hukum pidana

42
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya 1

Transcript of hukum pidana

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada

suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan

bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk

mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap

manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya,

-dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau

orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan

harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan

tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau

manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat

negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan

yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan

kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu

pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada

ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib

dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan

masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau

kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh

individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu

sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan

penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya

pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”.

Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya

1

menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan

perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan

kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh

kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar

pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan

anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja

yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana,

karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari

kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu

sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.

2

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah pengertian hukum pidana ?

Apa saja macam-macam hukum pidana ?

Bagaimana sifat hukum pidana ?

Apakah fungsi dari hukum pidana ?

Apa saja sumber hukum pidana ?

Apa saja ruang lingkup hukum pidana ?

Bagaimana sistem hukuman pidana ?

Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat

memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa

yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun

setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah

penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi

awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum

pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana

diantaranya adalah sebagai berikut:

W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi

keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh

pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi

berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat

khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum

pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang

menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana

terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam

keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta

4

hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-

tindakan tersebut.1

Simons

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum

pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve

zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in

subjectieve zin.

Hukum pidana dalam arti objek tif adalah hukum pidana yang

berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau

ius poenale.2

Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:

1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara

diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak

ditaati;

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk

penjatuhan pidana, dan;

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-

jatuhan dan penerapan pidana.3

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa

diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut: 4

1 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Sinar Baru, 1984), h. 1-2.2 Ibid, h. 3.

33 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), h. 9.4 Ibid, h. 10.

5

1. Dalam arti luas:

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk

mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan

tertentu;

2. Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan

melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan

yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan.

Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana

dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan

yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk

mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap

seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah

diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari

peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana

dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius

puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

W.F.C. van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan

peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu

masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai

pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang

dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum

dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-

6

peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus

berupa hukuman.5

Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan

aturan-aturan untuk

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau

sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.6

Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak

menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada.

Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu

dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum

pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat

berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak

5 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 2.6 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (1982), h. 1.

7

mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah

hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).7

Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang

menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya

dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.8

Hazewinkel-Suringa

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung

larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap

pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi

barang siapa yang membuatnya.9

Adami Chazawi

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang

memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan

dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan

(aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai

dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang

melanggar larangan itu;

2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus

dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat

7Ibid, h. 6. 8 Ibid, h. 5.9 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 4.

8

dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan

perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan

negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi,

Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai

pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,

menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap

dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus

dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut

dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari

tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana

tersebut.10

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,11 bahwa hukum pidana

adat pun yang tidak dibuat oleh negara atau political

authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum

pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan

pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum

adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri,

dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian

dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan

memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang

memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan

larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya

diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 2.11 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982), h. 15-16.

9

hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan,

serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan,

penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi

tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.

Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta

bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai

kepentingan atau keadilan.

Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan

mempe-ngaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam

perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan

nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat

(setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-

undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat

masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah

Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan

yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak

terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian

sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau

dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian.

Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat

dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur

utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak

memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib

mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang

tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia

yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada

10

Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh meno-lak memberi

keadilan.12

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat

diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana

setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:

1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi

pidana;

3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang

yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);

4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi,

antara lain sebagai berikut:

1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan hukum pidana dalam

arti subjektif.13 2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana

formil

Menurut van Hattum:

a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan

yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah

merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah

12 Ibid., h. 16.13 Lihat halaman 1.

11

orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap

tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang

dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga

dengan hukum pidana yang abstrak.

b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang

mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang

bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.

Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum

acara pidana.14

3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan

hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)

:

a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai

ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU

Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt)

No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No.

12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No.

9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di

Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 ten-tang Pemberantasan Tindak

14 P.A.F. Lamintang, Op.cit., h. 10.12

Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di

dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana

bagian khusus (bijzonder deel)

a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum

sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur

tentang Ketentuan Umum;

b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang

Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang

terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.

5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana

khusus bijzonder strafrecht)

van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum

pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah

dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum),

sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang

dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-

orang ter-tentu saja misalnya bagi anggota Angkatan

Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur

tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.15

6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis16

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui

ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.

15 Ibid, h. 11.16 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 17-19.

13

Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono,

tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam

rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP,

tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia

ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas

kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini

berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt

Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan

delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya

adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971,

Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan

di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah,

bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga

kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan

persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya

menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh

telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan

berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun

1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistim hukum pidana di Indonesia mengenal

adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam

Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas

legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai

akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam

masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.

14

7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana

lokal (plaatselijk strafrecht)

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut

sebagai hukum pidana nasional.17 Hukum pidana umum adalah

hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang

berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar

larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara.

Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat

oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang

melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam

wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana

lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat

Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.18

Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap

pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus

dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan,

pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-

alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di

dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.19

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana

masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan

hukum pidana internasional (hukum pidana supranasional).

Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat,

diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di

17 Ibid, h. 12.18 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 13.19 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 12.

15

dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional,

berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui

dan diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-

juan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah

Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili pen-

jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;

b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain menge-

nai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut,

tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.20

C. SIFAT HUKUM PIDANA

Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan

sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati

oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan

untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang

ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.

Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum

pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah

kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum

yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula

dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan

koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan,

melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang

20 1920 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 14.

16

bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk

memperhatikan kepentingan rakyat.21

Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu

termasuk hukum publik.22

Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan

masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk

memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan

antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal

dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada

umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan

orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya

tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan

yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa

hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi.

21 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.37.22 Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakatumum). Apabila diperinci sifat hukum publik dalam hubungannya denganhukum pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri hukum publik yaitu:

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat de-nganorang perseorangan;2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perse-orangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepadapenguasa;3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang ter-larang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), me-lainkanpada umumnya negara/penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukumpidana objektif atau hukum pidana positif. Lihat E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, Op.Cit., h. 23.

17

Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam

perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.23

Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat

dike-tahui berdasarkan:

1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya

itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari

korbannya;

2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan

kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu

tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.24

3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan

pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi

penghasilan negara.25

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan

merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan

hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak

berada pada kepentingan individu, melainkan pada

kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada

hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada

hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang

individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan

diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan

umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan,

penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak23 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 8.24 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 13.25 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 6.

18

orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan

sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada

beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke

pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu

kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan

perzinahan.26

Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum

pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul

Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini

berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan

kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana

itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga

sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu,

sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga

dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang

disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang

dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa

justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak

pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan"

dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana,

hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum

publik.27

D. FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA

26 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1969), h. 11. 27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 25.

19

Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana

adalah untuk melindungi masyarakat.28 Secara umum hukum

pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar

dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia

dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan

hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami

pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat

menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain.

Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan

orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut

maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan

manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen)

dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum

pidana, yaitu:

1. Aliran klasik

Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke

richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi

individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya

adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei

delitte edelle pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut

28 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 23.20

agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang

harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria

itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan

di samping itu kekuasaan Raja Absolute dapat

menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan

menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri.

Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan

beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak

tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai

terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di

Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang

dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine

Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di

dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim

tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan

pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas,

yang menganggap Jean Calas tidak ber-salah membunuh anaknya,

sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang

ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu

dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyata-kan Mauriac mati

dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan

itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J.

Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan Raja

dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis

atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu

adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan

hukum perseorangan.29

29 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 24.21

Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu pera-

turan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-

tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman

hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan

akan terjamin hak-hak

manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan

tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan

melahirkan kepas-tian hukum serta dapat menghindarkan

masyarakat dari kese-wenang-wenangan. Pengikut-pengikut

ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk

menjamin kepentingan hukum individu.30 Setiap perbuatan yang

dilakukan oleh sese-orang (individu) yang oleh undang-undang

hukum pidana dila-rang dan diancam dengan pidana harus

dijatuhkan pidana. Menu-rut aliran klasik, penjatuhan pidana

dikenakan tanpa memper-hatikan keadaan pribadi pembuat

pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong

dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang

bermanfaat, baik bagi orang yang me-lakukan kejahatan maupun

bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).31

2. Aliran modern

Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-

jarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi

masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan

tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan

30 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 56.31 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 25.

22

kejahatan serta kea-daan penjahat.32 Kriminologi yang objek

penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang

perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu

yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh

kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan

suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana

adalah untuk memberantas kejahatan agar ter-lindungi

kepentingan hukum masyarakat.33

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemuka-

kan tentang fungsi/tujuan hukum pidana:

Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan

sebagai berikut:34

1. Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh

karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum

pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau

untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;

2. Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-

kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana

yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi

32 Ibid.33 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 56.34 Sudarto, Op.Cit., h. 11-12

23

yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana

itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga

hukum pidana dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri‟

atau seba-gai „pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa

hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-

kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda,

kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran

terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan

perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si

pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi

aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal

ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control

fungsi hukum pidana adalah subsidair,35 artinya hukum pidana

hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha

lain kurang memadai.

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum

publik hukum pidana berfungsi:

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau

perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa

kepentingan hukum tersebut

Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam,

yaitu:

a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen),

misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),

kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak35 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 15.

24

milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama

baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain

sebagainya;

b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-

lijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap

keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di

jalan raya, dan lain sebagainya;

c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-

pentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,

kepentingan hukum terhadap negara-negara saha-bat,

kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan

wakilnya, dan sebagainya.36

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara

men-jalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan

hukum

Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi,

dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat

tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar

kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang

bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan,

penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi

pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini,

yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana

dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum

manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan

36 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 16-17.25

diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam

hukum acara pidana, agar negara dapat men-jalankan fungsi

menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi

oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.37

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka

negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan

hukum.38

Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan

dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan

menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewe-

nang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa,

sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak

diperlukan.

Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan

untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.

Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung,

kepen-tingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan

dilindungi oleh

norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian

terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma

tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang

berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan

kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-

nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui37 Ibid, h. 20.38 Ibid, h. 21.

26

tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial,

dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma

tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa

penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan

sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dike-nakan

kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di

atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya

sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi

sosial.39

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma

dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya

sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat

dipidana.40 Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu

sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh

bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-

norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi,

hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu

dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan

dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu

mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan.

Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban,

ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat,

tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.41

39 Jan Remmelink, Op.Cit., h. 14–15.40 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979),h. 55.41 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 9 -10.

27

Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu

merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin

diba-tasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah

tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh

hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato

Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain

menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan

suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada

keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana

akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung

dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai

terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.42

E. SUMBER HUKUM PIDANA

Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan

untuk keperluan itu, para ahli hukum pidana telah memikirkan

agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga

timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam

undang-undang dan atau kitab undang-undang (kodifikasi).

Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap

negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi.

Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir

seluruhnya tidak mengenal hukum pidana dalam bentuk

kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang

mempunyai kodifikasi hukum pidana.43

42 Ibid., h. 10.43 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 22.

28

Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan

menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut

dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto

sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:44

1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang

tertulis

Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama

aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch

indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit)

tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak

tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan

copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda,

yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun

1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan

penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan

tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan

dasar filsafatnya tetap sama.

KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi

Kemerdekaan tanggal 17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan

yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942

(Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi:

“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI

tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan

hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan

hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.

44 Sudarto, Op.Cit., h. 15 -19.29

Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita

adalah Bahasa Belanda.

Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945

kembali lagi ke Indonesia, setelah mengungsi selama zaman

pen-dudukan Jepang (1942-1945) juga mengadakan perubahan-

peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan

Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan

sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570.

Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua

pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga

hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan

dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya

sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam

KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang

ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958

No. 127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1

Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh

Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap

tidak ada.

KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku

untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam

lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum

pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan

pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan

pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam

peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.30

2. Hukum pidana adat

Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu

hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber

hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat

masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana,

hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun

1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih

berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan

daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun

masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana

tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber

hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum

dalam Pasal 1 KUHP.

3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)

M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana,

yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama

dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda.

RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal

1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut

dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain

dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda

(W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918

itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena

itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan

pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang

tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.

31

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya

suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian

bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum

tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam

pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 145

ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang

dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas

perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa

ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi

berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan

demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai

kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih

memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup

di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut

dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di

dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada

bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam

undang-undang.46

45 Pasal 1 Konsep KUHP Baru berbunyi:(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecualiperbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalamperaturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itudilakukan.(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berla-kunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorangpatut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturanperundang-undangan.(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudpada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atauprin-sip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

32

Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam

masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak

pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang

hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di

beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-

ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui

sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan

bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal

ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan

Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh

pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai

dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap

dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di

dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan

menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas

serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.47

Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP

Baru sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis

(undang-undang) dan sumber hukum tidak tertulis yang hidup

di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) Konsep KUHP Baru

menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap

mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut

mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang

46 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (PerkembaganPenyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), h. 73-74.47 Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun 2006/2007.

33

Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-pakan pengecualian dari

asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut

untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam

masyarakat tertentu.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-

bakal dari pokok pemikiran tetap diakuinya

eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di

dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu

sebenarnya sudah cukup lama dan tersebar di beberapa produk

legislatif, antara lain dapat dilihat sebagai berikut: 48

1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951

" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup

harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada

bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap

diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan

penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai

hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan

tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…..… Bahwa, bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim

melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,

maka…..... terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti

setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman

adat yang…..... tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa

diganti seperti tersebut di atas."48 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 75.

34

2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 16 ayat (1):

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,

dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya;

Pasal 25 ayat (1):

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan

dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari

peraturan per-undang-undangan yang bersangkutan atau sumber

hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;

Pasal. 28 ayat (1):

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan

perundang-undangan nasional seperti dikemukakan di atas

(Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-undang Kekuasaan

Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas

secara materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal

baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan

kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide

perumusan asas legalitas secara material pernah pula

dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional" di dalam Pasal

14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun

35

boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali

karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya."

Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum"

(RECHT) yang tentunya lebih luas pengertiannya dari sekadar

aturan "undang-undang" (WET), karena dapat berbentuk "hukum

tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".49

F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan

tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab

undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya

aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :

1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)

2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)

3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

G. SISTEM HUKUMAN

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan

bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku

tindak pidana terdiri dari :

a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).

1. Hukuman mati

2. Hukuman penjara

3. Hukuman kurungan

49 Ibid., h. 77.36

4. Hukuman denda

b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)

1. Pencabutan beberapa hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

H. HUKUM ACARA PIDANA

Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal

mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan

pelaksanaan hukum pidana material. Penyelenggaraannya

berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum

acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu

ditulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab

undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab

undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu

diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981

melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan

lembaran Negara No. 3209.

Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama

sebagai pengganti Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara

pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan

masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada

hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan

masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-

ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal37

2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata

cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya,

ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum

pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana

berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan

lain oleh Undang-Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu

diketahi beberapa hal penting antara lain ialah :

a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)

Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan

bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib

dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan,

yang mengatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum

yang tetap” berdasarkan asas praduga tidak bersalah ini,

maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana

tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan

hukum pasti dari hakim Pengadilan, maka ia masih tetap

memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.

b. Koneksitas

Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan

bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat

diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang

hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89

ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak Pidana yang dilakukan

bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan

umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili

38

oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum,

kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan

keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu

harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka

kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada

peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak

mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari

adanya tindak pidana itu.

c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh

jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua

pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam

pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap

pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk

membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan

terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana

perampasan kemerdekaan”.

39

BAB III

KESIMPULAN

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud

untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan

segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya

kedamaian dan ketertiban.

Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh

hal yang sangat penting, yaitu :

1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1

KUHP)

2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab

I Pasal 2 – 9 KUHP)

Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-

nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya

perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana

menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.

40

Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum

pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan

tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara

itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya

hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi

empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas

personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit

pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas

berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2

sampai dengan Pasal 9 KUHP.

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber

hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada

beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus

yang dibuat setelah kemerdekaan.

41

DAFTAR PUSTAKA

J.M. van Bemmelen.1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta

P.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,

Bandung: Sinar Baru

http://aslanilmukuliah.blogspot.com/2010/01/pendahuluan-

hukum-pidana.html

http://akfiniaditias.blogspot.com/2013/05/tugas-makalah-

hukum-pidana.html

42