Memicu Sudut Pandang, Mengeksplorasi Fakta: Polemik KPK dan Polri
Transcript of Memicu Sudut Pandang, Mengeksplorasi Fakta: Polemik KPK dan Polri
OUTPUT
DISKUSI PUBLIK"Memicu Sudut Pandang, Mengeksplorasi Fakta : Polemik KPK dan Polri"
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWAFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA2015
OUTPUT DISKUSI PUBLIK
Materi Pengantar
Pada tanggal 16 Februari 2015, hakim Sarpin
Rizaldi membacakan putusan praperadilan untuk Komjen
Budi Gunawan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK. Dalam putusannya tersebut, hakim
Sarpin Rizaldi memutuskan bahwasanya permohonan
pemohon dalam hal ini Komjen Budi Gunawan dikabulkan
sebagian dan salah satu poin putusannya adalah
menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang
dilakukan oleh termohon adalah tidak sah.
Dibatalkannya status tersangka untuk Komjen Budi
Gunawan berdasarkan putusan di atas menjadi sebuah
permasalahan baru di tengah rumitnya dinamika polemik
antara KPK dan Polri. Di dalam Pasal 77 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) diatur secara jelas obyek dari praperadilan
dan penetapan status tersangka jelas bukan termasuk
bagian dari obyek tersebut. Putusan hakim Sarpin
Rizaldi ini menimbulkan pertanyaan di benak
masyarakat mengenai konstruksi ideal dari konsep
hukum acara pidana. Selain itu, rentang waktu
jalannya persidangan yang melebihi ketentuan di dalam
Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa
selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah menjatuhkan
putusannya. Sedangkan dalam praperadilan Komjen Budi
Gunawan, rentang waktu persidangannya adalah 14 hari.
Disamping itu, adanya kemungkinan terkait dengan
bentuk-bentuk upaya hukum yang dapat ditempuh
terhadap putusan tersebut juga menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari proses hukum yang
terjadi.
Belum usai pro kontra mengenai putusan
praperadilan tersebut, pada tanggal 18 Februari 2015
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang berisi
tentang pemberhentian Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto dari kursi pimpinan KPK sebagai
konsekuensi dari ditetapkannya status tersangka
terhadap kedua pimpinan KPK tersebut. Dalam pidato
tersebut, Presiden Joko Widodo juga menjanjian akan
menetapkan Perpu terkait dengan posisi pelaksana
tugas KPK serta pengangkatan Taufiequrrahman Ruki,
Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai pimpinan
sementara KPK melalui Keputusan Presiden. Disamping
itu, Presiden Jokowi juga membatalkan pelantikan
Komjen Budi Gunawan sebagai KaPolri dan mengangkat
Komjen (Pol) Badrodin Haiti sebagai calon KaPolri.
Penetapan Perpu dan Kepres tersebut diharapkan dapat
menjawab keresahan masyarakat terkait bola panas yang
terus bergulir.
Dari perspektif ketatanegaraan, ditetapkannya
Perpu jelas hanya bisa dilakukan dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, sebagaimana terdapat di
dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam kondisi saat ini,
hal ihwal kegentingan yang memaksa ini perlu ditinjau
kembali sudah terpenuhi atau belum. Selain itu,
pembahasan mengenai regulasi terkait dengan proses
pencalonan hingga pelantikan calon KaPolri berstatus
tersangka juga perlu untuk dilakukan.
Sesi Pemaparan Materi
Sesi pemaparan materi dibuka oleh Dion Valerian
selaku moderator dan diikuti oleh pemaparan materi
oleh para pembicara.
Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D.
Prof. Adrianus membuka pemaparan materinya
dengan menyatakan bahwa Kompolnas sebenarnya tidak
terlibat langsung dalam polemik yang terjadi di
antara KPK dan Polri dewasa ini. Berbeda dengan kasus
cicak buaya beberapa tahun yang lalu. Jika ditilik ke
belakang, pada awalnya, Kompolnas mendapat sinyal
dari Presiden untuk mengusulkan nama calon Kapolri.
Pada saat itu, salah satu nama yang muncul ada Komjen
Budi Gunawan. Setelah melalui beberapa tahapan,
akhirnya pada 1 Februari lalu, Kompolnas kemudian
mengusulkan nama Komjen Budi Gunawan tersebut. Hal
ini kemudian diikuti dengan hadirnya Menkopolhukam
Tedjo Edhy Purdijanto ke Kompolnas. Dalam saat yangbersamaan Kompolnas menyerahkan nama Komjen Budi
Gunawan sebagai calon Kapolri.
Dalam pemaparan materinya, Prof. Adrianus
mengamini bahwasanya Kompolnas tidak berkoordinasi
dengan lembaga yang kredibel perihal transparansi
keuangan dari Komjen Budi Gunawan. Hal ini semata-
mata dikarenakan Kompolnas berpendapat bahwa pada
saat itu masih dalam tahap pengusulan nama saja.
Selang dua hari kemudian, Presiden menghubungi
Kompolnas dan menyatakan sudah memilih nama calon.
Namun ketika Presiden mengumumkan nama calon Kapolri
tersebut, banyak respon negatif yang muncul. Hal ini
berujung dengan dihubunginya kembali Kompolnas oleh
Presiden untuk bisa membantu memberikan “peluru” yang
dapat mempertahankan pilihan Presiden tersebut.
Sedangkan terkait dengan putusan praperadilan,
informasi terakhir yang diterima Kompolnas adalah
bahwasanya Presiden tidak mau melantik Komjen Budi
Gunawan. Untuk itu, Presiden meminta Kompolnas
terkait nama baru yang akan dicalonkan sebagai
pengganti Komjen Budi Gunawan. Setelah Kompolnas
mengusulkan nama baru, Kompolnas kembali mendapat
sorotan banyak pihak karena tidak mengikutsertakan
PPATK dalam pengusulan nama calon Kapolri yang baru.
Disampaikan oleh Prof. Ardrianus bahwa alasannya
adalah karena ketiadaan waktu yang memadai. Hal ini
juga terbukti dengan fakta bahwa Presiden yang juga
tidak dijawab ketika bertanya kepada lembaga
tersebut.
Kompolnas dalam polemik ini pun telah melakukan
beberapa upaya dalam rangka menemukan solusi yang
paling tepat yang dapat mengakomodasi kebutuhan
berbagai pihak. Kompolnas berusaha bertemu dengan
pimpinan KPK serta pimpinan Polri untuk mencapai
kesepakatan. Apa yang hendak dicapai adalah agar
tercipta keseimbangan di dalam proses hukum yakni
dengan berjalannya penyidikan oleh komisioner KPK
tanpa mengabaikan proses hukum yang melilit Komjen
Budi Gunawan. Kompolnas mengeluarkan opsi, agar
kedepannya fokus tidak hanya memperhatikan Komjen
Budi Gunawan saja tapi juga komisioner KPK sehingga
yang diharapkan ialah munculnya kerjasama pemerintah
dengan KPK untuk bersinergi dalam pembentukan
kebijakan.
Abdullah Hehamahua, S.H., M.M.
Pada pemaparannya menegaskan bahwa dalam UU No.
30 tahun 2002 disebutkan KPK adalah lembaga
independen bukan lembaga pemerintahan. Konsekuensi
logisnya adalah KPK bertanggung jawab terbuka dalam
artian kepada publik. Hal ini disampaikan terkait
dengan pandangan Presiden sebagaimana yang dikutip
oleh Prof. Adrianus bahwasanya KPK adalah lembaga di
bawah eksekutif.
Berkaitan dengan penetapan status tersangka
Komjen Budi Gunawan, ternyata KPK sudah memberi surat
kepada Presiden tentang hal tersebut tetapi tidak
direspons. Secara emosional, hal inilah bentuk
komunikasi dari KPK untuk Presiden yaitu dengan
penetapan tersangka. Persoalan Komjen Budi Gunawan
tahun 2009 di KPK, tapi KPK tidak menanganinya karena
pada saat itu tindak pidana pencucian uang bukan
termasuk ke dalam domain KPK. Bertambahnya kewenangan
KPK setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-
XII/2014 tentang permohonan pengujian UU No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang menyatakan bahwasanya KPK
dapat tetap melakukan penyidikan dan penuntutan
terkait tindak pidana pencucian uang tanpa menunggu
pidana asal (predicate crime) dibuktikan terlebih
dahulu.1 Putusan ini juga mengakhiri perdebatan
mengenai kewenangan KPK menuntut pencucian uang yang
muncul dalam beberapa persidangan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, seperti dalam sidang kasus
korupsi simulator SIM dengan terdakwa Djoko Susilo
dan juga kasus gratifikasi proyek Hambalang dengan
terdakwa Anas Urbaningrum.
Terkait dengan praperadilan, hakim praperadilan
dalam konteks Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002
mengatakan bahwa Komjen Budi Gunawan bukan penegak
hukum sehingga tidak dapat dijerat. Akan tetapi hakim
lupa bahwa disebutkan juga “pihak terkait” yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara. Dalam hal ini terdapat
probabilitas Komjen Budi Gunawan itu pihak ketiga
1 Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-XII/2014
atau yang terkait dengan penyelenggara negara.
Putusan praperadilan ini juga berpotensi menciptakan
paradigma yang tidak tepat di dalam masyarakat. Apa
yang sering salah di dalam pandangan masyarakat
adalah dengan dinyatakannya penetapan status
tersangka KomjenBudi Gunawan tidak sah maka Komjen
Budi Gunawan serta merta terbebas dari dugaan kasus
korupsi. Hal ini mengingat kedudukan beliau yang juga
merupakan seoraingh PNS dan dapat dikenakan
gratifikasi. Untuk menindaklanjuti putusan
praperadilan ini KPK dapat mengajukan kasasi
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 244 KUHAP.
Jika permohonan kasasi ini ditolak, maka KPK dapat
kembali memulai dari awal proses hukum yang telah
bergulir, yakni dari penyelidikan, penyidikan,
hingga penuntutan.
Miko Susanto Ginting, S.H
Berkaitan dengan Perpu yang dikeluarkan oleh
Presiden Jokowi, maka kita idealnya dapat melihat
kepada putusan MK yang telah menspesifikasi
konstruksi hal ihwal kegentingan yang memaksa ke
dalam 3 indikator:2
1) ada masalah yang harus diselesaikan
2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
2) Undang-undang atau hukum tidak ada atau tidak
memadai
3) kalaupun sebelumnya undang-undang telah
dibuat terlebih dahulu, maka permasalahann tidak
dapat teratasi.
Persoalannya adalah ketidakpercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum negeri ini. Presiden harus
bersikap dengan jelas agar masalah ketidakpercayaan
itu dapat teratasi. Yang paling bisa berperan dalam
hal ini adalah Presiden itu sendiri. Misalnya ketika
tim independen terbentuk, harapan publik sangat
besar. Tim independen merupakan tim yang dibentuk
untuk mengatasi konflik yang terjadi antara KPK dan
Polri.3 Namun, Keputusan Presiden (Keppres) yang
dapat menjadi payung hukum dari tim tersebut tidak
kunjung dibuat. Solusi untuk hal ini ialah membentuk
Keppres untuk mengesahkan tim tersebut..
Kita harus melihat satu rangkaian besar
penegakan hukum ini agar kita mengerti bahwa ini
bukan penegakan hukum biasa, Perpu Pelaksana Tugas
3 Tim independen ini terdiri atas mantan Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie, Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, guru besar hukuminternasional UI Prof. Hikmahanto Juwana, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, Erry Riyana Hardjapamekas, dan mantan Ketum PengurusPusat Muhammadiyah, Syafii Maarif.
(Plt.) bagian dari serangan sistematis untuk pihak
KPK. Miko Ginting menyatakan bahwa kemarin tanpa
melakukan konsolidasi, Taufiequrachman Ruki selaku
Plt. Pimpinan KPK melakukan kompromi terhadap
Badrodin Haiti. Untuk itu, ekstra yudisial adalah hal
yang tepat jika hal rangkaian peristiwa ini dikatakan
kriminalisasi. Tim independen ini dapat melakukan
penyelidikan dan juga dapat memantau rangkaian kasus.
Terkait praperadilan, hakim sarpin telah sangat
jauh melewati kewenangannya. Beliau tidak menguji
praperadilan melainkan materi perkara. Persoalannya
adalah inkonsistensi penafsiran yang dilakukan oleh
hakim Sarpin. Inkonsistensi penafsiran makna terjadi
dalam penafsiran Pasal 77 KUHAP dimana hakim Sarpin
bersikap progresif. Sementara ketika menafsirkan
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang
penyelanggara negara4 ia malah menyempitkan. Sungguh
sebuah putusan yang tidak konsisten. Pun kewenangan
KPK untuk menangani kasus penyelenggara negara
dibatasi oleh hakim Sarpin melalui putusannya
tersebut.
Choky Risda Ramadhan, S.H., LL.M.
4 Pasal 11 huruf a UU No. 30 Tahun 2002 juncto Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2009
Choky Ramadhan membuka pemaparan materi dengan
menceritakan sejarah dimana pada 6 tahun yang lalu
beliau ikut menggunakan jaket almamater Universitas
Indonesia terkait dengan kasus “Cicak vs Buaya” jilid
1. Choky berharap agar semua pihak dapat melihat
dalam perspektif yang lebih luas dengan berkaca pada
pengalaman dan tidak hanya terpaku pada pemikiran
naif yang sempit.
Beliau selanjutnya mengatakan bahwa hampir
setiap minggu mengadakan pernyataan sikap ingin
mencoba mempengaruhi opini publik. Salah satunya
terhadap apa yang dilakukan oleh hakim Sarpin yang
sebenarnya tidak punya hak memeriksa penetapan
tersangka Komjen Budi Gunawan. Argumen-argumen pihak
Komjen Budi Gunawan terlalu offside. Sungguh
disayangkan hakim menerima argumen yang diajukan oleh
kuasa hukum Komjen Budi Gunawan tersebut. Kuasa hukum
Komjen Budi Gunawan mengatakan bahwa hal yang
dituduhkan kepada Komjen Budi Gunawan tidak sah.
Mereka juga meminta bukti-bukti KPK untuk diserahkan
ke polisi. Apa yang kemudian telah dilakukan hakim
Sarpin benar-benar di luar dari hukum acara pidana.
Kita bisa berdebat bahwa hakim bisa melakukan
terobosan hukum dan tidak bisa menolak kasus. Tapi,
apa yang dinomorkan dan dimintakan benar-benar jauh
dari kewenangan yang ada. Bisa kita asumsikan ada
pengaruh kuat untuk dapat mempengaruhi putusan ini.
Sempat ditundanya sidang selama satu minggu perlu
dikritisi. Kemudian, dalam pertimbangan hakim, sangat
janggal yang mana hal tersebut terlihat dari
pertimbangan hakim juga bahwa suap tidak menimbulkan
kerugian serta pendapat hakim yang menganggap kasus
tersebut tidak meresahkan masyarakat.
Upaya hukum yang paling tepat dilakukan KPK,
meminta KPK mengajukan kasasi dibandingkan melakuakn
peninjauan kembali. Isu hukum ini perlu diluruskan
dengan forum kasasi. Memang terdapat pembatasan di
dalam Pasal 45A ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, dimana dinyatakan bahwa putusan
praperadilan tidak boleh diajukan kasasi. Akan
tetapi, menurut penelitian, mereka menemukan bahwa MA
tidak konsisten. Ada banyak kasus yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 45A ayat
(2) UU Mahkamah Agung ini.
Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M.
Secara singkat, pra-peradilan merupakan lembaga
koreksi yang tujuan dari lembaga koreksi ini ialah
untuk mengawasi perilaku aparatur negara karena dia
punya kuasa yang begitu besar terhadap rakyatnya
sendiri. Terkait dengan penafsiran peraturan
perundang-undangan, penafsiran perundang-undangan
tidak harus berujung menemukan hukum. Hal demikian
menekankan butuhnya lembaga supervisi. Menurut Pak
Aristo, korupsi bukan kejahatan luar biasa. Kejahatan
luar biasa hanya merupakan hal yang sesuai dengan
Statuta Roma.5 Terkait dengan ketiadaan lembaga
pengoreksi KPK ini, implikasi yuridisnya adalah
hilangnya check and balances yang idealnya terdapat di
dalam sistem ketatanegaraan, apalagi bagi lembaga
dengan kewenangan seperti KPK. Check and balances ini
hilang ketika yang membuat dakwaan, membela berada
dalam satu otak, dapat terjadi tirani penegakan
hukum.
Sesi Tanya Jawab
Andi Aulia Rahman dari Fakultas Hukum UI yang
saat ini menjabat sebagai Ketua BEM Universitas
Indonesia bertanya mengenai usulan dari forum dekan
FH se-Indonesia usulan yang menarik mengenai hak
imunitas terbatas yang diberikan kepada komisioner
5 Statuta Roma atau Rome Statute of the International Criminal Court adalah persetujuan yang disepakati pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court. Hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi statuta tersebut.
KPK dalam artian ketika komisioner menjabat dan kasus
yang disangkakan diluar ketika dia menjabat tidak
dapat dikriminalisasi. Pertanyaan berikutnya
ditujukan kepada Prof. Adrianus mengenai
pertanggungjawaban terhadap pencalon Badrodian Haiti.
Pertanyaan kedua datang dari Paroy, peserta
diskusi publik dari Fakultas Hukum Universitas
Trisakti yang bertanya terkait dengan intervensi
untuk mendorong Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri,
sehingga presiden terkesan ditunggangi dalam
mencalonkan Kapolri.
Untuk menanggapi pertanyaan tersebut, Miko
Ginting menyatakan bahwasanya PSHK tidak setuju
dengan hak imunitas terbatas karena akanada unfair
treatment ketika diberikan ke KPK di saat lembaga
tersebut mempunyai kewenangan yang begitu besar.
Dampaknya adalah komisioner-komisioner dapat
menyalahgunakan kewenangannya. Menurut beliau, ide
imunitas ini juga tidak menjawab persoalan faktual
hari ini, karena berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam KUHAP penetapan tersangka cukup dengan bukti
permulaan6. KUHAP memang tidak mengatur mengenai
maksud dari bukti permulaan tersebut, akan tetapi
6 Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 1 angka 20 juncto Pasal 17 UU No. 8Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana
telah diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung,
Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No.
08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-
076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 Tentang
Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara
Pidana (Mahjekapol) dan pada peraturan Kapolri No.
Pol. Skep/1025/IX/2000 Tentang Pedoman Administrasi
Penyidikan Tindak Pidana, dimana dinyatakan bahwa
bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk
menduga adanya suatu tindak pidana dengan
mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah
dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur
dalam pasal 184 KUHAP, yakni keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.7 Sedangkan menurut pasal 44 ayat (2) UU KPK
butuh minimal dua alat bukti.8 Dimana dinyatakan
bahwa bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 ( dua)
alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik se cara biasa maupun
elektronik atau optik. Menurut beliau, penetapan
tersangka itu bisa dikoreksi di praperadilan karena7 Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
8 Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.