat 113?PDAM Sakit 114

Tunggakan Utang PDAM?175 PDAM mempunyai

tunggakan utang dengan nilai Rp4,6 Triliun

Bantuan teknis Penyehatan PDAM:2007: 167 PDAM2008: 64 PDAM2009: 9 PDAM2010: 21 PDAM2011: 70 PDAM

Restrukturisasi Utang PDAM per November 2011:?Penghapusan utang non

pokok dan penjadwalan ulang pembayaran utang

?Sudah Mengajukan 117 PDAM

?Belum mengajukan 52 PDAM?Tunggakan dialihkan ke

pemkab/lunas/ada kerjasama operasi 11 PDAM

Program Insentif PDAM Tahun Anggaran 2009:?Insentif bagi PDAM yang

melunasi/ menyelesaikan kewajiban utang tepat waktu

?29 PDAM dengan target 202.750 SR

Hasil audit tahun 2010?PDAM Sehat : 142 PDAM?PDAM Kurang Sehat 128

PDAM?PDAM Sakit 71 PDAM

Hasil Restrukturisasi Utang per Juni 2011?Disetujui Menteri

Keuangan 69 PDAM?Dalam proses 20 PDAM?Dikembalikan 28 PDAM

(dikarenakan tarif dibawah biaya rata-rata/ laporan keuangan disclaimer

Tahun 2010Percepatan

Penyediaan Air Minum oleh PDAM

Sehat Melalui Akses Pinjaman

Perbankan(Perpres 29/2009)

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha

dalam penyediaan air minum

Tahun 2007

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Keuangan, 2011

18 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMNBerbagai program dan bantuan tersebut

dilaksanakan dengan tujuan untuk

meningkatkan kinerja PDAM sehingga

dapat meningkatkan pelayanannya.

Untuk mencapai target pelayanan yang

dicanangkan, diperlukan investasi yang

tidak sedikit. Selama ini pembiayaan

PDAM berasalah dari berbagai sumber

seperti APBN, APBD, Hibah, pinjaman

perbankan, maupun dari PDAM sendiri.

Namun, semua itu diperkirakan belum

dapat mencukupi kebutuhan untuk

mencapai target yang direncanakan.

Dari sisi PDAM sendiri, kemampuan

keuangan mereka begitu terbatas

karena harga jual air minum ditentukan

oleh Pemerintah Daerah yang pada

umumnya berada di bawah harga

keekonomian. Akibatnya, kemampuan

PDAM dalam berinvestasi menjadi

tergantung pada sumber-sumber

pembiayaan dari luar PDAM.

KPS Untuk InfrastrukturAir Minum

Salah satu kebijakan Pemerintah terkait

penyediaan infrastrukur yang dapat

dimanfaatkan untuk peningkatan

pelayanan air minum adalah Kerja

Sama Pemerintah dengan Badan

Usaha dalam penyediaan infrastruktur.

Skema pengadaan infrastrukur ini pada

prinsipnya yaitu mengajak pihak swasta

u n t u k b e r p a r t i s i p a s i d a l a m

pembangungan proyek infrastruktur

yang d idasarkan pada skema

pembagian risiko dan return yang wajar.

Hal ini dilakukan mengingat Pemerintah

tidak mempunyai cukup dana untuk

membangun semua infrastruktur yang

dibutuhkan. Karena itulah skema ini

sering dikenal sebagai Kerjasama

Pemerintah dan Swasta (KPS) atau

Public Private Partnership (PPP).

Selain menarik minat swasta, skema

KPS juga d imaksudkan untuk

membawa pengalaman, teknologi, dan

efisiensi yang dimiliki swasta ke dalam

pengelolaan infrastruktur.

Sebagai tindak lanjut atas kebijakan

t e r s e b u t , P e m e r i n t a h t e l a h

mengeluarkan Peraturan Presiden

Nomor 56 Tahun 2011 tentang

Perubahan Kedua atas Peraturan

Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang

Kerja Sama Pemerintah dengan Badan

Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Proyek infrastruktur yang dilaksanakan

dengan skema KPS dapat memperoleh

dukungan dan/atau jaminan dari

Pemerintah. Dukungan Pemerintah

d iber ikan untuk meningkatkan

kelayakan finansial proyek. Dukungan

dapat diberikan dalam bentuk perizinan,

pengadaan tanah, dukungan sebagian

konstruksi, insentif perpajakan,

kontrobusi fiskal dalam bentuk finansial,

dan dalam bentuk lain sesuai aturan.

Sedangkan jaminan Pemerintah

diberikan dalam rangka mitigasi risiko

politik (political risks) pada suatu proyek

yang tidak bisa dikendalikan oleh

swasta. Selain itu, jaminan Pemerintah

d i b e r i k a n u n t u k m e n g u r a g i

k e k h a w a t i r a n s w a s t a k e t i k a

bertransaksi atau berkontrak dengan

Kementer ian/Lembaga sebagai

pemilik/penanggung jawab proyek

(sovereign risk).

Berdasarkan Perpres 67/2005 dan

perubahannya, salah satu sektor yang

eligible untuk menerapkan skema KPS

adalah sektor infrastruktur air minum

yang meliputi bangunan pengambilan

air baku, jaringan transmisi dan

distribusi, serta instalasi pengolahan air

minum. Sesuai dengan peraturan

tersebut, Kepala Daerah atau BUMD

dapat bertindak sebagai Penanggung

Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK).

PJPK inilah yang akan berkontrak

dengan Badan Usaha/pihak swasta.

Proses pemilihan pihak swasta itu

sendiri harus dilakukan dengan proses

lelang yang transparan, akuntabel dan

dapat dipertanggungjawabkan. Apabila

Badan Usaha sudah terpilih, maka

Badan Usaha akan menandatangani

perjanjian kerja sama dengan PJPK.

Dalam perjanjian tersebut diatur

berbagai macam hak dan kewajiban

masing-masing pihak. Perjanjian inilah

yang merupakan dasar pelaksanaan

skema KPS. Semua hal terkait

p e l a k s a n a a n p e m b a n g u n a n

in f ras t ruk tur a i r minum dapat

dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Untuk dapat menerapkan skema KPS,

PDAM sebagai perpanjangan tangan

PJPK harus mempunyai kesiapan yang

b a i k . P D A M s e t i d a k - t i d a k n y a

mempunyai kinerja yang sehat baik

keuangan, manajemen maupun

operasionalnya. Manajemen PDAM

harus profesional sehingga pihak

swasta tertarik untuk bekerja sama. Dari

sisi Pemerintah Daerah, penetapan tarif

menjadi isu penting. Pemerintah

Daerah tentu menginginkan tarif air

yang serendah-rendahnya bagi

masyarakatnya. Komitmen Pemerintah

Daerah juga harus dijaga sehingga

ketika terjadi pergantian pimpinan tidak

menimbulkan pengaruh yang negatif

terhadap proyek KPS.

Dari sisi swasta, mereka adalah Badan

Usaha yang berorientasi pada profit.

Mereka tidak akan tertarik untuk

membangun infrastruktur jika proyek

tersebut tidak cukup menguntungkan.

Di sinilah peran dukungan Pemerintah

dibutuhkan. Dengan adanya dukungan

Pemerintah, proyek yang awalnya tidak

menguntungkan bisa menjadi proyek

yang menguntungkan. Selain itu,

mereka juga akan berhitung dengan

risiko termasuk keberlangsungan

proyek selama periode kerja sama.

Mereka akan concern dengan risiko-

r is iko yang dapat mengancam

kebelangsungan proyek. Contoh yang

sering muncul adalah risiko pergantian

kepala daerah yang dapat merubah

komitmen kerja sama proyek KPS.

Untuk itulah jaminan Pemerintah ada.

Jaminan Pemerintah pada prinsipnya

dimaksudkan untuk memberikan

kepastian terhadap keberlangsungan

jangka panjang dari proyek. Kepastian

itu bisa terkait dengan pembayaran dari

pelanggan maupun risiko politik seperti

pergantian kepala daerah.

19INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK BUMN

Penutup

Pada prinsipnya skema KPS dimaksudkan untuk memberikan keuntungan dan berbagi risiko dari kedua

belah pihak. Pemerintah sebagai PJPK berkepentingan dengan keberadaan layanan infrastruktur bagi

masyarakat, dalam hal ini infrastruktur penyediaan air minum. Pihak swasta mempunyai kepentingan

terhadap uang yang mereka investasikan. Kedua kepentingan ini dikemas dalam suatu kontrak kerja

sama yang jelas. Tidak ada salah satu pihak yang lebih kuat dari pihak yang lain. Pembagian risiko juga

dilakukan sesuai dengan pihak yang paling mampu mengelolanya. Karena itulah pelaksanaan dan

pengawasan terhadap kontrak kerja sama menjadi hal yang penting.

Skema KPS dalam sektor air minum bukan merupakan hal yang baru. Sektor air minum terbukti cukup

menarik minat swasta untuk berinvestasi. Contoh yang paling baru yaitu Proyek KPS Sistem Penyediaan

Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur dan Proyek KPS SPAM di Kota Bandar Lampung. Kedua

proyek tersebut sedang menyelesaikan tahapan pra-kualifikasi dan akan mempersiapkan tahapan

selanjutnya. Sukses atau tidaknya proyek tersebut, kita dapat mengambil pelajaran dari setiap proses

yang ada.

Perlu diingat bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dalam pembangunan infrastruktur air minum

adalah akses yang dapat terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian cara

membangun dan mengelola infrastruktur air minum dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan skema.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa skema KPS merupakan salah satu alternatif dari

banyak pilihan dalam peningkatan penyediaan infrastruktur air minum. Proyek KPS dapat terlaksana

dengan baik jika dilakukan dengan komitmen, kesungguhan, dan mengedepankan prinsip transparansi,

akuntabilitas, serta tanggung jawab.

www.fkaglobal.com

20 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

“Masalah Klasik Penyerapan Anggaran:

Numpuk Di Akhir Tahun”, demikian bunyi

salah satu judul berita di sebuah koran

nasional pada minggu akhir Desember

2011. Senada dengan berita tersebut,

seperti “Pencairan APBN Menumpuk Di

Akhir Tahun: Pangkas Birokrasi

Anggaran” (Investor Daily, 30 Desember

2011), “Bancakan Anggaran Pada Akhir

Tahun”(Republika, 28 Desember 2011),

“Kementerian Jangan Asal Habiskan

Anggaran” (Media Indonesia, 21

November 2011) , “Rendahnya

Penyerapan Anggaran Hambat

Perekonomian” (www.okezone.com, 5

Desember 2011) dan lain sebagainya.

Berbagai reminder dari publik di atas

memang tampak sinis, namun harus

diakui bahwa apa yang di-complain oleh

publik itu nyata adanya. Dari tahun ke

tahun, termasuk tahun 2011 ini, pola

realisasi penyerapan anggaran lambat

sampai triwulan ketiga dan menumpuk di

akhir tahun. Padahal penyerapan

anggaran yang dipercepat pada akhir

tahun tersebut membuat penggunaan

anggaran tidak tepat sasaran dan

manfaatnya kurang berdampak pada

masyarakat. Sampai dengan awal

Desember 2011, realisasi belanja masih

di bawah 80% dari total anggaran

belanja sekitar Rp 1.320 triliun. Untuk

belanja modal yang memiliki manfaat

langsung bagi pembangunan fisik baru

terealisir sekitar 70-an triliun dari total

alokasi anggaran yang sebesar

Rp140,95 triliun.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan

kalau di berbagai instansi pemerintah

kegiatan apa saja (seminar, workshop,

pelatihan, evaluasi kegiatan, pasang

iklan di media televisi dan lainnya) akan

RUBRIK FISKAL

Penyerapan AnggaranMasalah Klasik

Saatnya Pola Penyerapan APBN“Naik Kelas”

d i l a k u k a n , a s a l k a n d a p a t

dipertanggungjawabkan (ada kuitansi,

daftar hadir bagi orang yang terlibat, dan

lain-lain) pada akhir tahun. Maka

tidaklah mengejutkan kalau kesan yang

kemudian timbul dengan banyaknya

kegiatan pada akhir tahun itu hanyalah

untuk menghabiskan anggaran semata,

tanpa memikirkan tujuan dan target yang

ingin dicapai dengan kegiatan tersebut.

Munculnya kesan negatif tersebut

memang wajar karena dengan

menumpuknya kegiatan pada akhir

t a h u n m e n u n j u k k a n b a h w a

perencanaan yang dilakukan tidak baik

dan administrasi yang diterapkan juga

menjadi tidak tertib.

Direktur Jenderal Perbendaharaan

Kementerian Keuangan Agus Suprijanto

menyatakan bahwa terdapat beberapa

penyebab yang membuat lambatnya

p e n y e r a p a n a n g g a r a n

Kementerian/Lembaga (K/L). Pertama,

masalah regulasi. Kedua dan ketiga

yaitu rendahnya kualitas perencanaan

serta sulitnya pengadaan lahan. Soal

regulasi misalnya, salah satunya adalah

Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun

2010 tentang Pengadaan Barang dan

Jasa Pemerintah. Banyak K/L yang

masih belum paham untuk menerapkan

Keppres 54/2010 tersebut. Lamanya

proses penunjukan langsung dan tender

karena masih mengakomodasi tahap-

tahap yang sebenarnya tidak perlu.

Juga, penunjukan langsung pengadaan

barang dan jasa bernilai maksimal

Rp100 juta dianggap terlalu kecil untuk

mempercepat penyerapan anggaran.

Padahal dengan penyerapan anggaran

yang lebih cepat, pertumbuhan ekonomi

tentu akan dapat melaju relatif cepat.

Selain masalah peraturan, tidak

matangnya perencanaan program dan

kegiatan K/L menjadi penyebab

lambatnya perencanaan anggaran.

Banyak K/L yang sudah rampung daftar

isian pelaksanaan anggaran (DIPA)-nya

pada bulan Desember namun saat

pelaksanaan anggaran malah terbentur

b e r b a g a i h a m b a t a n k a r e n a

perencanaan yang tidak matang.

Oleh: Praptono Djunedi

21INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskalMenteri Keuangan dalam acara

Workshop Persiapan Pelaksanaan

APBN 2012 pada pertengahan

Desember 2011 lalu menyatakan bahwa

perencanaan anggaran K/L yang tidak

baik dapat berdampak pada tidak

optimalnya pencairan anggaran. Tidak

terencananya kegiatan perencanaan

anggaran tersebut disebabkan oleh

sedikitnya dua hal. Pertama, terkait

kompetensi dimana rencana kegiatan

yang seharusnya dibuat bagian teknis

malah disusun oleh bagian keuangan

K/L. Kedua, besaran angka kegiatan

disusun berdasarkan angka tahun lalu,

bukan usulan dari bagian teknis (tidak

bottom up). Dapat penulis tambahkan

b a h w a p a n j a n g n y a b i r o k r a s i

perencanaan anggaran hingga sampai

legislatif dapat berpotensi memperlambat

start pelaksanaan anggaran.

Dampak dari buruknya perencanaan

anggaran adalah buruknya administrasi

keuangan K/L. Administraasi keuangan

K/L yang amburadul membuat kualitas

pelaporan anggaran juga bermasalah.

Dengan kondisi demikian, catatan atau

t e m u a n p a d a l a p o r a n h a s i l

pemeriksaan auditor (internal maupun

eksternal) pada pelaksanaan anggaran

K/L tahun sebelumnya mesti menjadi

perhatian khusus bagi penelaah

anggaran suatu K/L pada masa

pe rencanaan angga ran tahun

berikutnya. Penelaaah anggaran di

Kemente r ian Keuangan harus

melakukan apa yang seharusnya

dilakukan, yaitu apa yang disebut

dengan is t i lah “pembintangan”

(memberikan tanda bintang pada

keg ia tan te r ten tu yang mas ih

memerlukan klarifikasi lebih lanjut

terkait belum lengkapnya data

pendukung dan seterusnya) terhadap

kegiatan yang punya catatan atau

menjadi temuan auditor tersebut.

Dan tidak jarang pula, ditemukan

Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada

kegiatan tertentu yang mencantumkan

rincian anggaran di luar yang telah

dialokasikan dalam dokumen APBN.

Kalau sudah demikian halnya, RAB

tersebut layak dikembalikan ke K/L

untuk diperbaiki. Namun, proses

pengembalian dokumen pendukung

tersebut tentu membutuhkan tambahan

waktu pada tahap perencanaan

anggaran. Agar tidak tergganggu

kelancaran pencairan anggarannya

maka pembintangan adalah hal yang

lumrah diterapkan pada kegiatan yang

bermasalah tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, perlu ada

upaya untuk menghentikan lambatnya

pola penyerapan anggaran. Sebab

masalah lambatnya penyerapan

anggaran dapat berdampak pada

kebijakan f iskal secara makro,

Terganggunya kebijakan fiskal dapat

berpotensi mengganggu implementasi

kebijakan moneter dan kebijakan

sektoral pemerintah.

Perlu Perubahan Mindset Di Tahun Infrastruktur

Dalam beberapa tahun ini, Indonesia

sudah masuk dalam kelompok 20

negara yang punya PDB terbesar

dunia. Walaupun

j u m l a h P D B

Indones ia hanya

sekitar 1,2 persen dari

total PDB 20 negara

tersebut, namun negara ini

memiliki potensi untuk

men jad i negara ma ju .

Dengan jumlah sumber daya

a l a m y a n g b e r l i m p a h ,

pertumbuhan ekonomi yang

cukup tinggi dan stabil dalam

jangka panjang, sistem

keuangan yang tahan

terhadap goncangan

krisis global, konsumsi

domestik yang besar

serta jumlah populasi

berusia produktif yang

re lat i f lebih banyak

dibandingkan dengan

negara manapun di dunia

m a k a l e m b a g a

pemeringkat Fitch dan

M o o d y ' s t e l a h

menempatkan Indonesia

sebagai negara layak investasi, dari

BB+ menjadi BBB- (Fitch) dan dari Ba1

m e n j a d i B a a 3 ( M o o d y ' s ) .

Per tanyaannya, apakah ra t ing

Indonesia ke depan dapat meningkat ke

level BBB ?

Apabila jawabannya ya, tentu Indonesia

berpotensi terjadi tsunami investasi.

Derasnya arus masuk investasi niscaya

perlu dibarengi dengan kesiapan

infrastruktur yang memadai, pelayanan

publik yang prima, regulasi yang

bersifat memudahkan dan sederhana

serta perlunya perubahan mindset

dalam pengelolaan anggaran negara.

Perubahan mindset pengelolaan

anggaran negara bisa dimulai dari

melakukan perencanaan yang baik dan

matang, kemudian diikuti dengan

administrasi keuangan yang rapi, jelas

dan akuntabel. Untuk memastikan

pelaksanaan administrasi keuangan

dapat berjalan seperti yang diharapkan

maka perlu dikawal dengan regulasi

dan prosedur/ SOP yang tegas, mudah

dipahami dan mudah diterapkan.

22 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKALJika para pengelola anggaran masih melakukan pola lama dalam penyerapan anggaran, bagaimana mungkin pengelola

tersebut dapat mengelola anggaran dengan jumlah nominal yang lebih besar di tahun-tahun mendatang. Pastinya selain

lambat, jumlah anggaran yang diserap justru makin relatif kecil. Kenapa demikian? Sebab dengan kondisi APBN sekarang saja,

pendapatan fiskal dalam APBN yang baru sekitar 17 persen dari PDB, jumlah ini dianggap masih terlalu kecil. Bandingkan

dengan pendapatan fiskal rata-rata negara peringkat BBB yang mencapai 33 persen dari PDB.

Dengan makin besarnya pendapatan fiskal dalam APBN di masa mendatang tentu dibutuhkan tingkat penyerapan yang relatif

cepat guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan tercapainya pertumbuhan ekonomi seperti yang

direncanakan akan dapat dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, mendorong daya beli masyarakat, lalu

menciptakan konsumsi dan investasi domestik yang lebih besar.

Di sisi lain, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025 yang disusun

Pemerintah bersama dengan seluruh pemangku kepentingan bangsa itu sudah masuk tahapan implementasi. Menurut Menteri

Perekonomian, proyek MP3EI sudah terealisasi sebanyak 91 proyek dimana 35 proyek merupakan proyek infrastruktur. Untuk

membiayai proyek infrastruktur, pemerintah sedang dan akan menyediakan anggaran infrastruktur sekitar Rp755 triliun

(dialokasikan hingga tahun 2014). Sebesar Rp544 triliun disediakan melalui APBN sedangkan sisanya diusahakan melalui

skema pendanaan public private partnership.

Adapun rincian anggaran Rp755 triliun tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur jalan sebesar Rp143 triliun,

sebesar Rp138 triliun untuk membangun jalur kereta api, dan sebesar Rp49 triliun untuk pelabuhan laut. Sedangkan untuk

membangun bandara dialokasikan dana Rp14 triliun, sektor kelistrikan sebesar Rp288 triliun, infrastruktur keairan dialokasikan

Rp8 triliun, telekomunikasi Rp102 triliun, serta lain-lain sebesar Rp13 triliun.

Dengan demikian, sudah saatnya bagi para pengelola keuangan negara (APBN) untuk tidak melaksanakan business as usual.

Mindset, perilaku sampai kinerja pengelola anggaran harus berubah. Walaupun kontribusi keuangan publik hanya sekitar 20

persen dari PDB, namun kinerjanya tetap akan menjadi sorotan publik. Sebab, pola penyerapan anggaran yang cepat dan tepat

dapat mendorong perbaikan administrasi keuangan publik. Pelaporan keuangan publik yang telah tertata kelola dengan baik

diharapkan dapat meningkatkan public trust terhadap pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, setidak-tidaknya

dapat menghindarkan negara kita dari ancaman krisis global yang dewasa ini sedang melanda belahan dunia lain.

Jadi, sudah saatnya pola penyerapan APBN “naik kelas”.

Perkiraan Investasi Dalam PembangunanEkonomi 2011 s.d. 2014

InvestasiSkema MP3EI

Rp 4.000 T

InvestasiAPBN Rp.405 T

(10,01%)

InvestasiDana Usaha Rp. 3.595 T

(BUMN 14,9%; Swasta Domestikdan Swasta Asing 75%

23INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskal

Akhir-akhir ini pemerintah (terutama

Kementerian Keuangan) sedang

melakukan pengkajian intensif untuk

menyelesaikan kasus tunggakan Kredit

Usaha Tani (KUT) Tahun Penyediaan

1998/1999. Meskipun kasus ini terjadi

sudah lama, namun sampai sekarang

belum dapat diselesaikan dengan tuntas

karena belum adanya kata sepakat

antara pemerintah, DPR, dan BI

khususnya terkait dengan proses

penyelesaian tunggakan KUT senilai

Rp5.708.469.424.660,18 (Rp5,70 triliun).

Preiden telah meminta menteri terkait

untuk melakukan write off terhadap

tunggakan KUT tersebut, namun jika

tidak dilakukan dengan perhitungan yang

matang dan hati-hati maka dikhawatirkan

akan berdampak pada persepsi negatif

debitur program kredit pemerintah

lainnya (seperti KUR) terutama yang

terkait dengan pembayaran angsuran

kredit yang telah diambilnya.

Artikel ini bermaksud mengulas kembali

kasus tersebut dan merekomendasikan

alternatif penyelesaiannya terutama dari

sudut pandang risiko fiskal yang menjadi

concern BKF khususnya Pusat

Pengelolaan Risiko Fiskal.

Batasan, MekanismePengajuan danPenyaluran KUT

POTENSI RISIKO FISKALDALAM PENYELESAIAN

TUNGGAKANKUT TP 1998/1999

Pengantar

Kredit Usaha Tani (KUT) menurut Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia

tanggal 8 Desember 1998 nomor

31/164/KEP/DIR adalah kredit modal

kerja yang diberikan melalui bank

pemberi kredit kepada koperasi primer

atau lembaga swadaya masyarakat

sebagai pelaksana pemberian kredit

untuk keperluan petani yang tergabung

dalam kelompok tani guna membiayai

usaha taninya dalam rangka intensifikasi

padi, palawija dan hortikultura. Sumber

dana kredit ini berasal dari dana Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

Bank yang dapat menyalurkan KUT adalah bank yang memenuhi persyaratan sebagai

bank pelaksana kredit program dan telah mendapatkan persetujuan dari Bank

Indonesia sebagai bank penyalur KUT.

Berdasarkan penjelasan di atas dan ketentuan-ketentuan lain yang dijabarkan dalam

peraturan Direksi Bank Indonesia tersebut maka penulis mencoba untuk

menggambarkan proses pengajuan dan penyaluran KUT seperti tampak pada skema

1 di bawah ini:

KUT TP 1998/1999 adalah Kredit Usaha Tani untuk Tahun Penyediaan 1998/1999 yang tercatat dalam Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia per 31 Desember 2009. Pandangan serupa tentang penyelesaian tunggakan KUT juga pernah disampaikan oleh para peneliti PPRF (termasuk penulis) Kepada Kepala PPRF dalam Nota Dinas Nomor: ND-56/KF.500/2011 Tanggal 04 Oktober 2011 Tentang Kajian Atas Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999.

1

Skema 1: Proses Pengajuan dan Penyaluran KUT Dengan Pola Channeling

Bank Indonesia

Bank Pelaksana/Penyalur

Petani

KandepKoperasi & UKM

Koperasi Primer/LSM

Kelompok Petani

2 71

2

6

3

4 5

Sumber: SK Direksi BI Nomor: 31/164/KEP/DIR tanggal 8 Desember 1998, Data Diolah

Oleh : Abdul Aziz

24 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKAL

Skema 1 di atas dapat dijelaskan secara

naratif sebagai berikut: bahwa proses

pengajuan untuk mendapatkan KUT oleh

seorang petani dimulai dengan (1)

masuknya petani tersebut ke dalam

organisasi kelompok petani, setelah itu

kelompok petani bertugas menyusun

kebutuhan KUT para anggotanya dalam

suatu dokumen yang bernama RDKK

(Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok

Tani) untuk satu periode tertentu yang

disusun berdasarkan musyawarah

anggota Kelompok Tani (yaitu meliputi

kebutuhan benih, pupuk, pestisida, serta

modal kerja). Tugas penting lain dari

Kelompok Tani adalah menerima,

menyalurkan KUT, dan menagih

pengembalian KUT kepada anggota

(para petani), (2) RDKK yang telah

disusun oleh Kelompok Tani disampaikan

kepada Koperasi/LSM yang berfungsi

sebagai pelaksana pemberian KUT

(excuting agent). Tugas Koperasi/LSM

diantaranya adalah: menyeleksi calon

peserta/debitur KUT; memeriksa

kebenaran RDKK yang diajukan oleh

Kelompok Tani; menerima, menyalurkan,

melakukan pembinaan dan mengawasi

penggunaan KUT, (3) Koperasi/LSM

mengajukan permohonan KUT kepada

Bank-Bank Penyalur yang telah disetujui

oleh Bank Indonesai (BI) berupa

rekapitulasi RDKK, Koperasi/LSM

bertanggungjawab atas pelaksanaan

tugas dan atas pelunasan KUT dari

Kelompok Tani/Petani kepada Bank

secara penuh. Proses selanjutnya adalah

penandatanganan perjanjian penerusan

KUT yang dilakukan oleh pengurus

Koperasi/LSM dan Bank.

Adapun tugas dan wewenang Kantor

Departemen Koperasi (Kandepkop)

adalah memeriksa dan menyetujui RDKK

serta menyetujui dan bertanggungjawab

a tas j um lah KUT yang akan

dicairkan/dibayarkan.

Berdasarkan RDKK-RDKK yang diterima

dari beberapa Koperasi/LSM, maka (4)

Bank-Bank Penyalur menarik dana

Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)

yang sebelumnya telah ditentukan

besaran plafonnya oleh BI pada masing-

masing Bank Penyalur tersebut. Plafon

tersebut adalah jumlah maksimum kredit

likuiditas Bank Indonesia yang dapat

ditarik oleh Bank Penyalur. Disamping

tugas utama Bank Penyalur KUT di atas

(yaitu menyalurkan KUT kepada

Ke lompok Tan i /Pe tan i me la lu i

Koperasi/LSM), Bank Penyalur juga

mempunyai tugas penting lainnya yaitu

dimulai dengan memeriksa pemenuhan

persyaratan KUT, mengadministrasikan

KUT, mengawasi penggunaannya dan

sekaligus menagih pengembalian KUT.

25INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskal

\Proses Selanjutnya adalah: (5) BI

memberikan dana KLBI kepada Bank-

Bank Penyalur untuk disalurkan; (6)

Bank-Bank Penyalur menyalurkan

KUT kepada Kelompok Petani melalui

Koperasi/LSM; (7) Koperasi/LSM

menyalurkan KUT kepada Kelompok

Petani dan (8) Kelompok Petani

menyalurkan KUT kepada para petani

yang menjadi anggotanya.

Sekilas TentangKUT TP 1998/1999

Yang dimaksud dengan KUT TP

1998/1999 adalah penyaluran Kredit

Usaha Tani untuk Tahun Penyediaan

1998/1999 yaitu selama periode 1

Desember 1998 s.d. 30 September 1999

dengan menggunakan dana KLBI dan

dengan mekanisme/pola channeling.

KLBI merupakan penyediaan dana

untuk menunjang program pemerintah

yang diberikan kepada bank pelaksana

yang ditunjuk untuk disalurkan kepada

masyarakat/Koperasi/ LSM dengan

tujuan peningkatan produksi dan lain-

lain sesuai dengan program pemerintah

yang ada. Terdapat dua po la

penyaluran KLBI yaitu pola executing

dan pola channeling. Pada pola

e x e c u t i n g b a n k p a l a k s a n a

bertanggung jawab penuh terhadap

pelunasan debitur dan setiap jatuh

tempo BI langsung mendebet rekening

bank tersebut (meskipun debitur kredit

sebenarnya belum melunasi), namun

pada pola channeling bank pelaksana

hanya bertindak sebagai agen sehingga

tidak betanggungjawab penuh terhadap

pelunasan debitur bank. Rekening bank

akan didebet oleh BI apabila sudah ada

pemberitahuan dari bank bahwa debitur

telah membayar angsurannnya.

Semenjak bulan November 1998

(terutama setelah keluarnya surat

Menko Ekuin nomor 57/M.EKUIN/1998

tanggal 19 November 1998) penyaluran

KUT untuk Tahun Penyediaan

1998/1999 dilakukan secara channeling

(bank pelaksana hanya bertindak

sebagai penyalur) ke Koperasi/LSM

sedangkan Koperasi/LSM bertindak

sebagai agen execut ing yang

b e r t a n g g u n g j a w a b t e r h a d a p

penyaluran dan pelunasan KUT kepada

dan dari kelompok tani/tani.

Pada periode tersebut, jumlah KUT

untuk Tahun Penyediaan 1998/1999

telah disalurkan ke petani (lewat

kelompok petani) tercatat sebesar

Rp7.677.429.744.359,79 (Rp7,67 triliun)

dan yang telah dilunasi oleh debitur

hanya sebesar Rp1.968.960.319.699,61

(Rp1,96 triliun) atau hanya 25,65% dari

total penyaluran sehingga jumlah

tunggakannya ada lah sebesar

Rp5.708.469.424.660,18 (Rp5,70 triliun)

atau sebesar 74,35%. Berdasarkan data

dari Bank Indonesia, rincian jumlah

26 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKALtunggakan KUT per-bank untuk 4 tunggakan terbesar dapat dilihat dalam tabel 1 di

bawah ini:

Tabel 1: Komposisi/Porsi Terbesar Tunggakan KUT TP 1998/1999

1.

2.

3.

4.

Bank Rakyat Indonesia (BRI)

Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin)

Bank Jawa Timur

Bank Danamon Indonesia (BDI)

Rp2.762.416.319.281,58

Rp1.678.441.217.636,96

Rp397.324..873.113,95

Rp364.564.250.627,45

48,39%

29,40%

6,96%

6,39%

No. Nama Bank Nilai Tunggakan Porsi

Permasalahan Pokok Penyaluran KUT TP 1998/1999

Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa program KUT TP 1998/1999 mengandung

beberapa kelemahan yaitu dari sisi mekanisme penyaluran dan pelunasannya,

pelaporan, pendokumentasian dan pengawasan sehingga terjadi tunggakan

sebesar Rp5,70 triliun seperti yang telah disebutkan di atas.

Menurut hasil temuan BPK, dari jumlah tunggakan tersebut telah ditemukan

beberapa penyebab terjadinya tunggakan seperti yang dipaparkan dalam tabel 2 di

bawah ini:

Tabel 2: Beberapa Penyebab Terjadinya Tunggakan KUT Tp 1998/1999

1

2

3

4

5

Ketidaklengkapan dokumen penyaluran KUT di bank pelaksana

Tunggakan tanpa ada sertifikat penjaminan Perum Jamkrindo

Ketidaksesuaian RDKK dengan ketentuan yang berlaku

Tabungan beku per 31 Desember 2009 di bank pelaksana yang di-sampling.

Saldo rekening milik Pemda pada bank pelaksana untuk menampung pelunasan KUT

Rp1.539.052.034.110,09

(Rp1,53 triliun)

Rp1.923.450.270.023,16

(Rp1, 92 triliun)

Rp510.225.568.235,53

(Rp510 miliar)

Rp266.869.137.266,46

(Rp266,86 miliar)

Rp2.880.095.825,98

(Rp2,88 miliar)

No. Penyebab Tunggakan Nilai

Memperhatikan hasil LHP BPK di atas, dapat diambil salah satu kesimpulan bahwa

penyebab awal terjadinya tunggakan KUT TP 1998/1999 adalah adanya

kecerobohan dan kelalaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait langsung

dalam penyaluran KUT tersebut seperti kelompok petani, koperasi/LSM dan bank

pelaksana. Pihak-pihak tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap

terjadinya tunggakan ini.

Pada sisi lain, menurut penulis, salah satu kelemahan sistem mekanisme

penyaluran KUT ini adalah menempatkan bank pelaksana ada pada posisi sebagai

channeling agent, salah satu akibat dari sistem ini adalah bahwa bank pelaksana

tidak perlu melakukan verifikasi langsung kepada calon debitur (petani), namun

verifikasi cukup dilakukan secara berjenjang oleh Kelompok Tani dan Koperasi/LSM

(sebagai executing agent), kondisi ini membuka peluang target error dalam

penyaluran KUT seperti yang terjadi pada periode ini yaitu adanya indikasi

kesalahan penyaluran KUT kepada debitur selain petani dan indikasi kesalahan

penyaluran KUT kepada petani yang sebenarnya tidak punya kemampuan untuk

membayar kembali pinjaman yang diambilnya. Di samping itu, dana KUT yang

seratus persen bersumber dari KLBI membuat bank pelaksana tidak mempunyai

kewajiban untuk menanggung risiko apabila terjadi tunggakan pembayaran pada

KUT (seperti terjadi pada KUT TP 1998/1999).

Adapun tentang besaran risk sharing

apabila terjadi tunggakan pada

penyaluran KUT, maka sesuai dengan

surat Menteri Keuangan kepada

Gubernur BI tanggal 24 November

1998, nomor: S-607/MK.017/1998

tentang Penetapan Bank Pelaksana

KUT sebagai Bank Channeling dan

surat Menteri Keuangan kepada

Presiden RI tanggal 9 September 2011,

nomor: S-521/MK.01/2011 tentang

Penyelesaian Tunggakan KUT TP

1998/1999 Pola Channneling maka

telah ditetapkan bahwa komposisi risk

sharing jika terjadi tunggakan pada

penyaluran KUT adalah sebagai

berikut: Pemerintah sebesar 52,25%,

Bank Indonesia sebesar 42,75% dan

Perum Jamkrindo sebesar 5%.

Berdasarkan komposisi di atas, maka

besarnya risk sharing yang harus

dibayar pemerintah kepada BI adalah

sebesar Rp2.982.675.274.384,94

(Rp2,98 triliun).

27INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskal

Usulan penyelesaian tunggakan KUT TP 1998/1999 dan potensi risiko fiskal yang

ditimbulkannya dapat penulis gambarkan secara skematik sebagai berikut:

Pembahasan:Usulan Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999dan Potensi Risiko Fiskal-nya

Skema 2: Proses Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999 dan Potensi Risiko Fiskal

LHP BPK

Presiden

Menkop danUKM

BPKP

KementerianKeuangan

Risk Sharing52.25%

Bank Indonesia

KUT keNon Petani

KUT ke Petani

ProsesHukum

TunggakanTidak

Tertagih

Tunggakan Tertagih

PotensiRisiko Fiskal

Proses penyelesaian tunggakan KUT TP 1998/1999 diantaranya bersumber dari

data yang disampaikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK seperti yang

telah dijelaskan di atas. LHP tersebut hendaknya dijadikan oleh Pemerintah (dalam

hal ini Presiden) sebagai petunjuk awal untuk menyelesaikan masalah ini. Presiden

dapat melakukan instruksi paling tidak kepada 2 menteri terkait masalah ini, yaitu:

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop & UKM) dan Menteri

Keuangan (Menkeu).

Kepada Menteri Koperasi & UKM, Presiden dapat memerintahkan menteri tersebut

untuk meminta bantuan kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan sesuai kewenangannya sebagaimana yang di atur dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 Tahun 2008 tanggal 28 Agustus 2008

tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)) untuk melakukan audit

atau verifikasi terhadap permasalahan penyaluran KUT TP 1998/1999 secara lebih

terperinci dan meliputi seluruh daerah yang mengikuti program KUT pada TP

1998/1999 berdasarkan jumlah debitur penunggak secara keseluruhan (jika

memungkinkan bukan berdasarkan sampel) dan berdasarkan petunjuk awal dari

LHP BPK yang mengungkapkan adanya kelemahan dalam penyaluran KUT dan

adanya indikasi adanya penyaluran KUT yang salah sasaran, audit/verivikasi

seperti ini sebenarnya juga diminta oleh DPR sebelum Pemerintah melakukan

pembayaran tunggakan.

Dari audit/ verifikasi ini, diharapkan akan menghasilkan peta pemilahan yang jelas

tentang tunggakan-tunggakan KUT mana yang masih diharapkan dapat

dikembalikan oleh petani (piutang tertagih) dan tunggakan-tunggakan mana yang

tidak dapat dikembalikan oleh petani (pitang tak tertagih) serta debitur mana yang

bukan petani.

Terhadap tunggakan yang terindikasi

tidak dapat dikembalikan oleh petani

(piutang yang tak tertagih) maka

diusulkan untuk dilakukan verifikasi

yang mendalam oleh Menkop dan UKM

(melalui BPKP) agar dapat diketahui

apakah ada kesalahan yang disengaja

atau tidak dari pihak-pihak yang terlibat

dalam penyaluran KUT dan pemilihan

petani. Jika ada kesalahan yang

disengaja dalam penyaluran tersebut

maka menurut penulis, pihak-pihak

tesebut seharusnya ikut bertanggung

jawab dan dipertimbangkan untuk ikut

menaggung risk sharing tunggakan KUT

secara bersama karena pihak-pihak

tersebut juga telah menerima imbalan

yang cukup besar dari program KUT ini.

Dari skema 2 di atas, dapat dijelaskan

beberapa poin penting sebagai berikut:

1. a. Potensi risiko fiskal yang paling

besar adalah jika Bank Indonesia

tidak mau memperhatikan hasil

pemeriksaan BPK dan audit/

verifikasi yang diusulkan akan

dilakukan oleh BPKP yaitu untuk

memilah-milah debitur petani dan

bukan petani serta memilah-milah

debitur petani yang masih

sanggup mengemba l i kan

tunggakan dan tidak sanggup.

Dengan kata lain Pemerintah

harus membayar besaran

tunggakan KUT kepada BIsebesar

Rp 2.982.675.274.384,94 (Rp2,98

triliun).

b. Namun demikian, jika dari

besaran pembayaran tunggakan

KUT pemerintah kepada BI

tersebut ternyata pemerintah

dapat memaksimalkan upaya

untuk mengembalikan beban

tunggakan dari sebagaian besar

debitur KUT TP 1998/1999

(tentunya jika data debiturnya

lengkap) maka risiko fiskal di

a t a s s e b e n a r n y a d a p a t

berkurang;

2. Pemerintah hendaknya bisa

bernegosiasi kembali dengan pihak

BI agar beban risiko yang harus

dibayar pemerintah atau besarnya

risk sharing Pemerintah adalah

28 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKAL 2. 52,25% X jumlah tunggakan yang telah dikurangi dengan beban tunggakan dari debitur yang bukan petani dan debitur

petani yang tidak sanggup membayar lagi (berdasarkan LHP BPK dan usulan audit/ verifikasi oleh BPKP).

3. Di sisi lain, sesuai dengan skema di atas, Kemeterian Keuangan dapat diberi tugas (oleh Presiden) untuk (1) menyiapkan

alokasi anggaran dalam APBN untuk risk sharing, (2) menyiapkan prosedur/ mekanisme penyetoran ke kas negara dari

pembayaran tunggakan petani yang sanggup membayar (piutang tertagih), (3) menyiapkan prosedur/mekanisme

penghapusan tunggakan KUT yang tidak tertagih (piutang tak tertagih) dan juga dapat (4) merekomendasikan agar KUT

yang jatuh ke debitur bukan petani agar diselesaikan secara hukum karena berpotensi merugikan keuangan negara.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemerintah dan pihak terkait sedang berupaya seoptimal mungkin untuk menyelesaikan kasus tunggakan KUT TP 1998/1999

agar tidak berkepanjangan. Masalah yang paling utama dalam kasus ini adalah adanya risk sharing yang harus ditanggung

pemerintah yang jumlahnya cukup besar karena mencapai Rp2,98 triliun. Artikel ini berupaya memaparkan kembali kasus ini

agar dapat diambil pelajaran khususnya dalam pelaksanaan program pemerintah di bidang pemberian kredit lainnya kepada

masyarakat (seperti program KUR). Artikel ini juga mengusulkan satu skema alternatif penyelesaian tunggakan KUT TP

1998/1999 ini agar dapat meminimalisir risiko fiskal yang ditimbulkannya.

Kesimpulan

1. Pemerintah hendaknya meminta kepada BI agar risk sharing dilakukan setelah adanya pemilahan penyaluran KUT yang

jatuh ke tangan petani dan bukan petani dan pemilahan terhadap petani yang masih mampu membayar dan tidak mampu

membayar lagi sehingga besaran risk sharing adalah hanya pada besaran tunggakan yang mungkin tertagih.

2. Adanya penegakkan hukum yang pasti terhadap pelaku (baik yang berada di LSM/Koperasi Primer, Bank Pelaksana atau

pihak lain) yang telah melakukan dan membantu penyaluran KUT kepada debitur bukan petani (debitur yang tidak berhak

mendapatkan kredit), langkah ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi rasa keadilan juga untuk menjadi pelajaran dalam

penyaluran kredit-kredit sejenis (seperti KUR) di masa yang akan datang;

3. Bank pelaksana/penyalur serta Koperasi/LSM hendaknya ikut bertanggungjawab terhadap tunggakan ini apabila terbukti

nyata terlibat dalam penyaluran KUT kepada yang tidak berhak, bentuk tanggung jawab hanya sebatas pada besaran

penyaluran KUT yang salah sasaran saja (yang melanggar proses hukum) bukan kepada keseluruhan penyaluran KUT,

bentuk tanggung jawab tersebut bisa berupa ikut andil dalam pembayaran risk sharing secara proporsional sesuai tingkat

kesalahannya;

4. Jika terpaksa terjadi pemutihan terhadap sebagaian atau keseluruhan tunggakan KUT periode tersebut maka pemerintah

dan pihak terkait harus melakukan sosialisasi yang utuh dan masif kepada masyarakat luas agar tidak ada kesan negatif dan

menganggap remeh terhadap tunggakan terutama kepada debitur program kredit pemerintah lainnya (misal debitur KUR)

dalam proses pelunasan tunggakan kreditnya;

5. Setelah selesainya proses ini, maka BI harus segera menghapus semua debitur petani yang terkait dengan program KUT ini

(baik yang sanggup mengembalikan tunggakan atau tidak) dari daftar SID (Sistem Informasi Debitur) milik BI sehingga hak

para petani tersebut untuk mengajukan kredit lain dapat dihidupkan kembali.

Rekomendasi

29INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskal

Dalam rangka mengarahkan kondisi

perekonomian menuju keadaan yang

lebih baik, Pemerintah menetapkan

kebijakan fiskal yang tertuang dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja

N e g a r a . S a m u e l s o n ( 1 9 9 7 ) ,

mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai

suatu proses pembentukan perpajakan

dan pengeluaran negara. Langkah yang

d i t e m p u h P e m e r i n t a h u n t u k

melaksanakan kebijakan tersebut melalui

pengaturan instrumen fiskal yang terdiri

dari kombinasi penerimaan dan

pengeluaran. Melalui kombinasi

penerimaan dan pengeluaran tersebut,

Pemerintah dapat menetapkan berbagai

kebijakan anggaran, diantaranya

anggaran surplus, berimbang atau defisit.

Saat ini Pemerintah menetapkan

kebijakan anggaran defisit yang

bertujuan untuk memberikan stimulus

perekonomian dengan cara membuat

pengeluaran negara menjadi lebih

besar dari penerimaan negara. Seperti

yang diungkapkan oleh Barro dalam T.

Pamuji (2008) bahwa defisit dapat

disebabkan oleh upaya pemerintah

mempercepat pertumbuhan ekonomi;

pemerataan pendapatan masyarakat;

melemahnya nilai tukar; pengeluaran

akibat krisis ekonomi; realisasi yang

menyimpang dari rencana; serta

pengeluaran karena inflasi.

Selanjutnya untuk menutup defisit

APBN tersebut Pemerintah memerlukan

sumber-sumber pembiayaan. Saat ini

kebi jakan yang di tempuh oleh

Pemerintah untuk pembiayaan defisit

adalah melalui instrumen utang dan

non-utang. Dalam nota Keuangan tahun

2011 disebutkan bahwa berdasarkan

kebijakan pembiayaan yang telah

berjalan pada tahun-tahun sebelumnya,

pada masa mendatang sumber

pembiayaan anggaran masih akan tetap

diprioritaskan pada instrumen utang

ANALISIS RISIKO DALAM PENGELOLAAN SBSN

SBSN SEBAGAI INSTRUMEN FISKAL

Oleh : Eri Hariyanto

melalui penerbitan Surat Berharga

Negara (SBN) khususnya SBN rupiah

d i p a s a r d o m e s t i k d e n g a n

pertimbangan utama: (i) semakin

terbatasnya sumber pembiayaan defisit

d a r i n o n u t a n g ; ( i i ) s e m a k i n

beragamnya instrumen surat berharga

negara termasuk diantaranya Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN); dan

(iii) mengurangi exposure pinjaman luar

negeri guna mengurangi risiko nilai

tukar (exchange rate risk). Jumlah

penerbitan SBN akan tetap didasarkan

pada kebutuhan untuk pembiayaan,

dengan mempertimbangkan daya

serap pasar dan kapasitas Pemerintah

dalam mengelola tambahan utang

secara efisien.

Adapun SBN terbagi dalam dua

kelompok besar yaitu: Surat Utang

Negara (SUN) dan Surat Berharga

Syariah Negara (SBSN). Saat ini

outstanding SBN adalah Rp918,5 triliun

yang terdiri dari SUN senilai Rp849,95

triliun dan SBSN senilai Rp68,55 triliun.

Bila dibandingkan dengan outstanding

penerbitan SBN, maka presentase

penerbitan SBSN baru mencapai 7,4%.

(www.dmo.or.id, diakses tanggal 7

November 2011).

Debut SBSN atau Sukuk Negara

sebagai instrumen fiskal dimulai ketika

per tama ka l i d i te rb i t kan o leh

Pemerintah pada bulan Oktober 2008.

Penerbitan SBSN menjadi sarana

diversifikasi instrumen pembiayaan

bagi Pemerintah, sehingga Pemerintah

mempunyai banyak pilihan instrumen

dalam membiayai defisit APBN.

Penerbitan SBSN juga menjadi sarana

bagi Pemerintah untuk memanfaatkan

pasar keuangan syariah yang tengah

berkembang dengan pesat dalam dua

dekade terakhir.

Saat ini SBSN terus mengalami

pengembangan baik dari instrument

maupun pasar SBSN. Pengembangan

SBSN ini bertujuan untuk menciptakan

pasar SBSN yang aktif, dalam dan likuid.

Pengembangan dari sisi instrumen yang

telah dilakukan diantaranya adalah

dengan melakukan diversifikasi jenis

instrumen SBSN baik dari sisi struktur,

tenor, jenis investor dan metode

penerbitan. Saat ini SBSN telah

diterbitkan dengan berbagai struktur

diantaranya Ijarah Sale and Lease Back

dan Ijarah al-Khadamat. SBSN selain

diterbitkan untuk investor institusi juga

diterbitkan untuk investor individu yang

dikenal dengan Sukuk Negara Ritel.

Sedangkan dari sisi pengembangan

pasar, saat ini SBSN tidak hanya

diterbitkan di dalam negeri tetapi juga

telah diterbitkan secara internasional

(Global Sukuk). Selanjutnya sebagai

upaya untuk mendukung pembiayaan

p e m b a n g u n a n p r o y e k d a n

pengembangan underlying asset

penerbitan SBSN, dalam waktu dekat

Pemerintah akan menerbitkan Sukuk

Negara dengan menggunakan

underlying berupa proyek-proyek milik

Pemerintah yang telah dianggarkan

dalam APBN. Pada masa mendatang,

Pemerintah akan lebih memfokuskan

pada penerbitan Sukuk Negara untuk

pembiayaan proyek karena hal ini

dipandang lebih memberikan manfaat

nyata bagi masyarakat.

30 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKAL

Sebagai instrumen fiskal, SBSN juga

berpotensi menghadapi berbagai risiko

terkait dengan asumsi makro maupun

f a k t o r l a i n n y a y a n g d a p a t

mempengaruhi pencapaian tujuan

utama dari penerbitan SBSN yaitu

pemenuhan target pembiayaan defisit

APBN. Berikut ini disampaikan

beberapa analisis r isiko dalam

pengelolaan SBSN dan mitigasi atas

risiko tersebut.

ANALISIS RISIKO DALAMPENGELOLAAN SBSNDAN MITIGASINYA

Risiko Fiskal (Fiscal Risk)

Risiko fiskal merupakan kondisi yang

dapat memengaruhi target atau sasaran

yang telah ditetapkan dalam APBN

tahun berjalan. Risiko fiskal ini dapat

muncul diantaranya karena adanya

perubahan kebijakan Pemerintah terkait

dengan penetapan tingkat defisit APBN.

Selain itu risiko fiskal juga dapat muncul

disebabkan oleh kondisi pasar

keuangan yang kurang mendukung dan

penyediaan fitur SBSN yang kurang

diminati investor.

Sebagai instrument pembiayaan, maka

besarnya penerbitan SBSN dalam satu

tahun akan dipengaruhi oleh nilai defisit

yang d i te tapkan dan s t ra teg i

Pemerintah dalam menentukan

komposisi penerbitan SBN yang terdiri

dari SUN dan SBSN. Sedangkan

besarnya nilai pembiayaan defisit

APBN, selain dipengaruhi oleh

kebijakan Pemerintah juga sangat

dipengaruhi oleh pergerakan asumsi-

asumsi makro yang digunakan dalam

penyusunan APBN. Sehingga dapat

dikatakan bahwa pergerakan asumsi

makro tersebut dapat menjadi trigger

perubahan besarnya nilai defisit yang

telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Selanjutnya, risiko fiskal akan muncul

apabila dalam mengamankan APBN

Pemer intah menetapkan untuk

mengadakan penambahan tingkat

def is i t , seh ingga akan ter jad i

penambahan target penerbitan SBN

(termasuk SBSN). Adanya perubahan

target penerbitan tersebut merupakan risiko dalam pengelolaan SBSN yaitu risiko

fiskal yang berkaitan dengan pemenuhan target defisit tersebut. Untuk dapat

memenuhi tambahan defisit pembiayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi

pasar modal baik domestic maupun global.

Ada beberapa langkah mitigasi risiko yang dapat ditempuh apabila terjadi

perubahan kebijakan penambahan nilai defisit diantaranya adalah:

1. Untuk memenuhi perubahan tingkat defisit yang ditetapkan, pembiayaan

defisit dapat dilakukan dengan menggunakan semua instrument fiscal yang

dimiliki Pemerintah. Apabila instrumen pembiayaan yang digunakan fokus

pada penerbitan SBN maka agar target penambahan defisit dapat terpenuhi

Pemerintah dapat menggunakan penerbitan SUN dan SBSN dengan

komposisi yang disesuaikan dengan strategi penerbitan. Selain itu, agar tidak

menimbulkan tekanan harga dalam penerbitan SBN, Pemerintah dapat

menggunakan sumber lainnya untuk menutup defisit misalnya menggunakan

Sisa Anggaran Lebih (SAL).

2. Pemerintah bersedia melakukan penambahan jumlah penerbitan SBN.

Meskipun menerima risiko tersebut, namun Pemerintah tentu akan berusaha

agar pemenuhan target penerbitan tetap dilakukan dengan prudent dan mencari

cost of fund yang paling efisien. Salah satu stretegi yang dapat ditempuh untuk

memperoleh biaya penerbitan yang rendah adalah dengan melakukan front

loading strategy secara terukur, yaitu dengan melakukan penerbitan SBSN lebih

banyak pada awal-awal tahun anggaran sehingga apabila terjadi penambahan

target penerbitan pada pertengahan tahun, tidak menimbulkan tekanan harga

yang berlebihan pada penerbitan SBN di akhir tahun.

Risiko Pasar (Market Risk)

Adapun risiko pasar dikenal sebagai risiko yang berasal dari variabilitas permintaan

imbal hasil (yield) karena fluktuasi dalam keseluruhan pasar sehingga berpengaruh

pada keseluruhan sekuritas. SBSN merupakan fiscal instrument yang tidak terlepas

dari instabilitas sistem keuangan nasional maupun global, sehingga SBSN tidak

terlepas dari risiko pasar modal. Meskipun didesain bebas bunga, namun

penentuan imbal hasil SBSN saat ini masih menggunakan acuan (benchmarking)

tingkat bunga yang berlaku di pasar modal, sehingga dalam penentuan imbal hasil

SBSN harus melakukan penyesuaian dengan nilai pasar (mark to market).

31INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK fiskalRisiko pasar muncul ketika permintaan

yield (permintaan imbal hasil/return)

SBSN diatas ekspektasi, yang dapat

disebabkan oleh beberapa factor. Salah

satu contoh dalam hal ini adalah

kejadian krisis pasar keuangan pada

tahun 2008, yang menyebabkan

permintaan yield sangat tinggi.

Permintaan yield yang sangat tinggi ini

d i s e b a b k a n k a r e n a i n v e s t o r

memprediksi akan adanya kenaikan

tingkat suku bunga yang dilakukan oleh

bank sentral. Selain itu permintaan

yield yang tinggi ini juga untuk

mengimbangi risiko berinvestasi pada

pasar modal yang sedang mengalami

krisis. Risiko ini menyebabkan biaya

untuk memperoleh dana dari pasar

modal menjadi sangat tinggi.

Penerbitan SBSN dalam kondisi pasar

yang sedang mengalami kr isis

(bearish), akan menimbulkan tekanan

harga atau permintaan yield yang

sangat tinggi sehingga dipandang tidak

efisien lagi. Dalam kondisi seperti ini,

mi t igas i yang dapat d i tempuh

diantaranya adalah:

1. Penerbitan SBSN dalam valuta

asing di pasar internasional.

Dalam memperoleh pembiayaan,

Pemerintah menetapkan strategi

untuk lebih mengutamakan pasar

domestik, dengan memperhatikan

daya serap pasar sehingga tidak

terjadi kekeringan dana di pasar

modal (crowding out effect).

Dalam kondisi krisis dan untuk

mengurangi risiko crowding out,

Pemerintah dapat menerbitkan

SBSN dalam valuta asing di pasar

internasional sebagai alternatif.

Dengan melakukan penerbitan di

pasar internasional biasanya akan

diperoleh yield yang lebih rendah

bila dibandingkan dengan yield

untuk penerbitan di pasar

domestik. Namun di sisi lain

Pemerintah harus menanggung

risiko nilai tukar (currency risk).

2. Pemerintah dapat menggunakan

instrumen fiskal lainnya untuk

pembiayaan def is i t APBN,

misalnya dengan melakukan

intensifikasi pengeluaran APBN

atau penggunaan Sisa Anggaran

Lebih (SAL).

Risiko Politik dalam penyediaanUnderlying Asset (Political Risk)

Berbeda dengan obligasi konvensional

yang merupakan surat pernyataan

utang (I owe you), sukuk merupakan

instrument investasi yang merupakan

bukti penyertaan atas underlying asset

sukuk. Peran underlying asset dalam

sukuk menjadi sangat penting karena

akan menentukan jenis transaksi (akad)

yang digunakan. Dengan begitu,

ketersediaan underlying asset sangat

memengaruhi sustainability Pemerintah

dalam menerbitkan SBSN.

Risiko ini muncul karena dalam

penggunaan BMN untuk underlying

asset harus melalui proses politik.

Sebagaimana diamanatkan dalam

pasal 9 ayat 1 Undang-undang nomor

19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga

Syariah Negara, bahwa penggunaan

BMN harus mendapat persetujuan dari

Dewan Perwakilan Rakyat. Persetujuan

tersebut diperoleh setelah melalui rapat

pembahasan di salah satu komisi di

DPR. Tantangan yang muncul biasanya

disebabkan belum adanya kesamaan

pemahaman anggota dewan terhadap

urgensi penyediaan underlying asset

untuk penerbitan SBSN. Sehingga

pembahasan BMN untuk underlying

asset sering dikesampingkan bila ada

issue lain yang sedang terjadi. Selain

itu, adanya pergantian anggota dewan

baik disebabkan oleh pergantian antar

waktu maupun pergantian periode

menyebabkan pemahaman t iap

anggota dewan terhadap underlying

asset dalam penerbitan SBSN menjadi

asimetric. Bila tanpa pemahaman yang

memadai akan timbul persepsi bahwa

BMN seo lah -o lah d igada ikan ,

dijaminkan atau bahkan dijual untuk

penerbitan SBSN. Padahal hal yang

terjadi adalah penggunaan BMN

sebagai landasan penerbitan dan

pemanfaatan hak pakai (usufruct) untuk

penerbitan SBSN yang sama sekali

berbeda dengan digadaikan, diagunkan

dan dijual. Apabila penyediaan

u n d e r l y i n g a s s e t m e n g a l a m i

keterlambatan disebabkan oleh hal-hal

tersebut , akan mengakibatkan

tertundanya jadwal penerbitan SBSN

dan akan berdampak pada risiko tidak

tercapainya target penerbitan SBSN

pada tahun bersangkutan.

Untuk mengatasi hal tersebut, langkah-

langkah yang dapat d i tempuh

diantaranya adalah dengan:

1. Pemerintah dapat melakukan

lobbying baik kepada Sekretariat

Komisi DPR maupun kepada

salah satu ketua komisi yang

bersangkutan. Hal ini dilakukan

agar permohonan persetujuan

penggunaan BMN sebagai

underlying asset mendapat

prioritas pembahasan dalam rapat

kerja DPR bersama Pemerintah.

2. Penyampaian informasi secara

berkala kepada para anggota DPR

mengenai pengelolaan SBSN

untuk menyamakan pemahaman

terutama dalam hal penggunaan

BMN sebagai underlying asset.

Risiko Kesesuaian Syariah(Syariah Comply Risk)

Kesesuaian dengan prinsip-prinsip

syariah merupakan hal lainnya yang

membedakan SBSN dengan obligasi

konvensional. Beberapa hal yang perlu

mendapatkan kesesuaian syariah

adalah: jenis struktur (akad) yang

digunakan, underlying asset dan

dokumen perjanjian dalam penerbitan

SBSN. Jenis underlying asset akan

menentukan jenis struktur (akad ) yang

digunakan. Sampai saat ini Pemerintah

telah menggunakan 2 jenis underlying

asset dalam penerbitan SBSN, yaitu

Barang Milik Negara (BMN) dan Jasa

Layanan Haji. Dalam penerbitan SBSN

dengan menggunakan akad Ijarah Sale

and Lease Back , Pemer in tah

menggunakan underlying asset berupa

BMN. Adapun jenis BMN yang

digunakan berupa tanah dan bangunan

yang dimiliki/digunakan oleh seluruh

Kementerian/Lembaga yang tersebar di

wi layah Indonesia. Sedangkan

underlying berupa Jasa Layanan Haji

digunakan untuk penerbitan Sukuk

Dana Haji Indonesia (SDHI) dengan

32 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK FISKALmenggunakan akad Ijarah al Khadamat.

SDHI merupakan bentuk penempatan dana

haji dan dana abadi umat (DAU) yang

dikelola oleh Kementerian Agama.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang

nomor 19 tahun 2008, dalam menggunakan

jenis struktur (akad) tertentu Pemerintah

meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian

syariah dari lembaga yang memiliki

kewenangan dalam hal tersebut. Saat ini

tugas tersebut dilaksanakan oleh Dewan

Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia

(DSN-MUI). Saat ini DSN-MUI telah

menerbitkan 5 fatwa terkait dengan

penerbitan SBSN.

Syariah compliance risk muncul pada saat

jenis struktur (akad) yang telah ditetapkan

oleh DSN MUI tersebut digunakan untuk

penerbitan sukuk global. Hal ini disebabkan

karena adanya perbedaan penggunaan

mazhab dari tiap kawasan/negara dengan

penduduk mayoritas Muslim. Sehingga hal ini

memungkinkan bahwa suatu jenis struktur

(akad) yang didesain di kawasan tertentu

tidak dapat digunakan pada kawasan lain

dengan mazhab yang berbeda. Risiko ini

dapat menyebabkan penolakan investor pada

kawasan tertentu terhadap suatu jenis

struktur (akad). Dampaknya SBSN tidak

dapat diterima pasar secara global, sehingga

akan mempengaruhi target penerbitan SBSN.

Langkah yang dapat ditempuh agar SBSN

dapat diterima di pasar global diantaranya

adalah dengan melakukan koordinasi

dengan syariah scholar dan pelaku pasar

keuangan global. Adanya koordinasi dengan

para scholar dan pelaku pasar keuangan

global akan diperoleh informasi mengenai

akad-akad yang selama ini digunakan untuk

penerbitan sukuk di pasar internasional.

Dengan demikian, Pemerintah dapat

mendesain struktur SBSN yang diterima baik

oleh syariah scholar maupun investor global.

Risiko Kurangnya MinatInvestor terhadap Fitur SBSN

Penentuan besarnya imbalan biasanya dipengaruhi oleh kondisi perekonomian secara umum.

Besarnya imbalan yang ditawarkan kepada investor sangat berpengaruh bagi investor. Risiko

akan muncul apabila imbalan yang ditawarkan ternyata dibawah ekspektasi investor, sehingga

investor kurang berminat terhadap SBSN yang ditawarkan.

Fitur selanjutnya yang juga berpengaruh adalah tenor SBSN. Dalam menerbitkan SBSN

diperlukan ketepatan dalam menentukan tenor yang diminati investor. Saat ini ada beberapa

jenis investor yang mempunyai preferensi tenor yang berbeda-beda. Untuk investor

perbankan biasanya cenderung pada tenor jangka pendek dan menengah pada kisaran 1

tahun s.d. 5 tahun. Sedangkan untuk investor yang berasal dr industri asuransi dan lembaga

pensiun biasanya cenderung kepada tenor yang lebih panjang, meskipun tidak menutup

kemungkinan bahwa industri tersebut membutuhkan portofolio investasi bertenor pendek.

Risiko akan timbul apabila tenor yang ditawarkan tidak sesuai dengan minat investor, sehingga

SBSN yang ditawarkan tidak diminati oleh investor.

Langkah mitigasi yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal tersebut diantaranya adalah:

1. Penerbitan SBSN dengan beragam tenor, hal ini dilakukan untuk taping minat investor

yang memiliki preferensi tenor yang berbeda-beda. Selain itu, adanya penerbitan SBSN

dengan beragam tenor tersebut akan membantu investor untuk mengatur portofolio

investasinya. Di sisi Pemerintah, hal ini bermanfaat untuk mengatur profil jatuh tempo

(maturity date) SBSN.

2. Penelitian untuk memperoleh informasi pasar (market intelligence), yang berhubungan

dengan minat investor, kondisi pasar maupun pesaing sangat penting untuk dilakukan.

Hal ini bertujuan agar fitur SBSN yang diterbitkan memperoleh sambutan yang cukup baik

dari investor dan diterima pasar keuangan secara umum.

Ketepatan dalam Penjadwalan Penerbitan (Reputation Risk)

Saat ini SBSN bukan saja menjadi instrument investasi, tetapi juga sebagai instrument untuk

mengelola likuiditas industry keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Para

investor mengharapkan Pemerintah dapat memberikan informasi mengenai rencana penerbitan

SBSN secara lengkap. Namun hal ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemerintah

mengingat penerbitan SBSN tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang dapat berubah

menyesuaikan dengan kondisi fiscal yang ada. Selain itu penerbitan SBSN juga dipengaruhi

oleh kondisi perekonomian (market) secara umum dan Pemerintah mempunyai kewenangan

untuk melakukan penyesuaian jadwal penerbitan dengan kondisi market. Untuk itu,

penyampaian rencana penerbitan SBSN secara lengkap untuk periode waktu tertentu (misalnya

satu tahun) justru dapat mengurangi fleksibitas Pemerintah dalam mengatur strategi penerbitan.

Risiko reputation risk muncul apabila Pemerintah telah menyampaikan pengumuman rencana

penerbitan SBSN dalam waktu tertentu, namun karena adanya perubahan kebijakan

menyebabkan tertundanya atau dibatalkannya rencana penerbitan tersebut. Penundaan atau

pembatalan penerbitan tersebut dapat mempengaruhi reputasi pengelolaan SBSN. Bila

penundaan atau pembatalan tersebut berlangsung berulangkali, akan dapat menurunkan

kepercayaan investor terhadap rencana penerbitan SBSN yang dapat berdampak pada

berkurangnya minat investor pada SBSN yang akan diterbitkan.

Pelaksanaan penerbitan SBSN pada praktiknya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

eksternal yang uncontrollable, yang dapat mempengaruhi perubahan rencana penerbitan.

Dalam menghadapi risiko reputasi ini, hal yang dapat dilakukan adalah dengan

menyampaikan rencana penerbitan secara proporsional dengan memperhatikan kondisi

pasar dan disesuiakan kebijakan pemerintah.

Risiko lain yang berhubungan dengan risiko

pasar adalah penyediaan fitur SBSN (terms

and conditions) yang ditawarkan kepada

para investor. Yang termasuk dalam fitur

SBSN diantaranya adalah besarnya imbalan,

jenis imbalan (floating atau fixed), jenis

struktur yang digunakan (akad), tenor, dan

jenis underlying yang digunakan. Beberapa

fitur tersebut sangat mempengaruhi

preferensi investor untuk menentukan

pilihannya berinvestasi pada SBSN.

Musgrave, Richard A, dan P. Musgrave. 1991. “Keuangan Negara dalam Teori dan

Praktek”, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.Samuelson, Paul A. 1997. “Ekonomi”, Jilid I. Jakarta: Erlangga.Djohanputro, 2008, Manajemen Risiko, JakartaNota Keuangan tahun 2011 www.dmo.or.id

Daftar Pustaka

33INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK EDUKASI

Salah satu kunci sukses suatu

o r g a n i s a s i , b a i k o r g a n i s a s i

pemerintahan maupun organisasi

bisnis, untuk memenangkan persaingan

dan menjamin kelangsungan hidup

(survive/sustain) adalah membuat

strategi yang tepat (the right strategy).

Para pemimpin (baik pemerintahan

maupun bisnis) harus memastikan

memiliki strategi yang tepat dalam

menghadapi setiap situasi. Apa yang

harus dilakukan ketika ekonomi dunia

mengalamai krisis (decline) dan apa

yang harus dilakukan ketika ekonomi

dunia mengalami booming (growth)?

Kedua situasi ini mensyaratkan pilihan

trategi yang berbeda, karena itu

dibutuhkan kejelian dari sang pemimpin

untuk mendesain dan memilih strategi

yang tepat.

Jack Trout dalam bukunya Trout on

Strategy (2004) antara lain mengatakan

bahwa 'strategi is all about survival',

Investment Grade:Momentum untuk Mendorong Ekonomi Indonesia Survive

Pengantar

1Oleh : Syahrir Ika

bagaimana Anda bertahan hidup dalam

dunia yang sangat kompetitif. Yap Tjai 2Soen , ketika menjadi Komisaris di PT

Aneka Tambang (Antam) Tbk, pernah

menasehati penulis bahwa bila Antam

mengalami tambahan keuntungan 3(windfall profit) , baik disebabkan

karena meningkatnya harga komoditas

(nikel+emas+bauksit) di pasar global

maupun melemahnya nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS (mengingat seluruh

hasil produksi diekspor), maka Direksi

segera menye lesa ikan semua

kewaj iban perusahaan seper t i

pencadangan kewajiban pensiun dan

kesehatan serta kewajiban estimasi

untuk imbalan kerja (estimated post

retirement benefit liabilities) bahkan bila

perlu menawarkan program pensiun

dini (early retirement) kepada pegawai

Peneliti Madya PPRF, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI.

Kini, Direktur Keuangan Bank BNI

Didefinsikan sbb: profit that occurs unexpectelly as a cosequence of some event not controled by those who profit from it

1

23

y a n g k u r a n g p r o d u k t i f u n t u k

memperoleh ukuran organisasi yang

optimal (right size) sehingga organisasi

(bisnis) akan lebih survive. Itu timingnya,

karena bila perusahaan tidak lagi

memperoleh momentum windfall profit,

hal itu sulit dilakukan manajemen dan

perusahaan akan semakin tidak efisien

dan tidak memiliki kemampuan bersaing.

Jack Trout juga mengatakan 'strategy is

all about reality', mengapa? karena

sering kali para CEO terjebak dalam

s u a t u s i t u a s i y a n g d i n i l a i

keberuntungan tetapi sesungguhnya

secara realita menjebak mereka (the

growth trap). Trout mengambil contoh

CEO Pialang-Pialang di Wall Street-AS

yang mengejar-ngejar pertumbuhan

tinggi untuk memastikan kelangsungan

34 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK edukasikarir mereka, menaikan kompensasi

y a n g m e r e k a t e r i m a , d a n

mempertahankan reputasi mereka.

Menurut Trout, apakah pertumbuhan

memang benar-benar perlu? Berikut ini

penulis kutip jawabannya : '....Not really,

When you consider that people do

damaging thinks to force unnecessary

growth, you can say that it's a crime

against the brand....” Banyak kisah the

growth trap yang diangkat Trout dalam

bukunya, dan Ia sampai pada suatu

kesimpulan bahwa prediksi (dari

seorang CEO/pemimpin) yang terlalu

berani mengenai pertumbuhan laba

(ekonomi) sering kali memunculkan

target-target yang tidak tercapai.

Karena itu, mungkin pilihan yang baik

bagi seorang CEO yang ingin survive

adalah selalu berada pada daerah

realitas atau reality zone dari pada di

daerah mustahil (impossible zone).

Nasehat Trout ini relevan dengan apa

yang dipesankan Muhammad Chatib

Basri dalam artikelnya di Harian

Kompas, 16 Januari 2011 berjudul

'Jangan Bergantung Pada Nasib'.

Menurut Chatib, dampak krisis global

relatif minim terhadap Indonesia karena

kombinasi dari 'antisipasi kebijakan

yang baik' dan 'nasib yang baik'. Namun

Indonesia juga beruntung karena

ekonomi kita didominasi oleh konsumsi

d o m e s t i k , a k i b a t n y a d a m p a k

pelemahan ekonomi global terbatas.

Sebaliknya negara yang terintegrasi

dalam jaringan produksi atau yang

berorientasi ekspor, seperti Singapura,

terpukul. Karena itu, menurut Chatib,

strategi orientasi ekspor harus diikuti

dengan diversifikasi terhadap produk

ekspor dan negara tujuan ekspor.

S t r a t e g i i n i l a h y a n g a k a n

menyelamatkan suatu negara dari

fluktuasi global.

Bagaimana dengan realitasnya?

Persoalan yang dihadapi Indonesia

saat ini, menurut Chatib, adalah

diversifikasi relatif terbatas. Dalam 18

tahun terakhir ini, kondisi yang terjadi

adalah produk yang sama yang dijual ke

pasar yang sama, penemuan baru (new

discovery) kurang dari 5 persen, bahkan

kontribusi produk baru di pasar yang

baru hampir tidak ada. Kondisi ini

menurut Chatib sangat berbahaya bila

tidak ada perbaikan. Tahun 2008

memang kita beruntung, apakah tahun

2012 kita beruntung lagi? belum tentu.

Chatib Basri menasehati, 'jangan

bergantung pada keberuntungan'.

Nasehat Jack Trout, Yap Tjai Soen, dan

Muhammad Chatib Basri, memberikan

pelajaran berharga bagi pimpinan

organisasi/ lembaga pemerintahan,

termasuk Bappenas dan Kementerian

Keuangan, khususnya Badan Kebijakan

Fiskal (BKF). Bagaimana merancang

perencanaan pembangunan yang

rasional, bagaimana merumuskan

kebijakan f iskal yang real ist is,

bagaimana memanfaatkan momentum

pertumbuhan yang sudah diraih, dan

bagaimana memanfaatkan momentum

status investment grade yang diberikan

Lembaga Pemeringkat Internasional

(Moody's dan Fitch Ratings) kepada

Indonesia dalam rangka mendorong

perekonomian Indonesia lebih survive.

Ekonomi Global 2012 :Ancaman dan MomentumBanyak analist ekonomi dan bisnis

memperkirakan perekonomian dunia pada tahun 2012

akan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun 2011.

Bank Dunia (melalui Laporan Prospek Ekonomi Global

2012) sudah mengoreksi pertumbuhan ekonomi global dari

perkiraan semula 3,6 persen menjadi 2,5 persen, di mana

ancaman utamanya adalah krisis utang Eropa. Salah satu

dampaknya ke negara-negara berekembang, termasuk

Indonesia adalah menurunnya aliran modal hampir

mencapai separohnya dibandingkan dengan tahun 2011.

Bank Dunia memperkirakan ekspor global barang dan jasa

hanya mencapai sekitar 4,7 persen atau lebih rendah

dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 6,6 persen.

Dengan kata lain, ekonomi dunia tahun 2012

diperkirakan akan memanas (overheating), dorongan

permintaan meningkat sehingga akan mendorong

naiknya inflasi.

Namun, diperkirakan dampaknya terhadap Indonesia tidak begitu signifikan,

setidak-tidaknya menurut pengakuan para analist yang memiliki reputasi

internasional. Indonesia di mata lembaga pemeringkat internasional (Moody's dan

Fitch Ratings) menaikan peringkat kredit Indonesia ke level layak investasi

(investment grade) atau outlook positif dari Baa3 menjadi Ba1 (Moody's) dan BB+

35INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK EDUKASImenjadi BBB- (Fitch Ratings) yang merupakan level terbawah di investment grade

(Bagan-01). Ketika peringkat kredit di negara-negara lain, terutama di kawasan

Eropa, mengalami penurunan, Indonesia justru sebaliknya, mengalami perbaikan,

yang menunjukkan expected rate of return diperkirakan sedikit meningkat, ada

tambahan kepercecayaan dari para investor global untuk memperoleh benefit bila

berinvestasi di Indonesia.

Bagan-01 : Peringkat Kredit (Utang) Indonesia Menurut Lembaga Rating

Krisis Ekonomi1998

RekapitulasiPerbankan

Reprofiling VR & HB, Aset-Bond Swatdan Perbankan Sun Jangka Panjang

Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback)

Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback & debtswitching

Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback & debtswitching dan diversifikasi instrumen

14

12

10

8

6

4

2

0

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Moody’s Fitch Ratings

Keterangan :Hijau (Lower Medium Grade), Hijau Lumut (Non-Investment Grade), Orange (High Risk), Kuning (Possible Non-Payment), Ungu (Substantial Risk), Merah (Defaul). Di atas rating ini, masih ada tiga level tertinggi, yaitu Prime, High Grade, dan Medium Grade

Moody's

FR

1

Baa1

BBB+

2

Baa2

BBB

3

Baa3

BBB-

4

Ba

BB+

5

Ba2

BB

6

Ba3

BB-

7

B1

B

8

B2

B=

9

B3

CCC+

10

Caa1

CCC

11

Caa2

CCC-

12

Caa3

CC

13

Ca

R/C

14

C

SD/DDD

Sumber: Harian Bisnis Indonesia, 19 Januari 2011, diolah

Variabel apa yang mendongkrak perbaikan peringkat utang Indonesia meneurut

kedua lembaga rating tersebut? Jawabannya terkait dengan tiga kriteria utama yang

menjadi landasan penetapan rating, yaitu (i) stabilitas anggaran, (ii) kebijakan

moneter, dan (iii) situasi ekonomi. Menurut Moody's, metrik keuangan Indonesia

telah sejalan dengan nagara-negara yang memiliki rating utang Baa. Selain itu,

pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi ( di atas 6% dalam tiga tahun terakhir,

Bagan-02) menunjukkan ekonomi Indonesia memiliki daya tahan terhadap

goncangan ekternal yang berat, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan dan

sistem yang diterapkan pemerintah mampu mengatasi kerentangan keuangan.

Bagan-03 : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2009-2012

%, y-0-y)

4.64.1

IMF, 6.4%

Proyeksi6.5

Proyeksi

IMF

6.3%

6.7

2009 (Realisasi) 2010 (Realisasi) 2011 (Target APBN-P 2011) 2012 (Target APBN 2012)

Sumber : BPS dan Kementerian Keuangan, diolah

Dari sisi manajemen fiskal, Moody's

melihat kebijakan yang diterapkan

pemerintah saat ini cukup baik,

indikatornya adalah defisit angggaran

berada pada tingkat yang sangat rendah

serta beban utang terhadap PDB (debt to

GDP) yang rendah (di bawah 30%,

Bagan-03). Sementara dari sisi moneter,

perbankan Indonesia yang cukup sehat,

menurut Moody's, bisa mengantisipasi

stress test. Faktor lain yang dinilai adalah

peningkatan investasi, pembangunan

infrastruktur, dan reformasi birokrasi.

Semua ini memunculkan keyakinan

bahwa ada trend pertumbuhan yang

berkelanjutan yang tinggi dalam jangka

menengah (survive).

Bagan-03 : Posisi Utang PemerintahIndonesia (Ekivalen Dalam Miliar US$)

dan Rasio Utang Pemerintah

IDR

USD

JPY

EUR

SDR

AUD

Mata Uang Lainnya

Total (Miliar USD)

Total (Rp Triliun)

Asumsi kurs tengah IDR/US$)

Rasio Utang Pemerintah (% to GDP)

2006

76.8

27.3

25.8

10.2

1.8

-

2.5

144.4

1,302

9.020

39,0

2010

100.4

39.6

33.0

7.2

3.3

0.3

2.7

169.2

1,677

8.991

26,0

2011(31 Okt)

111.1

41.9

33.3

7.2

3.5

0.4

2.7

200.1

1,802

8.835

24,9

Sumber : Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi November 2011DJPU, Kementerian Keuangan RI.

Kiat MemanfaatkanMomentum InvestmentGradePerbaikan peringat kredit (utang) pada

level investment grade menggambarkan

bahwa Indonesia di mata investor

merupakan negara yang punya prospek

untuk investasi (safe haven country).

Efek yang bersifat direct adalah akan

ada arus masuk modal asing (capital

inflows) ke pasar financial (capital

market dan money market) juga ke

investasi langsung di sektor riil. Sektor

financial akan lebih dahulu menerima

manfaatnya, terutama di pasar modal.

Beberapa hari setelah mengumuman

berbaikan peringkat kredit, indeks harga

saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)

pasti meningkat. Berikutnya mungkin

pada apresiasi nilai rupiah terhadap

dolar AS, dan baru selecara selektif

modal asing bisa masuk ke FDI (foreign

direct investment).

36 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK edukasiMomentum investment grade ini harus

dimanfaatkan secara optimal oleh

pemerintah dan dunia usaha. Beberapa

kiat diantaranya adalah : (i) melakukan

reprofiling utang terutama yang utang-

utang yang sudah mendekati masa

jatuh tempo (Bagan-03) mengingat

biaya utang nenurun; (ii) menerbitkan

obligasi dengan pertimbangan batasan

kemampuan financial distress, di mana

penggunaannya diarahkan untuk

pembiayaan infratsruktur. Hal ini

dimaksudkan juga untuk mengatisipasi

kesulitan pemerintah untuk mengajak

peran swasta dalam membiayai

pembangunan infrastruktur melalui

skema KPS (public-private patnership).

Walaupun demikian, pemerintah harus

tetap berhati-hati dalam berutang agar

defisit anggaran tetap di jaga pada level

yang aman/rendah. Momentum ini bisa

mendorong pemerintah untuk sedikit

lebih berani menaikan defisit anggaran,

misalnya s.d -2,5 persen dari GDP

untuk mendukung pembiayaan

pembangunan infrastruktur; (i i i)

menjaga komitmen (kontrak-kontrak)

ekspor agar dapat direalisir. Semua

komitmen perdagangan internasional

harus dikontrol, bila ada signal

pelemahan, maka harus segera

dialihkan ke pasar baru. Diversifikasi

ekspor membutuhkan inovasi dan

pengembangan inovasi membutuhkan

penelitian dan pengembangan (R&D).

Mengingat litbang kita lemah, maka

perlu insentif dari pemerintah misalnya

dalam bentuk pembebanan sekaligus

untuk perhitungan pajak dan disusutkan

untuk perhitungan akuntasi; (iv)

memperbanyak BUMN untuk go public

(IPO) sehingga investor memiliki

banyak pilihan investasi ke sektor

publik, terutama dalam mendanai

proyek-proyek infrastruktur, energi dan

perkebunan. (v) menciptakan iklim yang

kondusif untuk mencegah aliran

investasi menumpuk di sektor financial,

karena hal tersebut selain menimbulkan

risiko pelarian modal secara tiba-tiba

bila krisis Eropa mulai membaik, juga

kurang menstimulasi pengembangan

sektor rill dan penciptaan lapangan

kerja. Target penyerapan tenaga kerja

5mestinya harus jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2011. Data BKPM

menunjukkan bahwa realisasi investasi tahun 2011 mencapai Rp251,3 triliun

(meliputi Rp76 triliun PMDN dan Rp175,3 triliun PMA) atau naik 20,5 persen

dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp208,5 triliun. Jumlah tenaga kerja

yang langsung terserap diperkirakan sebanyak 404.039 orang (PMDN sebanyak 6137.217 orang dan PMA sebanyak 266.822 orang) ; (vi) pemerintah dapat juga

meningkatkan permintaan pasar domestik dengan mempertahan daya beli

masyarakat (pengendalian laju inflasi). Salah satu faktor pemincu inflasi buruknya

kondisi infrastruktur, maka pembangunan infrastruktur harus menjadi high priority

pemerintah di tahun ini dan beberapa tahun ke depan.

Kepala BKPM, Gita Wirjawan menegaskan bahwa dengan masuknya Indonesia sebagai negara yang layak investasi (investment grade), maka tidak ada alasan Indonesia untuk tidak masuk ke level singel A. Dengan reformasi yang sedang dan akan dilaksanakan, trend kedepan akan semakin positif (Kompas 20 Januari 2012).

Kompas 20 Januari 2012, Tajuk: Tren Investasi Makin Positif

5

6

Bagan-03 : Profil Jatuh Tempo Utang Negara (per 31 Oktober 2011)

Sumber : Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi November 2011, DJPU, Kementerian Keuangan RI.

37INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA

38 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK inspiring dan lainnyaLembaga Asian Infrastructure Fund

(A IF ) d i ben tuk da lam rangka

meningkatkan konektivitas antar

negara anggota ASEAN. Keberadaan

AIF ditujukan untuk membiayai

pembangunan infrastruktur terkait

dengan konektivitas diantara dua atau

lebih negara ASEAN. Setelah negara-

negara ASEAN satu sama lain

terkoneksi dengan baik, diharapkan

dapat terwujud apa yang disebut

pasar tunggal ASEAN. Pada tahap ini,

arus barang, jasa, tenaga kerja dan

arus modal bebas melintas diantara

negara ASEAN.

Pertanyaannya adalah adakah manfaat bagi Indonesia untuk bergabung dalam AIF?

Terkait pembentukan modal AIF, pada

tanggal 24 September 2011 telah

ditandatangani Shareholders Agreement

di Washington DC. ASEAN-5 (Indonesia,

Malaysia, Singapura, Philipina, dan

Thailand) telah berkomitmen untuk

menyertakan modal dengan besaran

yang sama (equal) yaitu minimal US$15

juta. Namun, negara-negara ASEAN-5

diminta untuk menambah (top up) dari

minimal penyertaan modal tersebut.

Sedangkan negara-negara seperti

Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,

Myanmar, dan Viet Nam akan

menyertakan modal sesuai dengan

kapasitas masing-masing. (Lihat Tabel).

Perkembangan AIF

Amounts of Core Equity Contributions

MAL

INO

PHI

SIN

THA

BRU

VIE

CAM

LAO

USD335.2M

USD150M

USD120M

USD15M

USD15M

USD15M

USD10M

USD10M

USD0.1M

USD0.1M

USD150M

USD485.2M

69.08%

30.92%

24.73%

3.09%

3.09%

3.09%

2.06%

2.06%

0.02%

0.02%

30.92%

100%

Total Equity Percentage

ASEAN

ADB

TOTAL

P e m e r i n t a h I n d o n e s i a t e l a h

berkomitmen untuk menyertakan modal

sebesar USD 120 juta. Share ini

merupakan nomor ketiga terbesar

setelah Malaysia dan ADB yang

masing-masing memberikan kontribusi

sebesar USD 150 juta. Sisanya akan

disumbang oleh negara ASEAN lainnya

(sekitar USD180 juta) dan dana hybrid

capital sebesar USD200 juta.

Untuk memenuhi kebutuhan dana awal

AIF sebesar US$800 juta tersebut telah

ditetapkan struktur pembiayaan

(financial structuring) yang disebut

dengan Three Tranches and Hybrid

Capital Scenario. Dalam skenario

tersebut, pembayaran kontribusi equity

ASEAN dan ADB dilakukan dalam tiga

tahap setoran secara tahunan. Pada

tahun ke-4, kebutuhan dana akan

diperoleh dari investasi hybrid capital

dari investor institusional dengan

jumlah maksimum 25% dari total modal

(US$200 juta).

Keuntungan skenario ini adalah (i)

rendahnya kontribusi ASEAN secara

total (US$485,2 juta), (ii) volume

pinjaman yang tinggi, dan rendahnya

kontribusi ASEAN setiap tranche

(sekitar US$150 juta). Sebaliknya,

kekurangan skenario ini adalah (i)

tingginya bunga pinjaman (LIBOR+90),

(iii) rendahnya volume pinjaman, dan

( i i i ) t i n g g i n y a k e m u n g k i n a n

penambahan modal dalam waktu dekat

(sekitar US$750-900 juta pada tahun

2017). Selain itu, struktur pembiayaan

tersebut juga perlu mempertimbangkan

adanya kebutuhan penambahan modal

(capital increase) apabila track records

AIF tidak terbangun dengan baik

sehingga AIF bonds tidak dapat terjual

untuk menambah kebutuhan dana.

Terkait dengan governance and legal

framework, beberapa ketentuan yang

akan diberlakukan antara lain (i) AIF

akan didirikan di bawah hukum

perusahaan suatu yurisdiksi yang

sesuai, (ii) AIF akan memenuhi

persyaratan reserve eligibility dan cost

efficiency, (iii) akan dibentuk AIF Board

yang terdiri dari ASEAN dan ADB

sebagai pengambil keputusan tertinggi,

dan (iv) AIF Board akan mendelegasikan

semua isu operasional dan administrasi

AIF kepada ADB, termasuk identifikasi

proyek, proses dan implementasinya

serta bertanggung jawab pada cash

management.

Terkait dengan operational structure

and process, beberapa hal penting

adalah (i) ADB akan ditugaskan sebagai

administrator untuk AIF dengan

tanggung jawab khusus, (i) AIF Board

akan menyepakati prinsip dan kriteria

seleksi proyek, ( i i i ) ADB akan

m e n y i a p k a n s u a t u p i p e l i n e

berdasarkan kriteria yang disepakati

dan akan disetujui oleh AIF Board

secara tahunan, (iv) ADB akan

m e l a k u k a n p e r s i a p a n p r o y e k

berdasaskan pipeline yang disepakati,

(v) semua ketentuan dan prosedur ADB

yang relavan berlaku pada proyek AIF,

(vi) ADB Board akan menyetujui

individual project, dan (vii) ADB akan

menyiapkan laporan mengenai

operasional, manajemen keuangan,

dan perkembangan AIF.

Apabila ADB secara institusional (di luar

kontribusinya sebesar US$150 juta)

akan berfungsi sebagai pemberi

tambahan pinjaman (co-financing)

dengan perbandingan AIF:ADB

sebesar 70:30 (blended) diperkirakan

akan terjadi penurunan tingkat suku

bunga pinjaman. Penurunan suku

bunga pinjaman tersebut bisa menjadi

masing-masing LIBOR+90. Namun

demikian, project pipeline yang

39INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

menggunakan skema co-financing (blended) ADB, pembahasannya dilakukan oleh ADB Board, tidak berbeda dengan pengajuan

individual projects pada ADB. Sedangkan project pipeline yang menggunakan skema unblended (murni AIF), pembahasannya

ditentukan oleh AIF Board sehingga prosesnya lebih sederhana.

Dalam kenyataannya, AIF diwujudkan dalam bentuk special purpose vehicle (SPV) yang akan dikelola oleh ADB. Melalui SPV

tersebut, modal yang telah terkumpul itu akan di-leverage. Selanjutnya, apabila SPV ini sudah mempunyai tagihan atas proyek-

proyek infrastruktur yang didanainya, tagihan itu dapat disekuritisasi untuk meningkatkan likuiditas yang pada akhirnya dapat

meningkatkan kapasitas pinjamannya.

AIF juga akan menerbitkan obligasi guna meningkatkan likuiditas dan kapasitas pinjamannya. Dengan track record yang baik,

kondisi keuangan yang kuat serta back up dari ADB, diharapkan obligasi yang diterbitkan AIF ini mendapat peringkat AA dari

lembaga rating internasional.

Sebagai lembaga pembiayaan, AIF akan memberikan pinjaman jangka panjang bagi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di

negara-negara ASEAN. Untuk tahap awal, pinjaman AIF tersebut akan difokuskan untuk proyek-proyek infrastruktur yang

bersifat sovereign, dan selanjutnya akan diperluas kepada sektor swasta (non-sovereign projects). Return dari sovereign

projects akan dihitung berdasarkan biaya pinjaman ditambah bunga, sedangkan untuk proyek non-sovereign ditentukan

berdasarkan harga pasar.

Manfaat Bagi Indonesia

Indicative timetable implementasi AIF dimulai pada tahun 2011. Pada tahap awal, alokasi AIF terbatas bagi

sovereign projects hingga 2015. Untuk itu, ADB telah menyiapkan daftar proyek yang dianggap potensial dan

menjadi prioritas. Proyek-proyek tersebut terbagi dalam tiga kategori yaitu transportasi, energi, dan air bersih.

Jumlah proyek infrastruktur yang telah diidentifikasi oleh ADB mencapai US$1,572 dimana sepertiga diantaranya

berlokasi di Indonesia (US$575). Proyek-proyek infrastruktur yang dianggap potensial dan menjadi prioritas oleh

ADB adalah yang dapat mendukung agenda integrasi regional ASEAN, atau sejalan dengan Master Plan on

ASEAN Connectivity terutama yang terkait dengan kerjasama ekonomi sub-regional ASEAN seperti BIMP-

EAGA, IMT-GT dan Greater Mekong Subregion (GMS). Untuk Indonesia sendiri, berdasarkan identifikasi ADB

tersebut, pada tahun 2011-2013 terdapat lima proyek yaitu (i) Java-Bali Interconnection Project, (ii) Surabaya

Commuter System, (iii) Melaka-Pekanbaru Power Interconnection, (iv) Geothermal Power Development

Program, dan (v) Regional Roads Development.

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya keberadaan AIF cukup bermanfaat bagi Indonesia khususnya dalam hal

membantu penyediaan infrastruktur di Indonesia. Namun demikian, kita perlu mencermati pendapat Iwan Jaya

Azis, Kepala Office of Regional Economic Integration ADB yang menyatakan bahwa pelaksanaan konektivitas

ASEAN harus ada standarisasi barang yang saling diakui agar saling menguntungkan. (Indonesia Finance

Today, 19 Juli 2011).

RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA

40 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK inspiring dan lainnya

Pusat Investasi Pemerintah (PIP) telah ditunjuk oleh Pemerintah selaku operator

investasi Pemerintah. Mengingat PIP berbadan hukum Badan Layanan Umum dan

menggunakan sebagian sumber dana investasi dari APBN, pelaksanaan investasi

pemerintah dapat merugikan keuangan negara. Pemerintah dapat

mempertimbangkan mengubah bentuk badan hukum PIP menjadi BUMN guna

mengurangi potensi risiko.

Kemungkinan bagi pemerintah untuk melakukan investasi tercantum di pasal 41

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

(UU 1/2004) yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat melakukan investasi

jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat

lainnya. Yang dimaksud dengan “manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat

lainnya” menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Investasi Pemerintah (PP 1/2008) adalah:

1. Keuntungan berupa deviden, bunga, dan pertumbuhan nilai perusahaan yang

mendapatkan Investasi Pemerintah sejumlah tertentu dalam jangka waktu

tertentu;

2. Peningkatan berupa jasa dan keuntungan bagi hasil investasi sejumlah

tertentu dalam jangka waktu tertentu;

3. Peningkatan pemasukan pajak bagi negara sejumlah tertentu dalam jangka

waktu tertentu sebagai akibat langsung dari investasi bersangkutan; dan/atau

4. Peningkatan penyerapan tenaga kerja sejumlah tertentu dalam jangka waktu

tertentu sebagai akibat langsung dari investasi bersangkutan.

MENYOROTIBENTUK BADAN HUKUM PIP

Oleh : M. Zainul Abidin

U n t u k m e n j a l a n k a n k e g i a t a n

operasional dalam mengelola investasi,

Pemerintah telah mendirikan Pusat

Investasi Pemerintah (PIP) dengan

menggunakan bentuk badan hukum

Badan Layanan Umum (BLU). Menurut

Pasal 1 UU 1/2004, BLU merupakan

instansi di lingkungan pemerintah pusat

dan/atau daerah yang dibentuk untuk

memberikan pelayanan kepada

masyarakat berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang dijual tanpa

mengutamakan mencari keuntungan

dan dalam melakukan kegiatannya

didasarkan pada prinsip efisiensi dan

produktivitas.

Penjelasan Umum PP 23/2005 tentang

Pengelo laan Keuangan Badan

Layanan Umum menyebutkan bahwa

BLU merupakan sa tuan ker ja

pemerintah dan mengelola dana yang

Pembentukan OperatorInvestasi Pemerintah

41INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYAmerupakan kekayaan negara/daerah

yang tidak dipisahkan sehingga BLU

tunduk pada ketentuan pengelolaan

keuangan negara. Dengan demikian,

rencana kerja dan anggaran PIP

terintegrasi dalam rencana kerja dan

anggaran Kementerian Keuangan

sebagai instansi induknya. Di samping

itu, pola pengelolaan keuangan PIP

tetap mengikuti asas-asas umum dalam

pengelolaan keuangan negara, seperti

asas kesatuan, asas tahunan, dan asas

spesialitas, selain asas universalitas.

Adapun pengecualian asas universalitas

yaitu pelaporan keuangan PIP

dilampirkan dalam laporan kementerian,

tetapi tidak ditampilkan untuk setiap

transaksi keuangan dalam dokumen

anggaran di samping pendapatan yang

diperolehnya dapat langsung digunakan

untuk belanja.

Pasal 3 PP 23/2005 menegaskan bahwa

BLU merupakan bagian perangkat

pencapaian tujuan kementerian negara

dan karenanya status hukum BLU tidak

terpisahkan dari kementerian negara

sebagai instansi induk. PIP yang

dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007

tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat

Investasi Pemerintah (PMK 52/2007)

mempunyai visi yang tercantum di

dalam PMK 12/2008 tentang Sistem

Akuntansi Pusat Investasi Pemerintah.

PMK 12/2008 menyebutkan bahwa PIP

didir ikan dengan visi ”Menjadi

o p e r a t o r / p e l a k s a n a i n v e s t a s i

pemerintah yang profesional dalam

rangka pelaksanaan kebijakan fiskal

Pemerintah.” Dicantumkannya visi PIP

di dalam PMK tersebut menegaskan

bahwa PIP merupakan unit organisasi

yang merupakan bagian pencapaian

tujuan Kementer ian Keuangan.

Selanjutnya, PIP juga meneguhkan

visinya untuk “Menjadi lembaga

investasi pemerintah kelas dunia yang

mengedepankan kepentingan nasional.”

Jika melihat kegiatan usaha, maka PIP

beroperasi layaknya suatu perusahaan

yang mencari laba. Hal itu tertuang di

dalam pernyataan misi PIP yang ingin

mendapatkan imbal hasil optimal pada

investasi di berbagai sektor strategis.

Sektor strategis tersebut meliputi:

bidang infrastruktur, teknologi ramah

lingkungan dan bidang-bidang lainnya

yang memberikan manfaat ekonomi,

sosial dan/atau manfaat lainnya. PMK

12/2008 juga menyebutkan bahwa PIP

menjalankan misi pemerintah dalam

fungsinya untuk meningkatkan ekonomi

kerakyatan.

Pasal 11 ayat (4) PP 1/2008

menyatakan bahwa PIP memiliki

kewenangan dan tanggung jawab yang

didelegasikan dari Menteri Keuangan

untuk melakukan Perjanjian Investasi

dengan Badan Usaha terkait, mewakili

dan melaksanakan kewajiban serta

menerima hak pemerintah yang diatur

dalam perjanjian investasi; menyusun

dan menandatangani perjanjian

investasi; mengusulkan perubahan

perjanjian investasi; melakukan

tindakan untuk dan atas nama

pemerintah apabila terjadi sengketa

atau perselisihan dalam pelaksanaan

perjanjian investasi. Aktivitas bisnis

t e r s e b u t m e n u n j u k k a n P I P

menjalankan kedudukan pemerintah

sebagai wakil negara untuk melakukan

kegiatan operasional pengelolaan

investasi pemerintah yang berada di

ranah hukum keperdataan.

Risiko Pemerintah

Keterl ibatan pemerintah secara

langsung dalam pelayanan umum

sebagai penyedia barang dan jasa

dengan instrumen keperdataan

dipandang akan lebih efektif, tetapi hal

ini juga mengandung risiko hukum,

ekonomi dan politik. Mengingat dana

yang dikelola berasal dari APBN, setiap

potensi kerugian negara yang dihadapi

PIP akan menjadi sorotan publik

sebagaimana kebijakan penyertaan

investasi pemerintah pada PT Newmont

Nusa Tenggara atau penjaminan pada

eks Bank Century.

Potensi risiko fiskal dapat muncul ketika

PIP menjalankan aktivitas bisnis dalam

lapangan keperdataan dan tunduk pada

peraturan hukum perdata. Pada saat

menjalankan aktivitas bisnis tersebut,

kedudukan PIP sepert i halnya

seseorang atau badan hukum perdata

pada umumnya, diatur dan tunduk pada

k e t e n t u a n - k e t e n t u a n h u k u m

keperdataan serta dapat melakukan

tindakan hukum keperdataan. Jika

terjadi perbuatan melawan hukum yang

dilakukan PIP, maka pemerintah turut

bertanggungjawab.

J e n i s t r a n s a k s i y a n g d a p a t

menimbulkan risiko diantaranya berasal

dari aktivitas investasi pada surat

berharga, penyertaan modal dan

pemberian pinjaman. Risiko tersebut

dapat berupa penurunan nilai surat

berharga, timbulnya kerugian suatu

proyek yang berasal dari penyertaan

modal atau tindakan wanprestasi pihak

debitor. Mengingat PIP menggunakan

badan hukum BLU, maka munculnya

risiko kerugian investasi tersebut dapat

merugikan keuangan negara karena

negara kehilangan kesempatan untuk

menerima kembali pengeluaran yang

telah disalurkan melalui dana investasi.

42 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK inspiring dan lainnya

Guna mengurangi terjadinya risiko, PIP

melakukan perhitungan risiko secara

terukur dalam setiap keputusan

investasi. Selain itu, pemerintah dapat

mempertimbangkan untuk memisahkan

modal PIP. Pemisahan tersebut akan

membatasi lingkup tanggung jawab

pemerintah sehingga mengurangi

kemungkinan terjadinya risiko yang

akan membebani keuangan negara.

Pertimbangan mengenai modal PIP

yang sebaiknya dipisahkan dari

kekayaan negara itu didasarkan pada

kedudukannya sebagai badan hukum.

Sebagai sebuah badan hukum, PIP

dapat menjadi suatu badan usaha

mandiri, memiliki kekayaan sendiri

terlepas dari kekayaan negara,

sehingga mengurangi kemungkinan

terjadinya kerugian yang berimbas

kepada APBN.

Menjadikan PIP sebagai badan hukum

yang mandiri dapat meningkatkan kinerja

PIP sekal igus menguntungkan

pemerintah. Pemisahan tersebut akan

menghilangkan dilema sebagai akibat

ke ing inan untuk mendapatkan

keuntungan ekonomis yang optimal dalam

pengelolaan dana investasi disandingkan

dengan tugas pemerintah sebagai

penyelenggara kesejahteraan/pelayanan

umum yang cenderung bersifat nirlaba.

Pembentukan suatu badan hukum yang

baru tersebut kiranya memungkinkan PIP

untuk memupuk laba, di samping

kepentingan Pemerintah masih dapat

diakomodasi. Selain itu, pemisahan

tersebut dapat mengurangi potensi beban

keuangan negara.

Alternatif pemisahan badan hukum

yang terpisah dari Pemerintah dengan

mengubah bentuk badan hukum PIP

dari BLU menjadi Perusahaan Umum

(Perum). Berdasarkan pasal 1 Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara (UU

19/2003), Perum adalah BUMN yang

seluruh modalnya dimiliki negara dan

tidak terbagi atas saham, yang

bertujuan untuk kemanfaatan umum

berupa penyediaan barang dan/atau

Alternatif Pembatasan Risiko Tindakan hukum keperdataan yang

dilakukan suatu Perum tidak serta

merta membebani Pemerintah. Pasal

39 UU 19/2003 menyatakan bahwa

Menteri tidak bertanggung jawab atas

segala akibat perbuatan hukum yang

dibuat Perum dan tidak bertanggung

jawab atas kerugian Perum melebihi

nilai kekayaan negara yang telah

d i p i sahkan ke da lam Pe rum.

Pemerintah hanya bertanggungjawab

sebesar ni lai penyertaan yang

disetorkan ke dalam modal Perum dan

tidak meliputi harta kekayaan negara di

luar modal tersebut.

Selaku pemilik modal, Pemerintah

dilibatkan dalam menentukan kebijakan

pengembangan usaha suatu Perum.

Pasal 38 ayat (1) UU 19/2003

menyatakan bahwa menteri berwenang

member i kan perse tu juan a tas

kebijakan pengembangan usaha

Perum yang diusulkan oleh Direksi.

Kebijakan pengembangan tersebut

m e l i p u t i k e b i j a k a n i n v e s t a s i ,

p e m b i a y a a n u s a h a , s u m b e r

pembiayaannya, penggunaan hasil

usaha perusahaan, dan kebijakan

pengembangan lainnya. Dengan

demikian, Pemerintah masih dapat

menjaga kepentingannya untuk

mendapatkan imbal hasil yang optimal

dari penyertaan modalnya.

Pasal 49 UU 19/2003 menyebutkan

b a h w a m e n t e r i m e n g e s a h k a n

rancangan rencana jangka panjang

yang merupakan rencana strategis

yang memuat sasaran dan tujuan

Perum yang hendak dicapai dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun. Penjelasan

pasal 49 tersebut menerangkan bahwa

rancangan rencana kerja dan anggaran

perusahaan memuat antara lain: Misi,

sasaran usaha, strategi usaha,

kebijakan perusahaan, dan program

kerja/kegiatan; anggaran perusahaan

yang dirinci atas setiap anggaran

program kerja/kegiatan; serta proyeksi

keuangan. Selanjutnya pasal 50 UU

19/2003 menyebutkan rencana kerja

dan anggaran yang merupakan

penjabaran tahunan dari rencana

jangka panjang Perum memerlukan

pengesahan Men te r i . Ha l i n i

menunjukkan bahwa Pemerintah dapat

menentukan strategi bisnis suatu Perum,

baik dalam jangka panjang maupun

pendek. Dengan kata lain, kepentingan

Pemerintah dapat diakomodasi di dalam

rencana bisnis Perum.

Mengingat modal yang berasal dari

APBN, PIP diharapkan mengelolanya

d e n g a n m e m p e r h a t i k a n s i s i

l a b a / k e u n t u n g a n s e k a l i g u s

kepentingan pemerintah agar modal

yang ditanamkan dapat menciptakan

manfaat ekonomi, sosial, dan/atau

manfaat lainnya. Sebagai badan hukum

yang nantinya berbentuk Perum, PIP

yang tujuan pendiriannya adalah untuk

menyediakan public goods yang

bermutu tinggi, masih dimungkinkan

u n t u k m e n g e j a r k e u n t u n g a n

berdasarkan prinsip pengelolaan

perusahaan. Dua hal ini dalam

operasional PIP sebagai pengelola

investasi pemerintah tidak bisa

dipisahkan. Hal ini terkait dengan fungsi

sosial pengelolaan dana pemerintah

(modal dari APBN) yang harus lebih

diutamakan disamping upaya untuk

mengejar keuntungan dalam mengelola

dana investasi.

Sebagai badan hukum mandiri, terpisah

dari pengelolaan keuangan negara, PIP

dapat diharapkan akan lebih fokus

dalam menjalankan kegiatannya. Dari

sisi pemerintah, pemilihan bentuk usaha

berbentuk Perum tetap dapat menjaga

kepentingan pemerintah karena

menjadi satu-satunya pemegang

saham PIP. Dengan demikian,

pembentukan (Perum) PIP dapat lebih

bermanfaat bagi proses pembangunan

serta perekonomian nasional.

43INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA

Kemacetan di Jakarta telah mencapai

titik kritis. Jumlah kendaraan yang

dimiliki warga Jakarta mencapai 13,123

juta unit. Terbesar kendaraan roda dua,

10,367 juta atau 79 persen dari total

kendaraan. Sisanya, 2,756 juta atau 21

persennya merupakan kendaraan roda

empat atau lebih (Sumber : Direktur

Lalu Lintas Polda Metro Jaya). Dengan

mengasumsikan 50 persen dari total

tersebut beredar setiap hari maka

Jakarta dipadati oleh lebih dari 5,150

juta kendaraan bermotor roda dua dan

1,35 juta roda empat. Data ini

memastikan Jakarta menuju titik kritis.

Ada beberapa indikator lain yang perlu

diwaspadai dan member kontribusi

kemace tan Jaka r ta . Pe r tama,

pertambahan kendaraan roda dua lebih

dari 1000 motor setiap hari. Mobil

mencapai 200 unit per hari. Tahun 2012

akan ada kenaikan lebih dari 300 ribu

kendaraan roda dua dan sekitar 60

r ibuan roda empat (sumber :

http://metro.vivanews.com). Jadi tahun

depan Jakarta menjadi ikon kota motor.

Indikator kedua, pada saat yang sama,

volume jalan di Ibukota hanya

bertambah 2,8 persen atau menjadi 10

persen terhadap total luas wilayah kota

Jakarta itupun jika pembangunan 6 ruas

Langkah Ekstrim MengatasiKemacetan di JakartaOleh : Adrianus Dwi Siswanto

jalan tol dalam kota terealisir dalam

periode 2011 – 2030. Jika tidak maka

volume jalan masih berada di level 7,2

persen dari luas Jakarta. Saat ini

Kementerian Pekerjaan Umum dengan

Badan Pengatur Jalan Tol tengah

mempersiapkan mega proyek lebih dari

Rp 40 triliun setelah Perda Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2011

– 2030 disahkan.

Ketiga, Pemda DKI Jakarta dan

Kementerian Perhubungan masih

be rdeba t soa l pe r lu t i daknya

mengurang i jumlah peredaran

kendaraan, khususnya kendaraan

container dan truk di jam-jam sibuk.

Kedua institusi tersebut memiliki

pedoman sendiri atas kebijakan yang

mereka ambil. Konkretnya usulan untuk

mengurangi jumlah kendaraan truk

maupun trailer pada jam-jam sibuk oleh

Pemda DKI ditentang oleh Kementerian

Perhubungan.

Dari ketiga persoalan tersebut, ujung-

ujungnya adalah Jakarta semakin

macet. Biaya kemacetan pun bahkan

telah dihitung Dinas Perhubungan DKI

mencapai Rp. 46 triliun per tahun.

Angka tersebut berasal dari kerugian

atas pemborosan penggunaan bahan

bakar minyak (BBM), operasional

kendaraan dan nilai waktu. Kerugian

akan terus bergerak naik manakala

kemacetan terus bergerak naik.

Akar MasalahRegulasi gagal mendorong masyarakat

untuk menggunakan transportasi

publik. Atau dengan kata lain,

transportasi publik di Jakarta memang

bukan disediakan sebagai substitusi

bagi motor dan mobil. Transportasi

publik di Jakarta hanya menjadi moda

transportasi komplementer. Pada

tataran seperti ini dapat dimengerti jika

Pemda, Kementerian Pekerjaan Umum

dan Kementer ian Perhubungan

memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Masing-masing telah bekerja dengan

visi yang sama, yaitu menempatkan

transportasi publik sebagai barang

komplementer. Karena itu instansi-

instansi tersebut disibukkan dengan

pelaksanaan proyek sesuai dengan

kapasitasnya.

Persoalan fundamental la innya

bersumber dari absennya regulasi yang

bertujuan pengurangan penggunaan

kendaraan bermotor. Idea lnya

kendaraan yang beredar di jalan-jalan

didominasi oleh moda transportasi

publik bukan pribadi. Saat ini setiap hari

44 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK inspiring dan lainnyasekitar 7 juta lebih mobil dan motor

memenuhi jalan-jalan di Jakarta. Dan itu

kendaraan pribadi bukan publik. Kondisi

ini jelas didukung oleh kebijakan

regulasi yang lunak. Bahkan mungkin

tidak ada regulasi yang didesign untuk

mencegah orang untuk berpikir ulang

jika memakai kendaraan pribadi.

Semua orang dibebaskan tanpa ada

barrier untuk terus menggunakan

kendaraan bermotor. Masyarakat tidak

lagi berpikir ulang manakala mesti

menggunakan kendaraan pribadi. Bagi

mereka opportunity cost atas pilihan

tersebut rendah. Regulasi mestinya

tertuju pada bagaimana mengurangi

penggunaan kendaraan pribadi.

Persoalan lain adalah regulasi juga

tidak didesain untuk mengurangi

p e r g e r a k a n . S e t i a p a n g g o t a

masyarakat yang perlu melakukan

aktivitas tidak dapat mencegah dirinya

untuk menciptakan pergerakan baru.

Sehingga kemacetan semakin terpola,

tidak saja pada jam pagi saat orang

berangkat kerja ataupun saat pulang

kantor. Saat ini pada jam siang hari, saat

orang istirahat atau makan siang

kemacetan mudah ditemukan di jalan-

jalan protokol.

Semua kemudahan d isediakan

pemerintah buat masyarakat pengguna

kendaraan pribadi. Dari tarif tol murah,

parkir murah dan mudah, BBM

bersubsidi, dan regulasi lain. Itu semau

nyata-nyata membuat setiap orang

yang berkendaraan pribadi merasa

sangat nyaman. Mau pakai transportasi

publik? Itu bukan pilihan cerdas. Karena

transportasi publik sendiri hanya

komplementer.

Tahukah anda, j i ka k i ta na ik

Transjakarta dari halte Terminal

Kampung Melayu menuju Ancol, perlu

berdesak-desakan bersama-sama 265

orang penumpang untuk berebut naik 4

armada bus yang tersedia dalam jeda

waktu 8 menit (Rini Sulianti, 2011).

Bukankah lebih nyaman berada di

kendaraan pribadi sekalipun harus

mengalami kemacetan. Ketersediaan

bus yang cukup dalam jam sibuk

ternyata bukan prioritas Pemda. Pemda

lebih tertarik untuk menginvestasikan

APBD dengan membangun separator

jalur yang menghabiskan dana lebih

dari Rp. 160 miliar di tahun anggaran

2012.

Karena itu mengatasi kemacetan di

Jakarta tidak lain kurangi penggunaan

kendaraan pribadi dan kurangi

pergerakan manusianya. Tanpa fokus

pada dua akar masalah tersebut, sulit

menjamin kemacetan akan teratasi

dalam waktu dekat.

Mencari Solusi Tercepat

Hubungan antar sistem transportasi

sebagai suatu kesatuan pada dasarnya

akan tertuju pada sistem pergerakan.

Sistem kegiatan, sistem kelembagaan

maupun sistem jaringan akan berakhir

pada pertanyaan sistem pergerakan

seperti apa yang dapat mensupport

keseluruhan sistem tersebut. Karena

sistem pergerakan mengandung unsur

moda transportasi apa yang dipilih.

Dalam konteks ini lah regulasi

memegang peran strategis dan

menentukan. Regulasi akan mendesain

jenis moda transportasi yang cocok bagi

masyarakat Jakarta. Bukan masyarakat

yang mengontrol moda transportasi

yang akan mereka gunakan. Yang

terjadi selama ini adalah masyarakat

lebih dominan menentukan jenis moda

transportasi pilihan mereka.

Sebagaimana telah diutarakan, moda

t ranspor tas i pub l i k seba iknya

ditempatkan bukan sebagai barang

komplementer. Transportasi publik

hendaknya diposisikan sebagai barang

substitusi. Posisi baru ini akan

mendorong setiap regulasi yang

dikeluarkan terkait dengan kepentingan

t ranspor tas i , ba ik menyangkut

prasarana maupun sarana di sektor

transportasi, tidak akan mengorbankan

posisi transportasi publik sebagai

barang substitusi.

Pilihan atas moda transportasi ini

menjadi penting mengingat masyarakat

harus “dipaksa” untuk beralih dari

transportasi pribadi. Di beberapa

negara maju maupun di kawasan

ASEAN, kereta api dan bus gandeng,

men jad i p i l i han u tama warga

masyarakatnya. Bukan kendaraan

pribadi ataupun membangun jalan tol

dalam kota. Investasi di sektor

transportasi harus ditujukan pada

meningkatkan penggunaan moda

transportasi publik yang bersifat massal.

Kota-kota di negara padat penduduk

tidak memilih untuk membangun tol

dalam kota sebagai pilihan utama. Hal

i n i memper t imbangkan f ak to r

keterbatasan lahan yang pada akhirnya

mereka hadapi seberapapun banyak

jalur tol dalam kota yang hendak

mereka lakukan. Oleh karena itu fokus

perhatian para pengambil kebijakan

45INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA

lebih pada pilihan moda transportasi

massal apa yang perlu disediakan.

M e m b a n d i n g k a n k e p u t u s a n

Kementerian PU untuk membangun

jalan tol dalam kota dengan biaya

investasi lebih dari Rp 40 triliun hanya

merupakan suatu i roni . Sebab

membangun jalan tol dalam kota hanya

untuk menunda kemacetan saat ini

bukan mengakhiri problem kemacetan.

Gambar 1, berikut ini menjelaskan

hubungan yang perlu dibangun dalam

konteks transportasi perkotaan. Sub

Sistem Pergerakan menjadi isu sentral

dalam keseluruhan sub sistem yang

ada di dalam sistem transportasi.

Sub SistemKegiatan

Sub SistemKelembagaan

Sub SistemJaringan

Sistem Pergerakan

Gambar 1. Hubungan Antar Sistem Dalam Transportasi

Jika kebijakan anggaran (policy budget),

Kementeriann PU, Kementerian

Perhubungan dan Pemda, lebih fokus

pada pembangun sub sistem jaringan,

seperti membangun jalan tol, perbaikan

separator dan lain sebagainya,

Sumber : Bayu Arie Wibawa;

kebijakan tersebut harus dikoreksi total.

Ka rena l angkah awa l ada lah

menyediakan moda transportasi

masssal dalam jumlah yang cukup.

Bukan mengutamakan pembangunan

infrastruktur. Problem kemacetan

Jakarta sudah parah sehingga

kebijakan investasi di infrastruktur

belum mencabut akar masalah. Solusi

tercepat atas persoalan kemacetan

Jakarta dengan mengacu pada sub

sistem yang ada, adalah dengan

pendekatan memastikan bahwa

masyarakat dalam waktu tidak terlalu

lama dapat beralih ke penggunaan

transportasi massal bukan lagi

transportasi pribadi.

Langkah berikutnya adalah semakin

member luas cakupan ja r ingan

transportasi massal tersebut. Gambar 2

berikut ini menunjukan bahwa idealnya

sub sistem jaringan terus diperluas agar

daerah blank spot semakin sempit. Ini

maknanya hampir seluruh wilayah

dilayani oleh transportasi publik massal

tersebut.

Dalam konsep tersebut maka keputusan

investasi lagi-lagi harus memperhatikan

apakah alokasi anggaran digunakan

untuk memperluas wilayah layanan

transportasi publik tersebut. Apakah

pembangunan jalan tol dalam kota bisa

menjamin transportasi publik menjadi

semakin merata dan mempersempit

blank spot wilayah yang belum terlayani.

Dengan melihat sebaran layanan trayek

Transjakarta, maka terlihat bahwa

masih banyak blank spot sebagaimana

Gambar 3 di bawah ini. Baru wilayah

Jakarta Pusat yang relatif terlayani

secara lebih merata. Sedangkan

wilayah lain, masih banyak areal yang

perlu ditambah jalur trayek Transjakarta.

Terutama untuk wilayah Jakarta Selatan

dan Jakarta Timur yang merupakan

wilayah pemukiman favorit.

Gambar 2. Pola Jaringan Angkutan Umum Perkotaan

Sumber :Dikutip dari Makalah Focus Group Discussion, 2011 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

46 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

RUBRIK inspiring dan lainnya

Disamping solusi cepat dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, maka juga perlu

dipikirkan solusi berjangka panjang. Karena kota didesain untuk jangka waktu yang

tidak terbatas. Oleh karena itu warga masyarakat penghuninya perlu digerakan

untuk mendekatkan lokasi pemukimannya dengan tempat aktivitas setiap harinya.

Semakin dekat tempat tinggal dengan tempat beraktivitas maka akan terjadi

pengurangan gerakan manusia.

Gambar 3. Sistem Transportasi Massal di Kota Jakarta Berbasis Busway

Sumber : Presentasi Prof. Ofyar S. Tamin, FGD 2011.

Gambar 4. Strategi Pengurangan Gerakan Berbasis Tata Ruang

Sumber : Presentasi Prof. Ofyar S. Tamin, FGD 2011.

Pendekatan berbas is ruangan

diarahkan agar terjadi pengurangan

gerakan oleh individu masyarakat.

Selama ini tata ruang wilayah lebih

difokuskan pada penggunaan ruang

wilayah untuk kepentingan bisnis dan

usaha.Bukan dalam rangka mendorong

terbentuknya wilayah pemukiman yang

dekat dengan tempat aktivitas. Sehingga

selama ini baru pendekatan dari aspek

aktivitas apa yang diijinkan pada suatu

wilayah tertentu. Belum mendorong

bergeraknya pemukiman ke wilayah-

wilayah yang dekat dengan aktivitas.

D a l a m P e r d a R T R W h a r u s

memperhatikan apakah kebutuhan

warga telah terpenuhi. Idealnya setiap

warga yang menjalankan aktivitas

hariannya di data untuk dipastikan

keberadaannya tidak mengakibatkan

pergerakan yang begitu luas. Sebaiknya

setiap warga melakukan aktivitas

hariannya tidak jauh dari tempatnya

bermukim. Dengan demikian kebutuhan

akan moda transportasi menjadi relatif

rendah. Smoga.

47INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011

KILAS PERISTIWA

Penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Fasilitasi Penyiapan Proyek KPS8 November 2011

Kunjungan ke salah satu debitur PT Permodalan Nasional Madanike UKM pembuatan tahu di Yogyakarta

IRF INFO RISIKO FISKALPusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal