Pendidikan Multikultural

21
Pendidikan Multikultural Pembentuk Karakter Keindonesiaan Oleh: Sariban* Abstrak Paradigma pendidikan multikultural sangat relevan diterapkan di negara-negara yang multietnis dan multibudaya, seperti Indonesia. Keragaman budaya jika dikelola dengan baik akan mampu membentuk karakter kebangsaan keindonesiaan yang kokoh. Karena itu, pendidikan multikultural sangat memiliki kontribusi dalam menyukseskan kebijakan pendidikan berbasis karakter. Konsep inilah yang kemudian lahir kebijakan pendidikan karakter. Tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya nilai- nilai perilaku atau karakter warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Insan kamil adalah insan sempurna sebagai manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat, bangsa, dan agamanya di tengah keragaman kehidupan. Pendidikan multikultural karena itu diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik yang dapat memosisikan diri dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kebangsaan. Karakter inilah yang sejatinya pengokoh karakter keindonesian kita sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki identitas. Jika karakter tersebut telah menjadi ‘keterampilan betindak’ manusia Indonesia, bangsa Indonesia akan menjadi besar karena semua problem kehidupan selalu dapat diatasi dengan kekokohan karakter kebangsaannya. Pendidikan multikulturalisme karenanya diharapkan mampu membentuk karakter religius, inovatif, menghargai keragaman orang lain, toleran, rela dalam hidup, percaya diri, dan jiwa nasionalisme. Perwujudan karakter tersebut dapat dilakukan melalui praktik pembelajaran ‘karakter keindonesiaan’. Pembelajaran ini dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap,

Transcript of Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural Pembentuk Karakter Keindonesiaan

Oleh: Sariban*

AbstrakParadigma pendidikan multikultural sangat relevan diterapkan

di negara-negara yang multietnis dan multibudaya, sepertiIndonesia. Keragaman budaya jika dikelola dengan baik akan mampumembentuk karakter kebangsaan keindonesiaan yang kokoh. Karenaitu, pendidikan multikultural sangat memiliki kontribusi dalammenyukseskan kebijakan pendidikan berbasis karakter.

Konsep inilah yang kemudian lahir kebijakan pendidikankarakter. Tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya nilai-nilai perilaku atau karakter warga belajar yang meliputipengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untukmelaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dirisendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadiinsan kamil. Insan kamil adalah insan sempurna sebagai manusiayang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat, bangsa,dan agamanya di tengah keragaman kehidupan.

Pendidikan multikultural karena itu diharapkan mampumembentuk karakter peserta didik yang dapat memosisikan diridalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain,lingkungan, dan kebangsaan. Karakter inilah yang sejatinyapengokoh karakter keindonesian kita sehingga bangsa ini menjadibangsa yang memiliki identitas. Jika karakter tersebut telahmenjadi ‘keterampilan betindak’ manusia Indonesia, bangsaIndonesia akan menjadi besar karena semua problem kehidupanselalu dapat diatasi dengan kekokohan karakter kebangsaannya.

Pendidikan multikulturalisme karenanya diharapkan mampumembentuk karakter religius, inovatif, menghargai keragamanorang lain, toleran, rela dalam hidup, percaya diri, dan jiwanasionalisme. Perwujudan karakter tersebut dapat dilakukanmelalui praktik pembelajaran ‘karakter keindonesiaan’.Pembelajaran ini dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap,

tindakan, dan pembiasaan. Terwujudnya karakter keindonesiaantersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusiaIndonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan ini menjadi energibesar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di tengahpercaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapatdiwujudkan melalui karakter manusia yang kuat. Karakterkeindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme inilah salahsatu harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengankeyakinan kolektif sebagai bangsa.

Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Karakter Keindonesiaan

________________* Penulis adalah guru SMP Negeri 1 Widang Tuban Jawa Timur sedang melakukanriset doktoral ‘Nasionalisme Bangsa Terjajah’. Alamat Jl. Pramuka IX/27Tuban-Jawa Timur. Email: [email protected]

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang

mendiami setiap pulau memiliki cirikhas yang berbeda-beda.

Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal

wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami

bersama. Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk keseragaman

bukanlah hal yang dapat dibenarkan.

Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh

kesatuan sebagai bangsa yang satu bangsa Indonesia. Semangat

Bhineka Tungal Ika yang sering dimaknai sebagai ‘berbeda-beda

tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi ruang semua

perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia

tetap menjadi muara segala perbedaan tersebut.

Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional.

Pendidikan nasional dikembangkan dengan prinsip menghargai dan

memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah dan

lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya

lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir,

tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.

Latar belakang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan

timbal balik antara variabel pendidikan multikultural dan

karakter keindonesiaan. Input pendidikan yang beragam harus

diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal

membentuk karakter keindonesiaan haruslah menjadi tujuan bersama.

Hal ini tampaknya merupakan kemutlakan karena setelah munculnya

regulasi otonomi daerah pada tahun dua ribuan, semangat

kedaerahan menjadi primordial yang berdampak lunturnya jiwa

nasionalisme.

Beberapa analis dalam konggres kebudayaan di Jawa Timur

akhir 2010 lalu bahkan sempat merisaukan apakah Indonesia masih

ada setelah 2028 nanti. Rasionalisasi mereka dilatarbelakangi

oleh realitas bahwa solidaritas warga bangsa sebagai kesatuan

bangsa kian lama luntur oleh semangat desentralisasi yang

sesungguhnya tujuan utamanya menyejahterakan rakyat daerah dengan

tetap menjunjung tinggi berbangsa satu bangsa Indonesia. Memahami

kegamangan ini, makalah ini mengungkap dua masalah utama. Kedua

masalah tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimanakah

konsep pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Kedua,

bagaimanakah konsep pendidikan multikultural yang berbasis

karakter keindonesiaan.

B. Pembahasan

Sesuai dengan topik utama, pembahasan dalam makalah ini

meliputi dua hal. Pembahasan masalah pertama berfokus pada

pendidikan multikultural di Indonesia. Pembahasan masalah kedua

berfokus pada pendidikan multikultural yang berbasis karakter

keindonesiaan.

B.1 Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur

dengan memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003

menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,

tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai

keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar

perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia

juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikembangan

berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan

bangsa.

Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang

didasarkan pada UU Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan

dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa,

Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas.

Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan

komunitas dunia.

Kuper (2000) sebagaimana dikutip Pupu Saeful Rahmat

menyepadankan pendidikan multikultural dengan pendidikan

multibudaya. Gelombang pendidikan multibudaya dimulai sebagai

gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum

sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an.

Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-

sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan

dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para

pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus

sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang

berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan

budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Secara teknis pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh

Banks (1993). Banks mendiskripsikan evolusi pendidikan

multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk

mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua,

hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk

menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan

sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain,

seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut

perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase

keempat perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada

hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan

bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi. Gerakan reformasi

mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga

pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apa pun ras

atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi

seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati

pendidikan.

Hak-hak hidup bersama dan memeroleh penghidupan yang layak

sebagai warga dunia juga menjadi perhatian dalam konsep

pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik tolak Nieto

(1992) dalam melihat perspektif pendidikan multikultral. Nieto

menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah

pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan

keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia;

yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem

pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan

yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang

merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama

memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik;

dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian

pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk

mengembangkan keterampilan dalam membuat keputusan dan tindakan

sosial.

Konsep-konsep pendidikan multkultural yang dikembangkan

pakar dunia tersebut telah diadopsi oleh para pakar pendidikan di

Indonsia yang konsen terhadap persoalan pluralisme. Parsudi

Suparlan, pakar ilmu sosial dari UI, menjelaskan bahwa

multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan

perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme.

Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan

perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan

mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan

masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan

yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan

kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang

multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat

umum, tempat kerja, pasar, dan sistem nasional dalam hal

kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah bergaung

sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di

harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan

pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk

membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas

batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita,

sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga

yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya

adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk

perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.

Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat

oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau

kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras;

etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan.

Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam

praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut

terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia

dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan

pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang

mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan

warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain

merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan

perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat

adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama

adalah ajaran semua agama.

Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia

haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya

peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa

perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa

cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus

terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu

menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan

meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang

memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.

B.2 Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Keindonesiaan

Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik

dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah

manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang dewasa

memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan

karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano

(2011:22) menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui

tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan

Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku

manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau

konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan

pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk

menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi

nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan

kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan

karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau

karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan,

kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-

nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama,

lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.

Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan

bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan

warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia beragama,

manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai

warga bangsa.

Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik

pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan diharapkan

mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan berfokus

delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut

diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan

belas karakter tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis,

rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai

prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli

lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di

setiap lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan

pembentuk karakter insan kamil secara universal. Di tengah

keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah

memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa

Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa

lain.

Dalam rangka terbentuknya karakter keindonesiaan itu,

penanaman nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air merupakan

hal yang urgen. Nilai semangat kebangsaan dideskripsikan sebagai

cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya. Nilai cinta tanah air dideskripsikan sebagai cara

berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,

lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Dua nilai inilah sebagai basik karakter keindonesiaan.

Karakter keindonesiaan dalam konteks ini didefinisikan sebagai

karakter manusia Indonesia yang membedakan dengan manusia bangsa

lain sebagai perwujudan eksistensi diri dan citra diri bangsa

Indonesia. Pengertian ini dalam kata kunci dapat diringkas

sebagai ’karakter nasionalis’.

Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan

kebudayaan, aktivitas dan proses pendidikan haruslah dimuarakan

pada karakter nasionalis pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan

kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini

selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama,

ras, suku, dan budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita sama-

sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan

dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di

Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar agama

mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian

dari iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga

belajar adalah: apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia?

Karakter keindonesiaan melalui penanaman nilai kebangsaan

dapat dilakukan dengan penanaman sikap kepada peserta didik dalam

bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa yang memiliki

sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia

berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan

keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa,

kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa,

kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan

menuju kebangsaan.

Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar

(2003:173) menyatakan bahwa pendidikan multikultural diharapkan

dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi sebagai warga negara

yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusia-

manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri,

lingkungan, dan realitas yang majemuk. Pendidikan multikultural

juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia

global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia

mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras,

warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin,

2005:4). Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah melalui

pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik

tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan

heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama,

kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-

bentuk keragaman lainnya. Dalam mengembangkan pendidikan

multikultural tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi

(2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai tersebut

adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam

masyarakat; pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan

hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia;

dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.

Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar

pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural

keiindonesiaan. Pertama, pendidikan multikultural sebaiknya

dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa

pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap

jati diri sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan

bagian dari warga bangsa merupakan hal penting. Rasa bangga

sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan.

Kedua, pendidikan multikultural hendaknya dikembangkan agar

pembelajar tidak mengembangkan sikap etnosentris kesukuan dan

sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup

kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang

nonetnosentris, kebencian dan konflik antaretnis dapat

dihindarkan karena perasaan satu bangsa. Pendidikan

multikultural bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat

egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan

merendahkan kelompok lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda

kelompok sosial merupakan hal penting untuk ditumbuhkembangkan

sebagai jembatan jiwa nasionalisme.

Ketiga, pendidikan multikultural dikembangkan secara

integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh

isi pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus

terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu

pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata

pelajaran lainnya.

Keempat, pendidikan multikultural harus menghasilkan sebuah

perubahan dalam bentuk perubahan sikap melalui pembiasaan.

Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat belajar

yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama

mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian,

pembelajaran harus berorientasi pada proses, misalnya bermain

peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan

pembelajaran partisipatoris.

Kelima, pendidikan multikultural harus mencakup realitas

sosial dan kesejarahan dari agama, etnis, dan suku yang ada.

Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus bersifat lokal,

nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal

harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus menjadi tujuan

bersama pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global

dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu

dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting

untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai

keberagaman dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan

dunia.

C. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan masalah pertama yang berfokus pada

pendidikan multikulturalisme di Indonesia dapat disimpulkan bahwa

pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali

nilai-nilai agama, etnis, suku, dan kebudayaan peserta didik

sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah

fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih

sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan.

Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi,

tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas

kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan

tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.

Berdasarkan pembahasan masalah kedua yang berfokus

pendidikan multikultural yang berbasis karakter keindonesiaan

dapat disimpulkan bahwa pembelajaran multikultural dilakukan

dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan

sehingga muncul kesadaran nasional keindonesiaan. Karakter

keindonesiaan tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai

bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran

kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan,

kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa

lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Terwujudnya

karakter keindonesiaan tersebut menjadi landasan kuat sebagai

ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan

ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa

besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar

hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat.

Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme

inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan

dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.

Daftar Pustaka

Banks, J. 1993.  Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education: An Introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education: Digest.

Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsepdan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.

Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam SuaraPembaharuan.

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari PerspektifKultural. Magelang: Indonesia Tera.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 TentangSistem Pendidikan Nasional.

Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: GramediaPustaka Utama.Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untukDemokrasi dan

Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

***

Biodata Penulis:

Nama : Sariban, M.Pd.Pekerjaan : Guru SMP Negeri 1 Widang Tuban.Alamat Sekolah : Jl. Raya Compreng No. 1 Widang, Tuban, JawaTimur.Alamat Rumah : Jl. Pramuka IX/27 Tuban, Jawa Timur.No Telepon : 081 330 764 889Email : [email protected]