Makalah Perpindahan Auditor

23
PERPINDAHAN AUDITOR (AUDITOR SWITCHING) Auditor switching merupakan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan untuk berpindahan auditor. Hal itu muncul karena adanya kewajiban rotasi audit. Berdasarkan bukti teoritis, dengan adanya rotasi auditor mengakibatkan masa perikatan audit (audit tenure) yang lebih pendek dan perusahaan akan melakukan perpindahan auditor (Nasser et al, 2006). Pergantian auditor secara wajib dengan secara sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Jika pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya, jika pergantian terjadi secara wajib, perhatian utama beralih kepada auditor. Ketika klien mengganti auditornya ketika tidak ada aturan yang mengharuskan pergantian dilakukan, yang terjadi adalah salah satu dari dua hal: auditor mengundurkan diri atau auditor dipecat oleh klien. Manapun di antara keduanya yang terjadi, perhatian adalah pada alasan mengapa peristiwa itu terjadi dan ke mana klien tersebut akan berpindah. Jika alasan pergantian tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas

Transcript of Makalah Perpindahan Auditor

PERPINDAHAN AUDITOR

(AUDITOR SWITCHING)

Auditor switching merupakan perilaku yang

dilakukan oleh perusahaan untuk berpindahan auditor.

Hal itu muncul karena adanya kewajiban rotasi audit.

Berdasarkan bukti teoritis, dengan adanya rotasi

auditor mengakibatkan masa perikatan audit (audit

tenure) yang lebih pendek dan perusahaan akan melakukan

perpindahan auditor (Nasser et al, 2006).

Pergantian auditor secara wajib dengan secara

sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang

menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Jika

pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka

perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya,

jika pergantian terjadi secara wajib, perhatian utama

beralih kepada auditor.

Ketika klien mengganti auditornya ketika tidak ada

aturan yang mengharuskan pergantian dilakukan, yang

terjadi adalah salah satu dari dua hal: auditor

mengundurkan diri atau auditor dipecat oleh klien.

Manapun di antara keduanya yang terjadi, perhatian

adalah pada alasan mengapa peristiwa itu terjadi dan ke

mana klien tersebut akan berpindah. Jika alasan

pergantian tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas

praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien

akan pindah ke auditor yang dengan mereka klien akan

bersepakat. Jadi, fokus perhatian peneliti adalah pada

klien.

Sebaliknya, ketika pergantian auditor terjadi

karena peraturan yang membatasi tenure, maka perhatian

utama beralih kepada auditor pengganti, tidak lagi

kepada klien. Berbeda dengan pergantian sukarela yang

bisa terjadi karena pertengkaran antara klien dengan

auditor, pada pergantian secara wajib yang terjadi

adalah pemisahan paksa oleh peraturan. Ketika klien

mencari auditor yang baru, maka pada saat itu informasi

yang dimiliki oleh klien lebih besar dibandingkan

dengan informasi yang dimiliki auditor.

Ketidaksimetrisan informasi ini logis karena klien

pasti memilih auditor yang kemungkinan besar akan lebih

mudah untuk sepakat tentang praktik akuntansi mereka.

Sementara itu, auditor bisa jadi tidak memiliki

informasi yang lengkap tentang kliennya. Jika kemudian

auditor bersedia menerima klien baru, maka hal ini bisa

terjadi karena auditor telah memiliki informasi yang

cukup tentang klien baru itu atau auditor melakukannya

untuk alasan lain, misalnya alasan finansial. Jadi

jelas bahwa pada pergantian sukarela, perhatian bukan

pada alasan mengapa klien mengganti auditor, melainkan

pada alasan mengapa auditor bersedia menerima klien

baru.

Pergantian sukarela dan pergantian wajib

Isu pergantian auditor secara sukarela atau secara

wajib adalah isu yang belum usai diperdebatkan di

kalangan praktisi pengauditan dan sebagian akademisi di

satu sisi dan regulator dan sebagian akademisi lain di

sisi yang lain. Perdebatan ini sebenarnya berawal dari

ide bahwa auditor harus mempertahankan independensi

dalam penugasan. Di satu sisi, wajar jika independensi

auditor diragukan jika ia memiliki tenure yang makin

panjang pada satu klien. Walaupun ia bertugas atas nama

pemegang saham, auditor bagaimanapun juga dipilih dan

digaji oleh manajemen klien. Ketika hubungan tersebut

makin panjang, maka dependensi finansial auditor

terhadap klien akan makin besar juga. Semakin tinggi

dependensi finansial ini, maka dikhawatirkan

independensi auditor akan makin turun. Logika ini yang

mendorong regulator untuk melarang auditor memiliki

hubungan yang panjang dengan klien.

Di sisi lain, kalangan praktisi dan sebagian

akademisi tidak setuju dengan pendapat tersebut. Fakta

bahwa ada masalah dependensi yang serius antara Enron

dengan Andersen tidak bisa mengeneralisasi bahwa

masalah yang sama terjadi juga di perusahaan yang lain.

DeFond dan Francis (2xxx) menyatakan bahwa kegagalan

audit sebenarnya mendekati nol. Profesi pengauditan

tidak mendukung kebijakan ini karena setiap kali mereka

harus mengaudit klien yang baru ada dua biaya yang

harus mereka tanggung: biaya untuk mempelajari bisnis

klien dan biaya litigasi. Kedua biaya ini bisa

berhubungan: jika auditor gagal mempelajari bisnis

klien maka ada kemungkinan bahwa klien akan berbuat

curang dan auditor tidak bisa menemukan kecurangan

tersebut; jika kecurangan tersebut kemudian membawa

dampak yang buruk kepada pengguna laporan keuangan,

maka auditor harus menanggung biaya litigasi atas

opininya tersebut karena laporan keuangan manajemen

harus dipandang sebagai pelaporan bersama antara

auditor dengan manajemen klien (Kinney, 1xxx).

Menurut Nagy (2xxx), penjelasan alasan kepindahan

klien dari satu auditor dan alasan kesediaan auditor

menerima klien baru berhubungan dengan alasan

pergantian tersebut. Pada lingkungan yang tidak

membatasi pergantian auditor, pergantian terjadi karena

beberapa alasan. Klien bisa memecat auditornya karena

ketidaksepakatan dengan auditor terkait tentang isu

praktik akuntansi tertentu. Oleh karena itu diprediksi

klien akan mencari auditor yang akan bersepakat dengan

praktik akuntansi yang mereka usulkan. Klien yang

memecat auditor akan cenderung mencari jasa audit dari

auditor yang berukuran yang lebih kecil karena auditor

kecil ini diekspektasi tidak terlalu “menuntut”

dibandingkan dengan auditor pendahulu (Bockus dan

Gigler, 1xxx).

Auditor sendiri bisa mengundurkan diri dari

penugasan. Bockus dan Gigler (1xxx) menyimpulkan bahwa

auditor lebih suka mengundurkan diri jika risiko yang

mereka hadapi dari mengaudit satu klien membesar.

Risiko tersebut bisa muncul karena, misalnya,

ketidaksepakatan atas satu estimat akuntansi. Antle dan

Nalebuff (1xxx) dan Dye (1xxx) menyimpulkan bahwa

usulan auditor hanya akan diterima klien jika estimat

auditor dekat dengan estimat klien. Jika tidak ada

kesepakatan tentang estimat yang diperdebatkan, maka

auditor akan dipecat atau mengundurkan diri (Dye,

1xxx).

Sebaliknya, pergantian auditor yang dilakukan

secara wajib dilakukan bukan karena alasan

ketidaksepakatan praktik seperti pada lingkungan

pergantian secara sukarela di atas. Pergantian auditor

secara wajib semata-mata dilakukan atas dasar

peraturan. Salah satu negara di dunia yang

memberlakukan peraturan ini adalah Indonesia. Aturan

pergantian wajib ini diberlakukan sejak tahun 2003,

menindaklanjuti kasus Enron/Andersen dan pemberlakuan

SOX.

Berbeda dengan auditor yang lalu yang mungkin

telah memahami aspek bisnis klien, auditor yang baru

bisa jadi sama-sekali buta tentang bisnis klien. Mereka

mungkin juga sama-sekali tidak mengetahui reputasi

klien mereka di masa lalu sehubungan dengan pelaporan

keuangan. Faktor ini yang kemudian mendorong auditor

untuk bersikap lebih skeptis terhadap klien yang baru.

Perbedaan pergantian auditor di SOX dan Keputusan

Menteri Keuangan RI

Rotasi atau pergantian wajib atas kantor akuntan

yang memberikan jasa audit kepada klien sebenarnya

tidak pernah diatur di AS. Walaupun publik dan

pemerintah AS tetap memiliki keinginan untuk mengatur

rotasi tersebut. Upaya tersebut tergambar dari

pembentukan Metcalf Subcommittee tahun 1978 oleh Senat

AS dan Cohen Commission tahun 1978 oleh AICPA. Tahun

1999 Akuntan Kepala SEC mengirim surat kepada American

Accounting Association untuk melakukan penelitian

sehubungan dengan masalah perputaran wajib tersebut

(Dopuch, King, dan Schwartz, 2xxx). Upaya yang paling

baru adalah melalui SOX pada tahun 2002. Namun,

sebenarnya pemerintah AS akhirnya tidak pernah mengatur

rotasi tersebut, bahkan hingga di SOX. Justru yang

diatur di dalam SOX hanyalah rotasi partner audit. Di

seksi 203 dari SOX dinyatakan bahwa, It should be

unlawful for a registered public accounting to provide

audit services to an issuer if the lead (or

coordinating) audit partner, or the audit partner

responsible for reviewing the audit, has performed

audit services for that issuer in each of the 5

previous years of that issuer.

Dengan demikian, sebuah kantor akuntan publik

hanya boleh menugaskan satu orang partner untuk

memimpin audit di satu klien yang sama selama lima

tahun berturut-turut. Aturan ini juga menyiratkan bahwa

perusahaan tidak perlu mengganti kantor akuntan mereka

karena alasan peraturan ini.

Walau demikian, bukan berarti bahwa regulator

tidak tertarik lagi dengan ide untuk mewajibkan rotasi.

Buktinya, SOX memberi mandat kepada US Comptroller

General untuk melaksanakan satu studi dan mengkaji efek

potensial dari pewajiban rotasi wajib atas kantor

akuntan publik (seksi 207 SOX). Yang dimaksud sebagai

rotasi wajib adalah pemberlakuan batasan perioda tahun

sebuah kantor akuntan publik boleh mengaudit satu klien

yang sama. Laporan General Accounting Office yang

diminta oleh Kongres untuk meneliti masalah tersebut

menyimpulkan beberapa hal. Pertama, rotasi wajib atas

kantor akuntan bukanlah cara yang paling efisien untuk

memperkuat independensi auditor dan meningkatkan

kualitas audit. Manfaat potensial dari rotasi wajib

tersebut sukar untuk diprediksi dan dihitung. Kedua,

GAO menyarankan agar pemerintah AS melakukan observasi

selama beberapa tahun sebelum efek dari SOX bisa

dinilai. Hal yang lebih penting dilakukan oleh

pemerintah adalah mengevaluasi keefektifan aturan-

aturan yang ada dalam peningkatan independensi dan

kualitas audit. Ketiga, pemerintah harus mendorong

peran komite audit untuk menjamin independensi auditor

dan untuk tujuan itu, komite audit harus mempertahankan

independensi dan memiliki sumberdaya yang memadai.

Simpulan yang bisa penulis tarik adalah, pertama,

hingga sekarang AS hanya mewajibkan rotasi atas partner

audit setelah ia menjadi pemimpin penugasan selama lima

tahun pada satu klien. Kedua, isu tentang rotasi kantor

akuntan publik masih isu yang belum selesai. Pemerintah

tetap kukuh ingin memberlakukan peraturan tersebut.

Perdebatan masih terus berjalan dan ide pemerintah

terus ditentang. Pemerintah dituduh ingin mengambil-

alih hak profesi untuk mengatur diri sendiri (lihat

DeFond dan Francis, 2xxx untuk diskusi mendalam tentang

penolakan ini). Ketiga, keraguan pemerintah AS untuk

menerapkan aturan perotasian wajib tersebut terkendala

dari ketiadaan riset yang bisa digunakan untuk melihat

dampak dari rotasi kantor akuntan terhadap kualitas

audit. Riset yang dilakukan oleh Nagy (2xxx) terhadap

eks-klien Andersen tidak bisa dengan baik menggambarkan

dampak dari pergantian auditor wajib tersebut terhadap

kualitas audit. Bahkan riset ini tidak bisa dilihat

sebagai sebuah upaya yang tepat meneliti tentang

masalah perputaran wajib kantor akuntan. Indonesia

adalah salah satu negara yang mewajibkan pergantian

kantor akuntan dan partner audit diberlakukan secara

periodik. Peraturan tentang pergantian ini sudah muncul

pada tahun 2002 dalam bentuk keputusan Menteri

Keuangan. Di dalam pasal 6 ayat 4 Keputusan Menteri

Keuangan no. 423 tahun 2002 tersebut dikatakan bahwa:

Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan

dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama

untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh

seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun

buku berturut-turut.

Implikasi dari peraturan-peraturan tersebut ada

beberapa terhadap riset di bidang pengauditan. Pertama,

peraturan tersebut memberi ruang bagi riset tentang

perputaran akuntan dan perputaran akuntan publik secara

wajib. Ketiadaan peraturan di AS adalah salah satu

penghambat yang diakui oleh para peneliti untuk

menentukan apakah perputaran wajib akan bisa

meningkatkan kualitas audit. Dopuch et al. (2xxx)

menyatakan bahwa perdebatan tentang biaya dan manfaat

dari regulasi atas perputaran wajib ini membutuhkan

riset yang ekstensif—sesuatu yang belum bisa dilakukan

di AS.

Kedua, karena tahun 2003 adalah tahun terakhir

bagi auditor yang telah mengaudit satu klien hingga

batas waktu yang ditentukan sebelum berpindah, maka

sejak tahun 2004 pergantian auditor telah terjadi. Oleh

karena itu, dengan syarat bahwa sampel memang memadai

agar sebuah pengujian bisa dilakukan, riset tentang

perputaran wajib telah bisa dilakukan. Perputaran

auditor yang lebih besar kemungkinan terjadi setelah

audit tahun buku 2006 dengan asumsi bahwa masa

penugasan awal terjadi di tahun 2002.

Ketiga, peraturan menteri di tahun 2008 tersebut

membuka peluang klien untuk kembali kepada auditor lama

mereka setelah menjalani penyapihan selama satu tahun.

Banyak pertanyaan yang timbul dari lubang sehubungan

dengan penyapihan satu tahun ini. Di antara mereka

adalah: apakah memang benar-benar terjadi pergantian

auditor pada satu tahun tersebut? Apakah tidak mungkin

bahwa klien hanya dititip kepada auditor lain sebelum

kemudian dikembalikan oleh auditor pengganti tersebut

pada tahun berikutnya? Pertanyaan yang lebih penting:

Apakah tujuan dari perputaran wajib tersebut bisa

dicapai dengan aturan tersebut jika klien boleh kembali

lagi berhubungan auditornya setelah satu tahun buku?

Lebih spesifik lagi, apakah kualitas laporan keuangan

klien lebih tinggi jika ia diaudit oleh auditor

pengganti? Jika memang lebih tinggi, apakah kualitasnya

akan tetap lebih tinggi jika kemudian ia kembali ke

auditornya yang lama? Mengapa tidak mengharuskan klien

tetap diaudit oleh satu auditor selama masa tertentu

sebelum membolehkan perusahaan diaudit oleh kantor

akuntan yang lain? Perioda pengauditan yang pendek

(satu tahun) justru bisa membuat auditor tidak bisa

bersikap independen (Dopuch et al., 2xxx) karena mereka

harus menutupi biaya audit sehubungan dengan penugasan

yang baru tersebut. Sehingga, lepas dari hasil

penelitian Dopuch et al. (2001) tersebut, berapa lama

retensi atas auditor seharusnya dilakukan agar

independensi auditor tidak rusak? Jika auditor harus

diganti setelah enam tahun berturut-turut, mengapa

tidak regulator di Indonesia tidak mengharuskan klien

untuk mempertahankan auditor selama masa yang mereka

yakini independensi akan tetap bisa dipertahankan?

Dopuch et al. (2xxx) menemukan bukti bahwa jika

kewajiban rotasi dan retensi sama-sama ada, maka

auditor akan kehilangan insentif yang besar untuk

menerbitkan laporan yang bias. Bias ini jauh lebih

besar dibandingkan jika regulator sama sekali tidak

mengatur masalah retensi dan/atau rotasi.

Isu tentang independensi dengan pergantian kantor

akuntan publik dan auditor

Jawaban atas pertanyaan apakah independensi

auditor akan lebih terjaga ketika hubungan mereka

dengan klien dibatasi atau tidak hanya bisa dilakukan

jika ada perbandingan perbedaan perilaku auditor pada

kedua suasana tersebut. Perilaku auditor diduga tidak

akan sama pada aturan rotasi yang berbeda, terutama

jika ada aturan rotasi atau tidak ada aturan rotasi.

Ketiadaan aturan rotasi akan memberi insentif kepada

auditor untuk selama mungkin mempertahankan hubungannya

dengan klien, walaupun mungkin tindakan tersebut

mencederai independensi mereka. Sehingga adanya aturan

rotasi yang membatasi masa tugas auditor akan

ketergantungan auditor terhadap klien menjadi terbatas

dan kemungkinan pelanggaran independensi akan

berkurang. Untuk membuktikan klaim tersebut, dibutuhkan

sebuah riset yang meneliti kedua rezim tersebut dalam

kondisi yang sebanding.

Di antara banyak artikel yang mempertanyakan

validitas klaim pendukung ide perputaran wajib kantor

akuntan, Dopuch et al. (2xxx) adalah satu dari sedikit

artikel yang mendukung klaim tersebut. Secara spesifik,

mereka menginvestigasi bagaimana regulasi tentang

rotasi dan retensi kantor auditor bisa meningkatkan

independensi auditor. Mereka melakukan eksperimen

dengan empat rezim: rezim tanpa ada aturan rotasi dan

retensi sehingga auditor bisa dipecat kapan saja atau

diretensi selama disukai; rezim dengan keharusan

meretensi auditor setelah tiga perioda melaksanakan

tugas tapi tanpa ada keharusan untuk merotasi; rezim

dengan keharusan merotasi auditor setelah empat perioda

melaksanakan tugas tapi tanpa keharusan meretensi; dan

rezim dengan keharusan untuk merotasi setelah empat

perioda dan meretensi selama tiga perioda.

Di dalam eksperimen tersebut, subyek-auditor

diminta untuk memberikan opini atas hasil audit mereka

terhadap laporan investasi subyek-manajer. Realisasi

investasi auditor terbagi menjadi dua: tinggi dan

rendah. Opini auditor atas investasi tersebut terbagi

menjadi dua juga: memberikan opini yang menguntungkan

manajer (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi

baik ketika sebaliknya) dan memberikan opini yang apa

adanya (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi

buruk ketika memang buruk dan memberikan opini bahwa

hasil investasi baik ketika memang baik).

Dopuch et al. (2xxx) berekspektasi bahwa auditor

akan memberikan opini bahwa hasil investasi memiliki

nilai yang lebih tinggi relatif terhadap capaian

sesungguhnya pada perioda ketika manajer boleh memecat

mereka. Dopuch et al. (2xxx) membandingkan rasio antara

sinyal investasi yang buruk namun dilaporkan sebaliknya

oleh auditor dengan jumlah sinyal investasi yang buruk

di masing-masing dari keempat rezim di atas. Rasio ini

adalah frekuensi laporan auditor yang bersifat

menguntungkan manajer (favorable) dan dibandingkan

kemudian dengan probabilitas posterior yang ditetapkan

oleh peneliti.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa frekuensi

pelaporan laporan yang menguntungkan manajer paling

besar pada rezim ketika aturan tentang rotasi dan

retensi tidak ada. Frekuensi yang lebih kecil

ditunjukkan, berturut-turut, oleh rezim di mana retensi

diwajibkan, rezim di mana rotasi diwajibkan, dan, yang

paling kecil, rezim di mana rotasi dan retensi

diwajibkan. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa auditor

lebih sering memberikan opini bahwa investasi manajer

(klien) menguntungkan daripada fakta sebenarnya jika

rotasi maupun retensi atas masa tugas auditor tidak

diatur; sebaliknya, auditor paling jarang memberikan

opini tersebut jika rotasi dan retensi atas masa tugas

mereka diatur.

Dari hasil pengujian kita bisa menyimpulkan bahwa

jika tujuan pembuat kebijakan adalah untuk mengurangi

dampak perusakan independensi dari rente (rents)

kontinjen, sementara strategi pelaporan yang bebas bias

tetap dipertahankan, maka tujuan tersebut bisa dicapai

melalui pemberlakuan kewajiban rotasi. Kewajiban

perotasian secara sendiri akan menghasilkan bias

independensi yang cukup rendah. Bias independensi yang

paling rendah adalah jika kewajiban perotasian dan

peretensian diberlakukan secara bersamaan. Pada rezim

ini auditor paling konservatif terkait dengan opininya.

Penyebab Terjadinya Pergantian Auditor

Pengaruh Ukuran KAP terhadap Auditor Switching

Perusahaan akan mencari KAP yang

kredibilitasnya tinggi untuk meningkatkan

kredibilitas laporan keuangan di mata pemakai

laporan keuangan itu (Halim, 1997 dalam Damayanti

dan Sudarma, 2007). Expertise KAP merupakan salah

satu atribut dalam servis KAP besar (Mardiyah,

2002). Adanya faktor expertise itu akan menentukan

perubahan auditor oleh perusahaan sehingga

perusahaan lebih memilih KAP besar. Eichenseher

dan Shields dalam Kartika (2006) mengemukakan

fenomena bahwa persepsi expensive/mahalnya kantor

akuntan akan menentukan kesuksesan klien.

Telah diusulkan dalam literatur bahwa KAP

yang lebih besar (Big 4) biasanya dianggap lebih

mampu mempertahankan tingkat independensi yang

memadai daripada rekan-rekan mereka yang lebih

kecil karena mereka biasanya menyediakan berbagai

layanan untukklien dalam jumlah yang besar,

sehingga mengurangi ketergantungan mereka pada

klien tertentu (Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund,

1990 dalam Nasser et al., 2006). Selain itu, KAP

yang lebih besar umumnya dianggap sebagai penyedia

kualitas audit yang tinggi dan menikmati reputasi

tinggi dalam lingkungan bisnis dan karena itu,

akan berusaha untuk mempertahankan independensi

mereka untuk menjaga image mereka (DeAngelo, 1981;

Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund, 1990 dalam

Nasser et al., 2006).

Terlebih lagi, KAP yang lebih besar juga

dianggap lebih independen daripada rekan-rekan

mereka yang lebih kecil dalam menahan tekanan

manajemen pada saat terjadi perselisihan ketika

mereka biasanya memiliki lebih banyak klien dan

mampu untuk menyerahkan sebagian dari klien mereka

yang lebih sulit (Chow dan Rice, 1982).

Pengaruh Ukuran Klien terhadap Auditor Switching

Selain efek kemungkinan jenis KAP pada

panjangnya audit tenure, pilihan perusahaan audit

dapat dikaitkan dengan ukuran auditeedan jenis

layanan yang diperlukan. Auditee yang lebih besar,

karena kompleksitas operasi mereka dan peningkatan

pemisahan antara manajemen dan kepemilikan, sangat

memerlukan KAP yang dapat mengurangi agency cost

(Watts dan Zimmerman, 1986 dalam Nasser et al.,

2006) dan ancaman kepentingan pribadi auditor

(Hudaib dan Cooke, 2005). Selain itu, sebagai

ukuran peningkatan perusahaan, kemungkinan bahwa

jumlah konflik agensi juga meningkat dan ini

mungkin akan meningkatkan permintaan untuk

membedakan kualitas auditor (Palmrose, 1984dalam

Nasser et al., 2006).

Berdasarkan argumen di atas, audit tenure

pada klien besar lebih panjang daripada klien yang

lebih kecil. Dengan kata lain, kecenderungan untuk

beralih auditor lebih rendah untuk klien besar

daripada rekan-rekan mereka yang lebih kecil.

Pengaruh Tingkat Pertumbuhan Klien terhadap

Auditor Switching

Ketika bisnis terus tumbuh, permintaan

terhadap KAP yang dapat mengurangi agency cost dan

untuk menyediakan layanan non-audit diperlukan

untuk perluasan peningkatan perusahaan. Oleh

karena itu, bisnis berkembang diharapkan lebih

cenderung mempertahankan KAP mereka daripada

rekan-rekan mereka dengan pertumbuhan yang lebih

rendah. Sinason et al. (2001) meneliti16.976

perusahaan COMPUSTAT di US selama periode 20 tahun

dan menemukan bahwa audit tenure secara signifikan

dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan klien.

Karena literatur menunjukkan bahwa audit

tenure dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan klien,

dihipotesiskan audit tenure pada klien dengan

pertumbuhan tinggi di Indonesia lebih panjang

daripada klien dengan pertumbuhan rendah. Dengan

kata lain, klien dengan pertumbuhan yang tinggi

cenderung tidak beralih auditor.

Pengaruh Financial Distress terhadap Auditor

Switching

Ada dorongan yang kuat untuk berpindah

auditor pada perusahaan yang terancam bangkrut.

Kesulitan keuangan signifikan mempengaruhi

perusahaan yang terancam bangkrut untuk berpindah

KAP (Schwartz dan Menon, 1985). Selain itu,

Schwartz dan Soo (1995) dalam Damayanti dan

Sudarma (2007) menyatakan bahwa perusahaan yang

bangkrut lebih sering berpindah auditor daripada

perusahaan yang tidak bangkrut.

Posisi keuangan auditee mungkin memiliki

implikasi penting pada keputusan mempertahankan

KAP. Kondisi perusahaan klien yang terancam

bangkrut cenderung meningkatkan evaluasi

subjektivitas dan kehati-hatian auditor. Dalam

kondisi seperti ini suatu perusahaan akan

cenderung melakukan auditor switching.

Auditor switchingjuga bisa disebabkan karena

perusahaan sudah tidak lagi memiliki kemampuan

untuk membayar biaya audit yang dibebankan oleh

KAP yang diakibatkan penurunan kemampuan keuangan

perusahaan. Klien dengan tekanan finansial

cenderung untuk menggantikan KAP mereka

dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih

sehat (Schwartz dan Menon, 1985; Hudaib dan Cooke,

2005). Dengan demikian, auditor pada distressed

clients memiliki audit tenure yang lebih pendek

dibandingkan dengan rekan-rekan audit mereka pada

klien yang lebih sehat dan pada gilirannya akan

cenderung diganti.

Pengaruh Pergantian Manajemen terhadap Auditor

Switching

Pergantian manajemen perusahaan dapat diikuti

oleh perubahan kebijakan dalam bidang akuntansi,

keuangan, dan pemilihan KAP. Perusahaan akan

mencari KAP yang selaras dengan kebijakan dan

pelaporan akuntansinya (Nagy, 2005 dalam Damayanti

dan Sudarma, 2007). Manajemen memerlukan auditor

yang lebih berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan

pertumbuhan perusahaan yang cepat. Jika hal ini

tidak terpenuhi, kemungkinan besar perusahaan akan

mengganti auditornya (Joher et al., 2000 dalam

Damayanti dan Sudarma, 2007).

Pengaruh Opini Audit terhadap Auditor Switching

Jika auditor tidak dapat memberikan opini

wajar tanpa pengecualian (tidak dengan harapan

perusahaan), perusahaan akan berpindah KAP yang

mungkin dapat memberikan opini sesuai dengan yang

diharapkan perusahaan (Tandirerung, 2006 dalam

Damayanti dan Sudarma, 2007). Manajemen akan

memberhentikan auditornya atas opini yang tidak

diharapkan perusahaan atas laporan keuangannya dan

berharap untuk mendapatkan auditor yang lebih

lunak/more pliable (Carcello dan Neal, 2003 dalam

Damayanti dan Sudarma, 2007). Chow dan Rice (1982)

mendapatkan bukti empiris bahwa perusahaan

cenderung berpindah KAP setelah menerima qualified

opinion atas laporan keuangannya.

Pengaruh Fee Audit terhadap Auditor Switching

Krishnan dan Ye (2005) dalam Damayanti dan

Sudarma (2007) menyatakan bahwa penunjukan KAP

oleh perusahaan, yang diwakili oleh pemegang

saham, berhubungan dengan total fees yang mereka

bayarkan. Dorongan untuk berpindah KAP dapat

disebabkan oleh fee audit yang relatif tinggi yang

ditawarkan oleh suatu KAP pada perusahaan sehingga

tidak ada kesepakatan antara perusahaan dengan KAP

tentang besarnya fee audit dan dapat mendorong

perusahaanuntuk berpindah kepada KAP yanglain

(Schwartz dan Menon, 1985).

DAFTAR PUSTAKA

http://rfebrianto.blogspot.com/2009/05/pergantian-

auditor-dan-kantor-akuntan.html

Wijayanti, Martina Putri. 2010. ANALISIS HUBUNGAN

AUDITOR-KLIEN: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIAUDITOR

SWITCHING DI INDONESIA: Skripsi

TUGAS

MATA KULIAH

SEMINAR PEMERIKSAAN AKUNTAN

(Auditor Switching)

OLEH :

KELOMPOK 6

NURMIN

MUH. ASRIADI

ALIMUDDIN

INAYAH ABDILAH RABBANI

WAHYUNI LESTARI

B1C1 11 041

B1C1 11 137

B1C1 11 145

B1C1 11 169

B1C1 11 202

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2014