Makalah Perpindahan Auditor
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Makalah Perpindahan Auditor
PERPINDAHAN AUDITOR
(AUDITOR SWITCHING)
Auditor switching merupakan perilaku yang
dilakukan oleh perusahaan untuk berpindahan auditor.
Hal itu muncul karena adanya kewajiban rotasi audit.
Berdasarkan bukti teoritis, dengan adanya rotasi
auditor mengakibatkan masa perikatan audit (audit
tenure) yang lebih pendek dan perusahaan akan melakukan
perpindahan auditor (Nasser et al, 2006).
Pergantian auditor secara wajib dengan secara
sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang
menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Jika
pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka
perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya,
jika pergantian terjadi secara wajib, perhatian utama
beralih kepada auditor.
Ketika klien mengganti auditornya ketika tidak ada
aturan yang mengharuskan pergantian dilakukan, yang
terjadi adalah salah satu dari dua hal: auditor
mengundurkan diri atau auditor dipecat oleh klien.
Manapun di antara keduanya yang terjadi, perhatian
adalah pada alasan mengapa peristiwa itu terjadi dan ke
mana klien tersebut akan berpindah. Jika alasan
pergantian tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas
praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien
akan pindah ke auditor yang dengan mereka klien akan
bersepakat. Jadi, fokus perhatian peneliti adalah pada
klien.
Sebaliknya, ketika pergantian auditor terjadi
karena peraturan yang membatasi tenure, maka perhatian
utama beralih kepada auditor pengganti, tidak lagi
kepada klien. Berbeda dengan pergantian sukarela yang
bisa terjadi karena pertengkaran antara klien dengan
auditor, pada pergantian secara wajib yang terjadi
adalah pemisahan paksa oleh peraturan. Ketika klien
mencari auditor yang baru, maka pada saat itu informasi
yang dimiliki oleh klien lebih besar dibandingkan
dengan informasi yang dimiliki auditor.
Ketidaksimetrisan informasi ini logis karena klien
pasti memilih auditor yang kemungkinan besar akan lebih
mudah untuk sepakat tentang praktik akuntansi mereka.
Sementara itu, auditor bisa jadi tidak memiliki
informasi yang lengkap tentang kliennya. Jika kemudian
auditor bersedia menerima klien baru, maka hal ini bisa
terjadi karena auditor telah memiliki informasi yang
cukup tentang klien baru itu atau auditor melakukannya
untuk alasan lain, misalnya alasan finansial. Jadi
jelas bahwa pada pergantian sukarela, perhatian bukan
pada alasan mengapa klien mengganti auditor, melainkan
pada alasan mengapa auditor bersedia menerima klien
baru.
Pergantian sukarela dan pergantian wajib
Isu pergantian auditor secara sukarela atau secara
wajib adalah isu yang belum usai diperdebatkan di
kalangan praktisi pengauditan dan sebagian akademisi di
satu sisi dan regulator dan sebagian akademisi lain di
sisi yang lain. Perdebatan ini sebenarnya berawal dari
ide bahwa auditor harus mempertahankan independensi
dalam penugasan. Di satu sisi, wajar jika independensi
auditor diragukan jika ia memiliki tenure yang makin
panjang pada satu klien. Walaupun ia bertugas atas nama
pemegang saham, auditor bagaimanapun juga dipilih dan
digaji oleh manajemen klien. Ketika hubungan tersebut
makin panjang, maka dependensi finansial auditor
terhadap klien akan makin besar juga. Semakin tinggi
dependensi finansial ini, maka dikhawatirkan
independensi auditor akan makin turun. Logika ini yang
mendorong regulator untuk melarang auditor memiliki
hubungan yang panjang dengan klien.
Di sisi lain, kalangan praktisi dan sebagian
akademisi tidak setuju dengan pendapat tersebut. Fakta
bahwa ada masalah dependensi yang serius antara Enron
dengan Andersen tidak bisa mengeneralisasi bahwa
masalah yang sama terjadi juga di perusahaan yang lain.
DeFond dan Francis (2xxx) menyatakan bahwa kegagalan
audit sebenarnya mendekati nol. Profesi pengauditan
tidak mendukung kebijakan ini karena setiap kali mereka
harus mengaudit klien yang baru ada dua biaya yang
harus mereka tanggung: biaya untuk mempelajari bisnis
klien dan biaya litigasi. Kedua biaya ini bisa
berhubungan: jika auditor gagal mempelajari bisnis
klien maka ada kemungkinan bahwa klien akan berbuat
curang dan auditor tidak bisa menemukan kecurangan
tersebut; jika kecurangan tersebut kemudian membawa
dampak yang buruk kepada pengguna laporan keuangan,
maka auditor harus menanggung biaya litigasi atas
opininya tersebut karena laporan keuangan manajemen
harus dipandang sebagai pelaporan bersama antara
auditor dengan manajemen klien (Kinney, 1xxx).
Menurut Nagy (2xxx), penjelasan alasan kepindahan
klien dari satu auditor dan alasan kesediaan auditor
menerima klien baru berhubungan dengan alasan
pergantian tersebut. Pada lingkungan yang tidak
membatasi pergantian auditor, pergantian terjadi karena
beberapa alasan. Klien bisa memecat auditornya karena
ketidaksepakatan dengan auditor terkait tentang isu
praktik akuntansi tertentu. Oleh karena itu diprediksi
klien akan mencari auditor yang akan bersepakat dengan
praktik akuntansi yang mereka usulkan. Klien yang
memecat auditor akan cenderung mencari jasa audit dari
auditor yang berukuran yang lebih kecil karena auditor
kecil ini diekspektasi tidak terlalu “menuntut”
dibandingkan dengan auditor pendahulu (Bockus dan
Gigler, 1xxx).
Auditor sendiri bisa mengundurkan diri dari
penugasan. Bockus dan Gigler (1xxx) menyimpulkan bahwa
auditor lebih suka mengundurkan diri jika risiko yang
mereka hadapi dari mengaudit satu klien membesar.
Risiko tersebut bisa muncul karena, misalnya,
ketidaksepakatan atas satu estimat akuntansi. Antle dan
Nalebuff (1xxx) dan Dye (1xxx) menyimpulkan bahwa
usulan auditor hanya akan diterima klien jika estimat
auditor dekat dengan estimat klien. Jika tidak ada
kesepakatan tentang estimat yang diperdebatkan, maka
auditor akan dipecat atau mengundurkan diri (Dye,
1xxx).
Sebaliknya, pergantian auditor yang dilakukan
secara wajib dilakukan bukan karena alasan
ketidaksepakatan praktik seperti pada lingkungan
pergantian secara sukarela di atas. Pergantian auditor
secara wajib semata-mata dilakukan atas dasar
peraturan. Salah satu negara di dunia yang
memberlakukan peraturan ini adalah Indonesia. Aturan
pergantian wajib ini diberlakukan sejak tahun 2003,
menindaklanjuti kasus Enron/Andersen dan pemberlakuan
SOX.
Berbeda dengan auditor yang lalu yang mungkin
telah memahami aspek bisnis klien, auditor yang baru
bisa jadi sama-sekali buta tentang bisnis klien. Mereka
mungkin juga sama-sekali tidak mengetahui reputasi
klien mereka di masa lalu sehubungan dengan pelaporan
keuangan. Faktor ini yang kemudian mendorong auditor
untuk bersikap lebih skeptis terhadap klien yang baru.
Perbedaan pergantian auditor di SOX dan Keputusan
Menteri Keuangan RI
Rotasi atau pergantian wajib atas kantor akuntan
yang memberikan jasa audit kepada klien sebenarnya
tidak pernah diatur di AS. Walaupun publik dan
pemerintah AS tetap memiliki keinginan untuk mengatur
rotasi tersebut. Upaya tersebut tergambar dari
pembentukan Metcalf Subcommittee tahun 1978 oleh Senat
AS dan Cohen Commission tahun 1978 oleh AICPA. Tahun
1999 Akuntan Kepala SEC mengirim surat kepada American
Accounting Association untuk melakukan penelitian
sehubungan dengan masalah perputaran wajib tersebut
(Dopuch, King, dan Schwartz, 2xxx). Upaya yang paling
baru adalah melalui SOX pada tahun 2002. Namun,
sebenarnya pemerintah AS akhirnya tidak pernah mengatur
rotasi tersebut, bahkan hingga di SOX. Justru yang
diatur di dalam SOX hanyalah rotasi partner audit. Di
seksi 203 dari SOX dinyatakan bahwa, It should be
unlawful for a registered public accounting to provide
audit services to an issuer if the lead (or
coordinating) audit partner, or the audit partner
responsible for reviewing the audit, has performed
audit services for that issuer in each of the 5
previous years of that issuer.
Dengan demikian, sebuah kantor akuntan publik
hanya boleh menugaskan satu orang partner untuk
memimpin audit di satu klien yang sama selama lima
tahun berturut-turut. Aturan ini juga menyiratkan bahwa
perusahaan tidak perlu mengganti kantor akuntan mereka
karena alasan peraturan ini.
Walau demikian, bukan berarti bahwa regulator
tidak tertarik lagi dengan ide untuk mewajibkan rotasi.
Buktinya, SOX memberi mandat kepada US Comptroller
General untuk melaksanakan satu studi dan mengkaji efek
potensial dari pewajiban rotasi wajib atas kantor
akuntan publik (seksi 207 SOX). Yang dimaksud sebagai
rotasi wajib adalah pemberlakuan batasan perioda tahun
sebuah kantor akuntan publik boleh mengaudit satu klien
yang sama. Laporan General Accounting Office yang
diminta oleh Kongres untuk meneliti masalah tersebut
menyimpulkan beberapa hal. Pertama, rotasi wajib atas
kantor akuntan bukanlah cara yang paling efisien untuk
memperkuat independensi auditor dan meningkatkan
kualitas audit. Manfaat potensial dari rotasi wajib
tersebut sukar untuk diprediksi dan dihitung. Kedua,
GAO menyarankan agar pemerintah AS melakukan observasi
selama beberapa tahun sebelum efek dari SOX bisa
dinilai. Hal yang lebih penting dilakukan oleh
pemerintah adalah mengevaluasi keefektifan aturan-
aturan yang ada dalam peningkatan independensi dan
kualitas audit. Ketiga, pemerintah harus mendorong
peran komite audit untuk menjamin independensi auditor
dan untuk tujuan itu, komite audit harus mempertahankan
independensi dan memiliki sumberdaya yang memadai.
Simpulan yang bisa penulis tarik adalah, pertama,
hingga sekarang AS hanya mewajibkan rotasi atas partner
audit setelah ia menjadi pemimpin penugasan selama lima
tahun pada satu klien. Kedua, isu tentang rotasi kantor
akuntan publik masih isu yang belum selesai. Pemerintah
tetap kukuh ingin memberlakukan peraturan tersebut.
Perdebatan masih terus berjalan dan ide pemerintah
terus ditentang. Pemerintah dituduh ingin mengambil-
alih hak profesi untuk mengatur diri sendiri (lihat
DeFond dan Francis, 2xxx untuk diskusi mendalam tentang
penolakan ini). Ketiga, keraguan pemerintah AS untuk
menerapkan aturan perotasian wajib tersebut terkendala
dari ketiadaan riset yang bisa digunakan untuk melihat
dampak dari rotasi kantor akuntan terhadap kualitas
audit. Riset yang dilakukan oleh Nagy (2xxx) terhadap
eks-klien Andersen tidak bisa dengan baik menggambarkan
dampak dari pergantian auditor wajib tersebut terhadap
kualitas audit. Bahkan riset ini tidak bisa dilihat
sebagai sebuah upaya yang tepat meneliti tentang
masalah perputaran wajib kantor akuntan. Indonesia
adalah salah satu negara yang mewajibkan pergantian
kantor akuntan dan partner audit diberlakukan secara
periodik. Peraturan tentang pergantian ini sudah muncul
pada tahun 2002 dalam bentuk keputusan Menteri
Keuangan. Di dalam pasal 6 ayat 4 Keputusan Menteri
Keuangan no. 423 tahun 2002 tersebut dikatakan bahwa:
Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan
dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama
untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh
seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun
buku berturut-turut.
Implikasi dari peraturan-peraturan tersebut ada
beberapa terhadap riset di bidang pengauditan. Pertama,
peraturan tersebut memberi ruang bagi riset tentang
perputaran akuntan dan perputaran akuntan publik secara
wajib. Ketiadaan peraturan di AS adalah salah satu
penghambat yang diakui oleh para peneliti untuk
menentukan apakah perputaran wajib akan bisa
meningkatkan kualitas audit. Dopuch et al. (2xxx)
menyatakan bahwa perdebatan tentang biaya dan manfaat
dari regulasi atas perputaran wajib ini membutuhkan
riset yang ekstensif—sesuatu yang belum bisa dilakukan
di AS.
Kedua, karena tahun 2003 adalah tahun terakhir
bagi auditor yang telah mengaudit satu klien hingga
batas waktu yang ditentukan sebelum berpindah, maka
sejak tahun 2004 pergantian auditor telah terjadi. Oleh
karena itu, dengan syarat bahwa sampel memang memadai
agar sebuah pengujian bisa dilakukan, riset tentang
perputaran wajib telah bisa dilakukan. Perputaran
auditor yang lebih besar kemungkinan terjadi setelah
audit tahun buku 2006 dengan asumsi bahwa masa
penugasan awal terjadi di tahun 2002.
Ketiga, peraturan menteri di tahun 2008 tersebut
membuka peluang klien untuk kembali kepada auditor lama
mereka setelah menjalani penyapihan selama satu tahun.
Banyak pertanyaan yang timbul dari lubang sehubungan
dengan penyapihan satu tahun ini. Di antara mereka
adalah: apakah memang benar-benar terjadi pergantian
auditor pada satu tahun tersebut? Apakah tidak mungkin
bahwa klien hanya dititip kepada auditor lain sebelum
kemudian dikembalikan oleh auditor pengganti tersebut
pada tahun berikutnya? Pertanyaan yang lebih penting:
Apakah tujuan dari perputaran wajib tersebut bisa
dicapai dengan aturan tersebut jika klien boleh kembali
lagi berhubungan auditornya setelah satu tahun buku?
Lebih spesifik lagi, apakah kualitas laporan keuangan
klien lebih tinggi jika ia diaudit oleh auditor
pengganti? Jika memang lebih tinggi, apakah kualitasnya
akan tetap lebih tinggi jika kemudian ia kembali ke
auditornya yang lama? Mengapa tidak mengharuskan klien
tetap diaudit oleh satu auditor selama masa tertentu
sebelum membolehkan perusahaan diaudit oleh kantor
akuntan yang lain? Perioda pengauditan yang pendek
(satu tahun) justru bisa membuat auditor tidak bisa
bersikap independen (Dopuch et al., 2xxx) karena mereka
harus menutupi biaya audit sehubungan dengan penugasan
yang baru tersebut. Sehingga, lepas dari hasil
penelitian Dopuch et al. (2001) tersebut, berapa lama
retensi atas auditor seharusnya dilakukan agar
independensi auditor tidak rusak? Jika auditor harus
diganti setelah enam tahun berturut-turut, mengapa
tidak regulator di Indonesia tidak mengharuskan klien
untuk mempertahankan auditor selama masa yang mereka
yakini independensi akan tetap bisa dipertahankan?
Dopuch et al. (2xxx) menemukan bukti bahwa jika
kewajiban rotasi dan retensi sama-sama ada, maka
auditor akan kehilangan insentif yang besar untuk
menerbitkan laporan yang bias. Bias ini jauh lebih
besar dibandingkan jika regulator sama sekali tidak
mengatur masalah retensi dan/atau rotasi.
Isu tentang independensi dengan pergantian kantor
akuntan publik dan auditor
Jawaban atas pertanyaan apakah independensi
auditor akan lebih terjaga ketika hubungan mereka
dengan klien dibatasi atau tidak hanya bisa dilakukan
jika ada perbandingan perbedaan perilaku auditor pada
kedua suasana tersebut. Perilaku auditor diduga tidak
akan sama pada aturan rotasi yang berbeda, terutama
jika ada aturan rotasi atau tidak ada aturan rotasi.
Ketiadaan aturan rotasi akan memberi insentif kepada
auditor untuk selama mungkin mempertahankan hubungannya
dengan klien, walaupun mungkin tindakan tersebut
mencederai independensi mereka. Sehingga adanya aturan
rotasi yang membatasi masa tugas auditor akan
ketergantungan auditor terhadap klien menjadi terbatas
dan kemungkinan pelanggaran independensi akan
berkurang. Untuk membuktikan klaim tersebut, dibutuhkan
sebuah riset yang meneliti kedua rezim tersebut dalam
kondisi yang sebanding.
Di antara banyak artikel yang mempertanyakan
validitas klaim pendukung ide perputaran wajib kantor
akuntan, Dopuch et al. (2xxx) adalah satu dari sedikit
artikel yang mendukung klaim tersebut. Secara spesifik,
mereka menginvestigasi bagaimana regulasi tentang
rotasi dan retensi kantor auditor bisa meningkatkan
independensi auditor. Mereka melakukan eksperimen
dengan empat rezim: rezim tanpa ada aturan rotasi dan
retensi sehingga auditor bisa dipecat kapan saja atau
diretensi selama disukai; rezim dengan keharusan
meretensi auditor setelah tiga perioda melaksanakan
tugas tapi tanpa ada keharusan untuk merotasi; rezim
dengan keharusan merotasi auditor setelah empat perioda
melaksanakan tugas tapi tanpa keharusan meretensi; dan
rezim dengan keharusan untuk merotasi setelah empat
perioda dan meretensi selama tiga perioda.
Di dalam eksperimen tersebut, subyek-auditor
diminta untuk memberikan opini atas hasil audit mereka
terhadap laporan investasi subyek-manajer. Realisasi
investasi auditor terbagi menjadi dua: tinggi dan
rendah. Opini auditor atas investasi tersebut terbagi
menjadi dua juga: memberikan opini yang menguntungkan
manajer (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi
baik ketika sebaliknya) dan memberikan opini yang apa
adanya (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi
buruk ketika memang buruk dan memberikan opini bahwa
hasil investasi baik ketika memang baik).
Dopuch et al. (2xxx) berekspektasi bahwa auditor
akan memberikan opini bahwa hasil investasi memiliki
nilai yang lebih tinggi relatif terhadap capaian
sesungguhnya pada perioda ketika manajer boleh memecat
mereka. Dopuch et al. (2xxx) membandingkan rasio antara
sinyal investasi yang buruk namun dilaporkan sebaliknya
oleh auditor dengan jumlah sinyal investasi yang buruk
di masing-masing dari keempat rezim di atas. Rasio ini
adalah frekuensi laporan auditor yang bersifat
menguntungkan manajer (favorable) dan dibandingkan
kemudian dengan probabilitas posterior yang ditetapkan
oleh peneliti.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa frekuensi
pelaporan laporan yang menguntungkan manajer paling
besar pada rezim ketika aturan tentang rotasi dan
retensi tidak ada. Frekuensi yang lebih kecil
ditunjukkan, berturut-turut, oleh rezim di mana retensi
diwajibkan, rezim di mana rotasi diwajibkan, dan, yang
paling kecil, rezim di mana rotasi dan retensi
diwajibkan. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa auditor
lebih sering memberikan opini bahwa investasi manajer
(klien) menguntungkan daripada fakta sebenarnya jika
rotasi maupun retensi atas masa tugas auditor tidak
diatur; sebaliknya, auditor paling jarang memberikan
opini tersebut jika rotasi dan retensi atas masa tugas
mereka diatur.
Dari hasil pengujian kita bisa menyimpulkan bahwa
jika tujuan pembuat kebijakan adalah untuk mengurangi
dampak perusakan independensi dari rente (rents)
kontinjen, sementara strategi pelaporan yang bebas bias
tetap dipertahankan, maka tujuan tersebut bisa dicapai
melalui pemberlakuan kewajiban rotasi. Kewajiban
perotasian secara sendiri akan menghasilkan bias
independensi yang cukup rendah. Bias independensi yang
paling rendah adalah jika kewajiban perotasian dan
peretensian diberlakukan secara bersamaan. Pada rezim
ini auditor paling konservatif terkait dengan opininya.
Penyebab Terjadinya Pergantian Auditor
Pengaruh Ukuran KAP terhadap Auditor Switching
Perusahaan akan mencari KAP yang
kredibilitasnya tinggi untuk meningkatkan
kredibilitas laporan keuangan di mata pemakai
laporan keuangan itu (Halim, 1997 dalam Damayanti
dan Sudarma, 2007). Expertise KAP merupakan salah
satu atribut dalam servis KAP besar (Mardiyah,
2002). Adanya faktor expertise itu akan menentukan
perubahan auditor oleh perusahaan sehingga
perusahaan lebih memilih KAP besar. Eichenseher
dan Shields dalam Kartika (2006) mengemukakan
fenomena bahwa persepsi expensive/mahalnya kantor
akuntan akan menentukan kesuksesan klien.
Telah diusulkan dalam literatur bahwa KAP
yang lebih besar (Big 4) biasanya dianggap lebih
mampu mempertahankan tingkat independensi yang
memadai daripada rekan-rekan mereka yang lebih
kecil karena mereka biasanya menyediakan berbagai
layanan untukklien dalam jumlah yang besar,
sehingga mengurangi ketergantungan mereka pada
klien tertentu (Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund,
1990 dalam Nasser et al., 2006). Selain itu, KAP
yang lebih besar umumnya dianggap sebagai penyedia
kualitas audit yang tinggi dan menikmati reputasi
tinggi dalam lingkungan bisnis dan karena itu,
akan berusaha untuk mempertahankan independensi
mereka untuk menjaga image mereka (DeAngelo, 1981;
Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund, 1990 dalam
Nasser et al., 2006).
Terlebih lagi, KAP yang lebih besar juga
dianggap lebih independen daripada rekan-rekan
mereka yang lebih kecil dalam menahan tekanan
manajemen pada saat terjadi perselisihan ketika
mereka biasanya memiliki lebih banyak klien dan
mampu untuk menyerahkan sebagian dari klien mereka
yang lebih sulit (Chow dan Rice, 1982).
Pengaruh Ukuran Klien terhadap Auditor Switching
Selain efek kemungkinan jenis KAP pada
panjangnya audit tenure, pilihan perusahaan audit
dapat dikaitkan dengan ukuran auditeedan jenis
layanan yang diperlukan. Auditee yang lebih besar,
karena kompleksitas operasi mereka dan peningkatan
pemisahan antara manajemen dan kepemilikan, sangat
memerlukan KAP yang dapat mengurangi agency cost
(Watts dan Zimmerman, 1986 dalam Nasser et al.,
2006) dan ancaman kepentingan pribadi auditor
(Hudaib dan Cooke, 2005). Selain itu, sebagai
ukuran peningkatan perusahaan, kemungkinan bahwa
jumlah konflik agensi juga meningkat dan ini
mungkin akan meningkatkan permintaan untuk
membedakan kualitas auditor (Palmrose, 1984dalam
Nasser et al., 2006).
Berdasarkan argumen di atas, audit tenure
pada klien besar lebih panjang daripada klien yang
lebih kecil. Dengan kata lain, kecenderungan untuk
beralih auditor lebih rendah untuk klien besar
daripada rekan-rekan mereka yang lebih kecil.
Pengaruh Tingkat Pertumbuhan Klien terhadap
Auditor Switching
Ketika bisnis terus tumbuh, permintaan
terhadap KAP yang dapat mengurangi agency cost dan
untuk menyediakan layanan non-audit diperlukan
untuk perluasan peningkatan perusahaan. Oleh
karena itu, bisnis berkembang diharapkan lebih
cenderung mempertahankan KAP mereka daripada
rekan-rekan mereka dengan pertumbuhan yang lebih
rendah. Sinason et al. (2001) meneliti16.976
perusahaan COMPUSTAT di US selama periode 20 tahun
dan menemukan bahwa audit tenure secara signifikan
dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan klien.
Karena literatur menunjukkan bahwa audit
tenure dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan klien,
dihipotesiskan audit tenure pada klien dengan
pertumbuhan tinggi di Indonesia lebih panjang
daripada klien dengan pertumbuhan rendah. Dengan
kata lain, klien dengan pertumbuhan yang tinggi
cenderung tidak beralih auditor.
Pengaruh Financial Distress terhadap Auditor
Switching
Ada dorongan yang kuat untuk berpindah
auditor pada perusahaan yang terancam bangkrut.
Kesulitan keuangan signifikan mempengaruhi
perusahaan yang terancam bangkrut untuk berpindah
KAP (Schwartz dan Menon, 1985). Selain itu,
Schwartz dan Soo (1995) dalam Damayanti dan
Sudarma (2007) menyatakan bahwa perusahaan yang
bangkrut lebih sering berpindah auditor daripada
perusahaan yang tidak bangkrut.
Posisi keuangan auditee mungkin memiliki
implikasi penting pada keputusan mempertahankan
KAP. Kondisi perusahaan klien yang terancam
bangkrut cenderung meningkatkan evaluasi
subjektivitas dan kehati-hatian auditor. Dalam
kondisi seperti ini suatu perusahaan akan
cenderung melakukan auditor switching.
Auditor switchingjuga bisa disebabkan karena
perusahaan sudah tidak lagi memiliki kemampuan
untuk membayar biaya audit yang dibebankan oleh
KAP yang diakibatkan penurunan kemampuan keuangan
perusahaan. Klien dengan tekanan finansial
cenderung untuk menggantikan KAP mereka
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih
sehat (Schwartz dan Menon, 1985; Hudaib dan Cooke,
2005). Dengan demikian, auditor pada distressed
clients memiliki audit tenure yang lebih pendek
dibandingkan dengan rekan-rekan audit mereka pada
klien yang lebih sehat dan pada gilirannya akan
cenderung diganti.
Pengaruh Pergantian Manajemen terhadap Auditor
Switching
Pergantian manajemen perusahaan dapat diikuti
oleh perubahan kebijakan dalam bidang akuntansi,
keuangan, dan pemilihan KAP. Perusahaan akan
mencari KAP yang selaras dengan kebijakan dan
pelaporan akuntansinya (Nagy, 2005 dalam Damayanti
dan Sudarma, 2007). Manajemen memerlukan auditor
yang lebih berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan
pertumbuhan perusahaan yang cepat. Jika hal ini
tidak terpenuhi, kemungkinan besar perusahaan akan
mengganti auditornya (Joher et al., 2000 dalam
Damayanti dan Sudarma, 2007).
Pengaruh Opini Audit terhadap Auditor Switching
Jika auditor tidak dapat memberikan opini
wajar tanpa pengecualian (tidak dengan harapan
perusahaan), perusahaan akan berpindah KAP yang
mungkin dapat memberikan opini sesuai dengan yang
diharapkan perusahaan (Tandirerung, 2006 dalam
Damayanti dan Sudarma, 2007). Manajemen akan
memberhentikan auditornya atas opini yang tidak
diharapkan perusahaan atas laporan keuangannya dan
berharap untuk mendapatkan auditor yang lebih
lunak/more pliable (Carcello dan Neal, 2003 dalam
Damayanti dan Sudarma, 2007). Chow dan Rice (1982)
mendapatkan bukti empiris bahwa perusahaan
cenderung berpindah KAP setelah menerima qualified
opinion atas laporan keuangannya.
Pengaruh Fee Audit terhadap Auditor Switching
Krishnan dan Ye (2005) dalam Damayanti dan
Sudarma (2007) menyatakan bahwa penunjukan KAP
oleh perusahaan, yang diwakili oleh pemegang
saham, berhubungan dengan total fees yang mereka
bayarkan. Dorongan untuk berpindah KAP dapat
disebabkan oleh fee audit yang relatif tinggi yang
ditawarkan oleh suatu KAP pada perusahaan sehingga
tidak ada kesepakatan antara perusahaan dengan KAP
tentang besarnya fee audit dan dapat mendorong
perusahaanuntuk berpindah kepada KAP yanglain
(Schwartz dan Menon, 1985).
DAFTAR PUSTAKA
http://rfebrianto.blogspot.com/2009/05/pergantian-
auditor-dan-kantor-akuntan.html
Wijayanti, Martina Putri. 2010. ANALISIS HUBUNGAN
AUDITOR-KLIEN: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIAUDITOR
SWITCHING DI INDONESIA: Skripsi
TUGAS
MATA KULIAH
SEMINAR PEMERIKSAAN AKUNTAN
(Auditor Switching)
OLEH :
KELOMPOK 6
NURMIN
MUH. ASRIADI
ALIMUDDIN
INAYAH ABDILAH RABBANI
WAHYUNI LESTARI
B1C1 11 041
B1C1 11 137
B1C1 11 145
B1C1 11 169
B1C1 11 202
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO