NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 1
NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI
Lecture: Aunur Rofiq Lc, M.Ag, Ph.D
Didin Chonytha (14750010)*
Abstract
An important question in this paper is how is paradigm construction of
critical theological thought. To understand its construction , this paper
shows shifting paradigm of thought Islamic theology since classic era to
contemporary. The shifting is since Khawarij growth that discuss about big
sin, unbeliever, believer, heaven, and hell. Now, theological thought had
grown and entered in various scientific paradigm. These themes are very
variational too, even new thing that is nothing before. One of thinker is Abed
al-Jabiri Critical theological thought did not separate theory and practice,
knowledge and action, theoritical rationality and practical rationality. This
thought reflects critically something practice in historical sosial life. And
then this paper will discuss the relation both of theology and phylosophy.
Keywords: Abed al-Jabiri, Shifting Paradigm, Theology, Philosophy
A. Pendahuluan
Pemikiran teologi Islam merupakan khazanah intelektual muslim
yang sangat berharga bagi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya.
Pemikiran teologi Islam, khususnya di Indonesia, adalah hasil dari dinamika
tantangan umat dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda dengan tantangan
zaman klasik dan pertengahan, bahkan tantangan pada awal zaman modern
sekalipun. Paradigma, metodologi, dan isu-isunya sangat berbeda dengan apa
yang ada pada masa sebelumnya.
Pemikiran teologi Islam1 adalah produk pemikiran manusia yang
mengalami perkembangan cukup panjang. Sebagai sesuatu yang terbakukan
dalam apa yang disebut sebagai “ilmu kalam”, pemikiran teologi Islam
1 Teologi Islam adalah sebutan lain dari ilmu kalam, ilmu tauhid, aqidah, dan
teologi Islam sebagaimana juga pernah ditegaskan oleh Harun Nasution dan Muhammad
‘Abduh. Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), Harun Nasution, Teologi Islam: Aliranaliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan
(Jakarta: UIP, 2002) Hlm. ix
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 2
memang belum dikenal pada masa Nabi. Tetapi, secara potensial dan
konseptual, konsep kalam sesungguhnya sudah ada sejak masa Nabi,
terutama ketika al-Qur’an mulai diturunkan. Konsep-konsep kalam sudah
termuat di dalam al-Qur’an seperti konsep tauhid, Allah, Nabi, perbuatan
manusia, hari akhir, dosa, pahala, mukmin, kafir, dan sebagainya.
Banyak dari kalangan ahli fiqh (fuqaha’) yang tidak menyukai ilmu
yang diasumsikan lahir dari ilmu filsafat Yunani ini, karena tidak pernah di
sebut-sebut oleh kalangan sahabat dan tabi’in.2 Oleh karena itu,
menggambarkan konstruksi paradigmatik gagasan pemikiran teologi Islam
merupakan sesuatu yang sangat penting dan menarik. Hal ini mendapat
perhatian di tengah munculnya berbagai problem kemanusiaan yang
memprihatinkan, seperti ketidakberdayaan kaum tertindas (mustadh’afin)
berhadapan secara tidak seimbang dengan kaum penguasa elit (muqowimiin),
kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, warga negara berbenturan
dengan tirani kekuasaan, serta masyarakat teknologi-industrial merasakan
keterasingan dahsyat yang mengungkung eksistensinya.
Di dalam penelitian ini, penulis ingin mengulas kembali sejarah
kemunculan Ilmu Kalam atau yang disebut sebagai Teologi Islam,
perkembangan serta pengaruh ilmu ini terhadap pergumulan akademik Studi
Islam, penulis juga ingin meneliti secara Kritis struktur nalar dibalik polemik
Teologi dan filsafat Islam khususnya studi tokoh pemikiran abed al-jabiri.
Dari pembahasan ini, diharapkan dapat menambah wawasan tema yang
berjudul “Nalar Filsafat dan Teologi Abed Al-Jabiri”3 dalam Wacana Studi
Islam.
2 Uun Auliaus Sakinah, latar belakang kemunculan ilmu kalam dalam Islam,
Makalah, dapat dilihat http://hujankatatinta.blogspot.com/2013/06/latar-belakang-
munculnya-aliran-aliran.html diakses tanggal 14-03-2015 3 Aunur rofiq, Sylabus Ilmu Kalam, Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN MALIKI
Malang, 2015.
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 3
B. Kajian Teori
Dalam istilah bahasa Arab ajaran-ajaran dasar disebut dengan ushul
al-Din dan oleh karena itu buku-buku yang membahas soal teologi dalam
Islam selalu diberi nama kitab ushul al-Din oleh para pengarangnya. Ajaran-
ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau keyakinan. Buku buku yang
mengupas keyakinan keyakinan itu diberi judul al-Aqa’id seperti al-Aqa’id
an-nafisah dan Al-‘Aqa’id adudiah.4 Di dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI)5 Teologi adalah kata sifat yakni pengetahuan ketuhanan (mengenai
sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar
pada kitab suci).
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushul
al-Din karena membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid karena
ilmu ini membahas tentang keesaan Allah swt. Di dalamnya dikaji juga
mengenai nama-nama dan perbuatan-perbuatan Allah yang wajib, mustahil,
dan jaiz, juga yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Rasul-Nya. Secara objektif,
ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi Ilmu kalam lebih
dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebab itu, sebagian teolog
membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.6
Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam adalah suatu disiplin Ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang Akidah imani yang diperkuat
oleh dalil-dalil rasiologi atau nalar. Istilah Ilmu Kalam mengacu kepada
ulama yang membahas masalah teologi dalam Islam saling berdebat (Kalam)
sehingga mereka juga dikenal sebagai mutakallimin. Disebut juga dengan
ilmu kalam karena salah satu persoalan penting yang menjadi objek
4 Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan),
(Jakarta; UI Press, 1986), hlm. ix 5 Kamus Besar Bahasa, Pusat Bahasa, Direktorat Pendidikan Nasional, (Jakarta;
2008) ISBN 978-979-689-779-1 hlm, 1501 6 Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003) hlm, 15
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 4
pembicaraan mereka adalah masalah kalam Allah. Secara etimologis, teologi
berarti ilmu tentang Tuhan.7
Apabila memperhatikan pengertian ilmu kalam di atas, dapat
disimpulkan bahwasanya ilmu kalam adalah ilmu yang membahas masalah
ketuhanan dengan menggunakan argumentasi, logika, dan filsafat, secara
teoritis aliran Salaf tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari ilmu kalam,
karena aliran Salafi apabila menyangkut masalah ketuhanan tidak
menggunakan argumentasi, filsafat, atau logika.
C. Kajian Terdahulu
Pertama, Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam;
Dari Eksklusif-Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual
International Cofference of Islamc Studies ke XII8 yang menjelaskan tentang
konsep tauhid tidak hanya dimaknai sebagai upaya-upaya mengesakan Allah
tapi juga merupakan kekuatan pembebas yang mengerakan perubahan-
perubahan besar dalam sejarah. Dalam konteks kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang semakin majemuk ini, para pemikir muslim kita telah
berupaya menawarkan model-model transformasi masyarakat berdasarkan
nilai-nilai tauhid. Sebagian menawarkan transformasi kultural yang
diarahkan untuk merubah dan merombak pola berfikir termasuk pola
berteologi. Sementara yang lain lebih concern pada perubahan struktural
sosial, budaya, ekonomi dan politik di mana tauhid merupakan bahagian
inheren dalam perubahan tersebut.
Kedua, Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam
Islam) dalam Annual Conference on Islamic Studies ke 9,9 membagi Secara
ilmiah bahwa teologi islam, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama, teologi islam klasik teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas
7 Sehat Ihsan Shadiqin, Pengantar Studi Kalam, (modul untuk pembelajaran Ilmu Kalam)
8 Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam; Dari Eksklusif-
Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual International Cofference of
Islamc Studies ke XII 9 Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam Islam) dalam Annual
Conference on Islamic Studies ke 9
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 5
secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama
ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi di dunia Islam. Kedua, teologi
islam kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-
ayat Tuhan dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi
berbagai ketimpangan sosial. Teologi kedua ini dapat dikembangkan lagi
menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi
Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial.
Keduanya membahas tentang pemikiran Teologi dari mulai masa
klasik hingga kontemporer. Perbedaan yang signifikan dapat ditemukan pada
tujuan penulis, keragaman dalam pemikiran Teologi Islam mengkayakan
khazanah intelektual Muslim, sejarah yang disajikan penulis dalam karya
ilmiah ini akan menjelaskan secara rinci awal mula munculnya teologi dan
Hubungan teologi berbasis epistimologi.
D. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam
Harun nasution menjelaskan dalam bukunya, bahwa sebenarnya
persoalan yang muncul dalam Islam adalah dalam bidang politik bukan
dalam bidang teologi. Hal ini dimulai saat Nabi Muhammad SAW
menyiarkan ajaran agama Islam di Mekah. Kota ini mempunyai sistem
kemasyarakatan yang terletak pada kekuasaan suku Quraisy.
Di pertengahan kedua abad Masehi, jalan dagang timur dan barat
berpindah dari teluk persia-Eufrat di Utara dan Laut Merah perlembahan Nil
di selatan ke Yaman-Hijaz dan Syiria. Dikarenakan peperangan antara
Byzantium dan Persia perdagangan mulai terganggu. Dengan pindahnya
perdagangan dari Timur ke barat ke semenanjung Arabia, Mekah yang
dilalui garis itu menjadi kota dagang. Pedagang membeli barang yang datang
dari Timur kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual ke Syiria.10
10
Keterangan lebih lanjut tentang dagang Timur-Barat dan pengaruhnya terhadap
Mekah dapat dilihat di Philip K, Hitti, History of Arab, (London; Mac Milan &CO, Ltd
1964), bab IV – V, dan Benard Lewis, Arabs in History, (New York; Harper and Row,
1960), Bab I, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta; UIP, 1986), hlm, 3-5
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 6
Dari sejarah ringkas dapat kita ambil kesimpulan bahwa di Mekah
Nabi hanya mempunyai fungsi sebagai kepala Agama, dan tak mempunyai
fungsi sebagai kepala pemerintahan. Ketika Nabi pindah ke Yatsrib
(Madinah) beliau bertindak sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala
Agama.
Pada masa Nabi, Abu Bakar dan ‘Umar ibn al-Khatab, perdebatan
konsep-konsep teologi Islam tidak sampai berimplikasi melahirkan berbagai
macam golongan dan aliran. Peristiwa penting terkait dengan awal
munculnya golongan atau aliran dalam Islam adalah peristiwa pembunuhan
terhadap Khalifah ‘Uthman ibn ‘Affan (35 H/656 M) oleh para pemberontak
dari Mesir yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya. Peristiwa
terbunuhnya ‘Uthman itu menjadi titik awal munculnya perdebatan
pemikiran teologi Islam dan peperangan di kalangan umat Islam.
Sejak saat itu muncul perdebatan mengenai dosa besar terkait dengan
pembunuh ‘Uthman. Bahkan, perdebatan tentang dosa besar itu berkembang
menjadi perdebatan tentang status mukmin dan kafir dari umat Islam waktu
itu, terutama terkait dengan Khalifah ‘Ali, Mu‘awiyah, dan kelompok-
kelompok di dalam umat Islam, seperti Khawarij, Syiah, dan Murji’ah.
Kemudian, muncul perdebatan siapa sesungguhnya pencipta dari perbuatan
yang dilakukan oleh manusia, serta bagaimana konsep ke-Esaan Allah
(tauhid) yang merupakan asas pokok agama Islam. Masalah-masalah lainnya
adalah masalah kalam Allah yang kita baca (al-Qur’an), apakah ia makhluk
(diciptakan), atau qadim (bukan diciptakan), serta masalah tentang
pentakwilan ayat-ayat mutashabihat, pembahasan tentang pengertian qadha’
dan qadar, dan lain-lain.11
Perdebatan tersebut berlangsung sangat luas dan lama. Berbagai
aliran kalam berkembang, seperti Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah,
Salafiyah, dan Ahlussunnah. Hal-hal di atas merupakan gambaran mengenai
11
Ira M, Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta; Grafindo Persada, 1999),
hlm, 159-165, lihat juga Hasbi As-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), hlm, 1
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 7
teologi Islam pada masa klasik. Dari waktu ke waktu, persoalan dalam
teologi Islam berkembang sesuai tantangan zamannya. Pada abad ke-18 dan
19 misalnya, para pembaharu mengusung tema pentingnya ijtihad dan
kekuatan akal, karena kondisi yang dihadapi adalah kondisi umat Islam yang
jumud, stagnan, dan juga faktor penjajahan atau imperialisme yang
dilakukan oleh Barat. Tema tersebut di usung oleh para pembaharu, seperti
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Ahmad Khan, Muhammad
Iqbal, dan sebagainya.12
Kemudian berkembang pada era kontemporer13
, persoalannya tidak
hanya terbatas pada hal-hal sebagaimana berkembang pada masa ulama-
ulama dulu. Isu-isu tentang keadilan, demokrasi, hak asasi manusia,
kemiskinan, dan perempuan juga menjadi perbincangan dalam teologi Islam
kontemporer. Jika dipetakan lebih detil, pada masa klasik muncul aliran-
aliran teologi seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qodariyah,
Mu’tazilah, Salafiyah dan Ahlussunnah.14
Pada masa modern, muncul corak
keberagamaan revivalis, modernis, neo-revivalis dan neo-modernis,
sebagaimana yang diklasifikasikan Fazlur Rahman,15
atau Islam tradisional
dan Islam modernis, sebagaimana klasifikasi Deliar Noer ketika memotret
keberagamaan umat Islam Indonesia pada awal abad ke 20.16
Begitu juga ketika melihat perkembangan mutakhir, terdapat Islam
skriptualistik, Islam ideologis, Islam modernis, dan Islam emansipatoris,
12
Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung:
Mizan, 1996) dan John Cooper (ed.) et al., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga
Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002). 13
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1991) dan Budhy Munawar
Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001). Zaenul Abbas, Konstruksi
Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November
2012 : 341-358, Hlm, 344 14
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Zaenul Abbas,
Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 344 15
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982), Zaenul Abbas,
Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 344 16
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 19901942(Jakarta: LP3ES,
1990). Zaenul Abbas, Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 345
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 8
sebagaimana diklasifikasikan oleh Masdar F. Mas’udi,17
atau Islam puritan
dan Islam moderat sebagaimana yang di petakan oleh Khaled M. Abou el
Fadl.18
Di Indonesia pada era kontemporer muncul para pemikir dan
intelektual yang mengusung gagasan pemikiran teologi Islam kritis. Di
antara mereka adalah Harun Nasution (Islam Rasional), Nurcholish Madjid
(Islam Modern), Abdurrahman Wahid (Islam Pembebasan), Mansour Fakih
(Ilmu Sosial Kritis), Kuntowijoyo (Islam Sosial Profetik), Muslim
Abdurrahman (Islam Transformatif), Masdar Farid Mas’udi (Islam
Emansipatoris), dan Ulil Abshar Abdalla (Islam Liberal).
Masih banyak pemikir dan intelektual yang mengembangkan
pemikiran-pemikiran kritis. Hal ini mendapat perhatian di tengah munculnya
berbagai problem kemanusiaan yang memprihatinkan. seperti
ketidakberdayaan kaum lemah berhadapan secara tidak seimbang dengan
kaum kuat, kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, warga negara
berbenturan dengan tirani kekuasaan, serta masyarakat teknologi-industrial
merasakan keterasingan dahsyat yang mengungkung eksistensinya.
E. Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi dan Filsafat Islam menurut
Abed al-Jabiri
Kita tidak harus malu untuk mengakui bahwa dalam Islam dan dalam
agama-agama besar lainnya, hubungan antara teologi dan filsafat, baik di
wilayah keilmuan-teoritis maupun di wilayah praksis-keberagamaan, jarang
sekali atau bahkan tidak pernah akur dan harmonis. Hampir sepanjang masa,
dua disiplin dan cara pandang keilmuan ini senantiasa terlibat dalam
perseteruan, saling menonjolkan diri, saling sikut, saling hantam, dan saling
berebut pengaruh di kalangan para peminat keilmuan dan para penganut
agama pada umumnya.
17
Masdar F. Mas‘udi “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
(Jakarta: P3M, 2004). 18
Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi
Musthofa (Jakarta: Serambi, 2005).
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 9
Hal ini karena masing-masing disiplin dan cara pandang keilmuan ini
memiliki asumsi dasar, kerangka teori, logika, paradigma, dan struktur
fundamental keilmuan yang berbeda satu sama lain. Teologi cenderung
memapankan dirinya melalui postulat-postulat teoritis-teologis, yang
kemudian mendominasi bagian terbesar dari model keberagamaan umat.
Sedangkan filsafat terus menggonggong dan menjaga diri agar tidak terjebak
dalam wilayah terlarang, yang disinyalir akan bisa menghapus daya kritis
yang dimilikinya. Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri19
mengungkapkan bahwa
seluruh khazanah intelektual Islam yang dihasilkan oleh mutakallimũn
(teolog) muslim selama tahun 150 H hingga 550 H adalah dalam rangka
menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai disiplin keilmuan maupun
sebagai metode dan epistemologi. Hingga saat ini, perseteruan serupa masih
ditemukan. Singkatnya, hubungan teologi dan filsafat, baik in the first level
of discoursemaupun in the second level of Discourse tidak mudah
didamaikan, apalagi dikompromikan.20
Para ilmuwan Muslim sejak generasi pertama telah berupaya
semampu mereka untuk mengkompromikan dua disiplin dan cara pandang
keilmuan ini. Menurut Harun Nasution21
sejak semula, al-Kindi yang dikenal
sebagai filosof pertama di kalangan Muslim telah berupaya memadukan
antara teologi dan filsafat. Bagi al-Kindi, agama dan filsafat tidak
bertentangan. Teologi merupakan cabang termulia dari filsafat, dan keduanya
sama-sama mengarahkan kajiannya pada hakikat pertama (al-haqq al-
awwal). Pandangan semacam inilah yang kemudian memunculkan teori
epistemologi al-Kindi yang dikenal luas hingga saat ini.
19
Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah
Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-
Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 497-498. 20
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hlm.117 21
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), hlm. 43-44.
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 10
Upaya untuk mengkompromikan teologi dan filsafat tersebut
merupakan semangat tulisan ini. Pada prinsipnya, berbagai terobosan baru
dari perspektif dan sudut pandang yang beragam harus senantiasa
dikembangkan. Upaya ini tidak boleh ditunda-tunda lagi, karena akibat-
akibat yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini semakin menuntut adanya kerjasama dan keharmonisan teologi
dan filsafat dalam merumuskan solusi-solusi yang mendesak untuk
memecahkan persoalan keagamaan dan sosial-keberagamaan umat yang
semakin kompleks. Umat Islam mutlak membutuhkan upaya-upaya kreatif
guna mengembangkan landasan-landasan teoritis dalam merajut kerjasama
dan keharmonisan dua disiplin dan cara pandang keilmuan tersebut.
Menurut hemat penulis, agar dapat melihat polemik teologi dan
filsafat secara lebih jernih, maka harus ditelusuri hingga struktur nalar yang
membentuknya. Hanya di wilayah itulah kerjasama dan keharmonisan yang
dimaksud bisa diupayakan.
1. Struktur Nalar: Pembatasan Awal
Istilah ‘nalar’ dalam hubungannya dengan kebudayaan, menjadi salah
satu kosa-kata penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para
peminat Islamic Studies. Nalar menjadi salah satu alternatif wilayah yang
harus direkonstruksi, jika ingin mengakhiri masa kemunduran Islam.
Untuk bisa mengupayakan kemajuan, umat Islam dituntut untuk lebih jeli
dalam memotret dan menyikapi nalar yang berkembang di balik
fenomena keilmuan dan keberagamaan umat.
Menurut al-Jãbiri22
tokoh yang mempopulerkan kajian tentang nalar
(‘aql), kebangkitan dan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat Islam
tidak akan pernah bisa diwujudkan tanpa melakukan kritik konstruktif
terhadap nalar. Kebudayaan yang maju dan berkembang harus didasarkan
atas ‘nalar yang bangkit’ (al-‘aql an-nãhidh) dan progresif. Bagi al-Jãbiri,
22
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi(Berut: Markaz Dirãsãt al-
Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 5
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 11
nalar (‘aql) tidak bisa disamakan begitu saja dengan ‘pemikiran’ (al-fikr),
meskipun secara kebahasaan dua istilah itu memiliki kesamaan makna
denotatifnya. Dalam terminologi kontemporer, ‘pemikiran’ (al-fikr) lebih
merujuk pada arti produk pemikiran ketimbang instrumen pemikiran. Arti
yang semacam ini tergambar dalam ungkapan “pemikiran filosofis”,
“pemikiran Eropa” dan sebagainya. Al-Jãbiri memandang bahwa sebagai
produk pemikiran, nalar (‘aql) sama arti dan muatannya dengan ideologi,
yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dihasilkan dan
digunakan oleh masyarakat tertentu untuk mengungkapkan norma-norma
moral, doktrin-doktrin aliran, serta ambisi sosial-politik mereka.
Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis terapkan
dalam tulisan ini bukan dalam artinya sebagai ideologi atau produk
pemikiran, akan tetapi dalam posisinya sebagai instrumen untuk
memproduksi pandangan teoritis, yang bisa jadi berupa ideologi tertentu
itu. Untuk lebih mengkontraskan perbedaan ini, perlu ditegaskan distingsi
antara pemikiran sebagai alat dan pemikiran sebagai produk dalam dua
bentuk yang berbeda itu, al-Jãbiri menisbatkan nalar (‘aql) pada posisi
pemikiran sebagai alat. Ini berarti pemikiran dalam posisinya sebagai alat
yang menghasilkan produk-produk pemikiran yang bersifat teoritis
maupun berupa ideologi-ideologi tertentu. Meskipun bisa dilihat secara
terpisah, al-Jãbiri mengakui bahwa pemikiran baik sebagai alat maupun
sebagai produk, tidak bisa dilepaskan dari pergesekannya dengan
lingkungan sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Pemikiran adalah
produk sosial, budaya, lingkungan geografis, dan bahkan bahasa.23
Kekhasan dan karakteristik unsur-unsur pembentuk tersebut sangat
menentukan kekhasan dan karakteristik pemikiran yang dihasilkannya.
Nalar yang khas muncul dari persinggungannya dengan dibentuknya
unsur-unsur pembentuk yang khas pula. Oleh karena itu, menurut al-
Jãbiri, Nalar Arab (al-‘Aql al-‘Arabĩ) merupakan produk dari dan
23
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 5
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 12
dibentuk oleh budaya Arab itu sendiri.24
Dari batasan al-Jãbiri di atas bisa
dipahami bahwa al-‘Aql al-‘Arabĩ dibentuk oleh kebudayaan atau kultur
Arab yang khas, dan bukan oleh kebudayaan atau kultur lainnya. Kalau
kemudian batasan ini disandingkan dengan penjelasan Martin
Heidegger25
tentang “kekhasan”,26
maka budaya dan kultur yang khas
yang dimaksudkan oleh al-Jãbiri tersebut dapat dilihat sebagai entitas
yang sebangun dengan “dunia” (welt, world). Dalam pemaknaan
semacam ini, kebudayaan Arab merupakan “dunia” yang darinya Nalar
Arab terbentuk. Dengan kata lain, dalam “dunia” inilah Nalar Arab
mewujudkan dirinya (mengada dan menjadi ada).
Terkait dengan teologi dan filsafat, ”dunia” tersebut dapat dilihat
dalam dua wilayah yang berbeda. Sekali lagi, meminjam kebiasaan al-
Jãbiri, pembagian semacam ini hanya dimaksudkan demi analisis yang
berlangsung dalam pembahasan ini, dan tidak bersifat esensial. Di
wilayah yang pertama, ‘dunia’ merujuk pada realitas normatif yang
mendeterminasi struktur nalar teologi maupun filsafat. Sedangkan di
wilayah kedua, ‘dunia’ berupa realitas historis yang menjadi unsur-unsur
penopangnya. Namun demikian, pemilahan secara normatif dan historis
ini hanya berlaku jika dilihat sebagai bentuk pure science (keilmuan
murni) saja, yakni sebagai kerangka keilmuan dasar yang melandasi
keberadaannya. Sedangkan dalam bentuk applied science (keilmuan
praktis), realitas normatif dan historis tersebut saling berkaitan.27
24
Batasan-batasan yang digariskan al-Jãbiri inilah yang penulis gunakan untuk
membatasi apa yang nantinya disebut Nalar Teologi dan Nalar Filsafat. Tentu saja batasan-
batasan itu perlu sedikit direnovasi dan disesuaikan dengan pembahasan yang dikembangkan
dalam tulisan ini. 25
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State
University of New York Press, 1996), hlm. 42. 26
Heidegger berpandangan bahwa “kekhasan” dibutuhkan oleh manusia untuk bisa
menjadi Dassein, dalam arti untuk bisa bereksistensi sesuai dengan “kekhasannya” sebagai
Mengada yang mampu bertanya tentang ada-Nya 27
Istilah dan pembedaan antara yang normatif dan historis digunakan oleh Fazlur
Rahman dan juga oleh Amin Abdullah untuk menengahi hubungan yang saling berkait-
kelindan antara agama dan kepentingan sosial-kemasyarakatan, antara yang sakral dan yang
profan. Lebih lanjut baca; “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 13
Bagan Struktur Nalar Teologi dan Filsafat
2. Nalar Teologi: Dogmatis Pre-Reflektif Bayãnĩ
Bagian ini akan penulis awali dengan mengajukan pertanyaan berikut:
“Jika nalar teologi dan filsafat sebagai alat untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran teologis dan filosofis dibentuk oleh realitas normatif
dan historis yang khas, maka seperti apakah bentuk masing-masing
realitas normatif dan historis itu, dan bagaimanakah karakter nalar yang
dihasilkan oleh realitas tersebut? Tidak ada agama yang tidak mempunyai
ajaran ketuhanan. Dalam tiga agama monoteis (Abrahamic Religion),
Tuhan berada pada poros yang menjadi sentral keberadaan (eksistensi)
segala yang ada di dunia ini. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi dan
bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya. Tuhan menjadi
tempat bergantung bagi segala eksistensi.28
Demikian gambaran umum yang diketahui dari ajaran Teologi
berbagai agama, termasuk dalam teologi Islam. Sebagaimana halnya
agama-agama monoteis, teologi Islam mengajarkan bahwa kebenaran
Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi
Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, 2003),
hlm. 5 28
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 39.
Lihat di Nur Said, Teologi Islam Transformatif dan Kontekstual, Jurnal fikrah, jurnal ilmu
aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013, hlm 116
Al fikr Sbg Alat
u
Memproduksi
Pemikiran
Al fikr produk
pemikiran
Nalar Nalar teologi
dan Filsafat
Nalar teologi
dan Filsafat
yang khas
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 14
pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai melalui wahyu. Al-Quran
sebagai wahyu tidak hanya memuat aturan-aturan kemasyarakatan, tetapi
juga memberikan penjelasan tentang Tuhan dan eksistensi-Nya, meskipun
dalam porsi yang lebih sedikit.29
Sementara yang menjadi realitas historis bagi nalar teologi Islam
dapat dirunut dari berbagai peristiwa historis yang melingkupi lahirnya
teologi Islam atau yang sering disebut Ilmu Kalãm. Di titik ini harus
digaris-bawahi bahwa teologi Islam atau Dari keterkaitan antara dua
wilayah berbeda yang melingkupi keberadaan teologi Islam itu dapat
dilihat betapa “dunia” teologi telah memunculkan nalar teologi yang
bersifat dogmatis-pre-reflektif. Nalar yang dogmatis-pre-reflektif ini
selanjutnya melahirkan paham-paham, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
teologi yang mendominasi, menuntut loyalitas dan kesetiaan dari para
penganutnya, serta dibekukan dalam prinsip-prinsip dan dogma-dogma
teologis yang diterima dan dipraktekkan secara turun-temurun.
Dalam struktur yang dominan dan baku ini nalar Teologi menjadi
instrumen yang memunculkan paham-paham dan aliran-aliran teologi di
atas. Merujuk pada al-Jãbiri,30
struktur Nalar Teologi seperti ini disebut
sebagai al-‘Aql al-Mukawwan. Menurutnya, nalar teologi yang dominan
ini bisa dianalisis secara obyektif, lantaran ia bisa diamati dalam bentuk
konsep, ajaran dan prinsip teologi yang telah baku.
Dominasi nalar teologi yang bersifat dogmatis pre-reflektif bayãni itu
menyebabkan para teolog lebih mengedepankan sikap apologis dan lebih
mengutamakan kebenaran doktrin yang terdapat dalam wahyu, serta
menyalahkan semua pandangan yang tidak sesuai dengannya. Sikap itu
muncul karena mereka menerima mentah-mentah apa yang telah diterima
secara dominan, tanpa mempertimbangkan atau merefleksikannya lebih
29
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm.
116 lihat di Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal
ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013, hlm 116 30
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn.., hlm. 15-16
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 15
lanjut. Sebenarnya sikap semacam ini adalah sah-sah saja dan bahkan
diperlukan. Tanpa adanya justifikasi kebenaran atau sering disebut
sebagai truth claim, teologi akan terjebak pada kesia-siaan belaka. Akan
tetapi, sikap terlalu memutlakkan kebenaran atau menggantungkan
kebenaran mutlak itu kepada transcendent aspect31
sama artinya dengan
membunuh keberadaan (eksistensi) manusia.
3. Nalar Filsafat: Kritis-Reflektif-Burhãnĩ
Jika demikian halnya dengan nalar teologi, maka bagaimanakah
yang terjadi dengan nalar filsafat? Berbeda dengan ajaran yang
dikembangkan oleh agama yang menempatkan Tuhan di pusat eksistensi,
filsafat berangkat dari pertanyaan tentang unsur-unsur apakah yang
berada di balik alam semesta ini.
Nalar filsafat yang muncul dari pergesekan antara realitas
normatif dan historis dalam dunia filsafat. Di sini setidaknya bisa
dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan hal itu. Pertama, kajian
dan analisis yang dilakukan dalam filsafat dimulai dari mempertanyakan
realitas yang ditemukan secara langsung dalam kehidupan di dunia ini.
Realitas-realitas itu, baik yang berupa fenomena alam maupun fenomena
sosial, dilihat sebagai realitas otonom yang mengandung keterkaitan
langsung dengan akal -baik dalam arti universal maupun individual.
Kedua, kajian terhadap realitas itu diarahkan pada perumusan ide-ide
abstrak yang bersifat fundamental (fundamental ideas), yang membantu
akal manusia untuk memahami kenyataan alam dan sosial yang
ditemuinya. Ide-ide itulah yang diterjemahkan dalam bentuk istilah teknis
kefilsafatan sebagai al-falsafah al-ũlã, substansi, hakikat dan esensi.
Ketiga, penerjemahan yang bersifat abstrak itu didasarkan pada
31
Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”,
dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C. (ed). (Tuscon: The
University of Arizona Press, 1985), hlm. 194. lihat di Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik
Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal ilmu aqidah dan studi keagamaan, Hlm 119
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 16
keyakinan bahwa akal mampu mengungkap dan menjelaskan kenyataan
alam dan sosial yang bersifat abstrak tersebut. Keempat, dengan
demikian, secara tidak langsung dunia filsafat telah melatih para filosof
untuk senantiasa bersikap kritis, dan tidak terjebak dalam diminasi nalar
tertentu. Kelima, sikap kritis itu dilandasi dengan penelitian filosofis yang
berkesinambungan, yang dilakukan melalui refleksi-refleksi keilmuan
yang sistematis. Dan keenam, sikap kritis-reflektif inilah yang akan
mampu menjamin kebebasan intelektual dan sikap inklusif terhadap
kebenaran-kebenaran yang diterima secara dogmatis dan fanatis oleh
masyarakat pada umumnya.32
Dengan demikian, Nalar Filsafat yang bersifat kritis-reflektif-
burhãnĩ, menjadi unsur penopang yang paling utama bagi manusia untuk
mewujudkan eksistensinya. Bagi al-Jãbiri33
nalar seperti inilah yang
sangat dibutuhkan untuk memunculkan prinsip dan kaidah baru. Hal itu
karena nalar yang telah mendominasi kehidupan sosial-keberagamaan
dalam bentuk institusi dan kelembagaan agama dan sistem teologi yang
sudah mapan (ortodoksi) tidak akan bisa dikembangkan, direvitalisasi dan
direkonstruksi tanpa bantuan dari nalar filsafat yang bersifat kritis-
reflektif-burhãnĩ.
F. Kesimpulan
1. Perkembangan ilmu kalam ini dimulai dari polemik Politik, skema
historis menyatakan bahwa saat ini ilmu teologi mengalami Shift
Paradigm atau perkembangan dan pergeseran arus pemikiran. Mulai dari
pemikiran klasik dengan tema neraka, syurga, kafir, muslim dll bergeser
32
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri., Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah
Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-
Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 27. Baca juga, Amin Abdullah, “Rekonstruksi
Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah,
M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, hlm. 9-10. lihat di Tahir
Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik, Hlm 121 33
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn, hlm. 16
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 17
pada tataran ijtihad revolusi, lalu bergeser lagi ke arah pemikiran
kontemporer.
2. Pemikiran teologi Islam Kritis tidak berurusan dengan prinsip-prinsip
umum, tidak membentuk sistem ide, melainkan memberikan kesadaran
untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Pemikiran ini berusaha
merefleksi secara kritis hal-hal praksis yang berlangsung dalam
kehidupan sehari-hari (historical praxis) atau melakukan transformasi
wahyu dari teori menuju praktek.
3. Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis terapkan dalam
tulisan ini bukan dalam artian sebagai ideologi atau produk pemikiran,
akan tetapi dalam posisinya sebagai instrumen untuk memproduksi
pandangan teoritis, yang bisa jadi berupa ideologi tertentu itu. Al-Jãbiri
menisbatkan nalar (‘aql) pada posisi pemikiran sebagai alat. Ini berarti
pemikiran dalam posisinya sebagai alat yang menghasilkan produk-
produk pemikiran yang bersifat teoritis maupun berupa ideologi-ideologi
tertentu.
4. Perbandingan Proses Pembentukan Nalar Teologi dan Filsafat Abed al-
Jabiri;
Nalar Teologi Nalar filsafat
Tuhan Tuhan
Manusia Alam Manusia Alam
Fungsi
Justifikasi
Fungsi
Justifikasi
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 18
Daftar pustaka
Ainur rafiq, Sylabus Ilmu Kalam, Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN
MALIKI Malang.
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003).
Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam ; Dari Eksklusif-
Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual
International Cofference of Islamc Studies ke XII.
Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam Islam) dalam
Annual Conference on Islamic Studies ke IX.
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung:
Mizan, 1996).
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995).
Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan
Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, 2003).
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001).
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 19901942(Jakarta:
LP3ES, 1990).
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).
Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”,
dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C.
(ed). (Tuscon: The University of Arizona Press, 1985).
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan),
(Jakarta; UI Press, 1986).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974).
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 19
Hasbi As-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988).
Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta; Grafindo Persada, 1999).
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1991).
John Cooper (ed.) et al., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga
Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Erlangga, 2002).
Kamus Besar Bahasa, Pusat Bahasa, Direktorat Pendidikan Nasional,
(Jakarta; 2008) ISBN 978-979-689-779-1.
Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi
Musthofa (Jakarta: Serambi, 2005).
Masdar F. Mas‘udi “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk
Praksis Pembebasan(Jakarta: P3M, 2004).
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State
University of New York Press, 1996).
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah
Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah
(Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990).
Nur Said, Teologi Islam Transformatif dan Kontekstual, Jurnal fikrah, jurnal
ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013.
Philip K, Hitti, History of Arab, (London; Mac Milan &CO, Ltd 1964).
Sehat Ihsan Shadiqin, Pengantar Studi Kalam, (modul untuk pembelajaran
Ilmu Kalam).
Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal
ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013.
Zaenul Abbas, Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis,
Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012.
http://hujankatatinta.blogspot.com/2013/06/latar-belakang-munculnya-aliran-
aliran.html