Referat radiologi

54
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya. Seseorang dengan kondisi seperti ini (leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan. (Hematologi Klinik Ed. 2.106). Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). (Buku Ajar Hematologi dan Onkologi Anak). 1.2.Tujuan dan manfaat 1

Transcript of Referat radiologi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi

pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk

dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu

berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan

membanjiri aliran darah. Pada kasus leukemia (kanker

darah), sel darah putih tidak merespon kepada

tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang

berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari

sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer

atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini

bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel

lainnya. Seseorang dengan kondisi seperti ini (leukemia)

akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena

penyakit infeksi, anemia dan perdarahan. (Hematologi Klinik Ed.

2.106).

Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi

pada seri myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil,

monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Di

negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32%

dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering

ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). (Buku Ajar

Hematologi dan Onkologi Anak).

1.2.Tujuan dan manfaat

1

Tujuan penulisan referat ini adalah agar penulis atau

pembaca dapat mengerti tentang Leukemia Mieloblastik Akut

(LMA) meliputi penyebab, penyebaran, pengertian,

perjalanan penyakit, gejala penyakit, komplikasi dan

penatalaksanaan penyakit ini.

 

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu

penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan

gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri

mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan

mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa

minggu sampai bulan sesudah diagnosis.

Kemajuan pengobatan LMA dicapai dengan regimen

kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi

dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif

2

yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan

transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping

pengobatan. (Buku Ajar Hematologi dan Onkologi Anak). 

2.2. Etiologi

       Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak

diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang

diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi

faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene,

suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada insidens

penyamakan kulit di negara berkembang, diketahui

merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi

ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA.

Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk

LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada

penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom Down 

dengan trisomi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18

kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA

tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik

seperti Sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui

mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan

populasi normal untuk menderita LMA.

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah

pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor

padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang

yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel,

kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis

3

terapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah

golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor.

2.3. Patogenesis

       Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade

maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel

seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan

akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang.

Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan

gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan

mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow

failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia

(anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan

menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih

berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan

menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya

leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap

infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal

bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-

sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk

migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-

organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan

sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut

dengan segala akibatnya.

2.4. Gejala klinis

       Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada

pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis.

4

Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang

15% pasien  mempunyai angka leukosit yang normal dan

sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-

sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan

ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat

penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di

darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari

kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

       Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa

lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh

sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah

disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam

bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di

ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi

dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi

kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC

ini pling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi

sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan

daerah peri rekti, sehingga organ-organ tersebut harus

diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.

      

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi

(lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis,

yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh

darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat

bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang

sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas,

nyeri dada dan priapismus.

5

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan

tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di

infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan

menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang

tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi

sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di

bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam

tulang akan meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau

dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering

dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke

dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai

infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningen dan untuk

penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari

cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur

pungsi lumbal.

2.5. Diagnosis

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan

sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:

immunophenotyping dan analisis sitogenik. Berdasarkan

pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,

gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris

pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri

dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini

dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American

British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi

6

diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting

untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan

mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia

tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA

tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.

Kelainan hematologis yang biasa terjadi adalah anemia

dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x

106/mm3; leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100

x 103 /mm3 (leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak

adalah myeloblas); trombosit jumlah menurun. Mieloblas

yang tampak kadang-kadang mengandung “auer body” suatu

kelainan yang pathogonomis untuk LMA.

    

   Sumsum tulang tampak hiperseluler karena mengandung

mieloblas yang masif, sedang megakariosit dan

pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum

tulang ini sudah akan jelas meskipun mieloblas belum

tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan

kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum

tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan

mieloblas.

2.6. Dignosis banding

       Leukemia mieloblastik akut harus dibuat

diagnosa banding dengan semua leukemia akut dan anemia

aplastik. Apabila ditemukan “auer body” maka diagnosa

banding tidak sulit ditegakkan, oleh karena kelainan ini

patognomis untuk leukemia mieloblastik akut. Apabila

7

tidak ditemukan “auer body” maka harus dikerjakan reaksi

peroksidase dimana pada mieloblas peroksidase akan

positif.

       Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang

alekemik dibedakan atas dasar pemeriksaan sumsum tulang.

Secara klinis endokarditis bakterialis mirip leukemia

mieloblastik akut karena adanya demam, anemia,

splenomegali, dan petechiae. Riwayat adanya penyakit

jantung, splenomegali yang lebih besar dan tidak adanya

kelainan pada gusi dapat membedakan kedua keadaan ini.

Anemia pernisiosa yang disertai splenomegali dan ptechiae

dapat menyerupai leukemia mieloblastik akut.

      

2.7. Komplikasi

      Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal

yaitu perdarahan serebelar dan infeksi. Komplikasi yang

jarang terjadi adalah keluhan akibat tekanan oleh suatu

tumor leukemia.

2.8. Penatalaksanaan

      Tatalaksana utama adalah dengan memperbaiki

keadaan umum seperti pada kondisi anemia diberikan

tranfusi darah. Trombositopeni berat yang mengancam

perdarahan diatasi dengan transfusi konsentrat trombosit.

Apabila terdapat infeksi diberikan antibiotika yang

adekuat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada

umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan pemberian

8

regimen Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari 1-5,

dilanjutkan dengan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7.

Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis serta

pemeriksaan sumsum tulang pada akhir minggu ketiga.

Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat

parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain.

       Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan

hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada tahap

ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-

5. Regimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.

Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok

sumsum tulang pada saat terjadi remisi lengkap.

      Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan

regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol

sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu

selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama

3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit

dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan

sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan sebagai

obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%

pasien. (Buku Ajar Hematologi dan Onkologi Anak).

2.9. Prognosis

        Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang

mencapai remisi akan hidup lama (30-40 % angka kesembuhan

keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah

mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat

diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi

9

penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA

mempunyai prognosis lebih baik.

BAB 3

PENUTUP

      Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit

kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi

oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone

marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel

darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya

tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi

membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian

kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).

Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum

diketahui secara pasti, beberapa faktor yang diduga

mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu :

1. Radiasi.

10

2. Leukemogenik: beberapa zat kimia dilaporkan telah

diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi terjadinya

leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena,

bahan kimia industri seperti insektisida, obat-obatan

yang digunakan untuk kemoterapi.

3. Herediter: penderita sindrom Down memiliki insidensi

leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.

4. Virus: beberapa jenis virus dapat menyebabkan

leukemia, seperti rotavirus, virus leukemia feline, HTLV-

1 pada dewasa.

      Sistem terapi yang sering digunakan dalam

menangani penderita leukemia adalah kombinasi antara

kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada

pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal

dalam sumsum tulang. Selanjutnya adalah penanganan

terhadap beberapa gejala dan tanda yang telah ditampakkan

oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensif.

KASUS

I. IDENTIFIKASI

Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 5 bulan, berat

badan 13 kg, tinggi badan 90 cm, beralamat di Lubuk

11

Linggau. Dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH

pada tanggal 4 Maret 2014.

Anamnesis

Keluhan utama: demam.

Keluhan tambahan: kelemahan pada kedua kaki .

Riwayat perjalanan penyakit:

Tiga hari SRMS anak demam yang tidak terlalu

tinggi, demam bersifat naik turun, turun apabila

diberi obat penurun panas, batuk (+), pilek (+),

BAB dan BAK tidak ada keluhan. Anak mulai mengeluh

kaki terasa lemas, saat digunakan berdiri, anak

cenderung terjatuh sehingga anak menolak untuk

berdiri, nyeri (-), bengkak pada kedua kaki (-).

Anak belum dibawa berobat.

Satu hari SMRS anak masih demam, anak mulai

mengeluh susah BAK, saat BAK anak tampak kesakitan

dan menjadi sering BAK tetapi sedikit-sedikit. BAB

dalam batas normal. Anak kemudian dibawa ke Graha

RSMH dan disarankan untuk rawat inap.

Riwayat penyakit dahulu

- Anak telah terdiagnosa AML sejak Januari 2014, sudah

mendapat kemoterapi siklus pertama. Anak kontrol dan

minum obat secara teratur.

- Anak telah terdiagnosa hipotiroid dan sindrom Down,

sedang menjalani terapi dengan tyrax selama 21 hari.

- Riwayat terjatuh disangkal.

- Riwayat sulit BAK sebelumnya disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

12

- Riwayat penyakit yang sama dalam

keluarga disangkal.

Riwayat keluarga

Penderita merupakan anak pertama dengan status

sosial dan ekonomi cukup.

Riwayat kehamilan dan kelahiran

Penderita merupakan anak yang diharapkan, ANC

teratur ke SpOG tiap bulan. Ibu hanya mengkonsumsi

vitamin yang diberikan oleh dokter, riwayat minum

obat-obatan lain disangkal. Riwayat memelihara

kucing atau anjing disangkal. Riwayat sering demam

atau menderita ruam saat hamil disangkal. Usia ibu

saat hamil adalah 32 tahun.

Anak lahir ditolong SpOG, spontan, cukup bulan,

lahir langsung menangis, berat badan lahir 2.800

gram, panjang badan tidak diketahui.

Riwayat imunisasi

BCG (+), scar (+), DPT I, II, III (+), Hepatitis I,

II, III (+), Polio I, II, III, IV (+), Campak (+).

Kesan: imunisasi dasar lengkap dan diberikan sesuai

umur.

Riwayat makan

- ASI :dari lahir sampai usia 2 tahun.

- PASI : 3 bulan sampai usia 2 tahun.

- Bubur susu: mulai usia 4 bulan sampai 8 bulan.

13

- Nasi tim :usia 9 bulan sampai 11 bulan.

- Nasi biasa: 1 tahun sampai dengan sekarang

- Kesan: kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

- Tengkurap usia 6 bulan.

- Duduk usia 12 bulan.

- Merangkak usia 18 bulan.

- Saat ini anak belum dapat berdiri dengan

sempurna, dapat berdiri apabila dibantu.

- Anak belum dapat berbicara dengan lancar, hanya

dapat mengucapkan beberapa suku kata, misalnya mama,

papa, mamam.

Kesan: riwayat pertumbuhan dan perkembangan

terlambat.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum:

Kesadaran: Kompos Mentis, GCS: E4M6V5=15, Nadi:

110x/menit (isi dan tegangan cukup), pernapasan:

28x/menit, suhu: 38,5 oC.

BB: 13 kg; TB: 90 cm. BB/U: 80% ; TB/U: 88 % ;

BB/TB: 86% LK: 44 cm (normosefali).

Kesan: status gizi baik.

Keadaan spesifik:

Kepala : wajah dismorfik, pupil bulat isokor, 3/3

mm, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis (+),

sklera ikterik (-).

14

Leher : JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening

tidak membesar.

Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-).

Jantung : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-),

gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,

bising usus (+) normal.

Ekstremitas: akral dingin(-), sianosis(-),

spastis(-), CRT<3”.

Status neurologik:

PemeriksaanMotorik

TungkaiKanan

TungkaiKiri

LenganKanan

LenganKiri

Gerakan Terbatas Terbatas Luas Luas

Kekuatan 3 3 5 5

Tonus Hipotoni Hipotoni Eutoni Eutoni

Klonus Tidakada Tidak ada

Refleksfisiologi Menurun Menurun Normal Normal

Reflekspatologi - - - -

Pemeriksaan sensorik : dalam batas normal.

Pemeriksaan otonom : dalam

batas normal.

Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas

normal.

GRM : tidak ditemukan.

15

RINGKASAN DATA DASAR

Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 5 bulan, berat

badan 13 kg, tinggi badan 90 cm, beralamat di Lubuk

Linggau. Dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH pada

tanggal 4 Maret 2014. Anak datang dengan keluhan utama

demam dan keluhan tambahan adanya kelemahan pada kedua

tungkai bawah.

Tiga hari SRMS anak demam yang tidak terlalu tinggi,

demam bersifat naik turun, turun apabila diberi obat

penurun panas, batuk (+), pilek (+), BAB dan BAK tidak

ada keluhan. Anak mulai mengeluh kaki terasa lemas, saat

digunakan berdiri, anak cenderung terjatuh sehingga anak

menolak untuk berdiri, nyeri (-), bengkak pada kedua kaki

(-). Anak belum dibawa berobat.

Satu hari SMRS anak masih demam, anak mulai

mengeluh susah BAK, saat BAK anak tampak kesakitan dan

menjadi sering BAK tetapi sedikit-sedikit. BAB dalam

batas normal. Anak kemudian dibawa ke Graha RSMH dan

disarankan untuk rawat inap.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran: kompos

mentis, nadi: 110x/menit (isi dan tegangan cukup),

pernapasan: 28x/menit, suhu: 38,5oC, status gizi baik.

Keadaan spesifik: kepala: wajah dismorfik, pupil bulat

isokor, reflek cahaya normal; thorak: simetris, retraksi

(-); jantung: bunyi jantung I dan II normal, murmur (-),

gallop (-); paru: vesikuler, ronki (-), wheezing (-);

abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU(+)

normal; ekstremitas: akral dignin (-), sianosis(-).

16

Status neurologis: gerakan tungkai bawah terbatas dengan

kekuatan 3, reflek fisiologis menurun, tidak dijumpai

reflek patologis dan gejala rangsang meningeal.

ANALISIS AWAL

Dilaporkan suatu kasus ependimoma yang dirawat di

divisi neurologi bagian IKA RSMH. Penderita sebelumnya

dirawat di RSUD Lahat kemudian dirujuk ke RSMH. Diagnosa

ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis diketahui bahwa anak datang dengan

keluhan utama sakit kepala. Secara garis besar, penyebab

sefalgia antara lain vaskuler, musculoskeletal, organik

(tumor, malformasi, infeksi), psikogenik dan lain-lain

(neuralgia). Secara klinis, sefalgia diklasifikasikan

menjadi sefalgia primer dan sekunder. Sefalgia primer

adalah bila tidak ditemukan penyebab organik dari suatu

sakit kepala. Yang termasuk dalam sefalgia primer yaitu

migrain, tension-typed headache, dan cluster headache. Sefalgia

sekunder yaitu bila ditemukan penyebab organik yang

mendasari keluhan sakit kepala pada penderita.

Dari anamnesa didapatkan sakit kepala terutama

dirasakan pada pagi hari, pada bagian belakang kepala,

kadang menjalar ke leher, hilang timbul, intensitas

ringan-sedang, tidak berhubungan dengan aktivitas,

disertai muntah saat serangan dan tanpa perasaan

berputar. Saat serangan tidak diawali dengan adanya

gejala prodromal (fotofobia, aura). Saat tidak dalam

17

serangan sakit kepala, anak dapat melakukan aktivitas

seperti biasa.

Pada sefalgia primer gejalanya adalah nyeri kepala

yang berdenyut, dengan intensitas yang diperberat dengan

aktivitas atau perubahan posisi kepala. Seringkali

sefalgia primer diawali dengan gejala prodromal berupa

mual, fotofobia dan aura yang berlangsung singkat. Pada

pasien tidak ditemukan gejala-gejala tersebut sehingga

sefalgia primer dapat disingkirkan.

Sefalgia yang disebabkan oleh kelainan vaskuler

paling sering disebabkan oleh perdarahan intrakranial dan

seringkali bersifat akut. Tanda akut yang sering dijumpai

adalah adanya gejala peningkatan tekanan intrakranial

berupa penurunan kesadaran, kejang, dan muntah proyektil.

Pada penderita ditemukan riwayat penurunan kesadaran

sesaat, tanpa kejang dan adanya muntah proyektil.

Kemungkinan telah terjadi peningkatan tekanan

intrakranial sehingga diperlukan pemeriksaan lanjut

menggunakan funduskopi. Adanya kemungkinan perdarahan

intrakranial yang berjalan kronis belum dapat

disingkirkan karena anak memiliki riwayat trauma

sebelumnya. Untuk membantu melihat adanya perdarahan

intrakranial, diperlukan pemeriksaan penunjang CT scan

kepala.

Sefalgia yang disebabkan oleh musculoskeletal dan

neuralgia bersifat akut dan terus menerus, dapat berasal

dari infeksi yang terlokalisir misalnya sinusitis, otitis

media, abses gigi ataupun disfungsi sendi

18

temporomandibular. Perlu dilakukan konsultasi ke bagian

THT untuk menilai adanya kemungkinan infeksi yang

terlokalisir.

Gejala sefalgia yang bersifat kronis dan progresif

sesuai dengan kemungkinan sefalgia dengan penyebab

organik (infeksi, tumor, atau malformasi). Dari anamnesa

tidak ditemukan demam atau sumber infeksi lain sehingga

penyebab infeksi dapat disingkirkan. Diperlukan

pemeriksaan penunjang berupa CT scan kepala untuk melihat

adanya tumor atau malformasi.

Adanya penglihatan yang kabur dapat disebabkan oleh

adanya peningkatan TIK, gangguan visus (kelainan

refraksi), kelainan pada bola mata (glaucoma), trauma

nervus optikus, atau karena penekanan nervus optikus oleh

tumor. Perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan

funduskopi dan konsultasi ke bagian mata.

Masalah awal

1. Sefalgia ec peningkatan TIK dd/ tumor, sinusitis,

malformasi vaskuler, infeksi SSP

2. Pandangan kabur ec peningkatan TIK dd/ kelainan

refraksi, trauma bola mata, penekanan oleh massa

Rencana diagnostik

1. Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, BSS

2. CT-scan kepala

3. Funduskopi

4. Konsul THT

5. Konsul mata

Rencana terapi

19

1. IVFD D5 ½ NS 1580 cc/24 jam gtt 15 makro

2. Parasetamol 3x250 mg (po)

3. Diet 1650 kkal + protein 30 gr dalam bentuk nasi

biasa 3x1 porsi + susu F100 3x150 cc

4. Monitoring : tanda vital (TD, nadi, laju napas),

tanda peningkatan TIK (kejang, penurunan kesadaran)

CATATAN PERAWATAN PENDERITA

Tanggal Follow up18-7-2013

S

O

Masalah: 1. Sefalgia2. Penglihatan kabur

Sakit kepala (+), penglihatan kabur (+),muntah (-), kejang (-)

KU: Sens : compos mentis, N 108 x/m (i/tcukup), T 36,70C, RR 24x/menit, TD 100/60mmHg. KS: Kepala: normosefali, NCH (-),conjungtiva anemis (-), pupil bulatisokor, Ø 3/3 mm, RC +/+ N. Thoraks:simetris, retraksi (-). Jantung: bunyijantung I-II normal, bising (-), Paru:vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-,Abdomen: datar, lemas, hepar/lien takteraba, bising usus (+) normal.Ekstremitas: pucat (-), akral hangat, CRT< 2”.

Status neurologi: Lengankanan

Lengankiri

Tungkaikanan

Tungkaikiri

Gerakan luas

luas

Kekuatan 4 4 4 4Tonus Eutoni Eutoni Eutoni eutoniKlonus - -

20

A

P

Reflek

fisiologis

N

N

Reflek

patologis

-

- - -

Gejala rangsang meningeal : kaku kuduk(-), brudzinsky I (-), brudzinsky II (-) Laboratorium: Hb 13,1 gr/dl, Ht 36 vol%, leukosit7.200/mm3, LED 12 mm/jam, Trombosit357.000 /mm3, DC : 0/3/0/44/44/9. Natrium 142 mmol/L, Kalium 4,1 mmol/L,GDS 107 mg/dl. Kesan : hasil laboratorium dalam batasnormal.CT scan kepala cito: Kesan: hidrosefalusec suspek tumor kepala

Hasil konsul ke bagian mata: kesan: papiledema bilateral ec peningkatan TIK suspektumor kepala, saran: penurunan TIK sesuaitatalaksana bagian anak.Hasil konsul ke bagian THT: kesan: tidakditemukan kelainan.

Adanya sakit kepala, penglihatan kabur,riwayat muntah proyektil serta adanyapapil edema bilateral melalui funduskopimerupakan tanda adanya peningkatan TIK.Dari hasil CT scan ditemukan hidrosefalusnon komunikans yang disebabkan obstruksialiran LCS karena adanya penekanan olehmassa/tumor. Adanya kecurigaan penyebab hidrosefalusadalah tumor kepala ditunjang dengananamnesa yaitu adanya sakit kepalaterutama pada pagi hari, bersifat kronikdan progresif.

- IVFD D5 1/2NS gtt 15x/mnt (makro)- Asetazolamide 3x250 mg (po) - Parasetamol 3x250 mg (po)- Diit: NB 3x1 porsi + F100 3x150 cc

21

- R/konsul bedah saraf

19-7-2013

S

O

A

P

Masalah:Peningkatan TIK ec tumor kepala +hidrosefalus

Sakit kepala (+), penglihatan kabur (+)

Pemeriksaan fisik : stqaJawaban konsul bedah:Kesan CT scan kepala: hidrosefalus +tumor kepala fossa posteriorSaran: perbaiki KU, rencana pemasangan vpshunt jika KU membaik dan keluargasetuju, MRI.

Tatalaksana peningkatan TIK yangdisebabkan oleh hidrosefalus adalahdengan pemasangan VP-shunt. Denganpemasangan VP-shunt diharapkan obstruksiyang terjadi dapat selesai. Direncanakanpemeriksaan tambahan yaitu MRI kepalauntuk melihat lebih jelas letak dan jenistumor kepala.

- IVFD D5 1/2NS gtt 15x/mnt (makro)- Asetazolamide 3x250 mg (po) - Parasetamol 3x250 mg (po)- Diit: NB 3x1 porsi + F100 3x150 cc- Pro VP-shunt menunggu jadwal 23 Juli2013- R/MRI menunggu jadwal 31 Juli 2013- Observasi tanda-tanda vital- Rawat bersama bedah saraf

23-7-2013

S

O

Masalah:Peningkatan TIK ec tumor kepala +hidrosefalus

Muntah (-), sakit kepala (+), penglihatankabur (-)

Post op pemasangan vp shunt. Keadaan saat tiba dibangsal anak:

22

A

P

KU: Sens: belum dapat dinilai, masihdibawah pengaruh anestesi. N 104 x/m (i/tcukup), T 37,30C, RR 26 x/menit. KS:Kepala: tertutup kasa post op, pupilbulat isokor, Ø 3/3 mm, RC +/+ N. Thoraks: simetris, retraksi (-). Jantung: bunyijantung I-II normal, bising (-), Paru:vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-,Abdomen: datar, lemas, hepar/lien takteraba, bising usus (+) normal.Ekstremitas: akral hangat, CRT<2’’, SpO296%. Instruksi post operasi:

- Puasa hingga pasien sadar penuh- IVFD RL gtt 15x/mnt (makro)- Ceftriaxon 1x2 gr- Farmadol 3x150mg- Ranitidin 2x25mg

Laboratorium (post op): Hb 11,9 gr/dl, Ht 32 vol%, leukosit14.400/mm3, Trombosit 317.000 /mm3, DC :0/0/0/82/13/5. GDS 98 mg/dl.

Post op pemasangan VP shunt atas indikasihidrosefalus hari 1Hasil laboratorium post op dalam batasnormal. - Puasa hingga pasien sadar penuh- IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro)- Ceftriaxone 1x2 gr (1) R/pemberianselama 7 hari- Farmadol 3x250 mg (iv)- Ranitidin 2x25 mg (iv) - Asetazolamide stop- R/MRI kepala 31 Juli 2013

26-7-2013

S

Masalah:Suspek tumor kepala

Muntah (-), sakit kepala (-), penglihatankabur (-)

23

O

A

P

KU: Sens : compos mentis, N 88 x/m (i/tcukup), T 36,50C, RR 24x/menit, TD :100/70 mmHg. KS: Kepala: normosefali,terlihat luka tertutup perban, perdarahan(-), NCH (-), conjungtiva anemis (-),pupil bulat isokor, Ø 3/3 mm, RC +/+ N.Thoraks: simetris, retraksi (-). Jantung:bunyi jantung I-II normal, bising (-),Paru: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing-/-, Abdomen: datar, lemas, hepar/lientak teraba, bising usus (+) normal.Ekstremitas: pucat (-), akral hangat, CRT< 2”.

Status neurologi: Lengankanan

Lengankiri

Tungkaikanan

Tungkaikiri

Gerakan Luas

LuasKekuatan 5 5 5 5Tonus Eutoni Eutoni Eutoni eutoniKlonus - -Reflek

fisiologis

N

N

N

N

Reflek

patologis

-

- - -

Gejala rangsang meningeal : (-)

Setelah pemasangan VP shunt, gejalapeningkatan TIK pada pasien menghilang,terjadi perbaikan klinis, peningkatan TIKteratasi. Diagnosis tumor kepala belumdapat ditegakkan karena pasien masihmenunggu jadwal MRI.

- IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro)- Ceftriaxone 1x2 gr (4)- Farmadol 3x250 mg (iv) gantiParasetamol 3x250 mg (po)- Ranitidin stop- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- R/MRI kepala 31 Juli 2013

24

30-7-2013

S

O

A

P

Masalah:Suspek tumor kepala

Muntah (-), sakit kepala (-), penglihatankabur (-)

Pemeriksaan fisik : stqaLaboratorium : Hb 11,4 gr/dl, Ht 30 vol%, leukosit5.600/mm3, Trombosit 306.000 /mm3, DC :0/4/0/57/30/9.

Hasil pemeriksaan laboratorium dalambatas normal R/MRI kepala 31 Juli 2013

- IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro) R/aff infus setelah MRI selesai- Ceftriaxone 1x2 gr (7) stop- Parasetamol 3x250 mg (po) bila sakitkepala atau T > 38,5°C- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- R/MRI kepala 31 Juli 2013

7-8-2013

S

O

A

Masalah:Suspek tumor kepala

Muntah (-), sakit kepala (-), demam (-)

Pemeriksaan fisik : stqaHasil MRI kepala: Kesan: tumorintraventrikuler IV sugestif ependimomadengan infiltrasi ke aquaductus Silviidan foramen Magendi. Terdapat sinusitismaksilaris kiri dan mastoiditis kanan.

Tumor intraventrikuler IV sugestifependimoma. Tatalaksana pada ependimoma adalah denganpembedahan, radioterapi dan kemoterapi.Pembedahan sulit dilakukan karena letaktumor yang berdekatan dengan organpenting lainnya dan angka keberhasilanlebih kecil dibandingkan resiko yang

25

P

dihadapi. Penggunaan kemoterapi sampaisaat ini belum secara luas digunakan.Pertimbangan menggunakan radioterapikarena tumor bersifat radiosensitifsehingga diharapkan dapat memberikanhasil maksimal.

- Parasetamol 3x250 mg (po) bila sakitkepala atau T > 38,5°C- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- R/ konsul radioterapi

10-8-2013

S

O

A

P

Masalah:Tumor intraventrikuler IV sugestifependimoma

Muntah (-), sakit kepala (-), demam (-)

Pemeriksaan fisik : stqaHasil konsul radioterapi: Setuju dilakukan radioterapi kuratifdefinitif pada pasien. Akan diberikanradioterapi ekstrim 20x1,8 Gy dilanjutkandengan evaluasi MRI kepala (kontras),setelah itu dilakukan booster pada massatumor sampai total dosis 50-54 Gy.Direncanakan simulator pada tanggal15/8/2013 dan mulai radiasi tanggal16/8/2013. Selama pemberian radioterapidiberikan steroid untuk mengurangi edemaotak. Saran: dilakukan lumbal punksiuntuk mengetahui adakah sel-sel tumorpada LCS.

--

- Parasetamol 3x250 mg (po) bila sakitkepala atau T > 38,5°C- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- R/ LP

26

14-8-2013

S

O

A

P

Masalah:Tumor intraventrikuler IV sugestif

ependimoma

Muntah (-), sakit kepala (-), demam (-)

Pemeriksaan fisik : stqaHasil sitologi PA: Kesan: sitologi LCStidak dijumpai sel-sel ganas maupunproses spesifik.Laboratorium : Hb 13,4 gr/dl, Ht 36 vol%, leukosit7.600/mm3, Trombosit 251.000 /mm3, DC :0/3/0/71/15/11.

Tidak dijumpai adanya sel-sel ganas padaLCS menandakan belum terdapat metastaselebih jauh (tumor terlokalisir).Hasil pemeriksaan laboratorium dalambatas normal, sehingga rencanaradioterapi dapat dijalankan.

- Parasetamol 3x250 mg (po) bila sakitkepala atau T > 38,5°C- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- R/ radioterapi

16-8-2013

S

O

Masalah:1. Tumor intraventrikuler IV sugestif

ependimoma2. Post radioterapi hari 1

Muntah (+), nyeri ulu hati (+), sakitkepala (+), nyeri seluruh badan (+)

KU: Sens : compos mentis, N 100 x/m (i/tcukup), T 36,50C, RR 24x/menit, TD :100/60 mmHg. KS: Kepala: normosefali, NCH(-), conjungtiva anemis (-), pupil bulatisokor, Ø 3/3 mm, RC +/+ N. Thoraks:simetris, retraksi (-). Jantung: bunyi

27

A

P

jantung I-II normal, bising (-), Paru:vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-,Abdomen: datar, lemas, hepar/lien takteraba, bising usus (+) normal.Ekstremitas: pucat (-), akral hangat, CRT< 2”.Status neurologis : DBN

Adanya muntah, nyeri ulu hati, nyeriseluruh badan, dan sakit kepala merupakanreaksi efek samping dari pemberianradioterapi. Efek samping radioterapidapat berupa gangguan gastrointestinal,edema serebri dan defisit neurologis.Pemberian steroid post radioterapidiharapkan dapat mencegah terjadinyaedema serebri.

- IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro) - Dexamethason 3x7,5 mg (iv)- Ranitidin 2x25 mg (iv) - Antasid syr 3xI C - Tramadol 2x50 mg (iv)- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- Radioterapi

20-8-2013

S

O

A

Masalah:1. Tumor intraventrikuler IV sugestif

ependimoma2. Post radioterapi hari 4

Muntah (+), nyeri ulu hati (+)

Pemeriksaan fisik : stqa

Efek samping radioterapi biasanyaberlangsung dalam waktu 7-14 hari.Pemantauan dilakukan terhadap klinispenderita dan keluhan yang dialami.Pemberian terapi disesuaikan dengankeluhan penderita. Pemeriksaan darahrutin berkala seminggu sekali dilakukan

28

Puntuk memantau efek radioterapi padasumsum tulang.Pemberian steroid hanya selama 3 hari,setelah itu pencegahan edema serebridilanjutkan dengan pemberian gliseroloral.- IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro) - Dexamethason 3x7,5 mg stop; gantigliserol 4x60 cc (po)- Ranitidin 2x25 mg ganti OMZ 2x10 mg(iv) - Antasid syr 3xI C - Tramadol 2x50 mg stop; gantiParasetamol 3x250 mg (po)- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- Radioterapi diteruskan

24-8-2013

S

O

A

P

Masalah:1. Tumor intraventrikuler IV sugestif

ependimoma2. Post radioterapi hari 8

Muntah (-), nyeri ulu hati (-), sakitkepala (-)

Pemeriksaan fisik : stqaLaboratorium : Hb 12,2 gr/dl, Ht 33 vol%, leukosit8.500/mm3, Trombosit 330.000 /mm3, DC :0/9/0/61/18/12.

Pemeriksaan laboratorium dalam batasnormal.Meneruskan radioterapi sampai 30x (Senin-Jumat)

← - IVFD D5 ½ NS gtt 15x/mnt (makro) affinfus- Gliserol 4x60 cc (po) stop- OMZ 2x10 mg (iv) ganti OMZ 1x10 mg(po) - Antasid syr 3xI C

29

- Parasetamol 3x250 mg (po) bila nyerikepala- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- Radioterapi diteruskan

20-9-2013

S

O

A

P

Masalah:1. Tumor intraventrikuler IV sugestif

ependimoma2. Post radioterapi hari 25

Keluhan (-)

Pemeriksaan fisik : stqa

Penderita menunjukkan perbaikan klinisdengan pemberian radioterapi. Perludilakukan evaluasi keberhasilan terapidengan MRI.

- OMZ 1x10 mg stop - Antasid syr 3xI C stop- Parasetamol 3x250 mg (po) bila nyerikepala- Diit: NB 3x1 porsi, F100 3x150 cc- Radioterapi diteruskan- R/ MRI kepala (kontras) menunggujadwal

TINJAUAN PUSTAKA

Tumor sistem saraf pusat merupakan tumor padat

terbanyak pada pasien anak. Insiden tumor otak pada anak

usia kurang dari 15 tahun berkisar 28 per satu juta anak,

dimana insiden tertinggi pada kelompok umur 0-4 dan

terendah pada kelompok umur 10-14 tahun.1,2 Tumor otak

merupakan kelompok neoplasma tersering kedua, setelah

leukemia, yang mengenai kelompok umur tersebut.

30

Klasifikasi tumor otak menurut WHO dikelompokkan

berdasarkan pada lokasi, gambaran histologi dan derajat

malignansi.

Tumor pada ventrikel dibagi atas tumor yang berasal

dari dinding ventrikel, dari pleksus koroideus atau tela

khoroidea, dari sisa sel embrionik dan tumor dari

jaringan lain. Ependimoma berasal dari sel ependimal yang

melapisi dinding ventrikel dan kanalis sentralis medulla

spinalis. Ependimoma ini hanya merupakan 5% dari seluruh

glioma intrakranial. Tumor lebih sering terjadi pada pria

dibandingkan wanita dengan perbandingan 3:2. Puncak

tertinggi terjadi pada usia 5 tahun dan 34 tahun.2,3

Sebanyak 30-40% merupakan supratentorial, terutama

terjadi pada masa dewasa. Sebanyak 60-70% merupakan

infratentorial (25% terjadi pada dewasa, 60-70% terjadi

pada anak-anak).4,5

Berdasarkan letaknya, ependimoma dibagi menjadi 2

bagian dengan batas yaitu tentorium. Tentorium adalah

lapisan tipis yang membagi 2/3 bagian atas otak dengan

1/3 bagian bawah otak. Supratentorial ependimoma terjadi

pada bagian atas tentorium dengan area meliputi ventrikel

lateral dan ventrikel III. Infratentorial ependimoma

meliputi ventrikel IV, batang otak dan serebellum.

Ependimoma dibedakan atas 2 tipe yaitu ependimoma

tipikal atau intraspinal (berasal dari sel ependimal yang

melapisi sistem ventrikel atau sisa dari canalis

sentralis dalam medulla spinalis) dan ependimoma

myxopapiler (terdapat pada conus medularis dan filum

31

terminale). Sebanyak 70% ependimoma intrakranial berasal

dari dinding ventrikel IV terutama dari bagian kaudal dan

dari dinding resesus lateralis.6,7

Sebagian besar ependimoma intrakranial terutama

menyerang anak-anak, ependimoma infratentorial tersering

terjadi pada dekade pertama. Tumor ini tumbuh lambat, dan

hanya sedikit menginvasi jaringan sekitar. Ependimoma

pada ventrikel IV akan menyebabkan terjadi penyumbatan

pada ventrikel IV dan aquaductus sehingga bermanifestasi

sebagai hidrosefalus.

Etiologi

Penyebab ependimoma hingga sekarang belum diketahui.

Beberapa pendapat mengatakan terdapat peran serta virus

(SV40) pada perkembangan ependimoma.12,14 Pendapat ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

Manifestasi klinis

Gejala klinis ependimoma tergantung dari lokasi dan

ukuran tumor. Pada neonatus dan bayi, pembesaran kepala

mungkin merupakan gejala awal ependimoma. Pada anak dan

dewasa, mual, muntah dan nyeri kepala merupakan gejala

yang paling sering terjadi.9,10

Gejala yang khas yaitu nyeri kepala, muntah dan

vertigo disertai pandangan kabur atau ganda yang akan

bertambah dengan perubahan posisi kepala. Nyeri kepala

merupakan gejala awal, sering dengan eksaserbasi

paroksismal yang memburuk di pagi hari dan nyeri menjalar

32

ke leher, bahkan sampai ke bahu dan lengan. Muntah dan

papil edema merupakan bukti adanya hidrosefalus yang

terjadi dengan cepat. Sering terjadi kaku leher,

terkadang gejala gangguan serebellum pada anggota gerak

dapat ringan atau tidak ada. Gangguan pada saraf kranial

bersifat ringan.10,11 Tumor dapat mengganggu pusat viseral

di medulla, sehingga dapat terjadi serangan takikardi,

dispnoe, pernapasan tidak teratur, cegukan, berkeringat,

dan gangguan vasomotor.

Diagnosis

Diagnosis tumor intrakranial diawali dengan anamnesa

dan pemeriksaan fisik yang baik. Manifestasi klinis yang

timbul dapat memperkirakan struktur mana yang telah

terganggu. Gejala yang paling sering ditemukan pada

ependimoma adalah gejala-gejala peningkatan intrakranial

akibat obstruksi cairan serebrospinal. Pemeriksaan

penunjang diperlukan untuk menentukan lokasi dan

karakteristik tumor intrakranial secara lebih akurat.

Pemeriksaan pencitraan

Pemeriksaan CT scan dilanjutkan dengan MRI kontras

dapat digunakan untuk mengevaluasi massa di ventrikel IV.

Karakteristik tumor seperti ukuran, vaskularisasi dan

homogenisitas dapat dinilai, serta hubungannya dengan

struktur disekitarnya. Batas tumor yang irreguler

memperkirakan suatu jenis tumor yang invasif dan ganas.

PET (Positron Emission Tomography) scan dapat

memberikan gambaran mengenai aktivitas otak. PET dapat

33

digunakan saat hasil CT scan atau MRI memperlihatkan

kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh radiasi. PET

biasanya digunakan sebagai pemeriksaan tambahan setelah

CT scan atau MRI dilakukan. SPECT (Single Photon Emission

Tomography) memberikan informasi yang hampir sama dengan

PET. Saat ini SPECT mulai digunakan secara luas.

Biopsi merupakan suatu prosedur dimana sample tumor

diambil sehingga mempermudah mengetahui karakteristik

jenis tumor. Sample dapat diambil melalui pembedahan atau

dengan jarum biopsi. Meskipun CT scan atau MRI sudah

dapat mengidentifikasi adanya tumor otak, biopsi

merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosa tumor otak.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan LCS bermanfaat sebelum tindakan operatif,

karena dapat memberikan informasi dalam mempertimbangkan

diagnosis. Selain itu pemeriksaan LCS berguna dalam

mengevaluasi adanya metastase ke tingkat lebih lanjut.

Terapi

Tindakan bedah

Tindakan bedah pada ependimoma di awal diagnosis

diperlukan untuk mengatasi hidrosefalus yang mungkin

timbul. Namun pembedahan untuk reseksi jaringan tumor

pada ependimoma masih bersifat kontroversi. Sebagian

ahli berpendapat bahwa sebagian besar tumor dapat

dilakukan reseksi terbuka. Sebagian ahlinya berpendapat

bahwa hanya 25% tumor yang dapat direseksi, antara

lain:15,16

34

1. Tumor-tumor yang bersifat radioresisten (tumor

nongerminomal)

2. Tumor jinak (meningioma, teratoma)

3. Tumor well capsulated

4. Belum bermetastasis

Tatalaksana pembedahan pada ependimoma memiliki 3

klasifikasi, yaitu

1. Gross total procedure yaitu tidak ada sisa tumor yang

terlihat atau hanya tumor mikroskopik yang terlihat

dengan mikroskop dan post pembedahan tidak ditemukan

lagi gejala tumor.

2. Near total procedure yaitu terdapat minimal residual

tumor (<10% ukuran tumor) yang dengan pembedahan

kedua tidak akan memberikan keuntungan. Residual

tumor dapat berupa area berukuran <1.5 cm2 atau tumor

ukuran <5 mm.

3. Subtotal / incomplete procedure yaitu masih terlihat

residual tumor paska pembedahan >50% ukuran tumor.

Radioterapi

Terapi radiasi biasa juga disebut radioterapi,

menggunakan X-ray sebagai alat untuk menghancurkan sel

tumor. Radioterapi pada tumor otak meliputi dua bagian,

yaitu kraniospinal dan otak. Pada kasus dimana tidak

dapat dilakukan tindakan pembedahan, pemberian

radioterapi dapat meningkatkan angka ketahanan hidup.

35

Ependimoma bersifat radiosensitif. Jika pada

pemeriksaan MRI tumor mempunyai gambaran uniform dan

mendukung suatu ependimoma, maka beberapa ahli

menyarankan pemberian radioterapi. Bila ada pengecilan

ukuran tumor maka radioterapi dilanjutkan tanpa

tindakan pembedahan.18

Peranan radioterapi terhadap masih terus dievaluasi

terutama efek samping dan angka keberhasilan terapi

pada anak. Kovnar dkk meneliti pasien dengan reseksi

total ependimoma yang diikuti dengan pemberian

radioterapi memberikan angka ketahanan hidup yang lebih

tinggi yaitu 88% dibandingkan dengan hanya reseksi

total yaitu 38%.19

Dosis optimal untuk radiasi yaitu 45-50 Gy digunakan

untuk meningkatkan kontrol lokal terhadap

ependimoma.20,21 Penelitian terbaru menggunakan

hyperfractionated radiation dengan total dosis 69.6 Gy sebagai

terapi ependimoma pada fossa posterior. Radioterapi

membatasi dosis tinggi hanya pada tumor primer dan

dosis minimal pada jaringan normal. Pembatasan dosis

minimal memberikan keuntungan pada anak, akan tetapi

perlu dipertimbangkan juga dengan pemberian dosis

minimal akan meningkatkan kegagalan terapi. Suatu

penelitian awal menggunakan St.Jude protokol (RT-1)

pada 64 anak dengan ependimoma, memberikan hasil dosis

optimal untuk terapi adalah 59.4 Gy.21,22

Pemberian radioterapi berdasarkan umur pasien,

lokasi tumor serta ada tidaknya metastase. Radioterapi

36

tidak diberikan pada pasien berumur < 3 tahun karena

akan memberikan efek keberhasilan yang lebih kecil

dibandingkan efek samping yang ditimbulkan. Apabila

letak tumor terlokalisir, radioterapi diberikan hanya

pada otak. Akan tetapi apabila sudah terdapat

metastase, radioterapi akan diberikan pada kraniospinal

dan otak dengan dosis ekstra (booster) pada lokasi awal

tumor berada. Efek optimal dapat dicapai pada pemberian

radioterapi 5 hari dalam seminggu selama 6 minggu.22,23

Penelitian yang dilakukan oleh Chiu dkk menunjukkan

bahwa pengurangan ukuran tumor dengan pemberian

hyperfractionated radiation selama 6 minggu mencapai 25-30%

ukuran tumor.25

Pada pasien anak perlu dipantau adanya efek samping.

Efek samping dapat berupa masalah yang timbul saat

pemberian radioterapi dan efek jangka panjang pemberian

radioterapi. Masalah yang timbul saat pemberian

radioterapi meliputi mual, muntah, rasa terbakar pada

kulit, rambut rontok, kesulitan menelan, serta efek

pada sumsum tulang berupa penurunan jumlah leukosit dan

trombosit.

Pemberian radioterapi dapat menimbulkan efek samping

jangka panjang berupa gangguan belajar dan gangguan

pertumbuhan. Penelitian oleh Ris dkk menunjukkan adanya

penurunan IQ pada anak usia > 6 tahun dengan tumor

infratentorial yang timbul pada 30 bulan awal pemberian

radioterapi high dose 59.4 Gy. Gangguan pertumbuhan dapat

disebabkan oleh efek langsung radioterapi pada sumsum

37

tulang atau karena gangguan sintesis hormon

pertumbuhan. Gangguan pada sintesis hormon pertumbuhan

biasanya timbul pada tahun pertama setelah pemberian

radioterapi. Pemantauan terhadap efek samping sangat

penting, sehingga efek samping yang bersifat permanen

dapat dicegah dari awal. Pemantauan terhadap hormon

tiroid dan hormon pertumbuhan sebaiknya dilakukan 6

bulan-1 tahun post terapi.26

Kemoterapi

Kemoterapi menggunakan obat-obatan tertentu untuk

membunuh sel tumor. Pemberian kemoterapi biasanya

diberikan setelah tindakan reseksi pembedahan.

Kemoterapi juga diberikan pada anak usia < 3 tahun atau

pada kondisi tidak memungkinkan dilakukan tindakan

radioterapi.

Kemoterapi diberikan untuk meminimalisir jumlah

radiasi efektif yang dibutuhkan untuk seorang anak

dengan ependimoma. Seperti halnya dengan radioterapi,

respon pasien ependimoma terhadap kemoterapi tergantung

histologi tumor.

Prognosis

38

Prognosis pasien anak dengan tumor otak tergantung

dari beberapa faktor, yaitu usia anak, keadaan umum anak,

lokasi tumor, kerusakan struktur sekitar tumor, derajat

metastasis, serta jenis terapi yang didapatkan. Prognosis

pasien dengan ependimoma secara khusus tergantung pada

gambaran histologi tumor dan struktur sekitar yang

terganggu. Tipe tumor akan menentukan jenis terapi yang

dapat digunakan. Pasien dengan ependimoma, prognosisnya

lebih baik karena tumor bersifat radiosensitif.

Modalitas kemoterapi, radioterapi atau pembedahan

digunakan tergantung jenis tumor. Tidak ada

penatalaksanaan khusus untuk mencegah rekurensi

ependimoma. Tindakan pembedahan ulang dapat dilakukan

pada ependimoma yang mengalami rekurensi setelah beberapa

tahun kemudian. Radiosurgeri juga dapat dipertimbangkan

pada tumor-tumor rekuren dengan ukuran diameter kurang

dari 3 cm.

Keberhasilan terapi dapat dipantau melalui MRI yang

dilakukan setiap 3-4 bulan pada 2 tahun pertama diagnosis

ditegakkan. Pemantauan melalui scan untuk menilai

keberhasilan terapi dan kemungkinan rekurensi, disamping

pemantauan dengan menilai gejala klinis penderita.

39

ANALISIS KASUS

Penderita masuk rumah sakit dengan keluhan sakit

kepala. Secara garis besar, penyebab sefalgia dapat

dibedakan menjadi 5 kategori, yaitu nyeri kepala

vaskuler, muskuloskeletal (nyeri tegang otot), organik

(tumor, malformasi, ensefalopati), psikogenik, dan lain-

lain (peradangan, arthritis, neuralgia).1,2 Berdasarkan

pola sakit kepala, kemungkinan penyebab dapat dibagi

menjadi akut terlokalisir (ISPA misalnya sinusitis,

otitis media, kerusakan pada gigi, disfungsi

temporomandibular; infeksi sistemik misalnya meningitis;

dan perdarahan intrakranial), akut rekuren (migrain),

kronis non progresif (psikis), dan kronis progresif

(tumor, adanya peningkatan TIK).

Dari anamnesa didapatkan sakit kepala yang hilang

timbul, terutama pada pagi hari, saat serangan disertai

muntah dan adanya pandangan kabur. Sakit kepala dirasakan

40

sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan terus

memburuk sampai 3 hari sebelum perawatan. Berdasarkan

pola sakit kepala, penderita mengalami sakit kepala yang

bersifat kronis dan progresif, dengan lokasi di belakang

kepala dan menjalar ke leher, kemungkinan penyebabnya

adalah adanya tumor otak atau adanya peningkatan TIK.

Adanya riwayat trauma kepala memungkinkan terjadinya

perdarahan yang bersifat kronik dan memberi gejala klinis

yang sama. Pada pasien tidak ditemukan adanya riwayat

demam, kejang serta penurunan kesadaran, tidak ditemukan

gejala rangsang meningeal, sehingga penyebab sistemik

yaitu meningitis dapat disingkirkan. Etiologi lain

ditelusuri dengan melakukan konsultasi ke bagian mata dan

THT. Hasil konsul ke bagian THT memberi kesan tidak ada

kelainan, sehingga penyebab sefalgia terlokalisir dapat

disingkirkan. Hasil konsul ke bagian mata memberi kesan

adanya papil edema bilateral yang disebabkan oleh

peningkatan TIK, kemungkinan penekanan oleh tumor otak.

Direncanakan pemeriksaan penunjang CT-scan kepala cito

untuk melihat kemungkinan tumor otak atau perdarahan

intrakranial.

Adanya sakit kepala, muntah proyektil, gejala okular

(edema papil, diplopia, pandangan kabur) merupakan gejala

peningkatan TIK. Sakit kepala merupakan keluhan sebagian

besar anak dengan gejala TIK yang meninggi (level of

evidence III). Sakit kepala sering bertambah pada waktu

bangun pagi, dan menjadi makin hebat bila penderita

melakukan kegiatan yang menyebabkan peninggian TIK

41

misalnya batuk, bersin, mengedan atau perubahan posisi

kepala yang tiba-tiba. Sakit kepala cenderung berulang

dan makin menetap sesuai dengan peninggian TIK

selanjutnya. Tumor pada fosa posterior menyebabkan

iritasi serabut posterior medulla spinalis bagian

servikal atas, sehingga menyebabkan rasa sakit di bagian

belakang kepala dan leher.3,4

Muntah merupakan gejala sekunder peningkatan TIK

atau akibat iritasi langsung terhadap inti nervus X atau

pusat muntah di dasar ventrikel IV. Gejala muntah pada

tumor infratentorial sering tidak disertai dengan rasa

mual. Gejala ini mungkin disebabkan oleh distorsi

pembuluh darah dan batang otak. Pada awalnya muntah

timbul waktu bangun pagi, kemudian dapat terjadi pada

setiap waktu.7,8 Pollack dkk menemukan 84% kasus muntah

pada tumor infratentorial dan 35% pada tumor

supratentorial, pada kelompok usia kurang dari 12 tahun.

Berbagai kelainan fungsi okular yang berhubungan

dengan peninggian TIK termasuk edema papil, atrofi optik

sekunder (sering ditafsirkan sebagai penglihatan kabur),

atrofi optik primer, gangguan lapangan penglihatan,

diplopia atau strabismus dan eksoftalmus. Edema papil

merupakan gejala peninggian TIK yang penting, terutama

pada anak dengan ubun-ubun besar yang telah menutup

(level of evidence III). Duffner dkk menemukan sebanyak

88% tumor infratentorial terlihat edema papil.

Diagnosa tumor otak ditegakkan atas dasar gejala

klinis, gejala peninggian TIK, dan gejala neurologik

42

fokal serta dibantu oleh pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah foto

rontgen kepala, EEG, pemeriksaan LCS, USG kepala, CT-scan

kepala, MRI dan pemeriksaan patologi anatomi.

CT-scan merupakan pilihan utama untuk menegakkan

diagnosis pada kasus yang dicurigai terdapatnya massa

dalam otak. Prosedur ini memberikan informasi yang lebih

tepat dibandingkan pemeriksaan radiologis lain. CT-scan

dapat digunakan untuk mendeteksi adanya tumor, menentukan

lokasi dan besar tumor, serta memberi gambaran mengenai

kelainan patologis yang menyertai adanya tumor misalnya

hidrosefalus, edema otak, perdarahan, efek massa,

pembentukan kista dan nekrosis paska radiasi (level of

evidence I).

Hasil CT-scan menunjukkan adanya hidrosefalus yang

kemungkinan disebabkan oleh SOL. Dilakukan konsul ke

bagian bedah saraf dan direncanakan pemasangan VP-shunt

serta penjadwalan MRI untuk melihat letak dan jenis tumor

lebih rinci.

Hasil MRI kepala memberi kesan suatu tumor ventrikel

IV sugestif ependimoma dengan penjalaran ke aquaductus

Silvii dan foramen Magendi. MRI sangat baik dan esensial

untuk mendiagnosa glioma derajat rendah, tetapi untuk

glioma derajat tinggi tidak lebih baik dibandingkan CT-

scan. Pada ependimoma fosa posterior, MRI lebih akurat

dalam menggambarkan lokasi tumor di dalam ventrikel IV

dan yang berekstensi ke luar.

43

Tatalaksana tumor ventrikel adalah dengan tindakan

operatif, radioterapi dan kemoterapi. Tujuan operatif

pada tumor otak adalah bila mungkin mengangkat tumor

secara total. Indikasi reseksi tumor adalah bila tumor

terdapat pada daerah serebellum, lobus frontal dan

temporal yang tidak dominan, dan korteks pre-frontal atau

temporal anterior. Sedangkan kontraindikasi adalah bila

tumor terdapat pada daerah korteks motoris, korteks

sensoris, pusat penglihatan, pusat bicara, hhipotalamus

dan batang otak.

Pada tumor fosa posterior sering terjadi

hidrosefalus obstruktif. Keadaan ini dapat menyebabkan

perembesan cairan serebrospinal melalui dinding ventrikel

ke hemisfer yang berbatasan sehingga menyebabkan edema

interstitial. Selain itu terjadi pula edema peritumor

yang merupakan edema vasogenik. Kedua keadaan tersebut

dapat menyebabkan peninggian TIK.

Pembedahan mempertimbangkan lokasi, ukuran dan jenis

tumor. Pada tumor ventrikel yang lokasinya berdekatan

dengan organ penting otak, sulit dilakukan tindakan

operatif. Ukuran tumor yang terlalu besar juga beresiko

terjadinya komplikasi pada tindakan operatif. Jenis tumor

sangat menentukan apakah tumor bersifat operable atau non

operable. Seringkali tindakan operatif yang dilakukan

adalah memasang shunt untuk menurunkan tekanan intrakranial

yang disebabkan oleh hidrosefalus.

Tatalaksana awal adalah dengan menurunkan

peningkatan TIK. Gejala peningkatan TIK berupa muntah

44

proyektil, sakit kepala dan pandangan kabur pada pasien

ini disebabkan oleh hidrosefalus yang terjadi akibat

adanya obstruksi aliran LCS karena adanya SOL. Terapi

pilihan adalah pemasangan VP-shunt untuk membebaskan

obstruksi aliran LCS. Sebelum pembedahan dilakukan,

pasien diberikan asetazolamide, suatu diuretik yang

bersifat menghambat carbonic anhidrase, sehingga produksi

LCS dapat dihambat.

Kemoterapi menggunakan obat-obatan tertentu untuk

menghancurkan sel tumor. Penggunaan kemoterapi pada tumor

otak masih terbatas, karena susunan saraf pusat relatif

sukar dicapai oleh obat yang diberikan secara sistemik.

Jumlah penderita yang mendapat kemoterapi belum banyak

sehingga sukar untuk menilai hasil pengobatan, toksisitas

obat dan keadaan yang tidak menguntungkan bagi penderita

(level of evidence III).

Kemoterapi biasanya digunakan pada anak dibawah 3

tahun dan pertimbangan dokter untuk tidak melakukan

radioterapi. Penggunaan kemoterapi pada ependimoma masih

bersifat kontroversi. Disamping hasilnya yang kurang

memuaskan, efek samping kemoterapi juga dianggap

memperberat kondisi umum pasien.

Tujuan radioterapi adalah untuk mematikan sel secara

selektif. Radioterapi dapat merupakan pengobatan tambahan

45

dari reseksi subtotal atau sebagai pengobatan definitif

sesudah biopsi, atau bila diagnosis ditegakkan hanya atas

dasar gejala klinis (level of evidence III).

Jumlah radiasi yang diberikan tergantung dari

kecenderungan tumor bermetastasis ke ruang subarachnoid.

Terhadap tumor yang mempunyai risiko tinggi untuk

menyebar ke ruang subarachnoid misalnya medulloblastoma

dan ependimoma ventrikel IV yang sangat ganas, dilakukan

radiasi kraniospinal. Terhadap tumor yang terbatas

metastasenya seperti glioma dan astrositoma

supratentorial derajat rendah, diberikan radiasi lokal

saja.24,25

Pada pinealoma, glioma batang otak, dan tumor

ventrikel IV, radioterapi dapat langsung diberikan

setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis.

Hal ini dilakukan karena ekstirpasi tumor dapat

membahayakan kehidupan penderita.14,15

Pada pasien ini sulit dilakukan tindakan pembedahan

karena letaknya pada ventrikel IV yang berdekatan dengan

vermis serebelum dan pons, sehingga dipertimbangkan untuk

dilakukan radioterapi. Pertimbangan radioterapi juga

berdasarkan jenis tumor yang kemungkinan adalah

ependimoma yang berasal dari ependimal, yang bersifat

radiosensitif.

Optimalisasi radioterapi tergantung pada volume,

dosis dan teknik yang digunakan. Pada pasien yang sudah

menjalani reseksi tumor, seringkali diberikan dosis

konvensional (54-56 Gy) dibandingkan dengan yang belum

46

menjalani reseksi tumor, akan diberikan dosis tinggi

(70,4 Gy). Pemberian dosis juga mempertimbangkan efek

samping yang mungkin timbul. Efek samping yang mungkin

timbul yaitu mual-muntah, sakit kepala, rasa nyeri di

seluruh tubuh, penurunan jumlah leukosit dan trombosit,

dan gangguan gastrointestinal.25,26

Prognosis pada pasien ependimoma bergantung pada

beberapa faktor, yaitu umur anak, kondisi kesehatan anak

secara keseluruhan, lokasi tumor, metastase tumor, jenis

tumor, dan waktu terapi diberikan. Pada pasien yang

menjalani reseksi tumor komplit, angka kelanjutan hidup

adalah 4-5 tahun.21,22 Meskipun demikian, kemungkinan

rekurensi adalah 20-30%. Prognosis terburuk adalah pada

pasien dengan tingkat metastase yang tinggi dan bersifat

non operable. Pada penderita dengan kondisi seperti ini

angka kelanjutan hidup adalah 1-2 tahun, angka ini akan

lebih rendah pada pasien usia kurang dari 5 tahun.25,26

Tujuan pengobatan operasi pada pasien ini adalah

menghilangkan gejala hidrosefalus. Reseksi tumor yaitu

mengangkat jaringan tumor sebanyak mungkin sulit

dilakukan tanpa merusak ventrikel IV. Mortalitas paska

operasi diperkirakan 50% dan kemungkinan hidup 5 tahun

berkisar 33-70%.

Prognosis ependimoma yang terletak supratentorial

dengan ependimoma yang terletak infratentorial lebih

baik. Pada pasien ini, letak tumor adalah infratentorial,

pada dasar ventrikel IV, sehingga sulit dilakukan

pembedahan. Atas dasar pertimbangan inilah dilakukan

47

radioterapi kuratif definitif dengan radiasi ekstrem

diberikan 20x1,8 Gy. Setelah itu dilakukan evaluasi

dengan MRI kepala, dan dilanjutkan booster pada massa

tumor sampai total dosis 50-54 Gy.

PENUTUP

Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Bagian

IKA, Ketua Program Studi IKA dan khususnya supervisor sub

bagian Neurologi Anak, dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K); dr.

Syarif Darwin, SpA(K); dr. RM. Indra, SpA, sub bagian

Radiologi dr. SNA Ratnasari Devi ES, SpRad, dan sub

bagian Onkologi-Radioterapi dr. Dini Andriani P,

Sp.Onk.Rad yang telah membimbing saya sehingga laporan

kasus ini dapat diajukan.

48

DAFTAR PUSTAKA

49

1. Ries LAG et al: Cancer Statistics Review, 1973-1997.

National Cancer Institute, Bethesda, Md, 2005.

2. Foreman NK, Love S, Thorne R: Intracranial

ependimomas: Analysis of prognostic factors in a

population-based series. Pediatr Neurosurg 24:119-

125, 2001.

3. Perilongo G, Massimino M, Sotti G, et al: Analyses

of prognostic factors in a retrospective review of

92 children with ependimoma: Italian Pediatric

Neuro-oncology Group. Med Pediatr Oncol 29:79-85,

2002.

4. Horn B, Heideman R, Geyer R, et al: A multi-

institutional retrospective study of intracranial

ependimoma in children: Identification of risk

factors. J Pediatr Hematol Oncol 21:203-211, 1999.

5. Sutton LN, Goldwein J, Perilongo G, et al:

Prognostic factors in childhood ependimomas. Pediatr

Neurosurg 16:57-65, 1999-2004.

6. Pollack IF, Gerszten PC, Martinez AJ, et al:

Intracranial ependimomas of childhood: Long-term

outcome and prognostic factors. Neurosurg 37:655-

666, 1995.

7. Rousseau P, Habrand J, Sarrazin D, et al: Treatment

of intracranial ependimomas of children: Review of a

15-year experience. Int J Radiat Biol Phys 28:381-

386, 2003.

8. Robertson PL, Zeltzer PM, Boyett JM, et al: Survival

and prognostic factors following radiation therapy

50

and chemotherapy for ependimomas in children: A

report of the Children’s Cancer Group. J Neurosurg

88:695-703, 2005.

9. Needle MN, Goldwein JW, Grass J, et al: Adjuvant

chemotherapy for the treatment of intracranial

ependimoma of childhood. Cancer 80:341-347, 2005.

10. Nazar GB, Hoffman HJ, Becker LE, et al:

Infratentorial ependimomas in childhood: Prognostic

factors and treatment. J Neurosurg 72:408-417, 2006.

11. Sanford RA, Gajjar A: Ependimomas. Clin

Neurosurg 44:559-570, 1999.

12. Sala F, Talacchi A, Mazza C, et al: Prognostic

factors in childhood intracranial ependimomas.

Pediatr Neurosurg 28:135-142, 2008.

13. Duffner PK, Krischer JP, Sanford RA, et al:

Prognostic factors in infants and very young

children with intracranial ependimomas. Pediatr

Neurosurg 28:215-222, 2006.

14. Merchant TE, Haida T, Wang MH, et al:

Anaplastic ependimoma: Treatment of pediatric

patients with or without craniospinal radiation

therapy. J Neurosurg 86:943-949, 2008.

15. Merchant TE, Jenkins JJ, Burger PC, et al: The

influence of histology on the time to progression

after irradiation for localized ependimoma in

children. Int J Radiat Oncol Biol Phys. In press.

2003.

51

16. Hukin J, Epstein F, Lefton D, et al: Treatment

of intracranial ependimoma by surgery alone. Pediatr

Neurosurg 29:40-45, 2007.

17. Palma L, Celli P, Mariottini A, et al: The

importance of surgery in supratentorial ependimomas.

Long-term survival in a series of 23 cases. Childs

Nerv Syst 16:170-175, 2000.

18. Foreman NK, Love S, Gill SS, et al: Second-look

surgery for incompletely resected fourth ventricle

ependimomas: Technical case report. Neurosurgery

40:856-860, 2005.

19. Kovnar E, Curran W, Tomita, et al:

Hyperfractionated irradiation for childhood

ependimoma: Improved local control in subtotally

resected tumors (abstract). Childs Nerv Syst 14:489,

2007.

20. Vanuytsel LJ, Bessell EM, Ashley SE, et al:

Intracranial ependimoma: Long-term results of a

policy of surgery and radiotherapy. Int J Radiat

Oncol Biol Phys 23:313-319, 2002.

21. Merchant TE, Zhu Y, Thompson SJ, et al:

Preliminary results from a phase II trial of

conformal radiation therapy for localized pediatric

brain tumors. Int J Radiol Oncol Biol Phys 52:325-

332, 2006.

22. Merchant TE, Goloubeva O, Kiehna EN, et al:

Neurocognitive effects of radiation therapy. 43rd

Annual Meeting of the American Society of

52

Therapeutic Radiology and Oncology. San Francisco,

Nov 4-8, 2008.

23. Merchant TE, Goloubeva O, Pritchard DL, et al:

Radiation dose-volume effects on growthy hormone

secretion. Int J Radiat Oncol Biol Phys 52:1264-

1270, 2002.

24. Ris MD, Packer R, Goldwein J, et al:

Intellectual outcome after reduced-dose radiation

therapy plus adjuvant chemotherapy for

medulloblastoma: A Children’s Cancer Group study. J

Clin Oncol 19(15):3470-3476, 2001.

25. Chiu JK, Woo SY, Ater J, et al: Intracranial

ependimoma in children: Analysis of prognostic

factors. J Neurooncol 13:283-290, 2002.

26. Bouffet E, Perilongo G, Canete A, et al:

Intracranial ependimomas in children: A critical

review of prognostic factors and a plea for

cooperation. Med Pediatr Oncol 30:319-331, 2008.

53

54

DIAGRAM TUMBUH KEMBANG ANAK DENGAN EPENDIMOMA

LINGKUNGAN

Meso:= Bidan 1 km

= Puskesmas 2 km= RSUD 1 jam

= RSMH 6 jam

Makro:Jamsoskes

(+)

Mikro:= Ibu : SMP= ASI 0-2 tahun= Imunisasi dasar lengkap

Mini:= Ayah : SMP= Kerja : Supir ojek= Anak ke 1 dari 3 bersaudara= Sosial ekonomi kurang

ASUH Cukup

ASIH Cukup

ASAH Cukup

KEBUTUHAN DASAR

Neonatus cukup bulan

-

TUMBUH KEMBANG

Bayi sehat

Anak dengan ependimoma

Tatalaksana adekuat:- Pembedahan dan radioterapi - Pencegahan komplikasi-Follow up berkala melalui poli neurologi

Tumbuh Kembang Optimal (?)

Genetik - Heredokonstitusional Baik

-genetik (?)-kurangnya informasi-sosek kurang