1.1 Latar Belakang
Salah satu aliran agama Islam yang beredar luas dan
kuat di daerah Minangkabau ( Sumatera Barat ) adalah
Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan aliran
agama Islam yang luas penyebarannya. Umumnya diwilayah
Asia, Bornia Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia.
Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan
tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang
spesifik, seperti tentang rasa atau “zok”. Di dalam
pemahaman yang mengisbatkan zat Ketuhanan dan Isbat akan
sifat maanawiyah yang maktub didalam roh anak-anak adam
maupun pengakuan di dalam “fanabillah” maupun berkekalan
dalam “bakabillah” yang melibatkan zikir-zikir hati
(hudurun kalbu).
Naqsyabandiyah memiliki peredaan dengan aliran agama
Islam yang lain. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-
14, Naqsabandiyah mulai menyebar ke daerah tetangga dunia
Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat
dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah,
dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf I
Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18
nama ini hampir sinonim dengan terekat tersebut diseluruh
Asia Selatan, wilayah Utsmaniah, dan sebagian besar Asia
Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsabandiyah
adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam
beribadah dan penolakan terhadap musik dan tari, serta
lebih mengutamakan berdzikir di dalam hati, dan
kecendrungan lebih kuat didalam keterlibatan di dalam
politik.
Aliran Islam ini telah menyebar ke berbagai negara
di dunia, termasuk juga Indonesia. Banyak daerah-daerah
di Indonesia mulai menganut ajaran ini diantaranya adalah
Provinsi Sumatera Barat ( Minangkabau ). Dalam konteks
wacana Islam lokal di Minangkabau, dikenal salah satu
lembaga Islam yang penting. Lembaga tersebut adalah
surau, yakni sebuah lembaga pribumi yang telah menjadi
pusat pengajaran Islam yang menonjol. Surau juga
merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Sebagai
pusat tarekat, surau juga menjadi benteng pertahanan
Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan
Belanda (Azra, 2003:34). Selain itu, sebagai pusat
tarekat, surau juga menjadi tempat untuk konsentrasi
gerakan bagi masing-masing golongan yang sedang
berpolemik tentang paham keislaman yang terjadi di
Minangkabau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Dalam fungsinya yang terakhir, pada waktu itu surau
menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai
pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari
masing-masing golongan tarekat membangun jaringan guru-
murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan
yang sangat kompleks.
Tarekat Naqsabandiyah merupakan jenis tarekat yang
sudah lama berkembang dan masih bertahan hingga sekarang.
Tarekat Naqsabandiyah telah mengalami persentuhan dan
pergolakan yang cukup lama dengan berbagai tradisi dan
budaya lokal. Akan tetapi, sangat disayangkan dinamika
dan perkembangan tarekat Naqsabandiyah di wilayah itu
belum terekam dengan baik, karena belum banyak penelitian
yang dilakukan terhadapnya. Melalui penelitian ini akan
dilihat sejauh mana naskah-naskah tersebut menggambarkan
dinamika tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Metode
Penelitian Penelitian ini menggunakan dua pendekatan,
yaitu pendekatan filologi dan sejarah sosial intelektual.
Pendekatan filologi digunakan untuk melihat datadata
tekstual dari naskah. Pendekatan sejarah sosial
intelektual untuk menelaah data-data secara kontekstual
dalam rangka penelusuran data-data sebagai gambaran
dinamika tarekat Naqsabandiyah di Propinsi Sumatera
Barat.
Salah satu dari ajaran Naqsyabandiyah yang mara
beredar di daerah Minangkabau adalah Suluk atau dalam
bahasa lokal disebut Suluak. Suluak merupakan ritual zikir
dan sholat yang berjalan selama 40 hari, terhitung
dimulai 10 hari sebelum masuknya bulan Ramadhan. Bagi
sebagain masyarakat, Suluak juga sering disebut dengan
"Sembahyang Ampek Puluh" (sholat berjamaah 40 hari
berturut-turut tanpa putus ).
Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam
kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk
berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh
jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur
hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama
Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama
Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk
Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian
Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah),
melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan
syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian
hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Pada tradisi suluak ini para Jemaah harus mengikuti
semua kegiatan yang diberikan oleh seorang Buya atau
mereka sebut sebagai guru. Selama empat puluh hari mereka
berdiam diri dalam sebuah surau hanya demi ibadah semata.
Hal ini tentu dapat membuat mereka merasa dekat Tuhan dan
seakan merasa seperti berkomunikasi dengan Tuhannya.
Selama empat puluh hari beribadah mereka tentu merasakan
kedekatan emosional dan spiritual dengan Tuhannya/
komunikasi Spiritual. Menurut Nina syam (2006) komunikasi
spiritual adalah komunikasi yang terjadi antara manusia
dan Tuhan. Atau dapat pula difahami bahwa komunikasi
spiritual berkenaan dengan agama. Artinya komunikasi yang
didasari nuansa-nuansa keagamaan. Karena agama
mengajarkan kepada kita tentang siapakah kita, apa tujuan
hidup kita, mau kemana arah hidup kita.
Dapat dilihat bagaimana komunikasi antar para Jemaah
dan juga komunikasi antara Jemaah dengan Buya/ guru
mereka. Komunikasi antarpribadi sangat jelas dalam
konteks ini. Komunikasi ini tidak bisa disebut komunikasi
organisasi, karena didalamnya tidak terdapat struktur/
tingkatan, hanya terdapat seorang guru dan para muridnya.
Dengan komunikasi antarpribadi yang sifatnya bisa lebih
intensif maka sangat cocok diterapkan pada konteks ini.
Didukung dengan sistem budaya masyarakat Minangkabau
yang sangat kental dengan agama dan lebih cendrung
menghabiskan waktu di surau. Sebagaimana pepatah ada
Minangkabau “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang
bermakna bahwa setiap budaya, adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat selalu berlandaskan dengan Kitabullah atau Al-
Qur’an. Ajaran agama menuntut mereka untuk selalu
mendasari setiap prilaku dengan agama. Kondisi ini
menjadikan masyarakat Minangkabau ada masyarakat yang
distereotipekan sebagai masyarakat yang kental akan agama
Islam. Hingga akhirnya aliran agama ini mudah diterima
oleh masyarakat Minangkabau tersebut karena aliran ini
tidak dianggap menyimpang selagi aliran ini masih
memegang teguh rukun iman dan rukun islam serta
menjalankan Ibadah sebagaimana islam kebanyakan dan
selalu berpatokan kepada Al-Qur’an dan Hadist.
Keunikan dari ritual suluk sendiri adalah ritual ini
sangat berbeda dengan ritual-ritual yang dilakukan aliran
agama Islam yang lain. Mereka menjadikan ritual ini
sebagai ajang mereka merasakan pahitnya hidup dan
cendrung memprioritaskan hidup untuk keselamatan akhirat.
Bagi mereka tujuan utama dari ritual suluk ini adalah
untuk mendekatkan diri mereka kepada sang pencipta serta
menjauhkan diri mereka dari segala hal duniawi yang
membuat mereka jauh dari Tuhannya. Tradisi ini biasanya
dilakukan para orang-orang yang telah berusia lanjut dan
dirumah mereka cendrung tidak bekerja dan juga merupakan
salah satu cara untuk mengisi kekosongan kegiatan mereka
selama bulan Ramadhan. Selama empat puluh hari mereka
akan mendapatkan banyak hal dari proses belajar dengan
guru mereka, proses komunikasi yang lebih intim dengan
sesamanya dan merasakan bagaimana hidup dengan serba
keterbatasan.
Ritual suluk di daerah Minangkabau sebagai salah
satu ajaran dari aliran Tarekat Naqsyabandiyah, memiliki
nilai-nilai yang berdasarkan fungsinya ditengah-tengah
masyarakat. Ia tampil sebagai media komunikasi
“transendental” atau media komunikasi antarpribadi dengan
nilai-nilai dan simbil-simbol agama yang diusungnya.
Simbol-simbol agama yang terungkap dalam ritual suluk ini
memiliki muatan makna dan nilai-nilai agama yang ada pada
masyarakat dan lingkingannya.
Para Jemaah menjadikan buya/ gurunya sebagai
perantara antara mereka dan Tuhan. Buya juga harus
menemani para Jemaah semala empat puluh hari agar
senantiasa bisa membimbing para Jemaah agar tercapailah
maksud dan niatan mereka. Banyak pengalaman spiritual
yang sering dialamami oleh para Jemaah yang melaksanakan
tradisi suluk ini diantaranya mimpi, kesurupan sesuatu
yang baik, dan seakan melihat malaikat dalam bentuk
cahaya yang terang. Hal ini tidak terjadi kepada setiap
orang, namun hanya orang pilihan dari Tuhan yang bisa
merasakan.
Komunikasi ini menjadi hal mistis yang sangat susah
diungkapkan dengan kata-kata karena berhubungan dengan
hal yang gaib. Namun hal ini sering terjadi pada
kebanyakan orang yang melakukan ritual suluk di
Minangkabau. Suluk ini merupakan salah satu bentuk dari
komunikasi para Jemaah Naqsyabandiyah ini dengan
Tuhannya. Dimana mereka harus merasakan hidup selama
empat puluh hari di sebuah tempat yang tentunya kurang
nyaman untuk beristirahat, namun akan rasa cintanya
terhadap Tuhannya mereka menjadikan itu sebagai sebuah
cara untuk mendekatkan diri kepada sang penciptanya.
Objek penelitian ini adalah pola komunikasi yang
terjadi para para Jemaah Naqsyabandiyah yang melakukan
ritual suluk. Melalui studi etnografi dapat ditemukan
pola komunikasi sebagai hasil hubungan antar komponen
komunikasi itu. Komponen komunikasi itu diantaranya
adalah genre atau peristiwa komunikasi, topic, tujuan,
dan fungsi peristiwa komunikasi, partisipan dan bentuk
serta isi pesan. Secara global komponen komunikasi ini
mencakup dalam menggambarkan komunikasi yang terjadi
diantara para jamaah yang menjalan ritual suluk pada
bulan Ramadhan yang mencoba menyampaikan komunikasi
mereka kepada sesamanya.
Dari uraian tersebut, setidaknya terdapat gambaran
bagaimana aktifitas para jamaah Naqsyabandiyah pada saat
suluk sangat terkait dengan komunikasi. Anggapan ini
tentu saja berdasarkan ilmu komunikasi itu sendiri, yang
menurut pandangan Deddy Mulyana sebagai ilmu yang
omnipresent, komunikasi hadir dimana-mana, tak terkecuali
pada peritiwa ritual suluk yang dilakukan para jamaah
Naqsyabandiyah tersebut.
Komunikasi dalam definisi Littlejohn adalah semua
perilaku yang bermakna bagi penerima baik disengaja
maupun tidak sehingga menjadi sangat longgar atau sangat
“cair” (meminjam istilah Deddy Mulyana) bagi istilah
komunikasi itu sendiri.
1.2 Fokus Penelitian
Pesan budaya dan agama merupakan bagian terpenting
dalam peristiwa komunikasi yang berkaitan dengan Tarekat
Naqsyabandiyah ini. Antara salah satu aliran dengan
aliran lain akan berbeda dalam memaknai suatu pesan.
Peneliti bermaksud mengetahui hal-hal yang dilakukan para
jamaah penganut aliran Naqsyabandiyah di daerah
Minangkabau terkait, pola komunikasi dan interaksi,
keragaman kode, pesan budaya, dan pesan agama.
Penelitian ini menitik beratkan pada kajian
etnografi komunikasi yang terdapat pada pola komunikasi
Penganut Tarekat Naqsyabandiyah dalam focus penelitian
etnografi komunikasi, peneliti mengambil komponen
komunikasi sebagai bahasan inti. Komponen itu berupa
bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah
interaksi. Adapun focus penelitian ini diformulasikan ke
dalam pertanyaan “pola komunikasi penganut Tarekat
Naqsyabandiyah di Minangkabau?”
1.3 Pertanyaan Penelitian
Permasalahan penelitian ini dirinci lebih lanjut
menjadi bagian pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana pola komunikasi dan interaksi Jamaah
Tarekat Naqsyabandiyah saat menjalankan ritual
suluk?
2. Bagaimana keragaman kode yang ditampilkan pada
saat ritual suluk berlangsung selama empat
puluh hari tersebut?
3. Bagaimana interpretasi makna dan pesan budaya
yang diusung oleh para jamaah Tarekat
Naqsyabandiyah saat melakukan ritual suluk
tersebut?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk memberikan gambaran
tentang pola komunikasi yang terjadi pada jamaah
Tarekat Naqsyabandiyah yang melakukan Ritual suluk
pada saat ramadhan/ empat puluh hari. Tujuan akhir
dari penelitian ini adalah memberikan wacana
pembangunan mental dan identitas budaya masyarakat
Minangkabau secara positif. Tujuan akhir tersebut
memuat memuat komponen-komponen tujuan terinci sebagai
berikut:
1. Pola komunikasi dan interaksi para Jamaah Tarekat
Naqsyabandiyah saat ritual suluk
2. Keragaman kode yang ditampilkan
3. Pesan budaya dan agama yang diusung dari kegiatan
tersebut
1.5 Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap elaborasi kajian Ilmu
Komunikasi, khususnya dalam memperkaya model
penelitian yang mengarah pada etnografi komunikasi.
Penelitian ini dapat menjelaskan tentang pesan agama
dan budaya yang diusung oleh para orang-orang yang
melakukan ritual suluk tersebut baik dia penganut
ajaran Naqsyabandiyah maupun orang yang semata ingin
melakukan ritual tersebut hanya untuk beribadah.
Penelitian ini bermaksud untuk menambah kekayaan
karya tulis dan informasi tentang kebudayaan dan
kepercayaan suku bangsa dan agama. penelitian ini
juga diharapkan dapat mengungkapkan secara empiris
proses komunikasi dalam jamaah yang melakukan ritual
suluk selama empat puluh terhitung dari sepuluh hari
sebelum Ramadhan dan tiga puluh hari selama
Ramadhan, serta dapat dijadikan bahan informasi
ilmiyah terhadap peneliti lain.
1.5.2 Kegunaan praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang pola komunikasi yang dilakukan oleh penganut
Tarekat Naqsyabandiyah pada budaya suluk. Dengan
demikian, masing-masing pihak terkait dapat
mengetahui bagaimana pola komunikasi yang terjadi
disana. Selain ingin memberikan informasi mengenai
aliran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia pada
umumnya dan di Sumatera Barat pada khususnya,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
siapa saja yang sudah atau akan menganalisis kasus
yang sama bahkan dengan konten yang sama.
1.6 Kerangka pemikiran
Penulis mengawali kerangka dengan
mengidentifikasikan dan menjabarkan tentang aliran
Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat. Menjelaskan
bagaimana perkembangannya dan bagaimana aliran ini
dapat masuk ke dalam ranah budaya Minangkabau.
Selanjutnya menjelaskan tentang budaya suluk yang
merupakan ajaran pada aliran Naqsyabandiyah tersebut.
Menjelaskan bagaimana pola komunikasi diantara para
jamaah. Interaksi simbolik tampaknya tidak
terhindarkan dari kasus ini.
Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu
membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna
tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dalam hal
ini masyarakat penganut aliran ini melakukan interaksi
dengan sesamanya maupun dengan orang lain tanpa mereka
sadari meggunakan ajaran atau kepercayaan yang mereka
lakukan. Dari interaksi inilah masyarakat dapat
memaknai apa sebenarnya ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
ini. Aliran Naqsyabandiyah ini telah menyebar ke
berbagai negara di dunia, termasuk juga Indonesia.
Banyak daerah-daerah di Indonesia mulai menganut
ajaran ini diantaranya adalah Provinsi Sumatera Barat
( Minangkabau ).
Dari interaksi ini juga penganut aliran Tarekat
Naqsyabandiyah yang menjalankan ritual Suluk selama
empat puluh hari ini terbentuklah pola komunikasi
diantara para jamaah tersebut. Empat puluh hari
tersebut dapat menggambarkan tentang bagaimana bentuk
komunikasi yang terjadi diantara para jamaah. Terlebih
lagi mereka tinggal dalam satu tempat dan akan terus
melakukan interaksi selama empat puluh hari tanpa
putus.
Dalam konteks wacana Islam lokal di Minangkabau,
dikenal salah satu lembaga Islam yang penting. Lembaga
tersebut adalah surau, yakni sebuah lembaga pribumi
yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang
menonjol. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi
di Minangkabau. Sebagai pusat tarekat, surau juga
menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap
berkembangnya dominasi kekuatan Belanda (Azra, 2003:34
). Dengan kata lain interaksi simbolik menjelaskan dan
menerangkan bahwa (i) manusia bertindak terhadap
manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang
lain kepada mereka, (ii) makna diciptakan dalam
interaksi antar manusia, serta (iii) makna
dimodifikasi melalui proses interpretif (Herbert
Blummer, 1969). Hal ini membuat seseorang akan bisa
memperepsi atau menilai sesuatu itu hanya dengan
melalui interaksi/ hubungan mereka dengan orang lain.
Bagaimana kita bisa mengetahui pola komunikasi seperti
apa yang ada pada jamaah Tarekat Naqsyabandiyah pada
Bulan Ramadhan.
Dengan demikian penulis bisa berfokus pada bagaimana
aliran ini dapat berkembang dimasyarakat setelah dapat
memaknai teori interaksi simbolik. Hal ini dapat
membuat peneliti dengan mudah bisa memaknai ini dengan
menggunakan teori interaksi simbolik tersebut. Manusia
bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain kepada mereka. Dalam hal ini
penganut aliran Naqsyabandiyah akan berprilaku sesuai
dengan anggapan orang kepada mereka. Beberapa tempat
di Sumatera Barat seperti kota Padang penganut aliran
Naqsyabandiyah mengasingkan diri dari masyarakat
sekitar karena mereka dianggap sesat dan tidak sesuai
dengan kaidah agama Islam sesungguhnya. Namun
dibeberapa tempat seperti Bukittinggi dan Payakumbuh
dimana penganut aliran ini dengan senang hati bergaul
dengan mereka karena mereka tidak dianggap sesat dan
cendrung bersikap sopan terhadap masyarakat.
Makna diciptakan dari interaksi dengan manusia.
Beberapa uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa
beberapa daerah di Sumatera Barat penganut ini seperti
tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena
faktor interaksi mereka yang sangat kurang terhadap
masyarakat da terkesan tertutup sehingga hal ini dapat
memicu prasangka atau praduga negative terhadap mereka
dari masyarakat lain.
Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Makna
yang diambil oleh penganut aliran itu sendiri yakni
berdasarkan apa yang telah didapat dan dipelajari dari
aliran ini. Selanjutnya para penganut aliran ini
mengambil makna berdasarkan dimana tempat dia
berada,pada kasus ini mereka berada di daerah
minangkabau yang sangat kental akan Islam dan mereka
pun bisa memaknai hal ini bedasarkan lingkungan
tersebut.
Penelitian ini menggunakan Teori activity interaction.
Teori ini dikenal dengan teori AIS, konsepsi dasar
teori ini berpijak pada dasar pemikiran (Homans,
1950):
a. Makin banyak seseorang melakukan kegiatan bersama
orang lain, maka makin beraneka ragam interaksi yang
dikembangkan. Akibatnya semakin tumbuh rasa
kebersamaan diantara mereka.
b. Semakin sering seseorang melakukan interaksi maka
semakin sering orang tersebut membagikan perasaan
dengan orang lain.
Menurut Homans, keseluruhan dari perangkat kegiatan,
interaksi, dan perasaan serta hubungan timbal balik
dalam suatu kelompok, membentuk sistem sosial
tersebut. Jangkauan hubungan timbal balik ini,
menurut Homans, menandakan batas-batas kelompok itu
ada, dan di luar batas ini ada lingkungan dimana
kelompok itu ada dan dengan mana kelompok itu harus
menyesuaikan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
West, Richard. Lynn H. Turner. 2007. Introducing
Communication Theory : Analysis and Application 3rd ed. Amerika.
NY
Rakhmat, Jallaludin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung.
PT Rosda Karya.