HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAM
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAM
HUMANITER DALAM PRINSIP HUKUM DAN HUKUM ISLAMDisusun oleh: Miftah Idris, SHI.,MH.1
A. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional atau hukum humaniter
adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan
hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum
humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum
internasional publik,2 yaitu bidang hukum yang mengatur
masalah-masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum
internasional publik lainnya antara lain hukum
diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional
dan hukum angkasa.
Dibandingkan dengan cabang hukum internasional
publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu
keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang
mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian
multilateral atau melalui hukum kebiasaan1 Dosen Muda Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwu
Banggai.2 Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum
Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
1
internasional, namun substansinya banyak mengatur hal-
hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya
subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup
unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional
publik adalah negara atau organisasi internasional.
Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan
bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat
dalam suatu peperangan.
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang
atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata
yang bersifat internasional dan yang bersifat non-
internasional. Pada perkembangannya, pengertian
sengketa bersenjata internasional diperluas dalam
Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan
terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan
pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis
sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata
internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata
yang bersifat noninternasional, yaitu sengketa
2
bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah negara.
Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata
yang tadinya bersifat internal (noninternasional) bisa
berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat
internasional.
Hal yang terakhir ini disebut dengan
internasionalisasi konflik internal (internationalized
internal conflict). Namun demikian tidak semua sengketa
bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional
apabila ada campur tangan dari negara lain. Dalam hal
ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atau
turut campurnya negara lain tersebut.3
Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk
sengketa bersenjata, baik itu perang konvensional,
perang non-konvensioanl dan perang modern. Bahkan pada
situasi tertentu, hukum humaniter juga dapat
3 Mengenai hal ini lebih jauh bisa dilihat perbandingan
antara putusan yang dibuat oleh ICJ dalam kasus keterlibatan dan
dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di Nikaragua
dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.
3
diberlakukan dalam kerangka perang yang oleh sebagian
negara disebut sebagai perang melawan terorisme.
Di dalam dunia Islam juga jelas diatur mengenai
hukum humaniter tersebut, Pada sekitar abad 6 hingga 7
Masehi saat dimana Eropa mengalami abad-abad kegelapan,
di bagan lain Bumi, di wilayah yang sering disebut
wilayah Timur, seseorang sedang memperkenalkan inovasi-
inovasi segar dan baru pada umat manusia. Dialah
Muhammad SAW. Sang manifestasi wahyu Tuhan. Salah satu
inovasi besar yang dia perkenalkan pada dunia adalah
tentang hukum humaniter atau etika peperangan yang
telah dipraktekan jauh sebelum adanya hukum humaniter
Internasional dinaskahkan.
Berbicara mengenai hukum humaniter Islam maka kita
juga tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai baginda
Muhammad Rasulullah SAW, sang pembawa kabar gembira,
hakim yang adil, dan panglima perang yang bijaksana.
Adanya etika perang ini adalah berkat hasil
kebijaksanaan beliau yang memperkenalkan perspektif
baru pada manusia dalam mengenal perang. Pada masa itu,
4
masa yang disebut masa kebodohan (jahiliyah), dimana
pergerakan dan pemiikiran masyarakat kehilangan
kesucian, Rasullullah SAW kemudian datang mengajari
mereka bagaimana cara memandang dunia tanpa perlu
meneteskan darah, bagaimana cara berfikir tanpa
merugikan orang lain, bagaimana cara bertindak tanpa
mengurangi rasa hormat kita pada orang lain serta tentu
saja bagaimana menjaga etika dalam peperangan
sekalipun.
Dalam sejarah peperangan di zaman Rasulullah,
peperangan bukanlah misi utama dalam peradaban Islam,
sehingga apa yang sering dibilang orang Barat
bahwasanya Islam adalah agama pedang sama sekali tidak
benar. Karena pada dasarnya perang hanyalah jalan
keluar terakhir apabila jalur diplomasi tidak berhasil.
Selain itu perang juga hanya terjadi apabila pihak
musuh terlebih dahulu mengusik kaum muslimin dan itu
didasarkan pada surah Al-Baqarah (2) ayat 190 yang
artiya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, tetapi jangan melampui batas.
5
Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui
batas.”4 Bila diinterpretasikan secara lebih mendalam,
kaum Muslim saat itu berperang apabila pihak musuh
memantik api peperangan terlebih dahulu dan walaupun
musuh melakukan berbagai strategi perang yang licik
(kaum munafik), Islam sama sekali tidak menghendaki
perbuatan yang melampui batas, dalam artian Islam
mengedepankan etika dalam berperang.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perang
dalam perspektif Islam terikat oleh hukum-hukum langit
yang mutlak menjadi aturan bagi kemanusiaan. Sebisa
mungkin Nabi mengurangi aksi-aksi kekerasan, menekan
biaya dan kerugian seminim mungkin. Tujuannya adalah
semata-mata untuk mempertahankan Islam, mengakhiri
paganisme, menegakkan keadilan dan menangkal kezaliman
yang berlangsung dalam kehidupan jahiliyah.
Rumusan masalah
Terkait penjelasan di atas, maka pemakalah dalam
hal ini menarik sebuah rumusan masalah yaitu, bagaimana
4 Al-qur’an, Surah al-Baqarah.
6
prinsip-prinsip yang ada dalam hukum yang berlaku dan
hukum Islam terkait dengan Humaniter ?, guna mencari
titik temu yang efektif untuk penerapan Hukum Humaniter
Internasional.
B. PEMBAHASAN
Prinsip-prinsip Dasar Hukum Humaniter
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter
adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip
pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara
kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam
pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang
tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran
(penduduk sipil).
Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum
humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu:
1. Prinsip kepentingan militer (military necessity) :
Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa
dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
7
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas
kepentingan militer dalam rangka penggunaan
kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle),
yaitu: “prinsip yang diterapkan untuk membatasi
kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer
dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan
metoda berperang yang digunakan tidak boleh tidak
proporsional (harus proporsional) dengan
keuntungan militer yang diharapkan.5 Dalam kasus
keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap
pemberontak Kontras di Nikaragua dengan putusan
yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip
yang membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara
5 Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict,
International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.
8
berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar
biasa kepada pihak musuh.
2. Prinsip Perikemanusiaan (humanity) : Berdasarkan
prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan
untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering
juga disebut dengan “unnecessary suffering principle”.
3. Prinsip Kesatriaan (chivalry) : Prinsip ini mengandung
arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak
terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang
bersifat khianat dilarang.
4. Prinsip pembedaan : Berdasarkan prinsip ini pada waktu
terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakukan
pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu
pihak dengan “combatant” serta antara objek sipil di
satu pihak dengan objek militer di lain pihak.
Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek
9
militer yang boleh terlibat dalam perang dan
dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling
penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.
Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Islam
Mengenai substansi dari hukum humaniter Islam,
pernah Rasulullah berpesan kepada tentara Usamah ibnu
Zaid ketika akan bertolak ke Syria.”Sebentar! Aku ingin
berpesan kepada kalian sepuluh hal. Berperanglah dengan
nama Allah dan dijalan Allah. Jangan berkhianat,
melanggar janji dan memotong-motong tubuh mayat. Jangan
membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang lanjut
usia. Jangan menebang pohon,serta merusak dan membakar
pohon kurma. Jangan menembelih kibas atau unta kecuali
untuk dimakan. Kalian akan melewati satu kaum yang
menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangilah
orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan
10
orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampui
batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampui batas.”
Sehingga mengenai pesan Rasulullah tersebut dapat
disimpulkan bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter Islam
terdiri dari melindungi anak-anak dan wanita,
menghargai manusia, dilarang berbuat kerusakan,
menjunjung tinggi perjanjian dan menawarkan keamanan
meski pada mereka yang berada diluar kepercayaan Islam.
1. Melindungi Anak-anak, Wanita dan Orang yang Lanjut Usia : Nabi
melarang keras apabila tentara Muslim berkonfrontasi
secara fisik dengan anak-anak, wanita, orang yang
telah lanjut usia dan juga budak. Tatkala mengetahui
bahwa ada wanita yang dibunuh dalam Perang Hunain
dan tahu yang membunuh adalah Khalid ibnu al-Walid,
Nabi langsung mengirim utusan : “Susul Khalid!
Bukankah aku sudah mengatakan padanya, dilarang
membunuh wanita, anak-anak, pesuruh atau budak.”
2. Menghargai Manusia : Nabi sangat menghargai hak-
hakkemanusiaanbahkan kepada mayat sekalipun. Seperti
11
dalam pesan nabi bahwa jangan pernah memotong-motong
tubuh mayat. Sikap seperti ini sungguhh sangat
bertolak belakang dengan kaum Jahiliyah yang ketika
perang pernah seseorang dari Bani Quraisy mengoyak-
ngoyak isi perut salah satu sahabat nbi yang tewas
dalam perang dan setelah itu dipotonglah hidung
dankemaluan sahabat Nabi tersebut.
Prinsip mengenai menghargai manusia telah
diterapkan sejak masa-masa awal peperangan terhadap
korban-korban perang yang gugur baik dari pihak
Muslim maupun musuh. Setelah memenangi perang Badar,
Nabi tidak langsung begitu saja meninggalkan medan
pertempurang sebelum menguburkan tujuh puluh orang
musryik yang gugur. Jasad mereka dikuburkan, tak
dibiarkan menjadi santapan binatang yang tergolek
sia-sia di padang Sahara.
3. Melarang Berbuat Kerusakan : Nabi melarang umat Muslim
untuk menjarah, mencemari kota, merusak, menebang
dan membakar pohon dan lingkungan serta melukai
orang-orang yang tidak bersenjata. Karena Islam
12
merupakan agama keselamatan, sehingga perang
bukanlah tujuan tapi tindakan yang hanya bisa
diambil dalam keadaan yang sangat emergency.
Tentunya kita perlu kembali bercermin pada surah Al-
Baqarah (2) ayat 190, bahwa perang tidak boleh
melampui batas dan telah cukuplah apabila tujuan
perang sendiri tercapai yaitu mengalahkan kezaliman.
Pernah dalam suatu ekspedisi, yaitupenaklukan
Mekkah, Nabi menyuruh patung-patung berhala yang
berdiridi seluruh wilayah Mekkah dihancurkan.
Tentunya disini terdapat pengecualian karena pada
hakekatnya tujuan perang dalm Islam salah satunya
adalah melenyapkan paganisme.
4. Menjunjung Tinggi Perjanjian : Islam sangat mensakralkan
janji, menghargai janji dengan cara yang luhur dan
suci. Hal ini dapat dilihat di QS Al-Maidah : 1, Al-
Nahl : 91, Al-Isra : 34 dan ayat-ayat lainnyayang
berada dalam Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci
seluruh umat manusia mengakui luhur dan sucinya
nilai dari janji sehingga dalam peperangan dan
13
diplomasi yang dibangun senantiasa dijaga integritas
dari komitmen-komitmen yang lahir. Contohnya adalah
ketika juru tulis Nabi mengangkat tanganya usai dia
mensahkan perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim
dan Bani Quraisy, Abu Jandal lalu datang pada Rasul
dengan melompat-lompat karena tangan dan kakinya
tengah terikat. Dia memohon pada Rasul agar
mengijinkannya mengikuti Rasul dan masuk agama
Islam. Rasul kemudian menolak keikutsertaan Abu
Jandal dan mengembalikannya pada kaum Quraisy.
Rasulullah tahu bahwa nantinya Abu Jandal akan
disiksa oleh kaum Quraisy tapi Rasulullah tidak
boleh melanggarjanji yang ditulis dalam perjanjian
Hudaibiyah karena Rasulullah sangant menjaga
komitmen terhadap janji. Tapi biarpun Rasul
mengembalikan Abu Jandal , Rasulullah berpesan bahwa
Abu Jandal harus berserah diri pada Allah karena
Allah pasti menepati janji orang-orang yang
bersabar.
14
5. Menawarkan Keamanan : Nabi menerapkan sistem
keamanan dalam perang, bahkan meskipun perang sedang
berlangusng. Bukan hanya terhadap kaum Muslim saja
bahkan Nabi menyuruh menawarkan keamanan bagi non-
Muslim. Seperti yang diucapkan Nabi dalam pesannya
pada Usamah ibnu Zaid ketik bertolak ke Syria untuk
berperang.Nabi mengatakn apabila melewati kaum yang
sedang menepi di biara-biara, biarkanlah mereka.
Prinsip keamanan ini mencakup apa yang akhir-akhir
ini disebut perlindungan terhadap warga Negara asing
di Negara Islam dengan segala milik mereka,juga
hubungan perdamaian dengan non-Muslim. Salah satu
prinsip penting untuk mengukuhkan perdamaina yang
hasilnya berupa Piagam Madinah yang menyatukan
berbagai agama dalam satu kesepakatan bersama.
Meskipun Yahudi dan kaum munafik kerapkali mencemooh
umat Muslim secara terang-terangan tidak
menggoyahkan keteguhan hati Nabi untuk berhenti
menawarkan keamanan. Allah berfirman: “Dan jika
diantara kaum musyrikin ada yang meminta
15
perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia
dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah
dia ke tempat yang aman baginya.” (Al-Baqarah (2)
ayat 6)
Dari prinsip-prinsip yang pemakalah uraikan di
atas telah jelaslah bahwa Islam senantiasa
mengedapankan moral dan etika dalam peperangn yang
penuh dengan darah serta kerusakan sekalipun. Bahwa
Rasulullah menekankan prinsip-prinsip hukum humaniter
Islam dalam medan pertempuran. Sehingga tertepislah
imej Islam di mata dunia Barat yang memandang Agama
Islam sebagai agama pedang. Sebab untuk berperang saja
umat Muslim harus menggunakan prinsip-prinsip etika
peperangan dan tidak menghendaki perang terlebih dahulu
kecuali dalam keadaan terdesak. Lewat aturan-aturan
moral inilah peradaban Islam di kemudian hari tumbuh
subur dan menyumbang kejayaan serta inovasi baru bagi
dunia.
Perlu kita ketahui sebagai orang awam bahwa hukum
humaniter merupakan genre tersendiri yang cukup kaya
16
untuk ditelaah di bidang ilmu hukum. Dalam pemikiran
ilmuwan Islam di bidang fikih siyasah, seperti Abu Umar
Abd al-Rahman al-Awza’i (lahir 77 H/707 M), Abu Yusuf
(113-182 H/731-798 M), dan Muhammad bin al-Hasan al-
Syaibani (132-189 H/748-804 M), dan Imam al-Syafi’i
(150-204 H/767-820 M) menghasilkan konsep siyar. Menurut
Azra6, konsep tak hanya menyangkut hukum humaniter
terkait konflik dan perang di suatu negara tertentu
maupun di antara beberapa negara, tetapi berbagai
konsep tentang tata relasi antara penguasa dengan
rakyatnya dalam sebuah negara muslim dan hubungan
internasional dan dalam segi tertentu juga diplomasi.
Paradigma yang membangun konsep hukum humaniter
dalam naskah ini berpijak pada pandangan Islam tentang
kemuliaan harkat manusia yang jasmani dan ruhaninya
harus dipelihara dan dilindungi dalam kondisi apa pun.
Konsep ini selaras dengan Konvensi Jenewa 1949 yang
berdasarkan pada pandangan falsafi tentang humanisme
6 Azra, Azyumardi, “Hukum Humaniter”, Republika, 2 Agustus
2012. Hal 12
17
universal. Adapun hukum humaniter internasional Islam
berangkat dari pandangan Islam tentang manusia sebagai
makhluk yang diciptakan Allah untuk dimulyakan oleh
sesama dan negara/penguasa.
Hukum Humaniter Internasional (HHI) Islam berpijak
pada sumber ajaran Islam yang esensi, meliputi pertama,
hidup dan kehidupan dalam Islam adalah memanusiakan
manusia, sebagaimana pesan al-Maidah : 32
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Kedua, konsep dasar Islam eksis di dunia ini
sebagai rahmat bagi alam seisinya, bukan untuk agama
atau etnis tertentu. Pesan tersebut menandaskan bahwa
sesama manusia untuk saling menghormati karena realitas
kehidupan yang nampak adalah keragaman (diversity) yang
tidak dapat selalu diseragamkan (uniformity) sebagai
modal menuju kesatuan dalam keragaman (unity in diversity).
Ketiga, berpijak pada dua sifat hukum Islam yakni
baku (mukhkamat) dan temporal (mutasyabihat). Ke-
18
mukhkamat-an hukum Islam memiliki satu kesatuan
pikiran, rasa, dan perilaku bagi umat dan menjadikannya
umat yang satu (ummatan wahidah). Adapun kemutasyabihat-an
membuka ruang perbedaan berdasarkan ruang, waktu, dan
kondisi masingmasing dengan tetap memperhatikan maksud
syarak. Hukum dalam hal ini bisa berubah menurut
situasi dan kondisi dengan tujuan tercapainya
kemaslahatan hidup manusia.
Tujuan syariah (maqashid syariah) adalah untuk
mencapai kebajikan/kemaslahatan bagi manusia dan
menghindari bahaya serta kerusakan. Menurut Imam Al-
Ghazali, maqashid syariah untuk mencapai kesejahteraan
hidup manusia dengan melindungi agamanya (din), jiwa
(nafs), akal (’aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).
Segala sesuatu yang dapat melindungi lima unsur
kepentingan publik tersebut adalah keharusan. Begitu
pula sebaliknya, bila kelimanya tak terlindungi
merupakan tindak perusakan kehidupan.7
7 Rama, Ali dan Makhlani, “Basis Maqasid Syariah”, Republika,
7 September 2012, hal 4
19
Bila pesan al-Maidah:32, konsep dasar Islam
sebagai rahmat bagi alam seisinya dengan memahami
esensi keragaman (diversity) yang tak dapat selalu
diseragamkan (uniformity) sebagai modal menuju kesatuan
dalam keragaman (unity in diversity), dan terlaksananya
maqashid syariah dalam kehidupan berbangsa dan
antarbangsa karena ketegasan pengauasa, kepiawaian
ulama memberi fatwa, dan kesadaran antarsesama pada
esensinya hukum humaniter internasional berbasis Islam
telah menjadi ruh kehidupan umat manusia. Harapan yang
digapai adalah sebagaimana kehidupan yang dicita-
citakan Islam yakni sejahtera lahir dan batin setiap
manusia.
20
C. PENUTUP
Hukum humaniter barbasis Islam dapat dijadikan
rujukan dan dasar pijakan dalam hukum HHI. Sebab
prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter Islam
sedikit banyak ada kesamaan yang prinsipil dalam
aturannya. Kaidah utama yang menjadi dasar bagi Hukum
Internasional Umum dalam Islam adalah kesatuan
kemanusiaan, kerjasama atas kebaikan, toleransi,
kebebasan berkeyakinan, keadilan dan resiprokal
berbasis moral. Kaidah tersebut bersumber kepada Al
Qur’an dan Sunah serta hukum kebiasaan yang tidak
bertentangan teks agama.
Sehingga ada poin utama dalam Hukum Humaniter
berbasis Islam yang dapat disimpulkan; pertama perang
harus terbatas pada aspek darurat; kedua bila perang
21
meletus, wajib bernapaskan kemanusiaan atau menjunjung
tinggi segala aspek kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an, Kementrian Agama.
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., PengantarHukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
Azra, Azyumardi, “Hukum Humaniter”, Republika, 2 Agustus2012.
Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict,International Committee of the Red Cross, Geneva,1992.
22