BAB 1 Penelitian Skripsi Rinjani

50
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang cukup pesat memberi dampak terhadap gaya hidup masyarakatnya. Seperti halnya gaya hidup dalam hal merawat tubuh yang banyak diminati oleh para kaum hawa. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut misalnya dengan teknologi yang canggih hingga mengubah gaya serta pola hidup masyarakat. Salah satunya adalah kesehatan dan keindahan tubuh yang merupakan suatu anugrah yang sangat ingin dimiliki oleh setiap orang. Apalagi pada kenyataannya manusia dihadapkan pada globalisasi yang didukung dengan kemudahan-kemudahan memperoleh informasi dari penjuru dunia. Sehingga dari ketersediaan teknologi serta kemajuannya yang pesat banyak orang khususnya wanita berlomba-lomba agar terlihat lebih ideal dimata masyarakat dengan memanfaatkan teknologi yang ada, mulai dari rambut, wajah, bahkan kulit. Berbagai produk dan praktik dijalani dalam mengelola bagian tertentu untuk memperoleh bentuk ataupun rupa yang diinginkan. Seperti perawatan tubuh atau body care yang terdiri dari skin care 1

Transcript of BAB 1 Penelitian Skripsi Rinjani

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang cukup pesat

memberi dampak terhadap gaya hidup masyarakatnya. Seperti halnya

gaya hidup dalam hal merawat tubuh yang banyak diminati oleh para

kaum hawa. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk mencapai

hal tersebut misalnya dengan teknologi yang canggih hingga

mengubah gaya serta pola hidup masyarakat. Salah satunya adalah

kesehatan dan keindahan tubuh yang merupakan suatu anugrah yang

sangat ingin dimiliki oleh setiap orang. Apalagi pada

kenyataannya manusia dihadapkan pada globalisasi yang didukung

dengan kemudahan-kemudahan memperoleh informasi dari penjuru

dunia. Sehingga dari ketersediaan teknologi serta kemajuannya

yang pesat banyak orang khususnya wanita berlomba-lomba agar

terlihat lebih ideal dimata masyarakat dengan memanfaatkan

teknologi yang ada, mulai dari rambut, wajah, bahkan kulit.

Berbagai produk dan praktik dijalani dalam mengelola bagian

tertentu untuk memperoleh bentuk ataupun rupa yang diinginkan.

Seperti perawatan tubuh atau body care yang terdiri dari skin care

1

(perawatan kulit), hair care (perawatan rambut), manicure dan

pedicure1, spa, Body Slimming Program dan lain-lainnya. Semua bentuk

serta jenis perawatan tersebut setidaknya dapat diperoleh dengan

mudah dan semakin inovatif dari waktu ke waktu. Sudah pasti

industri kecantikan dan program-program kesehatan dengan slogan-

slogan “menjadi indah secara alami” ini semakin merajai pasar

dengan memanfaatkan tingkat kebutuhan seseorang untuk tampil

maksimal, terutama kecantikan fisik yang juga salah satu cara

agar seorang tetap merasa percaya diri. Dalam situasi ekonomi

negara yang belum sepenuhnya stabil seharusnya hal tersebut

terkesan pemborosan namun, untuk urusan mempercantik dan

memperindah diri jaman sekarang ini menjadi tidak terhalangi.

Keinginan seseorang untuk tampil ideal dimata masyarakat

kerap kali mendominasi isi kepala mereka, sehingga tidak sedikit

orang yang kemudian melakukan berbagai usaha agar terlihat

sempurna. mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berbagai

produk dan praktik dikenakan dalam mengelola bagian tubuh

tertentu agar sesuai dengan kriteria ideal yang ada di mata

1 manicure dan pedicure merupakan salah satu perawatan yang dilakukan di pusat-pusat kecantikan seperti salon yang terdiri dari perawatan pada kuku tangan dan kuku kaki.

2

masyarakat modern. Wanita yang pada dasarnya suka sekali

memperhatikan penampilan untuk menarik perhatian lawan jenisnya

atau sekedar untuk kebersihan, sudah biasa dengan banyaknya

perawatan yang ditawarkan. Pusat pusat perawatan dan kesehatan

tubuh lokal hingga internasional seperti Natasha, LBC (London

Beauty Center), Larissa, Jasper Pusat perawatan Kecantikan dan

salon-salon kelas atas telah menjadi bisnis yang cukup besar yang

menunjukan bahwa betapa permintaan terhadap pelayanan kesehatan

dan kecantikan sedang menuju suatu titik puncaknya. Tak terhitung

jumlah alat atau obat yang diproduksi untuk mengkikis lemak, atau

krim-krim yang berfungsi menutrisi kulit sehingga kulit menjadi

lebih putih, kencang, tidak kusam dan sebagainya. Hal ini

menunjukan betapa pengelolaan tubuh telah terintegrasikan dalam

kehidupan sehari-hari.

Tidak mengherankan jika jasa maupun produk yang memberikan

penawaran menarik mengenai bagaimana seseorang dapat terlihat

lebih indah dari sebelumnya menjamur di kota-kota besar dan kini

sudah merambah ke daerah-daerah yang baru benar-banar tersentuh

oleh dampak dari globalisasi. Di Jakarta yang menjadi pusat

perekonomian kemajuan teknologi sudah memiliki beragam alternatif

3

perawatan untuk tubuh , dari salon kecantikan hingga klinik

khusus untuk perawatan tubuh. Sehingga industri yang memberikan

penawaran tersebut berangsur angsur menjadi bisnis yang besar.2

Mendalamnya makna sosial atas kecantikan dan keindahan tubuh

serta kulit dapat terlihat nyata dalam bidang ekonomi. Di Amerika

Serikat, penjualan kecantikan meningkat dari $40 juta pada tahun

1914 menjadi $18,5 miliar pada tahun 1990.3 Memang kecantikan dan

keindahan sangatlah mengontrol wanita, nampaknya di mata industri

ini ada saja bagian tubuh terutama kulit tubuh yang dianggap tak

indah, dengan demikian pula industri kecantikan bukan hanya

meraih keuntungan material namun juga berhasil memberikan nilai

tinggi pada keindahan dan kecantikan tubuh wanita yang artinya

kecantikan dapat dijadikan sarana untuk mencapai tujuan.

Tampaknya urusan tampangisme (Lookism) kini mulai menjadi

persoalan serius dalam perburuan kecantikan untuk selalu tampil

menjadi yang terbaik dalam kehidupan sehari hari.4 Dalam abad

ini, citra mendominasi persepsi kita, pikiran kita dan juga

2 David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalansutra, 2011, hlm 16.3 Anthony Synott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogyakarta: Jalansutra,2003 hlm 137.4 David Chaney, Op. cit. hlm 17.

4

penilaian kita akan penampilan wajah, kulit atau tampang

seseorang.5

Sudah menjadi hal yang lumrah jika kaum perempuan pergi ke

salon, atau klinik perawatan tubuh, karena dalam banyak kultur,

perawatan tubuh secara rumit hanya milik kaum hawa. Sebaliknya,

kaum lelaki merawat tubuh hanya berdasarkan atas kerapian, oleh

karena itu perawatan tubuh kaum lelaki jauh lebih sederhana.

Namun seiring dengan semakin berkembangnya jaman, ketertarikan

kaum lelaki dengan perawatan tubuh semakin besar, kecendrungan

seorang lelaki untuk lebih memperhatikan penampilan dan perawatan

tubuh semakin merebak luas, oleh sebab itu muncul istilah

“metroseksual”. Yang dimaksudkan istilah tersebut adalah

kecendrungan kaum lelaki yang begitu antusias merawat tubuhnya

untuk mengedepankan sex appeal (penapakan seksual) dan kepatutan

akan penampilan yang sedang marak di kota besar di Indonesia.

Gaya hidup metroseksual telah menjadi tren bagi sebagian

lelaki masa kini, bukan lagi pria macho berotot yang gagah

perkasa tetapi juga peggambaran lelaki yang kewanita-wanitaan.

David Beckham, Tom Cruise dan Brad Pitt adalah segelintir

5 Ibid, hlm 18.

5

selebriti ikon tren pria metroseksual dunia. Di Indonesia

terdapat Fery Salim seorang selebriti yang di nobatkan menjadi

ikon pria metroseksual, menurutnya laki-laki yang rapi, bersih

dan wangi bukan berarti bencong tetapi justru macho dan sexy.6

Memang masalah penampilan selalu menjadi topik utama dalam

kehidupan masyarakat perkotaan, konstruksi sosial masyarakat

terhadap kecantikan dan keindahan terhadap seseorang sudah mulai

bergeser yang sebelumnya memaknai sebuah keindahan kebersihan dan

kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari aspek fisik saja

melainkan prilaku dan sifat juga menjadi kriteria. Misalnya

seorang wanita dikatakan cantik jika ia memiliki prilaku yang

anggun dan sopan, namun sekarang hal tersebut mulai bergeser

kearah yang lebih sederhana, seorang wanita dikatakan cantik pada

saat ini jika ia memiliki anggota tubuh yang dapat mengalihkan

pandangan setiap orang yang melihatnya dengan kata lain

penampilan fisik saja sudah menjadi keseluruhan dari kriteria

menarik. Sekarang mulai ada standar baru atau ukuran penampilan

seseorang yaitu kulit putih langsat dengan bibir pink merona

6 Kompas Cyber Media September 2014

6

serta tubuh langsing yang menjadi patokan bagaimana sesorang

dapat dinilai sempurna oleh masyarakat yang melihatnya.

Perawatan kesehatan dan kecantikan tubuh atau biasa disebut

beauty care memang bukanlah fenomena baru dikalangan wanita dan

kaum metroseksual, terlebih lagi mereka yang memiliki pekerjaan

yang sudah bisa dikatakan profesional, tawaran-tawaran menarik

mengenai perawatan yang menghasilkan sebuah kecantikan makin

marak diperdengarkan dimedia dengan memanfaatkan konstruksi

sosial yang ada dan gaya hidup konsumtif masyarakat, para pelaku

bisnis kecantikan ini bersaing menawarkan berbagai produk

perawatan kepada mereka dimulai dari harga puluhan ribu hingga

puluhan juta. Body Images salah satu slogan yang tersirat di mata

para viewer awam yang menelan mentah-mentah informasi yang

disampaikan oleh para pelaku bisnis body care, mereka membentuk

sebuah pola gaya hidup yang wajib diikuti, media massa pun

menjadi kiblat para viewer yang merasa memiliki kekurangan pada

tubuhnya, seperti contohnya di tahun 2014 ini maraknya produk skin

care yang berasal dari korea yang menjanjikan kecantikan

kemulusan bak gadis-gadis korea yang memukau dengan kulit putih

mulus, tubuh langsing serta bibir yang merona. Body image dapat

7

didefinisikan sebagai derajat kepuasan individu terhadap dirinya

secara fisik yang mencakup ukuran, bentuk, dan penampilan umum

seseorang.7 Body image juga merupakan gambaran mengenai tubuh

seseorang yang terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, atau

dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu

sendiri. Body image pun kian menjadi gambaran mental, persepsi,

pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap ukuran tubuh,

bentuk tubuh, dan berat tubuh yang mengarah kepada penampilan

fisik. Gambaran mental tersebut berbicara tentang keakuratan dalam

mempersepsi ukuran tubuh, evaluasi berbicara tentang apa yang

dirasakan individu, seperti kepuasannya terhadap tubuhnya,

perhatian dan kecemasan terhadap tubuh, dan sikap berupa penilaian

positif atau negatif terhadap tubuh.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka fokus permasalahan

penelitian ini adalah bagaimana kontruksi tubuh yang dimiki oleh

seseorang menjadi suatu citra dirinya dimata masyarakat yang

memandangnya sebagai seorang pekerja professional dan kecantikan

yang merupakan sebuah keharusan yang dijaga oleh seseorang tidak

hanya oleh kaum perempuan saja melainkan kaum lelaki demi7 Cash, T. F. (1994). Body images attitudes: Evaluation, investment, and affect: Perceptual motor skills. Journal of Psychology, (78), 1168-1170.

8

mengikuti tren gaya hidup diperkotaan dan penelitian ini juga

ingin melihat seberapa jauh perawatan tubuh yang dilakukan oleh

seorang professional perkotaan berpengaruh terhadap gaya hidupnya

serta kehidupan sosialnya.

1.2 Permasalahan Penelitian

Dari penguraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas,

penulis tertarik dengan masalah yang terjadi dalam masyarakat

modern ibu kota. Dengan adanya latar belakang permasalahan

mengenai perawatan tubuh yang lebih cenderung kepada gaya hidup

masyarakat modern saat ini. Maka penulis melihat bahwa seseorang

yang melakukan perawatan tubuhnya secara maksimal adalah mereka

yang memiliki pemasukan setiap bulannya karena melakukan

perawatan secara maksimal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit

pula. Penduduk yang termasuk angkatan kerja di Jakarta akan

terlihat bahwa dominasi usia angkatan kerja yang bearda di

Jakarta dipegang oleh mereka-mereka yang berusia masih tergolong

produktif yaitu usia 20 -30 tahun.8 Professional muda di Jakarta

8 Data BPS tentang penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut kelompokumur, www.bps.go.id diakses pada tanggal 3 September 2014.

9

memiliki motivasi dalam memilih pekerjaan, dan pada umumnya

motivasi utama mereka adalah uang dan gaya hidup.

Peran peer group (kelompok sepermainan), diantara para

professional muda itu sendiri bukanlah tidak mungkin mereka

melakukan interaksi diantara sesamanya dalam memperbincangkan

perawatan tubuh yang mereka gunakan. Ada diantara mereka yang

benar benar paham dan mengetahui jelas fungsi daripada perawatan

tubuh tersebut bagi gaya hidupnya ada juga yang memang hanya

ikut-ikutan berkat pengaruh dari interaksi sosial yang mereka

lakukan. Peran media massa baik cetak maupun elektronik

berpengaruh terhadap prilaku masyarakat profesional muda

mendapatkan informasi tentang selera gaya hidup yang dipengaruhi

oleh adanya iklan di televisi, Koran maupun majalah dan sekarang

media sosial pun sangatlah memiliki peran yang penting.

Cantik dan indah adalah dua kata yang sangat berarti jika

dikaitkan dengan wanita, setiap wanita tentunya mendambakan

kecantikan yang diidamkan oleh kaum lelaki ataupun kaumnya

sendiri. Untuk memiliki bagian tubuh yang cantik tersebut banyak

cara yang dapat di tempuh, baik dengan penggunaan kosmetika agar

terlihat lebih menawan dan menyamarkan bagian wajah yang kurang

10

indah, menggunakan jasa perawatan wajah kesalon-salon atau

kedokter yang membuka praktik perawatan kecantikan, menggunakan

tatarias wajah yang dekoratif ataupun hal-hal lainnya yang

terkait dengan usaha memperindah diri. Bahkan tak sedikit wanita

yang rela menderita akibat usaha yang mereka jalani demi hal

tersebut. Salah seorang psikolog Amerika terkemuka Nancy Etcoff,

dalam Survival of the Prettiest: Science of Beauty (1999) menyebutkan hal

tersebut dinamakan lookism yaitu teori yang menganggap bahwa bila

tampilan lebih baik, maka lebih sukseslah anda dalam kehidupan.9

Namun seiring dengan berkembangnya jaman, pemakaian produk

perawatan tidak hanya dilakukan oleh kaum wanita, melainkan kaum

metroseksual pun dirasa sangat membutuhkan hal tersebut. Gejala-

gejala yang menunjukan bahwa semakin banyak individu yang

menginginkan agar dipandang sebagai seorang individu yang

berkelas, penuh percaya diri dan memiliki prestise atau

sebagainya sangat terlihat di Jakarta. Para professional muda

tidaklah luput dari hal tersebut. Jadi berapapun biayanya dan

apapun cara yang ditempuhnya, mereka tidak mempedulikan, asalkan

mereka memperoleh penghargaan.

9 David Chaney, Op.cit. hlm 17.

11

Fondasi awal yang dibangun dalam pemikiran orang tentang

apakah itu definisi cantik sekarang ini adalah jika seorang

wanita memiliki tubuh yang langsing, kulit yang putih mulus,

berambut panjang serta wajah yang merona. Konstruksi sosial yang

dibangun dan menjadi haegemoni yang berakibat pada usaha para

wanita mendapatkan hal-hal yang dapat menyebutkan bahwa dirinya

cantik sehingga timbulah rasa percaya diri yang membuat penulis

ingin lebih mendalami mengenai hal-hal yang terkait dengan usaha

yang dilakukan professional muda untuk merawat tubuhnya, baik

mengenai alasan-alasan yang melatar belakangi prilaku mereka

memperindah kulit dan prilaku apa yang mereka lakukan untuk

menunjang kecantikan pada kulitnya. Sehingga penulis tertarik

dengan permasalahan bagaimana menggambarkan perilaku para

professional muda yang cenderung konsumtif dalam memperindah

kulit wajah serta tubuhnya dan kemudian melihat bagaimana trend

perawatan tubuh berpengaruh terhadap gaya hidup mereka pada jaman

sekarang serta apakah ada pengaruh dari significant others terhadap

prilaku professional muda tersebut, kemudian melihat pengaruh

media masa terhadap prilaku mereka untuk memperindah kulit wajah

12

serta tubuhnya. Berdasarkan uraian diatas, maka titik berat dari

penelitian ini adalah perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi sosial tubuh dan makna perawatan

kecantikan bagi professional muda di Jakarta?

2. Bagaimana implikasi sosial perawatan kecantikan dalam gaya

hidup perkotaan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan

utama penelitian ini adalah mejawab pertanyaan penelitian

tersebut, yaitu menjelaskan secara mendalam bagaimana konstruksi

sosial tubuh dan perawatan tubuh bagi professional muda di

Jakarta setra menjalaskan bagaimana implikasi sosial perawatan

tubuh dalam gaya hidup perkotaan. Adanya tujuan penelitian

tersebut membatu peneliti agar lebih fokus terhadap pertanyaan

permasalahan dan diharapkan skripsi ini nantinya menyajika

jawaban yang sistematis dan terstruktur. Peneliti akan berusaha

menjawab pertanyaan penelitian dengan sebaik-baiknya. Peneliti

mendapatkan informasi dan data dengan menggunakan strategi

pendekatan kepada informan terlebih dahulu.13

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat akademisnya adalah sebagai tugas akhir skripsi untuk

syarat lulus. Agar dapat bermanfaat bagi pembaca berupa ilmu,

pengetahuan dan wawasan tentang Body Care dan Gaya Hidup

Profesional Muda Perkotaan dengan Studi Kasus Profesional Muda di

Jakarta. Terkait dengan latar belakang, permasalahan dan tujuan,

maka penelitian ini memiliki beberapa manfaat, baik itu secara

teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini

diharapkan dapat melengkapi studi-studi yang berhubungan dengan

sociology of body dan konstruksi sosial. Dilihat dari kenyataan yang ada,

untuk mengungkap bagaimana kehidupan sosial para professional

muda yang tidak mudah tanpa adanya sebuah citra tubuh. Sedangkan

manfaat secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi

masukan kepada peneliti lain yang melakukan penelitian serupa

mengenai perawatan tubuh yang dilakukan oleh professional muda

dan gaya hidup yang menuntut sebuah penampilan yang sempurna.

Dengan demikian diharapkan akan menambah pengetahuan mengenai

14

suatu gaya hidup yang dilakoni oleh professional muda di kota

besar.

1.4 Tinjauan Penelitian Sejenis

Penelitian ini diberi inspirasi dari penelitian sebelumnya

dengan merujuk pada penelitian yang dianggap sejenis, diharapkan

dapat melengkapi data dan fakta dari penelitian sebelumnya.

Peneliti mengambil contoh beberapa studi lain sejenis yang cukup

banyak telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya meskipun

dengan lokasi dan sudut pandang yang berbeda yang pertama adalah

penelitian dalam bentuk skripsi yang dilakukan oleh Nur Apiyah

pada tahun 2013 yang berjudul “Modifikasi Tubuh Sebagai Ekspresi Budaya

dan Gaya Hidup (Studi kasus: Pemakaian Behel, Tato dan Piercing)”10. Dalam

skripsi Nur Apiyah peneliti menyimpulkan bahwa skripsi tersebut

memfokuskan kepada bagaimana seseorang melakukan modifikasi pada

tubuhnya sebagai bentuk dari sebuah indentitas dirinya. Individu

yang memodifikasi tubuhnya sedemikian rupa dan menghasilkan

sebuah fenomena tentang kelas sosial dalam suatu pemilihan gaya

hidup yang sama. Melalui modifikasi masyarakat dapat melihat dan

10 Nur Apiyah, Modifikasi Tubuh Sebagai Ekspresi Budaya dan Gaya Hidup (Studi kasus: Pemakaian Behel, Tato dan Piercing),Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. 2013.

15

mengetahui gaya hidup setiap individu yang disimbolkan melalui

tubuh. Modifikasi tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian Nur

Apiyah ini adalah dilakukan seorang individu yang ingin tampil

dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota kalangan masyarakat

menengah keatas. Penelitian Nur Apiyah ini dilakukan dengan

metode kualitatif dengan melakukan waancara mendalam dan lokasi

penelitiannya di daerah Jakarta. Yang Kedua adalah penelitian

dalam bentuk Skripsi yang dilakukan oleh Anindya pada tahun 2005

yang berjudul, “Prilaku Remaja Perempuan Untuk Mempercantik Wajah, Suatu

Tinjauan Sosiologi”.11 Dalam skripsi Anindya, peneliti menyimpulkan

bahwa skripsi tersebut memfokuskan kepada prilaku remaja

perempuan dalam usahanya untuk membuat dirinya lebih cantik,

khususnya bagian wajah untuk meningkatkan percaya dirinya, dan

juga bagaimana industri kecantikan hadir dalam melengkapi

sentuhan kesempurnaan kecantikan pada wajah. Kecendrungan

estetasi perempuan terhadap usaha untuk mempercantik wajah yang

dilakukan sedemikian rupa pada wajah. Dalam hal tersebut, Anindya

memaparkan media massa juga memiliki keterkaitan dalam memberikan

konstruksi kecantikan pada wajah. Metodologi yang digunakan

11 Anindya, Prilaku Remaja Perempuan Untuk Mempercantik Wajah: Suatu Tinjauan Sosiologi, Depok: Universitas Indonesia, 2005.

16

adalah pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan

penarikan informan secara purposive dan lokasi penelitian diadakan

di Jakarta. Yang ketiga adalah penelitian dalam bentuk skripsi

yang dilakukan bersama oleh Raisa Andea pada tahun 2010 yang

berjudul “Hubungan Antara Body Image Dengan Prilaku Diet Remaja”12 dalam

penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa Body Images merupakan

suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat jaman

sekarang, terutama remaja. Kepedulian terhadap penampilan dan

body image yang ideal dapat mengarah kepada upaya obsesif seperti

mengontrol berat badan. Pada umumnya remaja melakukan diet,

berolahraga, melakukan perawatan tubuh, mengkonsumsi obat

pelangsing dan lain-lain untuk mendapatkan berat yang ideal. Dari

penelitian ini makna sebuah Body images bagi sesorang adalah

Keinginan yang disebabkan karena sering merasa tidak puas

terhadap penampilan dirinya dan ingin dipandang selayaknya fakta

sosial yang ada di mata masyrakat saai ini. Penelitian ini

berbentuk skripsi dengan metodologi yang digunakan dengan

pendekatan kuantitaif yang bersifat korelasional yang bertujuan

12 Raisa Andea. Hubungan Antara Body Image Dengan Prilaku Diet Remaja. Medan: Universitas Sumatera Utara. 2010.

17

untuk mengetahui hubungan antara body image dan perilaku diet pada

remaja.

Tabel 1.1

Nama Penulis Judul

Penelitian

Persamaan Perbedaaan

Nur Apiyah Modifikasi Tubuh Sebagai Ekspresi BudayaDan Gaya Hidup (studi kasus: Pemakaian Behel, Tato danPiercing)

Peneliti dan Nur Apiyah samasama membahas mengenai sebuahgaya hidup yangdijalani oleh suatu anggota masyarakat tertentu dimanahal tersebut merupakan sebuah tuntutanhidup yang harus mereka jalani untuk menunjangn kehidupan bermasyarakatnya agar dapat dipandang lebih.

Perbedaan penelitian dengan Nur Apiyah ini adalah pemfokusan masalah yang diambil, peneliti memfokuskan masalah pada gaya hidup konsumtif yang dilakukan oleh informan dan Nur Apiyah lebih fokus kepada bagaimana modifikasi tubuh sebagai ekspersi kebudayaan padamasyarakat

18

jaman sekarang.Anindya Prilaku Remaja

Perempuan Untuk Mempercantik Wajah: Suatu Tinjauan Sosiologi

menjelaskan tentang bagaimana seseorang berusaha menjadi cantik dengan prilaku konsimtif untukmenunjang gaya hidup yang dilakoninya.

Perbedaanya terletak pada subjek dan objek penelitian, Anindya dengan kalangan remajasebagai informan utamanya sedangkan peneliti mewawancarai professional muda. Objek penelitian Anindya adalah sebatas kosmetika wajahsedangkan penelitian inimenjelaskankan keseluruhan dari perawatan tubuh termasuk kosmetika.

Raisa Andea Hubungan AntaraBody Image Dengan Prilaku Diet Remaja

Menjelaskantentang bodyimages yang

sangatberpengaruhterhadapkehidupan

Perbedaanya terletak pada subjek penelitian. Jika peneliti mengangkat subjek dari

19

seseorang profesional muda di Jakartayang meggunakanbody care, penelitian yangdilakukan oleh Raisa menggambil subjek remaja. Perbedaan lainnya terletak pada metode penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif sedangkan Raisamenggunakan metode kuantitatif.

Sumber: diolah dari penelitian sejenis, tahun 2014

Berdasarkan ketiga penelitian sejenis diatas, perbedaan

dengan penelitian yang hendak dilakukan adalah yang pertama

skripsi dari Nur Apiyah memfokuskan penelitian pada gaya hidup

konsumtif yang dilakukan oleh informan dan memfokuskan dalam

mengkaji tentang ekspresi kebudayaan yang dilakukan pada

masyarakat jaman sekarang sedangkan peneliti lebih memfokuskan

20

kepada gaya hidup informan secara sosial. Skripsi yang kedua oleh

Anindya perbadaannya terletak pada subjek serta objek yang di

teliti, Perbedaanya terletak pada subjek dan objek penelitian,

Anindya dengan kalangan remaja sebagai informan utamanya

sedangkan peneliti mewawancarai professional muda. Objek

penelitian Anindya adalah sebatas pada kosmetika wajah sedangkan

penelitian ini menjelaskankan keseluruhan dari perawatan tubuh

termasuk kosmetika. Yang ketiga adalah skripsi dari Raisa Andea,

yang membedakan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian

dimana peneliti mengambil informan dari profesional muda

sedangkan Raisa Andea Mengambil subjek dari kalangan remaja.

1.5 Kerangka Konseptual

Pembahasan tentang Body Care dan Gaya Hidup Profesional Muda

Perkotaan dengan Studi Kasus Profesional Muda di Jakarta, maka

penulis akan menjelaskan tiga konsep besar yang menjadi pokok

utama dalam penelitian yaitu Gaya Hidup, Konstruksi Sosial Kecantikan dan

Posisi Sosial Tubuh Dalam Kecantikan serta teori yang mendukungnya. Fokus

utama penulis adalah bagaimana gaya hidup tersebut dikaitkan

dengan prilaku konsumtif serta konstruksi sosial yang memang

mendukung untuk mencapai tujuan hidup mereka21

1.5.1 `Gaya Hidup

Sebuah gaya hidup memungkinkan dapat digunakan sebagai cara

yang mudah untuk mengenal perbedaan kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Seolah lewat gaya hidup kelompok sosial dapat

diidentifikasi kehadirannya. Gaya menurut Stuart Ewen dalam

adalah :

1. Gaya adalah satu wahana dimana seseorang dapat dinilai dan

menilai orang lain. Gaya sebagai wahana pendefinisian diri (self)

2. Gaya merupakan wahana pula untuk memahami masyarakat baik gaya

dalam organisasi, kepemimpinan, dan konsumsi.

3. Gaya sebagai elemen pembentuk kesadaran yang total dan dasyat

tentang dunia sebagai informasi dan sebagai pembentuk citra. 13

Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang

menghabiskan waktu luangnya dan gaya hidup mempengaruhi prilaku

seseorang yang kemudia menentukan pilihan-pilihan konsumsi

seseorang.14 Seseorang cenderung ingin memiliki sesuatu yang

mencerminkan gaya. Karena dengan gaya seseorang dapat

mendefinisikan dirinya. Menurut Pilliang, Gaya hidup adalah pola

13 Yasraf Amir Pilliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 200314 Rhenarld Kasali, Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, Pisitioning, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 225-226

22

(durasi, intensitas, kuantitas) penggunaan waktu, ruang dan

barang di dalam kehidupan sosial. Gaya hidup dibentuk didalam

sebuah ruang sosial (social space), yang didalamnya terjadi sintesis

antara aktivitas belanja dan kesenangan. Didalam kapitalisme

masyarakat dikonstruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang

gaya hidup, yang menjadikan mereka sangat bergantung pada irama

pergantian gaya, citra, status yang ditawarkan didalamnya.

Menurut Pilliang Gaya hidup adalah cara manusia consumer

mengaktualisasikan dirinya lewat semiotisasi kehidupan.

Semiotisasi kehidupan tersebut merupakan suatu tanda-tanda dan

kode-kode dimana diwujudkan dalam bentuk waktu, uang dan

barang.15 Didalam dunia konsumerisme, apapun dapat dikontruksi

sebagai bagian dari gaya hidup, selama ia dapat dirubah menjadi

citra, tanda dan gaya. Sejalan dengan pendapat A.B Susanto bahwa

gaya hidup adalah cara seseorang mengkonsumsi waktu dan uangnya

untuk mengaktualisasikan dirinya16. Chaney juga memahami gaya hidup

sebagai proses aktualisasi diri dimana para aktor secara

refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus hidup dalam suatu

15 Yasraf Amir Pilliang, Op.cit. hlm 15816 A.B Susanto, Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis, Jakarta : Penerbit Kompas, 2001, Hlm 4

23

konteks interdependensi global.17Dari berbagai pendapat mengenai

gaya hidup, konsep gaya hidup yang dipakai dalam penelitian ini

adalah cara seseorang menampilkan identitas dirinya lewat

penggunaan waktu, uang dan barang. Untuk menangkap suatu gaya

hidup dapat dilihat dari barang-barang yang dimiliki dan yang

dipakai sehari-hari yang biasanya bersifat modis, trendi. Dalam

artian mengikuti mode/fashion dan mengikuti trend. Tetapi untuk

dapat mencapai sesuatu gaya hidup yang dinginkan, biasanya

seseorang harus pula mengeluarkan biaya lebih atau ekstra.

Pengeluaran biaya yang berlebih tersebut memicu seseorang

mengkonsumsi barang dan jasa. Konsumsi merupakan kegiatan

menghabiskan barang dan jasa. Sejalan dengan apa yang dikatakan

Pilliang bahwa konsumsi sebagai satu proses menghabiskan /

mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan dalam sebuah

objek.18 Adanya kegiatan menghabiskan barang dan jasa dikarenakan

kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupannya.

Kebutuhan merupakan sesuatu yang relatif karena setiap orang

memiliki kebutuhan yang berbeda.

1.5.2 Posisi Sosial Tubuh Dalam Kecantikan

17 David Chaney, Op.cit. hlm 2318 Yasraf Amir Pilliang, Op.cit. Hlm 158

24

Semenjak akhir abad ke-20, tubuh telah menjadi fokus

perhatian yang meningkat dalam jajaran disiplin ilmu dan media.

Tubuh telah didefinisikan kembali oleh penegasan bahwa bentuk

fisik tidak hanya merupakan sebuah realitas natural, tetapi juga

sebuah konsep cultural yaitu sebuah cara penyandian (encoding)

nilai-nilai masyarakat. Citra tubuh meliputi struktur-struktur

signifikansi melalui sebuah budaya yang mengkonstruksi makna-

makna dan posisi-posisi bagi subjeknya. Tubuh adalah objek yang

direpresentasikan maupun sebuah organisme yang dikelola untuk

merepresentasikan pengertian-pengertian dan hasrat-hasrat.19

Tubuh pun erat kaitannya dengan cantik. cantik adalah inspirasi

dan dambaan sekaligus menjadi cita-cita. Entah sejak kapan kata

cantik mulai digunakan untuk mengidentifikasi tubuh yang ‘ideal’.

Kecantikan tubuh bukan hanya fenomena biologis, kecantikan

diciptakan masyarakat dengan sangat rumit. Kecantikan adalah bagian

dari tubuh yang menjadi bagian dari atribut sosial dan identitas.

Kecantikan, ketidakcantikan, tinggi badan, berat badan, warna

kulit, rambut telah menjadi identitas dalam hidup. Tubuh tidak lagi

bongkahan daging dan kiloan tulang, tubuh memiliki muatan simbolis19 Dani Cavallaro, Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya, Yogyakarta: Niagara,2004, hal 176

25

dan kultural. Mulut, bibir, mata, hati, dan lainnya, member kesan

tak hanya sekedar melengkapi struktur tubuh biologis tapi dibalik

itu bermain dalam ide dan citra. Pengembaraan konseptual atas atas

tubuh telah bergeser, perempuan memberlakukan tubuh (nya) secara

spesifik, bagai berhala. Bagi seorang Foucault, tubuh merupakan

kompleksitas yang ‘rumit’. Tubuh tak sekedar kumpulan daging dan

tulang, tapi juga representasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa

fenomena tubuh yang sosial bukan lagi pengaruh konsensus, melainkan

perwujudan kuasa. Sehingga, kepemilikan atas tubuh oleh pemiliknya

tidak lagi bersifat permanen, tetapi dinamis. Selalu ada perasaan

‘kurang’, senantiasa berproses hingga akhirnya terjadi eksploitasi

atas tubuh. Kecantikan yang merupakan sebuah konsep dinamis atas

tubuh senantias ditafsirkan secara kompleks. Zaman yang selalu

berubah ‘meminta’ tubuh ikut menyesuaikan. Berubah atau kolot

adalah pilihan serius yang dialami perempuan secara kolektif.

Kecantikan telah merambah lebih jauh ke arah bentuk dan

penampilan tubuh, seperti perut yang langsing, kulit yang kencang,

pinggul dan pantat yang ‘berbentuk’, wajah yang kinclong, rambut

yang terurai halus, wangi badan yang semerbak, nafas yang mendesah,

hingga pilihan kata yang meluncur dari mulut, dan sebagainya. Bagi

Synnot, kecantikan direpresentasikan oleh pola dan bentuk diatas

26

secara publik.20 Kecantikan telah menjadi publik karena adanya

panopticon21 dari publik ‘yang lain’. Mata publik tidak lagi menjadi

bagian dari organ biologis, tetapi sebagai pengawas bagi tubuh.

Mata adalah pula penjara bagi tubuh yang lain. Perempuan merasa

diawasi oleh ‘mata’ publik.

Dengan demikian, kecantikan adalah wacana yang diproduksi

senantiasa, terus menerus, setiap saat, dalam jangka waktu yang tak

terhingga oleh pasar tanpa disadari oleh perempuan-perempuan yang

mengalami dan berkeinginan cantik itu sendiri. Sehingga, jika

keiginan untuk menjadi cantik dihentikan oleh individu-individu

tersebut, maka pasar dengan segala perangkat pengawas dan jaringan

kontrol senantiasa memberi peringatan, bahkan pengalienasian

terhadap individu yang tidak ingin merayakan kecantikan tersebut.

Perempuan-perempuan ini pun dipaksa untuk mengikuti selera pasar

secara pasrah dan ikhlas. Pengawasan dan kontrol atas kecantikan

perempuanlah yang menjadikan kondisi psikis perempuan-perempuan

tersebut bisa dikategorikan sakit atau sehat. Ia akan didapuk

menjadi sehat jika bisa ikut mendalami dan mengikuti kuasa pasar

20 Anthony Synnot, Op.Cit, hlm 126.21 Konsepsi Michel Foucault mengenai ‘the panopticon’ bisa dimaknai sebagai ‘penjara yangsecara invisible’ hadir mengelilingi kedirian individu melalui represi sosial atas subyektivitas.

27

tersebut, dan akan dikategorikan sakit jika ia abai terhadap

perintah pasar tersebut. Foucault mengkategorikan tubuh yang patuh

sebagai tubuh yang normal, dan yang tidak patuh adalah sebaliknya.

Wacana kecantikan dan feminitas perempuan tidak dapat dilepaskan

dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa pada laki-

laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan di satu

sisi, dan perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas

feminitasnya dari pihak laki-laki.22 Mengetahui nilai simbolis

adalah tingkat penampilan visual tubuh tertentu yang dihargai. Ini

bisa mencakup pakaian, pewarnaan badan (termasuk pemakaian

kosmetika), atau bahkan ukuran dan bentuk tubuh. Simbol-simbol

hasil seleksi kaum laki-laki inilah yang menjadi ukuran ideal

mengenai kecantikan bagi wanita. Dan sekarang ini symbol-simbol

seleksi ukuran ideal kecantikan bukanlah milik kaum hawa saja,

perawatan kecantikan juga sangat mempengaruhi sebagian pria

terutama yang hidup ditengah kemegahan ibu kota, para pria

tersebut terkenal dengan sebutan pria metroseksual.

22 Rina Wahyu Winarni, Representasi Kecantikan Perempuan dalam Iklan, Jakarta: Jurnal Deiksis Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, 2009, Hlm 7

28

Secara etimologis metroseksual memiliki akar kata metropolis

yang berarti perkotaan, dan seksual yang berarti berhubungan

dengan jenis kelamin tertentu (dalam kasus metroseksual, jenis

kelamin yang dimaksud adalah pria), jadi dapat ditarik kesimpulan

bahwa metroseksual adalah pria yang hidup di tengah perkotaan dan

mengikuti gaya hidup metropolitan. Menurut Mark Simpson dalam

artikelnya “Here Come The Mirror Men” menyebutkan, “Metrosexual

is the trait of an urban male of any sexual orientation who has a

strong aesthetic sense and spends a great amount of time and

money on his appearance and lifestyle” atau dapat diartikan bahwa

metroseksual adalah ciri dari seorang pria perkotaan yang

memiliki suatu orientasi seksual tertentu dengan rasa estetika

yang tinggi, dan menghabiskan uang dan waktu dalam jumlah yang

banyak demi penampilan dan gaya hidupnya.23

Teori Giddens yang memaparkan konsep gender menyangkut

perbedaan secara psikologi, sosial dan budaya antara laki – laki

dan perempuan. Namun, dengan hadirnya kaum metroseksual teori

tersebut menjadi sedikit naif. Dari segi psikologis, seorang pria

metroseksual memiliki beberapa kecenderungan psikologis sama

23 Dikutip dari essay yang ditulis dalam situs http://www.marksimpson.com/here-come-the-mirror-men/ tanggal 20 September 2014 Pukul 15.30 wib

29

seperti yang dimiliki wanita, seperti memperhatikan kecantikan

raganya, suka berdandan (meskipun tidak berdandan seperti

wanita), dan hasrat berbelanja yang tinggi. Secara sosialpun pria

metroseksual lebih senang berkumpul dan bersosialisasi dengan

banyak orang, seperti kaum sosialita yang biasanya perempuan. Dan

secara budaya, pria metroseksual gemar merawat diri di salon dan

menghabiskan uang yang cukup besar untuk berbelanja demi

kesenangan, bukan kebutuhan (pleasure shoping). Tentu seorang

pria tidak menjadi seorang metroseksual secara otomatis atau

disebabkan bawaan genetis. Pasti ada pengaruh dari luar. Yang

berperan untuk mempengaruhi atau membentuk pola pikir (mindset)

atau sudut pandang (point of view) gendernya, yang adalah agen

sosialisasi gender. Masalah mengenai agen sosialisasi gender yang

mempengaruhinya berkaitan dengan feminisme yang akan dibahas

lebih lanjut dalam sub-pembahasan berikut. Emansipasi wanita

sebagai penyebab fenomena metroseksual Sejak dulu status dan

peran wanita sudah diapriori sebagai kaum inferior yang hanya

memiliki fungsi sebagai pelayan dan pendamping kaum pria semata.

Inilah yang menjadi penyebab efisien gerakan emansipasi wanita.

Lalu, seiring dengan berjalannya waktu kaum wanita menyadari

30

bahwa mereka memiliki peran yang lebih luas yang bisa membuat

statusnya setara dengan kaum pria. Wanita mulai mendobrak segala

paradigma demi mencapai kesetaraan dalam berbagai sektor seperti

pendidikan, pekerjaan dan peran dalam masyarakat. Di Indonesia

hal tersebut dibarometeri oleh R.A Kartini. Masuknya wanita dalam

sektor pekerjaanlah yang secara tidak langsung metroseksual.

Tempat bekerja ditenggarai sebagai agen sosialisasi gender yang

secara tidak langsung mensosialisasikan metroseksualisme. Namun

hanya tempat bekerja yang formal dan terdapat di perkotaanlah

yang secara tidak langsung mensosialisasikan metroseksualisme.

Di dalam tempat bekerja formal yang terdapat di perkotaan

wanita dituntut untuk tampil dengan menarik dan merepresentasikan

sisi estetika yang ada pada dirinya. Dan karena terjadi interaksi

yang terus – menerus antara wanita – wanita pekerja tersebut

dengan para lelaki yang bekerja di tempat yang sama. Pada

akhirnya para laki – laki dalam raung lingkup pekerjaan tersebut

terpengaruh secara psikologis untuk tampil sebaik wanita didalam

ruang lingkup kerjanya. Dampak dari pengaruh secara psikologis

inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada kebudayaan para laki

– laki tersebut. Karena memperhatikan estetika ragawinya akhirnya

31

para laki – laki ini melakukan perawatan yang mirip dengan yang

dilakukan wanita dan untuk menunjang penampilannya mereka

menghabiskan uang dengan jumlah besar dalam berbelanja pakaian

maupun aksesoris.

Saat ini media massa menjadi alat yang paling

berpengaruh dalam globalisasi suatu ide. Dimana segala informasi

bisa menyebar dengan mudah keseluruh dunia dalam waktu yang

singkat. Media massa yang dalam buku Pengantar Sosiologi karya

Kamanto Sunarto dikatakan sebagai penyebar gender stereotyped

advertising yang artinya memuat iklan yang menunjang stereotip

gender seperti misalnya, iklan yang mempromosikan produk

perawatan kecantikan direpresentasikan oleh wanita dan hal yang

berbau maskulin seperti iklan sepeda motor direpresentasikan oleh

laki – laki, sepertinya sudah tidak berlaku lagi sekarang.

Metroseksual yang sudah menjadi fenomena dianggap sebagai

target pasar yang menjanjikan oleh para pengusaha. Sehingga para

produsen perawatan kecantikan seperti sabun pencuci muka,

pelembab wajah dan losion tubuh yang tadinya hanya dirancang

untuk wanita, kini dirancang pula untuk pria dengan label “for

men”. Bahkan kuatnya arus metroseksual yang berkembang di Negara-

32

negara di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang, membuat para

produsen kecantikan di Negara- negara tersebut mengeluarkan

produk make-up for men. Hal tersebut bisa disebut anomali yang

dampaknya bisa benar-benar menghilangkan perbedaan-perbedaan yang

dikemukakan oleh Giddens yang sudah kita bahas sebelumnya. Di

Indonesiapun fenomena ini bisa mulai kita rasakan sekarang, namun

belum se-ekstrem Negara-negara tersebut.

Selain itu, media massa juga mengekspos para tokoh – tokoh

metroseksual, yang mana orang tersebut memang sudah dikenal dari

aspek lain. Sebagai contoh sebut saja David Beckham. Pemain sepak

bola yang sudah tidak diragukan lagi kemampuan dan sepak

terjangnya dalam dunia persepakbolaan internasional ini adalah

salah seorang metroseksual. Ia bisa menghabiskan puluhan ribu

dollar dalam sebulan untuk merawat ketampanannya dan menunjang

penampilannya. Ia juga tidak pernah memakai baju yang sama dalam

setiap kesempatan aktivitasnya di luar rumah. Yang lebih ekstrem,

suami dari Vicotrya Beckham ini pernah mencat kuku – kukunya

berwarna pink. Dan sebelum pergi ke setiap acara, dia

menghabiskan waktu yang lebih lama dari istrinya untuk berdandan.

Beckham bisa menghabiskan waktu 2 sampai 3 jam untuk berdandan.

33

Karena ketampanan dan segi estetika yang tinggi dari seorang

David Beckham, walhasil ia menjadi model dalam berbagi produk

perwatan tubuh dan pakaian ternama dan menjadi role – model bagi

para metroseksual di berbagai belahan dunia.

Metroseksual adalah hasil dari kesetaraan gender karena

metroseksual timbul dari produk kesetaraan gender pula yaitu

emansipasi wanita. Emansipasi wanita yang meluas keseluruh dunia

disusul dengan meluasnya fenomena metroseksual. Akibat emansipasi

wanita, interaksi antara wanita dengan pria menjadi sangat intens

sehingga pria secara psikologis terpengaruh oleh kecenderungan

wanita yang memperhatikan penampilannya. Selain itu disisi lain

emansipasi menimbulkan ketidak setaraan gender baru, yang kali

ini dialami kaum laki – laki pada sebagian masyarakat. Sehingga

laki – laki bisa mengalami disorientasi yang mengacu pada

metroseksualisme

Di zaman modern ini tidak hanya pekerjaan dan pendidikan

saja yang menjadi tolak ukur status seseorang, melainkan dari

penampilan. Penampilan yang kadang bisa mengkamoflase status

sosial seseorang menjadi concern tersendiri tidak hanya bagi kaum

perempuan tapi bagi kaum laki – laki. Atas kesadaran akan estika

34

akan penampilannya, maka fenomena metroseksual ini muncul. Media

massa adalah salah satu agen sosialisasi gender yang paling

memiliki andil besar dalam isu metroseksual ini. Disamping

mempengaruhi masyarakat dengan iklan – iklan yang memperomosikan

produk - produk yang bernuansa metroseksual keseluruh dunia.

Media massa juga mengekspos tokoh – tokoh metroseksual, sehingga

fenomena metroseksual menyebar ke seluruh dunia.

1.5.3 Konstruksi Sosial Kecantikan

Kecantikan ibarat sebuah mitos dan legenda. Berbagai kisah

tentang wanita yang cantik dan feminim banyak di abadikan dalam

berbagai bentuk di sekitar kita. Kisah-kisah di dalam novel

percintaan dan film romantis selalu di ikuti dengan sosok para

pemainnya yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki penampilan

menawan. Sebenarnya, tidak ada definisi baku mengenai arti dari

kecantikan wanita, oleh karena itu seperti di sebutkan diatas

kecantikan ibarat sebuah mitos dan legenda berarti tidak ada

definisi pasti mengenai makna kata cantik dan kecantikan. Penulis

melihat bahwa makna kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu

tergantung dari lingkungan sosial dan budaya yang melatar

belakangi. Pada awalnya konsep kecantikan merupakan ukuran yang35

dibuat oleh laki-laki karena kuasa yang mereka miliki sehingga

banyak wanita beusaha tampil cantik sesuai dengan ukuran-ukuran

tersebut agar dapat diakui oleh laki-laki namun pada jaman

sekarang ini makna cantik yang hanya milik perempuan mulai

bergeser, kecantikan juga menjadi perhatian kaum lelaki yang

terbentuk dari sebuah konstruksi sosial di masyarakat di jaman

modern ini.

Konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak

diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam

bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise In the

Sociological of Knowledge. Di dalam bukunya mereka menjelaskan proses

sosial terjadi melalui interaksi, dimana realitas dibentuk secara

terus-menerus oleh individu dan dialami bersama secara subyektif.

Berger dan Luckmann mengawali penjelasan mengenai realitas sosial

dengan memisahkan antara pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”.

Realitas atau kenyataan adalah kualitas yang terdapat di dalam

realitas-realitas, dan memiliki keberadaan (being) yang tidak

tergantung dari kehendak kita sendiri; sedangkan pengetahuan

adalah kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan

36

mempunyai karakteristik yang spesifik.24 Menurut Berger,

kenyataan bersifat plural, dinamis dan dialektis. Realitas

bersifat memaksa kesadaran tiap individu terlepas individu

tersebut suka atau tidak. Bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan

sebuah realitas yang hadir di dalam kesadaran individu. Oleh

karena itu, pengetahuan bersifat subjektif dan realitas bersifat

objektif. Demikian pula makna cantik dilihat dari perspektif

konstruksi sosial tidak pernah merupakan realitas tunggal yang

bersifat statis, namun merupakan realitas yang bersifat plural,

dinamis dan dialektis. Sehingga makna cantik pun akan selalu

berubah seiring berkembangnya jaman.

Makna cantik berkembang menjadi sebuah realitas objektif

karena pada awalnya masyarakat sendiri yang membentuk realitas

tersebut. Makna cantik yang berkembang secara umum merupakan

realitas sedangkan pemahaman cantik yang diterima oleh tiap-tiap

individu barulah disebut dengan pengetahuan. Berger memiliki

pandangan tentang konstruksi realitas kehidupan sehari-hari. Ia

24 Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari), Jakarta: LP3ES, 1990, hlm 1

37

membagi menjadi dua bagian besar yaitu masyarakat sebagai

realitas objektif dan masyarakat sebagai realitas subjektif.

Masyarakat sebagai realitas objektif

Pada dasarnya masyarakat tercipta sebagai realitas objektif

karena adanya berbagai individu yang mengeksternalisasikan

dirinya atau mengungkapkan subjektivitas masing-masing lewat

aktifitasnya.25. Menurut Berger, individu cenderung untuk

melakukan aktifitas yang sama dengan yang pernah ia lakukan, atau

dengan kata lain mereka terbiasa (terhabitualisasi). Dari

aktifitas yang telah ter-habitualisasi inilah kemudian muncul

yang disebutBerger dengan tipikasi. Tipikasi ini dapat

memunculkan sebuah pranata sosial apabila, (1) ditransmisikan

dari generasi ke generasi hingga usianya melampaui usia aktor-

aktor yang memunculkan tipikasi mutual di masa awal, (2) mampu

menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu

kolektivitas pada umumnya.26 Jadi tipikasi timbal balik ini dapat

berubah menjadi sebuah pranata atau institusi sosial saat ia

25 Samuel Hanneman, Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas, Depok: Penerbit Kepik, 2012, hlm 27.26 Samuel Hanneman, Op.Cit, hlm 29.

38

sudah berlaku luas, eksternal (objektif), dan bersifat memaksa

terhadap kesadaran tiap individu pembentuknya.

Masyarakat sebagai realitas subjektif

Berger berpendapat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat

merupakan hubungan dialektis yang saling membentuk dan

menentukan. Menurutnya, manusia lahir sebagai tabula rasa dimana

ia siap untuk menerima internalisasi dari masyarakat dalam

kesadarannya. Di dalam proses internalisasi inilah individu

menerima definisi situasi institusional yang disampaikan orang

lain.27 Tidak hanya mampu memahami definisi orang lain, namun

individu ini juga menjalin definisi tersebut bersama-sama

sehingga membentuk pendefinisian bersama. Setelah proses inilah

individu baru dapat diterima sebagai anggota masyarakat dan

berperan dalam pembentukan dan pengubahan masyarakatnya.

Senada dengan yang telah dikemukakan Berger, manusia sesuai

hakikatnya sebagai makhluk pencari makna memperoleh makna

kehidupan dari proses dialektika yang melibatkan tiga proses

yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.28

27 Samuel Hanneman , Op.Cit,hlm 37.28 Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari), Jakarta: LP3ES, 1990, hlm 3-5.

39

Eksternalisasi yaitu proses penyesuaian diri manusia dengan

lingkungannya. Obyektivasi yaitu proses tatanan kehidupan yang

dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas obyektif yang

terpisah dengan subyektivitas. Tindakan-tindakan berpola yang

sudah dijadikan kebiasaan membentuk lembaga-lembaga yang

merupakan milik bersama. Lembaga-lembaga ini mengendalikan dan

mengatur perilaku individu. Internalisasi menyangkut identitas

diri individu kedalam realitas obyektif. Dalam proses

internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat. Untuk mencapai

taraf ini, individu secara terus menerus berinteraksi dan

bersosialisasi dengan lingkungan sosial dan budayanya, sehingga

akhirnya mereka dibentuk sebagai suatu pribadi dengan suatu

identitas yang bisa dikenal secara subyektif dan obyektif.29

Ketiga proses ini merupakan momen proses dialektika yang

berlangsung secara terus-menerus. Jika dalam proses ini ada momen

yang diabaikan maka akan mengakibatkan terjadinya distorsi.

Proses pembentukan konstruksi tersebut juga dapat digunakan

untuk menjelaskan konstruksi cantik yang sebelumnya telah

29 Peter L. Berger, Thomas Luckmann,  Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono), Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994, hlm 23.

40

terbangun di masyarakat. Dimana dalam hal ini yang turut membentuk

konstruksi tersebut adalah media massa. Iklan kecantikan

merupakan media massa yang berperan untuk mengendalikan dan

mengatur perilaku individu dalam memaknai kecantikan. Hal

tersebut sesuai dengan proses obyektivasi dalam dialektika yang

mengatur individu secara kolektif. Secara terus-menerus, proses

pengaturan perilaku individu dilakukan oleh media massa dengan

ide-ide yang terus dipaparkan kepada setiap individu. Ide-ide

yang terus ditangkap oleh individu lama-kelamaan akan

mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Saat individu-individu

tersebut bertemu satu sama lain dan saling bertukar pendapat,

saat itu juga terbentuklah suatu pemikiran obyektif hasil dari

konstruksi yang diberikan oleh media massa. Hal tersebut

berkaitan dengan proses internalisasi dimana manusia sebagai

individu mulai dinilai juga secara obyektif. Dalam hal ini,

praktek serta produk perawatan tubuh hadir di tengah-tengah

masyarakat yang tengah terkonstruksi dalam hal kecantikan. Klinik

kecantikan ini merupakan sebuah lembaga yang berperan sebagai

sebuah alat yang memberikan layanan jasa bagi anggota masyarakat

yang membutuhkannya. Konstruksi sosial sendiri tidak berlangsung

41

dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Sehingga konstruksi cantik itu juga akan terbentuk atas dasar

adanya kepentingan-kepentingan. Seperti halnya praktek serta

produk yang memiliki kepentingan untuk menjual jasa dan produk

kecantikannnya kepada masyarakat dan konsumen khususnya. Berger

menjelaskan bahwa dunia sosial dibangun oleh makna-makna yang

diberikan oleh manusia dalam batasan-batasan realitas. Oleh sebab

itu, keberadaan konstruksi cantik juga bergantung pada terjadinya

proses sosial di dalam masyarakat.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang

dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian

kualitatif ini memiliki karakteristik dengan mendeskripsikan

suatu keberadaan sebenarnya, tetapi laporan bukanlah sekedar

berbentuk kejadian tanpa suatu interpretasi ilmiah. Peneliti

menggunakan metode ini dengan tujuan untuk menggali secara lebih

mendalam fenomena wanita yang memperindah diri melalui peran skin

care dan cenderung mengarah kepada gaya hidup konsumtif.

Cresswell mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah

proses penyelidikan untuk memahami masalah social atau masalah42

manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistic lengakap

yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan

secaran terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah.30

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling dimana pemilihan informan didasarkan pertimbangan

atau kriteria tertentu dari peneliti sehingga akhirnya

mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber.

Adapun kriteria yang ditentukan oleh peneliti adalah pihak-pihak

yang memiliki kepentingan pekerjaan setiap harinya di wilayah

segitiga emas Jakarta yang terlibat dalam perawatan kecantikan.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka informan inti penelitian ini

adalah pekerja professional berumur antara 20-35 tahun. Jumlah

informan yang diambil adalah sebanyak 8 informan dari 3 wilayah

yang termasuk ke dalam segitiga emas Jakarta yaitu Jalan HR

Rasuna Said, Jalan Jenderal Soedirman dan Jalan MH Thamrin.

Subjek informan dalam penelitian ini terdiri dari informa kunci

dan informan berjumlah 8 orang yang terdiri dari 4 orang

30 John W Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative Approaches (terjemaahan), (Jakarta: KIK Press, 2002), Hlm 1.

43

professional muda berjenis kelamin wanita dan 4 orang

professional muda berjenis kelamin laki-laki yang bekerja di

sekitar jalan Jendral Sudirman, jalan HR Rasuna Said dan jalan MH

Thamrin. Dipilihnya lokasi tersebut dikarenakan ketiga jalan yang

sering disebut sebagai segitiga emas Jakarta menjadi pusat

lapangan pekerjaan para professional muda sekaligus kawasan elit

di Jakarta.

2. Peran Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peran peneliti adalah sebagai

instrument utama dalam pengumpulan data secara langsung. Seperti

yang dikemukakan Creswell bahwa peneliti kuualitatif merupakan

alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta

peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan ketika

melakukan observasi partisipasi di lapangan.31 Sebelum melakukan

pengumpulan data, peneliti melakukan observasi lapangan, yakni

pengamatan secara langsung turun ke lokasi penelitian. Observasi

lapangan yang dilakukan adalah dengan melakukan pembuatan

pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan krpada subjek penelitian

atau informan. Selain itu, peneliti juga melakuakn persiapan

31 John W Creswell, Op.cit. Hlm 152.

44

untuk melakukan pendekatan dengan calon informan. Pendekatan

dilakukan untuk meminta kesediaan calon informan serta

untukmenjalin hubungan baik dari awal dan membentuk sebuah

kepercayaan.

Untuk mendapatkan sebuah data yang berkualitas memanglah

sulit, akan tetapi dengan dibekali oleh pengetahuan mengenai

metode penelitian, teori/konsep, serta latihan-latihan tertentu

yang peneliti dapatkan selama menuntut ilmu di jurusan sosiologi,

akan memudahkan peneliti dalam memperolah data yang berkualitas.

Peneliti juga harus cepat tanggap ketika melihat gejala gejala

yang terjadi di masyarakat. Untuk menambah data dan sebagai data

sekunder, maka peneliti menambah data dari berbagai literature

yang ada seperti buku, majalah, koran, internet, artikel dan

studi kepustakaan.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini difokuskan pada jalan Sudirman, MH

Thamrin dan HR Rasuna Said yang berada di daerah Jakarta Selatan.

Waktu penelitian dimulai dari bulan agustus 2014. Mencari

informan yakni para professional muda perkotaan yang bekerja di

45

kawasan tersebut yang terdiri dari 4 wanita dan 4 pria secara

random. Peneliti akan bertanya kepada mereka tentang pengaruh

perawatan tubuh yang mereka lakukan dengan gaya hidup serta citra

mereka dimata masyarakat serta implikasi sosial yang mereka

rasakan sebelum dan sesudah menggunakan perawatan kecantikan

tersebut.

4. Etika penelitian

Etika dalam suatu penelitian sangat penting untuk dilakukan

agar informan percaya, merasa nyaman, tidak merasa terganggu,

berkomunikasi tanpa jarak hingga dapat membina keakraban diantara

informan dan peneliti (rapport). Untuk itu peneliti harus memahami

karakteristik social, baik dari pandangan peneliti sendiri,

maupun sikap dan gesture informan ketika berinteraksi dengan

peneliti atau dengan sesamanya.

5. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif

dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan

46

observasi lapangan. Peneliti melakukan wawancara tatap muka,

wawancara empat mata serta wawancara secara pribadi, jika

informan tidak dapat diamati secara langsung, mereka memberi

informasi secara “tidak langsung” yang disaring melalui pandangan

obyek wawancara. Kemudian peneliti juga melakukan Studi komparasi

yakni membandingkan pendapat informan-informan terkait dengan

informan-informan lainnya yang juga dalam situasi dan konteks

sosial yang sama. Hal ini sebagai uji validasi data, apakah

informasi yang peneliti dapatkan telah menjelaskan gejala yang

terjadi. Kemudian penelusuran historis dengan mengacu pada sumber

sumber ilmiah yang dikomparasikan dengan kutipan wawancara dengan

informan yang telah ditentukan. Pengumpulan data lainnya

dilakukan dengan bentuk dokumentasi, dokumentasi pribadi seperti

jurnal dan foto. Dokumentasi dapat diakses diwaktu yang dipilih

peneliti, sumber informan yang tidak menonjol, mengharuskan

pengamatan untuk mencari informasi ditempat yang sulit ditemukan.

32

6. Triangulasi Data

32 John W Creswell, Op.cit. Hlm 140-141.

47

Teknik triangulasi data dalam penelitian ini peneliti

menggunakan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung terjadi ketika peneliti turun lapangan dan

mendapatkan berbagai informasi mengenai penelitian dimana

informasi yang diperoleh tidak serta merta ditelan begitu saja

oleh peneliti. Proses pemilihan data sebelum di tuangkan ke dalam

tulisan ini pun telah dilakukan, serta melakukan pengecekan ulang

terhadap data-data yang telah didapatkan dengan menimbangkan

hasil wawancara dari informan dengan fakta yang ada di lapangan.

Sehingga data yang didapat dan digunakan dapat dijamin

keabsahannya. Untuk melakukan triangulasi data peneliti

membutuhkan informan kunci yang sangat mendukung bagi penelitian

ini, yakni wanita yang kesemuanya bekerja di kawasan segi tiga

emas Jakarta. Untuk menghasilkan data yang valid peneliti juga

melakuka kroscek terhadap segala informasi yang didapat dari

berbagai sumber. Adapun cara tidak langsung yang peneliti gunakan

adalah dengan menggunakan literatur yang berkaitan dengan

penelitian, baik berupa buku ataupun jurnal resmi yang diperoleh

oleh peneliti.

1.7 Sistematika Penulisan

48

Penelitian ini terdiri dari beberapa bab dan sub bab

didalamnya dan dibawah ini adalah sistematika penulisan, antara

lain:

BAB 1 : di Bab ini berisi pendahuluan dengan sub bab latar

belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian, tinjauan penelitian sejenis, kerangka

konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB 2 : posisi sosial wilayah Sudirman, MH. Thamrin dan

Rasuna Said serta Profil Profesional Muda Pengguna Body Care

yang terdiri dari informasi mengenai daerah Sudirman, Thamrin

dan Rasuna Said Jakarta Selatan, informasi dari 4 orang

profesional muda wanita dan 4 orang profesional muda laki-laki

yang bekerja di kawasan tersebut. Berisi pengantar, profil

informan, dan posisi sosial kawasan segitiga emas Sudirman,

Thamrin dan Rasuna said serta sosial, budaya dan ekonomi daerah

tersebut.

BAB 3 : dalam Bab ini mengambil tema tentang perawatan tubuh

dan konstruksi sosialnya bagi professional muda Jakarta.

BAB 4 : di Bab ini penulis mengambil tema tentang implikasi

sosial perawatan tubuh dalam gaya hidup masyarakat perkotaan.

49

BAB 5 : dalam Bab 5 yang juga akhir dari penelitian ini

sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang diajukan

oleh peneliti terhadap permasalahan penelitian. Berisi simpulan

yang telah didapat selama menulis skripsi milai dari Bab 1

sampai Bab 4 mengenai Body Care dan Gaya Hidup Profesional Muda

Perkotaan dengan Studi Kasus Profesional Muda di Jakarta.

50