Ilmu hukum

25
A. Pengertian Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum 1. Pengertian Ilmu hukum Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan” (Curzon, 1979 : v). Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut. 2. Pengertian Pengantar ilmu hukum Pengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi hukum dinamakan “Encyclopaedia Hukum”, yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar (introduction atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum. Dapat pula dikatakan bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dasar tentang sendi-sendi utama ilmu hukum. B. Tujuan dan Kegunaan Pengantar Ilmu Hukum Tujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk dapat memahami bagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya. C. Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar bagi pelajaran

Transcript of Ilmu hukum

A. Pengertian Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum1. Pengertian Ilmu hukumMenurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yangberusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan” (Curzon, 1979 : v).Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut.

2. Pengertian Pengantar ilmu hukumPengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi hukum dinamakan “Encyclopaedia Hukum”, yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar (introduction atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum. Dapat pula dikatakan bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dasar tentang sendi-sendi utama ilmu hukum.

B. Tujuan dan Kegunaan Pengantar Ilmu HukumTujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk dapat memahamibagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya.

C. Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu HukumKedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar bagi pelajaran

lanjutan tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang hukum. Sedangkan kedudukan dalam kurikulum fakultas hukum adalah sebagaimata kuliah keahlian dan keilmuan. Oleh karena itu pengantar ilmuhukum berfungsi memberikan pengertian-pengertian dasar baik secara garis besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatuyang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga pengantar ilmu hukumjuga berfungsi pedagogis yakni menumbuhkan sikap adil dan membangkitkan minat untuk denagan penuh kesungguhan mempelajari hukum.

D. Ilmu Bantu Pengantar Ilmu Hukum• Sejarah hukum, yaitu suatu disiplin hukum yang mempelajari asalusul terbentuknya dan perkembangan suatu sistem hukum dalam suatumasyarakat tertentu dan memperbanding antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu• Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lain (Soerjono Soekanto)• Antropologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan/proses modernisasi (Charles Winick).• Perbandingan hukum, yakni suatu metode studi hukum yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu denganyang lain. Atau membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain• Psikologi hukum, yakni suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia (Purnadi Purbacaraka).

E. Metode Pendekatan Mempelajari Hukum

1. Metode Idealis ; bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu dalam masyarakat

2. Metode Normatif Analitis ; metode yg melihat hukum sebagai aturan yg abstrak. Metode ini melihat hukum sebagai lembaga otonom dan dapat dibicarakan sebagai subjek tersendiri

terlepas dari hal2 lain yang berkaitan dengan peraturan2. Bersifat abstrak artinya kata-kata yang digunakan di dalam setiap kalimat tidak mudah dipahami dan untuk dapat mengetahuinya perlu peraturan-peraturan hukum itu diwujudkan. Perwujudan ini dapat berupa perbuatan-perbuatan atau tulisan. Apabila ditulis, maka sangat penting adalah pilihan dan susunan kata-kata.

3. Metode Sosiologis; metode yang bertitik tolak dari pandanganbahwa hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat.

4. Metode Historis ; metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah hukumnya.

5. Metode sistematis; metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem

6. Metode Komparatif; metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan tata hukum dalam berbagai sistem hukum dan perbandingan hukum di berbagai negara.

Pengertian hukum menurut AristotelesSesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkahlaku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

Pengertian hukum menurut Hugo de GrotiusPeraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right).

Pengertian hukum menurut Leon DuguitSemua aturan tingkah laku para angota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yangdlanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukanpelanggaran itu.

Pengertian hukum menurut Immanuel KantKeseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang

kemerdekaan.

Pengertian hukum menurut Roscoe PoundSebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan hukum merupakan tingkah lakupara individu yang mempengaruhi individu lainnya. Adapun hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif Law as a tool of social engineering.

Pengertian hukum menurut John AustinSeperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi.

Pengertian hukum menurut Van VanenhovenSuatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari gejala-gejala lain.

Pengertian hukum menurut Prof. Soedkno MertokusumoKeseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalamsuatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi.

Pengertian hukum menurut Mochtar KusumaatmadjaKeseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusiadalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat.

Pengertian hukum menurut Karl Von SavignyAturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat

Pengertian hukum menurut HolmesApa yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.

Pengertian hukum menurut Soerjono SoekamtoMempunyai berbagai arti:1. Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan) hukum2. Hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan3. Hukum dalam arti kadah atau norma4. Hukum dalam ari tata hukum/hukum positf tertulis5. Hukum dalam arti keputusan pejabat6. Hukum dalam arti petugas7. Hukum dalam arti proses pemerintah8. Hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilaiAsas ---> Asas secara umum adalah sesuatu yang meliputi semua aspek (dasar utama). Atau dapat juga dikatakan akar dari norma-norma dan aturan aturan (ini kata-kata saya, bukan kutipan jadi tidak dijamin benar, tapi gambarannya kurang lebih seperti itu). Berikut beberapa asas hukum umum yang saya copy melalui http://hendramardika.wordpress.com/2010/11/14/beberapa-istilah-dalam-asas-hukum

1. Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali (Azas Legalitas) : tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, sebelum didahului oleh suatu peraturan.

2. Eidereen Wordt Geacht De Wette Kennen : setiap orang dianggap mengetahui hukum. Artinya, apabila suatu undang-undang telahdilembarnegarakan (diundangkan), maka undang-undang itu dianggap telah diketahui oleh warga masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya bahwa undang-undang itu belum diketahui berlakunya.

3. Lex Superior Derogat Legi Inferiori : hukum yang tinggi lebih diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang rendah. Misalnya, Undang-Undang lebih diutamakan daripada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, begitu seterusnya.

4. Lex Specialist Derogat Legi Generale : hukum yang khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum. Artinya, suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat di kesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.

5. Lex Posteriori Derogat Legi Priori : peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan pelaksanaannya daripada undang-undanglama yang mengatur hal yang sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur pencabutan undang-undanglama.

6. Lex Dura, Sed Temen Scripta : peraturan hukum itu keras, karena wataknya memang demikian.

7. Summum Ius Summa Iniuria : kepastian hukum yang tertinggi, adalah ketidakadilan yang tertinggi.

8. Ius Curia Novit : hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya, hakim tidak boleh menolak mengadili dan memutus perkara yangdiajukan kepadanya, dengan alasan tidak ada hukumnya karena ia dianggap mengetahui hukum.

9. Presumption of Innosence (praduga tak bersalah) : seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannyamelalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

10. Res Judicata Proveri Tate Habetur : setiap putusan pengadilan/hakim adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

11. Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) : hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi. Atau juga, keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus,tidak dapat dinilai sebagai saksi.

12. Audit et Atteram Partem : hakim haruslah mendengarkan parapihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.

13. In Dubio Pro Reo : apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkanbagi terdakwa.

14. Fair Rial atau Self Incrimination : pemeriksaan yang tidak memihak, atau memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.

15. Speedy Administration of Justice (peradilan yang cepat) : Artinya, seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka.

16. The Rule of Law : semua manusia sama kedudukannya di depan hukum, atau persamaan memperoleh perlindungan hukum.

17. Nemo Judex Indoneus In Propria : Tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk mengadilinya.

18. The Binding Forse of Precedent atau Staro Decises et Quieta Nonmovere : pengadilan (hakim) terdahulu, mengikat hakim-hakim lain pada peristiwa yang sama (asas ini dianut pada negera-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris).

19. Cogatitionis Poenam Nemo Patitur : tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada di hatinya.Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan kejahatan tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan maka ia tidak boleh dihukum. Di sini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat lahir, apa yang dilakukan secara nyata, itulah yang diberi sanksi.

20. Restitutio In Integrum : kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan pada keadaan semula (aman). Artinya, hukum harus memerankan fungsinya sebagai “sarana penyelesaian konflik”.

Norma---> berasal dari bahasa latin norma yang berarti siku-siku.Siku-siku dipakai untuk membuat sudut 90 derajat dan menjadi tolak ukur sudut 90 derajat. Jadi norma dapat dikatakan sebagai sesuatu yang menjadi alat ukur atau tolak ukur untuk yang dipakaiuntuk menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk ( lagi-lagi ini kata-kata saya yang tidak dijamin kebenarannya, tetapi gambarannya kurang lebih seperti itulah)...Perbedaan asas, norma dan aturan hukum dapat dilihat sebagai berikut.Asas hukum melahirkan Norma hukum, dan norma hukum melahirkan aturan hukum.Contonya asas hukum pengakuan terhadap hak milik individu melahirkan norma dilarang mencuri, dilarang menggelapkan barang orang lain dsb. Dari norma tersebut dilahirkan aturan misalnya pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Hubungan kausalitas dalam hukum pidana biasanya banyak

dibahas dalam ajaran kausalitas (ajaran mengenai sebab dan

akibat). Ajaran kausalitas ini adalah ajaran yang

mempermasalahkan hingga seberapa jauh sesuatu tindakan itu dapat

dipandang sebagai penyebab dari sesuatu keadaan atau hingga

berapa jauh sesuatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu

akibat dari sesuatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang

telah melakukan tindaka tersebut dapat diminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.1[1]

Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana merupakan

suatu masalah yang sulit dipecahkan. Kitab Undang-Undang dan

Hukum Pidana sendiri tidak memberikan petunjuk tentang cara

penentuan sebab suatu akibat yang melahirkan delik. Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana hanya menentukan dalam beberapa pasal, bahwa

untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat

tertentu guna menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya.2[2] Apabila

dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat

dibedakan antara (1) tindak pidana yang dirumuskan secara formil,

disebut dengan tindak formil (formeel delicten), dan (2) tindak

pidana yang dirumuskan secara materiil, disebut dengan tindak

pidana materiil (Materiel delicten).3[3]

Tindak pidana materiil mensyaratkan adanya akibat tertentu.

Sedangkan tindakan pidana materiil, ialah tindak pidana yang

1

2

3

dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut

akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat

terlarang ( unsure akibat konstitutif). Contohnya mewujudkan

tingkah laku menghilangkan nyawa, misalnya dengan wujud

konkritnya: menusuk (dengan pisau) tidaklah dengan demikian

melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan

menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya korban.4[4] Dalam hal

terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3

syarat esensial, yaitu:

1.      Terwujudnya tingkah laku

2.      Terwujudnya akibat

3.      Ada hubungan kausal antara wujud tingkah laku dengan akibat

konstitutif

Tindak pidana formil merupakan lawan dari tindak pidana

materiil.5[5] Mensyaratkan adanya perbuatan belaka, tidak

mensyaratkan adanya suatu akibat. Misalnya penghasutan (Pasal

150, KUHP), Pencurian (Pasal 362 KUHP), sumpah Palsu ()Pasal 242

KUHP) dan pemalsuan surat (pasal 263 KUHP).

Dalam hubungannya dengan penentuan pertanggung jawab pidana,

tidaklah mudah untuk menentukan factor yang manakah yang

menyebabkan akibat tindak pidana.dalam menghadapi persoalan

mencari dan menetapkan adanya hubungan kausal antara wujud

perbuatan dengan akibatnya, ajaran kausalitas menjadi penting.

Ajaran kausalitas adalah suatu ajaran yang berusaha untuk mencari

4

5

jawaban dari masalah akibat tindak pidana.ajaran kausalitas dapat

membantu para praktisi hukum terutama hakim dalam mencari dan

menentukan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud

perbuatan dengan akibat yang timbul.

2.           Macam- macam ajaran kausalitas Banyaknya rangkaian sebab-sebab yang jumlahnya tak mungkin

untuk ditentukan karena selalu berubah menurut pandangan orang

yang akan menentukannya, maka teori-teori tersebut dibagi menjadi

3 bagian, yaitu:

a.       Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie

atau Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri

Von Buri mengawali diskursus tentang ajaran kausalitas dengan

teorinya conditio sine qua non yang secara literal berarti syarat

mana tidak (syarat mutlak). Teori ini tidak membedakan antara

syarat dan sebab yang menjadi inti dari lahirnya berbagai macam

teori dalam kausalitas. Menurut Buri, rangkaian syarat yang turut

menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat

dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian

syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya

penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan

rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak

terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini

dinamakan juga dengan teori ekuivalen. Dengan demikian, setiap

sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab.6[6]

6

Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan

yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan

dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah

termasuk menjadi penyebabnya. Contoh: Seorang bapak mengendarai

motor hendak menyeberang- mengambil jalur yang lain dengang

berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah

belakang, dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah

belakang. Pengendara mobil mengerem dengang kencang hingga

menimbulkan suara yang keras (akibat gaya gesek ban dengan jalan)

sehingga menyebabkan bapak tadi terkejut, walaupun mobil tidak

sampai menabrak bapak, akan tetapi bapak jatuh dari motor dan

pingsan. Dilarikan ke RS, setengah jam kemudian meninggal dunia.

Segala faktor yang menyebabkan terjadinya akibat terlarang

merupakan penyebab dalam teori ini. semua faktor dinilai sama

pengaruhnya atau andil atau peranannya terhadap timbulnya akibat

yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu

dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut

waktu, tempat, dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.

Sehingga teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena

menurut pendiriannya, setiap syarat adalah sama nilainya

(equivalent).7[7]

Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara

faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan

ketidak adadilan. Pada contoh tadi, si pengemudi mobil

dipertanggung jawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak

7

adil, karena pada dirinya tidak ada kesalahan dalam hal

terjadinya peristiwa kematian bapak tadi, dan artinya

bertentangan dengang asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan

(geenstraf zonder schuld)

Walaupun teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi

dalam praktik di negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad

dalam pertimbangan suatu putusan yang menyatakan bahwa “untuk

dianggap sebagai sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak

perlu bersifat umum atau normal” (Satochid: 451). Bersifat umum

atau normal maksudnya ialah bahwa faktor yang dinilai sebagai

penyebab itu tidaklah perlu berupa faktor yang menurut

perhitungan yang wajar dan kebiasaan yang berlaku dapat

menimbulkan akibat, asalkan ada kaitannya dalam rangkaian

peristiwa yang menimbulkan akibat- semuanya adalah faktor

penyebab.

b.      Teori yang menggeneralisir

Teori yang menggeneralisir ialah teori yang dalam mencari

sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh/ berhubungan dengan

timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor

mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada

umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor

penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah

peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada

umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara

abstracto, tidak secara inconcreto.8[8]

Contoh: karena jengkel kepada bawahannya yang berbuat salah,

bawahannya itu ditempelengnya dengan tangan kosong yang secara

wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tidak akan

menyebabkan kematian, tetapi kemudian korban pingsan dan

meninggal.

Untuk menentukan bahwa suatu sebab itu pada umumnya secara

wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat maka timbul

2 pendirian:

1)      Pendirian yang subjektif ( Teori Adequat Subjectif)

Teori Adequat Subjectif dipelopori oleh J. Von Kries, yang

menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut

kejadian yang normal adalah adequat (sebanding)/ layak dengan

akibat yang timbul, faktor yang diketahui dan disadari oleh si

pembuat yang akan menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori

ini faktor subjektif atau sikap batin sebelum si pembuat berbuat

adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal,

sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang

akan dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang

timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman

manusia pada umumnya.

Contoh: meninggalnya bapak pengidap penyakit jantung tadi,

menurut teori ini, pengendara mobil tidak dipersalahkan atas

8

kematiaanya, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara

keras tidak dapat dibayangkan pada umumnya sehingga menimbulkan

kematian bapak yang hendak menyeberang jalan

2)      Pendirian objektif (Adequat Objectif)

Pada ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana

sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-

faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta

akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif)

faktor- faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana

alam pikiran/ sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah

penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa

terjadi beserta akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal

dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.

Contoh: meninggalnya pasien yang diminumkan obat oleh perawat,

yang sebelumnya telah dicampuri racun oleh orang yang ingin

membunuh pasien, walaupun tidak diketahui oleh perawat, perbuatan

perawat meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat

terhadap matinya pasien, karena itu ada hubungan kausal dengan

akibat kematian pasien (Moeljanto, 1983:111)

c.       Teori yang mengindividualisir

Teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya

mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya

melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan

dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta

akibatnya benar- benar terjadi secara konkrit (post factum). Teori

ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah

peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan

pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa

tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat

belaka.9[9]

Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling

berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat

terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain adalah

dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.10

[10] Pendukung teori yang mengindividualisir ini antara lain

Birkmeyer dan Karl Binding.

Contoh: meninggalnya orang yang awalnya ditempeleng oleh

atasannya, menurut teori ini, peristiwa tersebut harus dicari dan

dinilai diantara rangkaian faktor yang berkaitan dengan kematian

itu. Kiranya faktor “serangan jantung” yang paling dominan

peranannya terhadap kematian itu.11[11]

B.         SIFAT MELAWAN HUKUM 1.           Pengertian

Sifat melawan hukum yang dalam bahasa belanda disebut

wederrechtelijk oleh para ahli hukum diberikan arti yan berbeda –

beda. Van Hamel mengelompokkannya menjadi dua, yaitu :

a.       Paham Positif

9

10

11

Paham positif mengartikan wederrechtelijk sebagai instridj met het

recht (bertentangan dengan hukum) atau sebagai met krenking van eens

anders recht (dengan melanggar hak orang lain). Pendapat pertama

dinyatakanakan oleh Simons dan yang kedua disebutkan oleh Noyon.

b.      Paham Negatif

Wederrechtelijk diartikan pada paham negatif sebagai niet steunend

op het recht (tidak berdasarkan hukum) atau zonder bevoegdheid (tanpa

hak). Pendapat demikian dinyatakan oleh Hoge Raad. 12[12]

Melihat perdebatan yang terjadi mengenai pemberian arti

wederrechtelijk, Lamintang mencoba untuk mememberiikan arti kata

wederrechtelijk ke bahasa Indonesia tidak secara harfiah. Lamintang

mengartikan wederrechtelijk sebagai suatu perbuatan “secara tidak

sah”.

Menurut Lamintang, frasa “secara tidak sah” lebih tepat

digunakan karena mencakup keseluruhan arti yang diberikan oleh

para pakar. Instridj met het recht (bertentangan dengan hukum) atau met

krenking van eens anders recht (dengan melanggar hak orang lain) atau

niet steunend op het recht (tidak berdasarkan hukum) atau zonder

bevoegdheid (tanpa hak) jelas merupakan perbuatan yang dilakukan

secara tidak sah.

2.           Paham – Paham Wederrechtelijk a.       Sifat melawan hukum dalam arti formal (formele wederrechtelijk).

Paham ini menyebutkan bahwa suatu perbuatan hanya bisa

dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan telah

mencocoki larangan undang – undang, maka disitu ada kekeliruan.

12

Letak melawan hukumnya perbuatan sudah tercantum dalam sifat

melanggar ketentuan undang-undang kecuali jika perbuatan tersebut

termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang.13

[13]

b.      Sifat melawan hukum dalam arti material (materieele wederrechtelijk).

Paham ini menganggap bahwa belum tentu semua perbuatan yang

mencocoki undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka, yang

dinamakan hukum bukan hanya undang – undang yang tertulis saja,

karena ada pula hukum tidak tertulis berupa norma – norma dan

kenyataan – kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.

3.           Unsur sifat melawan hukum di dalam rumusan perundang- undangan.

Sifat melawan hukum dinyatakan dalam rumusan tindak pidana

dengan pelbagai istilah, yaitu :

a.       Secara tegas menyebut “melawan hukum”.

Adapun aturan perundang-undangan yang secara tegas

menyebutkan kata “melawan hukum” dapat dijumpai pada pasal 362,

368, 369, 372, dan 378 KUHP sebagai berikut :

Pasal 362

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki

secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak

sembilan ratus rupiah.

13

Pasal 368

(1)    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu,

yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau

orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan

piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling

lama sembilan bulan.

Pasal 369

(1)    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum. dengan ancaman pencemaran

baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan

membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu

yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang

lain. atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 372

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang

sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang

lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama

empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus

rupiah.

Pasal 378

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau

martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian

kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang

sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun

menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

b.      Tanpa hak, tidak berhak, atau tanpa wenang (zonder daartoe

gerichtigd te zijn).

Adapun aturan perundang-undangan yang memberikan makna

“melawan hukum” dengan kata “tanpa hak, tidak berhak, atau tanpa

wenang (zonder daartoe gerichtigd te zijn)” dapat dijumpai pada pasal 548

dan 549 KUHP sebagai berikut :

Pasal 548

Barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di

kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami,

diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh

lima rupiah.

Pasal 549

(1)   Barang siapa tanpa wenang membiarkan ternaknya berjalan di

kebun, di padang rumput atau di ladang rumput atau di padang

rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi, ditugali atau

ditanami atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah

kepunyaan orang lain oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah

diberi tanda larangan yang nyata bagi pelanggar, diancam dengan

pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

c.       Tanpa izin (zonder verlof).

Adapun aturan perundang-undangan yang memberikan makna

“melawan hukum” dengan kata “tanpa izin (zonder verlof)” dapat

dijumpai pada pasal 496 dan 510 dalam KUHP sebagai berikut :

Pasal 496

Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk

untuk itu, membakar barang tak bergerak kepunyaan sendiri,

diancam dengan pidana denda paling tinggi tujuh ratus lima puluh

rupiah.

Pasal 510

(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh

puluh lima rupiah, barangsiapa tanpa izin kepala polisi atau

pejabat lain yang ditunjuk untuk itu:

1. mengadakan pesta lain yang ditunjuk untuk itu:

2. mengadakan arak-arakan di jalan umum.

d.      Melampaui kekuasaannya (met overschrijding van zijn bevoegheid).

Adapun aturan perundang-undangan yang memberikan makna

“melawan hukum” dengan kata “melampaui kekuasaannya (met

overschrijding van zijn bevoegheid)” dapat dijumpai pada pasal 430 KUHP

sebagai berikut :

Pasal 430

(1)         Seorang pejabat yang melampaui kekuasaannya, menyuruh

memperlihatkan kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang

atau paket yang diserahkan kepada lembaga pengangkutan umum atau

kabar kawat yang dalam tangan pejabat telegrap untuk keperluan

umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan.

(2)         Pidana yang sama dijatuhkan kepada pejabat yang melampaui

kekuasaannya, menyuruh seorang pejabat telepon atau orang lain

yang diberi tugas pekerjaan telepon untuk keperluan umum, memberi

keterangan kepadanya tentang sesuatu percakapan yang dilakukan

denggan perantaraaan lembaga itu.

e.       Tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum

(zonder inachtneming van de bij algemeene verordeening bepaalde vormen).14[14]

Adapun aturan perundang-undangan yang memberikan makna

“melawan hukum” dengan kata “tanpa memperhatikan cara yang

ditentukan dalam peraturan umum (zonder inachtneming van de bij algemeene

verordeening bepaalde vormen)” dapat dijumpai pada pasal 429 KUHP

sebagai berikut :

Pasal 429

(1)   Seorang pejabat yang melampaui kekuasaan atau tanpa

mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan umum,

14

memaksa masuk ke dalam rumah atau ruangan atau pekarangan

terututup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada di situ

secara melawan hukum, tidak segera pergi atas permintaan yang

berhak atau atas nama orang itu, diancam dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling

tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

(2)   Diancam dengan pidana yang sama, seorang pejabat yang pada

waktu menggeledah rumah, dengan melampaui ke kuasaannya atau

tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan

umum, memeriksa atau merampas surat surat, buku-buku atau kertas-

kertas lain.

BAB IIIPENUTUP

A.                               Simpulan 1.      Ajaran kausalitas ini adalah ajaran yang mempermasalahkan

hingga seberapa jauh sesuatu tindakan itu dapat dipandang sebagai

penyebab dari sesuatu keadaan atau hingga berapa jauh sesuatu

keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari sesuatu

tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan

tindaka tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut

hukum pidana.

2.      Ajaran kausalitas terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a.       Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie

atau Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri

b.      Teori yang menggeneralisir

c.       Teori yang mengindividualisir

3.      Sifat melawan hukum diartikan berbeda – beda oleh para pakar

yang pada intinya adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak

sah.

4.      Ada dua paham mengenai sifat melawan hukum, yaitu :

a.       Sifat melawan hukum dalam arti formal (formele

wederrechtelijk).

b.      Sifat melawan hukum dalam arti material (materieele

wederrechtelijk).

B.                                 Saran

Bagi lembaga yang berwenang untuk menetapkan undang – undang

hendaknya merumuskan suatu Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang

baru agar dapat menyelesaikan masalah secara kontekstual.

Bersamaan dengan itu juga memasukkan kejelasan sikap hukum pidana

di Indonesia mengenai paham apa yang digunakan dalam penentuan

sifat melawan hukum.