Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan Industrial Indonesia dan Malaysia
Makalah Hukum Perselisihan
Transcript of Makalah Hukum Perselisihan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku
secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3
(tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).1
Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, sehingga berkaitan dengan
permasalahan waris akan lebih digunakan hukum waris
Islam yang bersumber dari firman-firman Allah SWT yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan yang terkandung dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif di
Indonesia. Hukum waris ini dianggap baik digunakan bagi
orang Islam karena sesuai dengan ajaran agama. Akan
tetapi, dalam hal pewarisan keberadaaan hukum Adat dan
hukum Perdata Barat tidak dapat dihapuskan dari hukum
yang ada di Indonesia.
Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari
seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup.
Bagi umat Islam melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh1 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku diIndonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam,Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam diPerguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
1
2
nas-nas yang sahih adalah keharusan. Oleh sebab itu
pelaksanaan hukum waris Islam bersifat wajib. Persoalan
waris sering timbul menjadi salah satu persoalan krusial
dan sensitif dalam sebuah keluarga. Manusia tidak jarang
menjadi lupa karena masalah harta, maka berhati-hatilah
dengan harta jika tidak mampu mempertanggung jawabkan
nya dikemudian hari.
Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada umumnya, dimana
ditemui perincian nantinya maka perincian yang khusus
itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan
diperlukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.
Ketentuan dalam pembagian harta waris sudah ditentukan
oleh Allah SWT.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam
juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara
laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan serta merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
3
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah
saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan
baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B. Identifikasi Masalah
1.Bagaimana pembagian waris menurut hukum Islam
berdasarkan Al-Qur’an Surah An-Nisa dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam?
2.Bagaimana penerapan pembagian waris dalam perkembangan
pada masyarakat saat ini menurut hukum waris Islam,
hukum waris Perdata Barat, dan hukum waris Adat?
4
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Berdasarkan Al-
Qur’an Surah An-Nisa Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1991 Kompilasi Hukum Islam
1. Al-Qur’an Surah An-Nisa
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah
kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung
di dalam Alquran dapat dijumpai dalam beberapa surah
dan ayat, yaitu sebagai berikut :2
1. Menyangkut harta pusaka dan pewarisannya ditemui
dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 33. “Bagi tiap-tiap
harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan perwaris-
pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu”.
2. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui
dalam:
a. QS. An-Nisa’ (4) ayat 7 : “Bagi orang laki-
laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagia (pula) dari harta
2 Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkapdan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm 20
5
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan”
b. QS. An-Nisa’ (4) ayat 11 :“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
6
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
c. QS. An-Nisa’ (4) ayat 12 :“Dan bagimu (suami-
suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkam sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memeberi
7
mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun”
d. QS. An-Nisa’ (4) ayat 176 :“Mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah :
‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu’ “.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga buku, dan masing-
masing buku dibagi kedalam beberapa bab dan pasal,
8
khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan
judul Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab
dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan berikut
ini:3
Bab I : Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat
tentang kata-kata penting yang dimuat dalam
Buku II (Pasal 171).
Bab II : Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal
175).
Bab III : Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan
Pasal 191)
Bab IV : Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal
193)
Bab V : Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209)
Bab VI: Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)
Berikut adalah pasal-pasal dalam Bab III mengenai
Besarnya Bagian menurut Kompilasi Hukum Islam :4
3 Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkapdan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm 194 Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam
* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994,maksud pasal tersebut ialah : ayah mendapat sepertiga bagfian bilapewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu,bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
9
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh
bagian, bila dua orang atau lebihmereka bersama-sama
mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask
perempuan bersama-samadengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
anakperempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat
seperenam bagian.*
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau
dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anakatau dua
orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah
diambil oleh janda atau duda bila bersamasamadengan
ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagaian.
Pasal 180
10
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewarismeninggalkan anak
maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan
ayah, maka saudara laki-laki dan saudaraperempuan seibu
masing-masing mendapat seperenam bagian.Bila mereka itu
dua orang atau lebihmaka mereka bersama-sama mendapat
sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan
ayah, sedang ia mempunyai satu saudaraperempuan kandung
atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila
saudara perempuantersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara laki-laki kandung atau seayah,maka bagian
saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara
perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, setelahmasing-masing
menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannyua, makabaginya
11
diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul
anggota keluarga.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris maka kedudukannya dapat digantikanoleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat denganyang
diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunyadan keluarga dari
pihak ibunya.
Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta
peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnyaatau oleh
para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai
pelaksana pembagian hartawarisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik
berupa benda bergerak maupun tidakbergerak yang
kemudian disahkan oleh para ahli waris yang
bersangkutan, bila perlu dinilaiharganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan
pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1)sub a, b, dan
c.
12
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah
merupakan harta warisan yang harus dibagikankepada ahli
waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau
perseorangan dapat mengajukan permintaankepada ahli
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada diantara ahli warisyang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan melaluiPengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar,
supayadipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersamapara ahli waris
yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini
tidak dimungkinkan karena di antara para ahli warisyang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorangatau lebih ahli
waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli
waris yang berhak sesuaidengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka
masing-masing isteri berhak mendapatbagian atas gono-
gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan
13
keseluruhan bagian pewarisadalah menjadi hak para ahli
warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali
atau ahli warisnya tidak diketahui ada atautidaknya,
maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama
diserahkan penguasaannya kepadaBaitul Mal untuk
kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
B. Penerapan Pembagian Waris Dalam Perkembangan Pada
Masyarakat Saat Ini Menurut Hukum Waris Islam, Hukum
Waris Perdata Barat, Dan Hukum Waris Adat
KASUS
Bapak Siswanto menikah dengan Ibu Teni dan dikaruniai
seorang anak laki-laki yaitu Tomi, dan 2 (dua) anak
perempuan, yaitu Tati dan Tita. Tomi menikah dengan Mita
dan dikaruniai seorang anak perempuan, yaitu Fitri.
Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat
tahun 2009, Tomi beserta Mita dan Fitri yang merupakan
orang asli Sumatera Barat dan berdomisili di Padang
menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Tomi tertimpa
puing-puing bangunan rumahnya sehingga perlu dirawat di
rumah sakit, namun akhirnya jiwanya tidak tertolong. Ibu
Teni merasa sangat terpukul dan kehilangan anaknya
14
tersebut yang kemudian menyebabkan beliau sakit-sakitan
dan kemudian meninggal dunia dua bulan kemudian.
Mita saat ini dalam keadaan mengandung 6 (enam) bulan.
Untuk kepentingan anaknya (Fitri) dan anak yang sedang
dikandungnya, Mita meminta bagian warisan atas kematian
Tomi dan Ibu Teni tersebut karena dalam kedua kematian
tersebut belum dilaksanakan pembagian waris. Bagaimana
pembagian waris untuk kasus tersebut?
1. Hukum Waris Islam
Di dalam kasus ini terdapat dua peristiwa kematian,yaitu kematian Tomi dan kematian Ibu Teni. Oleh sebabitu maka penyelesaiannya harus dilakukan kasus perkasus, sesuai dengan urutan kematiannya.
Kasus I : Kasus Kematian Tomi
Tomi meninggal tanggal 13 Oktober 2009 (lima tahun yanglalu). Saat ini Mita sedang mengandung 6 bulan.Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkanbahwa anak yang dikandung Mita adalah bukan anak dariTomi. Sehingga para ahli-waris dari Tomi yang masihhidup antara lain :
1. Bapak : Pak Siswanto;2. Ibu : Ibu Teni (pada tahun 2009Ibu Teni belum
meninggal dunia);3. Saudara sekandung : Tati dan Tita;4. Janda : Mita;5. Anak perempuan : Fitri.
Dalam hal ini, hak waris saudara sekandung belumterbuka karena masih ada bapak. Maka pembagian hakwaris menjadi :
15
1. Bapak : memperoleh 1/6 bagian, danmemperoleh 1/6 bagian lagi
dari status bapak sebagai Ashabah;2. Ibu : memperoleh 1/6 bagian;3. Janda : memperoleh 1/8 bagian(karena memiliki anak);
4. Anak perempuan : memperoleh ½ bagian.
Kasus II : Kasus Kematian Ibu TeniPada saat kematian Ibu Teni, anak laki-lakinya (Tomi)sudah meninggal dunia, sehingga para ahli-waris yangmasih hidup terdiri dari :
1. Duda : Pak Siswanto;2. Anak perempuan : Tati dan Tita;3. Cucu perempuan : Fitri.
Mita bukan merupakan ahli waris karena dia hanyakeluarga semenda (menantu), sehingga tidak memiliki hakmewaris. Cucu perempuan dari anak laki-laki (Fitri)belum terbuka hak warisnya karena ada dua anakperempuan tetapi dapat menerima harta peninggalandengan jalan wasiat wajibah. Maka pembagian hak warismenjadi :1. Duda : memperoleh ¼ bagian;2. Anak perempuan : memperoleh 2/3 bagian (karenaada 2 anak, maka hartanya dibagi 2); Tati : ½ x 2/3 = 1/3 Tita : ½ x 2/3 = 1/3
3. Cucu perempuan : memperoleh harta peninggalandengan jalan wasiat wajibah sebesar ½ bagian.
Penetapan nilai wasiat wajibah sebesar 1/3 untuk cucudari anak laki-laki (Fitri) dihitung berdasarkankemungkinan bagian yang akan diterima anak laki-laki(Tomi) apabila ia masih hidup. Dalam hal semua anak
16
masih hidup maka akan terdapat Ashabah sebesar ¾ yangakan diterimakan kepada Tomi sebesar 2/4-nya, yaitusebesar 2/4 x ¾ = 3/8. Nilai 3/8 lebih dari batasmaksimum wasiat, yaitu 1/3, maka nilai wasiat wajbahditetapkan sebesar 1/3.5
2. Hukum Waris Perdata Barat
Peristiwa perkawinan merupakan peristiwa lahir dan
bathin yang terjadi antara dua orang untuk membentuk
suatu keluarga. Dengan terjadinya perkawinan
menyebabkan peristiwa lain dibidang hukum kebendaan,
yaitu dengan terjadinya peristiwa waris. Mengenai
peristiwa pewarisan diatur dalam Buku II KUHPerdata
yaitu mulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1130 KUHPerdata, selain itu juga diatur dalam
Inpres No. 9 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Harta peninggalan selain berupa hak-hak kebendaan
yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau
piutang-piutang dan dapat juga berupa hutang-hutang
yang melibatkan pihak ketiga. Menurut ketentuan Pasal
131 IS, hukum waris diatur dalam KUHPerdata berlaku
bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan
dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatblad
1917 No. 129 jo. Staatblad 1924 No. 557 hukum waris
dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing
Tionghoa, dan berdasarkan Staatblad 1917 No. 12 tentang
penundukan diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-5 Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, RefikaAditama, Bandung, 2006, hlm. 109-111.
17
orang Indonesia dimungkinkan menggunakan hukum waris
barat.6
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, “Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”. Jadi, harta peninggalan
baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat
ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.
Terdapat ketentuan khusus yang tercantum dalam Pasal 2
KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seseorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila
kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa seorang anak yang lahir saat ayahnya
telah meninggal, berhak mendapat warisan.
Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat
suatu warisan, yaitu sebagai berikut :
1) Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-
undang) dalam Pasal 832.
Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak
menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah,
baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri
yang hidup terlama.
2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk
dalam surat wasiat = testamen) dalam Pasal 899.
6 Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KitabUndang-Undang Hukum Perdata), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 10.
18
Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk
para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat
wasiat/testamen.
Hukum Waris Perdata Barat (BW) menganut sifat :
1) Sistem pribadi
Ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli
waris.
2) Sistem bilateral
Mewaris dari pihak ibu maupun bapak.
3) Sistem perderajatan
Ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si
pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh
derajatnya.7
a. Subjek dan Objek Hukum Waris
Subjek
1) Pewaris
Adalah orang yang meninggal dengan meninggalkan
harta kekayaan.
2) Ahli Waris
Adalah orang-orang tertentu yang secara limitatif
diatur dalam KUHPerdata.
a)Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukan
sendiri atau mewaris secara langsung, terdiri
dari empat golongan :
7 Effendi Perangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2008, hlm. 3-4.
19
(1) Golongan pertama, yaitu anak-anak beserta
keturunannya dalam garis keturuna ke bawah.
Hak mewaris suami atau istri yang hidup
terlama disamakan dengan seorang anak yang sah
(Pasal 852a KUHPerdata);
(2) Golongan kedua, yaitu orang tua dan saudara-
saudara pewaris; pada asasnya bagian orang tua
disamakan dengan bagian saudara-saudar
pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian
orang tua tidak boleh kurang dari seperempat
harta peninggalan;
(3) Golongan ketiga, Pasal 853 dan 854 KUHPerdata
menentukan dalam hal tidak terdapat golongan
pertama dan kedua maka harta peninggalan harus
dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk
kakek-nenek pihak ayah, setengan bagian lagi
untuk kakek-nenek pihak ibu;
(4) Golongan keempat, yaitu sanak keluarga si
pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat
keenam.
b)Ahli waris berdasarkan penggantian, dalam hal ini
disebut ahli waris tidak langsung. Misalnya A
meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C.
B telah meninggal terlebih dahulu dari A
(pewaris). B mempunyai anak D dan E, maka D dan E
inilah yang tampil sebagai ahli waris A
menggantikan B (cucu mewaris dari kakek/nenek);
20
c)Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat
menikmati harta peninggalan
Dalam hal ini kemungkinannya timbul karena dalam
KUHPer terdapat ketentuan tentang pihak ketiga
yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati
harta peninggalan pewaris berdasarkan suatu
testamen/wasiat.
3) Pihak Ketiga yang Tersangkut Dalam Warisan
Selain ahli waris dan pewaris dalam KUHPer dikenal
adanya :
a)Fidei comis, ialah suatu pemberian warisan kepada
seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia
berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah
lewatnya suatu waktu, warisan itu harus
diserahkan pada orang lain;
b)Executeur testamentair, adalah pelaksana wasiat yang
ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi
pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh
sesuai dengan kehendak pewaris;
c)Bewindvoerder/pengelola, adalah seorang yang
ditentukan dalam wasiat untuk mengurus kekayaan
(harta peninggalan) sehingga para ahli
waris/legataris hanya menerima penghasilan dari
harta peninggalan tersebut.8
Obyek
8 Surini Ahlan Sjarif, Idem, hlm. 11-13.
21
Pada prinsipnya obyek hukum waris adalah harta
kekayaan yang dipindahtangankan dari pewaris kepada
ahli waris. Harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut
berupa :
Aktiva
Yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan/atau
berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga. Selain
itu aktiva dapat berupa hak immaterial (hak cipta dan
sebagainya);
Passiva
Yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi
pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya
(menyimpan benda orang lain dan sebagainya).
b. Perihal Pembagian Warisan
Cara pembagian warisan : Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak menentukan cara tertentu dalam
pembagian warisan, jika ternyata semua ahli waris
cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada di
tempat (hadir) pada saat pembagian warisan tersebut
maka cara pembagian warisan tersebut diserahkan pada
mereka sendiri, tetapi dalam hal di antara ahli waris
terdapat anak-anak di bawah umur atau ada yang
ditaruh di bawah curetele (pengampuan), maka pembagian
warisan harus dilakukan dengan suatu akte notaris dan
dihadapan Wess Kamer (Balai Harta Peninggalan).9
c. Cara Pembagian Warisan
9 Surini Ahlan Sjarif, Idem, hlm. 17.
22
Setelah selesai perhitungan dan pembayaran
hutang-hutang pewaris, Pasal 1079 KUHPerdata mengatur
cara pembagian warisan sebagai berikut :
1) Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu
dengan harga/nilai sama rata seperti misalnya
seperdua harta warisan jika ahli waris hanya
terdiri dari dua orang saja, seperlima jika
ternyata ahli waris terdiri dari lima orang,
demikian selanjutnya;
2) Bila di antara para ahli waris ada yang menerima
barang/harta waris lebih dari bagiannya, di pihak
lain di antara ahli waris menerima kurang dari
bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang
lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai
pada yang mendapat kurang dari bagiannya.
ANALISIS KASUS
Dalam kasus tersebut pewarisan yang terjadi
akibat kematian Tomi dan Ibu Teni menggunakan sistem
pewarisan yang terkandung dalam KUHPerdata, karena Tomi
dan Ibu Teni merupakan orang Indonesia yang menundukan
diri pada hukum Eropa. Di dalam kasus ini terdapat dua
peristiwa kematian, yaitu kematian Tomi dan kematian
Ibu Teni. Oleh sebab itu maka penyelesaiannya harus
dilakukan kasus per kasus, sesuai dengan urutan
kematiannya.
Kasus I : Kematian Tomi
23
Dalam sistem pewarisan berdasarkan KUHPerdata,
ditentukan berdasarkan golongan dan legitieme portie.
Apabila golongan yang satu masih ada, maka akan menutup
hak mewaris terhadap golongan yang lain. Dalam
KUHPerdata, warisan diberikan kepada suami/istri serta
berdasarkan hubungan darah.
Ahli waris yang merupakan Golongan I dalam kasus ini
(istri dan keturunannya) adalah Mita dan Fitri yang
akan mendapatkan warisan, sehingga hak mewaris dari
Golongan II,III,IV akan tertutup. Masing-masing ahli
waris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama
rata. Sehingga dalam hal ini Mita dan Fitri masing-
masing akan mendapatkan ½ bagian dari harta yang
ditinggalkan Tomi.
Kasus II : Kematian Ibu Teni
Dalam kasus kematian Ibu Teni maka yang akan
mendapatkan warisan adalah Golongan I yaitu suami/istri
beserta keturunannya, dalam hal Bapak Siswanto, Tita,
Tati, dan Fitri (karena Tomi sudah meninggal dunia maka
kedudukannya akan digantikan oleh
keturunanya/plaatsvervuling). Mita tidak mendapatkan hak
waris dari Ibu Teni karena Mita hanya menantu dan tidak
memiliki hubungan darah dengan Ibu Teni. Hak mewaris
untuk Golongan II,III,IV menjadi tertutup. Masing-
masing ahli waris dari meninggalnya Ibu Teni akan
24
mendapatkan ¼ bagian dari harta yang ditinggalkan Ibu
Teni.
3. Hukum Waris Adat
a. Pengertian
Menurut Soerojo Wignjodipoero, Hukum adat waris
meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik yang bersifat materiil maupun yang
immateriil dari seseorang yang telah meninggal dunia
kepada ahli warisnya.10
b. Unsur-Unsur Hukum Waris Adat11
1) Pewaris
Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia
dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada
keluarganya yang masih hidup, baik keluarga
melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun
keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah
tangga.
2) Harta Warisan
Harta warisan adalah harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri
atas :
10 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8,Jakarta: Haji Masagung, 1989, hlm. 161. 11 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 2-4.
25
a) Harta bawaan atau harta asal, adalah harta yang
dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu
akan kembali kepada keluarganya bila ia
meninggal tanpa anak;
b) Harta perkawinan, adalah harta yang diperolewh
dari hasil usaha suami-siteri selama dalam
ikatan perkawinan (waramparang sibalireso);
c) Harta pusaka, adalah harta warisan yang hanya
diwariskan kepada ahli waris tertentu karena
sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya
dinikmati atau dimanfaatkan bersama oleh semua
ahli waris dan keturunannya;
d) Harta yang menunggu, adalah harta yang akan
diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-
satunya ahli waris yang akan menerima harta itu
tidak diketahui dimana ia berada.
Penetapan harta peninggalan seseorang yang telah
meninggal dunia sebagai harta warisan terlebih
dahulu memenuhi ketentuan sebagaimana berlaku,
yaitu apabila seseorang telah meninggal dunia dan
mempunyai utang, maka didahulukan pembayaran
utangnya kemudian diselesaikan penyelenggaraan
pemakaman jenazah. Sesudah jenazah pewaris
dikuburkan, maka ditunaikan wasiat pewaris12.
3) Ahli Waris
12 H. Salman (Ketua Sewan Adat di Besusu), wawancara, 25 Mei 1994di Palu.
26
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta
peninggalan pewaris, yakni anak kandung, orang
tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan
orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan
pewaris (janda atau duda). Selain itu, dikenal
juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin,
yang biasanya diebrikan bagian harta warisan dari
ahli waris bila para ahli waris membagi harta
warisan diantara mereka. Selain itu, biasa juga
diberikan harta dari pewaris baik melalui wasiat
maupun melalui hibah.
c. Sistem Kekerabatan Adat Di Indonesia13
Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat adat
di Indonesia ditemukan empat macam sistem kekerabatan
atau pertalian keturunan berdasarkan faktor
genealogis yang berlaku, yaitu
1) Sistem Kekerabatan Patrilineal, adalah sistem
kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan
melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya
dari pihak laki-laki terus ke atas. Patrilineal
itu terdapat didaerah adat orang Batak, orang
Bali, dan orang Ambon14.
2) Sistem Kekerabatan Matrilineal, adalah sistem
kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan
melalui keibuan yang menarik garis keturunannya13 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Op. Cit., hlm. 25.14 R. Otje Salman, “Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon dilihat dariHukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam”, (Disertasi doktor UniversitasPadjdjaran, Bandung), 1992, hlm. 7.
27
dari pihak ibu terus ke atas. Sistem kekerabatan
matrilineal yang dimaksud yang terdapat didaerah
adat orang Minangkabau, orang Kerinci, dan orang
Semendo15.
3) Sistem Kekerabatan Bilateral atau Parental, adalah
sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian
keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis
keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu ke
atas. Bilateral atau Parental itu terdapat di
daerah adat orang Aceh, orang Jawa, orang Dayak,
orang Bugis, dan orang Kaili16.
4) Sistem Kekerabatan Alternerend, adalah sistem
kekerabatan yang berdsasarkan pertalian keturunan
melalui kebapakan dan keibuan yang menarik garis
keturunan melalui pihak ayah dan pihak ibu secara
berganti-ganti, dan pergantian itu dilakukan bila
ayah atau ibu mempunyai kelebihan di antara
keduanya. Alternerend itu terdapat di daerah adat
orang Kaili, orang Pamona, orang Da’, dan orang
Bare’e17.
Hukum Waris Adat Matrilineal18
15 R. Otje Salman, Loc. Cit. Lihat, Amir Sjaripuddin, Pelaksanaan HukumKewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung,1984, hlm. 182. 16 R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,Bandung: Alumni, 1993, hlm. 48. R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan diIndonesia, Bandung: Sumur, 1991, hlm. 17. 17 Masyhudin Masyhuda, wawancara, tanggal 25 Mei 1994 di Palu, R.Otje Salman mengemukakan bahwa susunan masyarakat alternerend itu dapatdijumpai di Indonesia bagian timur, Loc. Cit.
28
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau
senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai
pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena
kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan
sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di
Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem
kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem yang menarik
garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut
garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara
perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-
laki maupun perempuan.
Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya
dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk
harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari
beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta
yang turun dari satu generasi.
Harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri dari
:
a. Harta Pusaka Tinggi
Yaitu harta yang turun temurun dari beberapa
generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni
harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak
kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta
yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis
18 Eman Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam,Adat, dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 52-54.
29
harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh
kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada
anak.
b. Harta Pusaka Rendah
Yaitu harta yang turun temurun dari satu generasi.
c. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian
atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya
meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai
harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini
sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah
sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada
anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu
“bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling
banyak sepertiga dari harta pencaharian untuk
kemenakan”.
d. Harta Suarang
Sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa,
diantaranya: Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan,
Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan, yaitu
seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-
sama oleh suami istri selama masa perkawinan, tidak
termasuk ke dalam harta suarang ini harta bawaan
suami atau harta tepatan isteri yang telah ada
sebelum perkawinan berlangsung. Dengan demikian
jelaslah, bahwa harta pencaharian berbeda dengan
harta suarang.
30
Ahli Waris dan Hal Mewaris Menurut Adat Minangkabau
Hukum waris adat dengan sistem kekeluargaan
matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencaharian
maupun harta bawaan (harta pusaka)19, oleh karenanya,
sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat
Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang
mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”.
Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang
“mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak
kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang
tertua dari ibu, mamak kepala waris harus cerdas dan
pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum
terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris.
Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan kemenakan ini
adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli
waris dapat dibedakan antara20 :
a. Waris Bertali Darah
Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang
terdiri dari ahli waris satampok (waris setampuk),
waris sajangka (waris sejengkal), dan waris saheto
(waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang
termasuk waris bertali darah ini mewaris secara
bergiliran, artinya selama waris bertali darah
setampuk masih ada, maka waris bertali darah19 Satriyo, Wicaksosno, Hukum Waris, Jakarta: Visi Media, 2011,hlm. 10.20 Eman Suparman, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 54-55.
31
sejengkal belum berhak mawaris. Demikian pula waris
seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka
waris sehasta belum berhak mewaris.
b. Waris Bertali Adat
Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak
memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali
waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau
mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris
bertali adat sehingga waris bertali adat ini
dibedakan sebagai berikut :
1) Menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh,
waris batali suto, waris batali budi, waris
tambilang basi, waris tambilang perak.
2) Menurut jauh-dekatnya terdiri dari: waris dibawah
daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris
di bawah lutut.
3) Menurut datangnya, yaitu: waris orang datang,
waris air tawar, waris mahindu.
c. Waris Bertali Budi
Yaitu waris dari orang lain yang sering datang
berkunjung di bawah lindungan satu penghulu.
d. Waris di Bawah Lutuik21
Yaitu waris yang asalnya tidak jelas dan keturunan
pembantu (budak) yang menetap sebagai anggota
kerabat.
21 Satriyo, Wicaksosno, Op. Cit., hlm. 25.
32
Dari keempat macam ahli waris atau kemenakan
tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan
bertali darah yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke
atas. Para ahli waris tersebut berhak menghalangi
tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang
tidak mereka setujui. Sedangkan kemenakan lainnya, yang
bertali adat, bertali budi, dan dibawah lutuik bukan
ahli waris dari satu gadang (sabuah paruik) atau dari
satu kesatuan kerabat yang disebut “kaum”22.
Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris
yang disebutkan diatas satu sama lain berbeda-beda
bergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia
warisi dan hak mewarisnya diatur menurut urutan
prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam
paparan di bawah ini23.
a. Mengenai Harta Pusaka Tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka
tinggi, cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan
kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan
dibagi-bagi pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan
“ganggam bauntuek”. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi
pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka
tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang
anggota kaum oleh mamak kepala ahli waris selanjutnya
dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang
22 Satriyo, Wicaksosno, Idem, hlm. 29.23 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 55-57.
33
atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan
seizin seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka
tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan :
1) Untuk membayar hutang kehormatan
2) Untuk membayar ongkos memperbaiki Bandar sawah
kepunyaan kaum
3) Untuk membayar hutang darah
4) Untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal
di pantai
5) Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.
b. Mengenai Harta Pusaka Rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pecaharian.
Harta pencaharian mungkin milik seseorang laki-laki
atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian
seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya
kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan
berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan
anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh
agama Islam, maka seorang ayah dengan harta
pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk
anak-anaknya atau menanami tanah pusaka istrinya
dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon
durian dll. Hal ini dimaksudkan untuk membekali
isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal
dunia.
c. Mengenai Harta Suarang
34
Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta
pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta
yang diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama
selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan
adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang,
dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika
suami masih merupakan anggota keluarganya, ia
berusaha bukan untuk anak isterinya melainkan untuk
orang tua dan para kemenakannya sehingga ketika itu
sedikit sekali kemungkinan terbentuk harta suarang
sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan
isterinya adalah saudara atau mamak isterinya.
Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang
nyata antara suami isteri untuk memperoleh harta
suarang sudah Nampak, terutama masyarakat Minangkabau
yang telah merantau jauh keluar tanah asalnya telah
menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup
keluarga (somah), yaitu antara suami, isteri, dan
anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang
kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan
berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya
sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi
akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta
keluarga yang disebut harta suarang.
Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan
bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang
meninggal dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah
35
hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.
Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
1) Bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai
anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami
dan bekas isteri.
2) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak
mempunyai anak, maka sebagai berikut :
a) Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi
dua, separoh merupakan bagian jurai si suami
dan separoh lagi merupakan bagian janda.
b) Jika yang meninggal isteri, harta suarang
dibagi dua, sebagian untuk jurai suami dan
sebagian lagi untuk duda.
3) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai
anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami
dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian
ibunya.
4) Apabila salah seorang meninggal dunia dan
mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai
berikut:
a) Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi
dua antara jurai suami dengan janda beserta
anak.
b) Jika yang meninggal isteri, harta suarang
seperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk
anak serta harta pusaka sendiri bagian ibunya.
36
ANALISIS KASUS
Dalam kasus ini menggunakan sistem kekerabatan adat
matrilineal orang Minangkabau, karena Tomi dan Ibu Teni
merupakan orang asli dan berdomisili di Minangkabau.
Untuk menentukan hukum waris yang digunakan dalam kasus
ini, berhubung Tomi dan Ibu Teni adalah orang asli dan
berdomisili di Minangkabau, Padang, Sumatera Barat, maka
pembagian warisnya menurut hukum waris adat Matrilineal.
Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa
untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan
dua garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian.
Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang
menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan
dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan
yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah
keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang
tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta
keturunannya dan yang ke empat kakek-nenek pewaris.
Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum
yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang
di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai
ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris,
adalah :
a. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris;
b. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan
pewaris.
37
Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah
positif, oleh karena dalam hal ini garis pokok keutamaan
mapun garis pokok penggantian menjadi variabel tidak
bebas (independen variabel)24.
Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara
golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari garis
pokok penggantian, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan
janda tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis
pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan
demikian janda (isteri pewaris) tidak termasuk kelompok
ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suaminya.
Demikian ini sejalan dengan apa yang diemukakan oleh
Soekanto mengenai kedudukan janda. Beliau menyatakan
bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan
suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan
dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk
nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus
dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini
terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang
ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut
supaya barang-barang asal dari peninggal harta
diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini tidak
mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat
dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh
dibagi-bagi asal saja janda terpelihara dalam hidupnya,
24 Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum WarisAdat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 19-20.
38
misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih
hidup suaminya) atau nafkah dijamin oleh beberapa waris.
Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami
pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal
demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi
antara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami
yang telah meninggal dunia25.
Menurut Ter Haar dalam menyatakan bahwa pangkal
pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai “orang
luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi
sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta
peninggalan, selama ia memerlukannya26. Di Minangkabau
misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari
pihak ibu (moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan
nafkah dari harta peninggalan suaminya.
Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik
garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya
menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum)
suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya,
baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang
asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya
sesudah suaminya meninggal dunia;
b. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya,
untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu,25 Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985,hlm. 117.26 R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,1994, hlm. 95.
39
lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap
merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-
bagi;
c. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau
dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-
sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan
nafkahnya;
d. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar
bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan
pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi.
Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan
sebagainya27.
Pembagian waris dalam kasus I Kematian Tomi ini yang
menjadi ahli waris adalah Fitri anak perempuan kandung
dari Tomi dan Mita. Fitri merupakan ahli waris bertali
darah dan ahli waris golongan pertama yang lebih
diutamakan yaitu keturunan pewaris (anak-anak pewaris).
Fitri mendapatkan harta pusaka rendah dan harta suarang
dari Ayahnya (Tomi). Tetapi Fitri juga dapat menikmati
harta pusaka tinggi yang ditinggalkan dari Ayahnya
(Tomi) tetapi tidak ditujukan untuk dibagi-bagi.
Sedangkan untuk Mita dan anak yang ada dalam
kandungannya bukan merupakan ahli waris dari Tomi.
Sehubungan dengan Mita yang telah menikah dan mempunyai
anak dari laki-laki lain, harta gono gini antara Mita
dengan Tomi dibagi-bagi antara Mita dengan ahli waris
27 Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, Op. Cit., hlm. 21.
40
dari Tomi yaitu Fitri. Hukum waris adat Minangkabau yang
sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu
(moederrechtelijk), maka Mita tidak memerlukan nafkah dari
harta peninggalan suaminya (Tomi).
Sedangkan dalam kasus II Kematian Ibu Teni yang
menjadi ahli waris adalah Tati dan Tita, dua anak
perempuan dari Ibu Teni dan Bapak Siswanto. Tati dan
Tita merupakan ahli waris bertali darah dan ahli waris
golongan pertama yang lebih diutamakan yaitu keturunan
pewaris (anak-anak pewaris). Dalam hukum waris adat
Minangkabau apabila terdapat ahli waris dari golongan
bertali darah maka golongan yang lain tertutup.
Dikarenakan Ibu Teni meninggal setelah Tomi meninggal
maka warisan yang menjadi bagian Tomi diberikan kepada
anak Tomi yaitu Fitri sebagai pengganti dari Ayahnya
(Tomi). Untuk suami dari Ibu Teni, Bapak Siswanto
statusnya sama seperti kedudukan janda dalam hukum waris
adat merupakan orang luar yang tidak mempunyai hak
sebagai waris.
41
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Berdasarkan Al-
Qur’an Surah An-Nisa dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam adalah jika di dalam Ayat-ayat Al-
Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat dijumpai dalam
beberapa surah dan ayat, yaitu menyangkut harta pusaka dan
pewarisannya ditemui dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat
33.Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui
dalam: QS. An-Nisa’ (4) ayat 7, QS. An-Nisa’ (4) ayat 11,
QS. An-Nisa’ (4) ayat 12, QS. An-Nisa’ (4) ayat 176
sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga
buku, dan masing-masing buku dibagi kedalam beberapa bab
dan pasal, khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II
dengan judul Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab
dengan 44 pasal, dengan uraian adalah Bab I mengenai
Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata
penting yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171). Bab II
mengenai Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal 175).
Bab III mengenai Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan
Pasal 191). Bab IV mengenai Auld an Rad (Pasal 192 sampai
dengan Pasal 193). Bab V mengenai Wasiat (Pasal 194 sampai
42
dengan Pasal 209). Bab VI mengenai Hibah (Pasal 210 sampai
dengan Pasal 214)
Hukum waris islam Dalam hak waris saudara sekandung
belum terbuka karena masih ada bapaknya atau pembagian hak
waris yaitu Bapak memperoleh 1/6 bagian dan memperoleh
1/6 bagian lagi dari status bapak sebagai Ashabah. Lalu Ibu
memperoleh 1/6 bagian, Janda memperoleh 1/8 bagian (karena
memiliki anak) Anak perempuan memperoleh ½ bagian. Dalam
Hukum waris barat mengenai peristiwa pewarisan diatur dalam
Buku II KUHPerdata yaitu mulai dari Pasal 830 KUHPerdata
sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Harta peninggalan
selain berupa hak-hak kebendaan yang nyata ada, dapat juga
berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan dapat juga
berupa hutang-hutang yang melibatkan pihak ketiga. Menurut
ketentuan Pasal 131 IS, hukum waris diatur dalam KUHPerdata
berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan
dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatblad 1917
No. 129 jo. Staatblad 1924 No. 557 hukum waris dalam
KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa,
dan berdasarkan Staatblad 1917 No. 12 tentang penundukan
diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia
dimungkinkan menggunakan hukum waris barat. Dan dalam Hukum
waris adat Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat
adat di Indonesia ditemukan empat macam sistem kekerabatan
atau pertalian keturunan berdasarkan faktor genealogis yang
berlaku yaitu Sistem Kekerabatan Patrilineal adalah sistem
kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan melalui
43
kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-
laki terus ke atas. Patrilineal itu terdapat didaerah adat
orang Batak, orang Bali, dan orang Ambon. Sistem
Kekerabatan Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang
berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang
menarik garis keturunannya dari pihak ibu terus ke atas.
Sistem kekerabatan matrilineal yang dimaksud yang terdapat
didaerah adat orang Minangkabau, orang Kerinci, dan orang
Semendo. Sistem Kekerabatan Bilateral atau Parental, adalah
sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan
melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya
melalui pihak ayah dan pihak ibu ke atas. Bilateral atau
Parental itu terdapat di daerah adat orang Aceh, orang
Jawa, orang Dayak, orang Bugis, dan orang Kaili. Sistem
Kekerabatan Alternerend, adalah sistem kekerabatan yang
berdsasarkan pertalian keturunan melalui kebapakan dan
keibuan yang menarik garis keturunan melalui pihak ayah dan
pihak ibu secara berganti-ganti, dan pergantian itu
dilakukan bila ayah atau ibu mempunyai kelebihan di antara
keduanya. Alternerend itu terdapat di daerah adat orang
Kaili, orang Pamona, orang Da’, dan orang Bare’e.
44
DAFTAR PUSTAKA
Effendi Perangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008
Eman Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif
Islam, Adat, dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2007
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa danHukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam diPerguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, RefikaAditama, Bandung, 2006.Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,Bandung: Alumni, 1993R. Otje Salman, “Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon dilihat dariHukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam”, (Disertasi doktorUniversitas Padjdjaran, Bandung), 1992, R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PradnyaParamita, 1994Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KompilasiHukum IslamR. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung:Sumur, 1991 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet.Ke-8, Jakarta: Haji Masagung, 1989Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam(Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Ghalia Indonesia, Jakarta,1983