Strategi Penanganan Krisis UI dan POLRI

37
Alina Reviananda - 0906543866 Desty Feryyan - 0906544044 Diana Oktavia - 0906544023 Janry Calvin - 0906544124 Lailatusyifa - 0906569594 Program Vokasi Komunikasi

Transcript of Strategi Penanganan Krisis UI dan POLRI

Alina Reviananda - 0906543866

Desty Feryyan - 0906544044

Diana Oktavia - 0906544023

Janry Calvin - 0906544124

Lailatusyifa - 0906569594

 

Program Vokasi Komunikasi

Universitas Indonesia

2011STRATEGI KOMUNIKASI PENANGANAN KRISIS

UNIVERSITAS INDONESIA

MENGENAI MASALAH TATA KELOLA UI

 

UNIVERSITAS INDONESIA2011

 

I. ANALISIS SITUASI

A.LATAR BELAKANG KRISIS

Universitas Indonesia (UI) sedang dilanda krisis

kepercayaan. Hal ini berawal dari pemberian gelar doktor

honoris causa kepada Raja Arab oleh rektor UI Prof. Dr

Gumilar R Sumantri pada agustus 2011. Pemberian gelar ini

dinilai melukai hati bangsa Indonesia, mengingat hukum

pancung yang ditetapkan pada Ruyati tenaga kerja wanita

Indonesia yang dieksekusi mati dua bulan sebelum

pemberian gelar tersebut.

Gelar honoris causa yang diberikan kepada Raja Arab

di Bidang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan Teknologi

dinilai pihak rektorat sudah sesuai prosedur. Tetapi

tidak hanya masyarakat yang menolak pemberian gelar

tersebut melainkan juga pihak internal UI seperti dosen,

mahasiswa dan majelis wali amanat (MWA).Rektor dianggap

salah memilih waktu yang tepat, walaupun pemberian gelar

sudah direncanakan ditahun sebelumnya. Tetapi, karna

berbagai alasan salah satunya Raja jatuh sakit dan pada

bulan mei atau sebulan sebelum pemancungan Ruyati baru

disetujui bahwa pemberian gelar akan dilaksanakan sepuluh

hari sebelum idul fitri.

Kisruh yang disebabkan pemberian gelar semakin

memanas ketika diadakan pertemuan halal bihalal di FE UI

yang dihadiri oleh guru-guru besar, iluni, dekan, dan

MWA. Pertemuan ini sekaligus menjadi ajang penyadaran

bahwa di kampus ini terdapat banyak permasalahan. Maka

berkembang isu-isu lain seputar kebijakan yang dibuat

Gumilar selama menjabat sebagai rektor. Isu yang

berkembang tersebut seperti ketidaktransparanan

pengelolaan dana di UI, adanya penyelewengan dana dari

pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan, biaya

perjalanan yang tidak dilaporkan, status pegawai UI yang

masih terkatung-katung, dan masih banyak kebijakan yang

diduga menyebabkan kerugian bagi negara. Hal ini

dibebankan kepada Gumilar karna kebijakannya yang

mengubah tata kelola kampus menjadi terpusat. Kebijakan-

kebijakan yang dibuat Gumilar dinilai sangat tidak

memihak pada warga UI.

Permasalahan tata kelola ini berawal dari penetapan

UI menjadi BHMN di tahun 2000 diatur oleh PP no.152 tahun

2000. Penetapan BHMN ini berlaku hingga 2008, ditahun

2008 UI diubah menjadi BHP. Masalah muncul ketika pada

2010 BHP digagalkan oleh mahkamah konstitusi dan diatur

oleh PP no.66 tahun 2010. Namun, munculnya PP ini

dimaknai berbeda oleh pihak rektorat dan MWA. Berdasarkan

PP No 66/2010 tersebut (PP 66) rektorat UI telah

melaksanakan pergantian organ-organ UI berdasarkan PP No.

152/2000 (PP 152) yang terdiri dari MWA, Dewan Audit,

Senat Akademi Universitas (SAU), DGB, dan Pimpinan

Universitas. Menjadi organ-organ UI baru yang terdiri

dari Rektor, Senat Universitas (SU), Satuan Pengawasan,

dan Dewan Pertimbangan, tanpa menunggu Peraturan Presiden

tentang Status Hukum UI maupun Keputusan Mendiknas

tentang Statuta UI yang menjadi landasan tata kelola UI.

Akibatnya terjadi pemandulan MWA karna tidak disertakan

dalam tata kelola kampus yang baru.

Akibat permasalahan yang mulai muncul di media, pada

September 2011 diadakanlah rapat antara Kemendikbud,

Rektorat UI dan MWA. Kemendikbud memberikan tiga pilihan

untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di UI. Pertama,

MWA diperpanjang sampai pemilihan rektor selesai. Kedua,

pemilihan rektor dipercepat dimana yang memilih tetap MWA

sekarang, tetapi pelantikan tetap mengikuti masa bakti

sampai habis. Ketiga, silakan bentuk organ baru sesuai pp

no 66. Namun hasil yang dicapai adalah pihak rektor dan

MWA sepakat menyelesaikan permasalahan secara internal.

Kesepakatan ini membuat MWA dan warga UI meminta

klarifikasi atau pertanggungjawaban pada rektor dengan

mengadakan mimbar terbuka. Namun tidak ada itikad baik

dari pihak rektorat, mereka tetap menyikapinya dingin dan

cenderung menghindar. Akibatnya massa mulai geram atas

sikap yang diambil oleh rektor. Pada Oktober 2011

munculah pergerakan-pergerakan untuk menggulingkan rektor

seperti gerakan #saveUI dan Gumilar is Enough (GIE) yang

dimotori oleh sejumlah dosen dan civitas academia UI.

Pergerakan ini untuk menuntut percepatan mundurnya

rektor apabila tata kelola UI tak kunjung membaik.

Mahasiswa pun melakukan unjuk rasa dari depok ke salemba,

aksi ini merupakan aksi gabungan dari Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa (HM) Ikatan Keluarga

Mahasiswa (IKM) dsb. Selain aksi yang dilakukan

mahasiswa, sejumlah dosen juga melakukan aksi mogok

mengajar, BEM UI mengancam untuk mogok kuliah, dan

membagikan 1000 pin gerakan #saveUI.

Hal ini tidak juga membuat Gumilar bergeming, namun

massa terus meminta pertanggung jawaban atas kebijakan-

kebijakan yang telah dibuatnya. Akhirnya pada November

2011, gerakan #saveUI melaporkan rektor ke komisi

pemberantasan korupsi (KPK) dengan tuduhan penyalahgunaan

kekuasaan dan kesalahan manajemen yang merugikan Negaraa,

hingga saat ini KPK masih mempelajari kasusnya. Tidak

hanya berujung pada pelaporan, massa yang tediri dari

Kelompok-kelompok mahasiswa, dosen, karyawan, peneliti,

dan alumni. Terus mendesak gumilar untuk

mempertanggungjawabkan kebijakannya, MWA melayangkan

surat pada rektor meminta penegasan komitmen kerja

tertanggal 12 Desember 2011.

Pada 15 Desember 2011, Gumilar mengirim surat

balasan yang berisi pernyataan bahwa dirinya merupakan

pejabat publik dalam kapasitas sebagai kepala Satuan

Kerja (Satker) UI di bawah Kementerian Pendidikan  dan

Kebudayaan dan hanya bertanggungjawab kepada Menteri. Hal

ini dipersepsikan oleh MWA bahwa Gumilar menyatakan

pengunduran diri sepihak dengan melepaskan tanggung jawab

pada MWA dengan alasan rangkap jabatan. Sedangkan MWA

adalah badan yang mengeluarkan surat keterangan (SK)

pengangkatan Gumilar sebagai rektor, dengan pernyataan

tersebut Gumilar dianggap mengingkari SK tersebut.

MWA kembali mengeluarkan SK pembatalan SK

pengangkatan Gumilar sebagai rektor, dan membentuk

rektorium untuk mengisi kekosongan kekuasaan pimpinan UI.

Rektorium terdiri dari 3-5 orang yang independen dan

netral. Namun, rektor tetap tenang menanggapi kasus ini.

Karena menurutnya keputusan diambil sesuai dengan PP No.

66 mengubah status UI (dan universitas-universitas negeri

lainnya, seperti ITB, IPB, dsb) dari Badan Hukum Milik

Negara (BHMN) menjadi Perguruan Tinggi negeri (PTN). PP

ini  memang tidak mengakui keberadaan MWA  yang merupakan

badan yang memiliki kewenangan memilih, mengawasi dan

memberhentikan Rektor.  Dalam PP No. 66 ini juga

dinyatakan bahwa Rektor berkuasa penuh di Universitas dan

merupakan bawahan Menteri.

Akibat perbedaan persepsi ini, kisruh kembali

memanas munculah gerakan yang menamakan diri Perempuan

Dosen Lintas Fakultas untuk Reformasi UI (Pelita UI).

Gerakan ini mengumpulkan 2000 tandatangan dan menyatakan

mosi tidak percaya pada kepemimpinan Gumilar. Kemendikbud

kembali melakukan rapat atau mediasi dengan pihak

rektorat dan MWA, pada mediasi ini ditegaskan bahwa kedua

belah pihak harus sama-sama mengakui keberadaan lembaga.

Dirjen Dikti ditugaskan untuk memfasilitasi proses

perdamaian, dan disepakati bersama untuk membentuk tim

transisi UI yang terdiri dari representasi tujuh

stakeholder di tubuh UI, yaitu MWA, Eksekutif (rektorat),

Dewan Guru Besar, Dewan Audit, Perwakilan SAU, perwakilan

mahasiswa, dan perwakilan karyawan. Tim inilah yang akan

menyiapkan pembentukan Senat Akademik Universitas (SAU)

yang baru. SAU tersebut nantinya akan bertugas memilih

MWA baru serta menyiapkan pemilihan rektor baru UI.

Kemendikbud menetapkan selambat-lambatnya tanggal 29

desember tim transisi ini sudah terbentuk. Karna Tim

Transisi ini yang akan merumuskan statuta sehingga tidak

ada lagi perselisihan di internal. Namun, jika tim gagal

dibentuk kemungkinan Kemendikbud akan turun tangan

menyelesaikan konflik ini

B.IDENTIFIKASI KRISISKrisis kepercayaan yang terjadi di UI merupakan benturan

kepentingan antara organisasi (rektorat) dan publiknya

(stakeholder). Krisis prodromal dimulai sejak

kepemimpinan Gumilar yang mengubah tata kelola UI menjadi

terpusat, akibat pengubahan tata kelola tersebut muncul

permasalahan-permasalahan seperti transparansi,

partisipasi dan akuntabilitas. Permalahan-permasalahan

ini tidak ditangani dengan baik, hingga akhirnya

permasalahan mengenai pemberian gelar pada Raja Arab

menuai protes dari banyak kalangan. Hal ini membuat

krisis berubah menjadi akut, permasalahan-permaslahan

yang disebabkan tata kelola mulai mencuat kepermukaan.

Sejumblah gerakan untuk menggulingkan rektor mulai marak

disuarakan, perang statement dimedia pun tidak dapat

terhindarkan. Hal ini diperparah dengan sikap rektorat

yang tidak mau reaktif dianggap tidak bertanggung jawab

oleh massa yang menuntut. Campur tangan pemerintah dengan

membuat rapat atau mediasi antara pihak rektorat dan MWA

menemukan titik terang untuk menyelesaikan konflik secara

internal. Saat itu krisis memasuki tahap kronis, namun

krisis sempat kembali ke tahap akut saat adanya perbedaan

persepsi atau penafsiran dari surat pernyataan yang

dikeluarkan rektor. Situasi sempat kembali memanas saat

MWA menyatakan rektor telah mengundurkan diri dan UI

kosong kepemimpinan. Untuk itu diadakan mediasi kedua

oleh pihak kemendikbud dan dicapai persetujuan untuk

membentuk tim transisi UI. Yang nantinya akan menentukan

statuta UI kedepannya, namun jika tim gagal terbentuk

pihak Kemendikbud kemungkinan akan turun langsung

menyelesaikan konflik ini. Pada masa ini UI sedang ada

pada tahap kronis, dimana masa ini menentukan

keberhasilan apakan UI berhasil melewati krisis dengan

kepulihan manajemen seperti sedia kala atau mengalami

keguncangan dan kebangkrutan.

C.DAMPAK-DAMPAK KRISISKrisis ini menyebabkan ketidakpercayaan pada rektorat

akibat sentralisasi tata kelola. Krisis yang tadinya

merupakan permasalahan internal melebar menjadi konsumsi

public, hal ini menyebabkan citra UI sebagai salah satu

universitas negri terbaik di Indonesia menjadi menurun.

UI yang tadinya bergelar kampus rakyat berubah menjadi

kampus komersil karna tata kelola yang terpusat pada

rektorat. Ketidaktransparanan tata kelola ini menyebabkan

tuntuan pertanggungjawaban atas kebijakan tersebut dengan

melakukan mogok mengajar oleh dosen, ancaman mogok kuliah

yang dilakukan BEM UI. Akibat sentralisasi juga perihal

permintaan dana untuk penelitian menjadi terhambat,

persetujuannya memang cepat tetapi pencairan dananya

memakan waktu berbulan-bulan akibat birokrasi. Status

pegawai dan dosen pun masih banyak yang terkatung-katung.

Berujung pada dilaporkannya rektor ke KPK yang membuat

citra UI makin hancur. Dalam internal UI sendiri, hal

yang paling parah adalah tidak adanya lembaga yang

mengawasi rektor akibat pemandulan MWA. Krisis ini

seperti membentuk dua kubu di UI, kubu rektorat dan kubu

massa penentang rektorat yang terdiri dari MWA, dosen,

mahasiswa, peneliti dan pergerakan-pergerakan seperti

#saveUI, GIE dan Pelita.

D.PIHAK-PIHAK YANG TERLIBATPihak yang terlibat dalam kasus ini tidak hanya pihak

internal tetapi juga pihak external, seperti :

1. Eksekutif Rektorat

Sebagai pihak yang diprotes atau digugat, karna

kebijakan-kebijakan yang dibuat dinilai merugikan

Negara. Juga sebagai pihak yang menjalankan PP no.66

untuk membentuk organ-organ baru.

2. MWA

Sebagai pihak yang mengawasi jalannya tata kelola di

UI. Namun, MWA merasa tidak dihormati atas kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan rektor tidak meminta izin

kepada MWA. Karna ternyata pada PP no.66 untuk

membentuk organ-organ baru MWA tidak diakui, karna hal

itulah konflik tata kelola makin panjang bergulir.

3. Mahasiswa, Dosen dan Pegawai

Sebagai pihak internal UI yang dirugikan akibat kasus

ini. Mahasiswa dirugikan karna uang semester yang

melonjak naik saat pergantian statuta namun pengelolaan

dana tersebut tidak transparan. Dosen dan pegawai masih

banyak yang belum jelas apa statusnya.

4. Pergerakan-Pergerakan UI

Seperti #saveUI, GIE dan Pelita, sebgai pihak yang

memprotes keras kebijakan-kebijakan yang diambil oleh

rektor.

5. Kemendikbud

Sebagai mediator antara rektorat dan MWA, pengawas

jalannya proses mediasi tersebut apakah berjalan sesuai

dengan apa yang telah disepakati.

6. KPK

Karna pelaporan tindak korupsi yang dilakukan oleh

rektor atas kebijakan yang merugikan Negara, maka kasus

ini juga menjadi kajian komisi pemberantasan korupsi.

II. STRATEGI PENANGANAN KRISIS

A.TIM PENGENDALI KRISIS

Guna menanggulangi krisis yang terjadi di UI saat ini,

maka dibentuk tim pengendali krisis untuk mengawasi,

menyelesaikan, dan mengavaluasi krisis yang terjadi. Tim

pengendali krisis ini diketuai oleh Humas Universitas

Indonesia, yaitu Devi Rahmawati. Anggota tim merupakan

gabungan dari pihak rektorat, perwakilan setiap fakultas

dan beberapa dosen.

1. Krisis Centre

Pembentukan krisis centre sebagai pusat dari

penanggulangan krisis. Tim yang berada di dalam krisis

centre akan megawasi, memonitoring setiap kegiatan-

kegiatan yang timbul sebagai dampak dari krisis yang

terjadi beserta perkembangannya, baik dari krisis

maupun dampaknya.

2. Media Centre

Pembentukan media centre sebagai pusat monitoring

terhadap berita-berita yang beredar di media berkaitan

dengan kasus dan mengontrol informasi-informasi yang

akan diberikan kepada media sehingga krisis tidak

semakin melebar akibat pemberitaan yang berlebihan oleh

media.

B. ACTION PLAN

1. Melakukan Pemantauan

Melakukan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan

internal yang timbul akibat dampak dari krisis UI dan

berusaha mengontrol hal tersebut. Kegiatan-kegiatan

yang timbul di dalam lingkungan kampus sebagai bentuk

dampak yang diakibatkan oleh krisis harus diterus

dipantau dan segera dikontrol guna menyeimbangkan

kondisi internal yang diharapkan dapat meredam kasus.

Kegiatan-kegiatan internal, seperti protes dan gerakan-

gerakan yang diadakan oleh mahasiswa, dosen, maupun

perhimpunan di dalam kampus, antara lain Gerakan

#saveUI, Pelita, GIE harus selalu dipantau

perkembangannya dan segera diatasi agar tidak terjadi

gerakan-gerakan serupa yang dapat memperparah krisis

dan kondisi internal kampus Universitas Indonesia.

2. Menyiapkan Laporan Pertanggung Jawaban Tata Kelola

Kampus

Menyiapkan dan mempublikasikan laporan

pertanggungjawaban mengenai tata kelola kampus yang

terpusat di rektorat. Dalam hal ini bekerja sama dengan

departemen-departemen bidang lain yang membuat laporan

pengelolaan tersebut seperti keuangan, kemahasiswaan

dsb. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab

pada transparansi tata kelola kampus dan akuntabilitas

keuangan kampus.

3. Melakukan Negosiasi dengan Stakeholders Terkait

Negosiasi atau duduk bersama dengan para stakeholders,

seperti MWA, Guru Besar, Dekanat dan beberapa

perwakilan dari Mahasiswa atau BEM, Dosen, Pegawai dan

pergerakan-pergerakan yang terjadi. Hal ini dilakukan

oleh pihak rektorat UI dengan stakeholders terkait guna

mencapai kesepakatan dalam megatasi krisis ini,

khususnya dengan MWA harus sama-sama menghargai dan

mengakui keberadaan lembaga. Agar permasalahan yang

terjadi tidak makin merembet dan melibatkan banyak

pihak, serta tidak menimbulkan persepsi publik yang

buruk . Juga sebagai media publikasi laporan

pertanggung jawaban tata kelola kampus, dan apabila ada

yang ingin dipertanyakan atau dipersoalkan mengenai

laporan tersebut agar dapat langsung disampaikan pada

negosiasi ini

4. Melakukan Konfrensi Pers

Tanggal : 16 Desember 2011

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : Balai Sidang, Universitas Indonesia

Depok

Tujuan dilakukannya konfrensi pers adalah untuk

mengklarifikasi permasalahan yang terjadi,

meluruskannya agar tidak makin berkembang. Yang

dihadirkan dalam konfrensi pers ini adalah Rektor UI,

ketua tim pengendali krisis, ketua MWA, ketua BEM UI,

dan perwakilan Kemendikbud sebagai pihak luar yang

mengawasi kasus ini.

5. Melakukan Evaluasi

Mengevaluasi hasil kerja tim penanganan krisis, apakah

action plan yang dilakukan sudah efektif dan optimal.

Memantau perkembangan pemberitaan dimedia. Memantau dan

mengevaluasi pergerakan-pergerakan yang terjadi,

mengevaluasi laporan pertanggung jawaban tata kelola

yang dibuat apakah sudah memenuhi keinginan para

stakeholders sebagai transparansi tata kelola atau masih

menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Selanjutnya adalah

bertindak koopertaif dengan tim transisi yang telah

dibentuk untuk masa depan UI yang lebih baik.

C.STRATEGI KOMUNIKASI / MEDIA RELATION

Selama ini rektorat UI dianggap defensive yakni

menghindar dan membentengi diri, hal ini dilakukan karna

pihak rektorat tidak mau reaktif menghadapi persoalan

yang terjadi dan tetap berusaha tenang. Menyerahkan

permasalahan ini sesuai dengan PP yang berlaku, namun hal

ini dianggap buruk dan menimbulkan citra negatif. Untuk

itu tim penanganan krisis menerapkan stategi komunikasi

adaptif, yaitu dengan menjelaskan dan memaparkan secara

langsung dan terbuka mengenai kejelasan dari masalah yang

terjadi.

1. Melibatkan media sebagai sarana komunikasi dalam proses

pemulihan citra perusahaan. Memberikan informasi-

informasi yang akurat dan berimbang pada pihak media.

Tidak menjatuhkan pihak lain dan menganggap diri

sendiri paling benar. Informasi yang disampaikan tidak

hanya dari pihak rektorat tapi juga memuat pandangan-

pandangan dari lembaga lain.

2. Media juga digunakan sebagai sarana memantau

perkembangan kasus ini. Pandangan-pandangan dari pihak

lain mengenai kasus UI yang diliput media, dapat

menjadi bahan evaluasi tim pengendali krisis sejauh

mana kasus ini terjadi dan siapa saja pihak-pihak yang

terlibat.

D.SPEAKERMAN / OPINION LEADERYang bertindak sebagai opinion leader adalah humas UI

Devi Rahmawati dari pihak rektorat, Pramono Prawiro

selaku ketua MWA dan Ketua dan Mantan ketua BEM UI Faldo

dan Maman untuk mempengaruhi opini mahasiswa mengenai

krisis yang terjadi.

III. MATRIKS

No. Kegiatan Lokasi Subjek Keterangan

1

1

.

Pembentukan

Tim

Rektorat

Universit

as

Indonesia

PR UI

Membentuk tim

pengendalian

krisis, untuk

membuat krisis

centre dan media

centre guna

menyusun strategi

penanganan krisis

dan berkoordinasi

dengan stakeholders

terkait

2. Fact Finding UI

Tim

Pengendali

Krisis

Tim mencari

berbagai data

terkait

permaslahan ini,

dari berbagai

sumber sebagai

acuan tim untuk

membuat strategi

pengendalian

krisis3. Melakukan Media Tim Melakukan

Pemantauan CentrePengendali

Krisis

pemantauan

terhadap

pergerakan-

pergerakan yang

ada melalui

berbagai sumber,

seperti media dan

jejaring sosial.

4.Menyiapkan

Laporan

Krisis

Centre

Tim

Pengendali

Krisis dan

Departemen

terkait

Mempersiapkan

laporan

pertanggung

jawaban yang

dibuat oleh

departemen

terkait Sebagai

transaparansi

tata kelola

terpusat.5. Melakukan

Negosiasi

Ruang

Rapat

Apung

Perpus UI

Rektor,

TPK dan

Stakeholde

rs terkait

Duduk bersama

untuk menyamakan

pendapat, agar

konflik internal

tidak semakin

berkembang. Serta

penyampaian

laporan

pertanggung

jawaban.

6. Rapat TimKrisis

Centre

Tim

Pengendali

Krisis

Merumuskan hasil

negoisasi dan

mempersiapkan

pers release dan

press conference

dengan mengundang

media

7. Press Confrence

Balai

Sidang

UI, Depok

Rektor,

TPK, MWA,

BEM,

Kemendikbu

d

Melakukan

konfrensi pers

guna

mengklarifikasi

semua

permasalahan yang

terjadi, dan

mempublikasi

laporan

pertanggung

jawaban tata

kelola UI8. Evaluasi Media

Centre

Tim

Pengendali

Krisis

Mengevaluasi

perkembangan

pemberitaan

seputar kasus UI

di media setelah

dilakukan

konfrensi pers

dan mengevaluasi

kerja tim. Dan

bertindak

kooperatif pada

Tim Transisi UI

IV. TIME TABLEN

NOKegiatan

Sept Oktober November Desember

I

II

I

I

I

V

I

I

I

I

I

I

I

I

I

I

I

V

I

I

I

I

I

I

I

I

I

I

IV

I

I

I

I

I

I

II

I

I

I

V

1

1.Pembentukan Tim

2. Fact Finding

3. Pemantauan

4.

Menyiapkan

Laporan

5.Melakukan

Negoisasi

6

6.Rapat Tim

7

7.Konfrensi Pers

8

8.

Evaluasi dan

Koordinasi

STRATEGI KOMUNIKASI PENANGANAN KRISIS

KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

MENGENAI KERUSUHAN DI BIMA NUSA TENGGARA BARAT

(LAMBANG POLRI)

UNIVERSITAS INDONESIA

2011

I. ANALISIS SITUASI

A.LATAR BELAKANG KRISIS

Badan penegak hukum seperti pihak Kepolisian,

saat ini sedang dilanda krisis kepercayaan dari

masyarakat. Pihak kepolisian tidak lagi dianggap sebagai

penegak hukum dan pelindung bagi masyarakat melainkan

pembela bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Hal ini berawal dari adanya bentrokan antara warga

dan polisi yang terjadi di Bima yang bermula ketika warga

dari berbagai kelompok memblokir Pelabuhan Sape di Bima.

Mereka memprotes Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang

memberikan izin penambangan emas PT Sumber Mineral

Nusantara dengan terbitnya Surat Keputusan Nomor

188/45/357/004 Tahun 2010. Warga memprotes keputusan

tersebut karena mereka khawatir dan merasa dirugikan

dengan adanya keberadaan tambang di daerah mereka.

Ironisnya dalam permasalahan ini, tuntutan warga

malah dijawab dengan kekerasan oleh para penegak hukum

seperti kepolisian dengan melakukan pembubaran paksa yang

sampai menyebabkan puluhan warga terluka dan setidaknya 3

orang warga meninggal dunia akibat bentrokan tersebut.

Sebelumnya warga juga sudah menjadi korban terhadap

pembiaran oleh negara, di mana tuntuntan mereka terhadap

keberadaan tambang tidak pernah digubris oleh pemerintah.

Unjuk rasa itu sendiri berlangsung sejak lima hari

sebelum peristiwa berdarah itu. Di samping meminta

pencabutan izin tambang, warga juga meminta rekannya yang

ditahan polisi agar dibebaskan.

Warga semakin marah setelah mendapat perlakuan

represif dari petugas keamanan. Massa kemudian merusak

kantor Polsek Lumbu serta membakar rumah dinas kapolsek,

empat unit asrama polisi, dan gedung BTN. Mereka juga

merusak kantor unit pelaksana teknis daerah kehutanan,

kantor dinas pemuda dan olahraga, tiga bangunan BTN,

gedung kantor urusan agama, dan 25 unit perumahan

masyarakat.

Di sini pemerintah dituntut agar bisa lebih proaktif

dalam menangani kasus Bima serta bisa memulihkan nama

baik dari polri dan menyelesaikan persengketaan tanah dan

pembangunan pertambanagan antara warga dengan PT Sumber

Mineral Nusantara.

B.IDENTIFIKASI KRISIS

Krisis kepercayaan yang dialami oleh polri ini sudah

mencuat menjadi krisis akut karena dalam Kasus Bima

membuktikan semakin buruknya masa depan negeri ini. Belum

selesai kasus Mesuji di Lampung, kini muncul lagi kasus

yang sama. Rakyat tewas akibat tindakan aparat penegak

hukum. Dalam kasus ini dinilai bahwa ada tindakan

pelanggaran prosedur oleh kepolisian ketika menangani

unjuk rasa warga di Pelabuhan Sape, Kecamatan Lambu,

Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Polisi menembak

mendatar ke arah kerumunan dengan menggunakan peluru

tajam, selain peluru karet sehingga ada warga yang

meninggal dunia, luka-luka serta ada pula yang menjadi

korban kekerasan petugas dan intimidasi. Hal ini

menyebabkan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh

pihak polri. Hal tersebut mencerminkan bahwa motto yang

dimiliki Polri seperti melindungi, melayani dan mengayomi

masyarakat sudah berbanding terbalik dengan keadaan yang

ada dilapangan. Kasus-kasus yang terjadi dapat memberikan

efek yang buruk terhadap polri sebagai penegak hukum

sehingga akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan dimata

masyarakat, sehingga di sini Polri harus bisa memperbaiki

nama baik dan mengembalikan citra baik dimata masyarakat.

C.DAMPAK KRISISKrisis ini berdampak pada buruknya nama kepolisian dimata

masyarakat. Hal ini menurunkan kepercayaan masyarakat

terhadap kepolisian yang seharusnya bisa mengayomi,

melayani dan melindungi masyarakat namun berbanding

terbalik dengan keadaan di lapangan. Selain itu juga

kepolisian dianggap hanya sebagai pelindung pihak-pihak

yang memiliki kepentingan.

D.PIHAK – PIHAK TERKAIT

1. Kepolisian

Sebagai pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap

warga pada saat adanya kerusuhan. Hal ini dianggap

melanggar karena mereka terpancing dengan melakukan

penembakan serta penyiksaan terhadap warga yang

melakukan unjuk rasa sehingga menyalahi prosedur kerja

kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat dan

melakukan pembubaran massa secara baik.

2. Bupati Bima

Sebagai pihak yang mengeluarkan surat ijin keputusan

penambangan Emas PT Nusantara Timur Mineral yang

akhirnya menyebabkan timbulnya protes dari warga.

3. DPR

Sebagai pihak penengah permasalahan yang terjadi antara

pembentrokan kasus Bima dan penyelesaian sengketa surat

izin yang dikeluarkan ole kabupaten Bima mengenai

penambangan di daerah tersebut.

4. Komnas HAM

Sebagai pihak yang menangani warga yang mengalami

tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang

dilakukan oleh pihak kepolisian.

5. LSM

Lembaga swadaya masyarakat yang menjadi pemerhati

hak-hak setiap manusia sebagai warga Negara.

6. PT Nusantara Timur Mineral

Sebagai pihak yang ingin membangun daerah pertambangan

di wilayah Bima yang dianggap dapat menimbulkan

kerugian bagi warga Bima sendiri.

7. Warga Bima

Sebagai pihak yang melakukan demo dan kericuhan di

pelabuhan sape, Bima sebagai bentuk protes terhadap

tuntutan pengeluaran surat izin penambangan yang

dikeluarkan oleh bupati Bima. Sekaligus sebagai korban

kekerasan yang dilakukan oleh pihak polisi ketika

terjadi unjuk rasa di Pelabuhan Sape.

II. STRATEGI PENANGANAN KRISIS

A.TIM PENGENDALI KRISISMembentuk tim pengendali krisis untuk melakukan

menangani krisis di Bima dengan cepat dan tepat. Tim di

bentuk untuk melakukan fact finding. Meninjau secara langsung

keadaan di Bima dan melakukan wawancara pada masyarakat

setempat yang merasa tidak setuju dengan penambangan di

daerah Bima serta menganalisa apakah ada pihak yang

memanfaatkan kerusuhan di Bima untuk kepentingan pribadi.

Berikut anggota tim pengendali krisis :

1. Kepolisian

Kadiv Humas kepolisian ( Saud Usman Nasution) sebagai

ketua tim pengendali krisis.

2. DPR (komisi III)

Dalam pengandalian krisis ini tim komisi III berlaku

sebagai pihak pencari fakta dan keterangan di tepat

kejadian.

3. LSM Visi Indonesia

Sebagai pembentuk opini di masyarakat mengenai citra

kepolisian di masyarakat dan penjelasan mengenai

terjadinya pembentrokkan di Bima sehingga diharapkan

dapat mengubah pola pikir masyarakat mengenai tindak

kepolisian yang terjadi di Bima.

B.ACTION PLAN

1. Melakukan Penyidikan

Melakukan penyidikan pada aparat yang bertugas

saat kerusuhan berlangsung, untuk mengetahui apa yang

terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab. Apabila

yang terjadi adalah akibat kelalaian petugas, maka akan

ditetapkan sanksi pada petugas tersebut.

2. Melakukan Investigasi danNegosiasi

Mengundang pihak pemerintahan daerah setempat dan

pihak perusahaan, menyelidiki mengapa bisa keluar

perizinan tersebut sedangkan warga tidak setuju.

Menyusun tindakan selanjutnya yang harus dilakukan

semua pihak agar permasalahan ini cepat selesai.

3. Melakukan Rapat dengar Pendapat

Tim pengendali krisis melakukan rapat dengar

pendapat dengan masyarakat Bima agar mengetahui tuntuan

masyarakat terhadap pemerintahan daerah setempat dan

mencari tahu kejadian sebenarnya di Bima. Juga

bertanggung jawab terhadap orang-orang yang menjadi

korban kekerasan tersebut. Sehingga masyarakat merasa

dihargai dan tidak merasa di tindas oleh pihak yang

memegang kuasa dengan mengguakan oknum aparat hukum

sebagai alat untuk melindungi kepentingan pribadi.

4. Melakukan Mediasi

Mengundang semua pihak, yakni kepolisian,

pemerintah daerah, perusahaan terkait dan perwakilan

masyarakat Bima. Untuk duduk bersama menyelesaikan

konflik ini, tim pengendali krisis bertindak sebagai

mediator yang sebelumnya sudah mendengarkan apa yang

diinginkan semua pihak. Mediasi dilakukan agar semua

pihak mendengar dan saling mengetahui apa yang ingin

dilakukan pihak lain. Hal ini untuk mencari

penyelesaian secara musyawarah mufakat.

5. Melakukan Pers Conference

Pers conference dilakukan oleh kadiv Humas Polri, Komisi

III DPR atau Tim Pengendali Krisis. Untuk

mengklarifikasi kerusuhan yang terjadi tersebut secara

segera, agar pemberitaan tidak berkembang jauh. Hal ini

dilakukan setelah melakukan pencarian fakta dilapangan.

Di dalam pers conference akan dibuat pernyataan, antara

lain:

1. Pernyataan maaf, duka cita dan penyayangan terhadap

kejadian kerusuhan yang terjadi di Bima.

2. Melakukan investigasi dan menindak secara tegas

dengan mengeluarkan sanksi berat terhadap oknum

kepolisian yang terbukti bersalah melanggar prosedur

kepolisian dalam kasus kerusuhan Bima.

3. Kepolisian akan bertanggung jawab atas biaya

pengobatan korban kerusuhan akibat kekerasan yang

dilakukan polisi terhadap warga.

4. Memberitahukan rencana atau strategi yang akan

dilakukan Tim Pengendali Krisis, yakni melakukan

dialog dengan semua pihak terkait.

5. Tim Pengendali Krisis akan terus melakukan

pemantauan isu-isu yang berkembang di Bima dan

sekitarnya agar tidak terjadi tindak kerusuan

seperti sebelumnya.

C.STRATEGI KOMUNIKASI / MEDIA RELATION

Menerapkan stategi komunikasi adaptif, yaitu dengan

menjelaskan dan memaparkan secara langsung keadaan

sebenarnya dan menindak secara hukum dan tegas apabila

benar terjadi pelanggaran. Strategi adaptif ini juga di

tunjukan oleh pihak Polri dengan meminta maaf kepada

publik yang bersangkutan serta bertanggung jawab terhadap

biaya pengobatan korban akibat kerusuhan di Bima yang

dilakukan polisi terhadap warga.

I. Melibatkan media sebagai sarana komunikasi dalam proses

pemulihan citra kepolisian dengan memberikan informasi-

informasi yang akurat mengenai kasus kerusuhan

yangterjadi di Bima.

II. Melibatkan media juga sebagai alat pemantau kasus

yang berkembang di Bima. Untuk mengetahui isu-isu apa

yang berkembang di Bima, yang akan memicu permasalahan

dikemudian hari. Isu-isu yang berkembang tersebut harus

sesegera mungkin ditangani.

D.SPOKESMAN / OPINION LEADER

Bertindak sebagai opinion leader terhadap masyarakat Bima

adalah LSM dari Visi Indonesia. LSM tersebut diharapkan

dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat Bima terhadap

kepolisian. LSM tersebut akan memberikan informasi dan

memberitahu para warga bagaimana cara mengungkapkan

kekesalan warga pada saat berdemonstrasi sehingga

terhindar dari bentrok dan kerusuhan. Selain itu LSM ini

juga akan menyampaikan kepada warga bahwa kepolisian akan

bertanggung jawab terhadap korban yang mengalami tindak

kekerasan pda saat kerusuhan tersebut. Hal ini dilakukan

agar masyarakat dapat berfikir positif terhadap

kepolisian yang diharapkan dapat mengembalikan nama baik

dan citra kepolisian di masyarakat.

III. MATRIKS

N

No.Kegiatan Lokasi Subjek Keterangan

1

1.

Pembentukan

Tim

Mabes

Polri

Humas

Polri

Membentuk Tim

Pengendali Krisis

(TPK) guna

mengetahui apa

yang terjadi di

Bima. Tim terdiri

dari humas polri,

komisi III DPR,

dan LSM

2

2.Fact Finding Bima, NTB TPK

Tim mencari tahu

apa yang

menyebabkan

kerusuhan

terjadi, siapa

saja yang menjadi

korban dan siapa

yang harus

bertanggung

jawab.

3. Press ConfrenceMabes

PolriTPK

Mengklarifikasi

semua kejadian

yang terjadi di

Bima dan membuat

perntayaan apa

yang akan

dilakukan TPK.

4

4.Rapat Tim

Mabes

PolriTPK

Mengevaluasi

pemberitaan

setelah dilakukan

konfrensi pers

dan mempersiapkan

IV. TIME TABLE

N

NoKegiatan

De

sJanuari

Februari

i

II

I

I

I

I

II

I

II

I

I

I

V

I

I

I

II

I

V

I

1

1.

Rapat pembentukan

tim dan pembagian

jobdesk

2.

2

Melakukan Fact Finding

3

3.

Konfresi Pers

4

4.

Rapat Tim

5

5.

Penyidikan Petugas

6

6.

Investigasi dan

Negosiasi

Pemerintah dan

Perusahaan

7

7.

Rapat Dengar

Pendapat

8

8.

Mediasi Semua Pihak

9

9.

Evaluasi dan

Pemantauan