hukum pidana
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of hukum pidana
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada
suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan
bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk
mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap
manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya,
-dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau
orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan
harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan
tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau
manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat
negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan
yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan
kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu
pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada
ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib
dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan
masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau
kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh
individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu
sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan
penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya
pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”.
Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya
1
menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan
kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh
kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar
pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan
anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja
yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana,
karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari
kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu
sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.
2
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian hukum pidana ?
Apa saja macam-macam hukum pidana ?
Bagaimana sifat hukum pidana ?
Apakah fungsi dari hukum pidana ?
Apa saja sumber hukum pidana ?
Apa saja ruang lingkup hukum pidana ?
Bagaimana sistem hukuman pidana ?
Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat
memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa
yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun
setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah
penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi
awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum
pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana
diantaranya adalah sebagai berikut:
W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi
berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat
khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum
pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta
4
hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-
tindakan tersebut.1
Simons
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum
pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve
zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in
subjectieve zin.
Hukum pidana dalam arti objek tif adalah hukum pidana yang
berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau
ius poenale.2
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara
diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak
ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana, dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-
jatuhan dan penerapan pidana.3
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa
diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut: 4
1 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Sinar Baru, 1984), h. 1-2.2 Ibid, h. 3.
33 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), h. 9.4 Ibid, h. 10.
5
1. Dalam arti luas:
Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk
mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan
tertentu;
2. Dalam arti sempit:
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan
yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan.
Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana
dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan
yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk
mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap
seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah
diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari
peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana
dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius
puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
W.F.C. van Hattum
Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang
dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum
dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
6
peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
berupa hukuman.5
Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.6
Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak
menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada.
Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu
dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum
pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat
berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak
5 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 2.6 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (1982), h. 1.
7
mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah
hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).7
Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya
dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.8
Hazewinkel-Suringa
Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung
larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap
pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi
barang siapa yang membuatnya.9
Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan
dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan
(aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang
melanggar larangan itu;
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus
dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
7Ibid, h. 6. 8 Ibid, h. 5.9 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 4.
8
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan
perbuatan yang dilanggarnya;
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan
negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi,
Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai
pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,
menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap
dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus
dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut
dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari
tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana
tersebut.10
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,11 bahwa hukum pidana
adat pun yang tidak dibuat oleh negara atau political
authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum
pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan
pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum
adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri,
dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian
dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan
memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang
memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan
larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya
diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 2.11 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982), h. 15-16.
9
hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan,
serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan,
penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi
tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.
Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta
bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai
kepentingan atau keadilan.
Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan
mempe-ngaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam
perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan
nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat
(setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-
undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat
masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah
Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan
yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak
terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian
sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau
dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian.
Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat
dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur
utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak
memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib
mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia
yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada
10
Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh meno-lak memberi
keadilan.12
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat
diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana
setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:
1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi
pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang
yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi,
antara lain sebagai berikut:
1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan hukum pidana dalam
arti subjektif.13 2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil
Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan
yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah
merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah
12 Ibid., h. 16.13 Lihat halaman 1.
11
orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang
dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga
dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang
mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang
bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.
Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum
acara pidana.14
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
:
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai
ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU
Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt)
No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No.
12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No.
9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 ten-tang Pemberantasan Tindak
14 P.A.F. Lamintang, Op.cit., h. 10.12
Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di
dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana
bagian khusus (bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum
sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur
tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang
Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang
terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana
khusus bijzonder strafrecht)
van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum
pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah
dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum),
sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-
orang ter-tentu saja misalnya bagi anggota Angkatan
Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur
tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.15
6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis16
Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui
ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.
15 Ibid, h. 11.16 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 17-19.
13
Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono,
tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam
rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP,
tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia
ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas
kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini
berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.
Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt
Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan
delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya
adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971,
Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan
di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah,
bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga
kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan
persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya
menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh
telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan
berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun
1951 jo. Pasal 284 KUHP.
Dengan demikian sistim hukum pidana di Indonesia mengenal
adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam
Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas
legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai
akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam
masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.
14
7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana
lokal (plaatselijk strafrecht)
Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut
sebagai hukum pidana nasional.17 Hukum pidana umum adalah
hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang
berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar
larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara.
Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat
oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam
wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana
lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat
Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.18
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap
pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus
dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan,
pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-
alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di
dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.19
Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana
masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan
hukum pidana internasional (hukum pidana supranasional).
Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat,
diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di
17 Ibid, h. 12.18 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 13.19 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 12.
15
dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional,
berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui
dan diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:
a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-
juan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah
Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili pen-
jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain menge-
nai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut,
tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.20
C. SIFAT HUKUM PIDANA
Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan
sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati
oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang
ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum
pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah
kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum
yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula
dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan
koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan,
melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang
20 1920 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 14.
16
bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk
memperhatikan kepentingan rakyat.21
Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu
termasuk hukum publik.22
Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan
masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk
memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan
antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal
dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada
umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan
orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya
tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan
yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa
hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi.
21 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.37.22 Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakatumum). Apabila diperinci sifat hukum publik dalam hubungannya denganhukum pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri hukum publik yaitu:
1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat de-nganorang perseorangan;2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perse-orangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepadapenguasa;3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang ter-larang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), me-lainkanpada umumnya negara/penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukumpidana objektif atau hukum pidana positif. Lihat E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, Op.Cit., h. 23.
17
Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam
perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.23
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat
dike-tahui berdasarkan:
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya
itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan
kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.24
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan
pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi
penghasilan negara.25
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan
merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan
hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak
berada pada kepentingan individu, melainkan pada
kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada
hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada
hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang
individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan
diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan
umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan,
penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak23 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 8.24 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 13.25 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 6.
18
orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan
sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada
beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke
pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu
kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan
perzinahan.26
Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum
pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul
Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini
berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan
kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana
itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga
sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu,
sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga
dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang
disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang
dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa
justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak
pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan"
dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana,
hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum
publik.27
D. FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA
26 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1969), h. 11. 27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 25.
19
Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana
adalah untuk melindungi masyarakat.28 Secara umum hukum
pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar
dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia
dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami
pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat
menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain.
Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan
orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut
maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan
manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.
Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen)
dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum
pidana, yaitu:
1. Aliran klasik
Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke
richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi
individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya
adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei
delitte edelle pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut
28 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 23.20
agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang
harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria
itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan
di samping itu kekuasaan Raja Absolute dapat
menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan
menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri.
Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan
beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak
tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai
terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di
Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang
dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine
Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di
dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim
tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan
pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas,
yang menganggap Jean Calas tidak ber-salah membunuh anaknya,
sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang
ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu
dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyata-kan Mauriac mati
dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan
itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J.
Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan Raja
dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis
atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu
adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan
hukum perseorangan.29
29 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 24.21
Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu pera-
turan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-
tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman
hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan
akan terjamin hak-hak
manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan
tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan
melahirkan kepas-tian hukum serta dapat menghindarkan
masyarakat dari kese-wenang-wenangan. Pengikut-pengikut
ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk
menjamin kepentingan hukum individu.30 Setiap perbuatan yang
dilakukan oleh sese-orang (individu) yang oleh undang-undang
hukum pidana dila-rang dan diancam dengan pidana harus
dijatuhkan pidana. Menu-rut aliran klasik, penjatuhan pidana
dikenakan tanpa memper-hatikan keadaan pribadi pembuat
pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong
dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang
bermanfaat, baik bagi orang yang me-lakukan kejahatan maupun
bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).31
2. Aliran modern
Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-
jarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi
masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan
tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan
30 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 56.31 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 25.
22
kejahatan serta kea-daan penjahat.32 Kriminologi yang objek
penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang
perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu
yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh
kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan
suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk memberantas kejahatan agar ter-lindungi
kepentingan hukum masyarakat.33
Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemuka-
kan tentang fungsi/tujuan hukum pidana:
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan
sebagai berikut:34
1. Fungsi yang umum
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh
karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum
pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;
2. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-
kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana
yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi
32 Ibid.33 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 56.34 Sudarto, Op.Cit., h. 11-12
23
yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana
itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga
hukum pidana dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri‟
atau seba-gai „pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa
hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda,
kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran
terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan
perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si
pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi
aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal
ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control
fungsi hukum pidana adalah subsidair,35 artinya hukum pidana
hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha
lain kurang memadai.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum
publik hukum pidana berfungsi:
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau
perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa
kepentingan hukum tersebut
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam,
yaitu:
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),
kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak35 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 15.
24
milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama
baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain
sebagainya;
b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-
lijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap
keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di
jalan raya, dan lain sebagainya;
c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-
pentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,
kepentingan hukum terhadap negara-negara saha-bat,
kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya, dan sebagainya.36
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara
men-jalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan
hukum
Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi,
dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat
tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar
kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang
bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan,
penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi
pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini,
yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana
dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum
manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan
36 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 16-17.25
diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam
hukum acara pidana, agar negara dapat men-jalankan fungsi
menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi
oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.37
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka
negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan
hukum.38
Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan
dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan
menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewe-
nang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa,
sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak
diperlukan.
Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan
untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.
Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung,
kepen-tingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan
dilindungi oleh
norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian
terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma
tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang
berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan
kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-
nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui37 Ibid, h. 20.38 Ibid, h. 21.
26
tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial,
dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma
tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa
penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan
sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dike-nakan
kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di
atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya
sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi
sosial.39
Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma
dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya
sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat
dipidana.40 Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu
sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh
bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-
norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi,
hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu
dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan
dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu
mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan.
Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban,
ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat,
tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.41
39 Jan Remmelink, Op.Cit., h. 14–15.40 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979),h. 55.41 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 9 -10.
27
Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin
diba-tasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah
tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh
hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato
Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain
menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan
suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada
keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana
akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung
dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai
terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.42
E. SUMBER HUKUM PIDANA
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan
untuk keperluan itu, para ahli hukum pidana telah memikirkan
agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga
timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam
undang-undang dan atau kitab undang-undang (kodifikasi).
Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap
negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi.
Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir
seluruhnya tidak mengenal hukum pidana dalam bentuk
kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang
mempunyai kodifikasi hukum pidana.43
42 Ibid., h. 10.43 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 22.
28
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan
menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut
dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto
sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:44
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang
tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama
aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch
indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit)
tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak
tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan
copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda,
yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun
1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan
penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan
tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan
dasar filsafatnya tetap sama.
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan
yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942
(Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi:
“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI
tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan
hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
44 Sudarto, Op.Cit., h. 15 -19.29
Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita
adalah Bahasa Belanda.
Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945
kembali lagi ke Indonesia, setelah mengungsi selama zaman
pen-dudukan Jepang (1942-1945) juga mengadakan perubahan-
peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan
Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan
sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570.
Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua
pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga
hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan
dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya
sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam
KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang
ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958
No. 127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1
Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh
Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap
tidak ada.
KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku
untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam
lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum
pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan
pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan
pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.30
2. Hukum pidana adat
Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu
hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber
hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat
masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana,
hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun
1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih
berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan
daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun
masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana
tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber
hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum
dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)
M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana,
yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama
dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda.
RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal
1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut
dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain
dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda
(W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918
itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena
itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan
pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang
tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.
31
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya
suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian
bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum
tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam
pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 145
ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang
dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas
perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi
berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan
demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai
kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih
memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup
di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut
dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di
dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada
bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam
undang-undang.46
45 Pasal 1 Konsep KUHP Baru berbunyi:(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecualiperbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalamperaturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itudilakukan.(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berla-kunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorangpatut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturanperundang-undangan.(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudpada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atauprin-sip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
32
Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam
masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak
pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di
beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-
ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui
sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan
bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal
ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan
Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh
pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai
dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap
dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan
menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas
serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.47
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP
Baru sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis
(undang-undang) dan sumber hukum tidak tertulis yang hidup
di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) Konsep KUHP Baru
menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut
mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang
46 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (PerkembaganPenyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), h. 73-74.47 Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun 2006/2007.
33
Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-pakan pengecualian dari
asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut
untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-
bakal dari pokok pemikiran tetap diakuinya
eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di
dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu
sebenarnya sudah cukup lama dan tersebar di beberapa produk
legislatif, antara lain dapat dilihat sebagai berikut: 48
1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951
" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…..… Bahwa, bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim
melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,
maka…..... terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti
setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman
adat yang…..... tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa
diganti seperti tersebut di atas."48 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 75.
34
2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 16 ayat (1):
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya;
Pasal 25 ayat (1):
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari
peraturan per-undang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;
Pasal. 28 ayat (1):
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan
perundang-undangan nasional seperti dikemukakan di atas
(Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas
secara materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal
baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan
kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide
perumusan asas legalitas secara material pernah pula
dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional" di dalam Pasal
14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun
35
boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali
karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya."
Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum"
(RECHT) yang tentunya lebih luas pengertiannya dari sekadar
aturan "undang-undang" (WET), karena dapat berbentuk "hukum
tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".49
F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan
tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab
undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya
aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)
G. SISTEM HUKUMAN
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan
bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku
tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
49 Ibid., h. 77.36
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
H. HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal
mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan
pelaksanaan hukum pidana material. Penyelenggaraannya
berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum
acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu
ditulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab
undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab
undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu
diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981
melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan
lembaran Negara No. 3209.
Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama
sebagai pengganti Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara
pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada
hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan
masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-
ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal37
2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata
cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya,
ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum
pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana
berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu
diketahi beberapa hal penting antara lain ialah :
a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)
Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan
bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan,
yang mengatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap” berdasarkan asas praduga tidak bersalah ini,
maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana
tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan
hukum pasti dari hakim Pengadilan, maka ia masih tetap
memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.
b. Koneksitas
Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat
diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang
hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89
ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak Pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili
38
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum,
kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan
keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka
kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada
peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak
mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari
adanya tindak pidana itu.
c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua
pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam
pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap
pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan
terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana
perampasan kemerdekaan”.
39
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud
untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan
segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya
kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh
hal yang sangat penting, yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1
KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab
I Pasal 2 – 9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-
nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya
perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana
menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
40
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan
tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara
itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya
hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi
empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas
personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit
pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas
berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 9 KUHP.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber
hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada
beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus
yang dibuat setelah kemerdekaan.
41
DAFTAR PUSTAKA
J.M. van Bemmelen.1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta
P.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Bandung: Sinar Baru
http://aslanilmukuliah.blogspot.com/2010/01/pendahuluan-
hukum-pidana.html
http://akfiniaditias.blogspot.com/2013/05/tugas-makalah-
hukum-pidana.html
42