perencanaan mud weight dan casing setting depth

173
i PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SKRIPSI OLEH : SITI SEPTIA NUR AZIZAH 113170098 JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2021

Transcript of perencanaan mud weight dan casing setting depth

i

PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH

DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD

WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN

SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA

TENGAH

SKRIPSI

OLEH :

SITI SEPTIA NUR AZIZAH

113170098

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2021

ii

PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH

DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD

WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN

SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA

TENGAH

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Teknik Perminyakan pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas

Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

OLEH :

SITI SEPTIA NUR AZIZAH

113170098

Disetujui Untuk Jurusan Teknik Perminyakan

Fakultas Teknologi Mineral

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Oleh :

Pembimbing 1

Dr. Ir. H. Aris Buntoro., MT.

NIP. 19590318 198303 1 001

Pembimbing 2

Eko Widi Pramudiohadi, ST., MT.

NIP. 19600309 199003 1 001

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya menyatakan bahwa judul dan keseluruhan dari isi Skripsi ini adalah

asli karya ilmiah saya, dan saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun,

konsultasi dengan Dosen Pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini tidak

pernah melakukan penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang lain atau pihak lain

baik karya lisan maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Saya

menyatakan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi saya ini

mengandung unsur jiplakan (plagiasi) dari karya orang lain atau pihak lain, maka

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, di luar tanggung jawab Dosen

Pembimbing saya. Oleh karenanya saya sanggup bertanggung jawab secara

hukum dan bersedia dibatalkan atau dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas

atau Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, dan

diumumkan kepada khalayak ramai.

Yogyakarta, 11 Oktober 2021

Yang menyatakan,

Siti Septia Nur Azizah

Nomor HP : 087848475418

Alamat E-mail : [email protected]

Nama Orang Tua : Syaifudin

Alamat Orang Tua : Jl. Glawan-Salatiga Dusun Pete Desa Sukoharjo Rt.04/02

aKec. Pabelan Kab. Semarang.

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Dengan ini saya persembahkan Skripsi ini kepada Orang tua tericinta yang sangat

kukasihi dan kusayangi serta segenap keluarga yang membatu doa maupun materi

selama saya mencari ilmu di Teknik Perminyakan UPN “Veteran”Yogyakarta. Ibu

Siti Muniswati, Bapak Syaifudin, Mbah Siti Zulaikah terimakasih atas segala doa

dan dukungannya, aku persembahkan skripsi ini untuk kalian.

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat

dan Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH

DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD

WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN

SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA

TENGAH

Perkenankan Penulis untuk memberikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Dr. Mohamad Irhas Effendi, M. S selaku Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta.

2. Dr. Ir. Sutarto, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”

Yogyakarta.

3. Dr. Boni Swadesi, MT, selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan UPN

“Veteran” Yogyakarta

4. Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, MT selaku Dosen Wali.

5. Ir. H. Aris Buntoro, MT selaku Dosen Pembimbing Pertama.

6. Eko Widi Pramudiohadi, ST., MT selaku Dosen Pembimbing Kedua.

7. Staff pengajar dan TU Jurusan teknik Perminyakan UPN “Veteran”

Yogyakarta

8. PT. Geotama Energi, yang telah memfasilitasi data untuk penyususnan skripsi

9. Teman-temang angkatan 2017 PETRONIUS.

10. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang

membangun, supaya dalam penulisan laporan skripsi nantinya akan menjadi

lebih baik.

Yogyakarta,16 September 2021

Siti Septia Nur Azizah

vi

RINGKASAN

Sumur “ZZH-40” merupakan sumur eksplorasi yang berada di Cekungan

Sumatera Tengah. Sumur ini dibor dengan kedalaman akhir 7000 ft TVD. Terjadi

caving pada kedalaman 3105-3463 ft dan 3540-3793 ft di Formasi Telisa dengan

lithologi shale sisipan sandstone. Pada kedalaman 2126-2770 ft di Formasi Petani

dangan lithologi shale terjadi penyempitan lubang bor (swelling).

Perencanaan mud weight dan casing setting depth dengan pendekatan

prediksi pore pressure dan safe mud window didasarkan pada pengolahan data-

data logging, yaitu gamma ray log, density log dan sonic log untuk menentukan

pore pressure, fracture pressure, overburden pressure, minimum horizontal

stress, maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Penarikan garis

pada gamma ray log untuk menentukan zona shale dan non shale yang nantinya

akan mempengaruhi sonic log. Dari data sonic log dan density log digunakan

untuk menentukan overburden pressure. Kemudian plot antara sonic log vs

Normal Compaction Trend disandingkan dengan density log digunakan untuk

menentukan overpressure mechanism yang terjadi. Hasil dari penentuan jenis

overpressure mechanism digunakan untuk pemilihan metode perhitungan pore

pressure. Hasil perhitungan prediksi pore pressure dan fracture pressure masing-

masing divalidasi dengan data DST/connection gas/total gas/trip gas/mud weight

actual dan LOT. Langkah selanjutnya yaitu menentukan minimum horizontal

stress, maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Setelah semua data

geopressure didapatkan, model safe mud window dapat diketahui dan digunakan

untuk menentukan desain mud weight yang optimal, yaitu tidak kurang dari Shear

Failure Gradient dan tidak lebih dari Minimum Horizontal Stress

(SFG<MW<ShG). Setelah mud weight optimal ditentukan langkah selanjutnya

yaitu menentukan casing setting depth.

Berdasarkan hasil evaluasi, problem caving yang terjadi pada kedalaman

3105-3463 ft dan 3540-3793 ft disebabkan karena mud weight actual yang

digunakan lebih kecil dari shear failure gradient. Perencanaan desain mud weight

yang didapatkan dengan pendekatan prediksi pore pressure dan safe mud window

adalah pada trayek 13 3/8” dari surface-1284 ft sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek

10 3/4” pada kedalaman 1284-4925 ft sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada

kedalaman 4925-7000 ft sebesar 9.2-11.9 ppg. Perencanaan casing setting depth

dengan menggunakan safe mud window menghasilkan 3 trayek casing, yaitu

surface casing 13 3/8” diletakkan pada kedalaman 1284 ft di Formasi Petani

dengan lihologi shale dengan sisipan sandstone, intermediate casing 10 3/4”

diletakkan pada kedalaman 4925 ft Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan

lithologi sandstone dan production casing dipasang pada target depth 7000 ft di

Formasi Pematang dengan lithologi shale.

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .............................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

RINGKASAN ....................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3

1.3. Maksud dan Tujuan ........................................................................... 3

1.4. Metodologi Penelitian ........................................................................ 4

1.5. Sistematika Penulisan ....................................................................... 9

BAB II TINJAUAN LAPANGAN “SISNAZ” .................................................. 10

2.1. Letak Geografisa Lapangan “SISNAZ” ........................................ 10

2.2. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah ............................. 11

2.3. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah ......................... 12

2.3.1. Formasi Minas .......................................................................... 14

2.3.2. Formasi Petani .......................................................................... 14

2.3.3. Formasi Telisa .......................................................................... 14

2.3.4. Formasi Kelompok Sihapas ..................................................... 15

2.3.5. Formasi Kelompok Pematang ................................................... 15

2.4. Data Sumur “ZZH-40” ................................................................... 17

viii

DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

BAB III DASAR TEORI ................................................................................... 20

3.1. Tekanan Bawah Permukaan ............................................................. 22

3.1.1. Tekanan Hidrostatik ................................................................. 22

3.1.2. Tekanan Overburden ................................................................. 23

3.1.3. Tekanan Pori ............................................................................ 25

3.1.3.1. Tekanan Pori Normal ........................................................ 26

3.1.3.2. Tekanan Pori Abnormal ..................................................... 27

3.1.3.2.1. Tekanan Pori Sub-Normal (Underpressure) ............ 28

3.1.3.2.2. Tekanan Pori Overpressure ..................................... 29

3.1.3.2.2.1. Loading Mechanism ....................................... 31

3.1.3.2.2.2. Unloading Mechanism ................................... 34

3.1.4. Tekanan Rekah Formasi ............................................................ 42

3.1.5. In-Situ Stress ............................................................................. 45

3.1.5.1. Minimum Horizontal Stress (Shmin) ................................. 49

3.1.5.2. Maximum Horizontal Stress (SHmax) ............................... 51

3.1.6. Shear Failure Gradient ............................................................ 53

3.2. Pengukuran Tekanan Bawah Permukaan ........................................ 56

3.2.1. Wireline Log .............................................................................. 57

3.2.2. Formation Test ......................................................................... 66

3.3. Sifat Mekanika Batuan ..................................................................... 72

3.3.1. Stress (σ) .................................................................................. 72

3.3.2. Strain (ε) ................................................................................... 74

3.3.3. Compressive Strength (Co) ...................................................... 75

3.3.4. Friction Angle .......................................................................... 78

3.3.5. Poisson‟s Ratio (𝑣) ................................................................... 80

3.3.6. Young‟s Modulus (E) ............................................................... 84

ix

DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

3.3.7. Biot‟s Coefficient ....................................................................... 87

3.3.8. Brittleness Index ........................................................................ 89

3.4. Safe Mud Window Concept ............................................................. 91

3.5. Casing Setting Depth ........................................................................ 95

3.5.1. Conductor Casing ..................................................................... 95

3.5.2. Surface Casing .......................................................................... 96

3.5.3. Intermediate Casing ................................................................. 96

3.5.4. Production Casing .................................................................... 97

3.5.5. Liner .......................................................................................... 97

BAB IV PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH

DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN

SAFE MUD WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA

LOG PEMBORAN SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ”

CEKUNGAN SUMATERA TENGAH .......................................... 102

4.1.Analisa Geopressure dan Analisa Geomechanics Mengunakan

Drillwork Software ........................................................................ 102

4.1.1. Input Data ............................................................................... 102

4.1.2. Analisa Shale Line dari Log Gamma Ray ............................. 104

4.1.3. Penentuan Overburden Gradient ............................................ 105

4.1.4. Penentuan Jenis Mekanisme Overpressure .......................... 107

4.1.5. Penentuan Pore Pressure ...................................................... 109

4.1.6. Penentuan Rock Mechanics .................................................. 113

4.1.7. Penentuan Fracture Pressure ................................................ 114

4.1.8. Penentuan Minimum dan Maksimum Horizontal Stress ...... 116

4.1.9. Penentuan Shear Failure Gradient ....................................... 119

x

DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

4.1.10.Analisa Problem Pada Sumur “ZZH-40” yang Berkaitan Dengan

Penggunaan Mud Weight ...................................................... 121

4.1.11.Perencanaan Mud Weight Optimal Sumur “ZZZH-40” ......... 124

4.1.12.Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZZH-40” ....... 126

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 129

5.1. Analisa Geopressure Sumur “ZZH-40” ....................................... 130

5.2. Analisa Problem Pada Sumur “ZZH-40” yang Berkaitan Dengan

Penggunaan Mud Weight.............................................................. 133

5.3. Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” Berdasarkan Safe

Mud Window untuk Menjaga Kestabilan Lubang Bor ................. 134

5.4. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40” .................. 135

BAB VI KESIMPULAN ................................................................................... 137

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Diagram Alir ................................................................................................... 7

1.2. Diagram Alir (Lanjutan) .................................................................................. 8

2.1. Cekungan Sumatera Tengah ......................................................................... 10

2.2. Peta Basement Terranes Cekungan Tersier Sumatera Tengah ..................... 12

2.3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah ........................................................ 13

3.1. Profil Tekanan Bawah Permukaan Pada Sedimen ........................................ 21

3.2. Tekanan Hidrostatik ...................................................................................... 22

3.3. Tekanan Hidrostatik,Uderpressure,Overpressure,Tekanan Overburden ...... 25

3.4. Wellbore Pressure ......................................................................................... 26

3.5. Ilustrasi Tekanan Pori Abnormal (overpressure/underpressure) ................. 26

3.6. Transisi Tekanan Normal Ke Overpressure ................................................. 29

3.7. Respon Effective Stress Pada Mekanisme Pembentuk Overpressure ........... 32

3.8. Karakteristik pengamatan Wireline Log pada Loading Mechanism ............. 33

3.9. Pembentukan Tekanan Ovepressure Akibat Mekanisme Unloading ........... 34

3.10. Karakteristik Pengamatan Wireline Log pada Unloading Mechanism ....... 35

3.11. In-Situ Stress ............................................................................................... 40

3.12. Kondisi Patahan dan Sifatnya ................................................................... 42

3.13. Prinsip Pengukuran Log Densitas ............................................................... 54

3.14. Indikasi Abnormal Pressure dari Shale Density vs Depth .......................... 56

3.15. Shale Resistivity vs Depth .......................................................................... 57

3.16. Typical Leak-Off Test Plot .......................................................................... 58

3.17. Typical Recording of LOT ....................................................................... 60

3.18. Schematic Illustration Extended Leak-Off Test.......................................... 60

3.19. Grafik Formation Integrity Test ................................................................. 61

3.20. Reservoir Pressure vs Depth ...................................................................... 63

3.21. Normal Stress dan Shear Stress ................................................................. 65

3.22. Besar Ketiga Stress Utama dan Arah Rekahan ........................................... 65

xii

DAFTAR GAMBAR

(Lanjutan)

3.23. Strain .......................................................................................................... 66

3.24. Kalsifikasi Compressive Strength Batuan ................................................... 69

3.25. Diagram Mohr-Coulomb Criterion ............................................................ 70

3.26. Pengaruh Kompaksi Terhadap Friction Angle ............................................ 71

3,27. Crossplot Vgrain (∅eff) Vs Friction Angel ................................................... 71

3.28. Poisson Ratio .............................................................................................. 73

3.29. Poission‟s Ratio vs Porosity pada Batuan Karbonat dan Siltstone ............ 73

3.30. Young‟s Modulus ....................................................................................... 76

3.31. Young‟s Modulus dari Uniaxial Stress-Strain Curve ................................ 77

3.32. Young‟s Modulus Pada Berbagai Batuan ................................................... 77

3.33. Kontak Area Fluida Dengan Solid ............................................................ 78

3.34. Hubungan Mud Pressure dan Borehole Failure ....................................... 92

3.35. Safe Mud Window ..................................................................................... 94

3.36. Penentuan Casing Setting Depth .................................................................. 99

3.37. Penentuan Safe Mud Window dan Casing Setting Depth ........................... 101

4.1. Input Data Log ............................................................................................ 103

4.2. Pemilihan Log dan Penyesuaian Unit ......................................................... 103

4.3. Hasil Plot Data-Data Log ............................................................................ 104

4.4. Hasil Penarikan Shale Line dan Log SHPT DT ......................................... 105

4.5. Hasil Plot Overburden Gradient .............................................................. 106

4.6. Overpressure Mechanism Sumur “ZZH-40” .............................................. 108

4.7. Overpressure Mechanism dan Lithologi ..................................................... 109

4.8. Normal Compaction Trend vs Sonic Log ..................................................... 110

4.9. Plot Hasil Perhitungan Pore Pressure ....................................................... 111

4.10.Overpressure Mechanism dan Hasil Plot Pore Pressure ............................ 112

4.11.Plot Hasil Fracture Pressure vs Pore Pressure ......................................... 115

4.12.Hasil Plot Tiga Priciple Stress ................................................................. 117

xiii

DAFTAR GAMBAR

(Lanjutan)

4.13. Hasil Plot Shear Failure Gradient ............................................................ 120

4.14. Indikasi Problem Pada Sumur “ZZH-40” ................................................. 121

4.15. Desain Mud Weight Optimum ................................................................. 126

4.16. Perencanaan Casing Setting Depth ........................................................... 127

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

II-1. Lithologi Sumur “ZZH-40”.......................................................................... 18

II-2. Data Formation Test Sumur “ZZH-40” ...................................................... 18

II-3. Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40” ......................................................... 19

II-4. Problem Pada Sumur “ZZH-40” .................................................................. 19

III-1. Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi .................................. 24

III-2. Stress Regime Pada Berbagai Jenis Patahan Menurut Anderson ................ 46

III-3. Transit Time Matrik Untuk Beberapa Jenis Batuan.................................... 60

III-4. Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi .................................. 62

III-5. Poission‟s Ratio Pada Berbagai Lithologi ................................................... 83

III-6. Modulus Bulk Matriks ................................................................................ 88

III-7. Sifat Batuan Berdasarkan Brittleness Index................................................. 90

IV-1. Data Tekanan Overburden Pasa Sumur “ZZH-40” .................................. 107

IV-2. Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton, Bower . 111

IV-3. Tabel Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton .... 113

IV-4. Hasil Perhitungan Fracture Gradient Menggunakan Beberapa Metode ... 115

IV-5. Hasil Perhitungan Fracture Gradien Menggunakan Metode Eaton ........ 116

IV-6. Hasil Perhitungan Minimum Horizontal Stress ........................................ 118

IV-7. Hasil Perhitungan Maximum Horizontal Stress........................................ 119

IV-8. Nilai Brittelness Index ............................................................................... 122

IV-9. Problem Pada Sumur “ZZH-40” .............................................................. 123

IV-10. Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40” .................................................... 124

IV-11.Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” ....................................... 125

IV-12.Perencanaan Casing Setting Depth ........................................................... 128

xv

DAFTAR LAMPIRAN

A. Problem Pemboran Sumur “ZZH-40”

B. Hasil Perbandingan Metode Perhitungan Tekanan Bawah Permukaan

C. Tutorial Drillwork

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan suatu pemboran sangat ditentukan oleh karakteristik batuan

formasi yang akan ditembus. Maka dari itu, perlu diketahui kondisi bawah

permukaan dengan studi geomekanik agar dapat menghindari permasalahan dalam

pemboran dan mengurangi Non-Productive Time (NPT), sehingga pemboran

dapat berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan. Analisa bawah permukaan

dapat berupa analisa lithologi dan geopressure yang nantinya akan digunakan

untuk menjaga wellbore stability.

Salah satu langkah yang digunakan untuk mejaga wellbore stability adalah

penggunaan densitas lumpur yang sesuai dengan safe mud window. Lumpur

pemboran merupakan faktor penting yang sangat menentukan berhasil atau

tidaknya suatu operasi pemboran. Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah

untuk mengimbangi tekanan formasi dan menjaga kestabilan lubang bor.

Perencanaan densitas lumpur biasanya hanya didasarkan pada pressure window

(pore pressure dan fracture pressure), namun dengan hanya mempertimbangkan

kedua parameter tersebut masih sering dijumpai pemboran yang mengalami loss

circulation maupun caving. Perlu adanya pertimbangan yang lebih mendalam

dalam penentuan densitas lumpur agar tercapainya wellbore stability. Perencanaan

mud weight menggunakan safe mud window memperhitungkan Shear Failure

Gradient (SFG) sebagai batas minimal dan Minimum Horizontal Stress (Shmin)

sebagai batas maksimal densitas lumpur pemboran. Loss circulation akan terjadi

apabila mud weight lebih dari minimum horizontal stress. Sedangkan caving akan

terjadi apabila mud weight kurang dari shear failure gradient.

Dalam menjaga wellbore stability, perencanaan casing setting depth perlu

direncanakan dengan baik, penentuan setting point juga harus memperhitungkan

lithologi formasi yang akan dijadikan dudukan casing, formasi yang akan

dijadikan dudukan casing haruslah formasi yang kuat. Salah satu fungsi casing

2

adalah untuk menjaga lubang bor dari formasi yang bertekanan tinggi, sehingga

penempatan casing shoe juga harus menutup zona overpressure agar terhindar

dari hazard dan blowout. Penempatan casing shoe pada zona bertekanan tinggi

dapat mengakibatkan rangkaian casing terjepit karena penggunaan densitas

lumpur yang terlalu tinggi untuk mengimbangi tekanan formasi yang abnormal.

Selain itu, sebagai salah satu fungsi casing untuk menutup zona yang rawan

problem (caving/swelling/loss circulation), penempatan casing harus mampu

mengisolasi zona rawan problem tersebut.

Berdasarkan data dari caliper log, pada sumur “ZZH-40” terjadi swelling

pada kedalaman 2120-2770 ft TVD di Formasi Petani dengan lithologi shale

sisipan sandstone dan caving pada kedalaman 3105-3463 ft TVD dan 3540-3793

ft TVD di Formasi Telisa dengan lithologi shale. Perlu adanya studi lebih lanjut

dalam mendesain mud weight sesuai dengan safe mud window agar tidak tidak

terjadi permasalahan pemboran. Mud weight yang digunakan harus melebihi

shear failure gradient/collapse pressure agar tidak terjadi caving. Selain itu, pada

Sumur “ZZH-40” terjadi overpressure pada kedalaman 1284-4866 ft. Perencanaan

casing setting depth perlu diperhitungkan dengan tepat mengingat terdapat

problem pemboran dan juga adanya overpressure agar casing mampu menutupi

zona yang rawan problem dan zona overpressure sehingga pemboran dapat

berjalan dengan lancar.

Analisa tekanan bawah permukaan untuk mebuat safe mud window meliputi

pore pressure, overburden pressure, fracture pressure, horizontal stress, dan

shear failure gradient yang nantinya akan sangat berguna dalam menentukan

parameter pemboran. Analisa geopressure didasarkan pada data-data log seperti

Gamma Ray Log, Density Log dan Sonic Log, data-data tekanan formasi yang

diperoleh dari Drill Steam Test dan Leak Off Test dan studi geomekanik.

Setelah dilakukan pengaolahan data dari data-data log sehingga bisa

mendapatkan profil tekanan bawah permukaan, maka model safe mud window

dapat ditentukan. Range antara shear failure gradient dan minimum horizontal

stress merupakan safe mud window. Safe mud window menempatkan shear failure

gradient sebagai batas bawah densitas lumpur dan minimum horizontal stress

3

sebagai batas atas densitas lumpur. Model safe mud window nantinya dapat

digunakan untuk perencanaan casing setting depth dan desain mud weight yang

optimal pada pemboran sumur yang ada di sekitarnya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa jenis Overpressure Mechanism yang terjadi pada sumur “ZZH-40”?

2. Berapa range densitas lumpur yang aman digunakan pada pemboran Sumur

“ZZH-40” agar selama pemboran tidak terjadi problem?

3. Bagaimana Desain Casing Setting Depth yang optimal untuk pemboran

Sumur “ZZH-40”?

1.3. Maksud dan Tujuan

1.3.1.Maksud

Maksud dari penulisan skripsi ini adalah untuk merencanakan mud weight

dan desain casing setting depth optimal pada Sumur “ZZH-40” berdasarkan

korelasi data log dan model geopressure sesuai dengan safe mud window.

1.3.2.Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat mud weight dan desain

casing setting depth yang aman sesuai dengan safe mud window agar pemboran

tidak mengalami problem. Selain itu, bertujuan untuk menjadi acuan operasi

pemboran pada sumur di sekitarnya agar tidak terjadi problem pemboran yang

berkaitan dengan penggunanaan mud weight yang kurang optimal seperti kick,

loss circulation ataupun caving dan kesalahan penempatan dudukan casing

sehingga tercapai kestabilan lubang bor (hole stability).

4

1.4. Metodologi Penelitian

Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk perencanaan casing setting

depth dan mud weight dengan menggunakan pendekatan safe mud window.

Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

a. Data tinjauan lapangan:

- Letak Geografis

- Geologi Lapangan

- Stratigrafi Lapangan

b. Data-data log:

- Gamma Ray Log

- Density Log

- Sonic Log

c. Data Tes Tekanan untuk Kalibrasi :

- Leak Off Test

- Drill Steam Test

d. Data pemboran sumur :

- Litologi

- Drilling Report

2. Pengolahan Data Menggunakan Software Drillwork Predict

a. Analisa Shale Base Line dari hasil rekaman Gamma Ray Log

b. Menentukan Overburden Pressure menggunakan data densitas bulk dari

Density Log.

c. Kemudian menganalisa Normal Compaction Trend pada Sonic Log.

d. Menganalisa Overpressure Mechanism yang terjadi dengan cara memplot

Sonic Log vs kedalaman, apakah mekanisme yang terjadi Loading

Mechanism atau Unloading Mechanism.

e. Melakukan perhitungan Pore Pressure dengan menggunakan persamaan

Eaton Method atau Bower‟s Method atau dengan Equivalent Depth Method

sesuai dengan Overpressure Mechanismnya.

5

f. Validasi hasil perhitunga Pore Pressure dengan data kalibrasi yang tersedia

(Pore Pressure = Data Kalibrasi). Apabila sudah sesuai dapat dilanjutkan ke

tahap selanjutnya.

g. Melakukan perhitungan Fracture Pressure dengan menggunakan persamaan

Hubbert & Willis, Matthews & Kelly dan Eaton menggunakan Poission

Ratio metode Brocher/Ludwig/Zoback & Castagna.

h. Validasi hasil perhitunga Fracture Pressure dengan data kalibrasi yang

diperoleh dari data LOT (Fracture Pressure = LOT). Apabila sudah sesuai

dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

i. Melakukan perhitungan Minimum Horizontal Stress dengan menggunakan

persamaan Mohr-Coulomb pre-existing and purely friction methods.

j. Validasi hasil perhitungan Minimum Horizontal Stress dengan data Fracture

Pressure (Minimum Horizontal Stress < Fracture Pressure). Apabila sudah

sesuai dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

k. Melakukan perhitungan Maximum Horizontal Stress dengan menggunakan

persamaan dari hasil antara Overburden Pressure, Minimum Horizontal

Stress dan hanya dari Minimum Horizontal Stress.

l. Melakukan perhitungan Shear Failure Gradient dengan menggunakan

persamaan Linearized Mohr-Coulomb, Modified Lade Criteration.

m. Validasi hasil perhitungan Shear Failure Gradient dengan data Pore

Pressure (shear failure gradient > pore pressure). Apabila sudah sesuai

dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

n. Membuat geopressure model dengan memplot Pore Pressure, Fracture

Pressure, Overburden Pressure, Horizontal Stress, dan Shear Failure

Gradient.

o. Membuat model Safe Mud Window, yaitu plot Pore Pressure, Fracture

Pressure, Minimum Horizontal Stress dan Shear Failure Gradient/Collapse

Pressure.

p. Menentukan mud weight optimal sesuai dengan safe mud window, yaitu

range densitas lumpur lebih besar dari harga Shear Failure

6

Gradient/Collapse Pressure dan tidak boleh lebih besar dari harga Minimum

Horizontal stress.

q. Menentukan Casing Setting Depth yang sesuai dan disandingkan dengan

lithologi yang ditembus.

Untuk mempermudah dalam memahami maka metodologi tersebut dapat

disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 1.1. dan Gambar 1.2.

7

Gambar 1.1. Diagram Alir

8

Gambar 1.2. Diagram Alir (Lanjutan)

9

1.5. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, sistematika penulisan Skripsi ini dibagi menjadi enam

bab, yaitu :

- BAB I Pendahuluan

Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, maksud dan

tujuan, metodologi dan sistematika penulisan.

- BAB II Tinjauan Umum Lapangan SISNAZ

Membahas mengenai tinjuan umum lapangan yang terdiri dari letak geografis

lapangan, stratigrafi lapangan, serta kondisi geologi lapangan.

- BAB III Dasar Teori

Membahas teori dasar yang berisi teori tekanan bawah permukaan

(geopressure) yang akan digunakan dalam perhitungan dalam Software

Drillworks Predict dan teori dasar dalam penentuan casing setting depth dan

mud weight optimal berdasarkan safe mud window.

- BAB IV Perencanaan Mud Weight dan Casing Setting Depth Dengan

Pendekatan Prediksi Pore Pressure dan Safe Mud Window Menggunakan

Korelasi Data Log Pemboran Sumur “ZZH-40” Lapangan “SISNAZ”

Cekungan Sumatera Tengah

Membahasa tentang langkah pengerjaan menggunakan Software Drillwork

Predict sampai memperoleh model geopressure dan safe mud window.

Menentukan Desain Mud Weight optimal sesuai dengan safe mud window.

Menentukan Casing Setting Depth yang optimal sesuai dengan model

geopressure dan disandingkan dengan data lithologi formasi.

- BAB V Pembahasan

Pembahasan mengenai perencanaan Desain Mud Weight dan Casing Setting

Depth yang optimal pada pemboran Sumur “ZZH-40”.

- BAB VI Kesimpulan

10

BAB II

TINJAUAN LAPANGAN

2.1. Letak Geografis Lapangan “SISNAZ”

Sumur “ZZH-40” merupakan sumur eksplorasi di Lapangan “SISNAZ”

yang berada di Cekungan Sumatera Tengah. Sumur “ZZH-40” ditajak pada

tanggal 24 Maret 1983 dan selesai pada tanggal 15 April 1983, dengan total

kedalaman 7000 ft. Kedalaman target pada sumur “ZZH-40” berada di Formasi

Pematang. Pemboran Sumur “ZZH-40” akan dibor dan melewati Formasi Minas,

Formasi Petani, Formasi Telisa Formasi Bekasap (Grup Sihapas) dan Formasi

Pematang.

Gambar 2.1.

Cekungan Sumatera Tengah

(Heidrick dan Aulia, 1993)

11

2.2. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah

Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan belakang busur (back arc

basin) yang berkembang sepanjang tepi paparan sunda di baratdaya Asia

Tenggara (Heidrick dan Aulia, 1999). Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman

lempeng Samudra Hindia yang bergerak relatif ke arah Utara dan menyusup ke

bawah lempeng Benua Asia. Interaksi kedua lempeng ini menghasilkan zona

sesar Sumatera (Great Sumatera Fault Zone) atau lebih dikenal dengan sebutan

Sesar Semangko.

Struktur geologi regional Cekungan Sumatera Tengah dicirikan oleh blok-

blok patahan. Sistem blok patahan ini mempunya orientasi penjajaran utara-

selatan membentuk rangkaian horst dan graben. Ada dua pola struktur di

Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola yang lebih tua cenderung berarah

utara-selatan dan pola-pola yang lebih muda yang berarah baratlaut-tenggara.

Cekungan Sumatera Tengah memiliki batuan dasar Pra-Tersier yang dangkal,

sehingga sedimen yang menutupinya sangat mudah dipengaruhi oleh tektonik

batuan dasar dan banyak dijumpai struktur. Posisi tumbukan yang menyudut

antara Lempeng Asia Tenggara dengan Samudera Hindia di Sumatera telah

menimbulkan gaya geser menganan (dextral wrenching fault) yang kuat. Dengan

demikian struktur-struktur yang ada di Cekungan Sumatera pada umumnya

memiliki karakteristik wrench tectonic, termasuk sesar-sesar yang mempunyai dip

besar, seperti upthrust dan flower structure. Struktur-struktur tersebut mempunyai

arah dip timur laut dan jurus baratlaut, sehingga membentuk sudut yang besar

terhadap vektor konvergen. Sumatera Tengah telah mengalami beberapa fase

deformasi yang kompleks dan hal tersebut secara langsung telah mempengaruhi

basin, distribusi batuan induk, perkembangan dan pembentukan reservoir dan

struktur geologinya.

12

Gambar 2.2.

Peta Basement Terranes Cekungan Tersier Sumatera Tengah

(Heidrick et al, 1993)

2.3. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah

Stratigrafi regional didalam Cekungan Sumatera Tengah tersusun dari

beberapa unit formasi dan kelompok batuan dari yang tua ke muda. Batuan dasar

yang berfungsi sebagai landasan Cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi

empat satuan lithologi, yaitu:

1. Kelompok Mutus terdiri dari ofiolit, metasedimen dan sedimen-sedimen

berumur Trias.

2. Kelompok Malaka terdiri dari kuarsit, filit dan intrusi granodiorit,

3. Kelompok Mergui terdiri dari graywacke berumur Kapur, kuarsit dan

batulempung kerikilan.

4. Kelompok Tapanuli terdiri dari batusabak, metasedimen dan filit yang

diendapkan di atas batugamping shelf berumur Devon-Karbon.

Secara tidak selaras diatas batuan dasar diendapkan suksesi batuan-batuan

sedimen Tersier. Stratigrafi Tersier di Cekungan Sumatera Tengah dari yang tua

hingga paling muda adalah Kelompok Pematang, Kelompok Sihapas (Formasi

13

Menggala, Bangko, Besakap dan Duri), Formasi Telisa, Formasi Petani dan

diakhiri oleh Formasi Minas.

Gambar 2.3.

Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah

(Hedrick dan Aulia, 1993)

2.3.1. Formasi Minas

Formasi minas diendapkan secara selaras diatas Formasi Petani. Formasi

ini terdiri dari lapisan yang di dominasi oleh batupasir dan terkadang muncul

14

lapisan tipis batulempung. Dijemput butiran sekunder terdiri dari vulkanik,

karbonatan dan fragmen litik, glaukonit serta terkadang mineral mafik. Formasi

Minas berumur Miosen hingga Pliosen dan diendapkan pada lingkungan deltaic.

2.3.2. Formasi Petani

Formasi Petani diendapkan secara selaras diatas Formasi Intra Petani.

Formasi Petani berumur Miosen diendapkan pada lingkungan marine. Formasi

Petani diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai dan ke atas sampai

lingkungan delta yang menunjukkan regresi air laut. Formasi Petani terdiri dari

batupasir, batulempung, dan batupasir gloukonitan dan batugamping yang

dijumpai pada bagian bawah dari seri sedimen tersebut, sedangkan batubara

banyak dijumpai pada bagian atas dan terjadi pada saat pengaruh laut semakin

berkurang. Karena di bawah Formasi Petani terdapat batulempung Telisa yang

tebal, maka hidrokarbon yang berada pada batupasir Petani tidak komersial.

2.3.3. Formasi Telisa

Formsi Telisa diendapkan secara selaras diatas Formasi Sihapas. Formasi

ini didominasi oleh batu lempung dan diselingi oleh lapisanbatu lanau, batu

gamping serta batupasir. Formasi Telisa berumur Miosen diendapkan pada

lingkungan pengendapan marine. Formasi Telisa yang terbentuk pada

lingkungan neritik luar yang menunjukkan periode penggenangan maksimum

laut di Sumatera Tengah. Formasi Telisa merupakan suatu batuan penutup

(sealing) regional bagi Kelompok Sihapas. Tebal formasi ini lebih dari 9000

kaki. Formasi Telisa berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Batupasir dalam

Formasi Telisa merupakan reservoir yang potensial dan telah diproduksi oleh

beberapa lapangan disekitarnya.

2.3.4. Formasi Kelompok Sihapas

Kelompok Sihapas diendapkan secara tidakselaras diatas Kelompok

Pematang. Unit-unit sedimen merupakan sekuen transgresif yang menyebabkan

15

penenggelaman lingkungan pengendapan darat menjadi fluvial-deltaic.

Kelompok Sihapas terbagi menjadi empat formasi yaitu: Formasi Menggala,

Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri.

Formasi Menggala, merupakan formasi paling tua di Kelompok Sihapas,

diperkirakan berumur Miosen Awal. Litologinya atas batupasir halus

sampai kasar yang bersifat konglomeratan. Lingkungan pengendapannya

berupa Braided river sampai non-marine

Formasi Bangko, berumur sekitar Miosen Awal. Formasi ini diendapkan

secara selaras diatas Formasi Menggala. Litologinya berupa serpih

abu- abu yang bersifat gampingan berselingan dengan batupasir halus

sampai sedang. Lingkungan pengendapanya open marin shelf

Formasi Bekasap, mempunyai kisaran umur Miosen Awal. Formasi ini

diendapkan secara selaras diatas Formasi Bangko. Litologi penyusunnya

berupa batupasir dengan kandungan glaukonit di bagian atasnya serta

sisipan serpih, batu gamping tipis dan lapisan tipis batubara. Lingkungan

pengendapan dari estuarine, intertidal, inner-neritic sampai middle/outer.

Formasi Duri, merupakan bagian teratas dari Kelompok Sihapas. Formasi

Duri diendapkan secara selaras diatas Formasi Bekasap dan diperkirakan

berumur Miosen Awal. Litologinya berupa batupasir berukuran halus

sampai medium diselingi serpih dan sedikit batugamping. Lingkungan

Pengendapan adalah barrier bar complex dan delta front.

2.3.5. Formasi Kelompok Pematang

Kemompok Pematang merupakan batuan induk sumber hidrokarbon

utama bagi perangkap-perangkap minyak bumi yang ada pada Cekungan

Sumatera Tengah. Kelompok Pematang merupakan lapisan sedimen tertua

berumur Peleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift ini diendapkan pada half graben

yang berarah Utara-Selatan dan terdiri dari kupas aluvial, sungai dan danau.

Tidak hadirnya sama sekali foraminifera memberi petunjuk bahwa lingkungan

pengendapan adalah non-marine.

16

Kelompok Pematang terdiri dari lapisan silisiklastik non-marine yang

terendapkan dalam suasana humid dan tropis. Batuan yang mendominasi adalah

termasuk konglomerat, batupasir, batulanau, batulumpur, batu lempung dan

serpih yang terendapkan pada lingkungan aluvial, fluvial, dataran banjir, delta

dan danau. Pada kelompok Pematang sedimen ini berasal dari tinggian

disekelilingnya.

Kelompok Pematang diendapkan secara tidakselaras diatas batuan dasar,

yang terisi oleh sedimen–sedimen fluviatil dan lacustrine yang berumur

Paleogen. Kelompok Pematang dibagi menjadi tiga Formasi:

Formasi Lower Red Bed. Formasi lower red bed merupakan sekuen yang

paling sedikit diketahui dan menutupi daerah terluas dari kelompok

pematang. Terdiri dari batu lempung, batu lanau, batupasir, konglomerat

yang diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem pengendapan kipas

alluvial dan berubah lateral menjadi lingkungan sungai dan danau.

Suatu lingkungan pengendapan aluvial pada satuan lower red bed

meliputi endapan lingkungan aluvial, delta sungai dan danau dangkal.

Formasi Brown Shale. Aktifitas sesar berubah pada saat pengendapan

brown shale, demikian juga dengan iklim yang berubah menyebabkan

lingkungan berkembang didominasi oleh lingkungan danau dalam sampai

lakustrin dangkal dan merupakan batuan induk hidrokarbon. Pembentukan

batuan induk yang bagus pada formasi ini disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu tidak adanya tinggian yang berarti sepanjang sesar yang

membatasi cekungan, penurunan dasar cekungan lebih cepat dari

pengendapan menyebabkan lingkungan danau semakin dalam, sesar yang

berfungsi sebagai batas cekungan mempunyai kemiringan yang landai

sampai sedang dan pada saat Brown Shale diendapkan kondisi tektonik

sedang tidak aktif. Terdiri dari serpih laminasi baik, berwarna coklat

sampai hitam, kaya akan material organik, yang mengindikasikan

lingkungan pengendapan dengan kondisi air tenang. Sistem danau yang

berkembang cukup lama berorientasi utara- selatan ini berkembang di

berbagai subcekungan half graben.

17

Formasi Upper Red Bed. Diendapkan pada tahap akhir inversi minor

dalam lingkungan transisi yang berubah dengan cepat menjadi lingkungan

lakustrin dalam yang diselingi oleh lakustrin yang dangkal. Peningkatan

kecepatan sedimentasi dan suplai klastika menyebabkan cekungan

menjadi penuh dan lingkungan berubah menjadi fluvial dan alluvial.

Terdiri dari litologi batupasir, konglomerat dan serpih merah kehijauan

2.4. Data Sumur “ZZH-40”

1. Nama Sumur : ZZH-40

2. Region : Cekungan Sumatera Tengah

3. Klasifikasi : Sumur Eksplorasi

4. Spud Date : 24 Maret 1983

5. T.D. Reached : 15 April 1983

6. Kedalaman Total : 7000 ft

7. Target : Formasi Pematang

8. Primary Objective : Sihapas (Formasi Bekasap)

Tabel II-1.

Lithologi Sumur “ZZH-40”

(No Name, “Final Well Report”,1983)

Formasi Depth

(ft) Lithologi

Minas 0 Batupasir sisipan shale

Petani 120 Shale sisipan batupasir

Telisa 3222

Batulempung dan diselingi oleh

lapisanbatu lanau, batu gamping

serta batupasir.

Kelompok Sihapas

(Formasi Bekasap) 4410

Batupasir sisipan serpih, batu

gamping tipis dan lapisan tipis

batubara.

Pematang 5796 Batulempung

18

Untuk mengkalibrasi hasil perhitungan geopressure dibutuhkan data uji

tekanan formasi, sehingga dapat menentukan metode persamaan yang sesuai

dengan kondisi yang sebenarnya. Data tekanan formasi yang tersedia pada

pemboran Sumur “ZZH-40” adalah sebagai berikut :

Table II-2.

Data Formation Test Sumur “ZZH-40”

(No Name, “Final Well Report”,1983)

Test Depth

(ft)

Pressure

(ppg)

LOT 1284 12.3

Data Mud Weight Actual Pada Sumur “ZZH-40” disajikan pada Tabel II-3.

berikut :

Tabel II-3.

Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40”

(No Name, “Final Well Report”,1983)

Depth

(ft TVD)

MW

(ppg)

1160 9.625

4369 9.625

4369 10

5814 10

5814 9.625

6083 9.625

6083 9.759

6489 9.759

6489 9.892

7000 9.892

Berdasarkan data caliper log, terdapat problem pemboran, seperti yang

disajikan pada Tabel II-4. berikut :

19

Table II-4.

Problem Pada Sumur “ZZH-40”

(No Name, “Final Well Report”,1983)

Problem Depth

(ft TVD) Formasi Lithologi

Swelling 2126-2770 Petani Batulempung sisipan

sandstone

Caving 3105-3463 Telisa Shale

Caving 3540-3793 Telisa Shale

20

BAB III

DASAR TEORI

Analisa tekanan bawah permukaan merupakan hal yang sangat penting

untuk dilakukan dalam pemboran sumur minyak maupun gas bumi. Dengan

diketahuinya geopressure pada suatu lapangan maka dapat digunakan sebagai

pedoman dalam penentuan parameter-parameter pemboran. Analisa terhadap

tekanan bawah permukaan dapat digunakan untuk membuat model safe mud

window pada suatu sumur, sehingga besarnya densitas lumpur yang aman

digunakan pada saat pemboran dapat diketahui. Selain digunakan untuk

menentukan mud weight yang merupakan komponen vital dalam suatu pemboran,

safe mud window juga digunakan untuk mendesain casing, letak casing shoe,

panjang casing, grade casng yang seharusnya digunakan dan lain sebagainya.

Densitas lumpur yang didesain berdasarkan safe mud window dapat

menjaga wellbore stability sehingga tidak akan terdapat problem pemboran seperti

loss circulation, kick, caving dan masalah lainnya. Waktu pemboran akan berjalan

sesuai dengan waktu yang telah direncanakan dan Non Productive Time (NPT)

akan berkurang.

Umumnya densitas lumpur yang diterapkan pada pemboran berdasarkan

pada mud window, sehingga kemungkinan masalah pemboran seperti loss

circulation masih terjadi. Skripsi ini bertujuan untuk merencanakan kembali

range mud weight yang seharusnya digunakan berdasarakan pada pendekatan safe

mud window, yaitu lebih besar daripada shear failure gradient dan kurang dari

minimum horizontal stress dan perencanaan casing setting depth. Hasil dari

perencaanan mud weight berdasarkan safe mud window dan casing setting depth

dapat diguakan untuk pemboran sumur disekitarnya.

21

3.1. Tekanan Bawah Permukaan

Tekanan yang berada di bawah permukaan bumi terdiri atas beberapa jenis.

Tekanan tersebut secara langsung mempengaruhi aktifitas pemboran hingga

produksi minyak dan gas bumi, tekanan tersebut adalah:

1. Tekanan Hidrostatik

2. Tekanan Overburden

3. Tekanan Pori atau Tekanan Formasi

4. Tekanan Rekah Formasi

5. Horizintal Stress (Minimum Horizontal Stress dan Maximum Horizontal

Stress)

6. Shear Failure Gradient

Gambar 3.1.

Profil Tekanan Bawah Permukaan Pada Sedimen

(Dutta, 2002)

3.1.1. Tekanan Hidrostatik

Tekanan hidrostatik merupakan tekanan yang diberikan oleh berat suatu

kolom fluida yang statis. Tekanan overburden diakibatkan dari densitas dan

22

ketinggian kolom fluida (Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan hidrostatik dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

Ph = 0.052 × ρfl × D ............................................................................. (3.1)

Keterangan :

Ph = Tekanan Hidrostatik (psi)

ρfl = Densitas Fluida yang mempengaruhi tekanan hidrostatik (ppg)

D = Kedalaman dimana tekanan hidrostatik diukur (ft)

Tekanan hidrostatik akan bertambah dengan bertambahnya kedalaman

kolom suatu fluida, namun gradien tekanan hidrostastik tidak akan berubah

selama tidak ada perubahan densitas fluida. Tekanan fluida formasi untuk air

tawar yang memiliki densitas 1 gr/cc, nilai gradien tekanan hidrostatiknya sebesar

0.433 psi/ft dan untuk air asin sekitar 0,465 psi/ft.

Gambar 3.2.

Tekanan Hidrostatik

(Rudi Rubiandini, 2012)

Secara umum, gradien tekanan hidrostatik G. 𝑃ℎ (psi/ft) dapat

didefinisikan seperti berikut :

𝐺. 𝑃ℎ = 0,433 𝑥 𝑆𝐺 ............................................................................... (3.2.)

Keterangan :

G.Ph = Gradien Tekanan Hidrostatis, Psi/ft

23

SG = Spesific gravity dari fluida yang mengisi kolom tersebut

0,433 = Faktor konversi dari gram/cc ke Psi/ft

Pada tekanan yang normal air dan padatan di pemboran telah cukup untuk

menahan tekanan formasi. Tekanan hidrostatik atau tekanan normal hidrostatik

akan menjadi acuan dalam menentukan kondisi suatu tekanan pori, yaitu

overpressure atau underpressure (Baker Huges INTEQ, 2002).

3.1.2. Tekanan Overburden

Tekanan overburden atau bias juga disebut vertical stress adalah tekanan

pada kedalaman tertentu yang diakibatkan oleh beban sedimen di atasnya.

Tekanan overburden juga merupakan penjumlahan tekanan yang diakibatkan oleh

matriks-matriks batuan dan fluida yang ada di dalamnya pada suatu kedalaman

tertentu (Rabia, 2002). Dengan kata lain, semakin dalam penimbunan suatu

sedimen maka akan semakin besar tekanan overburden ataupun sebaliknya.

Berdasarkan definisi tersebut, proses perhitungan tekanan overburden

menggunakan densitas bulk yang merupakan fungsi dari densitas matriks,

porositas, dan densitas fluida.

Secara umum perhitungan tekanan overburden dengan density method dapat

dihitung dengan:

Pob = 0,052 × 𝜌𝑏 × 𝐷 ....................................................................................... (3.3)

Keterangan:

Pob = Tekanan overburden, psi

𝜌𝑏 = Densitas bulk, ppg

D = Kedalaman formasi, ft

Menurut Miller’s densitas bulk dari suatu batuan dapat diketahui dengan

menggunakan persamaan berikut :

𝜌𝑏 = ∅ 𝜌𝑓 + (1 − ∅) ........................................................................................... (3.4)

Ketrangan :

∅ = porositas (dec/frac),

𝜌𝑓 = densitas fluida (g/cm³)

𝜌𝑚 = densitas matriks (g/cm³).

24

Berdasarkan konsep tekanan overburden, porositas batuan sedimen akan

berkurang seiring dengan bertambahnya kompaksi atau dengan peningkatan

tekanan overburden. Penurunan nilai porositas juga dipengaruhi oleh

bertambahnya nilai densitas bulk pada batuan yang didapatkan dari density log

(Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan overburden sangat digunakan untuk

perhitungan pore pressure, fracture pressure dan data petrofisik lainnya (Rabia,

2002).

Table III-1.

Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi

(Rabia,“Well Engineering & Construction”, 2002)

Substance Density (gr/cc)

Sandstone 2.65

Limestone 2.71

Dolomite 2.87

Anhydrite 2.98

Halite 2.03

Gypsum 2.35

Clay 2.7 – 2.8

FreshWater 1.0

Sea Water 1.03 – 1.06

Oil 0.6 – 0.7

Gas 0.15

3.1.3. Tekanan Pori

Tekanan pori atau disebut juga dengan tekanan formasi, merupakan

tekanan yang disebabkan oleh fluida yang berada di dalam pori-pori batuan

(Rabia, 2002). Untuk menentukan densitas lumpur yang akan dipakai perlu

diketahui tekanan pori formasi terlebih dahulu.

Tekanan pori atau tekanan formasi pada umumnya dibagi menjadi dua

yaitu tekanan pori normal dan tekanan pori abnormal. Pada kondisi normal,

tekanan pori didefinisikan sebagai tekanan hidrostatik (hydrostatic pore pressure)

25

besaran tersebut dapat berubah sesuai dengan densitas fluida. Tekanan abnormal

adalah tekanan pori kurang atau lebih dari tekanan hidrostatik (J. J. Zhang, 2019).

Tekanan pori abnormal sendiri dibagi menjadi tekanan formasi sub-normal

(underpressure) dan tekanan formasi overpressure. Anomali tekanan abnormal

dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, jika tekanan pori yang bernilai kurang dari

tekanan hidrostatik disebut dengan tekanan formasi sub-normal (underpressure),

sedangkan tekanan pori bernilai lebih besar daripada tekanan hidrostatik maka

tekanan tersebut merupakan tekanan formasi overpressure (J. J. Zhang, 2019).

Gambar 3.3.

Tekanan Hidrostatik, Uderpressure, Overpressure dan Tekanan Overburden

(J.J. Zhang, 2019)

3.1.3.1.Tekanan Pori Normal

Tekanan pori disebut normal apabila tekannanya sama dengan tekanan

hidrostatik. Formasi dengan tekanan fluida normal, tekanan pori mengikuti

tekanan hidrostatik yang dipengaruhi oleh densitas fluida yang mengisi pori dan

kedalaman (J. J. Zhang, 2019). Kondisi ini terjadi ketika porositas batuan semakin

kecil dengan bertambahnya kedalaman akibat efek kompaksi. Untuk menjaga

keseimbangan dalam formasi maka terdapat fluida yang keluar melalui pori dan

tidak ada yang menghalangi jalan keluarnya fluida tersebut.

26

Harga tekanan pori normal bervariasi dan dipengaruhi oleh konsentrasi

kadar garam terlarut, jenis fluida, kandungan gas dan gradien temperaturnya

(Rabia, 2002). Gradien tekanan hidrostatik air tawar sebesar 0,433 psi/ft dan

untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft.

Gambar 3.5.

Wellbore Prssure

(Rabia, 2002)

Tekanan pori normal dapat dihitung dengan persamaan:

P𝑝 = 0,052 x 𝜌𝑓 x 𝐷 .......................................................................................... (3.5)

Keterangan:

Pp = Tekanan pori, psi

𝜌𝑓 = Densitas fluida dalam pori, ppg

D = Kedalaman dimana tekanan pori diukur (TVD), ft

3.1.3.2.Tekanan Pori Abnormal

Tekanan formasi abnormal didefinisikan sebagai tekanan yang

menyimpang (lebih besar atau lebih kecil) dari gradient tekanan normal (0.433

psi/ft-0.465 psi/ft). Kondisi tekanan pori abnormal terjadi ketika mekanisme yang

terjadi pada normal pressure tidak terjadi. Tekanan pori yang bernilai kurang dari

tekanan hidrostatik disebut dengan tekanan formasi sub-normal (underpressure).

Sedangkan tekanan pori bernilai lebih besar daripada tekanan hidrostatik dan

27

semakin mendekati tekanan rekah dan overburden maka tekanan tersebut bisa

disebut hard overpressure (Zoback, 2007).

Gambar 3.5.

Ilustrasi Tekanan Pori Abnormal (overpressure/underpressure)

(Amoco, tanpa tahun)

3.1.3.2.1. Tekanan Pori Sub-Normal (Underpressure)

Tekanan pori underpressure adalah tekanan pori yang berada di bawah

gradien tekanan hidrostatik (misalnya, di bawah gradien tekanan 0.433 psi/ft).

Tekanan sub-normal dapat diakibatkan karena sebab alami yang berhubungan

dengan stratigrafi, sejarah tektonik dan geo-kimia di suatu daerah. Biasanya

kondisi ini terjadi akibat di dalam formasi tersebut telah dilakukan

eksploitasi/produksi hidrokarbon (depleted reservoir) sehingga kondisi

tekanannya di bawah normal (Rabia, 2002). Pada kondisi ini, tekanan inisial dari

batuan reservoir sudah terkuras akibat dari aktivitas produksi diperiode

sebelumnya, yang sering disebut juga sebagai lapangan “mature”. Akan tetapi,

penyebab utama dari tekanan pori underpressure adalah aktifitas produksi.

Secara konsep, tekanan yang membebani tekanan pori adalah tegangan

litostatik (total stress/vertical stress/overburden stress/Sv). Tegangan litostatik

merupakan tegangan yang mengenai suatu formasi pada kedalaman tertentu akibat

berat total dari batuan dan fluida yang berada di atas kedalaman tersebut (Zoback,

28

2007).. Tegangan litostatik merupakan kombinasi dari densitas matriks, porositas,

dan densitas fluida yang terkandung didalam pori. Dengan mengacu bahwa

densitas massa batuan rata-rata (average bulk density) dibawah 4 hingga 5 km

adalah 2,3 g/cm3, maka dapat ditentukan bahwa gradien litostatik adalah 1 psi/ft.

Selain menekan batuan secara vertikal, tegangan litostatik juga memberikan

tegangan horizontal pada batuan disekitarnya. Pada kondisi normal, tegangan

horizontal (SH dan Sh) memiliki besaran yang sama. Namun pada daerah

pemboran yang berdekatan dengan struktur masif seperti salt dome atau pada

daerah tektonik aktif, tegangan horizontal akan memiliki nilai yang berbeda yaitu

tegangan minimum (Sh) dan tegangan maksimum (SH) (Zoback, 2007).

3.1.3.2.2. Tekanan Pori Overpressure

Tekanan pori overpressure adalah tekanan formasi yang berada di atas

gradien tekanan hidrostatik normal (di atas gradien tekanan 0.433 psi/ft).

Lingkungan pengendapan yang dapat mengakomodasi kondisi overpressure

umumnya adalah delta dan laut dalam. Tekanan ini terjadi pada hampir seluruh

formasi di dunia, mulai dari umur senozoik hingga paleozoik. Tekanan yang

overpressure sulit untuk terdistribusi secara cepat dan kembali ke tekanan yang

normal jika tidak mengalami keadaan tertentu. Tekanan abnormal akibat aktifitas

tektonik dapat berlangsung secara tiba-tiba dan berkurang secara cepat jika terjadi

pelepasan tekanan melalui rekahan atau bidang sesar. Penyebab terjadinya

tekanan abnormal tinggi karena adanya aktifitas tektonik seperti sesar, perlipatan,

dan lainnya. Tekanan abnormal juga berkaitan dengan sekat (seal) dan terbentuk

pada suatu periode sedimentasi, kompaksi atau tersekat fluida dalam suatu lapisan

yang dibatasi oleh lapisan yang impermeable (Zoback, 2007).

Pada umumnya tekanan yang overpressure disebabkan oleh sedimen

yang gagal terkompaksi secara normal. Batuan yang gagal untuk terkompaksi

adalah batuan yang gagal untuk mengeluarkan fluida dari sistem. Kompaksi

abnormal akan terjadi jika pertambahan berat beban diatasnya tidak menyebabkan

berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak mengecil karena fluida didalamnya

tidak bisa terdorong keluar (Rabia, 2002). Tersumbatnya fluida didalam ruang

29

pori disebabkan karena formasi itu terperangkap didalam formasi lain yang

menyebabkan permeabilitas sangat kecil.

Tekanan overpressure harus diestimasi secara tepat agar tidak

mengakibatkan kejadian yang merugikan aktifitas pemboran hingga produksi

minyak dan gas bumi, seperti kick, mud loss, hingga blowout.

Gambar 3.6.

Transisi Tekanan Normal Ke Overpressure

(Mark D. Zoback, 2007)

Overpressure dapat terjadi dari beberapa mekanisme, seperti

disequlibrium compaction (undercompaction), hydrocarbon generation dan gas

cracking, aquathermal expansion, kompresi tektonik (lateral stress), transformasi

mineral, osmosi dan hidrokarbon buoyancy (J. J. Zhang, 2019). Hanya

overpessure yang nilainya kecil disebabkan oleh hidrokarbon buoyancy, hydraulic

head dan osmosis (A. M. Ramdham, 2010).

Tekanan overpressure dengan magnitudo yang besar diakibatkan oleh

2 mekanisme, yaitu loading mechanism dan unloading mechanism. Pada loading

30

mechanism, peningkatan tekanan terjadi pada satu atau lebih komponen keadaan

principal stress, sedangkan unloading mechanism terjadi akibat dari terjadinya

penurunan harga effective stress (Ramdhan, 2018).

Effective stress merupakan tekanan yang diakibatkan oleh jarak antar

butir suatu batuan (Ejfaer, 2011). Selain itu, effective stress juga didefinisikan

sebagai perbedaan tekanan antara tekanan overburden dengan tekanan pori batuan

(A. M. Ramdham, 2010).

Effective stress (𝜎) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

berikut :

𝜎 = Po −Pp ........................................................................................................ (3.6)

Keterangan :

𝜎 = Effective stress (Psi)

Po = Tekanan overburden (Psi)

Pp = Tekanan pori (Psi).

Effective stress merupakan tekanan yang berperan dalam mengontrol

proses pemadatan batuan sedimen. Setiap kondisi pada kedalaman yang

menyebabkan pengurangan tekanan efektif juga akan mengurangi tingkat

pemadatan dan mengakibatkan terjadinya overpressure. Fenomena overpressure

ini adalah keadaan sementara karena fluida pada pori batuan mengalir menuju

negative overpressure gradient (Ramdhan, 2018). Distribusi fluida dari zona

overpressure ini dapat mengakibatkan peningkatan overpressure di zona lain yang

mana sebelumnya memiliki overpressure yang kurang atau bahkan tidak ada

overpressure.

3.1.3.2.2.1.Loading Mechanism

Overpressure yang disebabkan oleh proses pembebanan terjadi akibat

peningkatan tekanan terhadap batuan sedimen.

a. Disequilibrium Compaction

Menurut (A. M. Ramdham, 2010) proses pengendapan sedimen akan

meningkatkan tekanan vertikal atau pembebanan sedimen secara gravitasi.

Kondisi geologi yang mempengaruhi terjadinya overpressure adalah

31

ketika terjadi pengendapan sedimen yang sangat cepat dan dalam jumlah

signifikan dalam waktu yang sangat lama sehingga batuan mengalami

kompaksi yang tidak normal. Proses tersebut berpotensi menyebabkan

tekanan overpressure akibat ketidakseimbangan kompaksi atau

disequilibrium compaction.

Ketika sedimen termampatkan dengan cepat, sedangkan formasi

memiliki peermeabilitas yang kecil, fluida yang mengisi pori batuan harus

mampu menahan berat sedimen yang ada di atasnya dan mengakibatkan

tekanan yang berlebih pada pori batuan dan fluida terperangkap di dalam

pori tersebut. (J. J. Zhang, 2019). Proses ini yang disebut dengan

undercompaction atau disequilibrium compaction.

Pada proses disequilibrium compaction, tekanan overpressure

disebabkan oleh kompetisi yang terjadi antara kecepatan fluida untuk

keluar dari sistem dan kecepatan kompaksi secara vertikal akibat

peningkatan pembebanan gravitasi dari proses sedimentasi.

Ketidakseimbangan antara laju pengendapan dengan proses kompaksi

akan menyebabkan tekanan overpressure. Pada saat sedimen diendapkan,

air formasi akan terdorong keluar dari pori karena beban sedimen baru di

atasnya. Seiring dengan bertambahnya waktu, pembebanan semakin

bertambah dan sedimen semakin kompak. Pada kondisi berbeda, ketika

pembebanan bertambah namun tidak seimbang dengan jumlah air yang

keluar dari pori batuan, maka sebagian air akan terperangkap dalam pori

batuan dan ikut menahan beban sedimen baru, sehingga dikatakan formasi

memiliki tekanan overpressure.

Proses disequilibrium compaction umumnya terjadi pada zona transisi

dari lingkungan yang dominan batupasir ke lingkungan dominan shale,

karena permeabilitas betuserpih/ batulempung yang kecil sehingga fluida

tidak dapat mengalir keluar, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.7.

Gambar 3.7. menunjukkan karakteristik nilai tekanan pori dan

tekanan efektif terhadap mekanisme yang menyebabkan overpressure.

Mekanisme undercompaction atau disequilibrium compaction

32

menyebabkan nilai tekanan efektif akan sejajar dengan tekanan

overburden. Tetapi, mekanisme unloading menyebabkan nilai tekanan

pori akan mendekati tekanan overburden. Hal tersebut disebabkan oleh

mekanisme unloading yang dapat menghasilkan magnitudo tekanan pori

dalam skala besar.

Gambar 3.7.

Respon Effective Stress Pada Mekanisme Pembentuk Overpressure

(Bowers, 2002)

a. Tectonic Loading

Pembebanan tektonik adalah suatu proses peningkatan tekanan secara

lateral akibat kompresi tektonik yang meningkatkan overpressure. Batuan

sedimen bisa terkompaksi secara horizontal maupun vertikal, apabila

fluida pori tidak bisa keluar dari sistem, maka tekanan pori akan

meningkat dan proses kompaksi dari sedimen akan berkurang (A. M.

Ramdham, 2010).

Kompresi tektonik adalah mekanisme untuk menghasilkan tekanan

pori yang tinggi akibat ketidakseimbangan pemadatan jika perubahan

tegangan tektonik skala besar terjadi selama periode waktu geologis yang

singkat (Zoback, 2007).

33

Gambar 3.8.

Karakteristik pengamatan Wireline Log pada Loading Mechanism

(Agus M. Ramdhan & Neil R. Goulty, 2011)

3.1.3.2.2.2. Unloading Mechanism

Mekanisme unloading dapat menyebabkan tekanan overpressure

yang tinggi karena karena transfer beban grain-to-grain yang berhubungan

dengan fluida pori (A. M. Ramdham, 2010). Proses perubahan material solid

matrix menjadi fluida akan secara otomatis meningkatkan tekanan pori, jika

fluida pori tidak bisa keluar dari system (A. M. Ramdham, 2010). Proses ini

terjadi pada lingkungan yang dalam, dimana temperatur juga mengalami

kenaikan, maka fluida akan mengembang. Penambahan volume fluida pada

volume pori batuan yang sama dan pengendapan yang terus berlangsung,

menghasilkan peningkatan tekanan pori. Kedua mekanisme akan menyebabkan

penurunan nilai tekanan efektif. Hal tersebut menunjukkan perbedaan yang

kontras antara mekanisme loading dan unloading, dimana mekanisme loading

tidak menyebabkan penurunan tekanan efektif, tetapi mencegah sedimen untuk

terkompaksi (A. M. Ramdham, 2010). Terdapat beberapa kondisi geologi yang

menyebabkan mekanisme unloading, seperti proses transformasi smektit–illit

pada pembentukan mineral clay, pembentukan hidrokarbon, dan perpindahan

secara lateral maupun vertical (A. M. Ramdham, 2010).

34

a. Clay Diagenesis

Perubahan fisika maupun kimia dari batuan maupun mineral sering

disebut sebagai penyebab overpressure (Baker Huges INTEQ, 2002).

Tekanan bisa diakibatkan dari perubahan batuan yang memiliki dansitas

yang besar dan porous menjadi batuan dengan densitas dan porositas

rendah (Baker Huges INTEQ, 2002). Proses clay diagenesis meliputi

trasformasi smectite-illite melalui dua cara, yaitu pengembangan fluida

pori atau load transfer (J. J. Zhang, 2019).

Gambar 3.9. menunjukkan skematis pembentukan overpressure

akibat ekpansi fluida, yaitu proses transformasi smektit menjadi illit. Pada

proses tersebut terjadi peningkatan tekanan fluida dalam magnitudo yang

besar akibat pelepasan clay bound water pada proses pembentukan mineral

lempung (A. M. Ramdham, 2010). Akibat proses tersebut, nilai tekanan

pori akan mendekati tekanan overburden seiring bertambahnya kedalaman

dan nilai tekanan efektif akan semakin berkurang.

Gambar 3.9.

Pembentukan Tekanan Ovepressure Akibat Mekanisme Unloading

(Ramdhan, 2010)

35

b. Hydrocarbon Generation

Hydrocarbon generation meliputi 2 proses, yaitu transformasi dari

kerogen yang ada di source rock menjadi minyak atau gas, dan cracking

minyak menjadi gas (A. M. Ramdham, 2010). Transformasi kerogen

menjadi gas dan oil cracking yang menyebabkan overpressure disebabkan

karena adanya fluid expansion (A. M. Ramdham, 2010).

Kehadiran hidrokarbon ke dalam fluida pori dapat menyebabkan

gradient tekanan pori dan tekanan pori yang bervariasi, minyak dan gas

memiliki densitas fluida yang rendah dibandingkan dengan air, gas yang

hadir sebagai gas cap ditutupi dengan batuan impermeable, kompresibilitas

ini dapat mengakibatkan tekanna pori yang tinggi dari tekanan pori normal

(Baker Huges INTEQ, 2002).

Pada kedalaman dimana unloading mechanism mulai terjadi di

mudrock, density log terus meningkat ketika sonic log menunjukkan sonic

log trend reveres, dan density sedikit berkurang di bagian akhir (Ramdhan,

2018) seperti yang terlihat pada Gambar 3.10.

Pada Gambar 3.10. diperlihatkan hasil pembacaan log akibat

unloading mechanism. Nilai dari parameter seperti porositas, densitas, dan

transite time tidak akan konstan saat terjadi overpressure. Jika nilai dari

parameter-parameter tersebut tidak konstan, maka dapat disimpulkan

bahwa mekanisme pembentukan overpressure-nya adalah unloading

mechanism.

36

Gambar 3.10.

Karakteristi Pengamatan Wireline Log pada Unloading Mechanism

(Agus M. Ramdhan & Neil R.Goulty, 2011)

Parameter yang digunakan pada perhitungan tekanan pori didapat dari

seismik atau Log. Tekanan pori sangatlah erat hubungannya dengan wellbore

collapse dan gradien rekah, jadi seberapa bagus informasi yang bisa didapat dari

tekanan pori ini maka semakin baik pula model geomekanik yang dapat

digunakan untuk memprediksi borehole collapse.

Tekanan pori dapat diprediksi berdasarkan data sonic log dengan

menggunakan beberapa metode, antara lain:

a. Eaton Method Sonic

Pp = OBG – (OBG – Pn ) (

)n............................................. (3.7)

Keterangan:

Pp = Tekanan pori formasi, psi

OBG = Tekanan Overburden, psi

Pn = Tekanan Pori Normal, psi

∆t Observed = Sonic travel time pada pembacaan log, µsec/ft

∆t Normal = Sonic travel time pada tren kompaksi Normal, µsec/ft.

n = Eaton Exponent, dimensionless

37

Penentuan tekanan pori dari sifat log di lingkungan karbonat selalu

dihadapi masalah karena kompleksitas geologi di lingkungan karbonat. Karbonat

tidak kompak

seragam dengan kedalaman seperti halnya serpih. Penerapan metode prediksi

tekanan pori umum untuk batuan karbonat tidak selalu dapat menghasilkan

prediksi yang tepat. (Weakley,1990) telah mengembangkan sebuah pendekatan

untuk menentukan tekanan pori formasi di lingkungan karbonat memanfaatkan

sonic velocity trend. Weakley menggunakan konsep Eaton, tetapi menggunakan

tren kecepatan gelombang sonik untuk masing-masing bagian pembentukan.

Parameter paling efektif dalam metode Eaton adalah deteksi normal compaction

trend dan konstanta eksponen n, yang awalnya 3 dalam studi Eaton dan

memerlukan modifikasi untuk dapat diimplementasikan di reservoir yang berbeda,

Eaton eksponen kurang dari 3 menunjukkan modifikasi ini dalam formasi

reservoir yang berbeda (Azadpour & Manaman, 2015). Nilai dari Eaton exponent

dapat ditentukan dengan trial n error dengan menggunkan software geomekanik

1D.

b. Bower’s Sonic Method

Untuk bower‟s loading persamaanya adalah:

Pp = OBG – (

)

..................................................................... (3.8)

Sedangkan untuk bower‟s unloading persamaanya adalah:

Pp = OBG − (σmax) (1−u)

(

)

.................................................... (3.9)

σmax = (

)

............................................................................. (3.10)

38

Keterangan :

Pp = Tekanan pori, psi

OBG = Tekanan Overburden, psi

DT = Sonic travel time, µsec/ft

DTml = Sonic travel time pada Vmax, 200 µsec/ft

A, B = Besaran empiris untuk loading.

A, B, U = Besaran empiris untuk unloading.

c. Equivalent Depth Method

Pp = Pn + (OBGA – OBGB) ................................................................. (3.11)

Dimana:

Pp = Tekanan pori, psi

Pn = Tekanan Pori Normal, psi

OBGA = Tekanan Overburden pada kedalaman A, psi

OBGB = Tekanan Overburden pada kedalaman B, psi

Penentuan Tekanan Pori menggunakan parameter pemboran yaitu dengan

menggunakan metode D-exponent. Metodologi eksponen D dikembangkan

dengan tujuan normalisasi tingkat penetrasi dari parameter pengeboran. Metode

ini diusulkan oleh Jorden dan Shirley (1966) berdasarkan persamaan Bingham

(1969), yang dikembangkan untuk mempertimbangkan diferensial efek tekanan

dalam menormalkan tingkat penetrasi. (Rehm dan Mcledon,1971) memodifikasi

persamaan Jorden & Shirley untuk memasukkan berat lumpur, seperti yang

ditunjukkan pada persamaan berikut (Solano et al., 2007) :

Dxc =

x

.............................................................. (3.12)

Keterangan :

Dxc = D-exponent, dimensionless

ROP = Rate of Penetration, ft/h

RPM = Rotation per Minute, rpm

39

WOB = Weight on Bit, lbs

D = Diameter Bit, in

Png = Gradien Tekanan Hodrostatik Normal, ppg

PMW = Tekanan Lumpur, ppg

Persamaan yang digunakan dalam penentuan Pore Pressure menggunakan

Metode D-exponent adalah (J. Zhang & Yin, 2017) :

PP = OBG-(OBG-Png)(

)

............................................................ (3.13)

Dxn = 0.0296 x σv 0.4378

........................................................................ (3.14)

σv = √

.................................................................................. (3.15)

Keterangan :

OBG = Overburden Gradient, ppg

Dxn = D-exponent Normal Compaction Trend, dimensionless

σv = Effective Stress, psi

Vp = Compressional Velocity, ft/s

Prediksi abnormal pore pressure secara real-time dapat dilakukan dengan

menggunkan data LWD resistivity, sonic log, mud gas log dan drilling parameter

lainnya (untuk perhitungan Dxc) (J. Zhang & Yin, 2017). Data kalibrasi lainnya

termasuk data mud logging dan data pemantauan pengeboran, seperti pemantauan

gas (total gas, gas trip, dan connection gas), ROP, PWD (pressure while drilling),

ECD (equivalent circulating density), ESD (equivalent static density),

pemantauan torsi dan drag, cutting dan caving, well flow, dan mud loss. Perubahan

abnormal pada data ini mungkin terkait dengan tekanan pori abnormal, tetapi juga

bisa disebabkan oleh faktor lain (misalnya, perubahan litologi, salinitas, suhu,

ukuran lubang, dan berat lumpur).

a. Indikasi dari LWD Log

Metode utama untuk perhitungan tekanan pori real-time adalah berbasis

log (yaitu, dari resistivitas LWD dan sonic log), log resistivitas dan log

40

sonic biasanya tersedia secara real-time. Aturan umum untuk prediksi

berbasis LWD adalah penurunan resistivitas atau peningkatan nilai

interval transite time dibandingkan dengan NCT merupakan indikasi

abnormal pore pressure (J. Zhang & Yin, 2017).

b. Indikasi secara langsung dari Pore Pressure

Adanya well influx mengindikasikan bahwa nilai mud weight kurang dari

pore pressure, sehingga volume mud pit naik, problem ini merupakan

indikator langsung dari tekanan pori yang tinggi (J. Zhang & Yin, 2017).

c. Indikator dari mud gas

Mud gas merupakan indikator penting adanya overpressure dalam

pemboran, terutama pada formasi shale, karena indikator ini merupakan

metode yang paling baik untuk perhitungan pore pressure pada formasi

shale. Jika gas yang mengalir ke dalam wellbore dengan jumlah yang

besar, akan menyebabkan mud weight berkurang karena densitas gas yang

lebih rendah, hal ini disebut “Gas Cut Mud” (J. Zhang & Yin, 2017).

Densitas yang keluar dari dalam lubang lebih kecil daripada densitas yang

dipompakan, hal ini mengindikasikan adanya abnormal pressure. Apabila

hal ini tidak diatasi maka akan menyebabkan kick atau blowout.

d. Indikator dari Pressure While Drilling (PWD)

Identifikasi terjadinya underbalace drilling atau tidak merupakan teknik

kunci dalam deteksi pore pressure secara real-time. Peningkatan

downhole pressure dan temperature terjadi karena fluida masuk ke dalam

lubang bor. PWD meningkat secara cepat karena kick pada formasi yang

memiliki tekanan dan temperature yang lebih tinggi daripada lumpur (J.

Zhang & Yin, 2017).

e. Indikator dari Wellbore Instability

Adanya wellbore instability mengindiaksikan adanya overpressure, ketika

mud weight kurang dari shear failure gradient, wellbore akan mengalami

kegagalan lubang bor (J. Zhang & Yin, 2017). Indikator lain adanya

kegagalan lubang bor adalah hole enlargement (borehole breakout), hole

closure, tight hole (overpull), high toque, hole fill after trip, hole bridging,

41

hole pack-off dan hole collapse. Beberapa problem disebabkan karena

swelling shale.

3.1.4. Tekanan Rekah Formasi

Tekanan rekah atau fracture pressure merupakan total dari tekanan yang

dapat ditahan oleh formasi sebelum suatu formasi tersebut rusak atau hancur.

Tekanan rekah juga dapat diartikan sebagai tekanan hidrostatik formasi

maksimum yang dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Nilai dari

tekanan rekah harus lebih kecil dari tekanan overburden dan lebih besar dari

tekanan pori.

Persamaan untuk menghitung tekanan rekah yaitu:

Pf = Fr x D ....................................................................................................... (3.16)

Keterangan:

Pf = Tekanan Rekah Formasi, psi

Fr = Gradien Tekanan Rekah, psi/ft

D = Kedalaman, ft

Besarnya gradien tekanan rekah umumnya dipengaruhi oleh tekanan

overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan. Beberapa metode yang

untuk memprediksi tekanan rekah formasi, diantaranya metode Hubert & Willis,

Mathews & Kelly, Eaton dan Anderson et al. Selain itu, gradien tekanan rekah

juga dapat ditentukan dengan melakukan pengujian leak off test (LOT) yang

dilakukan di laboratorium.

Proses pengujian LOT yaitu dengan memberikan tekanan pada sampel

formasi batuan yang dianalisa hingga batuan tersebut akan pecah yang

ditunjukkan oleh kenaikan tekanan terus-menerus lalu mengalami penurunan

secara drastis.

Informasi tekanan rekah sangat penting untuk diketahui. Ada tiga aplikasi

dari nilai tekanan rekah atau gradien rekah, yang pertama untuk penetapan

program pemboran dan kedalaman casing, yang kedua untuk menentukan tekanan

annular maksimum yang bisa di toleransi pada saat mengontrol kick, dan yang

42

ketiga adalah untuk mengestimasi tekanan yang dibutuhkan pada proses hydraulic

fracturing.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung besarnya gradient rekah

formasi adalah:

a. Hubbert & Willis

Dengan menerapkan principal sress, Hubert & Willis beranggapan

minimum horizontal stress merupakan 1/3 sampai 1/2 dari maximum vertical

compressive stress. Sehingga tekanan minimal dilubang bor yang diberikan

harus bisa menahan tekanan minimum dari principal stress. Mereka

menyimpulkan bahwa besarnya tekanan rekah formasi dipengaruhi oleh

besarnya tekanan yang sudah ada (principal stress), geometri lubang bor, dan

besarnya penetrasi dari fluida pemboran. Metode Hubert & Willis dapat

digunakan jika parameter yang dibutuhkan dapat diukur, namun tidak terlalu

valid jika menembus formasi dengan normal fault aktif yang tidak begitu

banyak (Adam, N.J.).

Hubbert & Willis merumuskan formulasi untuk menghitung gradien rekah

sebagai berikut:

Grf =

(1 + 2Gf ) ........................................................................................ (3.17)

Dan untuk menghitung besar tekanan rekah formasi menggunakan metode

Hubbert & Wills adalah sebagai berikut:

F =

+ Pp ............................................................................................. (3.18)

Keterangan :

Grf = Gradien rekah formasi, psi/ft

Gf = Gradien tekanan formasi, psi/ft.

S = Overburden presure, psig

Pp = Pore pressure, psig

F = Fracture pressure, psig.

43

b. Matthews & Kelly

Matriks batuan biasanya berhubungan dengan matrix stress dan bervariasi

dengan derajat kompaksinya (Adam, N.J.). Mathews & Kelly merumuskan

formulasi untuk menghitung gradien rekah dengan mempertimbangkan nilai

koefisien stress efektif melalui persamaan sebagai berikut :

F = K + P ................................................................................................ (3.19)

Keterangan:

F = Tekanan rekah formasi, psi

K = Koefisien Stress efektif, dimensionless

= S – P, psi

Pp = Tekanan pori formasi, psi

c. Eaton

Metode Eaton dapat digunakan untuk menghitung fracture gradient pada

lithologi yang berbeda-beda, karena mempertimbangkan perhitugan Poisson’s

Ratio (J. J. Zhang, 2019). Tekanan rekah formasi menggunakan metode Eaton

dapat dihitung dengan persamaan berikut :

F =

) + Pp ......................................................................................... (3.20)

Keterangan:

F = Tekanan rekah formasi, psi

v = Poisson‟s Ratio (Besar harga pada masing-masing jenis batuan dapat

dilihat pada Tabel III-3.), dimensionless

= S – P, psi

Pp = Tekanan pori formasi, psi

3.1.5. In-Situ Stress

In-situ stress adalah tegangan asli pada batuan sebelum dilakukan

penggalian atau gangguan lainnya. In-situ stress juga disebut far-field stress.

Sebagai contoh, keadaan tegangan sebelum lubang bor dibor ditunjukkan pada

Gambar 3.11. adalah keadaan in-situ stress. Terdapat 3 tiga tegangan utama dari

44

In-situ stress, yaitu tegangan vertikal (satu komponen,Sv) dan horizontal (dua

komponen, Shmin danSHmax) (J. J. Zhang, 2019).

Gambar 3.11.

In-Situ Stress

(Jon Jincai Zhang, 2019)

Pembuatan model safe mud window pada suatu sumur guna menjaga

wellbore stability tidak cukup hanya mengetahui tekanan hidrostatik, tekanan

pori, tekanan overburden dan juga tekanan rekah. Hal lain yang perlu diketahui

dan diperhitungkan adalah mengetahui besarnya shear failure atau collapse

pressure. Dalam perhitungan shear failure atau collapse pressure perlu

mengetahui nilai dari in-situ stress yaitu minimum horizontal stress dan maximum

horizontal stress.

Pemahaman tentang konsep in-situ stress perlu dilakukan terlebih dahulu.

Dalam hal ini menerapkan konsep-konsep untuk kerak bumi, akan sangat

membantu untuk mempertimbangkan besaran stress terbesar, menengah, dan yang

paling utama di kedalaman tertentu (S1, S2, dan S3) dalam hal ini Sv, Shmax dan

Shmin dengan cara yang awalnya diusulkan oleh E. M. Anderson.

Skema Anderson mengklasifikasikan sebagai daerah yang dikategorikan

dengan normal, strike-slip dan reverse faulting tergantung pada:

45

1. Kerak bumi bergerak dan mengakomodasi adanya hanging wall yang

bergerak naik dan footwall yang berada dibawah patahan.

2. Kerak bumi saling bergeser secara horizontal satu sama lain sepanjang

strike-slip vertikal

3. Kerak bumi dalam kompresi dan bergerak relatif dangkal.

Tabel III-2.

Stress Regime Pada Berbagai Jenis Patahan Menurut Anderson

(Zoback, 2007)

Regime Stress

S1 S2 S3

Normal Sv SHmax Shmin

Strike-Slip SHmax Sv Shmin

Reverse SHmax Shmin Sv

Gambar 3.12.

Kondisi Patahan dan Sifatnya

(Zooback M. D., 2007)

Menurut Anderson, dari kondisi stress regime diatas dapat diketahui

persamaan untuk mengetahui effective stress pada masing-masing tipe patahan.

Dasar dari persamaan ini adalah adanya in situ stress dari bawah permukaan dapat

dilihat pada persamaan berikut:

46

Normal Faulting

=

≤[(μ

2+1)

1/2+μ]

2 .......................... (3.21)

Strike-Slip Faulting

=

≤[(μ

2+1)

1/2+μ]

2 .......................... (3.22)

Reverse Faulting

=

≤[(μ

2+1)

1/2+μ]

2 .......................... (3.23)

Koefisien friksi (μ ) adalah nilai yang menunjukkan hubungan antara gaya

gesekan antara dua benda dan reaksi yang normal antara objek. Skema klasifikasi

Anderson juga mendefinisikan besaran tegangan horizontal utama sehubungan

dengan stress vertical. Stress vertical (Sv) adalah tegangan maksimum (S1) dalam

normal fault, stress utama menengah (S2) dalam strike-slip dan stress terakhir

(S3) dalam reverse faulting.

Besar stress vertical terutama disebabkan oleh adanya gaya gravitasi.

Suatu lapisan dengan kandungan fluida di dalamnya merupakan penyebab utama

dari stress ini, dan dikenal juga dengan instilah overburden stress. Besar stress

vertical merupakan penjumlahan seluruh stress yang bekerja pada arah vertikal

terhadap batuan, tetapi untuk kebanyakan aplikasi geomekanika, nilai ini

sebanding dengan overburden stress. Integrasi antara densitas batuan yang

terekam pada log densitas dengan besarnya gaya gravitasi menyatakan besarnya

overburden stress yang dialami oleh suatu lapisan pada kedalaman tertentu

(Zoback dkk, 2003). Hal ini bisa dituliskan dengan persamaan :

Sv =∫ 𝜌

dz ..................................................................................................... (3.24)

Keterangan :

Sv = Vertical Stress

ρ = Densitas batuan yang terekam oleh log densitas

g = Nilai akselerasi gravitasi yang konstan

z = Kedalaman dari data log densitas

Berdasarkan klasifikasi skema Anderson, besarnya tegangan utama

horizontal mungkin kurang dari atau lebih besar dari, stress vertical, tergantung

pada kondisi geologi. Pada Gambar 3.11. terlihat bahwa besaran relatif dari

tekanan utama hanya terkait dengan patahan sedang aktif di suatu wilayah. Seperti

diilustrasikan, stress vertical mendominasi faulting di daerah normal (S1 = Sv),

47

dan fault slip terjadi ketika tegangan horizontal minimum (Shmin) mencapai nilai

yang cukup rendah pada setiap kedalaman tertentu tergantung pada Sv dan pori

tekanan. Sebaliknya, ketika kedua tegangan horizontal melebihi stress vertical (S3

= Sv) tegasan horisontal maksimum (SHmax) cukup besar dari stress vertical.

Strike-Slip Faulting merupakan tegangan daerah menengah (S2 = Sv), dimana

tekanan horizontal maksimum lebih besar dari tegangan vertikal dan tegangan

horizontal minimum (SHmax ≥ Sv ≥ Shmin). Dalam kasus ini, faulting terjadi ketika

perbedaan antara SHmax dan Shmin cukup besar.

Dalam banyak masalah yang dihadapi dalam teori mekanika batuan,

pengetahuan tentang besarnya tegangan horizontal maksimum pada suatu

kedalaman sangat penting. Misalnya, penentuan yang akurat SHmax dan Shmin

sangat penting dalam masalah yang berkaitan dengan stabilitas lubang bor seperti

penentuan berat lumpur, well trajectory, casing set poin, dll (Zoback, 2007). Oleh

karena itu, perkiraan yang akurat dari SHmax dan Shmin adalah elemen penting dari

analisa safe mud window untuk menjaga wellbore stability. Hal yang sama berlaku

ketika mencoba untuk menilai shear failure. Seperti yang yang akan dibahas,

penentuan shear failure didasarkan pada pengetahuan dari ketiga principal stress.

3.1.5.1.Minimum Horizontal Stress (Shmin)

Nilai minimum horizontal stress sering diasumsikan sama dengan fracture

gradient, namun nilai minimum horizontal stress dipengaruhi oleh faktor tektonik.

Dari tiga principal stress, nilai minimum horizontal stress dapat diketahui dan

dihitung secara pasti. Metode paling efektif dalam penentuan besar minimum

horizontal stress (Shmin) pada suatu sumur pemboran adalah dengan tes rekahan

hidraulik (mini-frac) (Zoback, 2007). Sayangnya, tes ini tidak selalu dilakukan,

atau kalaupun dilakukan pada casing seats hanya akan didapatkan beberapa data

saja. Tes leak-off konvensional tidak diciptakan untuk menentukan nilai minimum

horizontal stress, tetapi dengan sedikit modifikasi tes ini bisa menjadi extended

leak-off dan memberikan tambahan data menggenai kondisi tekanan yang terjadi

(Ejfaer, 2011). Selain dengan extended leak-off test, untuk mengetahui besarnya

48

minimum horizontal stress dapat dilakukan dengan mengidentifikasi problem lost

circulation dan ballooning (Zoback, 2007).

Nilai dan arah dari minimum horizontal stress menjadi sangat penting

untuk pemboran berarah (directional drilling), karena dengan mengetahui arah

dan besar dari minimum horizontal stress akan memudahkan arah pemboran dan

mencegah terjadinya loss circulation dan pecahnya formasi akibat perencanaan

densitas lumpur yang terlalu besar dari minimum horizontal stress. Ketika terjadi

loss circulation secara signifikan, dapat diartikan terjadi hydraulic fracturing

pada sumur tersebut, mengharuskan mengurangi densitas lumpur agar kurang dari

minimum horizontal stress/fracture gradient (Zoback, 2007).

Para pakar dalam bidang geomekanik saling menyempurnakan tentang

persamaan yang dipakai untuk mencari nilai tersebut. Minimum horizontal Stress

dapat dihitung dengan persamaan:

a. Eaton

Eaton berasumsi bahwa besarnya nilai minimum horizontal stress sama

dengan besar tekanan rekah formasi. Hal tersebut terlihat ketika ia memakai

nilai empirical dengan cara menghitung dari besarnya nilai poisson ratio.

Shmin =

(Sv – Pp) + Pp .......................................................................... (3.25)

Keterangan:

Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi

v = Poisson Ratio, dimensionless

Pp = Tekanan Pori, Psi

Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi

b. Zoback and Healy

Zoback and Healy membuat persamaan minimum horizontal stress

berdasarkan equilibrium friction, dari penelitian yang telah dilakukan mereka

berasumsi nilai dari equilibrium friction adalah 0.6. Sehingga nilai ini dapat

diolah menjadi empirical number yaitu 0.32.

Shmin = 0.32 (Sv − Pp) + Pp ......................................................................... (3.26)

49

Keterangan :

Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi

Pp = Tekanan Pori, Psi

Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi

c. Holbrook

Holbrook membuat persamaan dengan memperhatikan nilai porositas

batuan tersebut. Empirical number didapatkan dari angka 1 yang dikurangi

dengan nilai porositas.

Shmin = (1 − ∅) (Sv − Pp) + Pp .................................................................... (3.27)

Keterangan:

Shmin = Minimum Horizontal Stress, Psi

∅ = Porositas, dimensionless

Pp = Tekanan Pori, Psi

Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), Psi

d. Mohr-Coloumb Friction

Mohr-Coloumb membuat persamaan dengan memperhatikan nilai friction

angle dan correction factor yang disesuaikan dengan keadaan.

Shmin= (1 − Sin(FA)) x k x Sv + Sin(FA)x k x Pp ...................................... (3.28)

Keterangan:

Shmin = Minimum Horizontal Stress, ppg

FA = Friction Angle, degress

Pp = Tekanan Pori, ppg

Sv = Vertical Stress (Overburden Stress), ppg

k = Correction Factor, dimentionless

3.1.5.2.Maximum Horizontal Stress (SHmax)

Besar maximum horizontal stress adalah parameter yang paling sulit

ditentukan dalam penentuan in-situ stress. Parameter ini tidak dapat ditentukan

secara langsung melalui pengukuran. Untuk mengetahui besar dari maximum

50

horizontal stress, harus terlebih dahulu mengetahui besar dari minimum horizontal

stress. Namun, besarannya dapat didekati dan dibatasi berdasarkan kehadiran

breakout dan induced tensile, serta kondisi frictional equilibrium. Pada saat

terbentuk breakout, circumferential stress melebihi kekuatan batuan, sehingga

circumferential stress maksimum akan sama dengan kekuatan batuan (Zoback,

2007).

Tekanan horizontal maksimum (SHmax) memiliki arah orientasi dan

besaran. Pengamatan terhadap rekahan yang terbentuk akibat pengeboran untuk

mengetahui arah maximum horizontal stress telah banyak dilakukan (Barton dkk.,

1998; Castillo dkk., 2000). Kenampakan rekahan akibat pengeboran dapat berupa

breakout maupun induced tensile. Rekahan ini terjadi jika tekanan vertikal

merupakan salah satu bagian tekanan utama dan arahnya relatif sejajar dengan

sumur pengeboran. Arah orientasi maximum horizontal stress (SHmax) dapat

dilakukan dengan mengaplikasikan arah orientasi induced tensile dan breakouts

(Zoback, 2007).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya

maximum horizontal stress ialah persamaan Zoback dengan menggunakan

tektonik faktor. Hal ini didasarkan atas rekahan yang mempunyai kemampuan

mengalirkan fluida ialah rekahan yang cenderung bergerak ketika diberikan

tekanan padanya.

SHmax dapat dihitung menggunakan tektonik faktor dengan persamaan:

SHmax = Shmin + k*(OBG – Shmin) ...................................................................... (3.29)

Keterangan:

SHmax = Maximum Horizontal Stress, psi

Shmin = Minimum Horizontal Stress, psi

k = Tectonic Factor, dimensionless

OBG = Tekanan Overburden, psi

Menurut Zoback dan Anderson nilai k = 0.5 ketika patahan yang terjadi

disekitar lubang bor merupakan Normal fault, k= 1.2 jika patahan merupakan

strike-slip dan k = 1.5 jika Reverse fault.

51

Selain itu, Zoback juga mengemukakan persamaannya sendiri sebagai berikut:

SHmax = 3 x Shmin – 2 x Pp ................................................................................. (3.30)

Keterangan:

SHmax = Maximum Horizontal Stress, psi

Shmin = Minimum Horizontal Stress, psi

Pp = Pore Pressure, psig

3.1.6. Shear Failure Gradient

Shear Failure Gradient atau bisa juga disebut Collapse Pressure Gradient

terjadi ketika tekanan lokal di dinding lubang sumur melebihi nilai ambang yang

tergantung pada kekuatan intrinsic stress batuan dan gaya gesek yang bekerja di

sepanjang bidang shear failure itu (Ejfaer, 2011).

Shear failure dimanifestasikan dengan runtuhnya lubang dinding dan

material yang jatuh ke dalam lubang. Runtuhnya lubang juga dapat disebabkan

oleh efek kimiawi dan oleh tindakan stabilisator. Kerusakan tekan atau geser

dapat terjadi pada beban lumpur tinggi dan rendah. Kenaikan tekanan pori pada

sebuah patahan melalui sebuah fluid injection dapat menyebabkan fault slip

dengan mengurangi effective normal stress (Zoback, 2007).

Shear failure terjadi jika perbedaan antara maximum principle stress dan

minimum principle stress cukup besar. Shear failure awalnya muncul dengan

sendirinya oleh pembentukan retakan geser yang jika digabungkan akan

menghasilkan retakan yang besar. Lokasi zona shear failure di sekitar lubang

sumur tergantung pada besarnya principle stress.

Permasalahan geomekanik sangat berhubungan erat rock strength

beberapa persamaan telah dikemukakan untuk mengetahui rock strength dengan

menggunakan well log. Salah satu parameter yang harus diketahui dalam

menghitung besarnya rock strength adalah Friction Angle (FA). Friction angle

merupakan sudut dari friksi internal batuan. µ merupakan kemiringan dari bidang

failure batuan yang didapatkan dari hasil perhitungan tangensial dari friction

angle/koefisien friksi sedangkan q hanyalah simbol untuk memudahkan

52

perhitungan untuk mengolah data koefisien friksi atau µ yang diperlukan untuk

menghitung mekanika failure batuan pada Linearized Mohr–Coulomb.

a. Linearized Mohr–Coulomb

Secara umum Linearized Mohr–Coulomb criteria dapat ditulis dengan:

SFG = min

+

` ............................................................. (3.31)

σ1 = Co + q σ3 ...................................................................................... (3.32)

Keterangan:

SFG = Shear Failure Gradient, ppg

min = Minimum Effective Stress , ppg

1 = Maximum Effective Stress, psig

3 = Minimum Effective Stress, psig,

Co = 2 So ((µ2 + 1)1/2 + µ) ............................................................... (3.33)

q = [(μi+1)1/2

+ μi]2 = tan

2 (π/4+∅/2) ............................................... (3.34)

Dimana menurut (Zoback, 2007) untuk mendapatkan harga friction angle

didasarkan pada jenis batuan, yang mana terdapat dua jenis batuan yang secara

umum dibahas. Untuk batuan yang didominasi oleh shale digunakan

persamaan:

FA = Sin -1 ((t - 1000)/(t + 1000)) ................................................. (3.35)

(satuan t diubah dari µs/ft menjadi m/s).

Untuk batuan yang dikategorikan shaly sedimentary rocks digunakan

persamaan:

FA = 70 - 0.417 GR ............................................................................. (3.36)

Setelah menghitung harga FA atau friction angle, parameter lain yang

harus dihitung selanjutnya adalah µ atau biasa disebut dengan koefisien friksi.

µi = Tan (FA) ....................................................................................... (3.37)

53

b. Hoek– Brown Criterion

Setelah mempelajari berbagai eksperimen data Hoek dan Brown

menemukan bahwa maximum principal stress dapat dihitung dengan

persamaan:

σ1 = σ3 + Co√

........................................................................ (3.38)

Dimana m dan s adalah konstanta yang tergantung dari sifat batuan itu

sendiri. Dan menurut Hoek dan Brown harga m tergantung pada tipe batuan

dan tergantung pada karakteristik batuan seperti:

- 5 < m < 8 =karbonat (dolomite, limestone, marble).

- 4 < m < 10 = sedimen (mudstone, siltstone, shale, slate).

- 15 < m < 24 = arenaceous rocks (Sandstone, quartzite).

- 16< m <19 = Igneous crystalline rocks (andesite, dolerite, diabase,

rhyolite).

- 22<m<33 = Coarse-grained polyminerallic igneous and metamorphic

rocks

(amphibolite, gabbro, gneiss, granite, norite, quartz-diorite).

c. The Modified Lade Criteration

Metode ini memiliki keuntungan yang mempertimbangkan ketiga

principal stress, tidak seperti metode Mohr-Coulomb, yang hanya

mepertimbangkan SHmax dan Shmin. Hasil dari metode ini nilainya berada

diantara metode Drucker-Pager dan Mohr-Coulomb dan yang mana lebih

akurat memprediksi efek dari principal stress, dibandingkan dengan kedua

metode lainnya. Persamaan umum yang digunakan pada metode Modified

Lade Criteration ini adalah sebagai berikut:

SFG = 27 + ŋ −

........................................................................... (3.39)

ŋ =

................................................................ (3.40)

FA = sin-1

................................................................................. (3.41)

54

𝐶o =

√ ...................................................................................... (3.42)

I1 ’ = (𝜎1 + S) + (𝜎2 + S) + (𝜎3 + S) ...................................................... (3.43)

I3 ’ = (𝜎1 + S)(𝜎2 + S)(𝜎3 + S) .............................................................. (3.44)

S =

........................................................................................... (3.45)

Keterangan:

FA = Friction Angle, degree

Co = Cohessive Stregth, mpa

𝜎1 = Maximum Principle Stress, ppg

𝜎2 = Intermediet Principle Stress, ppg

𝜎3 = Minimum Principle Stress, ppg

SFG = Shear Failure Gradient, ppg

3.2. Pengukuran Tekanan Bawah Permukaan

Untuk menjaga wellbore stability maka perlu dilakukan terlebih dahulu

pengukuran terhadap tekanan bawah permukaan, sehingga dapat menghindari

problem pemboran seperti loss circulation, kick, stuck pipe dll. Metode untuk

pengukuran tekanan bawah permukaan dapat digolongkan menjadi 3, yaitu analisa

data seismik suatu area tertentu, korelasi offset well seperti analisa log, evaluasi

parameter pemboran dan data test atau data produksi, dan melalui evaluasi secara

langsung baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan memonitor parameter

pemboran dan logging selama operasi pemboran pada sumur prospek.

Metode yang paling sering digunakan untuk mengukur tekanan bawah

permukaan adalah menggunakan Wireline Log dan data Formation Test. Log yang

biasanya digunakan untuk mendeteksi tekanan bawah permukaan adalah Gamma

Ray Log, Sonic Log, Density Log dan Resistivity Log. Uji tekanan yang biasa

dilakukan adalah Drill Steam Test dan Formation Integrity Test untuk mengetahui

tekanan formasi dan Leak Off Test untuk mengetahui tekanan rekah formasi.

55

3.2.1. Wireline Log

a. Gamma Ray Log

Evaluasi tekanan pori dapat dilakukan dengan menggunakan MWD

Gamma Ray Log. Metode ini didasarkan pada jenis litologi dan generasi

geopressure, alasan di balik model ini adalah bahwa undercompacted shale

umumnya memiliki porositas yang besar dan volume mineral clay yang lebih

rendah jumlah bila dibandingkan dengan serpih yang biasanya dipadatkan

pada kedalaman serupa.

Dengan bertambahnya kedalaman intensitas sinar gamma cenderung

meningkat saat terjadi pemadatan dan porositas menurun. Beberapa faktor

juga akan mengakibatkan perubahan jumlah sinar gamma, tidak berhubungan

langsung dengan tekanan pori. Perubahan mineralogi dalam

serpih/batulempung dapat mengakibatkan perubahan jumlah sinar gamma

API, tanpa menunjukkan peningkatan tekanan pori. Perubahan dari

montmorillonit ke illite akan menghasilkan peningkatan jumlah sinar gamma

karena peningkatan kandungan kalium dari tanah liat ilit (Baker Huges

INTEQ, 2002). Oleh karena itu, peningkatan konten montmorilonit dengan

kedalaman akan menyebabkan pengurangan jumlah sinar gamma, mungkin

memberikan indikasi palsu tentang meningkatnya tekanan pori.

Gamma Ray Log adalah metoda untuk mengukur radiasi sinar gamma

yang dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan

batuan di sepanjang lubang bor. Prinsip pengukuran Log Gamma Ray, yaitu

mengukur tingkat radioaktivitas alami dari unsur Potasium (K), Thorium (Th),

dan Uranium (U), yang menyusun batuan. Sinar Gamma sangat efektif dalam

membedakan lapisan permeable dan impermeable, karena unsur radioaktif

umumnya banyak terdapat dalam shale dan sedikit sekali terdapat dalam

sandstone, limestone, dolomite, coal, gypsum, dll. Oleh karena itu shale akan

memberikan respon kepada log gamma ray yang sangat signifikan

dibandingkan dengan batuan yang lainnya.

Pengukuran gamma ray log dilakukan dengan menurunkan instrument

gamma ray log kedalam lubang bor dan merekam radiasi sinar gamma untuk

56

setiap interval tertentu. Biasanya interval perekaman gamma ray sebesar 0.5

feet. Dikarenakan sinar gamma dapat menembus logam dan semen, maka

logging gamma ray dapat dilakukan pada lubang bor yang telah dipasang

casing ataupun telah dilakukan cementing. Walaupun terjadi atenuasi sinar

gamma karena casing dan semen, akan tetapi energinya masih cukup kuat

untuk mengukur sifat radiasi gamma pada formasi batuan disampingnya.

Model volume shale menjelaskan hubungan antara pembacaan gamma ray

dan perkiraan volume shale yang dapat dihitung menggunakan rumus berikut

(Kingdom, 2017) :

IGR =

.............................................................................. (3.46)

Volume Shale Linear

Vshale = IGR ......................................................................................... (3.47)

Volume Shale Clavier (digunakan pada batuan Mesozoic)

Vshale = 1,7 –√ ................................................ (3.48)

Volume Shale Steiber (digunakan pada batuan Tersier)

Vshale =

...................................................................... (3.49)

Keterangan:

IGR = Index sinar gamma

GRlog = Gamma ray yang terbaca di log

GRmax = Gamma Ray Maksimum

GRmin = Gamma Ray Minimum

b. Sonic Log

Sonic log merupakan peralatan logging yang dapat digunakan untuk

mengukur porositas batuan. Sonic log merupakan salah satu acoustic log,

karena alat ini mengukur sifat perambatan bunyi yang ada di dalam batuan

dengan cara mengukur interval transite time (ITT). Interval transite time

didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh gelombang suara untuk

merambat didalam batuan fomasi sejauh 1 ft.

57

Prinsip kerja alat ini adalah dengan memancarkan gelombang suara

dengan interval yang teratur dari sebuah sumber bunyi (transmitter), sehingga

gelombang tersebut akan merambat kedalam batuan formasi dengan kecepatan

tertentu yang akan tergantung pada sifat elastisitas batuan, kandungan fluida,

porositas, dan tekanan formasi, kemudian akan diterima oleh alat receiver.

Receiver akan merekam atau mencatat lamanya waktu perambatan bunyi (t) di

dalam batuan formasi. Satuan perambatan bunyi tersebut diukur dalam satuan

microsecond yang dapat dikonversikan dari kecepatan rambat gelombang

suara dalam ft/sec. Hubungan antara litologi dan harga transit time matrik

dapat dilihat pada Tabel III-3.

Tekanan abnormal shale memiliki porositas yang lebih tinggi dan densitas

yang lebih rendah dari keadaan normal (Rabia, 2002). Sonic log pada

geopressured clay akan menunjukkan peningkatan transit time (∆t), akan

meningkatkan porositas dan mnegakibatkan peningkatan gradien tekanan pori

(Baker Huges INTEQ, 2002). Teori evaluasi geopressure kuantitatif

menggunakan sonic log dapat menjadi indikator geopressure yang masuk

akal: peningkatan waktu transit, dengan kedalaman, dalam litologi shale yang

konstan, disebabkan oleh peningkatan porositas dan gradien tekanan pori

(Baker Huges INTEQ, 2002).

Untuk menghitung porositas sonic dari pembacaan log sonic (Wyllie,

1956) mengajukan persamaan waktu rata-rata yang merupakan hubungan

linier antara waktu dan porositas. Persamaan tersebut dapat dilihat di bawah

ini:

∅s =

.................................................................... (3.50)

Keterangan:

ΔtLog = Transite time yang dibaca dari log, µsec/ft

Δtf = Transite time fluida, µsec/ft

Δtma = Transite time matriks batuan, µsec/ft

∅s = Porositas dari sonic log, fraksi

58

Tabel III-3.

Transit Time Matrik Untuk Beberapa Jenis Batuan

(Baker Huges INTEQ, 2002)

Lithologi Δtma (µsec/ft)

Sandstone 55.6

Limestone 47.5

Dolomite 43.5

Anhydrite 50

Gypsum 52.5

Batuan Garam (salt) 67

Air tawar (fresh water) 200

Air asin (100.000 ppm NaCl) 189

Minyak 232

Udara 919

c. Density Log

Density log adalah alat yang digunakan untuk mengukur densitas dan

porositas batuan formasi. Pengukuran density log digunakan untuk

perhitunngan overburden gradient yang nantinya dapat digunakan untuk

penentuan pore pressure. Selain itu density log juga dapat digunakan untuk

mendeteksi kandungan fluida yang ada pada batuan tersebut.

Plot dari density log seharusnya semakin meningkat dengan bertambahnya

kedalaman. Ketika memasuki zona overpressure di formasi shale, kurva

density log akan berkurang, jika lithologi konstan, indikator tersebut

menunjukkan bertambahnya porositas (Baker Huges INTEQ, 2002). Tekanan

pori pada zona overpressure dapat dihitung dengan menggunakan density log

pada formasi clean sand.

Prinsip kerja density log adalah dengan jalan memancarkan sinar gamma

dari sumber radiasi sinar gamma yang diletakkan pada dinding lubang bor.

Pada saat sinar gamma menembus batuan, sinar tersebut akan bertumbukkan

dengan elektron pada batuan tersebut, yang mengakibatkan sinar gamma akan

59

kehilangan sebagian dari energinya dan yang sebagian lagi akan dipantulkan

kembali, yang kemudian akan ditangkap oleh detektor yang diletakkan diatas

sumber radiasi. Intensitas sinar gamma yang dipantulkan tergantung dari

densitas batuan formasi.

Gambar 3.13.

Prinsip Pengukuran Log Densitas

(Anshari, F., 2016)

Interpretasi log Densitas dilakukan dengan mengamati karakteristik grafik

yang akan mengalami defleksi ke nilai yang lebih rendah apabila melalui

suatu yang mengandung fluida berupa gas, sedangkan akan mengalami

defleksi ke arah nilai yang lebih tinggi apabila melalui suatu yang

mengandung fluida air maupun fluida minyak. Formasi dengan densitas tinggi

akan menghasilkan jumlah elektron yang rendah pada detektor. Densitas

elektron merupakan hal yang penting disini. Hal ini disebabkan yang diukur

adalah densitas elektron, yaitu jumlah elektron per cm3 . Densitas elektron

akan berhubungan dengan densitas batuan sebenarnya, ρb, yang besarnya

tergantung pada densitas matriks, porositas, dan densitas fluida yang mengisi

pori-porinya. Seperti yang disajikan pada Tabel III-4.

60

Tabel III-4.

Daftar Densitas Matriks Batuan dan Fluida Formasi

(Baker Huges INTEQ, 2002)

Lithologi ρma (gr/cc)

Sandstone 2.65

Limestone 2.71

Dolomite 2.85

Anhydrite 2.96

Gypsum 2.32

Air tawar (fresh water) 1.00

Air asin 1.10

Minyak 0.85

Hubungan antara densitas batuan dengan porositas dan litologi batuan

dapat dinyatakan pada persamaan berikut:

∅D =

.............................................................................. (3.51)

Keterangan:

ρb = Densitas batuan (dari pembacaan log), gr/cc

ρf = Densitas fluida rata-rata, gr/cc

ρma = Densitas matrik batuan, gr/cc

∅D = Porositas dari density log, gr/cc

Density log juga dapat memprediksi zona abnormal menggunakan data

bulk density. Plot data antara shale bulk density dengan kedalaman akan

memberikan garis lurus sebagai akibat dari normal compaction trend. Shale

bulk density meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman karena

peningkatan kompaksi, mengakibatkan penurunan porositas dan berkurangnya

saturasi air. Sehingga jika diperoleh penyimpangan data dari trendline normal,

maka data tersebut mengindikasikan zona abnormal yang diakibatkan oleh

peningkatan harga porositas karena tidak terpengaruh oleh kompaksi normal.

61

Gambar 3.14.

Indikasi Abnormal Pressure dari Shale Density vs Depth

(“Formation Pressure Evaluation”, Baker Hughes INTEQ, 1996)

d. Resistivity Log

Zona geopressure yang disebabkan oleh pemadatan batulempung/serpih

yang kurang akan memiliki kelebihan fluida pori yang terperangkap

dibandingkan dengan bagian bertekanan normal pada kedalaman.

Batulempung yang menunjukkan pemadatan normal akan berkembang nilai

resistivitas formasi meningkat dengan kedalaman, karena jumlah pori cairan

berkurang dan jalur aliran menjadi lebih berliku-liku. Penyimpangan dari tren

ini akan menunjukkan perubahan litologi atau perubahan tekanan pori (Baker

Huges INTEQ, 2002). Perubahan litologi dapat dibedakan dengan

menggunakan informasi Gamma Ray.

Nilai resistivitas yang lebih rendah dapat menjadi cerminan dari perubahan

salinitas fluida pori, beralih dari larutan yang kurang asin ke larutan yang

lebih asin (umum saat mengebor di dekat salt dome). Sambil menunjukkan

perubahan dalam tekanan pori hidrostatik normal, tidak selalu menunjukkan

zona overpressure. Evaluasi geopressure di litologi lain, menggunakan

resistivitas MWD, di mana tekanan tidak disebabkan oleh undercompaction

sedikit lebih sulit. Geopressure yang terperangkap oleh imprermeable cap

62

rock akan menunjukkan nilai yang lebih rendah dari trend line, tetapi akan

menunjukkan peningkatan resistivitas batuan penutup diikuti oleh perubahan

mendadak ke resistivitas yang lebih rendah saat memasuki zona overpressure

(Baker Huges INTEQ, 2002).

Prinsip kerja dari resistivity log adalah dengan mengukur resistivitas

batuan beserta kandungan fluidanya terhadap arus listrik yang melaluinya.

Sifat resistivitas tersebut, utamanya merupakan fungsi dari fluida dalam pori

batuan. Pada awalnya, arus listrik searah DC dilepaskan dari satu atau

beberapa elektroda, dan akan melalui batuan hingga tiba di permukaan. Beda

potensial (kebalikannya resistivitas) dan arus listrik diukur menggunakan dua

unit elektroda tambahan di permukaan, dan dari hasil pengukuran dapat

diketahui nilai resistivitasnya (dalam satuan ohm-meter/Ωm). Log Resistivitas

dapat digunakan untuk membedakan antara zona berisi air dan hidrokarbon

dalam formasi batuan.

Variasi harga salinitas air formasi tidak terlalu besar seiring dengan

bertambahnya kedalaman, sehingga pengaruh ini sering diabaikan. Ditambah

lagi, harga temperatur meningkat secara tidak pasti, sehingga harga resistivitas

dapat dikoreksi untuk setiap perubahan temperatur. Jadi, harga porositas

merupakan faktor utama yang mempengaruhi besarnya harga resistivitas.

Prinsip dasar analisa ini yaitu, pada umumnya harga resistivitas shale

meningkat seiring dengan penurunan porositas akibat dari kompaksi normal

karena penambahan kedalaman sebagai hasil dari proses sedimentasi. Jika

terdapat porositas yang meningkat, maka kandungan air formasi pun

meningkat, sehingga dapat diindikasikan sebagai zona abnormal yang

ditunjukan dengan resistivitas shale yang menurun.

63

Gambar 3.15.

Shale Resistivity vs Depth

(Rabia, 2002)

3.2.2. Formation Test

a. Leak-Off Test (LOT)

Leak-Off Test merupakan salah satu formation test yang sering dilakukan

yang bertujuan untuk mengetahui tekanan rekah formasi. Prinsip kerja dari

test ini yaitu memompakan fluida dengan tekanan dan jumlah tertentu

kemudian melihat kapan formasi tersebut pecah (Leak-Off). Normalnya test ini

dilakukan setelah drilling melewati sebuah casing shoe bertujuan untuk

menentukan gradien lumpur maksimum yang diijinkan untuk open hole pada

sesi berikutnya, menetukan tekanan dibawah tekanan rekah, tekanan rekah

pada kedalaman setelah casing shoe dipasang dan mengetahui formation

breakdown pressure dan fluid injection pressure (Baker Huges INTEQ, 2002).

Tekanan di dalam lubang ditingkatkan dengan memompa fluida pada laju

volume yang konstan, biasanya 50–250 L/menit, sehingga akan

mengahasilkan garis lurus pada grafik tekanan versus volume (waktu), dengan

kemiringan garis yang diberikan oleh kompresibilitas sistem (terutama fluida

pengeboran). Ketika respon tekanan mulai menyimpang dari garis lurus maka

64

didefinisikan sebagai tekanan rekah formasi, titik di mana formasi mulai

pecah.

Dengan mengetahui nilai dari LOT, maka dapat digunakan untuk mencari

nilai effective stress dengan menggunakan metode Eaton. Setelah mengukur

effective stress, dapat mengukur Poisson Ratio yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi nilai dari fracture pressure dengan menggunakan Eaton

Method. Besarnya nilai dari Effective Stress dan Poisson Ratio dengan

menggunakan nilai LOT adalah sebagai berikut :

Ko =

............................................................................ (3.52)

v =

..................................................................................... (3.53)

Keterangan :

Ko = Effective Stress, psig

LOT = Leak-Off Stress, psig

PP = Pore Pressure, psig

OBG = Overburden Pressure, psig

v = Poisson Ratio, dimensionless.

Gambar 3.16.

Typical Leak-Off Test Plot

(“Formation Pressure Evaluation”, Baker Hughes INTEQ, 1996)

65

b. Extended Leak-Off Test (xLOT)

Leak-off test hanya menyediakan tekanan rekah dan breakdown pressure,

tetapi tidak mengindikasikan tekanan penutupan rekah/fracture closure

pressure (minimum horizontal stress) (J. J. Zhang, 2019). Modifikasi leak-off

test dapat juga digunakan untuk mengetahui minimum horizontal stress.

Extended leak-off test digunakan untuk mengetahui nilai tekanan minimum in-

situ yang dibutuhkan untuk membuat rekahan awal pada dinding sumur bor

(Zoback, 2007). Dengan demikian, dapat diestimasi besar tekanan yang aman

untuk diaplikasikan pada berat lumpur yang digunakan sehingga tidak

melebihi batas tekanan rekahan pada dinding sumur untuk menghindari

terjadinya bahaya yang lebih besar seperti loss circulation.

Perbedaan utama dengan leak-off test adalah pemompaan terus berlanjut

melewati leak-off point dan breakdown pressure. Untuk mendapatkan

perkiraan stress yang akurat pemompaan harus dilanjutkan sampai

pertumbuhan rekahan yang stabil diperoleh (Ejfaer, 2011).

Gambar 3.17.

Typical Recording of LOT

(Wang Hong, et al, 2010)

Karena casing shoe test ini biasanya dilakukan dalam formasi

permeabilitas rendah seperti serpih, dan dengan lumpur pengeboran di dalam

lubang, sangat sedikit kebocoran dari rekahan yang diharapkan. Ini

66

menyiratkan bahwa fracture closure mungkin lambat dalam tes penutupan,

menghasilkan tekanan yang hampir datar. Tekanan tersebut dicatat sebagai

closure pressure dengan demikian masih merupakan perkiraan batas atas

minimum horizontal stress. Estimasi yang lebih baik bisa diperoleh dengan

memasukkan fase flowback dalam pengujian.

Gambar 3.18.

Schematic Illustration Extended Leak-Off Test

(Jfaer, et al, 2008)

Garis putus-putus dari Pfsip ke Pref mewakili fase flowback. Jika rekahan

belum ditutup selama fase penutupan, pemantauan fase flowback dapat

memberikan perkiraan tegangan horizontal minimum seperti yang ditunjukkan

pada gambar. Ini terjadi saat kemiringan kurva flowback berubah,

mencerminkan perbedaan besar antara sistem dengan rekahan terbuka dan

dengan rekahan tertutup.

c. Formation Integrity Test (FIT)

Formation Integrity Test (FIT) adalah pengujian kekuatan dan integritas

dari suatu formasi baru dan merupakan langkah awal setelah pemboran track

casing shoe. FIT limit test tidak didesain untuk membuat formasi leak-off, tapi

hanya mencapai nilai dibawah minimum horizontal stress (Rabia, 2002).

Evaluasi yang akurat dari penyemenan casing dan formasi sangat penting

selama pengeboran sumur dan untuk pekerjaan selanjutnya (Rabia, 2002).

Informasi yang didapatkan dari FIT digunakan sepanjang umur sumur dan

67

juga untuk sumur-sumur terdekat. Alasan utama untuk melakukan Formation

Integrity Test (FIT) menurut (Rabia, 2002) :

- Menentukn fracture gradient di sekitar casing shoe dan menentukan

batas atas primary well control untuk section dibawah casing.

- Mengetahui mud weight yang optimal dan equivalent mud weight

untuk pengeboran section selanjutnya.

- Meminimalkan risiko loss circulation di zona abnormal

- Investigasi kemampuan wellbore untuk menahan tekanan dibawah

casing shoe guna validasi rencana penempatan casing shoe.

- Menginvestigasi kekuatan ikatan semen di sekitar casing shoe dan

memastikan tidak ada komunikasi dengan formasi yang ada di atsanya.

Gambar 3.19.

Grafik Formation Integrity Test

(Jfaer, et al, 2008)

Perbedaan antara Formation Integrity Test dan Leak-Off Test adalah

teakanan yang diberikan pada FIT tidak sampai formasi pecah. FIT digunakan

untuk mengetahui tekanan yang aman untuk formasi yang akan ditembus.

Sehingga besarmya densitas lumpur yang akan digunakan dapat ditentukan.

d. Repeat Formation Tester (RFT)

Repeat Formation Tester (RFT) adalah sebuah uji yang dilakukan untuk

menentukan tekanan formasi dengan cepat dan akurat. Alat RFT mengukur

68

tekanan pada kedalaman yang spesifik pada dinding lubang. Tekanan formasi

diukur dengan menggunakan formation sampler ketika diperpanjang dari alat

menuju kontak dengan formasi. Sampel fluida juga dapat diambil dengan

menggunakan alat ini.

Tujuan dari Repeat Formation Tester adalah melakukan pengukuran

tekanan fluida formasi pada beberapa kedalaman, memperkirakan tekanan

gradien dari fluida formasi, mengukur tekanan awal reservoir, mengetahui

kedalaman fluid contact dan mengindikasikan permeabilitas reservoir.

Data yang didapatkan dari alat repeat formation tester ini diolah dalam

bentuk plot, yaitu plot antara kedalaman terhadap tekanan dalam lubang.

Setelah diplot berdasarkan sampel fluida dan kedalaman, biasanya pada data

RFT menghasilkan suatu titik potong apabila data tersebut dipanjangkan. Titik

perpotongan ini yang disebut sebagai fluid contact (kedalaman dimana terjadi

perbatasan antar fluida). Fluid contact dapat berupa Gas-Water Contact

(GWC) ataupun Oil-Water Contact (OWC).

Gambar 3.20.

Reservoir Pressure vs Depth

(Gunter and Moore, 1987)

69

3.3. Sifat Mekanika Batuan

Mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari reaksi batuan apabila

batuan tersebut dikenai suatu gangguan (gaya atau tekanan). Mekanika Batuan

merupakan ilmu pengetahuan yang secara teori maupun pada prakteknya

membahas tentang perilaku mekanis batuan termasuk di dalamnya membahas

tentang berbagai metoda perancangan perilaku batuan yang sesuai dengan disiplin

ilmu teknik yang diperlukan. Mekanika batuan adalah salah cabang disiplin ilmu

geomekanika. Hal ini menyebabkan mekanika batuan memiliki peran yang

dominan dalam operasi pemboran. Dalam dunia migas salah satu fungsi mekanika

batuan bertujuan untuk menghitung laju penembusan (Rate of Penetration).

3.3.1.Stress (σ)

Komponen kunci dari konsep geomekanik adalah pengetahuan tentang

keadaan stress saat ini. Kegagalan lubang sumur terjadi karena stress

terkonsentrasi di sekeliling sumur melebihi kekuatan batuan (Zoback, 2007).

Fault akan tergelincir ketika rasio stress terhadap effective normal stress yang

terjadi pada sesar melebihi kekuatan geseknya. Deplesi menyebabkan perubahan

stress keadaan reservoir yang dapat menguntungkan, atau merugikan. Penentuan

stress di kedalaman lapangan minyak dan gas merupakan masalah yang dapat

ditangani yang dapat diatasi dengan data yang diperoleh secara rutin atau

langsung dapat diperoleh saat sumur dibor.

Dalam istilah yang paling sederhana, stress didefinisikan sebagai gaya yang

bekerja di area tertentu (gaya dibagi luas). Lebih tepatnya, stress adalah tensor

yang menggambarkan massa jenis gaya yang bekerja pada semua permukaan

melewati titik tertentu.

Secara nyata atau imajiner bidang melalui batuan, bisa ada Normal Force

(ΔN) dan Shear Force (ΔS) (J. J. Zhang, 2019). Gaya tersebut menyebabkan

Normal Stress (σn) dan Shear Stress (τ) di batuan. Tekanan pada batuan biasanya

tidak sama dalam arah yang berbeda. Tegangan normal/geser adalah gaya

normal/geser per satuan. Tegangan normal tegak lurus dengan masing-masing

bidang, sedangkan tegangan geser sejajar dengan masing-masing bidang

70

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.20. Tegangan normal dan tegangan

geser dapat dihitung secara matematis sebagai berikut :

Normal Stress = lim

(ΔA 0) ......................................................... (3.54)

Shear Stress = lim

(ΔA 0) ......................................................... (3.55)

Gambar 3.21.

Normal Stress dan Shear Stress

(Jon Jincai Zhang, 2019)

Dalam mekanika batuan terdapat tiga macam stress dasar yang disebut

dengan principal stress, yang mana ketiga stress tersebut saling tegak lurus satu

sama lain. Ketiga stress tersebut adalah stress vertikal (σv), stress horizontal

minimum (σHmin), dan stress horizontal maximum (σHmax) (Zoback, 2007).

Suatu rekahan akan terjadi tegak lurus pada arah yang memiliki nilai tegangan

terkecil. Pada Gambar 3.20. merupakan arah stress dan rekahan yang terjadi pada

suatu bidang.

71

Gambar 3.22.

Besar Ketiga Stress Utama dan Arah Rekahan

(Fjaer, et al, 2008)

3.3.2.Strain (ε)

Strain (ε) adalah perubahan bentuk yang terjadi (deformasi) pada suatu

meterial dalam hal ini perubahan dalam panjang yang berubah dari keadaan

panjang semula (J. J. Zhang, 2019). Deformasi material pada intinya merupakan

perbedaan posisi titik-titik sebelum dan sesudah deformasi berlangsung. Strain

didefinisikan sebagai deformasi padatan karena stress. Hal ini adalah perubahan

relatif dalam bentuk atau ukuran sebuah benda karena tekanan (gaya) yang

diterapkan secara eksternal, dan itu tidak berdimensi dan tidak memiliki unit.

Suatu regangan yang terjadi dapat berupa regangan aksial (axial strain), regangan

lateral (lateral strain) dan regangan tubuh material (volumetric strain). Jika

sampel batuan dalam uniaksial khas uji kompresi dibebani ke arah aksial,

kemudian perpindahan (Kontraksi dan perpanjangan) dibentuk dalam arah aksial

dan lateral (J. J. Zhang, 2019). Regangan dalam arah aksial sama dengan

perpindahan relatif (panjang perubahan) dibagi dengan panjang asli sampel

batuan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22.

ε =

................................................................................... (3.56)

72

Keterangan :

ε = Strain

L = Panjang Asli

L’= Panjang Setelah Deformasi

Gambar 3.23.

Strain

(Jon Jincai Zhang, 2019)

3.3.3.Compressive Strength (Co)

Compressive strength memiliki beban penekanan yang berarah ketika batuan

tersebut terkompaksi akibat adanya proses tektonik yang menyebabkan batuan

tersebut menjadi rekah atau pecah.

Penentuan compressive strength penting ntuk diketahui, karena berfungsi

untuk penentuan optimasi bit (bit selection), reservoir subsidence dan juga pada

operasi stimulasi seperti acidizing dan hydraulic fracturing (Mohammad Nabei,

2010).

Uniaxial Compression Test digunakan untuk menentukan Uniaxial

Compressive Strength (UCS), Poisson Ratio, dan Modulus Young. Di dalam

pengujian, sampel batuan silinder dikompresi sejajar dengan sumbu

longitudinalnya. Selama pengujian, beban dalam arah aksial, perpindahan

(biasanya diukur dengan transformator perpindahan variabel linier), dan regangan

(dapat diukur dengan ekstensometer) di kedua arah aksial dan radial dicatat untuk

analisis kekuatan batuan.

73

Dalam uji uniaksial, persamaan berikut digunakan untuk menghitung UCS

untuk sampel yang disarankan ISRM :

UCS =

................................................................................................... (3.57)

Keterangan :

UCS = Uniaxial Compressive Strength

Pmax = Beban maksimum yang diberikan pada sampel batuan

A = Luas penampang sampel

Penentuan Compressive Strength dapat dilakukan berdasarkan jenis batuan

dengan persamaan berikut :

a. Shale

- Sonic Log

UCS = 10(Vp – 1) = 10(304.8/Δt – 1) ..................................................... (3.58)

- Porosity

UCS = 243.6 ∅-0.96 ................................................................................. (3.59)

- Young Modulus

UCS = 7.22 E-0.712

.................................................................................. (3.60)

b. Sandstone

- Sonic Log

UCS = 1200 exp(-0.036Δt) ..................................................................... (3.61)

- Porosity

UCS = 154 (1-0.027∅)2 .......................................................................... (3.62)

- Young Modulus

UCS = 2.28 + 4.1089E ........................................................................... (3.63)

c. Carbonate

- Sonic Log

UCS = (7682/Δt)1.82

/145 ......................................................................... (3.64)

- Porosity

UCS = 135.9 exp (-4.8∅) ....................................................................... (3.65)

74

- Young Modulus

UCS = 13.8E-0.51

..................................................................................... (3.66)

Menggunakan Mohr-Coulomb failure criterion, zona kegagalan geser

lubang sumur (breakout) dihitung dari kekuatan batuan yang berbeda. Uniaxial

compressive strength yang lebih tinggi membuat breakout yang lebih kecil.

Compressive strength juga berhubuan dengan tensile strength, pada batuan shale,

compressive strength lebih besar 10-15 kali daripada tensile strength.

Klasifikasi batuan berdasarkan compressive strength dapat dilihat pada

Gambar 3.23. dibawah ini.

Gambar 3.24,

Kalsifikasi Compressive Strength Batuan

(C.A. Ozturk, 2013)

3.3.4.Friction Angle

Friction angle menunjukkan ketahanan batuan menerima tegangan luar yang

dikenakan terhadapnya, semakin besar friction angle suatu material, maka

material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan dari luar. Friction angle

merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan antara normal stress dengan shear

stress. Nilai friction angle dapat diperoleh dari pengujian laboratorium, yaitu

75

pengujian triaxial (triaxial compression test) yang merupakan harga slope dari

failure envelope seperti pada Gambar 3.24. Failure envelope sering kali

disesuaikan dengan kriteria linier, meskipun biasanya ditemukan nonlinier,

dengan friction angle yang menurun pada tegangan yang tinggi.

Gambar 3.25.

Diagram Mohr-Coulomb Criterion

(E Fjaer et al, 2008)

Friction angle biasanya mendekati 30 °, tetapi dapat bervariasi antara 20°

dan 40°. Friction angle yang lebih tinggi ditemukan pada porositas rendah dan

kandungan lempung yang rendah. Friction angle akan meningkat sebagai akibat

dari kompaksi. Sedimen akan bertindak seolah-olah lebih kuat ketika berat

overburden meningkat, karena friction angle selalu lebih besar dari nol. Karena

strukturnya yang seperti pelat, clay yang tidak padat dan lunak (seperti tanah)

biasanya akan memiliki friction angle yang rendah. Saat pemadatan dan

konsolidasi berlangsung, dan porositas dan kandungan fluida berkurang, friction

angle pada shale akan menjadi lebih tinggi. Horsrud juga menunjukkan di

sebagian besar pengujian dengan shale berporositas tinggi, friction angel sangat

rendah biasanya 10° –20°.

Pada kondisi dinamik, friction angle dapat dinyatakan dengan

menggunakan data sonic log, yaitu compressional wave velocity dan shear wave

velocity yang dapat ditentukan dengan persamaan friction angle dengan asumsi

bahwa formasi yang ditembus adalah formasi shale sebagai berikut (Lal M. 1999):

76

FA = Sin-1

.......................................................................................... (3.67)

Gambar 3.26.

Pengaruh Kompaksi Terhadap Friction Angle

(E Jfaer, 2008)

Menurut (R.A. Plumb, 1994) friction angle juga dipengaruhi oleh nilai

porositas efektif batuan. Nilai friction angle akan berubah dengan tingkat

porositas batuan tersebut. Semakin besar sudutnya, maka diindikasikan nilai

porositas efektif batuan tersebut akan sangat besar, namun sebaliknya bila sudut

derajat tersebut semakin kecil, maka nilai porositas efektif batuan tersebut akan

sangat kecil disebabkan adanya Vclay yang mengisi porositas batuan tersebut

(Mohammad Nabei, 2010) sesuai dengan Gambar 3.26.

FA = 26.5 -37.4 (1-∅eff - Vclay) + 62.1 (1-∅eff - Vclay)2 .................................... (3.68)

Gambar 3.27.

Crossplot Vgrain (∅eff) Vs Friction Angel

(R.A. Plumb, 1994)

77

Menurut Mohr keruntuhan pada suatu batuan tidak hanya aibat dari normal

stress maksimal dan shear stress maksimal saja, melainkan akibat dari kombinasi

kritis antara normal stress dan shear stress. Sebagaimana diperlihatkan dalam

persamaan berikut :

τ = Co + σn tan (FA) ................................................................................... (3.69)

Keterangan:

τ = Shear Stress, Pa

Co = Cohesive Strength, Pa

FA = Friction Angle, degree°

𝜎n = Normal Stress, Pa

3.3.5.Poisson’s Ratio (𝑣)

Poisson‟s Ratio adalah rasio regangan transversal (lateral strain) dengan

regangan aksial (axial strain) yang sesuai pada material yang ditekan sepanjang

satu sumbu (J. J. Zhang, 2019). Poisson„s ratio merupakan ukuran perubahan

bentuk geometri yang disebabkan oleh penekanan arah axial dengan beban

tertentu yang dapat mengubah menjadi bentuk yang tidak terbatas. Poisson‟s

Ratio dapat ditentukan dengan mengukur deforestasi lateral dan aksial dari

uniaxial compression test dalam sampel batuan.

Poisson‟s Ratio (𝑣) dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑣 =

.................................................................................................... (3.70)

Keterangan :

= Poisson‟s Ratio, dimensionless

εl = Lateral Strain, Pa

εa = Axial Strain, Pa

78

Gambar 3.28.

Poission’s Ratio

(Kumar, 1976)

Static Poisson‟s Ratio dalam batuan bergantung pada litologi, tegangan

pembatas, tekanan pori, dan porositas batuan (J. J. Zhang, 2019). Hasil uji

laboratorium menunjukkan bahwa Poisson‟s Ratio statis meningkat dengan

meningkatnya porositas seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.28.

𝑣 = 0.2 + 0.61∅ .......................................................................................... (3.71)

Keterangan:

𝑣 = Poisson‟s ratio, dimensionless

∅ = Porositas, dimensionless

Gambar 3.29.

Poission’s Ratio vs Porosity pada Batuan Karbonat dan Siltstone

(Yale and Jamieson, 1994)

79

Poisson‟s ratio dinamis dapat dinyatakan dengan menggunakan data sonic

log (dipole & stoneley measurement) dari gelombang “S” dan “P”. Poisson‟s

Ratio dinamis bergantung pada Vp / Vs dan Vp / Vs berhubungan langsung dengan

porositas. Poisson‟s ratio dinamis dapat ditentukan dengan persamaan:

𝑣 =

......................................................................................... (3.72)

Keterangan:

𝑣 = Poisson‟s ratio, dimensionless

Vp = P-wave velocity, km/s

Vs = S-wave velocity, km/s

Pada metode Castagna, Batzle, & Eastwood diperlukan nilai P-wave

velocity dan S-wave velocity yang diperoleh dari seismik atau sonic log. Dengan

keterbatasan dari sonic log yang hanya mempunyai nilai P-wave velocity, oleh

karena itu diasumsikan nilai S-wave velocity dengan metode Castagna. Kemudian

nilai tersebut digunakan untuk menghitung nilai Poisson‟s Ratio dengan

menggunakan metode Zoback. Metode ini diasumsikan jika formasi yang

ditembus dominan shale dan sandstone. Dimana Vp dan Vs dapat ditentukan

melalui persamaan (Castagna & Zoback, 1985):

Vp = 0,826 Vs + 1.172 ............................................................................... (3.73)

Brocher (2005) menentukan harga Vp berdasarkan hasil analisis di dalam uji

laboratorium “Brocher’s empirical fit,” dengan harga Vp pada persamaan

poisson‟s ratio yang memiliki kisaran, 1.5 < Vp < 8.5 (Gary Mavko, Tapan

Mukerji, Jack Dvorkin, 2009) :

𝑣 = 0,8835 – 0,315Vp + 0,0491Vp 2

– 0,0024Vp 3 ..................................... (3.74)

Metode Poission’s Ratio Ludwig merupakan awal dari persamaan Poisson‟s

Ratio menurut Brocher, dimana metode Ludwing juga biasa disebut dengan “Ludwing‟s

Empirical Fit”.

𝑣 = 0.769 − 0.226 𝑉𝑝 + 0.0316 𝑉𝑝2

− 0.0014 𝑉𝑝3 ....................................... (3.75)

Pada batuan, Poisson‟s ratio biasanya 0,15-0,25. Untuk batuan yang lemah

dan berpori, Poisson‟s ratio dapat mendekati nol atau bahkan menjadi negatif.

Pada sandstone yang tidak terkonsolidasi, Poisson‟s ratio mendekati 1/2. Harga

Poission‟s Ratio berbagai macam lithologi dapat dilihat pada Tabel III-5.

80

Table III-5.

Poission’s Ratio Pada Berbagai Lithologi

(Zoback, 2007)

Lithologi Poission’s Ratio

Clay 0.17 – 0.50

Conglomerate 0.2

Dolomite 0.21

Siltstone 0.08

Shale :

Calcareous

Dolomitic

Siliceous

Silty

Sandy

0.14

0.28

0.12

0.17

0.12

Limestone :

Micritic

Sparatic

Porous

Fossiliferous

Argillaceaous

0.28

0.31

0.2

0.09

0.17

3.3.6.Young’s Modulus (E)

Young‟s Modulus merupakan parameter penting untuk mendefinisikan

hubungan antara tegangan dan regangan pada material dalam deformasi linier-

elastis (J. J. Zhang, 2019). Young‟s Modulus statis dapat diperoleh dari uji inti

laboratorium, seperti uji kompresi uniaksial atau triaksial. Young‟s Modulus

dinamis dapat dihitung dari persamaan teoritis menggunakan data kecepatan

akustik (Sonic Log). Pada analisis geomekanik, Young‟s Modulus statik

diperlukan. Artinya, dalam persamaan konstitutif stress-strain, Young‟s Modulus

statis diperlukan untuk perhitungan.

81

Gambar 3.30.

Young’s Modulus

(Gary Mavko, Tapan Mukerji, Jack Dvorkin, 2009)

Young‟s Modulus statis (Es) dalam uji inti laboratorium ditentukan sebagai

rasio perubahan tegangan aksial (Δσ) dengan perubahan regangan aksial (Δε)

diproduksi oleh perubahan stress, yaitu,

E =

..................................................................................................... (3.76)

Gambar 3.31.

Young’s Modulus dari Uniaxial Stress-Strain Curve

(Jon Jincai Zhang, 2019)

82

Gambar 3.30. menunjukkan kurva stress-strain dari uji tekan triaksial untuk

batupasir berbutir halus, batulumpur berpasir, dan batulumpur. Tekanan

diferensial pada gambar mewakili perbedaan tegangan aksial dan pembatas, yaitu

s1 s3. Gambar 3.31. menunjukkan bahwa batuan yang berbeda memiliki modulus

Young yang berbeda. Batupasir memiliki kekuatan tekan puncak yang jauh lebih

besar dan Young's modulus yang lebih besar daripada yang ada di mudstone (J. J.

Zhang, 2019).

Gambar 3.32.

Young’s Modulus Pada Berbagai Batuan

(Jon Jincai Zhang, 2019)

Young‟s Modulus statis (Es) dapat dihitng dengan persamaan berikut :

Es = Eo (1-a∅)n ............................................................................................... (3.77)

Keterangan :

Es = Young‟s Modulus Static

Eo = Young‟s Modulus Matrix ketika porositas nol

a & n = Konstanta

Young‟s Modulus Dinamis menggunakan data log sumur dan data geofisika

untuk menganalisis dan menginterpretasikan parameter fisik dan mekanik batuan.

Modulus Dinamis Young (Ed) dapat diselesaikan dengan persamaan berikut :

Ed = 1.35 x 10 4

.................................................................... (3.78)

83

Keterangan :

Ed = Young‟s Modulus Dinamis. Mpsi

ρb = Densitas Bulk, g/cm3

tp = Transite Time, µs/ft;

Vd = Poission‟s Ratio Dinamis, dimensionless

3.3.7.Biot’s Coefficient

Untuk batuan berpori di bawah tekanan, bagian padat dan fluida mengalami

deformasi. Oleh karena itu, tekanan pori dan effective stress perlu diperhatikan

dan dipertimbangkan dalam media fluid-saturated. effective stress tergantung

pada tegangan total, tekanan pori, dan koefisien Biot (J. J. Zhang, 2019).

Gambar 3.33.

Kontak Area Fluida Dengan Solid

(Zoback, 2007)

Koefisien biot (statis) didefinisikan sebagai rasio deforestasi ruang pori

statis terhadap perubahan volume bulk total, bila modulus kering dari batuan

berpori (Kdry) dan modulus bulk matriks (Km) tersedia (Nur dan Byerlee, 1971),

persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Α = 1-Kdry/ Km ...............................................................................................................................................

(3.79)

Modulus bulk kering dapat dikaitkan dengan modulus Young kering (Edry)

dan Poisson’s Ratio kering (vdry) seperti yang ditunjukkan pada persamaan

berikut:

Kdry = [ Edry / 3(1-2vdry)] ................................................................................ (3.80)

84

Modulus bulk matriks (Km) adalah konstanta, bergantung pada komposisi

kimiawi dari mineral tersebut, misalnya untuk mineral lempung Km bervariasi dari

9,3 GPa di smektit hingga> 100 GPa di klorit (J. J. Zhang, 2019). Ketika modulus

matriks tidak tersedia, nilai yang dipublikasikan dari modulus matriks (Mavko et

al., 2009) dapat digunakan untuk memperkirakan koefisien Biot. Modulus bulk

matriks dalam mineral dapat dilihat pada Tabel III-6.

Tabel III-6.

Modulus Bulk Matriks

(J. J. Zhang, 2019)

Mineral K

(GPa)

Calcite 76.8

Gulf Clay 25

Quartz 37

Dolomite 76.4

Jika koefisien Biot terukur tidak tersedia, persamaan empirisnya bisa

digunakan untuk memperkirakan koefisien Biot. Hasil percobaan menunjukkan

bahwa koefisien Biot adalah fungsi porositas; oleh karena itu, sebagian besar

persamaan empiris untuk koefisien Biot berkaitan dengan porositas. (Zimmerman

dkk.,1986) memperoleh persamaan empiris untuk menghitung koefisien Biot:

α = 1- (1- ∅) * ∅

+

……………………………………………….(3.81)

Secara teoritis, koefisien Biot tidak dapat dihitung dari modulus bulk

diperoleh dengan metode dinamis (seperti pengukuran gelombang P dan

gelombang S). Namun, modulus bulk dinamis, compressional velocity, dan nilai

dinamis lainnya dapat digunakan untuk mendapatkan koefisien Biot empiris.

Koefisien biot dinamis dapat dihitung dengan persamaan berikut :

αd = 1-

...................................................................................... (3.82)

85

keterangan :

αd = Koefisien Biot Dinamis, dimensionless

ρd = Densitas Bulk Kering, g/cm3

Vpd = Compresional Velocity, km/s

Vsd = Shear Velocity, km/s

3.3.8. Brittleness Index

Britteleness index digunakan untuk mengetahui apakah batuan tersebut

tergolong brittle atau ductile. Brittleness pada batuan tergantung pada material

dan kekuatan batuan tersebut. Umumnya pengaruh sifat mekanik batuan pada

hydraulic fracturing adalah batuan yang bersifat brittle memiliki modulus

Young yang tinggi dan Poisson’s rasio yang rendah, yang lebih mudah untuk

perambatan hydraulic fracturing (J. J. Zhang, 2019). Batuan dengan tensile

strength yang rendah membuatnya lebih mudah untuk dipatahkan. (Rickman,

2008) menggunakan brittleness index untuk mengevaluasi kerapuhan batuan

untuk membantu menemukan zona yang tepat untuk hydraulic fracturing.

Estimasi britteleness index dari data seismik menggunakan data dari

density log dan sonic log. Data dari density log dan sonic log digunakan untuk

menghitung Young‟s modulus brittleness dan Poisson‟s ratio brittleness untuk

menentukan brittleness average kemudian mengidentifikasi batuan tersebut

berdasarkan kalsifikasi batuan dari brittleness average yang dikemukakan oleh

Altamar & Marfurt (2014). Istilah brittleness average dikemukakan oleh Grieser

dan Bray (2007) berdasarkan hubungan empiris antara Poisson’s ratio dengan

Young’s modulus. Dengan cara menormalisasikan Young’s Modulus dan

Poisson’s ratio yang disebut Young‟s Modulus brittleness dan Poisson‟s ratio

brittleness.

86

Tabel III-7.

Klasifikasi Sifat Batuan Berdasarkan Brittleness Index

(Altamar & Marfurt, 2014)

Sifat Batuan Brittleness Index

High Brittle >0.48

Medium Brittle 0.32-0.47

Less Ductile 0.16-0.31

Ductile 0-0.15

Young‟s modulus brittleness bernilai 0 – 1 dimana semakin tinggi nilainya,

maka batuan akan bersifat brittle (Grieser & Bray, 2007). Penentuan Young‟s

Modulus brittleness dengan mengetahui harga maksimum dan minimumnya dapat

ditentukan dengan persamaan :

Ebrittleness =

....................................................................................... (3.83)

Keterangan :

Ebrittleness = Brittleness Young‟s modulus, GPa

E = Young‟s modulus pada kedalaman yang dianalisa, GPa

Emin = Young‟s modulus minimum pada formasi diinvestigasi, GPa

Emax = Young‟s modulus maksimum pada formasi diinvestigasi, GPa

Poisson‟s ratio brittleness bernilai 0 – 1 dimana semakin rendah nilainya,

maka batuan akan bersifat brittle (Grieser & Bray, 2007). Penentuan Poisson‟s

ratio brittleness dengan mengetahui harga maksimum dan minimumnya dapat

ditentukan dengan persamaan :

vbrittleness =

........................................................................................ (3.84)

Keterangan :

𝑣brittleness = Brittleness Poisson‟s ratio, fraksi

𝑣 = Poisson‟s ratio pada kedalaman yang dianalisa, fraksi

𝑣min = Poisson‟s ratio minimum pada formasi diinvestigasi, fraksi

𝑣max = Poisson‟s ratio maksimum pada formasi diinvestigasi, fraksi

87

Semakin tinggi nilai brittleness index, maka batuan semakin bersifat brittle.

Semakin tinggi nilai Brittleness Modulus Young dan semakin rendah nilai

Brittleness Poisson‟s Ratio maka batuan tesebut bersifat brittle (Bai, 2016).

Brittleness average dapat ditentukan dengan persamaan sebagai betikut:

Bavg =

.......................................................................... (3.85)

Keterangan :

Bavg = Brittleness Average, Fraksi

Ebrittleness = Young‟s Modulus Brittleness, Fraksi

𝑣brittleness = Poisson‟s Ratio Brittleness, Fraksi

3.4. Safe Mud Window Concept

Ketidakstabilan lubang bor merupakan penyebab utama kegagalan lubang

sumur dan merupakan tantangan serius di industri pengeboran. Kurangnya analisis

stabilitas lubang bor yang akurat membawa banyak masalah, seperti washout,

breakout, collapses, pack-off, stuck pipe dan loss circulation (J. J. Zhang, 2019).

Pada tahap pemboran, hal utama yang perlu diperhatikan adalah menentukan

komposisi lumpur dan densitas untuk menjaga stabilitas lubang bor dan

menghindari loss circulation. Hubungan mud weight dan kegagalan lubang bor

menunjukkan bahwa ketika tekanan lumpur kurang dari tekanan pori, lubang

sumur mengalami kerusakan atau washout. Ketika berat lumpur kurang dari shear

failure gradient (SFG), ketidakstabilan lubang sumur dapat menyebabkan

breakout atau penutupan lubang jika terjadi kegagalan tekan dan geser. Jika

diterapkan berat lumpur lebih tinggi dari fracture gradient menyebabkan loss

circulation (J. J. Zhang, 2019). Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan lubang

bor, berat lumpur yang diterapkan harus dalam kisaran yang sesuai dengan safe

mud window.

88

Gambar 3.34.

Hubungan Mud Pressure dan Borehole Failure

(J. J. Zhang, 2019).

Kerusakan lubang bor dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori berikut

seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.34. (J. J. Zhang, 2019) . :

1. Wellbore washout dan kick karena underbalance drilling, terjadi karena

berat lumpur kurang dari gradien tekanan pori (PP).

2. Breakout atau kegagalan geser yang disebabkan karena berat lumpur

lebih kecil dari berat lumpur yang dibutuhkan (atau SFG).

3. Loss circulation disebabkan oleh berat lumpur yang lebih tinggi dari

pada fracture gradient (FG) dan tensile failure gradient.

Hole collapse terjadi karena formasi di dekat borehole gagal secara mekanik,

kebanyakan dikarenakan shear failure (Ejfaer, 2011). Hasil dari kegagalan lubang

bor menyebabkan beberapa problem, yaitu :

- Lubang bor bertambah besar karena caving dan brittle failure.

- Mengurangi diameter lubang bor, terjadi pada weak (plastic) shale,

sandstone dan salt.

- Mengurangi diameter lubang bor karena swelling clay.

Interaksi antara fluida pemboran dengan formasi yang memiliki kadar

swelling mineral clay yang tinggi dapat menyebabkan wellbore instability (Ejfaer,

2011). Beberapa shale mengalami swelling saat kontak dengan water based mud

89

ataupun oil based mud, dan karakteristik ini sangat problematik untuk drilling (J.

J. Zhang, 2019). Salah satu penyebab perpindahan air dari atau kedalam formasi

shale adalah perbedaan chemical-potential antara shale dan drilling fluid.

Chemical-potential dari fasa air dapat diestimasi dengan menggunakan water

activity. Penyerapan air oleh shale karena aktifitas tinggi (low salinity) fluida

pemboran menyebabkan fluida pemboran mengalir kedalam shale, menyebabkan

swelling dan pore pressure di shale meningkat (J. J. Zhang, 2019).

Menurut (J. J. Zhang, 2019) penyebab mud loss dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

- Seepage mud loss : Terjadi pada batuan yang permeable, tekanan lumpur

lebih besar daripada tekanan pori (Pmud>Pp), lumpur akan mengalir ke

formasi karena permeabilitas batuan yang tinggi.

- Small loss : Tekanan lumpur lebih besar dari fracture pressure tetapi

kurang dari breakdown pressure (Pf<Pmud<Pb).

- Partial loss : Tekanan lumpur lebih besar daripada breakdown pressure

(Pmud>Pb).

- Partial dan Total loss di natural frac : Tekanan lumpur lebih dari

minimum horizontal stress (Pmud>Shmin) dan adanya rekahan.

- Total loss : Terjadi di batuan yang tidak mepunyai rekahan ataupun

mempunyai rekahan dan (Pmud>>Pb) dengan (Pmud>Shmin).

Safe mud window merupakan beda tekanan antara tekanan pori dan tekanan

rekah formasi dengan melibatkan parameter wellbore stability yaitu shear failure

gradient/collapse pressure yang nantinya berguna dalam pencegahan wellbore

instability. Dengan adanya parameter tambahan ini membuat mud window yang

awalnya cukup besar menjadi dipersempit. Hal ini bertujuan memberikan safe

mud window yang lebih tepat untuk menjaga tekanan hidrostatik dari lubang bor.

Berdasarkan pada desain safe mud window, mud weight yang digunakan harus

lebih besar daripada pore pressure dan collapse pressure, tetapi lebih kecil dari

minimum in-situ stress dan fracture pressure. Seperti yang diperlihatkan pada

persamaan berikut :

90

Pp < Pcollapse < Pmud < Shmin < Pf ............................................................. (3.86)

Keterangan :

Pp = Pore Pressure, ppg

Pcollapse = Collapse Pressure, ppg

Pmud = Tekanan lumpur, ppg

Shmin = Minimum in-situ stress, ppg

Pf = Tekanan rekah formasi, ppg

Gambar 3.34.

Safe Mud Window

(Beni, N., Setiawan, 2018)

3.5. Casing Setting Depth

Salah satu langkah dalam menjaga wellbore stability adalah dengan

menggunakan casing dan pemasangan casing harus tepat untuk menutupi zona-

zona yang rawan terjadi problem pemboran. Selama operasi pengeboran

berlangsung, cukup sering terjadi masalah lost circulation akibat pecah/rekahnya

formasi di bawah kaki casing (casing shoe). Masalah lain yang sering terjadi ialah

terjepitnya rangkaian casing akibat pemakaian lumpur dengan densitas yang

tinggi untuk mengimbangi tekanan formasi yang abnormal. Kedua masalah di atas

sering timbul akibat setting depth casing yang kurang tepat. Kesalahan dan

program setting depth casing juga akan menyebabkan kegagalan pada rangkaian

casing (casing string/casing joint), yang disebabkan setting depth-nya terlalu

91

dalam atau terlalu dangkal. Masalah lain yang timbul dan berkaitan dengan setting

depth casing adalah biaya casing yang meningkat dan diameter sumur pada

bagian terakhir tidak sesuai dengan keinginan yang dicapai.

3.5.1. Conductor Casing

Conductor casing adalah casing string pertama yang aplikasikan, dan

akibatnya memiliki diameter yang terbesar. Conductor casing umumnya

diatur pada sekitar 100-300 ft di bawah permukaan tanah atau dasar laut.

Tujuan utama dari rangkaian conductor casing adalah untuk menyediakan

saluran fluida dari permukaan untuk membor lubang berikutnya. Fungsinya

adalah untuk menutup formasi yang tidak terkonsolidasi pada kedalaman

dangkal agar tidak gugur (caving) karena sirkulasi lumpur terus menerus,

sehingga harus dilindungi dengan pipa (Heriot Watt University). Formasi

permukaan sebagian besar menunjukkan masalah loss circulation, karena

fracture gradient yang rendah yang dapat dengan mudah dilampaui oleh

tekanan hidrostatik dari fluida pemboran saat mengebor bagian lubang yang

lebih dalam.

3.5.2. Surface Casing

Surface casing merupakan rangkaian casing yang dipasang setelah

conductor casing. Beberapa fungsi surface casing (Adam, N.J.):

1. Melindungi dan air tanah agar tidak terkontaminasi

2. Mempertahankan kestabilan lubang bor (wellbore stability)

3. Meminimalkan permasalahan lost circulation pada zona-zona permeable

4. Melindungi zona-zona lemah dan secara tidak langsung mengontrol kick

5. Sebagai dudukan dari BOP (Blow Out Preventer)

6. Menyangga berat semua rangkaian casing (kecuali liner) ketika di-run di

bawah surface casing.

Dalam praktek di lapangan letak setting depth casing didasarkan dan

fungsinya untuk menahan tekanan bila terjadi kick pada kedalaman pengeboran

berikutnya, karena surface casing bila terjadi kick akan menerima beban yang

92

terbesar. Jika terjadi kick dan tekanan shut-in casing ditambah tekanan

hidrostatik fluida pengeboran melebihi ketahanan tekanan rekah formasi pada

casing shoe, rekahan atau blowout bawah tanah dapat terjadi. Oleh karena itu,

dasar penentuan setting depth surface casing adalah menentukan kedalaman

dimana surface casing mampu menahan tekanan yang diakibatkan oleh adanya

kick. Kedalaman pengaturan surface casing penting untuk area yang memiliki

tekanan tinggi (abnormal pressure) (Heriot Watt University). Jika casing

diatur terlalu tinggi, formasi di bawah casing mungkin tidak memiliki

kekuatan yang cukup untuk menutup sumur dan menahan masuknya gas saat

membor bagian lubang berikutnya.

3.5.3. Intermediate Casing

Intermediate casing dipasang diantara surface casing dan production

casing, Pada pengeboran yang menghadapi formasi yang bertekanan

abnormal, penentuan setting depth casing diutamakan untuk melindungi

formasi-formasi yang lemah bila terjadi kick (Adam, N. J.) . Intermediate

casing berfungsi untuk

- Melindungi lubang bor dari tekanan formasi yang tinggi (abnormal).

- Mengisolasi zona garam

- Mengisolasi zona yang menyebabkan masalah lubang, seperti loss

circulation, caving dan sloughing shale.

Pada memboran formasi abnormal, pemasangan intermediate casing lebih

diutamakan untuk melindungi formasi yang lemah, dengan demikian

prosedur penentuan setting depth dimulai dan kedalaman target ke arah

permukaan (bottom to top) agar tidak tidak terjadi kalkulasi yang repetitif.

Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan adalah berapa berat maksimum

lumpur yang bisa digunakan untuk mengontrol tekanan formasi tanpa

menimbulkan perekahan pada formasi di atasnya. Dengan demikian dapat

ditentukan setting depth casing sementara (tentative casing setting depth).

93

3.5.4. Production Casing

Production casing sering disebut juga dengan oil string merupakan

rangkaian casing yang dipasang paling akhir, casing ini dipasang di atas, atau

di tengah-tengah atau di bawah pay zone, berfungsi untuk mengalirkan

minyak dan atau gas. Selain itu, production casing juga berfungsi sebagai

penampung minyak dan reservoir sebelum dialirkan. Sedangkan fungsi

lainnya adalah sebagai berikut menurut (Adam, N. J.):

- Mengisolasi zona produksi dan formasi yang lainnya

- Memproteksi peralatan produksi, terutama tubing

3.5.5. Liner

Liner adalah casing pendek (biasanya kurang dari 5000 ft) yang digantung

dari bagian dalam casing string sebelumnya dengan menggunakan liner

hanger. Drilling liner dipasang dengan fungsi yang sama seperti pada

intermediate casing. Casing ini tidak dipasang sampai permukaan, biasanya

overlaping dengan intermediate casing dengan panjang 300 – 500 ft. Liner

ini dipasang untuk menghemat biaya yang berfungsi untuk mengontrol

gradien tekanan atau fracture. Liner dapat digunakan sebagai intermediate

casing atau sebagai production casing.

Keuntungan menggunkan liner dibandingkan dengan rangkaian casing

penuh, adalah (Heriot Watt University):

- Diperlukan casing yang lebih pendek, sehingga mengurangi biaya

pemboran

- Liner dijalankan pada pipa bor, oleh karena itu waktu sewa rig lebih

sedikit

- Liner dapat diputar selama operasi penyemenan, secara signifikan

meningkatkan proses pemindahan lumpur dan kualitas penyemenan.

Pemboran dengan mud weight lebih besar dari pore pressure atau

collapse pressure tetapi kurang dari minimum horizontal stess atau tekanan

rekah formasi adalah prinsip utama dalam desain sumur dan penentuan

94

casing setting depth (Zoback, 2007). Penentuan casing setting depth dengan

geomekanik menggunakan data pore pressre, collapse pressure, fracture

pressure, minimum horizontal stress, lithologi formasi dan hole problem.

Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan casing setting depth menurut

(BG Group, 2001) adalah :

- Shallow gas zone

- Loss circulation zone

- Well control

- Stabilitas formasi

- Pemboran directional

- Sidetracking

- Isolasi dari fresh water

- Hole cleaning

- Kubah garam

- Zona bertekanan tinggi

- Casing shoe harus di set di formasi yang kompak

- Ketidakpastian estimasi kedalaman (contoh : memerlukan margin yang

berhubungan dengan batas setting pada formasi yang permeable atau

overpressure)

- Multiple producing interval

- Ekonomi

95

Gambar 3.36.

Penentuan Casing Setting Depth

(Zoback, 2007)

Gambar di atas menunjukkan kasus sederhana pentingnya pengambilan

keputusan dasar pemboran pada model kuantitatif stabilitas lubang sumur

yang didasarkan pada model geomekanik yang komprehensif. Kasus yang

ditunjukkan pada Gambar 3.35a adalah kasus di mana jutaan dolar dihabiskan

secara tidak perlu untuk casing tambahan dan multiple sidetrack.

Gambar 3.35a menunjukkan sebuah desain sumur pra-pengeboran,

dibuat dengan mengasumsikan bahwa tekanan pori dan gradien rekahan

sebagai batas drilling window.

Gambar 3.35b menunjukkan ilustrasi perencanaan casing

mempertimbangkan collapse pressure pada desain pra-pengeboran. Mud

window yang sangat sempit untuk casing ketiga dan pada kenyataannya, dua

sidetrack diperlukan saat mengebor bagian sumur ini.

Gambar 3.35c menunjukkan desain dibuat menggunakan model

geomekanik yang komprehensif, yang menyesuaikan posisi dua casing

pertama untuk mengurangi panjang interval casing ketiga. Desain ini

menghindari mud weight yang sangat sempit untuk casing keempat yang

96

mengakibatkan masalah pengeboran, juga mengurangi jumlah casing string

yang diperlukan.

Gambar 3.36 merupakan contoh perencanaan casing setting depth dan

mud window. Batas bawah drilling window yang aman adalah collapse

pressure lubang sumur dan mempertimbangkan minimum horizontal stress

sebagai batas atas drilling window yang aman.

Gambar 3.37.

Penentuan Safe Drilling Window dan Casing Setting Depth

(Zoback et al. 2001)

97

BAB IV

PERENCANAAN MUD WEIGHT DAN CASING SETTING DEPTH

DENGAN PENDEKATAN PREDIKSI PORE PRESSURE DAN SAFE MUD

WINDOW MENGGUNAKAN KORELASI DATA LOG PEMBORAN

SUMUR “ZZH-40” LAPANGAN “SISNAZ” CEKUNGAN SUMATERA

TENGAH

Bab ini akan menjelaskan mengenai proses pengerjaan menggunakan

Software Drillwork dalam menentukan profil tekanan bawah permukaan pada

sumur eksplorasi “ZZH-40” Lapangan “SISNAZ”. Dengan mengetahui kondisi

tekanan bawah permukaan maka dapat ditentukan safe mud window sehingga

dapat menentukan mud weight dan casing setting depth yang optimal untuk

Sumur “ZZH-40” dan sumur-sumur disekitarnya. Tujuan mengetahui kondisi

tekanan bawah permukaan adalah untuk merencanakan desain mud weight

optimal dan casing setting depth untuk operasi pemboran di sekitar Sumur “ZZH-

40” agar tidak terjadi problem pemboran dan mengurangi Non-Productive Time

(NPT).

4.1. Analisa Geopressure dan Analisa Geomechanics Mengunakan

Drillwork Software

4.1.1. Input Data

Tahap pertama dalam Analisa Geopressure menggunakan Drillwork

Software yaitu input data-data log, yaitu gamma ray log, density log, dan sonic

log. Format data yang diinput ke software berupa file LAS. Kemudian memilih

log yang akan diinput ke dalam software dan sesuaikan depth unit, depth

conversion option, depth reference level dengan yang ada di dalam file log. Data

log dari Sumur “ZZH-40” menggunakan satuan TVD dengan depth reference

level adalah Kelly-bushing level. Pastikan datatype dan unit sesuai dengan log

yang sudah dipilih. Satuan untuk data gamma ray log adalah GAPI, sonic log

adalah us/ft, dan density log adalah g/cc.

98

Gambar 4.1.

Input Data Log

Gambar 4.2.

Pemilihan Log dan Penyesuaian Unit

99

Gambar 4.3.

Hasil Plot Data-Data Log

Langkah selanjutnya setelah input data yaitu pengolahan data untuk membuat

model geomekanik, sebagai berikut :

4.1.2. Analisa Shale Line dari Log Gamma Ray

Langkah pertama yaitu menganalisa Gamma Ray Log, yaitu penarikan

Shale Line, sehingga dapat dipisahkan antara zona shale dan non shale. Zona yang

berada disebelah kanan shale line merupakan formasi shale, sedangkan zona yang

berada disebelah kiri shale line merupakan formasi non shale. Penarikan shale

line memepertimbangkan stratigrafi yang ada di sumur tersebut. Lithologi pada

formasi Petani adalah shale sisipan sandstone, Formasi Telisa lithologinya adalah

shale, lithologi Formasi Sihapas adalah sandstone dan Formasi Pematang

lithologinya adalah shale.

Pengaruh penarikan shale line dapat dilihat pada Log SHPT DT, ditandai

dengan menipisnya log dengan kandungangan shale yang sedikit pada formasi

100

dan begitupun sebaliknya formasi dengan kandungan shale akan menghasilkan

log yang utuh atau lebih tebal.

Gambar 4.4.

Hasil Penarikan Shale Line dan Log SHPT DT

4.1.3. Penentuan Overburden Gradient

Perhitungan overburden gradient merupakan dasar dalam analisa

geomekanik dan tahapan analisa selanjutnya untuk perhitungan pore pressure,

fracture pressure, horizontal stress dan shear failure gradient. Overburden

gradient dapat ditentukan dengan menggunakan data bulk density. Penentuan bulk

density menggunakan Metode Gardner dan mengkalibrasikannya dengan sonic

log. Penggunaan metode Gardner memiliki hasil yang mendekati dengan data

density log. Hasil bulk density metode Gardner dan pengkalibrasian dengan sonic

log menghasilkan RHOB Composite, yang nantinya digunakan dalam perhitungan

overburden gradient.

101

Gambar 4.5.

Hasil Plot Overburden Gradient

- Perhitungan Tekanan Overburden secara manual pada kedalaman

5000 ft

Pob = 8.33 x 0,052 x ρb x D

Pob = 8.33 x 0.052 x 2.293 g/cc x 5000 ft

Pob = 4966.785 psi

Pob = 19.1 ppg

Tekanan Overburden akan semakin bertambah seiring dengan

bertambahnya kedalaman, seperti yang diperlihatkan dalam Tabel IV-1. berikut :

102

Table IV-1.

Data Tekanan Overburden Pasa Sumur “ZZH-40”

Depth

(ft)

Density

(g/cc)

OBG

(psi)

OBG

(ppg)

1300 1.986 1118.701 16.542

2600 1.962 2209.467 16.342

4000 2.163 3779.364 18.017

5000 2.293 4966.786 19.103

6000 2.451 6369.791 20.416

4.1.4. Penentuan Jenis Mekanisme Overpressure

Untuk menentukan jenis mekanisme overpressure pada Sumur “ZZH-40”

dapat diketahui dengan memplot antara Depth vs Transite Time dan Normal

Compaction Trend disandingkan dengan density log. Apabila transite time dan

densitas konstan, tekanan overburden bertambah tinggi tetapi effective stress

konstan, maka overpressure yang terjadi merupakan loading mechanism. Apabila

ada sonic reversal atau nilai tempuh berkebalikan pada sonic log, densitas

bertambah dan sedikit berkurang di bagian bawah pada density log, tekanan

overburden konstan tetapi effective stress menurun maka overpressure yang

terjadi merupakan unloading mechanism. Pada Sumur “ZZH-40” overpressure

yang terjadi yaitu Loading Mechanism. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar

4.6. berikut :

103

Gambar 4.6.

Overpressure Mechanism Sumur “ZZH-40”

Pada kedalaman 1284-4866 ft terjadi overpressure yang terjadi pada

Formasi Petani dengan batuan shale sisipan sandstone dan Formasi Telisa dengan

batuan shale. Overpressure generating mechanism yang terjadi adalah Loading

Mechanism, parameter sonic log, density log dan effective stress menunjukkan

nilai yang konstan penyebab overpressure ini adalah disequilibrium compaction.

Penentuan mekanisme overpressure ini digunakan untuk memilih metode yang

akan digunakan dalam perhitungan pore pressure.

104

Gambar 4.7.

Overpressure Mechanism dan Lithologi

4.1.5. Penentuan Pore Pressure

Pengaruh penarikan garis normal compaction trend (NCT) pada Sonic log

sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan Pore Pressure, nilai yang berada

bawah NCT termasuk zona overpressure sedangkan nilai yang berada diatas NCT

merupakan zona yang subnormal, seperti ynag terlihat pada Gambar 4.8.

Perhitungan prediksi pore pressure menggunakan data-data log hanya

bisa pada batuan shale atau mudrock. Pada bataun yang bersifat permeable seperti

sandstone atau limestone perhitungan pore pressure didapatkan dari teori

hydraulic yang mengasumsikan bahwa formasi permeable terkoneksi secara

hydraulic.

Setelah mengetahui mekanisme overpressure yang terjadi langkah

selanjutnya adalah menentukan tekanan pori. Metode yang digunakan dalam

perhitungan tekanan pori adalah Eaton Sonic Method, Bower Method dan

Equivalent Depth. Karena keterbatasan data, tidak adanya data formation test

(DST/RFT) atau connection gas ataupun trip gas, kalibrasi data dilakukan dengan

105

menggunakan data mud weight actual. Hasil perhitungan pore pressure

menggunakan beberapa metode dapat dilihat pada Tabel IV-2.

Pada Sumur “ZZH-40” tidak ada laporan adanya kick, maka perhitungan

pore pressure tidak lebih dari mud weight actual. Sehingga, metode yang paling

mendekati dengan data kalibrasi adalah metode Eaton Sonic. Hasil perhitungan

pore pressure dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.8.

Normal Compaction Trend vs Sonic Log

Table IV-2.

Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton dan Bower

Depth

(ft TVD)

Data

Kalibrasi

(ppg)

Bower

(ppg)

Eaton

(ppg)

Equivalent

Depth (ppg)

2600 9.625 14.25 9.61 11.27

106

Gambar 4.9.

Plot Hasil Perhitungan Pore Pressure

107

Gambar 4.10.

Overpressure Mechanism dan Hasil Plot Pore Pressure

Persamaan yang digunakan dalam perhitungan Pore Pressure

menggunakan metode Eaton Sonic adalah sebagai berikut :

- Perhitungan Pore Pressure menggunakan Eaton Sonic Method pada

kedalaman 5000 ft TVD.

PP = OBG-(OBG-Pn)(

)

PP = 19.1-( 19.1-8.33)(

)

PP = 8.43 ppg

108

Tabel IV-3.

Hasil Perhitungan Pore Pressure Menggunakan Metode Eaton

Depth

(ft)

OBG

(ppg)

Pn

(ppg)

Δt Normal

(us/ft)

Δt Observed

(us/ft)

PP Eaton

(ppg)

1300 16.542 8.33 164.79 177.62 8.63

2600 16.342 8.33 13\4.55 187.64 9.61

4000 18.017 8.33 111.39 129.21 9.02

5000 19.103 8.33 98.29 100.12 8.43

6000 20.416 8.33 87.04 77.63 7.62

4.1.6. Penentuan Rock Mechanics

Sebelum menentukan Fracture Pressure, Horizontal Stress dan Shear

Failure Gradient terlebih dahul menentukan rock mechanism. Rock mechanism

yang perlu ditentukan yaitu Compressional Velocity dan Shearwave Velocity,

Poisson Ratio, Cohesive Strength dan Friction Angel.

- Perhitungan Compressional Velocity (Vp) pada kedalaman 5000 ft

TVD

Konversi us/ft ke km/s

Vp = (1/BHC) x 304.8

Vp = (1/ 100.12) x 304.8

Vp = 3.044 km/s

- Perhitungan Shearwave Velocity (Vs) pada kedalaman 5000 ft TVD

Vs = (0.826 x Vp) – 1.172

Vs = (0.826 x 3.044) – 1.172

Vs = 1.34 km/s

- Perhitungan Poisson Ratio pada kedalaman 5000 ft TVD

Poisson Ratio = 0.769 – 0.226Vp + 0.0316Vp2 – 0.0014Vp

3

Poisson Ratio = 0.769 – 0.226(3.044) + 0.0316(3.044)2 – 0.0014(3.044)

3

Poisson Ratio = 0.334

109

- Perhitungan Cohesive Strength pada kedalaman 5000 ft TVD

CS = 5 (Vp-1) / (√ )

CS = 5 (3.044 -1) / (√ )

CS = 5.858 MPa

- Perhitungan Friction Angel pada kedalaman 5000 ft TVD

FA = Sin-1

((Vp-1)/(Vp+1))

FA = Sin-1

((3.044 -1)/( 3.044 +1))

FA = 30.3630

4.1.7. Penentuan Fracture Pressure

Setelah melakukan perhitungan rock mechanics dengan menggunakan

beberapa metode, maka tahapan selanjutnya adalah menghitung tekanan rekah

atau fracture pressure. Untuk menghitung fracture pressure digunakan beberapa

metode yaitu Eaton, Mathews & Kelly dan Hubbert & Willies. Tetapi dikarenakan

pada Drillwork Software tidak tersediamya metode perhitungan menggunakan

Hubber & Willies, maka perhitungan menggunakan Metode Eaton dan Mathews

& Kelly saja. Dari dua beberapa metode yang digunakan, hasil yang didapatkan

kemudian dikalibrasikan dengan data LOT. Metode yang paling mendekati data

kalibrasi adalah metode Eaton, seperti yang terlihat pada Tabel IV-4. Pada

persamaan fracture pressure menggunakan metode Eaton menggunakan

parameter poisson‟s ratio, pore pressure, dan overburden pressure. Hasil plot

penentuan Fracture Gradient dengan menggunakan beberapa metode dapat dilihat

pada Gambar 4.11.

Table IV-4.

Hasil Perhitungan Fracture Gradient Beberapa Metode

Depth

(ft)

LOT

(ppg)

FG Eaton

(ppg)

FG Mathews & Kelly

(ppg)

1284 12.3 12.835 12.845

110

Gambar 4.11.

Plot Fracture Gradient vs Pore Pressure

- Penentuan Fracture Gradient menggunakan Metode Eaton pada

kedalaman 5000 ft TVD

FG = (

) (OBG-PP) + PP

FG = (

) (19.1-8.43) + 8.43

FG = 13.787 ppg

111

Table IV-5.

Hasil Perhitungan Fracture Gradient Menggunakan Metode Eaton

Depth V

OBG PP FG

(ft) (ppg) (ppg) (ppg)

1300 0.314 16.542 8.63 12.255

2600 0.469 16.342 9.61 15.547

4000 0.438 18.017 9.02 16.026

5000 0.334 19.103 8.43 13.787

6000 0.275 20.416 7.62 12.482

4.1.8. Penentuan Minimum dan Maksimum Horizontal Stress

Minimum horizontal stress adalah satu dari principal stress yang mana

dapat diketahui dan dihitung secara pasti. Beberapa asumsi beranggapan bahwa

nilai dari minimum horizontal stress sama dengan fracture gradient, namun nilai

minimum horizontal stress dipengaruhi oleh tektonik faktor. Dibandingkan dengan

minimum horizontal stress, maximum horizontal stress merupakan satu dari

principal stress yang cukup sulit untuk dijabarkan dan dihitung secara pasti.

Untuk mengetahui besaran dari maximum horizontal stress, harus terlebih dahulu

mengetahui besaran dari minimum horizontal stress.

Menurut Anderson patahan dibagi menjadi 3 yaitu sesar normal, sesar

datar dan sesar naik. Jenis patahan di Cekungan Sumatera Tengah adalah strike-

slip fault, menuru Anderson untuk strike-slip fault nilai k adalah 1.2, sehingga

profil tekanan bawah permukaannya adalah (SHmax >Sv>Shmin). Pada Gambar

4.12. nilai SHmax lebih besar daripada Overburden Gradient dan Shmin, dan nilai

Overburden Gradient berada diantara SHmax dan Shmin. Parameter minimum

horizontal stress dan maximum horizontal stress sangat penting untuk perhitungan

parameter berikutnya yaitu shear failure gradient.

112

Gambar 4.12.

Plot Hasil Perhitungan Tiga Principle Stress

- Perhitungan Tekanan Horizontal Minimum pada kedalaman 5000 ft

TVD

Shmin = (1-Sin(FA)) x k x Sv) + (Sin(FA) x k x PP)

Shmin = (1-Sin(30.363)) x 1.03 x 19.1) + (Sin(30.363) x 1.03 x 8.43)

Shmin = 12.335 ppg

113

- Perhitungan Tekanan Horizontal Maksimum pada kedalaman 5000 ft

TVD

SHmax = Shmin + k(OBG-Shmin)

SHmax = 12.335 + 1.2 (19.1-12.335)

SHmax = 20.453 ppg

Hasil perhitungan manual minimum horizontal stress disajikan pada Tabel

IV-6. Dimana nilai dari hasil perhitungan Shmin dipengaruhi oleh nilai fiction

angel, overburden pressure, pore pressure, dan empirical number.

Table IV-6.

Hasil Perhitungan Minimum Horizontal Stress

Depth

(ft)

Friction Angel

(degree)

OBG

(ppg)

PP

(ppg)

Shmin

(ppg)

1300 36.081 16.542 8.63 11.924

2600 15.102 16.342 9.61 14.953

4000 18.822 18.017 9.02 14.123

5000 30.363 19.103 8.43 12.355

6000 37.691 20.416 7.62 11.964

Hasil perhitungan maximum horizontal stress disajikan pada Tabel IV-7.

Perhitungan maximum horizontal stress dipengaruhi oleh nilai OBG, Shmin, dan

tectonic factor.

Table IV-7.

Hasil Perhitungan Maximum Horizontal Stress

Depth

(ft)

K

(unitless)

OBG

(ppg)

Shmin

(ppg)

SHmax

(ppg)

1300 1.2 16.542 11.924 17.466

2600 1.2 16.342 14.953 16.620

4000 1.2 18.017 14.123 18.796

5000 1.2 19.103 12.355 20.453

6000 1.2 20.416 11.964 22.106

114

4.1.9. Penentuan Shear Failure Gradient

Dalam penentuan Shear Failure Gradient/collapse pressure diperlukan

parameter Friction Angel dan Cohesive Strength. Metode yang digunakan adalah

Modified Lade Criterion karena pada metode ini memperhitungkan 3 principal

stress yaitu minimum horizontal stress, overburden stress dan maximum

horizontal stress. Hasil plot Shear Failure Gradient diperlihatkan pada Gambar

4.13.

- Perhitungan Shear Failure Gradient Metode Modified Lade Criterion pada

kedalaman 5000 ft TVD (3.39-3.45).

FA = 30.3630

Co = 5.858 MPa

S =

S =

S = 10

ŋ =

ŋ =

ŋ = 9.48

I1 ’ = (𝜎1 + S) + (𝜎2 + S) + (𝜎3 + S)

I1 ’ = (12.354 + 10) + (19.1+ 10) + (20.452 + 10)

I1 ’ = 81.91

I3 ’ = (𝜎1 + S)(𝜎2 + S)(𝜎3 + S)

I3 ’ = (12.354 + 10) x (19.1+ 10) x (20.452 + 10)

I3 ’ = 19812.103

SFG = 27 + ŋ −

SFG = 27 + 9.48 −

SFG = 8.74 ppg

115

Gambar 4.13.

Hasil Plot Shear Failure Gradient

4.1.10. Analisa Problem yang Terjadi Pada Sumur “ZZH-40”

Setelah semua profil tekanan bawah permukaan diketahui, maka tahap

selanjutnya yaitu analisa terhadap problem yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”

dengan cara memplot Mud Weight Actual yang digunakan pada saat pemboran.

Mud Weight yang tidak sesuai dengan safe mud window akan menyebabkan

problem pemboran.

Pada Sumur “ZZH-40” terjadi caving pada kedalaman 3105-3463 ft TVD

dan 3540-3793 ft TVD pada Formasi Telisa dengan batuan shale. Problem ini

disebabkan karena mud weight yang digunakan kurang dari shear failure gradient

(MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran lubang bor.

Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight sehingga

MW>SFG.

116

Gambar 4.14.

Indikasi Problem Pada Sumur “ZZH-40”

Selain karena faktor tekanan yang menyebabkan problem caving,

berdasarkan nilai dari brittleness index menunjukkan nilai brittleness index tinggi

atau didominasi oleh batuan yang bersifat high brittle. Sehingga problem yang

terjadi diakibatkan karena foktor tekanan dan juga diakibatkan oleh faktor alami

dari batuan yang bersifat mudah runtuh (brittle).

- Perhitungan brittleness index pada kedalaman 3129 ft

Ebrittleness =

Ebrittleness =

= 0.475

vbrittleness =

vbrittleness =

= 0.492

Bavg =

Bavg =

Bavg = 0.484

117

Table IV-8.

Nilai Brittelness Index

Depth

(ft) Brittleness Index Sifat Batuan

3129 0.484 High Brittle

3320 0.521 High Brittle

3455 0.506 High Brittle

3633 0.475 Medium Brittle

3800 0.660 High Brittle

Selain problem caving, pada pemboran Sumur “ZZH-40” juga terjadi

swelling, pada Formasi Telisa dengan lithologi shale. Problem swelling tidak

dapat diidentifikasi dari Model Geomekanik 1D, problem ini terjadi karena pada

formasi tersebut didominasi oleh mineral smectit/montmorillonit dan adanya

interaksi antara smectit dan drilling fluid yang digunakan.

Jenis lumpur yang digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah

Gel-Lignite dengan PH sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang

bersifat basa membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi,

sehingga memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan

formasi yang menyebabkan swelling. Untuk mengatasi masalah swelling dapat

dilakukan dengan menambah additive yang membuat PH lumpur berkurang

sehingga dapat mencegah swelling.

Table IV-9.

Problem Pada Sumur “ZZH-40”

Problem Depth

(ft TVD) Formasi Lithologi

Swelling 2126-2770 Petani Shale sisipan sandstone

Caving 3105-3463 Telisa Shale

Caving 3540-3793 Telisa Shale

118

Tabel IV-10.

Mud Weight Actual Sumur “ZZH-40”

Depth

(ft TVD)

MW

(ppg)

1160 9.625

4369 9.625

4369 10

5814 10

5814 9.625

6083 9.625

6083 9.759

6489 9.759

6489 9.892

7000 9.892

4.1.11. Perencanaan Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40”

Setelah diketahui model safe mud window, langkah selanjutnya adalah

menentukan mud weight optimal yang digunakan untuk menghindari hole

instability. Perencanaan mud weight didasarkan pada safe mud window. Model

safe mud window menempatkan shear failure gradient sebagai batas minimal mud

weight dan minimum horizontal stress sebagai batas maksimum mud weight.

Desain mud weight optimal pemboran Sumur “ZZH-40” seperti yang terlihat pada

Tabel IV-11.

119

Tabel IV-11.

Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40”

Depth

(ft)

Casing

Size

(in)

Problem

Indicated

Borehole

Stability

Mud

Weight

Actual

(ppg)

Mud Weight

Recommended (ppg)

Interval

MW Min Max

Surface-

1284 13 3/8 - - 9.625 8.9-11.8 8.9 11.8

1284-3105

10 3/4

- - 9.625

10-11.6

10 11.6

3105-3463 Caving MW<SFG 9.625 10 11.6

3540-3793 Caving MW<SFG 9.625 10 11.6

4369-4925 - - 10 10 11.6

4925-5814

7 - -

10

9.2-11.9

9.2 11.9

5814-6083 9.625 9.2 11.9

6083-6489 9.759 9.2 11.9

6489-7000 9.892 9.2 11.9

120

Gambar 4.15.

Desain Mud Weight Optimum

4.1.12. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40”

Setelah menentukan mud weight optimal, maka selanjutnya dapat

digunakan untuk menentukan casing setting depth. Menurut Zoback perencaan

casing setting depth menggunakan analisa geomekanik menggunakan empat data

tekanan, yaitu pore pressure, collapse pressure/shear failure gradient, minimum

horizontal stress dan fracture pressure.

Penambahan safety factor dalam mud weight diperlukan untuk

menantisipasi kenaikan tekanan dari drilling fluid akibat adanya efek swab dan

surge pada saat penurunan maupun pencabutan casing. Penambahan densitas

lumpur sebesar 0.3 ppg sehingga didapatkan desain casing setting depth seperti

yang terlihat pada Gambar 4.16., hasil plot yang didapatkan adalah 3 trayek

casing untuk membor sampai target kedalalaman yaitu 7000 ft.

121

Penempatan surface casing ukuran 13 3/8 inch pada Sumur “ZZH-40”

pada kedalaman 1284 ft pada Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan

sandstone. Karena tidak lengkapnya data coring, sehingga pertimbangan

penempatan surface casing dilihat dari hasil plot tekanan sebelum tekanan formasi

bertambah tinggi.

Casing Intermediate ukuran 10 3/4 inch ditempatkan pada kedalaman 4925 ft

pada Formasi Bekasap (Sihapas Group), berdasarkan data coring, lithologi pada

kedalaman tersebut adalah sandstone. Casing diletakkan pada kedalaman setelah

terjadinya overpressure.

Production Casing dipasang dari permukaan sampai Target Depth.

Production casing ukuran 7 inch ditempatkan di TD yaitu 7000 ft pada Formasi

Pematang dengan lithologi batuan shale.

Gambar 4.16.

Perencanaan Casing Setting Depth

122

Tabel IV-12.

Perencanaan Casing Setting Depth

Casing Casing Size

(in)

Depth

(ft) Lithologi

Formasi at

Casing Shoe

Surface 13 3/8 1284 Shale sisipan

Sandstone Petani

Intermediate 10 3/4 4925 Sandstone Bekasap

(Sihapas Group)

Production

Casing 7 5/8

7000

(TD) Shale Pematang

123

BAB V

PEMBAHASAN

Perencanaan Mud Weight dan Casing Setting Depth berdasarkan prediksi

pore pressure dan safe mud window pada Sumur “ZZH-40”, dilakukan dengan

menggunakan analisa geomekanik untuk menentukan profil tekanan bawah

permukaan. Tekanan bawah permukaan yang perlu diketahui untuk membuat safe

mud window adalah pore pressure, fracture pressure, overburden pressure,

minimum dan maximum horizontal stress dan shear failure gradient. Model safe

mud window didapatkan dari pengolahan data gamma ray log, density log dan

sonic log dengan menggunakan drillwork software. Safe mud window nantinya

akan digunakan untuk penentuan mud weight optimal dan casing setting depth

pada pemboran sumur “ZZH-40” dan juga sumur-sumur sekitarnya, sehingga

dapat menjadi acuan untuk operasi pemboran selanjutnya.

Mud weight optimal merupakan range densitas lumpur agar pemboran tidak

mengelami masalah seperti loss circulation, kick ataupun caving. Mud weight

optimal sesuai dengan safe mud window yaitu lebih dari shear failure gradient

tetapi kurang dari minimum horizontal stress. Apabila mud weight kurang dari

shear failure gradient makan akan terjadi caving, dan apabila mud weight lebih

dari minimum horizontal stress maka akan terjadi loss circulation.

Penentuan desain casing setting depth selain berdasarkan pada safe mud

window juga didasarkan pada lithologi formasi yang dilalui dan hole problem.

Formasi untuk dudukan casing haruslah formasi yang kuat. Penempatan casing

juga harus berfungsi untuk menutupi zona yang rawan terhadap problem, seperti

caving, loss circulation dan sloughing. Penempatan casing shoe harus menutup

formasi bertekanan tinggi untuk menghindari blowout dan casing string terjepit.

5.1. Analisa Geopressure Sumur “ZZH-40”

Langkah pertama sebelum mengetahui profil tekanan bawah permukaan

Sumur “ZZH-40” perlu diketahui terlebih dahulu formasi-formasi yang ditembus

124

pada pemboran Sumur “ZZH-40” yaitu Formasi Minas dengan batupasir sisipan

batu lempung, Formasi Petani terdiri dari shale sisipan batupasir, Formasi Telisa

dengan lithologi shale, Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan batupasir

sisipan shale, batu gamping tipis dan lapisan tipis batubara, Formasi Pematang

terdiri dari shale. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel II-1.

Data-data pendukung yang diperlukan dalam analisa geomekanik adalah well

report dan wireline log yang terdiri dari gamma ray log, density log dan sonic log,

untuk validasi hasil perhitungan menggunakan data formation test (LOT) dan mud

weight actual. Dari data-data log yang diolah menggunakan drillwork software

dan telah dikalibrasi dengan data validasi akan menghasilkan profil tekanan

bawah permukaan yang terdiri dari pore pressure, fracture pressure, overburden

pressure, minimum dan maximum horizontal stress dan shear failure gradient.

Dalam menentukan profil tekanan bawah permukaan menggunakan

drillwork software, setelah melakukan input data-data log (gamma ray log, density

log dan sonic log) langkah selanjutnya yaitu membuat shale base line dari gamma

ray log untuk memisahkan zona shale dan non shale. Zona yang berada disebelah

kanan shale line merupakan formasi shale, sedangkan zona yang berada

disebelah kiri shale line merupakan formasi non shale.

Analisa geopressure pertama dilakukan dengan menentukan overburden

gradient. Overburden gradient dapat ditentukan dengan menggunakan data bulk

density dengan menggunakan Metode Gardner dan mengkalibrasikannya dengan

sonic log. Penggunaan metode Gardner memiliki hasil yang mendekati dengan

data density log. Hasil bulk density metode Gardner dan pengkalibrasian dengan

sonic log menghasilkan RHOB Composite, yang nantinya digunakan dalam

perhitungan overburden gradient. Perhitungan overburden gradient merupakan

dasar dalam analisa geomekanik dan tahapan analisa selanjutnya. Langkah

selanjutnya sebelum menentukan pore pressure adalah terlebih dahulu

menentukan overpressure mechanism yang terjadi. Penentuan mekanisme

overpressure dilakukan dengan membuat Normal Compaction Trend (NCT) pada

sonic log dan disandingkan dengan density log kemudian dibandingkan dengan

teori loading/unloading mechanism.

125

Overpressure Generating Mechanism yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”

adalah Loading Mechanism dapat dilihat pada Gambar 4.6.-4.10. Overpressure

terjadi pada kedalaman 1284-4866 ft, parameter sonic log,density log dan effective

stress menunjukkan nilai yang konstan penyebab overpressure ini adalah

disequilibrium compaction, pada kedalaman tersebut merupakan perselingan

antara shale dan sandstone. Penyebab adanya kenaikan tekanan (overpressure)

tersebut disebabkan oleh sandstone yang memiliki porositas cukup besar dan

bersifat permeabel kemudian terjadi proses sedimentasi dengan jenis batuan yang

memiliki permebilitas rendah, penyebab disequlibrium compaction juga

dikarenakan adanya seal. Ketika terjadi sedimentasi, fluida yang mengisi pori

batuan akan keluar dari pori batuan karena beban sedimen baru diatasnya, tetapi

apabila batuan memilki permeabilitas yang kecil maka laju alir fluida yang ada di

dalam pori tidak sebanding dengan laju sedimentasi. Ketika fluida yang akan

mengisi pori batuan tidak keluar dari pori batuan, maka akan menyebabkan batuan

tersebut gagal terkompaksi (disequilibrium compaction) dan porositas batuan

tidak berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada kondisi ketika

pembebanan semakin bertambah namun tidak seiring dengan laju fluida yang

keluar dari pori batuan, maka fluida pori menanggung beban sedimen yang ada

diatasnya dan mengakibatkan terjadinya overpressure. Penentuan mekanisme

overpressure ini digunakan untuk memilih metode yang akan digunakan dalam

perhitungan pore pressure.

Analisa pore pressure dilakukan dengan menggunakan Metode Eaton

Sonic. Perhitungan prediksi pore pressure menggunakan data-data log hanya bisa

pada batuan shale atau mudrock. Pada bataun yang bersifat permeable seperti

sandstone atau limestone perhitungan pore pressure didapatkan dari teori

hydraulic yang mengasumsikan bahwa formasi permeable terkoneksi secara

hydraulic dan batuan tersebut tersaturasi (J.J. Zhang, 2019). Hasil yang didapat

seperti yang terlihat pada Gambar 4.9. Kalibrasi data yang digunakan adalah mud

weight actual, karena keterbatasan data, tidak adanya data MDT/FIT atau

connection gas atau trip gas ataupun total gas. Berdasarkan drilling report tidak

terdapat problem kick, sehingga nilai pore pressure kurang dari mud weight

126

actual. Perhitungan menggunakan metode Bowers dan Equivalent Depth

menunjukkan bahwa nilai tekanan pori melebihi mud weight actual, sedangkan

dengan metode Eaton nilai tekanan pori kurang dari mud weight actual, sehingga

metode yang paling sesuai adalah Metode Eaton.

Perhitungan fracture pressure, minimum horizontal stress, maximum

horizontal stress dan shear failure gradient dipengaruhi oleh parameter rock

mechanics seperti compressional velocity (Vp), shearwave velocity (Vs), poisson

ratio, cohesive strength dan friction angel. Maka dari itu perlu ditentukan rock

mechanics terlebih dahulu. Compressional velocity (Vp) ditentukan menggunakan

data dari sonic log, kemudian hasil Vp digunakan untuk menentukan rock

mechanics yang lainnya.

Penentuan fracture pressure menggunakan Metode Mathews & Kelly dan

Metode Eaton. Hasil perhitungan beberapa metode kemuadian dikalibrasikan

dengan data Leak Off Test pada Sumur “ZZH-40”. Hasil yang paling mendekati

data Leak Off Test adalah Metode Eaton. Hasil perhitungan fracture pressure

dapat dilihat pada Gambar 4.11.

Perhitungan minimum horizontal stress menggunakan metode Mohr-

Coloumb Friction dengan memperhitungkan parameter pore pressure, fracture

gradient dan friction angel. Jenis patahan yang terdapat di Cekungan Sumatera

Tengah adalah sesar mendatar (strike-slip faultI), sehingga penentuan maximum

horizontal stress menggunakan metode Anderson dengan nilai tectonic factor

sebesar 1.2. Menurut Anderson profil tekanan bawah permukaan untuk strike-slip

fault adalah tekanan horizontal maksimum merupakan tekanan yang paling besar

diantara principle stress lainnya, kemudian tekanan overburden berada diantara

tekanan horizontal maksimum dan tekanan horizontal minimum (SHmax

>Sv>Shmin). seperti yang terlihat pada Gambar 4.12.

Penentuan tekanan bawah permukaan yang terakhir adalah shear failure

gradient dengan menggunakan metode Modified Lade Criterion, metode ini

memperhitungkan tiga principle stress yaitu overburden gradient, minimum

horizontal stress dan maximum horizontal stress dan juga parameter cohesive

strength dan friction angel.

127

5.2. Analisa Problem yang Terjadi Pada Sumur “ZZH-40”

Setelah semua profil tekanan bawah permukaan sudah diketahui, plot antara

model safe mud window dan mud weight actual dapat digunakan untuk

mengidentifikasi problem yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”. Berdasarkan data

dari caliper log, terjadi swelling pada kedalaman 2120-2770 ft TVD dan caving

pada kedalaman 3140-3460 ft TVD dan 3540-3800 ft TVD.

Seperti yang dapat dilihat pada hasil plot tekanan bawah permukaan dan

korelasi mud weight actual pada Gambar 4.14., terjadi caving pada kedalaman

3105-3463 ft TVD dan 3540-3793 ft TVD pada Formasi Telisa dengan batuan shale.

Problem ini disebabkan karena mud weight yang digunakan kurang dari shear

failure gradient (MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran

lubang bor. Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight

sehingga MW>SFG.

Selain karena faktor tekanan yang menyebabkan problem caving,

berdasarkan nilai dari brittleness index menunjukkan nilai brittleness index tinggi

atau didominasi oleh batuan yang bersifat high brittle. Sehingga problem yang

terjadi diakibatkan karena foktor tekanan dan juga diakibatkan oleh faktor alami

dari batuan yang bersifat mudah runtuh (brittle).

Selain problem caving, pada pemboran Sumur “ZZH-40” juga terjadi

swelling, pada kedalaman 2126-2770 ft TVD di Formasi Telisa dengan lithologi

shale. Problem swelling tidak dapat diidentifikasi dari Model Geomekanik 1D,

problem ini terjadi karena interaksi antara fluida pemboran dengan formasi yang

kaya akan swelling mineral clay, pada formasi tersebut kemungkinan didominasi

oleh mineral smectit/montmorillonit dan adanya interaksi antara drilling fluid

akan menyebabkan wellbore instability.

Jenis lumpur yang digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah

Gel-Lignite dengan PH sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang

bersifat basa membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi,

sehingga memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan

formasi yang menyebabkan swelling. Water activity yang tinggi disebabkan

karena low salinity dari drilling fluid, sehingga terjadi proses osmosi (aliran air)

128

dari fluida pemboran menuju ke formasi dan mengakibatkan swelling (Ejfaer,

2011). Untuk mengatasi masalah swelling dapat dilakukan dengan menambah

additive yang membuat PH lumpur berkurang sehingga dapat mencegah swelling.

Menurut (Ejfaer, 2011) problem yang sering terjadi pada formasi yang kaya akan

swelling clay minerals berhubungan dengan tekanan tinggi, sehingga untuk

mengatasi masalah swelling dapat dilakukan dengan menambah densitas mud dan

menggunakan additive yang dapat mencegah swelling, seperti sodium silikat, atau

kalsium karbonat atau molekul berantai panjang (glycol, polymer, dll).

5.3. Desain Mud Weight Optimal Sumur “ZZH-40” Berdasarkan Safe Mud

Window untuk Menjaga Kestabilan Lubang Bor

Desain mud weight optimal didasarkan pada safe mud window untuk menjaga

kestabilan lubang bor, mud weight harus lebih besar daripada shear failure

gradient tetapi kurang dari minimum horizontal stress. Batas minimum mud

weight optimal didasarkan pada shear failure gradient dan batas maksimum

didasarkan pada minimum horizontal stress. Apabila mud weight kurang dari

shear failure gradient maka akan terjadi caving, apabila mud weight lebih dari

minimum horizontal stress akan terjadi loss circulation. Berdasarkan pada model

safe mud window yang sudah dibuat mud weight optimal pada trayek 13 3/8” dari

surface-1284 ft sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek 10 3/4” pada kedalaman 1284-

4925 ft sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada kedalaman 4925-7000 ft sebesar

9.2-11.9 ppg. Seperti yang terlihat pada Tabel IV-11. dan diperlihatkan model

mud weight optimal pada software drillwork seperti pada Gambar 4.15. Hasil

perencanaan mud weight yang didapatkan dapat menjadi acuan dalam pemboran

sumur-sumur di sekitar Sumur “ZZH-40”. Range hasil evaluasi mud weight

merupakan batasan MW statis dan MW dinamis, dimana nilai Equivalent Static

Density (ESD) tidak lebih kecil dari pada nilai MW rekomendasi terendah dan

Equivalent Circulating Density (ECD) tidak lebih tinggi dari MW rekomendasi

tertinggi.

129

5.4. Perencanaan Casing Setting Depth Sumur “ZZH-40”

Setelah menentukan mud weight optimal, maka selanjutnya dapat digunakan

untuk menentukan casing setting depth. Perencanaan casing setting depth

mempertimbangkan lithologi formasi yang dilalui, regulasi terkait dengan

pemasangan casing, permasalahan pemboran yang terjadi dan tekanan bawah

permukaan sumur tersebut. Menurut (Zoback, 2007) perencaan casing setting

depth menggunakan analisa geomekanik menggunakan empat data tekanan, yaitu

pore pressure, collapse pressure/shear failure gradient, minimum horizontal

stress dan fracture pressure.

Pada sumur “ZZH-40” di Formasi Petani terdapat shale dengan sisipan

sandstone, seperti yang sudah diketahui batuan shale rawan akan caving maupun

sloughing, selain itu pada Formasi Petani dan Formasi Telisa terjadi overpressure

(abnormal pressure) sehingga penempatan casing shoe harus tepat agar mampu

menutupi zona rawan tersebut.

Penambahan safety factor dalam mud weight diperlukan untuk

menantisipasi kenaikan tekanan dari drilling fluid akibat adanya efek swab dan

surge pada saat penurunan maupun pencabutan casing. Penambahan densitas

lumpur sebesar 0.3 ppg sehingga didapatkan desain casing setting depth seperti

yang terlihat pada Gambar 4.16., hasil plot yang didapatkan adalah 3 trayek

casing untuk membor sampai target kedalalaman yaitu 7000 ft.

Penempatan surface casing ukuran 13 3/8 inch pada Sumur “ZZH-40” pada

kedalaman 1284 ft pada Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan

sandstone. Karena tidak lengkapnya data coring, sehingga pertimbangan

penempatan surface casing dilihat dari hasil plot tekanan sebelum tekanan formasi

bertambah tinggi.

Casing Intermediate ukuran 10 3/4 in ditempatkan pada kedalaman 4925 ft

pada Formasi Bekasap (Sihapas Group), berdasarkan data coring, lithologi pada

kedalaman tersebut adalah sandstone. Pertimbangan lain penempatan casing pada

kedalaman tersebut adalah setelah terjadinya overpressure (di bottom

overpressure).

130

Production Casing dipasang dari permukaan sampai Target Depth.

Production casing ukuran 7 inch ditempatkan di TD yaitu 7000 ft pada Formasi

Pematang dengan lithologi batuan shale.

131

BAB VI

KESIMPULAN

Setelah dilakukan analisa geomekanik untuk perencanaan desain mud weight

dan casing setting depth berdasarkan prediksi pore pressure dan safe mud

window, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Overpressure Generating Mechanism yang terjadi pada Sumur “ZZH-40”

adalah Loading Mechanism. Overpressure terjadi pada kedalaman 1284-4866

ft, parameter sonic log, density log dan effective stress menunjukkan nilai

yang konstan penyebab overpressure ini adalah disequilibrium compaction

karena ketidakseimbangan antara laju pengendapan dengan laju alir fluida

pori, sehingga menyebabkan batuan gagal terkompaksi (disequilibrium

compaction).

2. Pada kedalaman 3105-3463 ft TVD dan 3540-3793 ft TVD terjadi caving

pada Formasi Telisa dengan batuan shale. Problem ini disebabkan karena

mud weight yang digunakan lebih kecil dari shear failure gradient

(MW<SFG), sehingga terjadi wellbore failure yaitu pembesaran lubang bor.

Langkah yang perlu dilakukan adalah menaikkan mud weight sehingga

MW>SFG.

3. Pada kedalaman 2126-2770 ft TVD terjadi swelling di Formasi Telisa dengan

lithologi shale. Problem swelling tidak dapat diidentifikasi dari Model

Geomekanik 1D, problem ini terjadi karena interaksi antara fluida pemboran

dengan formasi yang kaya akan swelling mineral clay. Jenis lumpur yang

digunakan pada pemboran Sumur “ZZH-40”adalah Gel-Lignite dengan PH

sebesar 8. Lumpur tersebut tergolong basa, lumpur yang bersifat basa

membuat water activity dari lumpur pemboran menjadi tinggi, sehingga

memungkinkan terjadinya proses osmosi antara drilling fluid dan formasi

yang menyebabkan swelling. Untuk mengatasi masalah swelling dapat

dilakukan dengan menambah additive yang dapat mencegah swelling, seperti

132

sodium silikat, atau kalsium karbonat atau molekul berantai panjang (glycol,

polymer, dll).

4. Desain Mud Weight optimal agar pemboran terhindar dari wellbore instability

berdasarkan safe mud window adalah pada trayek 13 3/8” dari surface-1284 ft

sebesar 8.9-11.8 ppg, pada trayek 10 3/4” pada kedalaman 1284-4925 ft

sebesar 10-11.6 ppg, pada trayek 7” pada kedalaman 4925-7000 ft sebesar

9.2-11.9 ppg.

5. Perencanaan casing setting depth dengan menggunakan safe mud window

menghasilkan 3 trayek casing, yaitu surface casing 13 3/8” diletakkan pada

kedalaman 1284 ft di Formasi Petani dengan lihologi shale dengan sisipan

sandstone, intermediate casing 10 3/4” diletakkan pada kedalaman 4925 ft

Formasi Bekasap (Sihapas Group) dengan lithologi sandstone dan production

casing 7” dipasang pada target depth 7000 ft di Formasi Pematang dengan

lithologi shale.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, N. J. (1985). Drilling Engineering Department of Drilling Engineering.

Heriot-Watt University.

Ahmad Washlul Latief. (2020). Evaluasi Penggunaan Interval Mud Weight

Dengan Menggunakan Korelasi Data Log Pada Pemboran Sumur “A-50”

Lapangan AWL Cekungan Jawa Timur Utara. Program Studi Teknik

Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta.

Altamar, Roderick Perez and Marfurt, Kurt. (2014). Mineralogy-based Brittleness

Prediction From Surface Seismic Data : Application to the Barnett Shale.

Society of Exploration Geophysicists and American Association of

Petroleum Geologists. http://dx.doi.org/10.1190/INT-2013-0161.1.

Azadpour, M., & Manaman, N. S. (2015). Determination of Pore Pressure from

Sonic Log : a Case Study on One of Iran Carbonate Reservoir Rocks. Iranian

Journal of Oil and Gas Science and Technology, 4(3), 37–50.

Bai, Mao. (2016). Why are Brittleness and Fracability not Equivalent in

Designing Hydraulic Fracturing in Tight Shale Reservoir. Houston, USA.

https://doi.org/10.1016/j.petlm.2016.01.001.

Baker Huges INTEQ. (2002). Formation Pressure Evaluation. Houston, USA :

Baker Hughes Reference Guide.

BG Group . (2001). Well Engineering and Production Operations Management

System Casing Design Manual. BG Group Reference Guide.

Ejfaer. (2008). Petroleum Related In Marine Environmental Research 2nd

Edition.

Amsterdam: Elsevier B.V. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21601919

Rabia, H. (2002). Well Engineering & Construction Hussain Rabia. 1 to 789.

Ramdham, A. M. (2010). Durham E-Theses Overpressure and Compaction in

The Lower Kutai Basin, Indonesia. Durham University.

Ramdhan, A. M. (2011). The Challenge of Pore Pressure Prediction in

Indonesia‟s Warm Neogene Basins. Proceedings, Indonesia Petroleum

Association Thirty-Fifth Annual Convention&Exhibition.

https://doi.org/10.29118/ipa.261.11.g.141

Solano, Y. P., Uribe, R., Frydman, M., Saavedra, N. F., & Calderón, Z. H. (2007).

A Modified Approach to Predict Pore Pressure Using The D Exponent

Method: An Example from The Carbonera Formation, Colombia. CT y F -

Ciencia, Tecnologia y Futuro, 3(3), 103–111.

T. L. Heidrick and K. Aulia. (1993). Structural and Tectonic Model of the Coastal

Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia. Proceedings of 22nd

Annual Convention Indonesian Petroleum Association (Indonesian

Petroleum Association, Jakarta, 1993)

Zhang, J., & Yin, S. (2017). Real-Time Pore Pressure Detection: Indicators and

Improved Methods. Hindwal Geofluids.

https://doi.org/10.1155/2017/3179617

Zhang, J. J. (2019). Applied Petroleum Geomechanics. Cambridge, Unites State :

Elsevier Gulf Professional Publishing. https://doi.org/10.1016/C2017-0-

01969-9

Zoback, M. D. (2007). Reservoir Geomechanics. United State of America:

Cambridge UniversityPress. https://doi.org/10.18814/epiiugs/2009/v32i3/009

LAMPIRAN A

PROBLEM SUMUR “ZZH-40”

1. Swelling

Plot data dari Caliper Log menunjukkan adanya penyempitan lubang bor,

seperti yang terlihat pada Gambar A.1. Terjadi penyempitan lubang bor

(swelling) dari normal size yaitu 12.25 in pada kedalaman 2126-2770 ft .

Gambar A.1.

Plot Grafik Caliper Log dan Swelling

Gambar A.2.

Data Caliper Log dan Problem Swelling

Gambar A.3.

Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan

Gambar A.4.

Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan

Gambar A.5.

Data Caliper Log dan Problem Swelling Lanjutan

2. Caving (Hole Enlargment)

Plot data dari Caliper Log menunjukkan adanya pelebaran lubang bor, seperti

yang terlihat pada Gambar A.6. Terjadi pelebaran lubang bor (caving) dari

normal size yaitu 12.25 in pada kedalaman 3105-3463 ft .

Gambar A.6.

Plot Grafik Caliper Log dan Caving

Gambar A.7.

Data Caliper Log dan Problem Caving

Gambar A.8.

Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan

Gambar A.9.

Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan

Terjadi pelebaran lubang bor (caving) dari normal size yaitu 12.25 in pada

kedalaman 3540-3793 ft seperti yang terlihat pada Gambar A.10.

Gambar A.10.

Plot Grafik Caliper Log dan Caving

Gambar A.11.

Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan

Gambar A.12.

Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan

Gambar A.13.

Data Caliper Log dan Problem Caving Lanjutan

LAMPIRAN B

HASIL PERBANDINGAN METODE

PERHITUNGAN BAWAH PERMUKAAN

Gambar B.1.

Perbandingan Hasil Perhitungan Pore Pressure Metode Eaton, Metode

Bower dan Metode Equivalent Depth

Gambar B.2.

Perbandingan Hasil Perhitungan Fracture Pressure Metode Eaton dan

Metode Mathews & Kelly

LAMPIRAN C

TUTORIAL DRILLWORK

Gambar C.1.

Input Data

Gambar C.2.

Hasil Penarikan Shale Line dan Log SHPT DT

Gambar C.3.

Overburden Pressure

Gambar C.4.

Penentuan Overpressure Mechanism

Gambar C.5.

Perhitungan Pore Pressure

Gambar C.6.

Perhitungan Fracture Gradient

Gambar C.7.

Perhitungan Tiga Principle Stress

Gambar C.8.

Perhitungan Shear Failure Gradient

Gambar C.9.

Desain Mud Wieght Optimum

Gambar C.9.

Penentuan Casing Setting Depth