Makalah Kepemimpinan Wanita prespektif Aswaja

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembahasan Dewasa ini tidak menjadi rahasia lagi dan tidak asing wanita sebagai pemimpin (president, Bupati, Wali Kota, Anggota Legeslatif, Kepala Sekolah dll). Hal ini menimbulkan berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Sehingga timbullah anggapan bahwa wanita memiliki sifat yang lemah, cengeng dan mempunyai mental yang ciut. Oleh karena itu masyarakat mulai enggan memilih pemimpin wanita. Bahkan kebanyakan kiai / ulama melarang pemimpin wanita berdasarkan firman Allah swt (“ar-rijaalu qawwamuna `alan nisa”) Laki – laki itu pemimpin kaum wanita. Dalam konteks ini secara filosofi memiliki banyak makna dan pemahan sesuai dengan konteks yang ada. Dari sini telah banyak yang salah kaprah mengartikan ayat tersebut. Wanita dianggap tidak mampu, lemah, ngalem, dll. Itu disebabkan minimnya pemahaman dikalangan masyarakat. Namun pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian dalam membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi menteri, pemimpin perusahaan, angkatan bersenjata, anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, bahkan ada juga yang menjadi presiden. Oleh karena itu, keterlibatan wanita di dalam rumah tangga masyarakat dan negara, janganlah sampai melupakan tugasnya sebagai seorang istri karena sebagai seorang istri yang baik, wanita wajib taat kepada perintah suaminya. Akan tetapi dalam 1

Transcript of Makalah Kepemimpinan Wanita prespektif Aswaja

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembahasan

Dewasa ini tidak menjadi rahasia lagi dan tidak asing wanita

sebagai pemimpin (president, Bupati, Wali Kota, Anggota

Legeslatif, Kepala Sekolah dll). Hal ini menimbulkan berbagai

pro dan kontra dikalangan masyarakat. Sehingga timbullah

anggapan bahwa wanita memiliki sifat yang lemah, cengeng dan

mempunyai mental yang ciut. Oleh karena itu masyarakat mulai

enggan memilih pemimpin wanita. Bahkan kebanyakan kiai / ulama

melarang pemimpin wanita berdasarkan firman Allah swt (“ar-rijaalu

qawwamuna `alan nisa”) Laki – laki itu pemimpin kaum wanita. Dalam

konteks ini secara filosofi memiliki banyak makna dan pemahan

sesuai dengan konteks yang ada.

Dari sini telah banyak yang salah kaprah mengartikan ayat

tersebut. Wanita dianggap tidak mampu, lemah, ngalem, dll. Itu

disebabkan minimnya pemahaman dikalangan masyarakat.

Namun pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut

serta mengambil bagian dalam membangun rumah tangga masyarakat

dan negara. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi

menteri, pemimpin perusahaan, angkatan bersenjata, anggota

Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat, bahkan ada juga yang menjadi presiden.

Oleh karena itu, keterlibatan wanita di dalam rumah tangga

masyarakat dan negara, janganlah sampai melupakan tugasnya

sebagai seorang istri karena sebagai seorang istri yang baik,

wanita wajib taat kepada perintah suaminya. Akan tetapi dalam

1

perspektif yang lain wanita didudukan sebagai obyek yang harus

dipimpin laki-laki: "Lelaki adalah pimpinan bagi wanita" (An-

Nisa 34) bukan berarti wanita tak mendapat kedudukan yang

layak. Wanita dalam batasan tertentu malah menjadi sebuah

tonggak negara, dengan peran sertanya dalam mendidik

keturunannya. Selanjutya untuk lebih jelasnya mengenai masalah

kepemimpinan wanita akan dibahas dalam makalah ini.

B. Tujuan Pembahasan

Untuk mengetahui sejauh mana peran wanita sebagai pemimpin

prespektif aswaja

C. Analisis Pembahasan

Di Indonesia, benih ide khilafah sudah ada sejak awal

kemerdekaan tahun 1945, baik yang bersifat konstitusional,

seperti Majlis Konstituante, atau bersifat militer, seperti

dalam kasus DI/TII, yang berusaha mendirikan negara Islam dan

menolak Pancasila. Era reformasi tahun 1998 yang memberikan

ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di Indonesia

kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan

yang mewacanakan isu khilafah semakin intens dan terbuka

dikampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan

nyata.

Sebagai umat Islam, memimpikan idealisme sebuah sistem

pemerintahan dan bentuk negara yang Islami, adalah suatu

impian yang lumrah sebagai tuntutan dan konsekuensi logis atas

keIslamannya. Dan hal ini harus dihormati karena merupakan

bagian dari hak asasi manusia. Akan tetapi yang penting

dimengerti adalah, bahwa umat Islam hidup tidak sendiri. Umat

2

Islam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bersama

“orang lain” (non Muslim), yang tidak dibenarkan memaksakan

mereka dengan aturan-aturan sepihak Islam saja.

D. Sistematika Pembahasan

Bab I menjelaskan Pendahuluan yang menjelaskan Latar

belakang Pembahasan Makalah yang membahas tentang fenomena

kepemimpinan wanita dalam prespektif aswaja. Dengan tujuan

pembahasan mengetahuai sejauh mana peran wanita sebagai

pemimpin dalam pandanngan islam berdasarkan analisa yang

pembahasan yang berdasarkan pandangan – pandangan islam. Hal

ini menggunakan metode library research untuk memperluas

pemaham dalam menulis makalah tersebut.

Bab II Kepemimpinan Wanita Prespektif Aswaja yang mengkaji

tentang Kepemimpinan Wanita, Kepimimpinan wanita menurut

pandangan Ulama`, Sejarah Kepemimpinan Wanita, Pemimpin

munurut Islam

Dengan landasan pengkajian Aswaja sekaligus pandangan Aswaja

dalam kepemimpinan Aswaja,

Kepemiminan Wanita prespektif Aswaja adalah kajaian yang

membahas dan menelaah syarat – syarat kepemimpinan wanita dan

prinsip kepemimpinan aswaja.

Bab III. Kesimpulan Makalah menghadapi fenomena kepemimpinan

wanita.

3

BAB II

KEPEMIMPINAN WANITA PRESPEKTIF ASWAJA

A. Kepemimpinan Wanita

Menurut Hasjim Abbas menjelaskan bahwa hak – hak politik

bagi wanita apabila wilyah kepemimpinan Negara saat berpotensi

khilfiyah. Potensi tersebut terkondisi oleh beberapa factor

sejak dari kualifikasi nas syar`i, dalalah ungkpannya,

fenomena sejarah, formula hokum positif beberapa Negara hingga

distribusi hak – hak politik bagi wanita. Dalam nash syar`a

yang berupa ayat alqur`an atan matan hadis tidak dijumpai

pernyataan yang shahih (ekspilisit) melarang wanita menjabat

pimpinan negara. Dalam al qur`an surat an Namel 23-25 justru

menghikayatkan Balqis yang menjabat ratu (al mulk) di Negara

saba`.

Kepemimpinan wanita merupakan persoalan pelik yang sampai

saat ini terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan

tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier

berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu

masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr.

Bukhari)

Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran

biasanya diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya.

Artinya apakah secara matan (isi) suatu hadits tersebut

bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau dapat difahami

4

dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak.

Kemudian interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan

sanad ataupun pembawanya. Dengan menggunakan kekuatan sanad

akan melahirkan jenis hadist dari tingkat Shahih sampai dloif,

mursal bahkan palsu.

Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab

periwayatannya dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke

dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan,

ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara

kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa

haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan

pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan

dengan diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin

meski disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang

memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki demikian.

1. Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Ulama`

Mayoritas ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman

lafazh lebih mengedepan bukan pada kekhususan sebab. Meski

demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak semata-semata itu, hal

ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang demikian

dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang

berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan

ayat maupun hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama

sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.

Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan

dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin

5

tertinggi). Di mana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi

dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut

terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua),

yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam.

Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita.

Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan hawa

hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini

diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah,

Ibnu Khaldun.

Dalam pandangan ulama klasik seperti Ibnu At – Tin, bahwa

keberadaan hadis “lan yuhlifa qaumun amrahum imra-atan” juga

mendasari larangan wanita menjabat qaii (Hakim Mahkamah

syar’i). demikian pula Imam al Mawardi hanya menambahkan

isyaratkan laki – laki untuk pemangku jabatan al –

wuzura’(menteri Negara)

Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang

tertentu, yang tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita

berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan

bahkan menjadi menteri. Meski demikian perkembangan pemikiran

tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan

kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis.

Fatimah Mernisi seorang feminis muslim asal Aljazair bahkan

secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah membuat

fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan

dikebiri. Dan shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi

tertuduh terbesar. Sebab dialah yang mengingatkan Khalifah Ali

setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah sendiri menurut

Mernisi adalah Shahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin

6

Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga

menurut Fatimah Mernisi hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah

adalah palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah. Tampaknya

Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga ketika Ali

membenarkan hadits tersebut tak gubris. Bahkan Ali difahami

juga turut berbohong demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut

Hasan bin Ali juga mendukung hadits tersebut, dan disebutnya

Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan diambil

Muawiyah. Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan

politik adalah produk ulama yang bias dengan patriakhi.

2. Sejarah Kepemimpinan Wanita

Sejarah mengungkapkan kepemimpinan Negara (Islam) oleh

wanita muslimah. Sittu Al – Mulk, saudara perempuan Al Hakim

bi Amrillah Al – Fathimi pernah bertahta selama empat tahun di

Mesir. demikian pula sejarah ad – Durr, isteri Al – Malik as –

Shalih Ayyub yang mejabat khalifah di Mesir hingga terbunuh

pada tahun 1357 H. sekalipun fakta itu memihak pada tradisi

keaagamaan syiah, namun secara menunjuk bukti golongan dalam

system kenegaraan.

Bertolak belakang dengan fakta sejarah tersebut, formula

hokum positif Negara Tunisia, Kuwait, Siria dan Maghribi

secara tertulis mempersyaratkan laki – laki bagi calon pejabat

presiden. Hanya jukum hokum positip Mesir seperti yang tertera

pada Undang – undang Tahun 1971 pasal 75 mempersyaratkan calon

president cukup warga Negara Mesir, serta kedua ibu bapaknya

juga warga Negara Mesir dan juga berusia tidak kurang dari 40

7

Tahun. Syarat kelelakian dipandang implicit mengikatnya karena

kosntitusi Negara bersumberkan ajaran Islam.

Kiprah wanita dalam sejarah menorehkan hasil yang gemilang.

Wanita difahami telah memberikan andil yang besar dalam bidang

intelektual klasik. Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi

hadits, bahkan sufi wanita. Siti Aisyah dikenal sebagai

pembawa hadist yang sangat berarti, bahkan para shabahat nabi

belajar padanya. Dalam sejarah juga diketemukan sufi Rabi'ah

Al-Adalawiyah yang dalam maqam sufi dikenal sebagai wanita

yang sangat berpengaruh di jamannya dengan segala kontroversi

yang menyelimutinya.

Disamping berperan dalam agen intelektual dan kemuliaan,

wanita memegang peranan dalam proses da'wah Islam. Wanita

seperti Asma bin Abu Bakar merupakan contoh bagaimana seorang

wanita dapat memberikan andil yang sangat berarti untuk

menyusun strategi hijrah nabi.

Karya-karya besar wanita ini menarik para ulama Islam untuk

menulis biografi tentang peranan wanita dalam jamannya. Tidak

kurang dari 35 ulama besar menulis tentang wanita dan segala

perjuangannya. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (852/1449)

menulis kamus biografis pertama tentang semua orang muslim

terkemuka yang meninggal pada satu abad tertentu Islam -abad

ke delapan Hijrah/Keempat belas Masehi.

Jumlah dan proporsi wanita yang terekam ke dalam tulisan

ulama meliputi para sahabat Shahabat merujuk kepada gender

laki-laki dan shahabiah merujuk kepada gender perempuan.

Artian secara umum generasi shahabat adalah orang-orang yang

hidup semasa nabi yang mengakui, menerima Islam dan menerima

8

segala konsekuensinya, baik usia ketika itu sudah dewasa dan

kecil. Shahabat dalam pandangan kaum Sunni menempati kedudukan

mulia, sedangkan dalam pandangan kaum Syi'ah para sahabat

menyimpang setelah Nabi wafat.

Dari perspektif ini terlihat bahwa sejarah memberikan

peranan yang besar. Peranan besar wanita terlihat pertama kali

ketika Siti Khadijah (istri nabi pertama) sebagai pengikut

pertama Muhammad, bukan dari laki-laki-laki. Kajian ini telah

ditelaah oleh Ibnu Sa'ad secara panjang lebar, sepanjang

dengan kajian tentang kajian sahabat.

Al-Qur'an sebagai sumber yang paling otoritatif dalam Islam,

memberikan uraian yang panjang lebar, bahkan salah satu

suratnya merujuk langsung kepada wanita (surat An-Nisa').

Banyak ditemukan bahwa wanita menjadi sebab turutnya ayat,

baik dalam kapasitas peringatan ataupun dalam kapasitas

memberikan kejelasan.

Ayat tentang wanita yang berkait dengan peringatan adalah

tentang ayat Hijab dalam Al-Ahzab dan An-Nur, dan ayat tentang

tuntutan harta istri nabi, sedangkan ayat tentang sanjungan

dan kejelasan adalah ayat yang memberikan keterangan tentang

kesucian Aisyah yang sempat didiamkan Nabi dalam surat. Meski

kita lihat setting utama yang digunakan adalah istri-istri

nabi.

Bahkan dalam keluarga Nabi sendiri, anak wanita menjadi

sangat dominan. Nabi pernah mempunyai anak laki-laki (Ibrahim

bin Muhammad) akan tetapi meninggal dunia ketika masih remaja.

Sedangkan anak yang perempuan sebanyak 4 orang, dan yang

paling utama adalah Fatimah Zahrah. Bahkan dari generasi

9

Fatimah ini diklaim sebagai generasi yang akan melahirkan

keturunan yang paling baik dan ma'shum.

Masalah ini dapat dilihat dengan kemunculan mazhab politik

Syi'ah yang kemudian menjadi mazhab Aqidah. Bahkan dalam

sejarah varian dari mazhan Syi'ah ini mengambil nama Fatimah

az-Zahra sebagai varian dari Syiah. Lebih jauh mazhab ini

mampu mendirikan sebuah pemerintahan Fatimiyah Isma'liyyah di

Mesir.

Karya wanita dalam sejarah Islam adalah keterlibatannya

dalam proses ba'iah (sumpah setia). Sumpah setia dari 2 wanita

Madinah untuk masuk Islam dan setia kepada Nabi tercermin

dalam Bai'ah An-Nisa'i (bai'ah Perempuan). Bukan hanya itu

saja, dalam bai'ah kedua jumlah wanita mencapai 449 wanita

menyatakan diri masuk Islam dan menerima kerasulan Muhammad,

yang kemudian dikenal dengan bai'ah harbi (perang).

Bai'ah itu sendiri dimaknai sebagai bentuk kesepakatan atau

kontrak sosial. Bai'ah masih satu rumpun dengan kata al-ba'i

atau jual beli. Bai'ah ini dilaksanakan di bukit Aqobah,

antara Nabi dan orang-orang Madinah. Dalam perspektif yang

khusus bai'ah sebagai tonggak berdirinya masyarakat Islam atau

sebagai embrio negara Islam Madinah.

Kedudukan wanita mendapat posisi yang menakjubkan dalam

sejarah, orang yang pertama kali mendapat syahadah adalah

wanita bukan pria. Orang itu adalah Sumayyah binti Khubbat,

yang meninggal di Makkah dibunuh oleh Abu Jahl. Bahkan banyak

wanita menjadi perantaraan turunnya peristiwa mukjizati,

maupun ramalan masa mendatang.

10

Hal lain yang cukup mengedepan adalah ke-terlibatan wanita

dalam beberapa pertempuran yang menentukan. Baik dalam masa

Nabi maupun dalam masa khilafah Rasyidin. Yang cukup

kontroversial adalah keterlibatan Siti Aisyah dalam perang

Unta (Jamal) melawan Ali bin Abu Thalib karena masalah

pengusutan pembunuhan Utsman yang tidak tuntas.

Di samping analisis di sekitar shahabat dan keluarga Nabi,

wanita di jaman tabi'in. Wanita seperti 'Amra binti 'Abdur

Rahman, sebagai seorang ahli fiqih yang mempunyai hubungan

yang dekat dengan Aisyah. Terdapat pula Hafshah binti Sirin,

sebagai seorang ahli hadist generasi kedua dari Basrah, yang

terkenal dengan ketaqwaan dan kezahidannya. Ia digambarkan

oleh Ibnu Jauzi digambarkan sebagai wanita yang shaleh, ia

melakukan shalat sepanjang waktu. Terdapat pula Aisyah binti

Thalhah --cucu Abu Bakar-- yang dalam sejarah cukup mengandung

kontroversi, dari kepandaiannya sebagai penyampai hadist

maupun tentang kecantikannya.

Analisis tentang peran wanita dalam sejarah dalam zaman

Abbasiyah melebar ke dalam masalah politik kenegaraan. Ummu

Salamah --istri dari Abu Al-Abbas sang pendiri Abbasiyah--

mempunyai pengaruh yang besar kepada suaminya, bahkan Abu al-

Abbas selalu meminta pertimbangannya dalam segala hal.

Kemenakan perempuan Harun al-Rasyid --Zubaidah-- mampu

mempengaruhi untuk mendapatkan hak-hak istimewa. Pengaruh

Zubaidah sendiri sampai masa pemerintahan khalifah al-Makmun.

Dalam kekhilafahan Abbasiyah, puncak peran wanita dalam

masalah politik adalah dengan tampilnya Syajarat Ad-Durr yang

sempat memerintah di Mesir selama beberapa bulan. Kapasitas

11

Durr sebelumnya adalah sebagai seorang selir Sultan Ayyubiyah

yakni Malik Ash-Shalih Najmuddin. Kemampuan Durr tidak hanya

dalam masalah pemerintahan, ia juga terlibat dalam perang

melawan pasukan Salib. Dia memerintah karena kondisi yang

sangat darurat, yang mengharuskan ia mengambil kekuasaan

ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal

sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang

memerintah mengatasnamakan putrnya yang masih kecil setelah

suaminya meninggal. Ia dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai

orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan tampilnya wanita dalam

politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk dan

Seljuk.

3. Pemimpin Menurut Islam

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah

berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita.

Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi

mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita

menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah

melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah

Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan

karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik

dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan

pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah

diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi

shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Suatu kaum itu tidak akan

bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada

12

wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits

‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al

Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)

Wanita sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat

perlakuan yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan

ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas wanita.

Dengan demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha

melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat. Memang dalam

batasan tertentu menurut Mazhab Hambali, seorang wanita yang

kafir tidak disiksa seberat laki-laki kafir. Bahkan dalam

sejarah banyak ditemukan bahwa wanita bagi umat memberikan

makna dan simbol kesucian dengan pengabdiannya yang luar

biasa.

Dengan peranannya tersebut wanita menjadi sangat mempunyai

arti penting dalam dimensi spiritual. Di samping dalam lingkup

spiritual, wanita juga mempunyai peran penting dalam hal

pendidikan anak.

Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad,

Nasa’i dan Turmudzi. Bahwa Rasulullah bersabda:

Artinya:’tidak akan sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan

(menguasakan) urusan mereka kepada seorang perempuan”.

Hadits ini daru segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits

yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah

(pemahaman makna) hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya

wanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk

ikhbar dilihat dari sighatnya hadits ini tidak otomatis

menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk

menyimpulkan apakah sebuah khitab berhukum wajib, sunnah,

13

makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasinya), bukan

sighatnya (bentuk

kalimatnya).

Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada

masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada

seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan

komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja,

namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya

kata qaum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum

muslim didalamnya. Sedangkan latar belakang turunnya hadits

ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya

(mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk

umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’.

Karena latar belakang bukanlah hadits nabi. Oleh karena itu

latar belakang sabda Nabi diatas tidak ada kaitannya sama

sekali dengan penetapan hukumnya. Oleh karena latar belakang

atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis

dalil.

Adapun hukum yang terkandung didalam pembahasanya sebagai

berikut. Meski,

hadts ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun didalam

lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya

secara pasti.

Sementara al-Qur’an justru mengatakan sebaliknya. Al-Qur’an

memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar,

yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’, hal ini disebutkan dalam

al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15:

14

Artinya:”sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat

kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.

(kepada mereka dikatakan) : “makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan)

Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik

dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.

Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah,

bersikap hati-hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia

tidak gegabah dan buru-buru dalam memutuskan sesuatu, sehingga

ketika ditanya tentang singgasananya yang telah dipindahkan

itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis, tidak dengan

jawaban vilgar yang dapat menjebak. Bahkan kecerdasan Balqis

dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat

keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang

berkilauan laksana air. Dalam ketakjuban itu, Ratu Balqis

tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia

mengatakan:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap

diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah,

tuhan semesta alam”

Ini hanyalah sebuah ungkapan yang hanya dapat diucapkan oleh

orang yang cerdas.

Dikala ia dalam kondisi tetapi ia merangkul lawannya dan

menundukan diri kepada zat yang lebih tinggi daripada Sulaiman

(Surah an-Naml: 40).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan

berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden atau Perdana

Menteri), sebagaimana halnya kaum

15

laki-laki, bila mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai

pemimpin.

Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas mengatakan bahwa: Tidah

bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang

perempuan, al-Qur’an justru menyebutkan

sebaliknya. Al-Qur’an telah menceriatakan bagaimana

kepemimpinan ratu Balqis

yang dapat mempin negerinya dengan baik dan sangat

memperhatikan kemashlatan

rakyatnya.

Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung

makna implicit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin

sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu Muhamad Jarir

ath-Thabary dan ibnu Hazm berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah

tersebut

hanya melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala

Negara Islam atau

khalifah.

B. Aswaja

1. Pengertian Aswaja

Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau

golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW.

Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (

fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ). Sedangkan definisi

Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai

I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah

Asya’iroh dan Maturidiyah.

16

Menurut K.H. Syaifuddin Zuhri pengertian Aswaja adalah

segolongan pengikut sunah Nabi Muhammad SAW yang didalam

melaksanakan ajaran-ajaran beliau berjalan diatas garis yang

dipraktekkan oleh Nabi dan para  Sahabat.

Adapun penggunaan istilah Aswaja didalam riwayat Ibnu Majah

dari Mu’awiyyah R.A. dari Rasulullah SAW bersabda :

ة� �رق� ن ف� عـي� لا ث� وس�ب� ـت�رق� ع�لى ث�� ف� مة� س�ـب� ه الا! ة� وان ه�ذ� �رق� ن ف� عي� ن وس�ب� ي� ت� ن* صا رى ع�لى اث�, ت� ال�ن� ت�رق�� ة� واق� �رق� ن ف� عي� هودع�لى اح�ذى وس�ب� ت� ال�ي� ت�رق�� اق�ذه� �ار وواح �ى� ال�ت عون ف� ب� �ان وس �ت ث=, ة@  ا *ن ى� ال�ج� وا  ف� �ا ل ��ذه�  ق �ه ال�واح ذ� �ا ه �ة مول ال�ل �ا رس ��ا  ث ��ا اث �ال م ��ة  ق لن�ي� ع�ـ حا ب�� �وم وا ص �ا ل�ي  

Artinya :    “    Telah pecah ummat Yahudi menjadi 71

golongan, dan telah pecah ummat Nasroni 72 golongan, dan

ummatku akan pecah menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk

neraka dan hanya 1 (satu) yang masuk surga (yang selamat hanya

satu) lalu para sahabat bertanya : siapakah yang selamat itu …

? Nabi menjawab  : apa yang hari ini aku kerjakan dan para

sahabatku.”

Didalam hadis lain dalam kitab Al-Milal wan Nihal karangan

Syaikh Ahmad Abdul Karim juz 1 hal 13 Nabi Bersabda :

ل وم�ن ت� ماعة� ق�� ة� وال�ج� ال اه�ل ال�سن� ؟ ق�� ة� ن� ا ج�� ل وم�ن ال�ت� ت� ون ه�ـلكى ق�� اق� ها واح�ذه� وال�ت� ة� م�ي� ن� ا ج�� ة� ال�ت� �رق� ن ف� عي� لاث� وس�ـب� ى� ع�لى ث�� ت�رق� ام�ت� ف� س�ـب�

وم ة ا ل�ي� ا ع�ـلن� ال م�ا اث�� ؟ ق�� ماعة� ة� وال�ج� ة اه�ل ال�سن� ي� )رواه اب��ن م�ا ج� وا ص�حا ب��

Artinya :     “    Umatku akan pecah menjadi   73 golongan

yang selamat hanya satu firqoh sedang yang lainnya binasa.

Nabi ditanya : Siapakah yang selamat itu … ? Nabi menjawab :

17

Ahlussunah Wal Jama’ah, Nabi ditanya lagi : Siapakah

Ahlussunah Wal Jama’ah itu …? Nabi menjawab : Apa yang aku dan

sahabatku pegang “. (HR. Ibnu Majah)

2. Pandangan Aswaja dalam Kepemimpinan Wanita

Nahdlatul Ulama’ dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah

pada dasarnya menganut lima prinsip. Yakni, at-Tawazun

(keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-

Ta'adul (patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Dalam

masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri NU KH

Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara

Islam atau tidak di Indonesia. Kakek mantan Presiden

Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui

keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak

menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan

masih menjadi perdebatan.

Ditinjau dari segi hukum islam, wanita menjabat president di

Indonesia satutus hukumnya khilafah, karena hakikat jabatan

tersebut tudak sama dengan konsep khilafah/imamah uzma yang

dikenal dalam islam. Khilafah itu senada dengan pemberian

porsi hak – hak politik kepada wanita. Dengan memanfaatkan

pardigma social politik yakni mengacu pada aspirasi masyarakat

Indonesia melalui MPR hasil pemilu.

Dalam kajian Aswaja memberikan dasar bahwa kepemimpinan

wanita mempunyai hak yang sama dengan laki – laki berdasarkan

hal tertentu,

a. Wanita merupakan bagian dari masyarakat, kepentingan

kelompoknya perlu terwakili dan bila kelompok wanita di suatu

18

Negara merupakan mayoritas, sangat mungkin seorang diantara

mereka mendapat kepercayaan untuk memimpin Negara.

b. ide keadilan social menghendaki perlakuan yang sama

antara wanita dan pria, seperti diisyaratkan oleh statement

hadis : innama al risa u syaqaiqu al rijali (HR. Ahmad. Dawud

dan at Turmudzi)

c. Peranan atas demokrasi perlu mengikut sertakan wanita

dalam distribusi hak – hak politik secara penuh.

d. Reputasi berhasil memimpin bangsa dalam mekanisme kerja

kolektif terbuka bagi keberhasilan oleh pemimpin begara pria

atau wanita sepanjang sistem dan perangkat lunak kenegaraan

berjalan optimal.

e. Asas maslahat pernah memberi dorongan rekrutmen pejabat

Negara/panglima oprasi militer dimasa hidup Nabi Muhammad saw.

C. Kepemimpinan wanita prespektif Aswaja

1. Syarat – syarat kepemimpinan wanita

Sebagaimana al-Qur’an bercerita tentang kepemimpinan

seorang perumpuan dengan menceritakan contoh histories Ratu

Balqis di negeri Saba’ yang merupakn gambaran perempuan yang

mempunyai kecemerlangan pemikiran. Ketajaman pandangan,

kebijaksanan dalam mengambil keputusan, dan stategi politik

yang baik. Waktu ia mendapat surat dari nabi Sulaiman ia

bermusyawarah dengan para pembesarnya. Walaupun mersa kuat

dan siap menghadapi perang melawan Sulaiman, namun ia

mempunyai pandangan yang jauh. Ia tidak ingin negerinya

hancur dan rakyat menjadi korbannya. Karena ia mempunyai

intuisi, bahwa Sulaiman itu seorang nabi. Maka tidaklah

19

bijaksana melawan Sulaiman itu kebenaran yang tentu dijamin

oleh tuhan dengan kemenangan. Juga tidaklah bijaksana

mengahalangi kaum dan rakyatnya untuk menikmati

kebenaran tersebut dengan berperang melawannya untuk

mempertahankan kebatilan.

Seperti halnya diterangkan Meskipum Sunni menyatakan

pentingnya keterlibatan umat dalam pemilihan pemimpin, akan

tetapi Aswaja memberikan batasan-batasan kriteria pemimpin

yang layak dan harus dipilih. Syarat-syarat tersebut

adalah :

1.Kompetensi Keagamaannya.

2.Reputasi Keadilannya

3.Kapasitas kepemimpinan dan kemampuan pengelolaan (asy-

Syiyasah)

Dalam kitab-kitab fiqih Syiyasah disebutkan pula Syarat

Keturunan Quraisy dan kesehatan. Untuk yang pertama ini

masih dipertanyakan oleh beberapa Ulama seperti Al-

Baqillani, ini mengingat realitas yang terjadi saat ini

tidak memungkinkan untuk hali itu. Al-Baqillani menambahkan

syarat pemimpin ialah Adanya “Syaukah” (kekuatan) yang

dimilki oleh pemimpin tersebut.

Para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah selalu mengingatkan

bahwa jabatan pemimpin merupakan amanah, bukan sebagai

anugrah. Oleh karena itu para pemimpin harus menyadari bahwa

kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban (mas’ul

Anhu) di hadapan Allah maupun di hadapan masyarakat Yang

dipimpinnya. Dan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan

akan hal itu maka selayaknya tidak memaksakan diri.

20

Oleh karena peran para pemimpin itu sngatlah besar,

demikian pula dengan pertanggungjawabannya maka para Ulama

Sunni menetapkan beberapa syarat seperti telah disinggung

diatas, ditambah lagi dengan kesehatan fisik dan mental,

kemampuan dan kewibawaan.

Masalah keteladanan bagi para pemimpin juga dipandang

penting bagi para ulama sunni. Oleh karena itu imam Al-

Ghazali menyatakan, bahwa masalah moralitas yang luhur

merupakan ukuran dalam memilih pemimpin. Empat inti

moralitas yang disebutkan oleh Al-Ghazali, yakni:

1. Al-Hikmah (kearifan, Kebijakan)

2. As-Syaja’ah (keberanian moral dan kewiraan)

3. Al Iffah (pengendalian diri)

4. Al-Adalah (adil atau sikap obyektif)

Al-Ghazali menyatakan, memang selain Rasulullah tidak ada

manusia yang sempurna. Akan tetapi orang selain Rasulullah

harus meneladani ahlak-Nya dengan tingkat kemampuannya

sendiri-sendiri, jangan sampai seorang pemimpin yang ingin

dihormati, dipatuhi dan dicintai mengabaikan hal-hal

tersebut.

Di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah tidak ada pembakuan

tata cara rekrutmen dan mekanisme penetapan pemimpin, baik

dalam bidang kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hal itu

dianggap sebagai masalah sosio-kultural yang dinamis dan

berubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat akan

kemaslahatan.

Paham seperti ini diterapkan NU di Indonesia dalam

beberapa kasus. Seperti dalam masalah pemberontakan DI TII

21

di beberapa daerah dan keputusan Munas Alim Ulama pada tahun

1954. Kedudukan Ulama (Kyai) dan Pola kepemimpinan dalam NU

Nahdlatul Ulama selalu menempatkan Ulama pada kedudukan

tertinggi. Hal ini terkait dengan peran Ulama yang juga

sebagai penyambung mata rantai Ahlussunnah Wal Jamaah. Kyai

ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan

pembimbing utama jalannya Organisasi.

Hal ini terbukti dari struktur yang ada dalam setiap

tingkat kepengurusannya, mulai dari tingkat desa (Ranting),

sampai di tingkat pusat (Pengurus Besar) yang selalu

menempatkan Ulama sepuh dalam kedudukan Tertinggi (Syuriyah)

dan ulama yang lebih muda umur dan ilmu agamanya—di

kedudukan Manager (Pelaksana/Tanfidziyah).

Jelas sekali pola kepemimpinan seperti ini mirip atau

mungkin menjiplak pola kepemimpinan dalam pesantren, di mana

Kyai sebagai penentu keputusan, dan Santri senior yang

dipilih sebagai ketua pengurus pesantren bertugas sebagai

pelaksana.

Di lingkungan Nahdliyyin, penghormatan, ketaatan dan

penghormatan terhadap Ulama ini sangat besar dan dalam baik

secara Struktural maupun individual. Dalam kehidupan

individual, kehadiran kyai dinilai selalu menyentuh

kehidupan mereka sehari - hari, mulai dari bimbingan rohani,

tempat bertanya, dan konsultasi, sampai kebutuhan pribadi

dan keluarga, seperti pemberian nama anak atau cucu yang

baru lahir, pilihan waktu baik dan afdhol untuk kawin atau

mendirikan bangunan dan lain-lain.

2. Prinsip Kepemimpinan Wanita

22

Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan

sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,

pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

a. Aqidah

Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi

penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang

pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan

ikhwal eksistensi Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak

perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT.

Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma

Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w.

324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism)

bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang

disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah

adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu

bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan

manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan

murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah

yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan

semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki

sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan

meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para

23

Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang

dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia

dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia

dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini

dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah

SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia

adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap

manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan

bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada

hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan

sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka

semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka

selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik

akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk

akan masuk neraka.

b. Bidang Sosial Politik

Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah

konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),

Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya

memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu

kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan

golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa

imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri.

Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk

24

mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga

kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk

negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar

teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau

negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-

syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah

negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi

maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara

tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

c. Prinsip Syura (musyawarah)

Negara harus mengedepankan musyawarah dalam

mengambil segala keputusan dan setiap keputusan,

kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan

musyawarah adalah sebagai berikut:

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah

kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih

kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,

mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa

besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka

memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan

Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)

dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian

dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang

apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-

Syura, 42: 36-39)

25

d. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)

Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling

banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh

dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk

pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang

memerintahkan keadilan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan

hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-

Nisa, 4: 58)

e. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)

Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi

warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena

merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan

manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams

(prinsip yang lima), yaitu:

Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap

kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap

warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas

untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.

Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap

kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang

memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan

26

Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau

melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga

negara.

Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap

kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang

dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan

jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai

dengan martabat rakyat sebagai manusia.

Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan

terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap

warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya

(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan

sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus

memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah

negaranya.

Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan,

profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena

profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung

tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga

negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia

yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di

kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di

atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah

kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang

yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

27

f. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara

satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa

yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia

atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia

diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu

dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia

dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain.

Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang

yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa

diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

(Al-Hujuraat, 49: 13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis,

yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses

sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang

Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam

surat Al-Ma’idah.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan

yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu

umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya

kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada

Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa

yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)

28

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah

sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan

memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka

memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,

melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak

ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara

justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar

manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar

oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan

politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada

doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan

Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah.

Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an,

Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di

antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin

agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan –

harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

BAB III

KESIMPULAN

29

30