Reaktualisasi Teologi Islam

16
REAKTUALISASI TEOLOGI (Studi Pemikiran Teologi Pembebasan Islam Asghar Ali Engineer) Makalah Disusun sebagai tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Dosen Pengampu: Dr. Nasihun Amin, M.A Oleh: Ahmat Roes (1400018064) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2014

Transcript of Reaktualisasi Teologi Islam

REAKTUALISASI TEOLOGI

(Studi Pemikiran Teologi Pembebasan Islam Asghar Ali Engineer)

Makalah

Disusun sebagai tugas mata kuliah

Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu: Dr. Nasihun Amin, M.A

Oleh:

Ahmat Roes (1400018064)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2014

1

A. Latar Belakang

Berawal diangkatnya Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallama menjadi

utusan Allah, dimulailah program Allah untuk menegakkan keadilan di bawah

naungan agama Islam. Turunnya Islam di negeri Arab menjadi berkah bagi

manusia yang tertindas oleh kekuatan politik yang menindas, dan terjerat dalam

sistem yang tidak memihak pada kaum lemah.

Sebelum datangnya Islam di tanah Arab, masyarakat arab menerapkan sistem

perbudakan, menindas manusia atas dasar kepemilikan sepihak, bahkan membunuh

anak-anak perempuan yang tidak berdosa. Keadaan yang demikian diperparah

dengan adanya perpecahan atas nama suku-suku dan bahkan sering melakukan

peperangan antar suku. Singkatnya, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya

dalam keadaan hancur.

Setelah datangnya Rasulullah, melalui ajaran Islam, manusia diperintahkan

untuk melindungi nyawa manusia, melindungi keturunan, melindungi harta benda,

melindungi kebebasan berpikir, dan melindungi kemurnian fitrah manusia yang

condong pada keimanan. Pada kenyataannya, ajaran islam mengajarkan manusia

untuk memerdekakan budak, melarang menghilangkan nyawa tanpa hak, melarang

praktik riba dan segala bentuk tindakan yang merugikan makhluk atau manusia

lain. Tidak hanya itu, Rasulullah juga melarang bentuk mengambil manfaat dari

kesakralan Ka’bah untuk memperkaya diri, seperti dalam tradisi penyerahan unta

kepada Ka’bah.

Perjuangan Rasulullah diteruskan oleh para khalifah empat. Pada masa

kepemimpinan Abu Bakar, orang-orang yang tidak mau membayar zakat mendapat

ancaman serius dari pemerintah, sehingga mereka harus menghadapi kekuatan

militer pemerintah jika tetap tidak mau membayar zakat. Usaha yang dilakukan

oleh khalifah Abu Bakar jelas merupakan sebuah usaha untuk melindungi hak-hak

kaum lemah, dan orang-orang yang berkah mendapatkan kesejahteraan sosial.

Kemudian, pada masa khalifah selanjutnya, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan

juga melakukan langkah-langkah untuk melindungi manusia yang lemah dari

kekuasaan yang semena-mena. Sejak masa Ali bin Abi Thalib, muncullah dualisme

kekuasaan politik, sehingga Ali harus berjuang melawan kekuatan yang akan

menindas kaum yang lemah. Namun, usaha Ali mengalami kegagalan, dan

2

berujung pada jatuhnya kekhalifahan kepada pihak lawan, bahkan sampai wafatnya

Ali bin Abi Thalib.

Sejarah kekuasaan islam terus berjalan, dalam perjalanannya, terjadilah

perbedaan pandangan politik yang berpengaruh pada perbedaan pemahaman dalam

hal teologi. Setidaknya, terdapat suatu perbedaan yang sangat mendasar dan

berkaitan dengan tema yang diangkat oleh Penulis; perbedaan pandangan teologi

tentang kekuasaan Tuhan. Terdapat golongan yang menyatakan bahwa manusia

hanya mengikuti arus takdir yang digariskan oleh Tuhan. Ada juga golongan yang

memandang bahwa manusia memiliki kehendak penuh terhadap dirinya tanpa

adanya paksaan dari kekuasaan Tuhan. Sedangkan golongan yang aling akhir,

menilai bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan, hanya saja

dalam kapasitas sangat terbatas, karena adanya kekuasaan Tuhan yang mengitari

kemampuan manusia.

Terlepas dari adanya perbedaan pandangan teologi, sebenarnya islam

mendorong manusia untuk selalu berusaha membuat nasibnya sendiri. Hal ini

dapat dilihat dari sejarah perjuangan Nabi dalam melawan kekejaman para

penindas dan orang-orang yang memusuhi muslimin. Jika memang manusia tidak

memiliki kemampuan, niscaya Nabi tidak akan melawan para penindasnya atas

nama takdir Allah. Memang, sebagai muslim, kita harus percaya kepada takdir

Allah. Namun, kepercayaan kita kepada takdir, jangan sampai membutakan kita

bahwa manusia sebagai khalifah dengan segala potensinya juga termasuk takdir

Allah di Bumi untuk menegakkan keadilan, dan membebaskan manusia dari

ketertindasan.

Berkaca pada kondisi sosial yang kacau, dan penuh penindasan dengan

mengatasnamakan agama, para pemikir muslim semisal Ali Syariati dan Asghar

Ali, berusaha melawan tirani dan penindasan dengan pemikiran teologinya yang

disebut teologi pembebasan. Ciri khas teologi tersebut adalah memerjuangkan hak-

hak kemanusiaan dan keadilan melalui penafsiran kembali tentang pemahaman

keagamaan yang berdasarkan al Quran dan sunnah. Adapun isu-isu yang diangkat

ke permukaan adalah terkait dengan keadilan gender, keadilan ekonomi, dan

menegakkan hak asasi manusia, sesuai prinsip agama.

3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalah yang akan

menjadi acuan dalam pembahasan makalah ini:

1. Bagaimana pengertian dan sejarah munculnya teologi pembebasan?

2. Bagaimana biografi Asghar Ali dan pokok pemikirannya?

3. Bagaimana kerangka metodologi teologi pembebasan Asghar Ali

Implikasi dan relevansi teologi pembebasan Asghar Ali dengan kondisi

terkini?

C. Pembahasan

Mengacu pada rumusan masalah, makalah ini akan membahas; pertama,

pengertian dan sejarah munculnya teologi pembebasan. Kedua, biografi dan pokok

pikiran pemikiran Asghar Ali Engineer. Ketiga, kerangka metodologi yang

digunakan oleh Asghar Ali dalam merumuskan teori teologi pembebasan serta

implikasi dan relevansi pemikiran Asghar Ali tentang teologi pembebasan dengan

realitas terkini.

1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan

Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan.

Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang

berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan

hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan

merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan

(development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang

cenderung liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga

sejak tahun 60-an (Francis Wahono Nitiprawiro, 2008: 8-9).

Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon

atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-

negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah

arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan

ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu

tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh

dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan

meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana

dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas

4

gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan

dari luar (Michael Lowy, 1999: 40).

Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para

Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini

memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971,

Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham

Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion.

Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann

(Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya

otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan

menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin (Michael Lowy,

1999: 26).

Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan

rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional

(Francis Wahono Nitiprawiro, 2008: 37), menurut para uskup Amerika Latin

menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari

masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk

mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau

orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum

miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak

pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh

meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada

rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa

penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan

buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.

Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas.

Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan

mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan

berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang

Yahudi.

Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka

menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang

dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan.

5

Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis

dan pengertian agama sebagai candu masyarakat (Michael Lowy, 1999: 156).

Kesadaran tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di

kalangan umat Islam. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal

dengan gagasan Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam), Ziaul Haque (Pakistan, bukan

Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif,

“Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali

Syari’ati (Iran) yang dianggap sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula

disebut nama Asghar Ali Engineer (India) yang akan kita bahas pemikirannya

tentang Teologi Pembebasan.

2. Biografi dan Pemikiran Asghar Ali Enginer

Asghar Ali dilahirkan di Rajashtan, dekat Udaipur, India, pada tahun 1939

dalam sebuah keluarga yang menganut paham Syi’ah Ismailiyah. Ayahnya,

bernama Sheikh Qurban Husain, seorang alim yang mengabdi kepada pemimpin

keagamaan Bohra. Ia dikenal sebagai orang yang punya sikap liberal, terbuka,

dan sabar sehingga sering terlibat dalam diskusi keagamaan dengan pemeluk

agama lain seperti Hindu (M. Agus Nuryanto, 2001: 7).

Engineer mulai memahami masalah-masalah keagamaan ketika melihat

secara langsung penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oknum elit Bohra

terhadap para pengikutnya. Saat itu, Bohra dipimpin oleh Muhammad

Burhanuddin yang dikenal dengan da’i mutlak (absolute preacher). Dalam

ajarannya, Burhanuddin memiliki otoritas absolut dan menganggap kekuatannya

berasal dari Allah dan Nabi. Asghar Ali menganggap Bohra hanya menjadi

institusi yang mengumpulkan kekayaan semata dan menyiksa masyarakat yang

tidak mau tunduk. Fenomena ini menurut Engineer merupakan sebuah contoh

bagaimana agama digunakan untuk melegitimasi sistem yang eksploitatif

(Asghar Ali Engineer, 1999: 2).

Tahun 1972, Engineer mulai terjun ke arena gerakan pembaharuan Bohra

dengan memimpin gerakan reformis yang menyerukan perlunya tafsir liberal

terhadap Islam yang dapat mengakomodasi hak-hak individu, martabat manusia

dan nilai-nilai kemanusiaan. Engineer menentang keras otoritarianisme politik

dan keagamaan karena kedua-duanya menghasilkan arogansi yang pada

6

akhirnya akan melahirkan penindasan. Dalam konteks otoritarianisme, agama

telah menjadi alat untuk melayani status quo dengan berbagai kepentingannya.

Akibat persoalan di atas menyebabkan Engineer berpikir ulang akan

makna agama. Untuk tujuan ini, Engineer membaca serius tentang rasionalisme.

Engineer membaca tulisan-tulisan Niyaz Fatehpuri, Bertrand Russel dan juga

karya monumental Karl Marx, Das Capital. Dalam hal tafsir al Quran, Engineer

membaca karya tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan, Maulana Abdul

Kalam dan Rasa’il Ikhwanus Safa (Asghar Ali Engineer, 1999: 2-3).

Terdapat beberapa pokok keyakinan yang menjadi landasan dasar

pemikiran Engineer yaitu: Pertama, tentang hubungan antara akal dan wahyu.

Menurutnya, akal dan wahyu berfungsi komplementer. Akal berfungsi sebagai

alat untuk memahami realitas fisik dari alam dan juga untuk memperkaya

kehidupan material manusia sedangkan wahyu berfungsi sebagai alat untuk

memahami tujuan hidup dan memperkaya aspek spiritualitas. Kedua, pluralitas

keagamaan. Engineer berpendapat bahwa pluralitas dan diversitas agama sangat

positif dan menjadi anti tesis dari sikap fanatisme dan sektarianisme keagamaan.

Sikap truth claim dan tidak dapat menghormati keyakinan orang lain merupakan

akar masalah munculnya konflik agama. Maka toleransi terhadap pluralitas

keberagamaan manusia menjadi satu sikap yang diperlukan. Engineer

berpendapat “semua agama adalah sumber dari nilai-nilai yang sebenarnya lebih

fundamental bagi agama-agama dari pada sekedar ritual-ritual dan doktrin-

doktrin teologis”. Ketiga, tentang keberagamaan seseorang. Bagi Engineer,

seorang yang beragama sejati adalah mereka yang memiliki sensitivitas dan

empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah serta memiliki

kepedulian terhadap adanya tatanan sosial yang tidak adil. Kemapanan agama

dapat menyebabkan munculnya tatanan yang opresif dan karena itu harus

dilawan. Untuk melawan tatanan tersebut, perlu memakai cara-cara non

kekerasan (non-violence method) karena penggunaan cara kekerasan hanya akan

menghasilkan kekerasan dan korban baru. Maka kekerasan hanya digunakan

sebagai self-defence dan sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai lisensi untuk

membunuh (M. Agus Nuryanto, 2001: 8).

Secara garis besar karya-karya Engineer dapat dikategorikan ke dalam

empat bidang yaitu, pertama, tentang teologi pembebasan, kedua, tentang

gender, ketiga, tentang komunalisme, dan keempat tentang Islam secara umum.

7

Beberapa karya Engineer yang penting untuk dibaca antara lain (M. Agus

Nuryanto, 2001: 14):

a. Islam and Revolution (New Delhi: Anjanta Publication, 1984)

b. Islam and Its Relevance to Our Age (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987).

c. The Origin and Development of Islam (London: Sangam Book, 1987).

d. Status of Women in Islam (New Delhi: Ajanta Publication, 1987).

e. Justice, Women, and Communal Harmony in Islam (New Delhi: Indian

Council of Social Science Research, 1989)

f. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Element in Islam

(New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990).

g. The Right of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992).

h. The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling

Publishers Private Limited, 1999).

Pemikiran Asghar Ali Engineer terkait teologi pembebasan, secara garis

besar menekankan pada gerakan revolusi dan kontekstualisasi ajaran islam.

Adapun ajaran pokok teologi pembebasan; pertama, menekankan kesatuan

manusia (unity of mankind) yang mengacu pada nash al Quran (Asghar Ali

Engineer, 2006: 33), antara lain:

ڇ ڇڇ ڇ چ چ چ چ ڃ ڃ ڃ ڃ ڄ چ

٣١الحجرات: چ ژ ڈ ڈ ڎ ڌڎ ڌ ڍ ڍ

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kesatuan manusia dimaksudkan tidak adanya rasa superioritas dalam diri

seseorang atau komunitas tertentu, semuanya memiliki hak yang sama dalam

memperoleh perlakuan adil, mendapatkan perlindungan, dan mendapatkan

kesejahteraan.

8

Kedua, menegakkan keadilan bagi seluruh manusia (Asghar Ali Engineer,

2006: 33), yang didasarkan pada nash al Quran:

ۓ ےۓ ے ھ ھ ھ ہھ ہچ

ٴۇۋ ۈ ۈ ۆ ۇۆ ۇ ڭ ڭ ڭ ڭ

٨المائدة: چ ې ې ې ۉ ۉ ۅۅ ۋ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang

yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi

dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu

kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,

karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada

Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.

Menurut Asghar Ali, keadilan sosial hanya dapat terwujud melalui

pembebasan masyarakat marjinal dan tertindas dari belenggu penderitaan. Ia

mengutip banyak ayat al Quran terkait Jihad, dan usaha para Nabi dalam

membebaskan kaumnya dari penindasan (Asghar Ali Engineer, 2006: 33).

3. Kerangka Metodologi

Tawaran metodologi sosio-teologis yang diajukan oleh Asghar Ali

Engineer dapat dipertimbangkan sebagai ide baru dalam mengkaji islam.

Meskipun berawal dari pemikiran barat, tidak menjadikan teologi pembebasan

menjadi pantangan untuk diterapkan dalam mengembangkan islam. Asghar Ali

memodifikasi teologi liberal barat dengan melandaskan pemikirannya kepada

sumber otoritatif al Quran dan Sunnah. Sehingga, ruh-ruh dari teologi

pembebasan muncul dari gagasan islam.

Asghar mengkritik teologi yang menunjukkan diri sebagai ilmu yang

sakral dan tidak menerima kritik. Menurutnya, teologi yang mampu bertahan

dari arus zaman, adalah teologi yang tidak lagi hanya concern pada pembahasan

transcendental dan metafisis, melainkan teologi yang juga selalu berkaitan

dengan masalah-masalah sosial. Teologi akan lebih bermakna dalam

memformat tujuan hidup manusia manakala ia selalu dikaitkan secara kreatif

dengan kondisi hidup manusia (Asghar Ali Engineer, 1990: 202).

9

Meminjam kerangka berpikir Paulo Freire (Paulo Freire, 1984: 26-27),

teologi rasional yang dikembangkan kaum modernis baru mengubah kesadaran

manusia pada tahap kesadaran naif (naive consciousness), suatu tingkat

kesadaran yang lebih tinggi dari pada kesadaran magis (magical consciousness),

namun belum merambah pada tingkat kesadaran kritis (critical consciousness).

Pada tingkat kesadaran magis, orang hanya bisa menyesuaikan diri secara

defensif dan pasif terhadap kekuatan superior yang ada di sekelilingnya. Mereka

tidak memahami mengapa mereka miskin, mengapa mereka terkebelakang.

Mereka tidak sadar adanya kontradiksi-kontradiksi sosio-ekonomi yang ada di

masyarakat. Hidup diterima sebagaimana adanya dan tidak mempersoalkan

sama sekali ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka. Mereka hanya bisa

diam dan patuh dan menyerahkan masalah yang mereka hadapi kepada Tuhan.

Kesadaran seperti ini persis dengan watak penganut teologi fatalis .

Pada tingkat kesadaran naif, orang sudah mulai sadar dengan masalah

yang mereka hadapi, tetapi mereka tidak mengaitkan masalah tersebut dengan

relitas di luar dirinya atau struktur sosial yang ada. Dalam bahasa yang lain,

mereka melakukan individualisasi masalah. Problem dianggap sebagai suatu ko-

insiden dan penyebabnya adalah mereka sendiri. Oleh karena itu mereka harus

mengubah diri mereka sendiri untuk mengubah realitas kehidupannya

sedangkan ketidakadilan struktur tidak pernah dipertanyakan atau menjadi

agenda diskursus mereka. Kesadaran seperti ini persis dengan teologi

rasionalnya kaum modernis.

Pada tingkat kesadaran kritis, orang melihat persoalan tidak lagi sebagai

masalah individual, tetapi sudah melihatnya sebagai masalah struktural. Maka

mereka bisa menganalisis adanya kontradiksi-kontradiksi sosial-ekonomi yang

ada di masyarakat. Dalam pandangan mereka, struktur sosial ekonomilah yang

menyebabkan masyarakat menjadi miskin dan terbelakang. Kesadaran seperti

inilah yang ingin dikembangkan oleh teologi pembebasan Islam. Dengan

adanya kesadaran kritis, teologi pembebasan Islam dapat menjadi instrumen

yang paling kuat untuk mengemansipasi masyarakat bawah dari genggaman

penguasa yang eksploitatif dan memberikan inspirasi bagi mereka untuk

bertindak dengan suatu revolusi untuk melawan segala bentuk eksploitasi dan

marginalisasi.

10

Tujuan dari teologi pembebasan Islam adalah bagaimana agar agama itu

dapat lebih bermakna bagi kelompok marginal dan lemah. Agama bisa menjadi

candu atau kekuatan revolusioner. Ketika menjadi candu, berarti agama

beraliansi dengan kekuatan status quo. Namun agama juga dapat menjadi

kekuatan dan instrumen perubahan manakala jika diformulasikan dalam bentuk

teologi pembebasan. Menurut Engineer, agama merupakan potret ruang

pertarungan makna. Agama diperebutkan untuk berkuasa, “diperkosa” demi

kenikmatan, dan diperalat untuk hegemoni. Akibatnya, terciptalah subjek yaitu

elite-elite agama sebagai pihak yang berwenang untuk membuat tafsiran-

tafsiran tunggal. Tidak ada bedanya antara agama dalam frame seperti ini

dengan kolonialisme. Mereka meletakkan objek sebagai “yang lain”, primitif,

terbelakang, irrasional dan bodoh.

Pemerkosaan “semiotik” semacam ini adalah pelanggaran HAM. Padahal

diskriminasi dan marginalisasi adalah pengingkaran terhadap ajaran tauhid.

Tauhid bukan hanya berdimensi ketuhanan, namun juga sosial. Konsekuensi

logis dari bertauhid adalah pengakuan kesamaan derajat seluruh manusia. Maka

diskriminasi dan reduksi hak-hak kaum perempuan yang sering terjadi selama

ini merupakan pengingkaran derajat. Penjelasan di atas membantu untuk

mendefenisikan teologi pembebasan Islam. Asghar Ali Engineer mengartikan

teologi pembebasan Islam sebagai teologi yang sangat menekankan pada aspek

kebebasan, persamaan, dan keadilan distributif dan secara vokal mengutuk

eksploitasi manusia oleh manusia, penindasan dan persekusi dan mendukung

segala hal yang berbentuk simpati kepada yang tertindas dan lemah dan

membuat ruang bagi peninggian derajat mereka lewat formulasi-formulasi

teologis.

Karakteristik teologi pembebasan Islam yang digagas oleh Engineer:

Pertama, berangkat dari realitas kekinian, di dunia ini baru kemudian terkait

dengan masalah ukhrawi. Teologi pembebasan Islam diorientasikan untuk

bergumul dengan realitas praktis dan konkret, bukan dengan realitas metafisik

dan abstrak. Kedua, teologi ini melakukan perlawanan terhadap segala kekuatan

yang pro-status quo. Hal ini disebabkan karena mereka yang mendukung status

quo dianggap memiliki mental yang sama yaitu pendukung kemapanan. Ketiga,

menjadi inspirator ideologis bagi massa tertindas. Maka pilihannya jelas yaitu

bukan memihak kepada kelompok centre, kapitalis dan borjuis, namun

11

memihak kepada kelompok marginal dan tertindas. Cara yang ditempuh adalah

dengan proyek participation action lewat formulasi-formulasi teologis yang

dapat dipahami. Tujuannya adalah tercipta semacam critical mass ala Frankfurt.

Keempat, teologi ini lebih banyak menekankan pada masalah praksis dari pada

pemikiran-pemikiran abstrak-spekulatif. Ini berarti teologi pembebasan Islam

tidak banyak menekankan diskursus yang bersifat “transenden” tetapi lebih

menekankan wacana yang bersifat “membumi”.

4. Implikasi dan Relevansi Pemikiran Asghar Ali tentang Teologi Pembebasan

terhadap Keberagamaan di Indonesia.

Menurut Fazlur Rahman (Fazlur Rahman, 2000: 118), dalam teologi

klasik terdapat dua kelemahan yang menonjol; pertama, wataknya lebih bersifat

intelektualistik, metafisis-spekulatif. Kedua, teologi klasik memiliki relasi yang

kuat dengan politik kelompok status quo. Karena kedua kelemahan ini, teologi

klasik kehilangan dimensi fungsional dan watak praksis sosialnya dalam

membantu masyarakat untuk memperjuangkan kehidupan. Padahal teologi

pembebasan tidak hanya terkungkung dalam area pemikiran murni dan

spekulatif yang ambigu, tetapi juga menjadikan paradigma praksis sosial

sebagai instrumen paling kokoh untuk membebaskan umat manusia dari

penindasan, memberi motivasi bertindak dengan semangat revolusioner dalam

berjuang menghadapi tirani, eksploitasi dan penganiayaan. Dengan demikian,

menurut Engineer (Asghar Ali Engineer, 2006: 32) untuk mengembalikan

agama dianggap sebagai kebaikan dan berpihak kepada revolusi, kemajuan, juga

perubahan, maka aspek-aspek teologi yang bersifat filosofis, intelektualistik,

metafisis yang sarat akan ambiguitas harus diubah dan diganti. Di mana doktrin-

doktrin teologis harus dibaca ulang dan dimaknai dalam makna-makna

revolusioner-transformatif. Dalam pembacaan dan pemaknaan ulang ini,

Khudori Soleh (A. Khudori Soleh, 2004: 42), mengutip dari Hassan Hanafi

diperlukan; pertama, analisa bahasa, di mana istilah-istilah dalam teologi

sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga

mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional.

Kedua, analisa realitas, hal ini berguna untuk menentukan stressing bagi arah

dan orientasi teologi kontemporer.

12

Usaha untuk merubah teologi klasik menjadi teologi praksis yang sarat

dengan pembebasan diperlukan beberapa hal; pertama, konsep keimanan. Iman

tidak hanya percaya tentang adanya Tuhan saja, tetapi juga mempunyai

implikasi secara sosiologis. Dalam arti, dapat dipercaya, berusaha menciptakan

kedamaian, ketertiban, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai kebaikan dalam

kehidupan. Engineer mengatakan (Asghar Ali Engineer, 2006:13) bahwa iman

membuat orang menjadi bisa dipercaya, diandalkan dan cinta damai. Tanpa

iman, pendapat seseorang menjadi kosong dan tidak berakar pada kedalaman

pribadinya. Maksudnya, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya

sendiri, dan akan memperbudak orang lain. Itulah yang namanya keyakinan

dengan segala implikasi nilai-nilainya yang membuat kata dan pola pikir

menjadi bermanfaat, bukan malah menjadi struktur yang menindas.

Begitu juga dengan konsep kufr yang merupakan lawan dari iman. Kufr

tidak hanya diletakkan dalam makna ketidakpercayaan relegius, seperti dalam

teologi klasik, tetapi juga berarti menyatakan penentangan terhadap masyarakat

yang adil dan egaliter (M. In’am Esha, Op. Cit., hlm. 103). Jadi kekafiran bukan

hanya yang menegasikan eksistensi Tuhan, tetapi juga penentangan terhadap

usaha yang jujur dalam membentuk masyarakat, penghapusan penumpukan

kekayaan, penindasan, eksploitasi, dan segala bentuk ketidakadilan. Dengan

demikian, meskipun ada seseorang yang secara formal beriman kepada Tuhan,

namun dalam menimbun kekayaan disertai dengan menindas orang lain, selalu

membuat kerusuhan, kezaliman, dan sebagainya, tetap saja berpegang erat

terhadap kekufuran.

Kedua, konsep tauhid. Untuk mewujudkan tauhid dalam rangka

mengembangkan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam

perbudakan, harus dilihat dari perspektif sosial. Menurut Engineer (Asghar Ali

Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Op. Cit., hlm. 11) tauhid yang

dianggap sebagai inti dari teologi Islam biasanya diartikan dengan keesaan

Tuhan, dalam hal ini tidak hanya demikian, namun juga sebagai kesatuan

manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa

terciptanya masyarakat tanpa kelas (classless society). Tauhid bukan merupakan

sifat dari sebuah Dzat (Tuhan), deskripsi ataupun konsep kosong yang hanya

ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan konkret –

baik dari sisi penafsiran maupun penetapan–. Pada dasarnya apa yang

13

dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali

dengan ditampakkan –direalisasikan dalam kehidupan konkret–. Dalam teologi

klasik, dibentuk konsep tentang sifat wajib bagi Tuhan, hal ini berguna untuk

meneguhkan keesaan Tuhan. Meskipun terdapat perbedaan jumlah antara Abu

Musa Al Asy’ari dengan Abu Mansur Al Maturidi, tetapi inti dari keduanya

adalah sama. Di sini term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral diubah

menjadi sekedar material, dari teologis menjadi antropologis. Hal ini cenderung

merubah pandangan dari metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi pada

realitas empirik –semangat nasionalisme untuk menghilangkan penindasan

kaum elite dan pemerintah–. Sehingga penafsiran ulang tentang sifat wujud,

qidam, baqa’, mukhlalafatu lil hawadits, qiyamuhu binafsih, wahdaniyah,

qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, dan kalam dibenturkan dengan

realitas kebangsaan dirasa perlu guna melawan penindasan secara kolektif.

Dan ketiga, konsep jihad. Dalam teologi pembebasan tidak memaknai

jihad sebagai perjuangan militer, tetapi sebagai aktivitas dinamis progresif

untuk melakukan pembebasan masyarakat dari realitas penindasan yang

menimpa mereka. Dengan kata lain, jihad di sini dimaknai sebagai perjuangan

dalam menghapus eksploitasi, korupsi, dan berbagai macam bentuk kezaliman.(

M. In’am Esha, Op. Cit., hlm. 102). Dalam QS. An Nisa’: 75 menjelaskan

bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau

mempertahankan status quo, namun demi kepentingan kaum tertindas dan

lemah. Lebih lanjut, Engineer (Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi

Pembebasan, Op. Cit., hlm. 11) menjelaskan bahwa arogansi kekuasaan,

ketidakadilan, penindasan terhadap kaum yang lemah –penggusuran tempat

tinggal tanpa memberi solusi juga termasuk di dalamnya–, pengekangan

terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi kulit, bangsa atau jenis

kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan, semua ini akan

mengarah pada struktur sosio-ekonomi yang menindas. Tanpa jihad untuk

membebaskan semua ini, maka iman seseorang belumlah cukup. Sekali lagi,

jihad di sini bukan jihad untuk berperang lewat gencatan senjata, lebih-lebih

pengeboman warga Asing atau sipil yang dilakukan kaum Islam garis keras

yang sering terjadi di Indonesia. Justru hal demikian merupakan interpretasi dari

penindasan (zulm) itu sendiri.

14

Islam hadir di dunia tidak lain untuk membebaskan manusia dari berbagai

bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat,

tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka norma tersebut harus

ditolak. Sering sekali—dan ini yang menjadi fokus bagi gerakan teologi

pembebasan Islam—bahwa agama menjadi alat bagi legitimasi tindakan

kesewenangan dan penindasan. Dalam konteks Islam, hal di atas jelas tidak

menceminkan prinsip kesetaraan hak di antara manusia. Sesungguhnya al-

Qur’an mengakui adanya kelebihan (fadhl) antara yang munduduki jabatan (ulul

amri) dan rakyat biasa, tetapi pengakuan tersebut bukanlah pembedaan

(discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.

Islam sangat tidak membenarkan adanya perlakuan atau sikap yang menindas

rakyat.

Memaknai persoalan di atas, Engineer menawarkan teologi pembebasan

Islam dalam kaitannya dengan upaya penafsiran teks-teks keagamaan. Terdapat

tiga hal yang ditawarkan Engineer ketika memahami al-Qur’an dalam

hubungannya dengan persoalan perempuan:

Pertama, al-Qur’an mempunyai dua aspek yaitu normatif dan kontekstual.

Pembedaan dua aspek ini sangat penting untuk memahami al-Qur’an. Adapun

yang dimaksud dengan aspek normatif menunjuk kepada sistem nilai dan

prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan

keadilan. Prinsip ini bersifat universal transendental dan dapat diaplikasikan

dalam setiap ruang dan waktu. Statement kontekstual berarti statement yang

muncul untuk merespon situasi tertentu dan tentu saja dapat diabrogasi. Berarti

ada aspek agama yang bersifat universal, substansial, transendental, dan ada

aspek yang bersifat lokal, material, empirikal, dan partikular.

Kedua, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an secara murni tidak

mungkin dapat dilakukan oleh siapapun juga karena setiap orang memiliki

semacam weltanschauung, persepsi, pandangan dunia, pengalaman dan latar

belakang sosio-kultural di mana si penafsir itu tinggal.

Ketiga, makna ayat al-Qur’an itu terbentang dalam waktu. Sebuah

penafsiran dapat berbeda dan berubah karena al-Qur’an seringkali

menggunakan bahasa simbolik atau metaforis yang memiliki makna ambigu.

Engineer mengajak untuk menafsirkan bahasa simbolik al-Qur’an ini dari sudut

pandang historis dan pengalaman kita sendiri.

15

DAFTAR PUSTAKA

A. Khudori Soleh ed., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003

Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis, Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para

Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005

Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements

in Islam, New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baehaqy,

Yogjakarta: LKiS, cet. VII, 2007

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Cet. 4, 2006

Asghar Ali Engineer, What I Believe, Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999

Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, Cet. IV, 2000,

Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan

Isinya, Yogjakarta: LKiS, cet. II, 2008

Hassan hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme

dan Posmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam

Aziz dan Jadul Maula, Yogjakarta: LKIS, cet. VII 2007

M. In’am Esha, ”Asghar Ali Engineer: Menuju Teologi Pembebasan” dalam A.

Khudori Soleh ed., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003

Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999