perencanaan mud weight dan casing setting depth
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of perencanaan mud weight dan casing setting depth
i
PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH
DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD
WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN
SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA
TENGAH
SKRIPSI
OLEH :
SITI SEPTIA NUR AZIZAH
113170098
JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2021
ii
PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH
DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD
WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN
SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA
TENGAH
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknik Perminyakan pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas
Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
OLEH :
SITI SEPTIA NUR AZIZAH
113170098
Disetujui Untuk Jurusan Teknik Perminyakan
Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Oleh :
Pembimbing 1
Dr. Ir. H. Aris Buntoro., MT.
NIP. 19590318 198303 1 001
Pembimbing 2
Eko Widi Pramudiohadi, ST., MT.
NIP. 19600309 199003 1 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya menyatakan bahwa judul dan keseluruhan dari isi Skripsi ini adalah
asli karya ilmiah saya, dan saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun,
konsultasi dengan Dosen Pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini tidak
pernah melakukan penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang lain atau pihak lain
baik karya lisan maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Saya
menyatakan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi saya ini
mengandung unsur jiplakan (plagiasi) dari karya orang lain atau pihak lain, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, di luar tanggung jawab Dosen
Pembimbing saya. Oleh karenanya saya sanggup bertanggung jawab secara
hukum dan bersedia dibatalkan atau dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas
atau Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, dan
diumumkan kepada khalayak ramai.
Yogyakarta, 11 Oktober 2021
Yang menyatakan,
Siti Septia Nur Azizah
Nomor HP : 087848475418
Alamat E-mail : [email protected]
Nama Orang Tua : Syaifudin
Alamat Orang Tua : Jl. Glawan-Salatiga Dusun Pete Desa Sukoharjo Rt.04/02
aKec. Pabelan Kab. Semarang.
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Dengan ini saya persembahkan Skripsi ini kepada Orang tua tericinta yang sangat
kukasihi dan kusayangi serta segenap keluarga yang membatu doa maupun materi
selama saya mencari ilmu di Teknik Perminyakan UPN “Veteran”Yogyakarta. Ibu
Siti Muniswati, Bapak Syaifudin, Mbah Siti Zulaikah terimakasih atas segala doa
dan dukungannya, aku persembahkan skripsi ini untuk kalian.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH
DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD
WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN
SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA
TENGAH
Perkenankan Penulis untuk memberikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Dr. Mohamad Irhas Effendi, M. S selaku Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta.
2. Dr. Ir. Sutarto, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”
Yogyakarta.
3. Dr. Boni Swadesi, MT, selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan UPN
“Veteran” Yogyakarta
4. Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, MT selaku Dosen Wali.
5. Ir. H. Aris Buntoro, MT selaku Dosen Pembimbing Pertama.
6. Eko Widi Pramudiohadi, ST., MT selaku Dosen Pembimbing Kedua.
7. Staff pengajar dan TU Jurusan teknik Perminyakan UPN “Veteran”
Yogyakarta
8. PT. Geotama Energi, yang telah memfasilitasi data untuk penyususnan skripsi
9. Teman-temang angkatan 2017 PETRONIUS.
10. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun, supaya dalam penulisan laporan skripsi nantinya akan menjadi
lebih baik.
Yogyakarta,16 September 2021
Siti Septia Nur Azizah
vi
RINGKASAN
Sumur “ZZH-40” merupakan sumur eksplorasi yang berada di Cekungan
Sumatera Tengah. Sumur ini dibor dengan kedalaman akhir 7000 ft TVD. Terjadi
caving pada kedalaman 3105-3463 ft dan 3540-3793 ft di Formasi Telisa dengan
lithologi shale sisipan sandstone. Pada kedalaman 2126-2770 ft di Formasi Petani
dangan lithologi shale terjadi penyempitan lubang bor (swelling).
Perencanaan mud weight dan casing setting depth dengan pendekatan
prediksi pore pressure dan safe mud window didasarkan pada pengolahan data-
data logging, yaitu gamma ray log, density log dan sonic log untuk menentukan
pore pressure, fracture pressure, overburden pressure, minimum horizontal
stress, maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Penarikan garis
pada gamma ray log untuk menentukan zona shale dan non shale yang nantinya
akan mempengaruhi sonic log. Dari data sonic log dan density log digunakan
untuk menentukan overburden pressure. Kemudian plot antara sonic log vs
Normal Compaction Trend disandingkan dengan density log digunakan untuk
menentukan overpressure mechanism yang terjadi. Hasil dari penentuan jenis
overpressure mechanism digunakan untuk pemilihan metode perhitungan pore
pressure. Hasil perhitungan prediksi pore pressure dan fracture pressure masing-
masing divalidasi dengan data DST/connection gas/total gas/trip gas/mud weight
actual dan LOT. Langkah selanjutnya yaitu menentukan minimum horizontal
stress, maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Setelah semua data
geopressure didapatkan, model safe mud window dapat diketahui dan digunakan
untuk menentukan desain mud weight yang optimal, yaitu tidak kurang dari Shear
Failure Gradient dan tidak lebih dari Minimum Horizontal Stress
(SFG<MW<ShG). Setelah mud weight optimal ditentukan langkah selanjutnya
yaitu menentukan casing setting depth.
Berdasarkan hasil evaluasi, problem caving yang terjadi pada kedalaman
3105-3463 ft dan 3540-3793 ft disebabkan karena mud weight actual yang
digunakan lebih kecil dari shear failure gradient. Perencanaan desain mud weight
yang didapatkan dengan pendekatan prediksi pore pressure dan safe mud window
adalah pada trayek 13 3/8” dari surface-1284 ft sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek
10 3/4” pada kedalaman 1284-4925 ft sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada
kedalaman 4925-7000 ft sebesar 9.2-11.9 ppg. Perencanaan casing setting depth
dengan menggunakan safe mud window menghasilkan 3 trayek casing, yaitu
surface casing 13 3/8” diletakkan pada kedalaman 1284 ft di Formasi Petani
dengan lihologi shale dengan sisipan sandstone, intermediate casing 10 3/4”
diletakkan pada kedalaman 4925 ft Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan
lithologi sandstone dan production casing dipasang pada target depth 7000 ft di
Formasi Pematang dengan lithologi shale.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .............................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
RINGKASAN ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3. Maksud dan Tujuan ........................................................................... 3
1.4. Metodologi Penelitian ........................................................................ 4
1.5. Sistematika Penulisan ....................................................................... 9
BAB II TINJAUAN LAPANGAN “SISNAZ” .................................................. 10
2.1. Letak Geografisa Lapangan “SISNAZ” ........................................ 10
2.2. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah ............................. 11
2.3. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah ......................... 12
2.3.1. Formasi Minas .......................................................................... 14
2.3.2. Formasi Petani .......................................................................... 14
2.3.3. Formasi Telisa .......................................................................... 14
2.3.4. Formasi Kelompok Sihapas ..................................................... 15
2.3.5. Formasi Kelompok Pematang ................................................... 15
2.4. Data Sumur “ZZH-40” ................................................................... 17
viii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)
Halaman
BAB III DASAR TEORI ................................................................................... 20
3.1. Tekanan Bawah Permukaan ............................................................. 22
3.1.1. Tekanan Hidrostatik ................................................................. 22
3.1.2. Tekanan Overburden ................................................................. 23
3.1.3. Tekanan Pori ............................................................................ 25
3.1.3.1. Tekanan Pori Normal ........................................................ 26
3.1.3.2. Tekanan Pori Abnormal ..................................................... 27
3.1.3.2.1. Tekanan Pori Sub-Normal (Underpressure) ............ 28
3.1.3.2.2. Tekanan Pori Overpressure ..................................... 29
3.1.3.2.2.1. Loading Mechanism ....................................... 31
3.1.3.2.2.2. Unloading Mechanism ................................... 34
3.1.4. Tekanan Rekah Formasi ............................................................ 42
3.1.5. In-Situ Stress ............................................................................. 45
3.1.5.1. Minimum Horizontal Stress (Shmin) ................................. 49
3.1.5.2. Maximum Horizontal Stress (SHmax) ............................... 51
3.1.6. Shear Failure Gradient ............................................................ 53
3.2. Pengukuran Tekanan Bawah Permukaan ........................................ 56
3.2.1. Wireline Log .............................................................................. 57
3.2.2. Formation Test ......................................................................... 66
3.3. Sifat Mekanika Batuan ..................................................................... 72
3.3.1. Stress (σ) .................................................................................. 72
3.3.2. Strain (ε) ................................................................................... 74
3.3.3. Compressive Strength (Co) ...................................................... 75
3.3.4. Friction Angle .......................................................................... 78
3.3.5. Poisson‟s Ratio (𝑣) ................................................................... 80
3.3.6. Young‟s Modulus (E) ............................................................... 84
ix
DAFTAR ISI
(Lanjutan)
Halaman
3.3.7. Biot‟s Coefficient ....................................................................... 87
3.3.8. Brittleness Index ........................................................................ 89
3.4. Safe Mud Window Concept ............................................................. 91
3.5. Casing Setting Depth ........................................................................ 95
3.5.1. Conductor Casing ..................................................................... 95
3.5.2. Surface Casing .......................................................................... 96
3.5.3. Intermediate Casing ................................................................. 96
3.5.4. Production Casing .................................................................... 97
3.5.5. Liner .......................................................................................... 97
BAB IV PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH
DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN
SAFE MUD WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA
LOG PEMBORAN SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ”
CEKUNGAN SUMATERA TENGAH .......................................... 102
4.1.Analisa Geopressure dan Analisa Geomechanics Mengunakan
Drillwork Software ........................................................................ 102
4.1.1. Input Data ............................................................................... 102
4.1.2. Analisa Shale Line dari Log Gamma Ray ............................. 104
4.1.3. Penentuan Overburden Gradient ............................................ 105
4.1.4. Penentuan Jenis Mekanisme Overpressure .......................... 107
4.1.5. Penentuan Pore Pressure ...................................................... 109
4.1.6. Penentuan Rock Mechanics .................................................. 113
4.1.7. Penentuan Fracture Pressure ................................................ 114
4.1.8. Penentuan Minimum dan Maksimum Horizontal Stress ...... 116
4.1.9. Penentuan Shear Failure Gradient ....................................... 119
x
DAFTAR ISI
(Lanjutan)
Halaman
4.1.10.Analisa Problem Pada Sumur “ZZH-40” yang Berkaitan Dengan
Penggunaan Mud Weight ...................................................... 121
4.1.11.Perencanaan Mud Weight Optimal Sumur “ZZZH-40” ......... 124
4.1.12.Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZZH-40” ....... 126
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 129
5.1. Analisa Geopressure Sumur “ZZH-40” ....................................... 130
5.2. Analisa Problem Pada Sumur “ZZH-40” yang Berkaitan Dengan
Penggunaan Mud Weight.............................................................. 133
5.3. Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” Berdasarkan Safe
Mud Window untuk Menjaga Kestabilan Lubang Bor ................. 134
5.4. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40” .................. 135
BAB VI KESIMPULAN ................................................................................... 137
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1. Diagram Alir ................................................................................................... 7
1.2. Diagram Alir (Lanjutan) .................................................................................. 8
2.1. Cekungan Sumatera Tengah ......................................................................... 10
2.2. Peta Basement Terranes Cekungan Tersier Sumatera Tengah ..................... 12
2.3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah ........................................................ 13
3.1. Profil Tekanan Bawah Permukaan Pada Sedimen ........................................ 21
3.2. Tekanan Hidrostatik ...................................................................................... 22
3.3. Tekanan Hidrostatik,Uderpressure,Overpressure,Tekanan Overburden ...... 25
3.4. Wellbore Pressure ......................................................................................... 26
3.5. Ilustrasi Tekanan Pori Abnormal (overpressure/underpressure) ................. 26
3.6. Transisi Tekanan Normal Ke Overpressure ................................................. 29
3.7. Respon Effective Stress Pada Mekanisme Pembentuk Overpressure ........... 32
3.8. Karakteristik pengamatan Wireline Log pada Loading Mechanism ............. 33
3.9. Pembentukan Tekanan Ovepressure Akibat Mekanisme Unloading ........... 34
3.10. Karakteristik Pengamatan Wireline Log pada Unloading Mechanism ....... 35
3.11. In-Situ Stress ............................................................................................... 40
3.12. Kondisi Patahan dan Sifatnya ................................................................... 42
3.13. Prinsip Pengukuran Log Densitas ............................................................... 54
3.14. Indikasi Abnormal Pressure dari Shale Density vs Depth .......................... 56
3.15. Shale Resistivity vs Depth .......................................................................... 57
3.16. Typical Leak-Off Test Plot .......................................................................... 58
3.17. Typical Recording of LOT ....................................................................... 60
3.18. Schematic Illustration Extended Leak-Off Test.......................................... 60
3.19. Grafik Formation Integrity Test ................................................................. 61
3.20. Reservoir Pressure vs Depth ...................................................................... 63
3.21. Normal Stress dan Shear Stress ................................................................. 65
3.22. Besar Ketiga Stress Utama dan Arah Rekahan ........................................... 65
xii
DAFTAR GAMBAR
(Lanjutan)
3.23. Strain .......................................................................................................... 66
3.24. Kalsifikasi Compressive Strength Batuan ................................................... 69
3.25. Diagram Mohr-Coulomb Criterion ............................................................ 70
3.26. Pengaruh Kompaksi Terhadap Friction Angle ............................................ 71
3,27. Crossplot Vgrain (∅eff) Vs Friction Angel ................................................... 71
3.28. Poisson Ratio .............................................................................................. 73
3.29. Poission‟s Ratio vs Porosity pada Batuan Karbonat dan Siltstone ............ 73
3.30. Young‟s Modulus ....................................................................................... 76
3.31. Young‟s Modulus dari Uniaxial Stress-Strain Curve ................................ 77
3.32. Young‟s Modulus Pada Berbagai Batuan ................................................... 77
3.33. Kontak Area Fluida Dengan Solid ............................................................ 78
3.34. Hubungan Mud Pressure dan Borehole Failure ....................................... 92
3.35. Safe Mud Window ..................................................................................... 94
3.36. Penentuan Casing Setting Depth .................................................................. 99
3.37. Penentuan Safe Mud Window dan Casing Setting Depth ........................... 101
4.1. Input Data Log ............................................................................................ 103
4.2. Pemilihan Log dan Penyesuaian Unit ......................................................... 103
4.3. Hasil Plot Data-Data Log ............................................................................ 104
4.4. Hasil Penarikan Shale Line dan Log SHPT DT ......................................... 105
4.5. Hasil Plot Overburden Gradient .............................................................. 106
4.6. Overpressure Mechanism Sumur “ZZH-40” .............................................. 108
4.7. Overpressure Mechanism dan Lithologi ..................................................... 109
4.8. Normal Compaction Trend vs Sonic Log ..................................................... 110
4.9. Plot Hasil Perhitungan Pore Pressure ....................................................... 111
4.10.Overpressure Mechanism dan Hasil Plot Pore Pressure ............................ 112
4.11.Plot Hasil Fracture Pressure vs Pore Pressure ......................................... 115
4.12.Hasil Plot Tiga Priciple Stress ................................................................. 117
xiii
DAFTAR GAMBAR
(Lanjutan)
4.13. Hasil Plot Shear Failure Gradient ............................................................ 120
4.14. Indikasi Problem Pada Sumur “ZZH-40” ................................................. 121
4.15. Desain Mud Weight Optimum ................................................................. 126
4.16. Perencanaan Casing Setting Depth ........................................................... 127
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
II-1. Lithologi Sumur “ZZH-40”.......................................................................... 18
II-2. Data Formation Test Sumur “ZZH-40” ...................................................... 18
II-3. Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40” ......................................................... 19
II-4. Problem Pada Sumur “ZZH-40” .................................................................. 19
III-1. Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi .................................. 24
III-2. Stress Regime Pada Berbagai Jenis Patahan Menurut Anderson ................ 46
III-3. Transit Time Matrik Untuk Beberapa Jenis Batuan.................................... 60
III-4. Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi .................................. 62
III-5. Poission‟s Ratio Pada Berbagai Lithologi ................................................... 83
III-6. Modulus Bulk Matriks ................................................................................ 88
III-7. Sifat Batuan Berdasarkan Brittleness Index................................................. 90
IV-1. Data Tekanan Overburden Pasa Sumur “ZZH-40” .................................. 107
IV-2. Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton, Bower . 111
IV-3. Tabel Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton .... 113
IV-4. Hasil Perhitungan Fracture Gradient Menggunakan Beberapa Metode ... 115
IV-5. Hasil Perhitungan Fracture Gradien Menggunakan Metode Eaton ........ 116
IV-6. Hasil Perhitungan Minimum Horizontal Stress ........................................ 118
IV-7. Hasil Perhitungan Maximum Horizontal Stress........................................ 119
IV-8. Nilai Brittelness Index ............................................................................... 122
IV-9. Problem Pada Sumur “ZZH-40” .............................................................. 123
IV-10. Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40” .................................................... 124
IV-11.Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” ....................................... 125
IV-12.Perencanaan Casing Setting Depth ........................................................... 128
xv
DAFTAR LAMPIRAN
A. Problem Pemboran Sumur “ZZH-40”
B. Hasil Perbandingan Metode Perhitungan Tekanan Bawah Permukaan
C. Tutorial Drillwork
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan suatu pemboran sangat ditentukan oleh karakteristik batuan
formasi yang akan ditembus. Maka dari itu, perlu diketahui kondisi bawah
permukaan dengan studi geomekanik agar dapat menghindari permasalahan dalam
pemboran dan mengurangi Non-Productive Time (NPT), sehingga pemboran
dapat berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan. Analisa bawah permukaan
dapat berupa analisa lithologi dan geopressure yang nantinya akan digunakan
untuk menjaga wellbore stability.
Salah satu langkah yang digunakan untuk mejaga wellbore stability adalah
penggunaan densitas lumpur yang sesuai dengan safe mud window. Lumpur
pemboran merupakan faktor penting yang sangat menentukan berhasil atau
tidaknya suatu operasi pemboran. Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah
untuk mengimbangi tekanan formasi dan menjaga kestabilan lubang bor.
Perencanaan densitas lumpur biasanya hanya didasarkan pada pressure window
(pore pressure dan fracture pressure), namun dengan hanya mempertimbangkan
kedua parameter tersebut masih sering dijumpai pemboran yang mengalami loss
circulation maupun caving. Perlu adanya pertimbangan yang lebih mendalam
dalam penentuan densitas lumpur agar tercapainya wellbore stability. Perencanaan
mud weight menggunakan safe mud window memperhitungkan Shear Failure
Gradient (SFG) sebagai batas minimal dan Minimum Horizontal Stress (Shmin)
sebagai batas maksimal densitas lumpur pemboran. Loss circulation akan terjadi
apabila mud weight lebih dari minimum horizontal stress. Sedangkan caving akan
terjadi apabila mud weight kurang dari shear failure gradient.
Dalam menjaga wellbore stability, perencanaan casing setting depth perlu
direncanakan dengan baik, penentuan setting point juga harus memperhitungkan
lithologi formasi yang akan dijadikan dudukan casing, formasi yang akan
dijadikan dudukan casing haruslah formasi yang kuat. Salah satu fungsi casing
2
adalah untuk menjaga lubang bor dari formasi yang bertekanan tinggi, sehingga
penempatan casing shoe juga harus menutup zona overpressure agar terhindar
dari hazard dan blowout. Penempatan casing shoe pada zona bertekanan tinggi
dapat mengakibatkan rangkaian casing terjepit karena penggunaan densitas
lumpur yang terlalu tinggi untuk mengimbangi tekanan formasi yang abnormal.
Selain itu, sebagai salah satu fungsi casing untuk menutup zona yang rawan
problem (caving/swelling/loss circulation), penempatan casing harus mampu
mengisolasi zona rawan problem tersebut.
Berdasarkan data dari caliper log, pada sumur “ZZH-40” terjadi swelling
pada kedalaman 2120-2770 ft TVD di Formasi Petani dengan lithologi shale
sisipan sandstone dan caving pada kedalaman 3105-3463 ft TVD dan 3540-3793
ft TVD di Formasi Telisa dengan lithologi shale. Perlu adanya studi lebih lanjut
dalam mendesain mud weight sesuai dengan safe mud window agar tidak tidak
terjadi permasalahan pemboran. Mud weight yang digunakan harus melebihi
shear failure gradient/collapse pressure agar tidak terjadi caving. Selain itu, pada
Sumur “ZZH-40” terjadi overpressure pada kedalaman 1284-4866 ft. Perencanaan
casing setting depth perlu diperhitungkan dengan tepat mengingat terdapat
problem pemboran dan juga adanya overpressure agar casing mampu menutupi
zona yang rawan problem dan zona overpressure sehingga pemboran dapat
berjalan dengan lancar.
Analisa tekanan bawah permukaan untuk mebuat safe mud window meliputi
pore pressure, overburden pressure, fracture pressure, horizontal stress, dan
shear failure gradient yang nantinya akan sangat berguna dalam menentukan
parameter pemboran. Analisa geopressure didasarkan pada data-data log seperti
Gamma Ray Log, Density Log dan Sonic Log, data-data tekanan formasi yang
diperoleh dari Drill Steam Test dan Leak Off Test dan studi geomekanik.
Setelah dilakukan pengaolahan data dari data-data log sehingga bisa
mendapatkan profil tekanan bawah permukaan, maka model safe mud window
dapat ditentukan. Range antara shear failure gradient dan minimum horizontal
stress merupakan safe mud window. Safe mud window menempatkan shear failure
gradient sebagai batas bawah densitas lumpur dan minimum horizontal stress
3
sebagai batas atas densitas lumpur. Model safe mud window nantinya dapat
digunakan untuk perencanaan casing setting depth dan desain mud weight yang
optimal pada pemboran sumur yang ada di sekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa jenis Overpressure Mechanism yang terjadi pada sumur “ZZH-40”?
2. Berapa range densitas lumpur yang aman digunakan pada pemboran Sumur
“ZZH-40” agar selama pemboran tidak terjadi problem?
3. Bagaimana Desain Casing Setting Depth yang optimal untuk pemboran
Sumur “ZZH-40”?
1.3. Maksud dan Tujuan
1.3.1.Maksud
Maksud dari penulisan skripsi ini adalah untuk merencanakan mud weight
dan desain casing setting depth optimal pada Sumur “ZZH-40” berdasarkan
korelasi data log dan model geopressure sesuai dengan safe mud window.
1.3.2.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat mud weight dan desain
casing setting depth yang aman sesuai dengan safe mud window agar pemboran
tidak mengalami problem. Selain itu, bertujuan untuk menjadi acuan operasi
pemboran pada sumur di sekitarnya agar tidak terjadi problem pemboran yang
berkaitan dengan penggunanaan mud weight yang kurang optimal seperti kick,
loss circulation ataupun caving dan kesalahan penempatan dudukan casing
sehingga tercapai kestabilan lubang bor (hole stability).
4
1.4. Metodologi Penelitian
Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk perencanaan casing setting
depth dan mud weight dengan menggunakan pendekatan safe mud window.
Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
a. Data tinjauan lapangan:
- Letak Geografis
- Geologi Lapangan
- Stratigrafi Lapangan
b. Data-data log:
- Gamma Ray Log
- Density Log
- Sonic Log
c. Data Tes Tekanan untuk Kalibrasi :
- Leak Off Test
- Drill Steam Test
d. Data pemboran sumur :
- Litologi
- Drilling Report
2. Pengolahan Data Menggunakan Software Drillwork Predict
a. Analisa Shale Base Line dari hasil rekaman Gamma Ray Log
b. Menentukan Overburden Pressure menggunakan data densitas bulk dari
Density Log.
c. Kemudian menganalisa Normal Compaction Trend pada Sonic Log.
d. Menganalisa Overpressure Mechanism yang terjadi dengan cara memplot
Sonic Log vs kedalaman, apakah mekanisme yang terjadi Loading
Mechanism atau Unloading Mechanism.
e. Melakukan perhitungan Pore Pressure dengan menggunakan persamaan
Eaton Method atau Bower‟s Method atau dengan Equivalent Depth Method
sesuai dengan Overpressure Mechanismnya.
5
f. Validasi hasil perhitunga Pore Pressure dengan data kalibrasi yang tersedia
(Pore Pressure = Data Kalibrasi). Apabila sudah sesuai dapat dilanjutkan ke
tahap selanjutnya.
g. Melakukan perhitungan Fracture Pressure dengan menggunakan persamaan
Hubbert & Willis, Matthews & Kelly dan Eaton menggunakan Poission
Ratio metode Brocher/Ludwig/Zoback & Castagna.
h. Validasi hasil perhitunga Fracture Pressure dengan data kalibrasi yang
diperoleh dari data LOT (Fracture Pressure = LOT). Apabila sudah sesuai
dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
i. Melakukan perhitungan Minimum Horizontal Stress dengan menggunakan
persamaan Mohr-Coulomb pre-existing and purely friction methods.
j. Validasi hasil perhitungan Minimum Horizontal Stress dengan data Fracture
Pressure (Minimum Horizontal Stress < Fracture Pressure). Apabila sudah
sesuai dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
k. Melakukan perhitungan Maximum Horizontal Stress dengan menggunakan
persamaan dari hasil antara Overburden Pressure, Minimum Horizontal
Stress dan hanya dari Minimum Horizontal Stress.
l. Melakukan perhitungan Shear Failure Gradient dengan menggunakan
persamaan Linearized Mohr-Coulomb, Modified Lade Criteration.
m. Validasi hasil perhitungan Shear Failure Gradient dengan data Pore
Pressure (shear failure gradient > pore pressure). Apabila sudah sesuai
dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
n. Membuat geopressure model dengan memplot Pore Pressure, Fracture
Pressure, Overburden Pressure, Horizontal Stress, dan Shear Failure
Gradient.
o. Membuat model Safe Mud Window, yaitu plot Pore Pressure, Fracture
Pressure, Minimum Horizontal Stress dan Shear Failure Gradient/Collapse
Pressure.
p. Menentukan mud weight optimal sesuai dengan safe mud window, yaitu
range densitas lumpur lebih besar dari harga Shear Failure
6
Gradient/Collapse Pressure dan tidak boleh lebih besar dari harga Minimum
Horizontal stress.
q. Menentukan Casing Setting Depth yang sesuai dan disandingkan dengan
lithologi yang ditembus.
Untuk mempermudah dalam memahami maka metodologi tersebut dapat
disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 1.1. dan Gambar 1.2.
9
1.5. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika penulisan Skripsi ini dibagi menjadi enam
bab, yaitu :
- BAB I Pendahuluan
Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, maksud dan
tujuan, metodologi dan sistematika penulisan.
- BAB II Tinjauan Umum Lapangan SISNAZ
Membahas mengenai tinjuan umum lapangan yang terdiri dari letak geografis
lapangan, stratigrafi lapangan, serta kondisi geologi lapangan.
- BAB III Dasar Teori
Membahas teori dasar yang berisi teori tekanan bawah permukaan
(geopressure) yang akan digunakan dalam perhitungan dalam Software
Drillworks Predict dan teori dasar dalam penentuan casing setting depth dan
mud weight optimal berdasarkan safe mud window.
- BAB IV Perencanaan Mud Weight dan Casing Setting Depth Dengan
Pendekatan Prediksi Pore Pressure dan Safe Mud Window Menggunakan
Korelasi Data Log Pemboran Sumur “ZZH-40” Lapangan “SISNAZ”
Cekungan Sumatera Tengah
Membahasa tentang langkah pengerjaan menggunakan Software Drillwork
Predict sampai memperoleh model geopressure dan safe mud window.
Menentukan Desain Mud Weight optimal sesuai dengan safe mud window.
Menentukan Casing Setting Depth yang optimal sesuai dengan model
geopressure dan disandingkan dengan data lithologi formasi.
- BAB V Pembahasan
Pembahasan mengenai perencanaan Desain Mud Weight dan Casing Setting
Depth yang optimal pada pemboran Sumur “ZZH-40”.
- BAB VI Kesimpulan
10
BAB II
TINJAUAN LAPANGAN
2.1. Letak Geografis Lapangan “SISNAZ”
Sumur “ZZH-40” merupakan sumur eksplorasi di Lapangan “SISNAZ”
yang berada di Cekungan Sumatera Tengah. Sumur “ZZH-40” ditajak pada
tanggal 24 Maret 1983 dan selesai pada tanggal 15 April 1983, dengan total
kedalaman 7000 ft. Kedalaman target pada sumur “ZZH-40” berada di Formasi
Pematang. Pemboran Sumur “ZZH-40” akan dibor dan melewati Formasi Minas,
Formasi Petani, Formasi Telisa Formasi Bekasap (Grup Sihapas) dan Formasi
Pematang.
Gambar 2.1.
Cekungan Sumatera Tengah
(Heidrick dan Aulia, 1993)
11
2.2. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah
Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan belakang busur (back arc
basin) yang berkembang sepanjang tepi paparan sunda di baratdaya Asia
Tenggara (Heidrick dan Aulia, 1999). Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman
lempeng Samudra Hindia yang bergerak relatif ke arah Utara dan menyusup ke
bawah lempeng Benua Asia. Interaksi kedua lempeng ini menghasilkan zona
sesar Sumatera (Great Sumatera Fault Zone) atau lebih dikenal dengan sebutan
Sesar Semangko.
Struktur geologi regional Cekungan Sumatera Tengah dicirikan oleh blok-
blok patahan. Sistem blok patahan ini mempunya orientasi penjajaran utara-
selatan membentuk rangkaian horst dan graben. Ada dua pola struktur di
Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola yang lebih tua cenderung berarah
utara-selatan dan pola-pola yang lebih muda yang berarah baratlaut-tenggara.
Cekungan Sumatera Tengah memiliki batuan dasar Pra-Tersier yang dangkal,
sehingga sedimen yang menutupinya sangat mudah dipengaruhi oleh tektonik
batuan dasar dan banyak dijumpai struktur. Posisi tumbukan yang menyudut
antara Lempeng Asia Tenggara dengan Samudera Hindia di Sumatera telah
menimbulkan gaya geser menganan (dextral wrenching fault) yang kuat. Dengan
demikian struktur-struktur yang ada di Cekungan Sumatera pada umumnya
memiliki karakteristik wrench tectonic, termasuk sesar-sesar yang mempunyai dip
besar, seperti upthrust dan flower structure. Struktur-struktur tersebut mempunyai
arah dip timur laut dan jurus baratlaut, sehingga membentuk sudut yang besar
terhadap vektor konvergen. Sumatera Tengah telah mengalami beberapa fase
deformasi yang kompleks dan hal tersebut secara langsung telah mempengaruhi
basin, distribusi batuan induk, perkembangan dan pembentukan reservoir dan
struktur geologinya.
12
Gambar 2.2.
Peta Basement Terranes Cekungan Tersier Sumatera Tengah
(Heidrick et al, 1993)
2.3. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah
Stratigrafi regional didalam Cekungan Sumatera Tengah tersusun dari
beberapa unit formasi dan kelompok batuan dari yang tua ke muda. Batuan dasar
yang berfungsi sebagai landasan Cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi
empat satuan lithologi, yaitu:
1. Kelompok Mutus terdiri dari ofiolit, metasedimen dan sedimen-sedimen
berumur Trias.
2. Kelompok Malaka terdiri dari kuarsit, filit dan intrusi granodiorit,
3. Kelompok Mergui terdiri dari graywacke berumur Kapur, kuarsit dan
batulempung kerikilan.
4. Kelompok Tapanuli terdiri dari batusabak, metasedimen dan filit yang
diendapkan di atas batugamping shelf berumur Devon-Karbon.
Secara tidak selaras diatas batuan dasar diendapkan suksesi batuan-batuan
sedimen Tersier. Stratigrafi Tersier di Cekungan Sumatera Tengah dari yang tua
hingga paling muda adalah Kelompok Pematang, Kelompok Sihapas (Formasi
13
Menggala, Bangko, Besakap dan Duri), Formasi Telisa, Formasi Petani dan
diakhiri oleh Formasi Minas.
Gambar 2.3.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah
(Hedrick dan Aulia, 1993)
2.3.1. Formasi Minas
Formasi minas diendapkan secara selaras diatas Formasi Petani. Formasi
ini terdiri dari lapisan yang di dominasi oleh batupasir dan terkadang muncul
14
lapisan tipis batulempung. Dijemput butiran sekunder terdiri dari vulkanik,
karbonatan dan fragmen litik, glaukonit serta terkadang mineral mafik. Formasi
Minas berumur Miosen hingga Pliosen dan diendapkan pada lingkungan deltaic.
2.3.2. Formasi Petani
Formasi Petani diendapkan secara selaras diatas Formasi Intra Petani.
Formasi Petani berumur Miosen diendapkan pada lingkungan marine. Formasi
Petani diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai dan ke atas sampai
lingkungan delta yang menunjukkan regresi air laut. Formasi Petani terdiri dari
batupasir, batulempung, dan batupasir gloukonitan dan batugamping yang
dijumpai pada bagian bawah dari seri sedimen tersebut, sedangkan batubara
banyak dijumpai pada bagian atas dan terjadi pada saat pengaruh laut semakin
berkurang. Karena di bawah Formasi Petani terdapat batulempung Telisa yang
tebal, maka hidrokarbon yang berada pada batupasir Petani tidak komersial.
2.3.3. Formasi Telisa
Formsi Telisa diendapkan secara selaras diatas Formasi Sihapas. Formasi
ini didominasi oleh batu lempung dan diselingi oleh lapisanbatu lanau, batu
gamping serta batupasir. Formasi Telisa berumur Miosen diendapkan pada
lingkungan pengendapan marine. Formasi Telisa yang terbentuk pada
lingkungan neritik luar yang menunjukkan periode penggenangan maksimum
laut di Sumatera Tengah. Formasi Telisa merupakan suatu batuan penutup
(sealing) regional bagi Kelompok Sihapas. Tebal formasi ini lebih dari 9000
kaki. Formasi Telisa berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Batupasir dalam
Formasi Telisa merupakan reservoir yang potensial dan telah diproduksi oleh
beberapa lapangan disekitarnya.
2.3.4. Formasi Kelompok Sihapas
Kelompok Sihapas diendapkan secara tidakselaras diatas Kelompok
Pematang. Unit-unit sedimen merupakan sekuen transgresif yang menyebabkan
15
penenggelaman lingkungan pengendapan darat menjadi fluvial-deltaic.
Kelompok Sihapas terbagi menjadi empat formasi yaitu: Formasi Menggala,
Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri.
Formasi Menggala, merupakan formasi paling tua di Kelompok Sihapas,
diperkirakan berumur Miosen Awal. Litologinya atas batupasir halus
sampai kasar yang bersifat konglomeratan. Lingkungan pengendapannya
berupa Braided river sampai non-marine
Formasi Bangko, berumur sekitar Miosen Awal. Formasi ini diendapkan
secara selaras diatas Formasi Menggala. Litologinya berupa serpih
abu- abu yang bersifat gampingan berselingan dengan batupasir halus
sampai sedang. Lingkungan pengendapanya open marin shelf
Formasi Bekasap, mempunyai kisaran umur Miosen Awal. Formasi ini
diendapkan secara selaras diatas Formasi Bangko. Litologi penyusunnya
berupa batupasir dengan kandungan glaukonit di bagian atasnya serta
sisipan serpih, batu gamping tipis dan lapisan tipis batubara. Lingkungan
pengendapan dari estuarine, intertidal, inner-neritic sampai middle/outer.
Formasi Duri, merupakan bagian teratas dari Kelompok Sihapas. Formasi
Duri diendapkan secara selaras diatas Formasi Bekasap dan diperkirakan
berumur Miosen Awal. Litologinya berupa batupasir berukuran halus
sampai medium diselingi serpih dan sedikit batugamping. Lingkungan
Pengendapan adalah barrier bar complex dan delta front.
2.3.5. Formasi Kelompok Pematang
Kemompok Pematang merupakan batuan induk sumber hidrokarbon
utama bagi perangkap-perangkap minyak bumi yang ada pada Cekungan
Sumatera Tengah. Kelompok Pematang merupakan lapisan sedimen tertua
berumur Peleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift ini diendapkan pada half graben
yang berarah Utara-Selatan dan terdiri dari kupas aluvial, sungai dan danau.
Tidak hadirnya sama sekali foraminifera memberi petunjuk bahwa lingkungan
pengendapan adalah non-marine.
16
Kelompok Pematang terdiri dari lapisan silisiklastik non-marine yang
terendapkan dalam suasana humid dan tropis. Batuan yang mendominasi adalah
termasuk konglomerat, batupasir, batulanau, batulumpur, batu lempung dan
serpih yang terendapkan pada lingkungan aluvial, fluvial, dataran banjir, delta
dan danau. Pada kelompok Pematang sedimen ini berasal dari tinggian
disekelilingnya.
Kelompok Pematang diendapkan secara tidakselaras diatas batuan dasar,
yang terisi oleh sedimen–sedimen fluviatil dan lacustrine yang berumur
Paleogen. Kelompok Pematang dibagi menjadi tiga Formasi:
Formasi Lower Red Bed. Formasi lower red bed merupakan sekuen yang
paling sedikit diketahui dan menutupi daerah terluas dari kelompok
pematang. Terdiri dari batu lempung, batu lanau, batupasir, konglomerat
yang diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem pengendapan kipas
alluvial dan berubah lateral menjadi lingkungan sungai dan danau.
Suatu lingkungan pengendapan aluvial pada satuan lower red bed
meliputi endapan lingkungan aluvial, delta sungai dan danau dangkal.
Formasi Brown Shale. Aktifitas sesar berubah pada saat pengendapan
brown shale, demikian juga dengan iklim yang berubah menyebabkan
lingkungan berkembang didominasi oleh lingkungan danau dalam sampai
lakustrin dangkal dan merupakan batuan induk hidrokarbon. Pembentukan
batuan induk yang bagus pada formasi ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu tidak adanya tinggian yang berarti sepanjang sesar yang
membatasi cekungan, penurunan dasar cekungan lebih cepat dari
pengendapan menyebabkan lingkungan danau semakin dalam, sesar yang
berfungsi sebagai batas cekungan mempunyai kemiringan yang landai
sampai sedang dan pada saat Brown Shale diendapkan kondisi tektonik
sedang tidak aktif. Terdiri dari serpih laminasi baik, berwarna coklat
sampai hitam, kaya akan material organik, yang mengindikasikan
lingkungan pengendapan dengan kondisi air tenang. Sistem danau yang
berkembang cukup lama berorientasi utara- selatan ini berkembang di
berbagai subcekungan half graben.
17
Formasi Upper Red Bed. Diendapkan pada tahap akhir inversi minor
dalam lingkungan transisi yang berubah dengan cepat menjadi lingkungan
lakustrin dalam yang diselingi oleh lakustrin yang dangkal. Peningkatan
kecepatan sedimentasi dan suplai klastika menyebabkan cekungan
menjadi penuh dan lingkungan berubah menjadi fluvial dan alluvial.
Terdiri dari litologi batupasir, konglomerat dan serpih merah kehijauan
2.4. Data Sumur “ZZH-40”
1. Nama Sumur : ZZH-40
2. Region : Cekungan Sumatera Tengah
3. Klasifikasi : Sumur Eksplorasi
4. Spud Date : 24 Maret 1983
5. T.D. Reached : 15 April 1983
6. Kedalaman Total : 7000 ft
7. Target : Formasi Pematang
8. Primary Objective : Sihapas (Formasi Bekasap)
Tabel II-1.
Lithologi Sumur “ZZH-40”
(No Name, “Final Well Report”,1983)
Formasi Depth
(ft) Lithologi
Minas 0 Batupasir sisipan shale
Petani 120 Shale sisipan batupasir
Telisa 3222
Batulempung dan diselingi oleh
lapisanbatu lanau, batu gamping
serta batupasir.
Kelompok Sihapas
(Formasi Bekasap) 4410
Batupasir sisipan serpih, batu
gamping tipis dan lapisan tipis
batubara.
Pematang 5796 Batulempung
18
Untuk mengkalibrasi hasil perhitungan geopressure dibutuhkan data uji
tekanan formasi, sehingga dapat menentukan metode persamaan yang sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya. Data tekanan formasi yang tersedia pada
pemboran Sumur “ZZH-40” adalah sebagai berikut :
Table II-2.
Data Formation Test Sumur “ZZH-40”
(No Name, “Final Well Report”,1983)
Test Depth
(ft)
Pressure
(ppg)
LOT 1284 12.3
Data Mud Weight Actual Pada Sumur “ZZH-40” disajikan pada Tabel II-3.
berikut :
Tabel II-3.
Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40”
(No Name, “Final Well Report”,1983)
Depth
(ft TVD)
MW
(ppg)
1160 9.625
4369 9.625
4369 10
5814 10
5814 9.625
6083 9.625
6083 9.759
6489 9.759
6489 9.892
7000 9.892
Berdasarkan data caliper log, terdapat problem pemboran, seperti yang
disajikan pada Tabel II-4. berikut :
19
Table II-4.
Problem Pada Sumur “ZZH-40”
(No Name, “Final Well Report”,1983)
Problem Depth
(ft TVD) Formasi Lithologi
Swelling 2126-2770 Petani Batulempung sisipan
sandstone
Caving 3105-3463 Telisa Shale
Caving 3540-3793 Telisa Shale
20
BAB III
DASAR TEORI
Analisa tekanan bawah permukaan merupakan hal yang sangat penting
untuk dilakukan dalam pemboran sumur minyak maupun gas bumi. Dengan
diketahuinya geopressure pada suatu lapangan maka dapat digunakan sebagai
pedoman dalam penentuan parameter-parameter pemboran. Analisa terhadap
tekanan bawah permukaan dapat digunakan untuk membuat model safe mud
window pada suatu sumur, sehingga besarnya densitas lumpur yang aman
digunakan pada saat pemboran dapat diketahui. Selain digunakan untuk
menentukan mud weight yang merupakan komponen vital dalam suatu pemboran,
safe mud window juga digunakan untuk mendesain casing, letak casing shoe,
panjang casing, grade casng yang seharusnya digunakan dan lain sebagainya.
Densitas lumpur yang didesain berdasarkan safe mud window dapat
menjaga wellbore stability sehingga tidak akan terdapat problem pemboran seperti
loss circulation, kick, caving dan masalah lainnya. Waktu pemboran akan berjalan
sesuai dengan waktu yang telah direncanakan dan Non Productive Time (NPT)
akan berkurang.
Umumnya densitas lumpur yang diterapkan pada pemboran berdasarkan
pada mud window, sehingga kemungkinan masalah pemboran seperti loss
circulation masih terjadi. Skripsi ini bertujuan untuk merencanakan kembali
range mud weight yang seharusnya digunakan berdasarakan pada pendekatan safe
mud window, yaitu lebih besar daripada shear failure gradient dan kurang dari
minimum horizontal stress dan perencanaan casing setting depth. Hasil dari
perencaanan mud weight berdasarkan safe mud window dan casing setting depth
dapat diguakan untuk pemboran sumur disekitarnya.
21
3.1. Tekanan Bawah Permukaan
Tekanan yang berada di bawah permukaan bumi terdiri atas beberapa jenis.
Tekanan tersebut secara langsung mempengaruhi aktifitas pemboran hingga
produksi minyak dan gas bumi, tekanan tersebut adalah:
1. Tekanan Hidrostatik
2. Tekanan Overburden
3. Tekanan Pori atau Tekanan Formasi
4. Tekanan Rekah Formasi
5. Horizintal Stress (Minimum Horizontal Stress dan Maximum Horizontal
Stress)
6. Shear Failure Gradient
Gambar 3.1.
Profil Tekanan Bawah Permukaan Pada Sedimen
(Dutta, 2002)
3.1.1. Tekanan Hidrostatik
Tekanan hidrostatik merupakan tekanan yang diberikan oleh berat suatu
kolom fluida yang statis. Tekanan overburden diakibatkan dari densitas dan
22
ketinggian kolom fluida (Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan hidrostatik dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
Ph = 0.052 × ρfl × D ............................................................................. (3.1)
Keterangan :
Ph = Tekanan Hidrostatik (psi)
ρfl = Densitas Fluida yang mempengaruhi tekanan hidrostatik (ppg)
D = Kedalaman dimana tekanan hidrostatik diukur (ft)
Tekanan hidrostatik akan bertambah dengan bertambahnya kedalaman
kolom suatu fluida, namun gradien tekanan hidrostastik tidak akan berubah
selama tidak ada perubahan densitas fluida. Tekanan fluida formasi untuk air
tawar yang memiliki densitas 1 gr/cc, nilai gradien tekanan hidrostatiknya sebesar
0.433 psi/ft dan untuk air asin sekitar 0,465 psi/ft.
Gambar 3.2.
Tekanan Hidrostatik
(Rudi Rubiandini, 2012)
Secara umum, gradien tekanan hidrostatik G. 𝑃ℎ (psi/ft) dapat
didefinisikan seperti berikut :
𝐺. 𝑃ℎ = 0,433 𝑥 𝑆𝐺 ............................................................................... (3.2.)
Keterangan :
G.Ph = Gradien Tekanan Hidrostatis, Psi/ft
23
SG = Spesific gravity dari fluida yang mengisi kolom tersebut
0,433 = Faktor konversi dari gram/cc ke Psi/ft
Pada tekanan yang normal air dan padatan di pemboran telah cukup untuk
menahan tekanan formasi. Tekanan hidrostatik atau tekanan normal hidrostatik
akan menjadi acuan dalam menentukan kondisi suatu tekanan pori, yaitu
overpressure atau underpressure (Baker Huges INTEQ, 2002).
3.1.2. Tekanan Overburden
Tekanan overburden atau bias juga disebut vertical stress adalah tekanan
pada kedalaman tertentu yang diakibatkan oleh beban sedimen di atasnya.
Tekanan overburden juga merupakan penjumlahan tekanan yang diakibatkan oleh
matriks-matriks batuan dan fluida yang ada di dalamnya pada suatu kedalaman
tertentu (Rabia, 2002). Dengan kata lain, semakin dalam penimbunan suatu
sedimen maka akan semakin besar tekanan overburden ataupun sebaliknya.
Berdasarkan definisi tersebut, proses perhitungan tekanan overburden
menggunakan densitas bulk yang merupakan fungsi dari densitas matriks,
porositas, dan densitas fluida.
Secara umum perhitungan tekanan overburden dengan density method dapat
dihitung dengan:
Pob = 0,052 × 𝜌𝑏 × 𝐷 ....................................................................................... (3.3)
Keterangan:
Pob = Tekanan overburden, psi
𝜌𝑏 = Densitas bulk, ppg
D = Kedalaman formasi, ft
Menurut Miller’s densitas bulk dari suatu batuan dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan berikut :
𝜌𝑏 = ∅ 𝜌𝑓 + (1 − ∅) ........................................................................................... (3.4)
Ketrangan :
∅ = porositas (dec/frac),
𝜌𝑓 = densitas fluida (g/cm³)
𝜌𝑚 = densitas matriks (g/cm³).
24
Berdasarkan konsep tekanan overburden, porositas batuan sedimen akan
berkurang seiring dengan bertambahnya kompaksi atau dengan peningkatan
tekanan overburden. Penurunan nilai porositas juga dipengaruhi oleh
bertambahnya nilai densitas bulk pada batuan yang didapatkan dari density log
(Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan overburden sangat digunakan untuk
perhitungan pore pressure, fracture pressure dan data petrofisik lainnya (Rabia,
2002).
Table III-1.
Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi
(Rabia,“Well Engineering & Construction”, 2002)
Substance Density (gr/cc)
Sandstone 2.65
Limestone 2.71
Dolomite 2.87
Anhydrite 2.98
Halite 2.03
Gypsum 2.35
Clay 2.7 – 2.8
FreshWater 1.0
Sea Water 1.03 – 1.06
Oil 0.6 – 0.7
Gas 0.15
3.1.3. Tekanan Pori
Tekanan pori atau disebut juga dengan tekanan formasi, merupakan
tekanan yang disebabkan oleh fluida yang berada di dalam pori-pori batuan
(Rabia, 2002). Untuk menentukan densitas lumpur yang akan dipakai perlu
diketahui tekanan pori formasi terlebih dahulu.
Tekanan pori atau tekanan formasi pada umumnya dibagi menjadi dua
yaitu tekanan pori normal dan tekanan pori abnormal. Pada kondisi normal,
tekanan pori didefinisikan sebagai tekanan hidrostatik (hydrostatic pore pressure)
25
besaran tersebut dapat berubah sesuai dengan densitas fluida. Tekanan abnormal
adalah tekanan pori kurang atau lebih dari tekanan hidrostatik (J. J. Zhang, 2019).
Tekanan pori abnormal sendiri dibagi menjadi tekanan formasi sub-normal
(underpressure) dan tekanan formasi overpressure. Anomali tekanan abnormal
dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, jika tekanan pori yang bernilai kurang dari
tekanan hidrostatik disebut dengan tekanan formasi sub-normal (underpressure),
sedangkan tekanan pori bernilai lebih besar daripada tekanan hidrostatik maka
tekanan tersebut merupakan tekanan formasi overpressure (J. J. Zhang, 2019).
Gambar 3.3.
Tekanan Hidrostatik, Uderpressure, Overpressure dan Tekanan Overburden
(J.J. Zhang, 2019)
3.1.3.1.Tekanan Pori Normal
Tekanan pori disebut normal apabila tekannanya sama dengan tekanan
hidrostatik. Formasi dengan tekanan fluida normal, tekanan pori mengikuti
tekanan hidrostatik yang dipengaruhi oleh densitas fluida yang mengisi pori dan
kedalaman (J. J. Zhang, 2019). Kondisi ini terjadi ketika porositas batuan semakin
kecil dengan bertambahnya kedalaman akibat efek kompaksi. Untuk menjaga
keseimbangan dalam formasi maka terdapat fluida yang keluar melalui pori dan
tidak ada yang menghalangi jalan keluarnya fluida tersebut.
26
Harga tekanan pori normal bervariasi dan dipengaruhi oleh konsentrasi
kadar garam terlarut, jenis fluida, kandungan gas dan gradien temperaturnya
(Rabia, 2002). Gradien tekanan hidrostatik air tawar sebesar 0,433 psi/ft dan
untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft.
Gambar 3.5.
Wellbore Prssure
(Rabia, 2002)
Tekanan pori normal dapat dihitung dengan persamaan:
P𝑝 = 0,052 x 𝜌𝑓 x 𝐷 .......................................................................................... (3.5)
Keterangan:
Pp = Tekanan pori, psi
𝜌𝑓 = Densitas fluida dalam pori, ppg
D = Kedalaman dimana tekanan pori diukur (TVD), ft
3.1.3.2.Tekanan Pori Abnormal
Tekanan formasi abnormal didefinisikan sebagai tekanan yang
menyimpang (lebih besar atau lebih kecil) dari gradient tekanan normal (0.433
psi/ft-0.465 psi/ft). Kondisi tekanan pori abnormal terjadi ketika mekanisme yang
terjadi pada normal pressure tidak terjadi. Tekanan pori yang bernilai kurang dari
tekanan hidrostatik disebut dengan tekanan formasi sub-normal (underpressure).
Sedangkan tekanan pori bernilai lebih besar daripada tekanan hidrostatik dan
27
semakin mendekati tekanan rekah dan overburden maka tekanan tersebut bisa
disebut hard overpressure (Zoback, 2007).
Gambar 3.5.
Ilustrasi Tekanan Pori Abnormal (overpressure/underpressure)
(Amoco, tanpa tahun)
3.1.3.2.1. Tekanan Pori Sub-Normal (Underpressure)
Tekanan pori underpressure adalah tekanan pori yang berada di bawah
gradien tekanan hidrostatik (misalnya, di bawah gradien tekanan 0.433 psi/ft).
Tekanan sub-normal dapat diakibatkan karena sebab alami yang berhubungan
dengan stratigrafi, sejarah tektonik dan geo-kimia di suatu daerah. Biasanya
kondisi ini terjadi akibat di dalam formasi tersebut telah dilakukan
eksploitasi/produksi hidrokarbon (depleted reservoir) sehingga kondisi
tekanannya di bawah normal (Rabia, 2002). Pada kondisi ini, tekanan inisial dari
batuan reservoir sudah terkuras akibat dari aktivitas produksi diperiode
sebelumnya, yang sering disebut juga sebagai lapangan “mature”. Akan tetapi,
penyebab utama dari tekanan pori underpressure adalah aktifitas produksi.
Secara konsep, tekanan yang membebani tekanan pori adalah tegangan
litostatik (total stress/vertical stress/overburden stress/Sv). Tegangan litostatik
merupakan tegangan yang mengenai suatu formasi pada kedalaman tertentu akibat
berat total dari batuan dan fluida yang berada di atas kedalaman tersebut (Zoback,
28
2007).. Tegangan litostatik merupakan kombinasi dari densitas matriks, porositas,
dan densitas fluida yang terkandung didalam pori. Dengan mengacu bahwa
densitas massa batuan rata-rata (average bulk density) dibawah 4 hingga 5 km
adalah 2,3 g/cm3, maka dapat ditentukan bahwa gradien litostatik adalah 1 psi/ft.
Selain menekan batuan secara vertikal, tegangan litostatik juga memberikan
tegangan horizontal pada batuan disekitarnya. Pada kondisi normal, tegangan
horizontal (SH dan Sh) memiliki besaran yang sama. Namun pada daerah
pemboran yang berdekatan dengan struktur masif seperti salt dome atau pada
daerah tektonik aktif, tegangan horizontal akan memiliki nilai yang berbeda yaitu
tegangan minimum (Sh) dan tegangan maksimum (SH) (Zoback, 2007).
3.1.3.2.2. Tekanan Pori Overpressure
Tekanan pori overpressure adalah tekanan formasi yang berada di atas
gradien tekanan hidrostatik normal (di atas gradien tekanan 0.433 psi/ft).
Lingkungan pengendapan yang dapat mengakomodasi kondisi overpressure
umumnya adalah delta dan laut dalam. Tekanan ini terjadi pada hampir seluruh
formasi di dunia, mulai dari umur senozoik hingga paleozoik. Tekanan yang
overpressure sulit untuk terdistribusi secara cepat dan kembali ke tekanan yang
normal jika tidak mengalami keadaan tertentu. Tekanan abnormal akibat aktifitas
tektonik dapat berlangsung secara tiba-tiba dan berkurang secara cepat jika terjadi
pelepasan tekanan melalui rekahan atau bidang sesar. Penyebab terjadinya
tekanan abnormal tinggi karena adanya aktifitas tektonik seperti sesar, perlipatan,
dan lainnya. Tekanan abnormal juga berkaitan dengan sekat (seal) dan terbentuk
pada suatu periode sedimentasi, kompaksi atau tersekat fluida dalam suatu lapisan
yang dibatasi oleh lapisan yang impermeable (Zoback, 2007).
Pada umumnya tekanan yang overpressure disebabkan oleh sedimen
yang gagal terkompaksi secara normal. Batuan yang gagal untuk terkompaksi
adalah batuan yang gagal untuk mengeluarkan fluida dari sistem. Kompaksi
abnormal akan terjadi jika pertambahan berat beban diatasnya tidak menyebabkan
berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak mengecil karena fluida didalamnya
tidak bisa terdorong keluar (Rabia, 2002). Tersumbatnya fluida didalam ruang
29
pori disebabkan karena formasi itu terperangkap didalam formasi lain yang
menyebabkan permeabilitas sangat kecil.
Tekanan overpressure harus diestimasi secara tepat agar tidak
mengakibatkan kejadian yang merugikan aktifitas pemboran hingga produksi
minyak dan gas bumi, seperti kick, mud loss, hingga blowout.
Gambar 3.6.
Transisi Tekanan Normal Ke Overpressure
(Mark D. Zoback, 2007)
Overpressure dapat terjadi dari beberapa mekanisme, seperti
disequlibrium compaction (undercompaction), hydrocarbon generation dan gas
cracking, aquathermal expansion, kompresi tektonik (lateral stress), transformasi
mineral, osmosi dan hidrokarbon buoyancy (J. J. Zhang, 2019). Hanya
overpessure yang nilainya kecil disebabkan oleh hidrokarbon buoyancy, hydraulic
head dan osmosis (A. M. Ramdham, 2010).
Tekanan overpressure dengan magnitudo yang besar diakibatkan oleh
2 mekanisme, yaitu loading mechanism dan unloading mechanism. Pada loading
30
mechanism, peningkatan tekanan terjadi pada satu atau lebih komponen keadaan
principal stress, sedangkan unloading mechanism terjadi akibat dari terjadinya
penurunan harga effective stress (Ramdhan, 2018).
Effective stress merupakan tekanan yang diakibatkan oleh jarak antar
butir suatu batuan (Ejfaer, 2011). Selain itu, effective stress juga didefinisikan
sebagai perbedaan tekanan antara tekanan overburden dengan tekanan pori batuan
(A. M. Ramdham, 2010).
Effective stress (𝜎) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut :
𝜎 = Po −Pp ........................................................................................................ (3.6)
Keterangan :
𝜎 = Effective stress (Psi)
Po = Tekanan overburden (Psi)
Pp = Tekanan pori (Psi).
Effective stress merupakan tekanan yang berperan dalam mengontrol
proses pemadatan batuan sedimen. Setiap kondisi pada kedalaman yang
menyebabkan pengurangan tekanan efektif juga akan mengurangi tingkat
pemadatan dan mengakibatkan terjadinya overpressure. Fenomena overpressure
ini adalah keadaan sementara karena fluida pada pori batuan mengalir menuju
negative overpressure gradient (Ramdhan, 2018). Distribusi fluida dari zona
overpressure ini dapat mengakibatkan peningkatan overpressure di zona lain yang
mana sebelumnya memiliki overpressure yang kurang atau bahkan tidak ada
overpressure.
3.1.3.2.2.1.Loading Mechanism
Overpressure yang disebabkan oleh proses pembebanan terjadi akibat
peningkatan tekanan terhadap batuan sedimen.
a. Disequilibrium Compaction
Menurut (A. M. Ramdham, 2010) proses pengendapan sedimen akan
meningkatkan tekanan vertikal atau pembebanan sedimen secara gravitasi.
Kondisi geologi yang mempengaruhi terjadinya overpressure adalah
31
ketika terjadi pengendapan sedimen yang sangat cepat dan dalam jumlah
signifikan dalam waktu yang sangat lama sehingga batuan mengalami
kompaksi yang tidak normal. Proses tersebut berpotensi menyebabkan
tekanan overpressure akibat ketidakseimbangan kompaksi atau
disequilibrium compaction.
Ketika sedimen termampatkan dengan cepat, sedangkan formasi
memiliki peermeabilitas yang kecil, fluida yang mengisi pori batuan harus
mampu menahan berat sedimen yang ada di atasnya dan mengakibatkan
tekanan yang berlebih pada pori batuan dan fluida terperangkap di dalam
pori tersebut. (J. J. Zhang, 2019). Proses ini yang disebut dengan
undercompaction atau disequilibrium compaction.
Pada proses disequilibrium compaction, tekanan overpressure
disebabkan oleh kompetisi yang terjadi antara kecepatan fluida untuk
keluar dari sistem dan kecepatan kompaksi secara vertikal akibat
peningkatan pembebanan gravitasi dari proses sedimentasi.
Ketidakseimbangan antara laju pengendapan dengan proses kompaksi
akan menyebabkan tekanan overpressure. Pada saat sedimen diendapkan,
air formasi akan terdorong keluar dari pori karena beban sedimen baru di
atasnya. Seiring dengan bertambahnya waktu, pembebanan semakin
bertambah dan sedimen semakin kompak. Pada kondisi berbeda, ketika
pembebanan bertambah namun tidak seimbang dengan jumlah air yang
keluar dari pori batuan, maka sebagian air akan terperangkap dalam pori
batuan dan ikut menahan beban sedimen baru, sehingga dikatakan formasi
memiliki tekanan overpressure.
Proses disequilibrium compaction umumnya terjadi pada zona transisi
dari lingkungan yang dominan batupasir ke lingkungan dominan shale,
karena permeabilitas betuserpih/ batulempung yang kecil sehingga fluida
tidak dapat mengalir keluar, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.7.
Gambar 3.7. menunjukkan karakteristik nilai tekanan pori dan
tekanan efektif terhadap mekanisme yang menyebabkan overpressure.
Mekanisme undercompaction atau disequilibrium compaction
32
menyebabkan nilai tekanan efektif akan sejajar dengan tekanan
overburden. Tetapi, mekanisme unloading menyebabkan nilai tekanan
pori akan mendekati tekanan overburden. Hal tersebut disebabkan oleh
mekanisme unloading yang dapat menghasilkan magnitudo tekanan pori
dalam skala besar.
Gambar 3.7.
Respon Effective Stress Pada Mekanisme Pembentuk Overpressure
(Bowers, 2002)
a. Tectonic Loading
Pembebanan tektonik adalah suatu proses peningkatan tekanan secara
lateral akibat kompresi tektonik yang meningkatkan overpressure. Batuan
sedimen bisa terkompaksi secara horizontal maupun vertikal, apabila
fluida pori tidak bisa keluar dari sistem, maka tekanan pori akan
meningkat dan proses kompaksi dari sedimen akan berkurang (A. M.
Ramdham, 2010).
Kompresi tektonik adalah mekanisme untuk menghasilkan tekanan
pori yang tinggi akibat ketidakseimbangan pemadatan jika perubahan
tegangan tektonik skala besar terjadi selama periode waktu geologis yang
singkat (Zoback, 2007).
33
Gambar 3.8.
Karakteristik pengamatan Wireline Log pada Loading Mechanism
(Agus M. Ramdhan & Neil R. Goulty, 2011)
3.1.3.2.2.2. Unloading Mechanism
Mekanisme unloading dapat menyebabkan tekanan overpressure
yang tinggi karena karena transfer beban grain-to-grain yang berhubungan
dengan fluida pori (A. M. Ramdham, 2010). Proses perubahan material solid
matrix menjadi fluida akan secara otomatis meningkatkan tekanan pori, jika
fluida pori tidak bisa keluar dari system (A. M. Ramdham, 2010). Proses ini
terjadi pada lingkungan yang dalam, dimana temperatur juga mengalami
kenaikan, maka fluida akan mengembang. Penambahan volume fluida pada
volume pori batuan yang sama dan pengendapan yang terus berlangsung,
menghasilkan peningkatan tekanan pori. Kedua mekanisme akan menyebabkan
penurunan nilai tekanan efektif. Hal tersebut menunjukkan perbedaan yang
kontras antara mekanisme loading dan unloading, dimana mekanisme loading
tidak menyebabkan penurunan tekanan efektif, tetapi mencegah sedimen untuk
terkompaksi (A. M. Ramdham, 2010). Terdapat beberapa kondisi geologi yang
menyebabkan mekanisme unloading, seperti proses transformasi smektit–illit
pada pembentukan mineral clay, pembentukan hidrokarbon, dan perpindahan
secara lateral maupun vertical (A. M. Ramdham, 2010).
34
a. Clay Diagenesis
Perubahan fisika maupun kimia dari batuan maupun mineral sering
disebut sebagai penyebab overpressure (Baker Huges INTEQ, 2002).
Tekanan bisa diakibatkan dari perubahan batuan yang memiliki dansitas
yang besar dan porous menjadi batuan dengan densitas dan porositas
rendah (Baker Huges INTEQ, 2002). Proses clay diagenesis meliputi
trasformasi smectite-illite melalui dua cara, yaitu pengembangan fluida
pori atau load transfer (J. J. Zhang, 2019).
Gambar 3.9. menunjukkan skematis pembentukan overpressure
akibat ekpansi fluida, yaitu proses transformasi smektit menjadi illit. Pada
proses tersebut terjadi peningkatan tekanan fluida dalam magnitudo yang
besar akibat pelepasan clay bound water pada proses pembentukan mineral
lempung (A. M. Ramdham, 2010). Akibat proses tersebut, nilai tekanan
pori akan mendekati tekanan overburden seiring bertambahnya kedalaman
dan nilai tekanan efektif akan semakin berkurang.
Gambar 3.9.
Pembentukan Tekanan Ovepressure Akibat Mekanisme Unloading
(Ramdhan, 2010)
35
b. Hydrocarbon Generation
Hydrocarbon generation meliputi 2 proses, yaitu transformasi dari
kerogen yang ada di source rock menjadi minyak atau gas, dan cracking
minyak menjadi gas (A. M. Ramdham, 2010). Transformasi kerogen
menjadi gas dan oil cracking yang menyebabkan overpressure disebabkan
karena adanya fluid expansion (A. M. Ramdham, 2010).
Kehadiran hidrokarbon ke dalam fluida pori dapat menyebabkan
gradient tekanan pori dan tekanan pori yang bervariasi, minyak dan gas
memiliki densitas fluida yang rendah dibandingkan dengan air, gas yang
hadir sebagai gas cap ditutupi dengan batuan impermeable, kompresibilitas
ini dapat mengakibatkan tekanna pori yang tinggi dari tekanan pori normal
(Baker Huges INTEQ, 2002).
Pada kedalaman dimana unloading mechanism mulai terjadi di
mudrock, density log terus meningkat ketika sonic log menunjukkan sonic
log trend reveres, dan density sedikit berkurang di bagian akhir (Ramdhan,
2018) seperti yang terlihat pada Gambar 3.10.
Pada Gambar 3.10. diperlihatkan hasil pembacaan log akibat
unloading mechanism. Nilai dari parameter seperti porositas, densitas, dan
transite time tidak akan konstan saat terjadi overpressure. Jika nilai dari
parameter-parameter tersebut tidak konstan, maka dapat disimpulkan
bahwa mekanisme pembentukan overpressure-nya adalah unloading
mechanism.
36
Gambar 3.10.
Karakteristi Pengamatan Wireline Log pada Unloading Mechanism
(Agus M. Ramdhan & Neil R.Goulty, 2011)
Parameter yang digunakan pada perhitungan tekanan pori didapat dari
seismik atau Log. Tekanan pori sangatlah erat hubungannya dengan wellbore
collapse dan gradien rekah, jadi seberapa bagus informasi yang bisa didapat dari
tekanan pori ini maka semakin baik pula model geomekanik yang dapat
digunakan untuk memprediksi borehole collapse.
Tekanan pori dapat diprediksi berdasarkan data sonic log dengan
menggunakan beberapa metode, antara lain:
a. Eaton Method Sonic
Pp = OBG – (OBG – Pn ) (
)n............................................. (3.7)
Keterangan:
Pp = Tekanan pori formasi, psi
OBG = Tekanan Overburden, psi
Pn = Tekanan Pori Normal, psi
∆t Observed = Sonic travel time pada pembacaan log, µsec/ft
∆t Normal = Sonic travel time pada tren kompaksi Normal, µsec/ft.
n = Eaton Exponent, dimensionless
37
Penentuan tekanan pori dari sifat log di lingkungan karbonat selalu
dihadapi masalah karena kompleksitas geologi di lingkungan karbonat. Karbonat
tidak kompak
seragam dengan kedalaman seperti halnya serpih. Penerapan metode prediksi
tekanan pori umum untuk batuan karbonat tidak selalu dapat menghasilkan
prediksi yang tepat. (Weakley,1990) telah mengembangkan sebuah pendekatan
untuk menentukan tekanan pori formasi di lingkungan karbonat memanfaatkan
sonic velocity trend. Weakley menggunakan konsep Eaton, tetapi menggunakan
tren kecepatan gelombang sonik untuk masing-masing bagian pembentukan.
Parameter paling efektif dalam metode Eaton adalah deteksi normal compaction
trend dan konstanta eksponen n, yang awalnya 3 dalam studi Eaton dan
memerlukan modifikasi untuk dapat diimplementasikan di reservoir yang berbeda,
Eaton eksponen kurang dari 3 menunjukkan modifikasi ini dalam formasi
reservoir yang berbeda (Azadpour & Manaman, 2015). Nilai dari Eaton exponent
dapat ditentukan dengan trial n error dengan menggunkan software geomekanik
1D.
b. Bower’s Sonic Method
Untuk bower‟s loading persamaanya adalah:
Pp = OBG – (
)
..................................................................... (3.8)
Sedangkan untuk bower‟s unloading persamaanya adalah:
Pp = OBG − (σmax) (1−u)
(
)
.................................................... (3.9)
σmax = (
)
............................................................................. (3.10)
38
Keterangan :
Pp = Tekanan pori, psi
OBG = Tekanan Overburden, psi
DT = Sonic travel time, µsec/ft
DTml = Sonic travel time pada Vmax, 200 µsec/ft
A, B = Besaran empiris untuk loading.
A, B, U = Besaran empiris untuk unloading.
c. Equivalent Depth Method
Pp = Pn + (OBGA – OBGB) ................................................................. (3.11)
Dimana:
Pp = Tekanan pori, psi
Pn = Tekanan Pori Normal, psi
OBGA = Tekanan Overburden pada kedalaman A, psi
OBGB = Tekanan Overburden pada kedalaman B, psi
Penentuan Tekanan Pori menggunakan parameter pemboran yaitu dengan
menggunakan metode D-exponent. Metodologi eksponen D dikembangkan
dengan tujuan normalisasi tingkat penetrasi dari parameter pengeboran. Metode
ini diusulkan oleh Jorden dan Shirley (1966) berdasarkan persamaan Bingham
(1969), yang dikembangkan untuk mempertimbangkan diferensial efek tekanan
dalam menormalkan tingkat penetrasi. (Rehm dan Mcledon,1971) memodifikasi
persamaan Jorden & Shirley untuk memasukkan berat lumpur, seperti yang
ditunjukkan pada persamaan berikut (Solano et al., 2007) :
Dxc =
x
.............................................................. (3.12)
Keterangan :
Dxc = D-exponent, dimensionless
ROP = Rate of Penetration, ft/h
RPM = Rotation per Minute, rpm
39
WOB = Weight on Bit, lbs
D = Diameter Bit, in
Png = Gradien Tekanan Hodrostatik Normal, ppg
PMW = Tekanan Lumpur, ppg
Persamaan yang digunakan dalam penentuan Pore Pressure menggunakan
Metode D-exponent adalah (J. Zhang & Yin, 2017) :
PP = OBG-(OBG-Png)(
)
............................................................ (3.13)
Dxn = 0.0296 x σv 0.4378
........................................................................ (3.14)
σv = √
.................................................................................. (3.15)
Keterangan :
OBG = Overburden Gradient, ppg
Dxn = D-exponent Normal Compaction Trend, dimensionless
σv = Effective Stress, psi
Vp = Compressional Velocity, ft/s
Prediksi abnormal pore pressure secara real-time dapat dilakukan dengan
menggunkan data LWD resistivity, sonic log, mud gas log dan drilling parameter
lainnya (untuk perhitungan Dxc) (J. Zhang & Yin, 2017). Data kalibrasi lainnya
termasuk data mud logging dan data pemantauan pengeboran, seperti pemantauan
gas (total gas, gas trip, dan connection gas), ROP, PWD (pressure while drilling),
ECD (equivalent circulating density), ESD (equivalent static density),
pemantauan torsi dan drag, cutting dan caving, well flow, dan mud loss. Perubahan
abnormal pada data ini mungkin terkait dengan tekanan pori abnormal, tetapi juga
bisa disebabkan oleh faktor lain (misalnya, perubahan litologi, salinitas, suhu,
ukuran lubang, dan berat lumpur).
a. Indikasi dari LWD Log
Metode utama untuk perhitungan tekanan pori real-time adalah berbasis
log (yaitu, dari resistivitas LWD dan sonic log), log resistivitas dan log
40
sonic biasanya tersedia secara real-time. Aturan umum untuk prediksi
berbasis LWD adalah penurunan resistivitas atau peningkatan nilai
interval transite time dibandingkan dengan NCT merupakan indikasi
abnormal pore pressure (J. Zhang & Yin, 2017).
b. Indikasi secara langsung dari Pore Pressure
Adanya well influx mengindikasikan bahwa nilai mud weight kurang dari
pore pressure, sehingga volume mud pit naik, problem ini merupakan
indikator langsung dari tekanan pori yang tinggi (J. Zhang & Yin, 2017).
c. Indikator dari mud gas
Mud gas merupakan indikator penting adanya overpressure dalam
pemboran, terutama pada formasi shale, karena indikator ini merupakan
metode yang paling baik untuk perhitungan pore pressure pada formasi
shale. Jika gas yang mengalir ke dalam wellbore dengan jumlah yang
besar, akan menyebabkan mud weight berkurang karena densitas gas yang
lebih rendah, hal ini disebut “Gas Cut Mud” (J. Zhang & Yin, 2017).
Densitas yang keluar dari dalam lubang lebih kecil daripada densitas yang
dipompakan, hal ini mengindikasikan adanya abnormal pressure. Apabila
hal ini tidak diatasi maka akan menyebabkan kick atau blowout.
d. Indikator dari Pressure While Drilling (PWD)
Identifikasi terjadinya underbalace drilling atau tidak merupakan teknik
kunci dalam deteksi pore pressure secara real-time. Peningkatan
downhole pressure dan temperature terjadi karena fluida masuk ke dalam
lubang bor. PWD meningkat secara cepat karena kick pada formasi yang
memiliki tekanan dan temperature yang lebih tinggi daripada lumpur (J.
Zhang & Yin, 2017).
e. Indikator dari Wellbore Instability
Adanya wellbore instability mengindiaksikan adanya overpressure, ketika
mud weight kurang dari shear failure gradient, wellbore akan mengalami
kegagalan lubang bor (J. Zhang & Yin, 2017). Indikator lain adanya
kegagalan lubang bor adalah hole enlargement (borehole breakout), hole
closure, tight hole (overpull), high toque, hole fill after trip, hole bridging,
41
hole pack-off dan hole collapse. Beberapa problem disebabkan karena
swelling shale.
3.1.4. Tekanan Rekah Formasi
Tekanan rekah atau fracture pressure merupakan total dari tekanan yang
dapat ditahan oleh formasi sebelum suatu formasi tersebut rusak atau hancur.
Tekanan rekah juga dapat diartikan sebagai tekanan hidrostatik formasi
maksimum yang dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Nilai dari
tekanan rekah harus lebih kecil dari tekanan overburden dan lebih besar dari
tekanan pori.
Persamaan untuk menghitung tekanan rekah yaitu:
Pf = Fr x D ....................................................................................................... (3.16)
Keterangan:
Pf = Tekanan Rekah Formasi, psi
Fr = Gradien Tekanan Rekah, psi/ft
D = Kedalaman, ft
Besarnya gradien tekanan rekah umumnya dipengaruhi oleh tekanan
overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan. Beberapa metode yang
untuk memprediksi tekanan rekah formasi, diantaranya metode Hubert & Willis,
Mathews & Kelly, Eaton dan Anderson et al. Selain itu, gradien tekanan rekah
juga dapat ditentukan dengan melakukan pengujian leak off test (LOT) yang
dilakukan di laboratorium.
Proses pengujian LOT yaitu dengan memberikan tekanan pada sampel
formasi batuan yang dianalisa hingga batuan tersebut akan pecah yang
ditunjukkan oleh kenaikan tekanan terus-menerus lalu mengalami penurunan
secara drastis.
Informasi tekanan rekah sangat penting untuk diketahui. Ada tiga aplikasi
dari nilai tekanan rekah atau gradien rekah, yang pertama untuk penetapan
program pemboran dan kedalaman casing, yang kedua untuk menentukan tekanan
annular maksimum yang bisa di toleransi pada saat mengontrol kick, dan yang
42
ketiga adalah untuk mengestimasi tekanan yang dibutuhkan pada proses hydraulic
fracturing.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung besarnya gradient rekah
formasi adalah:
a. Hubbert & Willis
Dengan menerapkan principal sress, Hubert & Willis beranggapan
minimum horizontal stress merupakan 1/3 sampai 1/2 dari maximum vertical
compressive stress. Sehingga tekanan minimal dilubang bor yang diberikan
harus bisa menahan tekanan minimum dari principal stress. Mereka
menyimpulkan bahwa besarnya tekanan rekah formasi dipengaruhi oleh
besarnya tekanan yang sudah ada (principal stress), geometri lubang bor, dan
besarnya penetrasi dari fluida pemboran. Metode Hubert & Willis dapat
digunakan jika parameter yang dibutuhkan dapat diukur, namun tidak terlalu
valid jika menembus formasi dengan normal fault aktif yang tidak begitu
banyak (Adam, N.J.).
Hubbert & Willis merumuskan formulasi untuk menghitung gradien rekah
sebagai berikut:
Grf =
(1 + 2Gf ) ........................................................................................ (3.17)
Dan untuk menghitung besar tekanan rekah formasi menggunakan metode
Hubbert & Wills adalah sebagai berikut:
F =
+ Pp ............................................................................................. (3.18)
Keterangan :
Grf = Gradien rekah formasi, psi/ft
Gf = Gradien tekanan formasi, psi/ft.
S = Overburden presure, psig
Pp = Pore pressure, psig
F = Fracture pressure, psig.
43
b. Matthews & Kelly
Matriks batuan biasanya berhubungan dengan matrix stress dan bervariasi
dengan derajat kompaksinya (Adam, N.J.). Mathews & Kelly merumuskan
formulasi untuk menghitung gradien rekah dengan mempertimbangkan nilai
koefisien stress efektif melalui persamaan sebagai berikut :
F = K + P ................................................................................................ (3.19)
Keterangan:
F = Tekanan rekah formasi, psi
K = Koefisien Stress efektif, dimensionless
= S – P, psi
Pp = Tekanan pori formasi, psi
c. Eaton
Metode Eaton dapat digunakan untuk menghitung fracture gradient pada
lithologi yang berbeda-beda, karena mempertimbangkan perhitugan Poisson’s
Ratio (J. J. Zhang, 2019). Tekanan rekah formasi menggunakan metode Eaton
dapat dihitung dengan persamaan berikut :
F =
) + Pp ......................................................................................... (3.20)
Keterangan:
F = Tekanan rekah formasi, psi
v = Poisson‟s Ratio (Besar harga pada masing-masing jenis batuan dapat
dilihat pada Tabel III-3.), dimensionless
= S – P, psi
Pp = Tekanan pori formasi, psi
3.1.5. In-Situ Stress
In-situ stress adalah tegangan asli pada batuan sebelum dilakukan
penggalian atau gangguan lainnya. In-situ stress juga disebut far-field stress.
Sebagai contoh, keadaan tegangan sebelum lubang bor dibor ditunjukkan pada
Gambar 3.11. adalah keadaan in-situ stress. Terdapat 3 tiga tegangan utama dari
44
In-situ stress, yaitu tegangan vertikal (satu komponen,Sv) dan horizontal (dua
komponen, Shmin danSHmax) (J. J. Zhang, 2019).
Gambar 3.11.
In-Situ Stress
(Jon Jincai Zhang, 2019)
Pembuatan model safe mud window pada suatu sumur guna menjaga
wellbore stability tidak cukup hanya mengetahui tekanan hidrostatik, tekanan
pori, tekanan overburden dan juga tekanan rekah. Hal lain yang perlu diketahui
dan diperhitungkan adalah mengetahui besarnya shear failure atau collapse
pressure. Dalam perhitungan shear failure atau collapse pressure perlu
mengetahui nilai dari in-situ stress yaitu minimum horizontal stress dan maximum
horizontal stress.
Pemahaman tentang konsep in-situ stress perlu dilakukan terlebih dahulu.
Dalam hal ini menerapkan konsep-konsep untuk kerak bumi, akan sangat
membantu untuk mempertimbangkan besaran stress terbesar, menengah, dan yang
paling utama di kedalaman tertentu (S1, S2, dan S3) dalam hal ini Sv, Shmax dan
Shmin dengan cara yang awalnya diusulkan oleh E. M. Anderson.
Skema Anderson mengklasifikasikan sebagai daerah yang dikategorikan
dengan normal, strike-slip dan reverse faulting tergantung pada:
45
1. Kerak bumi bergerak dan mengakomodasi adanya hanging wall yang
bergerak naik dan footwall yang berada dibawah patahan.
2. Kerak bumi saling bergeser secara horizontal satu sama lain sepanjang
strike-slip vertikal
3. Kerak bumi dalam kompresi dan bergerak relatif dangkal.
Tabel III-2.
Stress Regime Pada Berbagai Jenis Patahan Menurut Anderson
(Zoback, 2007)
Regime Stress
S1 S2 S3
Normal Sv SHmax Shmin
Strike-Slip SHmax Sv Shmin
Reverse SHmax Shmin Sv
Gambar 3.12.
Kondisi Patahan dan Sifatnya
(Zooback M. D., 2007)
Menurut Anderson, dari kondisi stress regime diatas dapat diketahui
persamaan untuk mengetahui effective stress pada masing-masing tipe patahan.
Dasar dari persamaan ini adalah adanya in situ stress dari bawah permukaan dapat
dilihat pada persamaan berikut:
46
Normal Faulting
=
≤[(μ
2+1)
1/2+μ]
2 .......................... (3.21)
Strike-Slip Faulting
=
≤[(μ
2+1)
1/2+μ]
2 .......................... (3.22)
Reverse Faulting
=
≤[(μ
2+1)
1/2+μ]
2 .......................... (3.23)
Koefisien friksi (μ ) adalah nilai yang menunjukkan hubungan antara gaya
gesekan antara dua benda dan reaksi yang normal antara objek. Skema klasifikasi
Anderson juga mendefinisikan besaran tegangan horizontal utama sehubungan
dengan stress vertical. Stress vertical (Sv) adalah tegangan maksimum (S1) dalam
normal fault, stress utama menengah (S2) dalam strike-slip dan stress terakhir
(S3) dalam reverse faulting.
Besar stress vertical terutama disebabkan oleh adanya gaya gravitasi.
Suatu lapisan dengan kandungan fluida di dalamnya merupakan penyebab utama
dari stress ini, dan dikenal juga dengan instilah overburden stress. Besar stress
vertical merupakan penjumlahan seluruh stress yang bekerja pada arah vertikal
terhadap batuan, tetapi untuk kebanyakan aplikasi geomekanika, nilai ini
sebanding dengan overburden stress. Integrasi antara densitas batuan yang
terekam pada log densitas dengan besarnya gaya gravitasi menyatakan besarnya
overburden stress yang dialami oleh suatu lapisan pada kedalaman tertentu
(Zoback dkk, 2003). Hal ini bisa dituliskan dengan persamaan :
Sv =∫ 𝜌
dz ..................................................................................................... (3.24)
Keterangan :
Sv = Vertical Stress
ρ = Densitas batuan yang terekam oleh log densitas
g = Nilai akselerasi gravitasi yang konstan
z = Kedalaman dari data log densitas
Berdasarkan klasifikasi skema Anderson, besarnya tegangan utama
horizontal mungkin kurang dari atau lebih besar dari, stress vertical, tergantung
pada kondisi geologi. Pada Gambar 3.11. terlihat bahwa besaran relatif dari
tekanan utama hanya terkait dengan patahan sedang aktif di suatu wilayah. Seperti
diilustrasikan, stress vertical mendominasi faulting di daerah normal (S1 = Sv),
47
dan fault slip terjadi ketika tegangan horizontal minimum (Shmin) mencapai nilai
yang cukup rendah pada setiap kedalaman tertentu tergantung pada Sv dan pori
tekanan. Sebaliknya, ketika kedua tegangan horizontal melebihi stress vertical (S3
= Sv) tegasan horisontal maksimum (SHmax) cukup besar dari stress vertical.
Strike-Slip Faulting merupakan tegangan daerah menengah (S2 = Sv), dimana
tekanan horizontal maksimum lebih besar dari tegangan vertikal dan tegangan
horizontal minimum (SHmax ≥ Sv ≥ Shmin). Dalam kasus ini, faulting terjadi ketika
perbedaan antara SHmax dan Shmin cukup besar.
Dalam banyak masalah yang dihadapi dalam teori mekanika batuan,
pengetahuan tentang besarnya tegangan horizontal maksimum pada suatu
kedalaman sangat penting. Misalnya, penentuan yang akurat SHmax dan Shmin
sangat penting dalam masalah yang berkaitan dengan stabilitas lubang bor seperti
penentuan berat lumpur, well trajectory, casing set poin, dll (Zoback, 2007). Oleh
karena itu, perkiraan yang akurat dari SHmax dan Shmin adalah elemen penting dari
analisa safe mud window untuk menjaga wellbore stability. Hal yang sama berlaku
ketika mencoba untuk menilai shear failure. Seperti yang yang akan dibahas,
penentuan shear failure didasarkan pada pengetahuan dari ketiga principal stress.
3.1.5.1.Minimum Horizontal Stress (Shmin)
Nilai minimum horizontal stress sering diasumsikan sama dengan fracture
gradient, namun nilai minimum horizontal stress dipengaruhi oleh faktor tektonik.
Dari tiga principal stress, nilai minimum horizontal stress dapat diketahui dan
dihitung secara pasti. Metode paling efektif dalam penentuan besar minimum
horizontal stress (Shmin) pada suatu sumur pemboran adalah dengan tes rekahan
hidraulik (mini-frac) (Zoback, 2007). Sayangnya, tes ini tidak selalu dilakukan,
atau kalaupun dilakukan pada casing seats hanya akan didapatkan beberapa data
saja. Tes leak-off konvensional tidak diciptakan untuk menentukan nilai minimum
horizontal stress, tetapi dengan sedikit modifikasi tes ini bisa menjadi extended
leak-off dan memberikan tambahan data menggenai kondisi tekanan yang terjadi
(Ejfaer, 2011). Selain dengan extended leak-off test, untuk mengetahui besarnya
48
minimum horizontal stress dapat dilakukan dengan mengidentifikasi problem lost
circulation dan ballooning (Zoback, 2007).
Nilai dan arah dari minimum horizontal stress menjadi sangat penting
untuk pemboran berarah (directional drilling), karena dengan mengetahui arah
dan besar dari minimum horizontal stress akan memudahkan arah pemboran dan
mencegah terjadinya loss circulation dan pecahnya formasi akibat perencanaan
densitas lumpur yang terlalu besar dari minimum horizontal stress. Ketika terjadi
loss circulation secara signifikan, dapat diartikan terjadi hydraulic fracturing
pada sumur tersebut, mengharuskan mengurangi densitas lumpur agar kurang dari
minimum horizontal stress/fracture gradient (Zoback, 2007).
Para pakar dalam bidang geomekanik saling menyempurnakan tentang
persamaan yang dipakai untuk mencari nilai tersebut. Minimum horizontal Stress
dapat dihitung dengan persamaan:
a. Eaton
Eaton berasumsi bahwa besarnya nilai minimum horizontal stress sama
dengan besar tekanan rekah formasi. Hal tersebut terlihat ketika ia memakai
nilai empirical dengan cara menghitung dari besarnya nilai poisson ratio.
Shmin =
(Sv – Pp) + Pp .......................................................................... (3.25)
Keterangan:
Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi
v = Poisson Ratio, dimensionless
Pp = Tekanan Pori, Psi
Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi
b. Zoback and Healy
Zoback and Healy membuat persamaan minimum horizontal stress
berdasarkan equilibrium friction, dari penelitian yang telah dilakukan mereka
berasumsi nilai dari equilibrium friction adalah 0.6. Sehingga nilai ini dapat
diolah menjadi empirical number yaitu 0.32.
Shmin = 0.32 (Sv − Pp) + Pp ......................................................................... (3.26)
49
Keterangan :
Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi
Pp = Tekanan Pori, Psi
Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi
c. Holbrook
Holbrook membuat persamaan dengan memperhatikan nilai porositas
batuan tersebut. Empirical number didapatkan dari angka 1 yang dikurangi
dengan nilai porositas.
Shmin = (1 − ∅) (Sv − Pp) + Pp .................................................................... (3.27)
Keterangan:
Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi
∅ = Porositas, dimensionless
Pp = Tekanan Pori, Psi
Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi
d. Mohr-Coloumb Friction
Mohr-Coloumb membuat persamaan dengan memperhatikan nilai friction
angle dan correction factor yang disesuaikan dengan keadaan.
Shmin= (1 − Sin(FA)) x k x Sv + Sin(FA)x k x Pp ...................................... (3.28)
Keterangan:
Shmin = Minimum Horizontal Stress, ppg
FA = Friction Angle, degress
Pp = Tekanan Pori, ppg
Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), ppg
k = Correction Factor, dimentionless
3.1.5.2.Maximum Horizontal Stress (SHmax)
Besar maximum horizontal stress adalah parameter yang paling sulit
ditentukan dalam penentuan in-situ stress. Parameter ini tidak dapat ditentukan
secara langsung melalui pengukuran. Untuk mengetahui besar dari maximum
50
horizontal stress, harus terlebih dahulu mengetahui besar dari minimum horizontal
stress. Namun, besarannya dapat didekati dan dibatasi berdasarkan kehadiran
breakout dan induced tensile, serta kondisi frictional equilibrium. Pada saat
terbentuk breakout, circumferential stress melebihi kekuatan batuan, sehingga
circumferential stress maksimum akan sama dengan kekuatan batuan (Zoback,
2007).
Tekanan horizontal maksimum (SHmax) memiliki arah orientasi dan
besaran. Pengamatan terhadap rekahan yang terbentuk akibat pengeboran untuk
mengetahui arah maximum horizontal stress telah banyak dilakukan (Barton dkk.,
1998; Castillo dkk., 2000). Kenampakan rekahan akibat pengeboran dapat berupa
breakout maupun induced tensile. Rekahan ini terjadi jika tekanan vertikal
merupakan salah satu bagian tekanan utama dan arahnya relatif sejajar dengan
sumur pengeboran. Arah orientasi maximum horizontal stress (SHmax) dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan arah orientasi induced tensile dan breakouts
(Zoback, 2007).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya
maximum horizontal stress ialah persamaan Zoback dengan menggunakan
tektonik faktor. Hal ini didasarkan atas rekahan yang mempunyai kemampuan
mengalirkan fluida ialah rekahan yang cenderung bergerak ketika diberikan
tekanan padanya.
SHmax dapat dihitung menggunakan tektonik faktor dengan persamaan:
SHmax = Shmin + k*(OBG – Shmin) ...................................................................... (3.29)
Keterangan:
SHmax = Maximum Horizontal Stress, psi
Shmin = Minimum Horizontal Stress, psi
k = Tectonic Factor, dimensionless
OBG = Tekanan Overburden, psi
Menurut Zoback dan Anderson nilai k = 0.5 ketika patahan yang terjadi
disekitar lubang bor merupakan Normal fault, k= 1.2 jika patahan merupakan
strike-slip dan k = 1.5 jika Reverse fault.
51
Selain itu, Zoback juga mengemukakan persamaannya sendiri sebagai berikut:
SHmax = 3 x Shmin – 2 x Pp ................................................................................. (3.30)
Keterangan:
SHmax = Maximum Horizontal Stress, psi
Shmin = Minimum Horizontal Stress, psi
Pp = Pore Pressure, psig
3.1.6. Shear Failure Gradient
Shear Failure Gradient atau bisa juga disebut Collapse Pressure Gradient
terjadi ketika tekanan lokal di dinding lubang sumur melebihi nilai ambang yang
tergantung pada kekuatan intrinsic stress batuan dan gaya gesek yang bekerja di
sepanjang bidang shear failure itu (Ejfaer, 2011).
Shear failure dimanifestasikan dengan runtuhnya lubang dinding dan
material yang jatuh ke dalam lubang. Runtuhnya lubang juga dapat disebabkan
oleh efek kimiawi dan oleh tindakan stabilisator. Kerusakan tekan atau geser
dapat terjadi pada beban lumpur tinggi dan rendah. Kenaikan tekanan pori pada
sebuah patahan melalui sebuah fluid injection dapat menyebabkan fault slip
dengan mengurangi effective normal stress (Zoback, 2007).
Shear failure terjadi jika perbedaan antara maximum principle stress dan
minimum principle stress cukup besar. Shear failure awalnya muncul dengan
sendirinya oleh pembentukan retakan geser yang jika digabungkan akan
menghasilkan retakan yang besar. Lokasi zona shear failure di sekitar lubang
sumur tergantung pada besarnya principle stress.
Permasalahan geomekanik sangat berhubungan erat rock strength
beberapa persamaan telah dikemukakan untuk mengetahui rock strength dengan
menggunakan well log. Salah satu parameter yang harus diketahui dalam
menghitung besarnya rock strength adalah Friction Angle (FA). Friction angle
merupakan sudut dari friksi internal batuan. µ merupakan kemiringan dari bidang
failure batuan yang didapatkan dari hasil perhitungan tangensial dari friction
angle/koefisien friksi sedangkan q hanyalah simbol untuk memudahkan
52
perhitungan untuk mengolah data koefisien friksi atau µ yang diperlukan untuk
menghitung mekanika failure batuan pada Linearized Mohr–Coulomb.
a. Linearized Mohr–Coulomb
Secara umum Linearized Mohr–Coulomb criteria dapat ditulis dengan:
SFG = min
+
` ............................................................. (3.31)
σ1 = Co + q σ3 ...................................................................................... (3.32)
Keterangan:
SFG = Shear Failure Gradient, ppg
min = Minimum Effective Stress , ppg
1 = Maximum Effective Stress, psig
3 = Minimum Effective Stress, psig,
Co = 2 So ((µ2 + 1)1/2 + µ) ............................................................... (3.33)
q = [(μi+1)1/2
+ μi]2 = tan
2 (π/4+∅/2) ............................................... (3.34)
Dimana menurut (Zoback, 2007) untuk mendapatkan harga friction angle
didasarkan pada jenis batuan, yang mana terdapat dua jenis batuan yang secara
umum dibahas. Untuk batuan yang didominasi oleh shale digunakan
persamaan:
FA = Sin -1 ((t - 1000)/(t + 1000)) ................................................. (3.35)
(satuan t diubah dari µs/ft menjadi m/s).
Untuk batuan yang dikategorikan shaly sedimentary rocks digunakan
persamaan:
FA = 70 - 0.417 GR ............................................................................. (3.36)
Setelah menghitung harga FA atau friction angle, parameter lain yang
harus dihitung selanjutnya adalah µ atau biasa disebut dengan koefisien friksi.
µi = Tan (FA) ....................................................................................... (3.37)
53
b. Hoek– Brown Criterion
Setelah mempelajari berbagai eksperimen data Hoek dan Brown
menemukan bahwa maximum principal stress dapat dihitung dengan
persamaan:
σ1 = σ3 + Co√
........................................................................ (3.38)
Dimana m dan s adalah konstanta yang tergantung dari sifat batuan itu
sendiri. Dan menurut Hoek dan Brown harga m tergantung pada tipe batuan
dan tergantung pada karakteristik batuan seperti:
- 5 < m < 8 =karbonat (dolomite, limestone, marble).
- 4 < m < 10 = sedimen (mudstone, siltstone, shale, slate).
- 15 < m < 24 = arenaceous rocks (Sandstone, quartzite).
- 16< m <19 = Igneous crystalline rocks (andesite, dolerite, diabase,
rhyolite).
- 22<m<33 = Coarse-grained polyminerallic igneous and metamorphic
rocks
(amphibolite, gabbro, gneiss, granite, norite, quartz-diorite).
c. The Modified Lade Criteration
Metode ini memiliki keuntungan yang mempertimbangkan ketiga
principal stress, tidak seperti metode Mohr-Coulomb, yang hanya
mepertimbangkan SHmax dan Shmin. Hasil dari metode ini nilainya berada
diantara metode Drucker-Pager dan Mohr-Coulomb dan yang mana lebih
akurat memprediksi efek dari principal stress, dibandingkan dengan kedua
metode lainnya. Persamaan umum yang digunakan pada metode Modified
Lade Criteration ini adalah sebagai berikut:
SFG = 27 + ŋ −
........................................................................... (3.39)
ŋ =
................................................................ (3.40)
FA = sin-1
................................................................................. (3.41)
54
𝐶o =
√ ...................................................................................... (3.42)
I1 ’ = (𝜎1 + S) + (𝜎2 + S) + (𝜎3 + S) ...................................................... (3.43)
I3 ’ = (𝜎1 + S)(𝜎2 + S)(𝜎3 + S) .............................................................. (3.44)
S =
........................................................................................... (3.45)
Keterangan:
FA = Friction Angle, degree
Co = Cohessive Stregth, mpa
𝜎1 = Maximum Principle Stress, ppg
𝜎2 = Intermediet Principle Stress, ppg
𝜎3 = Minimum Principle Stress, ppg
SFG = Shear Failure Gradient, ppg
3.2. Pengukuran Tekanan Bawah Permukaan
Untuk menjaga wellbore stability maka perlu dilakukan terlebih dahulu
pengukuran terhadap tekanan bawah permukaan, sehingga dapat menghindari
problem pemboran seperti loss circulation, kick, stuck pipe dll. Metode untuk
pengukuran tekanan bawah permukaan dapat digolongkan menjadi 3, yaitu analisa
data seismik suatu area tertentu, korelasi offset well seperti analisa log, evaluasi
parameter pemboran dan data test atau data produksi, dan melalui evaluasi secara
langsung baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan memonitor parameter
pemboran dan logging selama operasi pemboran pada sumur prospek.
Metode yang paling sering digunakan untuk mengukur tekanan bawah
permukaan adalah menggunakan Wireline Log dan data Formation Test. Log yang
biasanya digunakan untuk mendeteksi tekanan bawah permukaan adalah Gamma
Ray Log, Sonic Log, Density Log dan Resistivity Log. Uji tekanan yang biasa
dilakukan adalah Drill Steam Test dan Formation Integrity Test untuk mengetahui
tekanan formasi dan Leak Off Test untuk mengetahui tekanan rekah formasi.
55
3.2.1. Wireline Log
a. Gamma Ray Log
Evaluasi tekanan pori dapat dilakukan dengan menggunakan MWD
Gamma Ray Log. Metode ini didasarkan pada jenis litologi dan generasi
geopressure, alasan di balik model ini adalah bahwa undercompacted shale
umumnya memiliki porositas yang besar dan volume mineral clay yang lebih
rendah jumlah bila dibandingkan dengan serpih yang biasanya dipadatkan
pada kedalaman serupa.
Dengan bertambahnya kedalaman intensitas sinar gamma cenderung
meningkat saat terjadi pemadatan dan porositas menurun. Beberapa faktor
juga akan mengakibatkan perubahan jumlah sinar gamma, tidak berhubungan
langsung dengan tekanan pori. Perubahan mineralogi dalam
serpih/batulempung dapat mengakibatkan perubahan jumlah sinar gamma
API, tanpa menunjukkan peningkatan tekanan pori. Perubahan dari
montmorillonit ke illite akan menghasilkan peningkatan jumlah sinar gamma
karena peningkatan kandungan kalium dari tanah liat ilit (Baker Huges
INTEQ, 2002). Oleh karena itu, peningkatan konten montmorilonit dengan
kedalaman akan menyebabkan pengurangan jumlah sinar gamma, mungkin
memberikan indikasi palsu tentang meningkatnya tekanan pori.
Gamma Ray Log adalah metoda untuk mengukur radiasi sinar gamma
yang dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan
batuan di sepanjang lubang bor. Prinsip pengukuran Log Gamma Ray, yaitu
mengukur tingkat radioaktivitas alami dari unsur Potasium (K), Thorium (Th),
dan Uranium (U), yang menyusun batuan. Sinar Gamma sangat efektif dalam
membedakan lapisan permeable dan impermeable, karena unsur radioaktif
umumnya banyak terdapat dalam shale dan sedikit sekali terdapat dalam
sandstone, limestone, dolomite, coal, gypsum, dll. Oleh karena itu shale akan
memberikan respon kepada log gamma ray yang sangat signifikan
dibandingkan dengan batuan yang lainnya.
Pengukuran gamma ray log dilakukan dengan menurunkan instrument
gamma ray log kedalam lubang bor dan merekam radiasi sinar gamma untuk
56
setiap interval tertentu. Biasanya interval perekaman gamma ray sebesar 0.5
feet. Dikarenakan sinar gamma dapat menembus logam dan semen, maka
logging gamma ray dapat dilakukan pada lubang bor yang telah dipasang
casing ataupun telah dilakukan cementing. Walaupun terjadi atenuasi sinar
gamma karena casing dan semen, akan tetapi energinya masih cukup kuat
untuk mengukur sifat radiasi gamma pada formasi batuan disampingnya.
Model volume shale menjelaskan hubungan antara pembacaan gamma ray
dan perkiraan volume shale yang dapat dihitung menggunakan rumus berikut
(Kingdom, 2017) :
IGR =
.............................................................................. (3.46)
Volume Shale Linear
Vshale = IGR ......................................................................................... (3.47)
Volume Shale Clavier (digunakan pada batuan Mesozoic)
Vshale = 1,7 –√ ................................................ (3.48)
Volume Shale Steiber (digunakan pada batuan Tersier)
Vshale =
...................................................................... (3.49)
Keterangan:
IGR = Index sinar gamma
GRlog = Gamma ray yang terbaca di log
GRmax = Gamma Ray Maksimum
GRmin = Gamma Ray Minimum
b. Sonic Log
Sonic log merupakan peralatan logging yang dapat digunakan untuk
mengukur porositas batuan. Sonic log merupakan salah satu acoustic log,
karena alat ini mengukur sifat perambatan bunyi yang ada di dalam batuan
dengan cara mengukur interval transite time (ITT). Interval transite time
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh gelombang suara untuk
merambat didalam batuan fomasi sejauh 1 ft.
57
Prinsip kerja alat ini adalah dengan memancarkan gelombang suara
dengan interval yang teratur dari sebuah sumber bunyi (transmitter), sehingga
gelombang tersebut akan merambat kedalam batuan formasi dengan kecepatan
tertentu yang akan tergantung pada sifat elastisitas batuan, kandungan fluida,
porositas, dan tekanan formasi, kemudian akan diterima oleh alat receiver.
Receiver akan merekam atau mencatat lamanya waktu perambatan bunyi (t) di
dalam batuan formasi. Satuan perambatan bunyi tersebut diukur dalam satuan
microsecond yang dapat dikonversikan dari kecepatan rambat gelombang
suara dalam ft/sec. Hubungan antara litologi dan harga transit time matrik
dapat dilihat pada Tabel III-3.
Tekanan abnormal shale memiliki porositas yang lebih tinggi dan densitas
yang lebih rendah dari keadaan normal (Rabia, 2002). Sonic log pada
geopressured clay akan menunjukkan peningkatan transit time (∆t), akan
meningkatkan porositas dan mnegakibatkan peningkatan gradien tekanan pori
(Baker Huges INTEQ, 2002). Teori evaluasi geopressure kuantitatif
menggunakan sonic log dapat menjadi indikator geopressure yang masuk
akal: peningkatan waktu transit, dengan kedalaman, dalam litologi shale yang
konstan, disebabkan oleh peningkatan porositas dan gradien tekanan pori
(Baker Huges INTEQ, 2002).
Untuk menghitung porositas sonic dari pembacaan log sonic (Wyllie,
1956) mengajukan persamaan waktu rata-rata yang merupakan hubungan
linier antara waktu dan porositas. Persamaan tersebut dapat dilihat di bawah
ini:
∅s =
.................................................................... (3.50)
Keterangan:
ΔtLog = Transite time yang dibaca dari log, µsec/ft
Δtf = Transite time fluida, µsec/ft
Δtma = Transite time matriks batuan, µsec/ft
∅s = Porositas dari sonic log, fraksi
58
Tabel III-3.
Transit Time Matrik Untuk Beberapa Jenis Batuan
(Baker Huges INTEQ, 2002)
Lithologi Δtma (µsec/ft)
Sandstone 55.6
Limestone 47.5
Dolomite 43.5
Anhydrite 50
Gypsum 52.5
Batuan Garam (salt) 67
Air tawar (fresh water) 200
Air asin (100.000 ppm NaCl) 189
Minyak 232
Udara 919
c. Density Log
Density log adalah alat yang digunakan untuk mengukur densitas dan
porositas batuan formasi. Pengukuran density log digunakan untuk
perhitunngan overburden gradient yang nantinya dapat digunakan untuk
penentuan pore pressure. Selain itu density log juga dapat digunakan untuk
mendeteksi kandungan fluida yang ada pada batuan tersebut.
Plot dari density log seharusnya semakin meningkat dengan bertambahnya
kedalaman. Ketika memasuki zona overpressure di formasi shale, kurva
density log akan berkurang, jika lithologi konstan, indikator tersebut
menunjukkan bertambahnya porositas (Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan
pori pada zona overpressure dapat dihitung dengan menggunakan density log
pada formasi clean sand.
Prinsip kerja density log adalah dengan jalan memancarkan sinar gamma
dari sumber radiasi sinar gamma yang diletakkan pada dinding lubang bor.
Pada saat sinar gamma menembus batuan, sinar tersebut akan bertumbukkan
dengan elektron pada batuan tersebut, yang mengakibatkan sinar gamma akan
59
kehilangan sebagian dari energinya dan yang sebagian lagi akan dipantulkan
kembali, yang kemudian akan ditangkap oleh detektor yang diletakkan diatas
sumber radiasi. Intensitas sinar gamma yang dipantulkan tergantung dari
densitas batuan formasi.
Gambar 3.13.
Prinsip Pengukuran Log Densitas
(Anshari, F., 2016)
Interpretasi log Densitas dilakukan dengan mengamati karakteristik grafik
yang akan mengalami defleksi ke nilai yang lebih rendah apabila melalui
suatu yang mengandung fluida berupa gas, sedangkan akan mengalami
defleksi ke arah nilai yang lebih tinggi apabila melalui suatu yang
mengandung fluida air maupun fluida minyak. Formasi dengan densitas tinggi
akan menghasilkan jumlah elektron yang rendah pada detektor. Densitas
elektron merupakan hal yang penting disini. Hal ini disebabkan yang diukur
adalah densitas elektron, yaitu jumlah elektron per cm3 . Densitas elektron
akan berhubungan dengan densitas batuan sebenarnya, ρb, yang besarnya
tergantung pada densitas matriks, porositas, dan densitas fluida yang mengisi
pori-porinya. Seperti yang disajikan pada Tabel III-4.
60
Tabel III-4.
Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi
(Baker Huges INTEQ, 2002)
Lithologi ρma (gr/cc)
Sandstone 2.65
Limestone 2.71
Dolomite 2.85
Anhydrite 2.96
Gypsum 2.32
Air tawar (fresh water) 1.00
Air asin 1.10
Minyak 0.85
Hubungan antara densitas batuan dengan porositas dan litologi batuan
dapat dinyatakan pada persamaan berikut:
∅D =
.............................................................................. (3.51)
Keterangan:
ρb = Densitas batuan (dari pembacaan log), gr/cc
ρf = Densitas fluida rata-rata, gr/cc
ρma = Densitas matrik batuan, gr/cc
∅D = Porositas dari density log, gr/cc
Density log juga dapat memprediksi zona abnormal menggunakan data
bulk density. Plot data antara shale bulk density dengan kedalaman akan
memberikan garis lurus sebagai akibat dari normal compaction trend. Shale
bulk density meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman karena
peningkatan kompaksi, mengakibatkan penurunan porositas dan berkurangnya
saturasi air. Sehingga jika diperoleh penyimpangan data dari trendline normal,
maka data tersebut mengindikasikan zona abnormal yang diakibatkan oleh
peningkatan harga porositas karena tidak terpengaruh oleh kompaksi normal.
61
Gambar 3.14.
Indikasi Abnormal Pressure dari Shale Density vs Depth
(“Formation Pressure Evaluation”, Baker Hughes INTEQ, 1996)
d. Resistivity Log
Zona geopressure yang disebabkan oleh pemadatan batulempung/serpih
yang kurang akan memiliki kelebihan fluida pori yang terperangkap
dibandingkan dengan bagian bertekanan normal pada kedalaman.
Batulempung yang menunjukkan pemadatan normal akan berkembang nilai
resistivitas formasi meningkat dengan kedalaman, karena jumlah pori cairan
berkurang dan jalur aliran menjadi lebih berliku-liku. Penyimpangan dari tren
ini akan menunjukkan perubahan litologi atau perubahan tekanan pori (Baker
Huges INTEQ, 2002). Perubahan litologi dapat dibedakan dengan
menggunakan informasi Gamma Ray.
Nilai resistivitas yang lebih rendah dapat menjadi cerminan dari perubahan
salinitas fluida pori, beralih dari larutan yang kurang asin ke larutan yang
lebih asin (umum saat mengebor di dekat salt dome). Sambil menunjukkan
perubahan dalam tekanan pori hidrostatik normal, tidak selalu menunjukkan
zona overpressure. Evaluasi geopressure di litologi lain, menggunakan
resistivitas MWD, di mana tekanan tidak disebabkan oleh undercompaction
sedikit lebih sulit. Geopressure yang terperangkap oleh imprermeable cap
62
rock akan menunjukkan nilai yang lebih rendah dari trend line, tetapi akan
menunjukkan peningkatan resistivitas batuan penutup diikuti oleh perubahan
mendadak ke resistivitas yang lebih rendah saat memasuki zona overpressure
(Baker Huges INTEQ, 2002).
Prinsip kerja dari resistivity log adalah dengan mengukur resistivitas
batuan beserta kandungan fluidanya terhadap arus listrik yang melaluinya.
Sifat resistivitas tersebut, utamanya merupakan fungsi dari fluida dalam pori
batuan. Pada awalnya, arus listrik searah DC dilepaskan dari satu atau
beberapa elektroda, dan akan melalui batuan hingga tiba di permukaan. Beda
potensial (kebalikannya resistivitas) dan arus listrik diukur menggunakan dua
unit elektroda tambahan di permukaan, dan dari hasil pengukuran dapat
diketahui nilai resistivitasnya (dalam satuan ohm-meter/Ωm). Log Resistivitas
dapat digunakan untuk membedakan antara zona berisi air dan hidrokarbon
dalam formasi batuan.
Variasi harga salinitas air formasi tidak terlalu besar seiring dengan
bertambahnya kedalaman, sehingga pengaruh ini sering diabaikan. Ditambah
lagi, harga temperatur meningkat secara tidak pasti, sehingga harga resistivitas
dapat dikoreksi untuk setiap perubahan temperatur. Jadi, harga porositas
merupakan faktor utama yang mempengaruhi besarnya harga resistivitas.
Prinsip dasar analisa ini yaitu, pada umumnya harga resistivitas shale
meningkat seiring dengan penurunan porositas akibat dari kompaksi normal
karena penambahan kedalaman sebagai hasil dari proses sedimentasi. Jika
terdapat porositas yang meningkat, maka kandungan air formasi pun
meningkat, sehingga dapat diindikasikan sebagai zona abnormal yang
ditunjukan dengan resistivitas shale yang menurun.
63
Gambar 3.15.
Shale Resistivity vs Depth
(Rabia, 2002)
3.2.2. Formation Test
a. Leak-Off Test (LOT)
Leak-Off Test merupakan salah satu formation test yang sering dilakukan
yang bertujuan untuk mengetahui tekanan rekah formasi. Prinsip kerja dari
test ini yaitu memompakan fluida dengan tekanan dan jumlah tertentu
kemudian melihat kapan formasi tersebut pecah (Leak-Off). Normalnya test ini
dilakukan setelah drilling melewati sebuah casing shoe bertujuan untuk
menentukan gradien lumpur maksimum yang diijinkan untuk open hole pada
sesi berikutnya, menetukan tekanan dibawah tekanan rekah, tekanan rekah
pada kedalaman setelah casing shoe dipasang dan mengetahui formation
breakdown pressure dan fluid injection pressure (Baker Huges INTEQ, 2002).
Tekanan di dalam lubang ditingkatkan dengan memompa fluida pada laju
volume yang konstan, biasanya 50–250 L/menit, sehingga akan
mengahasilkan garis lurus pada grafik tekanan versus volume (waktu), dengan
kemiringan garis yang diberikan oleh kompresibilitas sistem (terutama fluida
pengeboran). Ketika respon tekanan mulai menyimpang dari garis lurus maka
64
didefinisikan sebagai tekanan rekah formasi, titik di mana formasi mulai
pecah.
Dengan mengetahui nilai dari LOT, maka dapat digunakan untuk mencari
nilai effective stress dengan menggunakan metode Eaton. Setelah mengukur
effective stress, dapat mengukur Poisson Ratio yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi nilai dari fracture pressure dengan menggunakan Eaton
Method. Besarnya nilai dari Effective Stress dan Poisson Ratio dengan
menggunakan nilai LOT adalah sebagai berikut :
Ko =
............................................................................ (3.52)
v =
..................................................................................... (3.53)
Keterangan :
Ko = Effective Stress, psig
LOT = Leak-Off Stress, psig
PP = Pore Pressure, psig
OBG = Overburden Pressure, psig
v = Poisson Ratio, dimensionless.
Gambar 3.16.
Typical Leak-Off Test Plot
(“Formation Pressure Evaluation”, Baker Hughes INTEQ, 1996)
65
b. Extended Leak-Off Test (xLOT)
Leak-off test hanya menyediakan tekanan rekah dan breakdown pressure,
tetapi tidak mengindikasikan tekanan penutupan rekah/fracture closure
pressure (minimum horizontal stress) (J. J. Zhang, 2019). Modifikasi leak-off
test dapat juga digunakan untuk mengetahui minimum horizontal stress.
Extended leak-off test digunakan untuk mengetahui nilai tekanan minimum in-
situ yang dibutuhkan untuk membuat rekahan awal pada dinding sumur bor
(Zoback, 2007). Dengan demikian, dapat diestimasi besar tekanan yang aman
untuk diaplikasikan pada berat lumpur yang digunakan sehingga tidak
melebihi batas tekanan rekahan pada dinding sumur untuk menghindari
terjadinya bahaya yang lebih besar seperti loss circulation.
Perbedaan utama dengan leak-off test adalah pemompaan terus berlanjut
melewati leak-off point dan breakdown pressure. Untuk mendapatkan
perkiraan stress yang akurat pemompaan harus dilanjutkan sampai
pertumbuhan rekahan yang stabil diperoleh (Ejfaer, 2011).
Gambar 3.17.
Typical Recording of LOT
(Wang Hong, et al, 2010)
Karena casing shoe test ini biasanya dilakukan dalam formasi
permeabilitas rendah seperti serpih, dan dengan lumpur pengeboran di dalam
lubang, sangat sedikit kebocoran dari rekahan yang diharapkan. Ini
66
menyiratkan bahwa fracture closure mungkin lambat dalam tes penutupan,
menghasilkan tekanan yang hampir datar. Tekanan tersebut dicatat sebagai
closure pressure dengan demikian masih merupakan perkiraan batas atas
minimum horizontal stress. Estimasi yang lebih baik bisa diperoleh dengan
memasukkan fase flowback dalam pengujian.
Gambar 3.18.
Schematic Illustration Extended Leak-Off Test
(Jfaer, et al, 2008)
Garis putus-putus dari Pfsip ke Pref mewakili fase flowback. Jika rekahan
belum ditutup selama fase penutupan, pemantauan fase flowback dapat
memberikan perkiraan tegangan horizontal minimum seperti yang ditunjukkan
pada gambar. Ini terjadi saat kemiringan kurva flowback berubah,
mencerminkan perbedaan besar antara sistem dengan rekahan terbuka dan
dengan rekahan tertutup.
c. Formation Integrity Test (FIT)
Formation Integrity Test (FIT) adalah pengujian kekuatan dan integritas
dari suatu formasi baru dan merupakan langkah awal setelah pemboran track
casing shoe. FIT limit test tidak didesain untuk membuat formasi leak-off, tapi
hanya mencapai nilai dibawah minimum horizontal stress (Rabia, 2002).
Evaluasi yang akurat dari penyemenan casing dan formasi sangat penting
selama pengeboran sumur dan untuk pekerjaan selanjutnya (Rabia, 2002).
Informasi yang didapatkan dari FIT digunakan sepanjang umur sumur dan
67
juga untuk sumur-sumur terdekat. Alasan utama untuk melakukan Formation
Integrity Test (FIT) menurut (Rabia, 2002) :
- Menentukn fracture gradient di sekitar casing shoe dan menentukan
batas atas primary well control untuk section dibawah casing.
- Mengetahui mud weight yang optimal dan equivalent mud weight
untuk pengeboran section selanjutnya.
- Meminimalkan risiko loss circulation di zona abnormal
- Investigasi kemampuan wellbore untuk menahan tekanan dibawah
casing shoe guna validasi rencana penempatan casing shoe.
- Menginvestigasi kekuatan ikatan semen di sekitar casing shoe dan
memastikan tidak ada komunikasi dengan formasi yang ada di atsanya.
Gambar 3.19.
Grafik Formation Integrity Test
(Jfaer, et al, 2008)
Perbedaan antara Formation Integrity Test dan Leak-Off Test adalah
teakanan yang diberikan pada FIT tidak sampai formasi pecah. FIT digunakan
untuk mengetahui tekanan yang aman untuk formasi yang akan ditembus.
Sehingga besarmya densitas lumpur yang akan digunakan dapat ditentukan.
d. Repeat Formation Tester (RFT)
Repeat Formation Tester (RFT) adalah sebuah uji yang dilakukan untuk
menentukan tekanan formasi dengan cepat dan akurat. Alat RFT mengukur
68
tekanan pada kedalaman yang spesifik pada dinding lubang. Tekanan formasi
diukur dengan menggunakan formation sampler ketika diperpanjang dari alat
menuju kontak dengan formasi. Sampel fluida juga dapat diambil dengan
menggunakan alat ini.
Tujuan dari Repeat Formation Tester adalah melakukan pengukuran
tekanan fluida formasi pada beberapa kedalaman, memperkirakan tekanan
gradien dari fluida formasi, mengukur tekanan awal reservoir, mengetahui
kedalaman fluid contact dan mengindikasikan permeabilitas reservoir.
Data yang didapatkan dari alat repeat formation tester ini diolah dalam
bentuk plot, yaitu plot antara kedalaman terhadap tekanan dalam lubang.
Setelah diplot berdasarkan sampel fluida dan kedalaman, biasanya pada data
RFT menghasilkan suatu titik potong apabila data tersebut dipanjangkan. Titik
perpotongan ini yang disebut sebagai fluid contact (kedalaman dimana terjadi
perbatasan antar fluida). Fluid contact dapat berupa Gas-Water Contact
(GWC) ataupun Oil-Water Contact (OWC).
Gambar 3.20.
Reservoir Pressure vs Depth
(Gunter and Moore, 1987)
69
3.3. Sifat Mekanika Batuan
Mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari reaksi batuan apabila
batuan tersebut dikenai suatu gangguan (gaya atau tekanan). Mekanika Batuan
merupakan ilmu pengetahuan yang secara teori maupun pada prakteknya
membahas tentang perilaku mekanis batuan termasuk di dalamnya membahas
tentang berbagai metoda perancangan perilaku batuan yang sesuai dengan disiplin
ilmu teknik yang diperlukan. Mekanika batuan adalah salah cabang disiplin ilmu
geomekanika. Hal ini menyebabkan mekanika batuan memiliki peran yang
dominan dalam operasi pemboran. Dalam dunia migas salah satu fungsi mekanika
batuan bertujuan untuk menghitung laju penembusan (Rate of Penetration).
3.3.1.Stress (σ)
Komponen kunci dari konsep geomekanik adalah pengetahuan tentang
keadaan stress saat ini. Kegagalan lubang sumur terjadi karena stress
terkonsentrasi di sekeliling sumur melebihi kekuatan batuan (Zoback, 2007).
Fault akan tergelincir ketika rasio stress terhadap effective normal stress yang
terjadi pada sesar melebihi kekuatan geseknya. Deplesi menyebabkan perubahan
stress keadaan reservoir yang dapat menguntungkan, atau merugikan. Penentuan
stress di kedalaman lapangan minyak dan gas merupakan masalah yang dapat
ditangani yang dapat diatasi dengan data yang diperoleh secara rutin atau
langsung dapat diperoleh saat sumur dibor.
Dalam istilah yang paling sederhana, stress didefinisikan sebagai gaya yang
bekerja di area tertentu (gaya dibagi luas). Lebih tepatnya, stress adalah tensor
yang menggambarkan massa jenis gaya yang bekerja pada semua permukaan
melewati titik tertentu.
Secara nyata atau imajiner bidang melalui batuan, bisa ada Normal Force
(ΔN) dan Shear Force (ΔS) (J. J. Zhang, 2019). Gaya tersebut menyebabkan
Normal Stress (σn) dan Shear Stress (τ) di batuan. Tekanan pada batuan biasanya
tidak sama dalam arah yang berbeda. Tegangan normal/geser adalah gaya
normal/geser per satuan. Tegangan normal tegak lurus dengan masing-masing
bidang, sedangkan tegangan geser sejajar dengan masing-masing bidang
70
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.20. Tegangan normal dan tegangan
geser dapat dihitung secara matematis sebagai berikut :
Normal Stress = lim
(ΔA 0) ......................................................... (3.54)
Shear Stress = lim
(ΔA 0) ......................................................... (3.55)
Gambar 3.21.
Normal Stress dan Shear Stress
(Jon Jincai Zhang, 2019)
Dalam mekanika batuan terdapat tiga macam stress dasar yang disebut
dengan principal stress, yang mana ketiga stress tersebut saling tegak lurus satu
sama lain. Ketiga stress tersebut adalah stress vertikal (σv), stress horizontal
minimum (σHmin), dan stress horizontal maximum (σHmax) (Zoback, 2007).
Suatu rekahan akan terjadi tegak lurus pada arah yang memiliki nilai tegangan
terkecil. Pada Gambar 3.20. merupakan arah stress dan rekahan yang terjadi pada
suatu bidang.
71
Gambar 3.22.
Besar Ketiga Stress Utama dan Arah Rekahan
(Fjaer, et al, 2008)
3.3.2.Strain (ε)
Strain (ε) adalah perubahan bentuk yang terjadi (deformasi) pada suatu
meterial dalam hal ini perubahan dalam panjang yang berubah dari keadaan
panjang semula (J. J. Zhang, 2019). Deformasi material pada intinya merupakan
perbedaan posisi titik-titik sebelum dan sesudah deformasi berlangsung. Strain
didefinisikan sebagai deformasi padatan karena stress. Hal ini adalah perubahan
relatif dalam bentuk atau ukuran sebuah benda karena tekanan (gaya) yang
diterapkan secara eksternal, dan itu tidak berdimensi dan tidak memiliki unit.
Suatu regangan yang terjadi dapat berupa regangan aksial (axial strain), regangan
lateral (lateral strain) dan regangan tubuh material (volumetric strain). Jika
sampel batuan dalam uniaksial khas uji kompresi dibebani ke arah aksial,
kemudian perpindahan (Kontraksi dan perpanjangan) dibentuk dalam arah aksial
dan lateral (J. J. Zhang, 2019). Regangan dalam arah aksial sama dengan
perpindahan relatif (panjang perubahan) dibagi dengan panjang asli sampel
batuan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22.
ε =
................................................................................... (3.56)
72
Keterangan :
ε = Strain
L = Panjang Asli
L’= Panjang Setelah Deformasi
Gambar 3.23.
Strain
(Jon Jincai Zhang, 2019)
3.3.3.Compressive Strength (Co)
Compressive strength memiliki beban penekanan yang berarah ketika batuan
tersebut terkompaksi akibat adanya proses tektonik yang menyebabkan batuan
tersebut menjadi rekah atau pecah.
Penentuan compressive strength penting ntuk diketahui, karena berfungsi
untuk penentuan optimasi bit (bit selection), reservoir subsidence dan juga pada
operasi stimulasi seperti acidizing dan hydraulic fracturing (Mohammad Nabei,
2010).
Uniaxial Compression Test digunakan untuk menentukan Uniaxial
Compressive Strength (UCS), Poisson Ratio, dan Modulus Young. Di dalam
pengujian, sampel batuan silinder dikompresi sejajar dengan sumbu
longitudinalnya. Selama pengujian, beban dalam arah aksial, perpindahan
(biasanya diukur dengan transformator perpindahan variabel linier), dan regangan
(dapat diukur dengan ekstensometer) di kedua arah aksial dan radial dicatat untuk
analisis kekuatan batuan.
73
Dalam uji uniaksial, persamaan berikut digunakan untuk menghitung UCS
untuk sampel yang disarankan ISRM :
UCS =
................................................................................................... (3.57)
Keterangan :
UCS = Uniaxial Compressive Strength
Pmax = Beban maksimum yang diberikan pada sampel batuan
A = Luas penampang sampel
Penentuan Compressive Strength dapat dilakukan berdasarkan jenis batuan
dengan persamaan berikut :
a. Shale
- Sonic Log
UCS = 10(Vp – 1) = 10(304.8/Δt – 1) ..................................................... (3.58)
- Porosity
UCS = 243.6 ∅-0.96 ................................................................................. (3.59)
- Young Modulus
UCS = 7.22 E-0.712
.................................................................................. (3.60)
b. Sandstone
- Sonic Log
UCS = 1200 exp(-0.036Δt) ..................................................................... (3.61)
- Porosity
UCS = 154 (1-0.027∅)2 .......................................................................... (3.62)
- Young Modulus
UCS = 2.28 + 4.1089E ........................................................................... (3.63)
c. Carbonate
- Sonic Log
UCS = (7682/Δt)1.82
/145 ......................................................................... (3.64)
- Porosity
UCS = 135.9 exp (-4.8∅) ....................................................................... (3.65)
74
- Young Modulus
UCS = 13.8E-0.51
..................................................................................... (3.66)
Menggunakan Mohr-Coulomb failure criterion, zona kegagalan geser
lubang sumur (breakout) dihitung dari kekuatan batuan yang berbeda. Uniaxial
compressive strength yang lebih tinggi membuat breakout yang lebih kecil.
Compressive strength juga berhubuan dengan tensile strength, pada batuan shale,
compressive strength lebih besar 10-15 kali daripada tensile strength.
Klasifikasi batuan berdasarkan compressive strength dapat dilihat pada
Gambar 3.23. dibawah ini.
Gambar 3.24,
Kalsifikasi Compressive Strength Batuan
(C.A. Ozturk, 2013)
3.3.4.Friction Angle
Friction angle menunjukkan ketahanan batuan menerima tegangan luar yang
dikenakan terhadapnya, semakin besar friction angle suatu material, maka
material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan dari luar. Friction angle
merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan antara normal stress dengan shear
stress. Nilai friction angle dapat diperoleh dari pengujian laboratorium, yaitu
75
pengujian triaxial (triaxial compression test) yang merupakan harga slope dari
failure envelope seperti pada Gambar 3.24. Failure envelope sering kali
disesuaikan dengan kriteria linier, meskipun biasanya ditemukan nonlinier,
dengan friction angle yang menurun pada tegangan yang tinggi.
Gambar 3.25.
Diagram Mohr-Coulomb Criterion
(E Fjaer et al, 2008)
Friction angle biasanya mendekati 30 °, tetapi dapat bervariasi antara 20°
dan 40°. Friction angle yang lebih tinggi ditemukan pada porositas rendah dan
kandungan lempung yang rendah. Friction angle akan meningkat sebagai akibat
dari kompaksi. Sedimen akan bertindak seolah-olah lebih kuat ketika berat
overburden meningkat, karena friction angle selalu lebih besar dari nol. Karena
strukturnya yang seperti pelat, clay yang tidak padat dan lunak (seperti tanah)
biasanya akan memiliki friction angle yang rendah. Saat pemadatan dan
konsolidasi berlangsung, dan porositas dan kandungan fluida berkurang, friction
angle pada shale akan menjadi lebih tinggi. Horsrud juga menunjukkan di
sebagian besar pengujian dengan shale berporositas tinggi, friction angel sangat
rendah biasanya 10° –20°.
Pada kondisi dinamik, friction angle dapat dinyatakan dengan
menggunakan data sonic log, yaitu compressional wave velocity dan shear wave
velocity yang dapat ditentukan dengan persamaan friction angle dengan asumsi
bahwa formasi yang ditembus adalah formasi shale sebagai berikut (Lal M. 1999):
76
FA = Sin-1
.......................................................................................... (3.67)
Gambar 3.26.
Pengaruh Kompaksi Terhadap Friction Angle
(E Jfaer, 2008)
Menurut (R.A. Plumb, 1994) friction angle juga dipengaruhi oleh nilai
porositas efektif batuan. Nilai friction angle akan berubah dengan tingkat
porositas batuan tersebut. Semakin besar sudutnya, maka diindikasikan nilai
porositas efektif batuan tersebut akan sangat besar, namun sebaliknya bila sudut
derajat tersebut semakin kecil, maka nilai porositas efektif batuan tersebut akan
sangat kecil disebabkan adanya Vclay yang mengisi porositas batuan tersebut
(Mohammad Nabei, 2010) sesuai dengan Gambar 3.26.
FA = 26.5 -37.4 (1-∅eff - Vclay) + 62.1 (1-∅eff - Vclay)2 .................................... (3.68)
Gambar 3.27.
Crossplot Vgrain (∅eff) Vs Friction Angel
(R.A. Plumb, 1994)
77
Menurut Mohr keruntuhan pada suatu batuan tidak hanya aibat dari normal
stress maksimal dan shear stress maksimal saja, melainkan akibat dari kombinasi
kritis antara normal stress dan shear stress. Sebagaimana diperlihatkan dalam
persamaan berikut :
τ = Co + σn tan (FA) ................................................................................... (3.69)
Keterangan:
τ = Shear Stress, Pa
Co = Cohesive Strength, Pa
FA = Friction Angle, degree°
𝜎n = Normal Stress, Pa
3.3.5.Poisson’s Ratio (𝑣)
Poisson‟s Ratio adalah rasio regangan transversal (lateral strain) dengan
regangan aksial (axial strain) yang sesuai pada material yang ditekan sepanjang
satu sumbu (J. J. Zhang, 2019). Poisson„s ratio merupakan ukuran perubahan
bentuk geometri yang disebabkan oleh penekanan arah axial dengan beban
tertentu yang dapat mengubah menjadi bentuk yang tidak terbatas. Poisson‟s
Ratio dapat ditentukan dengan mengukur deforestasi lateral dan aksial dari
uniaxial compression test dalam sampel batuan.
Poisson‟s Ratio (𝑣) dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑣 =
.................................................................................................... (3.70)
Keterangan :
= Poisson‟s Ratio, dimensionless
εl = Lateral Strain, Pa
εa = Axial Strain, Pa
78
Gambar 3.28.
Poission’s Ratio
(Kumar, 1976)
Static Poisson‟s Ratio dalam batuan bergantung pada litologi, tegangan
pembatas, tekanan pori, dan porositas batuan (J. J. Zhang, 2019). Hasil uji
laboratorium menunjukkan bahwa Poisson‟s Ratio statis meningkat dengan
meningkatnya porositas seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.28.
𝑣 = 0.2 + 0.61∅ .......................................................................................... (3.71)
Keterangan:
𝑣 = Poisson‟s ratio, dimensionless
∅ = Porositas, dimensionless
Gambar 3.29.
Poission’s Ratio vs Porosity pada Batuan Karbonat dan Siltstone
(Yale and Jamieson, 1994)
79
Poisson‟s ratio dinamis dapat dinyatakan dengan menggunakan data sonic
log (dipole & stoneley measurement) dari gelombang “S” dan “P”. Poisson‟s
Ratio dinamis bergantung pada Vp / Vs dan Vp / Vs berhubungan langsung dengan
porositas. Poisson‟s ratio dinamis dapat ditentukan dengan persamaan:
𝑣 =
......................................................................................... (3.72)
Keterangan:
𝑣 = Poisson‟s ratio, dimensionless
Vp = P-wave velocity, km/s
Vs = S-wave velocity, km/s
Pada metode Castagna, Batzle, & Eastwood diperlukan nilai P-wave
velocity dan S-wave velocity yang diperoleh dari seismik atau sonic log. Dengan
keterbatasan dari sonic log yang hanya mempunyai nilai P-wave velocity, oleh
karena itu diasumsikan nilai S-wave velocity dengan metode Castagna. Kemudian
nilai tersebut digunakan untuk menghitung nilai Poisson‟s Ratio dengan
menggunakan metode Zoback. Metode ini diasumsikan jika formasi yang
ditembus dominan shale dan sandstone. Dimana Vp dan Vs dapat ditentukan
melalui persamaan (Castagna & Zoback, 1985):
Vp = 0,826 Vs + 1.172 ............................................................................... (3.73)
Brocher (2005) menentukan harga Vp berdasarkan hasil analisis di dalam uji
laboratorium “Brocher’s empirical fit,” dengan harga Vp pada persamaan
poisson‟s ratio yang memiliki kisaran, 1.5 < Vp < 8.5 (Gary Mavko, Tapan
Mukerji, Jack Dvorkin, 2009) :
𝑣 = 0,8835 – 0,315Vp + 0,0491Vp 2
– 0,0024Vp 3 ..................................... (3.74)
Metode Poission’s Ratio Ludwig merupakan awal dari persamaan Poisson‟s
Ratio menurut Brocher, dimana metode Ludwing juga biasa disebut dengan “Ludwing‟s
Empirical Fit”.
𝑣 = 0.769 − 0.226 𝑉𝑝 + 0.0316 𝑉𝑝2
− 0.0014 𝑉𝑝3 ....................................... (3.75)
Pada batuan, Poisson‟s ratio biasanya 0,15-0,25. Untuk batuan yang lemah
dan berpori, Poisson‟s ratio dapat mendekati nol atau bahkan menjadi negatif.
Pada sandstone yang tidak terkonsolidasi, Poisson‟s ratio mendekati 1/2. Harga
Poission‟s Ratio berbagai macam lithologi dapat dilihat pada Tabel III-5.
80
Table III-5.
Poission’s Ratio Pada Berbagai Lithologi
(Zoback, 2007)
Lithologi Poission’s Ratio
Clay 0.17 – 0.50
Conglomerate 0.2
Dolomite 0.21
Siltstone 0.08
Shale :
Calcareous
Dolomitic
Siliceous
Silty
Sandy
0.14
0.28
0.12
0.17
0.12
Limestone :
Micritic
Sparatic
Porous
Fossiliferous
Argillaceaous
0.28
0.31
0.2
0.09
0.17
3.3.6.Young’s Modulus (E)
Young‟s Modulus merupakan parameter penting untuk mendefinisikan
hubungan antara tegangan dan regangan pada material dalam deformasi linier-
elastis (J. J. Zhang, 2019). Young‟s Modulus statis dapat diperoleh dari uji inti
laboratorium, seperti uji kompresi uniaksial atau triaksial. Young‟s Modulus
dinamis dapat dihitung dari persamaan teoritis menggunakan data kecepatan
akustik (Sonic Log). Pada analisis geomekanik, Young‟s Modulus statik
diperlukan. Artinya, dalam persamaan konstitutif stress-strain, Young‟s Modulus
statis diperlukan untuk perhitungan.
81
Gambar 3.30.
Young’s Modulus
(Gary Mavko, Tapan Mukerji, Jack Dvorkin, 2009)
Young‟s Modulus statis (Es) dalam uji inti laboratorium ditentukan sebagai
rasio perubahan tegangan aksial (Δσ) dengan perubahan regangan aksial (Δε)
diproduksi oleh perubahan stress, yaitu,
E =
..................................................................................................... (3.76)
Gambar 3.31.
Young’s Modulus dari Uniaxial Stress-Strain Curve
(Jon Jincai Zhang, 2019)
82
Gambar 3.30. menunjukkan kurva stress-strain dari uji tekan triaksial untuk
batupasir berbutir halus, batulumpur berpasir, dan batulumpur. Tekanan
diferensial pada gambar mewakili perbedaan tegangan aksial dan pembatas, yaitu
s1 s3. Gambar 3.31. menunjukkan bahwa batuan yang berbeda memiliki modulus
Young yang berbeda. Batupasir memiliki kekuatan tekan puncak yang jauh lebih
besar dan Young's modulus yang lebih besar daripada yang ada di mudstone (J. J.
Zhang, 2019).
Gambar 3.32.
Young’s Modulus Pada Berbagai Batuan
(Jon Jincai Zhang, 2019)
Young‟s Modulus statis (Es) dapat dihitng dengan persamaan berikut :
Es = Eo (1-a∅)n ............................................................................................... (3.77)
Keterangan :
Es = Young‟s Modulus Static
Eo = Young‟s Modulus Matrix ketika porositas nol
a & n = Konstanta
Young‟s Modulus Dinamis menggunakan data log sumur dan data geofisika
untuk menganalisis dan menginterpretasikan parameter fisik dan mekanik batuan.
Modulus Dinamis Young (Ed) dapat diselesaikan dengan persamaan berikut :
Ed = 1.35 x 10 4
.................................................................... (3.78)
83
Keterangan :
Ed = Young‟s Modulus Dinamis. Mpsi
ρb = Densitas Bulk, g/cm3
tp = Transite Time, µs/ft;
Vd = Poission‟s Ratio Dinamis, dimensionless
3.3.7.Biot’s Coefficient
Untuk batuan berpori di bawah tekanan, bagian padat dan fluida mengalami
deformasi. Oleh karena itu, tekanan pori dan effective stress perlu diperhatikan
dan dipertimbangkan dalam media fluid-saturated. effective stress tergantung
pada tegangan total, tekanan pori, dan koefisien Biot (J. J. Zhang, 2019).
Gambar 3.33.
Kontak Area Fluida Dengan Solid
(Zoback, 2007)
Koefisien biot (statis) didefinisikan sebagai rasio deforestasi ruang pori
statis terhadap perubahan volume bulk total, bila modulus kering dari batuan
berpori (Kdry) dan modulus bulk matriks (Km) tersedia (Nur dan Byerlee, 1971),
persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Α = 1-Kdry/ Km ...............................................................................................................................................
(3.79)
Modulus bulk kering dapat dikaitkan dengan modulus Young kering (Edry)
dan Poisson’s Ratio kering (vdry) seperti yang ditunjukkan pada persamaan
berikut:
Kdry = [ Edry / 3(1-2vdry)] ................................................................................ (3.80)
84
Modulus bulk matriks (Km) adalah konstanta, bergantung pada komposisi
kimiawi dari mineral tersebut, misalnya untuk mineral lempung Km bervariasi dari
9,3 GPa di smektit hingga> 100 GPa di klorit (J. J. Zhang, 2019). Ketika modulus
matriks tidak tersedia, nilai yang dipublikasikan dari modulus matriks (Mavko et
al., 2009) dapat digunakan untuk memperkirakan koefisien Biot. Modulus bulk
matriks dalam mineral dapat dilihat pada Tabel III-6.
Tabel III-6.
Modulus Bulk Matriks
(J. J. Zhang, 2019)
Mineral K
(GPa)
Calcite 76.8
Gulf Clay 25
Quartz 37
Dolomite 76.4
Jika koefisien Biot terukur tidak tersedia, persamaan empirisnya bisa
digunakan untuk memperkirakan koefisien Biot. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa koefisien Biot adalah fungsi porositas; oleh karena itu, sebagian besar
persamaan empiris untuk koefisien Biot berkaitan dengan porositas. (Zimmerman
dkk.,1986) memperoleh persamaan empiris untuk menghitung koefisien Biot:
α = 1- (1- ∅) * ∅
+
……………………………………………….(3.81)
Secara teoritis, koefisien Biot tidak dapat dihitung dari modulus bulk
diperoleh dengan metode dinamis (seperti pengukuran gelombang P dan
gelombang S). Namun, modulus bulk dinamis, compressional velocity, dan nilai
dinamis lainnya dapat digunakan untuk mendapatkan koefisien Biot empiris.
Koefisien biot dinamis dapat dihitung dengan persamaan berikut :
αd = 1-
...................................................................................... (3.82)
85
keterangan :
αd = Koefisien Biot Dinamis, dimensionless
ρd = Densitas Bulk Kering, g/cm3
Vpd = Compresional Velocity, km/s
Vsd = Shear Velocity, km/s
3.3.8. Brittleness Index
Britteleness index digunakan untuk mengetahui apakah batuan tersebut
tergolong brittle atau ductile. Brittleness pada batuan tergantung pada material
dan kekuatan batuan tersebut. Umumnya pengaruh sifat mekanik batuan pada
hydraulic fracturing adalah batuan yang bersifat brittle memiliki modulus
Young yang tinggi dan Poisson’s rasio yang rendah, yang lebih mudah untuk
perambatan hydraulic fracturing (J. J. Zhang, 2019). Batuan dengan tensile
strength yang rendah membuatnya lebih mudah untuk dipatahkan. (Rickman,
2008) menggunakan brittleness index untuk mengevaluasi kerapuhan batuan
untuk membantu menemukan zona yang tepat untuk hydraulic fracturing.
Estimasi britteleness index dari data seismik menggunakan data dari
density log dan sonic log. Data dari density log dan sonic log digunakan untuk
menghitung Young‟s modulus brittleness dan Poisson‟s ratio brittleness untuk
menentukan brittleness average kemudian mengidentifikasi batuan tersebut
berdasarkan kalsifikasi batuan dari brittleness average yang dikemukakan oleh
Altamar & Marfurt (2014). Istilah brittleness average dikemukakan oleh Grieser
dan Bray (2007) berdasarkan hubungan empiris antara Poisson’s ratio dengan
Young’s modulus. Dengan cara menormalisasikan Young’s Modulus dan
Poisson’s ratio yang disebut Young‟s Modulus brittleness dan Poisson‟s ratio
brittleness.
86
Tabel III-7.
Klasifikasi Sifat Batuan Berdasarkan Brittleness Index
(Altamar & Marfurt, 2014)
Sifat Batuan Brittleness Index
High Brittle >0.48
Medium Brittle 0.32-0.47
Less Ductile 0.16-0.31
Ductile 0-0.15
Young‟s modulus brittleness bernilai 0 – 1 dimana semakin tinggi nilainya,
maka batuan akan bersifat brittle (Grieser & Bray, 2007). Penentuan Young‟s
Modulus brittleness dengan mengetahui harga maksimum dan minimumnya dapat
ditentukan dengan persamaan :
Ebrittleness =
....................................................................................... (3.83)
Keterangan :
Ebrittleness = Brittleness Young‟s modulus, GPa
E = Young‟s modulus pada kedalaman yang dianalisa, GPa
Emin = Young‟s modulus minimum pada formasi diinvestigasi, GPa
Emax = Young‟s modulus maksimum pada formasi diinvestigasi, GPa
Poisson‟s ratio brittleness bernilai 0 – 1 dimana semakin rendah nilainya,
maka batuan akan bersifat brittle (Grieser & Bray, 2007). Penentuan Poisson‟s
ratio brittleness dengan mengetahui harga maksimum dan minimumnya dapat
ditentukan dengan persamaan :
vbrittleness =
........................................................................................ (3.84)
Keterangan :
𝑣brittleness = Brittleness Poisson‟s ratio, fraksi
𝑣 = Poisson‟s ratio pada kedalaman yang dianalisa, fraksi
𝑣min = Poisson‟s ratio minimum pada formasi diinvestigasi, fraksi
𝑣max = Poisson‟s ratio maksimum pada formasi diinvestigasi, fraksi
87
Semakin tinggi nilai brittleness index, maka batuan semakin bersifat brittle.
Semakin tinggi nilai Brittleness Modulus Young dan semakin rendah nilai
Brittleness Poisson‟s Ratio maka batuan tesebut bersifat brittle (Bai, 2016).
Brittleness average dapat ditentukan dengan persamaan sebagai betikut:
Bavg =
.......................................................................... (3.85)
Keterangan :
Bavg = Brittleness Average, Fraksi
Ebrittleness = Young‟s Modulus Brittleness, Fraksi
𝑣brittleness = Poisson‟s Ratio Brittleness, Fraksi
3.4. Safe Mud Window Concept
Ketidakstabilan lubang bor merupakan penyebab utama kegagalan lubang
sumur dan merupakan tantangan serius di industri pengeboran. Kurangnya analisis
stabilitas lubang bor yang akurat membawa banyak masalah, seperti washout,
breakout, collapses, pack-off, stuck pipe dan loss circulation (J. J. Zhang, 2019).
Pada tahap pemboran, hal utama yang perlu diperhatikan adalah menentukan
komposisi lumpur dan densitas untuk menjaga stabilitas lubang bor dan
menghindari loss circulation. Hubungan mud weight dan kegagalan lubang bor
menunjukkan bahwa ketika tekanan lumpur kurang dari tekanan pori, lubang
sumur mengalami kerusakan atau washout. Ketika berat lumpur kurang dari shear
failure gradient (SFG), ketidakstabilan lubang sumur dapat menyebabkan
breakout atau penutupan lubang jika terjadi kegagalan tekan dan geser. Jika
diterapkan berat lumpur lebih tinggi dari fracture gradient menyebabkan loss
circulation (J. J. Zhang, 2019). Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan lubang
bor, berat lumpur yang diterapkan harus dalam kisaran yang sesuai dengan safe
mud window.
88
Gambar 3.34.
Hubungan Mud Pressure dan Borehole Failure
(J. J. Zhang, 2019).
Kerusakan lubang bor dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori berikut
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.34. (J. J. Zhang, 2019) . :
1. Wellbore washout dan kick karena underbalance drilling, terjadi karena
berat lumpur kurang dari gradien tekanan pori (PP).
2. Breakout atau kegagalan geser yang disebabkan karena berat lumpur
lebih kecil dari berat lumpur yang dibutuhkan (atau SFG).
3. Loss circulation disebabkan oleh berat lumpur yang lebih tinggi dari
pada fracture gradient (FG) dan tensile failure gradient.
Hole collapse terjadi karena formasi di dekat borehole gagal secara mekanik,
kebanyakan dikarenakan shear failure (Ejfaer, 2011). Hasil dari kegagalan lubang
bor menyebabkan beberapa problem, yaitu :
- Lubang bor bertambah besar karena caving dan brittle failure.
- Mengurangi diameter lubang bor, terjadi pada weak (plastic) shale,
sandstone dan salt.
- Mengurangi diameter lubang bor karena swelling clay.
Interaksi antara fluida pemboran dengan formasi yang memiliki kadar
swelling mineral clay yang tinggi dapat menyebabkan wellbore instability (Ejfaer,
2011). Beberapa shale mengalami swelling saat kontak dengan water based mud
89
ataupun oil based mud, dan karakteristik ini sangat problematik untuk drilling (J.
J. Zhang, 2019). Salah satu penyebab perpindahan air dari atau kedalam formasi
shale adalah perbedaan chemical-potential antara shale dan drilling fluid.
Chemical-potential dari fasa air dapat diestimasi dengan menggunakan water
activity. Penyerapan air oleh shale karena aktifitas tinggi (low salinity) fluida
pemboran menyebabkan fluida pemboran mengalir kedalam shale, menyebabkan
swelling dan pore pressure di shale meningkat (J. J. Zhang, 2019).
Menurut (J. J. Zhang, 2019) penyebab mud loss dapat diidentifikasi
sebagai berikut :
- Seepage mud loss : Terjadi pada batuan yang permeable, tekanan lumpur
lebih besar daripada tekanan pori (Pmud>Pp), lumpur akan mengalir ke
formasi karena permeabilitas batuan yang tinggi.
- Small loss : Tekanan lumpur lebih besar dari fracture pressure tetapi
kurang dari breakdown pressure (Pf<Pmud<Pb).
- Partial loss : Tekanan lumpur lebih besar daripada breakdown pressure
(Pmud>Pb).
- Partial dan Total loss di natural frac : Tekanan lumpur lebih dari
minimum horizontal stress (Pmud>Shmin) dan adanya rekahan.
- Total loss : Terjadi di batuan yang tidak mepunyai rekahan ataupun
mempunyai rekahan dan (Pmud>>Pb) dengan (Pmud>Shmin).
Safe mud window merupakan beda tekanan antara tekanan pori dan tekanan
rekah formasi dengan melibatkan parameter wellbore stability yaitu shear failure
gradient/collapse pressure yang nantinya berguna dalam pencegahan wellbore
instability. Dengan adanya parameter tambahan ini membuat mud window yang
awalnya cukup besar menjadi dipersempit. Hal ini bertujuan memberikan safe
mud window yang lebih tepat untuk menjaga tekanan hidrostatik dari lubang bor.
Berdasarkan pada desain safe mud window, mud weight yang digunakan harus
lebih besar daripada pore pressure dan collapse pressure, tetapi lebih kecil dari
minimum in-situ stress dan fracture pressure. Seperti yang diperlihatkan pada
persamaan berikut :
90
Pp < Pcollapse < Pmud < Shmin < Pf ............................................................. (3.86)
Keterangan :
Pp = Pore Pressure, ppg
Pcollapse = Collapse Pressure, ppg
Pmud = Tekanan lumpur, ppg
Shmin = Minimum in-situ stress, ppg
Pf = Tekanan rekah formasi, ppg
Gambar 3.34.
Safe Mud Window
(Beni, N., Setiawan, 2018)
3.5. Casing Setting Depth
Salah satu langkah dalam menjaga wellbore stability adalah dengan
menggunakan casing dan pemasangan casing harus tepat untuk menutupi zona-
zona yang rawan terjadi problem pemboran. Selama operasi pengeboran
berlangsung, cukup sering terjadi masalah lost circulation akibat pecah/rekahnya
formasi di bawah kaki casing (casing shoe). Masalah lain yang sering terjadi ialah
terjepitnya rangkaian casing akibat pemakaian lumpur dengan densitas yang
tinggi untuk mengimbangi tekanan formasi yang abnormal. Kedua masalah di atas
sering timbul akibat setting depth casing yang kurang tepat. Kesalahan dan
program setting depth casing juga akan menyebabkan kegagalan pada rangkaian
casing (casing string/casing joint), yang disebabkan setting depth-nya terlalu
91
dalam atau terlalu dangkal. Masalah lain yang timbul dan berkaitan dengan setting
depth casing adalah biaya casing yang meningkat dan diameter sumur pada
bagian terakhir tidak sesuai dengan keinginan yang dicapai.
3.5.1. Conductor Casing
Conductor casing adalah casing string pertama yang aplikasikan, dan
akibatnya memiliki diameter yang terbesar. Conductor casing umumnya
diatur pada sekitar 100-300 ft di bawah permukaan tanah atau dasar laut.
Tujuan utama dari rangkaian conductor casing adalah untuk menyediakan
saluran fluida dari permukaan untuk membor lubang berikutnya. Fungsinya
adalah untuk menutup formasi yang tidak terkonsolidasi pada kedalaman
dangkal agar tidak gugur (caving) karena sirkulasi lumpur terus menerus,
sehingga harus dilindungi dengan pipa (Heriot Watt University). Formasi
permukaan sebagian besar menunjukkan masalah loss circulation, karena
fracture gradient yang rendah yang dapat dengan mudah dilampaui oleh
tekanan hidrostatik dari fluida pemboran saat mengebor bagian lubang yang
lebih dalam.
3.5.2. Surface Casing
Surface casing merupakan rangkaian casing yang dipasang setelah
conductor casing. Beberapa fungsi surface casing (Adam, N.J.):
1. Melindungi dan air tanah agar tidak terkontaminasi
2. Mempertahankan kestabilan lubang bor (wellbore stability)
3. Meminimalkan permasalahan lost circulation pada zona-zona permeable
4. Melindungi zona-zona lemah dan secara tidak langsung mengontrol kick
5. Sebagai dudukan dari BOP (Blow Out Preventer)
6. Menyangga berat semua rangkaian casing (kecuali liner) ketika di-run di
bawah surface casing.
Dalam praktek di lapangan letak setting depth casing didasarkan dan
fungsinya untuk menahan tekanan bila terjadi kick pada kedalaman pengeboran
berikutnya, karena surface casing bila terjadi kick akan menerima beban yang
92
terbesar. Jika terjadi kick dan tekanan shut-in casing ditambah tekanan
hidrostatik fluida pengeboran melebihi ketahanan tekanan rekah formasi pada
casing shoe, rekahan atau blowout bawah tanah dapat terjadi. Oleh karena itu,
dasar penentuan setting depth surface casing adalah menentukan kedalaman
dimana surface casing mampu menahan tekanan yang diakibatkan oleh adanya
kick. Kedalaman pengaturan surface casing penting untuk area yang memiliki
tekanan tinggi (abnormal pressure) (Heriot Watt University). Jika casing
diatur terlalu tinggi, formasi di bawah casing mungkin tidak memiliki
kekuatan yang cukup untuk menutup sumur dan menahan masuknya gas saat
membor bagian lubang berikutnya.
3.5.3. Intermediate Casing
Intermediate casing dipasang diantara surface casing dan production
casing, Pada pengeboran yang menghadapi formasi yang bertekanan
abnormal, penentuan setting depth casing diutamakan untuk melindungi
formasi-formasi yang lemah bila terjadi kick (Adam, N. J.) . Intermediate
casing berfungsi untuk
- Melindungi lubang bor dari tekanan formasi yang tinggi (abnormal).
- Mengisolasi zona garam
- Mengisolasi zona yang menyebabkan masalah lubang, seperti loss
circulation, caving dan sloughing shale.
Pada memboran formasi abnormal, pemasangan intermediate casing lebih
diutamakan untuk melindungi formasi yang lemah, dengan demikian
prosedur penentuan setting depth dimulai dan kedalaman target ke arah
permukaan (bottom to top) agar tidak tidak terjadi kalkulasi yang repetitif.
Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan adalah berapa berat maksimum
lumpur yang bisa digunakan untuk mengontrol tekanan formasi tanpa
menimbulkan perekahan pada formasi di atasnya. Dengan demikian dapat
ditentukan setting depth casing sementara (tentative casing setting depth).
93
3.5.4. Production Casing
Production casing sering disebut juga dengan oil string merupakan
rangkaian casing yang dipasang paling akhir, casing ini dipasang di atas, atau
di tengah-tengah atau di bawah pay zone, berfungsi untuk mengalirkan
minyak dan atau gas. Selain itu, production casing juga berfungsi sebagai
penampung minyak dan reservoir sebelum dialirkan. Sedangkan fungsi
lainnya adalah sebagai berikut menurut (Adam, N. J.):
- Mengisolasi zona produksi dan formasi yang lainnya
- Memproteksi peralatan produksi, terutama tubing
3.5.5. Liner
Liner adalah casing pendek (biasanya kurang dari 5000 ft) yang digantung
dari bagian dalam casing string sebelumnya dengan menggunakan liner
hanger. Drilling liner dipasang dengan fungsi yang sama seperti pada
intermediate casing. Casing ini tidak dipasang sampai permukaan, biasanya
overlaping dengan intermediate casing dengan panjang 300 – 500 ft. Liner
ini dipasang untuk menghemat biaya yang berfungsi untuk mengontrol
gradien tekanan atau fracture. Liner dapat digunakan sebagai intermediate
casing atau sebagai production casing.
Keuntungan menggunkan liner dibandingkan dengan rangkaian casing
penuh, adalah (Heriot Watt University):
- Diperlukan casing yang lebih pendek, sehingga mengurangi biaya
pemboran
- Liner dijalankan pada pipa bor, oleh karena itu waktu sewa rig lebih
sedikit
- Liner dapat diputar selama operasi penyemenan, secara signifikan
meningkatkan proses pemindahan lumpur dan kualitas penyemenan.
Pemboran dengan mud weight lebih besar dari pore pressure atau
collapse pressure tetapi kurang dari minimum horizontal stess atau tekanan
rekah formasi adalah prinsip utama dalam desain sumur dan penentuan
94
casing setting depth (Zoback, 2007). Penentuan casing setting depth dengan
geomekanik menggunakan data pore pressre, collapse pressure, fracture
pressure, minimum horizontal stress, lithologi formasi dan hole problem.
Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan casing setting depth menurut
(BG Group, 2001) adalah :
- Shallow gas zone
- Loss circulation zone
- Well control
- Stabilitas formasi
- Pemboran directional
- Sidetracking
- Isolasi dari fresh water
- Hole cleaning
- Kubah garam
- Zona bertekanan tinggi
- Casing shoe harus di set di formasi yang kompak
- Ketidakpastian estimasi kedalaman (contoh : memerlukan margin yang
berhubungan dengan batas setting pada formasi yang permeable atau
overpressure)
- Multiple producing interval
- Ekonomi
95
Gambar 3.36.
Penentuan Casing Setting Depth
(Zoback, 2007)
Gambar di atas menunjukkan kasus sederhana pentingnya pengambilan
keputusan dasar pemboran pada model kuantitatif stabilitas lubang sumur
yang didasarkan pada model geomekanik yang komprehensif. Kasus yang
ditunjukkan pada Gambar 3.35a adalah kasus di mana jutaan dolar dihabiskan
secara tidak perlu untuk casing tambahan dan multiple sidetrack.
Gambar 3.35a menunjukkan sebuah desain sumur pra-pengeboran,
dibuat dengan mengasumsikan bahwa tekanan pori dan gradien rekahan
sebagai batas drilling window.
Gambar 3.35b menunjukkan ilustrasi perencanaan casing
mempertimbangkan collapse pressure pada desain pra-pengeboran. Mud
window yang sangat sempit untuk casing ketiga dan pada kenyataannya, dua
sidetrack diperlukan saat mengebor bagian sumur ini.
Gambar 3.35c menunjukkan desain dibuat menggunakan model
geomekanik yang komprehensif, yang menyesuaikan posisi dua casing
pertama untuk mengurangi panjang interval casing ketiga. Desain ini
menghindari mud weight yang sangat sempit untuk casing keempat yang
96
mengakibatkan masalah pengeboran, juga mengurangi jumlah casing string
yang diperlukan.
Gambar 3.36 merupakan contoh perencanaan casing setting depth dan
mud window. Batas bawah drilling window yang aman adalah collapse
pressure lubang sumur dan mempertimbangkan minimum horizontal stress
sebagai batas atas drilling window yang aman.
Gambar 3.37.
Penentuan Safe Drilling Window dan Casing Setting Depth
(Zoback et al. 2001)
97
BAB IV
PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH
DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD
WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN
SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA
TENGAH
Bab ini akan menjelaskan mengenai proses pengerjaan menggunakan
Software Drillwork dalam menentukan profil tekanan bawah permukaan pada
sumur eksplorasi “ZZH-40” Lapangan “SISNAZ”. Dengan mengetahui kondisi
tekanan bawah permukaan maka dapat ditentukan safe mud window sehingga
dapat menentukan mud weight dan casing setting depth yang optimal untuk
Sumur “ZZH-40” dan sumur-sumur disekitarnya. Tujuan mengetahui kondisi
tekanan bawah permukaan adalah untuk merencanakan desain mud weight
optimal dan casing setting depth untuk operasi pemboran di sekitar Sumur “ZZH-
40” agar tidak terjadi problem pemboran dan mengurangi Non-Productive Time
(NPT).
4.1. Analisa Geopressure dan Analisa Geomechanics Mengunakan
Drillwork Software
4.1.1. Input Data
Tahap pertama dalam Analisa Geopressure menggunakan Drillwork
Software yaitu input data-data log, yaitu gamma ray log, density log, dan sonic
log. Format data yang diinput ke software berupa file LAS. Kemudian memilih
log yang akan diinput ke dalam software dan sesuaikan depth unit, depth
conversion option, depth reference level dengan yang ada di dalam file log. Data
log dari Sumur “ZZH-40” menggunakan satuan TVD dengan depth reference
level adalah Kelly-bushing level. Pastikan datatype dan unit sesuai dengan log
yang sudah dipilih. Satuan untuk data gamma ray log adalah GAPI, sonic log
adalah us/ft, dan density log adalah g/cc.
99
Gambar 4.3.
Hasil Plot Data-Data Log
Langkah selanjutnya setelah input data yaitu pengolahan data untuk membuat
model geomekanik, sebagai berikut :
4.1.2. Analisa Shale Line dari Log Gamma Ray
Langkah pertama yaitu menganalisa Gamma Ray Log, yaitu penarikan
Shale Line, sehingga dapat dipisahkan antara zona shale dan non shale. Zona yang
berada disebelah kanan shale line merupakan formasi shale, sedangkan zona yang
berada disebelah kiri shale line merupakan formasi non shale. Penarikan shale
line memepertimbangkan stratigrafi yang ada di sumur tersebut. Lithologi pada
formasi Petani adalah shale sisipan sandstone, Formasi Telisa lithologinya adalah
shale, lithologi Formasi Sihapas adalah sandstone dan Formasi Pematang
lithologinya adalah shale.
Pengaruh penarikan shale line dapat dilihat pada Log SHPT DT, ditandai
dengan menipisnya log dengan kandungangan shale yang sedikit pada formasi
100
dan begitupun sebaliknya formasi dengan kandungan shale akan menghasilkan
log yang utuh atau lebih tebal.
Gambar 4.4.
Hasil Penarikan Shale Line dan Log SHPT DT
4.1.3. Penentuan Overburden Gradient
Perhitungan overburden gradient merupakan dasar dalam analisa
geomekanik dan tahapan analisa selanjutnya untuk perhitungan pore pressure,
fracture pressure, horizontal stress dan shear failure gradient. Overburden
gradient dapat ditentukan dengan menggunakan data bulk density. Penentuan bulk
density menggunakan Metode Gardner dan mengkalibrasikannya dengan sonic
log. Penggunaan metode Gardner memiliki hasil yang mendekati dengan data
density log. Hasil bulk density metode Gardner dan pengkalibrasian dengan sonic
log menghasilkan RHOB Composite, yang nantinya digunakan dalam perhitungan
overburden gradient.
101
Gambar 4.5.
Hasil Plot Overburden Gradient
- Perhitungan Tekanan Overburden secara manual pada kedalaman
5000 ft
Pob = 8.33 x 0,052 x ρb x D
Pob = 8.33 x 0.052 x 2.293 g/cc x 5000 ft
Pob = 4966.785 psi
Pob = 19.1 ppg
Tekanan Overburden akan semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya kedalaman, seperti yang diperlihatkan dalam Tabel IV-1. berikut :
102
Table IV-1.
Data Tekanan Overburden Pasa Sumur “ZZH-40”
Depth
(ft)
Density
(g/cc)
OBG
(psi)
OBG
(ppg)
1300 1.986 1118.701 16.542
2600 1.962 2209.467 16.342
4000 2.163 3779.364 18.017
5000 2.293 4966.786 19.103
6000 2.451 6369.791 20.416
4.1.4. Penentuan Jenis Mekanisme Overpressure
Untuk menentukan jenis mekanisme overpressure pada Sumur “ZZH-40”
dapat diketahui dengan memplot antara Depth vs Transite Time dan Normal
Compaction Trend disandingkan dengan density log. Apabila transite time dan
densitas konstan, tekanan overburden bertambah tinggi tetapi effective stress
konstan, maka overpressure yang terjadi merupakan loading mechanism. Apabila
ada sonic reversal atau nilai tempuh berkebalikan pada sonic log, densitas
bertambah dan sedikit berkurang di bagian bawah pada density log, tekanan
overburden konstan tetapi effective stress menurun maka overpressure yang
terjadi merupakan unloading mechanism. Pada Sumur “ZZH-40” overpressure
yang terjadi yaitu Loading Mechanism. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar
4.6. berikut :
103
Gambar 4.6.
Overpressure Mechanism Sumur “ZZH-40”
Pada kedalaman 1284-4866 ft terjadi overpressure yang terjadi pada
Formasi Petani dengan batuan shale sisipan sandstone dan Formasi Telisa dengan
batuan shale. Overpressure generating mechanism yang terjadi adalah Loading
Mechanism, parameter sonic log, density log dan effective stress menunjukkan
nilai yang konstan penyebab overpressure ini adalah disequilibrium compaction.
Penentuan mekanisme overpressure ini digunakan untuk memilih metode yang
akan digunakan dalam perhitungan pore pressure.
104
Gambar 4.7.
Overpressure Mechanism dan Lithologi
4.1.5. Penentuan Pore Pressure
Pengaruh penarikan garis normal compaction trend (NCT) pada Sonic log
sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan Pore Pressure, nilai yang berada
bawah NCT termasuk zona overpressure sedangkan nilai yang berada diatas NCT
merupakan zona yang subnormal, seperti ynag terlihat pada Gambar 4.8.
Perhitungan prediksi pore pressure menggunakan data-data log hanya
bisa pada batuan shale atau mudrock. Pada bataun yang bersifat permeable seperti
sandstone atau limestone perhitungan pore pressure didapatkan dari teori
hydraulic yang mengasumsikan bahwa formasi permeable terkoneksi secara
hydraulic.
Setelah mengetahui mekanisme overpressure yang terjadi langkah
selanjutnya adalah menentukan tekanan pori. Metode yang digunakan dalam
perhitungan tekanan pori adalah Eaton Sonic Method, Bower Method dan
Equivalent Depth. Karena keterbatasan data, tidak adanya data formation test
(DST/RFT) atau connection gas ataupun trip gas, kalibrasi data dilakukan dengan
105
menggunakan data mud weight actual. Hasil perhitungan pore pressure
menggunakan beberapa metode dapat dilihat pada Tabel IV-2.
Pada Sumur “ZZH-40” tidak ada laporan adanya kick, maka perhitungan
pore pressure tidak lebih dari mud weight actual. Sehingga, metode yang paling
mendekati dengan data kalibrasi adalah metode Eaton Sonic. Hasil perhitungan
pore pressure dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.8.
Normal Compaction Trend vs Sonic Log
Table IV-2.
Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton dan Bower
Depth
(ft TVD)
Data
Kalibrasi
(ppg)
Bower
(ppg)
Eaton
(ppg)
Equivalent
Depth (ppg)
2600 9.625 14.25 9.61 11.27
107
Gambar 4.10.
Overpressure Mechanism dan Hasil Plot Pore Pressure
Persamaan yang digunakan dalam perhitungan Pore Pressure
menggunakan metode Eaton Sonic adalah sebagai berikut :
- Perhitungan Pore Pressure menggunakan Eaton Sonic Method pada
kedalaman 5000 ft TVD.
PP = OBG-(OBG-Pn)(
)
PP = 19.1-( 19.1-8.33)(
)
PP = 8.43 ppg
108
Tabel IV-3.
Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton
Depth
(ft)
OBG
(ppg)
Pn
(ppg)
Δt Normal
(us/ft)
Δt Observed
(us/ft)
PP Eaton
(ppg)
1300 16.542 8.33 164.79 177.62 8.63
2600 16.342 8.33 13\4.55 187.64 9.61
4000 18.017 8.33 111.39 129.21 9.02
5000 19.103 8.33 98.29 100.12 8.43
6000 20.416 8.33 87.04 77.63 7.62
4.1.6. Penentuan Rock Mechanics
Sebelum menentukan Fracture Pressure, Horizontal Stress dan Shear
Failure Gradient terlebih dahul menentukan rock mechanism. Rock mechanism
yang perlu ditentukan yaitu Compressional Velocity dan Shearwave Velocity,
Poisson Ratio, Cohesive Strength dan Friction Angel.
- Perhitungan Compressional Velocity (Vp) pada kedalaman 5000 ft
TVD
Konversi us/ft ke km/s
Vp = (1/BHC) x 304.8
Vp = (1/ 100.12) x 304.8
Vp = 3.044 km/s
- Perhitungan Shearwave Velocity (Vs) pada kedalaman 5000 ft TVD
Vs = (0.826 x Vp) – 1.172
Vs = (0.826 x 3.044) – 1.172
Vs = 1.34 km/s
- Perhitungan Poisson Ratio pada kedalaman 5000 ft TVD
Poisson Ratio = 0.769 – 0.226Vp + 0.0316Vp2 – 0.0014Vp
3
Poisson Ratio = 0.769 – 0.226(3.044) + 0.0316(3.044)2 – 0.0014(3.044)
3
Poisson Ratio = 0.334
109
- Perhitungan Cohesive Strength pada kedalaman 5000 ft TVD
CS = 5 (Vp-1) / (√ )
CS = 5 (3.044 -1) / (√ )
CS = 5.858 MPa
- Perhitungan Friction Angel pada kedalaman 5000 ft TVD
FA = Sin-1
((Vp-1)/(Vp+1))
FA = Sin-1
((3.044 -1)/( 3.044 +1))
FA = 30.3630
4.1.7. Penentuan Fracture Pressure
Setelah melakukan perhitungan rock mechanics dengan menggunakan
beberapa metode, maka tahapan selanjutnya adalah menghitung tekanan rekah
atau fracture pressure. Untuk menghitung fracture pressure digunakan beberapa
metode yaitu Eaton, Mathews & Kelly dan Hubbert & Willies. Tetapi dikarenakan
pada Drillwork Software tidak tersediamya metode perhitungan menggunakan
Hubber & Willies, maka perhitungan menggunakan Metode Eaton dan Mathews
& Kelly saja. Dari dua beberapa metode yang digunakan, hasil yang didapatkan
kemudian dikalibrasikan dengan data LOT. Metode yang paling mendekati data
kalibrasi adalah metode Eaton, seperti yang terlihat pada Tabel IV-4. Pada
persamaan fracture pressure menggunakan metode Eaton menggunakan
parameter poisson‟s ratio, pore pressure, dan overburden pressure. Hasil plot
penentuan Fracture Gradient dengan menggunakan beberapa metode dapat dilihat
pada Gambar 4.11.
Table IV-4.
Hasil Perhitungan Fracture Gradient Beberapa Metode
Depth
(ft)
LOT
(ppg)
FG Eaton
(ppg)
FG Mathews & Kelly
(ppg)
1284 12.3 12.835 12.845
110
Gambar 4.11.
Plot Fracture Gradient vs Pore Pressure
- Penentuan Fracture Gradient menggunakan Metode Eaton pada
kedalaman 5000 ft TVD
FG = (
) (OBG-PP) + PP
FG = (
) (19.1-8.43) + 8.43
FG = 13.787 ppg
111
Table IV-5.
Hasil Perhitungan Fracture Gradient Menggunakan Metode Eaton
Depth V
OBG PP FG
(ft) (ppg) (ppg) (ppg)
1300 0.314 16.542 8.63 12.255
2600 0.469 16.342 9.61 15.547
4000 0.438 18.017 9.02 16.026
5000 0.334 19.103 8.43 13.787
6000 0.275 20.416 7.62 12.482
4.1.8. Penentuan Minimum dan Maksimum Horizontal Stress
Minimum horizontal stress adalah satu dari principal stress yang mana
dapat diketahui dan dihitung secara pasti. Beberapa asumsi beranggapan bahwa
nilai dari minimum horizontal stress sama dengan fracture gradient, namun nilai
minimum horizontal stress dipengaruhi oleh tektonik faktor. Dibandingkan dengan
minimum horizontal stress, maximum horizontal stress merupakan satu dari
principal stress yang cukup sulit untuk dijabarkan dan dihitung secara pasti.
Untuk mengetahui besaran dari maximum horizontal stress, harus terlebih dahulu
mengetahui besaran dari minimum horizontal stress.
Menurut Anderson patahan dibagi menjadi 3 yaitu sesar normal, sesar
datar dan sesar naik. Jenis patahan di Cekungan Sumatera Tengah adalah strike-
slip fault, menuru Anderson untuk strike-slip fault nilai k adalah 1.2, sehingga
profil tekanan bawah permukaannya adalah (SHmax >Sv>Shmin). Pada Gambar
4.12. nilai SHmax lebih besar daripada Overburden Gradient dan Shmin, dan nilai
Overburden Gradient berada diantara SHmax dan Shmin. Parameter minimum
horizontal stress dan maximum horizontal stress sangat penting untuk perhitungan
parameter berikutnya yaitu shear failure gradient.
112
Gambar 4.12.
Plot Hasil Perhitungan Tiga Principle Stress
- Perhitungan Tekanan Horizontal Minimum pada kedalaman 5000 ft
TVD
Shmin = (1-Sin(FA)) x k x Sv) + (Sin(FA) x k x PP)
Shmin = (1-Sin(30.363)) x 1.03 x 19.1) + (Sin(30.363) x 1.03 x 8.43)
Shmin = 12.335 ppg
113
- Perhitungan Tekanan Horizontal Maksimum pada kedalaman 5000 ft
TVD
SHmax = Shmin + k(OBG-Shmin)
SHmax = 12.335 + 1.2 (19.1-12.335)
SHmax = 20.453 ppg
Hasil perhitungan manual minimum horizontal stress disajikan pada Tabel
IV-6. Dimana nilai dari hasil perhitungan Shmin dipengaruhi oleh nilai fiction
angel, overburden pressure, pore pressure, dan empirical number.
Table IV-6.
Hasil Perhitungan Minimum Horizontal Stress
Depth
(ft)
Friction Angel
(degree)
OBG
(ppg)
PP
(ppg)
Shmin
(ppg)
1300 36.081 16.542 8.63 11.924
2600 15.102 16.342 9.61 14.953
4000 18.822 18.017 9.02 14.123
5000 30.363 19.103 8.43 12.355
6000 37.691 20.416 7.62 11.964
Hasil perhitungan maximum horizontal stress disajikan pada Tabel IV-7.
Perhitungan maximum horizontal stress dipengaruhi oleh nilai OBG, Shmin, dan
tectonic factor.
Table IV-7.
Hasil Perhitungan Maximum Horizontal Stress
Depth
(ft)
K
(unitless)
OBG
(ppg)
Shmin
(ppg)
SHmax
(ppg)
1300 1.2 16.542 11.924 17.466
2600 1.2 16.342 14.953 16.620
4000 1.2 18.017 14.123 18.796
5000 1.2 19.103 12.355 20.453
6000 1.2 20.416 11.964 22.106
114
4.1.9. Penentuan Shear Failure Gradient
Dalam penentuan Shear Failure Gradient/collapse pressure diperlukan
parameter Friction Angel dan Cohesive Strength. Metode yang digunakan adalah
Modified Lade Criterion karena pada metode ini memperhitungkan 3 principal
stress yaitu minimum horizontal stress, overburden stress dan maximum
horizontal stress. Hasil plot Shear Failure Gradient diperlihatkan pada Gambar
4.13.
- Perhitungan Shear Failure Gradient Metode Modified Lade Criterion pada
kedalaman 5000 ft TVD (3.39-3.45).
FA = 30.3630
Co = 5.858 MPa
S =
S =
S = 10
ŋ =
ŋ =
ŋ = 9.48
I1 ’ = (𝜎1 + S) + (𝜎2 + S) + (𝜎3 + S)
I1 ’ = (12.354 + 10) + (19.1+ 10) + (20.452 + 10)
I1 ’ = 81.91
I3 ’ = (𝜎1 + S)(𝜎2 + S)(𝜎3 + S)
I3 ’ = (12.354 + 10) x (19.1+ 10) x (20.452 + 10)
I3 ’ = 19812.103
SFG = 27 + ŋ −
SFG = 27 + 9.48 −
SFG = 8.74 ppg
115
Gambar 4.13.
Hasil Plot Shear Failure Gradient
4.1.10. Analisa Problem yang Terjadi Pada Sumur “ZZH-40”
Setelah semua profil tekanan bawah permukaan diketahui, maka tahap
selanjutnya yaitu analisa terhadap problem yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”
dengan cara memplot Mud Weight Actual yang digunakan pada saat pemboran.
Mud Weight yang tidak sesuai dengan safe mud window akan menyebabkan
problem pemboran.
Pada Sumur “ZZH-40” terjadi caving pada kedalaman 3105-3463 ft TVD
dan 3540-3793 ft TVD pada Formasi Telisa dengan batuan shale. Problem ini
disebabkan karena mud weight yang digunakan kurang dari shear failure gradient
(MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran lubang bor.
Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight sehingga
MW>SFG.
116
Gambar 4.14.
Indikasi Problem Pada Sumur “ZZH-40”
Selain karena faktor tekanan yang menyebabkan problem caving,
berdasarkan nilai dari brittleness index menunjukkan nilai brittleness index tinggi
atau didominasi oleh batuan yang bersifat high brittle. Sehingga problem yang
terjadi diakibatkan karena foktor tekanan dan juga diakibatkan oleh faktor alami
dari batuan yang bersifat mudah runtuh (brittle).
- Perhitungan brittleness index pada kedalaman 3129 ft
Ebrittleness =
Ebrittleness =
= 0.475
vbrittleness =
vbrittleness =
= 0.492
Bavg =
Bavg =
Bavg = 0.484
117
Table IV-8.
Nilai Brittelness Index
Depth
(ft) Brittleness Index Sifat Batuan
3129 0.484 High Brittle
3320 0.521 High Brittle
3455 0.506 High Brittle
3633 0.475 Medium Brittle
3800 0.660 High Brittle
Selain problem caving, pada pemboran Sumur “ZZH-40” juga terjadi
swelling, pada Formasi Telisa dengan lithologi shale. Problem swelling tidak
dapat diidentifikasi dari Model Geomekanik 1D, problem ini terjadi karena pada
formasi tersebut didominasi oleh mineral smectit/montmorillonit dan adanya
interaksi antara smectit dan drilling fluid yang digunakan.
Jenis lumpur yang digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah
Gel-Lignite dengan PH sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang
bersifat basa membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi,
sehingga memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan
formasi yang menyebabkan swelling. Untuk mengatasi masalah swelling dapat
dilakukan dengan menambah additive yang membuat PH lumpur berkurang
sehingga dapat mencegah swelling.
Table IV-9.
Problem Pada Sumur “ZZH-40”
Problem Depth
(ft TVD) Formasi Lithologi
Swelling 2126-2770 Petani Shale sisipan sandstone
Caving 3105-3463 Telisa Shale
Caving 3540-3793 Telisa Shale
118
Tabel IV-10.
Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40”
Depth
(ft TVD)
MW
(ppg)
1160 9.625
4369 9.625
4369 10
5814 10
5814 9.625
6083 9.625
6083 9.759
6489 9.759
6489 9.892
7000 9.892
4.1.11. Perencanaan Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40”
Setelah diketahui model safe mud window, langkah selanjutnya adalah
menentukan mud weight optimal yang digunakan untuk menghindari hole
instability. Perencanaan mud weight didasarkan pada safe mud window. Model
safe mud window menempatkan shear failure gradient sebagai batas minimal mud
weight dan minimum horizontal stress sebagai batas maksimum mud weight.
Desain mud weight optimal pemboran Sumur “ZZH-40” seperti yang terlihat pada
Tabel IV-11.
119
Tabel IV-11.
Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40”
Depth
(ft)
Casing
Size
(in)
Problem
Indicated
Borehole
Stability
Mud
Weight
Actual
(ppg)
Mud Weight
Recommended (ppg)
Interval
MW Min Max
Surface-
1284 13 3/8 - - 9.625 8.9-11.8 8.9 11.8
1284-3105
10 3/4
- - 9.625
10-11.6
10 11.6
3105-3463 Caving MW<SFG 9.625 10 11.6
3540-3793 Caving MW<SFG 9.625 10 11.6
4369-4925 - - 10 10 11.6
4925-5814
7 - -
10
9.2-11.9
9.2 11.9
5814-6083 9.625 9.2 11.9
6083-6489 9.759 9.2 11.9
6489-7000 9.892 9.2 11.9
120
Gambar 4.15.
Desain Mud Weight Optimum
4.1.12. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40”
Setelah menentukan mud weight optimal, maka selanjutnya dapat
digunakan untuk menentukan casing setting depth. Menurut Zoback perencaan
casing setting depth menggunakan analisa geomekanik menggunakan empat data
tekanan, yaitu pore pressure, collapse pressure/shear failure gradient, minimum
horizontal stress dan fracture pressure.
Penambahan safety factor dalam mud weight diperlukan untuk
menantisipasi kenaikan tekanan dari drilling fluid akibat adanya efek swab dan
surge pada saat penurunan maupun pencabutan casing. Penambahan densitas
lumpur sebesar 0.3 ppg sehingga didapatkan desain casing setting depth seperti
yang terlihat pada Gambar 4.16., hasil plot yang didapatkan adalah 3 trayek
casing untuk membor sampai target kedalalaman yaitu 7000 ft.
121
Penempatan surface casing ukuran 13 3/8 inch pada Sumur “ZZH-40”
pada kedalaman 1284 ft pada Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan
sandstone. Karena tidak lengkapnya data coring, sehingga pertimbangan
penempatan surface casing dilihat dari hasil plot tekanan sebelum tekanan formasi
bertambah tinggi.
Casing Intermediate ukuran 10 3/4 inch ditempatkan pada kedalaman 4925 ft
pada Formasi Bekasap (Sihapas Group), berdasarkan data coring, lithologi pada
kedalaman tersebut adalah sandstone. Casing diletakkan pada kedalaman setelah
terjadinya overpressure.
Production Casing dipasang dari permukaan sampai Target Depth.
Production casing ukuran 7 inch ditempatkan di TD yaitu 7000 ft pada Formasi
Pematang dengan lithologi batuan shale.
Gambar 4.16.
Perencanaan Casing Setting Depth
122
Tabel IV-12.
Perencanaan Casing Setting Depth
Casing Casing Size
(in)
Depth
(ft) Lithologi
Formasi at
Casing Shoe
Surface 13 3/8 1284 Shale sisipan
Sandstone Petani
Intermediate 10 3/4 4925 Sandstone Bekasap
(Sihapas Group)
Production
Casing 7 5/8
7000
(TD) Shale Pematang
123
BAB V
PEMBAHASAN
Perencanaan Mud Weight dan Casing Setting Depth berdasarkan prediksi
pore pressure dan safe mud window pada Sumur “ZZH-40”, dilakukan dengan
menggunakan analisa geomekanik untuk menentukan profil tekanan bawah
permukaan. Tekanan bawah permukaan yang perlu diketahui untuk membuat safe
mud window adalah pore pressure, fracture pressure, overburden pressure,
minimum dan maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Model safe
mud window didapatkan dari pengolahan data gamma ray log, density log dan
sonic log dengan menggunakan drillwork software. Safe mud window nantinya
akan digunakan untuk penentuan mud weight optimal dan casing setting depth
pada pemboran sumur “ZZH-40” dan juga sumur-sumur sekitarnya, sehingga
dapat menjadi acuan untuk operasi pemboran selanjutnya.
Mud weight optimal merupakan range densitas lumpur agar pemboran tidak
mengelami masalah seperti loss circulation, kick ataupun caving. Mud weight
optimal sesuai dengan safe mud window yaitu lebih dari shear failure gradient
tetapi kurang dari minimum horizontal stress. Apabila mud weight kurang dari
shear failure gradient makan akan terjadi caving, dan apabila mud weight lebih
dari minimum horizontal stress maka akan terjadi loss circulation.
Penentuan desain casing setting depth selain berdasarkan pada safe mud
window juga didasarkan pada lithologi formasi yang dilalui dan hole problem.
Formasi untuk dudukan casing haruslah formasi yang kuat. Penempatan casing
juga harus berfungsi untuk menutupi zona yang rawan terhadap problem, seperti
caving, loss circulation dan sloughing. Penempatan casing shoe harus menutup
formasi bertekanan tinggi untuk menghindari blowout dan casing string terjepit.
5.1. Analisa Geopressure Sumur “ZZH-40”
Langkah pertama sebelum mengetahui profil tekanan bawah permukaan
Sumur “ZZH-40” perlu diketahui terlebih dahulu formasi-formasi yang ditembus
124
pada pemboran Sumur “ZZH-40” yaitu Formasi Minas dengan batupasir sisipan
batu lempung, Formasi Petani terdiri dari shale sisipan batupasir, Formasi Telisa
dengan lithologi shale, Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan batupasir
sisipan shale, batu gamping tipis dan lapisan tipis batubara, Formasi Pematang
terdiri dari shale. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel II-1.
Data-data pendukung yang diperlukan dalam analisa geomekanik adalah well
report dan wireline log yang terdiri dari gamma ray log, density log dan sonic log,
untuk validasi hasil perhitungan menggunakan data formation test (LOT) dan mud
weight actual. Dari data-data log yang diolah menggunakan drillwork software
dan telah dikalibrasi dengan data validasi akan menghasilkan profil tekanan
bawah permukaan yang terdiri dari pore pressure, fracture pressure, overburden
pressure, minimum dan maximum horizontal stress dan shear failure gradient.
Dalam menentukan profil tekanan bawah permukaan menggunakan
drillwork software, setelah melakukan input data-data log (gamma ray log, density
log dan sonic log) langkah selanjutnya yaitu membuat shale base line dari gamma
ray log untuk memisahkan zona shale dan non shale. Zona yang berada disebelah
kanan shale line merupakan formasi shale, sedangkan zona yang berada
disebelah kiri shale line merupakan formasi non shale.
Analisa geopressure pertama dilakukan dengan menentukan overburden
gradient. Overburden gradient dapat ditentukan dengan menggunakan data bulk
density dengan menggunakan Metode Gardner dan mengkalibrasikannya dengan
sonic log. Penggunaan metode Gardner memiliki hasil yang mendekati dengan
data density log. Hasil bulk density metode Gardner dan pengkalibrasian dengan
sonic log menghasilkan RHOB Composite, yang nantinya digunakan dalam
perhitungan overburden gradient. Perhitungan overburden gradient merupakan
dasar dalam analisa geomekanik dan tahapan analisa selanjutnya. Langkah
selanjutnya sebelum menentukan pore pressure adalah terlebih dahulu
menentukan overpressure mechanism yang terjadi. Penentuan mekanisme
overpressure dilakukan dengan membuat Normal Compaction Trend (NCT) pada
sonic log dan disandingkan dengan density log kemudian dibandingkan dengan
teori loading/unloading mechanism.
125
Overpressure Generating Mechanism yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”
adalah Loading Mechanism dapat dilihat pada Gambar 4.6.-4.10. Overpressure
terjadi pada kedalaman 1284-4866 ft, parameter sonic log,density log dan effective
stress menunjukkan nilai yang konstan penyebab overpressure ini adalah
disequilibrium compaction, pada kedalaman tersebut merupakan perselingan
antara shale dan sandstone. Penyebab adanya kenaikan tekanan (overpressure)
tersebut disebabkan oleh sandstone yang memiliki porositas cukup besar dan
bersifat permeabel kemudian terjadi proses sedimentasi dengan jenis batuan yang
memiliki permebilitas rendah, penyebab disequlibrium compaction juga
dikarenakan adanya seal. Ketika terjadi sedimentasi, fluida yang mengisi pori
batuan akan keluar dari pori batuan karena beban sedimen baru diatasnya, tetapi
apabila batuan memilki permeabilitas yang kecil maka laju alir fluida yang ada di
dalam pori tidak sebanding dengan laju sedimentasi. Ketika fluida yang akan
mengisi pori batuan tidak keluar dari pori batuan, maka akan menyebabkan batuan
tersebut gagal terkompaksi (disequilibrium compaction) dan porositas batuan
tidak berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada kondisi ketika
pembebanan semakin bertambah namun tidak seiring dengan laju fluida yang
keluar dari pori batuan, maka fluida pori menanggung beban sedimen yang ada
diatasnya dan mengakibatkan terjadinya overpressure. Penentuan mekanisme
overpressure ini digunakan untuk memilih metode yang akan digunakan dalam
perhitungan pore pressure.
Analisa pore pressure dilakukan dengan menggunakan Metode Eaton
Sonic. Perhitungan prediksi pore pressure menggunakan data-data log hanya bisa
pada batuan shale atau mudrock. Pada bataun yang bersifat permeable seperti
sandstone atau limestone perhitungan pore pressure didapatkan dari teori
hydraulic yang mengasumsikan bahwa formasi permeable terkoneksi secara
hydraulic dan batuan tersebut tersaturasi (J.J. Zhang, 2019). Hasil yang didapat
seperti yang terlihat pada Gambar 4.9. Kalibrasi data yang digunakan adalah mud
weight actual, karena keterbatasan data, tidak adanya data MDT/FIT atau
connection gas atau trip gas ataupun total gas. Berdasarkan drilling report tidak
terdapat problem kick, sehingga nilai pore pressure kurang dari mud weight
126
actual. Perhitungan menggunakan metode Bowers dan Equivalent Depth
menunjukkan bahwa nilai tekanan pori melebihi mud weight actual, sedangkan
dengan metode Eaton nilai tekanan pori kurang dari mud weight actual, sehingga
metode yang paling sesuai adalah Metode Eaton.
Perhitungan fracture pressure, minimum horizontal stress, maximum
horizontal stress dan shear failure gradient dipengaruhi oleh parameter rock
mechanics seperti compressional velocity (Vp), shearwave velocity (Vs), poisson
ratio, cohesive strength dan friction angel. Maka dari itu perlu ditentukan rock
mechanics terlebih dahulu. Compressional velocity (Vp) ditentukan menggunakan
data dari sonic log, kemudian hasil Vp digunakan untuk menentukan rock
mechanics yang lainnya.
Penentuan fracture pressure menggunakan Metode Mathews & Kelly dan
Metode Eaton. Hasil perhitungan beberapa metode kemuadian dikalibrasikan
dengan data Leak Off Test pada Sumur “ZZH-40”. Hasil yang paling mendekati
data Leak Off Test adalah Metode Eaton. Hasil perhitungan fracture pressure
dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Perhitungan minimum horizontal stress menggunakan metode Mohr-
Coloumb Friction dengan memperhitungkan parameter pore pressure, fracture
gradient dan friction angel. Jenis patahan yang terdapat di Cekungan Sumatera
Tengah adalah sesar mendatar (strike-slip faultI), sehingga penentuan maximum
horizontal stress menggunakan metode Anderson dengan nilai tectonic factor
sebesar 1.2. Menurut Anderson profil tekanan bawah permukaan untuk strike-slip
fault adalah tekanan horizontal maksimum merupakan tekanan yang paling besar
diantara principle stress lainnya, kemudian tekanan overburden berada diantara
tekanan horizontal maksimum dan tekanan horizontal minimum (SHmax
>Sv>Shmin). seperti yang terlihat pada Gambar 4.12.
Penentuan tekanan bawah permukaan yang terakhir adalah shear failure
gradient dengan menggunakan metode Modified Lade Criterion, metode ini
memperhitungkan tiga principle stress yaitu overburden gradient, minimum
horizontal stress dan maximum horizontal stress dan juga parameter cohesive
strength dan friction angel.
127
5.2. Analisa Problem yang Terjadi Pada Sumur “ZZH-40”
Setelah semua profil tekanan bawah permukaan sudah diketahui, plot antara
model safe mud window dan mud weight actual dapat digunakan untuk
mengidentifikasi problem yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”. Berdasarkan data
dari caliper log, terjadi swelling pada kedalaman 2120-2770 ft TVD dan caving
pada kedalaman 3140-3460 ft TVD dan 3540-3800 ft TVD.
Seperti yang dapat dilihat pada hasil plot tekanan bawah permukaan dan
korelasi mud weight actual pada Gambar 4.14., terjadi caving pada kedalaman
3105-3463 ft TVD dan 3540-3793 ft TVD pada Formasi Telisa dengan batuan shale.
Problem ini disebabkan karena mud weight yang digunakan kurang dari shear
failure gradient (MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran
lubang bor. Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight
sehingga MW>SFG.
Selain karena faktor tekanan yang menyebabkan problem caving,
berdasarkan nilai dari brittleness index menunjukkan nilai brittleness index tinggi
atau didominasi oleh batuan yang bersifat high brittle. Sehingga problem yang
terjadi diakibatkan karena foktor tekanan dan juga diakibatkan oleh faktor alami
dari batuan yang bersifat mudah runtuh (brittle).
Selain problem caving, pada pemboran Sumur “ZZH-40” juga terjadi
swelling, pada kedalaman 2126-2770 ft TVD di Formasi Telisa dengan lithologi
shale. Problem swelling tidak dapat diidentifikasi dari Model Geomekanik 1D,
problem ini terjadi karena interaksi antara fluida pemboran dengan formasi yang
kaya akan swelling mineral clay, pada formasi tersebut kemungkinan didominasi
oleh mineral smectit/montmorillonit dan adanya interaksi antara drilling fluid
akan menyebabkan wellbore instability.
Jenis lumpur yang digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah
Gel-Lignite dengan PH sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang
bersifat basa membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi,
sehingga memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan
formasi yang menyebabkan swelling. Water activity yang tinggi disebabkan
karena low salinity dari drilling fluid, sehingga terjadi proses osmosi (aliran air)
128
dari fluida pemboran menuju ke formasi dan mengakibatkan swelling (Ejfaer,
2011). Untuk mengatasi masalah swelling dapat dilakukan dengan menambah
additive yang membuat PH lumpur berkurang sehingga dapat mencegah swelling.
Menurut (Ejfaer, 2011) problem yang sering terjadi pada formasi yang kaya akan
swelling clay minerals berhubungan dengan tekanan tinggi, sehingga untuk
mengatasi masalah swelling dapat dilakukan dengan menambah densitas mud dan
menggunakan additive yang dapat mencegah swelling, seperti sodium silikat, atau
kalsium karbonat atau molekul berantai panjang (glycol, polymer, dll).
5.3. Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” Berdasarkan Safe Mud
Window untuk Menjaga Kestabilan Lubang Bor
Desain mud weight optimal didasarkan pada safe mud window untuk menjaga
kestabilan lubang bor, mud weight harus lebih besar daripada shear failure
gradient tetapi kurang dari minimum horizontal stress. Batas minimum mud
weight optimal didasarkan pada shear failure gradient dan batas maksimum
didasarkan pada minimum horizontal stress. Apabila mud weight kurang dari
shear failure gradient maka akan terjadi caving, apabila mud weight lebih dari
minimum horizontal stress akan terjadi loss circulation. Berdasarkan pada model
safe mud window yang sudah dibuat mud weight optimal pada trayek 13 3/8” dari
surface-1284 ft sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek 10 3/4” pada kedalaman 1284-
4925 ft sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada kedalaman 4925-7000 ft sebesar
9.2-11.9 ppg. Seperti yang terlihat pada Tabel IV-11. dan diperlihatkan model
mud weight optimal pada software drillwork seperti pada Gambar 4.15. Hasil
perencanaan mud weight yang didapatkan dapat menjadi acuan dalam pemboran
sumur-sumur di sekitar Sumur “ZZH-40”. Range hasil evaluasi mud weight
merupakan batasan MW statis dan MW dinamis, dimana nilai Equivalent Static
Density (ESD) tidak lebih kecil dari pada nilai MW rekomendasi terendah dan
Equivalent Circulating Density (ECD) tidak lebih tinggi dari MW rekomendasi
tertinggi.
129
5.4. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40”
Setelah menentukan mud weight optimal, maka selanjutnya dapat digunakan
untuk menentukan casing setting depth. Perencanaan casing setting depth
mempertimbangkan lithologi formasi yang dilalui, regulasi terkait dengan
pemasangan casing, permasalahan pemboran yang terjadi dan tekanan bawah
permukaan sumur tersebut. Menurut (Zoback, 2007) perencaan casing setting
depth menggunakan analisa geomekanik menggunakan empat data tekanan, yaitu
pore pressure, collapse pressure/shear failure gradient, minimum horizontal
stress dan fracture pressure.
Pada sumur “ZZH-40” di Formasi Petani terdapat shale dengan sisipan
sandstone, seperti yang sudah diketahui batuan shale rawan akan caving maupun
sloughing, selain itu pada Formasi Petani dan Formasi Telisa terjadi overpressure
(abnormal pressure) sehingga penempatan casing shoe harus tepat agar mampu
menutupi zona rawan tersebut.
Penambahan safety factor dalam mud weight diperlukan untuk
menantisipasi kenaikan tekanan dari drilling fluid akibat adanya efek swab dan
surge pada saat penurunan maupun pencabutan casing. Penambahan densitas
lumpur sebesar 0.3 ppg sehingga didapatkan desain casing setting depth seperti
yang terlihat pada Gambar 4.16., hasil plot yang didapatkan adalah 3 trayek
casing untuk membor sampai target kedalalaman yaitu 7000 ft.
Penempatan surface casing ukuran 13 3/8 inch pada Sumur “ZZH-40” pada
kedalaman 1284 ft pada Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan
sandstone. Karena tidak lengkapnya data coring, sehingga pertimbangan
penempatan surface casing dilihat dari hasil plot tekanan sebelum tekanan formasi
bertambah tinggi.
Casing Intermediate ukuran 10 3/4 in ditempatkan pada kedalaman 4925 ft
pada Formasi Bekasap (Sihapas Group), berdasarkan data coring, lithologi pada
kedalaman tersebut adalah sandstone. Pertimbangan lain penempatan casing pada
kedalaman tersebut adalah setelah terjadinya overpressure (di bottom
overpressure).
130
Production Casing dipasang dari permukaan sampai Target Depth.
Production casing ukuran 7 inch ditempatkan di TD yaitu 7000 ft pada Formasi
Pematang dengan lithologi batuan shale.
131
BAB VI
KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisa geomekanik untuk perencanaan desain mud weight
dan casing setting depth berdasarkan prediksi pore pressure dan safe mud
window, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Overpressure Generating Mechanism yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”
adalah Loading Mechanism. Overpressure terjadi pada kedalaman 1284-4866
ft, parameter sonic log, density log dan effective stress menunjukkan nilai
yang konstan penyebab overpressure ini adalah disequilibrium compaction
karena ketidakseimbangan antara laju pengendapan dengan laju alir fluida
pori, sehingga menyebabkan batuan gagal terkompaksi (disequilibrium
compaction).
2. Pada kedalaman 3105-3463 ft TVD dan 3540-3793 ft TVD terjadi caving
pada Formasi Telisa dengan batuan shale. Problem ini disebabkan karena
mud weight yang digunakan lebih kecil dari shear failure gradient
(MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran lubang bor.
Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight sehingga
MW>SFG.
3. Pada kedalaman 2126-2770 ft TVD terjadi swelling di Formasi Telisa dengan
lithologi shale. Problem swelling tidak dapat diidentifikasi dari Model
Geomekanik 1D, problem ini terjadi karena interaksi antara fluida pemboran
dengan formasi yang kaya akan swelling mineral clay. Jenis lumpur yang
digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah Gel-Lignite dengan PH
sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang bersifat basa
membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi, sehingga
memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan formasi
yang menyebabkan swelling. Untuk mengatasi masalah swelling dapat
dilakukan dengan menambah additive yang dapat mencegah swelling, seperti
132
sodium silikat, atau kalsium karbonat atau molekul berantai panjang (glycol,
polymer, dll).
4. Desain Mud Weight optimal agar pemboran terhindar dari wellbore instability
berdasarkan safe mud window adalah pada trayek 13 3/8” dari surface-1284 ft
sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek 10 3/4” pada kedalaman 1284-4925 ft
sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada kedalaman 4925-7000 ft sebesar
9.2-11.9 ppg.
5. Perencanaan casing setting depth dengan menggunakan safe mud window
menghasilkan 3 trayek casing, yaitu surface casing 13 3/8” diletakkan pada
kedalaman 1284 ft di Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan
sandstone, intermediate casing 10 3/4” diletakkan pada kedalaman 4925 ft
Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan lithologi sandstone dan production
casing 7” dipasang pada target depth 7000 ft di Formasi Pematang dengan
lithologi shale.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, N. J. (1985). Drilling Engineering Department of Drilling Engineering.
Heriot-Watt University.
Ahmad Washlul Latief. (2020). Evaluasi Penggunaan Interval Mud Weight
Dengan Menggunakan Korelasi Data Log Pada Pemboran Sumur “A-50”
Lapangan AWL Cekungan Jawa Timur Utara. Program Studi Teknik
Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta.
Altamar, Roderick Perez and Marfurt, Kurt. (2014). Mineralogy-based Brittleness
Prediction From Surface Seismic Data : Application to the Barnett Shale.
Society of Exploration Geophysicists and American Association of
Petroleum Geologists. http://dx.doi.org/10.1190/INT-2013-0161.1.
Azadpour, M., & Manaman, N. S. (2015). Determination of Pore Pressure from
Sonic Log : a Case Study on One of Iran Carbonate Reservoir Rocks. Iranian
Journal of Oil and Gas Science and Technology, 4(3), 37–50.
Bai, Mao. (2016). Why are Brittleness and Fracability not Equivalent in
Designing Hydraulic Fracturing in Tight Shale Reservoir. Houston, USA.
https://doi.org/10.1016/j.petlm.2016.01.001.
Baker Huges INTEQ. (2002). Formation Pressure Evaluation. Houston, USA :
Baker Hughes Reference Guide.
BG Group . (2001). Well Engineering and Production Operations Management
System Casing Design Manual. BG Group Reference Guide.
Ejfaer. (2008). Petroleum Related In Marine Environmental Research 2nd
Edition.
Amsterdam: Elsevier B.V. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21601919
Rabia, H. (2002). Well Engineering & Construction Hussain Rabia. 1 to 789.
Ramdham, A. M. (2010). Durham E-Theses Overpressure and Compaction in
The Lower Kutai Basin, Indonesia. Durham University.
Ramdhan, A. M. (2011). The Challenge of Pore Pressure Prediction in
Indonesia‟s Warm Neogene Basins. Proceedings, Indonesia Petroleum
Association Thirty-Fifth Annual Convention&Exhibition.
https://doi.org/10.29118/ipa.261.11.g.141
Solano, Y. P., Uribe, R., Frydman, M., Saavedra, N. F., & Calderón, Z. H. (2007).
A Modified Approach to Predict Pore Pressure Using The D Exponent
Method: An Example from The Carbonera Formation, Colombia. CT y F -
Ciencia, Tecnologia y Futuro, 3(3), 103–111.
T. L. Heidrick and K. Aulia. (1993). Structural and Tectonic Model of the Coastal
Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia. Proceedings of 22nd
Annual Convention Indonesian Petroleum Association (Indonesian
Petroleum Association, Jakarta, 1993)
Zhang, J., & Yin, S. (2017). Real-Time Pore Pressure Detection: Indicators and
Improved Methods. Hindwal Geofluids.
https://doi.org/10.1155/2017/3179617
Zhang, J. J. (2019). Applied Petroleum Geomechanics. Cambridge, Unites State :
Elsevier Gulf Professional Publishing. https://doi.org/10.1016/C2017-0-
01969-9
Zoback, M. D. (2007). Reservoir Geomechanics. United State of America:
Cambridge UniversityPress. https://doi.org/10.18814/epiiugs/2009/v32i3/009
PROBLEM SUMUR “ZZH-40”
1. Swelling
Plot data dari Caliper Log menunjukkan adanya penyempitan lubang bor,
seperti yang terlihat pada Gambar A.1. Terjadi penyempitan lubang bor
(swelling) dari normal size yaitu 12.25 in pada kedalaman 2126-2770 ft .
Gambar A.1.
Plot Grafik Caliper Log dan Swelling
Gambar A.2.
Data Caliper Log dan Problem Swelling
Gambar A.3.
Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan
Gambar A.4.
Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan
Gambar A.5.
Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan
2. Caving (Hole Enlargment)
Plot data dari Caliper Log menunjukkan adanya pelebaran lubang bor, seperti
yang terlihat pada Gambar A.6. Terjadi pelebaran lubang bor (caving) dari
normal size yaitu 12.25 in pada kedalaman 3105-3463 ft .
Gambar A.6.
Plot Grafik Caliper Log dan Caving
Gambar A.7.
Data Caliper Log dan Problem Caving
Gambar A.8.
Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan
Terjadi pelebaran lubang bor (caving) dari normal size yaitu 12.25 in pada
kedalaman 3540-3793 ft seperti yang terlihat pada Gambar A.10.
Gambar A.10.
Plot Grafik Caliper Log dan Caving
Gambar A.11.
Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan
Gambar A.12.
Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan
HASIL PERBANDINGAN METODE
PERHITUNGAN BAWAH PERMUKAAN
Gambar B.1.
Perbandingan Hasil Perhitungan Pore Pressure Metode Eaton, Metode
Bower dan Metode Equivalent Depth
Gambar B.2.
Perbandingan Hasil Perhitungan Fracture Pressure Metode Eaton dan
Metode Mathews & Kelly