skripsi bab 1

24
1.1 Latar Belakang Salah satu aliran agama Islam yang beredar luas dan kuat di daerah Minangkabau ( Sumatera Barat ) adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan aliran agama Islam yang luas penyebarannya. Umumnya diwilayah Asia, Bornia Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, seperti tentang rasa atau “zok”. Di dalam pemahaman yang mengisbatkan zat Ketuhanan dan Isbat akan sifat maanawiyah yang maktub didalam roh anak-anak adam maupun pengakuan di dalam “fanabillah” maupun berkekalan dalam “bakabillah” yang melibatkan zikir-zikir hati (hudurun kalbu). Naqsyabandiyah memiliki peredaan dengan aliran agama Islam yang lain. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke- 14, Naqsabandiyah mulai menyebar ke daerah tetangga dunia

Transcript of skripsi bab 1

1.1 Latar Belakang

Salah satu aliran agama Islam yang beredar luas dan

kuat di daerah Minangkabau ( Sumatera Barat ) adalah

Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan aliran

agama Islam yang luas penyebarannya. Umumnya diwilayah

Asia, Bornia Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia.

Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan

tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang

spesifik, seperti tentang rasa atau “zok”. Di dalam

pemahaman yang mengisbatkan zat Ketuhanan dan Isbat akan

sifat maanawiyah yang maktub didalam roh anak-anak adam

maupun pengakuan di dalam “fanabillah” maupun berkekalan

dalam “bakabillah” yang melibatkan zikir-zikir hati

(hudurun kalbu).

Naqsyabandiyah memiliki peredaan dengan aliran agama

Islam yang lain. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-

14, Naqsabandiyah mulai menyebar ke daerah tetangga dunia

Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat

dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah,

dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf I

Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18

nama ini hampir sinonim dengan terekat tersebut diseluruh

Asia Selatan, wilayah Utsmaniah, dan sebagian besar Asia

Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsabandiyah

adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam

beribadah dan penolakan terhadap musik dan tari, serta

lebih mengutamakan berdzikir di dalam hati, dan

kecendrungan lebih kuat didalam keterlibatan di dalam

politik.

Aliran Islam ini telah menyebar ke berbagai negara

di dunia, termasuk juga Indonesia. Banyak daerah-daerah

di Indonesia mulai menganut ajaran ini diantaranya adalah

Provinsi Sumatera Barat ( Minangkabau ). Dalam konteks

wacana Islam lokal di Minangkabau, dikenal salah satu

lembaga Islam yang penting. Lembaga tersebut adalah

surau, yakni sebuah lembaga pribumi yang telah menjadi

pusat pengajaran Islam yang menonjol. Surau juga

merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Sebagai

pusat tarekat, surau juga menjadi benteng pertahanan

Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan

Belanda (Azra, 2003:34). Selain itu, sebagai pusat

tarekat, surau juga menjadi tempat untuk konsentrasi

gerakan bagi masing-masing golongan yang sedang

berpolemik tentang paham keislaman yang terjadi di

Minangkabau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Dalam fungsinya yang terakhir, pada waktu itu surau

menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai

pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari

masing-masing golongan tarekat membangun jaringan guru-

murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan

yang sangat kompleks.

Tarekat Naqsabandiyah merupakan jenis tarekat yang

sudah lama berkembang dan masih bertahan hingga sekarang.

Tarekat Naqsabandiyah telah mengalami persentuhan dan

pergolakan yang cukup lama dengan berbagai tradisi dan

budaya lokal. Akan tetapi, sangat disayangkan dinamika

dan perkembangan tarekat Naqsabandiyah di wilayah itu

belum terekam dengan baik, karena belum banyak penelitian

yang dilakukan terhadapnya. Melalui penelitian ini akan

dilihat sejauh mana naskah-naskah tersebut menggambarkan

dinamika tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Metode

Penelitian Penelitian ini menggunakan dua pendekatan,

yaitu pendekatan filologi dan sejarah sosial intelektual.

Pendekatan filologi digunakan untuk melihat datadata

tekstual dari naskah. Pendekatan sejarah sosial

intelektual untuk menelaah data-data secara kontekstual

dalam rangka penelusuran data-data sebagai gambaran

dinamika tarekat Naqsabandiyah di Propinsi Sumatera

Barat.

Salah satu dari ajaran Naqsyabandiyah yang mara

beredar di daerah Minangkabau adalah Suluk atau dalam

bahasa lokal disebut Suluak. Suluak merupakan ritual zikir

dan sholat yang berjalan selama 40 hari, terhitung

dimulai 10 hari sebelum masuknya bulan Ramadhan. Bagi

sebagain masyarakat, Suluak juga sering disebut dengan

"Sembahyang Ampek Puluh" (sholat berjamaah 40 hari

berturut-turut tanpa putus ).

Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam

kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk

berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh

jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur

hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama

Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama

Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk

Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian

Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah),

melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan

syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian

hati untuk mengenal diri dan Tuhan.

Pada tradisi suluak ini para Jemaah harus mengikuti

semua kegiatan yang diberikan oleh seorang Buya atau

mereka sebut sebagai guru. Selama empat puluh hari mereka

berdiam diri dalam sebuah surau hanya demi ibadah semata.

Hal ini tentu dapat membuat mereka merasa dekat Tuhan dan

seakan merasa seperti berkomunikasi dengan Tuhannya.

Selama empat puluh hari beribadah mereka tentu merasakan

kedekatan emosional dan spiritual dengan Tuhannya/

komunikasi Spiritual. Menurut Nina syam (2006) komunikasi

spiritual adalah komunikasi yang terjadi antara manusia

dan Tuhan. Atau dapat pula difahami bahwa komunikasi

spiritual berkenaan dengan agama. Artinya komunikasi yang

didasari nuansa-nuansa keagamaan. Karena agama

mengajarkan kepada kita tentang siapakah kita, apa tujuan

hidup kita, mau kemana arah hidup kita.

Dapat dilihat bagaimana komunikasi antar para Jemaah

dan juga komunikasi antara Jemaah dengan Buya/ guru

mereka. Komunikasi antarpribadi sangat jelas dalam

konteks ini. Komunikasi ini tidak bisa disebut komunikasi

organisasi, karena didalamnya tidak terdapat struktur/

tingkatan, hanya terdapat seorang guru dan para muridnya.

Dengan komunikasi antarpribadi yang sifatnya bisa lebih

intensif maka sangat cocok diterapkan pada konteks ini.

Didukung dengan sistem budaya masyarakat Minangkabau

yang sangat kental dengan agama dan lebih cendrung

menghabiskan waktu di surau. Sebagaimana pepatah ada

Minangkabau “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang

bermakna bahwa setiap budaya, adat istiadat dan kebiasaan

masyarakat selalu berlandaskan dengan Kitabullah atau Al-

Qur’an. Ajaran agama menuntut mereka untuk selalu

mendasari setiap prilaku dengan agama. Kondisi ini

menjadikan masyarakat Minangkabau ada masyarakat yang

distereotipekan sebagai masyarakat yang kental akan agama

Islam. Hingga akhirnya aliran agama ini mudah diterima

oleh masyarakat Minangkabau tersebut karena aliran ini

tidak dianggap menyimpang selagi aliran ini masih

memegang teguh rukun iman dan rukun islam serta

menjalankan Ibadah sebagaimana islam kebanyakan dan

selalu berpatokan kepada Al-Qur’an dan Hadist.

Keunikan dari ritual suluk sendiri adalah ritual ini

sangat berbeda dengan ritual-ritual yang dilakukan aliran

agama Islam yang lain. Mereka menjadikan ritual ini

sebagai ajang mereka merasakan pahitnya hidup dan

cendrung memprioritaskan hidup untuk keselamatan akhirat.

Bagi mereka tujuan utama dari ritual suluk ini adalah

untuk mendekatkan diri mereka kepada sang pencipta serta

menjauhkan diri mereka dari segala hal duniawi yang

membuat mereka jauh dari Tuhannya. Tradisi ini biasanya

dilakukan para orang-orang yang telah berusia lanjut dan

dirumah mereka cendrung tidak bekerja dan juga merupakan

salah satu cara untuk mengisi kekosongan kegiatan mereka

selama bulan Ramadhan. Selama empat puluh hari mereka

akan mendapatkan banyak hal dari proses belajar dengan

guru mereka, proses komunikasi yang lebih intim dengan

sesamanya dan merasakan bagaimana hidup dengan serba

keterbatasan.

Ritual suluk di daerah Minangkabau sebagai salah

satu ajaran dari aliran Tarekat Naqsyabandiyah, memiliki

nilai-nilai yang berdasarkan fungsinya ditengah-tengah

masyarakat. Ia tampil sebagai media komunikasi

“transendental” atau media komunikasi antarpribadi dengan

nilai-nilai dan simbil-simbol agama yang diusungnya.

Simbol-simbol agama yang terungkap dalam ritual suluk ini

memiliki muatan makna dan nilai-nilai agama yang ada pada

masyarakat dan lingkingannya.

Para Jemaah menjadikan buya/ gurunya sebagai

perantara antara mereka dan Tuhan. Buya juga harus

menemani para Jemaah semala empat puluh hari agar

senantiasa bisa membimbing para Jemaah agar tercapailah

maksud dan niatan mereka. Banyak pengalaman spiritual

yang sering dialamami oleh para Jemaah yang melaksanakan

tradisi suluk ini diantaranya mimpi, kesurupan sesuatu

yang baik, dan seakan melihat malaikat dalam bentuk

cahaya yang terang. Hal ini tidak terjadi kepada setiap

orang, namun hanya orang pilihan dari Tuhan yang bisa

merasakan.

Komunikasi ini menjadi hal mistis yang sangat susah

diungkapkan dengan kata-kata karena berhubungan dengan

hal yang gaib. Namun hal ini sering terjadi pada

kebanyakan orang yang melakukan ritual suluk di

Minangkabau. Suluk ini merupakan salah satu bentuk dari

komunikasi para Jemaah Naqsyabandiyah ini dengan

Tuhannya. Dimana mereka harus merasakan hidup selama

empat puluh hari di sebuah tempat yang tentunya kurang

nyaman untuk beristirahat, namun akan rasa cintanya

terhadap Tuhannya mereka menjadikan itu sebagai sebuah

cara untuk mendekatkan diri kepada sang penciptanya.

Objek penelitian ini adalah pola komunikasi yang

terjadi para para Jemaah Naqsyabandiyah yang melakukan

ritual suluk. Melalui studi etnografi dapat ditemukan

pola komunikasi sebagai hasil hubungan antar komponen

komunikasi itu. Komponen komunikasi itu diantaranya

adalah genre atau peristiwa komunikasi, topic, tujuan,

dan fungsi peristiwa komunikasi, partisipan dan bentuk

serta isi pesan. Secara global komponen komunikasi ini

mencakup dalam menggambarkan komunikasi yang terjadi

diantara para jamaah yang menjalan ritual suluk pada

bulan Ramadhan yang mencoba menyampaikan komunikasi

mereka kepada sesamanya.

Dari uraian tersebut, setidaknya terdapat gambaran

bagaimana aktifitas para jamaah Naqsyabandiyah pada saat

suluk sangat terkait dengan komunikasi. Anggapan ini

tentu saja berdasarkan ilmu komunikasi itu sendiri, yang

menurut pandangan Deddy Mulyana sebagai ilmu yang

omnipresent, komunikasi hadir dimana-mana, tak terkecuali

pada peritiwa ritual suluk yang dilakukan para jamaah

Naqsyabandiyah tersebut.

Komunikasi dalam definisi Littlejohn adalah semua

perilaku yang bermakna bagi penerima baik disengaja

maupun tidak sehingga menjadi sangat longgar atau sangat

“cair” (meminjam istilah Deddy Mulyana) bagi istilah

komunikasi itu sendiri.

1.2 Fokus Penelitian

Pesan budaya dan agama merupakan bagian terpenting

dalam peristiwa komunikasi yang berkaitan dengan Tarekat

Naqsyabandiyah ini. Antara salah satu aliran dengan

aliran lain akan berbeda dalam memaknai suatu pesan.

Peneliti bermaksud mengetahui hal-hal yang dilakukan para

jamaah penganut aliran Naqsyabandiyah di daerah

Minangkabau terkait, pola komunikasi dan interaksi,

keragaman kode, pesan budaya, dan pesan agama.

Penelitian ini menitik beratkan pada kajian

etnografi komunikasi yang terdapat pada pola komunikasi

Penganut Tarekat Naqsyabandiyah dalam focus penelitian

etnografi komunikasi, peneliti mengambil komponen

komunikasi sebagai bahasan inti. Komponen itu berupa

bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah

interaksi. Adapun focus penelitian ini diformulasikan ke

dalam pertanyaan “pola komunikasi penganut Tarekat

Naqsyabandiyah di Minangkabau?”

1.3 Pertanyaan Penelitian

Permasalahan penelitian ini dirinci lebih lanjut

menjadi bagian pertanyaan, antara lain:

1. Bagaimana pola komunikasi dan interaksi Jamaah

Tarekat Naqsyabandiyah saat menjalankan ritual

suluk?

2. Bagaimana keragaman kode yang ditampilkan pada

saat ritual suluk berlangsung selama empat

puluh hari tersebut?

3. Bagaimana interpretasi makna dan pesan budaya

yang diusung oleh para jamaah Tarekat

Naqsyabandiyah saat melakukan ritual suluk

tersebut?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk memberikan gambaran

tentang pola komunikasi yang terjadi pada jamaah

Tarekat Naqsyabandiyah yang melakukan Ritual suluk

pada saat ramadhan/ empat puluh hari. Tujuan akhir

dari penelitian ini adalah memberikan wacana

pembangunan mental dan identitas budaya masyarakat

Minangkabau secara positif. Tujuan akhir tersebut

memuat memuat komponen-komponen tujuan terinci sebagai

berikut:

1. Pola komunikasi dan interaksi para Jamaah Tarekat

Naqsyabandiyah saat ritual suluk

2. Keragaman kode yang ditampilkan

3. Pesan budaya dan agama yang diusung dari kegiatan

tersebut

1.5 Kegunaan Penelitian

1.5.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi terhadap elaborasi kajian Ilmu

Komunikasi, khususnya dalam memperkaya model

penelitian yang mengarah pada etnografi komunikasi.

Penelitian ini dapat menjelaskan tentang pesan agama

dan budaya yang diusung oleh para orang-orang yang

melakukan ritual suluk tersebut baik dia penganut

ajaran Naqsyabandiyah maupun orang yang semata ingin

melakukan ritual tersebut hanya untuk beribadah.

Penelitian ini bermaksud untuk menambah kekayaan

karya tulis dan informasi tentang kebudayaan dan

kepercayaan suku bangsa dan agama. penelitian ini

juga diharapkan dapat mengungkapkan secara empiris

proses komunikasi dalam jamaah yang melakukan ritual

suluk selama empat puluh terhitung dari sepuluh hari

sebelum Ramadhan dan tiga puluh hari selama

Ramadhan, serta dapat dijadikan bahan informasi

ilmiyah terhadap peneliti lain.

1.5.2 Kegunaan praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

tentang pola komunikasi yang dilakukan oleh penganut

Tarekat Naqsyabandiyah pada budaya suluk. Dengan

demikian, masing-masing pihak terkait dapat

mengetahui bagaimana pola komunikasi yang terjadi

disana. Selain ingin memberikan informasi mengenai

aliran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia pada

umumnya dan di Sumatera Barat pada khususnya,

penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

siapa saja yang sudah atau akan menganalisis kasus

yang sama bahkan dengan konten yang sama.

1.6 Kerangka pemikiran

Penulis mengawali kerangka dengan

mengidentifikasikan dan menjabarkan tentang aliran

Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat. Menjelaskan

bagaimana perkembangannya dan bagaimana aliran ini

dapat masuk ke dalam ranah budaya Minangkabau.

Selanjutnya menjelaskan tentang budaya suluk yang

merupakan ajaran pada aliran Naqsyabandiyah tersebut.

Menjelaskan bagaimana pola komunikasi diantara para

jamaah. Interaksi simbolik tampaknya tidak

terhindarkan dari kasus ini.

Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu

membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna

tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dalam hal

ini masyarakat penganut aliran ini melakukan interaksi

dengan sesamanya maupun dengan orang lain tanpa mereka

sadari meggunakan ajaran atau kepercayaan yang mereka

lakukan. Dari interaksi inilah masyarakat dapat

memaknai apa sebenarnya ajaran Tarekat Naqsyabandiyah

ini. Aliran Naqsyabandiyah ini telah menyebar ke

berbagai negara di dunia, termasuk juga Indonesia.

Banyak daerah-daerah di Indonesia mulai menganut

ajaran ini diantaranya adalah Provinsi Sumatera Barat

( Minangkabau ).

Dari interaksi ini juga penganut aliran Tarekat

Naqsyabandiyah yang menjalankan ritual Suluk selama

empat puluh hari ini terbentuklah pola komunikasi

diantara para jamaah tersebut. Empat puluh hari

tersebut dapat menggambarkan tentang bagaimana bentuk

komunikasi yang terjadi diantara para jamaah. Terlebih

lagi mereka tinggal dalam satu tempat dan akan terus

melakukan interaksi selama empat puluh hari tanpa

putus.

Dalam konteks wacana Islam lokal di Minangkabau,

dikenal salah satu lembaga Islam yang penting. Lembaga

tersebut adalah surau, yakni sebuah lembaga pribumi

yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang

menonjol. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi

di Minangkabau. Sebagai pusat tarekat, surau juga

menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap

berkembangnya dominasi kekuatan Belanda (Azra, 2003:34

). Dengan kata lain interaksi simbolik menjelaskan dan

menerangkan bahwa (i) manusia bertindak terhadap

manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang

lain kepada mereka, (ii) makna diciptakan dalam

interaksi antar manusia, serta (iii) makna

dimodifikasi melalui proses interpretif (Herbert

Blummer, 1969). Hal ini membuat seseorang akan bisa

memperepsi atau menilai sesuatu itu hanya dengan

melalui interaksi/ hubungan mereka dengan orang lain.

Bagaimana kita bisa mengetahui pola komunikasi seperti

apa yang ada pada jamaah Tarekat Naqsyabandiyah pada

Bulan Ramadhan.

Dengan demikian penulis bisa berfokus pada bagaimana

aliran ini dapat berkembang dimasyarakat setelah dapat

memaknai teori interaksi simbolik. Hal ini dapat

membuat peneliti dengan mudah bisa memaknai ini dengan

menggunakan teori interaksi simbolik tersebut. Manusia

bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna

yang diberikan orang lain kepada mereka. Dalam hal ini

penganut aliran Naqsyabandiyah akan berprilaku sesuai

dengan anggapan orang kepada mereka. Beberapa tempat

di Sumatera Barat seperti kota Padang penganut aliran

Naqsyabandiyah mengasingkan diri dari masyarakat

sekitar karena mereka dianggap sesat dan tidak sesuai

dengan kaidah agama Islam sesungguhnya. Namun

dibeberapa tempat seperti Bukittinggi dan Payakumbuh

dimana penganut aliran ini dengan senang hati bergaul

dengan mereka karena mereka tidak dianggap sesat dan

cendrung bersikap sopan terhadap masyarakat.

Makna diciptakan dari interaksi dengan manusia.

Beberapa uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa

beberapa daerah di Sumatera Barat penganut ini seperti

tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena

faktor interaksi mereka yang sangat kurang terhadap

masyarakat da terkesan tertutup sehingga hal ini dapat

memicu prasangka atau praduga negative terhadap mereka

dari masyarakat lain.

Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Makna

yang diambil oleh penganut aliran itu sendiri yakni

berdasarkan apa yang telah didapat dan dipelajari dari

aliran ini. Selanjutnya para penganut aliran ini

mengambil makna berdasarkan dimana tempat dia

berada,pada kasus ini mereka berada di daerah

minangkabau yang sangat kental akan Islam dan mereka

pun bisa memaknai hal ini bedasarkan lingkungan

tersebut.

Penelitian ini menggunakan Teori activity interaction.

Teori ini dikenal dengan teori AIS, konsepsi dasar

teori ini berpijak pada dasar pemikiran (Homans,

1950):

a. Makin banyak seseorang melakukan kegiatan bersama

orang lain, maka makin beraneka ragam interaksi yang

dikembangkan. Akibatnya semakin tumbuh rasa

kebersamaan diantara mereka.

b. Semakin sering seseorang melakukan interaksi maka

semakin sering orang tersebut membagikan perasaan

dengan orang lain.

Menurut Homans, keseluruhan dari perangkat kegiatan,

interaksi, dan perasaan serta hubungan timbal balik

dalam suatu kelompok, membentuk sistem sosial

tersebut. Jangkauan hubungan timbal balik ini,

menurut Homans, menandakan batas-batas kelompok itu

ada, dan di luar batas ini ada lingkungan dimana

kelompok itu ada dan dengan mana kelompok itu harus

menyesuaikan dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

West, Richard. Lynn H. Turner. 2007. Introducing

Communication Theory : Analysis and Application 3rd ed. Amerika.

NY

Rakhmat, Jallaludin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung.

PT Rosda Karya.