2 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMA
DAFTAR ISI
Privatisasi BUMN :Urgensi dan Strategi Implementasinya
RUBRIK BUMN
Saatnya Membenahi Kebijakan PSOdi BUMN PerkeretaapianOleh : Wiloejo Wirjo Wijono
Menimbang Skema KPS UntukInfrastruktur Penyediaan Air MinumOleh : Slamet Rona Ircham
Saatnya Pola Penyerapan APBN“Naik Kelas”
RUBRIK Inspiring dan Lainnya
4
10
16
20
Oleh : Syahrir Ika, Sofia Arie Damayanty dan Hadi Setiawan
Oleh : Praptono Djunedi
RUBRIK FISKAL
Potensi Risiko Fiskal Dalam PenyelesaianTunggakan KUT TP 1998/1999Oleh : Abdul Aziz
23
Analisis Risiko dalamPengelolaan SBSN
29Oleh : Eri Hariyanto
RUBRIK EdUKASIInvestment GradeMomentum Untuk MendorongEkonomi Indonesia Survive
33
Oleh : Syahrir Ika
Manfaat Asian Infrastructure FundBagi Indonesia
37Oleh : Budi Prijadi
Menyoroti Bentuk Badan Hukum PIP 40Oleh : M. Zainul Abidin
Langkah Ekstrim MengatasKemacetan di Jakarta
43Oleh : Adrianus Dwi Siswanto
KILAS pERISTIWA 47
SAATNYA POLAPENYERAPAN APBN“NAIK KELAS”
20
Investment GradeMomentum Untuk Mendorong
Ekonomi Indonesia Survive
33
3INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
uji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena di penghujung PTahun 2011 ini kami dapat merampungkan buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi
IV Tahun 2011 dengan tulisan-tulisan update yang tetap pada tema dasar yaitu
kebijakan fiskal dan risikonya, serta kebijakan dukungan dan penjaminan
pemerintah terhadap program percepatan penyediaan infrastruktur.
Dalam edisi ini, Rubrik utama mengangkat “
yang merupkan tulisan kolaborasi antara peneliti senior dengan
calon peneliti di Badan Kebijakan Fiskal. Rubrik BUMN berisi 2 tulisan yang
membahas issue tentang pembenahan PSO BUMN perkretaapian yang dirasakan
masih memerlukan banyak pembenahan dalam pengelolaan kebijakan PSO-nya.
Rubrik BUMN makin lengkap dengan tulisan pendatang baru yang mengulas
tentang s
Rubrik Edukasi menampilkan
. Rubrik Inspiring
dan Lainnya berisi tulisan-tulisan hangat dan update diluar rubrik sebelumnya
namun tetap dipandang dari segi fiscal risk management.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penerbitan buletin ini, terutama kepada para penulis yang
telah meluangkan waktu dalam kesibukan rutinitas sehari-hari untuk menulis artikel
dalam buletin ini, dan kami terus berharap bisa bekerjasama secara kontinyu dalam
edisi-edisi selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menjadi
sumber inspirasi dalam kegiatan sehari-hari. Kami senantiasa menerima saran dan
kritik dari pembaca untuk peningkatan kualitas IRF ke depan. Selamat membaca dan
bekerja untuk menjadi lebih baik.
Privatisasi BUMN : Urgensi dan Strategi
Implementasinya
kema KPS untuk infrastruktur penyediaan air minum. Dalam Rubrik Fiskal
membahas pola penyerapan APBN, Potensi risiko fiskal dalam penyelesaian
tunggakan KUT TP 1998/1999, dan rubrik fiskal ditutup dengan tulisan tentang
analisis risiko dalam pengelolaan SBSN. Investment
Grade momentum untuk mendorong ekonomi Indonesia survive
KATA PENGANTAR
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab
Penyunting/ Editor
Redaktur
Desain Grafis, Layout, Fotografer
Sekretariat
Freddy R. Saragih
Pandu Patriadi
Brahmantio Isdijoso
Fajar Hasri Ramadhana
Syahrir Ika
Riko Amir
Insyafiah
Mohamad Nasir
Sigit Purnomo
Aan Rustandi
David Rizkiawan
Akhmad Yasin
Moh. Kharis Syukron
Krista Napitupulu
Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam
buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11
spasi 1,5 maksimal 5 halaman. Artikel dapat
dikirim ke [email protected] . Isi buletin ini
tidak mencerminkan kebijakan Badan
Kebijakan Fiskal.
Alamat Redaksi:Gedung R.M. Notohamiprodjo, lantai 4
Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710Telp. 021-3846785, Fax. 021-3452751KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Privatisasi BUMN :1 2Oleh : Syahrir Ika ,Sofia Arie Damayanty, dan Hadi Setiawan
4 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
Latar Belakang
Pemerintah terus mendorong sejumlah BUMN untuk melantai di bursa saham atau yang umum dikenal dengan istilah 3 4privatisasi (privatization) atau juga disebut IPO (Initial Public Offering) .Tujuan utama privatisasi atau IPO BUMN adalah
memperkuat permodalan perusahaan dalam rangka ekspansi usaha, memperkecil cost of debt, meningkatkan nilai pasar,
mendorong transparansi pengelolaan perusahaan, dan mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG-good
corporate governance). Tujuan lainnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk turut serta memiliki
saham BUMN, serta mendorong pengembangan pasar modal. Melalui artikel ini penulis mencoba melihat sejauh mana
implementasi privatisasi BUMN di Indonesia.
RUBRIK UTAMA
Urgensi dan Strategi Implementasinya
Peran BUMN dalam Mendorong Pasar Modal
Saat ini, jumlah BUMN yang sudah IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) baru sebanyak 18 BUMN atau 12,6 persen dari 142
BUMN. Walaupun demikian, peranan ke 18 emiten BUMN ini dalam mendorong pengembangan pasar modal Indonesia cukup
signifikan, salah satu indikasinya adalah total market capitalization-nya mencapai sekitar Rp777,16 triliun atau 23,12 persen dari
total market capitalization seluruh emiten di BEI yang mencapai 647 emiten (lihat Tabel-01). Kapitalisasi pasar emiten BUMN
yang cukup tinggi tersebut telah meningkatkan kontribusi pasar modal Indonesia, yaitu dari 21,3 persen terhadap GDP (Gross
Domestic Product) pada tahun 2004 menjadi 52,14 persen pada tahun 2011 atau sekitar Rp3.348,75 triliun posisi per 25 5November 2011 (lihat Tabel-02). Hal ini menunjukkan bahwa peranan pasar modal cukup penting dalam mendorong
perekonomian nasional.
Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Calon Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Pengertian sederhana dari privatisasi (privatization) adalah 'offering the securities of government-owned companies to private investors (Frank J Fabozi and Franco Modigliani, Capital Markets : Institution and Instrument', 2009, Prentice Hall-New Yersey)
Definisi IPO adalah 'A company's first public sale of stock; the first offering of an issuer's equity securities to the public through a registration statement' (Blaks Law Dictionary, 7th Edition, West Group,1999,USA).
Lihat Market Capital Market and NBFI Highlight, dalam Market_Update_25-Nov-2011, diakses tanggal 1 Februari 2012.
1
2
3
4
5
5INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMATabel-01 : State Owned Enterprises Market Capitalization
(November 25th, 2011)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
BBRI
BMRI
TLKM
PGAS
BBNI
SMGR
PTBA
JSMR
ANTM
KRAS
BBTN
GIAA
TINS
WIKA
PTPP
KAEF
ADHI
INAF
Bank Rakyat Indonesia Tbk PT
Bank Mandiri Tbk PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk PT
Perusahaan Gas Negara Tbk PT
Bank Negara Indonesia Tbk PT
Semen Gresik Tbk PT
Tambang Batubara Bukit Asam Tbk PT
Jasamarga Tbk PT
Aneka Tambang Tbk PT
Krakatau Steel Tbk PT
Bank Tabungan Negara Tbk PT
Garuda Indonesia Tbk PT
Timah Tbk PT
Wijaya Karya Tbk PT
Pembangunan Perumahan Persero Tbk
PT Kimia Farma Tbk PT
Adhi Karya Tbk PT
Indofarma Tbk PT
SOE's Market Capitalization
Total Market Capitalization
159,97
149,00
147,17
70,30
67,39
52,49
38,36
25,67
15,26
12,94
10,76
9,06
8,61
2,89
1,55
1,53
0,83
0,40
777,16
3,384.75
4,78
4,45
4,39
2,10
2,01
1,57
1.15
0,77
0,46
0,39
0,32
0,27
0,26
0,09
0,05
0,05
0,02
0,01
23.12
100.00
No. Code Issuers Rp Trillion %
Sumber: Market_Update_25-Nov-2011 (Disarikan Penulis)
Tabel-02 : Capital Market and NBFI Highlight
Indonesian Composite Index (IHSG)
Equity Market Capitalization (Trilion IDR)
Equity Market Capitalization to GDP (%)
Number of Issuers (Emiten)
1.355,41
1.076,49
21,73
567
2,534,36
2.019,38
35,97
610
3,701,51
3.247,10
50,55
558
3.637,19
3.348,75
52,14
647
-1,79
3,13
3,13
9,21
2008 2009 2010thNov 25 ,
2011Change(%) Ytd
Sumber: Market_Update_25-Nov-2011 (Disarikan Penulis)
Umumnya BUMN yang melakukan IPO memiliki kemampuan untuk
meningkatkan laba secara signifikan karena hanya BUMN untung yang layak untuk
IPO. Para investor hanya mau membeli aset BUMN-BUMN yang sehat sehingga
kelak mereka akan mendapatkan imbal hasil (return) yang lebih tinggi di kemudian
hari. Karena itu bila sebuah BUMN belum sehat, maka harus disehatkan terlebih
dahulu sebelum diprivatisasikan, cara inilah yang dikenal dengan istilah
profitization. Cara yang dipakai antara lain melakukan restrukturisasi termasuk
pembentukan holding (rightsizing), mengganti manajemen dengan figur-figur yang
profesional dan atau melakukan strategic investment. Sebenarnya dari sisi kondisi
keuangan, banyak BUMN yang sudah siap untuk privatisasi melalui IPO karena
sebagian besar diantaranya dalam kondisi sehat sekali. Namun, tidak semua BUMN
sehat harus diarahkan melakukan privatisasi melalui IPO. Privatisasi dapat juga
melalui metode strategic selling atau dengan cara akuisisi.
Sebenarnya privatisasi BUMN sudah direncanakan sejak Kementerian
BUMN dipimpin Tanri Abeng. Namun, realisasinya tidak berjalan sesuai rencana
karena banyak kendala, tidak saja di lingkungan internal BUMN (yang belum siap)
tetapi juga dinamika politik yang kurang kondusif. Banyak masyarakat masih
memandang privatisasi BUMN sebagai kebijakan yang kurang tepat karena mereka
hanya melihat dari sisi masuknya investor/pihak asing untuk membeli atau ikut
memiliki aset-aset pemerintah (BUMN). Mereka tidak melihat manfaat lain yang
lebih strategis dari privatisasi (IPO)
s e b u a h B U M N s e b a g a i m a n a
disebutkan Joseph E.Stiglitz (2002) 'I
believe in privatization (selling off, say
government monopolies to private
companies), but only if it helps
companies become more efficient and 6lower prices for consumers'.
Sebagaimana dikutip A Toni Presetantono, dalam artikelnya berjudul Masa Depan BUMN dan Ambiguitas Privatisasi, yang dimuat dalam buku BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi, Gramedia-Jakarta, 2005.
Private placement atau mitra strategis adalah salah satu bentuk privatisasi tanpa melalui pasar modal, tetapi lebih memberikan keuntungan (profit) dibandingkan dengan privatisasi melalui pasar modal. Mengapa? Karena privatisasi BUMN melalui mitra strategis memiliki manfaat yang lebih besar, tidak saja membawa injeksi kapital tetapi juga teknologi, dan jaringan bisnis global, sedangkan privatisasi BUMN melalui pasar modal lebih mengutamakan injeksi kapital bagi BUMN yang bersangkutan.
6
Privatisasi (IPO) BUMN :Contoh Sukses dan Gagal
Ada pertanyaan menarik yang
sering muncul dalam berbagai diskusi
publik, untuk menjadikan sebuah
B U M N s u k s e s a p a k a h h a r u s
melakukan privatisasi melalui pasar
modal (IPO)? Untuk meningkatkan
keuntungan yang berlipat ganda
apakah hanya bisa dicapai dengan
IPO? Apakah implementasi prinsip-
prinsip transparansi (disclosure) dan
GCG hanya bisa dilakukan BUMN bila
BUMN tersebut melakukan IPO?
Apakah IPO BUMN adalah strategi
yang paling jitu untuk memaksimumkan
nilai bagi pemegang saham?
Privatisasi BUMN melalui pasar
modal (IPO) memang memenuhi
hampir semua unsur tranparansi
(disclosure), namun pengalaman
menunjukkan bahwa IPO tidak selalu 7menguntungkan . Ukuran untung rugi
IPO yang paling praktis adalah posisi
harga saham pada hari pertama
penjualan atau di saat mulai listing. Bila
harga pembukaan dibandingkan
dengan penutupannya mengalami
koreksi (penurunan) maka hasil IPO
t e r s e b u t d i k a t e g o r i k a n t i d a k
menguntungkan, sebaliknya saham-
saham yang dihari penjualan pertama
mengalami kelebihan permintaan
(oversubscribe) menggambarkan IPO
yang menguntungkan. Dalam contoh
ini, IPO Garuda bisa dikategorikan tidak
menguntungkan karena harga saham
7
6 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMA
perdana sebesar Rp750 per saham
sementara harga saham GIAA saat
penutupan perdagangan turun 17,33
persen menjadi Rp620 per saham
(underpriced). Konsekuensinya, sekitar
3.008 miliar lembar saham harus
diserap oleh para penjamin emisi 8 9(underwriter) atau setara Rp2,25 triliun .
Di beberapa negara IPO juga
banyak yang tidak sukses. Ada hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa
diantara 1.922 IPO selama periode 1975-
1985 di Amerika Serikat, hanya 600 IPO
yang memiliki kinerja lebih dari indeks
Standard & Poor 500 (Stem dan
Bornstein, 1985). Selain itu, Ritter (1991)
juga menemukan bahwa saham IPO
berkinerja jelek selama kurang lebih tiga
t ahun . Pene l i t i an be r i ku tnya ,
menemukan kinerja jangka panjang
tersebut ternyata lebih panjang menjadi
lima tahun sesudah tanggal penawaran
(Longhran dan Ritter, 1995), di mana hal
itu terjadi di Finlandia (1993), Inggris 10(1993), Brazil, Chile, dan Mexico (1993) .
Namun di sisi lain, berdasarkan
banyak penelitian yang disarikan
Megginson & Netters (2001) tentang
studi kinerja privatisasi BUMN dapat
disimpulkan bahwa BUMN pasca
privatisasi umumnya mengalami
perbaikan kinerja operasional. Konklusi 11tersebut terangkum pada Tabel-03 .
PT Bahana Sekuritas, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Mandiri Sekuritas, ketiganya merupakan anak perusahaan BUMN.
Penyebabnya bisa jadi Garuda salah memilih underwriter atau pilihan underwriter benar namun underwriter tidak cakap menjalankan perannya, atau ketiga underwriter merencanakan benar namun ada presure eksternal yang sulit ditolak underwriter.
Saitma Roni B, Problema Anomali Dalam IPO, puslit2.petra.ac.id, diakses tanggal 31 Januari 2012.
Sebagaimana dikutip Toto Pranoto dalam “Privatisasi, GCG dan Kinerja BUMN(http://lmfeui.com/data/PRIVATISASI%20GCG%20DAN%20KINERJA%20%20BUMN.pdf, diakses 17 Januari 2012)
8
9
10
11
Tabel-03Hubungan Kebijakan Privatisasi dan Kinerja BUMN
Privatisasi mempunyai dampak positif bagi perusahaan untuk menggerakkan pertumbuhan revenue
Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Grossfeld dan Nivet (1997); Frydman dkk (1997); Commander dkk (1996)
Penjualan (real sales)
1.
Privatisasi meningkatkan profitabilitas
Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Dewenter dan Malatesta (1998)
Profit Margin (return on sales) dan Cost per Unit
2.
Privatisasi menghasilkan perbaikan pada efisiensi operasional
Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Dewenter dan Malatesta (1998); Anderson dkk (1997)
Sales per Employee
3.
Privatisasi tidak akan mengurangi jumlah karyawan
Meggison dkk (1994); La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Frydman dkk (1997); Earle dan Estrin (1997); Commander (1996)
Number of Employee
4.
Privatisasi berpengaruh positif terhadap tingkat upah pekerja
La Porta dan Lopez De Silanes (1997); Commander (1996)
Unit Labour Cost5.
No Hipotesa yang Diuji Peneliti yang Menguji HipotesisIndikator
yang Dipakai
IPO dan Keadilan Kepemilikan
Privatisasi melalui pasar modal juga berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam kepemilikan aset BUMN
antara investor domestik (masyarakat Indonesia) dan investor asing. Masyarakat seringkali bertanya apakah IPO
BUMN lebih ditujukan untuk menarik sebanyak mungkin masyarakat Indonesia untuk memiliki saham BUMN atau
sebaliknya menarik sebanyak mungkin investor asing dalam kepemilikan saham BUMN? Atau tidak peduli
apakah domestik atau asing, asalkan pasar modal bergairan dan market capitalization meningkat sehingga dunia
usaha bisa memperoleh sumber permodalan dengan cost of capital yang lebih optimal?
Fakta menunjukkan bahwa ownership saham-saham di BEI didominasi oleh asing walaupun dengan tren
yang makin menurun, sebaliknya pembelian obligasi swasta justru didominasi oleh investor domestik (Tabel-04).
Sementara pembelian obligasi negara juga didominasi investor domestik namun tren investor asing makin
meningkat, dimana posisi per 24 Nopember mencapai 35,54%. Pemerintah tentu berkepentingan terhadap
semua itu. Menarik masuk modal asing ke pasar modal Indonesia sangat diperlukan untuk menguji kepercayaan
investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, juga untuk menggerakan sektor riil dan perekonomian
nasional. Namun, risikonya adalah pelarian modal secara tiba-tiba dari pasar modal Indonesia bila kondisi
perekonomian dunia, terutama krisis ekonomi di Eropa dan AS mulai menunjukkan tanda-tanda pulih, atau kondisi
perekonomian dalam negeri memburuk, dan iklim politik dalam negeri kurang kondusif.
7INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMAthTabel-04 : Securities Ownership (Desember 2004-November 24 2011)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
22.73%
26.95%
26.60%
33.65%
32.16%
32.76%
37.20%
40.02%
77.27%
73.05%
73.40%
66.35%
67.84%
67.24%
62.80%
59.98%
97.06%
94.18%
94.72%
95.42%
96.13%
96.80%
95.61%
95.03%
2.94%
5.82%
5.28%
4.58%
3.87%
3.20%
4.39%
4.70%
97.31%
92.20%
96.88%
83.64%
83.33%
81.44%
69.47%
70.36%
2.69%
7.78%
13.12%
16.13%
16.67%
18.56%
30.53%
29.64%
TahunDomestic Foreign
Equity
Domestic Foreign Domestic Foreign
Corporate Bond Government Bond
Sumber: Market_Update_25-Nov-2011
Maximizing Profitization and Do Privatization
Sebenarnya dari sisi strategi, menurut penulis dual track strategy yang
dikembangkan pemerintah, yaitu maximizing profitization and let's do privatization,
merupakan strategi yang tepat. Pemerintah mendorong BUMN agar mampu
menciptakan keuntungan (profit) dan apabila dalam beberapa tahun mampu
mempertahankan profitnya, maka BUMN tersebut bisa melakukan privatisasi untuk
memperbesar size bisnisnya dan nilai bagi pemegang saham. Pemerintah juga
sudah on track dalam kebijakan profitisasi dan privatisasi. Profitisasi harus diimbangi
dengan fleksibilitas pay out ratio kepada masing-masing BUMN, sehingga setoran
dividen kepada APBN jangan seperti dipaksakan. Sementara privatisasi harus
merupakan resultan dari profitisasi yang maksimal. Pemerintah hanya memberi
peran mengevaluasi dan memberi atau tidak memberi izin kepada BUMN yang ingin
melakukan privatisasi melalui IPO, dan tentunya memberikan arahan agar hasil IPO
harus benar-benar mencapai nilai terbaik. Kinerja beberapa BUMN yang telah go
public berdasarkan harga sahamnya dapat dilihat pada Tabel-05.
Tabel-05. Perkembangan Harga Saham Beberapa BUMN Go Public
PT Telkom Indonesia (TLKM)
12PT Aneka Tambang (ANTM)
PT Kimia Farma (KAEF)
PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA)
PT Bank Mandiri (BMRI)
PT Bank BRI (BBRI)
PT Perusahaan Gas Negara (PGAS)
PT Adhi Karya (ADHI)
PT Jasa Marga (JSMR)
PT Krakatau Steel (KRAS)
PT Garuda Indonesia (GIAA)
14 Nop 1995
27 Nop 1997
04 Jul 2001
23 Des 2002
14 Jul 2003
10 Nop 2003
15 Des 2003
18 Mar 2004
12 Nop 2007
10 Nop 2010
11 Feb 2011
2050
1.400
200
675
575
875
1.500
150
1.700
850
750
7.050
1.620
340
17.350
6.750
6.750
3.175
580
4.200
840
475
5.000
220
140
16.675
6.175
5.875
1.675
430
2.500
(10)
(275)
Emiten BUMN Tanggal IPOHarga Saham
di Pasar Perdana(IPO)
Harga Sahampada Tanggal
30 Desember 2011Up and Down
Sumber : www.idx.co.id dan berbagai sumber, diolah
Tahun 2007 harga saham sempat mencapai Rp15.000 dan manajemen melakukan stock split sebesar 5 kali menjadi Rp3.000 per saham.12
Penulis juga sependapat bahwa
privatisasi tidak boleh dipaksakan, agar
hasil IPO mencapai target yang
maks imal . Karena i tu , se laku
pemegang saham, pemer in tah
memberikan wewenang kepada Direksi
dan Komisaris untuk memperhatikan
timing dan target size dalam melakukan
IPO. Penetuan timing yang tepat akan
mempengaruhi pricing sementara
penetapan target size yang tepat
dengan sasaran penggunaan dana IPO
yang jelas akan mempengaruhi minat
investor untuk membeli saham BUMN.
Kasus IPO PT Garuda (2011), bisa
d in i la i kurang menguntungkan
pemerintah dimana harga saham
BUMN penerbangan ini di penutupan
perdagangan hari pertama terkoreksi
sebesar 17,3 persen (padahal kinerja
keuangannya cukup bagus begitu juga
industri penerbangan justru meningkat
pesat) yang berakibat tiga perusahaan
penjamin emisi atau underwriter (yang
juga anak perusahaan BUMN) harus
menanggung kerugian tersebut,
sehingga hal ini mesti dijadikan
pembelajaran untuk melakukan
privatisasi BUMN lainnya.
8 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMA
Benchmarking to the Success Story
B U M N - B U M N y a n g
merencanakan akan melakukan IPO
perlu melakukan benchmarking ke
beberapa BUMN yang berhasil
melakukan IPO. PT Bank Mandiri Tbk
adalah salah satu contoh yang baik
untuk dijadikan benchmark. Bank
pemerintah ini semula direncanakan
hanya melepas 15 persen saham,
namun setelah melihat animo yang
cukup besar dari investor akhirnya
jumlahnya ditingkatkan lagi menjadi 20
persen. Bank ini kemudian menjadi
bank dengan aset terbesar di Indonesia
dan menjadi pioneer dalam berbagai
k e s u k s e s a n t e r m a s u k d a l a m
menerapkan GCG. Selain itu, PT
Semen Gresik Tbk, juga bisa menjadi
contoh sukes BUMN yang melakukan
IPO. BUMN semen ini selain berhasil
go public pada tahun 1998, juga
berhasil melakukan divestasi melalui
strategic investor, yaitu berhasil
menarik modal dari pemain semen
besar dunia, yaitu Cemex dari Mexico.
Mengingat fundamentalnya yang kuat,
Semen Gres ik juga d ipercaya
pemerintah untuk menjadi induk
(champion) bagi BUMN semen lainnya
yang k in i te lah menjadi anak
perusahaannya (non-BUMN), yaitu
Semen Padang dan Semen Tonasa.
PT. Antam Tbk, juga merupakan
contoh BUMN yang sukses melakukan
IPO yang diukur dari PEM-nya.
Pendapatan Antam juga meningkat
signifikan dari sekitar Rp1,0 triliun pada
tahun 1998 menjadi Rp12 triliun pada
tahun 2007. Sedangkan laba bersih
meningkat dari Rp0,3 triliun pada tahun
1998 menjadi Rp5,13 triliun pada
tahun 2007. Antam juga dalam
beberapa tahun terakhir merupakan
BUMN terdepan dalam praktek GCG.
Privatisasi Antam juga makin membuat
BUMN ini mampu meningkatkan
kemampuan bersaingnya dengan
perusahaan tambang dunia dan
mampu mengatasi setiap tantangan
yang dihadapi serta memberikan nilai
tambah yang lebih besar kepada
pemegang saham.
Di tingkat internasional, pemerintah dan manajemen BUMN bisa belajar dari
pengalaman Singapura ketika memprivatisasikan Singapore Telcom (Sing Tel) pada 13tahun 1993 sejalan dengan kebijakan liberalisasi telekomunikasi yang
diberlakukan pemerintah Singapura. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
dikorporatisasi menjadi BUMN dengan tiga tujuan utama, yaitu: (i) mengurangi
peran pemerintah di dalam kegiatan bisnis dan menurunkan biaya bisnis
telekomunikasi di Singapura, (ii) sebagai langkah interim untuk menuju deregulasi
yang mengarah kepada industrialisasi dan privatisasi Sing Tel, (iii) agar Sing Tel siap
bersaing dalam aspek SDM, Tekologi, dan Pelanggan, (iv) memperluas kepemilikan
Sing Tel di kalangan publik Singapura, dan (v) mendorong pengembangan pasar
modal Singapura. Privatisasi Sing Tel ternyata berhasil mendorong perusahaan ini
tumbuh secara signifikan. Setelah privatisasi, Sing Tel berhasil memperluas akses
kepada konsumen, mendiversifikasi risiko bisnis, melakukan investasi pada pelaku
bisnis yang menjadi leading brand, memberikan kontribusi melalui pengaruh pemilik 14dan manajemen serta menggerakan sinergi operasional . Setelah go public, Sing
Tel memilkiki empat anak perusahaan termasuk mengkusisi Potus Asutralia, yang
merupakan perusahaan terbesar telekomunikasi kedua di Asutralia. Selain itu, Sing
Tel juga menjadi investor sejumlah perusahaan di beberapa negara seperti terlihat
dalam Bagan-01. Saat ini, Sing Tel merusahaan terbesar di Singapura dan nomor
208 dunia dengan kapitalisasi pasar US$25 juta per Mei 2005 dan pada tahun 2011 15meningkat menjadi US$441 juta .
Mencatatkan saham di Bursa Saham Singapura dan Bursa Saham Australia
Lihat artikel Lim Toon, Privatisasi dan Regionalisasi: Pengalaman Singapore Telcom, dalam buku BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi, Gramedia-Jakarta, 2005, halaman 145-159.
www.investment.com.au, diakses tanggal 30 Januari 2011
13
14
15
9INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK UTAMA
Bagan-01 : Struktur Kepemilikan Sing Tel
SelectedAssociates
Sing TelMobile
SingNet NCSOPTUSAustralia
Sing Tel Group
CapitalGroup
Temasek Others
AIS ThailandGlobe
PhilippinesBharti Telcom
IndiaNCIC
TaiwanTelkomselIndonesia
I2i(India-Singapore)
Sing Post(Singapore)
21,5% 40,2% 28,5% 24,5 35% 50% 31%
100% 100% 100% 100%
4,99% 64,92% 30,09%
Prestasi-prestasi perusahaan yang melakukan IPO seperti ini mestinya
harus terus menerus disosialisaikan pemerintah kepada masyarakat, agar
masyarakat tidak terbelenggu dengan pandangan-pandangan yang keliru tentang
privatisasi BUMN. Selama ini, BUMN yang go public hanya dipamerkan
kebolehannya (melalui berbagai media massa) dengan award-award yang
diberikan oleh berbagai lembaga penilai, namun keberhasilan tersebut tidak terbaca
(terpublikasi) dengan baik oleh masyarakat luas. Persepsi masyarakat tentang
BUMN belum berubah, sehingga hal ini selalu menjadi hambatan bahkan
komoditas/isu politik ketika pemerintah ingin meng-IPO-kan beberapa BUMN.
Masih dalam ingatan publik tentang kasus IPO Indosat, di mana harga asetnya
dinilai sejumlah analis terlalu murah. Ketika Sing Tel ingin mendivestasi
kepemilikannya di Indosat dan pemerintah berniat membelinya (buy back) namun
pengamat mengingatkan bahwa harga buy back terlalu mahal. Kasus Indosat ini
kemudian sering dijadikan benchmark (buruk) untuk menolak rencana pemerintah
memprivatisasi BUMN. Begitu juga dengan kasus IPO Garuda (pricingnya dinilai
terlalu mahal sehingga negara –melalui BUMN Sekuritas- harus menanggung
risikonya) dan IPO Krakatau Steel (yang dinilai relatif murah sehingga ada penilaian
potensi pendapatan yang hilang). Kondisi ini menambah lagi catatan publik dalam
mengkritisi setiap rencana privatisasi BUMN. Pada akhirnya pemerintah sebagai
pemegang saham harus melakukan analisa serta persiapan yang matang dalam
pelaksanaan strategi privatisasi BUMN, agar hasil yang diharapkan dapat terwujud
demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Penutup
10 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
Undang-Undang 23/2007 tentang perkeretaapian membuka era baru
industri jasa perkeretaapian yang mengakhiri monopoli penyelenggaraan usaha
perkeretapian dan membuka ruang yang luas bagi seluruh badan usaha untuk turut
terlibat dalam pengelolaan jasa perkeretaapian nasional. Namun demikian empat
tahun sejak berlakunya UU tersebut, tindak lanjut pelaksanaannya masih berjalan
lambat. Hal ini terlihat dari belum tuntasnya penataan penyelenggaraan sarana dan
prasarana perkeretaapian termasuk pengaturan kelembagaan yang mengelolanya,
perbaikan kondisi PT Kereta Api Indonesia Persero (PT KAI Persero) baik
menyangkut audit menyeluruh, inventarisasi aset maupun penetapan neraca awal
perusahaan, serta penegasan status kewajiban pelayanan publik (public service 1obligation/PSO) .
Salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan penataan adalah penegasan
status PSO perkeretaapian sesuai dengan amanat UU 23/2007, karena hal ini juga
terkait dengan hubungan keuangan antara pemerintah (APBN) dan badan usaha
penyelenggara perkeretaapian yaitu PT KAI (Persero). Satu aturan pelaksanaan
yang telah ada yaitu PP 56/2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian hanya
mengatur ketentuan teknis penyelenggaraan perkeretaapian serta belum
menyinggung aspek kebijakan dan ketentuan PSO. Pelaksanaan PSO
perkeretaapian sampai dengan saat ini masih mengacu ketentuan lama sebelum
UU 23/2007. Adanya desakan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengganti
RUBRIK BUMN
Terkait dengan permasalahan ini telah dibentuk Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional pada tahun 2009 yang dalam Laporan Akhir-nya telah mengeluarkan empat rekomendasi kebijakan yaitu revitalisasi sektor, pengaturan kelembagaan, restrukturisasi korporat, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
1
ketentuan pelaksanaan PSO menuntut
Pemer in tah segera menyusun
peraturan mengenai PSO yang
mengacu UU 23/2007.
Momentum penataan status
PSO perkeretaapian ini semestinya
dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah
sebagai salah satu tahap dalam
pembenahan menye luruh a tas
berbagai permasalahan pada industri
j asa perkere taap ian seh ingga
menjadikan industri ini semakin tertata
baik dan berkembang dan pada
akhirnya akan mampu menjawab
kebutuhan tersedianya moda angkutan
masal yang handal di masa depan.
Berkaitan dengan isu-isu seputar
penataan PSO perkeretaapian
tersebut, tulisan ini mencoba untuk
mengurai benang merah pelaksanaan
PSO di BUMN perkeretaapian yang
berjalan selama ini dan memberi
masukan atas kebijakan PSO sesuai
dengan prinsip-prinsip yang berlaku
umum dan jiwa UU 23/2007.
Pengantar
11INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNPrinsip Kebijakan PSO
PSO pada dasarnya merupakan
instrumen strategis pemerintah karena
dapat d igunakan sebagai a lat
pemerataan pendapatan, disamping
s e b a g a i a l a t u n t u k m e m a c u
pertumbuhan ekonomi, yang pada
gilirannya akan dapat menciptakan
stabilitas ekonomi dan sosial. Fungsi
dari PSO tersebut tentunya akan
terwujud apabila lembaga pelaksana
yang mendapat penugasan PSO
berada dalam keadaan sehat. Guna
memelihara kedua kepentingan ini yaitu
tercapainya sasaran PSO di satu sisi
dan kesinambungan badan usaha
pelaksana di sisi lain, maka penugasan
PSO kepada badan usaha khususnya
BUMN telah diatur dalam UU 19/2003
tentang BUMN yang menegaskan
bahwa setiap penugasan khusus
pemerintah kepada BUMN untuk
menyelenggarakan fungsi kemanfaatan
umum tetap memperhatikan maksud
dan tujuan kegiatan BUMN. Hal ini
berarti penugasan yang secara kajian
keuangan tidak layak, maka pemerintah
harus memberikan kompensasi atas
semua biaya yang telah dikeluarkan
oleh BUMN termasuk marjin yang
diharapkan.
Pengalokasian PSO yang mendukung
pencapaian keseimbangan diatas
semestinya mengacu pada prinsip-
prinsip yang adil bagi semua pihak dan
dapat d iper tanggung jawabkan.
Beberapa prinsip yang dapat dijadikan
sebagai pegangan antara lain: (i)
penyediaan subsidi harus didasarkan
pada peraturan sektor yang berlaku
atau penyataan resmi kebijakan
pemerintah; (ii) maksud dan tujuan
subsidi harus ditentukan dengan jelas;
(iii) para target penerima manfaat
pelayanan yang disubsidi harus
di identif ikasi secara tepat; ( iv)
rancangan subs id i hendaknya
m e n u n j a n g p e n y e d i a a n d a n
penggunaan pelayanan yang efisien;
(v) rancangan subsidi hendaknya
memfas i l i t as i dan mendukung
terciptanya penyediaan pelayanan
yang berkelanjutan dengan biaya
anggaran yang semakin berkurang; (vi)
subsidi hendaknya disediakan untuk
penyediaan output pelayanan tertentu
daripada disediakan untuk input bagi
produksi pelayanan; (vii) keuntungan
yang diharapkan dari sebuah subsidi
hendaknya sama dengan atau melebihi
biaya yang diharapkan; (viii) jumlah
subsidi didasarkan pada biaya
penyediaan pelayanan yang efisien; (ix)
tanggung jawab subsidi sebuah
pelayanan hendaknya terletak pada
tingkat pemerintahan yang mengatur
penyediaan subsidi tersebut; dan (x)
subsidi hendaknya bersifat eksplisit
serta informasi tentang biaya anggaran
dan manfaatnya hendaknya tersedia 2secara terbuka .
Prinsip penugasan PSO kepada BUMN
diatur dalam PP 45/2006 tentang
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan,
dan Pembubaran BUMN dengan
ketentuan (i) pemerintah dapat
memberikan penugasan khusus kepada
BUMN untuk menyelenggarakan fungsi
kemanfaatan umum dengan tetap
memperhatikan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha BUMN, (ii)
rencana penugasan khusus tersebut
h a r u s d i k a j i b e r s a m a y a n g
dikoordinasikan oleh Menteri Teknis
yang memberikan penugasan, (iii)
apabila penugasan tersebut secara
keuangan tidak menguntungkan maka
Pemer intah harus member ikan
kompensasi atas semua biaya yang
telah dikeluarkan oleh BUMN termasuk
marjin yang diharapkan, (iv) setiap
penugasan khusus harus disetujui oleh
R U P S / M e n t e r i B U M N k a r e n a
penugasan tersebut pada prinsipnya
mengubah rencana kerja dan anggaran
perusahaan yang telah ada, (v) BUMN
yang melaksanakan penugasan khusus
h a r u s m e l a k u k a n p e m i s a h a n
pembukuan sehingga memudahkan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan
PSO serta dalam rangka pencapaian
sasaran usaha perusahaan. Semua
prinsip ini semestinya dituangkan dalam
aturan pelaksanaan PSO, baik dalam
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, “Dengan PSO Menjembatani Kesenjangan Infrastruktur: Kajian Awal Kebijakan Pelayanan Umum (PSO) BUMN Infrastruktur”, Jakarta, 2007, halaman 17.
Kementerian BUMN, “Master Plan BUMN Tahun 2010-2014”, Jakarta, 2010, halaman 111.
2
bentuk Perpres atau PP, terutama
menyangkut SOP pengusulan/penugasan
PSO, pe laksanaan PSO, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan PSO,
aturan mengenai besaran dan
perhitungan marjin pelaksanaan PSO,
dan aturan mengenai penuangan PSO 3dalam suatu kontrak yang jelas .
3
Kebijakan PSOPerkeretaapian Selama Ini
Kebijakan PSO perkeretaapian selama
ini mengacu Keputusan Bersama
Menter i Perhubungan, Menter i
Keuangan, dan Menteri Negara
P e r e n c a n a a n P e m b a n g u n a n
Nasional /Bappenas Nomor KM
1 9 / 1 9 9 9 , 8 3 / K M K . 0 3 / 1 9 9 9 ,
K E P. 0 2 4 / K / 0 3 / 1 9 9 9 t e n t a n g
Pembiayaan Atas Pelayanan Umum
Angkutan Kereta Api Penumpang Kelas
Ekonomi, Pembiayaan Atas Perawatan
dan Pengoperasian Prasarana Kereta
Api, serta Biaya Atas Penggunaan
Prasarana Kereta Api (SKB 1999). SKB
1999 tidak hanya mengatur tentang
PSO tetapi merupakan satu paket
dengan pembiayaan atas perawatan
dan pengoperasian prasarana kereta
api (Infrastructure Maintenance and
Operation/IMO) dan biaya atas
penggunaan prasarana kereta api
(Track Acces Charges/TAC). Hal ini
m e n u n j u k k a n k e b i j a k a n d a n
pengaturan PSO perkeretaapian tidak
dapat lepas dari aspek IMO dan TAC.
PSO perkeretaapian diberikan dalam
bentuk penyediaan pelayanan umum
angkutan kereta api penumpang kelas
ekonomi yang pelaksanaannya
d i t u g a s k a n k e p a d a b a d a n
penyelenggara, dalam hal ini adalah PT
KAI (Persero) yang merupakan satu-
satunya badan usaha penyelenggara
perkeretaapian. Atas penugasan
tersebut pemerintah memberikan
kompensasi dana PSO, yang dihitung
berdasarkan selisih antara biaya yang
dikeluarkan untuk operasi angkutan
kereta api sesuai kriteria dan tolok ukur
12 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNpelayanan umum angkutan kereta api yang efisien dengan biaya angkutan kereta
api penumpang kelas ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah. Disamping
membiayai PSO, pemerintah juga membiayai IMO yang besaran pembiayaannya
diusulkan oleh badan penyelenggara. Sedangkan atas penggunaan prasarana
perkeretaapian, badan penyelenggara wajib membayar TAC kepada pemerintah
yang besarannya ditetapkan oleh pemerintah.
Skema PSO-TAC-IMO sebenarnya telah mengakomodasi kepentingan pemerintah
sebagai pihak yang menguasai perkeretapian dengan segala hak dan kewajibannya
serta kepentingan badan penyelenggara dalam menjalankan usahanya dengan
wajar. Namun pelaksanaan skema tersebut ternyata tidak berjalan seperti yang
telah ditetapkan. Pelaksanaan PSO selama ini masih menyisakan masalah berupa
perbedaan antara dana PSO yang telah dibayarkan pemerintah dan realisasi dana
PSO menurut hasil audit BPK (Tabel 1). Selisih kurang dana PSO akibat perbedaan
ini tidak dibayarkan oleh pemerintah, hal ini terkait dengan klausul dalam kontrak
PSO yang antara lain menyatakan bahwa (i) apabila hasil audit BPK menunjukkan
lebih bayar, maka kelebihan tersebut harus disetor kembali ke kas negara, (ii)
sebaliknya apabila hasil audit BPK menunjukkan dana PSO yang ditanggung PT
Kereta Api lebih besar dari jumlah yang dibayarkan Pemerintah, maka kekurangan
dana tersebut tidak dapat ditagihkan kepada negara.
Tabel 1Perkembangan Dana PSO Perkeretaapian Tahun 2006 s.d. 2010 (Rp miliar)
Subsidi yang dibayar Pemerintah
Realisasi
Selisih
450.00
533.62
(Audit BPK)
-83.62
425.00
423.93
(Audit BPK)
1.06
554.66
715.30
(audit BPK)
-170.64
520.92
543.46
(Audit BPK)
-14.07
535.00
Belum ada hasil Audit
BPK
Uraian 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2009 dan 2010.
Ketentuan tersebut dinilai kurang adil
dan cenderung dis-insentif bagi badan
usaha yang menjalankan penugasan
PSO, mengingat perubahan dana PSO
juga dipengaruhi oleh fluktuasi kondisi
perekonomian (seperti kenaikan harga
BBM) dan realisasi jumlah penumpang
yang melebihi target dalam kontrak.
Hasil audit BPK atas perhitungan
realisasi dana PSO semestinya telah
memperhitungkan berbagai perubahan
tersebut. Permasalahan PSO lainnya
a d a l a h k e t e r l a m b a t a n
penandatanganan kontrak PSO yang
berakibat pembayaran dana PSO oleh
pemerintah juga terlambat, yang
pencairannya seringkali dilakukan pada 4trilwulan III setiap tahunnya . Kondisi ini
menyebabkan badan usaha pelaksana
PSO harus mendanai terlebih dahulu
kebutuhan operasional PSO. Praktik
seperti ini selain akan mengganggu
aspek tata kelola perusahaan yang baik
Terkait dengan kondisi ini BPK dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2010 telah merekomendasikan kepada Dirjen Perkeretaapian dan Direksi PT KAI (Persero) agar menandatangani kontrak PSO sebelum pelaksanaan PSO serta memperbaiki klausul kontrak PSO terutama klausul mengenai sanksi dan formula penghitungannya.
4
juga akan berdampak buruk pada
k u a l i t a s p e l a y a n a n a n g k u t a n
penumpang kelas ekonomi.
Begitu pula dengan skema TAC-IMO
yang diharapkan dapat menjadi solusi
dalam penyediaan sarana dan
prasarana perkeretaapian yang efisien
dan memenuhi standar ternyata tidak
dapat berjalan. Selama ini Pemerintah
telah menetapkan bahwa besaran IMO
disamakan dengan TAC, walaupun
pada kenyataanya besaran kedua
komponen in i dapat berbeda.
Disamping itu APBN setiap tahunnya
telah mengalokasikan dana yang cukup
besar untuk mendukung IMO. Tahun
2008 telah dianggarkan dana untuk sub
sektor perkeretaapian sebesar Rp3,9
triliun yang selain untuk IMO juga
diperuntukkan untuk pengadaan sarana
kereta api. Namun di pihak lain, PT KAI
(Persero) juga telah mengeluarkan
biaya untuk hal yang sama sebesar
Rp0,8 triliun. Kondisi ini menunjukkan
adanya tumpang tindih tanggung jawab
dan kewajiban penyelenggaraan IMO.
Akibatnya TAC yang semestinya
menjadi penerimaan pemerintah tidak
dapat ditagihkan kepada badan
penyelanggara perkeretaapian.
Kondisi in i diperparah dengan
ketidakjelasan kepemilikan aset baik
sarana maupun prasarana kereta api
yang dikuasai oleh pemerintah dan PT
KAI (Persero). Hal ini terlihat dari
semakin besarnya jumlah aset bantuan
pemerintah yang belum ditentukan
statusnya (BPYBDS) baik yang
dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan
oleh PT KAI (Persero).
13INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMN
Gambar 1Perkembangan BPYBDS pada PT KAI (Persero) Tahun 2006 s.d. 2010 (Rp miliar)
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
5,546.94
2,534.56
696.82
6,459.17
2,593.42
1,055.89
5,773.86
2,509.94
1,072.94
5,544.50
3,737.68
1,072.94
5,583.60
3,953.24
1,072.94
2006 2007 2008 2009 2010
Total Aset
Ekuitas
Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBS)
Sumber: Laporan Keuangan PT KAI (Persero), diolah.
Berbagai kondisi diatas pada ujungnya
akan berdampak pada kondis i
keuangan PT KAI (Persero) serta dapat
m e n j a d i p e n g h a m b a t d a l a m
implementasi UU 23/2007, mengingat
investasi yang dibutuhkan dalam
industri jasa perkeretaapian sangat
besar dan menuntut adanya kepastian
usaha yang jelas. Sehingga wajar
apabila UU 23/2007 memberikan
kesempatan kepada pemerintah
selama tiga tahun untuk memperbaiki
kondisi PT KAI (Persero) dengan
mengambi l langkah-langkah ( i )
melakukan audit menyeluruh terhadap
PT KAI (Persero), (ii) melakukan
inventarisasi aset prasarana dan
sarana PT KAI (Persero), ( i i i )
menegaskan status PSO dan kewajiban
masa lalu penyelenggaraan program
pension pegawai PT KAI (Persero) eks
PNS PJKA/ Departemen Perhubungan
(past service liabilities) dan (iv)
membuat nerawa awal PT KAI
(Persero).
Kebijakan PSOMenurut UU 23/2007
Kebijakan PSO dalam UU 23/2007
mengalami perubahan setidaknya dari
aspek (i) kewajiban pemerintah dalam
penyediaan perkeretaapian, (ii) dasar
pembebanan dana kompensasi PSO,
(iii) bentuk penugasan PSO, serta (iv)
aspek kelembagaan. Aspek pertama,
k e w a j i b a n p e m e r i n t a h d a l a m
penyediaan perkeretaapian meliputi
PSO angkutan pelayanan kereta api
kelas ekonomi dan angkutan perintis
kereta api. PSO angkutan pelayanan
kereta api kelas ekonomi diberikan
dalam hal masyarakat dinilai belum
mampu membayar tarif yang ditetapkan
penyelenggara sarana perkeretaapian.
Sedangkan angku tan pe r i n t i s
dioperasikan dalam waktu tertentu
untuk melayani daerah baru atau
daerah yang sudah ada jalur kereta
apinya dalam rangka menunjang
pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas pembangunan nasional, tetapi
s e c a r a k o m e r s i a l b e l u m
menguntungkan.
Photo : Dian NW
14 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNAspek kedua, penggantian dana PSO
yang diajukan oleh badan usaha
penyelenggara tidak lagi berdasarkan
biaya yang dikeluarkan untuk operasi
a n g k u t a n k e r e t a a p i , t e t a p i
diperhitungkan menurut selisih tarif
antara tarif angkutan pelayanan kelas
ekonomi yang di tetapkan oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian
dengan tarif angkutan kelas ekonomi 5yang ditetapkan oleh pemerintah .
Apabila tarif yang ditetapkan oleh
pemerintah lebih rendah dari tarif yang
dihitung oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian maka selisihnya
menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sedangkan untuk angkutan perintis,
pemer in tah akan member i kan
kompensasi apabila biaya yang
dikeluarkan oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian untuk mengoperasikan
sarana perkeretaapian lebih tinggi
daripada pendapatan yang diperoleh
berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh
Pemer in tah . Perubahan dasar
perhitungan ini tentunya akan merubah
ketentuan dan komponen-komponen
yang dijadikan sebagai perhitungan
dana PSO dan subsidi.
Aspek ke t i ga , PSO angku tan
perkeretaapian pelayanan kelas
ekonomi maupun angkutan perintis
pada dasarnya di lakukan oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian,
yang artinya tidak hanya dilakukan oleh
PT KAI (Persero) sebagai BUMN tetapi
juga dapat dilaksanakan oleh badan
usaha selain BUMN seperti Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) atau
badan hukum Indonesia yang khusus
didirikan untuk perkeretaapian. Hal ini
b e r a r t i p e l a k s a n a a n P S O
perkeretaapian dilakukan dengan
pelelangan umum, yang tentunya
mengacu pada peraturan yang berlaku
terkait dengan pengadaan barang dan
jasa Pemerintah, kecuali dalam hal
tidak ada badan usaha yang sanggup
melaksanakannya maka dapat
dilakukan penugasan kepada BUMN
yang telah ada. Namun demikian,
dalam jangka panjang penugasan
tersebut semestinya harus dibatasi
untuk memberi kesempatan kepada
b a d a n - b a d a n u s a h a l a i n
mempersiapkan diri dan terlibat dalam
jasa penyelenggaraan perkeretaapian,
guna mewujudkan penyelenggara
sarana perkeretaapian yang lebih
efisien.
Aspek keempat, UU 23/2007 telah
memisahan kelembagaan pelaksana
an ta ra penye lenggara sa rana
perkeretaapian dan penyelenggara
p r a s a r a n a p e r k e r e t a a p i a n .
Penyelenggara sarana perkeretaapian
a d a l a h b a d a n u s a h a y a n g
mengusahakan sarana perkeretaapian
umum, sedangkan penyelenggara
prasarana perkeretaapian adalah pihak
yang menyelenggarakan prasarana
perkeretaapian. Pemisahan in i
merupakan prasyarat terwujudnya
kejelasan status pelaku usaha,
kesetaraan dalam melakukan usaha,
dan akuntabilitas pihak-pihak yang
menyelenggarakan sarana dan
prasarana perkeretapian beserta hak
dan kewajibannya. Selain itu, pemisahan
kelembagaan pengelola ini akan
memungkinkan berjalannya skema IMO-
TAC. Dengan terwujudnya dua lembaga
pengelola tersebut, maka tugas dan
peranan Pemerintah akan lebih focus
sebagai pengatur (regulator) industri jasa
penyelenggaraan perkeretaapian baik
yang menyangkut sarana maupun
prasarana, seperti penetapan pedoman
tarif yang lebih mengakomodasi harapan
para calon investor, standar pelayanan
minimum penyelenggaraan PSO dan
angkutan perintis dengan lebih
mengutamakan peningkatan kualitas
pelayanan, pengalokasian anggaran
PSO yang sehat dan wajar, serta
penetapan besaran biaya penggunaan
biaya prasarana perkeretaapian yang
memadai. Dan terakhir memastikan
semua pihak-pihak yang terlibat dalam
industri jasa perkeretaapian patuh dan
konsisten pada aturan yang telah
ditetapkan.
Terkait dengan pentarifan, penyelenggara sarana perkeretaapian dalam menetapkan tarif baik angkutan orang maupun barang harus mengacu pada pedoman tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah menetapkan pedoman tarif tersebut berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan dan keuntungan.
Suyono Dikun, “Membangun Landasan Untuk Kebangkitan Perkeretaapian”, dalam Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, Edisi 2, Jakarta, April 2010, halaman 10.
5
Berkaitan dengan langkah-langkah
pemerintah dalam rangka menyusun
kerangka ketentuan baru yang
memayungi kebijakan dan pelaksanaan
PSO-IMO-TAC, beberapa catatan yang
perlu diperhatikan antara lain:
Beberapa CatatanDalam Rangka PerumusanKebijakan PSOPerkeretaapian
a. Ketentuan pengganti SKB 1999
selain mengacu UU 23/2007
semestinya juga memperhatikan
ketentuan terkait lainnya seperti UU
19/2003 dan PP 45/2003 karena
keterlibatan BUMN dalam PSO
perkeretaapian harus disetujui
RUPS/Menteri BUMN. Sedangkan
terkait dengan IMO dan TAC perlu
mempertimbangkan PP 6/2006
tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara dan Daerah karena terdapat
s a r a n a d a n p r a s a r a n a
perkeretaapian yang dibiayai oleh
APBN namun pemanfaatannya
dilakukan oleh penyelenggara sarana
maupun prasarana perkeretaapian.
b. Selama belum ada badan usaha
p e n y e l e n g g a r a p r a s a r a n a
perkeretaapian maka dimungkinkan
penugasan khusus kepada BUMN
yang ada untuk melaksanakannya,
dengan tetap memperhatikan hak
dan kewajiban serta jangka waktu
pelaksanaanya. Namun dalam
jangka panjang tetap per lu
dipersiapkan pendirian lembaga
p e n y e l e n g g a r a p r a s a r a n a
perkeretaapian, beberapa alternatif
k e l e m b a g a a n y a n g d a p a t
dipertimbangkan antara lain: (i)
Badan Layanan Umum (BLU) unit
khusus yang mengoperasikan
prasarana perkeretaapian, (ii)
pembentukan anak perusahaan di
bawah PT KAI (Persero) yang
mengoperasikan prasarana yang
nantinya disiapkan sebagai BUMN
tersendiri, dan (iii) sejak awal
membentuk BUMN baru yang
mengelola pengoperasian dan
p e r a w a t a n p r a s a r a n a 6perkeretaapian .6
15INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNc. Perlu dirinci tanggung jawab Kementerian yang harus menyusun peraturan-peraturan pelaksanan lebih lanjut, misalnya
Kementerian Keuangan perlu menyusun PMK tentang tata cara pembayaran subsidi, Kementerian Perhubungan menyusun
peraturan menteri terkait dengan standar pelayanan minimum dan besaran tarif pelayanan angkutan kereta api PSO, dan
Kementerian BUMN sebagai RUPS memberi persetujuan atas penugasan PSO kepada BUMN. Kejelasan pembagian tugas
tersebut sangat penting dalam mendorong akuntabilitas perencanaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan PSO.
d. Perlu dilakukannya pengkajian yang komprehensif atas penugasan PSO kepada BUMN maupun badan usaha lainnya. Hasil
kajian ini untuk memastikan bahwa seluruh aspek yang terkait dengan PSO telah dipertimbangkan seperti siapa sasaran
penumpang kereta api yang dituju dan berapa jumlah yang ditargetkan, PSO berlaku untuk rute yang mana, apakah tarif
yang ditetapkan telah sesuai dengan daya beli masyarakat dan apabila kondisi perekonomian telah berubah apakah perlu
untuk dilakukan penyesuaian, termasuk dalam kajian ini adalah unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam penetapan dan
alokasi dana PSO. Hasil kajian ini sangat penting dalam penetapan perencanaan PSO sehingga pelaksanaannya akan lebih
efisien dan tepat sasaran.
e. Terkait dengan praktik pembayaran dana PSO oleh pemerintah yang selalu terjadi perbedaan dengan realisasi hasil audit
BPK, semestinya harus dibuka ruang yang mengakomodasi apabila terjadi perubahan asumsi-asumsi yang digunakan
dalam perhitungan dana PSO. Sebagai contoh pada saat krisis ekonomi yang mengakibatkan terjadinya kenaikan biaya
operasional maka perlu dilakukan penyesuaian tarif, terkait hal ini perlu ditetapkan kriteria yang menyatakan asumsi-asumsi
apa saja yang dapat diakomodasi perubahannya. Selain itu guna menjaga melonjaknya risiko yang harus ditanggung oleh
APBN maka perlu dipertimbangkan mekanisme yang menetapkan batas tertinggi pembayaran subsidi. Semua perubahan
tersebut semestinya dimasukkan di dalam klausul kontrak pelaksanaan PSO.
f Keterlambatan pembayaran dana PSO kepada pelaksana PSO yang sering dilakukan pada triwulan II tahun berikutnya
semestinya dilakukan perbaikan agar tidak memberatkan keuangan badan usaha. Perlu dipertimbangkan pelaksanaan
pembayaran PSO yang diberikan secara teratur kepada BUMN pelaksana PSO lainnya, seperti PT Pertamina dan PT PLN.
Pembayaran dana PSO dapat dilakukan secara berkala dalam bulanan atau triwulanan, dan atas pembayaran ini cukup
dilakukan verifikasi administratif saja. Pada akhir tahun anggaran baru dilakukan audit oleh BPK yang telah berjalan selama
ini untuk menetapkan jumlah realisasi pembayaran dana PSO yang definitif. Berkaitan dengan hal ini penandatanganan
kontrak pelaksanaan PSO juga harus dilakukan tepap waktu di awal tahun anggaran.
Photo : Dian NW
16 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
Air merupakan salah satu kebutuhan
dasar bagi manusia. Kebutuhan air
menjadi semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Dari
sekian banyak manfaat air bagi manusia,
kebutuhan yang paling utama dan
pertama yaitu sebagai air minum.
Kebutuhan akan air minum biasanya
diperoleh langsung dari alam melalui air
tanah. Namun, seiring berjalannya
waktu ketersediaan dan kualitas air
t a n a h m u l a i t e r g a n g g u
keseimbangannya. Penggunaan air
tanah secara besar-besaran baik rumah
tangga maupun industri, khususnya di
kota-kota besar telah mengurangi
persediaan air tanah secara drastis. Hal
tersebut diperparah dengan pengaruh
dari limbah yang langsung dibuang ke
sungai dan laut. Pencemaran air tanah
oleh limbah telah mengurangi kualitas air
tanah sehingga mengurangi kelayakan
air tanah untuk kebutuhan air minum.
S e l a m a i n i t u l a n g p u n g g u n g
penyediaan air minum dilaksanakan
oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM). PDAM merupakan badan
usaha milik daerah yang berkedudukan
di tingkat Pemerintah Kota maupun
RUBRIK BUMN
Latar Belakang
MENIMBANG SKEMA KPSUNTUK INFRASTRUKTUR PENYEDIAAN AIR MINUMOleh: Slamet Rona Ircham
Kabupaten. Tugas PDAM adalah menyediakan layanan air bersih untuk masyarakat
di sekitarnya. PDAM melaksanakan kegiatan yang meliputi pengolahan air baku
menjadi air bersih. Air bersih ini kemudian didistribusikan kepada para pelanggan di
lingkungan pelayanannya.
Saat ini kondisi pelayanan air minum di Indonesia masih relatif rendah. Pada tahun
2011 saja, proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)
secara nasional baru mencapai 47,71%. Sedangkan total cakupan pelayanan air
minum perpipaan nasional baru mencapai 25,56%. Kondisi tersebut hendak
ditingkatkan melalui target Millenium Development Goal's (MDG's) pada tahun 2015.
Pada tahun 2015, target proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi
(akses aman) secara nasional ditingkatkan menjadi 68,87%. Sedangkan total
cakupan pelayanan air minum perpipaan nasional ditargetkan mencapai 41,03%.
Rincian kondisi dan target pelayanan air minum dapat dilihat pada tabel di bawah.
Kondisi Pelayanan Air Minum Target Pelayanan Air Minum 2015
Proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)
Nasional
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
Perkotaan
Perdesaan
:
:
:
:
:
:
47,71 %
49,82 %
45,72 %
25,56 %
43,96 %
11,54 %
Total cakupan pelayanan air minum perpipaan
Proporsi penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman)
Nasional
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
Perkotaan
Perdesaan
:
:
:
:
:
:
68,87 %
78,19 %
61,60 %
41,03 %
68,32 %
19,76 %
Total cakupan pelayanan air minum perpipaan
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2011
Keterangan:
1) Target pelayanan air minum tahun 2015 mengacu pada target MDG's.2) Target pelayanan air minum (akses aman) tahun 2020 sebesar 85% dan target tahun 2025 sebesar
Sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan target tersebut, PDAM masih berkutat
dengan berbagai kendala. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
PERPAMSI, permasalahan yang umum dialami oleh PDAM dapat dilihat dari
17INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNberbagai sisi. Dari sisi teknis, PDAM audit pada tahun 2010 mencatat 341 penghapusan utang non pokok dan
menghadapi permasalahan terkait PDAM di seluruh Indonesia. Dari jumlah penjadwalan ulang pembayaran utang.
rendahnya cakupan pelayanan, tersebut, 142 PDAM mempunyai kinerja Sampai dengan Juni 2011, Menteri
tingginya tingkat kehilangan air, sehat, 128 PDAM mempunyai kondisi K e u a n g a n s u d a h m e n y e t u j u i
rendahnya tingkat penagihan piutang, kurang sehat, dan 71 PDAM dalam restrukturisasi utang untuk 69 PDAM. dan meningkatnya komponen biaya kondisi sakit. Sejak tahun 2007, Proses restrukturisasi yang sedang produksi. Dari sisi keuangan, banyak sebanyak 175 PDAM memi l ik i ber ja lan sebanyak 20 PDAM, PDAM mempunyai hutang yang sangat tunggakan utang kepada Pemerintah sedangkan 28 usulan restrukturisasi besar. Selain itu biaya pegawai senilai Rp4,6 Triliun. Untuk mengatasi dari PDAM dikembalikan karena tidak cenderung meningkat karena adanya berbagai permasalahan tersebut, memenuhi syarat. Pada tahun 2009, inefisiensi tenaga kerja. Di sisi lain, Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai Pemerintah juga mengeluarkan rendahnya tarif penjualan air semakin program, bantuan dan kebijakan kebijakan penjaminan terhadap pokok menjadikan PDAM kesulitan untuk diberikan kepada PDAM untuk kredit investasi PDAM dan memberikan meningkatkan kebijakan investasi yang m e n i n g k a t k a n k i n e r j a d a n subsidi bunga melalui Peraturan terarah. Dari sisi non teknis, campur pelayanannya. Kementerian Pekerjaan Presiden Nomor 29 Tahun 2009. tangan Pemerintah Daerah dan DPRD Umum telah memberikan bantuan Sampai dengan 31 Desember 2011, dalam pengambilan kebijakan PDAM teknis sejak tahun 2007. Pada tahun sudah te rdapa t 5 bank yang terlalu besar. Hal ini menjadikan PDAM 2009, PDAM juga mendapatkan insentif memberikan komitmen pendanaan sulit untuk berkembang secara apabila dapat menyelesaikan utang dengan skema tersebut dengan nilai profesional. tepat pada waktunya. Rp4,22 Triliun. Dari jumlah tersebut
Berbagai permasalahan tersebut Di sisi lain, Pemerintah melalui baru 3 PDAM yang menandatangani
membuat kinerja PDAM sedikit Kementerian Keuangan mengeluarkan perjanjian kredit dengan perbankan
terhambat. Berdasarkan data dari kebijakan restrukturisasi terhadap dengan nilai kredit sebesar Rp50,2
Kementerian Pekerjaan Umum, hasil utang PDAM. Kebijakan ini meliputi Miliar.
Program Penyehatan PDAM 2007 – 2011 dan Kebijakan Terkait
Hasil audit tahun 2007?PDAM Sehat 79?PDAM Kurang Sehat 113?PDAM Sakit 114
Tunggakan Utang PDAM?175 PDAM mempunyai
tunggakan utang dengan nilai Rp4,6 Triliun
Bantuan teknis Penyehatan PDAM:2007: 167 PDAM2008: 64 PDAM2009: 9 PDAM2010: 21 PDAM2011: 70 PDAM
Restrukturisasi Utang PDAM per November 2011:?Penghapusan utang non
pokok dan penjadwalan ulang pembayaran utang
?Sudah Mengajukan 117 PDAM
?Belum mengajukan 52 PDAM?Tunggakan dialihkan ke
pemkab/lunas/ada kerjasama operasi 11 PDAM
Program Insentif PDAM Tahun Anggaran 2009:?Insentif bagi PDAM yang
melunasi/ menyelesaikan kewajiban utang tepat waktu
?29 PDAM dengan target 202.750 SR
Hasil audit tahun 2010?PDAM Sehat : 142 PDAM?PDAM Kurang Sehat 128
PDAM?PDAM Sakit 71 PDAM
Hasil Restrukturisasi Utang per Juni 2011?Disetujui Menteri
Keuangan 69 PDAM?Dalam proses 20 PDAM?Dikembalikan 28 PDAM
(dikarenakan tarif dibawah biaya rata-rata/ laporan keuangan disclaimer
Tahun 2010Percepatan
Penyediaan Air Minum oleh PDAM
Sehat Melalui Akses Pinjaman
Perbankan(Perpres 29/2009)
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
dalam penyediaan air minum
Tahun 2007
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Keuangan, 2011
18 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMNBerbagai program dan bantuan tersebut
dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja PDAM sehingga
dapat meningkatkan pelayanannya.
Untuk mencapai target pelayanan yang
dicanangkan, diperlukan investasi yang
tidak sedikit. Selama ini pembiayaan
PDAM berasalah dari berbagai sumber
seperti APBN, APBD, Hibah, pinjaman
perbankan, maupun dari PDAM sendiri.
Namun, semua itu diperkirakan belum
dapat mencukupi kebutuhan untuk
mencapai target yang direncanakan.
Dari sisi PDAM sendiri, kemampuan
keuangan mereka begitu terbatas
karena harga jual air minum ditentukan
oleh Pemerintah Daerah yang pada
umumnya berada di bawah harga
keekonomian. Akibatnya, kemampuan
PDAM dalam berinvestasi menjadi
tergantung pada sumber-sumber
pembiayaan dari luar PDAM.
KPS Untuk InfrastrukturAir Minum
Salah satu kebijakan Pemerintah terkait
penyediaan infrastrukur yang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan
pelayanan air minum adalah Kerja
Sama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Skema pengadaan infrastrukur ini pada
prinsipnya yaitu mengajak pihak swasta
u n t u k b e r p a r t i s i p a s i d a l a m
pembangungan proyek infrastruktur
yang d idasarkan pada skema
pembagian risiko dan return yang wajar.
Hal ini dilakukan mengingat Pemerintah
tidak mempunyai cukup dana untuk
membangun semua infrastruktur yang
dibutuhkan. Karena itulah skema ini
sering dikenal sebagai Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS) atau
Public Private Partnership (PPP).
Selain menarik minat swasta, skema
KPS juga d imaksudkan untuk
membawa pengalaman, teknologi, dan
efisiensi yang dimiliki swasta ke dalam
pengelolaan infrastruktur.
Sebagai tindak lanjut atas kebijakan
t e r s e b u t , P e m e r i n t a h t e l a h
mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 56 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerja Sama Pemerintah dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Proyek infrastruktur yang dilaksanakan
dengan skema KPS dapat memperoleh
dukungan dan/atau jaminan dari
Pemerintah. Dukungan Pemerintah
d iber ikan untuk meningkatkan
kelayakan finansial proyek. Dukungan
dapat diberikan dalam bentuk perizinan,
pengadaan tanah, dukungan sebagian
konstruksi, insentif perpajakan,
kontrobusi fiskal dalam bentuk finansial,
dan dalam bentuk lain sesuai aturan.
Sedangkan jaminan Pemerintah
diberikan dalam rangka mitigasi risiko
politik (political risks) pada suatu proyek
yang tidak bisa dikendalikan oleh
swasta. Selain itu, jaminan Pemerintah
d i b e r i k a n u n t u k m e n g u r a g i
k e k h a w a t i r a n s w a s t a k e t i k a
bertransaksi atau berkontrak dengan
Kementer ian/Lembaga sebagai
pemilik/penanggung jawab proyek
(sovereign risk).
Berdasarkan Perpres 67/2005 dan
perubahannya, salah satu sektor yang
eligible untuk menerapkan skema KPS
adalah sektor infrastruktur air minum
yang meliputi bangunan pengambilan
air baku, jaringan transmisi dan
distribusi, serta instalasi pengolahan air
minum. Sesuai dengan peraturan
tersebut, Kepala Daerah atau BUMD
dapat bertindak sebagai Penanggung
Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK).
PJPK inilah yang akan berkontrak
dengan Badan Usaha/pihak swasta.
Proses pemilihan pihak swasta itu
sendiri harus dilakukan dengan proses
lelang yang transparan, akuntabel dan
dapat dipertanggungjawabkan. Apabila
Badan Usaha sudah terpilih, maka
Badan Usaha akan menandatangani
perjanjian kerja sama dengan PJPK.
Dalam perjanjian tersebut diatur
berbagai macam hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Perjanjian inilah
yang merupakan dasar pelaksanaan
skema KPS. Semua hal terkait
p e l a k s a n a a n p e m b a n g u n a n
in f ras t ruk tur a i r minum dapat
dituangkan dalam perjanjian tersebut.
Untuk dapat menerapkan skema KPS,
PDAM sebagai perpanjangan tangan
PJPK harus mempunyai kesiapan yang
b a i k . P D A M s e t i d a k - t i d a k n y a
mempunyai kinerja yang sehat baik
keuangan, manajemen maupun
operasionalnya. Manajemen PDAM
harus profesional sehingga pihak
swasta tertarik untuk bekerja sama. Dari
sisi Pemerintah Daerah, penetapan tarif
menjadi isu penting. Pemerintah
Daerah tentu menginginkan tarif air
yang serendah-rendahnya bagi
masyarakatnya. Komitmen Pemerintah
Daerah juga harus dijaga sehingga
ketika terjadi pergantian pimpinan tidak
menimbulkan pengaruh yang negatif
terhadap proyek KPS.
Dari sisi swasta, mereka adalah Badan
Usaha yang berorientasi pada profit.
Mereka tidak akan tertarik untuk
membangun infrastruktur jika proyek
tersebut tidak cukup menguntungkan.
Di sinilah peran dukungan Pemerintah
dibutuhkan. Dengan adanya dukungan
Pemerintah, proyek yang awalnya tidak
menguntungkan bisa menjadi proyek
yang menguntungkan. Selain itu,
mereka juga akan berhitung dengan
risiko termasuk keberlangsungan
proyek selama periode kerja sama.
Mereka akan concern dengan risiko-
r is iko yang dapat mengancam
kebelangsungan proyek. Contoh yang
sering muncul adalah risiko pergantian
kepala daerah yang dapat merubah
komitmen kerja sama proyek KPS.
Untuk itulah jaminan Pemerintah ada.
Jaminan Pemerintah pada prinsipnya
dimaksudkan untuk memberikan
kepastian terhadap keberlangsungan
jangka panjang dari proyek. Kepastian
itu bisa terkait dengan pembayaran dari
pelanggan maupun risiko politik seperti
pergantian kepala daerah.
19INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK BUMN
Penutup
Pada prinsipnya skema KPS dimaksudkan untuk memberikan keuntungan dan berbagi risiko dari kedua
belah pihak. Pemerintah sebagai PJPK berkepentingan dengan keberadaan layanan infrastruktur bagi
masyarakat, dalam hal ini infrastruktur penyediaan air minum. Pihak swasta mempunyai kepentingan
terhadap uang yang mereka investasikan. Kedua kepentingan ini dikemas dalam suatu kontrak kerja
sama yang jelas. Tidak ada salah satu pihak yang lebih kuat dari pihak yang lain. Pembagian risiko juga
dilakukan sesuai dengan pihak yang paling mampu mengelolanya. Karena itulah pelaksanaan dan
pengawasan terhadap kontrak kerja sama menjadi hal yang penting.
Skema KPS dalam sektor air minum bukan merupakan hal yang baru. Sektor air minum terbukti cukup
menarik minat swasta untuk berinvestasi. Contoh yang paling baru yaitu Proyek KPS Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur dan Proyek KPS SPAM di Kota Bandar Lampung. Kedua
proyek tersebut sedang menyelesaikan tahapan pra-kualifikasi dan akan mempersiapkan tahapan
selanjutnya. Sukses atau tidaknya proyek tersebut, kita dapat mengambil pelajaran dari setiap proses
yang ada.
Perlu diingat bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dalam pembangunan infrastruktur air minum
adalah akses yang dapat terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian cara
membangun dan mengelola infrastruktur air minum dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan skema.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa skema KPS merupakan salah satu alternatif dari
banyak pilihan dalam peningkatan penyediaan infrastruktur air minum. Proyek KPS dapat terlaksana
dengan baik jika dilakukan dengan komitmen, kesungguhan, dan mengedepankan prinsip transparansi,
akuntabilitas, serta tanggung jawab.
www.fkaglobal.com
20 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
“Masalah Klasik Penyerapan Anggaran:
Numpuk Di Akhir Tahun”, demikian bunyi
salah satu judul berita di sebuah koran
nasional pada minggu akhir Desember
2011. Senada dengan berita tersebut,
seperti “Pencairan APBN Menumpuk Di
Akhir Tahun: Pangkas Birokrasi
Anggaran” (Investor Daily, 30 Desember
2011), “Bancakan Anggaran Pada Akhir
Tahun”(Republika, 28 Desember 2011),
“Kementerian Jangan Asal Habiskan
Anggaran” (Media Indonesia, 21
November 2011) , “Rendahnya
Penyerapan Anggaran Hambat
Perekonomian” (www.okezone.com, 5
Desember 2011) dan lain sebagainya.
Berbagai reminder dari publik di atas
memang tampak sinis, namun harus
diakui bahwa apa yang di-complain oleh
publik itu nyata adanya. Dari tahun ke
tahun, termasuk tahun 2011 ini, pola
realisasi penyerapan anggaran lambat
sampai triwulan ketiga dan menumpuk di
akhir tahun. Padahal penyerapan
anggaran yang dipercepat pada akhir
tahun tersebut membuat penggunaan
anggaran tidak tepat sasaran dan
manfaatnya kurang berdampak pada
masyarakat. Sampai dengan awal
Desember 2011, realisasi belanja masih
di bawah 80% dari total anggaran
belanja sekitar Rp 1.320 triliun. Untuk
belanja modal yang memiliki manfaat
langsung bagi pembangunan fisik baru
terealisir sekitar 70-an triliun dari total
alokasi anggaran yang sebesar
Rp140,95 triliun.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
kalau di berbagai instansi pemerintah
kegiatan apa saja (seminar, workshop,
pelatihan, evaluasi kegiatan, pasang
iklan di media televisi dan lainnya) akan
RUBRIK FISKAL
Penyerapan AnggaranMasalah Klasik
Saatnya Pola Penyerapan APBN“Naik Kelas”
d i l a k u k a n , a s a l k a n d a p a t
dipertanggungjawabkan (ada kuitansi,
daftar hadir bagi orang yang terlibat, dan
lain-lain) pada akhir tahun. Maka
tidaklah mengejutkan kalau kesan yang
kemudian timbul dengan banyaknya
kegiatan pada akhir tahun itu hanyalah
untuk menghabiskan anggaran semata,
tanpa memikirkan tujuan dan target yang
ingin dicapai dengan kegiatan tersebut.
Munculnya kesan negatif tersebut
memang wajar karena dengan
menumpuknya kegiatan pada akhir
t a h u n m e n u n j u k k a n b a h w a
perencanaan yang dilakukan tidak baik
dan administrasi yang diterapkan juga
menjadi tidak tertib.
Direktur Jenderal Perbendaharaan
Kementerian Keuangan Agus Suprijanto
menyatakan bahwa terdapat beberapa
penyebab yang membuat lambatnya
p e n y e r a p a n a n g g a r a n
Kementerian/Lembaga (K/L). Pertama,
masalah regulasi. Kedua dan ketiga
yaitu rendahnya kualitas perencanaan
serta sulitnya pengadaan lahan. Soal
regulasi misalnya, salah satunya adalah
Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah. Banyak K/L yang
masih belum paham untuk menerapkan
Keppres 54/2010 tersebut. Lamanya
proses penunjukan langsung dan tender
karena masih mengakomodasi tahap-
tahap yang sebenarnya tidak perlu.
Juga, penunjukan langsung pengadaan
barang dan jasa bernilai maksimal
Rp100 juta dianggap terlalu kecil untuk
mempercepat penyerapan anggaran.
Padahal dengan penyerapan anggaran
yang lebih cepat, pertumbuhan ekonomi
tentu akan dapat melaju relatif cepat.
Selain masalah peraturan, tidak
matangnya perencanaan program dan
kegiatan K/L menjadi penyebab
lambatnya perencanaan anggaran.
Banyak K/L yang sudah rampung daftar
isian pelaksanaan anggaran (DIPA)-nya
pada bulan Desember namun saat
pelaksanaan anggaran malah terbentur
b e r b a g a i h a m b a t a n k a r e n a
perencanaan yang tidak matang.
Oleh: Praptono Djunedi
21INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskalMenteri Keuangan dalam acara
Workshop Persiapan Pelaksanaan
APBN 2012 pada pertengahan
Desember 2011 lalu menyatakan bahwa
perencanaan anggaran K/L yang tidak
baik dapat berdampak pada tidak
optimalnya pencairan anggaran. Tidak
terencananya kegiatan perencanaan
anggaran tersebut disebabkan oleh
sedikitnya dua hal. Pertama, terkait
kompetensi dimana rencana kegiatan
yang seharusnya dibuat bagian teknis
malah disusun oleh bagian keuangan
K/L. Kedua, besaran angka kegiatan
disusun berdasarkan angka tahun lalu,
bukan usulan dari bagian teknis (tidak
bottom up). Dapat penulis tambahkan
b a h w a p a n j a n g n y a b i r o k r a s i
perencanaan anggaran hingga sampai
legislatif dapat berpotensi memperlambat
start pelaksanaan anggaran.
Dampak dari buruknya perencanaan
anggaran adalah buruknya administrasi
keuangan K/L. Administraasi keuangan
K/L yang amburadul membuat kualitas
pelaporan anggaran juga bermasalah.
Dengan kondisi demikian, catatan atau
t e m u a n p a d a l a p o r a n h a s i l
pemeriksaan auditor (internal maupun
eksternal) pada pelaksanaan anggaran
K/L tahun sebelumnya mesti menjadi
perhatian khusus bagi penelaah
anggaran suatu K/L pada masa
pe rencanaan angga ran tahun
berikutnya. Penelaaah anggaran di
Kemente r ian Keuangan harus
melakukan apa yang seharusnya
dilakukan, yaitu apa yang disebut
dengan is t i lah “pembintangan”
(memberikan tanda bintang pada
keg ia tan te r ten tu yang mas ih
memerlukan klarifikasi lebih lanjut
terkait belum lengkapnya data
pendukung dan seterusnya) terhadap
kegiatan yang punya catatan atau
menjadi temuan auditor tersebut.
Dan tidak jarang pula, ditemukan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada
kegiatan tertentu yang mencantumkan
rincian anggaran di luar yang telah
dialokasikan dalam dokumen APBN.
Kalau sudah demikian halnya, RAB
tersebut layak dikembalikan ke K/L
untuk diperbaiki. Namun, proses
pengembalian dokumen pendukung
tersebut tentu membutuhkan tambahan
waktu pada tahap perencanaan
anggaran. Agar tidak tergganggu
kelancaran pencairan anggarannya
maka pembintangan adalah hal yang
lumrah diterapkan pada kegiatan yang
bermasalah tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, perlu ada
upaya untuk menghentikan lambatnya
pola penyerapan anggaran. Sebab
masalah lambatnya penyerapan
anggaran dapat berdampak pada
kebijakan f iskal secara makro,
Terganggunya kebijakan fiskal dapat
berpotensi mengganggu implementasi
kebijakan moneter dan kebijakan
sektoral pemerintah.
Perlu Perubahan Mindset Di Tahun Infrastruktur
Dalam beberapa tahun ini, Indonesia
sudah masuk dalam kelompok 20
negara yang punya PDB terbesar
dunia. Walaupun
j u m l a h P D B
Indones ia hanya
sekitar 1,2 persen dari
total PDB 20 negara
tersebut, namun negara ini
memiliki potensi untuk
men jad i negara ma ju .
Dengan jumlah sumber daya
a l a m y a n g b e r l i m p a h ,
pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi dan stabil dalam
jangka panjang, sistem
keuangan yang tahan
terhadap goncangan
krisis global, konsumsi
domestik yang besar
serta jumlah populasi
berusia produktif yang
re lat i f lebih banyak
dibandingkan dengan
negara manapun di dunia
m a k a l e m b a g a
pemeringkat Fitch dan
M o o d y ' s t e l a h
menempatkan Indonesia
sebagai negara layak investasi, dari
BB+ menjadi BBB- (Fitch) dan dari Ba1
m e n j a d i B a a 3 ( M o o d y ' s ) .
Per tanyaannya, apakah ra t ing
Indonesia ke depan dapat meningkat ke
level BBB ?
Apabila jawabannya ya, tentu Indonesia
berpotensi terjadi tsunami investasi.
Derasnya arus masuk investasi niscaya
perlu dibarengi dengan kesiapan
infrastruktur yang memadai, pelayanan
publik yang prima, regulasi yang
bersifat memudahkan dan sederhana
serta perlunya perubahan mindset
dalam pengelolaan anggaran negara.
Perubahan mindset pengelolaan
anggaran negara bisa dimulai dari
melakukan perencanaan yang baik dan
matang, kemudian diikuti dengan
administrasi keuangan yang rapi, jelas
dan akuntabel. Untuk memastikan
pelaksanaan administrasi keuangan
dapat berjalan seperti yang diharapkan
maka perlu dikawal dengan regulasi
dan prosedur/ SOP yang tegas, mudah
dipahami dan mudah diterapkan.
22 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKALJika para pengelola anggaran masih melakukan pola lama dalam penyerapan anggaran, bagaimana mungkin pengelola
tersebut dapat mengelola anggaran dengan jumlah nominal yang lebih besar di tahun-tahun mendatang. Pastinya selain
lambat, jumlah anggaran yang diserap justru makin relatif kecil. Kenapa demikian? Sebab dengan kondisi APBN sekarang saja,
pendapatan fiskal dalam APBN yang baru sekitar 17 persen dari PDB, jumlah ini dianggap masih terlalu kecil. Bandingkan
dengan pendapatan fiskal rata-rata negara peringkat BBB yang mencapai 33 persen dari PDB.
Dengan makin besarnya pendapatan fiskal dalam APBN di masa mendatang tentu dibutuhkan tingkat penyerapan yang relatif
cepat guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan tercapainya pertumbuhan ekonomi seperti yang
direncanakan akan dapat dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, mendorong daya beli masyarakat, lalu
menciptakan konsumsi dan investasi domestik yang lebih besar.
Di sisi lain, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025 yang disusun
Pemerintah bersama dengan seluruh pemangku kepentingan bangsa itu sudah masuk tahapan implementasi. Menurut Menteri
Perekonomian, proyek MP3EI sudah terealisasi sebanyak 91 proyek dimana 35 proyek merupakan proyek infrastruktur. Untuk
membiayai proyek infrastruktur, pemerintah sedang dan akan menyediakan anggaran infrastruktur sekitar Rp755 triliun
(dialokasikan hingga tahun 2014). Sebesar Rp544 triliun disediakan melalui APBN sedangkan sisanya diusahakan melalui
skema pendanaan public private partnership.
Adapun rincian anggaran Rp755 triliun tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur jalan sebesar Rp143 triliun,
sebesar Rp138 triliun untuk membangun jalur kereta api, dan sebesar Rp49 triliun untuk pelabuhan laut. Sedangkan untuk
membangun bandara dialokasikan dana Rp14 triliun, sektor kelistrikan sebesar Rp288 triliun, infrastruktur keairan dialokasikan
Rp8 triliun, telekomunikasi Rp102 triliun, serta lain-lain sebesar Rp13 triliun.
Dengan demikian, sudah saatnya bagi para pengelola keuangan negara (APBN) untuk tidak melaksanakan business as usual.
Mindset, perilaku sampai kinerja pengelola anggaran harus berubah. Walaupun kontribusi keuangan publik hanya sekitar 20
persen dari PDB, namun kinerjanya tetap akan menjadi sorotan publik. Sebab, pola penyerapan anggaran yang cepat dan tepat
dapat mendorong perbaikan administrasi keuangan publik. Pelaporan keuangan publik yang telah tertata kelola dengan baik
diharapkan dapat meningkatkan public trust terhadap pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, setidak-tidaknya
dapat menghindarkan negara kita dari ancaman krisis global yang dewasa ini sedang melanda belahan dunia lain.
Jadi, sudah saatnya pola penyerapan APBN “naik kelas”.
Perkiraan Investasi Dalam PembangunanEkonomi 2011 s.d. 2014
InvestasiSkema MP3EI
Rp 4.000 T
InvestasiAPBN Rp.405 T
(10,01%)
InvestasiDana Usaha Rp. 3.595 T
(BUMN 14,9%; Swasta Domestikdan Swasta Asing 75%
23INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskal
Akhir-akhir ini pemerintah (terutama
Kementerian Keuangan) sedang
melakukan pengkajian intensif untuk
menyelesaikan kasus tunggakan Kredit
Usaha Tani (KUT) Tahun Penyediaan
1998/1999. Meskipun kasus ini terjadi
sudah lama, namun sampai sekarang
belum dapat diselesaikan dengan tuntas
karena belum adanya kata sepakat
antara pemerintah, DPR, dan BI
khususnya terkait dengan proses
penyelesaian tunggakan KUT senilai
Rp5.708.469.424.660,18 (Rp5,70 triliun).
Preiden telah meminta menteri terkait
untuk melakukan write off terhadap
tunggakan KUT tersebut, namun jika
tidak dilakukan dengan perhitungan yang
matang dan hati-hati maka dikhawatirkan
akan berdampak pada persepsi negatif
debitur program kredit pemerintah
lainnya (seperti KUR) terutama yang
terkait dengan pembayaran angsuran
kredit yang telah diambilnya.
Artikel ini bermaksud mengulas kembali
kasus tersebut dan merekomendasikan
alternatif penyelesaiannya terutama dari
sudut pandang risiko fiskal yang menjadi
concern BKF khususnya Pusat
Pengelolaan Risiko Fiskal.
Batasan, MekanismePengajuan danPenyaluran KUT
POTENSI RISIKO FISKALDALAM PENYELESAIAN
TUNGGAKANKUT TP 1998/1999
Pengantar
Kredit Usaha Tani (KUT) menurut Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia
tanggal 8 Desember 1998 nomor
31/164/KEP/DIR adalah kredit modal
kerja yang diberikan melalui bank
pemberi kredit kepada koperasi primer
atau lembaga swadaya masyarakat
sebagai pelaksana pemberian kredit
untuk keperluan petani yang tergabung
dalam kelompok tani guna membiayai
usaha taninya dalam rangka intensifikasi
padi, palawija dan hortikultura. Sumber
dana kredit ini berasal dari dana Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Bank yang dapat menyalurkan KUT adalah bank yang memenuhi persyaratan sebagai
bank pelaksana kredit program dan telah mendapatkan persetujuan dari Bank
Indonesia sebagai bank penyalur KUT.
Berdasarkan penjelasan di atas dan ketentuan-ketentuan lain yang dijabarkan dalam
peraturan Direksi Bank Indonesia tersebut maka penulis mencoba untuk
menggambarkan proses pengajuan dan penyaluran KUT seperti tampak pada skema
1 di bawah ini:
KUT TP 1998/1999 adalah Kredit Usaha Tani untuk Tahun Penyediaan 1998/1999 yang tercatat dalam Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia per 31 Desember 2009. Pandangan serupa tentang penyelesaian tunggakan KUT juga pernah disampaikan oleh para peneliti PPRF (termasuk penulis) Kepada Kepala PPRF dalam Nota Dinas Nomor: ND-56/KF.500/2011 Tanggal 04 Oktober 2011 Tentang Kajian Atas Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999.
1
Skema 1: Proses Pengajuan dan Penyaluran KUT Dengan Pola Channeling
Bank Indonesia
Bank Pelaksana/Penyalur
Petani
KandepKoperasi & UKM
Koperasi Primer/LSM
Kelompok Petani
2 71
2
6
3
4 5
Sumber: SK Direksi BI Nomor: 31/164/KEP/DIR tanggal 8 Desember 1998, Data Diolah
Oleh : Abdul Aziz
24 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKAL
Skema 1 di atas dapat dijelaskan secara
naratif sebagai berikut: bahwa proses
pengajuan untuk mendapatkan KUT oleh
seorang petani dimulai dengan (1)
masuknya petani tersebut ke dalam
organisasi kelompok petani, setelah itu
kelompok petani bertugas menyusun
kebutuhan KUT para anggotanya dalam
suatu dokumen yang bernama RDKK
(Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
Tani) untuk satu periode tertentu yang
disusun berdasarkan musyawarah
anggota Kelompok Tani (yaitu meliputi
kebutuhan benih, pupuk, pestisida, serta
modal kerja). Tugas penting lain dari
Kelompok Tani adalah menerima,
menyalurkan KUT, dan menagih
pengembalian KUT kepada anggota
(para petani), (2) RDKK yang telah
disusun oleh Kelompok Tani disampaikan
kepada Koperasi/LSM yang berfungsi
sebagai pelaksana pemberian KUT
(excuting agent). Tugas Koperasi/LSM
diantaranya adalah: menyeleksi calon
peserta/debitur KUT; memeriksa
kebenaran RDKK yang diajukan oleh
Kelompok Tani; menerima, menyalurkan,
melakukan pembinaan dan mengawasi
penggunaan KUT, (3) Koperasi/LSM
mengajukan permohonan KUT kepada
Bank-Bank Penyalur yang telah disetujui
oleh Bank Indonesai (BI) berupa
rekapitulasi RDKK, Koperasi/LSM
bertanggungjawab atas pelaksanaan
tugas dan atas pelunasan KUT dari
Kelompok Tani/Petani kepada Bank
secara penuh. Proses selanjutnya adalah
penandatanganan perjanjian penerusan
KUT yang dilakukan oleh pengurus
Koperasi/LSM dan Bank.
Adapun tugas dan wewenang Kantor
Departemen Koperasi (Kandepkop)
adalah memeriksa dan menyetujui RDKK
serta menyetujui dan bertanggungjawab
a tas j um lah KUT yang akan
dicairkan/dibayarkan.
Berdasarkan RDKK-RDKK yang diterima
dari beberapa Koperasi/LSM, maka (4)
Bank-Bank Penyalur menarik dana
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
yang sebelumnya telah ditentukan
besaran plafonnya oleh BI pada masing-
masing Bank Penyalur tersebut. Plafon
tersebut adalah jumlah maksimum kredit
likuiditas Bank Indonesia yang dapat
ditarik oleh Bank Penyalur. Disamping
tugas utama Bank Penyalur KUT di atas
(yaitu menyalurkan KUT kepada
Ke lompok Tan i /Pe tan i me la lu i
Koperasi/LSM), Bank Penyalur juga
mempunyai tugas penting lainnya yaitu
dimulai dengan memeriksa pemenuhan
persyaratan KUT, mengadministrasikan
KUT, mengawasi penggunaannya dan
sekaligus menagih pengembalian KUT.
25INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskal
\Proses Selanjutnya adalah: (5) BI
memberikan dana KLBI kepada Bank-
Bank Penyalur untuk disalurkan; (6)
Bank-Bank Penyalur menyalurkan
KUT kepada Kelompok Petani melalui
Koperasi/LSM; (7) Koperasi/LSM
menyalurkan KUT kepada Kelompok
Petani dan (8) Kelompok Petani
menyalurkan KUT kepada para petani
yang menjadi anggotanya.
Sekilas TentangKUT TP 1998/1999
Yang dimaksud dengan KUT TP
1998/1999 adalah penyaluran Kredit
Usaha Tani untuk Tahun Penyediaan
1998/1999 yaitu selama periode 1
Desember 1998 s.d. 30 September 1999
dengan menggunakan dana KLBI dan
dengan mekanisme/pola channeling.
KLBI merupakan penyediaan dana
untuk menunjang program pemerintah
yang diberikan kepada bank pelaksana
yang ditunjuk untuk disalurkan kepada
masyarakat/Koperasi/ LSM dengan
tujuan peningkatan produksi dan lain-
lain sesuai dengan program pemerintah
yang ada. Terdapat dua po la
penyaluran KLBI yaitu pola executing
dan pola channeling. Pada pola
e x e c u t i n g b a n k p a l a k s a n a
bertanggung jawab penuh terhadap
pelunasan debitur dan setiap jatuh
tempo BI langsung mendebet rekening
bank tersebut (meskipun debitur kredit
sebenarnya belum melunasi), namun
pada pola channeling bank pelaksana
hanya bertindak sebagai agen sehingga
tidak betanggungjawab penuh terhadap
pelunasan debitur bank. Rekening bank
akan didebet oleh BI apabila sudah ada
pemberitahuan dari bank bahwa debitur
telah membayar angsurannnya.
Semenjak bulan November 1998
(terutama setelah keluarnya surat
Menko Ekuin nomor 57/M.EKUIN/1998
tanggal 19 November 1998) penyaluran
KUT untuk Tahun Penyediaan
1998/1999 dilakukan secara channeling
(bank pelaksana hanya bertindak
sebagai penyalur) ke Koperasi/LSM
sedangkan Koperasi/LSM bertindak
sebagai agen execut ing yang
b e r t a n g g u n g j a w a b t e r h a d a p
penyaluran dan pelunasan KUT kepada
dan dari kelompok tani/tani.
Pada periode tersebut, jumlah KUT
untuk Tahun Penyediaan 1998/1999
telah disalurkan ke petani (lewat
kelompok petani) tercatat sebesar
Rp7.677.429.744.359,79 (Rp7,67 triliun)
dan yang telah dilunasi oleh debitur
hanya sebesar Rp1.968.960.319.699,61
(Rp1,96 triliun) atau hanya 25,65% dari
total penyaluran sehingga jumlah
tunggakannya ada lah sebesar
Rp5.708.469.424.660,18 (Rp5,70 triliun)
atau sebesar 74,35%. Berdasarkan data
dari Bank Indonesia, rincian jumlah
26 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKALtunggakan KUT per-bank untuk 4 tunggakan terbesar dapat dilihat dalam tabel 1 di
bawah ini:
Tabel 1: Komposisi/Porsi Terbesar Tunggakan KUT TP 1998/1999
1.
2.
3.
4.
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin)
Bank Jawa Timur
Bank Danamon Indonesia (BDI)
Rp2.762.416.319.281,58
Rp1.678.441.217.636,96
Rp397.324..873.113,95
Rp364.564.250.627,45
48,39%
29,40%
6,96%
6,39%
No. Nama Bank Nilai Tunggakan Porsi
Permasalahan Pokok Penyaluran KUT TP 1998/1999
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa program KUT TP 1998/1999 mengandung
beberapa kelemahan yaitu dari sisi mekanisme penyaluran dan pelunasannya,
pelaporan, pendokumentasian dan pengawasan sehingga terjadi tunggakan
sebesar Rp5,70 triliun seperti yang telah disebutkan di atas.
Menurut hasil temuan BPK, dari jumlah tunggakan tersebut telah ditemukan
beberapa penyebab terjadinya tunggakan seperti yang dipaparkan dalam tabel 2 di
bawah ini:
Tabel 2: Beberapa Penyebab Terjadinya Tunggakan KUT Tp 1998/1999
1
2
3
4
5
Ketidaklengkapan dokumen penyaluran KUT di bank pelaksana
Tunggakan tanpa ada sertifikat penjaminan Perum Jamkrindo
Ketidaksesuaian RDKK dengan ketentuan yang berlaku
Tabungan beku per 31 Desember 2009 di bank pelaksana yang di-sampling.
Saldo rekening milik Pemda pada bank pelaksana untuk menampung pelunasan KUT
Rp1.539.052.034.110,09
(Rp1,53 triliun)
Rp1.923.450.270.023,16
(Rp1, 92 triliun)
Rp510.225.568.235,53
(Rp510 miliar)
Rp266.869.137.266,46
(Rp266,86 miliar)
Rp2.880.095.825,98
(Rp2,88 miliar)
No. Penyebab Tunggakan Nilai
Memperhatikan hasil LHP BPK di atas, dapat diambil salah satu kesimpulan bahwa
penyebab awal terjadinya tunggakan KUT TP 1998/1999 adalah adanya
kecerobohan dan kelalaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait langsung
dalam penyaluran KUT tersebut seperti kelompok petani, koperasi/LSM dan bank
pelaksana. Pihak-pihak tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap
terjadinya tunggakan ini.
Pada sisi lain, menurut penulis, salah satu kelemahan sistem mekanisme
penyaluran KUT ini adalah menempatkan bank pelaksana ada pada posisi sebagai
channeling agent, salah satu akibat dari sistem ini adalah bahwa bank pelaksana
tidak perlu melakukan verifikasi langsung kepada calon debitur (petani), namun
verifikasi cukup dilakukan secara berjenjang oleh Kelompok Tani dan Koperasi/LSM
(sebagai executing agent), kondisi ini membuka peluang target error dalam
penyaluran KUT seperti yang terjadi pada periode ini yaitu adanya indikasi
kesalahan penyaluran KUT kepada debitur selain petani dan indikasi kesalahan
penyaluran KUT kepada petani yang sebenarnya tidak punya kemampuan untuk
membayar kembali pinjaman yang diambilnya. Di samping itu, dana KUT yang
seratus persen bersumber dari KLBI membuat bank pelaksana tidak mempunyai
kewajiban untuk menanggung risiko apabila terjadi tunggakan pembayaran pada
KUT (seperti terjadi pada KUT TP 1998/1999).
Adapun tentang besaran risk sharing
apabila terjadi tunggakan pada
penyaluran KUT, maka sesuai dengan
surat Menteri Keuangan kepada
Gubernur BI tanggal 24 November
1998, nomor: S-607/MK.017/1998
tentang Penetapan Bank Pelaksana
KUT sebagai Bank Channeling dan
surat Menteri Keuangan kepada
Presiden RI tanggal 9 September 2011,
nomor: S-521/MK.01/2011 tentang
Penyelesaian Tunggakan KUT TP
1998/1999 Pola Channneling maka
telah ditetapkan bahwa komposisi risk
sharing jika terjadi tunggakan pada
penyaluran KUT adalah sebagai
berikut: Pemerintah sebesar 52,25%,
Bank Indonesia sebesar 42,75% dan
Perum Jamkrindo sebesar 5%.
Berdasarkan komposisi di atas, maka
besarnya risk sharing yang harus
dibayar pemerintah kepada BI adalah
sebesar Rp2.982.675.274.384,94
(Rp2,98 triliun).
27INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskal
Usulan penyelesaian tunggakan KUT TP 1998/1999 dan potensi risiko fiskal yang
ditimbulkannya dapat penulis gambarkan secara skematik sebagai berikut:
Pembahasan:Usulan Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999dan Potensi Risiko Fiskal-nya
Skema 2: Proses Penyelesaian Tunggakan KUT TP 1998/1999 dan Potensi Risiko Fiskal
LHP BPK
Presiden
Menkop danUKM
BPKP
KementerianKeuangan
Risk Sharing52.25%
Bank Indonesia
KUT keNon Petani
KUT ke Petani
ProsesHukum
TunggakanTidak
Tertagih
Tunggakan Tertagih
PotensiRisiko Fiskal
Proses penyelesaian tunggakan KUT TP 1998/1999 diantaranya bersumber dari
data yang disampaikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK seperti yang
telah dijelaskan di atas. LHP tersebut hendaknya dijadikan oleh Pemerintah (dalam
hal ini Presiden) sebagai petunjuk awal untuk menyelesaikan masalah ini. Presiden
dapat melakukan instruksi paling tidak kepada 2 menteri terkait masalah ini, yaitu:
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop & UKM) dan Menteri
Keuangan (Menkeu).
Kepada Menteri Koperasi & UKM, Presiden dapat memerintahkan menteri tersebut
untuk meminta bantuan kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan sesuai kewenangannya sebagaimana yang di atur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 Tahun 2008 tanggal 28 Agustus 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)) untuk melakukan audit
atau verifikasi terhadap permasalahan penyaluran KUT TP 1998/1999 secara lebih
terperinci dan meliputi seluruh daerah yang mengikuti program KUT pada TP
1998/1999 berdasarkan jumlah debitur penunggak secara keseluruhan (jika
memungkinkan bukan berdasarkan sampel) dan berdasarkan petunjuk awal dari
LHP BPK yang mengungkapkan adanya kelemahan dalam penyaluran KUT dan
adanya indikasi adanya penyaluran KUT yang salah sasaran, audit/verivikasi
seperti ini sebenarnya juga diminta oleh DPR sebelum Pemerintah melakukan
pembayaran tunggakan.
Dari audit/ verifikasi ini, diharapkan akan menghasilkan peta pemilahan yang jelas
tentang tunggakan-tunggakan KUT mana yang masih diharapkan dapat
dikembalikan oleh petani (piutang tertagih) dan tunggakan-tunggakan mana yang
tidak dapat dikembalikan oleh petani (pitang tak tertagih) serta debitur mana yang
bukan petani.
Terhadap tunggakan yang terindikasi
tidak dapat dikembalikan oleh petani
(piutang yang tak tertagih) maka
diusulkan untuk dilakukan verifikasi
yang mendalam oleh Menkop dan UKM
(melalui BPKP) agar dapat diketahui
apakah ada kesalahan yang disengaja
atau tidak dari pihak-pihak yang terlibat
dalam penyaluran KUT dan pemilihan
petani. Jika ada kesalahan yang
disengaja dalam penyaluran tersebut
maka menurut penulis, pihak-pihak
tesebut seharusnya ikut bertanggung
jawab dan dipertimbangkan untuk ikut
menaggung risk sharing tunggakan KUT
secara bersama karena pihak-pihak
tersebut juga telah menerima imbalan
yang cukup besar dari program KUT ini.
Dari skema 2 di atas, dapat dijelaskan
beberapa poin penting sebagai berikut:
1. a. Potensi risiko fiskal yang paling
besar adalah jika Bank Indonesia
tidak mau memperhatikan hasil
pemeriksaan BPK dan audit/
verifikasi yang diusulkan akan
dilakukan oleh BPKP yaitu untuk
memilah-milah debitur petani dan
bukan petani serta memilah-milah
debitur petani yang masih
sanggup mengemba l i kan
tunggakan dan tidak sanggup.
Dengan kata lain Pemerintah
harus membayar besaran
tunggakan KUT kepada BIsebesar
Rp 2.982.675.274.384,94 (Rp2,98
triliun).
b. Namun demikian, jika dari
besaran pembayaran tunggakan
KUT pemerintah kepada BI
tersebut ternyata pemerintah
dapat memaksimalkan upaya
untuk mengembalikan beban
tunggakan dari sebagaian besar
debitur KUT TP 1998/1999
(tentunya jika data debiturnya
lengkap) maka risiko fiskal di
a t a s s e b e n a r n y a d a p a t
berkurang;
2. Pemerintah hendaknya bisa
bernegosiasi kembali dengan pihak
BI agar beban risiko yang harus
dibayar pemerintah atau besarnya
risk sharing Pemerintah adalah
28 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKAL 2. 52,25% X jumlah tunggakan yang telah dikurangi dengan beban tunggakan dari debitur yang bukan petani dan debitur
petani yang tidak sanggup membayar lagi (berdasarkan LHP BPK dan usulan audit/ verifikasi oleh BPKP).
3. Di sisi lain, sesuai dengan skema di atas, Kemeterian Keuangan dapat diberi tugas (oleh Presiden) untuk (1) menyiapkan
alokasi anggaran dalam APBN untuk risk sharing, (2) menyiapkan prosedur/ mekanisme penyetoran ke kas negara dari
pembayaran tunggakan petani yang sanggup membayar (piutang tertagih), (3) menyiapkan prosedur/mekanisme
penghapusan tunggakan KUT yang tidak tertagih (piutang tak tertagih) dan juga dapat (4) merekomendasikan agar KUT
yang jatuh ke debitur bukan petani agar diselesaikan secara hukum karena berpotensi merugikan keuangan negara.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemerintah dan pihak terkait sedang berupaya seoptimal mungkin untuk menyelesaikan kasus tunggakan KUT TP 1998/1999
agar tidak berkepanjangan. Masalah yang paling utama dalam kasus ini adalah adanya risk sharing yang harus ditanggung
pemerintah yang jumlahnya cukup besar karena mencapai Rp2,98 triliun. Artikel ini berupaya memaparkan kembali kasus ini
agar dapat diambil pelajaran khususnya dalam pelaksanaan program pemerintah di bidang pemberian kredit lainnya kepada
masyarakat (seperti program KUR). Artikel ini juga mengusulkan satu skema alternatif penyelesaian tunggakan KUT TP
1998/1999 ini agar dapat meminimalisir risiko fiskal yang ditimbulkannya.
Kesimpulan
1. Pemerintah hendaknya meminta kepada BI agar risk sharing dilakukan setelah adanya pemilahan penyaluran KUT yang
jatuh ke tangan petani dan bukan petani dan pemilahan terhadap petani yang masih mampu membayar dan tidak mampu
membayar lagi sehingga besaran risk sharing adalah hanya pada besaran tunggakan yang mungkin tertagih.
2. Adanya penegakkan hukum yang pasti terhadap pelaku (baik yang berada di LSM/Koperasi Primer, Bank Pelaksana atau
pihak lain) yang telah melakukan dan membantu penyaluran KUT kepada debitur bukan petani (debitur yang tidak berhak
mendapatkan kredit), langkah ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi rasa keadilan juga untuk menjadi pelajaran dalam
penyaluran kredit-kredit sejenis (seperti KUR) di masa yang akan datang;
3. Bank pelaksana/penyalur serta Koperasi/LSM hendaknya ikut bertanggungjawab terhadap tunggakan ini apabila terbukti
nyata terlibat dalam penyaluran KUT kepada yang tidak berhak, bentuk tanggung jawab hanya sebatas pada besaran
penyaluran KUT yang salah sasaran saja (yang melanggar proses hukum) bukan kepada keseluruhan penyaluran KUT,
bentuk tanggung jawab tersebut bisa berupa ikut andil dalam pembayaran risk sharing secara proporsional sesuai tingkat
kesalahannya;
4. Jika terpaksa terjadi pemutihan terhadap sebagaian atau keseluruhan tunggakan KUT periode tersebut maka pemerintah
dan pihak terkait harus melakukan sosialisasi yang utuh dan masif kepada masyarakat luas agar tidak ada kesan negatif dan
menganggap remeh terhadap tunggakan terutama kepada debitur program kredit pemerintah lainnya (misal debitur KUR)
dalam proses pelunasan tunggakan kreditnya;
5. Setelah selesainya proses ini, maka BI harus segera menghapus semua debitur petani yang terkait dengan program KUT ini
(baik yang sanggup mengembalikan tunggakan atau tidak) dari daftar SID (Sistem Informasi Debitur) milik BI sehingga hak
para petani tersebut untuk mengajukan kredit lain dapat dihidupkan kembali.
Rekomendasi
29INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskal
Dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian menuju keadaan yang
lebih baik, Pemerintah menetapkan
kebijakan fiskal yang tertuang dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja
N e g a r a . S a m u e l s o n ( 1 9 9 7 ) ,
mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai
suatu proses pembentukan perpajakan
dan pengeluaran negara. Langkah yang
d i t e m p u h P e m e r i n t a h u n t u k
melaksanakan kebijakan tersebut melalui
pengaturan instrumen fiskal yang terdiri
dari kombinasi penerimaan dan
pengeluaran. Melalui kombinasi
penerimaan dan pengeluaran tersebut,
Pemerintah dapat menetapkan berbagai
kebijakan anggaran, diantaranya
anggaran surplus, berimbang atau defisit.
Saat ini Pemerintah menetapkan
kebijakan anggaran defisit yang
bertujuan untuk memberikan stimulus
perekonomian dengan cara membuat
pengeluaran negara menjadi lebih
besar dari penerimaan negara. Seperti
yang diungkapkan oleh Barro dalam T.
Pamuji (2008) bahwa defisit dapat
disebabkan oleh upaya pemerintah
mempercepat pertumbuhan ekonomi;
pemerataan pendapatan masyarakat;
melemahnya nilai tukar; pengeluaran
akibat krisis ekonomi; realisasi yang
menyimpang dari rencana; serta
pengeluaran karena inflasi.
Selanjutnya untuk menutup defisit
APBN tersebut Pemerintah memerlukan
sumber-sumber pembiayaan. Saat ini
kebi jakan yang di tempuh oleh
Pemerintah untuk pembiayaan defisit
adalah melalui instrumen utang dan
non-utang. Dalam nota Keuangan tahun
2011 disebutkan bahwa berdasarkan
kebijakan pembiayaan yang telah
berjalan pada tahun-tahun sebelumnya,
pada masa mendatang sumber
pembiayaan anggaran masih akan tetap
diprioritaskan pada instrumen utang
ANALISIS RISIKO DALAM PENGELOLAAN SBSN
SBSN SEBAGAI INSTRUMEN FISKAL
Oleh : Eri Hariyanto
melalui penerbitan Surat Berharga
Negara (SBN) khususnya SBN rupiah
d i p a s a r d o m e s t i k d e n g a n
pertimbangan utama: (i) semakin
terbatasnya sumber pembiayaan defisit
d a r i n o n u t a n g ; ( i i ) s e m a k i n
beragamnya instrumen surat berharga
negara termasuk diantaranya Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN); dan
(iii) mengurangi exposure pinjaman luar
negeri guna mengurangi risiko nilai
tukar (exchange rate risk). Jumlah
penerbitan SBN akan tetap didasarkan
pada kebutuhan untuk pembiayaan,
dengan mempertimbangkan daya
serap pasar dan kapasitas Pemerintah
dalam mengelola tambahan utang
secara efisien.
Adapun SBN terbagi dalam dua
kelompok besar yaitu: Surat Utang
Negara (SUN) dan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN). Saat ini
outstanding SBN adalah Rp918,5 triliun
yang terdiri dari SUN senilai Rp849,95
triliun dan SBSN senilai Rp68,55 triliun.
Bila dibandingkan dengan outstanding
penerbitan SBN, maka presentase
penerbitan SBSN baru mencapai 7,4%.
(www.dmo.or.id, diakses tanggal 7
November 2011).
Debut SBSN atau Sukuk Negara
sebagai instrumen fiskal dimulai ketika
per tama ka l i d i te rb i t kan o leh
Pemerintah pada bulan Oktober 2008.
Penerbitan SBSN menjadi sarana
diversifikasi instrumen pembiayaan
bagi Pemerintah, sehingga Pemerintah
mempunyai banyak pilihan instrumen
dalam membiayai defisit APBN.
Penerbitan SBSN juga menjadi sarana
bagi Pemerintah untuk memanfaatkan
pasar keuangan syariah yang tengah
berkembang dengan pesat dalam dua
dekade terakhir.
Saat ini SBSN terus mengalami
pengembangan baik dari instrument
maupun pasar SBSN. Pengembangan
SBSN ini bertujuan untuk menciptakan
pasar SBSN yang aktif, dalam dan likuid.
Pengembangan dari sisi instrumen yang
telah dilakukan diantaranya adalah
dengan melakukan diversifikasi jenis
instrumen SBSN baik dari sisi struktur,
tenor, jenis investor dan metode
penerbitan. Saat ini SBSN telah
diterbitkan dengan berbagai struktur
diantaranya Ijarah Sale and Lease Back
dan Ijarah al-Khadamat. SBSN selain
diterbitkan untuk investor institusi juga
diterbitkan untuk investor individu yang
dikenal dengan Sukuk Negara Ritel.
Sedangkan dari sisi pengembangan
pasar, saat ini SBSN tidak hanya
diterbitkan di dalam negeri tetapi juga
telah diterbitkan secara internasional
(Global Sukuk). Selanjutnya sebagai
upaya untuk mendukung pembiayaan
p e m b a n g u n a n p r o y e k d a n
pengembangan underlying asset
penerbitan SBSN, dalam waktu dekat
Pemerintah akan menerbitkan Sukuk
Negara dengan menggunakan
underlying berupa proyek-proyek milik
Pemerintah yang telah dianggarkan
dalam APBN. Pada masa mendatang,
Pemerintah akan lebih memfokuskan
pada penerbitan Sukuk Negara untuk
pembiayaan proyek karena hal ini
dipandang lebih memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat.
30 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKAL
Sebagai instrumen fiskal, SBSN juga
berpotensi menghadapi berbagai risiko
terkait dengan asumsi makro maupun
f a k t o r l a i n n y a y a n g d a p a t
mempengaruhi pencapaian tujuan
utama dari penerbitan SBSN yaitu
pemenuhan target pembiayaan defisit
APBN. Berikut ini disampaikan
beberapa analisis r isiko dalam
pengelolaan SBSN dan mitigasi atas
risiko tersebut.
ANALISIS RISIKO DALAMPENGELOLAAN SBSNDAN MITIGASINYA
Risiko Fiskal (Fiscal Risk)
Risiko fiskal merupakan kondisi yang
dapat memengaruhi target atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam APBN
tahun berjalan. Risiko fiskal ini dapat
muncul diantaranya karena adanya
perubahan kebijakan Pemerintah terkait
dengan penetapan tingkat defisit APBN.
Selain itu risiko fiskal juga dapat muncul
disebabkan oleh kondisi pasar
keuangan yang kurang mendukung dan
penyediaan fitur SBSN yang kurang
diminati investor.
Sebagai instrument pembiayaan, maka
besarnya penerbitan SBSN dalam satu
tahun akan dipengaruhi oleh nilai defisit
yang d i te tapkan dan s t ra teg i
Pemerintah dalam menentukan
komposisi penerbitan SBN yang terdiri
dari SUN dan SBSN. Sedangkan
besarnya nilai pembiayaan defisit
APBN, selain dipengaruhi oleh
kebijakan Pemerintah juga sangat
dipengaruhi oleh pergerakan asumsi-
asumsi makro yang digunakan dalam
penyusunan APBN. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pergerakan asumsi
makro tersebut dapat menjadi trigger
perubahan besarnya nilai defisit yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Selanjutnya, risiko fiskal akan muncul
apabila dalam mengamankan APBN
Pemer intah menetapkan untuk
mengadakan penambahan tingkat
def is i t , seh ingga akan ter jad i
penambahan target penerbitan SBN
(termasuk SBSN). Adanya perubahan
target penerbitan tersebut merupakan risiko dalam pengelolaan SBSN yaitu risiko
fiskal yang berkaitan dengan pemenuhan target defisit tersebut. Untuk dapat
memenuhi tambahan defisit pembiayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi
pasar modal baik domestic maupun global.
Ada beberapa langkah mitigasi risiko yang dapat ditempuh apabila terjadi
perubahan kebijakan penambahan nilai defisit diantaranya adalah:
1. Untuk memenuhi perubahan tingkat defisit yang ditetapkan, pembiayaan
defisit dapat dilakukan dengan menggunakan semua instrument fiscal yang
dimiliki Pemerintah. Apabila instrumen pembiayaan yang digunakan fokus
pada penerbitan SBN maka agar target penambahan defisit dapat terpenuhi
Pemerintah dapat menggunakan penerbitan SUN dan SBSN dengan
komposisi yang disesuaikan dengan strategi penerbitan. Selain itu, agar tidak
menimbulkan tekanan harga dalam penerbitan SBN, Pemerintah dapat
menggunakan sumber lainnya untuk menutup defisit misalnya menggunakan
Sisa Anggaran Lebih (SAL).
2. Pemerintah bersedia melakukan penambahan jumlah penerbitan SBN.
Meskipun menerima risiko tersebut, namun Pemerintah tentu akan berusaha
agar pemenuhan target penerbitan tetap dilakukan dengan prudent dan mencari
cost of fund yang paling efisien. Salah satu stretegi yang dapat ditempuh untuk
memperoleh biaya penerbitan yang rendah adalah dengan melakukan front
loading strategy secara terukur, yaitu dengan melakukan penerbitan SBSN lebih
banyak pada awal-awal tahun anggaran sehingga apabila terjadi penambahan
target penerbitan pada pertengahan tahun, tidak menimbulkan tekanan harga
yang berlebihan pada penerbitan SBN di akhir tahun.
Risiko Pasar (Market Risk)
Adapun risiko pasar dikenal sebagai risiko yang berasal dari variabilitas permintaan
imbal hasil (yield) karena fluktuasi dalam keseluruhan pasar sehingga berpengaruh
pada keseluruhan sekuritas. SBSN merupakan fiscal instrument yang tidak terlepas
dari instabilitas sistem keuangan nasional maupun global, sehingga SBSN tidak
terlepas dari risiko pasar modal. Meskipun didesain bebas bunga, namun
penentuan imbal hasil SBSN saat ini masih menggunakan acuan (benchmarking)
tingkat bunga yang berlaku di pasar modal, sehingga dalam penentuan imbal hasil
SBSN harus melakukan penyesuaian dengan nilai pasar (mark to market).
31INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK fiskalRisiko pasar muncul ketika permintaan
yield (permintaan imbal hasil/return)
SBSN diatas ekspektasi, yang dapat
disebabkan oleh beberapa factor. Salah
satu contoh dalam hal ini adalah
kejadian krisis pasar keuangan pada
tahun 2008, yang menyebabkan
permintaan yield sangat tinggi.
Permintaan yield yang sangat tinggi ini
d i s e b a b k a n k a r e n a i n v e s t o r
memprediksi akan adanya kenaikan
tingkat suku bunga yang dilakukan oleh
bank sentral. Selain itu permintaan
yield yang tinggi ini juga untuk
mengimbangi risiko berinvestasi pada
pasar modal yang sedang mengalami
krisis. Risiko ini menyebabkan biaya
untuk memperoleh dana dari pasar
modal menjadi sangat tinggi.
Penerbitan SBSN dalam kondisi pasar
yang sedang mengalami kr isis
(bearish), akan menimbulkan tekanan
harga atau permintaan yield yang
sangat tinggi sehingga dipandang tidak
efisien lagi. Dalam kondisi seperti ini,
mi t igas i yang dapat d i tempuh
diantaranya adalah:
1. Penerbitan SBSN dalam valuta
asing di pasar internasional.
Dalam memperoleh pembiayaan,
Pemerintah menetapkan strategi
untuk lebih mengutamakan pasar
domestik, dengan memperhatikan
daya serap pasar sehingga tidak
terjadi kekeringan dana di pasar
modal (crowding out effect).
Dalam kondisi krisis dan untuk
mengurangi risiko crowding out,
Pemerintah dapat menerbitkan
SBSN dalam valuta asing di pasar
internasional sebagai alternatif.
Dengan melakukan penerbitan di
pasar internasional biasanya akan
diperoleh yield yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan yield
untuk penerbitan di pasar
domestik. Namun di sisi lain
Pemerintah harus menanggung
risiko nilai tukar (currency risk).
2. Pemerintah dapat menggunakan
instrumen fiskal lainnya untuk
pembiayaan def is i t APBN,
misalnya dengan melakukan
intensifikasi pengeluaran APBN
atau penggunaan Sisa Anggaran
Lebih (SAL).
Risiko Politik dalam penyediaanUnderlying Asset (Political Risk)
Berbeda dengan obligasi konvensional
yang merupakan surat pernyataan
utang (I owe you), sukuk merupakan
instrument investasi yang merupakan
bukti penyertaan atas underlying asset
sukuk. Peran underlying asset dalam
sukuk menjadi sangat penting karena
akan menentukan jenis transaksi (akad)
yang digunakan. Dengan begitu,
ketersediaan underlying asset sangat
memengaruhi sustainability Pemerintah
dalam menerbitkan SBSN.
Risiko ini muncul karena dalam
penggunaan BMN untuk underlying
asset harus melalui proses politik.
Sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 9 ayat 1 Undang-undang nomor
19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara, bahwa penggunaan
BMN harus mendapat persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat. Persetujuan
tersebut diperoleh setelah melalui rapat
pembahasan di salah satu komisi di
DPR. Tantangan yang muncul biasanya
disebabkan belum adanya kesamaan
pemahaman anggota dewan terhadap
urgensi penyediaan underlying asset
untuk penerbitan SBSN. Sehingga
pembahasan BMN untuk underlying
asset sering dikesampingkan bila ada
issue lain yang sedang terjadi. Selain
itu, adanya pergantian anggota dewan
baik disebabkan oleh pergantian antar
waktu maupun pergantian periode
menyebabkan pemahaman t iap
anggota dewan terhadap underlying
asset dalam penerbitan SBSN menjadi
asimetric. Bila tanpa pemahaman yang
memadai akan timbul persepsi bahwa
BMN seo lah -o lah d igada ikan ,
dijaminkan atau bahkan dijual untuk
penerbitan SBSN. Padahal hal yang
terjadi adalah penggunaan BMN
sebagai landasan penerbitan dan
pemanfaatan hak pakai (usufruct) untuk
penerbitan SBSN yang sama sekali
berbeda dengan digadaikan, diagunkan
dan dijual. Apabila penyediaan
u n d e r l y i n g a s s e t m e n g a l a m i
keterlambatan disebabkan oleh hal-hal
tersebut , akan mengakibatkan
tertundanya jadwal penerbitan SBSN
dan akan berdampak pada risiko tidak
tercapainya target penerbitan SBSN
pada tahun bersangkutan.
Untuk mengatasi hal tersebut, langkah-
langkah yang dapat d i tempuh
diantaranya adalah dengan:
1. Pemerintah dapat melakukan
lobbying baik kepada Sekretariat
Komisi DPR maupun kepada
salah satu ketua komisi yang
bersangkutan. Hal ini dilakukan
agar permohonan persetujuan
penggunaan BMN sebagai
underlying asset mendapat
prioritas pembahasan dalam rapat
kerja DPR bersama Pemerintah.
2. Penyampaian informasi secara
berkala kepada para anggota DPR
mengenai pengelolaan SBSN
untuk menyamakan pemahaman
terutama dalam hal penggunaan
BMN sebagai underlying asset.
Risiko Kesesuaian Syariah(Syariah Comply Risk)
Kesesuaian dengan prinsip-prinsip
syariah merupakan hal lainnya yang
membedakan SBSN dengan obligasi
konvensional. Beberapa hal yang perlu
mendapatkan kesesuaian syariah
adalah: jenis struktur (akad) yang
digunakan, underlying asset dan
dokumen perjanjian dalam penerbitan
SBSN. Jenis underlying asset akan
menentukan jenis struktur (akad ) yang
digunakan. Sampai saat ini Pemerintah
telah menggunakan 2 jenis underlying
asset dalam penerbitan SBSN, yaitu
Barang Milik Negara (BMN) dan Jasa
Layanan Haji. Dalam penerbitan SBSN
dengan menggunakan akad Ijarah Sale
and Lease Back , Pemer in tah
menggunakan underlying asset berupa
BMN. Adapun jenis BMN yang
digunakan berupa tanah dan bangunan
yang dimiliki/digunakan oleh seluruh
Kementerian/Lembaga yang tersebar di
wi layah Indonesia. Sedangkan
underlying berupa Jasa Layanan Haji
digunakan untuk penerbitan Sukuk
Dana Haji Indonesia (SDHI) dengan
32 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK FISKALmenggunakan akad Ijarah al Khadamat.
SDHI merupakan bentuk penempatan dana
haji dan dana abadi umat (DAU) yang
dikelola oleh Kementerian Agama.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang
nomor 19 tahun 2008, dalam menggunakan
jenis struktur (akad) tertentu Pemerintah
meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian
syariah dari lembaga yang memiliki
kewenangan dalam hal tersebut. Saat ini
tugas tersebut dilaksanakan oleh Dewan
Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI). Saat ini DSN-MUI telah
menerbitkan 5 fatwa terkait dengan
penerbitan SBSN.
Syariah compliance risk muncul pada saat
jenis struktur (akad) yang telah ditetapkan
oleh DSN MUI tersebut digunakan untuk
penerbitan sukuk global. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan penggunaan
mazhab dari tiap kawasan/negara dengan
penduduk mayoritas Muslim. Sehingga hal ini
memungkinkan bahwa suatu jenis struktur
(akad) yang didesain di kawasan tertentu
tidak dapat digunakan pada kawasan lain
dengan mazhab yang berbeda. Risiko ini
dapat menyebabkan penolakan investor pada
kawasan tertentu terhadap suatu jenis
struktur (akad). Dampaknya SBSN tidak
dapat diterima pasar secara global, sehingga
akan mempengaruhi target penerbitan SBSN.
Langkah yang dapat ditempuh agar SBSN
dapat diterima di pasar global diantaranya
adalah dengan melakukan koordinasi
dengan syariah scholar dan pelaku pasar
keuangan global. Adanya koordinasi dengan
para scholar dan pelaku pasar keuangan
global akan diperoleh informasi mengenai
akad-akad yang selama ini digunakan untuk
penerbitan sukuk di pasar internasional.
Dengan demikian, Pemerintah dapat
mendesain struktur SBSN yang diterima baik
oleh syariah scholar maupun investor global.
Risiko Kurangnya MinatInvestor terhadap Fitur SBSN
Penentuan besarnya imbalan biasanya dipengaruhi oleh kondisi perekonomian secara umum.
Besarnya imbalan yang ditawarkan kepada investor sangat berpengaruh bagi investor. Risiko
akan muncul apabila imbalan yang ditawarkan ternyata dibawah ekspektasi investor, sehingga
investor kurang berminat terhadap SBSN yang ditawarkan.
Fitur selanjutnya yang juga berpengaruh adalah tenor SBSN. Dalam menerbitkan SBSN
diperlukan ketepatan dalam menentukan tenor yang diminati investor. Saat ini ada beberapa
jenis investor yang mempunyai preferensi tenor yang berbeda-beda. Untuk investor
perbankan biasanya cenderung pada tenor jangka pendek dan menengah pada kisaran 1
tahun s.d. 5 tahun. Sedangkan untuk investor yang berasal dr industri asuransi dan lembaga
pensiun biasanya cenderung kepada tenor yang lebih panjang, meskipun tidak menutup
kemungkinan bahwa industri tersebut membutuhkan portofolio investasi bertenor pendek.
Risiko akan timbul apabila tenor yang ditawarkan tidak sesuai dengan minat investor, sehingga
SBSN yang ditawarkan tidak diminati oleh investor.
Langkah mitigasi yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal tersebut diantaranya adalah:
1. Penerbitan SBSN dengan beragam tenor, hal ini dilakukan untuk taping minat investor
yang memiliki preferensi tenor yang berbeda-beda. Selain itu, adanya penerbitan SBSN
dengan beragam tenor tersebut akan membantu investor untuk mengatur portofolio
investasinya. Di sisi Pemerintah, hal ini bermanfaat untuk mengatur profil jatuh tempo
(maturity date) SBSN.
2. Penelitian untuk memperoleh informasi pasar (market intelligence), yang berhubungan
dengan minat investor, kondisi pasar maupun pesaing sangat penting untuk dilakukan.
Hal ini bertujuan agar fitur SBSN yang diterbitkan memperoleh sambutan yang cukup baik
dari investor dan diterima pasar keuangan secara umum.
Ketepatan dalam Penjadwalan Penerbitan (Reputation Risk)
Saat ini SBSN bukan saja menjadi instrument investasi, tetapi juga sebagai instrument untuk
mengelola likuiditas industry keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Para
investor mengharapkan Pemerintah dapat memberikan informasi mengenai rencana penerbitan
SBSN secara lengkap. Namun hal ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemerintah
mengingat penerbitan SBSN tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang dapat berubah
menyesuaikan dengan kondisi fiscal yang ada. Selain itu penerbitan SBSN juga dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian (market) secara umum dan Pemerintah mempunyai kewenangan
untuk melakukan penyesuaian jadwal penerbitan dengan kondisi market. Untuk itu,
penyampaian rencana penerbitan SBSN secara lengkap untuk periode waktu tertentu (misalnya
satu tahun) justru dapat mengurangi fleksibitas Pemerintah dalam mengatur strategi penerbitan.
Risiko reputation risk muncul apabila Pemerintah telah menyampaikan pengumuman rencana
penerbitan SBSN dalam waktu tertentu, namun karena adanya perubahan kebijakan
menyebabkan tertundanya atau dibatalkannya rencana penerbitan tersebut. Penundaan atau
pembatalan penerbitan tersebut dapat mempengaruhi reputasi pengelolaan SBSN. Bila
penundaan atau pembatalan tersebut berlangsung berulangkali, akan dapat menurunkan
kepercayaan investor terhadap rencana penerbitan SBSN yang dapat berdampak pada
berkurangnya minat investor pada SBSN yang akan diterbitkan.
Pelaksanaan penerbitan SBSN pada praktiknya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
eksternal yang uncontrollable, yang dapat mempengaruhi perubahan rencana penerbitan.
Dalam menghadapi risiko reputasi ini, hal yang dapat dilakukan adalah dengan
menyampaikan rencana penerbitan secara proporsional dengan memperhatikan kondisi
pasar dan disesuiakan kebijakan pemerintah.
Risiko lain yang berhubungan dengan risiko
pasar adalah penyediaan fitur SBSN (terms
and conditions) yang ditawarkan kepada
para investor. Yang termasuk dalam fitur
SBSN diantaranya adalah besarnya imbalan,
jenis imbalan (floating atau fixed), jenis
struktur yang digunakan (akad), tenor, dan
jenis underlying yang digunakan. Beberapa
fitur tersebut sangat mempengaruhi
preferensi investor untuk menentukan
pilihannya berinvestasi pada SBSN.
Musgrave, Richard A, dan P. Musgrave. 1991. “Keuangan Negara dalam Teori dan
Praktek”, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.Samuelson, Paul A. 1997. “Ekonomi”, Jilid I. Jakarta: Erlangga.Djohanputro, 2008, Manajemen Risiko, JakartaNota Keuangan tahun 2011 www.dmo.or.id
Daftar Pustaka
33INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK EDUKASI
Salah satu kunci sukses suatu
o r g a n i s a s i , b a i k o r g a n i s a s i
pemerintahan maupun organisasi
bisnis, untuk memenangkan persaingan
dan menjamin kelangsungan hidup
(survive/sustain) adalah membuat
strategi yang tepat (the right strategy).
Para pemimpin (baik pemerintahan
maupun bisnis) harus memastikan
memiliki strategi yang tepat dalam
menghadapi setiap situasi. Apa yang
harus dilakukan ketika ekonomi dunia
mengalamai krisis (decline) dan apa
yang harus dilakukan ketika ekonomi
dunia mengalami booming (growth)?
Kedua situasi ini mensyaratkan pilihan
trategi yang berbeda, karena itu
dibutuhkan kejelian dari sang pemimpin
untuk mendesain dan memilih strategi
yang tepat.
Jack Trout dalam bukunya Trout on
Strategy (2004) antara lain mengatakan
bahwa 'strategi is all about survival',
Investment Grade:Momentum untuk Mendorong Ekonomi Indonesia Survive
Pengantar
1Oleh : Syahrir Ika
bagaimana Anda bertahan hidup dalam
dunia yang sangat kompetitif. Yap Tjai 2Soen , ketika menjadi Komisaris di PT
Aneka Tambang (Antam) Tbk, pernah
menasehati penulis bahwa bila Antam
mengalami tambahan keuntungan 3(windfall profit) , baik disebabkan
karena meningkatnya harga komoditas
(nikel+emas+bauksit) di pasar global
maupun melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS (mengingat seluruh
hasil produksi diekspor), maka Direksi
segera menye lesa ikan semua
kewaj iban perusahaan seper t i
pencadangan kewajiban pensiun dan
kesehatan serta kewajiban estimasi
untuk imbalan kerja (estimated post
retirement benefit liabilities) bahkan bila
perlu menawarkan program pensiun
dini (early retirement) kepada pegawai
Peneliti Madya PPRF, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI.
Kini, Direktur Keuangan Bank BNI
Didefinsikan sbb: profit that occurs unexpectelly as a cosequence of some event not controled by those who profit from it
1
23
y a n g k u r a n g p r o d u k t i f u n t u k
memperoleh ukuran organisasi yang
optimal (right size) sehingga organisasi
(bisnis) akan lebih survive. Itu timingnya,
karena bila perusahaan tidak lagi
memperoleh momentum windfall profit,
hal itu sulit dilakukan manajemen dan
perusahaan akan semakin tidak efisien
dan tidak memiliki kemampuan bersaing.
Jack Trout juga mengatakan 'strategy is
all about reality', mengapa? karena
sering kali para CEO terjebak dalam
s u a t u s i t u a s i y a n g d i n i l a i
keberuntungan tetapi sesungguhnya
secara realita menjebak mereka (the
growth trap). Trout mengambil contoh
CEO Pialang-Pialang di Wall Street-AS
yang mengejar-ngejar pertumbuhan
tinggi untuk memastikan kelangsungan
34 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK edukasikarir mereka, menaikan kompensasi
y a n g m e r e k a t e r i m a , d a n
mempertahankan reputasi mereka.
Menurut Trout, apakah pertumbuhan
memang benar-benar perlu? Berikut ini
penulis kutip jawabannya : '....Not really,
When you consider that people do
damaging thinks to force unnecessary
growth, you can say that it's a crime
against the brand....” Banyak kisah the
growth trap yang diangkat Trout dalam
bukunya, dan Ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa prediksi (dari
seorang CEO/pemimpin) yang terlalu
berani mengenai pertumbuhan laba
(ekonomi) sering kali memunculkan
target-target yang tidak tercapai.
Karena itu, mungkin pilihan yang baik
bagi seorang CEO yang ingin survive
adalah selalu berada pada daerah
realitas atau reality zone dari pada di
daerah mustahil (impossible zone).
Nasehat Trout ini relevan dengan apa
yang dipesankan Muhammad Chatib
Basri dalam artikelnya di Harian
Kompas, 16 Januari 2011 berjudul
'Jangan Bergantung Pada Nasib'.
Menurut Chatib, dampak krisis global
relatif minim terhadap Indonesia karena
kombinasi dari 'antisipasi kebijakan
yang baik' dan 'nasib yang baik'. Namun
Indonesia juga beruntung karena
ekonomi kita didominasi oleh konsumsi
d o m e s t i k , a k i b a t n y a d a m p a k
pelemahan ekonomi global terbatas.
Sebaliknya negara yang terintegrasi
dalam jaringan produksi atau yang
berorientasi ekspor, seperti Singapura,
terpukul. Karena itu, menurut Chatib,
strategi orientasi ekspor harus diikuti
dengan diversifikasi terhadap produk
ekspor dan negara tujuan ekspor.
S t r a t e g i i n i l a h y a n g a k a n
menyelamatkan suatu negara dari
fluktuasi global.
Bagaimana dengan realitasnya?
Persoalan yang dihadapi Indonesia
saat ini, menurut Chatib, adalah
diversifikasi relatif terbatas. Dalam 18
tahun terakhir ini, kondisi yang terjadi
adalah produk yang sama yang dijual ke
pasar yang sama, penemuan baru (new
discovery) kurang dari 5 persen, bahkan
kontribusi produk baru di pasar yang
baru hampir tidak ada. Kondisi ini
menurut Chatib sangat berbahaya bila
tidak ada perbaikan. Tahun 2008
memang kita beruntung, apakah tahun
2012 kita beruntung lagi? belum tentu.
Chatib Basri menasehati, 'jangan
bergantung pada keberuntungan'.
Nasehat Jack Trout, Yap Tjai Soen, dan
Muhammad Chatib Basri, memberikan
pelajaran berharga bagi pimpinan
organisasi/ lembaga pemerintahan,
termasuk Bappenas dan Kementerian
Keuangan, khususnya Badan Kebijakan
Fiskal (BKF). Bagaimana merancang
perencanaan pembangunan yang
rasional, bagaimana merumuskan
kebijakan f iskal yang real ist is,
bagaimana memanfaatkan momentum
pertumbuhan yang sudah diraih, dan
bagaimana memanfaatkan momentum
status investment grade yang diberikan
Lembaga Pemeringkat Internasional
(Moody's dan Fitch Ratings) kepada
Indonesia dalam rangka mendorong
perekonomian Indonesia lebih survive.
Ekonomi Global 2012 :Ancaman dan MomentumBanyak analist ekonomi dan bisnis
memperkirakan perekonomian dunia pada tahun 2012
akan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun 2011.
Bank Dunia (melalui Laporan Prospek Ekonomi Global
2012) sudah mengoreksi pertumbuhan ekonomi global dari
perkiraan semula 3,6 persen menjadi 2,5 persen, di mana
ancaman utamanya adalah krisis utang Eropa. Salah satu
dampaknya ke negara-negara berekembang, termasuk
Indonesia adalah menurunnya aliran modal hampir
mencapai separohnya dibandingkan dengan tahun 2011.
Bank Dunia memperkirakan ekspor global barang dan jasa
hanya mencapai sekitar 4,7 persen atau lebih rendah
dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 6,6 persen.
Dengan kata lain, ekonomi dunia tahun 2012
diperkirakan akan memanas (overheating), dorongan
permintaan meningkat sehingga akan mendorong
naiknya inflasi.
Namun, diperkirakan dampaknya terhadap Indonesia tidak begitu signifikan,
setidak-tidaknya menurut pengakuan para analist yang memiliki reputasi
internasional. Indonesia di mata lembaga pemeringkat internasional (Moody's dan
Fitch Ratings) menaikan peringkat kredit Indonesia ke level layak investasi
(investment grade) atau outlook positif dari Baa3 menjadi Ba1 (Moody's) dan BB+
35INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK EDUKASImenjadi BBB- (Fitch Ratings) yang merupakan level terbawah di investment grade
(Bagan-01). Ketika peringkat kredit di negara-negara lain, terutama di kawasan
Eropa, mengalami penurunan, Indonesia justru sebaliknya, mengalami perbaikan,
yang menunjukkan expected rate of return diperkirakan sedikit meningkat, ada
tambahan kepercecayaan dari para investor global untuk memperoleh benefit bila
berinvestasi di Indonesia.
Bagan-01 : Peringkat Kredit (Utang) Indonesia Menurut Lembaga Rating
Krisis Ekonomi1998
RekapitulasiPerbankan
Reprofiling VR & HB, Aset-Bond Swatdan Perbankan Sun Jangka Panjang
Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback)
Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback & debtswitching
Lelang penerbitan SUN secara reguler (byuback & debtswitching dan diversifikasi instrumen
14
12
10
8
6
4
2
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Moody’s Fitch Ratings
Keterangan :Hijau (Lower Medium Grade), Hijau Lumut (Non-Investment Grade), Orange (High Risk), Kuning (Possible Non-Payment), Ungu (Substantial Risk), Merah (Defaul). Di atas rating ini, masih ada tiga level tertinggi, yaitu Prime, High Grade, dan Medium Grade
Moody's
FR
1
Baa1
BBB+
2
Baa2
BBB
3
Baa3
BBB-
4
Ba
BB+
5
Ba2
BB
6
Ba3
BB-
7
B1
B
8
B2
B=
9
B3
CCC+
10
Caa1
CCC
11
Caa2
CCC-
12
Caa3
CC
13
Ca
R/C
14
C
SD/DDD
Sumber: Harian Bisnis Indonesia, 19 Januari 2011, diolah
Variabel apa yang mendongkrak perbaikan peringkat utang Indonesia meneurut
kedua lembaga rating tersebut? Jawabannya terkait dengan tiga kriteria utama yang
menjadi landasan penetapan rating, yaitu (i) stabilitas anggaran, (ii) kebijakan
moneter, dan (iii) situasi ekonomi. Menurut Moody's, metrik keuangan Indonesia
telah sejalan dengan nagara-negara yang memiliki rating utang Baa. Selain itu,
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi ( di atas 6% dalam tiga tahun terakhir,
Bagan-02) menunjukkan ekonomi Indonesia memiliki daya tahan terhadap
goncangan ekternal yang berat, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan dan
sistem yang diterapkan pemerintah mampu mengatasi kerentangan keuangan.
Bagan-03 : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2009-2012
%, y-0-y)
4.64.1
IMF, 6.4%
Proyeksi6.5
Proyeksi
IMF
6.3%
6.7
2009 (Realisasi) 2010 (Realisasi) 2011 (Target APBN-P 2011) 2012 (Target APBN 2012)
Sumber : BPS dan Kementerian Keuangan, diolah
Dari sisi manajemen fiskal, Moody's
melihat kebijakan yang diterapkan
pemerintah saat ini cukup baik,
indikatornya adalah defisit angggaran
berada pada tingkat yang sangat rendah
serta beban utang terhadap PDB (debt to
GDP) yang rendah (di bawah 30%,
Bagan-03). Sementara dari sisi moneter,
perbankan Indonesia yang cukup sehat,
menurut Moody's, bisa mengantisipasi
stress test. Faktor lain yang dinilai adalah
peningkatan investasi, pembangunan
infrastruktur, dan reformasi birokrasi.
Semua ini memunculkan keyakinan
bahwa ada trend pertumbuhan yang
berkelanjutan yang tinggi dalam jangka
menengah (survive).
Bagan-03 : Posisi Utang PemerintahIndonesia (Ekivalen Dalam Miliar US$)
dan Rasio Utang Pemerintah
IDR
USD
JPY
EUR
SDR
AUD
Mata Uang Lainnya
Total (Miliar USD)
Total (Rp Triliun)
Asumsi kurs tengah IDR/US$)
Rasio Utang Pemerintah (% to GDP)
2006
76.8
27.3
25.8
10.2
1.8
-
2.5
144.4
1,302
9.020
39,0
2010
100.4
39.6
33.0
7.2
3.3
0.3
2.7
169.2
1,677
8.991
26,0
2011(31 Okt)
111.1
41.9
33.3
7.2
3.5
0.4
2.7
200.1
1,802
8.835
24,9
Sumber : Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi November 2011DJPU, Kementerian Keuangan RI.
Kiat MemanfaatkanMomentum InvestmentGradePerbaikan peringat kredit (utang) pada
level investment grade menggambarkan
bahwa Indonesia di mata investor
merupakan negara yang punya prospek
untuk investasi (safe haven country).
Efek yang bersifat direct adalah akan
ada arus masuk modal asing (capital
inflows) ke pasar financial (capital
market dan money market) juga ke
investasi langsung di sektor riil. Sektor
financial akan lebih dahulu menerima
manfaatnya, terutama di pasar modal.
Beberapa hari setelah mengumuman
berbaikan peringkat kredit, indeks harga
saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)
pasti meningkat. Berikutnya mungkin
pada apresiasi nilai rupiah terhadap
dolar AS, dan baru selecara selektif
modal asing bisa masuk ke FDI (foreign
direct investment).
36 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK edukasiMomentum investment grade ini harus
dimanfaatkan secara optimal oleh
pemerintah dan dunia usaha. Beberapa
kiat diantaranya adalah : (i) melakukan
reprofiling utang terutama yang utang-
utang yang sudah mendekati masa
jatuh tempo (Bagan-03) mengingat
biaya utang nenurun; (ii) menerbitkan
obligasi dengan pertimbangan batasan
kemampuan financial distress, di mana
penggunaannya diarahkan untuk
pembiayaan infratsruktur. Hal ini
dimaksudkan juga untuk mengatisipasi
kesulitan pemerintah untuk mengajak
peran swasta dalam membiayai
pembangunan infrastruktur melalui
skema KPS (public-private patnership).
Walaupun demikian, pemerintah harus
tetap berhati-hati dalam berutang agar
defisit anggaran tetap di jaga pada level
yang aman/rendah. Momentum ini bisa
mendorong pemerintah untuk sedikit
lebih berani menaikan defisit anggaran,
misalnya s.d -2,5 persen dari GDP
untuk mendukung pembiayaan
pembangunan infrastruktur; (i i i)
menjaga komitmen (kontrak-kontrak)
ekspor agar dapat direalisir. Semua
komitmen perdagangan internasional
harus dikontrol, bila ada signal
pelemahan, maka harus segera
dialihkan ke pasar baru. Diversifikasi
ekspor membutuhkan inovasi dan
pengembangan inovasi membutuhkan
penelitian dan pengembangan (R&D).
Mengingat litbang kita lemah, maka
perlu insentif dari pemerintah misalnya
dalam bentuk pembebanan sekaligus
untuk perhitungan pajak dan disusutkan
untuk perhitungan akuntasi; (iv)
memperbanyak BUMN untuk go public
(IPO) sehingga investor memiliki
banyak pilihan investasi ke sektor
publik, terutama dalam mendanai
proyek-proyek infrastruktur, energi dan
perkebunan. (v) menciptakan iklim yang
kondusif untuk mencegah aliran
investasi menumpuk di sektor financial,
karena hal tersebut selain menimbulkan
risiko pelarian modal secara tiba-tiba
bila krisis Eropa mulai membaik, juga
kurang menstimulasi pengembangan
sektor rill dan penciptaan lapangan
kerja. Target penyerapan tenaga kerja
5mestinya harus jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2011. Data BKPM
menunjukkan bahwa realisasi investasi tahun 2011 mencapai Rp251,3 triliun
(meliputi Rp76 triliun PMDN dan Rp175,3 triliun PMA) atau naik 20,5 persen
dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp208,5 triliun. Jumlah tenaga kerja
yang langsung terserap diperkirakan sebanyak 404.039 orang (PMDN sebanyak 6137.217 orang dan PMA sebanyak 266.822 orang) ; (vi) pemerintah dapat juga
meningkatkan permintaan pasar domestik dengan mempertahan daya beli
masyarakat (pengendalian laju inflasi). Salah satu faktor pemincu inflasi buruknya
kondisi infrastruktur, maka pembangunan infrastruktur harus menjadi high priority
pemerintah di tahun ini dan beberapa tahun ke depan.
Kepala BKPM, Gita Wirjawan menegaskan bahwa dengan masuknya Indonesia sebagai negara yang layak investasi (investment grade), maka tidak ada alasan Indonesia untuk tidak masuk ke level singel A. Dengan reformasi yang sedang dan akan dilaksanakan, trend kedepan akan semakin positif (Kompas 20 Januari 2012).
Kompas 20 Januari 2012, Tajuk: Tren Investasi Makin Positif
5
6
Bagan-03 : Profil Jatuh Tempo Utang Negara (per 31 Oktober 2011)
Sumber : Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi November 2011, DJPU, Kementerian Keuangan RI.
38 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK inspiring dan lainnyaLembaga Asian Infrastructure Fund
(A IF ) d i ben tuk da lam rangka
meningkatkan konektivitas antar
negara anggota ASEAN. Keberadaan
AIF ditujukan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur terkait
dengan konektivitas diantara dua atau
lebih negara ASEAN. Setelah negara-
negara ASEAN satu sama lain
terkoneksi dengan baik, diharapkan
dapat terwujud apa yang disebut
pasar tunggal ASEAN. Pada tahap ini,
arus barang, jasa, tenaga kerja dan
arus modal bebas melintas diantara
negara ASEAN.
Pertanyaannya adalah adakah manfaat bagi Indonesia untuk bergabung dalam AIF?
Terkait pembentukan modal AIF, pada
tanggal 24 September 2011 telah
ditandatangani Shareholders Agreement
di Washington DC. ASEAN-5 (Indonesia,
Malaysia, Singapura, Philipina, dan
Thailand) telah berkomitmen untuk
menyertakan modal dengan besaran
yang sama (equal) yaitu minimal US$15
juta. Namun, negara-negara ASEAN-5
diminta untuk menambah (top up) dari
minimal penyertaan modal tersebut.
Sedangkan negara-negara seperti
Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,
Myanmar, dan Viet Nam akan
menyertakan modal sesuai dengan
kapasitas masing-masing. (Lihat Tabel).
Perkembangan AIF
Amounts of Core Equity Contributions
MAL
INO
PHI
SIN
THA
BRU
VIE
CAM
LAO
USD335.2M
USD150M
USD120M
USD15M
USD15M
USD15M
USD10M
USD10M
USD0.1M
USD0.1M
USD150M
USD485.2M
69.08%
30.92%
24.73%
3.09%
3.09%
3.09%
2.06%
2.06%
0.02%
0.02%
30.92%
100%
Total Equity Percentage
ASEAN
ADB
TOTAL
P e m e r i n t a h I n d o n e s i a t e l a h
berkomitmen untuk menyertakan modal
sebesar USD 120 juta. Share ini
merupakan nomor ketiga terbesar
setelah Malaysia dan ADB yang
masing-masing memberikan kontribusi
sebesar USD 150 juta. Sisanya akan
disumbang oleh negara ASEAN lainnya
(sekitar USD180 juta) dan dana hybrid
capital sebesar USD200 juta.
Untuk memenuhi kebutuhan dana awal
AIF sebesar US$800 juta tersebut telah
ditetapkan struktur pembiayaan
(financial structuring) yang disebut
dengan Three Tranches and Hybrid
Capital Scenario. Dalam skenario
tersebut, pembayaran kontribusi equity
ASEAN dan ADB dilakukan dalam tiga
tahap setoran secara tahunan. Pada
tahun ke-4, kebutuhan dana akan
diperoleh dari investasi hybrid capital
dari investor institusional dengan
jumlah maksimum 25% dari total modal
(US$200 juta).
Keuntungan skenario ini adalah (i)
rendahnya kontribusi ASEAN secara
total (US$485,2 juta), (ii) volume
pinjaman yang tinggi, dan rendahnya
kontribusi ASEAN setiap tranche
(sekitar US$150 juta). Sebaliknya,
kekurangan skenario ini adalah (i)
tingginya bunga pinjaman (LIBOR+90),
(iii) rendahnya volume pinjaman, dan
( i i i ) t i n g g i n y a k e m u n g k i n a n
penambahan modal dalam waktu dekat
(sekitar US$750-900 juta pada tahun
2017). Selain itu, struktur pembiayaan
tersebut juga perlu mempertimbangkan
adanya kebutuhan penambahan modal
(capital increase) apabila track records
AIF tidak terbangun dengan baik
sehingga AIF bonds tidak dapat terjual
untuk menambah kebutuhan dana.
Terkait dengan governance and legal
framework, beberapa ketentuan yang
akan diberlakukan antara lain (i) AIF
akan didirikan di bawah hukum
perusahaan suatu yurisdiksi yang
sesuai, (ii) AIF akan memenuhi
persyaratan reserve eligibility dan cost
efficiency, (iii) akan dibentuk AIF Board
yang terdiri dari ASEAN dan ADB
sebagai pengambil keputusan tertinggi,
dan (iv) AIF Board akan mendelegasikan
semua isu operasional dan administrasi
AIF kepada ADB, termasuk identifikasi
proyek, proses dan implementasinya
serta bertanggung jawab pada cash
management.
Terkait dengan operational structure
and process, beberapa hal penting
adalah (i) ADB akan ditugaskan sebagai
administrator untuk AIF dengan
tanggung jawab khusus, (i) AIF Board
akan menyepakati prinsip dan kriteria
seleksi proyek, ( i i i ) ADB akan
m e n y i a p k a n s u a t u p i p e l i n e
berdasarkan kriteria yang disepakati
dan akan disetujui oleh AIF Board
secara tahunan, (iv) ADB akan
m e l a k u k a n p e r s i a p a n p r o y e k
berdasaskan pipeline yang disepakati,
(v) semua ketentuan dan prosedur ADB
yang relavan berlaku pada proyek AIF,
(vi) ADB Board akan menyetujui
individual project, dan (vii) ADB akan
menyiapkan laporan mengenai
operasional, manajemen keuangan,
dan perkembangan AIF.
Apabila ADB secara institusional (di luar
kontribusinya sebesar US$150 juta)
akan berfungsi sebagai pemberi
tambahan pinjaman (co-financing)
dengan perbandingan AIF:ADB
sebesar 70:30 (blended) diperkirakan
akan terjadi penurunan tingkat suku
bunga pinjaman. Penurunan suku
bunga pinjaman tersebut bisa menjadi
masing-masing LIBOR+90. Namun
demikian, project pipeline yang
39INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
menggunakan skema co-financing (blended) ADB, pembahasannya dilakukan oleh ADB Board, tidak berbeda dengan pengajuan
individual projects pada ADB. Sedangkan project pipeline yang menggunakan skema unblended (murni AIF), pembahasannya
ditentukan oleh AIF Board sehingga prosesnya lebih sederhana.
Dalam kenyataannya, AIF diwujudkan dalam bentuk special purpose vehicle (SPV) yang akan dikelola oleh ADB. Melalui SPV
tersebut, modal yang telah terkumpul itu akan di-leverage. Selanjutnya, apabila SPV ini sudah mempunyai tagihan atas proyek-
proyek infrastruktur yang didanainya, tagihan itu dapat disekuritisasi untuk meningkatkan likuiditas yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kapasitas pinjamannya.
AIF juga akan menerbitkan obligasi guna meningkatkan likuiditas dan kapasitas pinjamannya. Dengan track record yang baik,
kondisi keuangan yang kuat serta back up dari ADB, diharapkan obligasi yang diterbitkan AIF ini mendapat peringkat AA dari
lembaga rating internasional.
Sebagai lembaga pembiayaan, AIF akan memberikan pinjaman jangka panjang bagi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di
negara-negara ASEAN. Untuk tahap awal, pinjaman AIF tersebut akan difokuskan untuk proyek-proyek infrastruktur yang
bersifat sovereign, dan selanjutnya akan diperluas kepada sektor swasta (non-sovereign projects). Return dari sovereign
projects akan dihitung berdasarkan biaya pinjaman ditambah bunga, sedangkan untuk proyek non-sovereign ditentukan
berdasarkan harga pasar.
Manfaat Bagi Indonesia
Indicative timetable implementasi AIF dimulai pada tahun 2011. Pada tahap awal, alokasi AIF terbatas bagi
sovereign projects hingga 2015. Untuk itu, ADB telah menyiapkan daftar proyek yang dianggap potensial dan
menjadi prioritas. Proyek-proyek tersebut terbagi dalam tiga kategori yaitu transportasi, energi, dan air bersih.
Jumlah proyek infrastruktur yang telah diidentifikasi oleh ADB mencapai US$1,572 dimana sepertiga diantaranya
berlokasi di Indonesia (US$575). Proyek-proyek infrastruktur yang dianggap potensial dan menjadi prioritas oleh
ADB adalah yang dapat mendukung agenda integrasi regional ASEAN, atau sejalan dengan Master Plan on
ASEAN Connectivity terutama yang terkait dengan kerjasama ekonomi sub-regional ASEAN seperti BIMP-
EAGA, IMT-GT dan Greater Mekong Subregion (GMS). Untuk Indonesia sendiri, berdasarkan identifikasi ADB
tersebut, pada tahun 2011-2013 terdapat lima proyek yaitu (i) Java-Bali Interconnection Project, (ii) Surabaya
Commuter System, (iii) Melaka-Pekanbaru Power Interconnection, (iv) Geothermal Power Development
Program, dan (v) Regional Roads Development.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya keberadaan AIF cukup bermanfaat bagi Indonesia khususnya dalam hal
membantu penyediaan infrastruktur di Indonesia. Namun demikian, kita perlu mencermati pendapat Iwan Jaya
Azis, Kepala Office of Regional Economic Integration ADB yang menyatakan bahwa pelaksanaan konektivitas
ASEAN harus ada standarisasi barang yang saling diakui agar saling menguntungkan. (Indonesia Finance
Today, 19 Juli 2011).
RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA
40 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK inspiring dan lainnya
Pusat Investasi Pemerintah (PIP) telah ditunjuk oleh Pemerintah selaku operator
investasi Pemerintah. Mengingat PIP berbadan hukum Badan Layanan Umum dan
menggunakan sebagian sumber dana investasi dari APBN, pelaksanaan investasi
pemerintah dapat merugikan keuangan negara. Pemerintah dapat
mempertimbangkan mengubah bentuk badan hukum PIP menjadi BUMN guna
mengurangi potensi risiko.
Kemungkinan bagi pemerintah untuk melakukan investasi tercantum di pasal 41
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(UU 1/2004) yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat melakukan investasi
jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat
lainnya. Yang dimaksud dengan “manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat
lainnya” menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Investasi Pemerintah (PP 1/2008) adalah:
1. Keuntungan berupa deviden, bunga, dan pertumbuhan nilai perusahaan yang
mendapatkan Investasi Pemerintah sejumlah tertentu dalam jangka waktu
tertentu;
2. Peningkatan berupa jasa dan keuntungan bagi hasil investasi sejumlah
tertentu dalam jangka waktu tertentu;
3. Peningkatan pemasukan pajak bagi negara sejumlah tertentu dalam jangka
waktu tertentu sebagai akibat langsung dari investasi bersangkutan; dan/atau
4. Peningkatan penyerapan tenaga kerja sejumlah tertentu dalam jangka waktu
tertentu sebagai akibat langsung dari investasi bersangkutan.
MENYOROTIBENTUK BADAN HUKUM PIP
Oleh : M. Zainul Abidin
U n t u k m e n j a l a n k a n k e g i a t a n
operasional dalam mengelola investasi,
Pemerintah telah mendirikan Pusat
Investasi Pemerintah (PIP) dengan
menggunakan bentuk badan hukum
Badan Layanan Umum (BLU). Menurut
Pasal 1 UU 1/2004, BLU merupakan
instansi di lingkungan pemerintah pusat
dan/atau daerah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan
dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Penjelasan Umum PP 23/2005 tentang
Pengelo laan Keuangan Badan
Layanan Umum menyebutkan bahwa
BLU merupakan sa tuan ker ja
pemerintah dan mengelola dana yang
Pembentukan OperatorInvestasi Pemerintah
41INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYAmerupakan kekayaan negara/daerah
yang tidak dipisahkan sehingga BLU
tunduk pada ketentuan pengelolaan
keuangan negara. Dengan demikian,
rencana kerja dan anggaran PIP
terintegrasi dalam rencana kerja dan
anggaran Kementerian Keuangan
sebagai instansi induknya. Di samping
itu, pola pengelolaan keuangan PIP
tetap mengikuti asas-asas umum dalam
pengelolaan keuangan negara, seperti
asas kesatuan, asas tahunan, dan asas
spesialitas, selain asas universalitas.
Adapun pengecualian asas universalitas
yaitu pelaporan keuangan PIP
dilampirkan dalam laporan kementerian,
tetapi tidak ditampilkan untuk setiap
transaksi keuangan dalam dokumen
anggaran di samping pendapatan yang
diperolehnya dapat langsung digunakan
untuk belanja.
Pasal 3 PP 23/2005 menegaskan bahwa
BLU merupakan bagian perangkat
pencapaian tujuan kementerian negara
dan karenanya status hukum BLU tidak
terpisahkan dari kementerian negara
sebagai instansi induk. PIP yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat
Investasi Pemerintah (PMK 52/2007)
mempunyai visi yang tercantum di
dalam PMK 12/2008 tentang Sistem
Akuntansi Pusat Investasi Pemerintah.
PMK 12/2008 menyebutkan bahwa PIP
didir ikan dengan visi ”Menjadi
o p e r a t o r / p e l a k s a n a i n v e s t a s i
pemerintah yang profesional dalam
rangka pelaksanaan kebijakan fiskal
Pemerintah.” Dicantumkannya visi PIP
di dalam PMK tersebut menegaskan
bahwa PIP merupakan unit organisasi
yang merupakan bagian pencapaian
tujuan Kementer ian Keuangan.
Selanjutnya, PIP juga meneguhkan
visinya untuk “Menjadi lembaga
investasi pemerintah kelas dunia yang
mengedepankan kepentingan nasional.”
Jika melihat kegiatan usaha, maka PIP
beroperasi layaknya suatu perusahaan
yang mencari laba. Hal itu tertuang di
dalam pernyataan misi PIP yang ingin
mendapatkan imbal hasil optimal pada
investasi di berbagai sektor strategis.
Sektor strategis tersebut meliputi:
bidang infrastruktur, teknologi ramah
lingkungan dan bidang-bidang lainnya
yang memberikan manfaat ekonomi,
sosial dan/atau manfaat lainnya. PMK
12/2008 juga menyebutkan bahwa PIP
menjalankan misi pemerintah dalam
fungsinya untuk meningkatkan ekonomi
kerakyatan.
Pasal 11 ayat (4) PP 1/2008
menyatakan bahwa PIP memiliki
kewenangan dan tanggung jawab yang
didelegasikan dari Menteri Keuangan
untuk melakukan Perjanjian Investasi
dengan Badan Usaha terkait, mewakili
dan melaksanakan kewajiban serta
menerima hak pemerintah yang diatur
dalam perjanjian investasi; menyusun
dan menandatangani perjanjian
investasi; mengusulkan perubahan
perjanjian investasi; melakukan
tindakan untuk dan atas nama
pemerintah apabila terjadi sengketa
atau perselisihan dalam pelaksanaan
perjanjian investasi. Aktivitas bisnis
t e r s e b u t m e n u n j u k k a n P I P
menjalankan kedudukan pemerintah
sebagai wakil negara untuk melakukan
kegiatan operasional pengelolaan
investasi pemerintah yang berada di
ranah hukum keperdataan.
Risiko Pemerintah
Keterl ibatan pemerintah secara
langsung dalam pelayanan umum
sebagai penyedia barang dan jasa
dengan instrumen keperdataan
dipandang akan lebih efektif, tetapi hal
ini juga mengandung risiko hukum,
ekonomi dan politik. Mengingat dana
yang dikelola berasal dari APBN, setiap
potensi kerugian negara yang dihadapi
PIP akan menjadi sorotan publik
sebagaimana kebijakan penyertaan
investasi pemerintah pada PT Newmont
Nusa Tenggara atau penjaminan pada
eks Bank Century.
Potensi risiko fiskal dapat muncul ketika
PIP menjalankan aktivitas bisnis dalam
lapangan keperdataan dan tunduk pada
peraturan hukum perdata. Pada saat
menjalankan aktivitas bisnis tersebut,
kedudukan PIP sepert i halnya
seseorang atau badan hukum perdata
pada umumnya, diatur dan tunduk pada
k e t e n t u a n - k e t e n t u a n h u k u m
keperdataan serta dapat melakukan
tindakan hukum keperdataan. Jika
terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan PIP, maka pemerintah turut
bertanggungjawab.
J e n i s t r a n s a k s i y a n g d a p a t
menimbulkan risiko diantaranya berasal
dari aktivitas investasi pada surat
berharga, penyertaan modal dan
pemberian pinjaman. Risiko tersebut
dapat berupa penurunan nilai surat
berharga, timbulnya kerugian suatu
proyek yang berasal dari penyertaan
modal atau tindakan wanprestasi pihak
debitor. Mengingat PIP menggunakan
badan hukum BLU, maka munculnya
risiko kerugian investasi tersebut dapat
merugikan keuangan negara karena
negara kehilangan kesempatan untuk
menerima kembali pengeluaran yang
telah disalurkan melalui dana investasi.
42 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK inspiring dan lainnya
Guna mengurangi terjadinya risiko, PIP
melakukan perhitungan risiko secara
terukur dalam setiap keputusan
investasi. Selain itu, pemerintah dapat
mempertimbangkan untuk memisahkan
modal PIP. Pemisahan tersebut akan
membatasi lingkup tanggung jawab
pemerintah sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya risiko yang
akan membebani keuangan negara.
Pertimbangan mengenai modal PIP
yang sebaiknya dipisahkan dari
kekayaan negara itu didasarkan pada
kedudukannya sebagai badan hukum.
Sebagai sebuah badan hukum, PIP
dapat menjadi suatu badan usaha
mandiri, memiliki kekayaan sendiri
terlepas dari kekayaan negara,
sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya kerugian yang berimbas
kepada APBN.
Menjadikan PIP sebagai badan hukum
yang mandiri dapat meningkatkan kinerja
PIP sekal igus menguntungkan
pemerintah. Pemisahan tersebut akan
menghilangkan dilema sebagai akibat
ke ing inan untuk mendapatkan
keuntungan ekonomis yang optimal dalam
pengelolaan dana investasi disandingkan
dengan tugas pemerintah sebagai
penyelenggara kesejahteraan/pelayanan
umum yang cenderung bersifat nirlaba.
Pembentukan suatu badan hukum yang
baru tersebut kiranya memungkinkan PIP
untuk memupuk laba, di samping
kepentingan Pemerintah masih dapat
diakomodasi. Selain itu, pemisahan
tersebut dapat mengurangi potensi beban
keuangan negara.
Alternatif pemisahan badan hukum
yang terpisah dari Pemerintah dengan
mengubah bentuk badan hukum PIP
dari BLU menjadi Perusahaan Umum
(Perum). Berdasarkan pasal 1 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara (UU
19/2003), Perum adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki negara dan
tidak terbagi atas saham, yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau
Alternatif Pembatasan Risiko Tindakan hukum keperdataan yang
dilakukan suatu Perum tidak serta
merta membebani Pemerintah. Pasal
39 UU 19/2003 menyatakan bahwa
Menteri tidak bertanggung jawab atas
segala akibat perbuatan hukum yang
dibuat Perum dan tidak bertanggung
jawab atas kerugian Perum melebihi
nilai kekayaan negara yang telah
d i p i sahkan ke da lam Pe rum.
Pemerintah hanya bertanggungjawab
sebesar ni lai penyertaan yang
disetorkan ke dalam modal Perum dan
tidak meliputi harta kekayaan negara di
luar modal tersebut.
Selaku pemilik modal, Pemerintah
dilibatkan dalam menentukan kebijakan
pengembangan usaha suatu Perum.
Pasal 38 ayat (1) UU 19/2003
menyatakan bahwa menteri berwenang
member i kan perse tu juan a tas
kebijakan pengembangan usaha
Perum yang diusulkan oleh Direksi.
Kebijakan pengembangan tersebut
m e l i p u t i k e b i j a k a n i n v e s t a s i ,
p e m b i a y a a n u s a h a , s u m b e r
pembiayaannya, penggunaan hasil
usaha perusahaan, dan kebijakan
pengembangan lainnya. Dengan
demikian, Pemerintah masih dapat
menjaga kepentingannya untuk
mendapatkan imbal hasil yang optimal
dari penyertaan modalnya.
Pasal 49 UU 19/2003 menyebutkan
b a h w a m e n t e r i m e n g e s a h k a n
rancangan rencana jangka panjang
yang merupakan rencana strategis
yang memuat sasaran dan tujuan
Perum yang hendak dicapai dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun. Penjelasan
pasal 49 tersebut menerangkan bahwa
rancangan rencana kerja dan anggaran
perusahaan memuat antara lain: Misi,
sasaran usaha, strategi usaha,
kebijakan perusahaan, dan program
kerja/kegiatan; anggaran perusahaan
yang dirinci atas setiap anggaran
program kerja/kegiatan; serta proyeksi
keuangan. Selanjutnya pasal 50 UU
19/2003 menyebutkan rencana kerja
dan anggaran yang merupakan
penjabaran tahunan dari rencana
jangka panjang Perum memerlukan
pengesahan Men te r i . Ha l i n i
menunjukkan bahwa Pemerintah dapat
menentukan strategi bisnis suatu Perum,
baik dalam jangka panjang maupun
pendek. Dengan kata lain, kepentingan
Pemerintah dapat diakomodasi di dalam
rencana bisnis Perum.
Mengingat modal yang berasal dari
APBN, PIP diharapkan mengelolanya
d e n g a n m e m p e r h a t i k a n s i s i
l a b a / k e u n t u n g a n s e k a l i g u s
kepentingan pemerintah agar modal
yang ditanamkan dapat menciptakan
manfaat ekonomi, sosial, dan/atau
manfaat lainnya. Sebagai badan hukum
yang nantinya berbentuk Perum, PIP
yang tujuan pendiriannya adalah untuk
menyediakan public goods yang
bermutu tinggi, masih dimungkinkan
u n t u k m e n g e j a r k e u n t u n g a n
berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan. Dua hal ini dalam
operasional PIP sebagai pengelola
investasi pemerintah tidak bisa
dipisahkan. Hal ini terkait dengan fungsi
sosial pengelolaan dana pemerintah
(modal dari APBN) yang harus lebih
diutamakan disamping upaya untuk
mengejar keuntungan dalam mengelola
dana investasi.
Sebagai badan hukum mandiri, terpisah
dari pengelolaan keuangan negara, PIP
dapat diharapkan akan lebih fokus
dalam menjalankan kegiatannya. Dari
sisi pemerintah, pemilihan bentuk usaha
berbentuk Perum tetap dapat menjaga
kepentingan pemerintah karena
menjadi satu-satunya pemegang
saham PIP. Dengan demikian,
pembentukan (Perum) PIP dapat lebih
bermanfaat bagi proses pembangunan
serta perekonomian nasional.
43INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA
Kemacetan di Jakarta telah mencapai
titik kritis. Jumlah kendaraan yang
dimiliki warga Jakarta mencapai 13,123
juta unit. Terbesar kendaraan roda dua,
10,367 juta atau 79 persen dari total
kendaraan. Sisanya, 2,756 juta atau 21
persennya merupakan kendaraan roda
empat atau lebih (Sumber : Direktur
Lalu Lintas Polda Metro Jaya). Dengan
mengasumsikan 50 persen dari total
tersebut beredar setiap hari maka
Jakarta dipadati oleh lebih dari 5,150
juta kendaraan bermotor roda dua dan
1,35 juta roda empat. Data ini
memastikan Jakarta menuju titik kritis.
Ada beberapa indikator lain yang perlu
diwaspadai dan member kontribusi
kemace tan Jaka r ta . Pe r tama,
pertambahan kendaraan roda dua lebih
dari 1000 motor setiap hari. Mobil
mencapai 200 unit per hari. Tahun 2012
akan ada kenaikan lebih dari 300 ribu
kendaraan roda dua dan sekitar 60
r ibuan roda empat (sumber :
http://metro.vivanews.com). Jadi tahun
depan Jakarta menjadi ikon kota motor.
Indikator kedua, pada saat yang sama,
volume jalan di Ibukota hanya
bertambah 2,8 persen atau menjadi 10
persen terhadap total luas wilayah kota
Jakarta itupun jika pembangunan 6 ruas
Langkah Ekstrim MengatasiKemacetan di JakartaOleh : Adrianus Dwi Siswanto
jalan tol dalam kota terealisir dalam
periode 2011 – 2030. Jika tidak maka
volume jalan masih berada di level 7,2
persen dari luas Jakarta. Saat ini
Kementerian Pekerjaan Umum dengan
Badan Pengatur Jalan Tol tengah
mempersiapkan mega proyek lebih dari
Rp 40 triliun setelah Perda Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2011
– 2030 disahkan.
Ketiga, Pemda DKI Jakarta dan
Kementerian Perhubungan masih
be rdeba t soa l pe r lu t i daknya
mengurang i jumlah peredaran
kendaraan, khususnya kendaraan
container dan truk di jam-jam sibuk.
Kedua institusi tersebut memiliki
pedoman sendiri atas kebijakan yang
mereka ambil. Konkretnya usulan untuk
mengurangi jumlah kendaraan truk
maupun trailer pada jam-jam sibuk oleh
Pemda DKI ditentang oleh Kementerian
Perhubungan.
Dari ketiga persoalan tersebut, ujung-
ujungnya adalah Jakarta semakin
macet. Biaya kemacetan pun bahkan
telah dihitung Dinas Perhubungan DKI
mencapai Rp. 46 triliun per tahun.
Angka tersebut berasal dari kerugian
atas pemborosan penggunaan bahan
bakar minyak (BBM), operasional
kendaraan dan nilai waktu. Kerugian
akan terus bergerak naik manakala
kemacetan terus bergerak naik.
Akar MasalahRegulasi gagal mendorong masyarakat
untuk menggunakan transportasi
publik. Atau dengan kata lain,
transportasi publik di Jakarta memang
bukan disediakan sebagai substitusi
bagi motor dan mobil. Transportasi
publik di Jakarta hanya menjadi moda
transportasi komplementer. Pada
tataran seperti ini dapat dimengerti jika
Pemda, Kementerian Pekerjaan Umum
dan Kementer ian Perhubungan
memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Masing-masing telah bekerja dengan
visi yang sama, yaitu menempatkan
transportasi publik sebagai barang
komplementer. Karena itu instansi-
instansi tersebut disibukkan dengan
pelaksanaan proyek sesuai dengan
kapasitasnya.
Persoalan fundamental la innya
bersumber dari absennya regulasi yang
bertujuan pengurangan penggunaan
kendaraan bermotor. Idea lnya
kendaraan yang beredar di jalan-jalan
didominasi oleh moda transportasi
publik bukan pribadi. Saat ini setiap hari
44 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK inspiring dan lainnyasekitar 7 juta lebih mobil dan motor
memenuhi jalan-jalan di Jakarta. Dan itu
kendaraan pribadi bukan publik. Kondisi
ini jelas didukung oleh kebijakan
regulasi yang lunak. Bahkan mungkin
tidak ada regulasi yang didesign untuk
mencegah orang untuk berpikir ulang
jika memakai kendaraan pribadi.
Semua orang dibebaskan tanpa ada
barrier untuk terus menggunakan
kendaraan bermotor. Masyarakat tidak
lagi berpikir ulang manakala mesti
menggunakan kendaraan pribadi. Bagi
mereka opportunity cost atas pilihan
tersebut rendah. Regulasi mestinya
tertuju pada bagaimana mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi.
Persoalan lain adalah regulasi juga
tidak didesain untuk mengurangi
p e r g e r a k a n . S e t i a p a n g g o t a
masyarakat yang perlu melakukan
aktivitas tidak dapat mencegah dirinya
untuk menciptakan pergerakan baru.
Sehingga kemacetan semakin terpola,
tidak saja pada jam pagi saat orang
berangkat kerja ataupun saat pulang
kantor. Saat ini pada jam siang hari, saat
orang istirahat atau makan siang
kemacetan mudah ditemukan di jalan-
jalan protokol.
Semua kemudahan d isediakan
pemerintah buat masyarakat pengguna
kendaraan pribadi. Dari tarif tol murah,
parkir murah dan mudah, BBM
bersubsidi, dan regulasi lain. Itu semau
nyata-nyata membuat setiap orang
yang berkendaraan pribadi merasa
sangat nyaman. Mau pakai transportasi
publik? Itu bukan pilihan cerdas. Karena
transportasi publik sendiri hanya
komplementer.
Tahukah anda, j i ka k i ta na ik
Transjakarta dari halte Terminal
Kampung Melayu menuju Ancol, perlu
berdesak-desakan bersama-sama 265
orang penumpang untuk berebut naik 4
armada bus yang tersedia dalam jeda
waktu 8 menit (Rini Sulianti, 2011).
Bukankah lebih nyaman berada di
kendaraan pribadi sekalipun harus
mengalami kemacetan. Ketersediaan
bus yang cukup dalam jam sibuk
ternyata bukan prioritas Pemda. Pemda
lebih tertarik untuk menginvestasikan
APBD dengan membangun separator
jalur yang menghabiskan dana lebih
dari Rp. 160 miliar di tahun anggaran
2012.
Karena itu mengatasi kemacetan di
Jakarta tidak lain kurangi penggunaan
kendaraan pribadi dan kurangi
pergerakan manusianya. Tanpa fokus
pada dua akar masalah tersebut, sulit
menjamin kemacetan akan teratasi
dalam waktu dekat.
Mencari Solusi Tercepat
Hubungan antar sistem transportasi
sebagai suatu kesatuan pada dasarnya
akan tertuju pada sistem pergerakan.
Sistem kegiatan, sistem kelembagaan
maupun sistem jaringan akan berakhir
pada pertanyaan sistem pergerakan
seperti apa yang dapat mensupport
keseluruhan sistem tersebut. Karena
sistem pergerakan mengandung unsur
moda transportasi apa yang dipilih.
Dalam konteks ini lah regulasi
memegang peran strategis dan
menentukan. Regulasi akan mendesain
jenis moda transportasi yang cocok bagi
masyarakat Jakarta. Bukan masyarakat
yang mengontrol moda transportasi
yang akan mereka gunakan. Yang
terjadi selama ini adalah masyarakat
lebih dominan menentukan jenis moda
transportasi pilihan mereka.
Sebagaimana telah diutarakan, moda
t ranspor tas i pub l i k seba iknya
ditempatkan bukan sebagai barang
komplementer. Transportasi publik
hendaknya diposisikan sebagai barang
substitusi. Posisi baru ini akan
mendorong setiap regulasi yang
dikeluarkan terkait dengan kepentingan
t ranspor tas i , ba ik menyangkut
prasarana maupun sarana di sektor
transportasi, tidak akan mengorbankan
posisi transportasi publik sebagai
barang substitusi.
Pilihan atas moda transportasi ini
menjadi penting mengingat masyarakat
harus “dipaksa” untuk beralih dari
transportasi pribadi. Di beberapa
negara maju maupun di kawasan
ASEAN, kereta api dan bus gandeng,
men jad i p i l i han u tama warga
masyarakatnya. Bukan kendaraan
pribadi ataupun membangun jalan tol
dalam kota. Investasi di sektor
transportasi harus ditujukan pada
meningkatkan penggunaan moda
transportasi publik yang bersifat massal.
Kota-kota di negara padat penduduk
tidak memilih untuk membangun tol
dalam kota sebagai pilihan utama. Hal
i n i memper t imbangkan f ak to r
keterbatasan lahan yang pada akhirnya
mereka hadapi seberapapun banyak
jalur tol dalam kota yang hendak
mereka lakukan. Oleh karena itu fokus
perhatian para pengambil kebijakan
45INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK INSPIRING DAN LAINNYA
lebih pada pilihan moda transportasi
massal apa yang perlu disediakan.
M e m b a n d i n g k a n k e p u t u s a n
Kementerian PU untuk membangun
jalan tol dalam kota dengan biaya
investasi lebih dari Rp 40 triliun hanya
merupakan suatu i roni . Sebab
membangun jalan tol dalam kota hanya
untuk menunda kemacetan saat ini
bukan mengakhiri problem kemacetan.
Gambar 1, berikut ini menjelaskan
hubungan yang perlu dibangun dalam
konteks transportasi perkotaan. Sub
Sistem Pergerakan menjadi isu sentral
dalam keseluruhan sub sistem yang
ada di dalam sistem transportasi.
Sub SistemKegiatan
Sub SistemKelembagaan
Sub SistemJaringan
Sistem Pergerakan
Gambar 1. Hubungan Antar Sistem Dalam Transportasi
Jika kebijakan anggaran (policy budget),
Kementeriann PU, Kementerian
Perhubungan dan Pemda, lebih fokus
pada pembangun sub sistem jaringan,
seperti membangun jalan tol, perbaikan
separator dan lain sebagainya,
Sumber : Bayu Arie Wibawa;
kebijakan tersebut harus dikoreksi total.
Ka rena l angkah awa l ada lah
menyediakan moda transportasi
masssal dalam jumlah yang cukup.
Bukan mengutamakan pembangunan
infrastruktur. Problem kemacetan
Jakarta sudah parah sehingga
kebijakan investasi di infrastruktur
belum mencabut akar masalah. Solusi
tercepat atas persoalan kemacetan
Jakarta dengan mengacu pada sub
sistem yang ada, adalah dengan
pendekatan memastikan bahwa
masyarakat dalam waktu tidak terlalu
lama dapat beralih ke penggunaan
transportasi massal bukan lagi
transportasi pribadi.
Langkah berikutnya adalah semakin
member luas cakupan ja r ingan
transportasi massal tersebut. Gambar 2
berikut ini menunjukan bahwa idealnya
sub sistem jaringan terus diperluas agar
daerah blank spot semakin sempit. Ini
maknanya hampir seluruh wilayah
dilayani oleh transportasi publik massal
tersebut.
Dalam konsep tersebut maka keputusan
investasi lagi-lagi harus memperhatikan
apakah alokasi anggaran digunakan
untuk memperluas wilayah layanan
transportasi publik tersebut. Apakah
pembangunan jalan tol dalam kota bisa
menjamin transportasi publik menjadi
semakin merata dan mempersempit
blank spot wilayah yang belum terlayani.
Dengan melihat sebaran layanan trayek
Transjakarta, maka terlihat bahwa
masih banyak blank spot sebagaimana
Gambar 3 di bawah ini. Baru wilayah
Jakarta Pusat yang relatif terlayani
secara lebih merata. Sedangkan
wilayah lain, masih banyak areal yang
perlu ditambah jalur trayek Transjakarta.
Terutama untuk wilayah Jakarta Selatan
dan Jakarta Timur yang merupakan
wilayah pemukiman favorit.
Gambar 2. Pola Jaringan Angkutan Umum Perkotaan
Sumber :Dikutip dari Makalah Focus Group Discussion, 2011 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
46 INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
RUBRIK inspiring dan lainnya
Disamping solusi cepat dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, maka juga perlu
dipikirkan solusi berjangka panjang. Karena kota didesain untuk jangka waktu yang
tidak terbatas. Oleh karena itu warga masyarakat penghuninya perlu digerakan
untuk mendekatkan lokasi pemukimannya dengan tempat aktivitas setiap harinya.
Semakin dekat tempat tinggal dengan tempat beraktivitas maka akan terjadi
pengurangan gerakan manusia.
Gambar 3. Sistem Transportasi Massal di Kota Jakarta Berbasis Busway
Sumber : Presentasi Prof. Ofyar S. Tamin, FGD 2011.
Gambar 4. Strategi Pengurangan Gerakan Berbasis Tata Ruang
Sumber : Presentasi Prof. Ofyar S. Tamin, FGD 2011.
Pendekatan berbas is ruangan
diarahkan agar terjadi pengurangan
gerakan oleh individu masyarakat.
Selama ini tata ruang wilayah lebih
difokuskan pada penggunaan ruang
wilayah untuk kepentingan bisnis dan
usaha.Bukan dalam rangka mendorong
terbentuknya wilayah pemukiman yang
dekat dengan tempat aktivitas. Sehingga
selama ini baru pendekatan dari aspek
aktivitas apa yang diijinkan pada suatu
wilayah tertentu. Belum mendorong
bergeraknya pemukiman ke wilayah-
wilayah yang dekat dengan aktivitas.
D a l a m P e r d a R T R W h a r u s
memperhatikan apakah kebutuhan
warga telah terpenuhi. Idealnya setiap
warga yang menjalankan aktivitas
hariannya di data untuk dipastikan
keberadaannya tidak mengakibatkan
pergerakan yang begitu luas. Sebaiknya
setiap warga melakukan aktivitas
hariannya tidak jauh dari tempatnya
bermukim. Dengan demikian kebutuhan
akan moda transportasi menjadi relatif
rendah. Smoga.
47INFO RISIKO FISKAL Edisi 4 Tahun 2011
KILAS PERISTIWA
Penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Fasilitasi Penyiapan Proyek KPS8 November 2011
Kunjungan ke salah satu debitur PT Permodalan Nasional Madanike UKM pembuatan tahu di Yogyakarta
Top Related