Legislasi Hukum Islam
Transcript of Legislasi Hukum Islam
Judul : Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Penulis : Drs. Sirajuddin M, M.Ag.M.Pd.
Editor : Dr. Zubaedi M. Ag., M.Pd.
Penerbit : Pustaka Pelajar
Jumlah Halaman : 183 Halaman
Reviewer : As’ari
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penulis adalah pria kelahiran Kuala Enok
Riau,. S1 ia tempuh di Fakultas Syariah IAIN Raden
Patah Palembang tahun 1986, kemudian melanjutkan
Program Pasca Sarjana (Strata 2) Konsentrasi Hukum
Islam di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh tamat tahun
1999 kemudian mengambil Magister Hukum di
Universitas Bengkulu tamat tahun 2007 dan lulus
dengan predikat memuaskan. Penulis banyak melakukan
penelitian-penelitian ilmiah di bidang hukum.
Diantara tulisannya antara lain : “ Pergolakan
Konsep Kenegaraan di Aceh : Studi Pemikiran A.
Hasyimi”, Legislasi Hukum Islam di Indonesia.
Tulisan yang akan kami review aslinya berupa
Tesis yang kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam
sebuah buku yang berjudul “Legislasi Hukum Islam di
Indonesia”.
1
Ada tiga persoalan pokok yang mendasari karya
tulis ini; Pertama, tentang “Tata Cara Pembentukan
Hukum Nasional” bahwa secara umum pembentukan
undang-undang terdiri atas tiga tahap :a. Proses
penyiapan Rancangan Undang-undang yang merupakan
proses penyusunan dan perancangan di lingkungan
pemerintah atau di lingkungan DPR (dalam hal RUU
Usul Inisiatif), b. Proses mendapatkan persetujuan
yang merupakan pembahasan di DPR, c. Proses
Pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh
Mensesneg atas perintah presiden).
Bahwa Tahapan pembuatan Undang-undang atau
hukum Nasional tersebut diatur diatur dalam Undang-
undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Kedua, adalah tentang “Konfigurasi Pembentukan
Hukum Islam di Indonesia” Pembentukan hukum Islam
ke Dalam hukum Nasional sesungguhnya menimbulkan
masalah baru. Ini berarti harus ada unifikasi hukum
meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi
kebutuhan hukum umat Islam. Oleh karena itu
dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi
dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan
politik. Lev mengemukakan dalam bukunya berjudul “
Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan
Perubahan “ bahwa hukum dalam Islam dipisahkan dari
1
kepentingan khusus masyarakat local dan
digeneralisasikan bagi kepentingan segenap umat dan
hukum Islam adalah hukum ketuhanan yang berlaku
bagi setiap muslim dimanapun berada. Berbeda dengan
hukum nasional ia merupakan produk lembaga
kenegaraan yang berlaku dalam batas batas Negara
yang bersangkutan.
Adapun tujuan dari pembentukan hukum Islam
menjadi hukum nasional adalah salah satu langkah
untuk menemukan kesesuaian antara hukum Islam
dengan hukum nasional. Kesesuaian ini akan
menghindari konflik dalam diri segenap muslim yang
ingin taat dengan agamanya dan cinta terhadap tanah
airnya. Selain itu perbedaan dalam fiqh akan dapat
dihindari dengan pembentukan hukum Islam menjadi
hukum nasional.
Pembentukan hukum Islam di Indonesia mutlak
diperlukan mengingat penduduk Indonesia dalam
catatan statistic merupakan kelompok mayoritas.
Meskipun demikian pembentukan hukum Islam ke dalam
hukum nasional mesti memperhatikan aspek
heteroginitas bangsa yang terdiri dari berbagai
macam agama.
Unifikasi hukum dalam sejarah Islam sudah lama
terjadi. Unifikasi dan kodifikasi hukum Islam telah
pernah dilontarkan pada Abad II Hijriyah Ibn Al
1
Ja’far al-Mansur penguasa dinasti abbasiyah yang
intinya meminta kepada khalifah untuk melakukan
penyeragaman hukum dengan mengundangkannya dalam
kodifikasi hukum yang menjadi pedoman dan berlaku
di seluruh wilayah Negara. Hukum tersebut harus
bersumber dari AlQur’an Assunah dan Ra’yu dengan
memperhatikan kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan
umat dalam hal tidak ada ketentuan nash. Ini
dilakukan agar terjadi keseragaman hukum sehingga
konflik dan perbedaan dapat diatasi dan masyarakat
mendapat kepastian hukum.
Pembentukan hukum Islam dalam pengertian dan
bentuknya yang lebih modern sesuangguhnya terjadi
akibat persinggungan hukum Islam dan hukum Barat
ini. Hal ini terjadi ketika Dinasti Usmani
menerbitkan Kitab Undng-undang Hukum Perdata yang
dikenal dengan Majallat al-Ahkam Al Adliyah pada
tahun 1326 H/1908 M.
Penerapan dan pembentukan hukum Islam pada
setiap masanya senantiasa diikuti dengan sikap pro
dan kontra bahkan ada yang ambigu. Hal ini terjadi
karena tidak adanya kesatuan dalam pemahaman Fiqh,
padahal positivikais hukum Islam ke dalam hukum
nasional adalah terbentuknya keseragaman hukum bagi
masyarakat muslim Indonesia.
1
Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum
nasional tidak seluruhnya perlu dilakukan.
Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum
Nasional adalah hukum pelaksanaannya memerlukan
bantuan kekuasaan Negara dan berkorelasi dengan
ketertiban umum. Salah stau contoh ketentuan hukum
Islam yang perlu dijadikan hukum nasional dan
Negara dibutuhkan keberadaannya adalah dalam bentuk
kekuasaan peradilan, pernikahan, perbankan Syariah,
dan lain sebagainya
Ketiga, adalah tentang Produk Hukum Nasional
yang bersumber dari Hukum Islam, Menurut Bustanul
Arifin hukum adalah hasil dari pertikaian
kepentingan dan opini. Oleh karena itu logika yang
bisa ditarik adalah hukum Islam bisa menjadi hukum
Nasional karena Umat Islam adalah mayoritas. Jika
ini tidak bisa terjadi maka yang menjadi persoalan
adalah di kalangan umat islam itu sendiri. Di
Indonesia sebagian hukum Islam dalam dimensi
peraturan dan perundang-undangan telah terintegrasi
dalam hukum Nasional dalam perseptektif hukum yang
telah dilegislasi antara lain : Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan undang-undang No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989.
1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah undang-undang perkawinan yang
berlaku secara nasional. Dulu dikenal beberapa
undang-undang perkawinan yang berlaku di tiap-tiap
masyarakat yang mengakui hukum itu. Sejak
berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berlaku
bagi seluruh warga Negara tanpa menghilangkan
identitas khas suatu golongan masyarakat. Hal ini
karena perkawinan adalah suatu bentuk hubungan
sacral yang berkenaan dengan agama khususnya
masyarakat Islam. Bagi umat Islam dapat dilakukan
unifikasi dalam arti asas dan tujuan perkawinan itu
sama.
Tidak benar jika dikatakan bahwa UU No. 1
Tahun 1974 adalah undang-undang yang tidak
demokratis, diskriminatif atau sektarian sebab
seperti yang telah disebutkan perkawinan adalah
sesuatu yang sacral dan berdasarkan agama.
Berdasarkan prinsip ini seorang Muslim akan menikah
secara Islam, begitu juga orang Kristen, Hindu,
Budha ataupun Kon Fu Cu akan menikah sesuai dengan
ajaran agamanya masing-masing.
Kelahiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf menjadi angin segar bagi Umat Islam
dalam hal perwakafan. Yang perlu menjadi catatan
bahwa Undang-undang wakaf sebagai salah satu
1
instrument dalam pengelolaan wakaf dan sebagai
salah satu manisfestasi hukum Islam dalam
bernegara.
Bahwa Undang-undang No 3 Tahun 2006 tentang
perubahan UU No. 7 Tahun 1989 memperluas kewenangan
Peradilan agama yang sebelumnya hanya sebatas pada
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah
serta wakaf dan shadaqoh kemudian diperluas menjadi
di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, sadaqah, infak dan ekonomi syari’ah.
1.2. METHODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum yang normatif (legal
research) biasanya “hanya” menggunakan studi dokumen,
yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja
yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan
pengadilan, teori hukum dan pendapat para sarjana.
Itu pula sebabnya penulis menggunakan analisis
secara kualitatif (normatif-kualitatif) karena datanya
bersifat kualitatif. Dalam pandangan Philipus M.
Hadjon, ilmu hukum dibagi dalam tiga lapisan utama,
yaitu dogmatik hukum, teori hukum dalam arti sempit
dan filsafat hukum. Dari ketiga lapisan tersebut
1
selau diarahkan pada praktek hukum yang mengandung
dua aspek utama yakni pembentukan dan penerapan
hukum antara lain menyangkut interpretasi hukum,
kekosongan hukum dan norma yang kabur atau vage
normen.1
1.3. PENDEKATAN PENELITIAN
Menurut Peter Marzuki bahwa pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).2
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
pendekatan undang-undang atau peraturan (statute
approach) dengan menelaah tata cara pembentukan
hukum nasional yang diatur di dalam Undang-undang
No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. . Sedangkan pendekatan kasus
(case approach) penulis mengarahkan pada kasus
bagaimana terbentuknya hukum islam menjadi hukum
nasional dengan menggunakan menggunakan pendekatan
pendekatan historis (historical approach), diarahkan1Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Lokakarya MetodePendidikan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, 9. 2Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet I (Jakarta : PrenadaMedia, 2005), 93.
1
pada historis dan perkembangan hukum di Indoensia
Islam..
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Tata Cara Pembentukan Hukum Nasional.
Bahwa secara umum pembentukan undang-undang
terdiri atas tiga tahap :
a. Proses penyiapan Rancangan Undang-undang yang
merupakan proses penyusunan dan perancangan di
lingkungan pemerintah atau di lingkungan DPR
(dalam hal RUU Usul Inisiatif),
b. Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan
pembahasan di DPR,
c. Proses Pengesahan (oleh Presiden) dan
pengundangan (oleh Mensesneg atas perintah
presiden).
Bahwa Tahapan pembuatan Undang-undang
atau hukum Nasional tersebut diatur diatur dalam
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
peraturan perundang-undangan.
2.1.2. Konfigurasi Pembentukan Hukum Islam di
Indonesia.
1
Pembentukan hukum Islam ke Dalam hukum
Nasional sesungguhnya menimbulkan masalah baru.
Ini berarti harus ada unifikasi hukum meskipun
memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan
hukum umat Islam. Oleh karena itu dibutuhkan
unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan
sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik.
Lev mengemukakan dalam bukunya berjudul “ Hukum dan
Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan “
bahwa hukum dalam Islam dipisahkan dari kepentingan
khusus masyarakat local dan digeneralisasikan bagi
kepentingan segenap umat dan hukum Islam adalah
hukum ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim
dimanapun berada. Berbeda dengan hukum nasional ia
merupakan produk lembaga kenegaraan yang berlaku
dalam batas batas Negara yang bersangkutan.
Adapun tujuan dari pembentukan hukum Islam
menjadi hukum nasional adalah salah satu langkah
untuk menemukan kesesuaian antara hukum Islam
dengan hukum nasional. Kesesuaian ini akan
menghindari konflik dalam diri segenap muslim yang
ingin taat dengan agamanya dan cinta terhadap tanah
airnya. Selain itu perbedaan dalam fiqh akan dapat
dihindari dengan pembentukan hukum Islam menjadi
hukum nasional.
1
Pembentukan hukum Islam di Indonesia mutlak
diperlukan mengingat penduduk Indonesia dalam
catatan statistic merupakan kelompok mayoritas.
Meskipun demikian pembentukan hukum Islam ke dalam
hukum nasional mesti memperhatikan aspek
heteroginitas bangsa yang terdiri dari berbagai
macam agama.
Unifikasi hukum dalam sejarah Islam sudah lama
terjadi. Unifikasi dan kodifikasi hukum Islam telah
pernah dilontarkan pada Abad II Hijriyah Ibn Al
Ja’far al-Mansur penguasa dinasti abbasiyah yang
intinya meminta kepada khalifah untuk melakukan
penyeragaman hukum dengan mengundangkannya dalam
kodifikasi hukum yang menjadi pedoman dan berlaku
di seluruh wilayah Negara. Hukum tersebut harus
bersumber dari AlQur’an Assunah dan Ra’yu dengan
memperhatikan kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan
umat dalam hal tidak ada ketentuan nash. Ini
dilakukan agar terjadi keseragaman hukum sehingga
konflik dan perbedaan dapat diatasi dan masyarakat
mendapat kepastian hukum.
Pembentukan hukum Islam dalam pengertian dan
bentuknya yang lebih modern sesuangguhnya terjadi
akibat persinggungan hukum Islam dan hukum Barat
ini. Hal ini terjadi ketika Dinasti Usmani
menerbitkan Kitab Undng-undang Hukum Perdata yang
1
dikenal dengan Majallat al-Ahkam Al Adliyah pada
tahun 1326 H/1908 M.
Penerapan dan pembentukan hukum Islam pada
setiap masanya senantiasa diikuti dengan sikap pro
dan kontra bahkan ada yang ambigu. Hal ini terjadi
karena tidak adanya kesatuan dalam pemahaman Fiqh,
padahal positivikais hukum Islam ke dalam hukum
nasional adalah terbentuknya keseragaman hukum bagi
masyarakat muslim Indonesia.
Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum
nasional tidak seluruhnya perlu dilakukan.
Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum
Nasional adalah hukum pelaksanaannya memerlukan
bantuan kekuasaan Negara dan berkorelasi dengan
ketertiban umum. Salah stau contoh ketentuan hukum
Islam yang perlu dijadikan hukum nasional dan
Negara dibutuhkan keberadaannya adalah dalam bentuk
kekuasaan peradilan, pernikahan, perbankan Syariah,
dan lain sebagainya
2.1.3. Produk Hukum Nasional yang bersumber dari
Hukum Islam
Menurut Bustanul Arifin hukum adalah hasil
dari pertikaian kepentingan dan opini. Oleh karena
itu logika yang bisa ditarik adalah hukum Islam
1
bisa menjadi hukum Nasional karena Umat Islam
adalah mayoritas. Jika ini tidak bisa terjadi maka
yang menjadi persoalan adalah di kalangan umat
islam itu sendiri. Di Indonesia sebagian hukum
Islam dalam dimensi peraturan dan perundang-
undangan telah terintegrasi dalam hukum Nasional
dalam perseptektif hukum yang telah dilegislasi
antara lain : Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf dan undang-undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah undang-undang perkawinan yang
berlaku secara nasional. Dulu dikenal beberapa
undang-undang perkawinan yang berlaku di tiap-tiap
masyarakat yang mengakui hukum itu. Sejak
berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berlaku
bagi seluruh warga Negara tanpa menghilangkan
identitas khas suatu golongan masyarakat. Hal ini
karena perkawinan adalah suatu bentuk hubungan
sacral yang berkenaan dengan agama khususnya
masyarakat Islam. Bagi umat Islam dapat dilakukan
unifikasi dalam arti asas dan tujuan perkawinan itu
sama.
Tidak benar jika dikatakan bahwa UU No. 1
Tahun 1974 adalah undang-undang yang tidak
1
demokratis, diskriminatif atau sektarian sebab
seperti yang telah disebutkan perkawinan adalah
sesuatu yang sacral dan berdasarkan agama.
Berdasarkan prinsip ini seorang Muslim akan menikah
secara Islam, begitu juga orang Kristen, Hindu,
Budha ataupun Kon Fu Cu akan menikah sesuai dengan
ajaran agamanya masing-masing.
Kelahiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf menjadi angin segar bagi Umat Islam
dalam hal perwakafan. Yang perlu menjadi catatan
bahwa Undang-undang wakaf sebagai salah satu
instrument dalam pengelolaan wakaf dan sebagai
salah satu manisfestasi hukum Islam dalam
bernegara.
Bahwa Undang-undang No 3 Tahun 2006 tentang
perubahan UU No. 7 Tahun 1989 memperluas kewenangan
Peradilan agama yang sebelumnya hanya sebatas pada
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah
serta wakaf dan shadaqoh kemudian diperluas menjadi
di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, sadaqah, infak dan ekonomi syari’ah.
2.2 Hasil Temuan atau analisa penulis :
Pertama Hukum Islam sesungguhnya
sudah berlaku sejak masuknya Islam Dalam
1
penelitiannya, penulis menemukan bahwa hukum
Islam di jadikan sebagai salah satu bahan dasar
dari hukum nasional selain hukum adat dan hukum
barat , pada periode penjajahan Belanda
menerapkan Undang-undang Indische
Staatsregeling S 1855-2 yang memuat hukum
hindia belanda. Di dalam Undang-undang tersebut
secara jelas diakomodir tiga system hukum yang
ada yaitu hukum Islam, hukum adat dan hukum
barat. Pada masa orde Lama dan orde Baru hukum
Islam belum terakhomodir secara maksimal dalam
GBHN. Baru setelah bergulirnya Reformasi hukum
Islam di akomodir dalam hukum nasional. Hal ini
tidak terlepas dari pengaruh politik dimana
lembaga legislasi perundang-undangan terdiri
dari multi partai.
Kedua Adanya peraturan perundang-
undangan ang baik akan menunjang
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
sehingga lebih memungkinkan tercapainya tujuan
Negara yang diinginkan.
Ketiga produk hukum nasional yang
bersumber dari hukum Islam sesungguhnya sangat
banyak. Ia tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan baik yang bersumber langsung
dari Al Qur’an dan As Sunnah maupun yang
1
mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Produk
Hukum nasional yang mengakomodasikan hukum
Islam mencakup : UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hukum
Islam dalam kerangka reformulalsi hukum
Nasional menuju terciptanya hukum Khas
Indonesia memainkan beberapa peran. Pertama
hukum Islam merupakan bahan baku hukum
Nasional. Kedua adanya yurisprudensi yang
member kesempatan hakim untuk beritjihad.
Ketiga hukum Islam dapat dijadikan sumber
penegak hukum dalam etika dan moral. Sejauh
pengamatan penulis, saat ini perlu segera
dilakukan rekonsiliasi internal umat Islam
dalam kerangka penyamaan visi, misi, dan
orientasi guna memecahkan problem hukum Islam
dalam rangka positivikasi hukum Islam ke dalam
hukum nasional.Hukum Islam di Indonesia harus
dilepaskan dari suatu keterpaksaan politik atau
kekuasaan walaupun kepentingan politik itu
tetap menjadi suatu pertimbangan sebagaimana
kepentingan sosial dan lainnya yang berada
dalam konteks dan mengarah kepada kemaslahatan
umum. Lebih dari itu, reformulasi hukum harus
1
berangkat dari suatu kepastian metodologi yang
disepakati untuk dipakai dalam penetapan
aturan-aturan formal. Metodologi istimbhat
hukum yang memberikan keluwesan pilihan hukum
sesuai dengan konteks ke-indonesiaan tentu
harus menjadi pilihan.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Secara umum buku Legislasi Hukum Islam di
Indoensia dapat disimpulkan sebagai berikut:
3.1.1. Analisa dasar hukum penulis dalam upaya me-
rekonstruksi wasiat wajibah untuk anak angkat dalam KHI
adalah didasarkan pada upaya pemberian hak harta
kepada anak angkat yang selama ini tidak
memperoleh hak warisan dari orang tua angkatnya.
Sementara anak angkat di Indonesia telah melembaga
dan dianggap sebagai anak yang diakui
keberadaannya dalam masyarakat bagaikan anak
sendiri. Hal ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) UU
1
No.48 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Dasar
Kehakiman yang berbunyi :
“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Persoalannya pasal 209 ayat (2) KHI masih
menuai persoalan baru dalam penerapannya, yaitu :
a. Pemberlakuan wasiat wajibah mempengaruhi
pembagian perolehan nilai hak warisan dari ahli
waris yang lain.
b. Istilah wasiat wajibah dalam hukum Islam klasik
tidak pernah dikenal. Kemudian diberlakukan
beberapa negara Islam untuk kepentingan para cucu
pancar perempuan baik lelaki maupun perempuan
yang dalam hukum waris Islam tidak memperoleh hak
warisan.
c. Wasiat wajibah yang diberlakukan dalam pasal 209
ayat (2) KHI adalah bukan terhadap cucu pancar
perempuan tetapi terhadap anak angkat dari orang
tua angkatnya.
d. Anak angkat (tabannī) selama ini tidak memiliki
tempat dalam hukum Islam untuk memperoleh hak
warisan . Maka dengan pemberlakuan pasal 209 ayat
(2) KHI, anak angkat berkemungkinan secara
litigasi Pengadilan Agama memperoleh bagian
warisan.
1
3.1.2. Melalui metode Istihsān dan hukum responsif
dalam penerapannya dapat diperoleh kemungkinan
penambahan norma hukum terhadapasal 209 ayat (2)
KHI dengan tujuan agar jelas kepastian hukumnya
dan tidak mengganggu hubungan kekerabatan nasabiyah,
sebagai berikut :
a. Besarnya bagian maksimal perolehan wasiat
wajibah bagi anak angkat adalah 1/3 dari harta
warisan ataupun berbilang dengan syarat bila
orang tua angkat tidak memiliki ahli waris
nasabiyah langsung yaitu anak dan turunannya,
ayah dan ibu.
b. Bila anak angkat telah menerima hibah dari
orang tua angkatnya maka penghibahan tersebut
harus diperhitungkan sebagai bagian dari wasiat
wajibah.
c. Bila orang tua angkat memiliki ahli waris
berupa anak-anak langsung ataupun karena
pergantian terhadap mereka maka besarnya bagian
ahli waris adalah separoh dari bagian ahli
waris tersebut.
d. Bila orang tua angkat memiliki ahli waris
berupa saudara orang tua angkat baik lelaki
atau perempuan, maka anak angkat memperoleh
bagian 1/6 bagian wasiat wajibah.
1
Pembagian seperti demikian memungkinkan bukan
hanya memberikan kepastian hukum tetapi juga
menutup kemungkinan terjadinya ketidakpuasan para
ahli waris yang selama ini memahami anak angkat
tidak memiliki hak waris.
3.2. SARAN-SARAN
Secara metodologis buku berjudul “Rekonstruksi
Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam” yang ditulis
oleh Dr. M. Fahmi Al Amruzi, M. Hum ini sangat
menarik, karena mengkaji dan mengkritisi terhadap
pasal 209 ayat (2) KHI tentang wasiat wajibah.
Metode normatif-kualitatif yang digunakan penulis
sesuai untuk mengurai persoalan wasiat wajibah
terhadap anak angkat yang selama ini penerapannya
memang masih abu-abu.
Buku ini telah merinci letak ketidaksempurnaan
dari pasal KHI tersebut. Penulis tidak hanya
mendeskripsikan kekurangan pasal KHI akan tetapi
juga merekomendasikan untuk adanya penambahan norma
demi tercapainya maslahat untuk anak angkat serta
mencegah terjadinya miss antara ahli waris orang tua
angkat dengan anak angkat. Mengenai kajian
teoritiknya, penulis juga menjelaskan secara
terperinci persoalan wasiat yang kemudian ber-
transformasi menjadi wasiat wajibah. Penulis
1
menggunakan metode Istihsān dan hukum resposif untuk
penerapan wasiat wajibah sehingga kepastian hukum
dalam masalah wasiat wajibah terpenuhi.
Namun tiada gading yang tak retak, buku ini
juga tidak lepas dari kekurangan, pe-review
seringkali menemukan kesalahan kata dan
inkonsistensi Penulis dalam menggunakan kalimat.
Penulis seringkali menggunakan ejaan lama yang
kadang agak sulit dimengerti. Namun secara
keseluruhan buku ini telah memberi kontribusi
akademik bagi kalangan akademisi dan praktisi dalam
menyikapi dan memecahkan permasalahan-permasalahan
dalam hukum Islam. Sehingga di kemudian hari apabila
menghadapi permasalahan yang serupa dapat dilakukan
kajian lebih lanjut dalam buku ini.
1
DAFTAR PUSTAKA
Al amruzi,M.Fahmi. 2011. Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam
Kompilasi Hukum Islam Yogyakarta : Aswaja Pressindo
M. Hadjon, Philipus. Pengkajian Ilmu Hukum, Lokakarya Metode
Pendidikan Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Merdeka Malang
Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum, Cet I.
Jakarta: Prenada Media
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, edisi kedua cet. II Yogyakarta : Liberty
Nonet,Philippe dan Selznick,Philipp.2007. Law and Society in
Transitition; Toward Responsive Law, terj. Raisul
Muttaqien, Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media
Sabiq,Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah. Beirut : Dāru al-fikr
Taqiy, Muhammad. 1979. al-Uşūl al-‘ammah fī al-‘ammah fī al-fiqh
al-Muqāran. Beirut: Dar al- Andalus
Zaidan, Abdul Karim. 2002. al-wajīz fī Uşūl Fiqhi. Beirut:
Muassasah
1