Krisis Pangan - DJPPR Kemenkeu

52
EDISI II TAHUN 2013 JUNI 2013 Krisis Pangan Waspada Mengurai Kelayakan Kredit Petani z Indonesia Upaya Optimalisasi Penyerapan z Kredit Sektor Pertanian Pengelolaan Air Minum di Indonesia: z Serahkan pada Ahlinya Pembentukan Unit Pengelola KPS z di Kementerian Keuangan ISI_IRF_REV_4.indd 1 8/22/2013 7:45:26 PM

Transcript of Krisis Pangan - DJPPR Kemenkeu

EDISI II Tahun 2013 JunI 2013

Krisis PanganWaspada

Mengurai Kelayakan Kredit Petani zIndonesia

Upaya Optimalisasi Penyerapan zKredit Sektor Pertanian

Pengelolaan Air Minum di Indonesia: zSerahkan pada Ahlinya

Pembentukan Unit Pengelola KPS zdi Kementerian Keuangan

ISI_IRF_REV_4.indd 1 8/22/2013 7:45:26 PM

2 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

U T A M A :z Pangan, Energi, dan Keberlangsungan Hidup Negara ............................................................................................... 4-11 Syahrir Ikaz Mengurai Kelayakan Kredit Petani Indonesia .......................................................................................................... 12-16 Mohamad Nasirz Upaya Optimalisasi Penyerapan Kredit Sektor Pertanian ....................................................................................... 17-22 Abdul Azizz Pembangunan Infrastruktur Transportasi untuk Mendukung Ketahanan Pangan ............................................. 23-25 Eko Nur Surahmanz Menakar Daya Proteksi Pasar Produk Pertanian Indonesia .................................................................................... 26-30 Adrianus Dwi Siswanto

O P I N I :z Pengelolaan Air Minum di Indonesia: Serahkan pada Ahlinya .............................................................................. 31-34 SofiaArieDamayantydanHadiSetiawanz Penimbunan Penyebab Krisis Pangan? .................................................................................................................... 35-40 Akhmad Yasin

E D U K A S I F I S K A Lz Subsidi: Esensi, Efek, dan Solusi ................................................................................................................................ 41-46 Syahrir Ika

I H A V E A D R E A Mz Pembentukan Unit Pengelola KPS di Kementerian Keuangan ................................................................................ 47-50 Novijan Janis

R E S E N S Iz Risiko Fiskal Daerah, Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan ............................................. 51 Hadi Setiawan

Daftar Isiwww.public-domain-image.com

ISI_IRF_REV_4.indd 2 8/22/2013 7:45:28 PM

3INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Penanggung jawab:Freddy R. SaragihSri Bagus Guritno

Dewan ReDaksi:Abdul AzizHadi SetiawanRahmat Mulyono

Penyunting:Syahrir IkaHidayat Amir

Desain gRafis Dan Layout:Imam Prasetyo

sekRetaRiat:Indra SetiawanSigit PurnomoMoh. Kharis Syukron

PeneRbit:Pusat Pengolahan Risiko Fiskal

aLamat:Gedung R.M. Notohamiprodjo Lantai 4, Jalan Dr. Wahidin No.1 Jakarta 10710. Telp: (021) 3846725 Fax: (021) 3452571Email: [email protected]

Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.

EDISI II TAHUN 2013 JUNI 2013

Krisis PanganWaspada

Mengurai Kelayakan Kredit Petani Indonesia

Upaya Optimalisasi Penyerapan Kredit Sektor Pertanian

Pengelolaan Air Minum di Indonesia: Serahkan pada Ahlinya

Pembentukan Unit Pengelola KPS di Kementerian Keuangan

EditorialWASPADA KRISIS PANGAN

“Bonus sumber daya alam” merupakan kata yang pantas menjadi julukan Indo-nesia, setidak-tidaknya dalam hal pertanian dan pangan. Negeri ini memiliki darat-an yang cukup luas (1.919.443 km2), begitu juga lautan (3.257.357 km2). Negeri ini juga dikaruniai iklim tropis karena dilalui garis khatulistiwa sehingga memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Matahari menyinari selama 12 jam sehari yang memungkinkanfloradanfaunadapattumbuhdenganbaik.Suhuberkisarantara26,3 sampai 32 derajat Celcius, dalam rentang suhu seperti ini memungkinkan padi, kopi, jagung, tebu, kelapa, coklat, karet, dan kina dapat tumbuh dengan baik.

Beberapa wilayah memiliki curah hujan yang rendah, sangat cocok untuk pe-ngembangan usaha ternak (sapi, kambing, domba, ayam, dll). Iklim tropis membu-at tanah menjadi subur sehingga dapat dimanfaatkan untuk menanam hehijauan dan umbi-umbian yang diperlukan untuk bahan pakan ternak. Iklim tropis juga sangat cocok untuk budidaya hortikultura atau tanaman kebun, yang mencakup tanaman buah (frutikultura), bunga (florikultura), sayuran (olerikultura) dan obat-obatan (biofarmaka).

Dengan potensi pangan yang dihadiahi Tuhan ini, mestinya Indonesia mengalami surplus pangan dan bahkan bisa memberi makan dunia (feed the world). Swasemba-da pangan, setidaknya untuk komoditas pangan tertentu, bukan lagi mimpi, semes-tinya nyata adanya. Namun, faktanya Indonesia mengalami kekurangan pangan, bahkan tingkat kekurangan pangan sudah mengarah kepada apa yang disebut “kri-sis pangan”; suatu kondisi dimana stok pangan makin berkurang dan harga pangan kianmahal.DefisitpanganIndonesiaternyataterusmeningkatdaritahunketa-hun.KementerianPerindustrianmelaporkanbahwapadatahun2011defisitpanganmencapai sekitar Rp81 triliundan meningkat pada tahun 2012 menjadi sekitar Rp125 triliun. Inilah ironi di negeri ini, menderita di lumbung pangannya sendiri.

Pada tahun 2012, Indonesia mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, Pakistan, dan China sebanyak 1,8 juta ton (US$945,6 juta). Indonesia juga mengimpor jagung dari India, Argentina, Brasil, dan AS sekitar 1,7 juta ton (US$501,9 juta). Indonesia mengimpor gula pasir dari Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Australia dan Selan-dia Baru sebanyak 91,1 ribu ton (US$62 juta). Indonesia juga mengimpor daging sapi dari Australia, Selandia Baru dan AS sebanyak 40.338 ton (US$156 juta), serta meng-impor daging ayam dari Australia, Selandia Baru, China dan Jerman sebanyak 2,2 juta ton (US$108 juta). Dari komoditas hortikultura, Indonesia mengimpor singkong dari Thailand, China, dan Vietnam sebanyak 13,3 ribu ton (US$3,4 juta). Mengimpor kentang dari Australia, AS, Kanada, dan Saudi Arabia 54,1 ribu ton (US$36,4 juta).

Lalu, sebenarnya apa yang salah? Indonesia telah memiliki undang-undang tentang Pangan, yaitu UU No. 7/1996 yang sudah direvisi dengan UU No.18/2012. UU Pangan ini mengarahkan Indonesia untuk mengurangi impor pangan atau meningkatkan kemandirian pangan, tetapi faktanya hingga saat ini misi itu sulit terwujud. Indonesia memiliki UU Agraria 1960, namun kedaulatan petani untuk mengelola lahan pertani-ansemakinlemah(rata-ratakurangdari0,3ha/petani)danseringterjadikonflikag-raria (termasuk kasus-kasus terkait konversi lahan sawah atau alih fungsi lahan) yang tidak bisa diselesaikan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional). Pemerintah memiliki banyak BUMN pertanian dan pangan, sebagian besar adalah PTPN dan juga Bulog. Tetapi stok pangan masih tetap langka dan harga pangan makin mahal. Pemerintah juga telah memberi izin banyak perusahaan agribisnis swasta untuk masuk ke bisnis pangan. Pertanyaannya apakah perusahaan-perusahaan ini bersinergi dengan peta-ni dan membantu pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan?

Mungkin kita perlu belajar dari negara lain yang mampu berubah, dari “tidak mungkin menjadi mungkin”. India misalnya, negeri ini adalah importir besar gula dan beras, tetapi sekarang India berubah menjadi eksportir beras terbesar di du-nia (mengalahkan Thailand) dan eksportir gula nomor tiga terbesar di dunia. Ke-suksesan India dalam bidang pangan disebabkan karena pemerintahnya memiliki rencana yang matang dan langkah konsisten untuk meningkatkan produksi melalui insentif harga untuk petani. Dengan perencanaan yang tepat, berjangka panjang, dan serta dilaksanakan secara konsisten.

Agar bisa keluar dari problema pangan ini, ada banyak agenda yang perlu dila-kukan. (i) Pemerintah bisa menetapkan satu atau dua propinsi tertentu yang sebagai sentra produksi pangan tertentu. NTT dan NTB misalnya, bisa dijadikan daerah sentra peternakan sapi potong yang dapat mensuplai daging sapi secara nasional. (ii) Peme-rintah perlu merevisi kebijakan subsidi pangan agar benar-benar efektif. (iii) Semua BUMN pangan perlu dievaluasi perannya, apakah telah menjalankan perannya de-ngan benar dan produktif. (iv) Pemerintah harus berani memberantas praktek kar-tel pangan. (v) Persoalan lahan pertanian harus menjadi prioritas untuk diselesaikan, agar setiap petani memiliki luas lahan garapan yang ekonomis. Penggunaan lahan (ter-utamaolehkorporasipangan)yangbiasdariperuntukannyaagardiberisanksifiskal(dikenakan pajak tinggi). (vi) Pemerintah perlu memiliki blue print yang jelas mengenai strategi pengurangan impor pangan dan secara konsisten mengupayakan tercapainya swasembada pangan. Bila pemerintah bisa melakukan semua hal diatas, maka kita akan terhindar dari ancaman krisis pangan yang membahayakan. n Syahrir Ika.

www.public-domain-image.com

ISI_IRF_REV_4.indd 3 8/22/2013 7:45:30 PM

4 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Pangan, Energi, dan Keberlangsungan Hidup Negara

Oleh: Syahrir Ika

Peneliti Utama PPRF, BKF, Kementerian

Keuangan.

email: [email protected]

Pendahuluan

Pangan dan energi tidak saja menen-tukan keberlangsungan hidup manusia, tetapi juga sebagai “bahan bakar” untuk menggerakan sebuah negara. Pangan dan energi memiliki keterkaitan fungsi. Kelang-kaannya akan berimplikasi pada ketidak-stabilan ekonomi makro dan politik suatu negara. Produktivitas pertanian membu-tuhkan suntikan pupuk yang dihasilkan oleh industri pupuk, di sisi lain produksi pupuk yang dihasilkan oleh pabrik pupuk sangat ditentukan oleh pasokan gas. Pab-rik pupuk akan langsung berhenti berope-rasi bila tidak mendapatkan pasokan gas. Gas menjadi satu-satunya sumber energi untuk memastikan beroperasinya indus-tri pupuk, karena itu kebutuhan gas lebih sensitif bagi industri pupuk ketimbang pembangkit listrik. Industri makanan dan minuman membutuhkan listrik untuk me-lakukan proses pengolahan pangan, teruta-ma produksi berbasis tepung dan kembang gula. Bila tarif listrik meningkat, maka in-dustri makanan dan minuman akan me-naikan harga jual untuk mempertahankan margin labanya. Karena itu, pemerintah

perlu mewaspadai risiko langkanya bahan pangan dan energi bagi keberlangsungan hidup negara.

Langkanya pasokan pangan dan energi juga berpotensi menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat, bahkan pada ting-kat tertentu dapat mengganggu stabilitas politik di suatu negara. Rakyat yang mera-sa lapar dan susah bergerak ke mana-mana akan kecewa terhadap pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik (pu-blic services). Rakyat akan turun ke jalan menuntut tanggung jawab pemerintah bah-kan bisa bertindak anarkis dan menurun-kan rezim pemerintahan yang sedang ber-kuasa. Mengingat tingginya risiko pangan ini, maka Presiden RI Pertama, Bung Karno, pernah mengingatkan rakyat Indonesia da-lam salah satu pidatonya, “Pangan merupa-kan mati hidupnya suatu bangsa. Bila kebu-tuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka malapetaka.”1 Pernyataan Bung Karno ter-bukti dengan adanya sejumlah kekacauan politik di beberapa negara yang bermula dari masalah pangan. Krisis roti di Mesir berakhir dengan jatuhnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Tingginya harga pangan

utama

Sumber: www.indianahumanities.org

ISI_IRF_REV_4.indd 4 8/22/2013 7:45:31 PM

5

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

di Tunisia berakhir dengan jatuhnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Se-mentara krisis pangan di Aljazair membuat rakyat Aljazair turun ke ja-lan meminta Presiden Abdelaziz Bou-teflikaturundarijabatannya.

Sumber Terbatas, Potensi Ancaman Tinggi

Indonesia tidak saja menghadapi ancaman krisis pangan, tetapi juga ancaman krisis energi fosil, khusus-nya minyak bumi karena cadangan memang terbatas. Frans Seda, man-tan Menteri Keuangan pada era pe-merintahan Soekarno, pernah me-ngatakan bahwa masalah Indonesia yang mendesak adalah beras dan bensin. Dalam kasus minyak bumi, negara maju memiliki suatu rumus if you want to control the world, con-trol the oils then. Itu sebabnya mun-cul aksi negara maju untuk mengua-sai ladang minyak di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi (mi-gas), terutama di kawasan Timur Te-ngah dengan cara perang (resource war). Perang minyak muncul kare-na pemerintah Amerika Serikat (AS) mencium adanya ancaman Uni So-viet yang memiliki akses ke ladang minyak di kawasan Timur Tengah dan mineral di Afrika. Setelah Uni Soviet pecah, AS akan mengawasi China yang saat ini merupakan kon-sumen terbesar minyak nomor dua dunia setelah AS. Kehadiran bebera-pa perusaahaan migas China di Indo-nesia (seperti PetroChina, CNIIC, dan Sinopee di Blok Sukowati di Jawa dan Blok Tangguh di Papua) akan men-dapat perhatian khusus perusahaan-perusahaan minyak multinasional asal Amerika dan Eropa yang dike-nal sebagai “The Seven Sisters” (Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Ex-xon Mobil, dan Chevron).

Pertanian Pangan di Indonesia

Banyak orang menilai bahwa Indonesia memiliki kekayaan sum-ber pangan yang melimpah, padahal

tidak demikian adanya. Indonesia memiliki iklim tropis, banyak turun hujan, dan tanah yang subur di seba-gian wilayah sehingga sangat men-dukung untuk budidaya pertanian. Walaupun demikian, tidak semua la-han di Indonesia subur untuk meng-hasilkan bahan pangan. Lahan yang potensial untuk sawah hanya terda-pat di beberapa daerah, yaitu Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi ser-ta sedikit di NTB. Di sisi lain, luas are-al sawah juga semakin sempit, hanya mencapai 8 juta hektar (ha), kalah dibandingkan dengan di Thailand (9 juta ha). Rata-rata petani di Indone-sia hanya menguasai 0,3 ha sawah per kepala, kalah dari Thailand (3 ha sawah per kepala). Bila diban-dingkan dengan jumlah penduduk,

impor dari Australia. Pabrik-pabrik terigu nasional membeli gandum Australian Standard White sekitar $ 350 atau Rp 3,4 juta per ton cost and freight (C&F). Sedangkan gandum je-nis Australian Premium White diim-por seharga $ 354 atau Rp 3,5 juta per ton C&F. Berdasarkan laporan Uni-ted States Department of Agriculture (USDA) Mei 2012, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia, diprediksi menembus 7,1 juta ton. Hal ini terja-di karena gandum telah menjadi pre-ferensi kedua masyarakat Indonesia setelah beras.

Begitu juga dengan susu sapi, ternyata tidak semua daerah di Indo-nesia cocok untuk mengembangkan usaha sapi perah karena memerlu-kan kondisi iklim yang khusus, bia-sanya di daerah pegunungan dengan ketinggian 700-800 meter dpl karena sejuk (16-23 derajat Celsius). Daerah yang potensial mengembangkan sapi perah hanya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY. Selain karena iklimnya yang cocok, juga berdekat-an dengan lokasi industri pengolah-an susu. Populasi sapi perah di In-donesia hanya mencapai sekitar 622 ribu ekor dengan produksi susu se-banyak 1,2 juta ton per hari, semen-tara kebutuhan susu nasional men-capai 3,1 juta ton per hari, sehingga harus impor sebanyak 1,9 juta ton dari Asutralia, New Zealand, dan Be-landa.2 Artinya, hanya 39% saja yang bisa disuplai dari dalam negeri.

Begitu juga dengan kedelai, ba-han baku pembuatan tahu dan tem-pe yang merupakan kebutuhan seki-tar 90% penduduk Indonesia. Iklim Indonesia ternyata kurang cocok un-tuk tanaman kedelai sehingga luas panen hanya sebesar 629 ribu ha de-ngan produktivitas hanya mencapai 13,58 kuintal per ha. Daerah yang cocok untuk tanaman kedelai adalah daerah yang mempunyai suhu anta-ra 25-27 derajat Celsius, kelembaban udara sekitar 65%, penyinaran ma-

luas lahan sawah yang dipunyai In-donesia seluas dengan yang dimili-ki Vietnam, padahal penduduk Viet-nam hanya 78 juta (32,5% penduduk Indonesia). Thailand memiliki lahan sawah 9 juta ha tetapi penduduknya hanya 80 juta orang (33% penduduk Indonesia). Australia lebih fenome-nal lagi karena memiliki lahan seluas 50 juta ha padahal penduduknya ha-nya 19 juta orang (8% penduduk In-donesia). Jadi, potensi pangan Indo-nesia tidak sekaya yang diduga, kalah dibandingkan negara lain.

Dari sisi produksi, tidak semua bahan pangan bisa diproduksi di dalam negeri. Gandum (bahan baku roti) misalnya, tidak bisa diproduksi di Indonesia karena iklim dan tanah-nya kurang cocok. Untuk memenuhi kebutuhan gandum, Indonesia harus

Berdasarkan laporan uSDa mei

2012, indonesia tercatat sebagai

negara pengimpor gandum terbesar

kedua di dunia.

ISI_IRF_REV_4.indd 5 8/22/2013 7:45:32 PM

6 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

tahari 10-12 jam per hari, dan curah hujan antara 100-200 mm per bulan dan berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl. Sementara jenis ta-nah pertanian yang cocok adalah ta-nah aluvial, regosol, mosol, latosol, dan andosol3, yang ternyata tidak banyak di Indonesia. AS adalah sa-lah satu negara yang iklimnya cocok untuk tanaman kedelai dengan luas area panen kedelai di AS mencapai sekitar 24-28 juta ha dengan produk-tivitas 2,6 ton per ha, dan produksi per tahunnya mencapai sekitar 68 juta ton4 sehingga Indonesia menjadi salah satu negara konsumen kedelai terbesar yang menjadi sasaran eks-por kedelai AS.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka impor bahan pangan tertentu seperti gandum, kedelai, dan susu sapi, mutlak harus dilakukan. Be-ras dan jagung pun perlu impor bila kondisi iklim tidak kondusif untuk meningkatkan produksi. Tindakan impor yang salah adalah mengimpor bahan pangan yang persediaannya berlimpah di Indonesia. Ini terjadi karena ada pedagang (importir) yang nakal bekerja sama dengan oknum pajabat negara.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah negara ini butuh peran ne-gara lain untuk mengisi kekurangan pangan domestik. Masyarakat tidak boleh memiliki persepsi yang negatif terhadap globalisasi perdagangan. “Bila negara anda memiliki kelebihan produksi dan kemudian mengekspor ke negara saya, maka negara anda juga harus bersedia menerima kele-bihan produksi dari negara saya un-tuk diekspor ke negara anda”.

Persoalan Energi

Indonesia juga tidak banyak me-miliki cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan energy tak terbarukan (non-renewable ener-gy) seperti minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Berbagai hasil pene-litian membuktikan bahwa Indone-

sia kaya akan energi terbarukan (re-newable energy) seperti panas bumi, mikrohidro, tenaga surya, tenaga ge-lombang, tenaga angin, dan bioma-sa.

Suatu hal yang perlu dipahami publik bahwa tidak semua sumber daya migas yang ditemukan (disco-vered initially in place) dapat dijual, hanya sebagian kecil saja yang dapat dijual (commercial resources). Para pakar minyak mengestimasi cadang-an minyak Indonesia hanya menca-pai sekitar 4 miliar barrel. Bila di-asumsikan diproduksi setiap hari sebanyak 930 ribu barrel dan tidak ada temuan cadangan baru, maka

menutupdefisitAPBN.Lalu, apa yang harus dilakukan

oleh Pemerintah dan Pertamina? De-ngan posisi Pertamina sebagai Kon-traktor KKS berdasarkan ketentuan UU No. 22 Tahun 2001, Pertamina memiliki ruang untuk melakukan berbagai improvisasi pengembang-an energi nasional, tidak saja minyak bumi dan gas bumi tetapi juga ener-gi baru dan terbarukan. Pertamina sudah memulainya dengan melaku-kan transformasi bisnisnya diawali dengan membuat visi dan misi baru. Visi baru Pertamina adalah “Menja-di Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”, sementara misi baru Perta-mina adalah “Menjalankan usaha minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan secara terintegrasi, ber-dasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat”. Misi tersebut dilaksana-kan dengan beberapa strategi seperti Enhanced Oil Recovery dengan mem-bentuk dan mengoptimalkan peran Pertamina EP, Pertamina Hulu Ener-gi (PHE), dan Pertamina EP Cepu. Me-lalui strategi ini Pertamina berharap dapat menambah produksi minyak sebanyak 80 ribu barrel per hari pada tahun 2025 mendatang.5 Pertamina juga mengoperasikan kapal tanker, serrta membangun beberapa proyek besar di bidang gas dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).6

Direktur Utama Pertamina, Ka-ren Agustiawan juga bermimpi akan membawa Pertamina masuk dalam Fortune 100 agar bisa bersaing de-ngan Petronas yang kini berada pada rangking 68 dalam Fortune 500. Un-tuk itu, tidak salahnya kalau Pertami-na perlu belajar dari Petronas, yang dulu jadi berguru kepada Indonesia. Kini, total aset Petronas mencapai US$ 157.37 billion bandingkan de-ngan Pertamina yang baru mencapai US$ 40,82 miliar pada akhir tahun 2012. Sementara revenue Petronas mencapai US$ 97,35 miliar, banding-kan dengan Pertamina sebesar US$ 65,2 miliar. Salah satu faktor suk-

diperkirakan cadangan tersebut akan habis sekitar 11 tahun lagi. Ada kemungkinan Indonesia mengalami krisis energi pada tahun 2025 men-datang bila tidak demukan cadangan minyak baru. Saat itu, semua kebu-tuhan minyak dalam negeri harus dipasok dari impor. Impor minyak mentah dan BBM yang pada tahun 2012 mencapai 550 ribu barel ekui-valen per hari, akan melonjak men-jadi 1,4 juta barel ekuivalen per hari dengan asumsi cateris paribus. Bila hal ini terjadi,maka efek fiskalnyaakansangatbesar.DefisitAPBNakanmembengkak dan pemerintah harus memperbesar pinjaman/utang untuk

Berbagai hasil penelitian

membuktikan bahwa indonesia kaya akan energi

terbarukan (renewable energy) seperti panas bumi, mikrohidro, tenaga

surya, tenaga gelombang, tenaga angin, dan biomasa.

ISI_IRF_REV_4.indd 6 8/22/2013 7:45:33 PM

7

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

sesnya Petronas adalah sebagai per-usahaan publik, BUMN Malaysia ini mampu menjalin bisnis minyak dan gas dengan 35 negara.7

Walaupun demikian, Pemerintah perlu memberikan dukungan terha-dap proses transformasi Pertamina, antara lain, pertama, menyerahkan urusan usaha hulu migas (setelah bubarnya BP Migas) ke PT Pertami-na (Persero) sehingga Pemerintah tidak perlu membentuk BUMN baru sebagai pengganti BP Migas. Kebi-jakan seperti ini, menurut beberapa pakar migas, dianut oleh negara-ne-gara seperti Saudi Arabia, Malaysia, dan Vietnam.8 Langkah ini harus di-awali dengan mengajukan usul atas perubahaan UU No. 22 Tahun 2001. Kedua, Pemerintah perlu menetap-kan pilihan apakah status Pertami-na yang non-listed company saat ini akan diarahkan menjadi non-listed public company (terbuka tetapi tidak ada saham yang terjual karena 100 dikuasai negara) atau menjadi listed public company (melakukan go public terbatas, di mana sebagian saham di-lepas ke publik). Ketiga, Pemerintah perlu mengurangi besaran dividen yang harus ditarik dari Pertamina untuk mendorong visi pertumbuhan Pertamina. Dalam 4 tahun terakhir ini, dividen yang disetor Pertamina berkisar antara Rp 10 triliun s. d. Rp 14 triliun atau rata-rata 60-70% dari laba bersih. Akibatnya, capex Perta-mina menjadi sangat kecil (berkisar antara Rp 80 triliun s. d. Rp 89 triliun)

untuk mendukung proyek-proyek pe-ngembangan.9

Komitmen Negara dan Distribusi Kewenangan

Komitmen negara dalam urusan pangan tercermin dalam UUD 1945, Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pa-sal 27 ayat (2), dan pasal 33, yang ke-mudian dijabarkan dalam Undang-Undang UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang telah direvisi menjadi UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

(lihat Box 1). Sementara komitmen negara dalam urusan energi tercer-min dalam UUD 1945 pasal 33, yang kemudian dijabarkan dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 4, Pasal 8, Pasal 38, dan Pasal 41 (lihat Box 2).

Pemerintah telah mengatur distri-busi kewenangan pemerintah dalam pengelolaan migas (lihat Bagan 1).

Daerah penghasil migas mem-peroleh alokasi penerimaan migas berdasarkan mekanisme bagi hasil yang ditetapkan berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tugas BP Migas (sekarang berganti nama de-ngan SKK Migas) adalah mengawasi dan mengendalikan KKKS melalui pre audit, current audit, dan post au-dit serta pengawasan khusus; dan selanjutnya melaporkan perkem-bangan lifting kepada Kementerian Keuanganuntukdiverifikasidandi-

lakukan perhitungan besarnya Dana Bagi Hasil (DBH) untuk dialokasikan kepada Pemerintah Pusat dan Peme-rintah Daerah.

Ancaman Krisis Pangan

Krisis pangan dimaknai sebagai high and volatile food prices have be-come the new normal.10 Tanda-tanda krisis pangan sudah semakin terli-hat. Negara-negara yang semula bisa memberi makan kepada penduduk dunia, kini harus mengimpor pangan untuk mengisi sebagian kebutuhan yang tidak bisa dipasok dari dalam negeri. Salah satu contoh negara yang dimaksud adalah Indonesia (li-hat Grafik 1). Banyak bahan pangan yang diimpor Indonesia, tidak saja beras tetapi juga jagung, gula, ke-delai, garam, susu, dan daging sapi, bahkan juga pisang dan ubi kayu walaupun dalam jumlah sedikit.11 Produk-produk pangan tersebut se-bagian besar dipasok dari Amerika

Tujuan utama UU No. 18 Tahun 2012 adalah mewujudkan kedaulatan pangan, i.

kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.

Perencaan pangan terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan ii.

pembangunan daerah.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan iii.

pangan dan pengembangan produksi pangan lokal.

Impor pangan diperketat. Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila pro-iv.

duksi dalam negeri tidak mencukupi dan atau tidak dapat diproduksi di dalam

negeri.

Ekspor pangan diperketat, hanya dapat dilakukan dengan mendahulukan pe-v.

menuhan kebutuhan konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional.

Adanya lembaga yang mempunyai otoritas yang kuat untuk mengoordinasikan vi.

berbagai kebijakan dan program terkait pangan. Lembaga Pemerintah yang

menangani bidang Pangan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada

Presiden.

Penegasan keamanan pangan, di antaranya melalui kewajiban pencantuman vii.

label di dalam dan atau pada kemasan pangan yang berisi nama produk,

daftar bahan yang digunakan, berat bersih, tanggal dan kode produksi, halal

bagi yang dipersyaratkan.

Komitmen Negara Tentang Pangan (Dalam UU No. 18 Tahun 2012)

BOX 1

ISI_IRF_REV_4.indd 7 8/22/2013 7:45:33 PM

8 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Serikat, Kanada, Brazil, Australia, dan New Zealand, juga dari sejumlah negara Asia seperti Srilangka, Malay-sia, China, India, dan Thailand. Ne-raca perdagangan ini memberikan gambaran bahwa Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi per-taniannya dalam menghasilkan ba-han-bahan pangan bagi memenuhi kebutuhan penduduknya.

Ancaman krisis pangan juga di ditandai dengan masih banyaknya penduduk yang kelaparan dan keku-rangan gizi. WHO melaporkan bah-wa pada tahun 2010 terdapat sekitar 925 juta orang atau 15% dari 6,8 mili-ar penduduk dunia mengalami kela-paran (termasuk sekitar 29 juta orang merupakan penduduk Indonesia) dan sekitar 1,2 miliar orang mende-rita kekurangan gizi (undernourished population). Indonesia merupakan negara kekurangan gizi nomor 5 ter-besar di dunia pada tahun 2012 de-ngan sekitar 900 ribu jiwa penduduk yang mengalami kekurangan gizi. Jumlah tersebut merupakan 4,5% dari jumlah balita Indonesia seba-

Pasal 4 (1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan

yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia me-rupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.

(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dise-lenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.

Pasal 8(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian

Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 38Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilakukan oleh PemerintahPasal 41(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kon-

trak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin

Usaha dilaksanakan oleh Badan Pengatur.

Komitmen Negara Tentang Migas (Dalam UU No. 22 Tahun 2001)

Bagan 1. Distribusi Kewenangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Migas

BOX 2

Sumber: A. Rinto Pudyantoro, 2012, A to Z “Bisnis Hulu Migas”, hal 203.

ISI_IRF_REV_4.indd 8 8/22/2013 7:45:33 PM

9

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

nyak 23 juta jiwa, dan tersebar mera-ta di di seluruh Indonesia.

Indonesia menjadi sasaran pasar pangan dunia karena jumlah pendu-duknya yang banyak, sekitar 240 juta orang lebih. Dengan kapasitas pro-duksi yang rendah, Indonesia belum bisa menjadi pemain pangan dunia, kalah dengan Vietnam dan Thailand dalam hal beras. Penentu pasar pa-ngan dunia adalah Amerika serikat, China, India, Jerman, Prancis, dan Australia. Selain negara-negara ter-sebut konsisiten dalam membangun pangan, negara-negara tersebut juga melakukan akuisisi lahan-lahan per-tanian di sejumlah negara seperti Ka-merun, Etiopia, Madagaskar, Zambia, Rusia, dan juga Indonesia (khusus untuk Indonesia, lihat Tabel 2).

Ancaman Krisis Energi

Krisis energi dimaknai sebagai (i) any great bottleneck (or price rise) in the supply of energy resources to an economy12, (ii) coal, petroleum, elec-trical power, even water has inade-quate availability13, dan (iii) oil prices are soaring and it looks less and less likely that this is a bubble14. Tanda-tanda krisis energi sudah semakin terlihat. Negara-negara yang semu-la bisa memberi memasok energi kepada penduduk dunia, kini harus mengimpor energi untuk mengisi sebagian kebutuhan yang tidak bisa dipasok dari dalam negeri (lihat Gra-fik 2). Banyak analis perminyakan memprediksi bahwa cadangan ter-bukti minyak dunia sekarang hanya tinggal sekitar 1,2 triliun barel, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

penduduk dunia selama 30 tahun ke depan. Khusus di Indonesia, cadang-an total minyak bumi yang melipu-ti cadangan terbukti dan cadangan potensial, hanya mencapai sekitar 4 miliar barel dan diperkirakan hanya akan mampu bertahan sekitar 11 ta-hun mendatang.

Seorang geolog Amerika berna-ma M. King Hubbert dalam salah

satu studinya menyimpulkan bahwa the aggregate production rate from an oil field over time usually grows until the rate peaks and then declines—so-metimes rapidly—until the field is dep-leted. Kesimpulan studi ini kemudian dikenal dengan Hubbert Peak Theory atau The Hubbert Curve. Kini, The Hubbert Curve tersebut ternyata mu-lai terbukti.15 Produksi minyak dunia sudah melewati masa puncak (peak) dan saatnya sedang bergerak menu-run. Pada saat yang bersamaan har-ga minyak dunia juga berada pada momen untuk menanjak.

Bila mengacu pada teori The Hubbert Curve, maka setiap negara harus merancang strategi yang tepat untuk mengantisipasi dampak dari krisis energi. Amerika Serikat yang

Grafik 1. Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia 2009-2012(dalam miliar USD)

Sumber : BPS, 2012, diolah

Tabel 2. Perusahaan Asing yang Menguasai Ekonomi Pangan di Indonesia

Bidang Usaha yang Dikuasai Nama Perusahaan

Pangan serat, perdagangan, dan peng-

olahan bahan mentah

Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer

Ritel pangan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco

Pengolahan pangan dan minuman Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi

Co

Impor Kedelai PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang

Cahaya Utama (GCU).

Lahan perkebunan sawit di Sumatra Wilmar Group, Cargill, dan Sime Derby

Impor gula Kwee Gee, Wee Tiong, Louis Dryfuss,

OlamSumber : (i) Aswin Pulungan, 2012, (ii) PT. KBB Nusantara, 2013,(iii) Sawit Watch, 2010.

Sumber : BPS, 2013.

Grafik 2. Neraca Perdagangan Indonesia, 2004-2012(dalam juta USD)

ISI_IRF_REV_4.indd 9 8/22/2013 7:45:33 PM

10 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

merupakan konsumen minyak ter-besar di dunia memilih strategi tidak hanya bergantung pada pasokan mi-nyak dari Venezuela, tetapi juga pa-sokan minyak dari Arab Saudi, Asia Selatan, dan Afrika. Sementara Chi-na memilih strategi membangun ki-lang-kilang minyak di Iran. Pemerin-tah China memiliki strategi Top 1000 Enterprises Program yang berfokus pada pengurangan konsumsi energi di perusahaan-perusahaan besar dan 10 Key Projects yang menawarkan in-sentif untuk membangun hidroelek-trik dan sumber bahan bakar yang bisa diperbaharui. Sementara Indo-nesia memilih strategi memperce-pat pengembangan energi baru dan terbarukan, menaikan harga BBM bersubsidi, dan mengoptimalkan pe-manfaatan cadangan yang ada mela-lui mekanisme KPS.16

Penutup

Suatu negara dapat mengalami krisis pangan dan krisis energi yang pada tingkat tertentu tidak saja me-engancam kesinambungan fiskal APBN, tetapi juga keberlangsungan

hidup negara. Indonesia saat ini su-dah berada dalam ancaman krisis ke-dua komoditas tersebut. Karena itu, Pemerintah harus memiliki strategi yang tepat untuk mengantisipasi po-tensi risiko tersebut. Beberapa strate-gi di bawah ini bisa menjadi masuk-an kepada pemerintah.

Bidang Pangan

Pemerintah perlu melakukan pe-nguatan kelembagaan untuk mendu-kung pengembangan program-prog-ram pertanian dan pangan nasional, misalnya membentuk Kementerian Khusus Pangan. Status Bulog juga perlu diubah, dari BUMN menjadi Lembaga Pemerintah yang keduduk-annya di bawah Menteri Pertanian agar diposisikan menjadi operator yang handal dalam menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pa-ngan.

Dalam rangka pengelolaan per-tanahan nasional, pemerintah perlu membentuk Kementerian Agraria. Badan Pertanahan Nasional yang ada saat ini perlu dinaikan statusnya menjadi Kementerian Negara. Selan-

jutnya Kementerian Agraria meng-upayakan adanya sebuah Undang-undang Agraria yang sesuai dengan tuntutan era sekarang, terutama un-tuk melindungi petani dan harmoni-sasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dilakukan Pemerintah Daerah. Para petani dan korporasi (pangan maupun non-pangan) yang menterlantarkan lahan lahannya di-beri dikenakan pajak sebagai saksi.

Bidang Energi

Strategi energi nasional ke de-pan adalah (i) mengurangi penggu-naan lifting minyak secara boros, (ii) memberikan sejumlah insentif ke-pada investor, termasuk Pertamina untuk mempercepat pengembang-an energi baru dan terbarukan, (iii) memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa cadangan mi-nyak Indonesia akan habis pada 11 tahun mendatang dan mendorong masyarakat untuk hemat BBM, (iv) memberikan insentif kepada indus-tri otomotif yang mendesain mobil barunya berbasis bakar non-BBM, (v) melarang perusahaan otomotif yang

Sumber: www.columbiatechnologies.com

ISI_IRF_REV_4.indd 10 8/22/2013 7:45:35 PM

11

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

mengkampanyekan mobil murah berbahan bakar bensin, (vi) kesuk-sesan pemerintah dalam mengekse-kusi kebijakan menaikan harga BBM pada Juni lalu hendaknya dijadikan momentum untuk meneruskan kebi-jakan itu secara bertahap, (vii) hasil penghematan subsidi energi sebaik-nya diprioritaskan untuk menambah alokasi subsidi pertanian (pangan, pupuk, dan benih), mencetak sawah baru, dan memperbaiki infrastruk-tur irigasi.

Catatan

1 Pernyataan Soekarno ini dikutip dari artikel Dewi Aryani berjudul “Krisis Pangan, Krisis

Regenerasi”, Seputar Indonesia, 17 Oktober 2012, halaman 7.

2 Sekretaris Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fauzi

Luthan, “Kebutuhan Susu Nasional Baru Mencapai 30%”, Investor Daily, 28 Mei 2012.

3 Rahmat Rukmana dan Yuyun Yuniarsih, dalam karya berjudul “Kedelai, Budi Daya dan

Pasca Panen”, Penerbit Kanisius.

4 Menurut Sumaro, pakar kedelai (Prof. Riset) Pada Puslitbang Tanaman Pangan Bogor,

AS memiliki lahan yang sangat luas dan subur, panjang penyinaran bisa mencapai 13-

16 jam, sehingga tanaman kedelai bisa tumbuh lebih optimal, tidak terdapat gangguan

hama penyakit yang berarti.

5 Target tersebut disampaikan kata Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, da-

lam peresmian 8 Proyek Pertamina di KRI Makassar yang berlayar di Teluk Jakarta,

Kamis 6 Desember 2012. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/372872-pertamina-

targetkan-tembus-100-perusahaan-terbesar-fortune

6 Seperti gas processing plant Sungai Kenawang dan Pulau Gading senilai US$325

juta dengan tambahan migas sebanyak 26 ribu barel setara minyak sehari. Proyek lain-

nya adalah proyek NGL Plant Perta Samtan Gas senilai US$193 juta yang akan me-

nambah pasokan LPG dan kondesat, proyek FSRU Jawa Barat senilai US$93,28 juta

yang dapat menghemat subsidi listrik dari pemakaian BBM oleh PLN sebesar Rp16

triliun, proyek Terminal LPG Tanjung Sekong berkapasitas US$35 juta, pembangunan

SPBG milik Pertamina untuk sektor transportasi senilai US$3,7 juta, serta mengo-

perasikan tiga unit kapal tanker (Kakap, Meditran, dan Gamkonora) senilai US$78,8

juta dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu unit 1 dan 2 dengan

investasi sebesar US$114 juta.

7 Perusahaan besar Asia lainnya yang masuk dalam Fortune 500 adalah perusahaan mi-

nyak Thailand-PTT (207) dan perusahaan elektronik Singapore-Flextronic International

(378).

8 Antara lain Direktur Eksekutif Indonesia Resourcess Studies (IRESS), Marwan Batu-

bara. http://www.tempo.co/read/news/2012/11/16/090442070/

9 RJPP Pertamina 2011-2015.

10 http://www.worldbank.org/foodcrisis/bankinitiatives.htm

11 Pada tahun 2007, BPS melaporkan bahwa Indonesia mengimpor tidak kurang dari

1 juta ton beras, 1,5 juta ton jagung, 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 1 juta ton

garam, 616 ribu ton susu, dan 52 ribu ton daging sapi. Sedangkan pada tahun 2012,

impor pangan meningkat lagi, masing-masing beras (1,8 juta ton), jagung (1,7 juta

ton), kedelai (1,9 juta ton), dan daging sapi (43 ribu ton).

12 http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_energi

13 http://theworldsenergycrisis.wikidot.com/

14 Mohamed El Baradei, “Tackling the Global Energy Crisis, IAEA Bulletin, Table of Con-

tens, Vol.50.1

15 http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://conspiracywiki.com/images/article/

images/hubbert-oil-production-rate.jpg&imgrefurl=http://conspiracywiki.com/articles/

peak-oil/hubbert-peak-oil-theory/&h=640&w=948&sz=57&tbnid=ujoEB Pi8WcceRM:

&tbnh=81&tbnw=120&zoom=1&usg=__sA6JzjhOy01RRgAPopcVNTbWvk=&d

ocid=hzMbYwrytu0hTM&sa=X&ei=AiOcUdKtH42Prge1qI GYBA&ved=0CFwQ

9QEwBg&dur=45

16 Hingga saat ini, pengelolaan migas di Indonesia masih di kuasai oleh perusahaan-

perusahaan asing berskala besar (sekitar 74%), terutama perusahaan-perusahaan

Prancis dan Inggris. Data kementerian ESDM menunjukkan bahwa pada tahun 2011,

dari total produksi gas di Indonesia sebesar 3,26 TCF, di mana produsen utamanya

dipegang oleh Total-Prancis (27%), Conoco-AS (17%), Britis Petrolium-Inggris (12%),

serta Pertamina bersama mitranya-Indonesia (13%). Dengan kata lain, sekitar 87 %

gas nasional dikelola oleh perusahaan swasta asing.

Pemerintah perlu memberikan dukungan kepada proses transfor-masi Pertamina, antara lain (i) me-nyerahkan urusan usaha hulu migas ke PT Pertamina (Persero) sehingga pemerintah tidak perlu membentuk BUMN baru sebagai pengganti BP Migas. Untuk itu, UU No. 22 Tahun 2001 perlu direvisi, (ii) mengarah-kan Pertamina menjadi non-listed public company atau menjadi listed public company agar Pertamina lebih mandiri dalam melakukan transfor-masi bisnisnya, dan (iii) mengurangi besaran dividen yang harus disetor Pertamina kepada Pemerintah un-tuk memberi ruang bagi Pertamina pengembangan proyek-proyek be-sarnya. Selanjutnya pemerintah bisa mengoptimalkan penerimaan Perta-mina dari sumber pajak yang dihasil-kan dari pengembangan proyek-pro-yek Pertamina. n

Kesuksesan pemerintah dalam

mengeksekusi kebijakan menaikan

harga BBm pada Juni lalu hendaknya

dijadikan momentum untuk meneruskan kebijakan itu secara

bertahap.

ISI_IRF_REV_4.indd 11 8/22/2013 7:45:36 PM

12 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Pengantar

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita seputar perkem-bangan pertanian di Indonesia. Berita ter-sebut memuat suatu kenyataan bahwa In-donesia telah bergantung kepada negara lain akan produk-produk pertanian. Indo-nesia harus mengimpor garam, beras, da-ging sapi, buah-buahan, sayur-mayur, dan lain sebagainya untuk memenuhi kebu-tuhan dalam negeri. Kondisi ini diperkuat denganperkembangandefisit ekspor-im-por Indonesia sebagaimana terlihat dalam Grafik 1. Selain masalah impor, Indonesia harus pula menghadapi kenyataan akan tingginya harga daging sapi, cabai, bawang merah, bawang putih, dan yang terakhir adalah kenaikan harga petai dan jengkol. Kondisi ini sebuah ironi bagi Indonesia

mengingat Indonesia terkenal sebagai ne-gara agraris yang kaya akan tanah yang subur dan luas, serta terkenal dengan ke-pulauan yang memiliki ribuan pulau dan pantai yang panjang.

Kondisi di atas tidak dapat dilepaskan dari kinerja pertumbuhan sektor pertani-an itu sendiri. Sektor pertanian tumbuh sekitar 3,97% pada tahun 2012 (BPS, 2013), namun pertumbuhan tersebut masih be-lum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa faktor utama diindikasi-kan sebagai penyebab terjadinya kondisi seperti ini, dan salah satunya adalah per-masalahan kesulitan akses pembiayaan kredit pada lembaga keuangan khususnya perbankan. Modal yang minim dianggap sebagai penghalang bagi petani untuk me-ningkatkanusahadanproduktifitasnya.

Mengurai Kelayakan Kredit Petani Indonesia

Oleh: Mohamad Nasir

Peneliti Muda dan Kasubbid BUMN Pertambangan,

Industri Strategis, Energi dan

Telekomunikasi, PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: [email protected]

Sumber: www.wikimedia.org

ISI_IRF_REV_4.indd 12 8/22/2013 7:45:37 PM

13

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Terkait dengan akses pembiaya-an, artikel ini mencoba akan meng-ulas tentang kelayakan kredit petani dengan pendekatan prinsip 5C (cha-racter, capacity, capital, condition of economy, dan collateral) dan menco-ba untuk memberikan rekomendasi isu kebijakan bagi Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan terse-but. Namun sebelum mengulasnya, artikel ini akan terlebih dahulu akan menguraikan tentang konsep risk and return dan 5C tersebut yang sela-ma ini dipegang teguh dalam setiap kegiatan analisis penyaluran kredit.

Konsep Risk and Return

Dalam setiap aktivitas penyalur-an kredit, pada umumnya perbankan akan selalu mempertimbangkan risi-ko (risk) dan tingkat pengembalian (return) dari dana yang disalurkan tersebut. Risiko dalam kredit meru-juk pada potensi ketidakmampuan debitur membayar pokok pinjaman dan bunganya. Sementara itu, return dapat merujuk pada biaya pokok pe-nyaluran kredit, margin, dan risiko yang dimiliki oleh calon debitur.

Biaya pokok penyaluran adalah biaya-biaya yang terjadi dalam pro-ses penyaluran kredit ke calon debi-tur. Biaya ini dapat terdiri dari cost of fund dan overhead cost bank. Cost of fund perbankan dapat berupa bunga yang dibayarkan oleh bank kepada para nasabah bank seperti penabung, deposan, dan pemegang obligasi. Hal ini terjadi karena perbankan meru-

pakan lembaga intermediasi dana, di mana bank bekerja mengumpulkan dana dari pemilik dana, kemudian menyalurkan dana tersebut kepada pihak tertentu (debitur). Agar pemi-lik dana bersedia menempatkan da-nanya, bank harus memberikan in-sentif atau kompensasi berupa bunga kepada mereka sesuai dengan kese-pakatan dan ekspektasinya. Pemberi-an bunga ini tentunya menjadi suatu kewajiban dan diperlakukan sebagai biaya bagi bank. Overhead cost dapat berupa biaya administrasi, biaya gaji pegawai, prasarana bank, dan lain sebagainya. Biaya-biaya ini terjadi dalam proses intermediasi dana (pe-nyaluran) tersebut.

Margin adalah keuntungan yang akan diperoleh oleh bank. Sudah

menjadi hal yang umum bahwa se-tiap bank atau lembaga usaha lainnya menginginkan adanya keuntungan ketika menyalurkan kredit. Margin dibutuhkan untuk menjaga kesinam-bungan usaha. Investor terutama pemegang saham menginginkan ke-untungan dari setiap rupiah yang di-investasikan dalam saham bank terse-but. Margin juga dapat meningkatkan kepercayaan pemegang obligasi dan nasabah bank untuk menempatkan dana di bank. Selain itu, margin juga dibutuhkan sebagai insentif bagi pe-gawai bank agar terdorong untuk me-ningkatkan kinerjanya.

Ketika menyalurkan kredit, bank akan menghadapi risiko di mana de-bitur tidak mampu lagi membayar pokok kredit dan bunganya. Dengan kata lain bank kehilangan dana dan pendapatan. Di sisi lain, bank harus tetap membayar dana yang diterima berikutnya cost of fund-nya dan telah mengeluarkan overhead cost. Bila kondisi ini terjadi maka bank akan mengalami kerugian. Atas dasar kon-disi seperti ini berlakulah konsep risk dan return dalam penyaluran kredit.

Risk dan return memiliki hu-bungan yang searah, artinya setiap adanya kenaikan risiko pada debitur maka return (bunga) diminta oleh

Sumber: Kementan. 2013. Ekspor-Impor Pertanian Menurut Sub Sektor-Data BPS Diolah Pusdatin.

Grafik 1. Defisit Perdagangan Produk Pertanian

Grafik 2. Kerangka Hubungan Risk dan Return

Sumber: avivaindia.com.

ISI_IRF_REV_4.indd 13 8/22/2013 7:45:39 PM

14 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

bank akan mengalami kenaikan pula. Gambaran hubungan risk dan return dapatdilihatdalamGrafik2.Kenaik-an bunga ini merupakan kompensasi yang diterima bank sebagai implikasi dari penambahan risiko yang dimiliki oleh debitur. Bank membutuhkan in-sentif tambahan ketika menghadapi debitur berisiko lebih tinggi karena bank akan memberikan perlakuan yang berbeda, lebih intensif atau per-hatian khusus atau kebijakan khusus terhadap debitur berisiko lebih ting-gi sebagai upaya untuk menghinda-ri risiko gagal bayar dengan tanpa menghilangkan potensi pendapatan yang akan diterima. Sebagai contoh, bank melakukan transfer risiko gagal bayar dengan membeli premi penja-minan kredit, dan biaya pembelian premi tersebut dapat diperoleh dari kenaikan bunga yang dibebankan pada debitur tersebut.

Kelayakan Kredit Petani

Suatu yang sudah menjadi hal umum bahwa ketika bank menerima pengajuan kredit dari petani, bank akan melakukan apa yang disebut dengan analisis kelayakan kredit. Analisis ini dilakukan untuk memu-tuskan apakah petani (calon debitur) layak mendapatkan kredit atau tidak. Dalam melakukan analisis tersebut, bank pada umumnya menggunakan prinsip 5C (Hidayat H., 2009). Berikut di bawah ini akan diuraikan tentang kelayakan kredit petani Indonesia secara umum dengan menggunakan pendekatan 5C.

Analisis Character

Secara umum, petani Indonesia rata-rata berpendidikan antara SD tidak lulus – SMA, hidup sederhana, menerima apa adanya, dan jujur. Yang paling penting adalah mereka sangat memegang komitmen. Namun demikian, pendidikan yang rendah ini membuat kurangnya wawasan dan pengetahuan sehingga gampang tertipu atau dibelokan oleh informa-

si, dan mudah dimanfaatkan oleh pi-hak-pihak tertentu.

Terkait dengan kredit perbankan, petani tidak memiliki wawasan yang luas terhadap hal ini. Di benak mere-ka, bank adalah sesuatu yang eksklu-sif, tempat orang berdasi atau peng-usaha dan lain-lain sehingga mereka merasa enggan atau tidak layak ber-hubungan dengan bank. Di samping itu, petani pada umumnya menyukai hal-hal yang sederhana (tidak ruwet-ruwet). Hal ini berdampak pada pilih-an kemana mereka meminjam uang untuk menambah modal usahanya.

(channel). Kondisi ini membuat peta-ni dengan mudah dimanfaatkan oleh agen. Petani hanya dipakai sebagai nama saja dan belum tentu menik-mati kredit. Petani juga tidak mera-sa berutang, tetapi hanya menerima bantuan program dari pemerintah. Karena merasa tidak berutang, me-reka tidak memiliki kemauan untuk mengembalikan utangnya. Kejadian ini terjadi ketika pemerintah men-jalankan program kredit usaha tani (KUT). Tidak sedikit kasus penyele-wengan yang dilakukan oleh agen atas dana KUT dengan mengatas-namakan petani, dan tidak sedikit pula petani yang tidak membayar pinjaman KUT karena merasa tidak berutang. Akibatnya, gagal bayar pinjaman KUT mencapai sekitar Rp 5,7 triliun. Kasus KUT sedikit banyak dapat memengaruhi bank untuk me-nyalurkan kredit ke sektor pertanian. Mereka khawatir kalau kredit yang diberikan dianggap sebagai hibah atau bantuan pemerintah sehingga tidak perlu dikembalikan.

Analisis Capacity

Usaha di sektor pertanian pada dasarnya juga dapat menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang cukup baik. Ihsan N. (2011) dalam la-poran penelitiannya melaporkan bah-wa untuk luas 1 ha lahan sawah, da-pat diperoleh tingkat pengembalian untuk bertanam padi sekitar 295,5%. Dengan pengeluaran sekitar Rp 5,08 juta per musim tanam, diperkirakan akan diperoleh pendapatan sekitar Rp 20,1 juta dan keuntungan sekitar Rp 15,1 juta. Jika per musim tanam 4 bulan maka keuntungan yang dipero-leh sekitar Rp 3,75 juta per bulan.

Namun demikian, perhitungan kelayakan usaha di atas mengguna-kan perhitungkan luas lahan seki-tar 1 ha, padahal petani Indonesia rata-rata hanya memiliki lahan atau sawah pertanian sekitar 0,3 ha (Sus-wono, 2013). Dengan lahan seluas itu, secara otomatis kapasitas usaha

Pada akhirnya mereka lebih menyu-kai memilih rentenir atau tengkulak (lewat ijon) dan lainnya yang ada di sekitarnya karena mengenal atau berhubungan dalam kegiatan seha-ri-hari. Fakta membuktikan bahwa yang berhasil menyalurkan kredit ke petani adalah bank yang mau blusak-blusuk ke lingkungan mereka.

Selama ini, petani berhubungan dengan bank karena dikemas dalam bentuk program pemerintah, itu pun dapat dikatakan terjadi karena tidak disengaja atau melalui orang ter-tentu yang bertindak sebagai agen

terkait dengan kredit perbankan,

petani tidak memiliki wawasan yang luas

terhadap hal ini. Di benak mereka,

bank adalah sesuatu yang

eksklusif, tempat orang berdasi atau

pengusaha dan lain-lain sehingga mereka merasa

enggan atau tidak layak berhubungan

dengan bank.

ISI_IRF_REV_4.indd 14 8/22/2013 7:45:40 PM

15

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

akan kecil dan otomatis tingkat pe-ngembaliannya juga kecil. Dengan hitungan sederhana, maka perkira-an keuntungan yang diterima petani sekitar Rp 1,12 juta per bulan nya (Rp 3,75 juta x 0,3). Di samping kapasitas yang kecil, ibarat “sudah jatuh tertim-pa tangga”, penurunan kapasitas ini diperparah dengan kondisi sebagian besar petani yang menggantungkan kehidupan sehari-harinya hanya dari bertani. Dengan asumsi kebutuhan biaya hidup sehari-hari per bulan pe-tani Rp 1 juta, maka uang hasil usaha hanya tersisa Rp 120 ribu. Uang sisa ini tentunya tidak cukup atau break event point (BEP) untuk membayar pokok utang dan berikut bunganya.

Analisis Capital

Petani Indonesia rata-rata me-miliki modal sendri yang nilainya kecil. Mereka hanya memiliki lahan sawah dan rumah tempat tinggal. Dengan kemampuan modal sendiri yang kecil plus kapasitas usaha yang kecil, maka kapasitas meminjam pe-tani pun dapat dikatakan kecil. Bagi

bank, kapasitas meminjam juga men-jadi perhatian ketika akan menyalur-kan kredit.

Secara umum, petani Indonesia yang memiliki lahan 0,3 ha ini oto-matis memiliki kapasitas memin-jam yang kecil, sekitar Rp 2 juta s. d. Rp 3 juta. Kapasitas meminjam bagi bank sangat penting karena dapat menentukan biaya dan pendapatan bank. Semakin besar kapasitas me-minjam debitur, maka dapat dikata-kan semakin besar pula pendapat-annya. Namun demikian, biaya yang dikeluarkannya tetap bahkan dapat diperkecil karena bank dapat me-nekan biaya variabel. Sebagai con-toh, debitur A (petani) mengajukan proposal pinjaman Rp 1 juta untuk mengolah sawah 0,3 ha yang dimili-kinya, sedangkan di sisi lain terdapat debitur B (pedagang) mengajukan pinjaman Rp 500 juta. Masing-ma-sing akan dikenakan bunga 10% per tahun. Untuk menyetujui kedua pro-posal tersebut, bank mengeluarkan biaya prapersetujuan dan pascaper-setujuan. Biaya pra ersetujuan da-

pat berupa biaya analisis kelayakan dan keuangan, survei lapangan dan lain-lain sedangkan biaya pascaper-setujuan dapat berupa biaya monito-ring debitur. Biaya-biaya yang terjadi tersebut baik untuk debitur A dan B relatif sama bahkan ada potensi bia-ya buat debitur A lebih besar karena biasanya data petani tidak lengkap, risikonya tinggi sehingga membutuh-kan monitoring yang lebih sering. Di sisi lain, debitur B akan memberikan pendapatan bunga yang lebih besar (10% x Rp 500 juta) dibandingkan de-ngan debitur A (10% x Rp 1 juta).

Analisis Condition of Economic

Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi ekonomi makro Indonesia cukup bagus. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang positif, yaitu sebesar 6,5% di 2011, 6,2% di 2010, 4,6% di 2009, 6,0% di 2008, dan 6,3% di 2007 (DJA-Kemenkeu, 2013). Pertumbuhan ekonomi yang positif ini mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi cukup mendorong usaha pertanian di Indonesia.

Sumber: www.wikimedia.org

ISI_IRF_REV_4.indd 15 8/22/2013 7:45:41 PM

16 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Daftar Pustaka

Aviva. Fund Management : Risk Return Matrix. Diakses 20 Juni 2013. http://www.avivaindia.

com/FundManagement/FundConcepts.aspx?p=1.

Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990,

1995, 2000 dan 2010. Diakses 24 Juni 2013. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?ta-

bel=1&daftar=1&id_subyek=12.

-------------------------. 2013. Pertumbuhan Ekonomi Per Lapangan Usaha.

DJA-Kemenkeu. Data Pokok APBN 2007–2013. Diakses 19 Juni 2013. http://www.anggar-

an.depkeu.go.id/dja/acontent/Data%20Pokok%20APBN%202013.pdf.

Hidayat H. 2009. Prinsip Pemberian Kredit (5C Principle). Diakses 24 Juni 2013. http://nge-

nyiz.blogspot.com/2009/02/prinsip-pemberian-kredit-5c-principle.html.

Ihsan N. 2011. Analisa Usaha Tani Padi Sawah. Diakses 24 Juni 2013. http://ceritanurmana-

di.wordpress.com/2011/08/29/analisa-usaha-tani-padi-sawah/.

Kementerian Pertanian. 2013. Ekspor-Impor Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor-Data

BPS Diolah Pusdatin.

Kompas. Luas Sawah Indonesia Kalah Dibanding Thailand. Diakses 24 Juni 2013. http://

bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/01/0713124/Luas.Sawah.Indonesia.Kalah.

Dibanding.Thailand.utm.source.WP.utm.medium.box.utm.campaign.Khlwp.

Selain kondisi ekonomi, Indo-nesia juga memiliki advantage yang luar biasa yaitu jumlah penduduk. Badan Pusat Statistik (2013) mela-porkan bahwa penduduk Indonesia mencapai 239,2 juta penduduk. Seca-ra alamiah, manusia membutuhkan makanan untuk menjalani hidupnya. Karena itu, jumlah penduduk yang luar biasa yang dimiliki oleh Indo-nesia ini merupakan kekuatan daya serap produk pertanian yang luar biasa pula. Petani tidak perlu khawa-tir tidak ada yang menyerap produk pertanian yang dihasilkannya. Petani cenderung dituntut untuk mengha-silkan hasil pertanian dalam jumlah yang banyak, berkualitas, dan harga-nya terjangkau.

Analisis Collateral

Bagi bank, collateral/jaminan adalah alat untuk meminimalisir risi-ko gagal bayar petani. Bank akan me-ngesekusi dan melikuidasi aset yang dijaminkan oleh petani ketika petani tersebut gagal bayar. Nilai collateral dijaminkan pada umumnya berka-itan dengan nilai kredit yang disa-lurkan. Semakin besar kredit yang diajukan, maka semakin besar pula aset barang jaminan yang dipersya-ratkan oleh bank kepada petani.

Sebagaimana telah diuraikan da-lam bab analisis capital bahwa peta-ni Indoanesia rata-rata memiliki aset yang bernilai kecil. Dengan aset yang kecil, tentunya kredit yang disetujui oleh bank akan kecil pula. Kondisi ini otomatis akan menjadi hambat-an bagi petani untuk meningkatkan kapasitas pinjamannya. Petani hanya dapat meminjam sesuai dengan pro-porsi collateral yang mereka miliki.

Di samping nilai aset yang kecil, petani di Indonesia rata-rata memi-liki masalah administrasi kepemilik-an akan barang jaminan, misalnya tanah atau lahan atau sawah atau rumah tempat tinggal. Petani pada umumnya hanya memiliki bukti ke-pemilikan berupa petok C atau girik,

seharusnyadalamberupasertifikathak milik (SHM). bank mengakui SHM sebagi bukti kepemilikan, se-dangkan petok C atau girik tidak dia-kui. Di sisi lain, ketika petani akan mengupayakan SHM, mereka kesu-litan melakukannya karena harus mengeluarkan biaya yang cukup be-sar meskipun secara resminya tidak. Bilakesulitanpengurusansertifika-si tanah dikaitkan dengan kebutuh-an dana pinjaman yang kecil, maka petani mengalami demotivasi untuk melakukan pinjaman kredit ke bank. Akhirnya mereka lebih menyukai meminjam ke tengkulak dan rente-nir

Penutup

Uraian di atas menunjukan bah-wa secara karakter rata-rata petani Indonesia layak mendapatkan kredit perbankan. Namun, kurangnya wa-wasan membuat mereka mudah di-manfaatkan oleh pihak-pihak terten-tu sehingga memberikan pandangan yang salah terhadap kredit dari per-bankan. Anggapan kredit perbankan merupakan hibah atau bantuan dari pemerintah membuat mereka enggan membayar kembali pinjamannya. Ca-tatan yang buruk terhadap program kredit membuat perbankan kurang

mempercayai para petani Indonesia. Dari sudut kapasitas, modal, dan

collateral, petani Indonesia tidak la-yak untuk menerima kredit perbank-an. Perbankan dihadapkan pada risi-ko yang tinggi, biaya yang besar, dan potensi keuntungan yang kecil keti-ka menyalurkan kredit kepada para petani. Yang memberikan nilai posi-tif hanya dari sisi faktor condition of economy, di mana Indonesia mem-punyai catatan pertumbuhan ekono-mi yang bagus, dan memiliki jumlah penduduk yang besar atau potensi permintaan yang besar.

Untuk mendorong akses pembia-yaan perbankan oleh petani, peme-rintah dituntut untuk menyelesaikan persoalan fundamental di petani. Be-berapa persoalan tersebut meliputi kecukupan lahan, pendidikan petani untuk meningkatkan program inten-sifikasipertanian,sertifikasikepemi-likan lahan. Jika ketiga persoalan ini belum terselesaikan, maka masalah akses perbankan tidak akan selesai, kecuali pemerintah campur tangan terus menerus, misalnya memberi-kan subsidi bunga untuk meningkat-kan kelayakan usaha, dan memberi-kan subsidi premi penjaminan kredit untuk meningkatkan bankability pe-tani. n

ISI_IRF_REV_4.indd 16 8/22/2013 7:45:41 PM

17

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Pengantar

Sektor pertanian dianggap masih me-megang peran strategis dalam pembangu-nan ekonomi Indonesia. Peran strategis ini setidaknya tercermin dari keberhasilan sek-tor ini dalam upayanya memenuhi target ke-butuhan pangan nasional pada setiap tahun-nya. Kondisi ini tergambar pada Grafik 1.

Di samping itu, sektor pertanian ini juga masih diharapkan menjadi salah satu penopang dalam perbaikan pendapatan karena masih ada sekitar 39,96 juta pendu-duk Indonesia (pada tahun 2012) yang me-miliki mata pencaharian di sektor ini.1

Kondisi dan harapan di atas sejalan de-ngan target utama sektor pertanian yang direncanakan oleh Kementerian Perta-nian (Kementan) tahun 2010-2014, yaitu meningkatkan peran sektor ini melalui program (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkat-andiversifikasipangan,(3)peningkatanni-lai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mencapai target tersebut, Kementan telah menetapkan strategi-strategi untuk mere-vitalisasi sektor ini dengan fokus pada tu-juh aspek dasar (Program Tujuh Gema Re-vitalisasi) yang terdiri atas (1) pembiayaan petani, (2) perbenihan dan perbibitan, (3) infrastruktur dan sarana, (4) sumber daya manusia, (5) lahan, (6) kelembagaan peta-ni, serta (7) teknologi dan industri hilir.2

Permasalahan Sektor Pertanian

Harapan Indonesia untuk meningkat-kan peran sektor pertanian dalam pemba-ngunan akan berhadapan dengan banyak hambatan. Hal ini karena masih adanya masalah mendasar sektor ini yang belum

dapat dipecahkan dengan tuntas. Perma-salahan tersebut dapat dilihap pada Box 1. Di antara berbagai masalah pertanian di atas, penulis akan fokus pada pembahasan tentang pembiayaan kredit sektor ini kare-na pembiayaan melalui program kredit ini tidak hanya merupakan kebutuhan men-desak yang dapat membantu usaha para petani dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya tetapi program ini juga telah menjadi fokus dari Pemerintah saat ini dalam upayanya untuk mengevaluasi kinerja dan efektivitas program ini, hal ini karena adanya kenyataan masih rendah-nya tingkat realisasi penyerapan kredit pada sektor ini padahal program ini sudah berjalan cukup lama.

Pembiayaan Sektor Pertanian

Pemerintah sebenarnya telah menggu-lirkan 2 model skema pembiayaan kredit (khususnya untuk sektor pertanian) yang sudah banyak dikenal masyarakat yaitu skema subsidi bunga dan skema penjamin-an risiko. Skema subsidi bunga untuk para debitur yang mempunyai karakteristik ban-kable tapi masih not-feasible. Sementara itu, skema penjaminan risiko gagal bayar (default) untuk para debitur yang mempu-nyai karakteristik not-bankable tapi sudah feasible. Skema dan jenis kredit program sektor ini dapat dipaparkan secara ringkas dalam Tabel 1.

Sementara itu, jika dilihat dari kelayak-an usaha dan kemampuan calon debitur (perorangan/UMKM) dalam memenuhi per-syaratan kredit pembiayaan (yang sumber dananya dari perbankan) maka penggo-longan kredit program sektor pertanian di atas baik yang bergerak di sektor pertanian

Upaya Optimalisasi Penyerapan Kredit Sektor Pertanian

Oleh: Abdul Aziz

Peneliti Madya, PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: [email protected]

ISI_IRF_REV_4.indd 17 8/22/2013 7:45:41 PM

18 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Grafik 1.Target dan Realisasi Produksi Pangan Indonesia (dalam juta ton)

Sumber: Media Indonesia 13 Feb 2012; Abdul Aziz, IRF Edisi 2 Tahun 2012.

1. Keterbatasan akses petani terhadap pembiayaan (karena banyak petani yang

masih not-bankable dan atau not-feasible, dan dianggap mempunyai risiko

tinggi jika dibebabkan bunga tinggi).

2. Rendahnya kualitas sarana infrastruktur pertanian, lahan, dan air.

3. Kapasitas dan kelembagaan penyuluh pertanian, kelompok petani, dan ke-

lembagaan petani lainnya yang masih lemah.

4. Mayoritas petani Indonesia yang rata-rata hanya memiliki lahan yang sempit

seluas < 0,5 hektar.

5. Belum berkembangnya industri hilir yang dapat menghasilkan value added

yang lebih besar jika dibandingkan dengan penjualan bahan baku pertanian.

6. Proses transfer teknologi sektor pertanian yang masih berjalan lambat.

7. Alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian dan penyusutan lahan sawah

yang berkurang sebesar ± 110 ribu ha per tahun.

Permasalahan Sektor Pertanian

BOX 1

Sumber: Kajian Usulan Kebijakan Skema Kredit dengan Subsidi Bunga dan Penjaminan Untuk Pertanian, Kementerian Pertanian, 2010.

sar dalam sektor ini dan juga menun-jukkan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan peran sektor ini dalam pembangunan. Selain itu juga sebagai upaya untuk meningkatkan kemudahan dalam mengakses sum-ber-sumber pembiayaan bagi peta-ni/UMKM sehingga modal kerja dan atau modal investasi para petani/UMKM tersebut dapat diperoleh de-ngan lebih baik dan lancar.

Namun demikian, niat peme-rintah yang baik tersebut terkadang tidak seindah realisasinya di la-pangan. Hal ini terbukti dari cukup rendahnya penyerapan kredit sektor ini, baik yang menggunakan skema subsidi bunga maupun penjaminan, seperti terlihat dalam Tabel 3.

Meskipun program KUR terlihat sangat bagus dalam penyerapannya (karena melebihi plafon yang telah ditentukan pemerintah), namun jika dilihat lebih jauh penyerapan per sek-tornya maka dapat dilihat bahwa pe-nyerapan KUR pada sektor pertanian sampai dengan 31 Desember 2012 se-cara nominal (KUR outstanding) hanya sekitar 18,11% dari total sedangkan jumlah debitur sektor ini hanya seki-tar 14,13% dari total.4 Pencapaian ini

Realisasi Pembiayaan Kredit Program

Program pembiayaan yang di-tawarkan pemerintah khususnya di sektor pertanian sebenarnya sudah cukup baik karena sudah mencakup variasi komoditas yang bisa dibiayai, variasi sistem kredit (skema kredit), variasi besarnya bunga, variasi masa pinjaman dan cara pelunasan, dan lainnya. Hal ini menunjukkan ada-nya kesungguhan pemerintah dalam memecahkan salah satu masalah be-

maupun sektor lainnya dapat dibagi dalam 4 kelompok jenis pembiayaan (kredit) sebagaimana tergambar da-lam Matriks 1.

Seperti disebutkan di atas bah-wa karakteristik calon debitur dapat didefinisikandenganisitilahfeasible dan bankable. Yang dimaksud dengan istilah feasible dalam Matriks 1 ada-lah adanya usaha calon debitur yang menguntungakan/memberikan laba sehingga mampu membayar bunga/marjin dan mengembalikan seluruh kewajiban/utang pokok kredit/pem-biayaan dalam jangka waktu yang di-sepakati antara bank pelaksana de-ngan debitur dan memberikan sisa keuntungan untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan yang dimak-sud dengan istilah bankable adalah debitur yang sudah memenuhi syarat perkreditan/pembiayaan dari bank pelaksana yang tercermin dalam hal penyediaan agunan dan pemenuh-an persyaratan perkreditan/pembia-yaan yang sesuai dengan ketentuan bank pelaksana.3

Pemahaman terhadap skema dari kredit sektor pertanian ini akan lebih baik jika merujuk juga pada perbandingan ketentuan dan persya-ratan keempat jenis kredit dimak-sud seperti dipaparkan dalam secara singkat dalam Tabel 2.

ISI_IRF_REV_4.indd 18 8/22/2013 7:45:41 PM

19

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Matriks 1. Empat Kelompok Kredit Pembiayaan Sektor Pertanian (Sektor Lainnya)

UMKM/Petani Feasible Not-Feasible

BankableKredit Komersial,

Kredit Syariah

KKPE, KUPS,

KPEN-RP

Not-Bankable Kredit Usaha Rakyat (KUR)Bantuan Sosial, PUAP,

PKBL, CSRSumber: Bustanul Arifin, 2013, diolah.

tentu tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini (sekitar 39,96 juta penduduk) dan ni-lai output PDB sektor ini di tahun yang sama yaitu sebesar Rp 1.190 triliun.5 Padahal program kredit ini diharap-kan dapat mendukung produktivitas dan nilai tambah dari sektor ini.

Sedangkan untuk skema prog-ram kredit pertanian lainnya (KKP-E, KPEN-RP dan KUPS), dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerapannya masih sangat kecil karena secara absolut total trealisasi kredit hanya sekitar Rp 5 triliun (ta-hun 2012). Jumlah ini juga masih ti-dak sebanding dengan jumlah tenaga kerja dan output PDB di atas.

Faktor Penyebab Rendahnya Realisasi Penyerapan Kredit dan Usulan Solusinya

Ada beberapa faktor dari berbagai aspek yang dapat diduga sebagai pe-nyebab dari rendahnya penyerapan/realisasi dari kredit program sektor ini dan bagaimana usulan solusinya.

a. Aspek Aturan Main/Skema Program KreditTerlalu banyaknya variasi prog-

ram kredit yang menangani sektor

ini baik dari sisi nama, persyaratan dan ketentuan peminjaman, jenis ko-moditas, skema/mekanisme pengaju-an dan penyerapannya dan lain-lain, berkemungkinan membuat para calondebiturberfikirduakaliuntukmengajukan pinjaman melalui kredit jenis ini. Penulis mengusulkan agar Pemerintah menyederhanakan ske-ma kredit sektor ini misalnya dengan hanya membuat satu jenis skema kre-dit induk yang berbasis jenis/golong-an komoditas dengan satu nama saja. Kemudian, dari skema kredit induk tersebut dijabarkan syarat dan ke-tentuan kredit pada masing-masing jenis/golongan komoditas yang akan diberikan fasilitas kredit. Usulan ske-

ma kredit induk tersebut dapat penu-lis ilustrasikan dalam Tabel 4.

b. Aspek Pemerintah dan Peme-rintah DaerahKurangnya sosialisasi program,

kurangnya penyuluhan baik dari sisi teknis maupun keuangan, ku-rangnya koordinasi antar instansi pusat dan daerah, kurangnya koor-dinasi antar pemerintah dan pemda dengan bank, kurangnya evaluasi oleh instansi yang bertanggung ja-wab, dan kurangnya monitoring dan pengawasan, kemungkinan menjadi sebab dari rendahnya penyerapan kredit progam. Usulan solusinya ada-lah pembagian tugas dan koordinasi yang jelas antara pemerintah pusat, pemda, perbankan, dan instansi ter-kait lainnya. Ini adalah salah satu kunci utama keberhasilan program kredit. Perlu dibentuk semacam ko-mite bersama di tingkat daerah (ti-dak hanya di pusat) yang beranggo-takan seluruh unsur/instansi terkait termasuk petani/kelompok tani baik yang menjadi debitur atau yang be-lum untuk evaluasi dan monitoring program, mengeksplorasi bottleneck dan solusinya secara periodik.

c. Aspek PerbankanBank pelaksana juga disinyalir

menjadi salah satu penyebab rendah-nya realisasi kredit sektor pertanian ini. Misalnya adalah sangat ketatnya aspek prudentiality dari perbankan terkait dengan agunan, pengalaman usaha, dan syarat lainnya termasuk juga sangat beragamnya persyarat-an tambahan pada masing-masing bank (terutama pada program KUR) sehingga hal ini bisa membingung-kan dan mempersulit calon debitur. Sebagai contoh, berdasarkan sosiali-sasi pemerintah bahwa debitur yang akan meminjam KUR sampai dengan Rp 20 juta tidak memerlukan agun-an. Namun, pada prak tiknya di la-pangan, sebagian bank pelaksana te-tap meminta agunan kepada pelaku

Tabel 1. Skema dan Jenis Kredit Program Sektor Pertanian

SKeMa KreDiT

Subsidi Bunga Penjaminan Risiko

KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi)

KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi)

KPEN-RP (Kredit Pengembangan Energi Nabati dan

Revialisasi perkebunan

KUR (Kredit Usaha Rakyat)

Sumber: Kementerian Pertanian, 2010, diolah.

Perlu dibentuk semacam komite bersama di tingkat

daerah (tidak hanya di pusat) yang

beranggotakan seluruh unsur/instansi terkait

termasuk petani/kelompok tani.

ISI_IRF_REV_4.indd 19 8/22/2013 7:45:41 PM

20 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Tabel 2. Ketentuan dan Persyaratan Kredit Program

No. Keterangan KKP-e KPeN-rP KUPS KUr

1. Definisi Kredit investasi dan/atau

modal kerja yang diberi kan

dalam rangka mendukung

ketahanan pangan dan

energi

Kredit yang diberikan

dalam rangka men-

dukung pelaksanaan

Program Pengem-

bangan Tanaman

Bahan Baku Bahan

Ba- kar Nabati dan

Program Revitalisasi

Perkebunan

Kredit yang

diberikan kepada

Pelaku Usaha

Pembibitan Sapi

Kredit/pembiayaan yang

diberikan oleh perbankan

kepada UMKM dan

Koperasi yang feasible tapi

belum bankable (usaha

tersebut memiliki prospek

bisnis yang baik dan me-

miliki kemampuan untuk

mengembalikan)

2. Sasaran Pembia-

yaan

Pengembangan tanaman

pangan, hortikultura, perke-

bunan, pengadaan pangan

berupa gabah, jagung,

kedelai, dan perikanan,

peternakan, penangkapan

dan pembudidayaan ikan,

pengadaan /peremajaan

peralatan, dan lainnya.

Pengembangan

perkebunan yang

meliputi perluasan,

rehabilitasi dan

peremajaan tanaman

Kelapa Sawit, Karet

dan Kakao

Kegiatan usaha

pembibitan sapi

UMKM dan Koperasi

yang feasible tapi belum

bankable

3. Penerima Kredit

Program

Kelompok tani dan/ atau

koperasi, petani, peternak,

pekebun,nelayan dan pem-

budidaya ikan

Petani yang termasuk

dalam daftar yang di-

usulkan memperoleh

KPEN-RP yang dite-

tapkan oleh Bupati/

Walikota atau pejabat

yang dikuasakan

Perusahaan

peternakan,

Koperasi, Kelom-

pok/Ga- bungan

kelompok peter-

nak yang me-

lakukan usaha

pembibitan sapi

UMKM dan Koperasi

yang diharapkan dapat

mengakses KUR adalah

yang bergerak di sektor

usaha produktif antara

lain: pertanian, perikanan

dan kelautan, perindustri-

an, kehutanan, dan jasa

keuangan simpan pinjam.

4. Bunga Bank 5 % - 7% 10,5% 11,5% 13 – 22%

5. Bunga di Petani

(Jenis Tanaman)

Tebu : 12,25%

Lainnya: 13,25%

Karet, Kako: 5%

Sawit: 6%

Sapi: 5% Ritel: 13 %

Mikro: 22%

6. Subsidi Bunga 5,25% - 8,25% 4,5% - 5,5% 6,5% Tidak ada

7. Maksimal Kredit Per Debitur: Rp 100 juta dan

Poktan/Gapoktan/ Koperasi

Rp 500 juta

Rp 172 juta Rp 65 miliar

(sapi potong), Rp

70 miliar (sapi

perah)

Untuk KUR Mikro s. d. Rp

20 juta dan untuk KUR

Ritel: Rp 21 juta s. d. Rp

500 juta

8. Jangka Waktu Sesuai siklus usaha, paling

lama 5 tahun

13 – 15 Tahun 6 tahun Modal Kerja :3 – 6 tahun,

Investasi: 5-10 tahun, khu-

sus tanaman perkebunan:

13 tahun

9. Komoditas/Usaha

yang Dibiayai

Tanaman pangan, horti-

kultura,tebu, ternak, dan

lainnya

Sawit, kakao, karet. Pembibitan

Sapi

Semua usaha, produktif

(semua sektor termasuk

pertanian)

10. Bank Pelaksana

dan Instansi Lain

yang Terlibat

9 Bank Umum 13 BPD 9 Bank Umum, 7

BPD

4 Bank Umum,

7 BPD

5 Bank Umum, 1 Bank

Syariah, 26 BPD, 4 Peru-

sahaan Penjamin

Dari berbagai sumber, diolah.

ISI_IRF_REV_4.indd 20 8/22/2013 7:45:41 PM

21

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Tabel 3. Realisasi Penyerapan Kredit Program dan Subsidi APBN 2010 – 2012

Program Uraian 2010 2011 2012

KUr Untuk Seluruh Sektor

Target penyerapan Rp 20 triliun Rp 20 triliun Rp 30 triliun

Realisasi Total Rp 17,23 triliun Rp 29,00 triliun Rp 33,47 triliun

IJP (subsidi lainnya) Rp 223,16 miliar Rp 636,19 miliar Rp 801,13 miliar

KKP-E

Target penyerapan - - -

Realisasi Rp 714,42 miliar Rp 3,77 triliun Rp1,31 triliun

Subsidi Bunga Rp 132,06 miliar Rp 179,39 miliar Rp196,08 miliar

KPEN-RPTarget penyerapan - - -

Realisasi Rp 1,26 triliun Rp 2,20 triliun Rp 2,72 triliun

Subsidi Bunga Rp 42,32 miliar Rp 74,50 miliar Rp 76,99 miliar

KUPS

Target penyerapan - - -

Realisasi Rp 133,75 miliar Rp 351,82 miliar Rp 556,77 miliar

Subsidi Bunga Rp 3,66 miliar Rp 20,08 miliar Rp 26,980 miliar

Sumber: Direktorat Sistem Manajemen Investasi, DJPb, 2013, diolah.

Tabel 4. Usulan Skema Kredit Pertanian

No Syarat dan Ketentuan

Skema Kredit

Skema Penjaminan Skema Subsidi Bunga

Gol. Komoditas *) Gol. Komoditas *)

A B C D E A B C D E

1 Sasaran Pembiayaan

2 Sasaran Penerima

3 Bunga Bank

4 Bunga di Petani

5 Subsidi Bunga

6 Grace Period

7 Maksimal Kredit

8 Jangka Waktu Pelunasan

8 Jenis Agunan

9 Besaran Agunan

10 Bank Pelaksana

11 Instansi Penjamin

.... dan lainnya…

*) Jumlah golongan komoditas bisa ditambah/dikurangi sesuai dengan hasil kajian yang

mendalam. Sebagai contoh: Golongan A adalah Komoditas Tanaman Pangan, Golong-

an B Komoditas Tanaman Hortikultura, Golongan C Komoditas Tanaman Pepohonan,

Golongan D Komoditas Perikanan, dan Golongan E Komoditas Peternakan. Penggo-

longan ini nantinya bisa dikaitkan dengan leveling pengenaan bunga, atau besaran

porsi penjaminan pemerintah, dan lainnya.

usa ha. Untuk mengatasi masalah ini, perlu diperjelas fungsi dari komite kebijakan pusat agar program kre-dit ini dapat berjalan dengan lancar dan tidak multitafsir di tingkat per-bankan. Di samping itu, perlu diper-baharui MoU antara berbagai pihak terutama dengan perbankan khusus-nya terkait target realisasi penyerap-an per bank per tahun serta terkait dengan persyaratan dan ketentuan kredit harus clear dan seragam un-tuk program kredit yang sama.

d. Aspek DebiturKualitas sumber daya manusia

(debitur) kemungkinan juga bisa menjadi sebab dari rendahnya penye-rapan kredit di sektor ini. Sebagian be-sar petani adalah mereka yang hidup di pedesaan yang tidak banyak me-nerima wawasan/informasi tentang segala sesuatu seperti kredit, penge-lolaan keuangan baik sebelum mau-pun setelah menerima kredit, mung-kin juga belum mengetahui secara pasti teknik bertani modern dengan teknologi yang modern juga. Kondisi-kondisi inilah yang mungkin menye-babkan produktivitas dan produksi pertanian masih rendah sehingga ja-

ISI_IRF_REV_4.indd 21 8/22/2013 7:45:41 PM

22 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Catatan

1 Data BPS 2013.

2 Kementrian Pertanian, 2010;

3 Tim Pelaksana Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan, 2012, hal. 20

4 Komite KUR, Kemenko Bidang Perekonomian, 2012;

5 http://www.bps.go.id/pdb.php

Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, Best Practice Kredit Sektor Pertanian, FGD Penyusunan Model Penyerap-

an Kredit Sektor Pertanian, BKF-Kementerian Keuangan, Jakarta, 4 Maret 2013.

Aziz, Abdul, Krisis Pangan, Irigasi, dan Dampaknya Terhadap APBN, Majalah Info Risiko

Fiskal Edisi 2 Tahun 2012, Kementerian Keuangan.

Kementerian Pertanian, Kajian Usulan Kebijakan Skema Kredit Dengan Subsidi Bunga

dan Penjaminan Untuk Pertanian, Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertani-

an, Jakarta, 2010.

Komite Kredit Usaha Rakyat, Sebaran Penyerapan KUR Periode November 2007 – De-

sember 2012, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, WWW.komitekur.

com, 2012.

Tim Pelaksana Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan Kepada Usaha Mikro,

Kecil, Menengah, dan Koperasi, Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan

Kredit Usaha Rakyat (SOP-KUR), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI,

Jakarta, 2012.

ngankan untuk menyejahterakan pe-tani tersebut, untuk sekedar menutup cicilan pinjaman saja para petani/de-bitur tersebut akan kesulitan.

Adalah tugas berbagai pihak ter-utama pemerintah dalam mening-katkan kualitas pendidikan dan wa-wasan petani sehingga para petani tersebut mempunyai bekal pengeta-huan yang cukup dalam menjalan-kan usaha pertaniannya, bagaimana mengelola keuangannya, dan lain se-bagainya. Inilah pentingnya penyu-luhan yang intensif atau mengadakan unit/balai latihan kerja buat para pe-tani dan tenaga kerja di bidang per-tanian (seperti yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja). Upaya ini seharusnya terus dilakukan oleh pemerintah, pemda, dan khususnya Dinas Pertanian terutama di daerah-daerah yang menjadi obyek sasaran program pembiayaan kredit pertani-an ini.

e. Aspek Karakter Usaha/Sektor Pertanian

Karakter dari sektor pertanian se-cara umum adalah sektor yang mem-punyai kerentanan risiko yang cukup tinggi. Tingginya risiko ini tercermin dari ancaman gagal panen, sangat sensitif dengan perubahan cuaca, sangat rentan dengan bencana alam, rentan dengan serangan penyakit/hama pada tanaman dan hewan pe-liharaan, serta kerentanan dan keti-dakpastian lainnya. Karakter sekto-ral inilah yang membuat perbankan sangat berhati-hati dalam menyalur-kan kreditnya sehingga ‘wajar’ jika realisasi kredit program di sektor ini masih rendah.

Solusinya adalah mengubah ske-ma penjaminan risiko yang harus ditanggung Pemerintah yang sebe-lumnya hanya sebesar 80% jika ter-jadi default (pada sektor pertanian yang diberlakukan secara umum untuk seluruh komoditas pertanian, sebagaimana terdapat dalam atur-an program KUR) menjadi pemberi-

an besaran penjaminan pemerintah (jika terjadi default) diperhitungkan berdasarkan kadar tinggi rendahnya potensi risiko (kerentanan) pada ma-sing-masing komoditas atau golong-an komoditas yang memang layak di-masukkan dalam skema penjaminan (bukan skema subsidi bunga), begitu pula dengan kredit pertanian yang menggunakan skema subsidi bunga perlu diperluas leveling pemberian subsidi bunganya bergantung pada kadar tinggi rendahnya potensi risi-ko (kerentanan).

Kesimpulan

Sektor pertanian dianggap ma-sih memegang peran strategis da-lam pembangunan ekonomi Indone-sia, hal ini di antaranya dibuktikan dengan pencapaian sektor ini dalam upayanya memenuhi target kebutu-han pangan nasional dan masih ba-nyaknya penduduk Indonesia yang bekerja di sektor ini. Harapan Indo-nesia untuk meningkatkan peran sektor pertanian dalam pembangun-an di masa yang akan datang akan berhadapan dengan banyak ham-batan karena masih adanya masa-lah mendasar sektor ini yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas. Di-antara masalah-masalah mendasar tersebut adalah tentang pembiayaan kredit sektor ini.

Banyak hal yang perlu dievalua-si dari sisi pembiayaan ini terutama terkait dengan penyebab rendahnya realisasi penyerapan pembiayaan/kredit ini. Oleh karena itu, perlu di-lakukan usulan dan langkah strategis untuk memecahkan permasalahan tersebut seperti yang ditawarkan pe-nulis pada paparan di atas. n

Harapan indonesia untuk meningkatkan peran sektor

pertanian dalam pembangunan di masa yang akan datang

akan berhadapan dengan banyak

hambatan.

ISI_IRF_REV_4.indd 22 8/22/2013 7:45:42 PM

23

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

KeterSeDiAAn dan kesiapan infrastruk-tur yang memadai memegang peranan penting dalam mendukung ketahanan pa-ngan di Indonesia. Keterkaitan antara in-frastruktur dan ketahanan pangan terse-but dapat dipahami dengan mengetahui faktor-faktor yang mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Secara umum, laju pertumbuhan penduduk menjadi faktor yang sangat mempengaruhi ketahanan pangan.1 Selain pertumbuhan penduduk, faktor lain yang mengancam ketahanan pangan disebabkan oleh (1) peningkatan harga pangan, baik produk lokal atau im-por yang disebabkan biaya transportasi atau spekulasi harga di pasar internasional (2) produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan konsumsi di suatu daerah ter-tentu; dan (3) produksi pangan terhambat, misalnya karena perubahan iklim, cuaca, kekeringan atau banjir.2

Masalah ketahanan pangan di Indone-sia sangat dipengaruhi oleh laju pertum-buhan penduduk. Pada Tabel 1 dapat di-lihat tren kenaikan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, dimana pada ku-run waktu tahun 2005 penduduk Indonesia mencapai 218 juta jiwa, meningkat tajam dari dekade sebelumnya yang mencapai 193 juta jiwa dan 146 juta jiwa pada dua dekade sebelumnya. Pertumbuhan jumlah pendu-duk ini banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Tren kenaikan jumlah pen-duduk ini diperkirakan akan terus terjadi ke depan seiring dengan meningkatnya sek-tor perekonomian di Indonesia. Konsekuen-si dari pertumbuhan ini adalah keharusan peningkatan produktivitas dan produksi ta-naman pangan untuk mendukung populasi penduduk yang semakin meningkat.

BKKBN dalam studinya menyebutkan bahwa pertambahan penduduk akan me-

ningkatkan kebutuhan pangan sekaligus juga menurunkan luas dan kemampuan lahan untuk menyediakan pangan dikare-nakan penduduk yang demikian banyak akan menggunakan lahan untuk peru-mahan, perkantoran, industri dan fasilitas lain yang akan mengurangi ketersediaan sumber daya lahan pertanian untuk pro-duksi pangan. Namun demikian, masalah pangan yang dihadapi Indonesia tidak se-mata karena laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga persebaran penduduk yang ti-dak merata, di mana penduduk hanya ter-konsentrasi di kota besar di pulau tertentu saja. Hal ini bertolak belakang dengan dae-rah sentra penghasil pangan yang umum-nya terletak di pulau yang tidak menjadi konsentrasi jumlah penduduk.

Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, konsentrasi jumlah penduduk ada di Pu-lau Jawa, di mana sekitar 70% penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa. Sedangkan informasi pada Tabel 2 menunjukkan pro-duksi beras per kapita di Pulau Jawa hanya berkisar 40 kg/tahun. Angka produksi ini berbeda jauh dengan Pulau Sulawesi ser-ta Bali dan Nusa Tenggara yang mencapai sekitar 80 kg/tahun, atau pun Pulau Kali-mantan yang berkisar 70 kg/tahun. Perban-dingan data ini memunculkan kesimpulan adanya arus distribusi produksi beras dari daerah surplus produksi seperti Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Kalimantan ke daerah yang produksi pangannya lebih rendah namun konsumsinya lebih ting-gi seperti Pulau Jawa. Berkaca pada fakta tersebut, infrastruktur transportasi sangat dibutuhkan guna mendukung kelancaran arus distribusi produksi beras tersebut.

Dukungan sektor transportasi, selain dalammemperlancararusdistribusifisikbarang, juga sangat berpengaruh pada pro-

Pembangunan Infrastruktur Transportasi untuk Mendukung Ketahanan Pangan

Oleh: Eko Nur

Surachman

Kasubbid Risiko Infrastruktur Transportasi, PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: e.nursurachman@

gmail.com

ISI_IRF_REV_4.indd 23 8/22/2013 7:45:42 PM

24 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

ses penentuan harga ko-moditas di pasar. Sema-kin bagus infrastruktur transportasi maka biaya logistik barang akan juga semakin murah.

Data pada Tabel 3 me-nunjukkan harga gabah kering di daerah sentra surplus beras yaitu Bali dan Nusa Tenggara serta Sulawesi pada tahun 2010 mencapai Rp 2.761/kg dan Rp 2.596/kg. Namun harga tersebut mening-kat sebesar 20% di Pulau Jawa dan Sumatera. De-mikian juga pada tahun 2011, disparitas harga antara pulau surplus pro-duksi dan pengkonsumsi tersebut mencapai lebih dari 20%, di mana harga gabah di Pulau Jawa men-capai Rp 3.525/kg dan Pu-lau Sumatera Rp 3.609/kg, sedangkan di Bali dan Nusa Tenggara hanya Rp 3.118/kg, bahkan di Sula-wesi hanya Rp 2.884/kg.

Dalam teori, perbe-daan kapasitas produksi per daerah ini dan ting-kat harga beras ini me-nurut Sutawi3 akan mem-buat komoditas beras mengalir dari daerah surplus dengan tingkat harga rendahkedaerahdefisitdenganting-kat harga yang lebih tinggi. Namun hal tersebut akan sangat bergantung kepada infrastruktur dan sarana dis-tribusi yang mumpuni guna mendu-kung kelancaran arus barang antar pulau.

Dukungan Infrastruktur Transportasi

Diskusi tentang infrastruktur transportasi guna mendukung ke-lancaran arus distribusi barang di Indonesia tidak lepas dari bentuk geografisIndonesiayangberupane-

sia mencapai 14% dari biaya produksi total, jauh melebihi biaya di Jepang misalnya yang hanya mencapai 4,9%. Besarnya biaya logisitik ini sangat mempengaruhi besaran harga pokok penjualan barang ke pasar. Di da-lam sektor pangan, hal ini tercermin dari dispari-tas harga gabah antarpu-lau yang diuraikan pada bagian tulisan di atas. Studi LPEM UI tersebut juga menjelaskan bahwa kemacetan (congestion) pergerakan barang baik di dalam maupun di luar pelabuhan, terbatasnya infrastruktur, terbatas-nya crane, administrasi, dan manifest kargo meng-akibatkan tersendatnya pengiriman barang dan mengakibatkan kapal ha-rus menunggu lebih lama di pelabuhan. Hal-hal ter-sebut membuat pelayan-an pelabuhan yang tidak maksimal sehingga me-nyebabkan biaya logis-tik meningkat. Data dari INSA (Indonesia National Shipowner Association)6

menyebutkan kerugian akibat kon-gesti bagi operator kapal kargo un-tuk biaya bongkar di luar biaya pela-buhan dan biaya overhead, jika kapal harus antri menunggu di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai US$ 3.500 per hari atau US$ 20 juta per tahun. Oleh karena banyaknya penundaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok maka banyak perusahaan pe-layaran melakukan kegiatan bong-kar di pelabuhan-pelabuhan seki-tar seperti Singapura dan Malaysia. Sementara itu, Pelabuhan Tanjung Priok hanya bertindak sebagai pe-labuhan pengumpan (feeder port). Permasalahan Pelabuhan Tanjung

gara kepulauan dengan luas lautan hampir 75,3% dari total luas wilayah Indonesia.4 Sebagai negara kepu-lauan tentunya sektor perhubungan laut sangat memegang peranan pen-ting dalam arus distribusi barang di Indonesia. Pelabuhan menjadi sim-pul penting dalam arus perdagangan dan distribusi barang di Indonesia, di mana perdagangan melalui jalur laut mencapai 90%.5 Oleh karena itu, pe-layanan yang buruk dari pelabuhan akan berdampak besar bagi kegiatan perdagangan dan distribusi barang di Indonesia.

Lebih jauh, studi tersebut me-nyebutkan biaya logistik di Indone-

Tabel 1. Jumlah Penduduk Indonesia

Sumber: BPS.

Sumber: BPS, diolah.

Sumber: BPS.

Tabel 2. Produksi Beras Per Kapita (Kg)

Tabel 3. Harga Gabah Kering Panen (Rp per Kg)

ISI_IRF_REV_4.indd 24 8/22/2013 7:45:43 PM

25

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Mendukung Ketahanan Pangan

Dari uraian diatas, hendaknya pembangunan infrastruktur trans-portasi terutama di sektor kelautan dan kepelabuhanan menjadi prioritas dalam pembangunan nasional guna mendukung tercapainya ketahanan pangan di Indonesia. Ketersediaan sarana transportasi ini merupakan salah satu pilar utama program pen-capaian ketahanan pangan nasional. Hal ini terutama dilihat dari sudut pandang dukungannya terhadap ke-lancaran arus barang produksi per-tanian dan bahan pangan lain dari daerah sentra produksi seperti Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi ke dae-rah konsumsi pangan yang notabene terpusat di Pulau Jawa dan Pulau Su-matera. Pembangunan infrastruktur transportasi ini bisa difokuskan ke pembangunan sarana pendukung kepelabuhanan sehingga arus bong-kar muat barang hasil pertanian dan bahan pangan lainnya bisa berjalan denganefektifdanefisiendari segiwaktu maupun biaya.

Mengingat banyaknya pelabuhan di Indonesia, pembangunan pelabu-han dilakukan dengan prioritisasi berdasarkan klasifikasi pelabuhanyaitu pelabuhan utama (main), pe-labuhan pengumpul (collector), dan pelabuhan pengumpan (feeder). Pe-labuhan utama dibangun untuk me-layani lalu lintas dan perdagangan internasional dan domestik dengan kapasitas volume sebesar 100.000 kontainer 20 kaki (TEU/twentyfoot equivalent unit), Pelabuhan pengum-pul melayani sektor domestik dan berfungsi sebagai penghubung ke pelabuhan utama, dengan kapasitas sampai dengan 25.000 TEU, sedang-kan pelabuhan pengumpan berfung-si melayani pelabuhan pengumpul dan melayani lalu lintas perdagang-an antarpropinsi. Dengan pengklasi-fikasian jenispelabuhanyangakandibangun tersebut, diharapkan akan terdapat sinergi di antara pelabuhan

tersebut sehingga mendukung sistem distribusi nasional yang efektif dan efisien, atau yang dikenal denganPendulum Nusantara.

Selain pembangunanfisik pela-buhan, pembangunan institusi kepe-labuhanan (PA/Port Authority) dan sumber daya manusia yang mendu-kung PA juga patut mendapatkan perhatian. Port Authority yang ide-al harus mandiri dan otonom da-lamaspekfinansialdanpendanaan,mempunyai skema rekruitmen SDM yang mandiri, serta bertanggung ja-wab dalam sebuah kontrak kinerja dengan menteri yang membidangi transportasi.7

Denganpembangunanaspekfi-sikdannonfisikkepelabuhanan,di-harapkan infrastruktur transportasi kepelabuhanan akan dapat membe-rikan pelayanan bongkar muat ba-rangyangefisiendarisegiwaktudanbiaya, sehingga secara keseluruhan akan memperlancar arus distribu-si barang produksi pertanian dan bahan pangan lainnya. Kelancaran arus distribusi ini merupakan salah satu faktor pendukung tercapainya ketahanan pangan nasional, selain tentunyafaktorintensifikasidanek-stensifikasididalamsektorpertani-an itu sendiri. n

Catatan

1 Analisis Dampak Kependudukan

Terhadap Ketahanan Pangan,

Kajian Dampak Lingkungan, Di-

rektorat Analisis Dampak Kepen-

dudukan, BKKBN, 2011/2012.

2 African Development Bank.

3 Tinjauan Distribusi Pangan : Prog-

ram Magister Agribisnis Universi-

tas Muhammadiyah Malang.

4 http://www.dekin.kkp.go.id/

5 Infrastruktur dan Logistik, Arianto

Patunru, LPEM UI.

6 http://www.insa.or.id/en/site/lan-

ding

7 Studi Indii National Port Develop-

ment Planning, 2011.

1. SUMaTera

1. Sabang2. Belawan3. Dumai4. Batuampar5. Sekupang6. Kabil7. Lobam8. Tanjung Balai Karimun9. Teluk Bayur

10. Tua Pejat11. Palembang12. Panjang

2. Jawa13. Bojonegoro14. Tanjung Priok15. Tanjung Intan16. Tanjung Emas17. Tanjung Perak

3. Bali-NUSa TaNggara eC18. Benoa19. Tenau Kupang

4. KaliMaNTaN eC20. Pontianak21. Balikpapan22. Sampit23. Banjarmasin24. Mekar Putih

5. SUlaweSi eC25. Makasar26. Pantoloan27. Bitung

6. PaPUa-KePUlaUaN MalUKU eC28. Ambon29. Ternate30. Sorong31. Jayapura32. Merauke

Tabel 4. Prioritas Pembangunan Pelabuhan

Utama di Indonesia

Sumber: Kementerian Perhubungan RI.

Priok tersebut memberi gambaran bahwa pelayanan pelabuhan belum berjalan dengan baik dan akan ber-pengaruh pada distribusi barang di Indonesia. Data tahun 2008 menun-jukkan bahwa volume arus bongkar muat barang dalam negeri 60% me-lalui Tanjung Priok dan untuk volu-me arus bongkar muat angkutan luar negeri mencapai 83,6% melalui Tan-jung Priok.

ISI_IRF_REV_4.indd 25 8/22/2013 7:45:43 PM

26 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

Trade rules stabilize the world economy by discouraging sharp backward steps in poli-cy and by making policy more predictable. They deter protectionism; they increase cer-tainty. They are confidence-builders. (WTO – 2013)

DewASA ini kegiatan perdagangan inter-nasional telah meningkat pesat. World Tra-de Organization (WTO) mencatat bahwa nilai perdagangan dunia terus mengalami pertumbuhan. Tabel 1 menunjukkan bukti kegiatan ekspor – impor adalah masa de-pan perekonomian dunia. Pergerakan ba-han baku maupun barang konsumsi dari satu sumber/negara, mencerminkan ada-nya saling ketergantungan satu dengan lainnya. Saat ini hampir dipastikan tidak ada negara yang secara mutlak menutup diri dari perdagangan dunia.

Buat negara maju maupun berkem-bang, ekspor menjadi salah satu sendi per-

Menakar Daya Proteksi Pasar Produk Pertanian Indonesia

ekonomian nasional. Masing-masing nega-ra berlomba-lomba untuk meningkatkan posisi surplus neraca perdagangannya. Mari membaca data perdagangan kedua negara ini, Amerika Serikat (AS) dan China. Tahun 2012, AS mencatat nilai ekspor dan impor mencapai US$ 3,82 triliun (sumber: www.vibiznews.com, “China Berhasil Lam-paui AS Menjadi Negara Dengan Transaksi Perdagangan Barang Terbesar di 2012”). Di tahun yang sama, China melaporkan bah-wa nilai total ekspor dan impor mencapai US$ 3,87 triliun. China unggul dalam trans-aksi barang (surplus US$ 231,1 miliar) se-dangkan AS pada nilai transaksi jasa (sur-plus US$ 195,3 miliar).

Informasi ini diperkuat oleh laporan Dana Moneter Internasional (IMF). Menu-rut IMF, sejak 2009, China menjadi negara eksportir terbesar di dunia (Kompas, 11 Februari 2013). Fokus perdagangan China

Oleh: Adrianus Dwi

Siswanto

Peneliti Muda PPRF, BKF, Kementerian

Keuangan.

email: dwisiswantoadrianus76@

gmail.com

Sumber: en.academic.ru

ISI_IRF_REV_4.indd 26 8/22/2013 7:45:45 PM

27

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Tabel 2. Kontribusi Ekspor Indonesia terhadap Ekspor Dunia

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012Trend (%) 2006-2012

Ekspor Dunia (miliar US$) 12.042,9 13.849,3 15.997,8 12.339,5 15.055,3 17.855,7 17.855,7 6

Ekspor Indonesia (miliar US$) 100,8 114,1 137 116,5 157,8 203,5 190 12,1

Kontribusi Indonesia (%) 0,84 0,82 0,86 0,94 1,05 1,14 1,06 5,8Sumber : Laporan Kinerja Kementerian Perdagangan RI 2012

Tabel 1. Total Transaksi Perdagangan Dunia (triliun dolar AS)

Transaksi Perdagangan

2008 2009 2010 2011 2012

Ekspor 16,15 12,55 15,29 18,29 18,32

Impor 16,57 12,78 15,50 18,49 18,57Sumber : http://stat.wto.org/StatisticalProgram

Tabel 3. Share 10 Komoditas Utama Ekspor

No. Komoditas Utama 2008 2009 2010 2011 2012

1. Tekstil dan Produk Tekstil 0,23 0,21 0,25 0,30 0,28

2. Elektronik 0,21 0,21 0,25 0,26 0,26

3. Karet dan Produk Karet 0,18 0,11 0,22 0,34 0,25

4. Sawit 0,18 0,14 0,19 0,20 0,20

5. Produk Hasil Hutan 0,04 0,04 0,06 0,08 0,08

6. Alas Kaki 0,06 0,04 0,06 0,07 0,12

7. Otomotif 0,03 0,02 0,02 0,03 0,03

8. Udang 0,03 0,04 0,04 0,03 0,02

9. Kakao 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03

10. Kopi - - - - -

Total Kontribusi Produk Pertanian 0,05 0,04 0,50 0,70 0,60Sumber : Kementerian Perdagangan, diolah.

Dengan kekuatan komoditas uta-ma terletak pada produk pertanian, ternyata hanya ada 2 produk yang memberikan kontribusi signifikan.Itupun kedua komoditas tersebut te-rusberfluktuasivolumeekspornya.Keadaan ini sangat mengkhawatir-kan. Jika bertumpu hanya pada ke-dua komoditas tersebut, ekspor Indo-nesia bisa dikatakan sangat rentan. Sumber kerentanan bisa karena pe-ngaruh persaingan dari produk ne-gara lain, atau karena ketersediaan pasokan pasar domestik mengalami gangguan. Bandingkan dengan pro-duk industri seperti elektronik yang relatif stabil pertumbuhan ekspor-nya. Produk-produk pertanian Indo-nesia belum dikelola dengan pende-katan industri.

Dari sisi impor produk pertani-an, Indonesia menghadapi persoal-an yang tidak kalah seriusnya. Wa-laupun merupakan negara agraris, Indonesia mengimpor dalam jumlah cukup besar beberapa produk perta-nian pangan. Setidaknya tercatat ada 8 jenis produk pertanian yang terus tumbuh volume impornya. Impor terbesar adalah gandum, diikuti de-ngan ampas sisa industri makanan (Grafik 1).

Meningkatnya impor tidak lepas dari adanya pertumbuhan perminta-an pasar dalam negeri yang ditopang oleh semakin membaiknya daya beli masyarakat. Namun fenomena ter-

Sepertinya diperlukan waktu lama untuk beranjak menuju produk-pro-duk manufaktur dan padat teknologi. Dari Tabel 3, pembaca dapat menge-tahui komoditas pertanian kontribu-sinya mencapai lebih dari 50% dari total ekspor.

adalah kegiatan impor bahan baku dan komponen. Namun tidak ber-henti pada tahap tersebut, China ke-mudian merakitnya menjadi barang jadi untuk diekspor kembali. Kekuat-an China terletak pada kemampuan-nya mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Dengan kemampuan ter-sebut, China mampu memposisikan dirinya sebagai produsen sekaligus eksportir.

Ekspor dan Impor Komoditas Pertanian Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia, terutama yang terkait dengan perda-gangan produk-produk pertanian? Dari sisi data makro, posisi Indonesia dalam ekspor dunia masih kecil (Ta-bel 2). Dengan nilai ekspor tersebut,

memang masih ada potensi untuk memperbesar pangsa. Problemnya terletak pada kemampuan Indonesia untuk merebut dan memperbesar pangsa pasar tersebut. Dengan stra-tegi perdagangan yang selama ini di-lakukan, sulit mengharapkan adanya perubahan dalam postur perdagang-an luar negeri Indonesia secara sig-nifikan.

Sampai sekarang, konsentrasi perdagangan ekspor unggulan In-donesia masih pada produk-produk alam, khususnya produk pertanian. Dari 10 komoditas utama ekspor, se-tidaknya ada 6 komoditas yang ber-asal dari sektor pertanian. Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian masih dominan dan belum ada tan-da-tanda bergeser ke sektor lainnya.

ISI_IRF_REV_4.indd 27 8/22/2013 7:45:46 PM

28 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

sebut juga menandakan bahwa pro-duksi lokal belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Bahkan untuk produk pertanian seperti sa-yur dan buah-buahan yang nilai im-pornya terus mengalami pertumbuh-an selama 5 tahun terakhir ini. Tidak berlebihan kemudian Kementerian Pertanian bersama-sama dengan Ke-menterian Perdagangan, mengeluar-kan paket kebijakan hambatan im-por. Tujuannya adalah mengurangi masuknya impor-impor komoditas tersebut. Harapannya konsumen da-lam negeri beralih membeli produk-produk pertanian lokal.

Secara global, pasar komoditi per-tanian dunia memperlihatkan ada-nya pertumbuhan permintaan. Data yang dikeluarkan oleh International Trade Statistics (2011) menyebutkan bahwa pangsa produk-produk perta-nian dalam total perdagangan dunia, mencapai 9,2% di tahun 2010. Me-ningkat menjadi 9,3% di tahun 2011. Kawasan Asia mencatat pertumbuh-an tertinggi, yaitu 0,6%. Sementa-ra itu, kawasan benua Amerika dan Afrika turun sebesar 0,1% dan 0,8%. Pertanyaannya mampukah Indone-sia merebut peluang dari pertum-buhan pasar produk pertanian du-nia? Mengingat data membuktikan

partisipasi Indonesia baru sebatas sebagai konsumen dan menjadi pa-sar bagi produk-produk impor.

Dari sisi kebijakan domestik, se-tidaknya ada dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan Kemen-terian Perdagangan, yang fokus pada kegiatan di sektor pertanian dan per-dagangan produknya. Kedua kemen-terian tersebut mengeluarkan paket-paket kebijakan yang diharapkan mampu mendongkrak ekspor komo-ditas pertanian. Namun demikian, sampai saat ini kinerja ekspor belum berubahsecarasignifikan.Perluker-ja keras untuk mencapai target seba-gai eksportir utama di pasar produk pertanian global.

Kepentingan Pasar Domestik

Pasar produk pertanian meru-pakan pasar yang akan terus ber-kembang. Mengingat sektor perta-nian merupakan kontributor utama pasokan pangan. Dengan bertam-bahnya jumlah penduduk dan terus membaiknya daya beli masyarakat, pasar pangan dari komoditas perta-nian akan terus tumbuh. Setidaknya, jumlah penduduk dan daya beli akan menjadi daya dorong meningkatnya permintaan produk pertanian du-nia. Oleh karena itu, sizing pasar akan menjadi semakin besar. Tentu

saja hal tersebut berimbas naiknya volume perdagangan global. Dengan kata lain, transaksi ekspor dan impor akan mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan ekspor dunia, ter-masuk Indonesia, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan perdagangan in-ternasional. Baik dalam bentuk pro-teksi tarif maupun non-tarif yang di-berlakukan di banyak negara. Negara maju maupun berkembang, biasanya memiliki kebijakan-kebijakan spesi-fik untukmelindungi pasar domes-tik. Namun demikian, aturan perda-gangan global tetap menjadi acuan. Walaupun kondisi tersebut mencipta-kan sengketa-sengketa perdagangan namun tidak mengurangi hadirnya perdagangan bebas di berbagai ka-wasan. Pasar terus tumbuh semakin besar seiring dengan meningkatnya kebebasan iklim perdagangan.

Sengketa perdagangan yang saat ini terjadi, kerap kali berasal dari kei-nginan masing-masing negara untuk memproteksi pasar domestik. Misal-nya, kebijakan Uni Eropa dalam im-por buah pisang yang ditentang oleh AS dan negara-negara pengekspor lainnya seperti Guatemala, Meksiko, dan Honduras. Persoalan ini kemudi-an dibawa ke forum arbitrasi di mana keputusan akhirnya adalah mem-berikan kompensasi dalam bentuk konsesi untuk AS. AS dapat menam-bahkan tarif sebesar 100% untuk be-berapa produk impor Uni Eropa de-ngan total nilai US$ 191,4 juta. Contoh lain, pelarangan produk daging sapi masuk ke pasar Uni Eropa berkaitan dengan regulasi bidang sanitary dan phitosanytary. Akibat kebijakan ter-sebut, negara-negara produsen sapi dunia mengalami hambatan perda-gangan apabila mengekspor ke Uni Eropa. Uni Eropa sendiri kemudian merevisi kebijakan proteksinya. Ka-sus untuk Indonesia, khususnya un-tuk komoditi impor daging sapi, pro-duk tersebut dikenakan kebijakan kuota. Tujuan untuk melindungi per-dagangan daging sapi lokal.

Sumber: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile

Grafik 1. Perkembangan Impor Produk Pertanian Tahun 2008 - 2012

ISI_IRF_REV_4.indd 28 8/22/2013 7:45:46 PM

29

utama

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Dari kedua peristiwa tersebut, penulis menyimpulkan bahwa di berbagai belahan dunia manapun, pasar domestik menjadi perhatian pemerintah masing-masing negara tanpa membedakan sistem ekonomi-nya. Buktinya adalah bahwa negara maju yang meskipun pro pasar teta-pi tetap memproteksi pasar domes-tik. Menurut mereka, proteksi masih ada dan perlu untuk memberikan perlindungan bagi industri-industri dalam negeri. Perbedaannya terle-tak pada apakah intervensi proteksi secara langsung atau tidak langsung. Bentuk proteksi pasar tidak lagi da-lam bentuk konvensional namun telah berkembang dalam kebijakan proteksi yang bersifat technical bar-riers. Celakanya pendekatan proteksi ini mudah diterapkan untuk produk-produk di sektor pertanian. Dengan alasan kesehatan dan pencegahan penyebaran penyakit, pasar domes-tik memperoleh proteksi. Melalui kampanye keamanan makanan (food safety) dan kesehatan hewan serta ta-naman, pasar domestik terus dipro-teksi dari produk negara lain.

Strategi Indonesia

Strategi apa yang dilakukan Indo-nesia agar menang dalam persaingan perdagangan global? Bagaimana pe-merintah melindungi pasar domestik tanpa khawatir mendapat serangan balasan dari negara lain akibat tin-dakan proteksi tersebut? Kebijakan apa yang harus dikeluarkan peme-rintah untuk bisnis produk-produk pertanian di tengah gencarnya ser-buan impor produk dari berbagai negara, khususnya China, Vietnam, Australia, dan Thailand.

Dalam melindungi pasar domes-tik, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan regulasi, baik untuk kepentingan konsumen maupun pe-laku usaha. Untuk konsumen, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang No-

mor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pada tataran regulasi teknis, diberla-kukan beberapa regulasi pengenaan tarif bea masuk atas impor produk-produk pertanian. Kementerian Ke-uangan selama ini telah menetap-kan sejumlah regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan yang umumnya dalam bentuk pengenaan bea masuk (tarif). Contoh, Peratur-an Menteri Keuangan RI Nomor 175/PMK.011/2011 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Pisang Cavendish dari Nega-ra Filipina. Impor produk pertani-an Filipina tersebut, dikenakan bea masuk anti dumping sebesar 35%. Alasan diterapkannya kebijakan ini adalah melindungi produsen pisang dalam negeri dari praktek persaing-an yang tidak fair. Regulasi ini me-rupakan salah satu bentuk proteksi yang diterapkan pemerintah untuk melindungi petani pisang dan peng-usaha lokal.

Secara sektoral, di samping ke-bijakan tarif, ada bentuk kebijak-an non-tarif yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan dan Ke-menterian Pertanian untuk produk-produk tertentu. Kedua kementerian tersebut, secara khusus mengeluar-kan aturan tentang pelabuhan/ban-

dar udara tertentu yang menjadi pin-tu masuk produk pertanian impor. Dituangkan dalam Peraturan Mente-ri Perdagangan RI Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Im-por Produk Tertentu. Regulasi ini me-nyebutkan bahwa produk makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen makanan, kosmetik, pakai-an jadi, alas kaki, elektronik, dan ma-inan anak-anak hanya dapat dilaku-kan melalui pelabuhan dan bandar udara tertentu saja. Ini menandakan bahwa untuk masuk pasar domestik, hanya pelabuhan/bandar udara ter-tentu saja yang bisa menjadi pintu masuk komoditas tersebut.

Senada dengan itu, Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa perlu persya-ratan teknis terkait dengan Good Agriculture Practices sebagai upaya menerapkan keamanan pangan. De-ngan pendekatan keamanan pangan, produk impor hakekatnya dihambat untuk masuk pasar domestik secara bebas. Namun demikian, baik kebi-jakan tarif sebagaimana dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan ke-bijakan non tarif yang dikeluarkan

Sumber: www.cinecoup.com

ISI_IRF_REV_4.indd 29 8/22/2013 7:45:47 PM

30 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

utama

oleh kementerian terkait, tidak serta merta mengurangi volume impor.

Dalam jangka pendek kebijakan tersebut memang cukup efektif. Na-mun kurang memberi dampak yang lebih berkelanjutan di masa akan da-tang. Sebab sifat kebijakan tarif dan non tarif tersebut lebih merupakan reaksi mengatasi persoalan pasar do-mestik yang sifatnya sesaat. Untuk itu perlu dikembangkan kebijakan yang lebih menguatkan pasar dalam ne-geri di semua lini kegiatan ekonomi, baik pada aspek produksi, distribusi hingga dikonsumsi oleh masyarakat.

Penutup

Karakteristik pasar Indonesia unikdarisisigeografis.Secarageo-grafis, hadir sumber proteksi yangbersifat alami. Adanya karakteristik negara kepulauan telah menciptakan persoalan distribusi. Sebagai negara kepulauan, pasar menjadi tersebar di seluruh nusantara. Perlu waktu untuk sampai ke konsumen. Bebe-rapa produk pertanian sifatnya mu-dah busuk sehingga tidak layak kon-sumsi. Perlu jaringan distribusi dan layanan transportasi guna mende-katkan produk dengan masyarakat konsumen. Produk domestik semes-tinya memperoleh keunggulan dari karakteristikgeografisIndonesia.

Keunggulan lain berasal dari po-tensi lahan pertanian yang terus me-nerus dapat diperluas, tugas peme-rintah adalah meningkatkan belanja untuk mendukung usaha pertanian guna menghasilkan produk-produk pertanian dalam jumlah cukup dan kualitas baik. Kebijakan belanja pe-merintah merupakan kunci utama untuk menghadirkan produk-pro-duk pertanian yang mampu bersaing mengalahkan produk impor. Kebi-jakan tarif dan non tarif sifatnya se-mentara. Hanya efektif dalam jangka waktu pendek. Sebaiknya pemerin-tah memiliki kebijakan utama se-bagai pilar. Pilar kebijakan tersebut kemudian didukung oleh kebijakan

lain. Kebijakan pilar tersebut harus terkait secara langsung dengan pe-ningkatan produksi pertanian, khu-susnya pangan, sebagai solusi utama mengatasi kelangkaan suplai di pa-sar domestik.

Beberapa negara saat ini masih mengandalkan kebijakan yang sifat-nya memberikan hambatan prose-dural. Jenis hambatan ini bisa dalam bentuk yang sangat sederhana hing-ga kompleks namun efektif untuk melindungi pasar domestik. Bentuk hambatan prosedural ini bisa beru-pa persyaratan pemrosesan makan-

dapat dikenakan sanksi mengingat ini terkait dengan perlindungan ke-sehatan konsumen lokal. Kecende-rungan larangan yang menggunakan pendekatan unsur-unsur higienitas terus dipraktekkan sebagai upaya melindungi pasar domestik.

Indonesia bisa mencontoh Chi-na. Bila Pemerintah siap, kebijakan dapat diarahkan untuk fokus pada persyaratan teknis yang bersifat pro-sedural. Tindakan tersebut lebih ber-sifat rasional dan tidak emosional. Perang dagang bisa dicegah dan se-kaligus proteksi terhadap pasar do-mestik dapat terwujud. Penerapan hambatan prosedural sejalan dengan pendekatan regulasi yang berbasis pada pendekatan food security, ecolo-gical security, dan livelihood security. Pendekatan ini cukup ampuh dalam jangka pendek menjaga pasar domes-tik sebelum benar-benar siap untuk bersaing secara total di pasar global.

Pada akhirnya kerja sama peme-rintah dan pelaku usaha harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa perlindungan pasar domestik terus berkelanjutan. Peran pemerintah yang selama ini telah dilakukan, se-perti kebijakan subsidi untuk input-input bahan baku pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan bibit. Ter-masuk perbaikan infrastruktur iri-gasi, jaringan distribusi, dan kredit usaha pertanian. Harus terus dilan-jutkan dengan catatan lebih fokus menyelesaikan persoalan-persoalan struktural. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa produksi mem-peroleh dukungan nyata dalam ben-tuk ketersediaan faktor-faktor pro-duksi. Melalui kombinasi kebijakan fiskaljangkapendekdanjangkapan-jang, termasuk dukungan kebijakan sektoral, sebagaimana disampaikan di atas, pertanian Indonesia dapat memproduksi produk-produk perta-nian yang dibutuhkan masyarakat dan laku di pasar. Dengan sendirinya pasar terproteksi tanpa menciptakan konflikperdagangan.Semoga!n

an, tanaman, dan hewan. Bentuk lain seperti persyaratan pemberian label, pemberian tanda, dan pengemasan. Pemberian label ini juga mencakup persyaratan dalam bahasa lokal yang akan digunakan. China sudah mem-berlakukan hambatan yang bersifat prosedural. Beberapa produk perta-nian, seperti buah salak dan manggis telah dilarang masuk ke pasar China dengan alasan mengandung organis-me pengganggu tanaman dan ada kandungan logam berat. Larangan tersebut jelas merupakan bentuk dari persyaratan teknis yang terkait dengan perlakuan produk akhir se-belum masuk pasar lokal. Dalam si-tuasi tersebut, Otoritas China tidak

indonesia bisa mencontoh China.

Bila Pemerintah siap, kebijakan

dapat diarahkan untuk fokus pada persyaratan teknis

yang bersifat prosedural.

tindakan tersebut lebih bersifat

rasional dan tidak emosional.

ISI_IRF_REV_4.indd 30 8/22/2013 7:45:47 PM

31

oPini

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Oleh: Sofia Arie

Damayanty dan Hadi Setiawan

Peneliti Pertama PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: [email protected]

email: [email protected]

Air, seperti halnya pangan dan juga lis-trik, merupakan kebutuhan utama bagi manusia sehingga ketersediaannya harus-lah menjadi perhatian utama pemerintah. Tanpa air selama beberapa hari, manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Namun, pada kenyataannya, permasalahan air bersih sering kali belum menjadi prioritas dalam penanganannya. Mungkin karena ketersediaan air sebagai public goods atau commercial goods masih menjadi perdebat-an pada sebagian orang, tidak hanya di In-donesia, tetapi juga di negara-negara lain.

Tercatat ada beberapa pendapat dari beberapa forum dunia tentang status air, diantaranya adalah (i) air adalah hak asasi (water is a right), menurut UN Decade for Drinking Water and Sanitation (1981-1990); (ii) air adalah kebutuhan (water is a need), menurut World Water Council dan World Water Forum; (iii) air sebagai barang—yang komersial (water as a good), menurut World Trade Organisation dan European Union; (iv) air sebagai barang sosial dan budaya, akses terhadapnya adalah hak asasi (water a social and cultural good, access to it is a human right), menurut UN Commission for Economic, Social, and Cultural Right; dan (v) air adalah bisnis (water is business), me-nurut Global Water Partnership.1

Bagi sebagian masyarakat yang tidak mengalami rawan air, ketersediaan air bersih dapat diusahakan secara mandiri, baik melalui akses langsung ke sumber air seperti mata air, sungai, dan air tanah, sehingga minimnya peran pemerintah da-lam penyediaan air bersih kurang menjadi perhatian mereka. Namun, bagi sebagian masyarakat lain yang hidup pada daerah

rawan air, ketersediaan air bersih menjadi masalah besar. Mereka rela untuk memba-yar lebih dan pergi ke tempat yang jauh un-tuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan air bersih. Di sinilah peran pemerintah menjadi krusial dan nyata dibutuhkan un-tuk mengusahakan bagaimana pengadaan-nya dan bagaimana mendistribusikannya.

Kondisi Global

Pada kenyataannya, penyediaan dan distribusi air bersih merupakan masalah yang pelik, bukan hanya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga seluruh negara di dunia, tak terkecuali ne-gara maju. Pada tahun 2011, rata-rata orang Amerika mengkonsumsi hampir 30 galon air minum dalam kemasan per tahun, me-ningkat dari hanya 1 galon per tahun pada tahun 1980. Salah satu alasan meningkat-nya konsumsi air minum dalam kemasan ini adalah karena semakin berkurangnya sarana air minum publik (water fountains) yang disediakan oleh pemerintah.2

Kondisi penyediaan air bersih dan sa-nitasi pada negara-negara berkembang tentunya mengalami kondisi yang lebih terbelakang dibandingkan dengan negara maju. Menurut laporan Joint Monitoring Program for Water Supply and Sanitation yang dilakukan UNICEF dan WHO, pada tahun 2010 masih terdapat 780 juta orang yang belum memiliki akses terhadap sum-ber air minum yang memadai. Dua pertiga dari jumlah tersebut berada di 10 negara, dan 5% di antaranya atau 43 juta orang berada di Indonesia (lihat Gambar 1).

Menurut Montgomery (2007), di banyak negara berkembang, kurangnya dukungan

Pengelolaan Air Minum di Indonesia: Serahkan pada Ahlinya“Worldwide, more than a billion people lack access to safe drinking water, while two and a half billion lack access to ade-quate sanitation services. This is the world’s biggest water problem. The failure to meet basic human needs for water – it’s inexcusable.”

Dr. Peter H. Gleick - leading expert, innovator, and communicator on water and climate issues, co-founder and leader of Pacific Institute

ISI_IRF_REV_4.indd 31 8/22/2013 7:45:48 PM

32 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

oPini

finansialdanrendahnyaprioritaspe-merintah pada permasalahan air ber-sih dan sanitasi menghambat pening-katan layanan kepada masyarakat. Selain itu, kurangnya akuntabilitas, korupsi, dan manajemen yang tidak efisien jugamenjadikendaladalamupaya meningkatkan kualitas penge-lolaan air bersih dan sanitasi. Belum adanya standar kualitas air dan ke-sulitan dalam menegakkan standar juga membatasi kemampuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Bahkan di negara-ne-gara di mana sudah ada penetapan standar kualitas air, masih terdapat permasalahan kurangnya personil, peralatan pemantauan, dan political will untuk penegakan pedoman kua-litas kesehatan.

Namun demikian, walaupun jum-lah penduduk dunia yang belum me-miliki akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak masih sangat be-sar, menurut laporan UNICEF/WHO, sejak tahun 2010 sasaran poin 7C dari Millenium Development Goals (MDGs)3 untuk air minum sudah mencapai target yang ditetapkan. Sejak tahun 1990, lebih dari 2 miliar orang telah mendapatkan akses terhadap sumber air minum. Prestasi ini merupakan bukti komitmen pemerintah, entitas sektor publik dan swasta, masyara-kat, serta setiap individu yang me-

lihat akses terhadap air minum dan sanitasi merupakan langkah penting menuju peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Di sisi lain, Dr. Peter H. Gleick4, memiliki data dan perhitungan ber-beda terkait pencapaian target MDGs. Gleick menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2011, masih terdapat lebih dari 1 miliar orang penduduk dunia yang belum memiliki akses air bersih. Gleick juga memprediksi bah-wa MDGs tidak dapat memenuhi tar-get air minum dan sanitasi pada tahun 2015. Selain itu, angka infeksi penyakit sehubungan dengan tercemarnya air tidak mengalami penurunan, malah sebaliknya menunjukan peningkatan.

Terkait pencapaian target MDGs, Patunru (2013) mengemukakan ada-nya ketidakjelasan dalam hal pene-tapan tahun yang menjadi baseline pencapaian target penyediaan air bersih dan sanitasi pada tahun 2015. Dengan target to halve, by 2015, the proportion of the population without sustainable access to safe drinking wa-ter and basic sanitation, pengukuran pencapaian target MDGs menjadi bias apabila tahun dasar yang digunakan tidak ditentukan secara eksplisit. Me-nurut Patunru, apabila tahun 2000 digunakan sebagai baseline, maka In-donesia tidak dapat mencapai target, dan sebaliknya jika menggunakan ta-

hun 1990 sebagai baseline, maka tar-get MDGs dapat tercapai pada tahun 2015. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya perbe-daan persepsi antara laporan UNICEF/WHO dengan data dari Dr. Gleick.

Terlepas dari perbedaan data ten-tang jumlah penduduk dunia yang belum memiliki akses terhadap air minum yang memadai serta realiasi pencapaian target MDGs, masalah penyediaan air minum merupakan masalah global. Dengan semakin ce-patnya pertumbuhan penduduk dan semakin menurunnya kualitas daya dukung alam, sudah saatnya semua pihak memberikan perhatian lebih untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi seluruh umat manusia.

Kondisi Penyediaan Air Minum di Indonesia

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011 mayoritas penduduk (25,42%) menggunakan air minum yang berasal dari sumur terlindungi, 22,29% menggunakan air minum dalam kemasan, 15,36% mengguna-kan air dari pompa, dan baru 11,57% yang menggunakan air minum per-pipaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah baru memegang seba-gian kecil peran penyediaan air mi-num, dalam hal ini melalui penyedia-an air minum melalui pipa.

Di Indonesia, pelayanan penye-diaan air minum melalui pipa sebagi-an besar dilakukan oleh PDAM. Ber-dasarkan data PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh In-donesia), sampai dengan akhir 2010 jumlah entitas penyelenggara pela-yanan air bersih/air minum perpipa-an di seluruh Indonesia berjumlah 402 entitas, yang terdiri dari 382 per-usahaan daerah air minum (PDAM), 10 entitas di bawah Dinas Pekerjaan Umum, dan 10 perusahaan swasta. Keseluruhan entitas itu tersebar di 83 kota dan 319 kabupaten di Indone-sia. Bila dibandingkan dengan jum-

Gambar 1. Sepuluh Negara dengan Populasi Terbesar Masyarakat Tanpa Akses Air Minum Memadai

(Tahun 2010, dalam jutaan)

Sumber: UNICEF and WHO, 2012.

ISI_IRF_REV_4.indd 32 8/22/2013 7:45:48 PM

33

oPini

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

lah penduduk tahun 2010 sebesar 237 juta, maka rasio perusahaan air minum per jumlah penduduk adalah 1 : 1,7 juta. Pada kenyataannya, sam-pai dengan Agustus 2010, jumlah pe-langgan secara nasional baru menca-pai sekitar 8 juta pelanggan, dengan cakupan layanan nasional sebesar 24% (terdiri dari 47% perkotaan dan 11% pedesaan). Bila diasumsikan 1 pelanggan terdiri dari 5 orang, maka secara nasional jumlah penduduk yang terlayani air minum perpipaan tahun 2010 baru mencapai 40 juta orang atau sekitar 17% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Dengan laju pertumbuhan pen-duduk yang lebih cepat dibanding pertumbuhan layanan air minum, maka diperlukan upaya-upaya pe-ngembangan pelayanan air minum yang bersifat masif dan terencana dengan baik. Saat ini Pemerintah Indonesia telah melakukan berba-gai upaya untuk meningkatkan pe-layanan air minum bagi masyarakat, salah satunya dengan adanya Prog-ram 10 Juta Sambungan Air Minum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010. PDAM diha-rapkan dapat menjadi ujung tombak pemerintah dalam menyukseskan program mulia ini. Namun, pada ke-nyataannya performa PDAM sebagai badan usaha milik daerah sebagaian besar masih belum seperti yang di-harapkan. Walaupun potret kesehat-an PDAM mengalami perbaikan se-tiap tahunnya, namun jumlah PDAM yang sehat baru mencapai sekitar setengah dari total PDAM seluruh Indonesia (Grafik 1). Demikian juga kecepatan peningkatan pelayanan-nya masih belum mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan air minum yang ada. Hal ini disebabkan oleh ba-nyaknya persoalan/masalah yang di-hadapi oleh PDAM, diantaranya yai-tu persoalan political will dari para stakeholders PDAM, di mana tidak adanya unit khusus yang paling ber-tanggungjawab dalam pengelolaan

air, mulai dari regulasi, pengelolaan sampai dengan koordinasi dan moni-toring serta evaluasinya.

Tumpang tindih kewenangan antarinstansi menyebabkan penge-lolaan bisnis PDAM menjadi kurang berkembang. Aspek lain yang menja-di masalah di hampir semua PDAM adalah rendahnya profesionalisme pengelolaan PDAM sebagai entitas bisnis. Selain itu, air sering kali bu-kan menjadi prioritas utama pe-merintah. Regulasi yang mengatur tentang kelembagaan PDAM juga ter-golong sudah sangat tua, yaitu UU No. 5 Tahun 1962 jo UU No. 6 Tahun 1969 tentang Perusahaan Daerah sehing-ga aturan ini sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman. Over-lapping authority5 dan seringnya ter-jadi intervensi politik dalam mana-jemen dan pengawasan PDAM juga merupakan masalah yang membuat PDAM sulit berkembang.

Serahkan pada Ahlinya

Bagaimana pun juga, right or wrong is my country. Kita harus tetap optimistis dan tetap berjuang mem-perbaiki pelayanan penyediaan air bersih di Indonesia. Success story pe-ngelolaan air bersih di Indonesia baik oleh PDAM atau pun swasta yang me-lakukan kerja sama dengan peme-rintah daerah atau PDAM, maupun pengelolaan air bersih di negara lain yang lebih maju harus diduplikasi, agar penyediaan air bersih di Indone-

sia lebih berkualitas dan menjangkau seluruh masyarakat Indonesia.

Pemerintah daerah selaku peme-gang saham PDAM bersama-sama dengan DPRD harus benar-benar menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance dalam penge-lolaan PDAM, dimana transparency, accountability, responsibility, inde-pendency, dan fairness harus benar-benar bisa diterapkan. Sebagai con-toh, dalam pemilihan direksi, tidak boleh ada intervensi politik dari pi-hak mana pun dan direksi yang ter-pilih harus benar-benar profesional. Calon direksi harus di-fit and proper oleh suatu komite independen yang ditetapkan Bupati/Walikota. Banyak contoh PDAM di Indonesia yang di-pimpin oleh orang yang profesiona,l yang dari sebelumnya “sakit” kemu-dian bisa menjadi “sehat”, antara lain PDAM Surabaya dan PDAM Se-marang. Ketika PDAM tersebut “se-hat”, maka fungsi pelayanan penye-diaan air bersih ke masyarakat dapat terus ditingkatkan dan menjadi lebih mudah. Hal ini antara lain karena revenue yang di dapat semakin besar sehingga kondisi keuangan PDAM-nya sehat dan menjadi lebih mudah mencari tambahan modal ke inves-tor atau ke perbankan. Karena itu, agenda ke depan yang utama adalah memprioritaskan pembenahan pro-fesionalisme pengelolaan PDAM.

Untuk penyediaan air yang dila-kukan swasta bekerja sama dengan

Grafik 1. Kinerja PDAM Seluruh Indonesia

Sumber: BPPSPAM, 2013

ISI_IRF_REV_4.indd 33 8/22/2013 7:45:48 PM

34 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

oPini

Pemerintah (KPS), proyek KPS di Ka-bupaten Tangerang dapat menjadi contoh. Pihak swasta (PT Aetra Air Minum Tangerang) tertarik untuk berinvestasi pada proyek ini kare-na adanya komitmen yang kuat dari Pemkab Tangerang dalam membe-rikan dukungan sejak awal pelaksa-naan lelang sampai saat bisnis sudah berjalan (dalam hal penetapan tarif, perizinan, dan koordinasi dengan berbagai pihak seperti Pemerintah Provinsi, dan Kementerian Pekerja-an Umum). Selain itu ,karena adanya kepastian baik dalam hal bisnis (ke-untungan, harga, dan risiko), perizin-an, dan politik. Di samping itu, Aetra memiliki expertise dalam bidang air sehingga mereka dapat memperki-rakan segala kemungkinan gain dan risk dari bisnis ini.6

Dalam hal komitmen pemerintah, Pemerintah China yang merupakan negara dengan penduduk terbanyak di dunia, juga sudah mulai memberi-kan perhatian yang lebih besar kepada penyediaan air bersih bagi warganya. Pada bulan Januari 2011, pemerintah China juga mengeluarkan keputusan untuk mempercepat pengembangan reformasi air (dikenal dengan istilah “No.1 Document”), yang isinya meng-amanatkan adanya investasi dari pe-merintah pusat sebesar CNY 4 triliun (sekitar Rp 6,4 triliun) selama 10 ta-hun ke depan untuk konservasi air dan mewajibkan pemerintah daerah untuk menginvestasikan 10% dari pendapatan penjualan tanah untuk proyek air bersih di pedesaan. Selain itu pada tahun 2012, Komisi Pemba-ngunan Nasional dan Reformasi Chi-na (NDRC) merilis revisi katalog Fo-reign Investment Industrial Guidance, yang antara lain memperbarui status industri pelayanan air limbah serta pembangunan dan pengelolaan air di wilayah perkotaan, yang semula berstatus permitted list’menjadi en-couraged list. NDRC mendorong in-vestasi asing di sektor pengolahan air perkotaan sehingga tidak ada pemba-

tasan kepemilikan saham maksimum dalam kategori ini. Investor asing da-pat berinvestasi pada sistem jaringan distribusi di kota-kota besar dengan mengambil saham minoritas (hingga 49%) dalam dalam bentuk joint ven-ture dengan BUMD setempat. Kerja sama tersebut dapat dalam bentuk konsesi dengan kontraktor untuk me-ngelola jaringan yang ada.7

Sementara itu, Pemerintah In-donesia, khususnya Kementerian Keuangan, juga sudah memberikan dukungan terhadap pembangunan penyediaan air bersih di Indonesia. Dukungan tersebut antara lain (i) pemberian subsidi bunga dan penja-minan terhadap kredit PDAM kepa-da Bank (Perpres 29 tahun 2009 dan PMK 229 tahun 2009), (ii) memberi-kan fasilitas restrukturisasi utang

PDAM, dan (iii) pemberian dukungan dan jaminan bagi proyek air bersih yang dilakukan dengan KPS (salah satu dukungan yang diberikan ada-lah Viability Gap Fund atau Dukung-an Kelayakan yang berbentuk kontri-busifinansial).

Pada akhirnya political will dan komitmen yang kuat dari seluruh stakeholders sangat diperlukan da-lam penyediaan dan pengelolaan air bersih di Indonesia. Pemerintah dan seluruh stakeholders lainnya ha-rus mempunyai persepsi yang sama tentang air dan menjadikan pemba-ngunan atau penyediaan air bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagai prioritas utama. Dengan de-mikian, air bersih dengan harga ter-jangkau dapat segera dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. n

Catatan

1. Goerge Hormat Kulas, 2008, diunduh dari hormat.net tanggal 10 Juli 2013.

2. Where Have All Our Drinking Water Fountains Gone? Find Them with “WeTap”, Peter

H. Gleick, 2011. (http://blog.sfgate.com/gleick/2011/04/25/where-have-all-our-drinking-

water-fountains-gone-find-them-with-wetap/, diakses 21 Juni 2013)

3. Millenium Development Goals adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala

negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mu-

lai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada

tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan ma-

syarakat pada 2015.

4. Pendiri Pacific Institute, sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Oakland, California,

Amerika Serikat, yang melakukan kajian, seputar masalah lingkungan hidup,

5. Terdapat otoritas yang mengurusi PDAM yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kemente-

rian PU, Kementerian Keuangan, Pemda, dan DPRD.

6. Hasil wawancara dengan Direksi Aetra terkait permasalahan pengembangan air bersih

di Indonesia.

7. KPMG (2012), Water In China, Key Themes and Developments in The Water Sector.

Daftar Pustaka

Biro Pusat Stastistik (2012), Statistik Indonesia 2012. (http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/

si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202012 diakses 21 Juni 2013).

Goerge Hormat Kulas, 2008, diunduh dari hormat.net tanggal 10 Juli 2013.

KPMG (2012), Water In China, Key Themes and Developments in The Water Sector.

Montgomery, Maggie A and Menachem Elimelec (2007), Water and Sanitation in Deve-

loping Countries: Including Health in the Equation. American Chemical Society, Yale

University.

PERPAMSI (2010), Peta masalah PDAM, Ringkasan Eksekutif.

The World’s Water Vol.7 (2011), (http://www.wilsoncenter.org/event/report-launch-the-

world%E2%80%99s-water-vol-7, diakses 21 Juni 2013.

UNICEF and World Health Organization (2012), Progress on Drinking Water and Sanitation

2012 Update.

ISI_IRF_REV_4.indd 34 8/22/2013 7:45:48 PM

35

oPini

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan manu-sia yang paling dasar dan utama, dan pe-menuhan kebutuhan pangan ini merupa-kan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh negara berdasarkan undang-undang. Ketersediaan pangan ini meru-pakan kewajiban negara yang tidak boleh terputus atau langka sebagaimana kondisi yang terjadi saat ini.

Ada hal-hal mendasar yang mengaki-batkan terjadinya kelangkaan pangan. Besarnya jumlah penduduk yang tidak sebanding atau tidak didukung dengan pe-ningkatan hasil produksi pertanian meru-pakan hal mendasar yang dapat memicu kelangkaan pangan. Selain faktor tersebut, kelangkaan pangan juga bisa ditimbulkan karena beralihnya peruntukan lahan perta-nian menjadi lahan industri. Dimana-mana dijumpai banyak lahan persawahan telah berubah menjadi komplek perumahan, pabrik-pabrik, terminal, dan pusat-pusat perbelanjaan serta jenis industri lainnya.

Kelangkaan bahan kebutuhan pokok ini bisa juga disebabkan karena adanya pe-nimbunan bahan kebutuhan pangan oleh beberapa oknum pedagang atau pengusa-ha. Akibat dari penimbunan ini, harga ba-han pangan di pasaran mengalami kena-ikan yang cukup tinggi. Selain itu, dengan ditimbunnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, barang-barang tersebut hilang dari peredaran, padahal rakyat sangat membu-tuhkannya.

Pada akhirnya rakyat lah yang me-rasakan betapa berat hidupnya akibat kelangkaan pangan ini dan yang paling menderita akibat kelangkaan pangan ini tentunya rakyat kecil dengan pendapatan yang sangat kecil sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lalu, di mana peran negara yang se-mestinya memberikan jaminan terhadap kesediaan pangan? Kewajiban negara lah untuk mewujudkan ketersediaan, keter-jangkauan, dan pemenuhan konsumsi pa-ngan yang cukup, aman, bermutu, dan ber-gizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan seca-ra merata di seluruh wilayah Negara Kesa-tuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, ke-lembagaan dan budaya lokal.1

Penimbunan dan Krisis Pangan

Penimbunan barang adalah membe-li sesuatu dengan jumlah besar, agar ba-rang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya (barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga men-jadi naik baru kemudian dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.2 Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dinyatakan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, ke-hutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak di-

Penimbunan Penyebab Krisis Pangan?

Oleh: Akhmad Yasin

Peneliti Pertama PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: akhmadyasin08@

gmail.com

“Hendaknya mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.” (QS 106: 3 – 4).

“Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kela-paran, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR Ahmad dan Hakim).

“Barangsiapa menimbun barang, maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim)

ISI_IRF_REV_4.indd 35 8/22/2013 7:45:48 PM

36 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

oPini

olah yang diperuntukkan sebagai ma-kanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan ba-han lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau mi-numan.

Namun, pemerintah saat ini se-dang menghadapi masalah pangan yang cukup memprihatinkan. Ma-salah pangan, gizi, dan kurangnya pemberdayaan sumber daya manu-sia (SDM) di bidang pertanian masih tergolong kritis di Indonesia. Perso-alan ini pun menjadi daya tarik ter-sendiri bagi beberapa kalangan. Ma-salah pangan menurut UU Pangan adalah keadaan kekurangan, kele-bihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga da-lam memenuhi kebutuhan pangan dan keamanan pangan. Sedangkan krisis pangan adalah kondisi kelang-kaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh antara lain kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan

lingkungan, dan konflik sosial, ter-masuk akibat perang.

Dampak Penimbunan Pangan

Setiap tindakan positif pasti ada dampaknya, apalagi bila tindakan ne-gatif, pasti muncul dampak yang jauh lebih besar. Dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan positif bisa dipastikan lebih besar menciptakan manfaat atau kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan per-buatan negatif juga dipastikan dapat membawa kepada dampak atau aki-bat buruk, terutama terhadap pihak lain. Jika terjadi penimbunan pangan, tentu akan membawa kepada dam-pak yang buruk karena penimbunan pangan merupakan perbuatan dosa dan perbuatan dosa adalah perbuat-an yang bersifat buruk. Pada tingkat internasional, penimbunan pangan ini menjadi salah satu penyebab ter-jadinya krisis ekonomi global.

Dampak penimbunan pangan secara umum adalah terjadinya ke-langkaan pangan. Kelangkaan pa-ngan berarti supply lebih sedikit di-bandingkan demand atau produksi

lebih rendah daripada konsumsi. Hukum permintaan dan penawaran dipastikan berlaku dalam kondisi seperti ini, yaitu kenaikan harga pa-ngan yang tidak terkendali. Sebagai alat negara, pemerintah akan ber-usaha untuk mengendalikan harga ini melalui berbagai kebijakan, salah satu diantaranya melalui operasi pa-sar dengan tujuan untuk menekan harga agar tidak membebani masya-rakat yang berpenghasilan rendah.

Namun, langkah yang ditempuh pemerintah ini terkadang tidak efek-tif. Masih banyak kita jumpai harga-harga kebutuhan pokok masyarakat masih membumbung tinggi. Peme-rintah hanya melaksanakan kebijak-annya secara parsial tidak dengan perencanaan dan pengawasan yang baik. Sering kita melihat dan mem-baca melalui media masa bahwa pe-merintah melakukan operasi pasar untuk minyak goreng, gula pasir , dan kebutuhan pokok lainnya, tetapi itu tidak menyelesaikan masalah be-rupa tingginya harga-harga kebutuh-an pokok tersebut. Harga masih tetap saja tinggi. Ketidakmampuan rakyat

Sumber: www.globalbhasin.blogspot.com

Penimbunan

ISI_IRF_REV_4.indd 36 8/22/2013 7:45:49 PM

37

oPini

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

kecil membeli kebutuhan pangannya mengakibatkan terjadinya kelaparan di mana-mana.

Ketika rakyat dalam kondisi la-par, maka akan terjadi banyak keka-cauan. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di mana-mana. Apalagi jika dibarengi dengan tingginya harga-harga kebutuhan pokok, otomatis kondisi chaos bagi negara suatu saat pasti terjadi. Berapa banyak rezim pemerintahan yang tumbang sebagai akibat kudeta atau demonstrasi dari lawan politik atau rakyatnya sendiri. Semua itu gara-gara rakyatnya lapar, tetapi pemerintahnya tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan me-reka. Bahan pokok pangan sudah langka, harganya pun membumbung tinggi, maka wajar jika masyarakat kehabisan kesabaran dan berubah menjadi beringas dan pada akhir-nya merusak semua fasilitas umum yang sudah susah payah dibangun. Jadi, kecukupan pangan yang mem-buat perut rakyat menjadi kenyang berdampak terhadap rasa aman sua-tu negeri. Semakin lapar seseorang, akan menimbulkan keresahan dan kegelisahan sosial di masyarakat.

Kestabilan ekonomi maupun politik bagi suatu negara tentunya menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pemerintahan da-lam membangun ekonomi rakyat-nya. Pangan yang mestinya menjadi penguat rezim pemerintahan malah berubah drastis menjadi penghancur segalanya, baik secara politik, ekono-mi, sosial dan hankam. Secara sosial ekonomi, akan semakin banyak ma-syarakat yang hidup dalam kondisi memprihatinkan dan cenderung di bawah garis kemiskinan.

Potensi Risiko Fiskal

Kelangkaan pangan yang terjadi karena adanya penimbunan pangan ini, menjadikan masyarakat sulit memenuhi kebutuhan pangannya. Penimbunan pangan ini akan me-nyebabkan kelangkaan pasokan ke-

butuhan pokok, sedangkan perminta-an dari konsumen melebihi pasokan yang tersedia. Untuk memenuhi per-mintaan yang melebihi pasokan yang ada, pemerintah biasanya menempuh kebijakan berupa impor pangan. Ke-bijakan ini otomatis akan semakin mengurangi penerimaan negara jika pemerintah mempermudah masuk-nya impor pangan ini dengan kebijak-anfiskalyangberupapenurunanbeamasuk. Bahkan pemerintah pun per-nah melakukan suatu kebijakan yang membuat rakyatnya sendiri tertawa dalam rangka mengatasi jumlah stok pangan yang terbatas, yaitu membar-ter pesawat terbang hasil produksi PT DI dengan beras dari negara lain. Masyarakat menganggap apa yang

kan produksi terhadap hasil pangan. Penurunan produksi pangan ini bisa memicu kelangkaan pangan sehing-ga mengakibatkan persediaan pa-ngan dalam negeri pun semakin se-dikit. Lagi-lagi negara terjebak dalam lingkaran setan impor pangan.

Dibukanya kesempatan impor pangan yang seluas-luasnya oleh pe-merintah ini akan mengakibatkan produsen pangan dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk-produk impor. Rendahnya daya saing ini mengakibatkan ketidakpercayaan swasta asing untuk berinvestasi di Indonesia. Akibatnya banyak modal asing yang lari ke luar negeri sehing-ga semakin memperparah kondisi perekonomian nasional karena ren-dahnya nilai investasi.

Selain itu, akibat dari impor yang lebih besar dari ekspor akan menja-dikan penerimaan negara berkurang sehinggaAPBNpunmengalamidefi-sit yang cukup besar. Biasanya solu-si pemerintah untuk mengatasinya agar anggaran negara menjadi ber-imbang adalah dengan menambah utang.Sekalilagibebanfiskalpeme-rintah semakin berat karena harus menanggung beban utang yang se-makin besar. Bagi negara berkem-bang seperti Indonesia, utang adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus mengham-bat pertumbuhan ekonomi. Men-dorong perekonomian maksudnya jika utang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja dan inves-tasi yang pada akhirnya dapat men-dorong kegiatan perekonomian. Se-dangkan menghambat pertumbuhan maksudnya apabila utang tersebut tidak dipergunakan secara maksi-mal karena masih kurangnya fungsi pengawasan dan integritas atas pe-nanggung jawab utang tersebut.3

Dampak buruk lain dari adanya krisis pangan ini adalah semakin ba-nyak pengangguran dari sektor per-tanian. Di samping karena semakin terbatas atau menyempitnya lahan

diakukan oleh pemerintah ini seperti kembali pada masa kuno ketika ma-syarakat belum mengenal alat tukar berupa uang dalam melakukan trans-aksi ekonominya.

Di sisi lain, kebijakan impor ini akan semakin membuat neraca per-dagangan internasional Indonesia menjadidefisit.Defisitdalamneracapembayaran menimbulkan beberapa akibat buruk terhadap kegiatan dan kestabilan ekonomi negara. Kegiatan ekonomi dalam negeri yang menu-run mengurangi kegairahan peng-usaha-pengusaha untuk meningkat-

Bahan pokok pangan sudah

langka, harganya pun membumbung tinggi, maka wajar

jika masyarakat kehabisan

kesabaran dan berubah menjadi

beringas dan pada akhirnya merusak

semua fasilitas umum.

ISI_IRF_REV_4.indd 37 8/22/2013 7:45:49 PM

38 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

oPini

pertanian, berkurangnya tenaga ker-ja di sektor pertanian ini juga diaki-batkan oleh tidak diberdayakannya para petani dan didayagunakannya lahan pertanian yang ada untuk menghasilkan produk-produk perta-nian unggulan. Jika tingkat pengang-guran tinggi, sumber daya mejadi terbuang percuma dan tingkat pen-dapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidup-an keluarga sehari-hari. Jika tingkat pengangguran semakin tinggi, maka nilai komponen upah akan semakin kecil. Dengan demikian nilai penda-patan nasional pun akan semakin ke-cil. Oleh karena itu, nilai pendapatan nasional yang semakin kecil akibat pengangguran akan menurunkan ni-lai pendapatan per kapita.

Pengangguran bisa juga ber-dampak pada penerimaan negara yang digali dari penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan. Pajak penghasilan diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki penghasilan. Apabila tingkat pengangguran me-ningkat, maka jumlah orang yang membayar pajak penghasilan berku-rang. Akibatnya penerimaan negara pun berkurang. Pengangguran juga dapat menimbulkan beban psikolo-gis. Semakin lama seseorang meng-anggur, semakin besar beban psiko-logis yang harus ditanggung. Secara psikologis, orang yang menganggur mempunyai perasaan tertekan, se-hingga berpengaruh terhadap ber-bagai perilakunya dalam kehidup-an sehari-hari. Dampak psiologis ini mempunyai efek domino di mana se-cara sosial,orang menganggur akan merasa minder karena status sosial yang tidak atau belum jelas. Dengan semakin besarnya jumlah pengang-guran, semakin besar pula biaya so-sial yang harus ditanggung pemerin-tah. Biaya sosial itu mencakup biaya atas peningkatan tugas-tugas medis, biaya keamanan, dan biaya proses

peradilan sebagai akibat meningkat-nya tindak kejahatan.4

Kelangkaan pangan menimbul-kan banyak masalah di bidang ke-sehatan juga, seperti balita bergizi buruk, penyakit busung lapar, dan penyakit-penyakit lainnya yang di-sebabkan menurunnya daya tahan tubuh. Sebagai akibatnya, mudah ditebak bahwa biaya kesehatan juga meningkat. Pemerintah bisa jadi kewalahan atau tidak mampu keti-ka harus menanggung semua biaya pengobatan untuk mengatasi berba-gai macam dampak buruk kelangka-an pangan bagi kesehatan ini. Berapa banyak biaya yang harus dikeluar-kan pemerintah untuk memberikan

makanan kepada rakyatnya agar ter-lepas dari gizi buruk. Berapa banyak anggaran yang harus disediakan pe-merintah untuk memproduksi dan membeli obat yang akan diberikan kepada para pasien yang datang be-robat.Sekalilagi,risikofiskalpeme-rintah akan meningkat untuk meng-cover dana jaminan kesehatan.

Kemakmuran dalam Konsep Islam

Islam memandang kemakmuran sebagai hak individu maupun kolek-tif. Ketika individu telah mencapai kesejahteraan atau kemakmuran, maka otomatis kemakmuran kolek-tif pun akan terwujud. Namun, Is-

Tabel 2. Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Jagung Indonesia

Tahun luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2008 4.001.724 40.78 16.317.252

2009 4.160.659 42.37 17.629.748

2010 4.131.676 44.36 18.327.636

2011 3.864.692 45.65 17.643.250

2012 3.959.909 48.93 19.377.030

TOTAL 20.118.660 222.09 89,294,916Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.

Tabel 1. Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Indonesia

Tahun luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2008 12.327.425 48.94 60.325.925

2009 12.883.576 49.99 64.398.890

2010 13.253.450 50.15 66.469.394

2011 13.203.643 49.80 65.756.904

2012 13.443.443 51.36 69.045.141

TOTAL 65.111.537 250.24 325.996.254Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.

Tabel 3. Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Kedelai Indonesia

Tahun luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2008 590.956 13.13 775.710

2009 722.791 13.48 974.512

2010 660.823 13.73 907.031

2011 622.254 13.68 851.286

2012 567.871 15.00 851.647

TOTAL 3.164.695 69.02 4.360.186Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.

ISI_IRF_REV_4.indd 38 8/22/2013 7:45:49 PM

39

oPini

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

lam melarang setiap individu me-lakukan tindakan yang melampaui batas atau berlebihan dalam makan dan minum atau perilaku konsumtif lainnya. Batasan-batasan moral atau akhlak yang baik harus menjadi pon-dasi dasar bagi aktivitas manusia da-lam mencapai cita-cita yang diingin-kannya. Menurut Ibnu Taimiyah, kemakmuran dalam persepsi Islam bertujuan untuk mencapai moral ke-hidupan yang baik.

Petikan ayat Al Quran permulaan tulisan ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan, hal pertama yang mesti dilakukan adalah mengingat keberadaan Allah SWT. Melalui cara ini integritas moral akan terinternalisasi di dalam setiap pribadi masyarakat suatu bangsa. Ke-tika integritas moral sudah terpatri pada benak masing-masing individu, maka tidak akan pernah terjadi eks-ploitasi sumber daya yang bertujuan menguntungkan secara sepihak baik secara individu maupun kelompok. Fenomena kelangkaan pangan aki-bat adanya penimbunan tidak akan terjadi karena orang dengan pribadi yang baik akan berpikir untuk mela-kukan tindakan yang bisa menyela-matkan kehidupan orang lain. Begitu juga jika orang-orang yang telah di-tunjuk untuk menjadi pemimpin bagi masyarakatnya adalah orang dengan integritas moral yang dipercaya, nis-caya mereka akan memimpin rakyat-nya dengan penuh amanah.

Pemimpin yang amanah tentu-nya tidak akan pernah menggadai-kan apalagi menjual lahan pertanian milik rakyatnya kepada pihak asing hanya untuk keuntungan pribadi. Pengalihan lahan pertanian dari ska-la kecil ke skala besar seperti pembu-kaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan pabrik dan real estate atau properti hanya akan membuat anak cucu kita tidak memiliki wari-san yang berharga. Akibatnya me-reka menjadi generasi yang lemah, baik lemah secara ekonomi maupun

pentingan produksi bahan pangan. Saat ini, krisis pangan telah memicu terjadinya perampasan tanah secara global. Di satu sisi, pemerintah dari negeri-negeri yang rentan pasokan pangannya dan menggantungkan kebutuhan pangan penduduknya pada impor melakukan perampasan tanah pertanian secara besar-besar-an di luar negeri untuk kebutuhan produksi mereka sendiri. Sementara di sisi lain, perusahaan pangan dan investor swasta, yang rakus akan ke-untungan di saat terjadi krisis berke-panjangan, melihat investasi atas la-han pertanian di luar negeri sebagai sebuah sumber utama keuntungan yang baru. Alhasil, lahan pertanian yang subur sedikit demi sedikit telah menjadi milik swasta dan terpusat. Jika tidak dikendalikan, perampasan lahan pertanian yang dilakukan se-cara global ini akan berdampak pada berakhirnya model pertanian skala kecil dan kehidupan pedesaan di ba-nyak tempat di seluruh dunia.

Beberapa negeri yang menggan-tungkan kebutuhan pangannya pada impor dan merasa khawatir pada pasar yang semakin ketat, padahal memiliki dana tunai untuk itu, ber-upaya memenuhi kebutuhan pangan mereka dari luar negeri melalui pe-nguasaan kontrol atas tanah pertani-an di negeri lain. Negeri-negeri terse-but melihat cara ini sebagai strategi jangka panjang untuk memenuhi ke-butuhan pangan rakyat mereka yang memberi keuntungan baik dari segi harga maupun jaminan ketersedia-an pangan dibandingkan yang terja-di saat ini.5

Dari ketiga tabel jenis komodi-tas pangan tersebut, baik dilihat dari luas panen, produktivitas, maupun produksi, secara umum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Namun, hal ini tidak menjamin ke-tersediaan pangan yang berkesinam-bungan bagi masyarakat karena pe-merintah masih melakukan impor terhadap produk pangan tersebut.

intelektual. Secara ekonomi mereka tidak lagi mempunyai mata pencari-an utama dari sektor pertanian yang selama ini selalu mereka andalkan. Sementara lapangan kerja yang lain belum tersedia secara luas sebagai sumber nafkah bagi mereka. Sekali lagi pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup rakyatnya sebagai akibat pengalihan lahan tersebut. Dari segi intelektual, mereka tidak bisa menikmati pen-didikan yang lebih tinggi karena la-han pertanian mereka sebagai satu-satunya sumber penghidupan sudah tidak bisa lagi menopang kehidupan

mereka. Untuk memenuhi kebutuh-an hidup sehari-hari seperti makan dan sandang saja susah, bagaimana mereka bisa memikirkan untuk me-nyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Padahal Tuhanmelalui firman-Nyamelarang kita meninggalkan gene-rasi mendatang dalam keadaan yang lemah.

Dengan alasan untuk mengatasi krisis pangan, para penguasa mem-promosikan jalan keluarnya adalah dengan menggenjot produksi dan produktivitas pertanian pangan, de-ngan mengandalkan perluasan per-tanian skala raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian (perusahaan-perusahaan agrobis-nis). Akibatnya krisis pangan tidak bisa dielakkan lagi karena pembeli-an lahan dalam skala besar untuk ke-

akibatnya krisis pangan tidak bisa

dielakkan lagi karena pembelian

lahan dalam skala besar untuk

kepentingan produksi bahan

pangan.

ISI_IRF_REV_4.indd 39 8/22/2013 7:45:49 PM

40 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

oPini

Mungkin hanya jagung yang bukan merupakan makanan pokok masya-rakat Indonesia dimana pemerintah belum melakukan impor. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah kebijak-an seperti itu sesuai dengan kaedah Islam? Sungguh suatu ironi yang sa-ngat memprihatinkan.

Tentunya Islam mengatur bagai-mana seharusnya kemakmuran sua-tu bangsa dapat tercapai, khususnya kecukupan sandang pangan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Kemakmuran dapat dica-pai jika tidak terjadi hal-hal sebagai berikut. Pertama, persatuan dan per-saudaraan sesama manusia belum dapat ditegakkan, sehingga manusia hidup saling curiga, saling berburuk sangka dan berpecah belah. Perpe-cahan akan merusak setiap upaya mencapai kemakmuran dan oleh sebab itu Islam sangat menolak per-pecahan. Kedua, orientasi manusia cenderung berlebihan kepada me-raih kekayaan, sedangkan kekayaan itu cenderung kepada menuntut hak sehingga belum terjadi keseimbang-an dengan upaya kemakmuran yang mendahulukan kewajiban. Ketiga, si-fat egoisme individu lebih dominan ketimbang jiwa sosial di masyarakat, sehingga orang hanya berpikir ten-tang dirinya sendiri dan enggan me-mikirkan nasib sesamanya. Keempat, ketika kekuasaan dijalankan tanpa mengenal arah dan tujuan, sehingga para pemimpin berebut mencari ke-puasan nafsu sementara rakyat dija-dikan alat untuk mencapai kepuasan para tuan tanah, raja-raja dan para pemilik modal. 6

Selain hambatan tersebut, ada beberapa hambatan menuju ke-makmuran yang lain, yaitu (i) tidak tegaknya integritas nasional dalam ekonomi kerakyatan (al-Wahdah al-Wathoniyah yang tidak paripurna), (ii) tercabutnya keadilan (al-‘adalah) di tengah kehidupan bermasyarakat, (iii) ketiadaan supremasi hukum di dalam negara, (iv) ditelantarkannya

nasib orang-orang dhuafa dan anak-anak yatim serta meluasnya peng-angguran tanpa ada upaya serius untuk mencegahnya lebih jauh, dan (v) terlalu banyaknya teori-teori yang tidak mampu dipraktekkan sehingga kesejahteraan menjadi terhalang aki-bat konsep-konsep yang sulit diamal-kan secara nyata.7

Jadi konsep kemakmuran dalam Islam adalah sebagaimana firmanAllah dalam ayat Al Qur’an di atas, bahwa melalui integritas moral yang baik, tujuan pembangunan nasional dalam rangka menyejahterakan ma-syarakat dapat terwujud. Sejahtera yang dipahami sebagai kondisi ter-cukupinya semua kebutuhan hidup masyarakat, dimana dapat berpenga-ruh pada kestabilan ekonomi, politik dan keamanan. Rakyat kenyang, ne-gara aman.

Penutup

Krisis pangan sebagai akibat dari adanya penimbunan pangan telah menimbulkan berbagai dampak yang sangat merugikan masyarakat dan negara. Akibat krisis pangan, harga kebutuhan pokok mengalami kena-ikanyangcukupsignifikanyangse-makin memberatkan kehidupan me-reka. Tingkat pengangguran semakin

tinggi khususnya tenaga kerja di sek-tor pertanian. Semakin tingginya tingkat pengangguran berdampak terhadap penurunan penerimaan negara dari sektor pajak penghasil-an. Penerimaan negara juga semakin berkurang ketika pemerintah mela-kukan impor pangan karena berku-rangnya devisa sebagai hasil ekspor. Biaya jaminan kesehatan yang harus ditanggung pemerintah juga mening-kat ketika banyak masyarakat yang terkena penyakit sebagai akibat gizi buruk dan mal nutrisi. Jika krisis pa-ngan terjadi berlarut-larut akan ber-dampak terhadap kestabilan ekono-mi, politik dan hankam negara.

Oleh karena itu, dibutuhkan ke-bijakan pemerintah di sektor perta-nian untuk meningkatkan hasil pro-duksi pertanian melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi per-tanian. Pemerintah harus menyedia-kan bibit unggul, ketersediaan pupuk dengan harga yang terjangkau, dan obat-obatan atau pestisida yang di-butuhkan untuk meningkatkan pro-duktivitas pertanian. Hal yang tidak ketinggalan adalah meningkatkan lahan pertanian yang luas karena dengan ketersediaan lahan yang luas diharapkan dapat menjamin stok pa-ngan yang cukup. n

Catatan

1 Konsiderans Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

2 Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakar-

ta: Sinar Grafika, 2004), hal 47.

3 Arif Lukman Rachmadi, “Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuh-

an Ekonomi Indonesia (Studi Kasus Tahun 2001-2011),” dalam Jurnal Ilmiah Fakultas

Ekonomi dan BIsnis, Universitas Brawijaya Malang, 2013.

4 Dampak Pengangguran Terhadap Pembangunan Nasional, (http://desmaputrii.blog-

spot.com/2012/04/dampak-pengangguran-terhadap.html), diunduh pada Senin, 17

Juni 2013.

5 Krisis Pangan Dunia: Kedok di Balik Perampasan Tanah Rakyat (http://herlindahpetir.

lecture.ub.ac.id/2012/04/bacaan-menarik-krisis-pangan-dunia-kedok-di-balik-peram-

pasan-tanah-rakyat/), diunduh pada Senin, 17 Juni 2013.

6 Arief Chalid AR Sutan Mansur, “Pandangan Islam Tentang Kemakmuran,” (http://

arifpmb.wordpress.com/2009/01/02/pandangan-islam-tentang-kemakmuran/), diunduh

pada Selasa, 18 Juni 2013.

7 Ibid.

ISI_IRF_REV_4.indd 40 8/22/2013 7:45:49 PM

41

eDuKaSi fiSKal

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

KAtA “subsidi” sudah tidak asing lagi di telinga publik, sering juga menjadi topik diskusi yang cangat menarik di berbagai seminar atau diskusi, bahkan sering diper-soalkan publik dengan melakukan protes atau unjuk rasa seperti ketika Pemerintah ingin mengurangi beban subsidi BBM da-lam APBN 2013. Namun, apakah publik pa-ham benar apa esensi dari subsidi itu, apa tujuannya, apa efeknya, dan cara meng-atasinya. Bila publik tidak memiliki pema-haman yang baik, atau apa yang publik pahami berbeda dengan apa yang Peme-rintah pahami, maka sikap publik akan se-lalu menolak kebijakan subsidi yang akan ditempuh pemerintah.

Penolakan publik atas kenaikan harga BBM atau penurunan subsidi BBM meru-pakan sikap yang wajar karena dalam pan-dangan publik, tugas pemerintah adalah melindungi kepentingan rakyat dan mela-yani kebutuhan rakyat. Mereka juga ber-argumen bahwa DPR adalah wakil rakyat, karena itu DPR harus dengar suara rakyat. Dalam isu kenaikan harga BBM, publik merasa kepentingan mereka kurang ter-lindungi atau kebutuhan mereka kurang terlayani. Namun, menjadi tidak fair bila publik tidak bersedia mendengar alasan pemerintah mengapa kebijakan itu diambil pemerintah. Publik juga perlu memahami bahwa tugas pemerintah tidak hanya mela-layani kepentingan atau kebutuhan rakyat, tetapi juga mendorong pertumbuhan eko-nomi, menjaga stabilitas ekonomi makro, meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat,meningkatkanefisiensipem-

bangunan, serta meningkatkan daya saing industri agar setara atau melebihi indus-tri-industri di Negara lain. Publik mestinya percaya bahwa tidak ada pemerintah yang ingin membuat rakyatnya menjadi miskin dan hidupnya semakin susah. Konstitusi telah mengamanatkan kepada pemerin-tah agar mewujudkan masyarakat yang se-jahtera, adil, dan makmur. Tidak itu saja, pemerintah juga memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan negara bahkan ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju di dunia pada tahun 2025 mendatang.

Publik perlu memahami bahwa se-tiap kebijakan pemerintah pasti berkait-an dengan bagaimana menciptakan ke-seimbangan, keadilan, dan kepentingan nasional yang lebih besar. Untuk tujuan itu, pemerintah perlu mengoreksi suatu kebijakan yang dahulu mungkin saja tepat, akan tetapi untuk saat ini sudah tidak te-pat, atau justru menimbulkan beban yang berat bagi anggaran pemerintah sehingga

Oleh: Syahrir Ika

Peneliti Utama PPRF, BKF,

Kementerian Keuangan.

email: [email protected]

SUbSIDI: Esensi, Efek, dan Solusi

Sumber: www.blog.timesunion.com

ISI_IRF_REV_4.indd 41 8/22/2013 7:45:50 PM

42 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

eDuKaSi fiSKal

memerlukan kebijakan baru seba-gai revisinya. Walaupun demikian, pemerintah menyadari bahwa se-tiap kebijakan pasti ada efek atau dampaknya, dan pemerintah harus menghitung semua efek atau dampak tersebut untuk dimitigasi. Bagi pe-merintah, pro dan kontra atas suatu kebijakan pemerintah itu selalu ada, tidak saja di Indonesia, tetapi juga hamper di semua negara. Karena itu, tugas pemerintah adalah bagaimana memastikan bahwa sebuah rancang-an kebijakan sudah tepat, kemudian melakukan sosialisasi publik secara efektif, meyakinkan DPR RI untuk mendapat dukungan politik, dan me-nyiapkan strategi untuk mengimple-mentasikannya dan kiat-kiat meng-atasi dampak yang mungkin timbul.

Terminologi Subsidi

Menurut kamus ensiklopedia Indonesia, subsidi berasal dari kata “subsidium” atau “bantuan” yang di-maknai sebagai sejumlah uang yang diberikan pemerintah guna mem-bantu mendirikan atau membantu suatu usaha yang dianggap mem-berikan sesuatu keuntungan terten-tu kepada masyarakat. Sedangkan menurut Wikipedia, subsidi adalah bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor eko-nomi. Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut (misalnya karena operasi merugikan yang terus dijalankan) atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk mendorong indus-tri tersebut untuk mempekerjakan lebih banyak buruh (seperti dalam subsidi upah). Subsidi dapat juga di-anggap sebagai suatu bentuk protek-si atau penghalang perdagangan de-ngan memproduksi barang dan jasa domestik yang kompetitif terhadap barang dan jasa impor. Subsidi dapat juga dipandang sebagai pajak nega-tif (negative tax) karena subsidi me-

nambah pendapatan riil. Beberapa contoh subsidi yang diterapkan di banyak negara adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor, subsi-di pada beberapa bahan pangan un-tuk mempertahankan biaya hidup di wilayah perkotaan, dan subsidi un-tuk mendorong perluasan produksi pertanian dan mencapai swasemba-da pangan.

Sementara definisi subsidi yangdianut Pemerintah Indonesia dalam menyusun APBN (Anggaran Penda-patan dan Belanja Negara) adalah “alokasi anggaran yang diberikan ke-pada perusahaan/lembaga yang mem-produksi, menjual barang dan jasa,

subsidi) adalah (i) bantuan kepada yang mereka yang paling berhak, (ii) melindungi kepada mereka yang pa-ling tertindas, (iii) memberdayakan mereka yang paling tidak berdaya, (iv) keseimbangan dan keselarasan hak bagi golongan yang terampas haknya atau tertindas keadilannya. Karena itu, dalam teori kebijakan publik, subsidi diletakkan pada salah satu fungsi pemerintah, yaitu equity, di samping dua fungsi pemerintah lainnya, yaitu efficiency dan macro-economic growth and stability (Sa-muelson and Nordhaus,1992).1

Mengapa subsidi diletakan pada konteks equity? Karena pasar tidak selalu menghasilkan distribusi pen-dapatan secara adil. Dalam ekono-mi laissez-faire (liberal) murni se-kalipun, bisa menghasilkan tingkat ketimpangan pendapatan dan kon-sumsi yang sangat tinggi. Karena itu, perlu campur tangan negara untuk menciptakan keadilan, keseimbang-an, dan keserasian. Terminologi ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan kewenangan ke-pada negara untuk menguasai ca-bang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hi-dup orang banyak. UUD 1945 meng-amanatkan negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan me-wujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, negara harus menjadikan pengua-saan terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan masyarakat, yaitu (i) ketersediaan yang cukup, (ii) distribusi yang mera-ta, dan (iii) terjangkaunya harga bagi orang banyak.2

Jenis Subsidi

Pemerintah Indonesia membeda-kan subsidi ke dalam dua golongan, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi meliputi subsi-di BBM jenis tertentu dan listrik, se-mentara subsidi nonenergi meliputi

yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masya-rakat”. Dalam konteks kebijakan pub-lik, subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada produ-sen atau konsumen agar barang atau jasa yang dihasilkan harganya lebih rendah sehingga jumlah yang dapat dibeli masyarakat lebih banyak. Sub-sidi diberikan untuk membantu go-longan masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah, di mana pemerintah menanggung sebagian dari biaya produksi dan pemasaran sehingga diharapkan harga barang bisa menjadi lebih rendah.

Berdasarkandefinisiatautermi-nologi subsidi di atas, maka esensi dasar dari subsidi (baca: kebijakan

uuD 1945 mengamanatkan

negara harus melindungi

segenap bangsa indonesia dan

mewujudkan suatu keadilan sosial

bagi seluruh rakyat indonesia.

ISI_IRF_REV_4.indd 42 8/22/2013 7:45:50 PM

43

eDuKaSi fiSKal

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

pangan, pupuk, benih, Public Service Obligation (PSO), bunga kredit prog-ram, minyak goreng, kedelai, dan Pa-jak Ditanggung Pemerintah atau DTP (Nota Keuangan dan RAPBN, 2012, halaman IV-92).3 Esensi dari masing-masing subsidi tersebut adalah seba-gai berikut.

Pertama, subsidi BBM diberikan dengan maksud untuk mengenda-likan harga jual BBM jenis tertentu sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat sehingga dapat terjang-kau oleh daya beli mayarakat, teruta-ma masyarakat berpenghasilan ren-dah. Hal ini disebabkan harga jual BBM dalam negeri sangat dipenga-ruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, antara lain harga minyak mentah di pasar dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada saat ini, BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu minyak tanah, solar, dan premium. Selain subsidi BBM je-nis tertentu, pemerintah juga mem-berikan subsidi untuk bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas/LPG tabung 3 kg dan liquefied gas for veh-icle/LGV).

Kedua, subsidi listrik diberikan dengan tujuan agar harga jual te-naga listrik dapat terjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif tertentu. Pemerintah harus membe-rikan subsidi listrik karena rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) lebih rendah dari biaya pokok penyedia-an (BPP) tenaga listrik pada tegang-an di golongan tarif tersebut. Subsidi listrik (yang disalurkan melalui PT PLN) hanya diperuntukkan bagi pe-langgan listrik tertentu yang menjadi sasaran subsidi, yaitu kelompok pe-langgan sosial, rumah tangga, bisnis, dan industri, dengan daya terpasang sampai dengan 450 VA untuk kon-sumsi sampai dengan 60 kwh per bu-lan.

Subsidi diberikan dalam bentuk

penetapan tarif dasar listrik (TDL) di bawah harga pokok produksinya bagi kelompok tersebut, sehingga

akan lebih mencerminkan keadilan dan pemerataan.

Ketiga, subsidi pangan adalah subsidi yang diberikan dalam ben-tuk penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin (Raskin) melalui program operasi pasar khusus (OPK) beras Bulog.

Subsidi pangan bertuju-

an untuk menjamin distribusi dan ke-tersediaan beras dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin. Subsidi ini disalurkan melalui Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).

Keempat, subsidi pupuk, yang tim-bul sebagai konsekuensi dari adanya

kedelai, jagung hibrida, jagung kom-posit, dan ikan budi daya, sehingga petani bisa mendapatkan benih ber-kualitas dengan harga yang terjang-kau. Subsidi ini disalurkan melalui perusahaan negara penyedia benih, yaitu PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), dan penangkar swasta dalam koordinasi PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat di ling-kungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Keenam, subsidi PSO, yaitu penu-gasan khusus kepada BUMN terten-tu untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum atau public service obligation (PSO). Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, peme-rintah dapat memberikan penuga-san khusus kepada BUMN untuk me-nyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.

Apabila penugasan tersebut menurut kajiansecarafinansial tidakfisibel,pemerintah harus memberikan kom-pensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut ter-masuk margin yang diharapkan.

Ketujuh, subsidi bunga kredit program adalah subsidi yang dise-diakan untuk menutup selisih antara bunga pasar dengan bunga yang dite-tapkan lebih rendah oleh pemerintah untuk berbagai skim kredit program seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA),

Kredit Usaha Tani,

Kredit Koperasi, Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS), dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), termasuk beban resiko (risk sharing) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default). Tujuan dari subsidi bunga kredit program adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendanaan dengan tingkat bunga yang lebih ren-dah dari bunga pasar.

kebijakan pemerintah dalam rangka penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk yang lebih rendah dari harga pasar. Tujuan utama dari subsidi pupuk adalah agar harga pu-puk di tingkat petani dapat tetap ter-jangkau oleh petani, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivi-tas petani, dan mendukung program ketahanan pangan. Subsidi pupuk disalurkan melalui BUMN produsen pupuk, yaitu PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Kaltim, dan PT Pupuk Iskandar Muda. Bantu-an langsung pupuk disalurkan mela-lui PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani dalam rangka mendukung program revitalisasi pertanian.

Kelima, subsidi benih, yaitu sub-sidi pengadaan benih unggul padi,

Subsidi bisa menciptakan

alokasi sumber daya yang tidak efisien karena

konsumen membayar barang

dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada

harga pasar.

ISI_IRF_REV_4.indd 43 8/22/2013 7:45:50 PM

44 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

eDuKaSi fiSKal

Efek Subsidi

Subsidi bertujuan mulia, tetapi bila disalurkan secara tidak tepat dan jumlahnya semakin besar cen-derung bisa berdampak negatif bagi perekonominan nasional. Subsidi bisa menciptakan alokasi sumber dayayangtidakefisienkarenakon-sumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah da-ripada harga pasar. Akibatnya, ada kecenderungan konsumen menjadi tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi pemerintah dan terjadi pemborosan dalam peng-gunaan sumber daya untuk mem-produksi barang yang disubsidi. Bila subsidi diarahkan untuk program-program yang populer atau subsidi harga yang berlaku umum untuk se-mua masyarakat tanpa memperhati-kan golongan ekonomi masyarakat, maka penyaluran subsidi menjadi tidak efisien. Mereka yang berhakmendapatkan subsidi menjadi tidak atau kurang memperoleh subsidi dan sebaliknya pemerintah menyubsidi orang kaya. Untuk memahami efek subsidi ini, kita coba pelajari pada kasus subsidi BBM (premium dan so-lar) dan subsidi listrik.

Subsidi BBM

Subsidi BBM bertujuan untuk menekan harga jual BBM agar da-pat terjangkau oleh golongan masya-rakat yang tidak mampu, terutama ketika terjadi peningkatan harga minyak dunia. Pemerintah menetap-kan harga jual premium sebesar Rp 4.500/liter dan solar Rp 4.500/liter yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Di sisi lain har-ga ICP (Indonesia Crude Oil) di pasar internasio-nal bergerak naik hing-ga mencapai Rp 9.000/li-ter-Rp 11.000/liter. Jadi, pemerintah mensubidi

harga BBM (premium) sekitar Rp 4.500/liter – Rp 6.500/liter. Masalah-nya adalah subsidi BBM ini salah sa-saran. Hal ini terjadi karena ketika menyalurkannya sulit membedakan mana konsumen yang merupakan rumah tangga miskin dan mana kon-sumen yang merupakan rumah tang-ga kaya. Baik mereka yang miskin maupun mereka yang kaya memper-oleh fasilitas subsidi BBM yang sama, jadi asas keadilannya menjadi tidak ada. Dengan kata lain, pemerintah menyubsidi orang kaya. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa secara rata-rata rumah tangga kaya menikmati subsidi bensin 10 kali li-pat dari pada rumah tangga miskin.

Subsidi BBM juga telah mendo-rong proses pembangunan nasional yang boros sumber daya. Mengapa bisa boros? Karena harga BBM yang murah (disubsidi pemerintah) men-dorong permintaan masyarakat ter-hadap kenderaan bermotor (sepeda motor dan mobil) meningkat pesat. Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh industri otomotif untuk memproduksi sepeda motor maupun mobil dalam jumlah yang banyak.

Jumlah sepeda motor di Indonesia saat ini mencapai sekitar 59,22 juta unit (AISI,2011) dan jumlah itu me-rupakan yang terbesar di Asia Teng-gara. Antara tahun 1997 hingga 2011, jumlah mobil di Indonesia bertambah sekitar 6 juta unit atau 600 ribu unit per tahun. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta orang, maka rasio sepeda motor terhadap penduduk mencapai sekitar 1:4. Artinya, setiap 4 orang ada sebuah sepeda motor. Begitu juga jumlah mobil di Indonesia pada tahun 2011 mencapai sekitar 9,55 juta unit sehingga rasio mobil terhadap pendu-duk mencapai 1:20. Artinya, setiap 20 orang ada sebuah mobil (BPS, 2011). Rasio ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di China (1:37 orang) dan India (1:68 orang).

Apa yang terjadi dengan jumlah kendaraan yang demikian banyak? Konsumsi BBM bersubsidi mening-kat melewati kuota BBM bersubsi-di yang dilakokasikan dalam APBN. Setiap tahun pemerintah mengalo-kasikan kuota BBM bersubsidi seki-tar 38-40 juta kiloliter atau jauh dari tingkat permintaan yang ada. Volu-me BBM bersubsidi terbatas karena produksi minyak mentah dalam ne-geri (lifting) makin menurun sejalan

dengan penurunan cadang-an minyak Indonesia. Bila

tingkat konsumsi BBM bersubsidi tidak bisa di-kendalikan (akibat su-litnya mengendalikan tambahan jumlah sepe-

da motor dan mobil), maka untuk meme-

nuhi kebutuhan BBM, pemerintah terpaksa impor sehingga beban APBN bertam-bah berat. Apabi-

la penerimaan ne-gara dari pajak dan

bukan pajak di bawah target atau tidak dapat me-

Sumber: www.kimroybailey_com

ISI_IRF_REV_4.indd 44 8/22/2013 7:45:52 PM

45

eDuKaSi fiSKal

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

menuhi kebutuhan belanja negara karena external shock, maka untuk mempertahankan tingkat pertum-buhan ekonomi dan sasaran-sasaran pembangunan nasional, pemerintah harusmemperbesardefisitanggaranyang kemudian harus ditutup dengan utang. Bila tidak ada solusi untuk me-ngendalikan risiko ini, maka upaya bangsa Indonesia untuk menurun-kan volume utang menjadi semakin sulit diwujudkan, bahkan yang ter-jadi adalah volume utang makin me-ningkat.

Apakah pemerintah tetap mem-biarkan masalah ini terus berlang-sung? Tentu tidak. Pemerintah sudah berupaya mencari instrumen yang te-pat untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Namun, hingga saat ini se-jumlah instrumen yang ada dinilai be-lum tepat, karena selain rumit dalam pelaksanaannya, juga rumit dalam pengawasannya. Pada tahun anggar-an 2013, pemerintah menilai subsidi BBM sudah semakin membahayakan kelangsungan APBN, karena itu pe-merintah mengajukan usul kebijakan menyesuaikan harga BBM bersubsidi untuk mendapat persetujuan DPR-RI. Melalui Sidang Paripurna yang ber-langsung alot, mayoritas anggota DPR RI menyetujui usulan pemerintah me-nyesuaikan harga BBM bersubsidi, dan sejak Juli 2013, pemerintah sudah menerapkan harga baru, baik bensin premium maupun solar. Mengurangi subsidi BBM bukan berarti pemerin-tah antisubsidi, karena penghematan subsidi BBM dapat dialokasikan un-tuk penggunaan lain yang juga sangat penting seperti menambah pembiaya-an untuk membangun infrastruktur atau bila perlu memperbesar subsidi pangan untuk mendukung upaya me-wujudkan ketahanan pangan.

Subsidi Listrik

Contoh kasus yang kedua adalah subsidi listrik. Tujuan dari kebijakan subsidi listrik adalah agar harga jual tenaga listrik dapat terjangkau oleh

pelanggan dengan golongan tarif ter-tentu. Besaran subsidi listrik adalah selisih antara biaya pokok penyedia-an ditambah margin dengan harga jual, dikalikan dengan volume penju-alan. Dengan demikian, besaran sub-sidi listrik bisa meningkat bila biaya pokok penyediaan (BPP) dan/atau volume penjualan listrik mening-kat. Penerima subsidi listrik terbesar adalah konsumen rumah tangga de-ngan skala daya tersambung 450 VA (22,17 juta konsumen), yaitu sebesar Rp 21,15 triliun (data perkiraan 2013) atau rata-rata memperoleh subsi-di listrik sebesar Rp 79 ribu/bulan/

bantuan subsidi listrik sebesar Rp 79 ribu per bulan per konsumen.4

Dampak positif dari kebijakan subsidi listrik adalah makin banyak-nya jumlah rumah tangga di Indone-sia yang teraliri listrik. Rasio elektri-fikasi di Indonesia meningkat dari59% pada tahun 2005 menjadi 75,83% pada tahun 2012 (RUPTL PLN 2010-2020 dan sindonews.com, 2012). Pe-merintah merencanakan rasio elek-trifikasi bisamencapai di atas 90%pada tahun 2020 melalui berbagai program diversifikasi energi padaproyek FTP-I dan FTP-II. Begitu juga dengan dunia usaha, baik usaha kecil maupun menengah dan besar, telah memanfaatkan listrik untuk mendu-kung proses produksi atau menjalan-kan usaha mereka, sehingga produk-si kian meningkat yang kemudian mendorong naiknya pendapatan na-sional (Gross Domestic Product/GDP). Seberapa besar pengaruh listrik ter-hadap pertumbuhan ekonomi? Stu-di yang dilakukan oleh Lembaga Pe-nyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indo-nesia (LPEM-FEUI) menunjukkan bahwa elastisitas penyediaan listrik terhadap PDB mencapai 0,5% hingga 0,67%. Artinya, kenaikan 1% penye-diaan listrik akan meningkatkan per-tumbuhan ekonomi sekitar 0,5-0,67%. Jadi, untuk pertumbuhan ekonomi 7% dibutuhkan input berupa penju-alan listrik sebesar 11-14% per tahun (Muhammad Chatib Basri, 2008).5

Di sisi lain, subsidi listrik yang di-berikan secara terus juga bisa mem-bawa efek negatif. Salah satu efek yang terbesar adalah PT PLN (Perse-ro), BUMN yang diberi tugas mempro-duksi litsrik, menjadi semakin tidak efisienkarenadidorongolehkebijak-an bahwa berapapun BPP PLN pasti dibayar (dikembalikan) oleh peme-rintah. Jadi, motif manajemen PT PLN untuk menyehatkan perusahaan bisa tergoda oleh kebijakan subsidi. Kon-sekuensinya adalah semakin tinggi BPP PLN yang termasuk kontribusi

konsumen. Sementara subsidi listrik yang diterima konsumen industri be-sar dengan skala daya tersambung > 200 kVA (10.486 konsumen), yaitu sebesar Rp 12,9 triliun atau rata-rata menikmati subsidi listrik Rp 103 juta/bulan/konsumen. Sedangkan subsi-di listrik yang diterima konsumen industri dengan skala daya tersam-bung >30 MVA (74 konsumen), yaitu sebesar Rp 4,9 triliun atau rata-rata menikmati subsidi listrik Rp 5,5 mili-ar/bulan/konsumen. Dengan demiki-an, pengusaha industri skala sangat besar menerima subsidi listrik seki-tar Rp 5,5 miliar per bulan per kon-sumen. Sementara konsumen rumah tangga sangat kecil hanya menerima

Subsidi listrik yang diberikan secara terus juga bisa

membawa efek negatif. Salah satu efek yang terbesar

adalah Pt Pln (Persero), Bumn yang diberi tugas

memproduksi litsrik, menjadi semakin

tidak efisien.

ISI_IRF_REV_4.indd 45 8/22/2013 7:45:52 PM

46 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

eDuKaSi fiSKal

dariketidakefisienanPTPLN,sema-kin tinggi pula beban APBN. Dalam rentang waktu 2006 hingga 2011 mi-salnya, realisasi anggaran subsidi lis-trik secara nominal mengalami pe-ningkatan sebesar Rp3 5,2 triliun atau tumbuh rata-rata 6,6% tiap tahun. Kenaikan ini terjadi karena naiknya BPP sebagai dampak dari masih do-minannya penggunaan BBM dalam sistem pembangkit listrik nasional, perubahan nilai tukar rupiah terha-dap dolar AS, dan meningkatnya pen-jualan tenaga listrik yang mencapai 157,4 tera watt hour (TWH).

Beban APBN yang berat atas sub-sidi energi tecermin dari besarnya pengeluaran subsidi BBM dan listrik yang dewasa ini sudah mencapai se-kitar 20% dari seluruh pengeluaran negara dan lebih dari 26% dari pe-ngeluaran Pemerintah Pusat pada ta-hun anggaran 2013. Kedua pos ang-garan subsidi ini sudah mencapai sekitar 126% dari belanja pegawai, hampir dua kali lipat dari belanja barang, lebih dari 160% dari belan-ja modal, dan 535% dari pembayar-an bunga utang (Anwar Nasution, 2013).6 Menurut perhitungan Dana Moneter Internasional (IMF), diukur sebagai persentase terhadap produk domestik bruto, pada 2011, Indonesia memberikan post-tax subsidies 3,87% pada BBM, 0,72% pada listrik, 0,30% pada gas alam, dan 0,47% pada batu-bara. Dengan semakin besarnya porsi APBN untuk keperluan subsidi ener-gi, semakin berkurang dana yang ter-sedia bagi pendidikan dan kesehatan masyarakat, padahal, kedua jenis pe-ngeluaran ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM yang diperlukan bagi pembangunan na-sional guna meningkatkan produkti-vitas dalam menghadapi persaingan regional dan global. Tanpa SDM ber-mutu dan infrastruktur memadai, kita akan tetap jadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja kasar de-ngan pendidikan serta keahlian ren-dah ke mancanegara.

Karena itu, pemerintah meman-dang perlu untuk mengendalikan subsidi listrik dengan cara menurun-kan BPP dan melakukan penyesuaian TDL. Bila tidak ada perubahan BPP dan perubahan TDL, maka setiap ta-hun pemerintah harus menambah alokasi subsidi listrik sebesar 10%. Untuk mengatasi naiknya beban sub-sidi listrik, pemerintah melaksana-kan beberapa program antara lain (i) melakukan penghematan pemakai-an listrik dengan menerapkan tarif nonsubsidi untuk pelanggan di atas 6.600 VA dan penurunan susut ja-ringan, (ii) melakukan penghematan di pembangkit listrik dengan mela-kukan optimalisasi penggunaan gas, panas bumi, batubara, biodiesel, dan penggantian high speed diesel (HSD) dengan marine fuel oil (MFO). Bila subsidi listrik dapat dikurangi, maka pemerintah memiliki fleksibilitas untuk mengalokasikan pendapatan negara kepada sektor lainnya seperti pembangunan jalan, jembatan, pela-buhan, lapangan terbang, perbaikan layanan pendidikan dan kesehatan, dan lain lain.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, da-pat kita simpulkan bahwa subsidi

Catatan

1 Lihat bukunya berjudul “Economic”, Fourteenh Editions, McGraw Hill, International edi-

tion,Singapore, halaman 42-45.

2 Pernyataan ini merupakan bagian isi dari Permohonan pengujian materiil dalam pu-

tusan MK Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang UU No. 20 Tahun 2002

tentang Ketenagalistrikan.

3 Ditailnya dapat dibaca pada Nota Keuangan dan APBN 2012 dan juga artikel yang

ditulis oleh Rudi Handoko dan Pandu Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non-

BBM Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4 Desember 2005. Departemen

Keuangan RI.

4 PT PLN (Persero) Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat. “Tanya Jawab Se-

putar Pengurangan Subsidi (Kenaikan Tarif Listrik) 2013”. http://www.pln.co.id/sulsel-

rabar/?p=799

5 Lihat artikelnya berjudul Indonesia Kembali dalam “Radar Screen” . Harian KOMPAS,

Senin, 4 Agustus 2008

6 Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia http://regional.kompas.com/

read/2013/04/16/02382533/Dampak.Ekonomi.Subsidi.Energi

adalah satu kebijakan yang mulia untuk melindungi penduduk Indo-nesia dari ancaman eksternal yang tidak bisa dipikul atau diatasi sen-diri. Perlu campur tangan pemerin-tah untuk mengatasinya. Campur ta-ngan pemerintah tentunya melalui kebijakan yang tepat dan dukungan anggaran yang memadai. Karena itu, bila subsidi kepada rakyat dilakukan dengan cara yang tidak tepat, maka beban anggaran negara akan mem-bengkak. Pemerintah harus hati-hati menghadapi risiko ini, karena pada saat besaran subsidi diturunkan, ar-tinya ada tambahan beban yang ha-rus dipikul rakyat, maka rakyat akan menolak dengan berbagi unjuk rasa, yang pada dalam kadar tertentu bisa mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional. Perlu leadership yang kuat untuk menciptakan kondi-si yang seimbang antara bagaimana memihak pada kepentingan negara tetapi kepentingan rakyat juga tidak terlupakan atau tidak terberatkan. Di sisi lain, perlu kesadaran publik un-tuk memandang pemerintah secara proporsional, bahwa tidak ada pe-merintah yang mau membuat rakyat-nya susah. Semua pemerintah ingin rakyatnya sejahtera di dalam negara yang sehat dan aman. n

ISI_IRF_REV_4.indd 46 8/22/2013 7:45:52 PM

47

i Have a Dream

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Pendahuluan

Kebutuhan akan infrastruktur yang memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sudah menjadi suatu keniscayaan. Namun keterbatasan anggaran pemerintah menjadi salah satu hambatan dalam me-wujudkan impian dimaksud. Dalam rang-ka memecahkan masalah tersebut, Peme-rintah Indonesia telah memperkenalkan skema kerja sama pemerintah dan swasta/KPS (Public Private Partnership/PPP) untuk menyediakan infrastruktur. Skema dimak-sud dapat melibatkan sektor swasta baik dari sisi teknologi maupun dari sisi penda-naannya. Skema ini sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 2005 yaitu melalui Indonesia Infrastructure Summit I.

Skema KPS dan Perkembangannya di Indonesia

Dari sisi institusional, Pemerintah In-donesia telah membentuk Komite Kebijak-an Percepatan Penyediaan Infrsatruktur (KKPPI) dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. Komite tersebut mempu-nyai empat (4) tugas utama yaitu (a) meru-muskan strategi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur; (b) melakukan koordinasi dan pemantauan pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infra-struktur; (c) merumuskan kebijakan pelak-sanaan kewajiban pelayanan umum (Pu-blic Service Obligation) dalam percepatan penyediaan infrastruktur; dan (d) mene-tapkan upaya pemecahan berbagai perma-salahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.

Selanjutnya Pemerintah Indonesia juga membentuk Public Private Partnership Cen-

tral Unit (P3CU) di bawah Bappenas. Insti-tusi dimaksud dibentuk dengan asistensi teknis dan pembiayaan dari World Bank (Bank Dunia). Pada dasarnya lembaga ini difungsikan untuk memberikan bantuan teknis terhadap beberapa proyek infra-struktur yang diajukan dengan skema KPS. Proyek-proyek infrastruktur tersebut dian-taranya adalah Jakarta Airport Rail, Batch 4 Toll Roads, West Java Geothermal Power Projects, dan Project Prioritization for West Java Province. Dalam pembentukan institu-sional, disebutkan bahwa tugas utama dari P3CU adalah (1) membangun kebijakan tentang KPS yang mencakup metode, pro-sedur, dan petunjuk pelaksanaannya; (2) melakukan evaluasi dan koordinasi atas penerapan konsep KPS; (3) melakukan pe-ningkatan kapasitas, training, dan membe-rikan dukungan teknis kepada pelaku da-lam KPS; (4) melakukan evaluasi terhadap kelayakan pemberian dukungan pemerin-tah; (5) menyusun daftar prioritas proyek infrastruktur dengan skema KPS.

Untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja P3CU, Asian Development Bank (ADB) memberikan dukungan pendanaan melalui program Infrastructure Reform Sec-tor Development Project (2264-INO) untuk periode tahun 2006 – 2012. Dukungan pen-danaan dimaksud diantaranya digunakan untuk menyusun daftar prioritas proyek infrastruktur dengan skema KPS yang se-ring dikenal dengan PPP Book. Pada dasar-nya PPP Book merupakan pedoman bagi investor swasta tentang proyek yang ber-peluang bagi penanaman modal. Dengan adanya program dari ADB dimaksud, P3CU menyediakan bantuan teknis kepada Ba-dan Kontrak Pemerintah (sering juga dise-but dengan Penanggung Jawab Proyek Ker-

Pembentukan Unit Pengelola KPS di Kementerian Keuangan

Oleh: Novijan Janis

Kasubbid Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial, PPRF,

BKF, Kementerian Keuangan.

email: [email protected]

ISI_IRF_REV_4.indd 47 8/22/2013 7:45:52 PM

48 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

i Have a Dream

jasama) untuk melakukan persiapan proyek seperti penyusunan feasibili-ty study, penyiapan perjanjian kerja sama, dan hal lainnya. Bantuan tek-nis tersebut diberikan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan dalam PPP Book.

Namun demikian, sejak dimun-culkannya konsep KPS tersebut dan terbentuknya institusi pendukung, sampai dengan saat ini baru satu proyek infrastruktur KPS yang ber-hasil melalui proses lelang untuk mendapatkan badan usaha. Proyek dimaksud adalah Proyek Pembang-kit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah dengan kapasitas 2 x 1000 MW atau yang sering dikenal dengan nama CJPP (Central Java Power Plant). Pro-yek itu pun saat ini sedang (dengan harap-harap cemas) dalam proses menuju financial close dalam rangka menentukan tanggal awal dari pem-biayaan proyek (financing date). Apa-bila proses tersebut tidak memper-oleh hasil yang positif maka sejarah kelambatan akan implementasi dari skema KPS di Indonesia akan men-jadi semakin panjang. Selain proyek tersebut masih ada beberapa proyek infrastruktur yang pernah masuk da-lam proses penyiapan dengan skema KPS namun sampai saat ini belum mencapai tahap lelang yang berha-sil diperoleh badan usaha pemenang lelang. Proyek tersebut di antaranya adalah proyek Pelabuhan Kapal Pesi-ar Tanah Ampo, Karangasem – Bali; proyek Terminal Peti Kemas Kaliba-ru – Jakarta, dan proyek Jalan Kereta Api Kalimantan Tengah.

Kajian OECD Terhadap Tata Kelola KPS di Indonesia

Melihat perkembangan skema KPS yang tidak sesuai harapan, pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia meminta Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk melakukan evaluasi/reviu ter-hadap tata kelola (governance) skema KPS di Indonesia. Permintaan dimak-

sud mendapat respon yang positif dari OECD sehingga pada bulan Ok-tober 2011 OECD melakukan kajian terhadap governance skema KPS di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan dengan metode kajian literatur dan penyebaran kuesioner serta wawan-cara terhadap beberapa institusi pe-merintah dan institusi swasta yang terlibat dalam proses penyediaan in-frastruktur dengan skema KPS. Kon-sentrasi dari kajian tersebut adalah pada hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan, proses bisnis, dan struk-tur kelembagaan dari skema KPS.

nance dari skema KPS di Indonesia berasal dari tiga hal, yaitu (1) masa-lah koordinasi antara unit perencana (Bappenas), unit penanggung jawab proyek (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama/PJPK), dan unit pengelo-la fiskal (Kementerian Keuangan);(2) masalah transparansi, konsisten-si, dan kepastian regulasi; serta (3) penyediaan lahan. Kurang harmo-nisnya koordinasi diantara unit-unit perencana, PJPK dan pengelola fis-kal berdampak kepada tidak adanya dukungan pemerintah dan jaminan infrastruktur yang memadai terha-dap proyek infrastruktur yang diaju-kan dengan skema KPS. Sumber dari koordinasi yang kurang harmonis tersebut lebih lanjut diperjelas oleh OECD menjadi 3 (tiga) hal pokok, ya-itu (1) PJPK menyusun proposal pro-yek secara tertutup dan mengabai-kan persyaratan untuk mendapatkan jaminan dan dukungan pemerintah; (2) P3CU memiliki keterbatasan un-tuk memperoleh transaction advisory yang memadai; dan (3) P3CU memiliki keterbatasan dalam membantu PJPK untuk mempersiapkan proyek dan juga feasibility study proyek. Hal ter-sebut mendorong munculnya situasi dimana masing-masing unit mempu-nyai standar yang berbeda terhadap persyaratan memperoleh dukungan pemerintah dan jaminan infrastruk-tur. Pada akhirnya hal ini menyebab-kan keengganan pihak kreditur (len-ders) dan penyedia modal (sponsors) untuk membiayai proyek infrastruk-tur tersebut.

Pada akhirnya Tim OECD mem-berikan beberapa rekomendasi. Di antara rekomendasi tersebut, reko-mendasi yang berkaitan dengan ko-ordinasi adalah perlunya dibentuk suatu unit pengelola KPS yang ber-ada dalam struktur Kementerian Ke-uangan atau dibentuknya unit penge-lola KPS di luar struktur Kementerian Keuangan yang dapat bekerja sama secara erat dengan Kementerian Ke-uangan. Selanjutnya rekomendasi

Hasil kajian tersebut dituangkan dalam bentuk laporan dengan judul PPP Governance In Indonesia: Policy, Process and Structure. Laporan terse-but dipresentasikan di forum the 5th Annual Meeting of Senior Public Pri-vate Partnership (PPP) Officials, pada tanggal 26 – l27 Maret 2012 di Kantor Pusat OECD, Paris. Selanjutnya hasil kajian Tim OECD dimaksud dibahas oleh dua (2) negara anggota OECD ya-itu Jerman dan Korea Selatan. Pada forum tersebut, delegasi Indonesia mendapat kesempatan untuk mem-berikan respon terhadap hasil kajian dan pembahasannya.

Secara umum, Tim OECD me-nyimpulkan bahwa persoalan gover-

Pada tahun 2011 Pemerintah

indonesia meminta Organization for Economic

Cooperation and Development (oeCD) untuk

melakukan evaluasi/reviu terhadap tata kelola (governance)

skema KPS di indonesia.

ISI_IRF_REV_4.indd 48 8/22/2013 7:45:52 PM

49

i Have a Dream

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

tersebut menjelaskan peran utama institusi/unit dimaksud adalah untuk membantu PJPK dalam hal pengada-an Badan Usaha. Secara umum pro-ses pengadaan dimaksud mencakup tahapan pre-tender, tender, dan post-award. Tahap pre-tender meliputi ka-jian value for money (VFM) dan kela-yakan, pembiayaan serta penetapan proyek untuk dilaksanakan dengan skema KPS. Tahapan tender meli-puti prakualifikasi, penyampaian proposal, negosiasi, dan penetapan hasil lelang. Sedangkan post-award mencakup pelaksanaan kontrak dan pembayaran.

Implementasi dari tahap pre-ten-der adalah dimulai dari seleksi pro-yek infrastruktur. Yang dimaksud dengan seleksi disini adalah suatu proses untuk menentukan apakah proyek dimaksud layak untuk dise-diakan dengan skema KPS atau cu-kup dengan skema pengadaan biasa. Referensi yang sering diapakai pada tahap seleksi ini adalah perhitungan VFM. Selanjutnya terhadap proyek yang telah terseleksi dengan VFM tersebut akan dilakukan kajian atas kelayakanproyekdarisisifinansial.Kajianataskelayakanfinansialpro-yek infrastruktur dalam skema KPS diperlukan untuk menilai kemam-puan proyek dalam mengembalikan pembiayaannya.

Unit Pengelola KPS di Kementerian Keuangan

Implementasi dari rekomendasi OECD terkait pembentukan unit pe-ngelola KPS di Kementerian Keuang-an tidaklah mudah. Hal ini disebab-kan fungsi dari PPP unit sangat luas. Fungsi dimaksud dapat mencakup tahap pemberian bimbingan tek-nis dan non teknis, tahap pemilihan proyek, perencanaan, peningkatan kapasitas para pelaku proyek KPS sampai dengan tahap promosi pro-yek. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi-fungsi tersebut bukan merupakan fungsi pengelolaan fis-kal. Namun demikian apabila fungsi dimaksud akan dilaksanakan dalam pengelolaanfiskalmakaperludilaku-kan penyesuaian seperti : pemberian bimbingan teknis atas penyusunan struktur pembiayaan proyek, tahap pemilihan proyek yang akan layak mendapatkan dukungan pemerintah dan jaminan infrastruktur. Ilustrasi dari kompleksitas fungsi PPP unit di-jelaskan dalam kajian OECD tentang Dedicated Public Private Partnership (PPP) Unit – A Survey of Institutional and Governance Structures. Kajian tersebut dilakukan pada tahun 2010. Gambaran tentang fungsi unit penge-lola KPS dalam kajian dimaksud ada-lah sebagaimana pada Box 2.

Hal lain yang perlu dipertim-

bangkan dalam mengimplementasi-kan rekomendasi OECD diatas adalah keberadaan unit serupa pada institu-si pemerintah lainnya seperti KKPPI dan P3CU. Pada dasarnya kedua unit dimaksud sudah melaksanakan seba-gian besar dari fungsi-fungsi tersebut pada Box 2. Sehingga apabila unit pengelola KPS yang akan dibentuk di Kementerian Keuangan juga memi-liki fungsi-fungsi tersebut maka akan timbul ovelapping (tumpang tindih) kewenangan diantara institusi pe-merintah. Hal ini akan menimbul-kan kebingungan di kalangan para pelaku bisnis. Oleh karena itu, per-lu dirumuskan fungsi unit pengelola KPS di Kementerian Keuangan yang berbeda dengan fungsi unit serupa di institusi lain. Fungsi dimaksud hen-daknya tetap berkaitan dengan fung-si Kementerian Keuangan sebagai pe-ngelolafiskal.

Dalam implementasi rekomen-dasi OECD khususnya yang terkait dengan pembentukan unit pengelola KPS dimaksud di atas, Kementerian Keuangan melakukan kajian seca-ra komprehensif. Menimbang pen-tingnya implementasi hal dimaksud, World Bank melalui International Fi-nance Corporation (IFC) membantu dalam penyediaan tenaga ahli yang memberikan masukan dan peng-alaman tentang negara-negara yang memiliki PPP unit di Kementerian Keuangan-nya. Salah satu bentuk du-kungan tersebut adalah terselengga-ranya sebuah workshop dengan tema Actualizing the Dedicated PPP Unit wi-thin Ministry of Finance in Indonesia. Workshop dimaksud diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian Keuangan dan IFC dengan mengun-dang tenaga ahli yang berasal dari lembaga multilateral yaitu IFC (World Bank), OECD, ADB, dan JICA. Tujuan utama dari workshop dimaksud ada-lah untuk mendapatkan masukan dari para ahli di bidang KPS terkait dengan ide pembentukan unit penge-lola KPS di Kementerian Keuangan.

As the experience of some of the countries that implemented successful PPP

programs show, there mainly are two options with regards to locating the PPP

unit:

1. Placement of the PPP unit inside the MoF. This is the model used by among

other South Africa, and the Australian states of New South Wales and Victoria.

2. Placement of the PPP unit as an independent agency that is closely aligned

with the MoF. This is the model used int the UK.

rekomendasi OeCD tentang Pembentukan PPP Unit

BOX 1

Sumber: OECD, 2012.

ISI_IRF_REV_4.indd 49 8/22/2013 7:45:52 PM

50 INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

i Have a Dream

Pada umumnya para ahli yang hadir menyatakan bahwa posisi unit pengelola KPS bisa berada di kemen-terian mana saja sehingga perlu di-sesuaikan dengan kebutuhan, fokus dan fungsi yang diharapkan. Namun demikian, untuk kondisi di Indone-sia, unit dimaksud sebaiknya berada di bawah Kementerian Keuangan de-ngan pertimbangan koordinasi pem-biayaan dan dukungan pemerintah. Pertimbangan ini muncul karena adanya perbedaan tentang persyarat-an pemberian dukungan pemerintah diantara lembaga perencana (Bappe-nas), pelaksana proyek (Kementeri-an/Lembaga) dan lembaga pengelo fiskal (KementerianKeuangan). Se-lanjutnya unit tersebut juga diharap-kan memiliki otoritas yang jelas.

Para ahli juga menyampaikan bahwa sebaiknya unit pengelola KPS dimaksud merupakan unit yang ter-pisah dengan unit yang memiliki fungsipengelolaanrisikofiskal.Haltersebut muncul dengan pertimbang-

an bahwa unit pengelola KPS akan le-bih banyak berkonsentrasi pada pe-milihan proyek yang akan dibiayai dengan skema KPS dan pemberian fasilitas penyiapan proyek (project development facility/PDF). Sedang-kanunitpengelolarisikofiskalakanlebih banyak berkonsentrasi pada pengelolaan jaminan infrastruktur dan dukungan pemerintah. Berke-naan dengan kondisi penanggung jawab proyek (PJPK) di Indonesia yang tidak cukup memiliki kapasitas dalammengidentifikasiproyekdanmelakukan proses persiapan proyek, para ahli sepakat bahwa unit penge-lola KPS sebaiknya dapat bekerja maksimal dalam membantu proses persiapan proyek dengan cara mem-berikanbantuanfinansialdantena-ga konsultan yang dibutuhkan.

Dalam hal ini unit pengelola KPS di Kementerian Keuangan akan fokus kepada proyek infrastruktur yang akan dibangun dengan skema KPS. Fasilitas yang akan disediakan

The functions of PPP Dedicated Unit (may include):

1. Policy guidance, including:

- advising on the content of national legislation;

- defining eligible sectors and public-private partnership methods/sche-

mes;

- project procurement and implementation processes;

- as well as procedures for conflict resolution/termination.

2. Green lighting projects

- i.e. deciding on whether or not a project move forward. This function refers

to the so-called “gate-keeping” role that some PPP units play at various

stages, ranging from the inception stage to final approval of the contract

to be signed by the different partners.

3. Technical support to government organisations during the various stages of

project identification, evaluation, procurement, contract management.

4. Capacity building including training to public sector officials interested or

engaged in PPPs.

5. PPP Promotion among the public and/or private sector, and possibly in inter-

national forums.

Fungsi PPP Unit Berdasarkan Kajian OeCD

bagi proyek infrastruktur KPS mela-lui unit dimaksud adalah fasilitas pe-nyiapan proyek/project development facility (PDF), dukungan kelayak-an (Viability Gap Fund/VGF), jamin-an untuk proyek infrastruktur, dan available loan. Pada dasarnya nilai dari dukungan kelayakan akan di-tentukan oleh Komite Dukungan Ke-layakan dan jaminan untuk proyek infrastruktur akan ditentukan oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indo-nesia, namun peran unit pengelola KPS adalah untuk melakukan sinergi atas fasilitas-fasilitas dimaksud.

Di antara skema dari sinergi atas fasilitas untuk proyek KPS adalah melalui pintu PDF. Unit pengelola KPS akan menentukan proyek KPS yang layak mendapatkan fasilitas pe-nyiapan proyek/PDF. Hasil dari PDF dimaksud akan menyatakan besaran dukungan kelayakan/VGF, keterse-diaan jaminan untuk proyek infra-struktur, dan penawaran dari availa-ble loan.

Kesimpulan

Memperhatikan perkembangan sejarah penerapan skema KPS di In-donesia, kajian OECD terhadap tata kelola KPS di Indonesia dan masukan para ahli KPS kiranya dapat disimpul-kan bahwa pembentukan unit penge-lola KPS di bawah Kementerian Ke-uangan menjadi sebuah kebutuhan bagi harapan yang lebih baik untuk perkembangan KPS di Indonesia.

Namun demikian, fungsi PPP unit dimaksud tetap berada pada koridor tugas dan fungsi Kementerian Ke-uangan sebagai pengelola keuangan negara(fiskal).Sehinggakeberadaanunit-unit yang berfungsi sebagai PPP unit di beberapa Kementerian lain-nya dapat saling bersinergi. Mem-pertimbangkan beban yang berat sehingga membutuhkan konsentrasi yang penuh maka PPP unit di Kemen-terian Keuangan dimaksud di atas perlu dipisahkan dari unit pengelola risikofiskal.n

BOX 2

Sumber: OECD, 2010.

ISI_IRF_REV_4.indd 50 8/22/2013 7:45:52 PM

51

reSenSi

INFO RISIKO FISKAL J u n i 2 0 1 3

Terminologi risikofiskalmerupakantema yang relatif baru di Indonesia. Tema ini mulai dikaji secara khusus

mulai tahun 2005 dan baru mulai disajikan dalam Nota Keuangan APBN pada tahun 2008. Menurut Cebotari, dkk (2008), risiko fiskal sendiriadalah“the possibility of de-viations in fiscal variables from what was ex-pected at the time of the budget or other fo-recast”. Sementara itu, dalam subbab Risiko Fiskal di Nota Keuangan dan APBN 2013 di-sebutkanbahwarisikofiskaladalahsegalasesuatu yang di masa mendatang dapat me-nimbulkantekananfiskalterhadapAPBN.

Khusustemarisikofiskaldaerahsendirimasih merupakan sesuatu yang sangat baru di Indonesia. Di kalangan para ahli sendiri bahkan terjadi perbedaan yang sangat men-colokdalammemandangrisikofiskaldae-rah. Di satu pihak ada yang mengatakan bah-watidakadarisikofiskaldaerah,sementaradipihaklainrisikofiskalitumelekatdalamsetiap aliran uang negara yang dikelola pe-merintah termasuk di dalamnya pemerin-tah daerah. Pihak yang mengatakan bahwa risikofiskaldaerahtidakadaberargumenbahwapemerintahdaerahcukupfleksibeluntuk mengamankan anggarannya dari te-kanandefisitdenganmenggunakanberba-gai skenario sehingga tidak perlu khawatir munculrisikofiskaldidaerah.Sementaraitu, pihak yang mengatakan bahwa ada ri-sikofiskaldidaerahmemberikanargumendengan didukung oleh kajian teoritik, fak-ta, dan praktik di daerah, bahkan termasuk pengalaman di dunia internasional lengkap denganbagaimanaidentifikasi,pengukur-an, dan manajemen risikonya.

Buku ini disajikan dalam bentuk bunga rampai yang merupakan karya para pene-liti di Kementerian Keuangan. Buku ini mencoba membuka sebuah diskusi tentang risikofiskaldaerahyangmemang relatif

sangat baru. Peneliti Kementerian Keuang-anmembahasisu-isutentangrisikofisikodaerah dalam dua bagian. Bagian perta-ma penulis membahas tentang demokrasi, otonomidandesentralisasifiskal.SyahrirIka yang merupakan salah satu penulis ba-gian ini menceritakan bagaimana sejarah demokrasi, otonomi daerah dan desentra-lisasi fiskal di Indonesia. Kemudian jugadibahas tentang konsekuensi desentrali-sasifiskalterhadapAPBNdarimulaimasaSoeharto sampai Era SBY serta beberapa catatan yang dapat dijadikan barometer kesuksesandesentralisasifiskal.Kemudi-an Prof. Dr. Heru Subiyantoro, membahas tentang Manajemen Hubungan Keuangan Pusat – Daerah: Beberapa Isu dan Dilema. Menurut pandangan beliau desentralisasi di Indonesia merupakan fenomena Black Swans (Angsa Hitam), yaitu sebuah peristi-wa langka yang berdampak besar. Efeknya akan menimbulkan berbagai isu permasa-lahan bahkan dilemma. Misalnya desentra-lisasi membuka peluang terjadinya partisi-pasi publik dalam pengambilan keputusan di bidang politik dan ekonomi. Hal ini me-rupakan hal yang baik karena lebih menja-min stabilitas nasional, namun di sisi lain ini berpotensi menimbulkan berbagai ma-salah bahkan biaya yang tidak sedikit da-lam konteks menciptakan pola koordinasi yang baik antara berbagai stakeholder.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena menyajikan sesuatu yang baru dan membuka bahan diskusi yang lebih dalam dan pada tingkat yang lebih tinggi tentang risikofiskaldaerahdiIndonesia,bagaima-naidentifikasi,indikator,pengukurannya,serta bagaimana me-manage dan memit-igasi risiko tersebut. Buku ini sangat layak untuk menjadi salah satu referensi bagi sia-pa saja yang ingin mendalami tentang risi-kofiskalkhususnyarisikofiskaldaerah.n

RISIKO FISKAl DAERAH,Menjaga Kesehatan Fiskal dan

Kesinambungan Pembangunan

Peresensi : Hadi Setiawan

Penulis : Syahrir Ika, dkk

Penerbit : Era Adicitra Intermedia

Tahun : I, 2012; II, Mei 2013

Tebal : xxvi + 478 halaman

ISI_IRF_REV_4.indd 51 8/22/2013 7:45:53 PM

BKFPusat Pengelolaan Risiko Fiskal

Badan keBijakan Fiskal kementeRian keuangan Ri

ISI_IRF_REV_4.indd 52 8/22/2013 7:45:54 PM