Teologi Pembuangan: Suatu Kajian Teologis Konsep ... - Neliti
Teologi Multikultural
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Teologi Multikultural
TEOLOGI MULTIKULTURAL
(Telaah Atas Pemikiran Tokoh Indonesia Komarudin Hidayat)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik
Mata Kuliah: Pendidikan Multikultural dalam Islam
Dosen Pengampu : Dr. Mahmud Arif, M.Ag
Disusun oleh:
AFIK AHSANTI (1320411038)
III PAI A (MANDIRI)
PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keragaman dan toleransi adalah pasangan kata yang
memang tepat dipersandingkan. Keragaman merupakan
keniscayaan di dalam kehidupan ini, sebab tidak ada
masyarakat yang tidak beragam keadaannya. Keragaman
dalam etnis, suku, agama dan bahasa dan budaya. Di
dalam suatu masyarakat yang paling simple pun pasti
terdapat suatu keadaan yang beragam. Keragaman bisa
dikaitkan dengan kata pluralitas dan juga
multikulturalitas.
Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah
kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.1. Relitas
ini melahirkan teologi multikultural, dengan harapan
manusia bisa saling menghormati dan memahami teologi
manusia yang lain. Bangsa Indonesia yang nota bene
merupakan bangsa yang terdiri dari beribu-ribu pulau
tidak dipungkiri lagi merupakan bangsa yang
multikultural.
Pada dasawarsa terakhir, keragaman kultural menjadi
batu ujian dan mengoyak keutuhan suatu negara, lebih
khusus negara-negara Asia Tenggara. Situasi sosial-
budaya carut-marut lantaran berbagai konflik antarsuku
bangsa, antaragama, dan antargolongan. Alih-alih
sebagai kekuatan pendorong dinamika kehidupan
1 Nurcholish Madjid, Islam : Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,2000), hlm. xxv.
2
berbangsa, keragaman kultural justru menambah panjang
daftar pertikaian.2
Dalam situasi demikian, banyak pihak menawarkan
bentuk sistem kesadaran nasional baru, yang bukan
sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan atau
pluralitas. Tetapi lebih dari itu, sistem kesadaran
multikultrualisme yang memahami pluralitas di
masyarakat sebagai potensi untuk hidup bersama,
sekaligus ada upaya untuk saling memelihara hak-hak dan
eksistensi keragaman bangsa, baik dalam etnis, agama,
budaya, hingga orientasi politik. Sehingga tidak
mengherankan apabila banyak intelektual Indonesia yang
memiliki concern terhadap teologi multikultural,
diantaranya adalah Komarudin Hidayat.
Puncaknya yang sekaligus menjadi salah satu
pengalaman keberislaman yang kelam bagi umat Muslim
yaitu menggemanya konflik bertema sentral ketuhanan
(teologi) yang terangkum dalam frasa zaman alfitan.
Sahabat saling mengkafirkan, adu argumen mengenai
hakikat sifat dan atau dzat Tuhan dan sebagainya.
Perdebatan ini yang kemudian menggema dan menjadi
persoalan yang pelik dalam sejarah pemikiran Islam.
Sehingga memunculkan berbagai macam sekte-sekte
pemikiran yang saling beradu argumen membela2 Muhammad Hafiz, Hak Keberagaman Dan Toleransi Anak Dalam Konteks Asia
Tenggara: Urgensi Pendekatan Multikulturalisme Pada Pendidikan Anak, Artikel IniPernah Dipresentasikan Dalam Islamic Chilhood Conference Di UniversityOf Phillipinnes, Filipina, Pada September 2010 dalamHttp://Membumikantoleransi.Wordpress.Com/2012/03/08/16/. Akses tanggal14 Oktober 2014.
3
kayakinannya3. Oleh karena hal tersebut, maka dalam
makalah ini akan dibahas mengenai teologi multikultural
berdasarkan pemikiran Komarudin Hidayat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian teologi?
2. Apa pengertian multikultural dan pendidikan
multikultural?
3. Bagaimana posisi agama dalam realitas multikultural?
4. Bagaimana teologi multikultural menurut pemikiran
Komarudin Hidayat?
5. Bagaiamana urgensi pendidikan multikultural di
Indonesia?
3 Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang IslamiBerbasis Kemanusiaan, ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hlm 162.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teologi
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas mengenai
ajaran-ajaran pokok suatu agama4. Secara etimologi,
teologi terdiri dari dua kata yaitu “theos”, artinya
Tuhan dan “logos” yang berarti “ilmu” (science, study,
discourse). Jadi teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau
ilmu ketuhanan.5 Secara terminologi, teologi adalah
ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu
yang terkait dengannya,6 juga membahas hubungan Tuhan
dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.7
Secara ilmiah teologi Islam dapat diklarifikasikan
menjadi dua bagian, diantaranya: pertama, Teologi Islam
klasik teoritik yaitu satu disiplin ilmu yang hanya
membahas secara teoritik sekitar aspek-aspek ketuhanan
dan pelbagai kaitannya telah dibicarakan oleh aliran
teologi dalam islam. Kedua, teologi islam komtemporer
praktik. Yaitu satu disiplin ilmu secara praktik
mmbahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah rasul-Nya yang nilai4 Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi Pendekatan Filsafat,
Sosiologi, dan Sejarah (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 1045 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Cet Ke V, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1992), Hlm. 11.6 Ya’kub Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal Dengan Wahyu (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Hlm.107 Amsal Bachtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Hlm. 18.
5
doktrinnya mengadvokasi pelbagai ketimpangan sosial.
Pada teologi kontemporer ini dapat dibagi menjadi;
teologi lingkungan, teologi pembebasan dan teologi
sosial.8
B. Multikultural dan Pendidikan Multikultural
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural
terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses
pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik.9 Multikultural
diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka
kesopanan.10
Multikultural dibentuk dari kata multi (banyak),
kultural (budaya). Sedangkan secara hakiki, dalam kata
itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-
masing yang unik.11 Dengan demikian setiap individu
merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab
untuk hidup bersama komunitasnya.
8 Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural: Telaah PemikiranDan Implementasinya Dalam Pembelajaran PAI (Yogyakarta: Idea Press,2009), Hlm.33-34.
9 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 2810 Masngud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran Dan Upaya Implementasinya,
(Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 1911 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 75.
6
Andersen dan Cusher berpendapat bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman dan
kebudayaan.12 Sedangkan Hilda Hernandez mengartikan
pendidikan multikultural sebagai perspektif yang
mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang
dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau
dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagai media
transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge)
hendaknya mampu memberikan niali-nilai
multikurturalisme dengan cara saling menghargai dan
menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik
latar belakang maupun sosio budaya yang
melingkupinya.13
Selanjutnya James Bank, salah seorang pioner dari
pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep
pendidikan multikultural menjadi ide persamaan
pendidikan mengatakan bahwa substansi pendidikan
multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as
education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan
gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar
sesama (as inclusive and cementing movement).14
12 Ibid., hlm. 175.13 Ibid., hlm.176.14 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Terj. Alois A.
Nugroho (Jakarta:
7
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang saling menghargai
nilai-nilai multikulturalisme baik latar belakang
maupun sosio budaya yang melingkupinya.
C. Agama dan Realitas Multikultural
Menyangkut keyakinan agama yang mengakar pada hati
dan pikiran yang terbentuk oleh serangkaian
pembelajaran dan pengalaman hidup, sungguh tidak mudah
untuk ditaklukan dan diadili. Namun tidak berarti
seseorang tidak bisa berubah keyakinan agamanya
(konversi). Oleh karena itu, jika kebenaran agama semata
berdasarkan keyakinan, bisa jadi berdasarkan kitab suci
dan pencarian makna hidup, sudah pasti kebenaran dan
agama selau bersifat plural dan tidak bisa
diseragamkan. Setiap pemeluk agama akan memandang
dirinya sebagai titik terdekat dan jalan pintas meraih
keselamatan Tuhan. Orang lain hanyalah sekelompok orang
yang sesat dan perlu diselamatkan.15
Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk
memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga
tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan
agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan
pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran.
Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama
Gramedia, 1984), hlm.. 157.15 Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran Dan
Implementasinya Dalam Pembelajaran PAI (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.35.
8
mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik
tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan
peserta didik yang lebih inklusif-pluralis,
multikultural, humanis, dialogis-persuasif,
kontekstual, substantif dan aktif sosial.16
Ditambah lagi dengan keyakinan tersebut sangat
sulit untuk ditaklukan dan diverifikasi sebagaimana
dalil ilmu/sains, maka penerimaan terhadap kebenaran
agama tidak seuniversal kebenaran sains. Siapapun
orangnya akan menerima kehadiran mobile-phone atau
komputer, misalnya, tetapi kalau sudah menyangkut
tentang keyakinan agama, maka masyarakat akan segera
terpilah-pilah. Bahkan mobile-phone bisa saja digunakan
untuk pemicu meledakkan bom untuk menyerang yang lain
dengan dalih berjuang membasmi musuh-musuh Tuhan.17
Perdebatan seputar ranah agama, tidak bisa
dilepaskan dari klaim kebenaran dalam beragama. Klaim
kebenaran memang absah adanya, karena tanpa klaim
tersebut agama sebagai sistem kehidupan tidak akan
memiliki kekuatan simbolik yang cukup kuat yang
dijadikan pedoman oleh setiap pengikutnya. Disamping
itu, agama juga mempunyai asumsi dasar perlunya
manusia akan pegangan hidup yang stabil dan tidak
berubah-ubah. Tetapi tidak dapat dipungkiri, kehidupan
16 M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikap Relasi Pengetahuan,Politik, danKekuasaan ( Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm. 77
17 Muhammad Tang...., hlm. 35.
9
manusia, juga penuh diwarnai dengan ketidakstabilan dan
perubahan-perubahan yang tidak menentu.18
Begitu banyak bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang
menggambarkan bukti kasih sayang Tuhan dan Rasul-Nya
terhadap makhluk-Nya, seharusnya menjadi acuan untuk
mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam
menyikapi problematika kehidupan yang penuh dengan
keberagaman ini. Bagi penulis sendiri, kasih sayang dan
kelemahlembutan menjadi sebuah kebutuhan primer yang
harus tetap dijaga. Karena bagaimana pun juga
pluralitas dalam dunia sosial ini adalah sebagai sunnah
dari Allah sang Maha Pencipta alam. Oleh sebab itu,
setiap individu khususnya manusia memiliki beban moral
dan beban teologis untuk mengemban amanah sebagai
khalifah dari Allah di muka bumi ini.
Jika keberagaman adalah sunnah Allah atau sebuah
keniscayaan, apakah hal ini akan dihadapi dengan sikap
ego yang keras serta perasaan yang selalu menjadi yang
paling benar? Perlu disadari bahwa dengan kerahmatan
dan kasih sayang Nabi Muhammad yang universal, dalam
periode dua puluh tiga tahun, Nabi meraih kesuksesan
tidak hanya mempersatukan Arabia di bawah panji Islam,
tetapi bahkan membangun komunitas religius berwawasan
global, dimana beliau akan selalu tetap akan menjadi
18 Sulalah, Pendidikan Multikultural: Didaktika Nilai-Nilai Universalitas Kebangsaan(Malang: UIN Maiki Press, 2012), hlm. 62.
10
contoh yang ideal bagi perilaku dan perbuatan
manusia.19
Cita-cita yang dibangun oleh Rasul selama kurang
lebih dua pulah tiga tahun dengan kasih sayang,
ternyata mendapat hambatan pada masa sekarang ini
khususnya, walaupun sebenarnya kekerasan dan sikap
fundamentalisme telah lama berlaku di dunia Islam itu
sendiri. Sebut saja misalnya bentuk kekerasan yang
dilakukan untuk melawan hegemoni Barat oleh Usamah bin
Laden, Imam Samudra, Amrozi, Abu Dujana dan lainnya
dengan tegas mengatas namakan Islam dalam meledakkan
simbol-simbol “kekafiran”. Dalam skala nasional,
kekerasan yang dialami oleh jama’ah Ahmadiyah,
peristiwa bom Bali, hotel JW. Mariot, serta berbagai
bentuk kekerasan ormas Islam seperti di setiap tahun,
khususnya menjelang bulan Ramadhan. Penolakan
masyarakat atas ibadah Gereja di Jawa Barat hingga
penikaman terhadap seorang Pendeta ketika akan
melaksanakan ibadah, pembakaran Pesantren Syi’ah di
Madura, pembubaran atas seminar dan bedah buku Irshad
Manji di Yogyakarta hinggga pengrusakan pada kantor
LKiS, adalah contoh segelintir kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok tertentu atas nama agama.20
Bagi penulis sendiri, kekerasan dalam bentuk apapun
akan menjadi hawa panas yang menyebabkan orang yang19 Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban.
ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013, hlm. 184-185.
20 Ibid., hlm. 185.
11
berada disekitarnya merasa gerah, waswas dan bahkan
takut terserang oleh kekerasan tersebut. Pada akhirnya
orang disekitarnya juga lama kelamaan akan terbakar dan
kemudian akan berusaha menjauhi agama Islam. Resiko
semacam ini tentunya tidak pernah kita harapkan sebagai
bagian dari agama Islam itu sendiri. Oleh sebab itu,
pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi sikap yang
dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena
baik pluralisme dan kemanusiaan adalah cita-cita yang
dibangun oleh al-Qur’an melalui asas rahmatan li al-‘alamin
(kasih sayang bagi semesta alam).
Dari realitas itulah, penulis mencoba menelaah
dengan pemikiran Komarudin Hidayat tentang teologi
multikultural ini.
D. Teologi Multikultural Menurut Pemikiran Komarudin
Hidayat
1. Tipologi Sikap Keberagamaan Menurut Komarudin
Hidayat
Komarudin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah,
18 Oktober 1953; adalah rektor Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010.
Karya-karya beliau antara lain adalah Memahami Bahasa
Agama (1996) Masa Depan Agama (1995) Tragedi Raja
Midas (1998) Tuhan Begitu Dekat (2000) Wahyu di
12
Langit, Wahyu di Bumi (2002) Menafsirkan Kehendak
Tuhan (2003) Psikologi Kematian (2005).21
Komarudin Hidayat menyebutkan ada lima tipologi
sikap keberagamaan, yakni eksklusivisme, inklusivisme,
pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Kelima tipologi ini
tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari
yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat
dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol,
mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan
senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima
sikap di atas.22
1. Eklusivisme
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan
ajaran agama yang paling benar hanyalah agama yang
dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib
dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama
dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.
Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari
zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.
Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan
langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya, kalau
suatu pernyataan dinyatakan, maka penyataan lain
yang berlawanan tidak bisa benar.23
21 http://id.wikipedia.org/wiki/Komaruddin_Hidayat.. Akses tanggal14 Oktober 2014.
22 Muhammad Tang....hlm. 38.23 Ibid., hlm. 38.
13
Menurut Komarudin Hidayat bahwa sekalipun sikap
eksklusif merasa dirinya paling baik dan benar,
sementara yang lainnya tidak masuk hitungan,
tidaklah selamanya salah dalam beragama. Sebab,
jika eksklusivisme berarti sikap agnostik, tidak
toleran, dan mau menang sendiri, maka tidak ada
etika agama manapun yang membenarkannya. Tetapi
jika yang dimaksud dengan eksklusif berkenaan
dengan kualitas, mutu, atau unggulan mengenai
produk atau ajaran yang didukung dengan bukti-bukti
dan argumen yang fair, maka setiap manusia
sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam
arti excellent, sesuai dengan selera dan
keyakinannya.
Sikap eksklusivisme dalam beragama adalah akibat
dari pemahaman yang dibangun secara eksklusif pula.
Sehingga hal semacam inilah yang menyebabkan adanya
truth claim antaragama dan bahkan antarpaham
keagamaan. Oleh sebab itu, dalam memahami teks
keagamaan harusnya bisa lepas dari ideologi
tertentu. Karena interpretasi pada teks keagamaan akan
campur aduk dengan kepentingan kelompok seperti
kepentingan politik jika telah dibangun dengan
sebuah ideologi tertentu pula.24
24 Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta:eLSAQ Press. 2003), hlm. 135. Pendapat yang sama juga dilontarkan olehM. Masyhur Amin. Ia mengatakan bahwa posisi agama ditengah-tengahpergumulan ideolofi-ideologi besar sangat tidak menguntungkan. LihatM. Masyhur Amin. “Islam dan Transformasi Budaya (Tinjauan DiskriptifHistoris)” dalam M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas
14
Sikap ini akan menimbulkan banyak kesukaran
yaitu pertama, sikap ini membawa bahaya yang nyata
akan intoleransi, kesombongan, dan penghinaan bagi
yang lain. Kedua, sikap ini pun mengandung
kelemahan instrinsik karena mengandaikan konsepsi
kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap
yang tidak kritis dari kenaifan epistemologis.25
Terlepas dari adanya kelemahan sikap
eksklusivitas itu, biasanya komitmen dan sikap
tegas dalam memelihara dan mempertahankan kebenaran
agamanya adalah bisa dipandang positif. Sebab,
sikap eksklusivitas itu tidak selamanya bisa
disalahkan atau dipandang negatif, tetapi sikap
demikian lebih banyak kepada faktor kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya, atau,
bahkan lingkungan sosial dan kultural dimana ia
hidup, sangat mempengaruhi dalam beragamanya.
2. Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar
agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran,
meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang
dianutnya. Disini masih didapatkan toleransi
teologis dan iman.26
Islam juga sering mengemukakan misalnya istilah
dari seorang filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah,
Empirik. (Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993), hlm. 3.25 Muhammad Tang.,hlm 38.26 Ibid., hlm. 39.
15
yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam
umum (yang non-Muslim par exellance), dan orang-orang
dan agama Islam khusus (Muslim par exellance). Kata
Islam sendiri di sini diartikan sebagai “sikap
pasrah kepada Tuhan”. Mengutip Ibn Taymiyah, “semua
nabi dan pengikut mereka seluruhnya disebut oleh
Allah adalah orang-orang Muslim”.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk
menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara
sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok
tetapi juga dapat diterima. Pada sisi lain, sikap
inklusif ini membawa beberapa kesulitan: pertama,
menimbulkan kesombongan, karena sesorang hanya
mempunyai privilese atas penglihatan yang mencakup
semua dan sikap toleran adalah yang menentukan bagi
yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam
semesta. Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi
‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga
dapat merengkuh sistem-sistem pemikiran yang paling
berlawanan pun, ia terpaksa membuat kebenaran yang
bersifat relatif murni. Kebenaran dalam arti ini
tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang
independen, karena berbeda atau berlainan dengan
orang lain.27
3. Pluralisme atau Paralelisme
27 Ibid.,
16
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme
lebih moderat dari sikap inklusivisme. Ia berpandangan
bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang
sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing
berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat
misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.28
Sikap paralelistis memberikan keuntungan yang
sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang
lain serta tidak mengadili mereka. Sikap ini pun
menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang
membuat suatu agama mengikuti selera pribadi, sikap
ini pun menjaga batas-batas tetap jelas dan
merintis pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan
orang itu sendiri. Namun demikian, sikap
paralelisme ini pun tidak fertilisisasi. Sikap ini
dengan tergesa-gesa menganggap seolah-olah setiap
tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri,
semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan
lebih lanjut, singkatnya sikap ini mengandaikan
kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya
menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk
saling belajar.29
Menurut Adnin Armas, paham ini mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran adalah
milik bersama. Dalam setiap agama terdapat
kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh
28 Ibid., hlm. 40.29 Ibid.,
17
sebab itu, Islam bukanlah satu-satunya jalan yang
sah menuju kepada kebenaran. 30 Karena bukan Islam
jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini
menjamin apapun agamanya pasti akan membawanya
menuju Tuhan yang berakhir mendapatkan syurganya.
Yang menyebabkan seseorang masuk syurga bukan apa
agamanya tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat.
Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan
semakin besar peluang dia mendapatkan syurga, tak
peduli apapun agamanya. Diantara orang yang
mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr.
Munir Mulkhan, dia menyatakan : “Jika semua agama
memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga
Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu
dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap
Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki
surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan,
tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal
surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan
dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.31
Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam
porsinya masing-masing. Dengan kata lain, mengakui
persamaan dalam perbedaan. Sama-sama benar dalam
30 Syamsul Arafat, Pluralisme Dalam Islam dalamhttp://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/syamsul-arafat/pluralisme-dalam-islam/
31 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2002, hlm. 44
18
posisi dan kedudukannya masing-masing.32 Pluralisme
sendiri bukanlah paham yang lahir dalam diskursus
keislaman. Dalam penelitian Syamsudin Arif, paham
ini merupakan turunan dari paham relativisme.
Menurutnya, fakta bahwa agama yang ada didunia ini
sangat banyak telah melahirkan dua aliran pemikiran
besar, yaitu skeptisisme dan relativisme. Kaum skeptis
menyatakan bahwa beragamnya agama tersebut menjadi
pembenar bahwa kebenaran dalam agama itu tidak ada.
Sementara kaum relativis berpendapat sebaliknya,
bahwa beragamnya agama merupakan sebuah fakta bahwa
kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama.
Pluralisme harus dibedakan dalam dua konteks
wilayah: antar umat beragama dan intra umat Islam
yaitu antar golongan atau kelompok seagama antar
umat beragama, pluralisme adalah harga mati. Dalam
hal ini, Nabi s.a.w. pernah mengatakan,
“barangsiapa yang mengganggu kafir dzimi, maka ia
berhadapan denganku!” Umat Islam wajib melindungi
kelompok agama lain yang hidup ditengah-tengah kaum
Muslimin selama keberadaannya tidak mengganggu
ketertiban sosial. Kelompok radikal pun sangat
faham masalah ini dengan dalil-dalilnya yang
lengkap. Perdebatan muncul saat aksi gugatan dan
32 Syamsudin Arif, Orientalis Dan Diabolisme Intelektual, hlm. 80-83. DalamNashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 68-69.
19
pelarangan yang dianggap membatasi kebebasan
beragama.33
4. Eklektivisme
Eklektisisme adalah sikap berfilsafat dengan
mengambil teori yang sudah ada dan memilah mana
yang disetujui dan mana yang tidak sehingga dapat
selaras dengan semua teori itu. Hal ini dilakukan
agar dapat mengambil nilai yang berguna dan dapat
diterima. Dari sana diciptakan sistem terpadu. Para
filsuf dengan sikap semacam ini membatasi usaha
berpikirnya dengan menguji hasil karya intelektual
orang lain, mengadakan penggabungan kebenaran-
kebenaran tanpa usaha yang serius dalam
berfilsafat. Eklektisisme mengarah kepada sinkretisme,
dan dalam menggabungkan ide-ide yang ada kurang
melihat konteks dan kesahihan ide. Para
eklektikawan memandang upaya semacam ini adalah
cara terbaik agar dapat memakai semua teori yang
bernilai dan ini diterapkan dalam banyak bidang
kehidupan.34
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang
memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran
agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya
33 Moeflich Hasbullah, Pluralisme Dan Agama: Mendudukkan Pluralisme YangBenar Dalam Islam, Dalam Https://Www.Academia.Edu/3596964/Pluralisme_Dan_Agama_Mendudukkan_Pluralisme_Yang_Benar_Dalam_Islam. Akses Tanggal 14 Oktober 2014.
34 Lorens Bagus., Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2000), hlm. 181-182, dalam id.wikipedia.org/wiki/Eklektisisme. Aksestanggal 14 Oktober 2014.
20
sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi
semacam mosaik yang bersifak ekletik.35
5. Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya
semua agama adalah satu dan sama, hanya saja,
karena faktor historis-antropologis, agama lalu
tampil dalam format plural.36
Komarudin Hidayat lebih cenderung pada
pandangan inklusivisme beragama yang barangkali lebih
mudah diterima daripada keempat paham yang lain,
karena dalam paham inklusivisme seseorang masih
tetap meyakini bahwa agamanya yang paling baik dan
benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka masih
memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan
pemeluk agama lain.37
Para penganut agama memberikan tanggapan atau
respon terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan
respon ini, para penganut agama, paling tidak,
memiliki tiga kecenderungan yang bisa diamati.
Komarudin Hidayat memberikan ketiga kecenderungan
itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu pemisahan,
yakni kecendeungan “mistikal” (solitary),“profetik-
ideologikal” (solidarity), dan “humanis-fungsional”.38
35 Muhammad Tang...., hlm . 41. 36 Ibid.,37 Ibid.,38 Adeng Mukhtar Ghazali, 2008. Tipologi Sikap Keberagamaan dalam
http://amgy.wordpress.com/2008/03/29/tipologi-sikap-beragama/. Aksestanggal 14 Oktober 2014.
21
a.Respon keberagamaan mistikal, antara lain,
ditandai dengan penekanannya pada penghayatan
individual terhadap kehadiran Tuhan. Dalam
tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah
apabila seseorang telah berhasil menghilangkan
segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku
sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan
yang intim yang dijalin dengan cinta kasih.
b.Tipologi kedua adalah profetis ideologikal.
Kecenderungan beragama model ini, antara lain,
ditandai dengan penekanannya pada misi sosial
keagamaan dengan menggalang solidaritas dan
kekuatan. Oleh karenanya, kegiatan penyebaran
agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai
memiliki keutamaan teologis dan memperkuat
kekuatan ideologis.
c.Tipologi yang ketiga adalah humanis fungsional,
adalah kecenderungan beragama dengan titik tekan
pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang
dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang
disebut kebijakan hidup beragama adalah bila
seseorang telah beriman pada Tuhan dan lalu
berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran
dan eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah
satu ciri tipe ini.39
39 Ibid.,
22
Sejarah membuktikan bahwa semua pendiri agama
besar selalu bersikap inklusif. Sementara itu,
ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau
ideologi beragama yang dianut para pemuka agama dan
penguasa negara, maka biasanya agama bukannya
menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber
konflik. Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu
keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan
memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa
jadi orang yang menganggap semua agama sama saja
menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama
serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.
Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan
dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang
menyumbang perdamaian, maka agama – melalui para
pengikutnya – harus belajar meninggalkan absolutisme
dan menerima pluralisme. Kita boleh melihat agama
sebagai absolut, karena mungkin inilah makna
kepenganutan kepada suatu agama. Namun, pemahaman
kita, baik pribadi maupun kelompok melalui indera
akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang
relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi
seseorang untuk mengabsolutkan faham keagamaan
sendiri.40
40 Muhammad Tang....., hlm 42.
23
2. Persepsi Agama dan Negara Dalam Pandangan
Komarudin Hidayat
Menurut Komarudin Hidayat, hubungan antara
agama dan negara di Indonesia telah mengarahkan ke
bentuk harmoni atau paling tidak keberhasilan
hubungan hanya perlu untuk ditindak lanjuti, namun
ada juga pihak lain yang masih sanksi melihat
keharmonisan hubungan antara agama dan negara di
Indonesia, karena disana terlihat tidak ada
kesesuaian para elite politik dalam menuntaskannya.41
Dalam pandangan Komarudin Hidayat, agama
membutuhkan negara, demikian pula negara juga
membutuhkan agama. Komarudin bertamsil, Vatikan itu
seperti negara, tetapi juga tidak dapat berdiri
sendiri. Sekarang ini kita warga dunia, harus
saling tolong menolong dan ada komunikasi. Tidak
bisa kita hanya mengurus diri kita sendiri. Dan
tidak benar, agama itu diturunkan untuk membantu
manusia. Bukan membantu dirinya sendiri.42
3. Reposisi Peran Agama
Komarudin Hidayat berpendapat, bahwa agama di
samping sebagai fenomena transendental juga merupakan
fenomena sosial-budaya. Sebagai fenomena transendental,
41 Ibid., 42 Ibid.,
24
agama merupakan jalan bagi kekembalian pada Tuhan.
Sedang sebagai fenomena kedua, agama akan terpengaruh
oleh sebuah setting sosial budaya di locus mana agama
dimanifestasikan oleh manusia, aktor penting dalam
mata rantai sosial-budaya tersebut. Dalam
keberadaannya sebagai fenomena sosial budaya inilah
agama rentan dari campur tangan dan percampuran
kepentingan politis umat manusia.43
Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan
waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai
keyakinan serta ritual umat lainnya. Di antara
doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah
perintah shalat dan berdoa serta berpuasa meski
dengan keyakinan dan cara yang berbeda-beda.44
Di lapangan kenyataan berbeda sering kali
ditemukan, agama yang harusnya mencegah manusia dari
permusuhan, pertikaian, bahkan pembantaian, justru
menjadi salah satu alasan pembenaran dalam melakukan
berbagai aksi radikal bahkan sampai ke tingkat
ekstrem tersebut. Mereka para pelaku kejahatan
berdalih bahwa mereka bertindak untuk agama dan Tuhan
mereka. Jiwa manusia yang seharusnya haram
dihilangkan tanpa sebab yang jelas, dengan mudahnya
hilang dan tercabut begitu saja, hanya karena
perbedaan-perbedaan yang semestinya masih bisa
dikompromikan ditolerir keberadaannya. Perbedaan-
43 Ibid.,44 Ibid., hlm 43.
25
perbedaan keberagamaan antara satu orang dengan yang
lainnya, yang awalnya dalam Islam menjadi rahmat
justru menjadi alat untuk melaknat orang lain.45
Untuk membangun Indonesia yang lebih demokratis
dan berkeadaban, sudah saatnya klaim-klaim kebenaran
antara agama yang satu dengan yang lain mulai
dikesampingkan.46 Dialog antar agama perlu
dikedepankan. Dialog merupakan metode yang efektif
dan tetap aktual untuk dikembangkan saat ini,
terutama dalam hubungan antar agama. Hal ini
ditunjukkan dengan muatan dialog yang selalu ada di
dalam studi agama, baik pada level akademis maupun
praktis. Dialog berperan mulai dari menyikapi suatu
perbedaan hingga sebagai resolusi dalam konflik.
Meskipun demikian, dialog tidak hanya pada lingkup
hubungan antar agama semata, tetapi juga pada bidang
kehidupan yang lain, seperti ekonomi, sosial, budaya
dan politik.47
Meskipun memerlukan waku yang panjang, arah dan
tujuan semangat reformasi sosial yang tengah kita
alami mau tidak mau akan mengarah pada terciptanya
sebuah negara yangg rasional dan transparan, bukannya
negara yang diatur oleh agama yang eksklusif tertutup.
Dengan begitu peran agama yang selama ini cenderung
45 Haidi Hajar Widagdo, Dualisme Agama: Menilik Peranannya Atas KedamaianDan Kesengsaraan, Esensia Vol. XIV No. 2 Oktober 2013
46 Muhammad Tang, hlm. 44.47 Muryana, Dialog Interreligius-Kultural Dan Civil Religion (Studi Atas Paguyuban
Ngesti Tunggal (Pangestu), Esensia Vol. XIV No. 2 Oktober 2013, hlm. 204
26
bersifat teologis dan idiologis akan mendapatkan
tantangan yang serius. Pengalamn negara Barat yang
sekuler tetapi mampu mewujudkan kehidupan bernegara
yang lebih transparan dan demokratis, akan merupakan
bahan banding dan ejekan bagi negara yang secara
retorik sangat menjunjung tinggi agama, namun
ternyata amburadul.48
4. Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama
dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang
ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat
dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan
pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih
menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif,
establish, dan jauh dari realitas kehidupan. Sedangkan
pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau
inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan
sebuah konsep pendidikan yang benar-benar
komprehensif dan integral.49
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu
adalah adanya pandangan
yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya
perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan
timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran48 Muhammad Tang, hlm. 45.49 Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis
Multikultural Di Sekolah, Jurnal Pendidikan Islam :: Volume I, Nomor 1, Juni2012/1433, hlm. 60.
27
teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf
operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata
ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki
sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka
beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan
pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.50
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat
beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna
mengolah perbedaan tersebut menjadi satu aset, bukan
sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural
mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu: menyiapkan
bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya
luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri
yang terdiri dari berbagai macam budaya.51
Menurut Komarudin Hidayat, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan guna mengembangkan pendidikan
multikultural. Dalam tataran praktis harus memiliki
prinsip-prinsip: (1) fitrah pluralitas, (2)
pendekatan yang menghargai pluralitas (3) nilai
universalitas agama, dan (4) pengembangan semangat
kemanusiaan.52
Dengan perspektif ini, maka kini kita mesti
melakukan pembebasan terhadap pendidikan agama yang
selama ini dilakukan, dengan memberi warna yang lebih
menekankan dimensi inklusivitas. Dalam kondisi
50 Ibid., hlm 61.51 Muhammad Tang, hlm 47.52 Ibid., hlm 47-48.
28
demikian, yang perlu dilakukan adalah melakukan
reorientasi visi pendidikan agama yang berbasis
eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusif
multikulturalis. Hal ini dilakukan karena telah
terjadi kegagalan dalam mengembangkan semangat
toleransi dan pluralitas dalam pendidikan agama, yang
pada gilirannya telah menumbuhsuburkan gerakan kita
renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak
menyumbangkan benih-benih konflik antar agama. 53
Karena itu, kebijakan pendidikan yang
mengeliminasi arti signifikan keanekaragaman dan
kemajemukan agama, perlu diantisipasi bersama,
sehingga dalam merancang sistem pendidikan tidak
hanya mengandalkan basis kognisi, tetapi juga
bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata
pergaulan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Merancang sistem pendidikan agama justru menampung
nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat
secara lebih substansial. Dengan logika pendidikan
agama seperti itulah, kita dapat berharap tercipta
tata kehidupan yang menghargai pluralitas, toleran
dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah
masyarakat.54
53 Edi Susanto, Pendidikan Agama Berbasis Multikultural, KARSA, Vol. IX No.1 April 2006, hlm. 786.
54 Ibid., hlm. 787.
29
BAB III
PENUTUP
Teologi multikultural adalah hal yang tak bisa
dielakkan lagi. Dalam hal ini seorang tokoh Indonesia yang
concern terhadap teologi multikultural ini menyumbangkan
pemikirannya demi kemajuan bangsa Indonesia dengan melihat
keragamaan dalam penganut agama di Indonesia. Komarudin
Hidayat adalah salah satu tokoh yang menyumbangkan
pemikirannya terhadap masalah-masalah pelik yang menimpa
negeri ini. Beliau mempunyai gagasan terhadap reoriantasi
pendidikan multikultural yang tertuang dalam berbagai buku
yang telah ia tuliskan.
Menurut Komarudin Hidayat ada beberapa tipologi
keberagamaan yang dianut oleh masyarakat, yaitu:
eklsklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme dan universalisme.
Dari kelima tipologi sikap keberagamaan tersebut, beliau
30
lebih cenderung kepada inklusivisme yang masih mempercayai
kebenran agama sendiri tetapi mempunyai toleransi terhadap
penganut agama lainnya.
Dengan pluralitasnya masyarakat di indonesia maka
menurut Komarudin Hidayat pendidikan multikultural menjadi
kebutuhan yang mendesak. Menurut Komarudin Hidayat, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan guna mengembangkan
pendidikan multikultural. Dalam tataran praktis harus
memiliki prinsip-prinsip: (1) fitrah pluralitas, (2)
pendekatan yang menghargai pluralitas (3) nilai
universalitas agama, dan (4) pengembangan semangat
kemanusiaan.
DAFTAR PUSATAKA
Arafat, Syamsul. Pluralisme Dalam Islam dalamhttp://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/syamsul-arafat/pluralisme-dalam-islam/
31
Arif, Syamsudin, Orientalis Dan Diabolisme Intelektual, hlm. 80-83.Dalam Nashruddin Syarief. Menangkal Virus IslamLiberal_____________
Bachtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2000. Dalam id.wikipedia.org/wiki/Eklektisisme.Akses tanggal 14 Oktober 2014.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Terj. AloisA. Nugroho. Jakarta: Gramedia, 1984.
Ghazali, Adeng Mukhtar. 2008. Tipologi Sikap Keberagamaandalam http://amgy.wordpress.com/2008/03/29/tipologi-sikap-beragama/. Akses tanggal 14 Oktober 2014.
Hafiz, Muhammad. Hak Keberagaman Dan Toleransi Anak Dalam KonteksAsia Tenggara: Urgensi Pendekatan Multikulturalisme Pada PendidikanAnak dalamHttp://Membumikantoleransi.Wordpress.Com/2012/03/08/16/. Akses tanggal 14 Oktober 2014.
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Cet Ke V. Jakarta: PustakaAl-Husna, 1992.
Hamzah, Ya’kub. Filsafat Agama Titik Temu Akal Dengan Wahyu.Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
http://id.wikipedia.org/wiki/Komaruddin_Hidayat. Aksestanggal 14 Oktober 2014.
Hasbullah, Moeflich, Pluralisme Dan Agama: Mendudukkan PluralismeYang Benar Dalam Islam, Dalam Https://Www.Academia.Edu/3596964/Pluralisme_Dan_Agama_Mendudukkan_Pluralisme_Yang_Benar_Dalam_Islam. Akses Tanggal14 Oktober 2014.
Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan.Jogjakarta: eLSAQ Press. 2003.
32
Madjid, Nurcholish. Islam : Doktrin Dan Peradaban. Jakarta:Paramadina, 2000
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : PustakaPelajar, 2008.
Masngud. Pendidikan Multikultural: Pemikiran Dan Upaya Implementasinya,.Yogyakarta: Idea Press, 2010.
Muliadi, Erlan. Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam BerbasisMultikultural Di Sekolah, Jurnal Pendidikan Islam :: Volume I,Nomor 1, Juni 2012/1433
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Muryana, Dialog Interreligius-Kultural Dan Civil Religion (Studi AtasPaguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Esensia Vol. XIV No. 2Oktober 2013.
Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikap RelasiPengetahuan, Politik, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book,2008.
Rakhman, Alwi Bani, Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yangIslami Berbasis Kemanusiaan, ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober2013.
Safri, Arif Nuh. Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban.ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013.
Sulalah. Pendidikan Multikultural: Didaktika Nilai-Nilai UniversalitasKebangsaan. Malang: UIN Maiki Press, 2012.
Susanto, Edi. Pendidikan Agama Berbasis Multikultural, KARSA, Vol.IX No. 1 April 2006.
Tang, Muhammad, dkk. Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran DanImplementasinya Dalam Pembelajaran PAI. Yogyakarta: IdeaPress, 2009.
Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi PendekatanFilsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas, 2004.
33