Makalah Kepemimpinan Wanita prespektif Aswaja
-
Upload
klampisirengblogspot -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Makalah Kepemimpinan Wanita prespektif Aswaja
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembahasan
Dewasa ini tidak menjadi rahasia lagi dan tidak asing wanita
sebagai pemimpin (president, Bupati, Wali Kota, Anggota
Legeslatif, Kepala Sekolah dll). Hal ini menimbulkan berbagai
pro dan kontra dikalangan masyarakat. Sehingga timbullah
anggapan bahwa wanita memiliki sifat yang lemah, cengeng dan
mempunyai mental yang ciut. Oleh karena itu masyarakat mulai
enggan memilih pemimpin wanita. Bahkan kebanyakan kiai / ulama
melarang pemimpin wanita berdasarkan firman Allah swt (“ar-rijaalu
qawwamuna `alan nisa”) Laki – laki itu pemimpin kaum wanita. Dalam
konteks ini secara filosofi memiliki banyak makna dan pemahan
sesuai dengan konteks yang ada.
Dari sini telah banyak yang salah kaprah mengartikan ayat
tersebut. Wanita dianggap tidak mampu, lemah, ngalem, dll. Itu
disebabkan minimnya pemahaman dikalangan masyarakat.
Namun pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut
serta mengambil bagian dalam membangun rumah tangga masyarakat
dan negara. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi
menteri, pemimpin perusahaan, angkatan bersenjata, anggota
Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat, bahkan ada juga yang menjadi presiden.
Oleh karena itu, keterlibatan wanita di dalam rumah tangga
masyarakat dan negara, janganlah sampai melupakan tugasnya
sebagai seorang istri karena sebagai seorang istri yang baik,
wanita wajib taat kepada perintah suaminya. Akan tetapi dalam
1
perspektif yang lain wanita didudukan sebagai obyek yang harus
dipimpin laki-laki: "Lelaki adalah pimpinan bagi wanita" (An-
Nisa 34) bukan berarti wanita tak mendapat kedudukan yang
layak. Wanita dalam batasan tertentu malah menjadi sebuah
tonggak negara, dengan peran sertanya dalam mendidik
keturunannya. Selanjutya untuk lebih jelasnya mengenai masalah
kepemimpinan wanita akan dibahas dalam makalah ini.
B. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui sejauh mana peran wanita sebagai pemimpin
prespektif aswaja
C. Analisis Pembahasan
Di Indonesia, benih ide khilafah sudah ada sejak awal
kemerdekaan tahun 1945, baik yang bersifat konstitusional,
seperti Majlis Konstituante, atau bersifat militer, seperti
dalam kasus DI/TII, yang berusaha mendirikan negara Islam dan
menolak Pancasila. Era reformasi tahun 1998 yang memberikan
ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di Indonesia
kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan
yang mewacanakan isu khilafah semakin intens dan terbuka
dikampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan
nyata.
Sebagai umat Islam, memimpikan idealisme sebuah sistem
pemerintahan dan bentuk negara yang Islami, adalah suatu
impian yang lumrah sebagai tuntutan dan konsekuensi logis atas
keIslamannya. Dan hal ini harus dihormati karena merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Akan tetapi yang penting
dimengerti adalah, bahwa umat Islam hidup tidak sendiri. Umat
2
Islam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bersama
“orang lain” (non Muslim), yang tidak dibenarkan memaksakan
mereka dengan aturan-aturan sepihak Islam saja.
D. Sistematika Pembahasan
Bab I menjelaskan Pendahuluan yang menjelaskan Latar
belakang Pembahasan Makalah yang membahas tentang fenomena
kepemimpinan wanita dalam prespektif aswaja. Dengan tujuan
pembahasan mengetahuai sejauh mana peran wanita sebagai
pemimpin dalam pandanngan islam berdasarkan analisa yang
pembahasan yang berdasarkan pandangan – pandangan islam. Hal
ini menggunakan metode library research untuk memperluas
pemaham dalam menulis makalah tersebut.
Bab II Kepemimpinan Wanita Prespektif Aswaja yang mengkaji
tentang Kepemimpinan Wanita, Kepimimpinan wanita menurut
pandangan Ulama`, Sejarah Kepemimpinan Wanita, Pemimpin
munurut Islam
Dengan landasan pengkajian Aswaja sekaligus pandangan Aswaja
dalam kepemimpinan Aswaja,
Kepemiminan Wanita prespektif Aswaja adalah kajaian yang
membahas dan menelaah syarat – syarat kepemimpinan wanita dan
prinsip kepemimpinan aswaja.
Bab III. Kesimpulan Makalah menghadapi fenomena kepemimpinan
wanita.
3
BAB II
KEPEMIMPINAN WANITA PRESPEKTIF ASWAJA
A. Kepemimpinan Wanita
Menurut Hasjim Abbas menjelaskan bahwa hak – hak politik
bagi wanita apabila wilyah kepemimpinan Negara saat berpotensi
khilfiyah. Potensi tersebut terkondisi oleh beberapa factor
sejak dari kualifikasi nas syar`i, dalalah ungkpannya,
fenomena sejarah, formula hokum positif beberapa Negara hingga
distribusi hak – hak politik bagi wanita. Dalam nash syar`a
yang berupa ayat alqur`an atan matan hadis tidak dijumpai
pernyataan yang shahih (ekspilisit) melarang wanita menjabat
pimpinan negara. Dalam al qur`an surat an Namel 23-25 justru
menghikayatkan Balqis yang menjabat ratu (al mulk) di Negara
saba`.
Kepemimpinan wanita merupakan persoalan pelik yang sampai
saat ini terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan
tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier
berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu
masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr.
Bukhari)
Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran
biasanya diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya.
Artinya apakah secara matan (isi) suatu hadits tersebut
bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau dapat difahami
4
dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak.
Kemudian interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan
sanad ataupun pembawanya. Dengan menggunakan kekuatan sanad
akan melahirkan jenis hadist dari tingkat Shahih sampai dloif,
mursal bahkan palsu.
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab
periwayatannya dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke
dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan,
ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara
kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa
haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan
pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan
dengan diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin
meski disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang
memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki demikian.
1. Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Ulama`
Mayoritas ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman
lafazh lebih mengedepan bukan pada kekhususan sebab. Meski
demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak semata-semata itu, hal
ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang demikian
dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang
berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan
ayat maupun hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama
sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.
Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan
dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin
5
tertinggi). Di mana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi
dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut
terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua),
yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam.
Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita.
Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan hawa
hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini
diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah,
Ibnu Khaldun.
Dalam pandangan ulama klasik seperti Ibnu At – Tin, bahwa
keberadaan hadis “lan yuhlifa qaumun amrahum imra-atan” juga
mendasari larangan wanita menjabat qaii (Hakim Mahkamah
syar’i). demikian pula Imam al Mawardi hanya menambahkan
isyaratkan laki – laki untuk pemangku jabatan al –
wuzura’(menteri Negara)
Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang
tertentu, yang tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita
berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan
bahkan menjadi menteri. Meski demikian perkembangan pemikiran
tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan
kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis.
Fatimah Mernisi seorang feminis muslim asal Aljazair bahkan
secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah membuat
fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan
dikebiri. Dan shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi
tertuduh terbesar. Sebab dialah yang mengingatkan Khalifah Ali
setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah sendiri menurut
Mernisi adalah Shahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin
6
Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga
menurut Fatimah Mernisi hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah
adalah palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah. Tampaknya
Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga ketika Ali
membenarkan hadits tersebut tak gubris. Bahkan Ali difahami
juga turut berbohong demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut
Hasan bin Ali juga mendukung hadits tersebut, dan disebutnya
Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan diambil
Muawiyah. Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan
politik adalah produk ulama yang bias dengan patriakhi.
2. Sejarah Kepemimpinan Wanita
Sejarah mengungkapkan kepemimpinan Negara (Islam) oleh
wanita muslimah. Sittu Al – Mulk, saudara perempuan Al Hakim
bi Amrillah Al – Fathimi pernah bertahta selama empat tahun di
Mesir. demikian pula sejarah ad – Durr, isteri Al – Malik as –
Shalih Ayyub yang mejabat khalifah di Mesir hingga terbunuh
pada tahun 1357 H. sekalipun fakta itu memihak pada tradisi
keaagamaan syiah, namun secara menunjuk bukti golongan dalam
system kenegaraan.
Bertolak belakang dengan fakta sejarah tersebut, formula
hokum positif Negara Tunisia, Kuwait, Siria dan Maghribi
secara tertulis mempersyaratkan laki – laki bagi calon pejabat
presiden. Hanya jukum hokum positip Mesir seperti yang tertera
pada Undang – undang Tahun 1971 pasal 75 mempersyaratkan calon
president cukup warga Negara Mesir, serta kedua ibu bapaknya
juga warga Negara Mesir dan juga berusia tidak kurang dari 40
7
Tahun. Syarat kelelakian dipandang implicit mengikatnya karena
kosntitusi Negara bersumberkan ajaran Islam.
Kiprah wanita dalam sejarah menorehkan hasil yang gemilang.
Wanita difahami telah memberikan andil yang besar dalam bidang
intelektual klasik. Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi
hadits, bahkan sufi wanita. Siti Aisyah dikenal sebagai
pembawa hadist yang sangat berarti, bahkan para shabahat nabi
belajar padanya. Dalam sejarah juga diketemukan sufi Rabi'ah
Al-Adalawiyah yang dalam maqam sufi dikenal sebagai wanita
yang sangat berpengaruh di jamannya dengan segala kontroversi
yang menyelimutinya.
Disamping berperan dalam agen intelektual dan kemuliaan,
wanita memegang peranan dalam proses da'wah Islam. Wanita
seperti Asma bin Abu Bakar merupakan contoh bagaimana seorang
wanita dapat memberikan andil yang sangat berarti untuk
menyusun strategi hijrah nabi.
Karya-karya besar wanita ini menarik para ulama Islam untuk
menulis biografi tentang peranan wanita dalam jamannya. Tidak
kurang dari 35 ulama besar menulis tentang wanita dan segala
perjuangannya. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (852/1449)
menulis kamus biografis pertama tentang semua orang muslim
terkemuka yang meninggal pada satu abad tertentu Islam -abad
ke delapan Hijrah/Keempat belas Masehi.
Jumlah dan proporsi wanita yang terekam ke dalam tulisan
ulama meliputi para sahabat Shahabat merujuk kepada gender
laki-laki dan shahabiah merujuk kepada gender perempuan.
Artian secara umum generasi shahabat adalah orang-orang yang
hidup semasa nabi yang mengakui, menerima Islam dan menerima
8
segala konsekuensinya, baik usia ketika itu sudah dewasa dan
kecil. Shahabat dalam pandangan kaum Sunni menempati kedudukan
mulia, sedangkan dalam pandangan kaum Syi'ah para sahabat
menyimpang setelah Nabi wafat.
Dari perspektif ini terlihat bahwa sejarah memberikan
peranan yang besar. Peranan besar wanita terlihat pertama kali
ketika Siti Khadijah (istri nabi pertama) sebagai pengikut
pertama Muhammad, bukan dari laki-laki-laki. Kajian ini telah
ditelaah oleh Ibnu Sa'ad secara panjang lebar, sepanjang
dengan kajian tentang kajian sahabat.
Al-Qur'an sebagai sumber yang paling otoritatif dalam Islam,
memberikan uraian yang panjang lebar, bahkan salah satu
suratnya merujuk langsung kepada wanita (surat An-Nisa').
Banyak ditemukan bahwa wanita menjadi sebab turutnya ayat,
baik dalam kapasitas peringatan ataupun dalam kapasitas
memberikan kejelasan.
Ayat tentang wanita yang berkait dengan peringatan adalah
tentang ayat Hijab dalam Al-Ahzab dan An-Nur, dan ayat tentang
tuntutan harta istri nabi, sedangkan ayat tentang sanjungan
dan kejelasan adalah ayat yang memberikan keterangan tentang
kesucian Aisyah yang sempat didiamkan Nabi dalam surat. Meski
kita lihat setting utama yang digunakan adalah istri-istri
nabi.
Bahkan dalam keluarga Nabi sendiri, anak wanita menjadi
sangat dominan. Nabi pernah mempunyai anak laki-laki (Ibrahim
bin Muhammad) akan tetapi meninggal dunia ketika masih remaja.
Sedangkan anak yang perempuan sebanyak 4 orang, dan yang
paling utama adalah Fatimah Zahrah. Bahkan dari generasi
9
Fatimah ini diklaim sebagai generasi yang akan melahirkan
keturunan yang paling baik dan ma'shum.
Masalah ini dapat dilihat dengan kemunculan mazhab politik
Syi'ah yang kemudian menjadi mazhab Aqidah. Bahkan dalam
sejarah varian dari mazhan Syi'ah ini mengambil nama Fatimah
az-Zahra sebagai varian dari Syiah. Lebih jauh mazhab ini
mampu mendirikan sebuah pemerintahan Fatimiyah Isma'liyyah di
Mesir.
Karya wanita dalam sejarah Islam adalah keterlibatannya
dalam proses ba'iah (sumpah setia). Sumpah setia dari 2 wanita
Madinah untuk masuk Islam dan setia kepada Nabi tercermin
dalam Bai'ah An-Nisa'i (bai'ah Perempuan). Bukan hanya itu
saja, dalam bai'ah kedua jumlah wanita mencapai 449 wanita
menyatakan diri masuk Islam dan menerima kerasulan Muhammad,
yang kemudian dikenal dengan bai'ah harbi (perang).
Bai'ah itu sendiri dimaknai sebagai bentuk kesepakatan atau
kontrak sosial. Bai'ah masih satu rumpun dengan kata al-ba'i
atau jual beli. Bai'ah ini dilaksanakan di bukit Aqobah,
antara Nabi dan orang-orang Madinah. Dalam perspektif yang
khusus bai'ah sebagai tonggak berdirinya masyarakat Islam atau
sebagai embrio negara Islam Madinah.
Kedudukan wanita mendapat posisi yang menakjubkan dalam
sejarah, orang yang pertama kali mendapat syahadah adalah
wanita bukan pria. Orang itu adalah Sumayyah binti Khubbat,
yang meninggal di Makkah dibunuh oleh Abu Jahl. Bahkan banyak
wanita menjadi perantaraan turunnya peristiwa mukjizati,
maupun ramalan masa mendatang.
10
Hal lain yang cukup mengedepan adalah ke-terlibatan wanita
dalam beberapa pertempuran yang menentukan. Baik dalam masa
Nabi maupun dalam masa khilafah Rasyidin. Yang cukup
kontroversial adalah keterlibatan Siti Aisyah dalam perang
Unta (Jamal) melawan Ali bin Abu Thalib karena masalah
pengusutan pembunuhan Utsman yang tidak tuntas.
Di samping analisis di sekitar shahabat dan keluarga Nabi,
wanita di jaman tabi'in. Wanita seperti 'Amra binti 'Abdur
Rahman, sebagai seorang ahli fiqih yang mempunyai hubungan
yang dekat dengan Aisyah. Terdapat pula Hafshah binti Sirin,
sebagai seorang ahli hadist generasi kedua dari Basrah, yang
terkenal dengan ketaqwaan dan kezahidannya. Ia digambarkan
oleh Ibnu Jauzi digambarkan sebagai wanita yang shaleh, ia
melakukan shalat sepanjang waktu. Terdapat pula Aisyah binti
Thalhah --cucu Abu Bakar-- yang dalam sejarah cukup mengandung
kontroversi, dari kepandaiannya sebagai penyampai hadist
maupun tentang kecantikannya.
Analisis tentang peran wanita dalam sejarah dalam zaman
Abbasiyah melebar ke dalam masalah politik kenegaraan. Ummu
Salamah --istri dari Abu Al-Abbas sang pendiri Abbasiyah--
mempunyai pengaruh yang besar kepada suaminya, bahkan Abu al-
Abbas selalu meminta pertimbangannya dalam segala hal.
Kemenakan perempuan Harun al-Rasyid --Zubaidah-- mampu
mempengaruhi untuk mendapatkan hak-hak istimewa. Pengaruh
Zubaidah sendiri sampai masa pemerintahan khalifah al-Makmun.
Dalam kekhilafahan Abbasiyah, puncak peran wanita dalam
masalah politik adalah dengan tampilnya Syajarat Ad-Durr yang
sempat memerintah di Mesir selama beberapa bulan. Kapasitas
11
Durr sebelumnya adalah sebagai seorang selir Sultan Ayyubiyah
yakni Malik Ash-Shalih Najmuddin. Kemampuan Durr tidak hanya
dalam masalah pemerintahan, ia juga terlibat dalam perang
melawan pasukan Salib. Dia memerintah karena kondisi yang
sangat darurat, yang mengharuskan ia mengambil kekuasaan
ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal
sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang
memerintah mengatasnamakan putrnya yang masih kecil setelah
suaminya meninggal. Ia dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai
orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan tampilnya wanita dalam
politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk dan
Seljuk.
3. Pemimpin Menurut Islam
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita.
Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi
mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita
menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah
melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah
Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan
karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik
dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan
pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah
diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Suatu kaum itu tidak akan
bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada
12
wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits
‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Wanita sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat
perlakuan yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan
ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas wanita.
Dengan demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha
melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat. Memang dalam
batasan tertentu menurut Mazhab Hambali, seorang wanita yang
kafir tidak disiksa seberat laki-laki kafir. Bahkan dalam
sejarah banyak ditemukan bahwa wanita bagi umat memberikan
makna dan simbol kesucian dengan pengabdiannya yang luar
biasa.
Dengan peranannya tersebut wanita menjadi sangat mempunyai
arti penting dalam dimensi spiritual. Di samping dalam lingkup
spiritual, wanita juga mempunyai peran penting dalam hal
pendidikan anak.
Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad,
Nasa’i dan Turmudzi. Bahwa Rasulullah bersabda:
Artinya:’tidak akan sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan
(menguasakan) urusan mereka kepada seorang perempuan”.
Hadits ini daru segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits
yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah
(pemahaman makna) hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya
wanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk
ikhbar dilihat dari sighatnya hadits ini tidak otomatis
menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk
menyimpulkan apakah sebuah khitab berhukum wajib, sunnah,
13
makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasinya), bukan
sighatnya (bentuk
kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada
masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada
seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan
komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja,
namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya
kata qaum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum
muslim didalamnya. Sedangkan latar belakang turunnya hadits
ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya
(mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk
umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’.
Karena latar belakang bukanlah hadits nabi. Oleh karena itu
latar belakang sabda Nabi diatas tidak ada kaitannya sama
sekali dengan penetapan hukumnya. Oleh karena latar belakang
atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis
dalil.
Adapun hukum yang terkandung didalam pembahasanya sebagai
berikut. Meski,
hadts ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun didalam
lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya
secara pasti.
Sementara al-Qur’an justru mengatakan sebaliknya. Al-Qur’an
memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar,
yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’, hal ini disebutkan dalam
al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15:
14
Artinya:”sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan) : “makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik
dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.
Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah,
bersikap hati-hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia
tidak gegabah dan buru-buru dalam memutuskan sesuatu, sehingga
ketika ditanya tentang singgasananya yang telah dipindahkan
itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis, tidak dengan
jawaban vilgar yang dapat menjebak. Bahkan kecerdasan Balqis
dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat
keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang
berkilauan laksana air. Dalam ketakjuban itu, Ratu Balqis
tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia
mengatakan:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap
diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah,
tuhan semesta alam”
Ini hanyalah sebuah ungkapan yang hanya dapat diucapkan oleh
orang yang cerdas.
Dikala ia dalam kondisi tetapi ia merangkul lawannya dan
menundukan diri kepada zat yang lebih tinggi daripada Sulaiman
(Surah an-Naml: 40).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan
berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden atau Perdana
Menteri), sebagaimana halnya kaum
15
laki-laki, bila mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai
pemimpin.
Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas mengatakan bahwa: Tidah
bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang
perempuan, al-Qur’an justru menyebutkan
sebaliknya. Al-Qur’an telah menceriatakan bagaimana
kepemimpinan ratu Balqis
yang dapat mempin negerinya dengan baik dan sangat
memperhatikan kemashlatan
rakyatnya.
Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung
makna implicit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin
sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu Muhamad Jarir
ath-Thabary dan ibnu Hazm berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah
tersebut
hanya melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala
Negara Islam atau
khalifah.
B. Aswaja
1. Pengertian Aswaja
Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau
golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW.
Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (
fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ). Sedangkan definisi
Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai
I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah
Asya’iroh dan Maturidiyah.
16
Menurut K.H. Syaifuddin Zuhri pengertian Aswaja adalah
segolongan pengikut sunah Nabi Muhammad SAW yang didalam
melaksanakan ajaran-ajaran beliau berjalan diatas garis yang
dipraktekkan oleh Nabi dan para Sahabat.
Adapun penggunaan istilah Aswaja didalam riwayat Ibnu Majah
dari Mu’awiyyah R.A. dari Rasulullah SAW bersabda :
ة� �رق� ن ف� عـي� لا ث� وس�ب� ـت�رق� ع�لى ث�� ف� مة� س�ـب� ه الا! ة� وان ه�ذ� �رق� ن ف� عي� ن وس�ب� ي� ت� ن* صا رى ع�لى اث�, ت� ال�ن� ت�رق�� ة� واق� �رق� ن ف� عي� هودع�لى اح�ذى وس�ب� ت� ال�ي� ت�رق�� اق�ذه� �ار وواح �ى� ال�ت عون ف� ب� �ان وس �ت ث=, ة@ ا *ن ى� ال�ج� وا ف� �ا ل ��ذه� ق �ه ال�واح ذ� �ا ه �ة مول ال�ل �ا رس ��ا ث ��ا اث �ال م ��ة ق لن�ي� ع�ـ حا ب�� �وم وا ص �ا ل�ي
Artinya : “ Telah pecah ummat Yahudi menjadi 71
golongan, dan telah pecah ummat Nasroni 72 golongan, dan
ummatku akan pecah menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk
neraka dan hanya 1 (satu) yang masuk surga (yang selamat hanya
satu) lalu para sahabat bertanya : siapakah yang selamat itu …
? Nabi menjawab : apa yang hari ini aku kerjakan dan para
sahabatku.”
Didalam hadis lain dalam kitab Al-Milal wan Nihal karangan
Syaikh Ahmad Abdul Karim juz 1 hal 13 Nabi Bersabda :
ل وم�ن ت� ماعة� ق�� ة� وال�ج� ال اه�ل ال�سن� ؟ ق�� ة� ن� ا ج�� ل وم�ن ال�ت� ت� ون ه�ـلكى ق�� اق� ها واح�ذه� وال�ت� ة� م�ي� ن� ا ج�� ة� ال�ت� �رق� ن ف� عي� لاث� وس�ـب� ى� ع�لى ث�� ت�رق� ام�ت� ف� س�ـب�
وم ة ا ل�ي� ا ع�ـلن� ال م�ا اث�� ؟ ق�� ماعة� ة� وال�ج� ة اه�ل ال�سن� ي� )رواه اب��ن م�ا ج� وا ص�حا ب��
Artinya : “ Umatku akan pecah menjadi 73 golongan
yang selamat hanya satu firqoh sedang yang lainnya binasa.
Nabi ditanya : Siapakah yang selamat itu … ? Nabi menjawab :
17
Ahlussunah Wal Jama’ah, Nabi ditanya lagi : Siapakah
Ahlussunah Wal Jama’ah itu …? Nabi menjawab : Apa yang aku dan
sahabatku pegang “. (HR. Ibnu Majah)
2. Pandangan Aswaja dalam Kepemimpinan Wanita
Nahdlatul Ulama’ dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah
pada dasarnya menganut lima prinsip. Yakni, at-Tawazun
(keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-
Ta'adul (patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Dalam
masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri NU KH
Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara
Islam atau tidak di Indonesia. Kakek mantan Presiden
Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui
keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak
menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan
masih menjadi perdebatan.
Ditinjau dari segi hukum islam, wanita menjabat president di
Indonesia satutus hukumnya khilafah, karena hakikat jabatan
tersebut tudak sama dengan konsep khilafah/imamah uzma yang
dikenal dalam islam. Khilafah itu senada dengan pemberian
porsi hak – hak politik kepada wanita. Dengan memanfaatkan
pardigma social politik yakni mengacu pada aspirasi masyarakat
Indonesia melalui MPR hasil pemilu.
Dalam kajian Aswaja memberikan dasar bahwa kepemimpinan
wanita mempunyai hak yang sama dengan laki – laki berdasarkan
hal tertentu,
a. Wanita merupakan bagian dari masyarakat, kepentingan
kelompoknya perlu terwakili dan bila kelompok wanita di suatu
18
Negara merupakan mayoritas, sangat mungkin seorang diantara
mereka mendapat kepercayaan untuk memimpin Negara.
b. ide keadilan social menghendaki perlakuan yang sama
antara wanita dan pria, seperti diisyaratkan oleh statement
hadis : innama al risa u syaqaiqu al rijali (HR. Ahmad. Dawud
dan at Turmudzi)
c. Peranan atas demokrasi perlu mengikut sertakan wanita
dalam distribusi hak – hak politik secara penuh.
d. Reputasi berhasil memimpin bangsa dalam mekanisme kerja
kolektif terbuka bagi keberhasilan oleh pemimpin begara pria
atau wanita sepanjang sistem dan perangkat lunak kenegaraan
berjalan optimal.
e. Asas maslahat pernah memberi dorongan rekrutmen pejabat
Negara/panglima oprasi militer dimasa hidup Nabi Muhammad saw.
C. Kepemimpinan wanita prespektif Aswaja
1. Syarat – syarat kepemimpinan wanita
Sebagaimana al-Qur’an bercerita tentang kepemimpinan
seorang perumpuan dengan menceritakan contoh histories Ratu
Balqis di negeri Saba’ yang merupakn gambaran perempuan yang
mempunyai kecemerlangan pemikiran. Ketajaman pandangan,
kebijaksanan dalam mengambil keputusan, dan stategi politik
yang baik. Waktu ia mendapat surat dari nabi Sulaiman ia
bermusyawarah dengan para pembesarnya. Walaupun mersa kuat
dan siap menghadapi perang melawan Sulaiman, namun ia
mempunyai pandangan yang jauh. Ia tidak ingin negerinya
hancur dan rakyat menjadi korbannya. Karena ia mempunyai
intuisi, bahwa Sulaiman itu seorang nabi. Maka tidaklah
19
bijaksana melawan Sulaiman itu kebenaran yang tentu dijamin
oleh tuhan dengan kemenangan. Juga tidaklah bijaksana
mengahalangi kaum dan rakyatnya untuk menikmati
kebenaran tersebut dengan berperang melawannya untuk
mempertahankan kebatilan.
Seperti halnya diterangkan Meskipum Sunni menyatakan
pentingnya keterlibatan umat dalam pemilihan pemimpin, akan
tetapi Aswaja memberikan batasan-batasan kriteria pemimpin
yang layak dan harus dipilih. Syarat-syarat tersebut
adalah :
1.Kompetensi Keagamaannya.
2.Reputasi Keadilannya
3.Kapasitas kepemimpinan dan kemampuan pengelolaan (asy-
Syiyasah)
Dalam kitab-kitab fiqih Syiyasah disebutkan pula Syarat
Keturunan Quraisy dan kesehatan. Untuk yang pertama ini
masih dipertanyakan oleh beberapa Ulama seperti Al-
Baqillani, ini mengingat realitas yang terjadi saat ini
tidak memungkinkan untuk hali itu. Al-Baqillani menambahkan
syarat pemimpin ialah Adanya “Syaukah” (kekuatan) yang
dimilki oleh pemimpin tersebut.
Para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah selalu mengingatkan
bahwa jabatan pemimpin merupakan amanah, bukan sebagai
anugrah. Oleh karena itu para pemimpin harus menyadari bahwa
kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban (mas’ul
Anhu) di hadapan Allah maupun di hadapan masyarakat Yang
dipimpinnya. Dan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan
akan hal itu maka selayaknya tidak memaksakan diri.
20
Oleh karena peran para pemimpin itu sngatlah besar,
demikian pula dengan pertanggungjawabannya maka para Ulama
Sunni menetapkan beberapa syarat seperti telah disinggung
diatas, ditambah lagi dengan kesehatan fisik dan mental,
kemampuan dan kewibawaan.
Masalah keteladanan bagi para pemimpin juga dipandang
penting bagi para ulama sunni. Oleh karena itu imam Al-
Ghazali menyatakan, bahwa masalah moralitas yang luhur
merupakan ukuran dalam memilih pemimpin. Empat inti
moralitas yang disebutkan oleh Al-Ghazali, yakni:
1. Al-Hikmah (kearifan, Kebijakan)
2. As-Syaja’ah (keberanian moral dan kewiraan)
3. Al Iffah (pengendalian diri)
4. Al-Adalah (adil atau sikap obyektif)
Al-Ghazali menyatakan, memang selain Rasulullah tidak ada
manusia yang sempurna. Akan tetapi orang selain Rasulullah
harus meneladani ahlak-Nya dengan tingkat kemampuannya
sendiri-sendiri, jangan sampai seorang pemimpin yang ingin
dihormati, dipatuhi dan dicintai mengabaikan hal-hal
tersebut.
Di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah tidak ada pembakuan
tata cara rekrutmen dan mekanisme penetapan pemimpin, baik
dalam bidang kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hal itu
dianggap sebagai masalah sosio-kultural yang dinamis dan
berubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat akan
kemaslahatan.
Paham seperti ini diterapkan NU di Indonesia dalam
beberapa kasus. Seperti dalam masalah pemberontakan DI TII
21
di beberapa daerah dan keputusan Munas Alim Ulama pada tahun
1954. Kedudukan Ulama (Kyai) dan Pola kepemimpinan dalam NU
Nahdlatul Ulama selalu menempatkan Ulama pada kedudukan
tertinggi. Hal ini terkait dengan peran Ulama yang juga
sebagai penyambung mata rantai Ahlussunnah Wal Jamaah. Kyai
ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan
pembimbing utama jalannya Organisasi.
Hal ini terbukti dari struktur yang ada dalam setiap
tingkat kepengurusannya, mulai dari tingkat desa (Ranting),
sampai di tingkat pusat (Pengurus Besar) yang selalu
menempatkan Ulama sepuh dalam kedudukan Tertinggi (Syuriyah)
dan ulama yang lebih muda umur dan ilmu agamanya—di
kedudukan Manager (Pelaksana/Tanfidziyah).
Jelas sekali pola kepemimpinan seperti ini mirip atau
mungkin menjiplak pola kepemimpinan dalam pesantren, di mana
Kyai sebagai penentu keputusan, dan Santri senior yang
dipilih sebagai ketua pengurus pesantren bertugas sebagai
pelaksana.
Di lingkungan Nahdliyyin, penghormatan, ketaatan dan
penghormatan terhadap Ulama ini sangat besar dan dalam baik
secara Struktural maupun individual. Dalam kehidupan
individual, kehadiran kyai dinilai selalu menyentuh
kehidupan mereka sehari - hari, mulai dari bimbingan rohani,
tempat bertanya, dan konsultasi, sampai kebutuhan pribadi
dan keluarga, seperti pemberian nama anak atau cucu yang
baru lahir, pilihan waktu baik dan afdhol untuk kawin atau
mendirikan bangunan dan lain-lain.
2. Prinsip Kepemimpinan Wanita
22
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan
sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
a. Aqidah
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi
penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang
pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan
ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak
perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT.
Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma
Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w.
324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism)
bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang
disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah
adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu
bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan
manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan
murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah
yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan
semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki
sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para
23
Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang
dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia
dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini
dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia
adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan
bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada
hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan
sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka
semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka
selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik
akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.
b. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah
konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya
memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan
golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa
imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri.
Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk
24
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga
kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk
negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-
syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi
maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara
tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
c. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam
mengambil segala keputusan dan setiap keputusan,
kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan
musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang
apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-
Syura, 42: 36-39)
25
d. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling
banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang
memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-
Nisa, 4: 58)
e. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena
merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan
manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams
(prinsip yang lima), yaitu:
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap
warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas
untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang
memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
26
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga
negara.
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang
dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan
jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai
dengan martabat rakyat sebagai manusia.
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap
warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus
memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah
negaranya.
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan,
profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena
profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga
negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia
yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di
kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di
atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang
yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.
27
f. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara
satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa
yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu
dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia
dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain.
Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis,
yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses
sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam
surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
28
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah
sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan
memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka
memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara
justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar
oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada
doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan
Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di
antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin
agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan –
harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
BAB III
KESIMPULAN
29
Daftar Pustaka
https://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-
wal-jama%E2%80%99ah-sebagai-manhajul-fikr/
http://mtsnuofficialwebsite.blogspot.com/2009/07/
kepemimpinan-dalam-pandangan.html
http://www.piss-ktb.com/2012/11/2033-khilafah-dalam-
perspektif-aswaja.html
http://syabab1924.blogspot.com/2010/03/khilafah-ajaran-
aswaja-ahlussunnah-wal.html
https://fatwasyafii.wordpress.com/tag/prinsip-aswaja/
31