HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAM

23
HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAM Disusun oleh: Miftah Idris, SHI.,MH. 1 A. PENDAHULUAN Hukum Humaniter Internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, 2 yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa. Dibandingkan dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan 1 Dosen Muda Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwu Banggai. 2 Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999. 1

Transcript of HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAM

HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAMDisusun oleh: Miftah Idris, SHI.,MH.1

A. PENDAHULUAN

Hukum Humaniter Internasional atau hukum humaniter

adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan

hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum

humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum

internasional publik,2 yaitu bidang hukum yang mengatur

masalah-masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum

internasional publik lainnya antara lain hukum

diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional

dan hukum angkasa.

Dibandingkan dengan cabang hukum internasional

publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu

keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang

mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian

multilateral atau melalui hukum kebiasaan1 Dosen Muda Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwu

Banggai.2 Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum

Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

1

internasional, namun substansinya banyak mengatur hal-

hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya

subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup

unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional

publik adalah negara atau organisasi internasional.

Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan

bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat

dalam suatu peperangan.

Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang

atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata

yang bersifat internasional dan yang bersifat non-

internasional. Pada perkembangannya, pengertian

sengketa bersenjata internasional diperluas dalam

Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan

terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan

pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis

sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata

internasional.

Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata

yang bersifat noninternasional, yaitu sengketa

2

bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah negara.

Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata

yang tadinya bersifat internal (noninternasional) bisa

berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat

internasional.

Hal yang terakhir ini disebut dengan

internasionalisasi konflik internal (internationalized

internal conflict). Namun demikian tidak semua sengketa

bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional

apabila ada campur tangan dari negara lain. Dalam hal

ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atau

turut campurnya negara lain tersebut.3

Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk

sengketa bersenjata, baik itu perang konvensional,

perang non-konvensioanl dan perang modern. Bahkan pada

situasi tertentu, hukum humaniter juga dapat

3 Mengenai hal ini lebih jauh bisa dilihat perbandingan

antara putusan yang dibuat oleh ICJ dalam kasus keterlibatan dan

dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di Nikaragua

dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.

3

diberlakukan dalam kerangka perang yang oleh sebagian

negara disebut sebagai perang melawan terorisme.

Di dalam dunia Islam juga jelas diatur mengenai

hukum humaniter tersebut, Pada sekitar abad 6 hingga 7

Masehi saat dimana Eropa mengalami abad-abad kegelapan,

di bagan lain Bumi, di wilayah yang sering disebut

wilayah Timur, seseorang sedang memperkenalkan inovasi-

inovasi segar dan baru pada umat manusia. Dialah

Muhammad SAW. Sang manifestasi wahyu Tuhan. Salah satu

inovasi besar yang dia perkenalkan pada dunia adalah

tentang hukum humaniter atau etika peperangan yang

telah dipraktekan jauh sebelum adanya hukum humaniter

Internasional dinaskahkan.

Berbicara mengenai hukum humaniter Islam maka kita

juga tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai baginda

Muhammad Rasulullah SAW, sang pembawa kabar gembira,

hakim yang adil, dan panglima perang yang bijaksana.

Adanya etika perang ini adalah berkat hasil

kebijaksanaan beliau yang memperkenalkan perspektif

baru pada manusia dalam mengenal perang. Pada masa itu,

4

masa yang disebut masa kebodohan (jahiliyah), dimana

pergerakan dan pemiikiran masyarakat kehilangan

kesucian, Rasullullah SAW kemudian datang mengajari

mereka bagaimana cara memandang dunia tanpa perlu

meneteskan darah, bagaimana cara berfikir tanpa

merugikan orang lain, bagaimana cara bertindak tanpa

mengurangi rasa hormat kita pada orang lain serta tentu

saja bagaimana menjaga etika dalam peperangan

sekalipun.

Dalam sejarah peperangan di zaman Rasulullah,

peperangan bukanlah misi utama dalam peradaban Islam,

sehingga apa yang sering dibilang orang Barat

bahwasanya Islam adalah agama pedang sama sekali tidak

benar. Karena pada dasarnya perang hanyalah jalan

keluar terakhir apabila jalur diplomasi tidak berhasil.

Selain itu perang juga hanya terjadi apabila pihak

musuh terlebih dahulu mengusik kaum muslimin dan itu

didasarkan pada surah Al-Baqarah (2) ayat 190 yang

artiya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang

yang memerangi kalian, tetapi jangan melampui batas.

5

Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui

batas.”4 Bila diinterpretasikan secara lebih mendalam,

kaum Muslim saat itu berperang apabila pihak musuh

memantik api peperangan terlebih dahulu dan walaupun

musuh melakukan berbagai strategi perang yang licik

(kaum munafik), Islam sama sekali tidak menghendaki

perbuatan yang melampui batas, dalam artian Islam

mengedepankan etika dalam berperang.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perang

dalam perspektif Islam terikat oleh hukum-hukum langit

yang mutlak menjadi aturan bagi kemanusiaan. Sebisa

mungkin Nabi mengurangi aksi-aksi kekerasan, menekan

biaya dan kerugian seminim mungkin. Tujuannya adalah

semata-mata untuk mempertahankan Islam, mengakhiri

paganisme, menegakkan keadilan dan menangkal kezaliman

yang berlangsung dalam kehidupan jahiliyah.

Rumusan masalah

Terkait penjelasan di atas, maka pemakalah dalam

hal ini menarik sebuah rumusan masalah yaitu, bagaimana

4 Al-qur’an, Surah al-Baqarah.

6

prinsip-prinsip yang ada dalam hukum yang berlaku dan

hukum Islam terkait dengan Humaniter ?, guna mencari

titik temu yang efektif untuk penerapan Hukum Humaniter

Internasional.

B. PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip Dasar Hukum Humaniter

Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter

adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip

pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara

kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam

pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang

tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran

(penduduk sipil).

Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum

humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu:

1. Prinsip kepentingan militer (military necessity) :

Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa

dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan

7

lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan

perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas

kepentingan militer dalam rangka penggunaan

kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus

memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle),

yaitu: “prinsip yang diterapkan untuk membatasi

kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer

dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan

metoda berperang yang digunakan tidak boleh tidak

proporsional (harus proporsional) dengan

keuntungan militer yang diharapkan.5 Dalam kasus

keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap

pemberontak Kontras di Nikaragua dengan putusan

yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.

b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip

yang membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara

5 Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict,

International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.

8

berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar

biasa kepada pihak musuh.

2. Prinsip Perikemanusiaan (humanity) : Berdasarkan

prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan

untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka

dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat

menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan

yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering

juga disebut dengan “unnecessary suffering principle”.

3. Prinsip Kesatriaan (chivalry) : Prinsip ini mengandung

arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus

diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak

terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang

bersifat khianat dilarang.

4. Prinsip pembedaan : Berdasarkan prinsip ini pada waktu

terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakukan

pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu

pihak dengan “combatant” serta antara objek sipil di

satu pihak dengan objek militer di lain pihak.

Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek

9

militer yang boleh terlibat dalam perang dan

dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat

bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling

penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.

Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Islam

Mengenai substansi dari hukum humaniter Islam,

pernah Rasulullah berpesan kepada tentara Usamah ibnu

Zaid ketika akan bertolak ke Syria.”Sebentar! Aku ingin

berpesan kepada kalian sepuluh hal. Berperanglah dengan

nama Allah dan dijalan Allah. Jangan berkhianat,

melanggar janji dan memotong-motong tubuh mayat. Jangan

membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang lanjut

usia. Jangan menebang pohon,serta merusak dan membakar

pohon kurma. Jangan menembelih kibas atau unta kecuali

untuk dimakan. Kalian akan melewati satu kaum yang

menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangilah

orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan

10

orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampui

batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampui batas.”

Sehingga mengenai pesan Rasulullah tersebut dapat

disimpulkan bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter Islam

terdiri dari melindungi anak-anak dan wanita,

menghargai manusia, dilarang berbuat kerusakan,

menjunjung tinggi perjanjian dan menawarkan keamanan

meski pada mereka yang berada diluar kepercayaan Islam.

1. Melindungi Anak-anak, Wanita dan Orang yang Lanjut Usia : Nabi

melarang keras apabila tentara Muslim berkonfrontasi

secara fisik dengan anak-anak, wanita, orang yang

telah lanjut usia dan juga budak. Tatkala mengetahui

bahwa ada wanita yang dibunuh dalam Perang Hunain

dan tahu yang membunuh adalah Khalid ibnu al-Walid,

Nabi langsung mengirim utusan : “Susul Khalid!

Bukankah aku sudah mengatakan padanya, dilarang

membunuh wanita, anak-anak, pesuruh atau budak.”

2. Menghargai Manusia : Nabi sangat menghargai hak-

hakkemanusiaanbahkan kepada mayat sekalipun. Seperti

11

dalam pesan nabi bahwa jangan pernah memotong-motong

tubuh mayat. Sikap seperti ini sungguhh sangat

bertolak belakang dengan kaum Jahiliyah yang ketika

perang pernah seseorang dari Bani Quraisy mengoyak-

ngoyak isi perut salah satu sahabat nbi yang tewas

dalam perang dan setelah itu dipotonglah hidung

dankemaluan sahabat Nabi tersebut.

Prinsip mengenai menghargai manusia telah

diterapkan sejak masa-masa awal peperangan terhadap

korban-korban perang yang gugur baik dari pihak

Muslim maupun musuh. Setelah memenangi perang Badar,

Nabi tidak langsung begitu saja meninggalkan medan

pertempurang sebelum menguburkan tujuh puluh orang

musryik yang gugur. Jasad mereka dikuburkan, tak

dibiarkan menjadi santapan binatang yang tergolek

sia-sia di padang Sahara.

3. Melarang Berbuat Kerusakan : Nabi melarang umat Muslim

untuk menjarah, mencemari kota, merusak, menebang

dan membakar pohon dan lingkungan serta melukai

orang-orang yang tidak bersenjata. Karena Islam

12

merupakan agama keselamatan, sehingga perang

bukanlah tujuan tapi tindakan yang hanya bisa

diambil dalam keadaan yang sangat emergency.

Tentunya kita perlu kembali bercermin pada surah Al-

Baqarah (2) ayat 190, bahwa perang tidak boleh

melampui batas dan telah cukuplah apabila tujuan

perang sendiri tercapai yaitu mengalahkan kezaliman.

Pernah dalam suatu ekspedisi, yaitupenaklukan

Mekkah, Nabi menyuruh patung-patung berhala yang

berdiridi seluruh wilayah Mekkah dihancurkan.

Tentunya disini terdapat pengecualian karena pada

hakekatnya tujuan perang dalm Islam salah satunya

adalah melenyapkan paganisme.

4. Menjunjung Tinggi Perjanjian : Islam sangat mensakralkan

janji, menghargai janji dengan cara yang luhur dan

suci. Hal ini dapat dilihat di QS Al-Maidah : 1, Al-

Nahl : 91, Al-Isra : 34 dan ayat-ayat lainnyayang

berada dalam Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci

seluruh umat manusia mengakui luhur dan sucinya

nilai dari janji sehingga dalam peperangan dan

13

diplomasi yang dibangun senantiasa dijaga integritas

dari komitmen-komitmen yang lahir. Contohnya adalah

ketika juru tulis Nabi mengangkat tanganya usai dia

mensahkan perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim

dan Bani Quraisy, Abu Jandal lalu datang pada Rasul

dengan melompat-lompat karena tangan dan kakinya

tengah terikat. Dia memohon pada Rasul agar

mengijinkannya mengikuti Rasul dan masuk agama

Islam. Rasul kemudian menolak keikutsertaan Abu

Jandal dan mengembalikannya pada kaum Quraisy.

Rasulullah tahu bahwa nantinya Abu Jandal akan

disiksa oleh kaum Quraisy tapi Rasulullah tidak

boleh melanggarjanji yang ditulis dalam perjanjian

Hudaibiyah karena Rasulullah sangant menjaga

komitmen terhadap janji. Tapi biarpun Rasul

mengembalikan Abu Jandal , Rasulullah berpesan bahwa

Abu Jandal harus berserah diri pada Allah karena

Allah pasti menepati janji orang-orang yang

bersabar.

14

5. Menawarkan Keamanan : Nabi menerapkan sistem

keamanan dalam perang, bahkan meskipun perang sedang

berlangusng. Bukan hanya terhadap kaum Muslim saja

bahkan Nabi menyuruh menawarkan keamanan bagi non-

Muslim. Seperti yang diucapkan Nabi dalam pesannya

pada Usamah ibnu Zaid ketik bertolak ke Syria untuk

berperang.Nabi mengatakn apabila melewati kaum yang

sedang menepi di biara-biara, biarkanlah mereka.

Prinsip keamanan ini mencakup apa yang akhir-akhir

ini disebut perlindungan terhadap warga Negara asing

di Negara Islam dengan segala milik mereka,juga

hubungan perdamaian dengan non-Muslim. Salah satu

prinsip penting untuk mengukuhkan perdamaina yang

hasilnya berupa Piagam Madinah yang menyatukan

berbagai agama dalam satu kesepakatan bersama.

Meskipun Yahudi dan kaum munafik kerapkali mencemooh

umat Muslim secara terang-terangan tidak

menggoyahkan keteguhan hati Nabi untuk berhenti

menawarkan keamanan. Allah berfirman: “Dan jika

diantara kaum musyrikin ada yang meminta

15

perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia

dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah

dia ke tempat yang aman baginya.” (Al-Baqarah (2)

ayat 6)

Dari prinsip-prinsip yang pemakalah uraikan di

atas telah jelaslah bahwa Islam senantiasa

mengedapankan moral dan etika dalam peperangn yang

penuh dengan darah serta kerusakan sekalipun. Bahwa

Rasulullah menekankan prinsip-prinsip hukum humaniter

Islam dalam medan pertempuran. Sehingga tertepislah

imej Islam di mata dunia Barat yang memandang Agama

Islam sebagai agama pedang. Sebab untuk berperang saja

umat Muslim harus menggunakan prinsip-prinsip etika

peperangan dan tidak menghendaki perang terlebih dahulu

kecuali dalam keadaan terdesak. Lewat aturan-aturan

moral inilah peradaban Islam di kemudian hari tumbuh

subur dan menyumbang kejayaan serta inovasi baru bagi

dunia.

Perlu kita ketahui sebagai orang awam bahwa hukum

humaniter merupakan genre tersendiri yang cukup kaya

16

untuk ditelaah di bidang ilmu hukum. Dalam pemikiran

ilmuwan Islam di bidang fikih siyasah, seperti Abu Umar

Abd al-Rahman al-Awza’i (lahir 77 H/707 M), Abu Yusuf

(113-182 H/731-798 M), dan Muhammad bin al-Hasan al-

Syaibani (132-189 H/748-804 M), dan Imam al-Syafi’i

(150-204 H/767-820 M) menghasilkan konsep siyar. Menurut

Azra6, konsep tak hanya menyangkut hukum humaniter

terkait konflik dan perang di suatu negara tertentu

maupun di antara beberapa negara, tetapi berbagai

konsep tentang tata relasi antara penguasa dengan

rakyatnya dalam sebuah negara muslim dan hubungan

internasional dan dalam segi tertentu juga diplomasi.

Paradigma yang membangun konsep hukum humaniter

dalam naskah ini berpijak pada pandangan Islam tentang

kemuliaan harkat manusia yang jasmani dan ruhaninya

harus dipelihara dan dilindungi dalam kondisi apa pun.

Konsep ini selaras dengan Konvensi Jenewa 1949 yang

berdasarkan pada pandangan falsafi tentang humanisme

6 Azra, Azyumardi, “Hukum Humaniter”, Republika, 2 Agustus

2012. Hal 12

17

universal. Adapun hukum humaniter internasional Islam

berangkat dari pandangan Islam tentang manusia sebagai

makhluk yang diciptakan Allah untuk dimulyakan oleh

sesama dan negara/penguasa.

Hukum Humaniter Internasional (HHI) Islam berpijak

pada sumber ajaran Islam yang esensi, meliputi pertama,

hidup dan kehidupan dalam Islam adalah memanusiakan

manusia, sebagaimana pesan al-Maidah : 32

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, seakan-akan

dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang

memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia

telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Kedua, konsep dasar Islam eksis di dunia ini

sebagai rahmat bagi alam seisinya, bukan untuk agama

atau etnis tertentu. Pesan tersebut menandaskan bahwa

sesama manusia untuk saling menghormati karena realitas

kehidupan yang nampak adalah keragaman (diversity) yang

tidak dapat selalu diseragamkan (uniformity) sebagai

modal menuju kesatuan dalam keragaman (unity in diversity).

Ketiga, berpijak pada dua sifat hukum Islam yakni

baku (mukhkamat) dan temporal (mutasyabihat). Ke-

18

mukhkamat-an hukum Islam memiliki satu kesatuan

pikiran, rasa, dan perilaku bagi umat dan menjadikannya

umat yang satu (ummatan wahidah). Adapun kemutasyabihat-an

membuka ruang perbedaan berdasarkan ruang, waktu, dan

kondisi masingmasing dengan tetap memperhatikan maksud

syarak. Hukum dalam hal ini bisa berubah menurut

situasi dan kondisi dengan tujuan tercapainya

kemaslahatan hidup manusia.

Tujuan syariah (maqashid syariah) adalah untuk

mencapai kebajikan/kemaslahatan bagi manusia dan

menghindari bahaya serta kerusakan. Menurut Imam Al-

Ghazali, maqashid syariah untuk mencapai kesejahteraan

hidup manusia dengan melindungi agamanya (din), jiwa

(nafs), akal (’aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).

Segala sesuatu yang dapat melindungi lima unsur

kepentingan publik tersebut adalah keharusan. Begitu

pula sebaliknya, bila kelimanya tak terlindungi

merupakan tindak perusakan kehidupan.7

7 Rama, Ali dan Makhlani, “Basis Maqasid Syariah”, Republika,

7 September 2012, hal 4

19

Bila pesan al-Maidah:32, konsep dasar Islam

sebagai rahmat bagi alam seisinya dengan memahami

esensi keragaman (diversity) yang tak dapat selalu

diseragamkan (uniformity) sebagai modal menuju kesatuan

dalam keragaman (unity in diversity), dan terlaksananya

maqashid syariah dalam kehidupan berbangsa dan

antarbangsa karena ketegasan pengauasa, kepiawaian

ulama memberi fatwa, dan kesadaran antarsesama pada

esensinya hukum humaniter internasional berbasis Islam

telah menjadi ruh kehidupan umat manusia. Harapan yang

digapai adalah sebagaimana kehidupan yang dicita-

citakan Islam yakni sejahtera lahir dan batin setiap

manusia.

20

C. PENUTUP

Hukum humaniter barbasis Islam dapat dijadikan

rujukan dan dasar pijakan dalam hukum HHI. Sebab

prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter Islam

sedikit banyak ada kesamaan yang prinsipil dalam

aturannya. Kaidah utama yang menjadi dasar bagi Hukum

Internasional Umum dalam Islam adalah kesatuan

kemanusiaan, kerjasama atas kebaikan, toleransi,

kebebasan berkeyakinan, keadilan dan resiprokal

berbasis moral. Kaidah tersebut bersumber kepada Al

Qur’an dan Sunah serta hukum kebiasaan yang tidak

bertentangan teks agama.

Sehingga ada poin utama dalam Hukum Humaniter

berbasis Islam yang dapat disimpulkan; pertama perang

harus terbatas pada aspek darurat; kedua bila perang

21

meletus, wajib bernapaskan kemanusiaan atau menjunjung

tinggi segala aspek kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an, Kementrian Agama.

Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., PengantarHukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

Azra, Azyumardi, “Hukum Humaniter”, Republika, 2 Agustus2012.

Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict,International Committee of the Red Cross, Geneva,1992.

22

Rama, Ali dan Makhlani, “Basis Maqasid Syariah”,Republika, 7 September 2012.

23