Makalah Hukum Perselisihan

44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hu k um waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). 1 Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga berkaitan dengan permasalahan waris akan lebih digunakan hukum waris Islam yang bersumber dari firman-firman Allah SWT yang terkandung dalam Al-Qur’an dan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Hukum waris ini dianggap baik digunakan bagi orang Islam karena sesuai dengan ajaran agama. Akan tetapi, dalam hal pewarisan keberadaaan hukum Adat dan hukum Perdata Barat tidak dapat dihapuskan dari hukum yang ada di Indonesia. Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Bagi umat Islam melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh 1 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20 1

Transcript of Makalah Hukum Perselisihan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku

secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3

(tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh

masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan

hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).1

Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh

pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mayoritas

penduduknya beragama Islam, sehingga berkaitan dengan

permasalahan waris akan lebih digunakan hukum waris

Islam yang bersumber dari firman-firman Allah SWT yang

terkandung dalam Al-Qur’an dan yang terkandung dalam

Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif di

Indonesia. Hukum waris ini dianggap baik digunakan bagi

orang Islam karena sesuai dengan ajaran agama. Akan

tetapi, dalam hal pewarisan keberadaaan hukum Adat dan

hukum Perdata Barat tidak dapat dihapuskan dari hukum

yang ada di Indonesia.

Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari

seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup.

Bagi umat Islam melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh1 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku diIndonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam,Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam diPerguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

1

2

nas-nas yang sahih adalah keharusan. Oleh sebab itu

pelaksanaan hukum waris Islam bersifat wajib. Persoalan

waris sering timbul menjadi salah satu persoalan krusial

dan sensitif dalam sebuah keluarga. Manusia tidak jarang

menjadi lupa karena masalah harta, maka berhati-hatilah

dengan harta jika tidak mampu mempertanggung jawabkan

nya dikemudian hari.

Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada umumnya, dimana

ditemui perincian nantinya maka perincian yang khusus

itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan

diperlukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.

Ketentuan dalam pembagian harta waris sudah ditentukan

oleh Allah SWT.

Syariat  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk

yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak

kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki

maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam

juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang

sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari

seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara

laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan serta merinci secara detail

hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa

mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima

semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap

pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,

3

kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas

saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama

hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan

tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah

saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat

dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit

sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara

detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian

disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk

kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di

samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan

baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

B. Identifikasi Masalah

1.Bagaimana pembagian waris menurut hukum Islam

berdasarkan Al-Qur’an Surah An-Nisa dan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam?

2.Bagaimana penerapan pembagian waris dalam perkembangan

pada masyarakat saat ini menurut hukum waris Islam,

hukum waris Perdata Barat, dan hukum waris Adat?

4

BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Berdasarkan Al-

Qur’an Surah An-Nisa Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1991 Kompilasi Hukum Islam

1. Al-Qur’an Surah An-Nisa

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah

kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung

di dalam Alquran dapat dijumpai dalam beberapa surah

dan ayat, yaitu sebagai berikut :2

1. Menyangkut harta pusaka dan pewarisannya ditemui

dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 33. “Bagi tiap-tiap

harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu

bapak dan karib kerabat, Kami jadikan perwaris-

pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu

telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah

kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah

menyaksikan segala sesuatu”.

2. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui

dalam:

a. QS. An-Nisa’ (4) ayat 7 : “Bagi orang laki-

laki ada hak bagian dari harta peninggalan

ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang

wanita ada hak bagia (pula) dari harta

2 Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkapdan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm 20

5

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik

sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan”

b. QS. An-Nisa’ (4) ayat 11 :“Allah

mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian

pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian

seorang anak lelaki sama dengan bagian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi

mereka dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang

saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan

untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-

masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak; jika orang yang meninggal

tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-

bapaknya (saja), maka ibunya mendapat

sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat

seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di

atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat

atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)

orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih

dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah

6

ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

c. QS. An-Nisa’ (4) ayat 12 :“Dan bagimu (suami-

suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak

mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat

dari harta yang ditinggalkannya sesudah

dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh

seperempat harta yang kamu tinggalkan jika

kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para istri memperoleh seperdelapan

dari harta yang kamu tinggalkam sesudah

dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang

mati, baik laki-laki maupun perempuan yang

tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan

anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-

laki (seibu saja) atau seorang saudara

perempuan (seibu saja), maka bagi masing-

masing dari kedua jenis saudara itu seperenam

harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu

dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi

wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah

dibayar utangnya dengan tidak memeberi

7

mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at

yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Penyantun”

d. QS. An-Nisa’ (4) ayat 176 :“Mereka meminta

fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah :

‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah

(yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia

tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan

itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,

dan saudaranya yang laki-laki mempusakai

(seluruh harta saudara perempuan), jika ia

tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya

dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh

yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris

itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan

perempuan, maka bagian seorang saudara laki-

laki sebanyak bagian dua orang saudara

perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)

kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah

Maha Mengetahui segala sesuatu’ “.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga buku, dan masing-

masing buku dibagi kedalam beberapa bab dan pasal,

8

khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan

judul Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab

dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan berikut

ini:3

Bab I : Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat

tentang kata-kata penting yang dimuat dalam

Buku II (Pasal 171).

Bab II : Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal

175).

Bab III : Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan

Pasal 191)

Bab IV : Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal

193)

Bab V : Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209)

Bab VI: Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)

Berikut adalah pasal-pasal dalam Bab III mengenai

Besarnya Bagian menurut Kompilasi Hukum Islam :4

3 Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkapdan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm 194 Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam

* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994,maksud pasal tersebut ialah : ayah mendapat sepertiga bagfian bilapewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu,bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

9

Pasal 176

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh

bagian, bila dua orang atau lebihmereka bersama-sama

mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask

perempuan bersama-samadengan anak laki-laki, maka

bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan

anakperempuan.

Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat

seperenam bagian.*

Pasal 178

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau

dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anakatau dua

orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga

bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah

diambil oleh janda atau duda bila bersamasamadengan

ayah.

Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris

meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat

bagaian.

Pasal 180

10

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewarismeninggalkan anak

maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan

ayah, maka saudara laki-laki dan saudaraperempuan seibu

masing-masing mendapat seperenam bagian.Bila mereka itu

dua orang atau lebihmaka mereka bersama-sama mendapat

sepertiga bagian.

Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan

ayah, sedang ia mempunyai satu saudaraperempuan kandung

atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila

saudara perempuantersebut bersama-sama dengan saudara

perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,maka

mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan

saudara laki-laki kandung atau seayah,maka bagian

saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara

perempuan.

Pasal 183

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

dalam pembagian harta warisan, setelahmasing-masing

menyadari bagiannya.

Pasal 184

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu

melaksanakan hak dan kewajibannyua, makabaginya

11

diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul

anggota keluarga.

Pasal 185

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada

sipewaris maka kedudukannya dapat digantikanoleh

anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi

dari bagian ahli waris yang sederajat denganyang

diganti.

Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan saling mewaris dengan ibunyadan keluarga dari

pihak ibunya.

Pasal 187

(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta

peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnyaatau oleh

para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai

pelaksana pembagian hartawarisan dengan tugas:

a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik

berupa benda bergerak maupun tidakbergerak yang

kemudian disahkan oleh para ahli waris yang

bersangkutan, bila perlu dinilaiharganya dengan uang;

b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan

pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1)sub a, b, dan

c.

12

(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah

merupakan harta warisan yang harus dibagikankepada ahli

waris yang berhak.

Pasal 188

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau

perseorangan dapat mengajukan permintaankepada ahli

waris yang lain untuk melakukan pembagian harta

warisan. Bila ada diantara ahli warisyang tidak

menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat

mengajukan gugatan melaluiPengadilan Agama untuk

dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189

(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan

pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar,

supayadipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan

dimanfaatkan untuk kepentingan bersamapara ahli waris

yang bersangkutan.

(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini

tidak dimungkinkan karena di antara para ahli warisyang

bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan

tersebut dapat dimiliki oleh seorangatau lebih ahli

waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli

waris yang berhak sesuaidengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190

Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka

masing-masing isteri berhak mendapatbagian atas gono-

gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan

13

keseluruhan bagian pewarisadalah menjadi hak para ahli

warisnya.

Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali

atau ahli warisnya tidak diketahui ada atautidaknya,

maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama

diserahkan penguasaannya kepadaBaitul Mal untuk

kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

B. Penerapan Pembagian Waris Dalam Perkembangan Pada

Masyarakat Saat Ini Menurut Hukum Waris Islam, Hukum

Waris Perdata Barat, Dan Hukum Waris Adat

KASUS

Bapak Siswanto menikah dengan Ibu Teni dan dikaruniai

seorang anak laki-laki yaitu Tomi, dan 2 (dua) anak

perempuan, yaitu Tati dan Tita. Tomi menikah dengan Mita

dan dikaruniai seorang anak perempuan, yaitu Fitri.

Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat

tahun 2009, Tomi beserta Mita dan Fitri yang merupakan

orang asli Sumatera Barat dan berdomisili di Padang

menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Tomi tertimpa

puing-puing bangunan rumahnya sehingga perlu dirawat di

rumah sakit, namun akhirnya jiwanya tidak tertolong. Ibu

Teni merasa sangat terpukul dan kehilangan anaknya

14

tersebut yang kemudian menyebabkan beliau sakit-sakitan

dan kemudian meninggal dunia dua bulan kemudian.

Mita saat ini dalam keadaan mengandung 6 (enam) bulan.

Untuk kepentingan anaknya (Fitri) dan anak yang sedang

dikandungnya, Mita meminta bagian warisan atas kematian

Tomi dan Ibu Teni tersebut karena dalam kedua kematian

tersebut belum dilaksanakan pembagian waris. Bagaimana

pembagian waris untuk kasus tersebut?

1. Hukum Waris Islam

Di dalam kasus ini terdapat dua peristiwa kematian,yaitu kematian Tomi dan kematian Ibu Teni. Oleh sebabitu maka penyelesaiannya harus dilakukan kasus perkasus, sesuai dengan urutan kematiannya.

Kasus I : Kasus Kematian Tomi

Tomi meninggal tanggal 13 Oktober 2009 (lima tahun yanglalu). Saat ini Mita sedang mengandung 6 bulan.Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkanbahwa anak yang dikandung Mita adalah bukan anak dariTomi. Sehingga para ahli-waris dari Tomi yang masihhidup antara lain :

1. Bapak : Pak Siswanto;2. Ibu : Ibu Teni (pada tahun 2009Ibu Teni belum

meninggal dunia);3. Saudara sekandung : Tati dan Tita;4. Janda : Mita;5. Anak perempuan : Fitri.

Dalam hal ini, hak waris saudara sekandung belumterbuka karena masih ada bapak. Maka pembagian hakwaris menjadi :

15

1. Bapak : memperoleh 1/6 bagian, danmemperoleh 1/6 bagian lagi

dari status bapak sebagai Ashabah;2. Ibu : memperoleh 1/6 bagian;3. Janda : memperoleh 1/8 bagian(karena memiliki anak);

4. Anak perempuan : memperoleh ½ bagian.

Kasus II : Kasus Kematian Ibu TeniPada saat kematian Ibu Teni, anak laki-lakinya (Tomi)sudah meninggal dunia, sehingga para ahli-waris yangmasih hidup terdiri dari :

1. Duda : Pak Siswanto;2. Anak perempuan : Tati dan Tita;3. Cucu perempuan : Fitri.

Mita bukan merupakan ahli waris karena dia hanyakeluarga semenda (menantu), sehingga tidak memiliki hakmewaris. Cucu perempuan dari anak laki-laki (Fitri)belum terbuka hak warisnya karena ada dua anakperempuan tetapi dapat menerima harta peninggalandengan jalan wasiat wajibah. Maka pembagian hak warismenjadi :1. Duda : memperoleh ¼ bagian;2. Anak perempuan : memperoleh 2/3 bagian (karenaada 2 anak, maka hartanya dibagi 2); Tati : ½ x 2/3 = 1/3 Tita : ½ x 2/3 = 1/3

3. Cucu perempuan : memperoleh harta peninggalandengan jalan wasiat wajibah sebesar ½ bagian.

Penetapan nilai wasiat wajibah sebesar 1/3 untuk cucudari anak laki-laki (Fitri) dihitung berdasarkankemungkinan bagian yang akan diterima anak laki-laki(Tomi) apabila ia masih hidup. Dalam hal semua anak

16

masih hidup maka akan terdapat Ashabah sebesar ¾ yangakan diterimakan kepada Tomi sebesar 2/4-nya, yaitusebesar 2/4 x ¾ = 3/8. Nilai 3/8 lebih dari batasmaksimum wasiat, yaitu 1/3, maka nilai wasiat wajbahditetapkan sebesar 1/3.5

2. Hukum Waris Perdata Barat

Peristiwa perkawinan merupakan peristiwa lahir dan

bathin yang terjadi antara dua orang untuk membentuk

suatu keluarga. Dengan terjadinya perkawinan

menyebabkan peristiwa lain dibidang hukum kebendaan,

yaitu dengan terjadinya peristiwa waris. Mengenai

peristiwa pewarisan diatur dalam Buku II KUHPerdata

yaitu mulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan

Pasal 1130 KUHPerdata, selain itu juga diatur dalam

Inpres No. 9 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Harta peninggalan selain berupa hak-hak kebendaan

yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau

piutang-piutang dan dapat juga berupa hutang-hutang

yang melibatkan pihak ketiga. Menurut ketentuan Pasal

131 IS, hukum waris diatur dalam KUHPerdata berlaku

bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan

dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatblad

1917 No. 129 jo. Staatblad 1924 No. 557 hukum waris

dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing

Tionghoa, dan berdasarkan Staatblad 1917 No. 12 tentang

penundukan diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-5 Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, RefikaAditama, Bandung, 2006, hlm. 109-111.

17

orang Indonesia dimungkinkan menggunakan hukum waris

barat.6

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang

peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang

yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.

Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, “Pewarisan hanya

berlangsung karena kematian”. Jadi, harta peninggalan

baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat

ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.

Terdapat ketentuan khusus yang tercantum dalam Pasal 2

KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seseorang

perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila

kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu

dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa seorang anak yang lahir saat ayahnya

telah meninggal, berhak mendapat warisan.

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat

suatu warisan, yaitu sebagai berikut :

1) Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-

undang) dalam Pasal 832.

Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak

menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah,

baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri

yang hidup terlama.

2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk

dalam surat wasiat = testamen) dalam Pasal 899.

6 Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KitabUndang-Undang Hukum Perdata), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 10.

18

Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk

para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat

wasiat/testamen.

Hukum Waris Perdata Barat (BW) menganut sifat :

1) Sistem pribadi

Ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli

waris.

2) Sistem bilateral

Mewaris dari pihak ibu maupun bapak.

3) Sistem perderajatan

Ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si

pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh

derajatnya.7

a. Subjek dan Objek Hukum Waris

Subjek

1) Pewaris

Adalah orang yang meninggal dengan meninggalkan

harta kekayaan.

2) Ahli Waris

Adalah orang-orang tertentu yang secara limitatif

diatur dalam KUHPerdata.

a)Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukan

sendiri atau mewaris secara langsung, terdiri

dari empat golongan :

7 Effendi Perangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2008, hlm. 3-4.

19

(1) Golongan pertama, yaitu anak-anak beserta

keturunannya dalam garis keturuna ke bawah.

Hak mewaris suami atau istri yang hidup

terlama disamakan dengan seorang anak yang sah

(Pasal 852a KUHPerdata);

(2) Golongan kedua, yaitu orang tua dan saudara-

saudara pewaris; pada asasnya bagian orang tua

disamakan dengan bagian saudara-saudar

pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian

orang tua tidak boleh kurang dari seperempat

harta peninggalan;

(3) Golongan ketiga, Pasal 853 dan 854 KUHPerdata

menentukan dalam hal tidak terdapat golongan

pertama dan kedua maka harta peninggalan harus

dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk

kakek-nenek pihak ayah, setengan bagian lagi

untuk kakek-nenek pihak ibu;

(4) Golongan keempat, yaitu sanak keluarga si

pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat

keenam.

b)Ahli waris berdasarkan penggantian, dalam hal ini

disebut ahli waris tidak langsung. Misalnya A

meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C.

B telah meninggal terlebih dahulu dari A

(pewaris). B mempunyai anak D dan E, maka D dan E

inilah yang tampil sebagai ahli waris A

menggantikan B (cucu mewaris dari kakek/nenek);

20

c)Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat

menikmati harta peninggalan

Dalam hal ini kemungkinannya timbul karena dalam

KUHPer terdapat ketentuan tentang pihak ketiga

yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati

harta peninggalan pewaris berdasarkan suatu

testamen/wasiat.

3) Pihak Ketiga yang Tersangkut Dalam Warisan

Selain ahli waris dan pewaris dalam KUHPer dikenal

adanya :

a)Fidei comis, ialah suatu pemberian warisan kepada

seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia

berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah

lewatnya suatu waktu, warisan itu harus

diserahkan pada orang lain;

b)Executeur testamentair, adalah pelaksana wasiat yang

ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi

pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh

sesuai dengan kehendak pewaris;

c)Bewindvoerder/pengelola, adalah seorang yang

ditentukan dalam wasiat untuk mengurus kekayaan

(harta peninggalan) sehingga para ahli

waris/legataris hanya menerima penghasilan dari

harta peninggalan tersebut.8

Obyek

8 Surini Ahlan Sjarif, Idem, hlm. 11-13.

21

Pada prinsipnya obyek hukum waris adalah harta

kekayaan yang dipindahtangankan dari pewaris kepada

ahli waris. Harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut

berupa :

Aktiva

Yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan/atau

berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga. Selain

itu aktiva dapat berupa hak immaterial (hak cipta dan

sebagainya);

Passiva

Yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi

pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya

(menyimpan benda orang lain dan sebagainya).

b. Perihal Pembagian Warisan

Cara pembagian warisan : Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tidak menentukan cara tertentu dalam

pembagian warisan, jika ternyata semua ahli waris

cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada di

tempat (hadir) pada saat pembagian warisan tersebut

maka cara pembagian warisan tersebut diserahkan pada

mereka sendiri, tetapi dalam hal di antara ahli waris

terdapat anak-anak di bawah umur atau ada yang

ditaruh di bawah curetele (pengampuan), maka pembagian

warisan harus dilakukan dengan suatu akte notaris dan

dihadapan Wess Kamer (Balai Harta Peninggalan).9

c. Cara Pembagian Warisan

9 Surini Ahlan Sjarif, Idem, hlm. 17.

22

Setelah selesai perhitungan dan pembayaran

hutang-hutang pewaris, Pasal 1079 KUHPerdata mengatur

cara pembagian warisan sebagai berikut :

1) Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu

dengan harga/nilai sama rata seperti misalnya

seperdua harta warisan jika ahli waris hanya

terdiri dari dua orang saja, seperlima jika

ternyata ahli waris terdiri dari lima orang,

demikian selanjutnya;

2) Bila di antara para ahli waris ada yang menerima

barang/harta waris lebih dari bagiannya, di pihak

lain di antara ahli waris menerima kurang dari

bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang

lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai

pada yang mendapat kurang dari bagiannya.

ANALISIS KASUS

Dalam kasus tersebut pewarisan yang terjadi

akibat kematian Tomi dan Ibu Teni menggunakan sistem

pewarisan yang terkandung dalam KUHPerdata, karena Tomi

dan Ibu Teni merupakan orang Indonesia yang menundukan

diri pada hukum Eropa. Di dalam kasus ini terdapat dua

peristiwa kematian, yaitu kematian Tomi dan kematian

Ibu Teni. Oleh sebab itu maka penyelesaiannya harus

dilakukan kasus per kasus, sesuai dengan urutan

kematiannya.

Kasus I : Kematian Tomi

23

Dalam sistem pewarisan berdasarkan KUHPerdata,

ditentukan berdasarkan golongan dan legitieme portie.

Apabila golongan yang satu masih ada, maka akan menutup

hak mewaris terhadap golongan yang lain. Dalam

KUHPerdata, warisan diberikan kepada suami/istri serta

berdasarkan hubungan darah.

Ahli waris yang merupakan Golongan I dalam kasus ini

(istri dan keturunannya) adalah Mita dan Fitri yang

akan mendapatkan warisan, sehingga hak mewaris dari

Golongan II,III,IV akan tertutup. Masing-masing ahli

waris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama

rata. Sehingga dalam hal ini Mita dan Fitri masing-

masing akan mendapatkan ½ bagian dari harta yang

ditinggalkan Tomi.

Kasus II : Kematian Ibu Teni

Dalam kasus kematian Ibu Teni maka yang akan

mendapatkan warisan adalah Golongan I yaitu suami/istri

beserta keturunannya, dalam hal Bapak Siswanto, Tita,

Tati, dan Fitri (karena Tomi sudah meninggal dunia maka

kedudukannya akan digantikan oleh

keturunanya/plaatsvervuling). Mita tidak mendapatkan hak

waris dari Ibu Teni karena Mita hanya menantu dan tidak

memiliki hubungan darah dengan Ibu Teni. Hak mewaris

untuk Golongan II,III,IV menjadi tertutup. Masing-

masing ahli waris dari meninggalnya Ibu Teni akan

24

mendapatkan ¼ bagian dari harta yang ditinggalkan Ibu

Teni.

3. Hukum Waris Adat

a. Pengertian

Menurut Soerojo Wignjodipoero, Hukum adat waris

meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta

kekayaan baik yang bersifat materiil maupun yang

immateriil dari seseorang yang telah meninggal dunia

kepada ahli warisnya.10

b. Unsur-Unsur Hukum Waris Adat11

1) Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia

dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada

keluarganya yang masih hidup, baik keluarga

melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun

keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah

tangga.

2) Harta Warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang

ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia

kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri

atas :

10 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8,Jakarta: Haji Masagung, 1989, hlm. 161. 11 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 2-4.

25

a) Harta bawaan atau harta asal, adalah harta yang

dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu

akan kembali kepada keluarganya bila ia

meninggal tanpa anak;

b) Harta perkawinan, adalah harta yang diperolewh

dari hasil usaha suami-siteri selama dalam

ikatan perkawinan (waramparang sibalireso);

c) Harta pusaka, adalah harta warisan yang hanya

diwariskan kepada ahli waris tertentu karena

sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya

dinikmati atau dimanfaatkan bersama oleh semua

ahli waris dan keturunannya;

d) Harta yang menunggu, adalah harta yang akan

diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-

satunya ahli waris yang akan menerima harta itu

tidak diketahui dimana ia berada.

Penetapan harta peninggalan seseorang yang telah

meninggal dunia sebagai harta warisan terlebih

dahulu memenuhi ketentuan sebagaimana berlaku,

yaitu apabila seseorang telah meninggal dunia dan

mempunyai utang, maka didahulukan pembayaran

utangnya kemudian diselesaikan penyelenggaraan

pemakaman jenazah. Sesudah jenazah pewaris

dikuburkan, maka ditunaikan wasiat pewaris12.

3) Ahli Waris

12 H. Salman (Ketua Sewan Adat di Besusu), wawancara, 25 Mei 1994di Palu.

26

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta

peninggalan pewaris, yakni anak kandung, orang

tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan

orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan

pewaris (janda atau duda). Selain itu, dikenal

juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin,

yang biasanya diebrikan bagian harta warisan dari

ahli waris bila para ahli waris membagi harta

warisan diantara mereka. Selain itu, biasa juga

diberikan harta dari pewaris baik melalui wasiat

maupun melalui hibah.

c. Sistem Kekerabatan Adat Di Indonesia13

Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat adat

di Indonesia ditemukan empat macam sistem kekerabatan

atau pertalian keturunan berdasarkan faktor

genealogis yang berlaku, yaitu

1) Sistem Kekerabatan Patrilineal, adalah sistem

kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan

melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya

dari pihak laki-laki terus ke atas. Patrilineal

itu terdapat didaerah adat orang Batak, orang

Bali, dan orang Ambon14.

2) Sistem Kekerabatan Matrilineal, adalah sistem

kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan

melalui keibuan yang menarik garis keturunannya13 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Op. Cit., hlm. 25.14 R. Otje Salman, “Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon dilihat dariHukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam”, (Disertasi doktor UniversitasPadjdjaran, Bandung), 1992, hlm. 7.

27

dari pihak ibu terus ke atas. Sistem kekerabatan

matrilineal yang dimaksud yang terdapat didaerah

adat orang Minangkabau, orang Kerinci, dan orang

Semendo15.

3) Sistem Kekerabatan Bilateral atau Parental, adalah

sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian

keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis

keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu ke

atas. Bilateral atau Parental itu terdapat di

daerah adat orang Aceh, orang Jawa, orang Dayak,

orang Bugis, dan orang Kaili16.

4) Sistem Kekerabatan Alternerend, adalah sistem

kekerabatan yang berdsasarkan pertalian keturunan

melalui kebapakan dan keibuan yang menarik garis

keturunan melalui pihak ayah dan pihak ibu secara

berganti-ganti, dan pergantian itu dilakukan bila

ayah atau ibu mempunyai kelebihan di antara

keduanya. Alternerend itu terdapat di daerah adat

orang Kaili, orang Pamona, orang Da’, dan orang

Bare’e17.

Hukum Waris Adat Matrilineal18

15 R. Otje Salman, Loc. Cit. Lihat, Amir Sjaripuddin, Pelaksanaan HukumKewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung,1984, hlm. 182. 16 R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,Bandung: Alumni, 1993, hlm. 48. R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan diIndonesia, Bandung: Sumur, 1991, hlm. 17. 17 Masyhudin Masyhuda, wawancara, tanggal 25 Mei 1994 di Palu, R.Otje Salman mengemukakan bahwa susunan masyarakat alternerend itu dapatdijumpai di Indonesia bagian timur, Loc. Cit.

28

Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau

senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai

pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena

kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan

sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di

Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem

kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem yang menarik

garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut

garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara

perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-

laki maupun perempuan.

Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya

dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk

harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari

beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta

yang turun dari satu generasi.

Harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan

diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri dari

:

a. Harta Pusaka Tinggi

Yaitu harta yang turun temurun dari beberapa

generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni

harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak

kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta

yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis

18 Eman Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam,Adat, dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 52-54.

29

harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh

kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada

anak.

b. Harta Pusaka Rendah

Yaitu harta yang turun temurun dari satu generasi.

c. Harta Pencaharian

Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian

atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya

meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai

harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini

sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah

sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada

anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu

“bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling

banyak sepertiga dari harta pencaharian untuk

kemenakan”.

d. Harta Suarang

Sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa,

diantaranya: Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan,

Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan, yaitu

seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-

sama oleh suami istri selama masa perkawinan, tidak

termasuk ke dalam harta suarang ini harta bawaan

suami atau harta tepatan isteri yang telah ada

sebelum perkawinan berlangsung. Dengan demikian

jelaslah, bahwa harta pencaharian berbeda dengan

harta suarang.

30

Ahli Waris dan Hal Mewaris Menurut Adat Minangkabau

Hukum waris adat dengan sistem kekeluargaan

matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya dapat

menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencaharian

maupun harta bawaan (harta pusaka)19, oleh karenanya,

sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat

Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang

mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”.

Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang

“mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak

kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang

tertua dari ibu, mamak kepala waris harus cerdas dan

pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum

terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris.

Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan kemenakan ini

adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli

waris dapat dibedakan antara20 :

a. Waris Bertali Darah

Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang

terdiri dari ahli waris satampok (waris setampuk),

waris sajangka (waris sejengkal), dan waris saheto

(waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang

termasuk waris bertali darah ini mewaris secara

bergiliran, artinya selama waris bertali darah

setampuk masih ada, maka waris bertali darah19 Satriyo, Wicaksosno, Hukum Waris, Jakarta: Visi Media, 2011,hlm. 10.20 Eman Suparman, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 54-55.

31

sejengkal belum berhak mawaris. Demikian pula waris

seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka

waris sehasta belum berhak mewaris.

b. Waris Bertali Adat

Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak

memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali

waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau

mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris

bertali adat sehingga waris bertali adat ini

dibedakan sebagai berikut :

1) Menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh,

waris batali suto, waris batali budi, waris

tambilang basi, waris tambilang perak.

2) Menurut jauh-dekatnya terdiri dari: waris dibawah

daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris

di bawah lutut.

3) Menurut datangnya, yaitu: waris orang datang,

waris air tawar, waris mahindu.

c. Waris Bertali Budi

Yaitu waris dari orang lain yang sering datang

berkunjung di bawah lindungan satu penghulu.

d. Waris di Bawah Lutuik21

Yaitu waris yang asalnya tidak jelas dan keturunan

pembantu (budak) yang menetap sebagai anggota

kerabat.

21 Satriyo, Wicaksosno, Op. Cit., hlm. 25.

32

Dari keempat macam ahli waris atau kemenakan

tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan

bertali darah yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke

atas. Para ahli waris tersebut berhak menghalangi

tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang

tidak mereka setujui. Sedangkan kemenakan lainnya, yang

bertali adat, bertali budi, dan dibawah lutuik bukan

ahli waris dari satu gadang (sabuah paruik) atau dari

satu kesatuan kerabat yang disebut “kaum”22.

Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris

yang disebutkan diatas satu sama lain berbeda-beda

bergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia

warisi dan hak mewarisnya diatur menurut urutan

prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam

paparan di bawah ini23.

a. Mengenai Harta Pusaka Tinggi

Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka

tinggi, cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan

kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi

oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan

dibagi-bagi pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan

“ganggam bauntuek”. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi

pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka

tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang

anggota kaum oleh mamak kepala ahli waris selanjutnya

dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang

22 Satriyo, Wicaksosno, Idem, hlm. 29.23 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 55-57.

33

atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan

seizin seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka

tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan :

1) Untuk membayar hutang kehormatan

2) Untuk membayar ongkos memperbaiki Bandar sawah

kepunyaan kaum

3) Untuk membayar hutang darah

4) Untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal

di pantai

5) Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.

b. Mengenai Harta Pusaka Rendah

Semula harta pusaka rendah adalah harta pecaharian.

Harta pencaharian mungkin milik seseorang laki-laki

atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian

seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya

kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan

berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan

anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh

agama Islam, maka seorang ayah dengan harta

pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk

anak-anaknya atau menanami tanah pusaka istrinya

dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon

durian dll. Hal ini dimaksudkan untuk membekali

isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal

dunia.

c. Mengenai Harta Suarang

34

Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta

pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta

yang diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama

selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan

adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang,

dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika

suami masih merupakan anggota keluarganya, ia

berusaha bukan untuk anak isterinya melainkan untuk

orang tua dan para kemenakannya sehingga ketika itu

sedikit sekali kemungkinan terbentuk harta suarang

sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan

isterinya adalah saudara atau mamak isterinya.

Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang

nyata antara suami isteri untuk memperoleh harta

suarang sudah Nampak, terutama masyarakat Minangkabau

yang telah merantau jauh keluar tanah asalnya telah

menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup

keluarga (somah), yaitu antara suami, isteri, dan

anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang

kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan

berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya

sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi

akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta

keluarga yang disebut harta suarang.

Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan

bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang

meninggal dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah

35

hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.

Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:

1) Bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai

anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami

dan bekas isteri.

2) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak

mempunyai anak, maka sebagai berikut :

a) Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi

dua, separoh merupakan bagian jurai si suami

dan separoh lagi merupakan bagian janda.

b) Jika yang meninggal isteri, harta suarang

dibagi dua, sebagian untuk jurai suami dan

sebagian lagi untuk duda.

3) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai

anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami

dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian

ibunya.

4) Apabila salah seorang meninggal dunia dan

mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai

berikut:

a) Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi

dua antara jurai suami dengan janda beserta

anak.

b) Jika yang meninggal isteri, harta suarang

seperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk

anak serta harta pusaka sendiri bagian ibunya.

36

ANALISIS KASUS

Dalam kasus ini menggunakan sistem kekerabatan adat

matrilineal orang Minangkabau, karena Tomi dan Ibu Teni

merupakan orang asli dan berdomisili di Minangkabau.

Untuk menentukan hukum waris yang digunakan dalam kasus

ini, berhubung Tomi dan Ibu Teni adalah orang asli dan

berdomisili di Minangkabau, Padang, Sumatera Barat, maka

pembagian warisnya menurut hukum waris adat Matrilineal.

Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa

untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan

dua garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian.

Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang

menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan

dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan

yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah

keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang

tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta

keturunannya dan yang ke empat kakek-nenek pewaris.

Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum

yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang

di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai

ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris,

adalah :

a. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris;

b. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan

pewaris.

37

Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah

positif, oleh karena dalam hal ini garis pokok keutamaan

mapun garis pokok penggantian menjadi variabel tidak

bebas (independen variabel)24.

Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara

golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari garis

pokok penggantian, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan

janda tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis

pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan

demikian janda (isteri pewaris) tidak termasuk kelompok

ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta

peninggalan suaminya.

Demikian ini sejalan dengan apa yang diemukakan oleh

Soekanto mengenai kedudukan janda. Beliau menyatakan

bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan

suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan

dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk

nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus

dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini

terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang

ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut

supaya barang-barang asal dari peninggal harta

diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini tidak

mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat

dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh

dibagi-bagi asal saja janda terpelihara dalam hidupnya,

24 Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum WarisAdat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 19-20.

38

misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih

hidup suaminya) atau nafkah dijamin oleh beberapa waris.

Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami

pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal

demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi

antara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami

yang telah meninggal dunia25.

Menurut Ter Haar dalam menyatakan bahwa pangkal

pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai “orang

luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi

sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta

peninggalan, selama ia memerlukannya26. Di Minangkabau

misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari

pihak ibu (moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan

nafkah dari harta peninggalan suaminya.

Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik

garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya

menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum)

suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya,

baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang

asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya

sesudah suaminya meninggal dunia;

b. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya,

untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu,25 Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985,hlm. 117.26 R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,1994, hlm. 95.

39

lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap

merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-

bagi;

c. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau

dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-

sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan

nafkahnya;

d. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar

bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan

pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi.

Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan

sebagainya27.

Pembagian waris dalam kasus I Kematian Tomi ini yang

menjadi ahli waris adalah Fitri anak perempuan kandung

dari Tomi dan Mita. Fitri merupakan ahli waris bertali

darah dan ahli waris golongan pertama yang lebih

diutamakan yaitu keturunan pewaris (anak-anak pewaris).

Fitri mendapatkan harta pusaka rendah dan harta suarang

dari Ayahnya (Tomi). Tetapi Fitri juga dapat menikmati

harta pusaka tinggi yang ditinggalkan dari Ayahnya

(Tomi) tetapi tidak ditujukan untuk dibagi-bagi.

Sedangkan untuk Mita dan anak yang ada dalam

kandungannya bukan merupakan ahli waris dari Tomi.

Sehubungan dengan Mita yang telah menikah dan mempunyai

anak dari laki-laki lain, harta gono gini antara Mita

dengan Tomi dibagi-bagi antara Mita dengan ahli waris

27 Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, Op. Cit., hlm. 21.

40

dari Tomi yaitu Fitri. Hukum waris adat Minangkabau yang

sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu

(moederrechtelijk), maka Mita tidak memerlukan nafkah dari

harta peninggalan suaminya (Tomi).

Sedangkan dalam kasus II Kematian Ibu Teni yang

menjadi ahli waris adalah Tati dan Tita, dua anak

perempuan dari Ibu Teni dan Bapak Siswanto. Tati dan

Tita merupakan ahli waris bertali darah dan ahli waris

golongan pertama yang lebih diutamakan yaitu keturunan

pewaris (anak-anak pewaris). Dalam hukum waris adat

Minangkabau apabila terdapat ahli waris dari golongan

bertali darah maka golongan yang lain tertutup.

Dikarenakan Ibu Teni meninggal setelah Tomi meninggal

maka warisan yang menjadi bagian Tomi diberikan kepada

anak Tomi yaitu Fitri sebagai pengganti dari Ayahnya

(Tomi). Untuk suami dari Ibu Teni, Bapak Siswanto

statusnya sama seperti kedudukan janda dalam hukum waris

adat merupakan orang luar yang tidak mempunyai hak

sebagai waris.

41

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Berdasarkan Al-

Qur’an Surah An-Nisa dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1991

Kompilasi Hukum Islam adalah jika di dalam Ayat-ayat Al-

Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara

langsung maupun tidak langsung dapat dijumpai dalam

beberapa surah dan ayat, yaitu menyangkut harta pusaka dan

pewarisannya ditemui dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat

33.Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui

dalam: QS. An-Nisa’ (4) ayat 7, QS. An-Nisa’ (4) ayat 11,

QS. An-Nisa’ (4) ayat 12, QS. An-Nisa’ (4) ayat 176

sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga

buku, dan masing-masing buku dibagi kedalam beberapa bab

dan pasal, khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II

dengan judul Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab

dengan 44 pasal, dengan uraian adalah Bab I mengenai

Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata

penting yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171). Bab II

mengenai Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal 175).

Bab III mengenai Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan

Pasal 191). Bab IV mengenai Auld an Rad (Pasal 192 sampai

dengan Pasal 193). Bab V mengenai Wasiat (Pasal 194 sampai

42

dengan Pasal 209). Bab VI mengenai Hibah (Pasal 210 sampai

dengan Pasal 214)

Hukum waris islam Dalam hak waris saudara sekandung

belum terbuka karena masih ada bapaknya atau pembagian hak

waris yaitu Bapak memperoleh 1/6 bagian dan memperoleh

1/6 bagian lagi dari status bapak sebagai Ashabah. Lalu Ibu

memperoleh 1/6 bagian, Janda memperoleh 1/8 bagian (karena

memiliki anak) Anak perempuan memperoleh ½ bagian. Dalam

Hukum waris barat mengenai peristiwa pewarisan diatur dalam

Buku II KUHPerdata yaitu mulai dari Pasal 830 KUHPerdata

sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Harta peninggalan

selain berupa hak-hak kebendaan yang nyata ada, dapat juga

berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan dapat juga

berupa hutang-hutang yang melibatkan pihak ketiga. Menurut

ketentuan Pasal 131 IS, hukum waris diatur dalam KUHPerdata

berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan

dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatblad 1917

No. 129 jo. Staatblad 1924 No. 557 hukum waris dalam

KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa,

dan berdasarkan Staatblad 1917 No. 12 tentang penundukan

diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia

dimungkinkan menggunakan hukum waris barat. Dan dalam Hukum

waris adat Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat

adat di Indonesia ditemukan empat macam sistem kekerabatan

atau pertalian keturunan berdasarkan faktor genealogis yang

berlaku yaitu Sistem Kekerabatan Patrilineal adalah sistem

kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan melalui

43

kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-

laki terus ke atas. Patrilineal itu terdapat didaerah adat

orang Batak, orang Bali, dan orang Ambon. Sistem

Kekerabatan Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang

berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang

menarik garis keturunannya dari pihak ibu terus ke atas.

Sistem kekerabatan matrilineal yang dimaksud yang terdapat

didaerah adat orang Minangkabau, orang Kerinci, dan orang

Semendo. Sistem Kekerabatan Bilateral atau Parental, adalah

sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan

melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya

melalui pihak ayah dan pihak ibu ke atas. Bilateral atau

Parental itu terdapat di daerah adat orang Aceh, orang

Jawa, orang Dayak, orang Bugis, dan orang Kaili. Sistem

Kekerabatan Alternerend, adalah sistem kekerabatan yang

berdsasarkan pertalian keturunan melalui kebapakan dan

keibuan yang menarik garis keturunan melalui pihak ayah dan

pihak ibu secara berganti-ganti, dan pergantian itu

dilakukan bila ayah atau ibu mempunyai kelebihan di antara

keduanya. Alternerend itu terdapat di daerah adat orang

Kaili, orang Pamona, orang Da’, dan orang Bare’e.

44

DAFTAR PUSTAKA

Effendi Perangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2008

Eman Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif

Islam, Adat, dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2007

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa danHukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam diPerguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, RefikaAditama, Bandung, 2006.Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,Bandung: Alumni, 1993R. Otje Salman, “Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon dilihat dariHukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam”, (Disertasi doktorUniversitas Padjdjaran, Bandung), 1992, R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PradnyaParamita, 1994Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KompilasiHukum IslamR. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung:Sumur, 1991 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet.Ke-8, Jakarta: Haji Masagung, 1989Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam(Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Ghalia Indonesia, Jakarta,1983