Edisi Desember 2019 - Puslitbang Polri

80
1 Edisi Desember 2019

Transcript of Edisi Desember 2019 - Puslitbang Polri

1Edisi Desember 2019

2 Edisi Desember 2019

3Edisi Desember 2019

Brigjen Pol Drs. Indro Wiyono, M. Si

Kepala Pusat Penilitian dan Pengembangan Polri

SALAM REDAKSI

PENANGGUNG JAWABBrigjen Pol Drs. Indro Wiyono, M.Si.

PIMPINAN REDAKSI/REDAKTURKombes Pol Drs. Guntur Setyanto, M.Si.

REDAKTUR PELAKSANAAKBP Wadi, S.H., M.H.AKBP Katrina J. Ratu, S.Sos. (Anggota)

PENYUNTING/EDITORAKBP Rahmat SyukriAKBP Bambang Harnoko, S.Si. (Anggota)Pembina Budi Triyanto, S.Sos. (Anggota)

JURNALIS/PEMBUAT ARTIKELAli Ramadan SuhaidiArdi RusmanaBaso Susanto

DESAIN GRAFISMaulana Mahardika

FOTOGRAFERPengatur I Bahrinel Siregar

BENDAHARAPenata I Abdul Syakur, S.E.

SEKRETARIATPenata Mindarti, S.E.Penata I Niken Heryati, S.E. (Anggota)Penata I Febbry Sutedjo, S.Si. (Anggota)Penda I Djoko Rusmono (Anggota)

ALAMAT REDAKSIPuslitbang PolriJl. Raya Tonjong, Desa Cimanggis,Kec. Bojong Gede, Kab. BogorJawa Barat Kode Pos: 16920Email: [email protected]

4

11

39

48

Konten

3Edisi Desember 2019

Dengan senantiasa mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kekuatan, sehingga Tim Redaksi Jurnal Litbang Polri tetap eksis hadir menyajikan berbagai Laporan penelitian secara berkala setiap bulannya.

Pada edisi November 2019, ini kami menampilkan headline penelitian tentang, ” Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom Serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom”.

Maraknya ancaman teror bom di tanah air dan banyaknya bom peninggalan masa perang menuntut adanya peralatan yang memadai dalam rangka pelaksanaan tugas penjinakan bom khususnya oleh satuan Gegana Korbrimob Polri. Dalam rangka mendukung tugas operator bom dalam menjalankan tugas perlu mempergunakan robot sebagai alat bantu menjinakkan bom secara remote untuk menjamin keselamatan operator.

Kemudian, kami juga memuat beberapa hasil penelitian dan kajian lainnya yakni, Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri di Tingkat Polres; Efektifitas Implementasi Manajemen (S.O.T.K) Satuan Polsek Dalam Rangka Pelayanan Prima; Pembuatan Desain Dan Miniatur Purwarupa Mobil Patroli Sabhara

Tujuan dari beberapa sajian artikel hasil penelitian ini harapannya dapat membuka cakrawala ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat baik untuk lingkungan internal kepolisian maupun masyarakat dan netizen yang selalu menggunakan media elektronik atau online untuk meningkatkan kemampuan inter personal skillnya di kancah globalisasi informasi.

Namun demikian, kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa hasil kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami senantiasa terbuka untuk menerima kritik dan saran masukan guna penyempurnaan tulisan ini.

Semoga hasil pelaksanaan kajian ini dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai bahan informasi data masukan dan pertimbangan bagi pimpinan Polri dalam menetapkan kebijakan lebih lanjut.

Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom Serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom Untuk Tugas Satuan Penjinak Bom Gegana Polri

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri di Tingkat Polres

Pembuatan Desain Dan Miniatur Purwarupa Mobil Patroli Sabhara

Efektifitas Implementasi Manajemen (S.O.T.K) Satuan Polsek Dalam Rangka Pelayanan Prima

Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom Serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom

4 Edisi Desember 20194 Edisi Desember 2019

5Edisi Desember 2019

Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom Serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom Untuk Tugas Satuan Penjinak Bom Gegana Polri

Hasil Penelitian Bagian Laboratorium dan Teknologi Kepolisian Puslitbang Polri

Latar belakang.

Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengamanatkan agar pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Polri dilakukan dengan profesional ditunjang ilmu pengetahuan dan teknologi Kepolisian.

Visi dan Misi Polri, serta pencapaiannya melalui Renstra Polri 2010-2014 diarahkan kepada terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara Kamtibmas serta menegakkan hukum.

Hal ini sejalan dengan paradigma pembangunan NKRI dari yang berbasis sumber daya masyarakat berpengetahuan (knowledge based society). Implikasi dalam pelaksanaan tugas Polri adalah keharusan pemanfaatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 33 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang dilakukannya pengkajian, penelitian serta pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian guna menunjang pembinaan profesi Kepolisian.

Maraknya ancaman teror bom di tanah air dan banyaknya bom peninggalan masa perang menuntut adanya peralatan yang memadai dalam rangka pelaksanaan tugas penjinakan bom khususnya oleh satuan Gegana Korbrimob Polri. Dalam rangka mendukung tugas operator bom dalam menjalankan tugas perlu mempergunakan robot sebagai alat bantu menjinakkan bom secara remote untuk menjamin keselamatan operator.

Robot EOD yang dimiliki oleh Satuan Gegana Korbrimob Polri saat ini merupakan produk luar negeri dengan harga yang sangat mahal namun tidak didukung oleh spare part dan perawatan yang memadai sehingga kondisi nya sudah tidak layak.

Sesuai dengan tuntutan tugas dan dalam rangka pencapaian visi misi Polri serta peran dalam pembangunan nasional, maka fungsi Litbang Polri bersinergis dengan Lembaga/Instansi yang mempunyai kemampuan perekayasaan teknologi dalam upaya pengembangan teknologi yang dapat mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian di lapangan.

Dasar.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya; DIPA/RKA-KL Puslitbang Polri TA 2012 Nomor : 0012 / 060 – 01.1.01 / 00 / 2012, tanggal 09 Desember 2011; dan Surat Keputusan Kapuslitbang Polri Nomor : Skep/16/VIII/2011/Puslitbang tanggal 16 Agustus 2011 tentang Rencana Kerja Puslitbang Polri T.A. 2012.

Di samping itu, Surat Perintah Kapuslitbang Polri Nomor : Sprin/8/I/2012, tanggal 9 Januari 2012 tentang “Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Penjinak Bom” dan Surat Penetapan dan Pengumuman Pemenang Pengadaan Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Penjinak Bom T.A. 2012 yang ditetapkan pada aplikasi SPSE Polri tanggal 10 Mei 2012.

Kemudian, Surat Kasubbagsumda Set Puslitbang Polri selaku PPK Nomor: SPPB/01.4 /V/2012/Puslitbang tanggal 25 Mei 2012 perihal Penunjukan pemenang penyedia barang untuk pelaksanaan Pengadaan Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom T.A. 2012 dan Surat Perjanjian/Kontrak Nomor : Kontrak/04/V/2012/Puslitbang tanggal 29 Mei 2012 tentang Pengadaan Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom T.A. 2012.

6 Edisi Desember 2019

Maksud dan Tujuan.

MaksudMaksud penelitian ini adalah untuk menciptakan satu prototipe

Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang disesuaikan dengan kebutuhan tugas Satuan Gegana Korbrimob Polri.

TujuanAgar diperoleh prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta

Robot Pengurai dan Penjinak Bom T.A. 2012 yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mudah dalam pemeliharaan dan perawatan serta tersedianya suku cadang di dalam negeri sehingga tidak ada ketergantungan dengan pabrikan di luar negeri.

Metodologi.Merumuskan spesifikasi teknis dan membuat disain Prototipe

Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom; melaksanakan penelitian di satuan kewilayahan guna mendapatkan masukan terhadap konsep spesifikasi dan disain Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang disesuaikan dengan kebutuhan tugas; dan mengumumkan rencana kegiatan proyek di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri dengan metode pascakualifikasi.

Kemudian, pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang dilaksanakan oleh penyedia barang jasa pemenang lelang dan Uji coba prototipe

Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang dilaksanakan oleh satuan pengguna/Sat Gegana Korbrimob Polri.

PelasanaanPenelitian Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai

Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut :

Tahap Perencanaan.Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan

meliputi : menginventarisir beberapa jenis dan merk peralatan Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang saat ini dipergunakan oleh Satuan Gegana Korbrimob Polri dan menyusun konsep awal spesifikasi teknis Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom.

Tahap Penyelenggaraan.Merumuskan spesifikasi teknis Prototipe Peralatan Pencerai/

Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom dan membuat konsep disain Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom.

Tahap lainnya yaitu, melaksanakan penelitian di Polda Sulteng dan Polda NAD guna mendapatkan masukan terhadap konsep disain Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom, dengan hasil sebagai berikut, Satuan Brimob belum dilengkapi peralatan Robot EOD dan Peralatan

7Edisi Desember 2019

pencerai Bom (Disrupter) jumlahnya masih sangat terbatas.Hasil lainnya yakni, peralatan pencerai Bom (Disrupter) yang

sekarang dipergunakan apabila dilihat dari segi teknis sudah cukup layak akan tetapi apabila terdapat kerusakan sangat sukar untuk mencari suku cadang.

Jika ditinjau dari segi perawatan Peralatan pencerai Bom (Disrupter) apabila ada kerusakan terdapat jenis spare part yang harus import sehingga masih sangat ketergantungan dengan pabrikan luar negeri.

Kemudian, dari hasil penelitian dan rekapitulasi daftar pertanyaan serta masukan dari Satuan Gegana Korbrimob Polri sebagai pengguna langsung mengharapkan spesifikasi teknis peralatan Robot EOD dan alat pencerai bom (Disrupter) sebagai berikut ; bentuk dan dimensi Robot EOD praktis dan mudah dalam perawatan dengan dimensi panjang robot diantara 1000 s.d. 1200 mm, lebar robot diantara 450 s.d. 500 mm, tinggi robot diantara 1300 s.d. 1500 mm dan berat robot diantara 50 s.d. 80 Kilogram.

Dalam rangka pembuatan Robot EOD maupun peralatan pencerai Bom (Disrupter) menggunakan komponen spare part yang ada di Dalam Negeri sehingga mudah mencari suku cadang dan menghilangkan ketergantungan dengan luar negeri. Roda Robot menggunakan jenis Track/roda bisa di lepas dan dipasang sesuai dengan lintasan/dipasang sesuai kebutuhan dengan penggerak menggunakan sistem motor DC dengan gearbox.

Mekanisme kerja antara Robot Menggunakan Wireless bantuan antena. dengan Jarak kerja antara Robot dengan Remote Control minimal 100 m; baik Robot EOD maupun Remote menggunakan

batere jenis Lead Acid (baterei kering); dan control box menggunakan Laptop atau jenis monitor dimana LCD Dilengkapi Handheld remote control sistem kabel Wireless (tanpa kabel) serta dilengkapi alat Joystick.

Di samping itu, lengan robot dapat diperpanjang sampai jarak 200 cm. dimana Lengan robot dilengkapi camera jenis Claw Camera, Arm Camera dan peralatan Zoom Camera Pan&Tilt dan posisi normal Lengan Robot mampu mengangkat beban antara 20–25 kg. Sedangkan posisi lengan memanjang kedepan dapat mengangkat beban antara 8–10 kg.

Kemudian, robot mampu bergerak pada jalan lurus dengan ketinggian tanjakan 45 derajat, mampu berjalan pada jalan kemiringan 45 derajat dan mampu berjalan naik tangga kemiringan 45 derajat dan peralatan disrupter menggunakan mekanisme sistem recoiless, konstruksi laras kuat dan produk dalam negeri serta cadangan catridge cukup sehingga mudah untuk latihan.

Tahap selanjutnya adalah merevisi spesifikasi teknis dan konsep disain Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom disesuaikan dengan saran dan masukan dari satuan kewilayahan; menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan melibatkan beberapa penyedia peralatan khusus robot penjinak bahan peledak untuk mendapatkan harga yang sesuai.

Kemudian, mengumumkan rencana kegiatan proyek di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menggunakan metode pascakualifikasi dengan tahapan/jadwal lelang sebagai berikut : pengumuman pada tanggal 26 April sampai dengan 4 Mei 2012; download dokumen pemilihan dan kualifikasi pada tanggal 26 April

8 Edisi Desember 2019

sampai dengan 4 Mei 2012; dan penjelasan dokumen lelang pada tanggal 1 Mei 2012.

Selain itu, upload dokumen penawaran dan kualifikasi pada tanggal 2 sampai dengan 7 Mei 2012; pembukaan file dokumen penawaran (dokumen penawaran harga, administrasi dan teknis) serta dokumen kualifikasi pada tanggal 7 Mei 2012; evaluasi Penawaran pada tanggal 7 sampai dengan 9 Mei 2012; dan evaluasi dokumen kualifikasi dan pembuktian kualifikasi pada tanggal 10 Mei 2012.

Kemudian, upload berita acara hasil pelelangan, Penetapan Pemenang serta Pengumuman Pemenang pada tanggal 10 Mei 2012; masa sanggah hasil lelang pada tanggal 11 sampai dengan 18 Mei 2012; Surat Penunjukan Penyedia Barang/jasa pada tanggal 21 Mei 2012; dan penandatanganan Kontrak pada tanggal 24 Mei 2012.

Pembuatan prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang dilaksanakan oleh penyedia barang jasa pemenang lelang PT. EOD Technology.

Tahapan Pelaksanaan Pembuatan Prototipe :Berdasarkan Surat Perjanjian/Kontrak antara Puslitbang Polri

dan PT. EOD Technology Nomor : Kontrak/04/V/2012/Puslitbang tanggal 24 Mei 2012 tentang Pembuatan Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom dengan spesifikasi teknis sebagai berikut :

Peralatan Pencerai/Pengurai BomPembuatan Prototipe Peralatan ini meliputi Disrupter, termasuk

di dalamnya pembuatan laras. Pembuatan laras ini memiliki unsur material dari bahan stainless steel, dibubut bentuk cone bagian dalam. Panjang laras 400 mm sampai dengan 600 mm; diameter laras 35 mm sampai dengan 50 mm; dan panjang total 400 mm sampai dengan 600 mm.

Untuk pembuatan Head unit terdiri dari material dari bahan stainless steel; Isolator dari bahan serat karbon/sejenis; Jarum konduktor dari bahan stainless steel; Terminal kabel bentuk push open/putar; dan diameter Bodi belakang 50 mm sampai dengan 70 mm.

Selanjutnya, pembuatan Recoilless meliputi material dari bahan stainless steel; exit gas mengarah ke belakang; dilengkapi pengatur exit gas; dan diameter Recoilless (alat umpan balik) 80 sampai dengan 150 mm.

Pembuatan prototipe lainnya yaitu pembuatan Mounting stand yang meliputi material dari bahan pipa baja dicat; bentuk kaki kedudukan bentuk tripod; klem dari bahan duralium/aluminium solid kwalitas tinggi; dan baut pengikat dari bahan stainless steel dan head bentuk kupu-kupu/ “T”. Untuk pembuatan Mounting robot terdiri dari material dari bahan Duralium/Aluminium solid; baut dari bahan stainless steel/baja hitam dengan head bentuk kupu-kupu/ “T”; dan mounting bersifat knock down.

Di samping itu, ada catridge disrupter yang meliputi, catridge menggunakan bahan selongsong dari peluru shotgun yang diisi ulang black powder; pemicu dengan cara electrical; dan dapat diisi ulang jika selongsong masih kondisi baik. Ada juga Blaster Sistem/RF Initiator yang meliputi inverter, transmiter, receiver, casing, antena, conector milspec, Kabel, dan baut.

Untuk inverter terdiri dari penaik tegangan dari 9 volt ke 220 volt dan sumber arus menggunakan baterei 9 volt. Transmiter meliputi Frekuensi UHF 400-900Mhz dan range area minimal 150 meter. Receiver terdiri dari Frekuensi UHF 400-900Mhz dan range area

minimal 150 meter.Untuk casing terdiri dari bahan Plastik solid dibubut; Waterproff;

dan tampilan LED 2 warna untuk indicator charge dan Fire. Alat ini juga didukung oleh adanya antenna yang disesuaikan dengan Radio yang digunakan.

Kemudian, ada Conector milspec yang terdiri dari conector dan tombol–tombol milspec. Ada juga kabel rangkaian menggunakan kabel kualitas tinggi dan baut yang terbuat dari bahan stainless steel.

Robot Penjinak Bom :Robot ini memiliki beberapa dimensi yakni, panjang 1000-1200

mm; lebar 450-500 mm; tinggi (bentang lengan ke atas) 1300-1500 mm; dengan berat 50-80 kg. Untuk sistem drive terdiri dari penggerak Robot Sistem Roda dan track/roda bisa di lepas dan dipasang sesuai dengan lintasan yang dipasang sesuai kebutuhan.

Kemampuan mengangkat beban dilengkapi dengan lengan pada posisi normal (melipat) 20-25 Kg; lengan pada posisi memanjang ke depan 8-10 Kg; dan motor penggerak roda Motor DC dengan Gear box. Pada kemampuan berjalan, pada jalan lurus 45 derajat; kemiringan 45 derajat; dan naik tangga 45 derajat.

Pada bagian elektronik terdapat kontrol box di dalam robot. Kontrol ini meliputi, frekuensi data kontrol robot 2,4 Ghz; jarak jangkauan kontrol robot 300-500 meter; Kamera tipe CCD colour camera minimal 3 buah; Video sender system type analog/digital PAL dan NTSC; dan Video sender range 300-500 meter.

Kontrol box lainnya yaitu, frekuensi video 900 Mhz-2 Ghz; system control mainboard Digital Microcontroller (programmable); firing system wireless 2 buah; lampu penerangan 3-5 buah; charger digital; dan baterei robot Lead acid 24 Volt/13 Ah.

Bagian elektronik lainnya juga terdapat Control Console Remote dengan beberapa kontrol fungsi yakni, Mainboard Digital Microcontroller; Monitor/Display controll console Laptop atau LCD screen 14 Inchi dan bisa merekam; Drive Controll Joystick; Camera controll Joystick; Arm/manipulator Controll Push button switch; dan Audio 2 arah dan bisa merekam.

Mengenai spesifikasi teknis dan disain Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom sesuai Surat Perjanjian/Kontrak yang telah disepakati bersama oleh Puslitbang Polri dan PT. EOD Technology ditindaklanjuti pada tahap pembuatan prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom untuk dijadikan sampel dalam pelaksanaan uji coba prototipe dan sertifikasi.

Waktu pelaksanaan pembuatan prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai BOM selama 4 bulan yakni dari Juli 2012 sampai Oktober 2012. Pada Juli 2012 pembuatan prototipe meliputi, Drawing design dan 3D modeling; pembuatan prototipe mekanik robot; dan observasi dan design bagian elektronik dan controller robot.

Bulan berikutnya, Agustus 2012 pembuatan robot meliputi, pembuatan controller; pembuatan remot console robot; Finishing body robot; observasi dan design bagian elektronik dan controller RF initiator; design dan pembuatan disrupter recoiless; dan rancangan drawing design kotak RF initiator.

Untuk Bulan September 2012 sudah masuk kepada pengetesan fungsi roda, arm manipulator, kamera, video, audio, lampu, charger, fire; pengetesan range data dan video robot; dan pengetesan awal disrupter dan RF Initiator.

Kemudian, pada Bulan Oktober 2012 pembuatan robot meliputi, perbaikan dan tes bagian transmiter data dan video; perbaikan dan tes antena transmiter data dan video; dan pengetesan akhir disrupter

9Edisi Desember 2019

dan RF initiator.Kegiatan uji coba prototipe dan sertifikasi dilaksanakan dalam

rangka menentukan apakah Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang dibuat telah memenuhi persyaratan jika ditinjau dari, aspek konstruksi dan perlengkapan; aspek Kemampuan; aspek kelancaran kerja; dan aspek Ergonomik.

Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom pada pelaksanaan uji coba sertifikasi adalah prototipe hasil penyempurnaan pada pelaksanaan uji manufactur yang telah dilaksanakan oleh pihak karoseri PT. EOD Technology.

UJI COBA PROTOTIPE

Pelaksanaan Uji Coba.Uji coba terhadap kemampuan Peralatan Pencerai/Pengurai

Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom dilaksanakan hari Kamis tanggal 18 Oktober 2012 di lapangan Sat Gegana Korbrimob Polri Kelapa Dua, dipimpin oleh Kabaglabtekpol Puslitbang Polri selaku Ketua Tim Teknis Kombes. Pol. Drs. Teguh Budi Prasojo.

Pelaksanaan uji coba juga diikuti oleh Anggota tim uji dari Puslitbang Polri yaitu, AKBP. Drs. Ach. Waluyo Sejati; AKBP. Harti Nuraini, B.A; Kompol Bambang Harnoko, S.Si; Penata I Nurlinah, S.E; Penda I Djumintono; Penda Rudy Priatna; dan Penda Ekha Chandra H, S.Kom.

Anggota Tim uji lainnya dari Tim Gegana Korbrimob Polri yakni, KBP. Ir. Wahyu Widodo; AKP. Yudi Irawan S.T; Brigadir David Rupilu; Briptu Dwi Renggo; dan Briptu Aprinal Chan. Sedangkan TIM Teknis PT. EOD Technology diikuti oleh, Gregory J Alexander dan Wina.

Untuk mata uji Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom meliputi dimensi Robot; berat Robot; dan sistem penggerak roda. Selanjutnya, uji pergerakan Drive robot meliputi, uji jalan maju; uji jalan mundur; uji belok kiri dalam keadaan maju; uji belok kanan dalam keadaan maju; uji belok kiri dalam keadaan mundur; uji belok kanan dalam keadaan mundur; uji belok kiri dalam keadaan berhenti; uji belok kanan dalam keadaan berhenti; dan uji naik turun tangga.

Selain itu, uji coba juga dilakukan pada pergerakan lengan yang meliputi, uji pergerakan Turret; uji pergerakan Arm; uji pergerakan Elbow; uji pergerakan Claw; dan uji mengangkat benda. Untuk uji kemampuan video yaitu, uji Video Drive; uji video PTZ; uji video claw; uji video rear; dan uji switch video. Untuk uji audio terdiri dari uji audio kirim dan uji audio terima.

Selanjutnya, uji lampu drive dan uji lampu claw. Kemudian, uji penembakan disrupter yang meliputi, uji tombol charging; uji tombol fire; uji tombol kunci safety; dan uji penembakan disrupter. Untuk uji jarak meliputi, uji jarak control robot; uji jarak video; dan uji jarak audio.

Untuk uji disrupter terdiri dari uji pencerai beraian bom dan uji disrupter reqoiless. Selain itu, uji RF Initiator terdiri dari, uji proses koneksi; uji proses charging; uji proses fire; uji pencerai beraian bom; dan uji jarak.

Hasil uji coba untuk Bidang Konstruksi dan Perlengkapan Robot Penjinak Bom pada bagian mekanik terdiri dari beberapa dimensi yakni, panjang lengan terlipat 1.157 mm; panjang lengan terbentang 1.157 mm; lebar 428 mm; tinggi bentang lengan keatas 1.320 mm; dan berat 50 kg.

Uji coba untuk dimensi drive terdiri dari sistem Penggerak Robot dan track (optional roda) / roda bisa di lepas dan dipasang

sesuai dengan lintasan / dipasang sesuai kebutuhan. Kemampuan mengangkat beban pada lengan pada posisi normal seberat 20 Kg; lengan pada posisi memanjang ke depan 8 Kg; dan motor penggerak roda Motor DC dengan Gear box.Kemampuan berjalan lurus 45 derajat; kemiringan 45 derajat; dan naik tangga 45 derajat.

Pada bagian elektronik, kontrol box di dalam robot memiliki frekuensi data kontrol robot 433 Mhz. Jarak jangkauan kontrol robot 300-500 meter; Kamera tipe CCD colour camera minimal 6 buah (Kamera Drive 3 buah, kamera PTZ 1 buah, kamera Claw 1 buah dan kamera belakang 1 buah); Video sender system tipe analog / digital PAL system; dan Video sender range 300-500 meter. Kemudian, Frekuensi video 1, 2 Ghz; System control mainboard Digital Microcontroller (programmable); Firing system wireless 2 buah; Lampu penerangan 2 buah; Charger digital; Baterei robot Lead acid 24 Volt / 12 Ah; dan Sistem charger otomatis.

Untuk kontrol console remote dan handheld remote dengan spesifikasi yakni, Mainboard Digital Microcontroller; Monitor/Display controll console LED 19 Inchi terbagi dalam 6 kotak display; kemampuan merekam video dan gambar; media rekam video menggunakan memory card; kontrol drive menggunakan Joystick; kontrol kamera menggunakan Joystick; kontrol penggerak lengan Push button switch; audio VHF; batere Lead Acid 12 V 7 Ah (2 jam); dan dilengkapi dengan joystick handheld controller.

Untuk Peralatan Pencerai/Pengurai Bom pada Disrupter meliputi laras yang terdiri dari material dari bahan stainless steel, dibubut bentuk cone bagian dalam; panjang laras 470 mm; diameter laras 35 mm; dan panjang total 630 mm. Sedangkan Head unit terdiri dari material dari bahan stainless steel; isolator dari bahan serat karbon/sejenis; Jarum konduktor dari bahan stainless steel; Terminal kabel bentuk push open/putar; dan Diameter Bodi belakang 51 mm.

Untuk bagian Recoilless terdiri dari material dari bahan stainless steel; exit gas mengarah ke belakang; dilengkapi pengatur exit gas; dan diameter Recoilless (alat umpan balik) 72 mm. untuk mounting stand terdiri dari material dari bahan pipa stainless steel; bentuk kedudukan kaki bentuk tripod; tinggi maksimal mencapai 3 meter; dan baut pengikat dari bahan stainless steel.

Hasil uji lainnya pada bagian mounting robot yang meliputi, material dari bahan Duralium/ Aluminium solid; baut dari bahan stainless steel; dan mounting bersifat knock down. Untuk Catridge disrupter terdiri dari Catridge menggunakan bahan selongsong dari peluru shotgun yang diisi ulang black powder; pemicu dengan cara electrical; dan dapat diisi ulang jika selongsong masih kondisi baik.

Untuk RF Initiator/Blaster Sistem (initiator wireless/tanpa kabel) memiliki spesifikasi yakni, pada bagian Inverter terdiri dari penaik tegangan dari 9 volt ke 220 volt dan sumber arus menggunakan batere 9 volt. Untuk transmitter memiliki frekuensi UHF 433 Mhz digital Microcontroller; indikator LED power, safety dan charge; tombol Main power, charge dan fire; batere 9 volt 4 buah; dan range area 1 km LOS (Line Off Side)/ tanpa halangan.

Kemudian, untuk Receiver terdiri dari, frekuensi UHF 433 Mhz digital Microcontroller; Indikator LED power, safety dan charge; tombol Main power; batere 9 volt 2 buah; dan range area 1 km LOS (Line Off Side)/ tanpa halangan. Alat ini juga memiliki casing berbahan alluminium solid dibubut; waterproff; dan tampilan LED 3 warna untuk indicator charge, baterei dan safety.

Di samping itu, ada antena disesuaikan dengan radio yang digunakan; conector milspec; kabel rangkaian menggunakan kabel kualitas tinggi; dan baut–baut menggunakan bahan stainless steel.

10 Edisi Desember 2019

Bidang KemampuanDari hasil uji pergerakan drive, robot mampu berjalan maju dan

mundur sesuai dengan pengaturan dari konsol kontrol remote. Dari hasil uji, robot mampu berbelok ke arah kiri dan kanan pada saat berjalan maju dan mundur sesuai dengan pengaturan dari konsol kontrol remote.

Di samping itu, robot mampu berbelok ke arah kiri dan kanan pada saat kondisi berhenti sesuai dengan pengaturan dari konsol kontrol remote; robot mampu naik dan turun tangga dengan ketinggian 30 derajat; pergerakan Turret, Arm, Elbow dan Claw dapat di lakukan dengan menggunakan konsol kontrol remote; dan robot mampu mengangkat benda dengan berat + 5 Kg.

Dari uji kemampuan video pada bagian Drive, Claw dan bagian Rear pada Robot dengan hasil video mampu dilihat pada monitor. Selain itu, uji kemampuan Pan, Tilt dan Zoom kamera video pada bagian Drive, Claw dan bagian Rear dengan hasil kamera dapat naik turun sampai dengan 45 derajat, dan berputar 180 derajat. Kemudian, dari uji penerimaan dan pengiriman sinyal audio dengan hasil audio dapat didengar di box pengaturan.

Selanjutnya, dari hasil pengujian pengaturan lampu yang terletak di bagian drive dan claw dapat dilakukan melalui remote yang ada di konsol kontrol; dari uji fungsi tombol charging dan tombol fire dapat melakukan penembakan disrupter menggunakan RF Initiator, dan dilengkapi dengan dua kunci pengaman (safety); dan dari hasil uji kemampuan pengaturan robot menggunakan remote. Penggunaan remote berhasil menguji jarak control robot dapat mencapai jarak 300 meter; uji jarak video dapat mencapai jarak 300 meter; dan uji jarak audio dapat mencapai jarak 300 meter.

Bidang Kelancaran Kerja.Dilihat dari cara pengoperasian robot adalah cukup mudah

namun perlu pelatihan untuk memaksimalkan fungsi peralatan. Di samping itu, dari cara pemeliharaan dan perawatan peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom cukup mudah karena sebagian besar menggunakan bahan produk dalam negeri.

Kelancaran kerja lainnya, ada garansi/after sales service resmi dari PT. EOD Technology selama 2 tahun dengan jaminan penyediaan spare part sampai dengan batas waktu maksimal penggunaan peralatan.

Hasil Pengujian :Dari hasil uji coba sertifikasi terhadap Prototipe peralatan

Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang didasarkan pada Syarat Syarat Tipe (SST) Peralatan Penjinak Bahan Peledak Polri, maka hasil pengujian secara keseluruhan dinyatakan “LULUS DAN LAYAK PAKAI”“

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan :Dari hasil pembuatan dan pengujian Prototipe Peralatan

Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom berdasarkan standar tolok ukur pengujian terhadap bentuk dan dimensi peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom telah memenuhi persyaratan untuk digunakan oleh Satuan Gegana Korbrimob Polri.

Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom terdiri dari Peralatan Disrupter dan RF Initiator untuk pemusnah bahan peledak dan Peralatan Robot untuk mencari, menjinakkan dan pemusnah bom/bahan peledak.

Berdasarkan standar tolok ukur pengujian terhadap kemampuan Peralatan Disrupter sebagai Pencerai/Pengurai Bom secara keseluruhan dinyatakan memenuhi persyaratan.

Berdasarkan standar tolok ukur pengujian terhadap kemampuan Peralatan Robot sebagai Peralatan untuk penjinak dan penghancur Bom secara keseluruhan dinyatakan memenuhi persyaratan.

Dari hasil uji coba sertifikasi terhadap Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom yang didasarkan pada Syarat Syarat Tipe (SST) Peralatan Penjinak Bahan Peledak secara keseluruhan dinyatakan “Lulus dan Layak Pakai”.

Rekomendasi :Prototipe peralatan Pencerai dan penghancur bom/bahan

peledak dapat dipergunakan Satuan Gegana Korbrimob Polri mengingat peralatan Robot EOD dan Peralatan pencerai Bom (Disrupter) yang dipergunakan saat ini jumlahnya masih sangat terbatas.

Dilihat dari bentuk dan dimensi serta kemampuan prototipe peralatan Pencerai dan penghancur bom/bahan dapat dipergunakan oleh satuan Gegana Korbrimob Polri mengingat Robot EOD yang dipergunakan saat ini dilihat dari dimensinya masih cukup besar dan kurang mampu apabila harus naik tangga dan jalan kondisi miring.

Ditinjau dari segi pemeliharaan dan perawatan Prototipe peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom cukup mudah karena sebagian besar komponen dapat dibeli di dalam negeri serta tersedianya suku cadang sehingga tidak ada ketergantungan dengan pabrikan di luar negeri.

Apabila dilihat dari aspek konstruksi dan kelengkapan, kemampuan serta kelancaran kerja Prototipe Peralatan Pencerai/Pengurai Bom serta Robot Pengurai dan Penjinak Bom hasil kerjasama Puslitbang Polri dan PT. EOD Technology dapat dipergunakan sebagai standar dalam pengadaan Peralatan Robot Penjinak/Pengurai Bom.

11Edisi Desember 2019

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri di Tingkat Polres Hasil Penelitian Bidang Tugas Pembinaan Puslitbang Polri

ABSTRAKPenyelenggaraan pembangunan pemerintahan, atau yang

di sebut reformasi birokrasi, pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan Indonesia lebih maju, mandiri, adil, dan makmur. Untuk itu program pemerintah saat ini diarahkan untuk membenahi berbagai persoalan dalam percepatan pembangunan seperti penerapan good governance, pelayanan publik, dan lain-lain. Upaya-upaya tersebut diatas tentunya harus didukung oleh semua pihak.

Demikian halnya dengan Polri, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat (trust building) menuju Strive for excellent, sebagai tahapan ketiga dari Grand Strategi Polri. Maka diperlukan komitmen dari seluruh jajaran Polri untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh atas semua kebijakan pimpinan Polri. Melalui reformasi birokrasi berupa quick respon, transparansi penegakan hukum (penyidikan), transparansi pelayanan dan transparansi

dalam bidang rekrutmen personil, serta menjamin Harkamtibmas. Hal itu semua tidak terlepas dari baik tidaknya pelaksanaan tata kerja organisasi (Polres) yang ada. Maka metedo dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitati.

Hasilnya, Nilai rata-rata hasil evaluasi pelaksanaan RBP (8 area perubahan) di tingkat satuan kewilayahan adalah 71,01% dengan simpangan baku/standar error 0,0293 (kategori SB, sangat baik). Sedangkan hasil evaluasi KEMENPAN RB, nilainya 67,32% (kategori B, baik), dan perbedaan ini cukup signifikans. Sehingga perlu dilakukan pembicaraan antara Polri dengan Kemen Pan RB, untuk menyamakan persepsi dalam mengevaluasi RBP.

PENDAHULUANPenyelenggaraan pembangunan pemerintahan, atau yang

di sebut reformasi birokrasi, pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan Indonesia lebih maju, mandiri, adil, dan makmur.

12 Edisi Desember 2019

Untuk itu program pemerintah saat ini diarahkan untuk membenahi berbagai persoalan dalam percepatan pembangunan seperti penerapan good governance, pelayanan publik, dan lain-lain. Upaya-upaya tersebut diatas tentunya harus didukung oleh semua pihak.

Demikian halnya dengan Polri, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat (trust building) menuju Strive for excellent, sebagai tahapan ketiga dari Grand Strategi Polri. Maka diperlukan komitmen dari seluruh jajaran Polri untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh atas semua kebijakan pimpinan Polri. Melalui reformasi birokrasi berupa quick respon, transparansi penegakan hukum (penyidikan), transparansi pelayanan dan transparansi dalam bidang rekrutmen personil, serta menjamin Harkamtibmas. Hal itu semua tidak terlepas dari baik tidaknya pelaksanaan tata kerja organisasi (Polres) yang ada.

Dalam upaya mewujudkan tolak ukur kinerja keamanan yang diharapkan, maka Polri dituntut untuk memiliki suatu standar tata kelola organisasi yang baik. Agar kemampuan pelayanan Polri pada unit-unit organisasi terdepan seperti Polres, dapat dilakukan secara maksimal. Sehingga harapan menuju pelayanan Strive for excellent tercapai dengan baik. Untuk mencapai harapan itu, diperlukan kemampuan me-manage dan mengelola seluruh proses kegiatan kerja yang saling bersinambungan secara internal dan eksternal.

Berdasarkan teori manajemen, proses pengelolaan organisasi yang baik, harus memiliki tata urut perencanaan, pengelolaan organisasi, pelaksanaan operasionalisasi dan pengawasan. Dimana bersifat bersinambungan dan berkelanjutan, agar kinerja organisasi menjadi lebih efektif. Selain itu agar dapat memberikan hasil yang maksimal sesuai harapan reformasi birokrasi Polri. Salah satunya adalah perbaikan tata kerja manajemen organisasi di tingkat Polres. Dengan demikian, Polri menjadi lebih professional, akuntabel dan memiliki produktivitas kinerja yang tinggi, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Rumusan MasalahTahun 2014, merupakan akhir dari era Refomasi Birokrasi

Polri (RBP) Tahap II. Untuk menelaah dan mengevaluasi tingkat efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan RBP Tahap II. Terutama pada 8 (delapan) area perubahan birokrasi kepolisian, yang diamanatkan dalam Perpres no. 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Maka telahaan dan evaluasi ini dilakukan pada tingkat Polres, mengingat Polres sebagai centre point Kesatuan Operasional Dasar (KOD) satuan kewilayahan. Harapan hasil evaluasi RBP di tingkat Polres bisa dijadikan acuan/pilot project untuk menilai keberhasilan pelaksanaan RBP di tingkat Polda dan Polsek.

Adapun permasalahan yang perlu di identifikasi dan di diagnosis dalam penelitian ini adalah, seberapa besar efektifitas pelaksanaan RBP (8 area perubahan) tahap II di tingkat satuan kewilayahan. Kemudian, sejauh mana hasil penelitian mampu mendukung pelaksanaan evaluasi RBP yang dilakukan oleh Srena Polri. Selain itu, tantangan dan pendukung apa yang mempengaruhi pelaksanaan RBP satuan wilayah.

Tujuan dan ManfaatAdapun tujuan dari penelitian ini untuk mencari dan memberi

informasi sebagai bahan masukan kepada Pimpinan Polri, dalam rangka menentukan kebijakan. Kemudian selanjutnya untuk dapat membenahi pelaksanaan program RBP di tingkat satuan

kewilayahan dalam mendukung pelaksanaan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB).

Sedangkan manfaatnya, terwujudnya program PMPRB, khususnya di tingkat Polres untuk menciptakan postur organisasi Polres yang kuat, bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Serta meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana yang diharapkan dari birokrasi Polri.

LANDASAN TEORIMonitoring dan Evaluasi (PERMENPAN RB No. 53 Tahun 2011)Pengertian: monitoring dan evaluasi merupakan suatu

rangkaian kegiatanyang meliputi dua sub kegiatan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), pada Pasal 48 ayat (2) huruf (d), dinyatakan bahwa Monitoring atau Pemantauan adalah suatu proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf c dinyatakan bahwa Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan. Dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.

Mekanisme: tata urutan kerja Tim Independen dalam melaksanakan tugas atau fungsi monitoring dan evaluasi. Pertama, rencana Kerja Tahunan: setiap tahun, Tim Penjaminan Kualitas menetapkan rencanakerja tahunan pelaksanaan monitoring dan evaluasi berdasarkan kebutuhan untuk menilai kemajuan dan capaian reformasi birokrasi.

Kedua, penugasan: Ketua Tim Penjaminan Kualitas menerbitkan Surat Tugas monitoring dan evaluasi berdasarkan rencana kerja tahunan yang telah ditetapkan. Surat Tugas monitoring dan evaluasi memuat informasi tentang obyek monitoring atau evaluasi, jenis Penugasan (monitoring atau evaluasi) dan usunan tim. Selain itu, jangka waktu pelaksanaan monitoring atau evaluasi. Berdasarkan surat tugas yang diterima, tim monitoring dan evaluasi melaksanakan penugasan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan dalam waktu yang telah ditetapkan.

Obyek monitoring dan evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga adalah unit pelaksana reformasi birokrasi dan pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga. Unit pelaksana reformasi birokrasi merupakan pejabat pada Kementerian/Lembaga yang menjadi pengarah dan pelaksana reformasi birokrasi sebagaimana digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1Obyek Monitoring Dan Evaluasi

Sedangkan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah realisasi atas 8 (delapan) area perubahan/program reformasi birokrasi tingkat mikro pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan sebagaimana

13Edisi Desember 2019

telah ditetapkan.Ketiga, untuk jadwal pelaksanaan monitoring dan evaluasi.

Kegiatan monitoring dilaksanakan minimal setiap enambulan sekali dan dilaksanakan pada saat pelaksanaan reformasi birokrasi untuk suatu tahun sedang berjalan.

Siklus: monitoring dan evaluasi dilaksanakan dalam siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan . Untuk jelasnya dapat dilihat sebagaimana digambarkan dibawah ini. Perencanaan: Perencanaan dalam monitoring dan evaluasi meliputi kegiatan dalam rangka penetapan target, pemilihan metode. Serta penentuan langkah-langkah kerja yang akan dilaksanakan dan sumber daya manusia yang diperlukan dalam monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan: pelaksanaan monitoring dan evaluasi meliputi kegiatan melaksanakan langkah-langkah kerja yang telah direncanakan dengan mendasarkan standar monitoring dan evaluasi yang berlaku. Pelaporan: pelaporan monitoring dan evaluasi meliputi kegiatan menyampaikan hasil pemantauan kemajuan dan capaian pelaksanaan reformasi birokrasi disertai dengan analisis dan saran atau rekomendasi untuk perbaikannya.

Perencanaan Monitoring dan EvaluasiLingkup Monitoring dan Evaluasi terdiri dari dua sub kegiatan.

Monitoring, ruang Lingkup kegiatan pemantauan kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga adalah kemajuan pelaksanaan program reformasi birokrasi yang telah ditetapkan di tingkat mikro. Sedangkan evaluasi, ruang lingkup kegiatan evaluasi kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga atas pelaksanaan 8 (delapan) area perubahan/program reformasi birokrasi di tingkat mikro.

Adapun reformasi ditingkat mikro ini meliputi pola Pikir dan Budaya Kerja (Manajemen perubahan), penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi dan penataan tatalaksana. Selain itu, penataan sistem manajemen sumber daya manusia aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, peningkatan kualitas pelayanan publik dan monitoring, evaluasi, dan pelaporan.

Dampak strategis dalam reformasi birokrasi adalah efisiensi dan/atau optimalisasi penggunaan anggaran, peningkatan kualitas pelayanan publik. Dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja organisasi.

Base Line: sebagai titik tolak penilaian tingkat kemajuan Reformasi Birokrasi adalah tingkat kesiapan awal masing-masing Kementerian/Lembaga. Kesiapan masing-masing Kementerian/Lembaga ini pada tahap awal sudah dilakukan penilaian oleh Unit Pelaksana Reformasi Birokrasi Nasional (UPBRN). Hasil penilaian awal inilah yang akan menjadi dasar bagi tim penjamin kualitas untuk melakukan proses penilaian selanjutnya untuk memastikan bahwa terdapat kemajuan yang sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Sedangkan untuk penilaian dampak strategis, sebagai base linenya adalah tingkat pencapaian awal masing-masing indikator keberhasilan yang merupakan awal dilaksanakannya program Reformasi Birokrasi di Kementerian/Lembaga. Selanjutnya masing-masing indikator ini akan terus dinilai kemajuannya dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Dampak strategis yang perlu dinilai kemajuannya adalah dampak yang sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi yang diharapkan yaitu pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, efektifitas dan efisiensi pemerintahan, peningkatan kualitas pengambilan kebijakan, dan peningkatan

kualitas pelayanan publik.Metodologi: monitoring pelaksanaan reformasi birokrasi

pada kementerian/lembaga dilakukan dengan menggunakan metode desk monitoring. Desk monitoring dilakukan dengan cara membandingkan Laporan Kemajuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi pada Kementerian/ Lembaga dengan bukti-bukti yang disampaikan. Kemudian, field monitoring/observasi, metode ini dilakukan dengan observasi langsung, wawancara /permintaan keterangan, dan memberikan kuesioner kepada Kementerian/Lembaga. Lembar Kerja Monitoring Dan Evaluasi Pelaksanaan monitoring dan evaluasi menggunakan tools

Pelaksanaan Monitoring dan EvaluasiPelaksanaan monitoring dan evaluasi meliputi 2 kegiatan, yaitu

kegiatan monitoring dan kegiatan evaluasi. Kegiatan monitoring dilaksanakan setiap semester, sedangkan kegiatan evaluasi dilaksanakan setiap tahun. Adapun tahapan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah desk monitoring dan evaluasi. Metode ini merupakan kegiatan monitoring dan kegiatan evaluasi atas pelaksanaan R/B pada Kementerian/Lembaga. Desk monitoring dan evaluasi dilakukan dengan mengumpulkan dokumen dan melakukan reviu atas dokumen tersebut.

Dokumen yang digunakan dalam kegiatan tersebut, adalah laporan kegiatan RB pada Kementerian/Lembaga yang memuat Program, Kegiatan, dan Hasil yang diharapkan pada tingkatan mikro yang tertuang dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010- 2014 (PERMENPAN RB Nomor 20 Tahun 2010) yang meliputi 8 area perubahan/program dan 24 target/sasaran. Reviu terhadap dokumen dilakukan untuk melihat kemajuan dan dampak strategis pelaksanaan reformasi birokrasi pada masing – masing Kementerian/Lembaga.

Kemudian observasi lapangan. Observasi ini merupakan kegiatan monitoring dan evaluasi lanjutan untuk lebih meyakinkan atas riviu dokumen yang telah dilakukan. Observasi lapangan juga ditujukan untuk melihat kemajuan dan dampak strategis pelaksanaan reformasi birokrasi pada masing-masing Kementerian/Lembaga. Observasi lapangan dilakukan tidak hanya melalui konfirmasi, klarifikasi wawancara dengan pejabat kunci pada Kementerian/Lembaga, tetapi juga melalui survei. Penggunaan data sekunder atau bentuk-bentuk pengumpulan informasi lain untuk memperkuat hasil observasi lapangan.

Analisis Hasil Monitoring dan Evaluasi. Analisis ini merupakan kegiatan akhir dari tahapan pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi. Analisis dilakukan dengan membandingkan hasil penilaian lapangan pada tahap pengajuan dokumen usulan reformasi birokrasi, rencana pelaksanaan reformasi birokrasi sebagaimana diuraikan dalam road map reformasi birokrasi masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dengan kemajuan dan dampak strategis yang telah dicapai berdasarkan hasil desk monitoring dan evaluasi serta observasi lapangan.

Analisis hasil monitoring dan evaluasi untuk kegiatan monitoring, akan memberikan kesimpulan dan saran. Analisa tersebut, akan menggambarkan tingkat kecukupan dokumen dalam rangka pemenuhan pencapaian target atas rencana aksi yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga dan ketepatan waktu pelaksanaan program reformasi birokrasi.

Analisis hasil monitoring dan evaluasi untuk kegiatan evaluasi, disamping memberikan kesimpulan yang menggambarkan tingkat kecukupan dalam rangka pemenuhan pencapaian target atas

14 Edisi Desember 2019

rencana yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga dan ketepatan waktu pelaksanaan program reformasi birokrasi serta memberikan rekomendasi/saran yang diperlukan. Kesimpulan dan rekomendasi/saran yang diperlukan didasarkan atas rencana dan realisasi masing-masing program dan kegiatan.

Adapun tools yang digunakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi adalah matrik sebagaimana dalam Tools ini pada dasarnya hanya merupakan satu instrumen untuk mengukur tingkat kecukupan saja, selain itu masih dimungkinkan untuk menggunakan instrumen-instrumen lain untuk menganalisis data/informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, konfirmasi, klarifikasi, dan data hasil survei.

Pelaporan Hasil Monitoring dan EvaluasiSesuai dengan Permenpan nomor 20/2010 tentang Roadmap

Reformasi Birokrasi 2010-2014, tim Penjaminan Kualitas harus menyampaikan laporan hasil kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi kepada Ketua KPRBN dan Ketua Tim RBN. Laporan monitoring dan evaluasi terdiri dari 2 (dua) jenis laporan yaitu laporan individual pelaksanaan monitoring dan evaluasi reformasi birokrasi di tingkat Kementerian/Lembaga dan laporan konsolidasi monitoring dan evaluasi reformasi birokrasi Nasional yang merupakan kompilasi dari laporan pelaksanaan monitoring dan evaluasi reformasi birokrasi di masing-masing Kementerian/Lembaga.

Laporan kegiatan monitoring dan evaluasi disampaikan dalam bentuk Bab, yang terdiri dari 2 (dua) bab yaitu Bab kesimpulan dan rekomendasi serta Bab uraian hasil monitoring, yang berisi tentang dasar, tujuan, ruang lingkup, batasan tanggung jawab, dan metodologi, hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi Kementerian/Lembaga sesuai dengan instrumen yang digunakan dalam monitoring dan evaluasi dan analisisnya serta informasi rinci mengenai program-program reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan di Kementerian/Lembaga serta pencapaian saat ini.

Teori Reformasi BirokrasiReformasi Birokrasi Polri merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari reformasi nasional yang disebabkan adanya krisis ekonomi 1998. Kerisi itu berimbas keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Dalam situs pemerintah-net/reformasi-birokrasi dijelaskan bahwa reformasi birokrasi merupakan upaya pemerintah untuk mencapai good governance dan melakukan pembaharuan dan perubahan. Pembaharuan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur.

Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan di mana yang tidak hanya efektif dan efisien. Tetapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun tujuan reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera. Berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara Grand Design reformasi birokrasiIndonesia menuju pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan

prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis. Tujuaanya agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke 21 melalui tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik pada tahun 2025.

Misi reformasi birokrasi antara lain adalah membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur. Selain itu, juga pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mindset, dan cultural set; mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif dan mengelola sengketa administrasi secara efektif dan efisien.

Reformasi pada hakekatnya adalah sebuah perubahan (change), improvement atau penyesuaian (eufimisme) ke arah yang lebih baik. Atau responsive terhadap situasi dan kondisi. Reformasi birokrasi artinya sebuah perubahan organisasi birokrasi agar responsive dan mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan organisasi atau tuntutan publik. Arah reformasi birokrasi, yakni terwujudnya efisiensi, efektivitas, integritas, responsibilitas, good governance dan clean government.

Reformasi birokrasi merupakan usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan kebiasaan atau keberadaan yang telah lama (Khan,1981). Reformasi adalah suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik, sikap, perilaku birokrat untuk mencapai efektifitas birokrasi dan tujuan pembangunan Nasional (Quah,1976).

Sedangkan Samonte (1979) menjelaskan bahwa reformasi merupakan sebuah perubahan atau inovasi-inovasi dengan penggunaan perencanaan dan adopsi untuk membuat sistem administrasi sebagai agen atau badan yang lebih efektif untuk perubahan sosial, politik, keadilan sosial, dan ekonomi, perubahan dimaksud semuanya dalam kerangka proses akselerasi pembangunan nasional dan pembangunan bangsa.

Selain itu Riswanda Imawan (dalam Kunarto, 1999) menandaskan bahwa reformasi berhubungan dengan upaya menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan tanpa membongkar fondasi yang ada. Reformasi berbeda dengan revolusi yang bermakna membongkar semuanya lalu membangun sesuatu yang baru sama sekali.

Berdasarkan landasan teoritis di atas Warsito Utomo (dalam Kunarto, 1999), menjelaskan, reformasi birokrasi pada hakekatnya berkaitan dengan empat aspek. Yaitu pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan perubahan sistematik dalam kerangka yang lebih luas dan harus direncanakan secara matang. Ketiga, tujuan reformasi untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Keempat, reformasi harus dapat menanggulangi perubahan lingkungan.

Dengan demikian, ruang lingkup reformasi tidak terbatas pada proses dan prosedur atau administrasi. Tetapi juga perubahan struktur organisasi, sikap, tingkah laku birokrat dan pejabat publik, mind set dan cultur set birokrasi publik agar mampu menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan, responsive, akuntabel, transparan, efisien, efektif dan terwujud good governance dan good goverment. Berikut diuraikan dasar legalitas pelaksanaan reformasi birokrasi sebagai berikut :

15Edisi Desember 2019

Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010)

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia, pada awal tahun 1998 telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak sejarah dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama.

Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk terus mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan hal itu, telah ditetapkan beberapa Tap MPR RI. Di antaranya Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional dan Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kemudian ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Disamping itu, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 yang mengamanatkan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional termasuk reformasi birokrasi dan membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih. Serta Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, penegakan dan kepastian hukum, serta reformasi birokrasi dengan penekanan pada kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara.

Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip utama yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, program utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi.

Dengan demikian, reformasi birokrasi gelombang pertama pada dasarnya secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Pada tahun 2011, seluruh Kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, Kementerian/Lembaga dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.

Sementara itu, pada pidato kenegaraan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Kemerdekaan Republik Indonesia di depan Sidang DPR RI tanggal 14 Agustus 2009, Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk 5 (lima) tahun mendatang, yaitu melaksanakan reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi

birokrasi. Reformasi gelombang kedua yang pada kakekatnya bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak krisis.

Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara yang lebih maju. Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan Indonesia.

Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan. Harapun itu diantaranya mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan, menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy dan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Kemudian, meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi dan menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis. Serta ikut memberikan kontribusi terwujudnya postur anggaran Polri yang lebih proporsional

Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidak mampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan Nasional. Reformasi birokrasi berkaitan dengan proses tumpang tindih (overlapping) antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Selain itu, reformasi birokrasi mengarah pada penataan ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir diluar kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box thinking), perubahan paradigma (a new paradigm shift),dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, serta menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan sehingga menjadi suatu living document.

Grand Design Reformasi Birokrasi memuat rancangan induk yang berisiarah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010- 2025. Sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci implementasi reformasi birokrasi dari satu tahapan ketahapan selanjutnya selama 5 (lima) tahun dengan sasaran per tahun yang jelas.

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar dapat memiliki sifat fleksibilitas sebagai suatu living document.

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Road Map

16 Edisi Desember 2019

Reformasi Birokrasi 2010-2014 merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dan Permenpan Nomor : PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah.

Tabel. 2Perbandingan Reformasi Birokrasi Gelombang I dan Gelombang II

Arah Kebijakan Reformasi BirokrasiArah kebijakan reformasi birokrasi adalah pembangunan

aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).

Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi (Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN2010-2014).

Visi dan Misi Reformasi BirokrasiVisi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerintahan

Kelas Dunia”. Visi tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia. Yaitu “pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat. Dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke 21”, melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.

Sedangkan misi reformasi birokrasi mencakup membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kerja pemerintahan yang baik, melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set, mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif, mengelola sengketa administratif secara efektif dan efisien.

Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi BirokrasiPola pikir pencapaian visi reformasi birokrasi dapat dilihat pada

gambar ini.

Gambar 1Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi Birokrasi

Penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L dan Pemda. Manajemen pemerintahan dan manajemen SDM aparatur yang efektif, serta sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing K/L dan Pemda akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.

Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat, kualitas pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik meningkat, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil-hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat. Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kondisi ini akan menjadi profil birokrasi yang diharapkan.

Kondisi tersebut di atas akan dicapai melalui berbagai upaya, antara lain dengan penerapan program quick wins, yaitu suatu langkah inisiatif yang mudahdan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum awal yang positif dan meningkatkan kepercayaan instansi untuk melakukan sesuatu perubahan yang berat. Penyelesaian sesuatu yang berat merupakan inti dari suatu program besar. Quick wins dilakukan di awal dan dapat berupa quick wins untuk penataan organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan penataan budaya kerja aparatur.

Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi harus disertai monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik dan melembaga. Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mencegah

17Edisi Desember 2019

terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi bila terjadi kesalahan/ penyimpangan arah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.

Selain itu, perlu juga didukung oleh beberapa hal. Diantaranya penerapan manajemen perubahan (change management) agar tidak terjadi hambatan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi, penerapan knowledge management agar terjadi suatu proses pembelajaran dantukar pengalaman yang efektif bagi K/L dan Pemda dalam melaksanakanreformasi birokrasi dan penegakan hukum agar terwujud batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan masing-masing pihak.

Tujuan Reformasi BirokrasiReformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi

pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan. Seperti yang dikemukakan pada tabel di bawahini.

Tabel 3Area Perubahan dan Hasil Yang Diharapkan

Sasaran reformasi birokrasi adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dannepotisme dan meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Prinsip-prinsip Reformasi BirokrasiAda beberapa prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi.

Yaitu, outcomes oriented: seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan denganreformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes). Hasil tersebut mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tata laksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan

membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.

Kemudian terukur: pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya. Efisien: pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional.

Efektif: Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi. Realistik: outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal. Konsisten: reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.

Sinergi: pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antar kegiatan di setiap instansi.

Inovatif: reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi Kementerian/Lembaga dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.

Kepatuhan: reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimonitor: pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.

Sasaran Lima Tahunan Reformasi BirokrasiUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun

2005-2025 menetapkan tahapan pembangunan yang meliputi periode RPJMN I (2005-2009), periode RPJMN II (2010-2014), periode RPJMN III (2015-2019), dan periodeRPJMN IV (2020-2024). Sasaran lima tahunan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi ini mengacu pada periodisasi tahapan pembangunan sebagaimana tercantum dalam RPJPN 2005-2025.

Sasaran lima tahun pertama (2010-2014) adalah reformasi birokrasi pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dana akuntabilitas kinerja birokrasi.

Kemudian, sasaran lima tahun kedua (2015-2019) adalah selain implementasi hasil-hasil yang sudah dicapai pada lima tahun pertama. Pada lima tahun kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama.

Sasaran lima tahun ketiga (2020-2024) atau periode lima tahun ketiga. Rreformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus. Untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada limatahun kedua.

18 Edisi Desember 2019

Gambar 2Tahapan Pencapaian Sasaran Lima Tahunan

Strategi PelaksanaanLangkah-langkah strategi pelaksanaan reformasi birokrasi

meliputi tingkat pelaksanaan, pelaksana program, dan metode pelaksanaan. Tingkat pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan melalui tiga tingkat pelaksanaan. Untuk jelasnya dapat dilihat tabel ini.

Tabel 4Tingkat Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Pelaksana

Gambar 4Pengorganisasian Reformasi Birokrasi

Peran Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional antara lain mengarahkan kebijakan, strategi, dan standar bagi pelaksanaan reformasi birokrasi dan kinerja operasi birokrasi. Peran Tim Reformasi Birokrasi Nasional antara lain merumuskan kebijakan dan strategi operasional reformasi birokrasi. Ketua TimReformasi Birokrasi Nasional bertanggung jawab kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional. Tim Reformasi Birokrasi Nasional dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Tim Independen.

Sedangkan Tim Quality Assurance bertugas dalam memastikan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dalam pelaksanaan tugasnya Tim Independen dan Tim Quality Assurance bertanggungjawab kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Tim Reformasi Birokrasi K/L dan Pemda berperan sebagai penggerak, pelaksana dan pengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing K/L dan Pemda. Pengorganisasian pelaksana reformasi birokrasi dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5Pelaksana Reformasi Birokrasi

ProgramStrategi pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan melalui

program-programyang berorientasi pada hasil (outcomes oriented program). Program-programtersebut dilaksanakan sesuai dengan tingkat pelaksanaannya sebagaimanatercantum pada tabel di bawah ini.

Tabel 6Perbandingan Program Antar tingkat Pelaksanaan

19Edisi Desember 2019

Gambar 4Metode Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 (Peraturan Menteri PAN No. 20 Tahun 2010)

RMRB adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) yang disusundan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi dasar bagi sasaran tahun berikutnya, begitupun sasaran tahun-tahun berikutnya mengacu pada sasaran tahun sebelumnya.

Keterkaitan grand design dan road map reformasi birokrasiadalah sebagai berikut:

Tabel 7Keterkaitan grand design dan road map reformasi birokrasi

Gambar 5Keterkaitan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan Road Map Reformasi Birokrasi 2010 –2014, Road Map Reformasi Birokrasi 2015–2019, dan Road Map Reformasi Bi-rokrasi 2020–2024

RMRB bertujuan untuk memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian/Lembaga (K/L) dan pemerintah

daerah (Pemda). Tujuan reformasi birokrasi ini agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan.

Ruang lingkup RMRB 2010-2014 mencakup tiga hal. Pertama, penguatan Birokrasi Pemerintah, terwujudnya penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Kedua, tingkat Pelaksanaan. Ada dua tingkat pelaksanaan, yaitu tingkat nasional dan tingkat instansional. Pada tingkat nasional, pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam tingkat pelaksanaan makro dan meso. Tingkat pelaksana makro menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi.

Sementara tingkat pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro, dan mengkoordinasikan (mendorong dan mengawal) pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat K/L dan Pemda. Pada tingkat instansional (disebut tingkat pelaksanaan mikro) menyangkut implementasi kebijakan/program reformasi birokrasi sebagaimana digariskan secara nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program, program berorientasi hasil (outcomes oriented programs), baik pada tingkat makro, meso, maupun tingkat mikro sebagaimana dikemukakan pada tabel berikut ini.

Tabel 8Program Berorientasi Hasil Tingkat Makro, Meso dan Mikro

Ukuran keberhasilan. Mengukur keberhasilan reformasi birokrasi dilakukan antara lain melalui pencapaian sasaran reformasi birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025, dengan indikator kinerja utama (key performance indicators), pada tabel berikut ini.

Tabel 9Sasaran dan Indikator Keberhasilan Reformasi Birokrasi

20 Edisi Desember 2019

Pengorganisasian Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi nasional, dibentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) melalui Keppres No. 23 Tahun 2010 tentang Perubahan Keppres No. 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN). KPRBN diketuai oleh Wakil Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. TRBN diketuai oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan bertanggung jawab kepada Ketua KPRBN.

Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dibantu oleh Tim Independen dan Tim Quality Assurance yang berperan antara lain melakukan monitoring dan evaluasi serta memastikan pelaksanaan reformasi birokrasi. Sedangkan TRBN dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN). Untuk tingkat K/L dan Pemda dibentuk Tim Rerformasi Birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda

Kemudian, pengorganisasian Tingkat Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Penanggung jawab reformasi birokrasi pada tingkat mikro adalah pimpinan masing-masing K/L dan Pemda. Pelaksanaan reformasi birokrasi untuk Periode 2010 – 2014 berpedoman pada GDRB 2010-2025, RMRB 2010-2014, dan berbagai kebijakan pelaksanaannya dengan memperhatikan karakteristik masing-masing instansi yang dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan berkelanjutan. Organisasi Tim Reformasi Birokrasi tingkat K/L dan Pemda terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Ketua Tim Pengarah adalah pimpinan K/L dan Pemda, sedangkan anggota tim pengarah dipilih dari pejabat-pejabat kunci untuk memastikan komitmen pimpinan tertinggi terhadap upaya reformasi birokrasi. Sementara tim pelaksana ditetapkan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya dalam mengimplementasikan program reformasi birokrasi pada masing-masing instansi pemerintah.

Tahapan dan Program pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Tahaban pelaksanaan reformasi birokrasi 2010-2014 Pada Tingkat Mikro mencakup Program Manajemen Perubahan. Program ini bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran reformasi birokrasi.

Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya komitmen pimpinan dan pegawai K/L dan Pemda dalam melakukan reformasi birokrasi. Selain itu, terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja K/L dan Pemda, menurunnya resiko kegagalan yang disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan.

Program Penataan Peraturan Perundang-undangan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah menurunnya tumpang tindih dan disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L dan Pemda, meningkatnya efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan K/L dan Pemda.

Program Penataan dan Penguatan Organisasi. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi K/L dan Pemda secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing, sehingga organisasi K/L dan

Pemda menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi internal K/L dan Pemda dan meningkatnya kapasitas K/L dan Pemda dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi.

Program Penataan Tatalaksana. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, dan terukur pada masing-masing K/L. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda, meningkatnya efisiensi dan efektivitas proses manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda dan meningkatnya kinerja di K/L dan Pemda.

Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur. Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.

Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya ketaatan terhadap pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya disiplin SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda. Selain itu, meningkatnya efektivitas manajemen SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya profesionalisme SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Pengawasan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara oleh masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya status opini BPK terhadap pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda, menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kinerja K/L dan Pemda dan meningkatnya akuntabilitas K/L dan Pemda.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masing-masing K/L dan Pemda sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau) pada K/L dan Pemda, meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan internasional pada K/L dan Pemda. Dan meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing K/L dan Pemda.

Program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Program ini bertujuan untuk menjamin agar pelaksanaan reformasi birokrasi dijalankan sesuai dengan ketentuan dan target yang ditetapkan dalam road map K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah memberikan peringatan dini tentang resiko

21Edisi Desember 2019

kegagalan pencapaian target yang ditetapkan. Kegiatan-kegiatan pada tingkat pelaksanaan mikro tersebut, perlu memperhatikan, setiap K/L dan Pemda pada dasarnya memiliki kemajuan yang berbeda. Ada K/L dan Pemda yang sudah melaksanakan sebagian program reformasi birokrasi, tetapi ada pula K/L dan Pemda yang belum melaksanakan program reformasi birokrasi. Kemudian tahun sebagai awal dimulainya K/L dan Pemda melaksanakan program reformasi birokrasi juga berbeda.

Tunjangan Kinerja. Pemberian tunjangan kinerja berbeda dengan pemberian remunerasi. Tunjangan kinerja merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang telah dicapai oleh seseorang individu pegawai. Kinerja individu pegawai yang dimaksud tentunya harus sejalan dengan kinerja yang hendak dicapai oleh instansinya. Oleh karena itu, tunjangan kinerja individu pegawai dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan Indikator Kinerja Utama. Sementara itu, remunerasi adalah semua bentuk imbalan yang diterima pegawai atas kontribusi yang diberikannya kepada organisasi.

Pemberian remunerasi bersifat fleksibel, yaitu dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dapat berbentuk tunai atau nontunai, dan dapat diberikan secara reguler atau pada waktu-waktu tertentu. Remunerasi diberikan dalam bentuk gaji pokok. Kemudian tunjangan, meliputi tunjangan jabatan, tunjangan prestasi (insentif), tunjangan biaya hidup (rumah, pangan, dan transportasi sesuai dengan tingkat kemahalan di masing-masing daerah), tunjangan hari raya, dan tunjangan kompensasi pegawai yang ditempatkan di daerah terpencil, daerah konflik, atau mempunyai lingkungan kerja yang tidak nyaman atau berisiko tinggi. Dan imbalan lainnya, seperti jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan pensiun.

Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip ffisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja K/L dan Pemda dan equal pay for equal work yaitu pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja.

Kebijakan dan alokasi anggaran untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja bagi suatu K/L harus disetujui oleh KPRBN dan DPR (komisi terkait) serta diajukan melalui Menteri Keuangan Republik Indonesia. Bila suatu K/L tidak memerlukan tambahan pagu untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja, namun memerlukan realokasi anggaran, perlu mendapat persetujuan Komisi DPR terkait. Bila suatu K/L memerlukan tambahan pagu untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja, pagu tersebut perlu mendapat persetujuan DPR (Badan Anggaran).

Hasil penilaian pelaksanaan program dan kegiatan reformasi birokrasi K/L yang dilakukan Tim RBN digunakan oleh Menteri Keuangan sebagai bahan pertimbangan dalam perhitungan besaran tunjangan kinerja dan digunakan dalam proses penetapan persetujuan besaran tunjangan kinerja dalam Rapat KPRBN. Selanjutnya, besaran tunjangan kinerja setelah mendapatkan persetujuan DPR ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Penetapan tunjangan kinerja pegawai negeri di lingkungan pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan hasil penilaian pelaksanaan program dan kegiatan reformasi birokrasi pemerintah daerah oleh Tim RBN dengan persetujuan KPRBN.

Pemberian Tunjangan Kinerja. Tunjangan kinerja dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan penilaian

terhadap dokumen usulan dan verifikasi lapangan oleh UPRBN, hasil penilaian dan verifikasi disampaikan kepada TRBN untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan KPRBN. Penetapan pemberian tunjangan kinerja terutama didasarkan pada: (1) kesiapan K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan. dan (2) dampak potensial strategis dari pelaksanaanreformasi birokrasi K/L dan Pemda.

Pemberian Tambahan/Pengurangan Anggaran Tunjangan Kinerja. Tambahan/pengurangan tunjangan kinerja (reward and punishment) dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi K/L dan Pemda oleh Tim Independen. UPRBN memproses hasil monitoring dan evaluasi, serta masukan Tim Quality Assurance kemudian disampaikan kepada TRBN untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan KPRBN. Penetapan pemberian tambahan/pengurangan anggaran tunjangan kinerja terutama didasarkan hasil evaluasi dengan fokus pertimbangan pada: (1) kemajuan K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan; dan (2)dampak strategis dari pelaksanaanreformasi birokrasi K/L dan Pemda.

Kebijakan Pemerintah Tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Permen Pan RB no.1 Tahun 2012)

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 mengamanatkan bahwa pendayagunaan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi. Amanat tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 yang menetapkan bahwa reformasi birokrasi merupakan prioritas pembangunan nasional.

Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014. Kemudian, ditetapkan beberapa pedoman pelaksanaan reformasi birokrasi bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dengan PERMENPAN-RB Nomor 7 sampai dengan Nomor 15 Tahun 2010.

Untuk menilai dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB). Model PMPRB memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan instansi pemerintah, serta memperbaikinya, meningkatkan kinerja instansi pemerintah, memberikan motivasi dan mendorong keterlibatan para pegawai dalam proses dan pengelolaan pelaksanaan kebijakan, meningkatkan kepekaan para pegawai dan sebagai bench learning/proses pembanding untuk perbaikan kinerja instansi pemerintah.

Fokus PenilaianModel PMPRB memfokuskan penilaian terhadap langkah-

langkah reformasi birokrasi yang dilakukan oleh setiap instansi pemerintah dikaitkan dengan ‘Hasil Yang Diharapkan’ sebagaimana tercantum di dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014 (PERMENPAN RB No. 20 Tahun 2010), dan juga dikaitkan dengan Indikator Kinerja Utama instansi pemerintah dalam rangka pencapaian sasaran dan indikator keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional sebagaimana tertuang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (PERPRES No. 81 Tahun 2010).

22 Edisi Desember 2019

Tabel 10Sasaran dan Indikator Keberhasilan Reformasi Birokrasi Secara Nasional

Penerapan PMPRB memanfaatkan dan mengolah lebih lanjut berbagai data/informasi, materi serta dokumen yang sebagian besar sudah dikembangkan dan tersedia, sehingga tidak menambah beban administratif instansi pemerintah. Data/informasi, materi serta dokumen dimaksud antara lain adalah dokumen persiapan dan pelaksanaan reformasi birokrasi; dokumen pelaksanaan tupoksi di masing–masing instansi; dokumen pelaporan pelaksanaan akuntabilitas dan kinerja instansi serta dokumen lain yang relevan yang pada umumnya telah diterapkan dan dimiliki oleh instansi pemerintah.

Model Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Model PMPRB memiliki 2 (dua) komponen: Pengungkit

(Enablers) dan Hasil (Results). Hubungan sebab akibat antara Komponen Pengungkit dan Komponen Hasil dapat mewujudkan proses perbaikan bagi instansimelalui inovasi dan pembelajaran, dimana proses perbaikan ini akanmeningkatkan kinerja instansi pemerintah secara berkelanjutan.

Komponen Pengungkit sangat menentukan keberhasilan tugas instansi sedangkan Komponen Hasil berhubungan dengan kepuasan para pemangku kepentingan. Model PMPRB yang menunjukkan keterkaitan Komponen Pengungkit, Komponen Hasil, dan Indikator Keberhasilan RB dapat dilihat pada Gambar dibawah ini

Gambar 6Keterkaitan antar komponen dan kriteria model PMPRB

Komponen Pengungkit. Terdapat 5 (lima) kriteria yang menjadi kunci keberhasilan Komponen Pengungkit. Yaitu Kriteria Kepemimpinan, Kriteria Perencanaan Stratejik (Renstra), Kriteria Sumber Daya Manusia Aparatur, Kriteria Kemitraan dan Sumber Daya, dan Kriteria Proses.

Kriteria Kepemimpinan. Kriteria kepemimpinan mencerminkan kapasitas pimpinan dalam mengarahkan dan mendorong pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran instansi pemerintah sesuai dengan nilai yang disepakati, serta membangun saling percaya, dan mengambil langkah-langkah untuk mewujudkannya. Kriteria Kepemimpinan memiliki 4 (empat) sub-kriteria sebagaimana dalam skema pada Gambar 7. Masing – masing sub kriteria terdiri atas beberapa pertanyaan. Asesmen atas pertanyaan tersebut dan pemberian penilaian atau skoring terhadap jawabannya akan dijelaskan lebih lanjut di dalam Nomor 3.

Gambar 7Sub kriteria dan kriteria Kepemimpinan

Kriteria perencanaan stratejik. Kriteria Perencanaan Stratejik menunjukkan kemampuan instansidalam melakukan proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul. Rencana Stratejik (Renstra) mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan sasaran yang meliputi kebijakan, program dan kegiatan yang realistis dengan mengantisipasi perkembangan masa depan. Kriteria Renstra memiliki beberapa sub digambarkan dalam skema dibawah ini.

Gambar 8Sub kriteria dari perencanaan stratejik

23Edisi Desember 2019

Kriteria Sumber Daya Manusia Aparatur. Kriteria Sumber Daya Aparatur (SDM) Aparatur terkait dengan kemampuan suatu instansi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan seluruh SDM aparatur yang ada di dalam instansi untuk mencapai tujuan organisasi. Kriteria SDM aparatur memiliki sub kriteria sebagaimana digambarkan dalam skema di bawah ini.

Gambar 9Sub kriteria dari SDM aparatur

Kriteria kemitraan dan sumber daya. Kriteria Kemitraan dan Sumber Daya merupakan kemampuansuatu instansi merencanakan dan mengelola sumber daya dan hubungan dengan para pemangku kepentingan utama untuk mendukung Renstra dan Road Map serta kelancaran proses kerjainstansi.

Kriteria Proses. Kriteria Proses menunjukkan kapasitas suatu instansi dalam mengindentifikasi, mengelola, meningkatkan dan membangun proses inti (core processes), proses manajemen (management processes) dan proses pendukung (support processes) untuk mendukung dan mengimplementasikan Renstra dan Road Map instansi. Proses inti merupakan rangkaian proses yang kritikal dalam penyampaian suatu produk/layanan instansi kepada para pemangku kepentingan/pengguna layanan. Proses manajemen merupakan rangkaian proses yang mengarahkan instansi untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dan menggunakannya untuk mencapai tujuan instansi. Hanya proses inti dan proses manajemen yang menjadi fokus dari penilaian model PMPRB.

Gambar 10Sub kriteria dari proses

Komponen Hasil. Komponen Hasil diukur dengan 4 (empat) kriteria kunci keberhasilan, yaitu: Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan, Kriteria Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional, Kriteria Hasil pada Sumber Daya Manusia Aparatur, dan Kriteria Hasil Kinerja Utama. Pengukuran dilakukan

terhadap indikator kinerja internal dan eksternal yang menunjukkan seberapa baik suatu instansi mencapai target yang telah ditetapkan.

Hasil pada masyarakat/pengguna layanan. Kriteria ini merupakan hasil yang telah dicapai suatu instansiterkait dengan tingkat kepuasan masyarakat/pengguna layanan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan survei atau kuesioner untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat/ pengguna layanan atas layanan yang telah diberikan instansi. Kriteria hasil pada masyarakat/pengguna layanan memiliki sub kriteria sebagaimana dalam skema pada Gambar 12.

Gambar 11Sub kriteria dari hasil pada masyarakat

Kriteria hasil pada sumber daya manusia (SDM) aparatur. kriteria hasil pada sdm aparatur mencerminkan pencapaian yang diperoleh oleh suatu instansi terkait dengan kompetensi, motivasi, kepuasan dan kinerja dari para pegawai instansi. Kriteria hasil SDM aparatur memiliki dua sub kriteria sebagaimana dalam skema di bawah ini

Gambar 12Sub kriteria dari hasil pada SDM aparatur

Kriteria hasil pada komunitas lokal, nasional dan internasional. Kriteria ini menunjukkan pencapaian yang diperoleh oleh suatuinstansi terkait dengan tingkat kepuasan atas tercapainya kebutuhan dan harapan dari komunitas lokal, nasional dan internasional. Kriteria hasil pada komunitas lokal, nasional dan internasional memiliki dua sub kriteria sebagaimana dalam skema di bawah ini.

Gambar 13Sub kriteria hasil pada komunitas lokal, nasional dan internasi-onal

24 Edisi Desember 2019

Kriteria hasil kinerja utama. Kriteria hasil kinerja utama mencerminkan capaian yang diperoleh oleh suatu instansi terkait dengan renstra dan road map yang telah ditetapkan. Kriteria ini terdiri dari dua sub kriteria, yaitu ; sub kriteria internal dan sub kriteria eksternal. Sub kriteria internal terkait dengan manajemen dan perbaikan internal instansi guna mendukung program dan aktifitas reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Sedangkan sub kriteria eksternal terkait dengan kebutuhan, permintaan dan harapan dari berbagai pemangku kepentingan. Kriteria hasil kinerja utama memiliki dua sub kriteriasebagaimana dalam skema di bawah ini.

Gambar 15Sub kriteria hasil pada hasil kinerja utama

IKU Kementerian/Lembaga untuk mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Setiap instansi perlu memiliki IKU yang dapat mendukung tercapainya sasaran, indikator dan target reformasi birokrasi di lingkungan masing -masing dan tercapainya sasaran dan target reformasi birokrasi secara nasional. Dalam rangka memantau dan mengevaluasi pencapaian sasaran, indikator dan target reformasi birokrasi pada setiap instansi dan secara nasional, diperlukan IKU terkait pencapaian reformasi birokrasi, yang bersifat standar atau generik. Setiap K/L diharapkan dapat mengadopsi IKU yang ada, sehingga IKU yang K/L miliki nantinya merupakan kombinasi IKU yang terkait pencapaian sasaran reformasi birokrasi sebagai fondasi dasar dari semua pencapaian kinerja K/L (yang bersifat generik) dengan IKU yang terkait dengan pencapaian kinerja core business atau yang bersifat sektoral dari K/L itu sendiri, seperti gambar dibawah ini.

Gambar 15IKU generik reformasi birokrasi sebagai fondasi dasar

Tata Cara dan Mekanisme Penilaian Mekanisme penilaian dilakukan secara self-assessment atau

penilaianmandiri. Dalam melakukan penilaian mandiri, Tim Asesor harus memberikan penilaian terhadap masing-masing kriteria dan sub-kriteria secara obyektif dan professional. Oleh karena itu, setiap penilaian harus didukung oleh bukti dan analisis yang memadai. Untuk memastikan bahwa proses penilaian mandiri yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dilakukan dengan benar,

Kementerian PAN dan RB akan melakukan pendalaman atas hasil penilaian yang dilakukan instansi.

Metode pengumpulan dan analisis data. Untuk melakukan penilaian mandiri, Tim Asesor mengumpulkan data/ informasi dan bukti (evidence), serta survei. Bukti dapat berupa dokumen tertulis yang dihasilkan instansi, hasil wawancara atau diskusi dengan para pegawai dan audio visual yang dimiliki instansi. Sedangkan survei dilakukan dalam rangka memperoleh data berdasarkan opini responden atas pertanyaan yang diberikan guna mendukung obyektivitas hasil penilaian mandiri. Survei dibagi dua, yaitu survei yang dilakukan secara internal dan ditujukan kepada pegawai instansi dan survei yang dilakukan secara eksternal dan ditujukan kepada para pemangku kepentingan, yaitu penggunaan layanan instansi dan masyarakat.

Survei secara internal dilakukan untuk seluruh kriteria dan sub-kriteria Komponen Pengungkit dan untuk kriteria dan sub-kriteria ‘Hasil pada Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur’ dari Komponen Hasil. Skor yang diperoleh dari hasil survei untuk masing – masing sub-kriteria pada Komponen Pengungkit akan dikonsolidasikan dengan skor yang diperoleh dari hasil penilaian bukti. Sedangkan survei secara eksternal dilakukan untuk kriteria ‘Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan’ serta kriteria ‘Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional’.

Bukti dan hasil survei yang diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dianalisis dan dinilai oleh Tim Asesor sebagai dasar dalam penentuan skor, baik skor untuk masing – masing sub-kriteria maupun skor akhir untuk masing – masing kriteria. Skor yang diperoleh dari hasil survei diberikan bobot 40%, sedangkan yang diperoleh dari hasil penilaian mandiri diberikan bobot 60%, untuk mendapatkan skor akhir dari masing – masing sub-kriteria dari Komponen Pengungkit. Skor akhir untuk masing – masing kriteria dari Komponen Pengungkit diperoleh dari rata – rata skor yang diperoleh dari masing – masing sub-kriteria (tiap – tiap sub-kriteria memiliki bobot atau weight factor yang sama besar).

Jika terjadi perbedaan yang signifikan antara hasil survei dan penilaian bukti, maka dilakukan diskusi dan pembahasan lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih handal (dengan tidak merubah skor yand diperoleh dari hasil survei). Penilaian Kriteria ‘Hasil pada Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur’, ‘Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan’ dan ‘Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional’ yang secara murni menggunakan hasil survei, diberikan bobot 100%. Penilaian Kriteria ‘Hasil Kinerja Utama’ yang terkait dengan sub-kriteria Pemenuhan Target Indikator Internal’ dan sub-kriteria ‘Pemenuhan Target Indikator Eksternal’ dilakukan secara mandiri berdasarkan bukti – bukti yang menunjukkan pencapaian kinerja instansi atas 9 (sembilan) Program Mikro Reformasi Birokrasi K/L dan pencapaian kinerja dari Indikator Kinerja Utama (IKU) ini, dengan bobot 100%.

Pelaksanaan Survei dan penetapan sampel. Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner untukkriteria dan sub-kriteria Komponen Pengungkit bersifat tertutup (close ended questions). Responden yang mengisi kuesioner ini adalah pegawai instansi pemerintah yang terpilih secara acak. Kuesioner untuk mendukung survei kriteria dan sub-kriteria ‘Hasil pada Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur’, Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan’, dan ‘Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional’ diserahkan kepada masing – masing instansi untuk pendesainan dan pembuatannya, dengan mengacu pada arahan (guidance). Responden untuk survei kriteria ‘Hasil pada Sumber

25Edisi Desember 2019

Daya Manusia (SDM) Aparatur’ adalah juga pegawai instansi pemerintah yang terpilih secara acak. Sedangkan responden untuk kriteria Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional’ adalah pengguna layanan dari instansi tersebut dan masyarakat.

Pemilihan sampel masyarakat/pengguna layanan diserahkan kepada pertimbangan profesional Tim Asesor. Besarnya sampel sebaiknya sebanyak mungkin, semakin besar sampel yang diambil umumnya akan semakin representatif dari populasinya dan hasil survei lebih dapat digeneralisasikan. Dilihat dari substansi tujuan penarikan sampel yakni untuk memperoleh representasi populasi yang tepat, maka besarnya sampel yang akan diambil perlu mempertimbangkan karakteristik populasi serta kemampuan estimasi.

Pertimbangan karakteristik populasi akan menentukan teknik pengambilan sampel, ini dimaksudkan untuk mengurangi ataumenghilangkan bias, sementara kemampuan estimasi berkaitan denganpresisi dalam mengestimasi populasi dari sampel serta bagaimana sampel dapat digeneralisasikan atas populasinya. Upaya untuk mencapai presisi yang lebih baik memerlukan penambahan sampel, seberapa besar sampel serta penambahannya akan tergantung pada variasi dalam kelompok, tingkat kesalahan yang ditoleransi serta tingkat kepercayaan.

Besarnya sampel didapatkan dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:

n= N/(1+N (d²))dimana: n adalah jumlah sampel/responden, N adalah jumlah

populasi/pegawai tetap terdaftar di instansi, d adalah derajat kesalahan (derajat kesalahan di ambil sebesar 5% dengan tingkat keyakinan sebesar 95%)

Besarnya sampel menurut besarnya populasi dapat dilihat pada Tabel dibawah ini :

Tabel 11Jumlah populasi dan sampel dengan tingkat keyakinan 95%

Jawaban atas pertanyaan survei (untuk komponen Pengungkit) bersifattertutup demi kemudahan pengisian, dan diukur dengan menggunakan 5 skala likert (likert scale) dari 0 sampai dengan 5.

Skala “0” menunjukkan ‘sangat tidak setuju’ dan skala ‘5’ berarti ‘sangat setuju’ dengan pernyataan yang disampaikan. Dikarenakan skor penilaian bukti memiliki rentang 0 – 100, diperlukan normalisasi skor hasil survei agar dapat dikonsolidasikan dengan skor penilaian bukti, dengan cara mengalikan skor hasil survei dengan angka 20. Sebagai contoh, bila rata-rata skor untuk sebuah sub-kriteria adalah 2.5, maka skor normalisasinya adalah 2.5 x 20 atau 50.

Metode dan panel penilaian. Metode penilaian yang diterapkan dalam Model PMPRB adalah berdasarkan pada siklus kualitas (quality cycle) Plan, Do, Check and Act (PDCA), sehingga pemahaman terhadap siklus PDCA sangat diperlukan ketika melakukan penilaian. Siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) adalah siklus penuh penerapan prinsip manajemen kualitas menuju perbaikan secara terus menerus (continuous improvement). Penerapan prinsip ini menekankan bahwa program perbaikan harus dimulai dengan perencanaan yang baik, yang memiliki serangkaian tindakan/aksi yang efektif, diperiksa/dimonitor kemajuannya dan pada akhirnya dilakukan tindakan perbaikan, dan dilanjutkan secara terus menerus dalam suatu siklus PDCA yang fleksibel.

Perencanaan (Planning/P) yang baik didasarkan atas harapan/ kebutuhan pemangku kepentingan. Proses perencanaan dilakukan melalui seluruh bagian terkait dalam organisasi secara reguler. Pelaksanaan (Do/D) dikelola melalui berbagai proses dan tanggungjawab baku serta diserahkan kepada bagian terkait dalam organisasi secara reguler. Pemantauan (Check/C) adalah melakukan monitoring terhadap proses baku dengan menggunakan berbagai indikator terkait dan di reviu melalui bagian terkait yang relevan dalam organisasi secara reguler. Tindak Lanjut (Act/A) adalah tindakan koreksi dan peningkatan dilakukan atas dasar hasil pemantauan melalui berbagai bagian terkait yang relevan dalam organisasi secara reguler.

Untuk melakukan penilaian, asesor menggunakan format penilaian yang terdiri dari panel penilaian Pengungkit dan panel penilaian Hasil. Penilaian dimulai dengan memilih fase yang telah dicapai oleh instansi, apakah Plan, Do, Check atau Act. Penilaian bersifat kumulatif dimana pencapaian suatu level yang lebih tinggi (misalnya level ‘Check’) hanya dapat diperoleh bilamana level sebelumnya (misalnya level ‘Do’) telah dicapai. Selain itu, penilaian juga dilakukan dengan mempertimbangkan hasil survei dan bukti yang tersedia untuk menentukan seberapa baik pencapaian Plan, Do, Check or Act; semakin baik hasil bukti dan survei yang diperoleh, semakin tinggi skor yang diberikan untuk masing – masing fase. Pemberian penilaian pada level PDCA hanya dapat diberikan bilamana aktivitas bench learning instansi merupakan bagian dari siklus perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement cycle).

Tabel 12Format penilaian komponen pengungkit

26 Edisi Desember 2019

Selanjutnya, Tabel 13 dibawah ini menggambarkan panel penilaian komponen Hasil. Seperti terlihat, bahwa hasil dinilai atas salah satu dari dua aspek; pertama, penilaian terhadap Trend (kecenderungan pencapaian hasil); dan kedua, penilaian terhadap pencapaian Target yang sudah ditetapkan oleh instansi.

Instansi berada pada nilai terendah jika tidak terdapat pengukuran terhadap indikator hasil dan/atau tidak terdapat informasi mengenai target yang ingin dicapai. Sedangkan instansi berada pada level tertinggi jika hasil yang sangat baik (excellent) diperoleh dan berkesinambungan. Selain itu, semua target yang relevan telah terpenuhi dan kecenderungan positif dibandingkan instansi lain dan semua target yang sudah ditetapkan tercapai.

Tabel 13Format penilaian komponen hasil

Rencana perbaikan dan tindak lanjut. Berdasarkan sintesa penilaian dan hasil skor yang diperoleh dari masing –masing sub-kriteria dan kriteria Pengungkit (tabel 12), rencana perbaikan dan tindak lanjut perbaikan untuk masing – masing sub-kriteria dan kriteria dibuat seperti pada format dalam Tabel 14. Di dalam format dimaksud juga diberikan kolom yang menunjukkan hal – hal yang sudah baik yang telah dilakukan oleh instansi dan juga hal – hal yang masih perlu untuk diperbaiki oleh instansi.

Tabel 14Format rencana dan tindak lanjut

Tahapan penilaian mandiri. Berikut adalah tahapan penilaian mandiri yang akan dilakukan oleh Tim Asesor dengan kombinasi beberapa metode pengumpulan bukti, survei, dan penilaian dokumen/bukti untuk kriteria dan sub-kriteria Pengungkit. Pahami ruang lingkup penilaian mandiri yang difokuskan pada Komponen

Pengungkit. Pelajari seluruh bagian instrumen penilaian baik yang menyangkut dengan terminologi maupun panel-panel penilaian, lakukan survei dengan menggunakan kuesioner. Tentukan jumlahsampel yang representatif, dengan memperhatikan keterwakilan darimasing – masing unit dan juga posisi/jabatan pegawai, untuk menjamin adanya data yang valid dan handal. Tim juga memastikan bahwa kuesioner bersifat anonim dan jawaban yang diberikan hanya digunakan oleh Tim Asesor untuk menilai perkembangan kinerja instansi pada setiap kriteria dan sub kriteria yang dinilai.

Selain itu, distribusikan kuesioner kepada seluruh pegawai dari berbagai golongan, baik struktural maupun fungsional dan kepada pengguna layanan instansi dan masyarakat dengan menggunakan media yang dianggap paling efektif. Berikan tenggat waktu secara definif untuk pengumpulan seluruh kuesioner guna pengolahan lebih lanjut aga rtepat waktu. Kemudian, lakukan pengolahan data terhadap kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan dan dapatkan nilai rata-rata untuk masing-masing sub-kriteria dan kriteria. Kumpulkan seluruh bukti – bukti yang relevan untuk masing-masing kriteria dan sub kriteria untuk menunjang proses penilaian mandiri. Langkah ini dapat dilakukan sejak awal dimulainya proses penilaian mandiri.

Setelah bukti terkumpul, lakukan penilaian PDCA dengan menggunakan Tabel 12. Usahakan untuk menggunakan contoh –contoh pertanyaan (guiding questions) pada Bab II untuk masing –masing sub kriteria sebanyak mungkin untuk mendapatkan gambaran yang lebih obyektif, lengkap dan akurat, walau tidak semua pertanyaan harus digunakan/dijawab. Penilaian dilakukan secara kumulatif dimana fase yang lebih tinggi hanya dapat dicapai bilamana fase sebelumnya telah dicapai, dengan didukung oleh bukti - bukti yang ada. Skor akan semakin tinggi pada suatu fase bilamana didukung oleh bukti – bukti yang baik dan lengkap sertahasil survei yang baik. Bila lebih dari satu asesor melakukan penilaian, maka nilai akhir sebaiknya ditentukan melalui konsensus bila terjadi perbedaan dalam skor.

Kombinasikan skor yang diperoleh dari hasil survei dengan bobot 40% dan yang diperoleh dari hasil penilaian mandiri dengan bobot 60%. Dari hasil tahap 6-7, tentukan ‘Hal – Hal Yang Sudah Baik’, yaitu hal-hal yang instansi telah lakukan dengan baik dan dapat menjadi keunggulan organisasi, ‘Hal – Hal Yang Masih Perlu Diperbaiki’, yaitu area-area yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan oleh organisasi dan ‘Tindak Lanjut Untuk Perbaikan’, yaitu rencana perbaikan yang harus dilakukan instansi untuk memperbaiki dan meningkatkan kekurangan – kekurangan pada area yang ada, dengan menggunakan formulir pada Tabel 14.

Buat Program Rencana Aksi Perbaikan dengan menggunakan format pada tabel 6 untuk masing-masing sub kriteria sebagai referensi untuk pengalokasian sumber daya di dalam organisasi dalam pelaksanaan perbaikan dan juga sekaligus sebagai alat pengendali atau kontrol organisasi dalam pelaksanaan perbaikan

Berikut adalah tahapan evaluasi mandiri untuk kriteria dan sub-kriteria dari Komponen Hasil. Tahan pertama lakukan sintesa penilaian yang menggambarkan Trend (kecenderungan) dan/atau pencapaian Target, dengan menggunakan Tabel 13 di atas. Pertama, lakukan penilaian atas trend pencapaian hasil tertentu. Bila tidak diperoleh Trend dikarenakan belum memiliki baseline data, lakukan penilaian apakah target yang sudah ditetapkan tercapai atau tidak. Derajat ketercapaian bergantung pada seberapa banyak dan/atau seberapa jauh pencapaian yang diperoleh dibandingkan

27Edisi Desember 2019

dengan targetnya. Bila lebih dari satu asesor melakukan penilaian, maka nilai akhir sebaiknya ditentukan melalui konsensus bila terjadi perbedaan dalam skor.

Tahab selanjutnya, khusus untuk Kriteria ‘Hasil pada Sumber Daya Manusia Aparatur’ dan Kriteria ‘Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan’ dan Kriteria ‘Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional yang menggunakan hasil survei, masing – masing instansi diberikan kebebasan untuk mendesain kuesioner dan melaksanakan survei untuk mengetahui substansi hasil, dengan tetap menggunakanTabel 13 sebagai panel penilaian. Dan buat Rencana Perbaikan dengan menggunakan format pada Tabel 14 di atas

Langkah-langkah Penilaian PMPRBMetodologi Penilaian Mandiri: metodologi yang digunakan untuk

melakukan penilaian pada komponen pengungkit, adalah teknik “criteria referrenced test” dengan cara menilai setiap komponen dengan kriteria penilaian dari masing-masing komponen yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan untuk melakukan penilaian komponen hasil, antara lain menggunakan nilai akuntabilitas kinerja, nilai kapasitas organisasi (survei internal), nilai persepsi korupsi (survei eksternal), opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan. Kriteria penilaian tertuang dalam Lembar Kerja Penilaian (LKP) reformasi birokrasi. Nilai akhir, kesimpulan, dan rencana aksi tindak lanjut diperoleh berdasarkan konsensus tim asesor.

Teknik Penilaian: teknik penilaian pada dasarnya merupakan cara/alat/metode yang digunakan untuk pengumpulan dan analisis data. Berbagai teknik penilaian dapat dipilih untuk mendukung metode penilaian yang telah ditetapkan, sehingga mampu menjawab tujuan dilakukannya penilaian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain: kuisioner, wawancara, observasi, studi dokumentasi atau kombinasi beberapa teknik tersebut. Sedangkan teknik analisis data antara lain: telaahan sederhana, berbagai analisis dan pengukuran, metode statistik, pembandingan, analisis logika program dan sebagainya.

Kertas Kerja Penilaian (KKP): pendokumentasian langkah penilaian dalam kertas kerja perlu dilakukanagar pengumpulan data dan analisis fakta-fakta dapat ditelusuri kembali. Pengorganisasian Dan Jadwal Pelaksanaan Penilaian Mandiri: pengorganisasian penilaian mandiri pelaksanaan reformasi birokrasi instansi pemerintah dilakukan oleh pimpinan instansi. Hasil Penilaian Mandiri dilaporkan oleh pimpinan instansi kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Penilaian Mandiri Atas Kemajuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah adalah penilaian pelaksanaan reformasi birokrasi tidak hanya difokuskan pada data yang tertuang dalam dokumen formal semata, tetapi juga dari sumber lain yang akurat dan relevan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi instansi pemerintah.

Penilaian dan penyimpulan penilaian atas kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah penilaian harus menyimpulkan hasil penilaian atas fakta objektif instansi pemerintah dalam melaksanakan program reformasi birokrasi sesuai dengan kriteria masing-masing komponen yang adadalam LKP. Langkah penilaian dilakukan dalam penilaian, terdapat tiga variable yaitu komponen, sub-komponen, dan kriteria. Setiap komponen dan sub-komponen penilaian diberikan alokasi nilai sebagai berikut:

Tabel 15Penilaian Komponen dan Sub-komponen

Setiap sub-komponen pada komponen pengungkit akan dibagi kedalam beberapa pernyataan sebagai kriteria pemenuhan sub-komponen tersebut. Setiap pertanyaan/pernyataan akan dijawab dengan ya/tidak atau a/b/c atau a/b/c/d/e. Jawaban ya/tidak diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan yang langsung dapat dijawab ya atau tidak. Jawaban a/b/c/d/e dan a/b/c diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang menggunakan skala ordinal.

Setiap jawabannya “Ya” akan diberikan nilai 1 sedangkan jawaban “Tidak” maka akan diberikan nilai 0. Dalam memberikan penilaian “ya” atau “tidak” maupun “a/b/c/d/e”, asesor harus menggunakan professional judgement-nya dengan mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi pada setiap kriteria, dan didukung dengan suatu kertas kerja penilaian mandiri.

Setiap sub-komponen pada komponen hasil akan dibagi kedalam beberapa pernyataan sebagai kriteria pemenuhan sub-komponen tersebut. Setiap pertanyaan/pernyataan akan dijawab dengan angka nominal.

Setelah setiap pertanyaan diberikan nilai maka penyimpulan akan dilakukan sebagai berikut. Tahap pertama dijumlahkan nilai pada setiap pertanyaan pada setiap sub-komponen sehingga ditemukan suatu angka tertentu misal: sub-komponen Gratifikasi mempunyai alokasi nilai 10% dan memiliki 10 ( sepuluh ) buah pertanyaan. Dari 10 ( sepuluh ) pertanyaan tersebut apabila pertanyaan yang dijawab “Ya” ada 3 (tiga) pertanyaan maka nilai untuk sub-komponen tersebut adalah: (3/10) x 10 = 3. Kemudian, untuk kriteria yang berhubungan dengan kondisi yang memerlukan penyimpulan, karena terdiri dari beberapa sub kriteria, penyimpulan tentang kriteria dilakukan melaluinilai rata-rata.

Tahap berikutnya adalah melakukan penjumlahan seluruh nilai sub-komponen yang ada sehingga ditemukan suatu angka tertentu untuk total nilai dengan range nilai antara 0 s.d. 100.

Tugas dan Tanggung Jawab AsesorMemberikan Penilaian mencakup antaral lain melakukan

proses penilaian sesuai dengan ketentuan, memberikan nilai sesuai aturan, melakukan diskusi dalam grup dengan baik untuk mencapaikonsensus dalam hal penilaian dan menyelesaikan semua pekerjaan sesuai dengan jadwal. Selain itu, membuat Laporan Rencana Perbaikan dan Tindak Lanjut besertaRencana Aksi sesuai

28 Edisi Desember 2019

standar yang ada/format yang diberikan dan menyampaikan Laporan PMPRB.

Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemer-intah (PERMENPAN RB No. 12 Tahun 2015)

Penguatan akuntabilitas kinerja merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Penguatan akuntabilitas ini dilaksanakan dengan penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP.

Untuk mengetahui sejauh mana instansi pemerintah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)-nya, serta sekaligus untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah, maka perlu dilakukan suatu evaluasi implementasi SAKIP. Evaluasi ini diharapkan dapat mendorong instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk secara konsisten meningkatkan implementasi SAKIP-nya dan mewujudkan capaian kinerja (hasil) instansinya sesuai yang diamanahkan dalam RPJMN/RPJMD.

Pelaksanaan evaluasi atas implementasi SAKIP harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu diperlukan suatu pedoman evaluasi atas implementasi SAKIP yang dapat dijadikan panduan bagi evaluator. Pedoman evaluasi atas implementasi SAKIP ini, disusun sebagai pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Pedoman ini disusun dengan maksud untuk memberikan petunjuk umum dalam rangka evaluasi atas implementasi SAKIP. Karena sifatnya umum, pedoman ini berisi tentang perencanaan evaluasi, pelaksanaan evaluasi, dan pelaporan evaluasi. Pada setiap penugasan evaluasi atas implementasi SAKIP perlu dirancang desain evaluasi tersendiri berupa petunjuk teknis pelaksanaan untuk memenuhi tujuan evaluasi yang ditetapkan.

Pengertian Evaluasi. Evaluasi atas implementasi SAKIP adalah aktivitas analisis yang sistematis, pemberian nilai, atribut, apresiasi, dan pengenalan permasalahan, serta pemberian solusi atas masalah yang ditemukan untuk tujuan peningkatan akuntabilitas dan kinerja instansi/unit kerja pemerintah.

Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan melalui monitoring terhadap sistem yang ada, namun adakalanya evaluasi tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi yang ada pada instansi. Data dari luar instansi/unit kerja juga sangat penting sebagai bahan analisis. Evaluasi dapat dilakukan dengan tidak harus tergantung pada kelengkapan dan keakuratan data yang ada. Informasi yang memadai dapat digunakan untuk mendukung argumentasi mengenai perlunya perbaikan. Penggunaan data untuk evaluasi diprioritaskan pada kecepatan memperoleh data dan kegunaannya. Dengan demikian, hasil evaluasi akan lebih cepat diperoleh dan tindakan perbaikan dapat segera dilakukan.

Berbeda dengan audit, evaluasi lebih memfokuskan pada pengumpulan data dan analisis untuk membangun argumentasi bagi perumusan saran/rekomendasi perbaikan. Sifat evaluasi lebih persuasif, analitik, dan memperhatikan kemungkinan penerapannya.

Tujuan evaluasi atas implementasi SAKIP dapat ditentukan setiap tahun sesuai dengan kebijakan evaluasi yang ditetapkan. Tujuan dan

Sasaran evaluasi sangat tergantung pada para pihak pengguna hasil evaluasi dan kebijakan pimpinan instansi/unit kerja yang diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, dengan mempertimbangkan berbagai kendala yang ada.

Secara umum, tujuan evaluasi atas implementasi SAKIP adalah untuk memperoleh informasi tentang implementasi SAKIP, menilai tingkat implementasi SAKIP, memberikan saran perbaikan untuk peningkatan implementasi SAKIP dan memonitor tindak lanjut rekomendasi hasil evaluasi periode sebelumnya.

Ruang lingkup evaluasi atas implementasi SAKIP meliputi kegiatan evaluasi terhadap perencanaan kinerja dan perjanjian kinerja termasuk penerapan anggaran berbasis kinerja, pelaksanaan program dan kegiatan, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi internal sertapencapaian kinerja. Informasi kinerja yang dipertanggungjawabkan dalam laporan kinerja bukanlah satu-satunya yang digunakan dalam menentukan nilai dalam evaluasi, akan tetapi juga termasuk berbagai hal (knowledge) yang dapat dihimpun guna mengukur keberhasilan ataupun keunggulan instansi.

Dalam penerapannya, lingkup evaluasi atas implementasi SAKIP mencakup penilaian terhadap perencanaan strategis, termasuk di dalamnya perjanjian kinerja, dan sistem pengukuran kinerja. Selain itu, penilaian terhadap penyajian dan pengungkapan informasi kinerja, evaluasi terhadap program dan kegiatan dan evaluasi terhadap kebijakan instansi/unit kerja yang bersangkutan.

Untuk keberhasilan pelaksanaan evaluasi, terlebih dahulu perlu didefinisikan kepentingan pihak-pihak pengguna informasi hasil evaluasi. Informasi yang dihasilkan dari suatu evaluasi yang dapat diakses antara lain mencakup informasi untuk mengetahui tingkat kemajuan/perkembangan (progres) dan informasi untuk membantu agar kegiatan tetap berada dalam alurnya serta informasi untuk meningkatkan efisiensi.

Pertimbangan utama dalam menentukan ruang lingkup evaluasi terhadap kebijakan, program, atau kegiatan pemerintah adalah kemudahan dalam pelaksanaan dan didukung oleh sumber daya yang tersedia. Pertimbangan ini merupakan konsekuensi logis karena adanya keterbatasan sumber daya. Kerangka kerja evaluasi atas implementasi SAKIP secara umum digambarkan sebagai berikut.

Gambar 17Kerangka kerja evaluasi atas implementasi SAKIP

29Edisi Desember 2019

Desain Evaluasi. Dalam melakukan evaluasi, perlu diperhatikan beberapa kendala (constraint) yang secara umum dihadapi oleh evaluator. Kendala-kendala tersebut adalah waktu, dana, orang/personil yang kompeten dalam melakukan evaluasi, lokasi, dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan evaluasi. Persiapan yang matang sebelum melaksanakan evaluasi dapat dilakukan dengan menyusun desain evaluasi yang baik agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil.

Desain evaluasi merupakan kegiatan yang pada intinya mengidentifikasikan jenis informasi evaluasi yang perlu disesuaikan dengan tujuan evaluasi, misalnya: deskripsi, pertimbangan profesional (judgement), dan interpretasi. Selain itu, jenis pembandingan yang akan dilakukan, sesuai dengan jenis evaluasi (evaluasi kelayakan, evaluasi efisiensi, dan evaluasi efektivitas) yang masing-masing memerlukan jenis pembandingan yang berbeda, sehingga memerlukan desain yang berbeda.

Elemen-elemen desain yang harus dipertimbangkan secara spesifik sebelum pengumpulan informasi antara lain jenis informasi yang akan diperoleh, sumber informasi (misalnya, tipe responden) dan metode yang akan digunakan dalam melakukan uji petik (misalnya, random sampling). Selain itu, metode pengumpulan informasi (misalnya, struktur wawancara dan pembuatan kuesioner), waktu dan frekuensi pengumpulan informasi, dasar untuk membandingkan hasil dengan atau tanpa program (untuk pertanyaan tentang dampak atau hubungan sebab-akibat) dan analisis perencanaan.

Kegiatan penyusunan desain evaluasi pada akhirnya akan menentukan metodologi evaluasi dan teknik evaluasi. Metodologi yang digunakan dalam evaluasi atas implementasi SAKIP adalah metodologi yang pragmatis karena disesuaikan dengan tujuan evaluasi yang telah ditetapkan dan mempertimbangkan kendala yang ada. Dalam hal ini, evaluator perlu menjelaskan kelemahan dan kelebihan metodologi yang digunakan kepada pihak yang dievaluasi. Langkah pragmatis ini diambil agar dapat lebih cepat menghasilkan rekomendasi hasil evaluasi yang memberikan petunjuk untuk perbaikan implementasi SAKIP dan peningkatan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Sedangkan teknik evaluasi yang digunakan oleh evaluator tergantung pada tingkatan tataran (context) yang dievaluasi dan bidang (content) permasalahan yang dievaluasi. Selain itu, evaluasi pada tingkat kebijakan berbeda dengan evaluasi pada tingkat pelaksanaan program dan evaluasi terhadap pelaksanaan program berbeda pula dengan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan.

Validitas dan ketersediaan data yang mungkin dapat diperoleh. Berbagai teknik evaluasi dapat digunakan, namun yang terpenting adalah dapat memenuhi tujuan evaluasi. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah telaah sederhana, survei sederhana sampai survei yang detail dan mendalam, verifikasi data, riset terapan (applied research), berbagai analisis dan pengukuran, survei target evaluasi (target group), metode statistik, metode statistik non-parametrik, pembandingan (benchmarking), analisa lintas bagian (cross section analysis), analisa kronologis (time series analysis), tabulasi, penyajian pengolahan data dengan grafik/icon/simbol-simbol, dan sebagainya.

Pengorganisasian Evaluasi. Pengorganisasian evaluasi merupakan aktivitas yang dimulai sebelum pelaksanaan evaluasi yang bertujuan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam melakukan evaluasi. Secara garis besar, kegiatan pengorganisasian evaluasi ini meliputi kebutuhan sumber daya

manusia evaluator, perencanaan evaluasi, pelaksanaan evaluasi, dan pengendalian pelaksanaan evaluasi.

Kebutuhan SDM Evaluator . Hal terpenting dalam pelaksanaan evaluasi adalah ketersediaan SDM sebagai evaluator. Kualitas SDM evaluator menjadi pemicu utama keberhasilan pelaksanaan evaluasi yang berkualitas. Persyaratan evaluator mencakup telah mengikuti pelatihan/bimbingan teknis tentang Sistem AKIP dan telah mengikuti pelatihan evaluasi penerapan SAKIP.

Kedua jenis persyaratan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya sertifikat telah mengikuti pelatihan atau setidaknya surat tugas untuk mengikuti (dan telah mengikuti) kedua pelatihan tersebut. Dalam hal kedua persyaratan tersebut belum terpenuhi, maka sampai tahun 2016 setidaknya evaluator yang ditugaskan untuk melakukan evaluasi SAKIP (mulai dari anggota tim sampai dengan penanggung jawab evaluasi) telah mengikuti pelatihan di kantor sendiri (in house training) di masing-masing APIP.

Perencanaan Evaluasi. Perencanaan evaluasi merupakan bagian yang penting dalam proses evaluasi, karena keberhasilan dalam melaksanakan evaluasi sangat tergantung kepada perencanaan evaluasi. Di samping itu, perencanaan evaluasi akan memberikan kerangka kerja (framework) bagi seluruh tingkatan manajemen pihak evaluator dalam melaksanakan proses evaluasi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal penting dalam merencanakan evaluasi. Yaitu pengidentifikasian pengguna hasil evaluasi, pemilihan pertanyaan evaluasi yang penting, pengidentifikasian informasi yang akan dihasilkan, dan sistem komunikasi dengan pihak yang terkait dalam kegiatan evaluasi.

Perencanaan evaluasi atas implementasi SAKIP dapat dikategorikan ke dalam berbagai tingkatan evaluasi. Yaitu, evaluasi sederhana (desk evaluation), yaitu evaluasi yang dilakukan di kantor tanpa menguji kebenaran dan pembuktian di lapangan, reviu, dan telaahan atas SAKIP (reviu dokumen Renstra dan Laporan Kinerja). Evaluasi ini dapat meliputi evaluasi atas pengungkapan dan penyajian informasi dalam Laporan Kinerja, misalnya: keselarasan antar komponen dalam perencanaan strategis, logika program, dan logika strategi pemecahan masalah yang direncanakan/diusulkan.

Evaluasi terbatas, misalnya untuk mengetahui kemajuan dalam implementasi SAKIP atau untuk mengevaluasi akuntabilitas kinerja instansi/unit kerja yang terbatas pada penelitian, pengujian, dan penilaian atas kinerja program tertentu. Evaluasi ini menggunakan langkah-langkah evaluasi sederhana ditambah berbagai konfirmasi dan penelitian, pengujian, dan penelitian terbatas pada program/kegiatan tertentu.

Evaluasi Mendalam (in-depth evaluation atau disebut evaluasi saja), sama seperti evaluasi pada butir a. dan b. ditambah pengujian dan pembuktian di lapangan tentang beberapa hal yang dilaporkan dalam Laporan Kinerja. Walaupun evaluasi ini tidak dilakukan terhadap seluruh elemen, unit, atau kebijakan, program, dan kegiatan instansi/unit kerja, namun dari uji petik (sampling) atau pemilihan beberapa elemen yang dilaporkan dalam Laporan Kinerja dapat dilakukan pengujian dan pembuktian secara lebih mendalam.

Pelaksanaan Evaluasi. Kegiatan pelaksanaan evaluasi meliputi beberapa tahap, yaitu pengumpulan, analisis, dan interpretasi data. Kegiatan utama dalam pelaksanaan evaluasi adalah pengumpulan dan analisis data serta menginterpretasikan hasilnya. Hal ini sesuai dengan tujuan evaluasi atas implementasi SAKIP, yaitu untuk memberikan keyakinan bahwa evaluasi yang dilakukan olehinstansi/unit kerja telah memadai dan memberikan saran atau rekomendasi guna peningkatan akuntabilitas kinerja.

30 Edisi Desember 2019

Ketersediaan data sebagai bahan evaluasi sangat membantu evaluator dalam menjalankan tugas. Namun, dalam kenyataannya dapat terjadi data yang diperlukan oleh evaluator tidak seluruhnya tersedia di instansi/unit kerja yang dievaluasi. Dengan kata lain, evaluator harus melakukan kerja ekstra untuk memperoleh data yang diperlukan. Apabila hal ini terjadi, evaluator harus pandai menggunakan waktu agar tidak terfokus pada satu kegiatan, sehingga kegiatan yang lain yang diperlukan tidak dilaksanakan.

Kemudian, penyusunan draft Laporan Hasil Evaluasi (LHE). Penyusunan draft LHE biasanya dilakukan oleh ketua tim evaluasi. Sebelum menyusun draft LHE evaluator, pengendali teknis, pegendali mutu, dan penanggung jawab evaluasi telah menyetujui permasalahan yang diperoleh tim.

Pembahasan dan reviu draft LHE. Meskipun sebelum penyusunan draft LHE telah diadakan pertemuan antara pihak yang terlibat dalam tim evaluasi dengan pihak yang dievaluasi, dalam penerapannya sering terjadi pembahasan draft LHE secara bersama. Draft LHE yang disusun oleh Pemerintah Provinsi termasuk KKE-nya direviu terlebih dahulu oleh Kementerian PANRB sebelum disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Finalisasi LHE. Finalisasi LHE merupakan tahap akhir dalam penulisan laporan. Hal ini dilakukan setelah adanya reviu dari pihak-pihak yang berwenang terhadap draft LHE yang telah disusun sebelumnya.

Penyebaran dan Pengomunikasian LHE. Penyebaran LHE sebaiknya dilakukan secara langsung dengan mengomunikasikan hal-hal yang penting dan mendesak. Untuk mendapatkan respon atau tindakan dari para

Pengendalian Evaluasi: Pengendalian evaluasi dimaksudkan untuk menjaga agar evaluasi berjalan sesuai dengan rencana. Kegiatan ini dilakukan agar proses evaluasi tetap terarah pada kesimpulan yang bermanfaat, sesuai dengan target, tepat waktu, serta tepat biaya. Mekanisme pengendalian yang dapat dilakukan antara lain melakukan pertemuan berkala antara antara sesama tim pelaksana evaluasi (misalnya mingguan, dua mingguan, atau bulanan).

Melakukan pertemuan dengan pihak lain yang terlibat dalam evaluasi (misalnya pengendali teknis, pengendali mutu, dan penanggung jawab evaluasi). Biasanya frekuensi pertemuan dengan pelaksana evaluasi lebih sering dibandingkan dengan pertemuan dengan pihak yang lebih tinggi di luar pelaksanan evaluasi.

Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian evaluasi, seperti: penanggung jawab evaluasi, mekanisme penerbitan surat tugas, penerbitan laporan hasil evaluasi tetap mengikuti kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian PANRB.

Dalam rangka untuk menjaga obyektivitas dalam penilaian maka dilakukan reviu secara berjenjang. Atas proses dan hasil evaluasi dari tim evaluator dengan pengaturan sebagai reviu tingkat 1 dilakukan di masing-masing tim evaluator oleh supervisor tim. Reviu tingkat 2 dilakukan dalam bentuk forum panel, khusus untuk menentukan pemeringkatan nilai dan penentuan kategori (rating) hasil evaluasi.

Kebijakan Polri tentang Pedoman Penilaian Reformasi Birokrasi di Satuan Kewilayahan (KEP/180/III/2012 tentang penetapan pedoman Monitoring, Evaluasi, Pelaporan dan Refreshing Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri)

Pedoman monitoring pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri untuk dijadikan pedoman bagi tim monitoring ditingkat

Pusat, Polda dan Satker/Satfung. Pengertian Monitoring, adalah memantau, mengawasi, mengamati,atau mengecek dengan cermat pelaksanaan program, kegiatan dan rencana aksi Reformasi Birokrasi Polri. Tujuan, untuk mengetahui kecocokan dan ketepatan antara program, kegiatan dan rencana aksi yang dilaksanakan Tim Pokja Reformasi Birokrasi Polri tingkat Mabes Polri dan Polda dengan program, kegiatan dan rencana aksi yang telah ditetapkan dalam Road Map Reformasi Birokrasi Polri secara sistematis dan berkelanjutan.

Tugas dan Tanggung Jawab pada tingkat Pusat. Ketua bertugas memimpin tim dalam pelaksanaan menitoring, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan monitoring dan apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk. Selain itu mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan monitoring dan mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat.

Sdangkan wakil ketua bertugas untuk membantu tim dakam pelaksanaan monitoring,m mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan monitoring, melaporkan perkembangan pelaksanaan monitoring kepada ketua dan melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua.

Sekretaris bertugas menerima dan menghimpun hasil monitoring dan menyusun dalam format yang telah ditentukan, menyusun konsep laporan hasil monitoring yang telah disepakati tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP dan menyimpan file dan dokumen RBP dan menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP.

Anggota bertugas untuk membantu tim dalam pelaksanaan monitoring, melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan monitoring dan mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan monitoring dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua.

Pada tingkat Polda, Ketua bertugas untuk memimpin tim dalam pelaksanaan monitoring, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan monitoring, apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk. Selain itu, mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan monitoring dan mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat.

Wakil Ketua bertugas untuk membantu tim dakam pelaksanaan monitoring, mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan monitoring. Selain itu, melaporkan perkembangan pelaksanaan monitoring kepada ketua, melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua. Sekretaris bertugas untuk menerima dan menghimpun hasil monitoring dan menyusun dalam format yang telah ditentukan, menyusun konsep laporan hasil monitoring yang telah disepakati

31Edisi Desember 2019

tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP, menyimpan file dan dokumen RBP dan menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP.

Anggota bertugas untuk membantu tim dalam pelaksanaan monitoring, melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan monitoring, mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan monitoring dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua.

Tingkat Satker/Satfung, Ketua bertugas memimpin tim dalam pelaksanaan menitoring, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan monitoring dan apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk. Disamping itu mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan monitoring, mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat.

Wakil Ketua bertugas membantu tim dakam pelaksanaan monitoring, mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan monitoring, melaporkan perkembangan pelaksanaan monitoring kepada ketua dan melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua.

Sekretaris bertugas menerima dan menghimpun hasil monitoring dan menyusun dalam format yang telah ditentukan, menyusun konsep laporan hasil monitoring yang telah disepakati tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP, menyimpan file dan dokumen RBP dan menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP. Anggota bertugas membantu tim dalam pelaksanaan monitoring, melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan monitoring. Selain itu mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan monitoring dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua.

Untuk sasaran monitoring adalah sebagian atau seluruh program pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri, meliputi program kegiatan rencana aksi Quick Wins dan Anggaran yang telah ditentukan dalam dokumen RBP

Metode yang digunakan langsung dan tidak langsung . langsung terdiri dari supervisi, survei, inspeksi mendadak, uji petik dan penilaian. Tidak langsung melalui media cetak maupun elektronik dan pelaporan dari kesatuan bawah.

Waktu monitoring diaksanakan setiap saat dan pelaporannya diilaksanakan secararutin per semester. Untuk semester I pelaporan dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Juni tahun anggaran berjalan dan semester II selambat-lambatnya pada bulan Desember tahun anggaran berjalan. Sedangkan hasil pelaksanaan monitoring diperoleh dan hasil monitoring terhadap seluruh sasaran atau sasaran tertentu yang ada dalam program Reformasi Birokrasi Polri, meliputi program, kegiatan, rencana aksi, quick wins dan anggaran yang telah ditentukan dalam dokumen Reformasi Birokrasi Polri. Pedoman evaluasi pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri untuk dijadikan pedoman bagi tim evaluasi di tingkat Pusat, Polda, Polres dan Satker/Satfung Polda dan Mabes Polri.

Pengertian Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian hasil pelaksanaan program kegiatan dan rencana aksi Reformasi Birokrasi Polri, evaluasi dapat dilaksanakan dengan menilai dan menghitung hasil pencapaian program, kegiatan dan rencana aksi RBP dibandingkan dengan rencana pencapaian yang telah ditetpkan dalam Road Map RBP tahun 2011-2014 dan dapat berupa hasil kuantitatif maupun kuanlitatif.

Tujuan untuk persamaan persepsi dan tindakan dalam mengevaluasi pelaksanaan program, kegiatan dan rencana aksi RBP agar dapat dilaksanakan secara obyektif, terukur dan akuntabel

Tugas dan Tanggung Jawab tim evaluasi tingkat Pusat. Ketua, memimpin tim dalam pelaksanaan evaluasi, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan evaluasi, apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk dan mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Kemudian, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan evaluasi dan mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat.

Wakil Ketua bertugas membantu tim dakam pelaksanaan evaluasi, mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan evaluasi. Disamping itu, melaporkan perkembangan pelaksanaan monitoring kepada ketua, melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua.

Sekretaris bertugas menerima dan menghimpun hasil evaluasi dan menyusun dalam format yang telah ditentukan, menyusun konsep laporan hasil evaluasi yang telah disepakati tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP dan menyimpan file dan dokumen RBP serta menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP.

Anggota bertugas untuk membantu tim dalam pelaksanaan evaluasi, melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan evaluasi, mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan evaluasi dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua.

Pada Tingkat Polda, Ketua bertugas memimpin tim dalam pelaksanaan evaluasi, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan evaluasi, apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk; dan mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Selain itu, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan evaluasi dan mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat.

Wakil Ketua bertugas membantu tim dakam pelaksanaan evaluasi, mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan evaluasi, melaporkan perkembangan pelaksanaan evaluasi kepada ketua, melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua.

Sekretaris bertugas untuk menerima dan menghimpun hasil evaluasi dan menyusun dalam format yang telah ditentukan, menyusun konsep laporan hasil evaluasi yang telah disepakati tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP

32 Edisi Desember 2019

melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP, menyimpan file dan dokumen RBP dan menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP. Anggota bertugas membantu tim dalam pelaksanaan evaluasi, melaksanakan kegiatan evaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan evaluasi, mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan evaluasi dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua.

Tingkat Satker/Satfung, Ketua bertugas memimpin tim dalam pelaksanaan evaluasi, mengarahkan wakil, sekretaris dan anggota tim dalam rangka pelaksanaan evaluasi dan apabila Ketua berhalangan dapat mendelegasikan tugasnya kepada Wakil Ketua atau anggota yang ditunjuk. Selain itu, mengkoordinasikan dengan tim RBM dan tim RBP lainnya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugasnya, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan monitoring; dan mempertanggung jawabkan dan melaporkan tugasnya kepada Wakapolri selaku Ketua Tim pengarah RBP tingkat Pusat. Wakil Ketua bertugas membantu tim dakam pelaksanaan evaluasi, mengkoordinir tim dakam pelaksanaan, penyusunan, pembuatan dan pengiriman laporan hasil pelaksanaan evaluasi, melaporkan perkembangan pelaksanaan evaluasi kepada ketua, melaksanakan tugas dan mewakili ketua apabila ketua berhalangan, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh ketua.

Sekretaris bertugas menerima dan menghimpun hasil evaluasi dan menyusun dalam format yang telah ditentukan. Selain itu, menyusun konsep laporan hasil monitoring yang telah disepakati tim dan mengajukan kepada Wakapolri selaku ketua tim pengarah RBP melalui Asrena Kapolri selaku ketua tim pelaksana RBP, menyimpan file dan dokumen RBP dan menyiapkan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan RBP. Anggota bertugas membantu tim dalam pelaksanaan evaluasi, melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada ketua, memberikan saran dan masukkan dalam pelaksanaan evaluasi dan mengikuti setiap rapat atau pembahasan penyusunan laporan pelaksanaan evaluasi. Serta melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua atau wakil ketua;

Sasaran adalah program penataan dan penguatan organisasi, terdiri dari 2 kegiatan; 11 rencana aksi, 1 Quick Wins dan rencana anggaran. Program penataan tata laksana, terdiri dari 2 kegiatan; 7 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran, program penataan Perundang-undangan, terdiri dari 1 kegiatan; 5 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran dan program penataan kualitas pelayanan publik, terdiri dari 3 kegiatan; 63 rencana aksi dan 10 Quick Wins dan rencana anggaran.

Disamping itu, program penataan sistem manajemen SDM aparatur, terdiri dari 8 kegiatan; 34 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran, program manajemen perubahan, terdiri dari 6 kegiatan; 24 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran dan program penguatan pengawasan, terdiri dari 2 kegiatan; 7 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran serta program penguatan akuntabilitas kinerja, terdiri dari 3 kegiatan; 12 rencana aksi dan 1 Quick Wins dan rencana anggaran

Metode mencakup menghimpun dan meneliti laporan pelaksanaan RBP, membandingkan rencana dengan tingkat pencapaian meliputi rencana aksi Quick Wins dan Anggaran, memberikan penilian secara kuantitatif atau kualitatif dan penilaian secara kuantitatif diberikan dengan ukuran persentase (%). Setelah dilakukan penilaian secara persentase selanjutnya dapat dilakukan penilaian secara kualitatif (sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat

kurang), dengan penilaian sebagai berikut. Sangat baik : 85% - 100%, baik : 70% - 84%, cukup : 51% - 69%, kurang : 26% - 50%. sangat kurang : 0% - 25%.

Kemudian menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan RBP meliputi tantangan yang dihadapi dan rencana tindak lanjut dan menyusun laporan valuasi pelaksanaan RBP. Hasil Evaluasi pelaksanaan RBP diperoleh dari hasil evaluasi terhadap sasaran dalam program RBP meliputi, kegiatan rencana aksi Quick Wins dan Anggaran yang telah ditentukan dalam dokumen RBP.

METODE PENELITIAN

Populasi, Sampel dan RespondenPopulasi adalah himpunan objek yang bisa dianalisis

karakteristiknya. Anggota populasi dinamakan unit Populasi, dan banyak unit populasi dinamakan ukuran populasi. Dalam penelitian ini, unit populasi adalah seluruh Polres yang berada di wilayah hukum RI, dan karakteristik yang dianalisis adalah efektifitas RBP, berdasarkan efektifitas dari 8 (delapan) area perubahan. Berdasarakan data dari Mabes Polri, sampai dengan bulan Oktober tahun 2014 jumlah Polres ada 452, sehingga ukuran populasi dari penelitian ini adalah, N = 452.

Sampel adalah himpunan bagian dari populasi, dan anggota sampel dinamakan unit sampel. Banyak unit sampel dinamakan ukuran sampel. Dalam penelitian ini ukuran sampel, n = 47, yang diambil dari 6 (enam) Polda, seperti di bawah ini.

Tabel 16Unit Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian sosial, pada umumnya dilakukan karena adanya keterbatasan dalam hal besaran anggaran, waktu penelitian dan tenaga peneliti. Sedangkan dalam Statistika, untuk menentukan ukuran sampel, didasarkan pada dua hal. Yaitu

33Edisi Desember 2019

distribusi statistik yang dianalisis dan kekeliruan baku (standar error, mean square error, MSE) yang diharapkan.

Menentukan ukuran sampel secara Statistika, harus mengetahui dulu ukuran populasinya, apakah terbatas (diketahui) atau tidak terbatas (tidak diketahui) ? Jika ukuran populasi tidak terbatas (tidak diketahui), maka distribusi statistik yang digunakan, sebaiknya distribusi normal (eksak atau pendekatan), apapun bentuk distribusi statistik yang akan dianalisis.

Sedangkan jika terbatas (diketahui), maka sebaiknya digunakan distribusi eksak sesuai dengan distribusi statistik yang akan dianalisis (seperti dalam penelitian ini, distribusi proporsi). atau distribusi normal pendekatan, kalau ukuran populasinya, N ≥ 30. Dalam penelitian ini, N = 452 > 30, sehingga bisa digunakan distribusi normal pendekatan.

Responden penelitian adalah para Kabag, Kasubag, Kasat, Kasi dan masyarakat yang sedang ada di Polres, dan sedang melakukan urusan kepolisian. Sehingga jumlah responden pada setiap Polres sampel sebagai berikut : Kabag (3 orang), Kasubag (8 orang), Kasi (5 orang), Kasat (10 orang), dan masyarakat (10 orang), jumlah keseluruhan 36 orang. Total responden penelitian : 47 x 30 orang = 1410 orang

Metode Pengumpulan DataPenelitian ini merupakan evaluasi pada pelaksanaan RBP tahap

II di tingkat Polres/ta/bes, yang berakhir pada Tahun 2014, dengan variabel dan indikator yang dianalisis adalah 8 (delapan) area RBP seperti di bawah ini.

Tabel 17Variabel dan Indikator Penelitian

Data dikumpulkan dengan cara penyebaran dan pengumpulan kuesioner, kepada semua responden (1410 orang), wawancara dan diskusi dengan para Kabag, Kasubag, Kasi dan Kasat. Selai itu observasi lapangan tentang ruang kerja, fasilitas kerja, sistematika pelayanan dan sistem informasi manajemen (SIM), pada satker yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat (Sitipol, SPKT, Intelkam, Sat Tahti, Sat Lantas, Unit Identifikasi Sat Reskrim).

Karena masing-masing satker di Polres/ta/bes, jika ditelaah dari Perkap 23 Tahun 2010 memiliki fungsi dan peran yang berbeda, maka pengumpulan data dilakukan berdasarkan aspek RBP satuan Polres/ta/bes yang dihubungkan dengan fungsi dan peran satker di Polres/ta/bes.

Sehingga pengumpulan data jika berdasarkan bidang reformasi. Maka sasaran satker objek pengumpulan data mencakup reformasi bidang kelembagaan, pengumpulan data dilakukan pada semua satker yang ada di Polres/ta/bes. Reformasi bidang pelayanan, pengumpulan data dilakukan pada satker yang berhubungan dengan perlindungan, pengayoman, pelayanan, seperti : SPKT, Sat Intelkam, unit yang melayani SKCK dan ijin kepolisian, Sat Reskrim, unit identifikasi, Sat Tahti, Sat Sabhara, Sat Lantas, unit yang melayani SIM, STNK dan BPKB. Reformasi bidang SDM, pengumpulan data dilakukan Bagsumda, Bagren Bagops dan Sipropam. Reformasi bidang pengawasan, pengumpulan data dilakukan pada Siwas, Bagren, Sium dan Sikeu.

Oleh karena itu, daftar pertanyaan disusun dalam dua bagian. Pertama, pertanyaan umum, dengan sasaran mengumpulkan tentang sarpras kerja, HTCK, SOP, implementasi dan sosialisasi HTCK dengan SOP.Kedua, pertanyaan khusus, dengan sasaran mengumpulkan data tentang implementasi Perkap 23 Tahun 2010, kinerja dan kompetensi personil.

Metode ini berpedoman pada PERMENPAN RB nomor 12 Tahun 2015 tentang Pedoman evaluasi atas implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), Permen PAN RB nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Mandiri Penilaian Reformasi Birokrasi (PMPRB) dan KEP KAPOLRI/180/III/2012 tentang Pedoman Monitoring, Evaluasi, Pelaporan dan Refresing pelaksanaan reformasi birokrasi Polri.

Analisis DataData yang diperoleh berdasarkan bidang-bidang reformasi

tersebut, dielaborasi berdasarkan variabel area perubahan dan indikatornya. Selanjutnya dianalisi dengan menggunakan metode analisis kuantitatif, untuk menghitung proporsi dan asosiasi, dari

34 Edisi Desember 2019

data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner dan kualitatif, untuk data hasil wawancara terstruktur dan observasi lapangan.

Hasil kedua analisis digabungkan, dengan menggunakan analisis proporsi. Sehingga diperoleh keluaran (output), adalah profil efektifitas 8 (delapan) area RB Polri di tingkat Polres/ta/bes dan variabel-variabel pendukung dan kendala dalam pelaksanaan RB Polri. Dengan harapan diperoleh masukan (outcome) tentang dimilikinya bahan masukan untuk pelaksanaan RBP tahap III . Adanya pedoman dalam upaya peningkatan efektifitas 8 area perubahan RBP di Polres/ta/bes, Variabel-variabel evaluasi kinerja kepolisian tingkat Polres/ta/bes.

Kriteria BuktiUntuk menghindari bias dalam penilaian diperlukan keabsahan

dan kehandalan bukti. Bukti dapat berupa dokumen tertulis, lisan, audio, visual dan audio-visual. Bukti lisan antara lain adalah hasil wawancara yang ditranskripsikan secara tertulis. Bukti tertulis antara lain berbentuk notulen rapat, berita/publikasi dan laporan. Visual berupa gambar, foto dan perforasi; sedangkan audio berbentuk rekaman suara dan audiovisual berbentuk rekaman video.

Bukti dipilih oleh asesor berdasarkan penilaian profesional. Kriteria bukti yang valid dan handal mencakup faktual, otentik, representatif, cukup dan terkini.

Bukti yang baik tidak terkontaminasi oleh opini pribadi atau bias. Bukti terdiri dari direct evidence, indirect evidence, supplementary evidence atau kombinasinya. Direct evidence diperoleh melalui observasi langsung. Indirect evidence adalah bukti yang tidak diperoleh secara langsung dengan observasi, seperti dokumen. Supplementary evidence adalah bukti tambahan yang dibutuhkan dan biasanya diperoleh dari pihak ke tiga seperti hasil wawancara, kuesioner, atau laporan publik.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Profil Data, sudah dipaparkan, data dikumpulkan dalam tiga cara. Yaitu melalui kuesioner, dengan responden pada masing-masing Polres/ta/bes adalah, Kabag (3 orang), Kasubag (8 orang), Kasi (5 orang), Kasat (10 orang), dan masyarakat (10 orang), total 36 orang. Sehingga jumlah kuesioner yang disebar, 47 (Polres) x 36 set = 1692set. Kemudian, wawancara langsung dengan Kabag (3 orang). Kasi (5 orang) dan Kasat (10 orang), pada masing-masing Polres/ta/bes sampel. Selanjutnya, observasi langsung pada satker-satker di Polres/ta/bes yang berhubungan dengan linyomyanmas, yaitu SPKT, Sat Intelkam, unit pelayanan SKCK dan perijinan kepolisian, Sat Reskrim, unit identifikasi, Sat Lntas, unit SIM, STNK dan BPKB, Sat Binmas, Sat Sabhara.

Data yang berhasil dikumpulkan dari para responden dan dapat dianalisis, proporsionalitas sebagai berikut.

Tabel 18Profil data yang diperoleh

Sudah dipaparkan, dalam penelitian ini ukuran populasi N = 452 dan ukuran sampelnya, n = 47. Jika data dapat dikumpulkan 100%, maka kekeliruan bakunya sama dengan 0.018536.

Berdasarkan profil data seperti ini, dan jika dihitung nilai tengah rataannya, maka data yang bisa dikumpulkan sebesar 63,05%. Sehingga jika dihitung kekeliruan bakunya (margin error), maka nilainya sama dengan 0.029399 (cukup kecil), dengan taraf signifikans 5%.

Efektifitas Reformasi Birokrasi PolriSudah dipaparkan analisis yang pertama dilakukan adalah

efektifitas RBP berdasarkan bidang reformasi di tingkat Polres/ta/bes. Karena efektifitas adalah salah satu bentuk distribusi proporsi (prosentase), sedangkan nilai-nilai efektifitas pada masing-masing unit sampel cukup variatif, jadi sajian efektifitas dalam selang proporsi, dengan taraf konfidens 90% (sebab margin errornya 4,89%).

Pada bidang sumber daya. Profil efektifitas pada bidang sumber daya secara proporsional seperti di bawah ini.

Tabel 19Profil efektifitas sumber daya Polres/ta/bes

Jika diambil nilai tengahnya, maka efektifitas RBP pada bidang sumber daya pada kategori cukup baik (taraf efektifitas : 62,38%), tetapi masih rendah dalam segi kuantitas dan kualitas personil (taraf efektifitas : 51,98%)

Pada Bidang kelembagaan, besaran efektifitas RB Polri bidang kelembagaan, berdasarkan variabelnya seperti di bawah ini.

35Edisi Desember 2019

Tabel 20Profil efektifitas penguatan kelembagaan

Jika diambil nilai tengahnya, maka ketercapaian RB Polri pada segi penguatan kelembagaan sudah tinggi (tingkat efektifitas : 78,04 %), tetapi masih rendah pada pendefinitifan Satfung Pamobvit dan Satpolair (tingkat efektifitas : 56,33%).

Sebab diperkirakan pada sebagian besar Polres/ta/bes, yang wilayahnya memiliki perairan yang cukup luas, dan banyak objek vital yang harus diamankan, satker Pamobvit masih sebagai unit di bawah Sabhara, dan Satpolair masih di bawah Bagops. Padahal kedua satker tersebut harus sudah menjadi satfung yang definitif.

Pada bidang manajemen SDM. SDM adalah faktor utama untuk tercapainya pelaksanaan reformasi birokrasi Polri yang lebih baik. Jika ditelaah dari segi manajemen pola pembinaan aparatur dan perubahan berpikir (paradigma), maka diperkirakan tingkat efektifitas manajemen SDM di lingkungan kepolisian, seperti di bawah ini.

Tabel 21Profil efektifitas manajemen SDM

Jika diambil nilai tengahnya, maka sistem manajemen SDM di tingkat Polres/ta/bes, pada kategori cukup baik (tingkat efektifitas :61,92%).

Pada bidang pelayanan. Profil efektifitas pada bidang pelayanan kepolisian, berdasarkan pendapat masyarakat, personil Polri yang membidangi perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, dan hasil observasi lapangan, seperti di bawah ini.

Tabel 22Profil efektifitas pelayanan kepolisian

Jika diambil nilai tengahnya, maka efektifitas RBP pada bidang pelayanan kepolisian kepada masyarakat pada kategori cukup baik (taraf efektifitas : 60%).

Pada Bidang pengawasan, Berdasarkan analisis proporsi, RB Polri dalam segi pengawasan seperti di bawah ini.

Tabel 23Profil efektifitas bidang pengawasan

Jika diambil nilai tengahnya, maka ketercapaian RB Polri pada segi pengawasan di tingkat Polres/ta/bes, pada kategori cukup tinggi (tingkat efektifitas : 72,08% < 80%). Hal ini karena ada beberapa personil Polres, yang pangkatnya lebih tinggi dari pangkat Kasiwas, sehingga efektifitas pengawasan kepada mereka rendah. Sehingga Siwas di Polres/ta/bes sebaiknya personil/penjabat Irwasda yang melekat di Polres/ta/bes, dengan pangkat minimal setara Wakapolres dan atau menjadi bagian organik dari Irwasda Polda.

Analisis (8) delapan area RBPSudah dipaparkan, sasaran penelitian adalah menganalisis 8

(delapan) sasaran RBP. Analisis dilakukan berdasarkan analisis kuantitatif (analisis data berdasarkan hasil pengisian kuesioner

36 Edisi Desember 2019

dengan observasi lapangan), melalui analisis elaborasi bidang reformasi di tingkat Polres/ta/bes 5 (lima) bidang. Analisis kualitatif (analisis data hasil wawancara mendalam). Profil efektifitas 8 (delapan) sasaran RBP di tingkat Polres/ta/bes, berdasarkan Polres/ta/bes sampel, sebagai berikut.

Hasil analisis kuantitatif

Tabel 24Profil efektifitas sasaran RBP Polres/ta/bes berdasarkan analisis kuantitatif

Hasil analisis kualitatif

Tabel 25Profil efektifitas sasaran RBP Polres/ta/bes berdasarkan analisis kualitatif

37Edisi Desember 2019

Jika hasil analisis kuantitatif dan kualitatif diakumulasikan, maka diperkirakan efektifitas RBP di lingkungan Polri, seperti di bawah ini.

Tabel 26Profil efektifitas sasaran RBPPolres/ta/bes Berdasarkan hasil analisis kuantitatif/kualitatif

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan kualitatif, tentang evaluasi keberhasilan Polres dengan data hasil jawaban kuesioner, wawancara dan observasi langsung, rataan evaluasi efektifitas

RBP Polres 71,01% dengan simpangan baku 9,78%. Jika dianggap efektifitas RBP mengikuti distribusi normal, maka diperkirakan profil keberhasilan Polres/ta/bes dalam melaksanakan RBP pada tahap II, seperti di bawah ini

Tabel 27Profil keberhasilan Polres/ta/bes Dalam melaksanakan RBP tahap II

Tabel 28Proporsi Nilai keberhasilan pelaksanaan RBP Satuan Kewilaya-han (sampel penelitian)

Kendala dan PendukungJika dilakukan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportuniti,

Trouble), maka perolehan profil keberhasilan seperti itu, disebabkan oleh kendala dan dukungan sebagai berikut. Kendala dan dukungan internal terdiri dari kekuatan (Strenght, S). Kekuatan ini mencakup motivasi, inovasi dan integritas moral anggota yang tinggi, dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan anggota Polri, adanya dukungan kebijakan pimpinan Polri terhadap pelaksanaan RB dan koordinasi antar satuan fungsi yang berjalan dengan baik.

Kelemahan (Weakness, W) mencakup kuantitas dan kualitas/kompetensi SDM Polri rendah, HTCK yang belum terintegrasi secara sistemik(saling terkait dan tergantung antar fungsi-fungsi Polri). Kemampuan kerjasama dalam bidang IT antara Polri dengan Lembaga luar yang belum terbangun secara maksimal dan perubahan struktur polri yang belum didasarkan oleh hasil penelitian serta transparansi tata kelola anggaran yang belum sesuai dengan alokasi perencanaan kebutuhan. Kemudian, Sarpras yang belum sesuai dengan kebutuhan wilayah, tumpang tindihnya regulasi dan spektrum beban tugas polisi yang terus meningkat seiring dengan perkembangan lingkungan strategis.

Sedangkan kendala dan dukungan eksternal terdiri dari peluang (Opportunity, O). Peluang ini mencakup dukungan political will yang kuat dari DPR RI, dukungan masyarakat terhadap kinerja Polri masih cukup tinggi, dukungan dari pemerintah daerah terhadap penanggulangan gangguan Kamtibmas dan konflik sosial.

Untuk dukungan (Trouble, T) mencakup munculnya produk undang-undang baru yang memangkas kewenangan Polri, tingkat kepercayaan masyarakat atas perilaku petugas pelayanan Polri masih rendah dan meningkatnya gangguan Kamtibmas dan konflik sosial akibat pembangunan dan pelemahan ekonomi.

38 Edisi Desember 2019

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan dari penelitian ini addalah nilai rata-rata hasil

evaluasi pelaksanaan RBP (8 area perubahan) di tingkat satuan kewilayahan adalah 71,01% dengan simpangan baku/standar error 0,0293 (kategori SB, sangat baik). Sedangkan hasil evaluasi KEMENPAN RB, nilainya 67,32% (kategori B, baik), dan perbedaan ini cukup signifikans. Sehingga perlu dilakukan pembicaraan antara Polri dengan Kemen Pan RB, untuk menyamakan persepsi dalam mengevaluasi RBP.

Metode kuantitatif dan kualitatif yang digunakan dalam penelitian Puslitbang mampu memperkuat dan mendukung evaluasi yang dilakukan Srena Polri, karena 8 (delapan) area perubahan merefleksikan informasi maupun angka-angka keberhasilan pelaksanaan RBP satuan kewilayahan (Polda) secara kuantitatif - kulitatif sesuai dengan PERMENPAN RB No. 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Mandiri Penilaian Reformasi Birokrasi (PMPRB). Adapun urutan keberhasilan tersebut adalah Polda Jateng dengan nilai 71,16 katagori sangat baik ( SB ), Polda Sumut dengan nilai 70,87 katagori baik ( B ), Polda Kalbar dengan nilai 70,05 katagori baik ( B ), Polda Bengkulu dengan nilai 68,57 katagori baik (B), Polda Sulsel dengan nilai 68,24 katagori baik (B) dan Polda Kepri dengan nilai 63,16 katagori baik (B)

Profil efektifitas sasaran terhadap 8 (delapan) area pelaksanaan reformasi birokrasi Polri berdasarkan analisis hasil penilaian secara kuantitatif dan kualitatif. Antara lain penataan dan penguatan organisasi (68,46%) dengan kategori Baik, ketatalaksanaan satuan (60,69%) dengan kategori Cukup, penataan perundang-undangan dan kebijakan (90,69) dengan kategori memuaskan dan peningkatan kualitas pelayanan (75,17%) dengan kategori Sangat baik.

Selain itu, penataan sistem manajemen SDM aparatur (60,62%) dengan kategori Cukup, manajemen perubahan/paradigma (68,60%) dengan kategori Baik, penguatan pengawasan (67,65%) dengan kategori Baik dan penguatan akuntabilitas kinerja (76,20%) dengan kategori Sangat baik. Berdasarkan temuan lapangan dari 6 (enam) Polda sampel penelitian baru 2 (dua) Polda yang sudah melaksanakan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), yaitu Polda Kalbar dan Polda Jateng.

Sedangkan rekomendasi dari penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan katagori penilaian keberhasilan RBP di Satuan Kewilayahan Polri. Maka direkomendasikan Asrena selaku penanggung jawab penilaian pelaksanaan RBP harus mengkoordinasikan hasil pelaksanaan penelitian RBP Puslitbang Polri kepada Menpan RB sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam rangka penilaian lanjutan RB Polri.

Untuk meningkatkan kemampuan dan kapabilitas organisasi satuan Polri yang handal dan profesional agar dapat mendongkrak nilai RBP. Khususnya manajemen perubahan (mainset dan gultur set) maka disarankan ASSDM Polri perlu membuka ruang

keilmuan seluas-luasnya bagi anggota/personil yang memiliki kompetensi keilmuan non kedinasan atau di luar kompetensi ilmu kepolisian. Karena membangun institusi Polri secara modern dan profesional membutuhkan multi disiplin ilmu. Dan kompetensi dan dibutuhkan kebijakan yang mengarah pada perimbangan kemampuan dan kompetensi untuk kebutuhan organisasi antara kebutuhan fungsi operasional dan staf.

Skala prioritas untuk peningkatan perbaikan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi Polri di kewilayahan (Polda) yang mendapat nilai kurang dari 70. Maka direkomendasikan untuk memperhatikan dan memperbaikinya pada aspek penataan sistem manajemen SDM Aparatur, ketatalaksanaan satuan, penguatan pengawasan, penataan dan penguatan organisasi, manajemen perubahan (Paradigma), peningkatan kualitas pelayanan dan penguatan akuntabilitas kinerja dan penataan perundang-undangan dan kebijakan.

Selain itu, pemberdayaan fungsi pengawasan di tingkat Polres dengan peningkatan status kepangkatan dan kompetensi Kasiwas atau Kasiwas sebagai organik Irwasda Polda. Metode penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Polri dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan RBP, dapat dijadikan acuan dalam melakukan penilaian/evaluasi bagi satuan kewilayahan (Polda), terutama Polda-Polda lain yang belum dilakukan penilaian atau evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Presiden Nomor 81, 2010. tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025, tanggal 21 Desember 2010, Jakarta.

Kementerian PAN dan RB Nomor 20, 2010. tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, tanggal 30 Desember 2010, Jakarta.

Kementerian PAN dan RB Nomor 53, 2011. tentang Pedoman Penjaminan Kualitas (Quality Assurance) dan Pedoman Monitoring dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, tanggal 11 November 2011, Jakarta.

Kementerian PAN dan RB Nomor 1, 2012. tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, tanggal 2 Januari 2012, Jakarta.

Kementerian PAN dan RB Nomor 12, 2015. tentang Pedoman Evaluasi Atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, tanggal 22 Juni 2015, Jakarta.

Keputusan Kapolri Nomor 180/III, 2012. tentang Penetapan Pedoman Monitoring, Evaluasi, Pelaporan dan Refreshing Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri, tanggal 30 Maret 2012, Jakarta.

39Edisi Desember 2019 39Edisi Desember 2019

40 Edisi Desember 2019

Pembuatan Desain Dan Miniatur Purwarupa Mobil Patroli Sabhara

ABSTRAKDiera milenial saat ini, aktivitas kehidupan manusia seakan

tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ditambah lagi derasnya arus informasi serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat kejahatan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya semakin meningkat. berbagai macam modus operandi yang digunakan, mulai dari kejahatan konvensional hingga kejahatan transnasional. Begitu juga tentang pelayanan publik perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai yang berbasis teknologi dalam rangka menjamin kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakatnya.

Kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi institusi Polri. Sebab Polri memiliki tugas pokok dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, meneggakkan hokum. Serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, berbagai pola pemolisian terus dikembangkan. Tujuannya adalah mencari solusi terjadinya setiap permasalahan kehidupan masyarakat agar tidak sampai menjadi gangguan nyata yang mengakibatkan terjadinya kejahatan atau tindak kriminalitas lainnya.

Polri dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari mengemban dua tugas pokok, yaitu tugas preventif dan tugas represif. Tugas preventif yang dimaksud berupa kegiatan patroli yang dilakukan secara terarah dan teratur untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum guna mencegah terjadinya tindak kejahatan. Sedangkan tugas represif dilakukan apabila telah terjadinya tindak kejahatan atau tindak kriminalitas di masyarakat dimana hukum itu perlu ditegakkan. Sehingga tindak kejahatan tersebut perlu diusut untuk menjadikan terang suatu perkara dan memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Hasilnya, jenis dan tipe mobil patroli yang paling banyak digunakan di satuan kewilayahan saat ini adalah Jenis Sedan Merk Nissan Almeera (khusus untuk wilayah Pulau Jawa). Selain itu jenis Sedan Merk Mitsubishi Lancer, Jenis Double Cabin Merk Isuzu D-Max dan Mitsubishi Strada (wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa). Kemudian, basic kendaraan patroli yang ada saat ini belum sesuai dengan karakteristik wilayah, dan untuk beberapa jenis kendaraan mengalami kesulitan dalam perawatannya karena suku cadang mahal dan sulit untuk didapat.

PENDAHULUANDalam era milenial seperti saat ini, aktivitas kehidupan manusia

seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu. Dengan didukung

derasnya arus informasi serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat kejahatan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya semakin meningkat. berbagai macam modus operandi yang digunakan, mulai dari kejahatan konvensional hingga kejahatan transnasional. Begitu juga tentang pelayanan publik perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai yang berbasis teknologi dalam rangka menjamin kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakatnya.

Kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi institusi Polri. Sebab Polri memiliki tugas pokok dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, meneggakkan hokum. Serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, berbagai pola pemolisian terus dikembangkan. Tujuannya adalah mencari solusi terjadinya setiap permasalahan kehidupan masyarakat agar tidak sampai menjadi gangguan nyata yang mengakibatkan terjadinya kejahatan atau tindak kriminalitas lainnya.

Polri dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari mengemban dua tugas pokok, yaitu tugas preventif dan tugas represif. Tugas preventif yang dimaksud berupa kegiatan patroli yang dilakukan secara terarah dan teratur untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum guna mencegah terjadinya tindak kejahatan. Sedangkan tugas represif dilakukan apabila telah terjadinya tindak kejahatan atau tindak kriminalitas di masyarakat dimana hukum itu perlu ditegakkan. Sehingga tindak kejahatan tersebut perlu diusut untuk menjadikan terang suatu perkara dan memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan tersebut.

Dari kedua tugas di atas, tugas preventif dinilai lebih efektif untuk menanggulangi terjadinya kejahatan yang terjadi di masyarakat. Tugas preventif dapat dilakukan dengan 4 kegiatan pokok antara lain pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli atau biasa disingkat dengan TURJAWALI. Patroli disini merupakan kegiatan yang lebih dominan dilakukan karena dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah bertemunya faktor niat dan kesempatan.

Patroli kepolisian dilakukan untuk mengetahui tentang kondisi sosial serta budaya yang ada di masyarakat. Dengan begitu, diketahui pula rutinitas masyarakat pada suatu wilayah yang akhirnya apabila disuatu hari ditemukan hal-hal yang diluar kebiasaan wilayah tersebut. Maka akan segera diketahui dan ditindaklanjuti untuk mencegah serta menanggulangi kejadian atau tindak kriminal yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan demikian masyarakat dapat merasa lebih aman dan merasakan adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi dirinya.

Hasil Penelitian Bagian Laboratorium dan Teknologi Kepolisian Puslitbang Polri

41Edisi Desember 2019

Fungsi patroli di kepolisian diemban oleh Satuan Sabhara dan Satuan Lalu Lintas. Kedua satuan tersebut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban baik di jalan, sekolah, kantor, objek vital maupun tempat umum lainnya. Sementara Tugas patroli kepolisian yang dilaksanakan dapat berupa patroli dialogis dengan berjalan kaki, patroli sepeda, patroli sepeda motor, dan patroli mobil. Patroli mobil sendiri merupakan metode patroli yang dinilai paling efektif karena tidak hanya ditujukan untuk memelihara keamanan dan ketertiban, tetapi juga untuk memberikan pelayanan kepada msayarakat.

Melihat fungsinya yang cukup krusial, mobil patroli perlu didukung dengan kendaraan yang mumpuni serta peralatan pendukung yang memadai. Namun demikian, dengan melihat dari sudut pandang bahwa penggunaan mobil patroli khususnya sabhara saat ini masih konvensional. Dalam arti mobil patroli hanya digunakan untuk bergerak dari satu titik tempat ke tempat lainnya serta kondisi mobil patroli yang tergelar di kewilayahan. Saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi dan tantangan tugas petugas patroli di lapangan. Sudah saatnya ada suatu standar yang mengatur tentang spesifikasi teknis terhadap mobil maupun perangkat pendukung lainnya yang ada pada mobil patroli sabhara. Sehingga mobil patroli sabhara yang tergelar di kewilayahan benar-benar efektif digunakan oleh anggota dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Adapun dasar penelitian ini mengacu pada Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Petikan Nomor: SP DIPA-060.01.1.642377/2017 tanggal 5 Desember 2017. Surat pengesahan ini berisi tentang DIPA petikan Puslitbang Polri T.A. 2018. Kemudian, Keputusan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Polri Nomor: Kep/06/VII/2017, tanggal 10 Juli 2017 tentang Rencana Kerja Puslitbang Polri T.A. 2018 dan Surat Perintah Kapuslitbang Polri Nomor: Sprin/06/I/2018, tanggal 3 Januari 2018 tentang “Pembuatan Desain dan Miniatur Purwarupa Mobil Patroli Sabhara”.

MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIANMaksud dari penelitian Pembuatan Desain dan Miniatur

Purwarupa Mobil Patroli Sabhara ini adalah untuk memberikan masukan kepada pimpinan terkait desain mobil patroli sabhara yang sesuai dengan kebutuhan, tantangan tugas, dan kondisi geografis wilayah.

Sedangkan tujuan utama dari penelitian ini, untuk mengimplementasikan kebijakan Promoter Kapolri melalui peningkatan profesionalisme kinerja Polri dengan cara melakukan inovasi dan rekayasa teknologi kendaraan patroli fungsi Sabhara. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tugas pokok dan fungsi serta SOP tugas patroli sabhara. Selain itu, menyediakan ketersediaan informasi pendukung tugas patroli pada kendaraan patroli Sabhara dan merancang desain mobil patroli Sabhara yang disesuaikan dengan karakteristik geografis wilayah dan tantangan tugas petugas patroli di lapangan.

Untuk situasi sosial yang ditetapkan sebagai tempat penelitian adalah Direktorat Sabhara tingkat Polda, Satuan Sabhara tingkat Polres, dan Unit Sabhara tingkat Polsek. Fokus penelitian ini diarahkan pada jenis kendaraan yang digunakan dalam tugas patroli sabhara, karakteristik geografis wilayah dan peralatan-peralatan pendukung yang harus ada pada saat pelaksanaan tugas patroli Sabhara.

Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan, Apakah jenis mobil yang digunakan dalam tugas patroli sabhara saat ini?. Selanjutnya, Apakah jenis mobil yang digunakan saat ini tersebut sudah sesuai?. Bagaimanakah karakteristik geografis wilayah hukum Polda (sampel)?. Bagaimanakah kondisi peralatan pendukung pada mobil patroli yang digunakan saat ini?. Apakah peralatan pendukung tersebut cukup efektif dalam mendukung tugas patroli?. Peralatan pendukung apa saja yang diperlukan dan dibutuhkan dalam mendukung tugas patroli sabhara, baik peralatan perorangan maupun peralatan yang ada di kendaraan?

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi tugas pelayanan masyarakat oleh petugas patroli Sabhara.

TINJAUAN PUSTAKAPengertian Patroli Kepolisian: Tugas pokok Kepolisian Republik

Indonesia terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. UU ini berbunyi, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan mengenai penjabaran tugas tersebut diatur pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. (Ayat 1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. Selain itu, menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan dan membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Serta turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia lainnya adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian, melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang dan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian. Serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari kesemua penjabaran tugas Kepolisian diatas, tugas Kepolisian yang dinilai paling efektif untuk menanggulangi terjadinya kejahatan. Baik itu dalam penanggulangan dan pengungkapan suatu tindak pidana adalah tugas preventif. Karena tugas yang luas hampir tanpa batas, dirumuskan dengan kata-kata berbuat apa saja boleh asal keamanan terpelihara dan asal tidak

42 Edisi Desember 2019

melanggar hukum itu sendiri. Dengan begitu pada tugas ini yang digunakan adalah asas oportunitas, utilitas dan asas kewajiban. Preventif itu dilakukan dengan 4 kegiatan pokok; mengatur, menjaga, mengawal dan patroli (TURJAWALI).

Patroli merupakan kegiatan yang dominan dilakukan. Sebab Patroli berfungsi untuk mencegah bertemunya faktor niat dan kesempatan agar tidak terjadi gangguan Kamtibmas/pelanggaran Hukum dalam rangka upaya memelihara/meningkatkan tertib hukum dan upaya membina ketentraman masyarakat guna mewujudkan/menjamin Kamtibmas. Tentunya dalam pencegahan suatu tindak kejahatan diperlukan pengetahuan tentang bagaimana kejahatan tersebut terjadi. Bagaimana keadaan lingkungan yang dipengaruhi oleh keadaan sosial, budaya dan kultur. Sehingga dalam penanggulangan dan pengungkapan suatu tindak kejahatan diperlukan personel yang mempelajari hal itu. Selanjutnya mendapatkan cara yang tepat dalam penanggulangannya.

Tujuan Patroli adalah mencegah bertemunya faktor niat dan kesempatan agar tidak terjadi gangguan kamtibmas/pelanggaran hokum. Dalam rangka upaya memelihara/meningkatkan tertib hukum dan upaya membina ketentraman masyarakat guna mewujudkan/menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.

Tujuan, fungsi, peran dan prinsip Patroli. Patroli bertujuan untuk meningkatkan kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran tersebut akan dapat mencegah bertemunya niat dan kesempatan yang memungkinkan timbulnya kriminalitas. Disamping itu juga mencegah terjadinya gangguan kamtibmas, memberikan perlindungan, pengayoman, dan rasa aman serta rasa tentram kepada masyarakat, menjalin hubungan sebagai mitra masyarakat untuk mendapatkan informasi dan partisipasi masyarakat. Serta pembatasan gerak provokator dan separatis di tengah-tengah masyarakat.

Patroli berfungsi untuk melaksanakan pencegahan dan penindakan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan (dalam hal tertangkap tangan), memelihara keamanan serta menjaga jiwa dan harta benda dari ancaman kejahatan.

Patroli berperan sebagai tulang punggung (backbone) Polri dalam upaya mencegah segala bentuk kejahatan/gangguan kamtibmas, sebagai sumber informasi, mata dan telinga bagi kesatuan. Patroli juga sebagai perwujudan kehadiran Polri di tengah masyarakat dan mitra masyarakat, sebagai sarana penyampaian pesan kamtibmas terhadap masyarakat, sebagai cerminan kesiapsiagaan Polri setiap saat dan waktu. Kemudian Patroli sebagai bentuk upaya pemeliharaan dan menjamin kamtibmas, melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, sebagai petugas pertolongan dan penyelamatan korban bencana alam dan kecelakaan.

Prinsip-prinsip patroli merupakan keterpaduan tugas yang dilakukan dan dikoordinasikan dengan kegiatan operasional. Koordinasi ini untuk saling tukar menukar informasi pada titik temu sesuai dengan sasaran kerawanan daerah. Selektif prioritas dengan banyaknya objek dan keterbatasan kekuatan maka perlu menentukan objek yang paling rawan sebagai sasaran patrol. Tindakan represif terbatas dalam hal menentukan gangguan kamtibmas (tindak pidana) petugas patroli berhak untuk melakukan penindakan (represif terbatas) dan merupakan ketanggap segeraan bagi petugas patroli.

Fungsi patroli polisi sangat diharapkan sebagai salah satu ujung tombak dari POLRI. Fungsi patroli ini diharapkan juga dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk mengantisipasi segala tipu daya dan kemampuan penjahat yang semakin hari juga

semakin meningkat. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, Patroli memiliki arti yang sangat singkat yaitu perondaan.

Patroli adalah salah satu kegiatan kepolisian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Anggota Polri sebagai usaha mencegah bertemunya niat dan kesempatan, dengan jalan mendatangi, menjelajahi, mengamati, mengawasi, memperhatikan situasi dan kondisi yang diperkirakan akan menimbulkan segala bentuk gangguan Kamtibmas. Serta menuntut kehadiran Polri untuk melakukan tindakan kepolisian guna memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum masyarakat. Patroli polisi dilakukan untuk mengetahui tentang bagaimana keadaan sosial masyarakat dan budayanya. Sehingga diketahuilah rutinitas masyarakat disatu tempat yang akhirnya apabila suatu hari ditemukan hal-hal yang diluar kebiasaan daerah tersebut maka akan segera diketahui, dan mudah menanggulangi kejahatan di wilayah tersebut.

Dengan demikian masyarakat dapat merasa lebih aman dan merasakan adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi dirinya. Disamping itu kita juga harus menyadari dan mengakui bahwa masyarakat juga harus turut berperan serta aktif untuk menciptakan keamanan dan ketentraman ditengah-tengah masyarakat.

KONSEP KEAMANANKeamanan berasal dari kata pokok ”aman” yang berarti bebas,

terlindung dari bahaya, selamat, tidak membahayakan, yakin, dapat dipercaya, dapat diandalkan. Sedangkan “keamanan” memiliki arti “suasana aman” ketenteraman, ketenangan (Peter Salim, 2002). Keamanan memiliki pengertian yang universal atau sering disebut dengan security.

Pada awal mulanya konsep keamanan (security) hanya menyangkut pengertian yang berkaitan dengan keamanan suatu Negara. Komisi Konstitusi (2004) dengan mengutip Patrick J. Garrity mengemukakan bahwa pengertian “security”: “closely tied to a state’s defense of sovereign interest by military means. At its most fundamental level, the term security has meant the effort to protect a population and territory against organized force while advancing state interest through competitive behavior”.

Dalam literatur kepolisian, pengertian keamanan secara umum adalah keadaan atau kondisi bebas dari gangguan fisik maupun Pshikis. Terlindunginya keselamatan jiwa dan terjaminnya harta benda dari segala macam ancaman gangguan dan bahaya” (Awaloedin Djamin, 2004). Sudah barang tentu pemahaman ini berbeda dengan pengertian keamanan (security) pada awalnya. Karena pengertian ini lebih mengacu pada pengertian “keamanan dan ketertiban masyarakat” yang kita biasa gunakan atau juga disebut keamanan umum (public security). Dalam ini istilah lama seperti public order atau law and order telah mengalami perluasan. Dimana order tidak hanya menyangkut ketertiban seperti digunakan oleh bahasa kita sehari-hari, akan tetapi sudah menyangkut keamanan.

Istilah security juga telah bergeser dan berkembang (semakin luas). Semenjak tahun 1994 dengan keluarnya The Human Devolepment dari UNDP, dikenal pula istilah “human security” yang berarti pertama, keamanan dari ancaman kronis kelaparan, penyakit dan penindasan.

Kedua, berarti perlindungan dari gangguan mendadak yang merugikan pola kehidupan sehari-hari di rumah, ditempat kerja ataupun dalam masyarakat. The Human Development Report tersebut di atas mengidentifikasi 7 (tujuh) yang merupakan human security. Yaitu economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community security, dan

43Edisi Desember 2019

political security. Fokus dari human security adalah manusia, bukan bukan negara.

Berdasarkan uraian di atas, istilah keamanan mempunyai pengertian yang beraneka ragam. Sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi harus dikaikan dengan sesuatu. Misalnya “keadaan atau kondisi bebas dari gangguan fisik, maupun Pshikis, terlindunginya keselamatan jiwa dan terjaminnya harta benda dari segala macam ancaman gangguan dan bahaya” (Awaloedin Djamin, 2004).

Karena itu pengertian istilah keamanan sangat tergantung pada kata yang mengikutinya. Ditinjau dari tatarannya, paling tidak kita bisa mengelompokkan konsep keamanan itu dalam 4 (empat) kategori. Kategori itu antara lain International Security National (State) security, Public security (and Order), dan Human security.

METODOLOGI PENELITIANJenis dan Desain Penelitian: untuk menemukan spesifikasi teknis

mobil patroli sabhara yang sesuai dengan tantangan tugas patrol. Maka unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah. Tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami Bahasa tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 1988 : 5). Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Objek Penelitian: objek yang menjadi sasaran pada penelitian ini adalah fungsi teknis Sabhara khususnya unit patroli yang membidangi masalah patroli.

Sedangkan untuk populasi dan sampel. Dari 34 jumlah keseluruhan Polda yang ada di Indonesia, penelitian ini mengambil 8 Polda sebagai Populasi penelitian. Pemilihan kedelapan Polda tersebut ditetapkan berdasarkan karakteristik wilayah perkotaan yang tingkat kerawanan terhadap keamanannya cukup tinggi dan mewakili setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Polda-polda tersebut adalah Polda Sumatera Utara, Polda Kepulauan Riau, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda Kalimantan Timur dan Polda Bali serta Polda Sulawesi Selatan. Sementara sampel penelitian ini adalah Direktorat Sabhara Polda, Satuan Sabhara Polres, dan Unit Sabhara Polsek.

Sumber data dan teknik pengumpulan data: Sesuai dengan fokus penelitian, yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah para Direktur Sabhara, para Kasat Sabhara, para Kanit Sabhara dan petugas lapangan pelaksana patroli jajaran Polda sampel. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan pengisian angket/kuesioner.

Instrumen penelitian: Dalam penelitian ini instrumen yang utama adalah peneliti sendiri dengan memanfaatkan alat bantu berupa panduan wawancara dan kuesioner.

Metode Analisa Data: Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan meliputi analisis tentang fakta yang berhasil dikumpulkan dan dicatat untuk menarik kesimpulan yang sudah ditetapkan secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil penilian dari pembuatan desain dan miniatur purwarupa

mobil Patroli Sabhara, khusus kondisi mobil patroli saat ini. Dari jenis dan tipe mobil, terdapat beberapa jenis dan tipe mobil

yang digunakan sebagai mobil patroli oleh satuan kewilayahan. Berdasarkan hasil observasi peneliti, ditemukan beberapa jenis mobil patroli yang kurang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh mobil jenis sedan digunakan pada wilayah dataran tinggi atau pegunungan. Sementara mobil jenis double cabin digunakan pada wilayah perkotaan. Tidak adanya keseragaman jenis dan tipe mobil yang digunakan karena tidak adanya aturan baku yang mengatur jenis dan tipe mobil khususnya sesuai dengan kondisi geografis dan tingkat kerawanan wilayah.

Jenis dan tipe mobil patroli yang paling banyak digunakan di satuan kewilayahan adalah Jenis Sedan Merk Nissan Almeera (khusus untuk wilayah Pulau Jawa), Jenis Sedan Merk Mitsubishi Lancer, Jenis Double Cabin Merk Isuzu D-Max dan Mitsubishi Strada (wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa).

Dari segi karakteristik wilayah, sampel penelitian yang terdiri dari 8 Polda di atas memiliki karakteristik wilayah masing-masing. Polda Metro Jaya, Jateng, Jatim dan Bali sebagian besar wilayahnya adalah wilayah dataran rendah, sementara Polda Kepri, Sulsel, Kaltim, dan Sumut sebagian besar wilayahnya ada wilayah dataran tinggi dengan banyak daerah merupakan wilayah pegunungan/perbukitan.

Peralatan / kelengkapan pendukung mobil, berdasarkan data yang peneliti kumpulkan pada 8 Polda sampel, terdapat ketidak-seragaman peralatan / kelengkapan pendukung yang ada pada mobil patroli sabhara saat ini. Hal itu dikarenakan jenis mobil yang digunakan berbeda-beda antara Polda yang satu dengan yang lain, dan satuan kewilayahan ada yang melakukan modifikasi terhadap mobil patroli yang ada. Terkait peralatan / kelengkapan pendukung mobil, dapat dijabarkan sebagaimana tabel berikut.

Peralatan pendukung perorangan, selain mobil yang digunakan untuk patroli perlu dilengkapi dengan peralatan-peralatan pendukung. Anggota patroli juga sabhara yang mengoperasikan dan mengendarai mobil patroli juga perlu dibekali peralatan pendukung guna memperlancar pelaksanaan tugas dan untuk keselamatan diri anggota tersebut. Dari hasil pengumpulan data di 8 sampel Polda, ditemukan bahwa anggota sabhara tidak didukung dengan peralatan pendukung perorangan yang memadai.

Peralatan perorangan seperti tongkat polisi, borgol, dan alkom rata-rata sudah melekat pada anggota. Namun demikian, terdapat sekitar hampir 65% responden / anggota sabhara pada Polda sampel

44 Edisi Desember 2019

yang tidak dilengkapi dengan rompi anti peluru level IIIA. Bahkan hampir 100% responden menyatakan bahwa mereka tidak dibekali dengan senjata kejut listrik. Dilihat dari kegunaan kedua peralatan tersebut, sudah jelas fungsinya adalah untuk perlindungan diri dan untuk melumpuhkan lawan.

Namun pada beberapa Polda, anggota sabhara tidak dilengkapi dengan peralatan tersebut. Senter lalin, semprotan merica / pepper spay, dan jas hujan juga belum dijadikan sebuah peralatan wajib yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas anggota patroli sabhara di lapangan.

Pembahasan: analisis kebutuhan mobil patroli yang ideal, kekurangan dan kelemahan mobil patroli saat ini. Khusus untuk mobil patroli Jenis Sedan Merk Nissan Almeera yang merupakan mobil patroli terbaru hasil pembagian dari Korsabhara Baharkam Polri. Tim peneliti menemukan beberapa kekurangan dan kelemahan yang terdapat pada mobil tersebut, seperti digambarkan pada infografis berikut.

Berdasarkan jenisnya, mobil patroli jenis sedan ini hanya diperuntukkan untuk wilayah perkotaan saja. Kurang sesuai apabila digunakan di wilayah dataran tinggi dengan medan yang cukup ekstrim. Tidak adanya alat komunikasi seperti HT ataupun rig menyusahkan anggota untuk melakukan komunikasi dengan anggota yang berada di pos atau atasan yang ada di mako. Peralatan pendukung khususnya sabhara kit kurang lengkap. Kaca jendela belum power window dan pengontrol spion masih manual.

Selain itu, dengan adanya ruang tahanan pada kabin belakang, menyebabkan ruang kabin depan menjadi lebih sempit, bagitu juga dengan ruang tahanan yang luasnya sangat terbatas. Meskipun peruntukannya adalah untuk membawa tahanan, namun dirasa kurang manusiawi apabila tahanan yang dibawa berada dalam ruang yang sangat sempit, ditambah kursi jok yang terbuat dari bahan fiber membuat kursi sangat keras apabila diduduki.

Harapan mobil patroli pada masa yang akan datang, berangkat dari kebutuhan terhadap adanya mobil patroli yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan tugas patroli yang tidak hanya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan berdasarkan hasil analisis terhadap mobil patroli yang tergelar saat ini. Anggota sabhara mengharapkan mobil patroli yang benar-benar sesuai dengan karakteristik wilayah. Serta dilengkapi dengan berbagai peralatan pendukung yang memudahkan anggota dalam menjalankan tugas patroli.

Dengan demikian, jenis mobil yang dibutuhkan anggota adalah mobil jenis SUV (Sport Utility Vehicle) yang dapat digunakan pada wilayah perkotaan/ dataran rendah dengan berbagai jenis medan. Dan mobil jenis Double Cabin yang diperuntukkan untuk wilayah pedesaan/ pegunungan/ dataran tinggi dengan medan yang cukup ekstrim serta untuk berbagai keperluan. Kedua jenis mobil tersebut tentunya akan dibekali dengan berbagai peralatan pendukung yang ada dalam kendaraan. Spesifikasi teknis mobil patroli dimaksud akan dijabarkan secara detail pada poin b di bawah ini.

Output dan Spesifikasi teknis yang diharapkan berdasarkan hasil analisis kebutuhan.

45Edisi Desember 2019

46 Edisi Desember 2019

Gambar teknis desain mobil patroli yang ideal, Jenis SUV.

Jenis Double Cabin

47Edisi Desember 2019

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan yang dapat ditarik dari Penelitian ini antara

lain, jenis dan tipe mobil patroli yang paling banyak digunakan di satuan kewilayahan saat ini adalah Jenis Sedan Merk Nissan Almeera (khusus untuk wilayah Pulau Jawa). Selain itu, jenis Sedan Merk Mitsubishi Lancer, Jenis Double Cabin Merk Isuzu D-Max dan Mitsubishi Strada (wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa). Kemudian, basic kendaraan patroli yang ada saat ini belum sesuai dengan karakteristik wilayah, dan untuk beberapa jenis kendaraan mengalami kesulitan dalam perawatannya karena suku cadang mahal dan sulit untuk didapat.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian pada 8 sampel Polda, karakteristik wilayah dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu wilayah dataran tinggi (pegunungan/perbukitan) dan wilayah dataran rendah (perkotaan/pemukiman). Kondisi peralatan pendukung yang ada pada mobil patroli saat ini terdapat ketidak-seragaman, hal itu dikarenakan jenis mobil yang digunakan berbeda-beda antara Polda yang satu dengan yang lain, bahkan satuan kewilayahan ada yang melakukan modifikasi sendiri terhadap mobil patroli yang ada dan kelengkapan kendaraan maupun perlengkapan perorangan yang ada saat ini belum sesuai dengan kebutuhan petugas dan

situasi di lapangan.Selanjutnya, peralatan pendukung yang diperlukan dan

dibutuhkan dalam mendukung tugas patroli sabhara digolongkan dalam 2 kelompok. Yaitu peralatan yang melekat pada kendaraan dan peralatan yang melekat pada petugas patrol. Jenis kendaraan patroli sabhara yang sesuai dengan karakteristik wilayah di Indonesia adalah untuk wilayah dataran tinggi (pegunungan/perbukitan) dengan menggunakan mobil jenis double cabin dengan penggerak roda 4x4 (4WD) dan untuk wilayah dataran rendah (perkotaan/pemukiman) dengan menggunakan mobil jenis SUV dengan penggerak roda 4x4 (4WD).

Rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah diperlukan mobil patroli sabhara yang sesuai dengan karakteristik daerah. Yaitu jenis double cabin untuk wilayah dataran tinggi (pegunungan/perbukitan) dan jenis SUV untuk wilayah dataran rendah (perkotaan/pemukiman). Selanjutnya, mobil patroli tersebut dilengkapi dengan peralatan yang melekat pada kendaraan dan peralatan yang melekat pada petugas patrol dan diperlukan standarisasi mobil patroli sabhara yang disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan sebagaimana hasil penelitian ini.

48 Edisi Desember 2019

Efektifitas Implementasi Manajemen (S.O.T.K) Satuan Polsek Dalam Rangka Pelayanan Prima Hasil Penelitian Bidang Tugas Pembinaan Puslitbang Polri

ABSTRAKPembangunan pada dasarnya, sebuah proses perubahan dan

perbaikan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dalam segala bidang baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik. Atau pembangunan mental spiritual tidak lain adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan berkemakmuran.

Namun dalam realitas kegiatan pembangunan tidak selalu

demikian. Karena pembangunan memiliki dampak negatif dan dampak positif terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Artinya, pembangunan telah menimbulkan akibat atau persoalan yang berdampak pada kepentingan publik, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, kesehatan, lingkungan, keamanan publik (penduduk) maupun yang lain.

Dalam konteks semacam itu dampak pembangunan harus dikaji secara mendalam agar dampak negatif yang timbul dapat

49Edisi Desember 2019

diantisipasi lebih dini. Sebab dampak itu dapat mendorong lahirnya gangguan nyata (ancaman faktual) seperti, konflik sosial, tindakan anarkhi, kriminalitas, dan lain-lain.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pemelihara kamtibmas dan kamdagri, sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Sudah saatnya melihat pembangunan sebagai faktor penting yang dapat menimbulkan persoalan kamtibmas dan kamdagri. Artinya, pembangunan dapat mempengaruhi kondisi keamanan publik, pembangunan dapat mengakibatkan munculnya gangguan keamanan, dan pembangunan dapat mendorong lahirnya kriminalitas. Metode dalam penelitian ini adalah eksplorasi tentang efektifitas Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polsek di wilayah hukum Republik Indonesia.

Hasilnya, Bidang kelembagaan (Organisasi) Polsek adalah Polri telah melakukan penataan struktur organisasi yang berorientasi pada Organisasi Pelayanan Publik (PSO). Prinsip sebaran pelayanan “Mabes Kecil, Polda Sedang, Polres Besar dan Polsek Kuat,” sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perkap Nomor 21 Tahun 2010 tentang SOTK Mabes Polri, Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang SOTK Polda dan Perkap Nomor 23 Tahun 2010 tentang SOTK Polres dan Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polsek.

PENDAHULUANPembangunan pada dasarnya adalah sebuah proses perubahan

dan perbaikan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dalam segala bidang. Baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik atau pembangunan mental spiritual tidak lain adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan berkemakmuran.

Namun dalam realitas kegiatan pembangunan tidak selalu demikian. Karena pembangunan memiliki dampak negatif dan dampak positif terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Artinya, pembangunan telah menimbulkan akibat atau persoalan yang berdampak pada kepentingan publik, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, kesehatan, lingkungan, keamanan publik (penduduk) maupun yang lain.

Dalam konteks semacam itu dampak pembangunan harus dikaji secara mendalam agar dampak negatif yang timbul dapat diantisipasi lebih dini. Sebab dampak itu dapat mendorong lahirnya gangguan nyata (ancaman faktual) seperti, konflik sosial, tindakan anarkhi, kriminalitas, dan lain-lain.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pemelihara kamtibmas dan kamdagri, sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Sudah saatnya melihat pembangunan sebagai faktor penting yang dapat menimbulkan persoalan kamtibmas dan kamdagri. Artinya, pembangunan dapat mempengaruhi kondisi keamanan publik, pembangunan dapat mengakibatkan munculnya gangguan keamanan, dan pembangunan dapat mendorong lahirnya kriminalitas.

Oleh karena itu Polri memiliki peranan penting dalam proses pembangunan. Sebab tanpa situasi dan kondisi yang kondusif atau aman dan kamtibmas yang mantap tidak mungkin pembangunan dapat dilaksanakan. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya, kegiatan pembangunan stagnan atau berhenti total akibat tidak adanya jaminan keamanan dan keselamatan. Polri dalam hal ini dituntut

dapat mengantisipasi dampak pembangunan melalui pendekatan pre-emtif, preventif, dan bila perlu represif.

Tugas pokok Polri dalam konteks pembangunan adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat agar tidak menjadi korban pembangunan. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri. Program trust building menuju Strive for excellent yang merupakan tahap ketiga dari Grand Strategi Polri dapat terwujud. Karena itu diperlukan komitmen dari seluruh jajaran Polri untuk melaksanakan dengan kesungguhan atas semua kebijakan pimpinan Polri melalui reformasi birokrasi berupa quick respon, transparansi penegakan hukum (penyidikan), transparansi pelayanan dan transparansi dalam bidang rekrutmen personil serta menjamin Harkamtibmas.

Dalam rangka mewujudkan semua itu, struktur kelembagaan organisasi Polri menjadi salah satu faktor penting. Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polri menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan Polri dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Kepolisian (UU No.2 Tahun 2002). Dalam arti semua itu tidak terlepas dari baik tidaknya tata kelola organisasi dan manajemen Polri, mulai dari organisasi pimpinan terdepan (Polsek), Polres, sampai dengan tingkat pusat (Mabes Polri).

Dalam konteks mewujudkan kinerja keamanan yang diharapkan, maka Polri dituntut untuk memiliki tolok ukur standar tata kelola organisasi yang baik. Agar kemampuan pelayanan Polri pada unit-unit organisasi terdepan seperti Polsek dan Polres, dapat dilakukan secara maksimal sehingga harapan menuju pelayanan Strive for excellent dapat terwujud, untuk itu diperlukan kemampuan me-manage dan mengelola seluruh proses kegiatan kerja yang saling berhubungan dan berinteraksi baik secara internal maupun eksternal.

Menurut teori manajemen secara umum dijelaskan bahwa proses pengelolaan organisasi yang baik diawali dari proses perencanaan, pengelolaan organisasi, pelaksanaan operasionalisasi dan pengawasannya. Tujuanya agar kinerja organisasi menjadi lebih efektif dan dapat memberikan hasil yang maksimal. Sesuai harapan reformasi birokrasi Polri yang salah satunya menghendaki perbaikan tata kelola manajemen organisasi di tingkat lini (Polsek) dengan harapan struktur Polsek menjadi lebih kuat, profesional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Namun dengan beragamnya tipe Polsek, yaitu Metro, Urban, Rural, dan Pra Rural yang tersebar di satuan kewilayahan. Serta beban tugas dan persoalan yang berbeda-beda tentu dibutuhkan suatu standar tata kelola organisasi secara modern. Dengan model pendekatan sistem pengawasan/audit yang efektif dan terprogram sebagaimana layaknya organisasi modern. Untuk melihat bagaimana efektifitas penerapan tata kerja organisasi satuan Polsek yang beragam tipe.

Seperti Polsek Metro, Polsek Urban, Polsek Rural dan Polsek Pra rural, maka fokus kajian di arahkan pada Audit Internal. Audit ini merupakan kegiatan yang sangat penting dan merupakan keharusan yang bertujuan, untuk memantau sistem mutu dengan melakukan verifikasi kesesuaian dukungan proses kegiatan organisasi yang disediakan (man, money, method, materiil dan manajerial). Dibandingkan dengan hasil/output yang sudah ditentukan sesuai sistem, acuan serta kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh organisasi Polri. Seperti merumuskan strategi perencanaan, mengelola organisasi, aktualisasi hasil kinerjanya. Serta sistem pengawasan yang dilakukan, sehingga penerapan mutu

50 Edisi Desember 2019

kinerja dapat diukur.Surveillance audit, sesuai dengan aturan yang telah disepakati

dengan pihak Lembaga Sertifikasi, bahwa kegiatan surveillance diprogramkan setidaknya dua kali dalam satu tahun oleh Lembaga Sertifikasi. Surveillance ini dilaksanakan untuk mengevaluasi adanya perubahan-perubahan sistem mutu serta untuk monitoring / memantau organisasi tersebut untuk mampu menerapkan sistem mutunya secara konsisten atau tidak.

Evaluasi kinerja, kegiatan ini dilakukan sebagai wahana bagi organisasi dalam memperoleh masukan dari masyarakat dalam memberikan pelayanannya. Khususnya untuk menilai seberapa jauh keberhasilan satuan kewilayahan Polri (Polsek) dalam menunjang upaya untuk memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat. Sehingga sasaran mutu dapat tercapai.

Evaluasi ini dilakukan melalui beberapa cara, antara lain wawancara langsung dengan masyarakat. Selain itu, mengirimkan daftar isian (kuesioner) kepada masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan dan audit internal.

Berdasarkan latar belakang persoalan parameter tersebut maka diperlukannya kajian/riset secara mendalam. Dengan demikian, persoalan-persoalan tersebut dapat diangkat dan dapat menemukan solusi pemecahannya, sehingga tata kerja organisasi Polsek dapat berjalan efektif

Rumusan MasalahBerdasarkan hal-hal tersebut maka persoalan perlu ditelaah/

dikaji. Bagaimana kondisi kelembagaan/organisasi satuan Polsek dalam meningkatkan kinerjanya guna menuju pelayanan prima (strive for excellent)?. Seberapa besar tingkat efektifitas tata kerja organisasi satuan Polsek sebagai ujung tombak pelayanan Polri dalam melayanai masyarakat bila diukur dengan kemampuan sumber daya yang tersedia?. Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil kinerja satuan Polsek dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat?

Tujuan dan ManfaatTujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan data dan

informasi yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembinaan organisasi satuan Polsek. Dari aspek pembinaan sumber daya, kemampuan kinerja satuan, sarana dan peralatan pendukungnya.

Sedangkan manfaatnya adalah sebagai bahan masukan bagi pimpinan Polri dalam menyusun kebijakan guna mendorong terwujudnya progran Reformasi Birokrasi dilingkungan Polri. Khususnya peningkatan tata kerja organisasi satuan Polsek dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Ruang lingkup kajian studi ini dibatasi pada pengelolaan dan pembinaan organisasi satuan Polsek dari aspek pembinaan manajemen, kemampuan operasional satuan, sarana dan peralatan serta aspek pendukung lainnya.

LANDASAN TEORI

Manajemen Tata Kerja Lembaga Kepolisian Sejarah tata kerja organisasi kepolisian atau manajemen

kepolisian pada hakekatnya berasal dari Inggris. Asal usul tata kelola kelembagaan satuan kepolisian dapat ditelusuri dalam pembentukan Polisi Metropolitan London, Inggris tahun 1829. Kondisi sosial dan ekonomi yang dipicu Revolusi Industri menyebabkan migrasi masif ke kota-kota Inggris. Sebagian besar populasi migrasi

ini mempunyai pendidikan yang rendah dan kurang memiliki keterampilan sehingga membawa chaos kemiskinan, pengangguran dan kejahatan. Dibalik itu, hal ini menyebabkan berkembangnya satuan polisi khusus dan swasta yang dirancang untuk melayani kebutuhan berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu.

Polisi perdagangan dibentuk untuk melindungi pemilik toko dan penjaga toko. Polisi gereja melindungi jemaat dan hak milik gereja dan kepolisian khusus dibentuk untuk melindungi pelabuhan dan kapal-kapal yang berlayar di sungai Thames. Organisasi kelompok khusus ini tidak tertata rapi dan lebih berorientasi kepada kepentingan sendiri. Di lain pihak, sebagian besar warga di kota-kota besar tidak punya kelompok terorganisir untuk melayani dan melindungi kepentingan umum penduduk kota secara keseluruhan.

Menteri Dalam Negeri pada waktu itu, Sir Robert Peel melakukan lobi secara intensif ke Parlemen berkenaan dengan upaya membentuk satuan kepolisian yang terorganisir secara profesional di bawah kontrol pemerintah. Usulan Undang-Undang yang diajukan, yaitu Act for Improving the Police In and Near the Metropolis of London. Atau pada umumnya dikenal sebagai Metropolitan Police Art, disahkan pada tahun 1892 dengan tujuan pokok sebagaimana digariskan pada duty manual pertama. Yaitu mencegah kejahatan dan melindungi hak milik.

Dalam perspektif historis, sejarah kepolisian dan manajemen kepolisian Inggris disajikan di bawah ini.

Tabel. 1Periode sejarah dalam Manajemen Kepolisian

Dalam konteks pengembangan manajemen, setiap organisai selalu ada tiga bidang kerja yang mendasar. Yaitu administrasi, supervisi dan operasi. Fungsi administratif dilakukan oleh manajemen puncak (top management) dan bawahan langsung dari tim top management. Top management menciptakan dan menentukan kebijakan (serangkaian aksi), memberikan pedoman bagi organisasi tersebut. Kemudian Supervisi pada umumnya dilakukan oleh Supervisor tingkat menengah. Supervisor membantu menggerakan urat nadi organisasi dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat oleh manajemen puncak sudah dilaksanakan oleh

51Edisi Desember 2019

pelaksana. Operasi dilakukan oleh pelaksana yang pada umumnya berhubungan langsung dengan publik dan melaksanakan aktifitas Polisi sehari-hari.

Administrasi: POSCORB adalah suatu model teoritis klasik yang membantu mendeskripsikan fungsi utama organisasi dan bagaimana fungsi ini dilaksanakan. POSCORB adalah akronim dari Planing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan Budgeting (Gulick dan Urwick, 1937 ; 1 – 45).

Perencanaan: kegiatan ini mencakup perencanaan jangka pendek dan panjang yang menspesifikasi maksud dan tujuan organisasi dalam bekerjasama dengan badan publik lainnya. Bekerjasama dengan badan publik lainnya adalah salah satu persyaratan primer. Semakin lama, Departemen Kepolisian perkotaan semakin melihat bahwa mereka harus melibatkan dirinya dengan perencanaan jangka panjang badan pengembangan perkotaan, badan pelayanan sosial, badan kesehatan dan badan lainnya. Bahkan Departemen Kepolisian yang lebih kecil dan berada di wilayah pedesaan mulai melihat bagaimana perencanaan jangka panjang dapat membantu mereka menghadapi berkembangnya kompleksitas peranan polisi dan meningkatnya kejahatan di pedesaan di daerah pinggiran kota.

Organizing: pengorganisasian terkait dengan pembentukan struktur formal organisasi kepolisian, berkiprahnya organisasi besar itu. Tujuannya adalah mengkoordinasikan seluruh unit organisasi agar dapat berfungsi dengan cara yang paling efisien sehingga tercapainya tujuan organisasi dapat tercapai. Organisasi itu sendiri sepenuhnya menjadi tanggung jawab manajer dan keberhasilan mencerminkan kemampuan organisasional dari tim manajemen puncak. Prinsip dasar bisnis modern adalah mengkombinasikan pengetahuan administrasi publik dengan kegiatan kepolisian modern. Kunci keberhasilannya adalah menciptakan sebuah struktur organisasi di mana talenta yang benar akan menjalankan kerja yang benar pada tingkat efisiensi yang paling tinggi dengan tingkat moral personil dan organisasional yang baik.

Staffing: fungsi manajemen ini mencakup aspek organisasi seperti penggajian, pemecatan dan pelatihan serta menugaskan personil untuk tugas dan peran khusus. Perhatian juga ditujukan terhadap penciptaan kondisi kerja yang kondusif, termasuk fasilitas fisik yang aman dan sesuai. Mobil patroli misalnya, harus layak jalan agar tidak membahayakan jiwa petugas. Kegiatan ini termasuk menyediakan peralatan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas dan memberikan perintah kepada petugas secara tepat.

Secara teoritis staffing mencakup pengembangan deskripsi kerja. Setiap tugas harus secara jelas didefinisikan dan diisi oleh seorang petugas yang berkualitas. Berkualitas berarti petugas tersebut punya keterampilan, latar belakang yang terlatih sesuai untuk menuntaskan tugas seperti yang tercantum dalam deskripsi kerja.

Selain itu harus dipertimbangkan faktor kepuasan kerja. Setiap upaya harus terdapat kesesuaian antara kemampuan pegawai dengan tugasnya sehingga pegawai tersebut merasa puas, berhasil dan betah.

Directing, dalam memberi arahan, manajer harus bertindak sebagai pimpinan organisasi dan mengarahkan kegiatan perusahaan sehari-hari. Sebagai pimpinan organisasi kepolisian, manajer harus mengambil keputusan dan mengeluarkan perintah. Dengan menggunakan prinsip dasar manajemen modern, maka semua itu merupakan hasil proses sebuah tim (team process) di mana pimpinan menerima informasi dan usulan dari tim manajemen puncak. Pada akhirnya informasi yang diperoleh melalui proses konsultatif ini seharusnya mengarah menjadi keputusan final.

Seorang manajer Polisi yang menerapkan pendekatan seperti ini seharusnya mencari masukan dari tokoh masyarakat, staf manajemen puncak dan pakar bidang penegakan hukum. Oleh karena itu ketika sebuah keputusan dibuat, tim tersebut diharapkan dapat melaksanakan tugas sehari-hari sesuai dengan petunjuk dan prosedur yang secara khusus.

Coordinating, dua kegiatan utama dalam fungsi ini adalah keharusan untuk mengkoordinasikan Instansi Kepolisian dengan badan publik dan swasta lainnya di masyarakat. Dan koordinasi aktifitas di dalam Departemen Kepolisian sendiri. Koordinasi dirancang untuk menghasilkan kesepakatan tentang rangkaian tindakan khusus terhadap masalah khusus.

Masalah khusus yang melibatkan fungsi koordinasi mencakup peraturan dan percabangannya (legal ramification) pengambilan kebijakan dan memutuskan siapa yang akan ditugaskan dalam kasus yang melibatkan yurisdiksi yang tumpang tindih. Kunjungan tamu negara sahabat, misalnya harus melakukan koordinasi diantara organisasi sipil dan otoritas lokal, negara bagian atau federal. Hal ini memerlukan perencanaan jangka panjang agar cukup waktu untuk bersiap-siap menghadapi masalah atau situasi yang mungkin terjadi. Koordinasi acapkali menjadi bagian manajemen Kepolisian yang mendasar tapi terabaikan.

Reporting, pelaporan terkait berkenaan dengan menjaga arus informasi ke atas, ke bawah dan lintas organisasi. Hal ini juga mencakup pelaporan kepada atasan bidang politik organisasi kepolisian, Gubernur, eksekutif country dan sejenisnya. Laporan tahunan ke masyarakat dan DPR telah menjadi alat utama untuk mengkomunikasikan tujuan dan keberhasilan organisasi.

Kalau ingin berhasil guna, komunikasi tidak harus satu arah saja, komunikasi mengalir secara terorganisir melalui matriks tiga dimensi keseluruh atasan dan bawahan organisasi. Yang semakin penting bagi manajemen modern adalah lateral ke para spesialis dan staf.

Buggeting, pembiayaan mencakup mempersiapkan perencanaan keuangan tahunan dan berfungsi di dalam batas-batas perencanaan tersebut. Pembiayaan adalah bentuk perencanaan fiskal yang mengharuskan tersedianya pengetahuan tentang jenis model anggaran yang ada. Contoh spesifik adalah Planned Program Budgeting System (PPBS), Line item budgeting dan Zero based budgeting.

Dalam hal ini ada tekanan yang semakin besar terhadap Departemen Kepolisian berkenaan dengan akuntabilitas fiskal dan keahlian dalam bidang stabilitas, analisis dan laporan keuangan. Mengoperasikan badan penegak hukum hampir sama dengan menjalankan korporasi tetapi dengan menggunakan dana publik bukan swasta. Sebagian besar korporasi swasta mempekerjakan jumlah yang memadai manajer eksekutif dengan gaji yang cukup tinggi, pakar dan staf keuangan yang berkualitas. Tetapi biasanya dalam korporasi publik keahlian seperti itu sangat kecil, termasuk instansi kepolisian. Itulah sebabnya administrator Polisi sangat memerlukan pelatihan tentang finansial dengan jumlah yang lebih banyak.

Supervisi, jabatan pengawas pada organisasi kepolisian adalah sebuah mata rantai (link) yang vital antara pelaksana dan pihak manajemen. Masalahnya adalah pegawai yang dipromosikan untuk jabatan pengawas acapkali belum melakukan transisi berpikir sebagai pengawas. Alasan mendasar mengenai hal ini adalah promosi melalui ujian pelayanan sipil (civil service ex-aminations) dan kurangnya pelatihan dan resosialisasi tugas yang sesuai dengan

52 Edisi Desember 2019

peran pengawas.Karena kekurangan ini pegawai yang baru diangkat menjadi

pengawas akan sukar melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pengawas dibanding dengan tugas polisi lainnya. Dengan resosialisasi yang baik dalam peran manajemen, petugas itu akan dapat menjadi pengawas yang baik. Hal ini membutuhkan perencanaan, waktu dan biaya. Karena pengawas adalah anggota utama tim total managemen, perannya sangat berarti.

Pengawas acapkali ditunjuk untuk membuka slot pada bagan organisasi tanpa mengacu kepada pelatihan sebelumnya. Pelatihan yang dibutuhkan atau pengetahuan petugas yang sangat dipromosikan tersebut.

Di sebuah Departemen Kepolisian berskala kecil kurang dari 10 petugas, peranan pengawas lebih mendekati peran petugas Polisi karena pengawas acapkali berbagi banyak tugas dengan para pelaksana. Karena peranannya kurang terfokus dibandingkan perannya di Departemen Kepolisian besar, peran pengawas departemen kepolisian kecil patut dipertimbangkan secara khusus.

Masalah yang paling umum bagi pengawas dan kepala kepolisian di satuan berskala kecil adalah bahwa mereka dapat membangun hubungan pribadi yang dapat mempersulit pendelegasian atau penugasan secara adil dan tidak berat sebelah tanpa terkecuali. Dalam promosi acapkali menyebabkan perasaan tertekan karena seseorang biasanya akan marah karena merasa diabaikan.

Para administrator dan pengawas Polisi di departemen kepolisian berskala kecil memang mengakui terpaksa bersikap generalis, hanya karena mereka merupakan satu-satunya orang yang bertugas selama suatu giliran khusus. Oleh karena itu Kepala Polisi dapat melaksanakan kegiatan rutin polisi sehari-hari dan mengurus tugas administratif. Di lain pihak, ada manfaat nyata dengan ketiadaan rantai komando yang komplek, khususnya dalam bidang komunikasi dan pengawas langsung.

Tanpa memperhatikan faktor besar Departemen Kepolisian yang ada, peranan administrator puncak membutuhkan keterampilan konseptual, kemampuan berkomunikasi dengan seluruh bidang kemasyarakatan. Dengan demikian karena sangat alamiah kehadirannya di masyarakat, Departemen Kepolisian berskala kecil sesungguhnya mempraktekkan Community Policing mengenal kegiatan hampir setiap orang di masyarakat sampai memberikan berbagai pelayanan kepolisian.

Kajian Teoritik tentang Reformasi BirokrasiReformasi pada hakekatnya adalah sebuah perubahan (change),

improvement atau penyesuaian (eufimisme) ke arah yang lebih baik atau responsive terhadap situasi dan kondisi. Reformasi birokrasi artinya sebuah perubahan organisasi birokrasi agar responsive dan mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan organisasi atau tuntutan publik. Arah reformasi birokrasi, yakni terwujudnya efisiensi, efektivitas, responsibilitas, good governance dan clean goverment.

Reformasi birokrasi ialah suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan kebiasaan atau keberadaan yang telah lama (Khan,1981). Reformasi adalah suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik, sikap, perilaku birokrat untuk mencapai efektifitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional (Quah,1976).

Sedangkan Samonte (1979) menjelaskan bahwa reformasi merupakan sebuah perubahan. Atau inovasi-inovasi dengan

penggunaan perencanaan dan adopsi untuk membuat sistem administrasi sebagai agen. Atau badan yang lebih efektif untuk perubahan sosial, politik, keadilan sosial, dan ekonomi, perubahan dimaksud semuanya dalam kerangka proses akselerasi pembangunan nasional dan pembangunan bangsa.

Selain itu Riswanda Imawan (dalam Kunarto, 1999) menandaskan bahwa reformasi berhubungan dengan upaya menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan tanpa membongkar fondasi yang ada. Reformasi berbeda dengan revolusi yang bermakna membongkar semuanya lalu membangun sesuatu yang baru sama sekali.

Berdasarkan landasan teoritis di atas Warsito Utomo (dalam Kunarto, 1999), menjelaskan, reformasi birokrasi hakekatnya berkaitan dengan empat aspek. Yaitu pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan perubahan sistematik dalam kerangka yang lebih luas dan harus direncanakan secara matang. Ketiga, tujuan reformasi untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Serta keempat, reformasi harus dapat menanggulangi perubahan lingkungan.

Dengan demikian maka ruang lingkup reformasi tidak terbatas pada proses dan prosedur atau administrasi. Tetapi juga perubahan struktur organisasi, sikap, tingkah laku birokrat dan pejabat publik, mind set dan cultur set birokrasi publik. Tujuannya agar mampu menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan, responsive, akuntabel, transparan, efisien, efektif dan terwujud good governance dan good goverment.

Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun 1998 telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk mewujudkan hal itu, telah ditetapkan beberapa Tap MPR RI. Di antaranya, Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional dan Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain itu, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 yang mengamanatkan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional termasuk reformasi birokrasi dan membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih, serta Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi,

53Edisi Desember 2019

dan nepotisme, penegakan dan kepastian hukum, serta reformasi birokrasi dengan penekanan pada kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara.

Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, program utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi.

Dengan demikian, reformasi birokrasi gelombang pertama pada dasarnya secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.

Sementara itu, pada pidato kenegaraan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI di depan Sidang DPR RI tanggal 14 Agustus 2009. Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk lima tahun mendatang. Yaitu melaksanakan reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi birokrasi. Reformasi gelombang kedua bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan rekor krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.

Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju. Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21.

Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan. Di antaranya mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan, menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy. Selain itu, meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi dan menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.

Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma. Selain itu, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional. Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih (overlapping) antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Selain itu, reformasi birokrasi pun perlu menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah. Dan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir diluar kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box thinking). Perubahan paradigma (a new paradigm shift), dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living document.

Grand Design Reformasi Birokrasi adalah rancangan induk yang berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010- 2025. Sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ketahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas.

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar dapat memiliki sifat fleksibilitas sebagai suatu living document. Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor :PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dan Permenpan Nomor : PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian / Lembaga / Pemerintah Daerah.

Tabel. 2Perbandingan Reformasi Birokrasi Gelombang I dan Gelombang II

Arah Kebijakan Reformasi BirokrasiArah kebijakan reformasi birokrasi adalah pembangunan aparatur

negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata

54 Edisi Desember 2019

pemerintahan yang baik. Baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).Kemudian, kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi (Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014).

Visi Reformasi Birokrasi. Visi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Visi tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu “pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke 21”, melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.

Sedangkan reformasi birokrasi memiliki beberapa misi, antara lain, membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kerja pemerintahan yang baik. Selain itu, melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set dan mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Sertamengelola sengketa administratif secara efektif dan efisien.

Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi BirokrasiPola pikir pencapaian visi reformasi birokrasi dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 1Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi Birokrasi

Penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L dan Pemda. Manajemen pemerintahan dan manajemen SDM aparatur yang efektif, serta sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing K/L dan Pemda akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.

Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat dan kualitas pengelolaan kebijakan dan

pelayanan publik meningkat. Selain itu, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil-hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat. Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kondisi ini akan menjadi profil birokrasi yang diharapkan.

Kondisi tersebut di atas akan dicapai melalui berbagai upaya, antara lain dengan penerapan program quick wins. Yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum awal yang positif dan meningkatkan kepercayaan instansi untuk melakukan sesuatu perubahan yang berat. Penyelesaian sesuatu yang berat merupakan inti dari suatu program besar. Quickwins dilakukan di awal dan dapat berupa quick wins untuk penataan organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan penataan budaya kerja aparatur.

Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi harus disertai monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik dan melembaga. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi bila terjadi kesalahan/penyimpangan arah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.

Selain itu, perlu juga didukung oleh penerapan manajemen perubahan (change management) agar tidak terjadi hambatan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi dan penerapan knowledge management agar terjadi suatu proses pembelajaran dan tukar pengalaman yang efektif bagi K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Serta penegakan hukum agar terwujud batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan masing-masing pihak.

Tujuan Reformasi BirokrasiReformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi

pemerintah yang profesional. Dimana karakteristik harus adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, seperti yang dikemukakan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3Area Perubahan dan Hasil Yang Diharapkan

55Edisi Desember 2019

Sasaran reformasi birokrasi adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dan meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi adalah outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tata laksana, peraturan perundang-undangan. Selain itu peningkatan manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (cultureset) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.

Terukur, pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya. Efisien, pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional. Efektif, reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.

Realistik, outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal. Konsisten, reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu,dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai. Sinergi, pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antar kegiatan di setiap instansi.

Inovatif, reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kepatuhan, reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimonitor, Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.

Sasaran Lima Tahunan Reformasi Birokrasi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 menetapkan tahapan pembangunan yang meliputi periode RPJMN I (2005-2009), periode RPJMN II (2010-2014), periode RPJMN III (2015-2019), dan periode RPJMN IV (2020-2024). Sasaran lima tahunan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi ini mengacu pada periodisasi tahapan pembangunan sebagaimana tercantum dalam RPJPN 2005-2025.

Sasaran lima tahun pertama (2010-2014). Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Sasaran lima tahun kedua (2015-2019). Selain implementasi hasil-hasil yang sudah dicapai pada lima tahun pertama, pada lima tahun

kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama.

Sasaran lima tahun ketiga (2020-2024). Pada periode lima tahun ketiga, reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada lima tahun kedua.

Gambar 2Tahapan Pencapaian Sasaran Lima Tahunan

Strategi Pelaksanaan. Langkah-langkah strategi pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi tingkat pelaksanaan, pelaksana program, dan metode pelaksanaan. Tingkat Pelaksanaan, pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan melalui tiga tingkat pelaksanaan, sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4Tingkat Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Pelaksana

56 Edisi Desember 2019

Gambar 3Pengorganisasian Reformasi Birokrasi

Peran Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional antara lain mengarahkan kebijakan, strategi, dan standar bagi pelaksanaan reformasi birokrasi dan kinerja operasi birokrasi. Peran Tim Reformasi Birokrasi Nasional antara lain merumuskan kebijakan dan strategi operasional reformasi birokrasi. Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional bertanggung jawab kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional. Tim Reformasi Birokrasi Nasional dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Tim Independen.

Sedangkan Tim Quality Assurance bertugas dalam memastikan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dalam pelaksanaan tugasnya Tim Independen dan Tim Quality Assurance bertanggung jawab kepada Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Tim Reformasi Birokrasi K/L dan Pemda berperan sebagai penggerak, pelaksana dan pengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing K/L dan Pemda. Pengorganisasian pelaksana reformasi birokrasi dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5Pelaksana Reformasi Birokrasi

Program: strategi pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan melalui program-program yang berorientasi pada hasil (outcomes oriented program). Program-program tersebut dilaksanakan sesuai dengan tingkat pelaksanaannya sebagaimana tercantum pada tabel di bawah ini.

Tabel 6Perbandingan Program Antar tingkat Pelaksanaan

Metode Pelaksanaan: pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan dengan metode sebagaimana dikemukakan pada gambar di bawah ini.

Gambar 4Metode Pelaksanaan

Peraturan Menteri PAN No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014

Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi dasar bagi sasaran tahun berikutnya, begitu pun sasaran tahun-tahun berikutnya mengacu pada sasaran tahun sebelumnya.

Keterkaitan Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi adalah sebagai berikut.

57Edisi Desember 2019

Gambar 5Keterkaitan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan Road Map Reformasi Birokrasi 2010 –2014, Road Map Reformasi Birokrasi 2015–2019, dan Road Map Reformasi Bi-rokrasi 2020–2024

Tujuan, road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) bertujuan untuk memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda) agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan.

Ruang lingkup RMRB 2010-2014 mencakup tiga hal. Yaitu penguatan birokrasi Pemerintah. Terwujudnya penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

Tingkat Pelaksanaan, ada dua tingkat pelaksanaan, yaitu tingkat nasional dan tingkat instansional. Pada tingkat nasional, pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam tingkat pelaksanaan makro dan meso. Tingkat pelaksana makro menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi.

Sementara tingkat pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro, dan mengkoordinasikan (mendorong dan mengawal) pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat K/L dan Pemda. Pada tingkat instansional (disebut tingkat pelaksanaan mikro) menyangkut implementasi kebijakan/program reformasi birokrasi sebagaimana digariskan secara nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program, program-program berorientasi hasil (outcomes oriented programs), baik pada tingkat makro, meso, maupun

tingkat mikro sebagaimana dikemukakan pada tabel berikut ini.

Tabel 7Program berorientasi hasil pada tingkat makro, meso dan mikro

Ukuran keberhasilan: mengukur keberhasilan reformasi birokrasi dilakukan antara lain melalui pencapaian sasaran reformasi birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025, dengan indikator kinerja utama (key performance indicators), pada tabel berikut ini.

Tabel 8Sasaran dan indikator keberhasilan Reformasi Birokrasi

Pengorganisasian Reformasi Birokrasi Tingkat NasionalPengorganisasianTingkat Nasional: Dalam rangka meningkatkan

efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi nasional, dibentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) melalui Keppres No. 23 Tahun 2010 tentang Perubahan Keppres No. 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN). KPRBN diketuai oleh Wakil Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. TRBN diketuai oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan bertanggung jawab kepada Ketua KPRBN.

Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dibantu oleh Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Kedua tim ini berperan antara lain melakukan monitoring dan evaluasi serta memastikan pelaksanaan reformasi birokrasi. Sedangkan TRBN dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN). Untuk tingkat K/L dan Pemda dibentuk Tim Rerformasi Birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda.

Pengorganisasian Tingkat Kementerian/Lembaga dan

58 Edisi Desember 2019

Pemerintah Daerah. Penanggung jawab reformasi birokrasi pada tingkat mikro adalah pimpinan masing-masing K/L dan Pemda. Pelaksanaan reformasi birokrasi untuk Periode 2010-2014 berpedoman pada GDRB 2010-2025, RMRB 2010-2014, dan berbagai kebijakan pelaksanaannya dengan memperhatikan karakteristik masing-masing instansi yang dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan berkelanjutan. Organisasi Tim Reformasi Birokrasi tingkat K/L dan Pemda terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Ketua Tim Pengarah adalah pimpinan K/L dan Pemda, sedangkan anggota tim pengarah dipilih dari pejabat-pejabat kunci untuk memastikan komitmen pimpinan tertinggi terhadap upaya reformasi birokrasi. Sementara tim pelaksana ditetapkan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya dalam mengimplementasikan program reformasi birokrasi pada masing-masing instansi pemerintah.

Tahapan dan Program pelaksanaan Reformasi BirokrasiPelaksanaan Reformasi Birokrasi 2010-2014 Pada Tingkat

Mikro. Program Manajemen Perubahan: program ini bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja didalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran reformasi birokrasi.

Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya komitmen pimpinan dan pegawai K/L dan Pemda dalam melakukan reformasi birokrasi dan terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja K/L dan Pemda serta menurunnya risiko kegagalan yang disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan.

Program Penataan Peraturan Perundang-undangan: program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah menurunnya tumpang tindih dan disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L dan Pemda dan meningkatnya efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan K/L dan Pemda.

Program Penataan dan Penguatan Organisasi: program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi K/L dan Pemda secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing. Sehingga organisasi K/L dan Pemda menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi internal K/L dan Pemda dan meningkatnya kapasitas K/L dan Pemda dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi.

Program Penataan Tatalaksana: Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, dan terukur pada masing-masing K/L. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda. Selain itu, meningkatnya efisiensi dan efektivitas proses manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda dan meningkatnya kinerja di K/L dan Pemda.

Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur: Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan. Serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang

sepadan. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya ketaatan terhadap pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda dan meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda serta meningkatnya disiplin SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda. Disamping itu, meningkatnya efektivitas manajemen SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda dan meningkatnya profesionalisme SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Pengawasan: Program ini bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara oleh masing-masing K/L dan Pemda. Kumudian meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda, meningkatnya status opini BPK terhadap pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda dan menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang pada masing-masing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja: Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kinerja K/L dan Pemda dan meningkatnya akuntabilitas K/L dan Pemda.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik: Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masing-masing K/L dan Pemda sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau) pada K/L dan Pemda. Selain itu, meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan internasional pada K/L dan Pemda dan meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing K/L dan Pemda.

Program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan: Program ini bertujuan untuk menjamin agar pelaksanaan reformasi birokrasi dijalankan sesuai dengan ketentuan dan target yang ditetapkan dalam road map K/L dan Pemda. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah memberikan peringatan dini tentang resiko kegagalan pencapaian target yang ditetapkan. Kegiatan-kegiatan pada tingkat pelaksanaan mikro tersebut, perlu memperhatikan setiap K/L dan Pemda pada dasarnya memiliki kemajuan yang berbeda. Ada K/L dan Pemda yang sudah melaksanakan sebagian program reformasi birokrasi, tetapi ada pula K/L dan Pemda yang belum melaksanakan program reformasi birokrasi. Kemudian, tahun sebagai awal dimulainya K/L dan Pemda melaksanakan program reformasi birokrasi juga berbeda.

Tunjangan Kinerja: Pemberian tunjangan kinerja berbeda dengan pemberian remunerasi. Tunjangan kinerja merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang telah dicapai oleh seseorang individu pegawai. Kinerja individu pegawai yang dimaksud tentunya harus sejalan dengan kinerja yang hendak dicapai oleh instansinya. Oleh karena itu, tunjangan kinerja individu pegawai dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan Indikator Kinerja Utama. Sementara itu, remunerasi adalah semua bentuk imbalan yang diterima pegawai atas kontribusi yang diberikannya kepada organisasi. Pemberian remunerasi

59Edisi Desember 2019

bersifat fleksibel, yaitu dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dapat berbentuk tunai atau nontunai, dan dapat diberikan secara reguler atau pada waktu-waktu tertentu.

Remunerasi diberikan dalam bentuk gaji pokok. Kemudian tunjangan, meliputi tunjangan jabatan, tunjangan prestasi (insentif), tunjangan biaya hidup (rumah, pangan, dan transportasi sesuai dengan tingkat kemahalan di masing-masing daerah), tunjangan hari raya, dan tunjangan kompensasi pegawai yang ditempatkan di daerah terpencil, daerah konflik, atau mempunyai lingkungan kerja yang tidak nyaman atau berisiko tinggi. Imbalan lainnya, seperti jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan pensiun.

Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja K/L dan Pemda dan equal pay for equal work yaitu pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja.

Kebijakan dan alokasi anggaran untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja bagi suatu K/L harus disetujui oleh KPRBN dan DPR (komisi terkait) serta diajukan melalui Menteri Keuangan RI. Bila suatu K/L tidak memerlukan tambahan pagu untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja, namun memerlukan realokasi anggaran, perlu mendapat persetujuan Komisi DPR terkait. Bila suatu K/L memerlukan tambahan pagu untuk reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja, pagu tersebut perlu mendapat persetujuan DPR (Badan Anggaran).

Hasil penilaian pelaksanaan program dan kegiatan reformasi birokrasi K/L yang dilakukan Tim RBN digunakan oleh Menteri Keuangan sebagai bahan pertimbangan dalam perhitungan besaran tunjangan kinerja dan digunakan dalam proses penetapan persetujuan besaran tunjangan kinerja dalam Rapat KPRBN. Selanjutnya, besaran tunjangan kinerja setelah mendapatkan persetujuan DPR ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Penetapan tunjangan kinerja pegawai negeri di lingkungan pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan hasil penilaian pelaksanaan program dan kegiatan reformasi birokrasi pemerintah daerah oleh Tim RBN dengan persetujuan KPRBN.

Pemberian Tunjangan Kinerja: Tunjangan kinerja dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan penilaian terhadap dokumen usulan dan verifikasi lapangan oleh UPRBN, hasil penilaian dan verifikasi disampaikan kepada TRBN untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan KPRBN. Penetapan pemberian tunjangan kinerja terutama didasarkan pada : (1) kesiapan K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan. dan (2) dampak potensial strategis dari pelaksanaan reformasi birokrasi K/L dan Pemda.

Pemberian Tambahan/Pengurangan Anggaran Tunjangan Kinerja: Tambahan/pengurangan tunjangan kinerja (reward and punishment) dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi K/L dan Pemda oleh Tim Independen. UPRBN memproses hasil monitoring dan evaluasi, serta masukan Tim Quality Assurance kemudian disampaikan kepada TRBN untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan KPRBN. Penetapan pemberian tambahan/pengurangan anggaran tunjangan kinerja terutama didasarkan hasil evaluasi dengan fokus pertimbangan pada kemajuan K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan dan dampak strategis dari pelaksanaan reformasi birokrasi K/L dan Pemda.

Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan Refor-masi Birokrasi

Monitoring: minimal dilakukan setiap enam bulan sekali, Tim Independen melakukan monitoring pelaksanaan reformasi birokrasi pada masing-masing instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hasil monitoring disusun dalam bentuk laporan yang disampaikan kepada KPRBN

Evaluasi: untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi, setahun sekali Tim Independen melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi pada masing-masing instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Evaluasi dilakukan paling tidak berdasarkan program dan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh masing-masing K/L dan Pemda sebagaimana diuraikan dalam dokumen RMRB ini. Hasil evaluasi disusun dalam bentuk laporan dan disampaikan kepada KPRBN, kemudian dibahas dalam rapat KPRBN. Berdasarkan hasil evaluasi, KPRBN memberikan saran/rekomendasi berkaitan dengan reward dan punishment sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaporan: tim Independen menyusun laporan konsolidasi hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada masing-masing K/L dan Pemda. Tim Independen menyampaikan laporan konsolidasi dimaksud kepada KPRBN. Sementara itu, Tim Quality Assurance menyusun laporan hasil pelaksanaan penjaminan mutu pelaksanaan reformasi birokrasi dan disampaikan kepada KPRBN.

Reformasi Birokrasi PolriKiranya perlu digaris bawahi bahwa pola pikir bangsa Indonesia,

dewasa ini dalam proses perubahan yang lazim disebut sebagai “mengalami reformasi” aksi reformasi ini diyakini belum dicermati secara tajam oleh Polri. Sehingga prediksi jauh kedepan belum mampu diletakkan dalam blue print dan rencana tindakan yang jelas. Reformasi total dalam tubuh Polri memang harus didasari dan diawali dengan perubahan paradigma. Jangan harap ada reformasi kalau paradigma lama masih hidup. Paradigma baru itu intinya memang perubahan sikap, cara berpikir dan tindakan dari penguasa menjadi abdi, yang apabila diproyeksikan melalui filter organisatoris prosedural, maka akan terbias spektrum pelaksanaan tugas yang berbeda dan mencakup semua bidang kehidupan dan penghidupan Polri.

Sistem pendidikan harus berubah, sistem operasional harus berubah, pola pikir yang selalu top down harus berubah dengan lebih besar memberi ruang gerak bottom up ruang gerak kepada satuan wilayah terutama Polsek sebagai ujung tombak pelayanan Polri yang memiliki porsi terbesar untuk mendobrak tatanan tugas dengan mengutamakan pencegahan dan ketidak tertiban sebagai inti terwujudnya masyarakat yang tata-tentram-kerta-raharja.

Dalam iklim demokratis itu rakyat lalu dapat menuntut dan bertanya “apakah Polri sudah memberikan karyanya sepadan dengan uang yang diberikan oleh rakyat? Apa buktinya? Bagaimana mengukur dan menilainya? Bagaimana meningkatkannya? Disini rakyat tidak akan puas dijawab dengan angka kriminalitas.

Mereka pasti menginginkan rasa aman yang senyatanya. Bukan angka kejahatan yang turun saja. Rasa aman hanya terwujud kalau pencegahan kejahatan dan kualitas kehidupan masyarakat yang terbebas dari ketidak tertiban benar-benar dirasakan atau dapat diukur dengan standar-standar sosiologis yang bernuansa kesejahteraan, bersama ini terpapar langkah-langkah Negara dalam

60 Edisi Desember 2019

melakukan Reformasi Birokrasi Polri, antara lain ;

Peraturan Presiden 52 tahun 2010 Landasan Teori Susu-nan Organisasi dan Tata kerja (SOTK) Polri

Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri, adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. (Pasal 1 Perpres no. 52 tahun 2010)

Sedangkan menurut Pasal 4 Perpres no. 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Seperti unsur pimpinan terdiri Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan mencakup Inspektorat Pengawasan Umum, Asisten Kapolri Bidang Operasi dan Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran serta Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia.

Kemudian Asisten Kapolri Bidang Sarana dan Prasarana, Divisi Profesi dan Pengamanan, Divisi Hukum, Divisi Hubungan Masyarakat, Divisi Hubungan Internasional dan Divisi Teknologi Informasi Kepolisian serta Staf Ahli Kapolri. Unsur Pelaksana Tugas Pokok mencakup Badan Intelijen Keamanan, Badan Pemelihara Keamanan, Badan Reserse Kriminal, Korps Lalu Lintas dan Korps Brigade Mobil serta Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Unsur Pendukung mencakup Lembaga Pendidikan Kepolisian, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Keuangan, Pusat Kedokteran dan Kesehatan dan Pusat Sejarah.

Keputusan Kapolri No. 346 Tahun 2011 tentang Penge-sahan Road Map Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2011-2014

Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2011-2014 dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, serta Keputusan Kapolri Nomor: Kep/346/VI/2011 tanggal 21 Juni 2011 tentang Pengesahan Road Map Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2011-2014. Road map ini meliputi Program Penataan dan Penguatan Organisasi, Penataan Tata Laksana, Penataan Peraturan Perundang-undangan dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Selain itu, Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, Manajemen Perubahan, Penguatan Pengawasan dan Penguatan Akuntabilitas Kinerja serta Program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan, 31 Kegiatan, 171 Rencana Aksi dan 17 Quick Wins.

Pelaksanaan 9 (sembilan) program Reformasi Birokrasi Polri tersebut tidak lain sebagai penjabaran dan aktualisasi dari 8 (delapan) bidang area perubahan Reformasi Birokrasi Nasional. Yaitu, Organisasi, TataLaksana, Peraturan Perundang-Undangan, SDM Aparatur, Pengawasan, Akuntabilitas, Pelayanan Publik, Mind Set dan Culture Set Aparatur, dengan sasaran akhir mewujudkan aparatur yang bersih dan bebas dari KKN, terwujudnya pelayanan prima dan meningkatnya akuntabiltas kinerja.

Adapun hasil yang telah dicapai adalah Program Penataan dan Penguatan Organisasi. Dalam rangka meningkatkan efesiensi

dan efektifitas organisasi Polri secara proporsional. Maka Polri telah melakukan penataan struktur organisasi yang berorientasi pada Organisasi Pelayanan Publik (PSO) dengan prinsip sebaran pelayanan “Mabes kecil, Polda sedang, Polres Besar dan Polsek kuat,” sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perkap Nomor 21 Tahun 2010 tentang SOTK Mabes Polri. Selain itu Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang SOTK Polda dan Perkap Nomor 23 Tahun 2010 tentang SOTK Polres, sehingga diharapkan dapat meminimalkan terjadinya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi.

Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi maka struktur pada tingkat Polres telah dilengkapi dengan Bagren, Siwas, Sipropam, Subbag Humas, Subbagkum, SPKT, pada tingkat Polsek lengkap dengan 5 (lima) unit fungsi utama yaitu Sabhara, Binmas, Reserse, Intel dan Lantas yang telah didukung dengan Sarpras, SDM dan Anggaran sebagaimana kemampuan keuangan Negara.

Program Penataan Tata Laksana, guna meningkatkan penggunaan teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen. Maka langkah-langkah yang telah dilakukan Polri adalah mengembangkan system manajemen yang didukung IT antara lain LPSE/ E-Proc yang saat ini telah tersebar sd tingkat Polda. Seperti pelayanan publik yang didukung dengan sistem IT diantaranya website humas, NTMC, RTMC, TMC, Sisbinkar, Sispamlu, Sislaphar, Pelayanan Pengaduan 110, SMAP, Piknas. SPPKP (Sistem Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik, E-ADS (Elektronik Aseanapol Database System), SP2HP, pelayanan di bidang Lantas, Jarkom, pengelolaan PID.

Demikian juga dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses manajemen, saat ini sedang disusun Pokja penyusunan Perkap Sistem Manajemen Polri. Manajemen ini antara lain Manajemen Operasional Polri (MOP), Manajemen Program dan Anggaran (MPA), Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), Manajemen Sarana dan Prasarana (MSARPRAS) serta Manajemen Pengawasan (MWAS). Penyusunan HTCK dan ABK pada tingkat Mabes Polri sampai dengan Kewilayahan. Sedangkan untuk meningkatkan kinerja Polri telah disusun sebanyak 20.578 SOP pelaksanaan Tupoksi baik dibidang operasional maupun pembinaan diantaranya Pedoman, Juklak/Juknis. Dengan bekal SOP dapat melindungi anggota, pimpinan dan kesatuan serta masyarakat dalam tugas Polri dilapangan misalnya kasus OKU, Kapolsek gerebeg judi, kasus Cebongan dan lain-lain.

Program Penataan Perundang-Undangan : Telah disusun Pedoman Pengelolaan Peraturan perundang-undangan di lingkungan Polri yaitu Perkap Nomor 26 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Kepolisian, dengan tataran kewenangan sampai tingkat kewilayahan mulai dari Peraturan Kapolri, Peraturan Kapolda, Peraturan Kasatfung dan Peraturan Kapolres sehingga dapat mengimbangi kebijakan ditingkat daerah melalui Perda dengan Pergub dan Per Bupati. Saat ini Polri melakukan mapping terhadap 21 peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, disharmonisasi dan tidak sinkron, melalui pembahasan Tim Pokja harmonisasi dan sinkronisasi.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik: Langkah-langkah yang telah dilakukan Polri guna meningkatkan kualitas pelayanan public yang lebih cepat, lebih murah, lebih aman dan lebih mudah dijangkau yaitu pelayanan SKCK, perijinan kegiatan masyarakat, perijinan Senpi dan Handak, pelayanan SIM Keliling, SIM Corner, Samsat Drive Thru, Samsat Door To Door, Payment Point, pelayanan BPKB, Satpas, pelayanan Turjawali (Sabhara

61Edisi Desember 2019

dan Lantas), Dalmas, TPTKP, Tipiring, Bansar, Patroli Perairan, pelayanan penjinakan bom dan pengaduan/complain masyarakat, yang dilengkapi dengan SOP.

Beberapa penghargaan unit pelayanan yang diterima Polri antara lain; pelayanan SSB mendapat Piala dan Piagam Citra Pelayanan Prima yang diselenggarakan oleh Presiden-Kemenpan-RB dan Sertifikasi ISO 9001:2000 dan ISO 9001:2008 serta penghargaan lomba Open Government Indonesia (OGI). Hasil survey yang diselenggarakan oleh LSI tentang penegakan dan pemberantasan korupsi, Polri memperoleh indek 39,3 sedangkan Jaksa 33,2 dan KPK 38,5.

Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur: Untuk meningkatkan profesionalisme SDM Polri, telah dilakukan langkah-langkah transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM. Polri melalui menyusun pedoman Rekrutmen Tamtama, Brigadir, SIPSS, Akpol dan PNS dan telah memperoleh Sertifikasi Manajemen Muti ISO 9001:2008; penyusunan Analisa dan Verifikasi Jabatan, Pedoman Evaluasi Jabatan dan Peringkat Jabatan, Standar Kompetensi Jabatan, Assesment Individu yang dilaksanakan oleh Assesment Center.

Bahkan dalam rangka Uji Kompetensi Lelang Jabatan di Pemprop DKI, Assesment Center Polri telah diapresiasi oleh Gubernur Jokowi dan dalam rencana Aksi PPK Polri telah ditetapkan menjadi salah satu rencana aksi yaitu penguatan proses pengangkatan pejabat yang menempati jabatan strategis dan penguatan proses penentuan peserta Sespim Polri. Kegiatan yang juga dilaksanakan guna penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Polri yaitu penerapan SMK (Sistem Penilaian Kinerja), Pengembangan Data Base Pegawai secara online, Pengembangan Diklat Pegawai Berbasis Kompetensi sedangkan untuk meningkatkan disiplin anggota diterapkan Elektronisasi Absensi Pegawai. Menjelang purna bakti disiapkan program pelatihan berbagai ketrampilan yang diselenggarakan oleh Biro Perawatan Personil.

Program Manajemen Perubahan: Dalam rangka meningkatkan komitmen melakukan reformasi birokrasi, telah diglorifikasikan perubahan Mind Set dan Culture Set. Diantaranya penggunaan PIN Anti KKN, Anti Kekerasan dan Polri yang Melayani. Maklumat Komitmen Pimpinan Polri dan Anggota; pelatihan ESQ, NAC+Polri, Outbond, Giat Kampanye Pamflet, Booklet, Running Text , Banner. Film, Lagu, Perkap Sumpah Jabatan/Pakta Integritas, Do’a, pembentukan Tim Manajemen Perubahan di tingkat Mabes Polri, Polda dan Polres. Pendistribusian Dokumen Strategi Manajemen Perubahan, yang dilaksanakan dalam 3 (tiga) strategi yaitu Strategi Manajemen Perubahan, Strategi Komunikasi dan Strategi Diklat; memaknai bahwa pimpinan sebagai Leader yang memberikan ketauladanan, Melayani, Konsultan, Solutif, Penjamin Kualitas, Anti KKN dan Gratifikasi, Agent Of Change, Role Model dan motor Komitmen.

Kegiatan lainnya dengan diterbitkan Perkap Kode Etik dimana salah satu pasal berbunyi anggota berhak dan wajib menolak perintah atasan karena alasan tidak sesuai dengan norma hukum dan Perkap tentang Whistle Blower. Menguatkan Polsek sebagai garda terdepan dengan memberikan motivasi bahwa Kapolsek adalah sebagai Chief Of Police, sama dengan Kapolres, Kapolda dan Kapolri. Guna menurunkan resiko kegagalan yang disebabkan resistensi terhadap perubahan maka reformasi dilaksanakan secara bertahap dengan opsi sebagai Champion (sangat mendukung), Floating Voter (antara mendukung dan resisten sama), dan Blocker (tidak mendukung sama sekali).

Program Penguatan Pengawasan: Untuk menurunkan tingkat penyalahgunaan wewenang maka pada tingkat Polres dan Polsek telah dibentuk Siwas dan Sie Propam sedangkan tingkat Polda dan Bareskrim Polri oleh Biro Wassidik yang mekanismenya diatur dalam Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP) dengan terobosan “Bawahan Mengawasi Atasan”. Sehingga dalam rangka meningkatkan kemampuan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) telah dilaksanakan Diklat Auditor dan Investigasi. Disamping itu untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan Negara dilakukan kerjasama dengan BPK dan BPKP dan hasil status opini BPK menunjukkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Penjelasan Paragraf (WTP-DPP).

Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja: Guna meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu Perkap Penyusunan LAKIP Polri diharapkan kualitas LAKIP dapat menjadi bahan Evaluasi AKIP; Perkap Evaluasi AKIP Polri, Perkap Sisrenstra Polri : Grand Stretegi, Polri, Renstra Polri, Perkap Penyusunan Renja Polri, penyusunan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) dan Indikator Kinerja Utama (IKU) atau Key Performance Indicator (KPI) serta Perkap Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perwabku Polri. Nilai Akip Polri mencapai 57,42 atau setara “Cc”. Dengan demikian dapat dicapai IPK meningkat, Integritas Pelayanan Publik, Peringkat Kemudahan Berusaha dan Indeks Efektifitas Pemerintah. Guna mendukung program Pemerintah tentang pemberantasan korupsi telah dilaksanakan sosialisasi Pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju WBK dan WBBM serta pembentukan Tim Pokja ZI.

Program Monitoring Dan Evaluasi: Telah dilaksanakan Laporan Semester dan Tahunan secara manual dan saat ini menerapkan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) sesuai dengan Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2012 tentang PMPRB. Hasil Nilai PMPRB 74,25 yang meliputi nilai pencapaian pengungkit dan hasil tanpa survey internal 74,96; nilai survey internal pengungkit 70,43; nilai pencapaian pengungkit dan hasil dengan survey internal 74,25; Nilai pemenuhan target indicator internal 75,30; dan Nilai pemenuhan target indicator ekternal terkait Indikator keberhasilan RB 72,77.

Demikian pencapaian pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri, kiranya dapat memberikan gambaran bagaimana kesungguhan Polri dalam mendukung program Pemerintah untuk mewujudkan program Reformasi Birokrasi Nasional. Sudah tentu dalam pelaksanaannya masih jauh dari sempurna oleh karena itu diperlukan saran dan masukan agar kedepan pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri lebih baik. meilinamabespolri.blogspot.com

Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polsek

Polsek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Perkap 23 tahun 2010 berkedudukan di wilayah kecamatan sesuai dengan daerah hukum masing-masing. Polsek dikelompokkan dalam Tipologi Polsek Tipe Metropolitan, Polsek Tipe Urban dan Polsek Tipe Rural dan Polsek Tipe Prarural.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Polsek menyelenggarakan pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Salam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri sesuai dengan ketentuan peraturan

62 Edisi Desember 2019

perundang-undangan. Selain itu, penyelenggaraan fungsi intelijen di bidang keamanan

meliputi pengumpulan bahan keterangan/informasi untuk keperluan deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning), dalam rangka pencegahan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta pelayanan SKCK, penyelenggaraan Turjawali, pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan penanganan Tipiring serta pengamanan markas dan penyelenggaraan Turjawali dan penanganan kecelakaan lalu lintas guna mewujudkan Kamseltibcarlantas.

Selain itu, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemberian bantuan hukum bagi personel Polsek beserta keluarganya serta penyuluhan hukum pada masyarakat dan pemberdayaan peran serta masyarakat melalui Polmas dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, guna terwujudnya kemitraan serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan penyelenggaraan fungsi kepolisian perairan. Disamping penyelenggaraan administrasi umum dan ketatausahaan dan pengumpulan dan pengolahan data, serta menyajikan informasi dan dokumentasi kegiatan di lingkungan Polsek.

Sedangkan menurut Pasal 80 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Polsek. Unsur pimpinan terdiri Kepala Polsek (Kapolsek) dan Wakil Kepala Polsek (Wakapolsek). Unsur pengawas, Unsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, yaitu Unit Provos. Unsur pelayanan dan pembantu pimpinan terdiri seksi Umum (Sium), Seksi Hukum (Sikum) dan Seksi Hubungan Masyarakat (Sihumas).

Unsur pelaksana tugas pokok mancup SPKT, Unit Intelijen Keamanan (Unit Intelkam), Unit Reserse Kriminal (Unit Reskrim) dan Unit Pembinaan Masyarakat (Unit Binmas). Selain itu, Unit Samapta Bhayangkara (Unit Sabhara), Unit Lalu Lintas (Unit Lantas) dan Unit Polisi Perairan (Unit Polair). Unsur pelaksana tugas Kewilayahan. Unsur pelaksana tugas Kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf (e) yaitu Kepolisian Subsektor (Polsubsektor).

Tugas dan wewenang anggota Polsek dalam Susunan Organisasi Tata Kerja. Kapolsek, Kapolsek merupakan pimpinan Polsek yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kapolres. (pasal 87 ayat 1). Kapolsek bertugas memimpin, membina, mengawasi, mengatur dan mengendalikan satuan organisasi di lingkungan Polsek dan unsur pelaksana kewilayahan dalam jajarannya termasuk kegiatan pengamanan markas dan memberikan saran pertimbangan kepada Kapolres yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya.

Wakapolsek, merupakan unsur pimpinan Polsek yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kapolsek. (Pasal 88 ayat 1). Wakapolsek bertugas membantu Kapolsek dalam melaksanakan tugasnya dengan mengawasi, mengatur, mengendalikan, dan mengkoordinir pelaksanaan tugas seluruh satuan organisasi Polsek, dalam batas kewenangannya memimpin Polsek dalam hal Kapolsek berhalangan dan memberikan saran pertimbangan kepada Kapolsek dalam hal pengambilan keputusan berkaitan dengan tugas pokok Polsek.

Unit Provos, merupakan unsur pengawas yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 90 ayat 1). Unit Provos bertugas melaksanakan pembinaan disiplin, pemeliharaan ketertiban, termasuk pengamanan internal, dalam rangka penegakan disiplin dan kode

etik profesi Polri dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri; (Pasal 90 ayat 2)

Dalam melaksanakan tugas, Unit Provos menyelenggarakan fungsi: (Pasal 90 ayat 3) antara lain pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri, penegakan disiplin dan ketertiban personel Polsek dan pengamanan internal, dalam rangka penegakan disiplin dan kode etik profesi Polri. Selain itu, pelaksanaan pengawasan dan penilaian terhadap personel Polsek yang sedang dan telah menjalankan hukuman disiplin dan kode etik profesi dan pengusulan rehabilitasi personel Polsek yang telah melaksanakan hukuman berdasarkan hasil pengawasan dan penilaian yang dilakukan;

Unit Provos dipimpin oleh Kanit Provos yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 91). Unit Provos dalam melaksanakan tugas dibantu oleh perwira (Pasal 93 huruf a dan b). Tugasnya adalah unit Pengamanan Internal (Unit Paminal), yang bertugas melakukan pengamanan internal dalam rangka penegakan disiplin dan/atau kode etik profesi Polri, pengusulan rehabilitasi personel Polsek yang telah melaksanakan hukuman berdasarkan hasil pengawasan dan penilaian dan melakukan pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri, penegakan disiplin dan ketertiban personel Polsek. Serta pelaksanaan pengawasan dan penilaian terhadap personel Polsek yang sedang dan telah menjalankan hukuman disiplin dan/atau kode etik profesi Polri.

Seksi Umum, unit Sium merupakan unsur staf pembantu pimpinan dan pelayanan yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 95). Sium bertugas menyelenggarakan perencanaan, pelayanan administrasi umum, ketatausahaan dan urusan dalam, pelayanan markas, perawatan tahanan serta pengelolaan barang bukti di lingkungan Polsek.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Sium menyelenggarakan fungsi perencanaan kegiatan, pelayanan administrasi umum serta ketatausahaan dan urusan dalam antara lain kesekretariatan dan kearsipan di lingkungan Polsek dan pelayanan administrasi personel dan sarpras dan pelayanan markas antara lain pelayanan fasilitas kantor, rapat, protokoler untuk upacara, dan urusan dalam di lingkungan di lingkungan Polsek.

Disamping itu, perawatan tahanan dan pengelolaan barang bukti. Sium dipimpin oleh Kasium yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 96). Sium dalam melaksanakan tugas dibantu oleh urusan Perencanaan Administrasi (Urrenmin), yang bertugas melakukan perencanaan kegiatan dan administrasi personel serta sarpras, urusan Tata Urusan Dalam (Urtaud), yang bertugas melakukan pelayanan administrasi umum, ketatausahaan dan urusan dalam, kearsipan, dan pelayanan markas di lingkungan Polsek dan urusan Tahanan dan Barang Bukti (Urtahti), yang bertugas melakukan perawatan tahanan dan pengelolaan barang bukti.

Seksi Hukum, unit Sikum merupakan unsur pelayanan dan pembantu pimpinan yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 98). Sikum bertugas memberikan pelayanan bantuan hukum, pendapat dan saran hukum, penyuluhan hukum serta pembinaan hukum di lingkungan Polsek. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Sikum menyelenggarakan fungsi

63Edisi Desember 2019

pemberian pelayanan bantuan hukum kepada kesatuan dan personel Polsek beserta keluarganya. Kemudian, pemberian pendapat dan saran hukum dan penyuluhan hukum kepada personel Polsek dan masyarakat serta pembinaan hukum di lingkungan Polsek.

Sikum dipimpin oleh Kasikum yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 99). Sikum dalam melaksanakan tugas dibantu Sub Seksi Bantuan Hukum (Subsibankum), yang bertugas memberikan pelayanan bantuan hukum kepada kesatuan dan personel Polsek beserta keluarganya dan Sub Seksi Penerapan Hukum (Subsirapkum), yang bertugas memberikan pendapat dan saran hukum, pembinaan serta penyuluhan hukum.

Seksi Hubungan Masyarakat, unit Sihumas merupakan unsur pelayanan dan pembantu pimpinan yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 102). Sihumas bertugas mengumpulkan, mengolah data dan menyajikan informasi serta dokumentasi yang berkaitan dengan tugas Polsek. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Sihumas menyelenggarakan fungsi pengumpulan dan pengolahan data serta peliputan dan dokumentasi kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polsek dan pengelolaan dan penyajian informasi sebagai bahan publikasi kegiatan Polsek.

Sihumas dipimpin oleh Kasihumas yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 103). Sihumas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Sub Seksi Dokumentasi dan Peliputan (Subsidokliput), yang bertugas mendokumentasikan dan meliput informasi yang berkaitan dengan tugas Polsek dan Sub Seksi Publikasi (Subsipublikasi), yang bertugas melaksanakan pengelolaan informasi dan mempublikasikan informasi kegiatan yang berkaitan dengan penyampaian berita di lingkungan Polsek.

Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), unit SPKT merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 106). SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan informasi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SPKT menyelenggarakan fungsi pelayanan kepolisian kepada masyarakat secara terpadu, antara lain dalam bentuk Laporan Polisi (LP), Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), dan Surat Izin Keramaian.

Kemudian, pengkoordinasian dan pemberian bantuan serta pertolongan, antara lain Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP), Turjawali, dan pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah dan pelayanan masyarakat melalui surat dan alat komunikasi, antara lain telepon, pesan singkat, faksimile, jejaring sosial (internet). Selanjutnya, pelayanan informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penyiapan registrasi pelaporan, penyusunan dan penyampaian laporan harian kepada Kapolsek.

Unit Intelkam, unit Intelkam merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 108). Unit intelkam bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen di bidang keamanan meliputi pengumpulan bahan keterangan/informasi untuk keperluan deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning). Dalam rangka pencegahan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta pelayanan perizinan

(Pasal 108 ayat 2).Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), Unit intelkam menyelenggarakan fungsi pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan dan produk intelijen di lingkungan Polsek. Fungsi lain pelaksanaan kegiatan operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning), pengembangan jaringan informasi melalui pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen, pengumpulan, penyimpanan, dan pemutakhiran biodata tokoh formal atau informal organisasi sosial, masyarakat, politik, dan pemerintah tingkat kecamatan/kelurahan, pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan lingkungan serta penyusunan produk intelijen dan penyusunan intel dasar, prakiraan intelijen keamanan, dan menyajikan hasil analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian pimpinan. Serta pemberian pelayanan dalam bentuk izin keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya, penerbitan SKCK kepada masyarakat yang memerlukan, serta melakukan pengawasan dan pengamanan atas pelaksanaannya.

Unit intelkam dipimpin oleh Kanit Intelkam yang bertanggung jawab kepada Kapolsek, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 109). Khusus untuk Polsek Tipe Metropolitan, Unit intelkam dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Perwira Unit Operasional (Panitopsnal). Perwira ini bertugas melakukan pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan, dan mengumpulkan, menyimpan, dan melakukan pemutakhiran biodata tokoh formal. Atau informal organisasi sosial, masyarakat, politik, dan pemerintah tingkat kecamatan/kelurahan, pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan lingkungan. Serta penyusunan produk intelijen untuk mendukung kegiatan Polsek, dan pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen.

Kemudian dibantu Perwira Unit Administrasi (Panitmin), bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan, memberikan pelayanan dalam bentuk izin keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya, surat pemberitahuan kegiatan politik, dan SKCK kepada masyarakat yang membutuhkan, dan melakukan pengawasan dan pengamanan atas pelaksanaannya.

Sub Unit (Subnit), yang bertugas melaksanakan tugas-tugas operasional meliputi kegiatan operasional intelijen dasar guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning), pengembangan jaringan informasi dan penyusunan prakiraan intelijen dan menyajikan hasil analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian pimpinan (Pasal 110).

Unit Reskrim, unit Reskrim merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 111. Unit Reskrim bertugas melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi. (Pasal 111 ayat 2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unit Reskrim menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dan pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan.

Unit reskrim dipimpin oleh Kanit Reskrim yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 112). Khusus untuk Polsek Tipe

64 Edisi Desember 2019

Metropolitan, Unit Reskrim dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Perwira Unit Operasional (Panit Opsnal), yang bertugas melakukan pembinaan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, menganalisis kasus beserta penanganannya. Perwira Unit Administrasi (Panit Min), yang bertugas melaksanakan kegiatan administrasi penyidikan dan ketatausahaan.

Kemudian, Sub Unit Identifikasi (Subnit Ident), yang bertugas melakukan identifikasi untuk kepentingan penyidikan dan Sub Unit, yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di daerah hukum Polsek, dan memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 113)

Unit Binmas, unit Binmas merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 114). Unit Binmas bertugas melaksanakan pembinaan masyarakat meliputi kegiatan pemberdayaan Polmas, ketertiban masyarakat dan kegiatan koordinasi dengan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, serta kegiatan kerja sama dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. (Pasal 114 ayat 2).

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unitbinmas menyelenggarakan fungsi pelaksanaan koordinasi dengan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembinaan dan penyuluhan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak; dan pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan Polmas yang meliputi pengembangan kemitraan dan kerja sama antara Polsek dengan masyarakat dan pemerintah tingkat kecamatan/kelurahan serta organisasi non pemerintah.

Unit binmas dipimpin oleh Kanit Binmas yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 115). Khusus untuk Polsek Tipe Metropolitan, Unit Binmas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Perwira Unit Operasional (Panit Opsnal), yang bertugas merencanakan dan menyelenggarakan administrasi kegiatan operasional pembinaan masyarakat.

Kemudian, Sub Unit Pembinaan Perpolisian Masyarakat (Subnit Binpolmas), yang bertugas memberdayakan peran serta masyarakat dan kegiatan Polmas. Meliputi pengembangan kemitraan dan kerja sama antara Polsek dengan masyarakat dan pemerintah tingkat kecamatan/kelurahan serta organisasi non pemerintah dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sub Unit Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Subnit Bintibmas), yang bertugas melakukan pembinaan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak.

Disamping itu, Sub Unit Pembinaan Keamanan Swakarsa (Subnit Binkamsa), yang bertugas melaksanakan koordinasi dan pembinaan teknis terhadap bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. (Pasal 116).

Unit Sabhara, unit Sabhara merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 117). Unit sabhara bertugas melaksanakan Turjawali dan pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, objek vital, TPTKP, penanganan Tipiring, dan pengendalian massa dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pengamanan markas.

(Pasal 117 ayat 2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unit sabhara menyelenggarakan fungsi pelaksanaan tugas Turjawali, penyiapan personel dan peralatan untuk kepentingan tugas patroli, pengamanan unjuk rasa, dan pengendalian massa dan pemeliharaan ketertiban umum berupa penegakan hukum Tipiring dan pengamanan TPTKP. Serta penjagaan dan pengamanan markas.

Unit sabhara dipimpin oleh Kanit Sabhara yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 118). Khusus untuk Polsek Tipe Metropolitan, Unit sabhara dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Perwira Unit Operasional (Panit Opsnal), yang bertugas mengendalikan kegiatan Turjawali, penegakan hukum Tipiring, TPTKP dan pengamanan markas dan Perwira Unit Administrasi (Panitmin), yang bertugas merencanakan dan menyelenggarakan administrasi umum yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan Unit Sabhara. Kemudian, Sub Unit Patroli (Subnit Patroli), yang bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali, penegakkan hukum Tipiring dan TPTKP dan Sub Unit Pengendalian Massa (Subnit Dalmas), yang bertugas melaksanakan pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa serta melaksanakan kegiatan penjagaan dan pengamanan markas.

Unit Lantas, unit Lantas merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 120). Unit lantas bertugas melaksanakan Turjawali bidang lalu lintas, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas. (Pasal 120 ayat 2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unitlantas menyelenggarakan fungsi pembinaan partisipasi masyarakat di bidang lalu lintas melalui kerja sama lintas sektoral dan Dikmaslantas, pelaksanaan Turjawali lalu lintas dalam rangka Kamtibcarlantas serta pelaksanaan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.

Unit Lantas dipimpin oleh Kanit Lantas yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 121). Khusus untuk Polsek Tipe Metropolitan, Unit Lantas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Perwira Unit Operasional (Panit Opsnal), yang bertugas melaksanakan dan mengendalikan Dikmaslantas dan kerja sama di bidang lalu lintas dan Perwira Unit Administrasi (Panitmin) yang bertugas merencanakan dan menyelenggarakan administrasi umum yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan Unit Lantas.

Selain itu, Sub Unit Kecelakaan (Subnit laka), yang bertugas menangani kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan Sub Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan, dan Patroli (Subnit turjawali), yang bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan Kamseltibcarlantas.

Unit Polair, unit Polair merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 123). Unit Polair bertugas menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan, yang meliputi patroli perairan, penegakan hukum di perairan, pembinaan masyarakat pantai dan perairan lainnya. (Pasal 123 ayat 2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Unitpolair menyelenggarakan fungsi pelaksanaan patroli, pengawalan, penegakan hukum di wilayah perairan, dan pembinaan masyarakat pantai di daerah hukum Polsek dan pelaksanaan transportasi kepolisian di perairan. Unit Polair ini dipimpin oleh Kanit Polair yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolsek. (Pasal 124)

65Edisi Desember 2019

Polsubsektor, Polsubsektor merupakan unsur pelaksana tugas kewilayahan yang berada di bawah Kapolsek. (Pasal 125). Polsubsektor bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, dan pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta tugas-tugas Polri lain dalam daerah hukumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 126).

Dalam melaksanakan tugas Polsubsektor berfungsi penyelenggaraan patroli dan pengamanan kegiatan masyarakat dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum Tipiring. Tugas lain, pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan pemberdayaan peran serta masyarakat melalui Polmas dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, guna terwujudnya kemitraan serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Serta penyelenggaraan administrasi umum dan ketatausahaan.

Polsubsektor dipimpin oleh Kapolsubsektor yang bertanggung jawab kepada Kapolsek. (Pasal 128). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126, Polsubsektor dibantu oleh urusan Administrasi (Urmin), yang bertugas menyelenggarakan administrasi umum dan ketatausahaan di lingkungan Polsubsektor dan unit Patroli, yang bertugas melaksanakan patroli dan pengamanan kegiatan masyarakat dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum tindak pidana ringan.

Kemudian, unit Pelayanan Masyarakat (Unit yanmas), yang bertugas memberikan pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Pelayanan ini dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat. Serta melakukan pemberdayaan peran serta masyarakat melalui Polmas dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, guna terwujudnya kemitraan serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian eksplorasi tentang

efektifitas Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polsek di wilayah hukum Republik Indonesia.

Populasi, Sampel dan RespondenPopulasi, sebagai populasi dari penelitian ini adalah Polres,

Polsek, anggota Polri yang bertugas di Polsek. Beberapa instansi/dinas Pemda yang sering berkoordinasi dengan Polsek atau Polres. Dan masyarakat yang pernah berurusan dengan kepolisian, di seluruh wilayah hukum Polda di Indonesia. Adapun populasi jumlah Polsek se Indonesia adalah berjumlah 4,773.

Sampel, sebagai sampelnya adalah Polda Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Metro Jaya, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali dan Kalimantan Selatan dengan total populasi Polsek berjumlah 2,102. Responden anatara lain Kapolres, Kapolsek, Dinas-dinas di Pemda Kabupaten/Kota, yang sering berhubungan dengan Polres/Polsek dan Anggota unit di Polsek serta Masyarakat.

Jumlah Polres, Polsek yang dijadikan objek penelitian, dan responden disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel. 9Sampel dan Responden

Metode Pengumpulan DataData dikumpulkan berdasarkan data sekunder tentang

kecukupan dan kememadaian mencakup personil, dari segi pendidikan umum, pendidikan pembentukan, pendidikan kejuruan kepolisian, pendidikan khusus, dan sebagainya. Kemudian, alat bantu operasional dan ruang kantor, mebeler dan peralatan kantor. Kemudian, profil kasus dan kejadian yang menonjol dan profil demografi, geografi dan topografi.

Wawancara terstruktur dengan Kapolres dan Kapolsek, tentang metodologi penanganan kasus, SOP operasional, manajemen perencanaan dan anggaran operasional. Kuesioner kepada Ka Unit dan anggota Polsek terdiri SPKT, Intelkam, Reskrim, Binmas dan Sabhara dan Polair.

Kepala Dinas di Pemda Kabupaten/Kota atau perwakilannya mencakup Badan Pusat Statistik Kabupaten, Badan Perencanaan Daerah, Badan Penanggulangan Bencana Kab/Kota, Dinas Perijinan Terpadu dan Dinas Pekerjaan Umum dan Kesbang Linmas.

Masyarakat yang pernah berurusan dengan kepolisian, atau masyarakat sebagai stakeholder kepolisian. Observasi langsung pada beberapa Polsek di Polres sampel.

Tabel. 10Polsek-Polsek Yang Dikunjungi

Analisis Data Analisis data dilakukan berdasarkan analisis proposional

untuk menentukan tingkat kinerja kepolisian dan kepuasan masyarakat pada segi perlindungan, pengayoman dan pelayanan

66 Edisi Desember 2019

serta penegakan hukum kepolisian dan efektifitas SOTK Polsek berdasarkan kinerja dan kepuasan. Serta analisis korelasi kinerja dengan kepuasan, untuk menelaah efektifitas SOTK PolsekHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Struktur Responden: berdasarkan jawaban dari kuesioner yang dibagikan kepada responden, diperoleh fakta seperti Responden Kapolsek. Lama menjabat sebagai Kapolsek 33,1%, kurang dari 1 tahun. Kemudian, 15,7% , 1 tahun, 5,1% , 2 tahun dan 7,3% , lebih dari 2 tahun. Sedangkan 38,8% , tidak menjawab sebagian besar (48,8%) responden Kapolsek baru menjabat paling lama 1 tahun. Tetapi semuanya pernah menjadi Kasatfung, dan 15,7% pernah menjadi Kapolsek atau Wakapolsek. Sehingga pengetahuan tentang SOTK Polsek, semua responden Kapolsek sudah cukup memahami.

Responden perwakilan Dinas Pemda, lama bekerja sebagai PNS, 0,7% kurang-3 dari 3 tahun, 7,9% , 3-5 tahun, 6,6% , 5-8 tahun, 7,3% , 8-12 tahun, 35,1% , 12- 17 tahun, 22,5% , 17 – 23 tahun, 9,3% , lebih dari 23 tahun. Sedangkan 9,9% tidak menjawab lama bekerja di Dinas yang bersangkutan 40,1% , kurang dari 3 tahun; 14,2% , 3 – 5 tahun; 9,6% , 5 – 8 tahun; 5,6% , 8 – 12 tahun; 12,6% , 12 – 17 tahun; 5% , 17 – 23 tahun; 1% , lebih dari 23 tahun.

Sedangkan 11,9% tidak menjawab dari segi lama berkerja sebagai PNS dan di Dinas terkait, lebih dari 50% responden perwakilan Dinas Pemda. Memiliki pengalaman lebih dari 3 tahun. Sehingga pengetahuan tentang koordinasi lintas sektoral Pemda – Kepolisian, dapat dianggap cukup memahami.

Responden Anggota Unit di Polsek

Tabel 11Proporsionalitas Struktural Responden Anggota Unit Polsek

Pada tabel tersurat, 80,3% responden anggota Polri yang bertugas di Polsek, sudah berdinas lebih dari 10 tahun, dan 67,8% diantaranya bertugas di Polsek yang bersangkutan, sudah lebih dari 2 tahun. Sehingga pengetahuan tentang SOTK Polseknya sudah cukup memahami.

Responden Masyarakat

Tabel 12Proporsional Struktural Responden Masyarakat

Pada tabel tersurat, 91,3% responden masyarakat berumur lebih dari 25 tahun (usia dewasa), dengan pendidikan 80,8% berpendidikan SLTA keatas. Dan 57,8% dari mereka jarak tempat tinggalnya ke Polsek kurang dari 3 km. Hal ini menyajikan fakta, responden masyarakat adalah responden yang sudah dewasa, memiliki pemikiran cukup matang, dan jarak tempat tinggalnya ke Polsek relatif dekat. Sehingga mereka dianggap mengetahui dan bisa menilai tentang SOTK Polseknya.

Berdasarkan proporsional pemahaman responden pada SOTK Polsek, secara kumulatif, diperkirakan efektifitas penelitian ini sebesar 66% (tinggi).

Kondisi Penguatan Kelembagaan PolsekTanah dan Bangunan Polsek, Berdasarkan pendapat

para Kapolsek, kelayakan bangunan kantor, ruang kerja dan perlengkapannya, seperti di bawah ini.

Tabel 13Proporsional Kelayakan Kantor Polsek

Gambar 6Proporsionalitas Kelayakan Kantor Polsek

67Edisi Desember 2019

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, wawancara dengan Kapolsek yang dikunjungi dan data sekunder, kepemilikan lahan yang digunakan bangunan Polsek. Diperkirakan seperti di bawah ini.

Tabel 14Proporsionalitas Kepemilikan dan KecukupanLahan Polsek

Distribusi skor pendapat masyarakat tentang kelayakan bangunan dan kecukupan lahan Polsek, seperti di bawah ini.

Gambar 7Distribusi skor pendapat masyarakat

Dan proporsional klasifikasi tentang pendapat pada kelayakan bangunan dan lahan Polsek seperti di bawah ini.

Tabel 15Proporsionalitas Klasifikasi pendapat

Berdasarkan tabel dan gambar, jika diakumulasikan, efektifitas penguatan kelembagaan Polsek dari segi tanah dan bangunan baru tercapai sekitar 42,92% (cukup).

Struktur Organ Polsek: Berdasarkan hasil jawaban melalui kuesioner dan wawancara dengan Kapolres dan Kapolsek, struktur organ Polsek sudah sesuai dengan Perkap. Hanya masih banyak unit satker, yang anggota dan Kanitnya belum sesuai, baik dari segi kuantitas (jumlah dan kepangkatan), dan kualitas (dikum, dikjur dan diknonjur). Hasil akumulasi jawaban responden Kapolres,

Kapolsek dan anggota unit Polsek, diperkirakan kondisi struktur organ Polsek seperti di bawah ini.

Tabel 16Proporsionalitas KesesuaianStruktur Organ Polsek

Sehingga efektifitas penguatan kelembagaan Polsek, dari segi struktur organ Polsek, baru tercapai 51,42% (cukup), artinya masih perlu banyak pembenahan struktur organ Polsek agar efektifitas kinerja Polsek dapat lebih maksimal dan sesuai dengan harapan Reformasi Birokrasi menjadi Polsek kuat.

Beberapa faktor yang dapat memperkuat posisi satuan Polsek. Antara lain, perumusan kembali tipologi Polsek secara proporsional dengan memperhatikan faktor pengaruh kinerja, baik internal maupun eksternal. Menghapus organ yang dianggap tidak efektif dan belum perlu, seperti Sihumas dan Sikum serta mengoptimalkan fungsi-fungsi operasional. Memberikan reward kepada anggota yang berpangkat Aipda/Aiptu yang menjabat Kanit-kanit Polsek yang jumlahnya cukup banyak untuk di Perwirakan. Serta harus ada standar yang tepat sebagai ukuran untuk menentukan tipe Polsek dan tidak hanya didasarkan pada kekuatan SDM saja.

Koordinasi lintas Instansional (Internal dan Eksternal): berdasarkan jawaban responden anggota unit satker di Polsek, distribusi skor koordinasi antar anggota satu unit satker, antar unit satker dan lintas sektoral seperti di bawah ini.

Gambar 8Distribusi Skor Koordinasi di Tingkat Polsek

Pada gambar tersurat, distribusi skor semuanya cenderung

68 Edisi Desember 2019

miring ke kanan. Hal ini menyajikan sebuah kondisi, bahwa koordinasi antar anggota dalam satu unit, anggota antar unit dan lintas sektoral Polsek – Dinas Pemda sudah terjalin dengan baik. Terutama koordinasi antar anggota satu unit, dan koordinasi lintas sektoral. Untuk mengetahui tingkat efektifitas dari koordinasi ini dapat ditelaah pada tabel di bawah ini.

Tabel 17Proporsionalitas Efektifitas Koordinasi

Dari tabel tersurat efektifitas SOTK Polsek dari segi penguatan koordinasi lintas instansional baru mencapai 35,58% (rendah). Hal ini sejalan dengan pendapat responden perwakilan dinas di Pemda, efektifitas kerjasama Pemda dengan Kepolisian yang pada taraf baik baru pada kisaran 32% – 47%. Kendala utama kenapa efektifitas koordinasi lintas sektoral ini rendah, adalah keterbatasan personil yang berkualitas, mental keharmonisan belum terbangun dan tidak ada rencana anggaran-koordinasi.

Pengawasan dan Pengendalian Polsek : Efektifitas pada wasdal Polsek sudah tinggi (> 80%), karena hampir semua penjabat yang berwenang dalam wasdal, melakukan tugas sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai wasdal Polsek. Hal ini tersurat dari hasil jawaban kuesioner kepada Kapolres dan Kapolsek. Setiap Pewasdal sudah menjalankan wasdal sesuai aturan, selalu memberikan rekomendasi pada setiap proker yang dibuat Polres atau Polsek, dalam mengimplementasikan SOTK Polsek. Adapun dari hasil cross cek dan diskusi di lapangan ditemukan bahwa wasdal yang dilakukan sampai ke tingkat Polsek.

Hal ini dapat dilihat dari indikator persoalan yang muncul seperti banyak bangunan yang tak layak, persoalan/sengketa kepemilikan lahan Polsek, kelayakan ruang kerja dan fasilitas kantor dan jabatan struktural unit-unit rata-rata kosong/tidak ada.

Implementasi Tata Kerja Satuan Polsek Kualitas dan Kuantitas SDM Polsek, berdasarkan hasil jawaban

kuesioner yang diajukan kepada Kapolsek, diperoleh fakta seperti di bawah ini.

Proporsionalitas kesesuaian SDM dengan DSP seperti di bawah ini.

Gambar 9Proporsionalitas Kesesuaian DSP Polsek

Proporsionalitas kememadaian dari segi kompetensi SDM

Gambar 10Proposionalitas Kememadaian Kompetensi SDM

Sedangkan dari hasil jawaban kuesioner anggota unit Satker Polsek, diperoleh fakta seperti di bawah ini. Proporsionalitas skor pengetahuan anggota atas kondisi demografi, topografi dan geografi seperti di bawah ini.

Gambar 11Proporsional Skor Pengetahuan

Pada gambar tersurat, distribusi skor pengetahuan miring ke kiri, dengan modus pada skor minimal. Hal ini menyimpulkan pengetahuan anggota unit Satker Polsek, sangat rendah. Dengan proporsionalitas kategori tingkat pengetahuan seperti di bawah ini.

Gambar 12Proporsional Pengetahuan Wilayah Kerja

Sehingga jika diakumulasikan diperoleh fakta tentang kualitas

69Edisi Desember 2019

dan kuantitas SDM Polsek, seperti di bawah ini.

Tabel 18Proporsionalitas KondisionalKualitas dan Kuantitas SDM Polsek

Dari tabel tersurat efektifitas SOTK Polsek, dari segi kuantitas dan kualitas SDM baru tercapai 19,75% (rendah). Artinya efektifitas tata kelola organisasi di bidang penyediaan dan pembinaan SDM masih buruk, yang menyebabkan burukhya pembinaan SDM. Antara lain kesempatan untuk memperoleh pendidikan kejuruan dan pendidikan umum sangat rendah/minim, kesempatan ikut pendidikan gratis bagi SDM Polsek masih minim dan reward dan promosi bagi SDM yang memiliki graduate pendidikan umum dengan biaya mandiri masih rendah.

Dukungan Sarana Peralatan berdasarkan pendapat Kapolsek adalah kecukupan dan kelayakan sarana operasional dan peralatan kantor, di tingkat Polsek seperti di bawah ini.

Tabel 19Kecukupan dan KelayakanSarana dan Perlengkapan

Dari tabel tersurat efektifitas, SOTK Polres dari segi kecukupan dan kelayakan sarana dan perlengkapan, sudah mencapai 75,9% (tinggi). kondisi sarana operasional dan perlengkapan kantor, di tingkat Polsek saat ini seperti di bawah ini.

Tabel 20Kondisi Sarana dan Perlengkapan Polsek

Dari tabel tersurat efektifitas SOTK Polsek dari segi sarana operasional dan perlengkapan kantor sudah tinggi (92,38%). Jika dirata-ratakan, maka efektifitas kelayakan dan kecukupan sarana operasional dengan perlengkapan kantor, sebesar 84,14% (tinggi) berdasarkan hasil wawancara dengan para Kapolsek dan para Kanit, hal ini tidak terlepas dari adanya partisipasi dukungan masyarakat

dalam berkontribusi menjaga kamtibmas, oleh karenanya alat peralatan yang ada bila dilihat dari spesifikasi dan kualifikasi sangat tidak standar dan beragam merk.

Perencanaan dan Dukungan Anggaran Polsek, berdasarkan hasil wawancara dan jawaban kuesioner. Banyak Polsek yang menerima anggarannya tidak sesuai dengan yang diusulkan. Hal tersurat pada tabel di bawah ini.

Tabel 21Prosentase Anggaran yang Diterima Polsek

Dari tabel tersurat sebagian besar Polsek (63,1%) tidak menerima anggaran yang diusulkan secara penuh. Hal ini tergambar dari proporsionalitas realisasi anggaran pada tiga tahun terakhir (2010, 2011, 2012). Berdasarkan indikator penggunaan, seperti di bawah ini.

Tabel 22Proporsi Realisasi Penerimaan Anggaran

Gambar 13Proporsionalitas Realisasi anggaran

70 Edisi Desember 2019

Sehingga efektifitas SOTK Polsek dari segi dukungan anggaran baru tercapai 36,9% (rendah) dan hal ini sudah berlangsung lama. Serta menjadi budaya copy paste dalam perencanaan anggaran Polsek. Kondisi ini selalu terjadi gap antara harapan dengan realitas yang ada (100:30), hal ini bisa berpengaruh terhadap realisasi pelaksanaan tugas dan kinerja satuan Polsek.

Kemampuan Manajerial Kapolsek, jika ditelaah dari segi-segi di bawah ini secara proporsional.

Tabel 23Proporsionalitas Segi Kemampuan Manajerial

Pada tabel tersurat, 51,9% Kapolsek bukan sarjana, 72,31% hanya mengikuti satu Dikjurpol, dan 56,1% tidak memiliki pengetahuan tentang administrasi perkantoran baik yang konvensional maupun modern. Dalam memberikan tugas kepada anggotanya, 31% Kapolsek tidak memberikan petunjuk operasionalnya (SOP) secara jelas dan lengkap. Jika dihubungkan dengan pendapat anggota unit Polsek, tentang kepemimpinan Kapolseknya, seperti di bawah ini.

Tabel 24Proporsionalitas Pendapat Anggota Kepada Pimpinannya

Pada tabel tesurat, 49,55% Kapolsek sudah memiliki pengetahuan tentang manajemen perkantoran. Keterbatasan pengetahuan akan mempengaruhi tata kelola satuan Polsek dalam mendukung penguatan kelembagaan Polri.

Kemampuan satuan dalam memahami potensi kerawanan di wilayah tugasnya. Pola distribusi skor pengetahuan anggota unit satker Polsek, pada kondisi geografi, demografi dan topografi

wilayah kerjanya seperti di bawah ini.

Gambar 14Distribusi Skor Pengetahuan Pada Kewilayahan

Pada gambar tersurat, pengetahuan anggota unit satker Polsek pada kondisi geografi, demografi dan topografi wilayah kerjanya masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada nilai modusnya yang merupakan nilai terkecil dari skor. Klasifikasi pengetahuan anggota, secara proporsional seperti di bawah ini.

Tabel 25Klasifikasi Tingkat Pengetahuan AnggotaPada Kondisi Demografi, Geografi dan Topografi

Pada tabel tersurat, efektifitas kemampuan anggota dalam memahami potensi kerawanan di wilayahnya, baru sebesar 52,2%. Jika dihubungkan dengan pendapat masyarakat pada segi perlindungan dan pengayoman kepolisian, distribusi kemampuan anggota unit satker Polsek untuk memahami potensi kerawanan di wilayahnya seperti di bawah ini.

Gambar 15Proporsional Pendapat Masyarakat Pada Kemampuan Anggota Unit Satker Polsek Dalam Memahami Potensi Kerawanan

71Edisi Desember 2019

Pada gambar tersurat, distribusi skor cenderung miring ke kiri. Masyarakat berpendapat, anggota unit satker Polsek yang memahami potensi kerawanan di wilayahnya masih sedikit. Hal ini bisa ditelaah dari proporsional klasifikasi pemahaman seperti di bawah ini.

Tabel 26Proporsionalitas Pemahaman Anggota Unit Satker PolsekPada Potensi Kerawanan Wilayah

Jika diakumulasikan proporsionalitas mengenai pemahaman/pengetahuan anggota terhadap kerawanan kamtibmas dikaitkan dengan kondisi geografi, demografi dan topografi wilayah. Maka efektifitas pemahaman pada peta kerawanan wilayah, dari anggota unit satker Polsek, baru mencapai 40,15% (rendah).

Tingkat Kepuasan Masyarakat (Publik) atas Kinerja Polsek

Kepuasan pada pelayanan Kepolisian, pelayanan pada pelaporan dan pengaduan. 66,7% masyarakat pernah melakukan pelaporan/pengaduan kepada Polisi. Yang bentuk pelaporannya seperti di bawah ini.

Tabel 27Bentuk-Bentuk Pengaduan/Pelaporan

Mereka melakukan pelaporan di kantor kepolisian atau kepada individu Polisi, dengan proporsionalitas seperti di bawah ini

Tabel 28Tempat melakukan pelaporan

Penilaian masyarakat pada sikap dan tampilan fisikal Polisi, khususnya bagi petugas yang melayani laporan di Polsek deperti di bawah ini.

Tabel 29Penilaian Masyarakat Pada Segi sikap dan perilaku Kelayakan Kantor serta kelengkapan sarana kerja di unit pelayanan

Keyakinan masyarakat akan terselesaikannya kasus yang dilaporkan, seperti di bawah ini.

Tabel 30Proporsional Keyakinan

Berdasarkan jawaban masyarakat yang kasusnya berhasil diselesaikan, diperoleh fakta seperti di bawah ini.

Tabel 31Kinerja dan Profesionalitas

72 Edisi Desember 2019

Jika diakumulasikan, tingkat kepuasan masyarakat pada pelayanan pengaduan/pelaporan kasusnya, seperti di bawah ini.

Gambar 16Proporsionalitas Kepuasan MasyarakatPada Pelayanan Atas Pelaporan/Pengaduan

Pelayanan pada pengurusan surat-surat Kepolisian. 45,8% masyarakat pernah berurusan dengan kepolisian, untuk urusan penyelesaian surat-surat kepolisian. Proporsionalitas urusan yang dilakukannya seperti di bawah ini.

Tabel 32Bentuk urusan surat kepolisian

Pada tabel tersurat urusan kepolisian yang sering dilakukan adalah SKCK. Penilaian masyarakat pada kondisi fisikal kantor dan petugas seperti di bawah ini.

Tabel 33Penilaian Masyarakat Pada Segi Fisikal Kantor dan Petugas Tempat Pengurusan Surat Kepolisian

80,1% masyarakat yang mengurus surat-surat kepolisian dimintai imbalan/pungutan oleh petugas. Pendapat dan sikap masyarakat tersebut imbalan/pungutan pada saat pengurusan surat-surat/dokumen seperti dibawah ini.

Tabel 34Sikap dan Pendapat Masyarakat Pada Imbalan/Pungutan

Jika kondisi ini diakumulasikan, dan dihubungkan dengan kepuasan masyarakat atas pelayanan pada segi urusan surat-surat kepolisian, maka proporsionalitasnya seperti di bawah ini.

Gambar 17Proporsionalitas Kepuasan MasyarakatPada Pelayanan Atas Pengurusan Surat-Surat Kepolisian

Jika kedua kondisi pelayanan diakumulasikan, maka proporsional kepuasan masyarakat pada kedua pelayanan kepolisian (penerimaan laporan pengaduan dan layanan surat-surat). Sehingga efektifitasnya pada segi pelayanan masyarakat baru tercapai 55% seperti di bawah ini.

Gambar 18Proporsionalitas Kepuasan MasyarakatPada Pelayanan Kepolisian

73Edisi Desember 2019

Kepuasan pada tugas perlindungan dan pengayoman, patroli Polisi yang dilakukan di dalam lingkungan pemukiman penduduk, baru mencapai 68,7%. dan di luar lingkungan pemukiman 70,2%. Sehingga efektifitasnya sudah mencapai 69,45%, katagori baik, namun frekuensi rutinitasnya masih diragukan. Hal ini jika ditelaah dari frekuensinya seperti di bawah ini,

Tabel 35Frekuensi Patroli Polisi

Distribusi skor perlakuan Polisi anggota unit satker Polsek pada segi perlindungan dan pengayoman seperti di bawah ini.

Gambar 19Distribusi Skor Perlakuan Pada Segi Linyom

Dengan proporsional klasifikasinya dalam melakukan tugas perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat seperti di bawah ini.

Tabel 36Proposional Klasifikasi Perlakuan

Distribusi skor profesionalitas dan kinerja Polisi anggota Satker Polsek, seperti di bawah ini.

Gambar 20Distribusi Skor Profesionalitas dan Kinerja

Distribusi skor miring ke kanan dengan kecenderungan anggota Polri di Polsek yang profesionalitas dan kinerjanya baik lebih banyak dari yang tidak baik. Hal ini dapat ditelaah pada proporsionalitas klasifikasi seperti di bawah ini.

Tabel 37Proporsionalitas Klasifikasi Profesionalitas dan Kinerja

Jika diakumulasikan, proporsionalitas kepuasan masyarakat pada tugas perlindungan dan pengayoman kepolisian seperti di bawah ini.

Gambar 21Proporsionalitas Kepuasan Pada Linyom Kepolisian

74 Edisi Desember 2019

Sehingga efektifitas Polri pada segi perlindungan dan pengayoman masyarakat baru 41% (katagori kurang baik).

Kepuasan pada tugas pembinaan masyarakat. 56,95% masyarakat mengetahui dan mengenal Babinkamtibmas yang bertugas di wilayahnya. Dengan bentuk kegiatannya seperti di bawah ini.

Tabel 38Bentuk Kegiatan Babinkamtibmas

Pendapat masyarakat kepada Babinkamtibmas yang bertugas di wilayahnya, dalam bidang penyuluhan/ pembinaan, seperti di bawah ini.

Tabel 39Frekuensi Kegiatan Penyuluhan Babinkamtibmas

Sifat kegiatan penyuluhan/pembinaan

Tabel 40Sifat Kegiatan Penyuluhan

Jika diakumulasikan, distribusi skor kepuasan masyarakat pada kinerja dan profesionalitas Babinkamtibmas, seperti di bawah ini.

Gambar 22Distribusi Skor Kepuasan MasyarakatPada Kinerja dan Profesionalitas Babinkamtibmas

Yang jika diklasifikasikan, tingkat kepuasan masyarakat pada pembinaan Babinkamtibmas, seperti di bawah ini.

Gambar 23Proporsionalitas Kepuasan Pada Pembinaan Masyarakat

Sehingga efektifitas pelaksanaan tugas Polsek Polri pada segi Binmas baru tercapai 52% (katagori cukup).

Kepuasan pada pelayanan penegakan hokum, distribusi pendapat masyarakat pada sikap dan perilaku petugas kepolisian pelapor atau terperiksa seperti di bawah ini.

Gambar 24Distribusi Proporsi Pendapat Masyarakat Pada Sikap dan Perilaku Petugas Kepolisian Kepada Pelapor atau Terperiksa

Jika diklasifikasikan atas tingkatannya, maka dapat disimpulkan, proporsionalitas sikap dan perilaku petugas Kepolisian kepada pelapor atau terperiksa seperti di bawah ini.

Gambar 25Proporsionalitas Sikap dan Perilaku Petugas Kepolisian Kepada Pelapor atau Terperiksa

75Edisi Desember 2019

Pada gambar tersurat, masih banyak petugas kepolisian (41%) yang sikap dan perilakunya belum baik kepada pelapor dan terperiksa. Hal ini disebabkan faktor-faktor di bawah ini.

Tabel 41Kinerja dan Profesionalitas

Hal ini menyimpulkan kinerja dan profesionalitas petugas masih rendah (baru 39,94% petugas yang memiliki kinerja dan profesionalitas baik/tinggi). Berdasarkan 16,13% responden yang pernah menjadi saksi/tersangka, 53,6% menyatakan, surat panggilan untuk diperiksa disampaikan sesuai ketentuan. Dalam hal si terpanggil tidak ada di tempat, surat panggilan disampaikan dalam bentuk seperti di bawah ini.

Tabel 42Bentuk Penyampaian Surat PanggilanJika Si Terpanggil Tidak Ada Di Tempat

Pada tabel tersurat, cara petugas menyampaikan surat panggilan sudah baik (93,7%). Dalam hal penanganan barang bukti atau tersangka, diperoleh fakta seperti di bawah ini.

Tabel 43Tindakan Petugas Dalam MenanganiBarang Bukti atau Tersangka

Jika diakumulasikan, 44,12% petugas kepolisian Polsek, profesionalitas dan kinerjanya dalam menangani barang bukti dan tersangka, masih belum baik. Sehingga proporsionalitas kepuasan masyarakat pada segi penegakan hukum seperti di bawah ini.

Gambar 26Proporsionalitas Kepuasan Masyarakat Pada Segi Gakum

Sehingga efektifitas dalam segi gakum dari Polri di tingkat Polsek, baru tercapai 56% (belum baik). Kepuasan pada layanan Kamtibcarlantas, berdasarkan pendapat masyarakat tentang kinerja dan profesionalitas Polantas, dalam menangani kasus laka lantas, seperti di bawah ini.

Tabel 44Kinerja dan Profesionalitas Polantas

Pada tabel tersurat, proporsionalitas tingkat kepuasan masyarakat pada kinerja dan profesionalitas anggota Polantas. Dalam menangani kasus laka lantas, seperti di bawah ini.

Gambar 27Proporsionalitas Kepuasan MasyarakatPada Kinerja dan Profesionalitas Polantas

76 Edisi Desember 2019

Pada gambar tersurat, kepuasan masyarakat kepada polantas dalam hal penanganan kasus laka lantas sudah cukup tinggi. (69% masyarakat tingkat kepuasannya tinggi). Dalam hal pengurusan barang bukti laka lantas, masih ada (31,5%) anggota Polantas yang memungut biaya. Distribusi pendapat masyarakat pada pungutan tersebut, seperti di bawah ini.

Tabel 45Distribusi Proporsional Pendapat MasyarakatPada Pungutan Untuk Urusan Barang Bukti Laka Lantas

Pada tabel tersurat, sebagian besar masyarakat (85,5%) berpendapat, pungutan dalam hal pengurusan barang bukti laka lantas, masih memberatkan. Pendapat masyarakat tentang profesionalitas dan kinerja anggota Polantas di jalan raya, yang seperti di bawah ini.

Tabel 46Proporsionalitas Pendapat Masyarakat Pada Profesionalitas dan Kinerja anggota Polantas di Jalan Raya

Pada tabel tersurat, proporsionalitas tingkat kepuasan masyarakat pada kinerja dan profesionalitas anggota Polantas, di jalan raya, seperti di bawah ini.

Gambar 28Proporsionalitas Pendapat Masyarakat Pada Kinerja dan Profe-sionalitas Anggota Polantas di Jalan Raya

Pada gambar tersurat, kepuasan masyarakat pada kinerja dan profesionalitas anggota Polantas di jalan raya masih rendah. (48% masyarakat tingkat kepuasannya tinggi). Jika diakumulasikan, proporsionalitas tingkat kepuasan masyarakat pada segi Kamtibcarlantas, seperti di bawah ini.

Gambar 29Proporsionalitas Kepuasan Masyarakat Pada Kamtibcarlantas

Pada gambar tersurat efektifitas pada segi kinerja dan profesionalitas anggota Polantas, baru tercapai 44%. (Baru 44% anggota Polantas yang kinerja dan profesionalitasnya tinggi).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan penelitian ini, bidang kelembagaan (Organisasi)

Polsek. Polri telah melakukan penataan struktur organisasi yang berorientasi pada Organisasi Pelayanan Publik (PSO). Prinsip sebaran pelayanan “Mabes Kecil, Polda Sedang, Polres Besar dan Polsek Kuat,” sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perkap Nomor 21 Tahun 2010 tentang SOTK Mabes Polri. Kemudian, Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang SOTK Polda dan Perkap Nomor 23 Tahun 2010 tentang SOTK Polres, Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polsek.

Berdasarkan hasil penelitian implementasi SOTK Polsek, kelembagaan dan tata kerja Polsek belum dapat dikatakan sebagai Polsek yang kuat. Sebab kemampuan organisasinya baru mencapai 51,42 %. Artinya tingkat kelemahan kelembagaan Polsek sangat tinggi mencapai 49 %, berkaitan dengan jumlah dan kualitas SDM (personil). Sarana prasarana kantor, anggaran operasional, dan almatsus. Struktur organisasi lengkap sebagaimana Perkap 23/2010 tetapi sejumlah jabatan kosong atau dirangkap oleh personil lain. Sehingga dalam satu hari personil di tingkat Polsek bisa berubah fungsi, pagi menjalankan fungsi inteligen pada malam hari menjalankan fungsi sabhara, dan sebagainya.

Polsek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Perkap 23 tahun 2010 berkedudukan di wilayah kecamatan sesuai dengan daerah hukum masing-masing. Pembagian tipologi Polsek, yakni Polsek Tipe Metropolitan, Polsek Tipe Urban, Polsek Tipe Rural dan Polsek Tipe Pra Rural. Setelah diimplementasikan pada tingkat wilayah kecamatan belum semuanya tepat. Penggolongan tipologi Polsek kurang menggambarkan kondisi wilayah hukum Polsek dilihat dari aspek FKK, PH, dan AF. kecamatan masing-masing. Nomenklatur tipologi Polsek juga kurang tepat karena tidak sesuai dengan bahasa lokal / kearifan lokal, masyarakat pengguna layanan kepolisian tidak memahami istilah “Polsek Metro, Urban, Rural, Pra Rural”.

77Edisi Desember 2019

Untuk ruang kerja Polsek, standarisasi ruang kerja Polsek belum ada demikian pula jenis bangunan dan tata ruang di tingkat Polsek. Dilihat dari aspek kelayakan ruang kerja kantor modern. Ruang kerja polsek tergolong katagori sedang belum dapat dikatakan kuat karena baru 31,1 % yang tergolong memenuhi standar kelayakan ruang kerja. Ruang kerja Polsek masih tergantung ketersediaan bangunan/gedung Polsek itu sendiri lalu dibagi-bagi sesuai jumlah unit organisasi masing-masing fungsi.

Ruang sentra pelayanan masyarakat yang menjadi “pintu depan pelayanan prima” belum semua memadai. Masih banyak yang konvensional seperti sebelum reformasi birokrasi. Ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) sebagai ujung tombak pelayanan kepolisian kepada masyarakat secara terpadu. Seperti Laporan Polisi (LP), Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), dan Surat Izin Keramaian, belum ada standarisasi. Demikian pula kuang kerja Kapolsek, Wakapolsek, Unit-unit kerja yang lain belum standar dilihat dari aspek disain dan luas ruangan, termasuk pula ruang tahanan.

Sedangkan status lahan dan bangunan disimpulkan, status kepemilikan tanah dan bangunan belum tergolong kuat. Tanah/lahan Polsek yang memiliki status kuat baru 31,1 %, lainnya surat-suratnya belum selesai pengalihannya dan sebagian Polsek tanahnya milik pemerintah daerah/masyarakat. Di berbagai wilayah masih banyak kantor Polsek dan tanahnya yang bersatus pinjam pakai. Kekuatan Polsek bila dilihat dari aspek bangunan kantor belum dapat dikatakan Polsek yang kuat karena baru 51,03 % yang tergolong kuat.

Sarana Operasional dan Perlengkapan Kantor Polsek relatif kuat karena kemampuannya mencapai 84,14 % termasuk pada kategori cukup tinggi (75,9% 84,14%). Sarana prasarana kantor Polsek sudah baik tetapi pemeliharaanya cenderung rendah karena anggaran pemeliharaan sangat minim dan kesulitan memperoleh suku cadang/spare part di tingkat lokal. Sarana operasional yang berkenaan dengan roda empat (R4) dan roda (R2) dua belum dapat dikatakan kuat, terutama di Polsek Rural jumlahnya terbatas dan kualitasnya cenderung rendah.

Jumlah dan kualitas R2, R4, R6, ruang kerja dan mebeler, senpi, serta alkom efektifitasnya masih rendah (31,1% - 51,5%). Sedangkan sarana operasional yang berkenaan dengan almatsus, seperti senjata api, tameng, pentungan, dan lain-lain juga belum dapat dikatakan kuat karena jumlahnya terbatas dan kualitasnya cenderung rendah. Sedangkan dari segi lainnya, bila dihubungkan dengan tingkat kompetensi, kinerja dan profesionalitas anggota masih sangat rendah (13%-19,75%) yang disebabkan salah satunya dukungan logistik seperti BBM (premium dan solar) masih sangat minim untuk R2 dan R4 yang rata-rata R2/hari 1 liter dan BBM R4/hari 3-4 liter.

Dari segi kualitas dan kuantitas SDM (personil) Polsek. Kekuatan SDM/Personil Polsek cenderung tidak kuat, jumlah kekuatan personil polsek rata-rata 40 %, kekuatan personil Polsek yang mencapai 80% > hanya di wilayah Metro dan sebagian Polsek Urban, untuk Polsek Rural kekuatan personilnya relatif rendah kurang dari 50%. Sedangkan dilihat dari aspek kualitas SDM lebih memprihatinkan karena baru mencapai 19,75 % untuk menjadi Polsek yang kuat. Pimpinan di tingkat Polsek juga belum menggambarkan Polsek yang kuat karena dari aspek profesionalitas

baru mencapai 49,55 %, profesionalitas anggota polsek hanya 13 %, dan kompetensi SDM Polsek baru mencapai 26,5 %. Sehingga hal ini mempengaruhi tingkat kinerja dan profesionalitas anggota kepolisian di tingkat Polsek, pada segi perlindungan, pengayoman dan pelayanan, penegakan hukum dan harkamtibmas, masih rendah. (Proporsionalitasnya, 21% - 60%).

Efektifitas Tata Kerja Polsek nilai rataannya untuk membangun Polsek kuat , masih rendah. (45,2% < 80%). Jadi tingkat efektifitas implementasi tata kerja organisasi satuan Polsek, masih tergolong rendah (< 60%). Hal ini sebagai pertanda implementasi Perkap 23/2010 untuk membangun Polsek yang kuat belum tercapai, karena prinsip-prinsip manajemen modern (5 M, money (anggaran); man (SDM); material (sarpras operasional dan perkantoran); manajemen (kompetensi pimpinan); method (SOP operasional yang jelas) belum dilaksanakan sepenuhnya.

Selain itu, jika menelaah sebaran efektifitas, maka perumusan tipologi Polsek pada saat ini, belum memenuhi sasaran karena variabel jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis dan demografis, tingkat kerawanan, ancaman, dan gangguan belum dijadikan tolok ukur dalam menentukan tipologi Polsek. Tipologi cenderung bias pada pendekatan sosiologis (desa, kota, metropolitan).

Sebab tidak ada perbedaan yang signifikan antar tipologi Polsek yang satu dengan tipologi yang lain, dalam hal proporsi efektifitasnya kecuali standar SDM itu pun tidak efektif, karena hanya berdasarkan kepangkatan (Kapolsek Metro AKBP, Urban Kompol, Rural AKP, Pra Rural IPDA). Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang mepengaruhi tata kerja kelembagaan Polsek diperoleh fakta kemampuan Polsek masih rendah (48,51%).

Sedangkan rekomendasi penelitian ini, di bidang penguatan kelembagaan satuan Polsek, melakukan klasifikasi tipologi dari Polsek dulu. Karena Polsek merupakan “ujung tombak” kepolisian kewilayahan, yang langsung “bersinggungan” dengan masyarakat. Kemudian, front basic information tentang kerawanan/gangguan kamtibmas. Dalam menentukan klasifikasi tipologi tersebut, harus didasarkan pada karakter internal dan kemampuan manajerial pimpinan Polsek. Kemudian, kekuatan SDM, kemampuan anggaran dan tata kelola perkantoran (ketatalaksanaan) serta pengawasan dan pengendalian. Untuk karakter eksternal mencakup demografi (kemampuan sumber daya alam), geografi (kepadatan penduduk), topografi (luas wilayah), kerawanan/gangguan kamtibmas dan ekonomi dan bisnis (kemampuan ekonomi) serta politik, sosial dan budaya (polsosbud). Dengan menggunakan analisis angka indeks.

Tipologi Polsek harus sinergi dengan tipologi Polres secara proporsionalitas. Nomenklatur tipologi Polsek harus memperhatikan kepentingan lokal/kearifan lokal dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sebagai contoh tipe Polsek A, B, C, C1 (pra rural), untuk menentukan proporsionalitas tipe Polsek dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.

Tipologi Polda dilakukan seperti menentukan tipologi Polres di bidang penguatan manajemen tata kerja kelembagaan Polsek. Di bidang penguatan manajemen tata kerja kelembagaan dalam rangka mewujudkan Polsek kuat maka direkomendasikan untuk meningkatkan efektifitas fungsi dan peran kepolisian, dalam upaya membangun Polsek kuat, pengelolaan anggaran operasional, sebaiknya dikelola Polsek. Belanja pegawai dan modal tetap dikelola di Polres.

Selain itu, Polsek harus memiliki bendahara (PNS atau Polri)

78 Edisi Desember 2019

yang terdidik dan terlatih, sebagai pengelola anggaran operasional dan pemeliharaan alat bantu operasional, dengan pengawasan dan pembinaan dari pihak Polres atau Polda. Memberi kesempatan untuk meningkatkan kompetensi anggota, dari segi pendidikan umum, pendidikan kejuruan kepolisian. Dan pendidikan khusus pada bidang kepemimpinan/leadership para Kapolsek, administrasi perkantoran (ketatalaksanaan), kemampuan berkomunikasi (Public Relation) dan berkoordinasi dan optimalisasi operasional komputer serta kemampuan tata buku dan akuntansi keuangan.

Harus diberikan seluas-luasnya, baik melalui pendidikan formal dan informal serta khusus. Dan kepada mereka yang mau meningkatkan kompetensinya dalam upaya meningkatkan profesionalitas, harus diberikan imbalan/ penghargaan sesuai dengan kinerjanya.

Pelatihan anggota unit fungsi Intelkam, Reskrim , Babinkamtibmas dan Samapta, yang sudah dilakukan oleh setiap SPN Polda harus dilakukan secara berkelanjutan, berkesinambungan dan berjenjang. Sehingga anggaran untuk kegiatan pelatihan ini perlu diajukan secara progresif.

Pengadaan komputer untuk setiap unit kerja dengan fasilitas teknologi informatikanya, beserta petugas yang menanganinya, perlu dilakukan segera, untuk menciptakan Polsek sebagai basis informasi terdepan. Sehingga Polsek-polsek yang belum lengkap fasilitas alsintornya harus dijadikan program pertama dalam pengadaan komputer dan perangkat teknologi informasinya, beserta petugas ahli untuk mengoperasionalkannya.

Pada bidang penguatan wasdal, konteks pentingnya pengawasan satuan kewilayahan khususnya di tingkat Polsek agar pelaksanaan tugas dan kinerjanya lebih optimal dan efektif. Maka setiap pewasdal baik dari level Polres, Polda bahkan Mabes Polri diharuskan melaksanakan tugas wasdalnya sampai ke satuan lini terdepan (Polsek). Tujuannya agar dapat menuntaskan indikator-indikator persoalan yang akut seperti bangunan Polsek yang kurang layak. Selain itu, persoalan sengketa kepemilikan lahan Polsek, keterbatasan dan kekurang layakan ruang kerja dan fasilitas kantor dan kelangkaan perwira pada unit-unit operasional di Polsek.

Untuk dukungan dan tata kelola anggaran, bidang penguatan koordinasi. Untuk meningkatkan efektifitas koordinasi dan kerja sama dalam rangka memperlancar tugas-tugas satuan Polsek dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Maka perlu direkomendasikan peningkatan kualitas SDM Polsek terutama kepada para Bintara tinggi (Aipda, Aiptu) baik pendidikan formal maupun keahlian/kejuruan. Selanjutnya peningkatan mental dan skill kehumasan (Public Relation) dan ada alokasi biaya anggaran untuk koordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2005. Grand Strategi Polri 2005-2025 (Skep / 360 / VI / 2005, 10 Juni 2005). Jakarta, Juni 2005. Mabes Polri.

Asrena Kapolri, 2012. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2012 Semester II, Laporan Monitoring, tanggal 17 Desember 2012, Jakarta.

Asrena Kapolri, 2013. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2011-2014, Laporan Evaluasi, tanggal 2 Februari 2013, Jakarta.

Bambang Widodo Umar, Prof.,Dr, 2013. Evaluasi Hasil Penelitian tentang Efektifitas Implementasi SOTK (Manajemen) Polri di Tingkat Polsek Dalam Rangka Pelayanan Prima, Naskah Deseminasi OTK Polsek, tanggal 13 Desember 2013, Jakarta.

Bambang Widodo Umar, Prof.,Dr, 2013. Prinsip-prinsip Manajemen Organisasi Modern dalam Menuju Pelayanan Prima Polri Khususnya Tingkat Polsek, Naskah Workshop tingkat Polsek, tanggal 14 Maret 2013, Jakarta.

Dwi Purwoko, Prof., Dr, 2013. Metodologi Penelitian Pengolahan dan Analisis Data, Naskah Workshop tingkat Polsek, tanggal 14 Maret 2013, Jakarta.

Edward A. Thibault, 2001. Manajemen Kepolisian Proaktif, Cipta Manunggal, tanggal 1 September 2001, Jakarta.

Kunarto, Drs., Jend Pol (Purn), 1999. Merenungi Kiprah Polri Dalam Wacana Reformasi, Cipta Manunggal, tanggal 1 April 1999, Jakarta.

Fokus Media, 2007. Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bandung.

Kementerian PAN dan RB, 2013. Standar Pelayanan Publik bagi Instansi Pemerintah/Polri dalam Mewujudkan Pelayanan Prima, Naskah Workshop tingkat Polsek, tanggal 14 Maret 2013, Jakarta.

Mulyana, Drs, 2013. Hasil Penelitian tentang Efektifitas Implementasi SOTK (Manajemen) Polri di Tingkat Polsek Dalam Rangka Pelayanan Prima, Naskah Deseminasi OTK Polsek, tanggal 13 Desember 2013, Jakarta.

Peraturan Kapolri No : 23/IX/2010, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Wilayah tingkat Polsek, tanggal 30 September 2010, Jakarta.

Priyo H AR, MPA, Drs, 2013. Kerangka Pemikiran Manajemen Polsek Kuat (Efektif/Prima), Naskah Workshop AMDAK, tanggal 14 Maret 2013, Jakarta.

79Edisi Desember 2019

80 Edisi Desember 2019