NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI

19
Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 1 NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI Lecture: Aunur Rofiq Lc, M.Ag, Ph.D Didin Chonytha (14750010)* Abstract An important question in this paper is how is paradigm construction of critical theological thought. To understand its construction , this paper shows shifting paradigm of thought Islamic theology since classic era to contemporary. The shifting is since Khawarij growth that discuss about big sin, unbeliever, believer, heaven, and hell. Now, theological thought had grown and entered in various scientific paradigm. These themes are very variational too, even new thing that is nothing before. One of thinker is Abed al-Jabiri Critical theological thought did not separate theory and practice, knowledge and action, theoritical rationality and practical rationality. This thought reflects critically something practice in historical sosial life. And then this paper will discuss the relation both of theology and phylosophy. Keywords: Abed al-Jabiri, Shifting Paradigm, Theology, Philosophy A. Pendahuluan Pemikiran teologi Islam merupakan khazanah intelektual muslim yang sangat berharga bagi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya. Pemikiran teologi Islam, khususnya di Indonesia, adalah hasil dari dinamika tantangan umat dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda dengan tantangan zaman klasik dan pertengahan, bahkan tantangan pada awal zaman modern sekalipun. Paradigma, metodologi, dan isu-isunya sangat berbeda dengan apa yang ada pada masa sebelumnya. Pemikiran teologi Islam 1 adalah produk pemikiran manusia yang mengalami perkembangan cukup panjang. Sebagai sesuatu yang terbakukan dalam apa yang disebut sebagai ilmu kalam”, pemikiran teologi Islam 1 Teologi Islam adalah sebutan lain dari ilmu kalam, ilmu tauhid, aqidah, dan teologi Islam sebagaimana juga pernah ditegaskan oleh Harun Nasution dan Muhammad ‘Abduh. Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan (Jakarta: UIP, 2002) Hlm. ix

Transcript of NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 1

NALAR FILSAFAT DAN TEOLOGI JABID AL-JABIRI

Lecture: Aunur Rofiq Lc, M.Ag, Ph.D

Didin Chonytha (14750010)*

Abstract

An important question in this paper is how is paradigm construction of

critical theological thought. To understand its construction , this paper

shows shifting paradigm of thought Islamic theology since classic era to

contemporary. The shifting is since Khawarij growth that discuss about big

sin, unbeliever, believer, heaven, and hell. Now, theological thought had

grown and entered in various scientific paradigm. These themes are very

variational too, even new thing that is nothing before. One of thinker is Abed

al-Jabiri Critical theological thought did not separate theory and practice,

knowledge and action, theoritical rationality and practical rationality. This

thought reflects critically something practice in historical sosial life. And

then this paper will discuss the relation both of theology and phylosophy.

Keywords: Abed al-Jabiri, Shifting Paradigm, Theology, Philosophy

A. Pendahuluan

Pemikiran teologi Islam merupakan khazanah intelektual muslim

yang sangat berharga bagi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya.

Pemikiran teologi Islam, khususnya di Indonesia, adalah hasil dari dinamika

tantangan umat dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda dengan tantangan

zaman klasik dan pertengahan, bahkan tantangan pada awal zaman modern

sekalipun. Paradigma, metodologi, dan isu-isunya sangat berbeda dengan apa

yang ada pada masa sebelumnya.

Pemikiran teologi Islam1 adalah produk pemikiran manusia yang

mengalami perkembangan cukup panjang. Sebagai sesuatu yang terbakukan

dalam apa yang disebut sebagai “ilmu kalam”, pemikiran teologi Islam

1 Teologi Islam adalah sebutan lain dari ilmu kalam, ilmu tauhid, aqidah, dan

teologi Islam sebagaimana juga pernah ditegaskan oleh Harun Nasution dan Muhammad

‘Abduh. Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus (Jakarta: Bulan Bintang,

1988), Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran­aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan

(Jakarta: UIP, 2002) Hlm. ix

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 2

memang belum dikenal pada masa Nabi. Tetapi, secara potensial dan

konseptual, konsep kalam sesungguhnya sudah ada sejak masa Nabi,

terutama ketika al-Qur’an mulai diturunkan. Konsep-konsep kalam sudah

termuat di dalam al-Qur’an seperti konsep tauhid, Allah, Nabi, perbuatan

manusia, hari akhir, dosa, pahala, mukmin, kafir, dan sebagainya.

Banyak dari kalangan ahli fiqh (fuqaha’) yang tidak menyukai ilmu

yang diasumsikan lahir dari ilmu filsafat Yunani ini, karena tidak pernah di

sebut-sebut oleh kalangan sahabat dan tabi’in.2 Oleh karena itu,

menggambarkan konstruksi paradigmatik gagasan pemikiran teologi Islam

merupakan sesuatu yang sangat penting dan menarik. Hal ini mendapat

perhatian di tengah munculnya berbagai problem kemanusiaan yang

memprihatinkan, seperti ketidakberdayaan kaum tertindas (mustadh’afin)

berhadapan secara tidak seimbang dengan kaum penguasa elit (muqowimiin),

kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, warga negara berbenturan

dengan tirani kekuasaan, serta masyarakat teknologi-industrial merasakan

keterasingan dahsyat yang mengungkung eksistensinya.

Di dalam penelitian ini, penulis ingin mengulas kembali sejarah

kemunculan Ilmu Kalam atau yang disebut sebagai Teologi Islam,

perkembangan serta pengaruh ilmu ini terhadap pergumulan akademik Studi

Islam, penulis juga ingin meneliti secara Kritis struktur nalar dibalik polemik

Teologi dan filsafat Islam khususnya studi tokoh pemikiran abed al-jabiri.

Dari pembahasan ini, diharapkan dapat menambah wawasan tema yang

berjudul “Nalar Filsafat dan Teologi Abed Al-Jabiri”3 dalam Wacana Studi

Islam.

2 Uun Auliaus Sakinah, latar belakang kemunculan ilmu kalam dalam Islam,

Makalah, dapat dilihat http://hujankatatinta.blogspot.com/2013/06/latar-belakang-

munculnya-aliran-aliran.html diakses tanggal 14-03-2015 3 Aunur rofiq, Sylabus Ilmu Kalam, Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN MALIKI

Malang, 2015.

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 3

B. Kajian Teori

Dalam istilah bahasa Arab ajaran-ajaran dasar disebut dengan ushul

al-Din dan oleh karena itu buku-buku yang membahas soal teologi dalam

Islam selalu diberi nama kitab ushul al-Din oleh para pengarangnya. Ajaran-

ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau keyakinan. Buku buku yang

mengupas keyakinan keyakinan itu diberi judul al-Aqa’id seperti al-Aqa’id

an-nafisah dan Al-‘Aqa’id adudiah.4 Di dalam kamus besar bahasa Indonesia

(KBBI)5 Teologi adalah kata sifat yakni pengetahuan ketuhanan (mengenai

sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar

pada kitab suci).

Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain: Ilmu

ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushul

al-Din karena membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid karena

ilmu ini membahas tentang keesaan Allah swt. Di dalamnya dikaji juga

mengenai nama-nama dan perbuatan-perbuatan Allah yang wajib, mustahil,

dan jaiz, juga yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Rasul-Nya. Secara objektif,

ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi Ilmu kalam lebih

dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebab itu, sebagian teolog

membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.6

Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam adalah suatu disiplin Ilmu yang

mengandung berbagai argumentasi tentang Akidah imani yang diperkuat

oleh dalil-dalil rasiologi atau nalar. Istilah Ilmu Kalam mengacu kepada

ulama yang membahas masalah teologi dalam Islam saling berdebat (Kalam)

sehingga mereka juga dikenal sebagai mutakallimin. Disebut juga dengan

ilmu kalam karena salah satu persoalan penting yang menjadi objek

4 Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan),

(Jakarta; UI Press, 1986), hlm. ix 5 Kamus Besar Bahasa, Pusat Bahasa, Direktorat Pendidikan Nasional, (Jakarta;

2008) ISBN 978-979-689-779-1 hlm, 1501 6 Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003) hlm, 15

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 4

pembicaraan mereka adalah masalah kalam Allah. Secara etimologis, teologi

berarti ilmu tentang Tuhan.7

Apabila memperhatikan pengertian ilmu kalam di atas, dapat

disimpulkan bahwasanya ilmu kalam adalah ilmu yang membahas masalah

ketuhanan dengan menggunakan argumentasi, logika, dan filsafat, secara

teoritis aliran Salaf tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari ilmu kalam,

karena aliran Salafi apabila menyangkut masalah ketuhanan tidak

menggunakan argumentasi, filsafat, atau logika.

C. Kajian Terdahulu

Pertama, Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam;

Dari Eksklusif-Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual

International Cofference of Islamc Studies ke XII8 yang menjelaskan tentang

konsep tauhid tidak hanya dimaknai sebagai upaya-upaya mengesakan Allah

tapi juga merupakan kekuatan pembebas yang mengerakan perubahan-

perubahan besar dalam sejarah. Dalam konteks kehidupan kebangsaan dan

kenegaraan yang semakin majemuk ini, para pemikir muslim kita telah

berupaya menawarkan model-model transformasi masyarakat berdasarkan

nilai-nilai tauhid. Sebagian menawarkan transformasi kultural yang

diarahkan untuk merubah dan merombak pola berfikir termasuk pola

berteologi. Sementara yang lain lebih concern pada perubahan struktural

sosial, budaya, ekonomi dan politik di mana tauhid merupakan bahagian

inheren dalam perubahan tersebut.

Kedua, Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam

Islam) dalam Annual Conference on Islamic Studies ke 9,9 membagi Secara

ilmiah bahwa teologi islam, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama, teologi islam klasik teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas

7 Sehat Ihsan Shadiqin, Pengantar Studi Kalam, (modul untuk pembelajaran Ilmu Kalam)

8 Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam; Dari Eksklusif-

Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual International Cofference of

Islamc Studies ke XII 9 Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam Islam) dalam Annual

Conference on Islamic Studies ke 9

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 5

secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama

ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi di dunia Islam. Kedua, teologi

islam kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-

ayat Tuhan dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi

berbagai ketimpangan sosial. Teologi kedua ini dapat dikembangkan lagi

menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi

Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial.

Keduanya membahas tentang pemikiran Teologi dari mulai masa

klasik hingga kontemporer. Perbedaan yang signifikan dapat ditemukan pada

tujuan penulis, keragaman dalam pemikiran Teologi Islam mengkayakan

khazanah intelektual Muslim, sejarah yang disajikan penulis dalam karya

ilmiah ini akan menjelaskan secara rinci awal mula munculnya teologi dan

Hubungan teologi berbasis epistimologi.

D. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam

Harun nasution menjelaskan dalam bukunya, bahwa sebenarnya

persoalan yang muncul dalam Islam adalah dalam bidang politik bukan

dalam bidang teologi. Hal ini dimulai saat Nabi Muhammad SAW

menyiarkan ajaran agama Islam di Mekah. Kota ini mempunyai sistem

kemasyarakatan yang terletak pada kekuasaan suku Quraisy.

Di pertengahan kedua abad Masehi, jalan dagang timur dan barat

berpindah dari teluk persia-Eufrat di Utara dan Laut Merah perlembahan Nil

di selatan ke Yaman-Hijaz dan Syiria. Dikarenakan peperangan antara

Byzantium dan Persia perdagangan mulai terganggu. Dengan pindahnya

perdagangan dari Timur ke barat ke semenanjung Arabia, Mekah yang

dilalui garis itu menjadi kota dagang. Pedagang membeli barang yang datang

dari Timur kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual ke Syiria.10

10

Keterangan lebih lanjut tentang dagang Timur-Barat dan pengaruhnya terhadap

Mekah dapat dilihat di Philip K, Hitti, History of Arab, (London; Mac Milan &CO, Ltd

1964), bab IV – V, dan Benard Lewis, Arabs in History, (New York; Harper and Row,

1960), Bab I, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta; UIP, 1986), hlm, 3-5

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 6

Dari sejarah ringkas dapat kita ambil kesimpulan bahwa di Mekah

Nabi hanya mempunyai fungsi sebagai kepala Agama, dan tak mempunyai

fungsi sebagai kepala pemerintahan. Ketika Nabi pindah ke Yatsrib

(Madinah) beliau bertindak sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala

Agama.

Pada masa Nabi, Abu Bakar dan ‘Umar ibn al-Khatab, perdebatan

konsep-konsep teologi Islam tidak sampai berimplikasi melahirkan berbagai

macam golongan dan aliran. Peristiwa penting terkait dengan awal

munculnya golongan atau aliran dalam Islam adalah peristiwa pembunuhan

terhadap Khalifah ‘Uthman ibn ‘Affan (35 H/656 M) oleh para pemberontak

dari Mesir yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya. Peristiwa

terbunuhnya ‘Uthman itu menjadi titik awal munculnya perdebatan

pemikiran teologi Islam dan peperangan di kalangan umat Islam.

Sejak saat itu muncul perdebatan mengenai dosa besar terkait dengan

pembunuh ‘Uthman. Bahkan, perdebatan tentang dosa besar itu berkembang

menjadi perdebatan tentang status mukmin dan kafir dari umat Islam waktu

itu, terutama terkait dengan Khalifah ‘Ali, Mu‘awiyah, dan kelompok-

kelompok di dalam umat Islam, seperti Khawarij, Syiah, dan Murji’ah.

Kemudian, muncul perdebatan siapa sesungguhnya pencipta dari perbuatan

yang dilakukan oleh manusia, serta bagaimana konsep ke-Esaan Allah

(tauhid) yang merupakan asas pokok agama Islam. Masalah-masalah lainnya

adalah masalah kalam Allah yang kita baca (al-Qur’an), apakah ia makhluk

(diciptakan), atau qadim (bukan diciptakan), serta masalah tentang

pentakwilan ayat-ayat mutashabihat, pembahasan tentang pengertian qadha’

dan qadar, dan lain-lain.11

Perdebatan tersebut berlangsung sangat luas dan lama. Berbagai

aliran kalam berkembang, seperti Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah,

Salafiyah, dan Ahlussunnah. Hal-hal di atas merupakan gambaran mengenai

11

Ira M, Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta; Grafindo Persada, 1999),

hlm, 159-165, lihat juga Hasbi As-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta:

Bulan Bintang, 1988), hlm, 1

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 7

teologi Islam pada masa klasik. Dari waktu ke waktu, persoalan dalam

teologi Islam berkembang sesuai tantangan zamannya. Pada abad ke-18 dan

19 misalnya, para pembaharu mengusung tema pentingnya ijtihad dan

kekuatan akal, karena kondisi yang dihadapi adalah kondisi umat Islam yang

jumud, stagnan, dan juga faktor penjajahan atau imperialisme yang

dilakukan oleh Barat. Tema tersebut di usung oleh para pembaharu, seperti

Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Ahmad Khan, Muhammad

Iqbal, dan sebagainya.12

Kemudian berkembang pada era kontemporer13

, persoalannya tidak

hanya terbatas pada hal-hal sebagaimana berkembang pada masa ulama-

ulama dulu. Isu-isu tentang keadilan, demokrasi, hak asasi manusia,

kemiskinan, dan perempuan juga menjadi perbincangan dalam teologi Islam

kontemporer. Jika dipetakan lebih detil, pada masa klasik muncul aliran-

aliran teologi seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qodariyah,

Mu’tazilah, Salafiyah dan Ahlussunnah.14

Pada masa modern, muncul corak

keberagamaan revivalis, modernis, neo-revivalis dan neo-modernis,

sebagaimana yang diklasifikasikan Fazlur Rahman,15

atau Islam tradisional

dan Islam modernis, sebagaimana klasifikasi Deliar Noer ketika memotret

keberagamaan umat Islam Indonesia pada awal abad ke 20.16

Begitu juga ketika melihat perkembangan mutakhir, terdapat Islam

skriptualistik, Islam ideologis, Islam modernis, dan Islam emansipatoris,

12

Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung:

Mizan, 1996) dan John Cooper (ed.) et al., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga

Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002). 13

Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1991) dan Budhy Munawar

Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001). Zaenul Abbas, Konstruksi

Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November

2012 : 341-358, Hlm, 344 14

Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Zaenul Abbas,

Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 344 15

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982), Zaenul Abbas,

Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 344 16

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990­1942(Jakarta: LP3ES,

1990). Zaenul Abbas, Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis, Hlm, 345

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 8

sebagaimana diklasifikasikan oleh Masdar F. Mas’udi,17

atau Islam puritan

dan Islam moderat sebagaimana yang di petakan oleh Khaled M. Abou el

Fadl.18

Di Indonesia pada era kontemporer muncul para pemikir dan

intelektual yang mengusung gagasan pemikiran teologi Islam kritis. Di

antara mereka adalah Harun Nasution (Islam Rasional), Nurcholish Madjid

(Islam Modern), Abdurrahman Wahid (Islam Pembebasan), Mansour Fakih

(Ilmu Sosial Kritis), Kuntowijoyo (Islam Sosial Profetik), Muslim

Abdurrahman (Islam Transformatif), Masdar Farid Mas’udi (Islam

Emansipatoris), dan Ulil Abshar Abdalla (Islam Liberal).

Masih banyak pemikir dan intelektual yang mengembangkan

pemikiran-pemikiran kritis. Hal ini mendapat perhatian di tengah munculnya

berbagai problem kemanusiaan yang memprihatinkan. seperti

ketidakberdayaan kaum lemah berhadapan secara tidak seimbang dengan

kaum kuat, kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, warga negara

berbenturan dengan tirani kekuasaan, serta masyarakat teknologi-industrial

merasakan keterasingan dahsyat yang mengungkung eksistensinya.

E. Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi dan Filsafat Islam menurut

Abed al-Jabiri

Kita tidak harus malu untuk mengakui bahwa dalam Islam dan dalam

agama-agama besar lainnya, hubungan antara teologi dan filsafat, baik di

wilayah keilmuan-teoritis maupun di wilayah praksis-keberagamaan, jarang

sekali atau bahkan tidak pernah akur dan harmonis. Hampir sepanjang masa,

dua disiplin dan cara pandang keilmuan ini senantiasa terlibat dalam

perseteruan, saling menonjolkan diri, saling sikut, saling hantam, dan saling

berebut pengaruh di kalangan para peminat keilmuan dan para penganut

agama pada umumnya.

17

Masdar F. Mas‘udi “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,

(Jakarta: P3M, 2004). 18

Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi

Musthofa (Jakarta: Serambi, 2005).

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 9

Hal ini karena masing-masing disiplin dan cara pandang keilmuan ini

memiliki asumsi dasar, kerangka teori, logika, paradigma, dan struktur

fundamental keilmuan yang berbeda satu sama lain. Teologi cenderung

memapankan dirinya melalui postulat-postulat teoritis-teologis, yang

kemudian mendominasi bagian terbesar dari model keberagamaan umat.

Sedangkan filsafat terus menggonggong dan menjaga diri agar tidak terjebak

dalam wilayah terlarang, yang disinyalir akan bisa menghapus daya kritis

yang dimilikinya. Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri19

mengungkapkan bahwa

seluruh khazanah intelektual Islam yang dihasilkan oleh mutakallimũn

(teolog) muslim selama tahun 150 H hingga 550 H adalah dalam rangka

menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai disiplin keilmuan maupun

sebagai metode dan epistemologi. Hingga saat ini, perseteruan serupa masih

ditemukan. Singkatnya, hubungan teologi dan filsafat, baik in the first level

of discoursemaupun in the second level of Discourse tidak mudah

didamaikan, apalagi dikompromikan.20

Para ilmuwan Muslim sejak generasi pertama telah berupaya

semampu mereka untuk mengkompromikan dua disiplin dan cara pandang

keilmuan ini. Menurut Harun Nasution21

sejak semula, al-Kindi yang dikenal

sebagai filosof pertama di kalangan Muslim telah berupaya memadukan

antara teologi dan filsafat. Bagi al-Kindi, agama dan filsafat tidak

bertentangan. Teologi merupakan cabang termulia dari filsafat, dan keduanya

sama-sama mengarahkan kajiannya pada hakikat pertama (al-haqq al-

awwal). Pandangan semacam inilah yang kemudian memunculkan teori

epistemologi al-Kindi yang dikenal luas hingga saat ini.

19

Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah

Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-

Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 497-498. 20

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1995), hlm.117 21

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. (Jakarta: Bulan

Bintang, 1974), hlm. 43-44.

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 10

Upaya untuk mengkompromikan teologi dan filsafat tersebut

merupakan semangat tulisan ini. Pada prinsipnya, berbagai terobosan baru

dari perspektif dan sudut pandang yang beragam harus senantiasa

dikembangkan. Upaya ini tidak boleh ditunda-tunda lagi, karena akibat-

akibat yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dewasa ini semakin menuntut adanya kerjasama dan keharmonisan teologi

dan filsafat dalam merumuskan solusi-solusi yang mendesak untuk

memecahkan persoalan keagamaan dan sosial-keberagamaan umat yang

semakin kompleks. Umat Islam mutlak membutuhkan upaya-upaya kreatif

guna mengembangkan landasan-landasan teoritis dalam merajut kerjasama

dan keharmonisan dua disiplin dan cara pandang keilmuan tersebut.

Menurut hemat penulis, agar dapat melihat polemik teologi dan

filsafat secara lebih jernih, maka harus ditelusuri hingga struktur nalar yang

membentuknya. Hanya di wilayah itulah kerjasama dan keharmonisan yang

dimaksud bisa diupayakan.

1. Struktur Nalar: Pembatasan Awal

Istilah ‘nalar’ dalam hubungannya dengan kebudayaan, menjadi salah

satu kosa-kata penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para

peminat Islamic Studies. Nalar menjadi salah satu alternatif wilayah yang

harus direkonstruksi, jika ingin mengakhiri masa kemunduran Islam.

Untuk bisa mengupayakan kemajuan, umat Islam dituntut untuk lebih jeli

dalam memotret dan menyikapi nalar yang berkembang di balik

fenomena keilmuan dan keberagamaan umat.

Menurut al-Jãbiri22

tokoh yang mempopulerkan kajian tentang nalar

(‘aql), kebangkitan dan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat Islam

tidak akan pernah bisa diwujudkan tanpa melakukan kritik konstruktif

terhadap nalar. Kebudayaan yang maju dan berkembang harus didasarkan

atas ‘nalar yang bangkit’ (al-‘aql an-nãhidh) dan progresif. Bagi al-Jãbiri,

22

Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi(Berut: Markaz Dirãsãt al-

Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 5

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 11

nalar (‘aql) tidak bisa disamakan begitu saja dengan ‘pemikiran’ (al-fikr),

meskipun secara kebahasaan dua istilah itu memiliki kesamaan makna

denotatifnya. Dalam terminologi kontemporer, ‘pemikiran’ (al-fikr) lebih

merujuk pada arti produk pemikiran ketimbang instrumen pemikiran. Arti

yang semacam ini tergambar dalam ungkapan “pemikiran filosofis”,

“pemikiran Eropa” dan sebagainya. Al-Jãbiri memandang bahwa sebagai

produk pemikiran, nalar (‘aql) sama arti dan muatannya dengan ideologi,

yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dihasilkan dan

digunakan oleh masyarakat tertentu untuk mengungkapkan norma-norma

moral, doktrin-doktrin aliran, serta ambisi sosial-politik mereka.

Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis terapkan

dalam tulisan ini bukan dalam artinya sebagai ideologi atau produk

pemikiran, akan tetapi dalam posisinya sebagai instrumen untuk

memproduksi pandangan teoritis, yang bisa jadi berupa ideologi tertentu

itu. Untuk lebih mengkontraskan perbedaan ini, perlu ditegaskan distingsi

antara pemikiran sebagai alat dan pemikiran sebagai produk dalam dua

bentuk yang berbeda itu, al-Jãbiri menisbatkan nalar (‘aql) pada posisi

pemikiran sebagai alat. Ini berarti pemikiran dalam posisinya sebagai alat

yang menghasilkan produk-produk pemikiran yang bersifat teoritis

maupun berupa ideologi-ideologi tertentu. Meskipun bisa dilihat secara

terpisah, al-Jãbiri mengakui bahwa pemikiran baik sebagai alat maupun

sebagai produk, tidak bisa dilepaskan dari pergesekannya dengan

lingkungan sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Pemikiran adalah

produk sosial, budaya, lingkungan geografis, dan bahkan bahasa.23

Kekhasan dan karakteristik unsur-unsur pembentuk tersebut sangat

menentukan kekhasan dan karakteristik pemikiran yang dihasilkannya.

Nalar yang khas muncul dari persinggungannya dengan dibentuknya

unsur-unsur pembentuk yang khas pula. Oleh karena itu, menurut al-

Jãbiri, Nalar Arab (al-‘Aql al-‘Arabĩ) merupakan produk dari dan

23

Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 5

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 12

dibentuk oleh budaya Arab itu sendiri.24

Dari batasan al-Jãbiri di atas bisa

dipahami bahwa al-‘Aql al-‘Arabĩ dibentuk oleh kebudayaan atau kultur

Arab yang khas, dan bukan oleh kebudayaan atau kultur lainnya. Kalau

kemudian batasan ini disandingkan dengan penjelasan Martin

Heidegger25

tentang “kekhasan”,26

maka budaya dan kultur yang khas

yang dimaksudkan oleh al-Jãbiri tersebut dapat dilihat sebagai entitas

yang sebangun dengan “dunia” (welt, world). Dalam pemaknaan

semacam ini, kebudayaan Arab merupakan “dunia” yang darinya Nalar

Arab terbentuk. Dengan kata lain, dalam “dunia” inilah Nalar Arab

mewujudkan dirinya (mengada dan menjadi ada).

Terkait dengan teologi dan filsafat, ”dunia” tersebut dapat dilihat

dalam dua wilayah yang berbeda. Sekali lagi, meminjam kebiasaan al-

Jãbiri, pembagian semacam ini hanya dimaksudkan demi analisis yang

berlangsung dalam pembahasan ini, dan tidak bersifat esensial. Di

wilayah yang pertama, ‘dunia’ merujuk pada realitas normatif yang

mendeterminasi struktur nalar teologi maupun filsafat. Sedangkan di

wilayah kedua, ‘dunia’ berupa realitas historis yang menjadi unsur-unsur

penopangnya. Namun demikian, pemilahan secara normatif dan historis

ini hanya berlaku jika dilihat sebagai bentuk pure science (keilmuan

murni) saja, yakni sebagai kerangka keilmuan dasar yang melandasi

keberadaannya. Sedangkan dalam bentuk applied science (keilmuan

praktis), realitas normatif dan historis tersebut saling berkaitan.27

24

Batasan-batasan yang digariskan al-Jãbiri inilah yang penulis gunakan untuk

membatasi apa yang nantinya disebut Nalar Teologi dan Nalar Filsafat. Tentu saja batasan-

batasan itu perlu sedikit direnovasi dan disesuaikan dengan pembahasan yang dikembangkan

dalam tulisan ini. 25

Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State

University of New York Press, 1996), hlm. 42. 26

Heidegger berpandangan bahwa “kekhasan” dibutuhkan oleh manusia untuk bisa

menjadi Dassein, dalam arti untuk bisa bereksistensi sesuai dengan “kekhasannya” sebagai

Mengada yang mampu bertanya tentang ada-Nya 27

Istilah dan pembedaan antara yang normatif dan historis digunakan oleh Fazlur

Rahman dan juga oleh Amin Abdullah untuk menengahi hubungan yang saling berkait-

kelindan antara agama dan kepentingan sosial-kemasyarakatan, antara yang sakral dan yang

profan. Lebih lanjut baca; “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 13

Bagan Struktur Nalar Teologi dan Filsafat

2. Nalar Teologi: Dogmatis Pre-Reflektif Bayãnĩ

Bagian ini akan penulis awali dengan mengajukan pertanyaan berikut:

“Jika nalar teologi dan filsafat sebagai alat untuk menghasilkan

pemikiran-pemikiran teologis dan filosofis dibentuk oleh realitas normatif

dan historis yang khas, maka seperti apakah bentuk masing-masing

realitas normatif dan historis itu, dan bagaimanakah karakter nalar yang

dihasilkan oleh realitas tersebut? Tidak ada agama yang tidak mempunyai

ajaran ketuhanan. Dalam tiga agama monoteis (Abrahamic Religion),

Tuhan berada pada poros yang menjadi sentral keberadaan (eksistensi)

segala yang ada di dunia ini. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi dan

bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya. Tuhan menjadi

tempat bergantung bagi segala eksistensi.28

Demikian gambaran umum yang diketahui dari ajaran Teologi

berbagai agama, termasuk dalam teologi Islam. Sebagaimana halnya

agama-agama monoteis, teologi Islam mengajarkan bahwa kebenaran

Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi

Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, 2003),

hlm. 5 28

Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 39.

Lihat di Nur Said, Teologi Islam Transformatif dan Kontekstual, Jurnal fikrah, jurnal ilmu

aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013, hlm 116

Al fikr Sbg Alat

u

Memproduksi

Pemikiran

Al fikr produk

pemikiran

Nalar Nalar teologi

dan Filsafat

Nalar teologi

dan Filsafat

yang khas

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 14

pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai melalui wahyu. Al-Quran

sebagai wahyu tidak hanya memuat aturan-aturan kemasyarakatan, tetapi

juga memberikan penjelasan tentang Tuhan dan eksistensi-Nya, meskipun

dalam porsi yang lebih sedikit.29

Sementara yang menjadi realitas historis bagi nalar teologi Islam

dapat dirunut dari berbagai peristiwa historis yang melingkupi lahirnya

teologi Islam atau yang sering disebut Ilmu Kalãm. Di titik ini harus

digaris-bawahi bahwa teologi Islam atau Dari keterkaitan antara dua

wilayah berbeda yang melingkupi keberadaan teologi Islam itu dapat

dilihat betapa “dunia” teologi telah memunculkan nalar teologi yang

bersifat dogmatis-pre-reflektif. Nalar yang dogmatis-pre-reflektif ini

selanjutnya melahirkan paham-paham, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip

teologi yang mendominasi, menuntut loyalitas dan kesetiaan dari para

penganutnya, serta dibekukan dalam prinsip-prinsip dan dogma-dogma

teologis yang diterima dan dipraktekkan secara turun-temurun.

Dalam struktur yang dominan dan baku ini nalar Teologi menjadi

instrumen yang memunculkan paham-paham dan aliran-aliran teologi di

atas. Merujuk pada al-Jãbiri,30

struktur Nalar Teologi seperti ini disebut

sebagai al-‘Aql al-Mukawwan. Menurutnya, nalar teologi yang dominan

ini bisa dianalisis secara obyektif, lantaran ia bisa diamati dalam bentuk

konsep, ajaran dan prinsip teologi yang telah baku.

Dominasi nalar teologi yang bersifat dogmatis pre-reflektif bayãni itu

menyebabkan para teolog lebih mengedepankan sikap apologis dan lebih

mengutamakan kebenaran doktrin yang terdapat dalam wahyu, serta

menyalahkan semua pandangan yang tidak sesuai dengannya. Sikap itu

muncul karena mereka menerima mentah-mentah apa yang telah diterima

secara dominan, tanpa mempertimbangkan atau merefleksikannya lebih

29

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm.

116 lihat di Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal

ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013, hlm 116 30

Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn.., hlm. 15-16

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 15

lanjut. Sebenarnya sikap semacam ini adalah sah-sah saja dan bahkan

diperlukan. Tanpa adanya justifikasi kebenaran atau sering disebut

sebagai truth claim, teologi akan terjebak pada kesia-siaan belaka. Akan

tetapi, sikap terlalu memutlakkan kebenaran atau menggantungkan

kebenaran mutlak itu kepada transcendent aspect31

sama artinya dengan

membunuh keberadaan (eksistensi) manusia.

3. Nalar Filsafat: Kritis-Reflektif-Burhãnĩ

Jika demikian halnya dengan nalar teologi, maka bagaimanakah

yang terjadi dengan nalar filsafat? Berbeda dengan ajaran yang

dikembangkan oleh agama yang menempatkan Tuhan di pusat eksistensi,

filsafat berangkat dari pertanyaan tentang unsur-unsur apakah yang

berada di balik alam semesta ini.

Nalar filsafat yang muncul dari pergesekan antara realitas

normatif dan historis dalam dunia filsafat. Di sini setidaknya bisa

dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan hal itu. Pertama, kajian

dan analisis yang dilakukan dalam filsafat dimulai dari mempertanyakan

realitas yang ditemukan secara langsung dalam kehidupan di dunia ini.

Realitas-realitas itu, baik yang berupa fenomena alam maupun fenomena

sosial, dilihat sebagai realitas otonom yang mengandung keterkaitan

langsung dengan akal -baik dalam arti universal maupun individual.

Kedua, kajian terhadap realitas itu diarahkan pada perumusan ide-ide

abstrak yang bersifat fundamental (fundamental ideas), yang membantu

akal manusia untuk memahami kenyataan alam dan sosial yang

ditemuinya. Ide-ide itulah yang diterjemahkan dalam bentuk istilah teknis

kefilsafatan sebagai al-falsafah al-ũlã, substansi, hakikat dan esensi.

Ketiga, penerjemahan yang bersifat abstrak itu didasarkan pada

31

Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”,

dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C. (ed). (Tuscon: The

University of Arizona Press, 1985), hlm. 194. lihat di Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik

Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal ilmu aqidah dan studi keagamaan, Hlm 119

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 16

keyakinan bahwa akal mampu mengungkap dan menjelaskan kenyataan

alam dan sosial yang bersifat abstrak tersebut. Keempat, dengan

demikian, secara tidak langsung dunia filsafat telah melatih para filosof

untuk senantiasa bersikap kritis, dan tidak terjebak dalam diminasi nalar

tertentu. Kelima, sikap kritis itu dilandasi dengan penelitian filosofis yang

berkesinambungan, yang dilakukan melalui refleksi-refleksi keilmuan

yang sistematis. Dan keenam, sikap kritis-reflektif inilah yang akan

mampu menjamin kebebasan intelektual dan sikap inklusif terhadap

kebenaran-kebenaran yang diterima secara dogmatis dan fanatis oleh

masyarakat pada umumnya.32

Dengan demikian, Nalar Filsafat yang bersifat kritis-reflektif-

burhãnĩ, menjadi unsur penopang yang paling utama bagi manusia untuk

mewujudkan eksistensinya. Bagi al-Jãbiri33

nalar seperti inilah yang

sangat dibutuhkan untuk memunculkan prinsip dan kaidah baru. Hal itu

karena nalar yang telah mendominasi kehidupan sosial-keberagamaan

dalam bentuk institusi dan kelembagaan agama dan sistem teologi yang

sudah mapan (ortodoksi) tidak akan bisa dikembangkan, direvitalisasi dan

direkonstruksi tanpa bantuan dari nalar filsafat yang bersifat kritis-

reflektif-burhãnĩ.

F. Kesimpulan

1. Perkembangan ilmu kalam ini dimulai dari polemik Politik, skema

historis menyatakan bahwa saat ini ilmu teologi mengalami Shift

Paradigm atau perkembangan dan pergeseran arus pemikiran. Mulai dari

pemikiran klasik dengan tema neraka, syurga, kafir, muslim dll bergeser

32

Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri., Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah

Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-

Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 27. Baca juga, Amin Abdullah, “Rekonstruksi

Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah,

M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, hlm. 9-10. lihat di Tahir

Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik, Hlm 121 33

Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn, hlm. 16

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 17

pada tataran ijtihad revolusi, lalu bergeser lagi ke arah pemikiran

kontemporer.

2. Pemikiran teologi Islam Kritis tidak berurusan dengan prinsip-prinsip

umum, tidak membentuk sistem ide, melainkan memberikan kesadaran

untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Pemikiran ini berusaha

merefleksi secara kritis hal-hal praksis yang berlangsung dalam

kehidupan sehari-hari (historical praxis) atau melakukan transformasi

wahyu dari teori menuju praktek.

3. Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis terapkan dalam

tulisan ini bukan dalam artian sebagai ideologi atau produk pemikiran,

akan tetapi dalam posisinya sebagai instrumen untuk memproduksi

pandangan teoritis, yang bisa jadi berupa ideologi tertentu itu. Al-Jãbiri

menisbatkan nalar (‘aql) pada posisi pemikiran sebagai alat. Ini berarti

pemikiran dalam posisinya sebagai alat yang menghasilkan produk-

produk pemikiran yang bersifat teoritis maupun berupa ideologi-ideologi

tertentu.

4. Perbandingan Proses Pembentukan Nalar Teologi dan Filsafat Abed al-

Jabiri;

Nalar Teologi Nalar filsafat

Tuhan Tuhan

Manusia Alam Manusia Alam

Fungsi

Justifikasi

Fungsi

Justifikasi

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 18

Daftar pustaka

Ainur rafiq, Sylabus Ilmu Kalam, Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN

MALIKI Malang.

Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003).

Andri Ashadi dengan tema Mempribumikan Teologi Islam ; Dari Eksklusif-

Apologis Ke Inklusif-Transformatif, dalam konferensi Annual

International Cofference of Islamc Studies ke XII.

Abdul Razak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu kalam dalam Islam) dalam

Annual Conference on Islamic Studies ke IX.

Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung:

Mizan, 1996).

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1995).

Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan

Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, 2003).

Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001).

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990­1942(Jakarta:

LP3ES, 1990).

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).

Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”,

dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C.

(ed). (Tuscon: The University of Arizona Press, 1985).

Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan),

(Jakarta; UI Press, 1986).

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. (Jakarta:

Bulan Bintang, 1974).

Nalar Filsafat dan Teologi Abed al-Jabiri 19

Hasbi As-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan

Bintang, 1988).

Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta; Grafindo Persada, 1999).

Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1991).

John Cooper (ed.) et al., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga

Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Erlangga, 2002).

Kamus Besar Bahasa, Pusat Bahasa, Direktorat Pendidikan Nasional,

(Jakarta; 2008) ISBN 978-979-689-779-1.

Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi

Musthofa (Jakarta: Serambi, 2005).

Masdar F. Mas‘udi “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk

Praksis Pembebasan(Jakarta: P3M, 2004).

Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State

University of New York Press, 1996).

Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).

Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah

Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah

(Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990).

Nur Said, Teologi Islam Transformatif dan Kontekstual, Jurnal fikrah, jurnal

ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013.

Philip K, Hitti, History of Arab, (London; Mac Milan &CO, Ltd 1964).

Sehat Ihsan Shadiqin, Pengantar Studi Kalam, (modul untuk pembelajaran

Ilmu Kalam).

Tahir Sapsuha, Struktur Nalar dibalik Polemik Teologi, Jurnal fikrah, jurnal

ilmu aqidah dan studi keagamaan, Vol, 1 januari 2013.

Zaenul Abbas, Konstruksi Paradigmatis Pemikiran Teologi Islam Kritis,

Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012.

http://hujankatatinta.blogspot.com/2013/06/latar-belakang-munculnya-aliran-

aliran.html