makalah moral hindu

25
MAKALAH AJARAN MORAL DARI SISI AGAMA HINDU Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Etika Profesi” Oleh Kelas M Anggota Kelompok: 1. Yusuf Ilham A.H 115100900111003 2. Tia Dwi Irawandani 115100913111005 3. Siti Muamanah 115100913111003 4. Rifny Ardianita 115100901111009 5. Mardiyanti Adnan Aksa 115100901111011

Transcript of makalah moral hindu

MAKALAH

AJARAN MORAL DARI SISI AGAMA HINDU

“Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Etika Profesi”

Oleh Kelas M

Anggota Kelompok:

1. Yusuf Ilham A.H 115100900111003

2. Tia Dwi Irawandani 115100913111005

3. Siti Muamanah 115100913111003

4. Rifny Ardianita 115100901111009

5. Mardiyanti Adnan Aksa 115100901111011

6. Ario Wicaksana 115100900111035

7. Patricia

PROGRAM STUDI TEKNIK SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

BAB I

PENDAHULUAN

I.1Latar Belakang

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa

Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau

adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), moral

diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara

terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari

segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya

berbeda. Widjaja (1985) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik

dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sementara itu

Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986)

merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan

formalnya yang pertama sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah

laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh

sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. Kedua moral adalah

ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau

agama tertentu.

Indonesia merupakan Negara independen dengan enam Negara yang

diakui di wilayahnya. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 29

bahwa setiap warga Negara berhak memilih dan beragama sesuai dengan

keyakinan masing-masing. Dari setiap agama (Islam, Hindu, Budha,

Konghuchu, Kristen Protestan, dan Kristen katolik) tentu mengandung

tujuan baik dengan ajaran moral yang baik pula. Hanya mungkin cara

penyampaian dan cara pengaplikasiannya yang berbeda. Terlepas dari

perbedaan tersebut, moral yang diajarkan tiap agama selalu

menganjurkan ajaran moral tersebut diterapkan kedalam kehidupan

sehari-hari. Tetapi pada era ini adalah masa dimana moral baik sudah

tidak diindahkan pada kehidupan social masyarakat, banyak

kriminalitas dan perilaku negative menyimpang yang dilakukan manusia

tanpa mengingat dasar ajaran moral yang dianut dalam agamanya. Hal

ini menunjukkan kehancuran moral yang menandakan kehancuran bangsa

Indonesia juga. Berangkat dari hal tersebut, makalah kali ini

membahasan ajaran moral kemanusiaan dengan salah satu agama yaitu

agama Hindu.

I.2Tujuan

Pembahasan dari makalah ini bertujuan untuk mengetahui ajaran

moral secara spesifik dari Agama Hindu.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Moralitas

Berbicara moral ternyata yang dimaksudkan adalah sesuatu yang

penting karena moral dimengerti sebagai filsafat, yaitu filsafat

moral. Untuk menunjuk istilah “filsafat moral” dalam kajian teoretis

digunakan “etika”, tetapi dalam pengalaman hidup sehari-hari

penggunaannya sering tidak jelas. Kadang-kadang kata “moral” dan

“etika” digunakan secara bergantian untuk menunjuk suatu fenomena

dari gejala yang sama. Bertens (2002) mengatakan bahwa etika

merupakan filsafat moral atau filsafat yang mempelajari moralitas.

Etika menyelidiki apa itu moralitas, sama seperti filsafat kesenian

menyelidiki apa itu kesenian. Tentang pertanyaan terakhir ini perlu

dikatakan: etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain

dalam arti bahwa ia membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral?”.

Oleh karena itu, ada baiknya dengan mempelajari terlebih dahulu

cara-cara kata itu dipakai bersama dengan beberapa istilah yang

dekat dengannya.

Bertens (2002) menjelaskan bahwa kata “moral” berasal dari bahasa

Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), kata mores masih dipakai dalam

arti yang sama. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi

kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat

kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda, yaitu yang pertama berasal

dari bahasa Yunani, sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1988), “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga

arti, yaitu “(1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk,

tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau

nilai yang berkenan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan

salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”.

Tentang kata moral yang etimologinya sama dengan etika, walaupun

bahasa asalnya berbeda, tetapi memiliki arti yang sama, yaitu adat,

kebiasaan. Akan tetapi, kata moral yang artinya sama dengan etika

menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang

menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur

tingkah lakunya. Sebaliknya, “moralitas” (dari kata sifat Latin

moralis) mempunyai arti yang pada dasarnnya sama dengan “moral”

hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu

perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya.

Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang

berkenan dengan baik dan buruk.

Sampai di sini telah diperoleh pengertian moralitas, tetapi ada

baiknya mengetahui bagaimana istilah “moralitas” digunakan bersama

istilah-istilah lain yang dekat dengannya. Seperti dijelaskan oleh

Bertens (2002) bahwa kata Inggris amoral berarti “tidak berhubungan

dengan konteks moral”, “di luar suasana etis”, “non-moral”.

Sebaliknya, immoral berarti “bertentangan dengan moralitas yang

baik”, “secara moral buruk”, “tidak etis”. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia yang baru tidak dimuat kata “immoral”, sedangkan terdapat

kata “amoral” yang dijelaskan sebagai “tidak bermoral, tidak

berakhlak”. Pengertian ini mengacaukan arti amoral dan immoral. Oleh

karena itu, dikatakan sebaiknya kata “amoral” diartikan sebagai

“netral dari sudut moral” atau “tidak mempunyai relevansi etis”.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa moralitas hanya terdapat

pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Oleh karena itu

banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang-plus, yaitu

binatang dengan ditambah suatu perbedaan khas. Perbedaan khas itu

adalah rasio, bakat untuk menggunakan bahasa (symbol), kesanggupan

untuk tertawa, untuk membikin alat-alat, dan seterusnya. Mungkin

semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat khas manusiawi, tetapi

sekurang-kurang harus ditambah satu lagi, yaitu manusia adalah

binatang-plus karena mempunyai moral. Moralitas merupakan suatu ciri

khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah

tingkat manusiawi. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik

dan buruk, tentang yang boleh dan dilarang, tentang yang harus

dilakukan dan tidak pantas dilakukan.

Mengenai kata “harus” merupakan keharusan moral. Kaharusan ini

didasarkan atas suatu hukum moral. Hukum moral tidak dijalankan

dengan sendirinya, karena merupakan semacam imbauan kepada kemauan

manusia. Hukum moral mengarahkan diri kepada kemauan manusia dengan

menyuruhnya dia untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan juga bahwa

hukum moral mewajibkan manusia, maka keharusan moral adalah

kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia

mengatur tingkah lakunya menurut kaidah atau norma. Norma adalah

hukum, tetapi manusia sendiri harus menaklukkan diri pada norma-

norma itu. Manusia harus menerima dan menjalankannya.

2.2Moralitas dalam Ajaran “KARMAPHALA”

Agama Hindu mengenal lima ajaran Sradha (keyakinan) yang kita

kenal dengan Panca Sradha yang terdiri dari Brahman, Atman,

Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa.

a. Brahman yaitu percaya dan yakin tentang adanya Sang Hyang

Widhi (Tuhan) sebagai sumber dan kembalinya yang ada.

b. Atman artinya yakin dan percaya adanya percikan terkecil dari

Tuhan yang menghidupi semua makhluk hidup dan juga bisa

disebut dengan leluhur yang telah melahirkan, memelihara, dan

mendidik kita.

c. Karmaphala yaitu percaya dan yakin tentang adanya buah

perbuatan. Segala yang kita lakukan pasti akan mendatangkan

hasil (pahala) entah itu perbuatan baik maupun buruk.

d. Punarbhawa yaitu yakin dan percaya tentang adanya kelahiran

berulang-ulang sebagai akibat dari pada pahala yang belum

habis kita nikmati pada kehidupan yang sebelumnya.

e. Moksa yaitu yakin dan percaya tentang adanya kelepasan atau

kebebasan sang atman dari belenggu punarbhawa dan mampu

menyatu (Manunggaling kawulo lawan Gusti).

Manusia berasal dari Brahman dan nantinya akan kembali ke Brahman

yang kita sebut dengan Moksa yang merupakan tujuan tertinggi dalam

Hindu. Untuk dapat mencapai Moksa, sang Atma yang menghidupi makluk

hidup yang disebut dengan jiwatman harus menanamkan karma yang baik

sehingga mampu memetik pahala yang sempurna sehingga mampu lepas

dari belenggu Punarbhawa. Ajaran Karmaphala merupakan kontrol dari

manusia untuk selalu melakukan dan menanamkan perbuatan-perbuatan

baik yang berguna untuk memperbaiki kehidupan sebagai hakekat dari

Tujuan Utama Manusia dilahirkan. Seperti tersirat di dalam

Sarasamuccaya Sloka 2 dan 3 berikut:

"Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subha

asubhakarma, kuneng panentasakena ring subhakarma juga ikang asubhakarma

phalaning dadi wwang" Artinya : “diantara semua makhluk hidup, hanya

yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan

perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik,

segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi

manusia”

"apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung

awaknya sangkeng sengsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi

wwang ika" Artinya : “ menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-

sungguh utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya

dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan

berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi

manusia.”

Kelahiran itu adalah suatu anugrah dan juga suatu musibah bagi

mereka yang mengerti arti dari kelahiran itu sendiri. Anugrah jika

kita mampu memahami kelahiran kembali ini merupakan alat untuk

mencapai kesempurnaan (moksa), dan musibah karena kelahiran kita

merupakan alat untuk menerima pahala-pahala kita yang belum sempat

kita nikmati pada masa kehidupan sebelumnya, dan akan lebih parah

lagi jika dalam kehidupan ini kita tidak mampu berbuat baik.

Karmaphala sebagai ajaran dasar pengendalian diri merupakan

ajaran pokok untuk memperbaiki moral dan etika manusia dalam

kehidupan bermasyarakat. Dengan memahami hakekat tentang karmaphala,

maka manusia tidak akan mungkin untuk melakukan perbuatan-perbuatan

tercela yang jelas-jelas keluar dari ajaran agama dan menyebabkan

kerugian, kehancuran bagi orang lain. Semua karma (perbuatan) yang

kita lakukan tidak bisa telepas dari pahala yang akan kita dapatkan.

Pahala yang nantinya akan kita dapatkan tidak dapat ditebus oleh

apapun. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu yang memahami ajaran

karmaphala akan selalu berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

Berpikir akan dampak yang akan didapatkan dan mengerti kalau dampak

atau akibat dari perbuatan kita tidak bisa kita hindari. Karmaphala

adalah ajaran keadilan tertinggi bagi manusia, dimana karma kita

yang merupakan jaminan dalam persidangan tertinggi (Karmaphala).

Karmaphala tidak dapat dihindari, karena ajaran karmaphala

sendiripun dibagi menjadi tiga yang diantaranya yaitu :

1. Sancita karmaphala yang berarti bahwa hasil perbuatan pada

masa lalu akan kita nikmati pada kehidupan sekarang.

2. Prarabda karmaphala yang artinya hasil perbuatan masa sekarang

dinikmati juga pada kehidupan yang sekarang.

3. Kriyamana Karmaphala yang artinya hasil perbuatan kita

sekarang akan kita terima pada kehidupan yang akan datang.

Berdasarkan atas ketiga hal itulah, maka manusia Hindu hendaknya

mampu mengendalikan dirinya dalam segala hal, terutama di dalam

mengejar arta, kama dalam kehidupan ini harus berlandaskan atas

dharma (kebenaran). Karena jika kita mengejar arta dan kama tanpa

dasar daripada dharma maka pastilah pahala dari karma yang akan kita

peroleh akan lebih buruk dan menyesatkan sang Atman untuk mencapai

Sang Brahman, dan selamanya kita akan tidak bisa telepas dari

belenggu Punarbhawa, dan akibat terburuk dari pada pahala yang akan

kita terima yaitu kita dilahirkan menjadi binatang berbisa.

Ajaran Karmaphala akan selalu mengingatkan kita akan semua

perbuatan yang akan kita lakukan. Dengan selalu berdasarkan atas

dharma dan pahala, maka yakinlah kehidupan moral manusia akan

semakin meningkat, tidak akan ada kekerasan, kerakusan, dan

keegoisan sehingga kehidupan manusia akan menjadi hamonis, penuh

dengan kedamaian, dan penuh dengan bhakti yang tulus kehadapan

Tuhan, saling menghargai sesama manusia, dan saling merasakan apa

yang orang lain rasakan.

2.3Moralitas dalam Ajaran “BHAGAVADGITA”

Bhagavadgita merupakan Upanisad yang terdiri atas Brahmavidya dan

Yogasastra, seperti dijelaskan pada setiap akhir bab yang membahas

suatu topik secara khusus. Walaupun kitab ini terdiri atas 18 bab

dan 700 seloka, tetapi pada intinya mengandung lima tema ajaran,

yaitu tentang

(1) Brahman (Tuhan),

(2) Atman (hidup),

(3) Prakrti (material),

(4) Kala (waktu), dan

(5) Karma (perbuatan).

Brahman dijelaskan sebagai kenyataan utama, satu tiada duanya, di

luar batas nama dan rupa, tanpa sifat, tanpa permulaan, pertengahan,

dan akhir. Brahman, juga dikatakan sebagai kebenaran yang tak

berubah, di luar batas ruang, waktu, dan sebab-akibat. Agar dapat

dipercaya maka Brahman tak terbatas mewujudkan dirinya sebagai alam

semesta dan makhluk hidup melalui maya-Nya. Ini dikatakan sebagai

Isvara. Brahman, Tuhan Yang Maha Esa juga dijelaskan sebagai

pengendali. Artinya, segala sesuatu bekerja dibawah kehendak dan

perintah-Nya. Ketika menjadi hidup dari hidupnya segala makhluk ,

Brahman disebut Atman.

Atman, para jiwa atau makhluk hidup diakui oleh Tuhan sebagai

bagian dari diri-Nya yang mempunyai sifat sama seperti-Nya. Makhluk

hidup adalah isvara-isvara kecil yang takluk. Artinya, makhluk hidup

adalah prakrti yang utama. Alam material atau alam semesta merupakan

prakrti yang lebih rendah atau alam rendah. Kedua prakrti ini, baik

alam semesta maupun makhluk hidup semuanya tunduk, dikuasai, dan

dikendalikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dijelaskan dalam

Gita.VII.5 bahwa inilah prakrti-Ku yang lebih rendah, tetapi berbeda

dengannya, ketahuilah prakrti-Ku yang lebih tinggi, unsur hidup,

yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini. Dalam seloka ini Tuhan

hendak menyatakan unsur-unsur kandungan-Nya yang terdiri atas

prakerti atau material dan jiwa-hidup sebagai esensi dari realitas

yang dinyatakan pula sebagai unsur pendukung yang lebih tinggi.

Prakrti atau alam semesta dimanifestasikan melalui ruang, waktu,

dan penyebab (desa-kala-nimitta). Ruang tercipta ketika manusia dan

makhluk hidup lainnya mendapatkan badan. Waktu tercipta ketika

manusia mulai berpikir. Penyebab, yaitu karma atau perbuatan

tercipta ketika manusia dibatasi. Artinya, Gita memberikan pelajaran

tentang apa itu Tuhan, apa itu makhluk hidup atau jiwa, apa itu

manifestasi alam semesta, dan bagaimana alam semesta dikendalikan

oleh waktu, serta bagaimana kegiatan (karma) para makhluk hidup.

Oleh karena itu, manusia adalah ilahi. Sifat sejatinya adalah atman

tak terbatas, abadi, suci identik dengan brahman. Tujuan kehidupan

manusia adalah untuk menyadari keilahiannya dan tujuan agama adalah

untuk mengajar manusia bagaimana memanifestasikan keilahian dalam

dirinya. Jadi, ajaran ini hanya dapat dipahami berdasarkan panca

sradha, yaitu keimanan Hindu.

Alam material memiliki tiga sifat yang disebut triguna, yaitu

sattva, rajah, dan tamah. Satva sebagai sifat kebaikan, rajah

sebagai sifat nafsu, dan tamah sebagai sifat kebodohan. Dalam

Gita.XIV.5 dijelaskan bahwa sattva – rajah – tamah, ini adalah guna

(sifat hakikat) yang lahir dari prakrti, yang mengikat penghuni

badan yang kekal dengan eratnya. Dari seloka ini dapat diketahui

bahwa yang mengikat Sang Jiwa di dalam raga adalah sifat-sifat dari

prakrti, yaitu triguna. Sifat sattva memancar karena kesuciannya,

rajah bersumber pada nafsu yang lahir dari keterikatan pada

keinginan, dan sifat tamah lahir dari kebodohan. Hal ini diuraikan

dalam Gita.XIV.16 bahwa dinyatakan hasil perbuatan orang yang

sattvika memperoleh kesucian, pahala sifat rajah adalah penderitaan,

sedangkan kebodohan adalah pahala sifat tamah.

Dalam Gita.XIV.17 dinyatakan bahwa dari sifat sattva muncul

kebijaksanaan dan dari sifat rajah (timbul) loba, serta dari tamah

timbul ketidakpedulian dan kesalahan, demikian juga kebodohan. Dalam

Gita.XIV.18 ditegaskan pula bahwa ke atas perginya yang sattvika, di

tengah-tengah bersemayamnya yang rajahika, sedangkan yang tamahika

ke bawah perginya diantar sifat keadaan yang paling rendah. Jadi,

apabila rajah memberi dorongan kepada sattvam maka timbul

kebijaksanaan dan apabila rajah memberi dorongan pada tamah akan

muncul sifat-sifat kebodohan yang terbingungkan. Apabila rajah hanya

menggunakan kekuatan bagi dirinya sendiri maka lahir kegiatan-

kegiatan secara terus-menerus, yaitu kelobaan. Artinya, rajah adalah

inti sebagai asas kekuatan dari gerak yang dinamis, sedangkan

sattvam dan tamah keduanya sama-sama hanya memiliki sifat statis

yang apatis. Di atas ketiga sifat tersebut ada waktu yang kekal dan

kegiatan yang disebut karma terjadi karena gabungan dari sifat-sifat

alam tersebut di bawah pengendalian dan pengawasan waktu. Kegiatan

tersebut dilakukan sejak masa lampau, dari waktu ke waktu, dan

manusia menikmati hasilnya sebagai penderitaan. Inilah yang disebut

karma.

Gita memandang bahwa manifestasi alam semesta ini terjadi dalam

jangka waktu tertentu, bertahan selama beberapa waktu, dan kemudian

lenyap. Akan tetapi, peredaran ini berjalan terus-menerus dan

selamanya. Oleh karena itu, prakrti adalah kekal walaupun

keberadaannya hanya sementara. Manifestasi dunia tidak dianggap

palsu, tetapi sebagai sesuatu yang nyata yang benar-benar ada, dalam

Gita.VII.5 dikatakan bahwa prakrti ini sebagai prakrti-Ku. Alam

semesta adalah tenaga yang terpisah dengan Yang Maha Esa, sedangkan

makhluk hidup adalah tenaga dari Yang Maha Esa. Makhluk hidup

mempunyai hubungan yang kekal dengan Tuhan. Jadi, Tuhan, makhluk

hidup, alam semesta, dan waktu semua mempunyai hubungan antara yang

satu dengan yang lain dan semuanya adalah kekal. Akan tetapi karma,

yaitu perbuatan tidaklah kekal, dan karenanya boleh jadi karma

merupakan tema sentral dalam Gita.

Setiap kelahiran disebabkan oleh benih karma masa lampau dan

setiap kelahiran adalah untuk menikmati hasil karma masa lampau.

Oleh karena itu, setiap kelahiran sudah pasti diikuti oleh kematian,

seperti dijelaskan dalam Gita.II.27 bahwa sesungguhnya setiap yang

lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati

kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan. Artinya, manusia

meninggalkan bekas perbuatannya pada masa kini, dan ini yang

menyebabkan kelahiran berulang-ulang. Oleh karena itu, setiap

kelahiran merupakan masa untuk meningkatkan kualitas karma atau

perbuatan. Sebelum karma itu mencapai kesempurnaan dan kebebasan

selama itu pula kelahiran dan kematian akan dialami secara terus

menerus. Jadi, di samping untuk menikmati karma masa lalu,

terpenting dari kelahiran adalah untuk menyempurnakan karma atau

perbuatan masa kini agar mencapai pembebasan. Dalam hal ini, dasar-

dasar moralitas sebagai panduan perbuatan sesuai dengan kitab suci

mutlak diperlukan.

Kedudukan Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai kesadaran yang

tertinggi. Makhluk hidup sebagai prakrti merupakan bagian dari Tuhan

Yang Maha Esa yang mempunyai sifat yang sama seperti Tuhan, yaitu

sadar. Akan tetapi, prakrti yang lain karena terpisah dari Tuhan

maka ia tidak memiliki kesadaran. Artinya, manusia sadar hanya pada

(badan) dirinya sendiri, sedangkan Tuhan sadar secara sempurna

sehingga sadar akan segala badan. Hal ini disebabkan kerena Tuhan

bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup, Beliau sadar akan

gerak-gerik batin para jiwa masing-masing. Paramatma, Kepribadian

Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati setiap manusia sebagai

isvara, yaitu kepribadian yang mengendalikan segala tindakan dan

kehendak makhluk hidup. Artinya, baik kesadaran Tuhan maupun

kesadaran manusia merupakan kesadaran yang bersifat rohani.

Kesadaran ini disebut kesadaran lain karena berada di luar

pengetahuan konvensional, di luar kesempurnaan alat candra dan

empiri manusia.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Gita memandang manusia

dari dua dimensi tubuh, yaitu yubuh jasmani dan tubuh rohani.

Realitas dalam segala manifestasinya merupakan kesatuan dari yang

Satu ketika menjadi dua, yaitu jiwa dan raga. Seperti dijelaskan

dalam Gita II.13 bahwa sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa

kecil, masa muda dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya

badan baru, orang bijaksana tak akan tergoyahkan. Demikian sang roh

itu ada dalam badan yang terus menerus mengalami perubahan dari masa

kanak-kanak sampai usia tua dan sampai sang roh masuk ke badan lain

pada waktu meninggal. Manusia menjadi lupa akan esensinya sebagai

roh individu karena dipengaruhi oleh maya atau kekuatan alam

material, yaitu sattva, rajah, dan tamah.

Oleh karena itu, Gita mengajarkan empat cara atau jalan (yoga)

agar manusia memperoleh kembali kesadarannya sebagai sang diri dan

bukan badan jasmani.

Karmayoga merupakan perbuatan tanpa pamrih.

Jnanayoga merupakan jalan kebijaksanaan.

Bhakti dengan jalan pengabdian.

Rajayoga dengan jalan meditasi.

Jalan ini sebagai sarana yang bisa mengantarkan manusia sampai pada

kesadaran murni, yaitu sang diri sadar akan Jati Dirinya. Dikatakan

demikian karena tat tvam asi mengajarkan bahwa engkau adalah itu.

Jadi, engkau bukan badan ini, badan ini bukanlah engkau. Dalam Weda

dikatakan dengan “Brahman Atman Aikyam”, dan atau “Aham Brahman

Asmi”.

Walaupun untuk menyempurnakan karma Gita telah memberikan empat

jalan utama, tetapi Gita juga memberikan dasar-dasar moralitas

sebagai penuntun bagi pikiran, ucapan, dan tindakan agar senantiasa

berada dalam kerangka dharma. Perbuatan yang diperintahkan dan harus

dilaksanakan Gita mengidentifikasikannya melalui sifat-sifat manusia

yang mulia, yaitu sifat-sifat devata. Akan tetapi, perbuatan yang

dilarang dan tidak boleh dilaksanakan Gita mengidentifikasikannya

melalui sifat-sifat manusia yang jahat, yaitu sifat-sifat raksasa.

Hal ini diuraikan sebagai berikut.

Gita menjelaskan bahwa ada dua jenis makhluk ciptaan, yaitu yang

mulia dan yang jahat, seperti uraikan dalam XVI.6 bahwa ada dua

jenis makhluk ciptaan di dunia ini, yaitu yang mulia dan yang jahat.

Artinya, sebagai makhluk hidup manusia juga ada dua jenis, yaitu

yang mulia dan yang jahat. Ciri-ciri manusia yang mulia itu dirinci

pada Gita.XVI.1—3 sebagai sifat-sifat devata, yaitu dalam

a. Gita.XVI.1 dijelaskan bahwa tak gentar, kemurnian hati,

bijaksana, mantap dalam mencari pengetahuan dan melakukan

Yoga, dermawan, menguasai indera, berkurban, dan mempelajari

kitab suci, melakukan tapa, dan kejujuran. Dalam

b. Gita.XVI.2 dijelaskan bahwa tidak menyakiti, benar, bebas dari

nafsu amarah, tanpa keterikatan, tenang, tidak memfitnah,

kasih sayang terhadap sesama makhluk, tidak dibingungkan oleh

keinginan, lemah lembut, sopan, dan berketetapan hati.

Selanjutnya dalam

c. Gita.XVI.3 dijelaskan bahwa cekatan, suka memaafkan, teguh

iman, budi luhur, tidak iri hati, tanpa keangkuhan, semuanya

ini adalah harta dari dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat

devata. Ini merupakan dasar-dasar moralitas yang dinyatakan

dengan pernyataan positif sehingga yang harus dilaksanakan.

d. Sebaliknya, manusia yang jahat dilahirkan dengan memiliki

sifat-sifat raksasa diuraikan dalam Gita.XVI.4 – 20 sebagai

berikut:

Dalam seloka 4 disebutkan bahwa berpura-pura, angkuh,

membanggakan diri, marah, kasar, bodoh.

Dalam seloka 5 disebutkan bahwa sifat-sifat ilahi

dipandang sebagai jalan yang menyesatkan atau jalan menuju

keterikatan.

Dalam seloka 6 dipertegas lagi mengenai keberadaan dua

jenis manusia, yaitu yang suci atau mulia (bersifat

devata) dan yang jahat (bersifat raksasa).

Dalam seloka 7 dijelaskan bahwa yang jahat tidak

mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan tidak

memiliki kemurnian kelakukan baik dan benar.

Dalam seloka 8 dijelaskan bahwa mereka mengatakan “dunia

ini tidak nyata, tanpa dasar moral, tanpa Tuhan, yang

timbulnya hanya karena hubungan yang disebabkan oleh hawa

nafsu birahi, lain tidak”.

Dalam seloka 9 dikatakan bahwa jiwa yang rusak dengan

pengertian picik timbul karena pandangan yang teguh ini

menimbulkan perbuatan keji yang menonjol untuk memusnahkan

dunia sebagai musuhnya.

Dalam seloka 10 disebutkan bahwa mereka yang memiliki

sifat berpura-pura, kebanggaan, dan kesombongan.

Dalam seloka 11 dijelaskan bahwa mereka yang memiliki

keinginan yang tak habis-habisnya dengan menganggap

pemuasan nafsu keinginan sebagai tujuan utama.

Dalam seloka 12 dijelaskan bahwa mereka yang dibelenggu

oleh ratusan ikatan harapan, menyerahkan diri kepada nafsu

dan kemarahan serta berusaha mengumpulkan kekayaan demi

kepuasan nafsu dengan jalan yang tidak halal.

Dalam seloka 13 disebutkan bahwa mereka berpikir hari ini

telah kudapatkan, keinginan ini harus kupenuhi, ini

kekepunyaaku dan kekeyaan itu juga akan menjadi milikiku

nanti.

Dalam seloka 14 disebutkan bahwa mereka yang berpikir

musuh ini telah kubunuh dan yang lain akan kubunuh pula,

aku adalah penguasa, aku adalah penikmat, aku berhasil,

berkuasa, dan bahagia.

Dalam seloka 15 disebutkan bahwa mereka yang berpikir aku

kaya raya dan kelahiran bangsawan dan mengkhayal dalam

ketololan.

Dalam sloka 16 bahwa mereka yang terperangkap dalam

berbagai macam pikiran yang membingungkan, terseret ke

dalam pemuasan nafsu yang menjijikkan.

Dalam seloka 17 disebutkan bahwa mereka yang senang memuji

diri sendiri, benar sendiri, bangga dan mabuk akan harta

dan tidak mengindahkan peraturan.

Dalam seloka 18 disebutkan bahwa mereka yang memiliki

kebiasaan buruk, membohongi diri sendiri dengan keakuan,

kekuatan, kesombongan, nafsu dan kemarahan serta membenci

Tuhan yang ada di dalam dirinya.

Dalam seloka 19 disebutkan bahwa mereka yang membensi dan

mencampakkan diri sendiri.

Dalam seloka 20 disebutklan bahwa mereka yang

terbingungkan terjerumus dalam kandungan raksasa sehingga

jatuh ke jalan yang paling rendah.

Semua sifat raksasa ini dipertentangkan dengan sifat-sifat devata

yang telah teridentifikasi melalui sat, cit, dan ananda seperti

telah dijelaskan di atas. Sesungguhnya sifat-sifat raksasa itu

bersumber dari nafsu dalam bentuknya berupa keinginan-keinginan,

kemarahan, keserakahan, keangkuhan, kebodohan, dan kebingungan.

Sifat-sifat ini dikatakan sebagai jalan menuju ke neraka, yaitu

jurang kehancuran diri. Oleh karena itu, ini merupakan larangan dan

sama sekali tidak boleh dilaksanakan. Seperti dijelaskan dalam

Gita.XVI.21 dikatakan bahwa tiga pintu menuju ke neraka, jurang

kehancuran diri, yaitu kama, kroda, dan loba. Jadi, ada tiga gerbang

menuju ke gelapan atau kehancuran, yaitu nafsu dalam wujudnya

berbagai keinginan, rasa marah, dan keserakahan. Pemenuhan terhadap

nafsu merupakan pemuasan yang membabi buta, sedangkan rasa marah

timbul kalau jalan ke arah pemuasan nafsu ini terhalang. Keserakahan

adalah salah satu nafsu untuk memperkaya diri sendiri dengan objek-

objek duniawi, baik secara material maupun psikologis yang

sebenarnya demi memenuhi nafsu indera-indera pribadi. Hal ini

bertentangan dengan realitas raga manusia yang dikatakan hanya

sebagai instrumen atau alat untuk memenuhi kebutuhan spiritual.

Potensi spiritual yang ada di dalam diri setiap manusia

sebenarnya merupakan kekuatan luar biasa yang sekiranya dapat

digunakan secara baik dan benar akan memungkinkan mencapai Yang Maha

Esa dengan lebih sempurna. Akan tetapi bila manusia berjalan di atas

jalan nafsu dan keserakahan maka ia akan menghadapi oposisi dari

pihak lain karena ia berjalan di jalan yang salah. Jalan yang salah

ini berarti bertentangan dan berlawanan dengan dharma sebagai hukum

kebenaran abadi. Vivekananda (1991) mengatakan bahwa dharma sebagai

hukum ini tidak tampak, tetapi senantiasa hadir dan berkuasa di alam

semesta ini. Hukum ini yang akan membuat manusia meledak dalam

kemarahan yang dasyat, membenci, dan menyerang secara brutal

terhadap mereka yang berada dalam oposisi. Selama dikuasai oleh

kemarahan, yakinlah bahwa manusia sedang dalam keadaan diikat erat-

erat oleh nafsu inderawi dan objek-objek duniawi dan ini berarti

perjalanan sedang melaju dengan cepat ke neraka yang dalam dan

gelap. Jadi, selama manusia mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya

sendiri, merusak alam, dan makhluk lainnya maka selama itu pula ia

akan hanyut dalam perputaran lingkaran lahir-mati.

Akan tetapi bila mampu melepaskan diri dari ketiga pintu tersebut

maka manusia akan dapat mencapai tujuan tertinggi. Hal ini

dijelaskan dalam Gita.XVI.22 dikatakan bahwa orang yang terbebas

dari ketiga pintu kegelapan mencapai tempat teritinggi. Manakala

manusia tidak memiliki kebutuhan-kebutuhan lagi maka ia bebas dari

kegelapan yang berarti kesadarannya telah tercerahkan maka ia

mencapai tempat tertinggi, Yang Maha Esa. Untuk itu, kitab suci

hendaknya dijadikan pedoman dalam berpikir, berujar, dan berperilku.

Seperti dijelaskan dalam Gita.XVI.23 dikatakan bahwa ia yang

meninggalkan ajaran kitab suci dan berada dalam pengaruh nafsu

keinginan tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, dan tujuan

tertinggi. Seloka ini menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan,

kebahagiaan, dan tujuan tertinggi hendaknya manusia berpegang teguh

pada kitab suci. Dengan tuntunan kitab suci manusia dapat

membebaskan diri dari cengkraman nafsu keinginan yang oleh banyak

ahli psikologi dikatakan sebagai dasar perilaku. Hanya saja nafsu

keinginan ini ditransformasikan ke dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan

sebagai akibat dari norma dan aturan manusia, yaitu etika-moralitas.

Oleh karena itu, dalam Gita.XVI.24 disebutkan bahwa biarkanlah

kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan apa yang boleh

dilakukan dan apa yang tidak boleh. Setelah mengetahui apa yang

dikatakan dalam ajaran kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya.

Seloka ini menganjurkan agar manusia menggunakan kitab suci sebagai

satu-satunya tuntunan dalam hidupnya untuk menentukan apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan.

Ditegaskan pula, bila sudah mengetahuinya jangan dibiarkan

berhenti hanya sebagai pengetahuan saja dalam wujud konsep-konsep

atau teori-teori belaka. Pengetahuan kebenaran hendaknya

dilaksanakan dalam bentuk tindakan nyata untuk mendapatkan makna dan

artinya yang luas dan sedalam-dalamnya. Swami Rama (2002) juga

menyatakan bahwa hanya dalam pengalaman langsung teori dan konsep

memperoleh makna yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya. Di luar itu

pengetahuan tidak berarti apa-apa bagi manusia. Artinya, hanya dalam

prakteknya sebuah konsep atau teori akan mendapatkan nilai tertinggi

dari kebenarannya yang sebenar-benarnya dalam konteks kemanfaatan

dan kegunaannya.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan baik tentulah

ia telah secara nyata berbuat baik dan bukan hanya dalam kata-kata

dan pikirannya. Pikiran hanyalah bahasa hati yang sangat rahasia dan

kata-kata hanyalah bahasa yang penuh misteri, tetapi dalam tindakan

semuanya memiliki nilai dan mendapatkan arti yang sebenarnya. Oleh

karena itu, Gita menyarankan agar manusia selalu bekerja dan secara

terus-menerus berada dalam kerja yang didasari oleh pikiran dalam

pengetahuan yang benar. Dengan demikian seluruh perbuatan telah

berubah menjadi pengabdian yang tinggi dalam batasan bhakti yang

tulus dan sungguh-sungguh, yaitu yadnya. Ini yang dikatakan sebagai

tindakan atau perbuatan yang berdasarkan tuntunan kitab suci dan

perbuatan seperti ini juga dikatakan akan mengantarkan manusia

sampai pada tujuan tertinggi, yaitu realisasi diri.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam Gita ditemukan

dasar-dasar moralitas yang dalam bentuk pernyataan positif

teridentifikasi melalui sifat-sifat manusia yang mulia. Akan tetapi,

dalam bentuk pernyataan negatif terindentifikasi melalui manusia

yang jahat.

2.4Moralitas dalam Ajaran “YAMA-NIYAMA”

Yama dan Niyama, dasar etika dan moralitas dalam Hindu, selain

dirinci sebagai Panca Yama dan Panca Niyama dalam Yoga Sutra

Patanjali, juga dirinci sebagai Dasa Yama dan Dasa Niyama dalam

kitab Sarasamuccaya oleh Bhagavan Vararusi. Rinciannya adalah

sebagai berikut:

a. Dasa Yama :

1. Anrshangsya – Tidak egois. Tidak mementingkan diri sendiri

2. Kshama – Sabar. Suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan.

3. Satya – Kebenaran. Tidak berniat untuk menipu orang lain dalam

pikiran, serta kata-kata dan tindakan.

4. Ahimsa – Tanpa kekerasan.Tidak merugikan orang lain atau

makhluk hidup lainnya. Tidak merugikan diri sendiri. Tidak

merusak lingkungan. Toleransi bahkan untuk yang kita tidak

sukai. Tidak berbicara yang, meskipun jujur, akan melukai

orang lain.

5. Dama – Dapat menasehati diri sendiri.

6. Arjava – Jujur dan mempertahankan kebenaran.

7. Priti – Cinta kasih terhadap sesama makhluk.

8. Prasada – Berpikir dan berhati suci dan tanpa pamrih.

9. Madhurya – Ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun.

10. Mardava – Rendah hati, tidak sombong dan berpikir halus.

b. Dasa Niyama :

1. Dana – Dermawan. Suka memberikan layanan atau bantuan tanpa

pamrih.

2. Ijya – Sembahyang. Pemujaan terhadap Brahman, para Dewa dan

leluhur.

3. Tapa – Kesederhanaan. Komitmen yang mendalam untuk sadhana

kita.

4. Dhyana – Memusatkan pikiran kepada Brahman.

5. Upasthanigraha – Mengendalikan hawa nafsu seksual.

6. Svadhyaya – Mengenal diri sendiri. Edukasi diri spiritual.

Kontemplasi dan penerapan kitab suci atau teks-teks suci dari

jalan yang kita pilih.

7. Vrata – Tidak mengkhianati sumpah dan janji.

8. Upavasa – Berpuasa; berpantang makan dan minum.

9. Mauna – Membatasi perkataan. konservasi energi untuk tujuan

latihan spiritual, termasuk melindungi energi dengan

menghindari berceloteh tak berujung tanpa tujuan yang jelas.

10. Snana – Kebersihan. Tidak hanya kebersihan tubuh eksternal,

tetapi memperhatikan kebersihan internal seperti menghindari

kotoran berupa kemarahan dan egoisme. Sikap sederhana, tidak

berlebih-lebihan.

“yamaan seveta satatam na tiyam niyamaan budhah, yamaan patatyasevan hi niyamaan

kevalaan bhayan.” –Sarasamuccaya 258.

Maksudnya: Yama harus diusahakan pelaksanaannya setiap saat;

sedangkan Niyama tidak dilaksanakan sepanjang waktu. Orang yang

melaksanakan Niyama tetapi mengabaikan Yama, orang yang demikian

akan masuk ke dalam bahaya (tidak menemukan ketenangan dan

kemuliaannya).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti sama

dengan “moral” yang artinya keseluruhan asas dan nilai yang

berkenan dengan baik dan buruk. Ini merupakan ukuran

kemanusiaan. Oleh karena itu hanya berkenaan dengan manusia,

dan karenanya menjadi ciri khas manusia dari makhluk lainnya.

2. Dasar moralitas karmaphala dalam mengenal lima ajaran Sradha

(keyakinan) dikenal dengan Panca Sradha yang terdiri dari

Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa. Karmaphala

sebagai ajaran dasar pengendalian diri merupakan ajaran pokok

untuk memperbaiki moral dan etika manusia dalam kehidupan

bermasyarakat. Dengan memahami hakekat tentang karmaphala

yaitu Sancita karmaphala yang berarti bahwa hasil perbuatan

pada masa lalu akan kita nikmati pada kehidupan sekarang.

Prarabda karmaphala yang artinya hasil perbuatan masa sekarang

dinikmati juga pada kehidupan yang sekarang. Kriyamana

Karmaphala yang artinya hasil perbuatan kita sekarang akan

kita terima pada kehidupan yang akan datang.

3. Moralitas dalam Bhagavadgita dirumuskan dengan dua jenis

pernyataan, yaitu positif dan negatif. Pernyataan positif

merupakan perintah yang harus dilaksanakan yang

teridentifikasi melalui sifat-sifat devata, yaitu sat

(kebenaran), cit (kesadaran), dan ananda (kebahagiaan).

Sebaliknya, pernyataan negatif merupakan larangan sehingga

tidak boleh dilaksanakan yang terindentifikasi melalui sifat-

sifat raksasa, yaitu kama (keinginan), kroda (kemarahan), dan

loba (keserakahan). Bagian esensial dari ajaran Gita adalah

Karmayoga merupakan perbuatan tanpa pamrih, Jnanayoga

merupakan jalan kebijaksanaan dan Bhakti dengan jalan

pengabdian serta Rajayoga dengan jalan meditasi

4. Moralitas dalam Yama-Niyama harus dilakukan dengan seimbang

dan sejalan. Yama harus diusahakan pelaksanaannya setiap saat;

sedangkan Niyama tidak dilaksanakan sepanjang waktu. Orang

yang melaksanakan Niyama tetapi mengabaikan Yama, orang yang

demikian akan masuk ke dalam bahaya (tidak menemukan

ketenangan dan kemuliaannya).