PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDANA ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 DALAM...

23
1 PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDANA ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF Rakimah Ohoiulun 1 , Masruchin Ruba’i 2 , Nurini Aprilianda 3 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang. Email:[email protected]. ABSTRACT The prevailing of Act No.11 of 2012 on Child Criminal Justice System is the answer for the failure of previous regulation, which is Act No.3 of 1997 on Child Judicial. Restorative justice approach is used because this approach is considered as able to restore the condition before the criminal action is taken. However, the replacement act still enforces prison punishment as the main punishment, as explained in its Article 71. It is truly not consistent to the restorative justice. It may be suggested that prison punishment shall be removed and be reformulated to the indemnification based on the seriousness rate of the criminal action. Keywords: Prison Punishment, Restorative Justice ABSTRAK Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan jawaban atas kegagalan atas undang undang sebelumnya yakniUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Digunakannya pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)dipandang mampu untuk merestorasikeadaan sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana terjadi. Namun sayangnya, dalam undang-undang ini masih saja menempatkan pidana penjara dalam ketentuan pidana pokok yakni di Pasal 71. Hal ini tidak sejalan dengan keadilan restoratif (restorative justice)itu sendiri sehingga pidana penjara sudah seharusnya dihapuskan dengan reformulasi sanksi tindakan ganti rugi sesuai dengan tingkat keseriusan tindak pidananya. Kata Kunci: Pidana Penjara, Keadilan Restoratif. 1 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011. 2 Pembimbing Utama dalam Penelitian Tesis. 3 Pembimbing Kedua dalam Penelitian Tesis.

Transcript of PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDANA ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 DALAM...

1

PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDANA ANAK

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF

Rakimah Ohoiulun1, Masruchin Ruba’i2, Nurini Aprilianda3

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang.

Email:[email protected].

ABSTRACT

The prevailing of Act No.11 of 2012 on Child Criminal Justice System is the answer for the failure of previous regulation, which is Act No.3 of 1997 on Child Judicial. Restorative justice approach is used because this approach is considered as able to restore the condition before the criminal action is taken. However, the replacement act still enforces prison punishment as the main punishment, as explained in its Article 71. It is truly not consistent to the restorative justice. It may be suggested that prison punishment shall be removed and be reformulated to the indemnification based on the seriousness rate of the criminal action.

Keywords: Prison Punishment, Restorative Justice

ABSTRAK

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan jawaban atas kegagalan atas undang undang sebelumnya yakniUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Digunakannya pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)dipandang mampu untuk merestorasikeadaan sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana terjadi. Namun sayangnya, dalam undang-undang ini masih saja menempatkan pidana penjara dalam ketentuan pidana pokok yakni di Pasal 71. Hal ini tidak sejalan dengan keadilan restoratif (restorative justice)itu sendiri sehingga pidana penjara sudah seharusnya dihapuskan dengan reformulasi sanksi tindakan ganti rugi sesuai dengan tingkat keseriusan tindak pidananya.

Kata Kunci: Pidana Penjara, Keadilan Restoratif.

1Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011. 2Pembimbing Utama dalam Penelitian Tesis. 3Pembimbing Kedua dalam Penelitian Tesis.

2

A. PENDAHULUAN

Masih banyaknya fakta di lapangan dimana dari tahun ke tahun jumlah kejahatan

yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya 4 menunjukan bahwa penjatuhan sanksi

pemidanaan bagi mereka belum mencapai tujuannya yakni sebagai upaya meresosialisasi ke

dalam ruang lingkup bermasyarakat.Kondisi semakin parah dengan sikap hakim yang

nampaknya lebih mudah untuk menjatuhkan putusan terhadap anak-anak yang terlibat tindak

pidana untuk masuk ke dalam penjara.Putusan hakim ini tidak didukung dengan penyediaan

fasilitas penjara yang memadai yang mampu menampung terpidana anak lebih banyak

sehingga tidak melebihi daya tampunguntuk menjalani masa hukumannya. Sehingga, lumrah

bagi kita untuk memahami bahwa permasalahan baru akan terus bermunculan dan akan

semakin kompleks.

Dimasukannya narapidana tertentu ke dalam lembaga pemasyarakatan hanyalah akan

berpeluang untuk belajar atau setidaknya memperoleh hal-hal atau semacam informasi

lainnya yang buruk dari para narapidana lainnya yang sudah professional, sementara program

lembaga pemasyarakatan untuk meresosialisasi dapat dikatakan gagal total.5

Sebagaimana kita ketahui dimana masa anak-anak adalah masa dimana seseorang

sangat membutuhkan kasih sayang terutama dari orang tua/ walinya untuk dapat

berkembang dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak pada umumnya. Keadaan ini tidak

akan ditemui jika anak ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan yang dibatasi oleh

tembok tinggi serta dalam suasana yang tidak harmonis antara satu dan lainnya.6

Pidana tidak selalu dapat dipahami oleh anak.Pidana tidak jarang justru menyisakan

luka di hati mereka.Masih tingginya angka kriminalitas yang berakhir dengan pemenjaraan,

menunjukan bahwa pidana tipe ini tidak efektif dan belum mencapai tujuan yang

diinginkan.Pidana penjara yang dijatuhkan dimaksudkan agar si anak menjadi jera dan tidak

mau mengulangi lagi kejahatannya lagi, justru tidak jarang menurunkan harga diri anak dan

menimbulkan dendam yang mendalam.

4http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak, diakses

pada tanggal 13 November 2012. 5 Niniek Suparnie.Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.(Jakarta: Sinar

Grafika,1996), hlm.7. 6 Marlina.Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

Justice.(Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hlm.118.

3

Seringkali undang-undang disesuaikan dengan pandangan atau perspektif dari

masyarakatnya.7Hal ini pun juga yang diterapkan dalam undang-undang ini, yakni dalam Pasal

81 Ayat 1 dimana anak dapat dipidana penjara apabila keadaan dan perbuatan anak

membahayakan masyarakat.Membahayakan masyarakat tidak mempunyai pengertian atau

tolak ukur yang jelas dalam undang-undang ini atau aturan pelaksananya, sehingga bisa

menjadi multitafsir bahkan bias. Padahal kepada masyarakat jualah, mereka ini akan kembali

lagi menjalani kehidupannya selepas menjalani masa hukumannya di penjara.

Diterbitkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak dan akan berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang telah menempatkan anak sebagai

subyek hukum pidana yang tidak lagi diberikan sanki bersandarkan pada orientasi

pembalasan semata, namun lebih mengarah kepada sanksi-sanksi yang bersifat restoratif

(pemulihan keadaan). Hanya saja, ada beberapa catatan dalam undang-undang ini yang masih

perlu mendapatkan koreksi agar ke depan bisa diperbaiki. Penulis mengamati bahwa

pemerintah kita masih setengah hati dalam melakukan upaya restorasi terhadap anak pelaku

tindak pidana yang terancam dengan pidana penjara. Artinya selama di dalam penjara yang

dinamakan LKPA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) sebagaimana yang dimaksudkan

dalam undang-undang ini8 , maka ia harus menjalani masa pidananya sembari melakukan

aktifitas lain yang memang harus dikerjakannya yang kiranya bisa bermanfat di kemudian

hari. Bukankah semangat awal terbentuknya undang-undang ini demi pemulihan atau

perbaikan keadaan baik pelaku maupun korban seperti yang diinginkan dalam keadilan

restoratif?

Penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi berfokus pada dua hal yakni;

pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah serta mencari hukuman apa yang pantas

diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut, karena yang diinginkan oleh restorative

justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan,

pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan

antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula.9

7David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison.Menyingkap Dunia Gelap Penjara;

Authorised translation from the English Language edition of Psychology in Prisons. (Jakarta: PT.Gramedia, 2008), hlm.28.

8Lihat Pasal 1 Angka 20 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 9http://rachmatharyanto.wordpress.com,diakses 29 November 2012.

4

Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis yaitu apakah pidana penjara bagi

terpidana anak yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sesuai

dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ? dan bagaimana reformulasi sanksi yang

berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam undang-undang tersebut?

Tujuan penulisan ini yaitu untuk menganalisis lebih mendalam bagaimana pidana

penjara dalam mencapai tujuannya yakni meresosialkan kembali para narapidana anak

tersebut dalam kehidupan bermasyarakat agar berguna bagi dirinya sendiri juga bagi orang

lain di sekitarnya serta memberikan jawaban atas kelemahan yang ada dalam pelaksanaan

pidana penjara bagi anak tersebut sehingga ke depan akan terjadi perubahan ke arah yang

lebih baik lagi Untuk menganalisis bahwa beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum sepenuhnya

mengaktualisasikan semangat keadilan restoratif itu sendiri yang menggantikan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif, yaitu suatu

metode yang bertujuan untuk memperoleh bahan hukum pustaka dengan cara

mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas. Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari serta mengumpulkan pendapat

para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur yang memuat tentang isu hukum yang

akan diteliti.Penelitian hukum normatif ini dikenal juga dengan penelitian hukum doktriner

atau penelitian hukum kepustakaan. Dikatakan penelitian hukum doktriner, karena penelitian

ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan

hukum yang lain. Penelitian ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian

kepustakaandikarenakan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data-data yang

bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.10

Dalam penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statute approach) juga memerlukan interpretasi / penafsiran karena tidak semua teks undang-

undang jelas. 11Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan

kata-kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang,

interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris

10Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,(Jakarta : Sinar Grafika, 1991), hlm.13-14. 11Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.105.

5

dan interpretasi modern.12 Disamping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan

perbandingan (comparative approach).

Analisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian hukum normatif yaitu dengan

cara studi kepustakaan diuraikan dan dikolerasikan antara bahan hukum yang satu dengan

bahan hukum yang lain sedemikian rupa baik antara bahan hukum primer, sekunder maupun

bahan hukum tersier, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang sistematis guna

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Sebagai pisau analisis penulismengunakan

teori hukum pidana, teori tujuan pemidanaan dan teori kebijakan penanggulangan kejahatan.

Cara pengolahan bahan hukum ini dilakukan secara induktif yaitu menarik kesimpulan dari

suatu permasalahan konkret yang bersifat khusus kepada permasalahan abstrak yang bersifat

umum.Untuk data primer, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis preskriptif

yakni menilai apakah pasal-pasal yang dipermasalahkan dalam penelitian sesuai tidak dengan

tujuan yang dikehendaki dalam keadilan restoratif yaitu keadilan yang tidak hanya bagi

korban dan/ atau keluarga korban dari tindak pidana saja tapi juga keadilan bagi pelakunya

yang masih terkategori anak-anak tersebut.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pidana Penjara Bagi Terpidana Anak yang Diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 dan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Adanya pengaruh kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek,

budaya, hingga pembangunan membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar

norma terutama norma hukum. Dalam hal ini, seseorang yang masih terkategori masih anak-

anak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun

secara tidak sadar. Anak-anak ini pada umumnya terjebak dalam pola hidup konsumerisme

dan asosial yang makin lama semakin menjurus ke arah tindakan kriminal, seperti

menggunakan ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan,

pencurian, penganiayaan, dan sebagainya.13

Belum lagi ditambah dalam era saat ini, para orang tua yang lebih disibukkan

mengurus pemenuhan kebutuhan duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan,

12Ibid, hlm.107. 13 Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan.(Jakarta : Sinar Grafika. 2008,Cet ke-3), hlm.3.

6

jabatan, ataupun hanya sekedar gengsi, sehingga dengan adanya kondisi demikian si buah hati

sering dilupakan, minimnya kasih sayang, perhatian, bimbingan untuk pengembangan sikap

serta perilaku yang baik serta pengawasan dari orang tuanya.Anak yang kurang mendapatkan

atau bahkan tidak mendapatkan perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial seperti ini

lebih beresiko untuk berperilaku dan bertindak asosial dan bisa sampai bersikap anti-sosial

yang hanya merugikan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

Faktor faktor diatas belum dipandang sebagai suatu faktor terbesar penyebab

mengapa seorang anak melakukan tindak pidana, sehingga walaupun penjatuhan pidana

penjara telah banyak dijatuhkan, namun hal ini tidak banyak memberikan dampak

positif.Penerapan pidana kepada anak pelaku kejahatan diharapkan dapat memberikan

pencegahan kepada anak-anak lain dan masyarakat secara umum untuk tidak berbuat

kejahatan. Namun tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, karena justru pelaku

kejahatancenderung akan mengulangi kembali kejahatan yang telah ia lakukan (residivis) dan

belum lagi jika masyarakat bisa meniru melakukan aksi kejahatan tersebut. Hal ini

dikarenakan penerapan sanksi pidana tidak dapat melihat akar persoalan yang menjadi

penyebab timbulnya suatu perbuatan pidana.Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemikiran

untuk melakukan suatu pendekatan sosial di samping penerapan sanksi pidana.14

Penjatuhan pidana oleh hakim bukanlah merupakan suatu hal yang salah akan tetapi

sebaiknya hakim harus menimbang kembali apakah putusan hukuman yang dijatuhkan telah

memberikan perlindungan terhadap kepentingan si anak tadi. Pertanyaan ini muncul karena

setelah si terpidana anak selesai menjalani masa hukumannya, dapatkah ia menjadi orang

yang baik dan tidak akan melakukan tindakan kriminal lagi?15

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap telah

gagal dalam menangani masalah hukum bagi anak pelaku tindak pidana, maka pemerintah

mencari pendekatan lain agar tujuan mulia tadi bisa tepat sasaran sehingga lahirlah Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diharapkan bisa

memberikan dampak positif lebih banyak bagi anak.Pendekatan penyelesaian masalah anak

14Marlina.Op.Cit, hlm.17. 15Ibid, hlm.12.

7

yang berhadapan dengan hukum melalui jalur pidana semata-mata tidaklah tepat karena

penerapan hukum pidana mempunyai keterbatasan yakni sebagai berikut:16

1) Dari sisi hakikat terjadinya kejahatan.

Kejahatan sebagai masalah sosial dan kemanusiaan tentu faktor penyebab lahirnya

kejahatan cukup kompleks.Banyaknya faktor penyebab kejahatan tidak mampu dijangkau

oleh hukum pidana itu sendiri.Ketidakmampuan hukum pidana menganalisis penyebab

lahirnya kejahatan menyebabkan hukum pidana membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu

lainnya.Oleh karena itu, membahas upaya penanggulangan kejahatan, hukum pidana harus

dipadukan dengan pendekatan sosial.

2) Dari sisi hakikat berfungsinya hukum pidana karena adanya keterbatasan hukum

pidana itu sendiri.

Penggunaan hukum pidana hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan

gejala semata dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber

penyebab penyakitnya. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum

kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan yang

berada di tengah masyarakat.Namun dalam kehidupan riilnya adanya penjatuhan sanksi

pidana terutama pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana telah membantah perintah

pasal di atas.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Dr.Arifin, S.H menerangkan bahwa ada

beberapa dampak psikologis yang diderita oleh anak-anak didik Lapas Anak Tangerang

berdasarkan hasil analisis lapangan yang telah ia lakukan, yakni:17

1. Hilangnya kepribadian diri dan identitas diri yang diakibatkan oleh peraturan dan tata

cara kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan;

2. Hilangnya rasa aman, dimana seorang anak didik selalu berada dalam pengawasan

petugas. Seseorang yang secara terus menerus diawasi akan merasa kurang aman, merasa

16Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.44-45. 17 Arifin.Pendidikan Anak Berkonflik Hukum; Model Konvergensi Antara Fungsionalis dan

Religius.(Bandung: CV.Alfabeta, 2007), hlm.63.

8

selalu dicurigai dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu karena takut kalau

tindakannya merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan diberikan sanksi;

3. Hilang kemerdekaan, karena telah dirampas kemerdekaan individual. Misal kemerdekaan

berpendapat, bergaul dengan dengan masyarakat sekitar dan hak-hak kemerdekaan

lainnya. Secara psikologis, keadaan demikian menyebabkan anak didik lapas menjadi

tertekan jiwanya, menjadi pemurung, pemalas, mudah marah dan kurang bergairah

mengikuti program-program pembinaan bagi pengembangan diri anak didik;

4. Terbatasnya komunikasi dengan siapapun. Anak didik tidak bisa bebas berkomunikasi

dengan relasinya, keluarganya, atau teman-temannya di luar karena keterbatasan tadi

disebabkan oleh setiap pertemuan memang sangat dibatasi bahkan kadangkala

pembicaraan didengar oleh petugas yang mengawasinya. Begitu pula dengan surat-surat

yang harus diperiksa terlebih dahulu, buku bacaan dan surat kabar yang harus disensor

terlebih dahulu. Tentu saja keterbatasan kesempatan ini merupakan salah satu beban

berat bagi si anak dalam menjalani hari-harinya di dalam lapas anak;

5. Merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam lapas, seorang anak didik harus mampu

mengurus dirinya sendiri seperti mencuci pakaian, menyapu ruangan, mengatur dan

merapikan tempat tidurnya sendiri. Anak didik tidak boleh memilih warna dan model

pakaian sesuai dengan kehendaknya, karena aturan lapas mewajibkan anak harus

memakai seragam yang sama. Begitu juga dengan masakan, menu makanan yang

diberikan telah diatur oleh pihak lapas anak. Hilangnya pelayanan yang biasa didapatkan

dalam lingkungan keluarganya menyebabkan si anak bisa menjadi sosok yang garang,

cepat marah, atau melakukan hal-hal lain sebagai kompensasi kejiwaannya;

6. Hilangnya rasa kasih sayang dan rasa aman bersama keluarga. Anak didik ditempatkan

dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya, penempatan ini menyebabkan anak

didik merasakan betapa kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas;

7. Hilangnya harga diri. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap anak didik telah

membuat anak didik merasa terampas harga dirinya. Misalnya, penyediaan tempat mandi

yang terbuka untuk mandi secara bersama-sama, kamar tidur yang hanya berterali besi

dan lain sebagainya. Adanya kebiasaan tadi akan membuat si anak memiliki harga diri

yang rendah;

9

8. Kehilangan rasa kepercayaan diri. Rasa ketidakpercayaan diri sendiri dikarenakan oleh

tidak adanya rasa aman, tidak adanya kesempatan untuk membuat keputusan sehingga

kurang mantap dalam bertindak serta kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap.

Prinsip-prinsip yang ada dalam“Beijing Rules”telah mengatur anak pelaku tindak

pidana dihindarkan dari penjatuhan sanksi pidana, 18 sehingga penjatuhan sanksi pidana

merupakan upaya terakhir karena penjatuhan pidana penjara utamanya akan membawa si

anak masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga pemasyarakatan anak ini

sendiri merupakan tempat pembinaan terhadap narapidana anak yang diharapkan dapat

memberikan proses pembinaan yang baik agar si anak. Sehingga setelah keluar bisa menjadi

anggota masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.Kondisi lembaga pemasyarakatan anak

yang overloaded, keterbatasan sarana dan prasarana serta pembina yang terbatas secara jumlah

dan keterampilan, panjangnya proses peradilan pidana yang harus dijalani si anak tersangka

pelaku tindak pidana sejak proses penyidikan di kepolisian hingga selesai menjalankan masa

hukumannya dalam lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan bagi si

anak.19

Pidana penjara sudah tidak mempunyai tempat lagi dalam sistem peradilan pidana

anak karena beberapa alasan yakni:20

a. Alasan Psikologis.

Masa anak-anak adalah masa masa ketika seorang pribadi tumbuh dan berkembang

mencapai kedewasaan diri. Dalam proses tumbuh kembang tadi, seorang anak akan melewati

peristiwa-peristiwa yang negatif maupun positif dan hal ini akan terus terjadi hingga ia

dewasa nanti. Sebagai suatu proses, sudah selayaknya ia harus menanggung beban hukuman

berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian terhadap masa depan si anak.

Pada masa anak-anak ini pula adalah masa dimana mereka sedang memenuhi

kewajiban dan memperoleh haknya untuk belajar. Pemenjaraan akan merampas haknya

untuk belajar karena selama dalam proses peradilan hingga menuju pemenjaraan dapat

dipastikan si anak akan mengalami gangguan dalam mendapatkan hak itu.

18Ibid, hlm.12. 19Ibid. 20Hadi Supeno. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan.

(Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama,2010),hlm.183-191.

10

Konstitusi negara kita meamanatkan hak atas memperoleh pendidikan dijamin oleh

negara, hal ini ditemukan dalam Pasal 28 C dan Pasal 28 E Ayat 1 Amandemen ke II, Pasal

31 Ayat 1, Ayat 2, Ayat 4 Amandemen ke IV. Hak ini sangat penting baik bagi pemenuhan

hak-hak sipil Walau kelak dalam Lapas atau dalam bahasa undang-undang dinamakan LPKA

(Lembaga Pembinaan Khusus Anak)21 pun diwajibkan adanya pendidikan atau pelatihan

atau kegiatan ajar-mengajar lainnya, namun hal itu hanya sekedar pengajaran ilmu

pengetahuan semata. Karena proses belajar yang sesungguhnya adalah berinteraksi dan

berkomunikasi dengan teman sebaya dalam suasana kegembiraan untuk saling berimajinasi

dan berobsesi untuk meraih cita-cita masa depan, dipastikan tidak ada lagi. Pengajaran yang

ada sangatlah kering karena semuanya berada dalam suasana pengurungan baik lahir maupun

batin. Selain itu, pemenjaraan juga akan menggangu tumbuh kembang anak karena ragam

makanan yang tidak memenuhi standart gizi (1 hari untuk makan hanya Rp.8.000), sementara

bakat dan minat si anak tidak bisa berkembang maksimal.

b. Alasan Empiris

1) Pemenjaraan di Indonesia sangat tidak manusiawi. Banyak anak-anak yang dipenjara

dicampur dengan orang dewasa. Menurut UNICEF, ada sekitar 6.000 anak yang telah

ditahan atau dipenjara, 84% diantaranya telah ditempatkan dalam penjara dewasa. Dari

33 provinsi di Indonesia, hanya ada 16 lapas anak, artinya provinsi yang tidak mempunyai

lapas anak maka akan dimasukan ke dalam lapas dewasa. Walaupun si anak tetap

dimasukan ke dalam lapas anak, hal itu tetap saja membuat si anak berjauhan dengan

orang tuanya.

2) Pemenjaraan di Indonesia banyak overkapasitas. Dari kapasitas lapas anak sebanyak

88.599 ternyata diisi sebanyak 140.739 atau over kapasitas 52.140 anak. Hal ini tidak

hanya berlangsung pada kurun waktu tertentu saja, tetapi hampir sepanjang tahun.

3) Pemenjaraan di Indonesia menjadi media internalisasi tindak kejahatan dari senior kepada

yunior (penghuni lama kepada penghuni baru) karena semua anak didik di lapas anak

dicampur, tanpa melihat tindak jenis pidana yang dilakukan. Akibatnya tujuan

pemenjaraan untuk mencapai perbaikan anak dan mendapatkan efek jera tidak pernah

tercapai.

21Lihat Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

11

4) Pemenjaraan telah melahirkan banyak praktik kekerasan dan diskriminasi, baik selama

proses peradilannya maupun setelah masuk ke dalam lapas anak.

5) Penjara di Indonesia banyak yang menjadi tempat transaksi bahkan penggunaan obat

terlarang, narkotika dan zat adiktif lainnya. Tak pelak banyak narapidana yang keluar

penjara justru telah mahir dalam pengunaan obat terlarang, kebiasaan yang tak dimiliki

sebelum masuk penjara. Peran anak selain diajari sebagai pengguna juga dimanfaatkan

sebagai kurir dalam praktik penggunaan obat-obatan terlarang tersebut.

6) Bahwa secara normatif, pemenjaraan tidak menghilangkan hak-hak perdata dan hak sipil

sebagai warga negara. Namun pada kenyataannya dalam situasi proses peradilan dan

pemenjaraan kerap kali si anak kehilangan hak perdata dan hak sipil yang mereka miliki.,

salah satu diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan. Sudah seharusnyalah

pemenjaraan anak tidak menghambat sifat progresif pemenuhan hak pendidikan. Yang

terjadi justru sebaliknya, pemenjaraan anak secara objektif dan rasional hampir selalu

mengakibatkan hilangnya hak pendidikan bagi anak. Padahal hak pendidikan merupakan

hak fundamental yang harus diberikan secara progresif dan direalisasikan secara penuh

karena :

a. Hak pendidikan diatur dalam konstitusi Indonesia yakni pada Pasal 31 Ayat 1 Undang-

Undang Dasar 1945 yang memberikan hak konstitusional warga negara Indonesia

termasuk anak, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”;

b. Hak atas pendidikan merupakan harmonisasi Pasal 28 dan 29 KHA dan dipertegas lagi

dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak serta kewajiban pemerintah

sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 54;

c. Pendidikan bukan hanya sekedar program pemerintah semata, namun juga merupakan

hak dasar (fundamental right) bagi semua anak, bahkan dalam segala situasi apapun (in all

situation). Pendidikan dasar merupakan fondasi untuk pembelajaran seumur hidup dan

pembangunan manusia.22;

d. Pemenuhan hak pendidikan anak bukan hanya program normatif, tetapi juga dilakukan

dengan langkah-langkah serius. Pasal 28 Ayat 1 KHA menegaskan hak atas pendidikan

anak :“State parties recognizes the right of child to education and with a view to achieving this right

progressively and on the basis of equal oppurtinity”.

22 Unicef. Technical Notes: Special Considerations for Programming in Unstable Situations. (Tanpa

Kota, Tanpa Penerbit, 2003), hlm.265, dikutip dari Hadi Supeno,Op.Cit, hlm.189.

12

c. Alasan hukum

Dalam sejarah hukum pidana , sebagaimana diungkapkan oleh E.Y Kanter, S.H dan S.R

Sianturi,S.H (2002) terhadap anak ada gagasan hukum pidana yang besar dan bersesuaian

dengan justifikasi sosiologis bahwa pemenjaraan anak dicegah dan dihindarkan dengan

memberi alternatif kepada tindakan (maatregel). Sementara tindakan merupakan bentuk

pembinaan anak yang diutamakan sebagaimana yang diterapkan dalam KUHP Nasional

Belanda. Rujukan yang bisa disampaikan yakni:23

1) Sistem Penal Code di Belanda sampai tahun 1886 (di Hindia Belanda sampi tahun

1918) memberlakukan pembatasan umur. Seorang anak yang belum mencapai usia 16

tahun yang melakukan suatu tindak pidana tidak dipidana , tetapi anak itu dapat

diperintahkan oleh hakim perdata untuk mendapatkan pendidikan paksa (dwang-

opvoeding).

2) Tahun 1886 semenjak berlakunya KUHP Nasional Belanda yang dalam banyak hal

mencontoh KUHP Jerman, terjadi perubahan dalam pembatasan usia sebagai

berikut:

a. seorang anak yang belum mencapai usia 10 tahun, jika melakukan suatu tindak

pidana maka tidak boleh dipidana tetapi diharuskan mendapatkan pendidikan

paksa dari pemerintah;

b. Seorang anak yang berusia 10 tahun hingga 16 tahun, jika melakukan suatu tindak

pidana dan sudah berakal (ordel des onderscheid) , anak harus dipidana dengan

pengurangan sepertiganya. Jika belum berakal, anak itu tidak boleh dipidana

tetapi harus diperintahkan oleh hakim pidana untuk di didik paksa oleh

pemerintah sampai si anak berusia 18 tahun;

c. Seorang anak yang berusia 16 tahun atau lebih, jika melakukan suatu tindak

pidana harus dipidana.

3) Dalam rujukan sejarah hukum pidana di atas, terbukti bahwa hukum pidana KUHP

Nasional Belanda menganut asas yang mempriritaskan tindakan, bukan hanya

memberikan pidana semata, termasuk didalamnya pidana penjara.

4) Anak sebagai subjek yang sedang berkembang dan menjalani masa “evolving capacities”,

anak sepatutnya dididik bukan dibebankan penderitaan atas perbuatannya. Hal ini

23Lihat Tim Litigasi KPAI untuk Penghapusan Kriminalisasi Anak.(2009), hlm.63, dikutip

dari Hadi Supeno.Ibid.

13

sangat berkaitan dengan aliran filsafat yang memayunginya. Dalam aliran filsafat

interdeterminisme mengasumsikan bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak

bebas termasuk saat melakukan kejahatan. Sehingga sebagai konsekuensi hukumnya

adalah setiap pemidanaan harus diarahkan kepada pencelaan moral dan pengenaan

penderitaan bagi pelaku. Aliran ini merupakan sumber ide dasar dari sanksi pidana.

Sedangkan aliran filsafat determinisme bertolak belakang dari aliran filsafat

interdeterminisme, artinya bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik

perseorangan maupun masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor psikologis, fisik,

geografis, biologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan.

Pemidanaan bagi anak pelaku tindak pidana atau anak nakal merupakan ketentuan

yang ahistoris dan juga tidak memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat, bahkan semenjak

zaman kolonial ketika hukum pidana Belanda masih berlaku mutlak yang kemudian menjadi

rujukan sistem hukum nasional terhadap anak di bawah umur, sedapat mungkin tidak

dijatuhkan hukum pidana, tetapi dilakukan pendidikan paksa dengan mengesampingkan

menjatauhkan pidana.

Prof.Dr.Barda Nawawi Arief, S.H dalam sebuah bukunya menjelaskan bahwa jika

dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dapat

dikatakan efektif jika pidana tersebut sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi

kejahatan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek “pencegahan

umum” (general prevention)dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada

umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.24Berdasarkan sebuah penelitian yang telah beliau

lakukan, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang

paling banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Di sisi

lainnya, kejahatan terus saja meningkat pesat.Sehingga tidak ada pengaruh pencegahan atau

setidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan dengan

menurunnya jumlah kejahatan.25

Dr.Wagiati Soetodjo, SH., MS dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa tidak

jarang para narapidana anak selama menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan

24 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru.(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hlm.214. 25 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. (Semarang:

CV.Ananta, 1994), hlm.106-107.

14

Anak Tangerang telah mengalami atau menghadapi adanya tekanan-tekanan emosi dalam

berhubungan dengan para petugas di Lapas tadi.26 Setiap petugas lapas tadi dalam melakukan

hubungan interaksi sosial dengan para narapidana anak, baik disadari atau tidak mereka telah

menempatkan mereka sebagai anak pesakitan yang sedang menjalani masa hukumannya,27

bukan sebagai bagian dari anak bangsa yang masih membutuhkan bimbingan dan pembinaan

sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor

M.02-PK.04.10 Tanggal 10 April 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan yang

di suatu saat kelak mereka dapat kembali dan berguna bagi keluarganya, masyarakat dan

bangsanya.

Narapidana anak bukanlah sebagai objek, namun juga merupakan subjek sama seperti

orang dewasa lainnya yang sewaktu-waktu bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam

hidupnya. Oleh karena itu selama dalam pembinaan dalam Lapas Anak Tangerang mereka

sangat membutuhkan pembinaan yang sejalan dengan tujuan rehabilitasi sosial,28 yakni secara

umum bertujuan agar narapidana anak berhasil memantapkan kembali harga diri dan

kepercayaan serta bersikap optimis akan masa depannya. Tidak hanya itu, mereka juga

diharapkan dapat berintegrasi secara wajar kelak di dalam kehidupan bermasyarakat setelah

mereka bebas / keluar dari penjara.Untuk mencapai tujuan ini, mekanisme pelaksanaanya

dilakukan melalui program pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa

dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran

hukum dan pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.29

Narapidana anak yang dipenjarakan di Lapas Anak Tangerang merupakan narapidana

anak yang melakukan kejahatan dari tingkat ringan hingga berat, namun kelak dengan

diberlakukannya undang-undang ini hanya narapidana anak yang melakukan tindak pidana

dengan ancaman hukuman minimal 7 tahun, kemudian anak yang telah melakukan berulang-

ulang kali atas kejahatan yang sama/ lainnya, serta tindakana/ perbuatan anak yang dianggap

dapat membahayakan masyarakat yang dapat dimasukan ke dalam penjara. Namun

pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya penjatuhan pidana penjara para

26 Wagiati Soetodjo.Hukum Pidana Anak.(Bandung: PT.Refika Aditama, 2006),hlm.127. 27Ibid, hlm.128. 28Ibid. 29Ibid.

15

narapidana akan semakin baik mengingat perlakuan petugas lapas yang sehari-hari mengurusi

mereka?.

Ironis ketika kita hidup dalam zaman modern seperti saat ini dimana kemerdekaan

telah kita raih dengan penuh perjuangan serta dimana hak asasi manusia telah menjadi arus

utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru terjadi perampasan sistem hukum

yang berpotensi merampas hak anak itu sendiri. Faktanya pemidanaan pun tidak

menghentikan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum sehingga bisa disimpulkan bahwa

pemidanaan anak telah gagal mengemban misinya yakni mencapai kesejahteraan dan

kebahagiaan masyarakat.30

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengecam tindakan

pemidanaan terhadap anak. Pemidanan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi

anak. Karena itu, harus distop segera. Jika mereka melakukan tindak pidana, tidak seharusnya

dimasukkan ke dalam lapas.Solusinya adalah dengan memberikan restorasi terhadap anak

misalnya anak dipulangkan kepada orangtua, atau diserahkan kepada negara untuk dibimbing

dipanti pembinaan.31Dilema lainnya yang akan dihadapi oleh narapidana anak adalah adanya

penilaian tertentu dari lingkungan atau kelompok sosial atau masyarakatnya sehingga

menimbulkan stigma atau stempel yang biasanya bersifat negatif.

Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih menilai anak melakukan tindak pidana

dan/ atau yang pernah melalui sistem peradilan pidana biasanya akan terlibat lagi tindak

pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi ini sangat sulit dihilangkan dari pandangan

masyarakat kita. Adanya persoalan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di

Indonesia tadi menuntut pentingnya dikaji kembali mengenai restorative justice.

Kini restorative justice tidak lagi hanya sekedar konsep saja, namun telah

diimplementasikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana yang

diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait

30 Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.181. 31http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/23/semakin-banyak-anak-penghuni-penjara,

diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

16

dalam tindak pidana yang telah terjadi dimana bentuk penyelesaian tindak pidananya telah

berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.32

Dalam restorative justice ini mempunyai pemikiran dasar bahwa kejahatan merupakan

sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran

sebagai suatu pengrusakan norma hukum.33Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merusak

tatanan hukum (law breaking) yang dibuat oleh negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat

(society value)34karena merupakan tindak kejahatan menyangkut kepentingan masyarakat luas

dan negara. Pendapat ini dikemukakan oleh Howard Zehr, menurutnya:35

“Meskipun tindak pidana telah merusak tatanan nilai masyarakat, akan tetapi tetap

menjadi sentral atau pokok permasalahan terhadap tindak pidana yang dilakukan

yaitu masalah pelanggaran tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal

state) dan tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan kejahatan.”

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak ditegaskan :

Pasal 71

Ayat (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

a. pidana peringatan;

b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga;

2) pelayanan masyarakat;

3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga;

e. penjara.

Ayat (2) Pidana tambahan terdiri atas:

32 Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.17. 33Allinson Morris and C.Brielle Maxwell.Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and

Circles.(Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001), hlm.3. 34 Marlina, Op.Cit, hlm.23. 35Howard Zehr. Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice.(Pensylvania: Herald Press.

1990), hlm.181.

17

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. pemenuhan kewajiban adat.

Pasal Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang masih saja melegitimasi adanya penjatuhan sanksi pidana penjara bagi anak

pelaku tindak pidana dengan beberapa persyaratannya sebagai berikut :

1. Pasal 69 ayat (2) mensyaratkan usia minimal 14 tahun anak dapat dikenakan sanksi

pidana, ada kemungkinan hakim bisa menjatuhkan pidana penjara;

2. Pasal 79 mensyaratkan ada dua hal seorang anak bisa dipidana yakni yang pertama

melakukan tindak pidana berat; dan/atau yang kedua tindak pidana yang disertai dengan

kekerasan;

3. Pasal 81 mencantumkan syarat apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan

masyarakat, maka anak dapat dijatuhi pidana penjara. Membahayakan seperti apa yang

dimaksud dalam undang-undang ini pun menjadi tidak jelas, bahkan saat dicari dalam

penjelasan, distu hanya menuliskan cukup jelas. Hal ini menyebabkan si anak menjadi

korban ketidakpastian hukum karena makna dari kata membahayakan masyarakat

menjadi bebas untuk ditafsirkan oleh hakim. Padahal dalam pendekatan keadilan

restoratif, peran masyarakat turut pula disertakan dalam meresosialisasi kembali si

terpidana anak. Karena bagaimana pun juga pada akhirnya si anak akan kembali ke

lingkungan masyarakatnya.

Dengan adanya faktor-fator diatas sudah cukup menjadi dasar alasan mengapa pidana

penjara sudah selayaknya ditiadakan dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang akan mulai berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang.

Klausula yang paling relevan adalah mengenai pidana perampasan kemerdekaan

menurut Beijing Rules sebaiknya harus mempertimbangkan dua hal yakni :36

a. Pidana merupakan suatu upaya terkahir dan tidak dapat dielakkan lagi (sehubungan

dengan keseriusan tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang)

b. Pidana dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat mungkin.37

Dalam ketentuan undang-undang ini hanya mengimplementasikan poin huruf a saja,

sedangkan poin huruf b belum diatur.Memang dalam Pasal 81 Ayat 2 mengamanatkan

36 Wagiati Soetodjo. Op.Cit, hlm.117. 37United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice “The

Beijing Rules”, butir 13.1. “Detention pending trialshal be use only as a measure of last resort and for the shortest possible period of time”.

18

bahwa bilamana pidana penjara dijatuhkan maka paling lama adalah ½ (satu perdua) dari

maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Misalkan seorang anak anak beinisial

A telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang mana ancaman

pidananya 15 tahun penjara, maka pidana yang dijatuhkan atasnya hanya maksimal selama 7,5

(tujuh setengah) tahun. Hal ini tentu sangat tidak memberikan keuntungan bagi si anak,

selain hal-hal negatif yang akan ia terima.

2. Reformulasi Sanksi yang Berkesesuaian Dengan Keadilan Restoratif dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Konsep restorasi (restorative justice) diawali dari pelaksanaan sebuah program

penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak diluar mekanisme peradilan

konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang di sebut victim offender mediation dimana

program ini di laksanakan di Negara Kanada pada tahun 1970.38Program ini pada awalnya

dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak

pelaku tindak pidana.

Eva Achjani Zulfa dalam disertasinya mengungkapkan bahwa pendekatan keadilan

restoratif merupakan sebuah pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang

mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih

dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak pelaku

yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Dalam

program ini menganggap bahwa pelaku dan korban sama-sama mendapat manfaat sebaik-

baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak

pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak. Susan Sharpe

mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu:39

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban

dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan

penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi

38http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/05/teori-teori-pemidanaan.html, diakses

pada tanggal 16 Juni 2013. 39Marlina. Hukum Penitensier. (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.74-75.

19

masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh

pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini.

2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan

atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk

jugaupaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidanya yang

menimpanya.

3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk

bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyelesaian

dan mengakui semua kesalahan-kesalahan serta menyadari bahwa perbuatannya

tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain.

4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat

dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini

dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta

mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal.

Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan uang lebih cerah.

5. Restorative justice memberikan kekuatan bagi masyarakat unutk mencegah supaya

tindak kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam

kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat

untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena

faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada dalam

masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya, dan bukan bersumber

dari dalam diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali

ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dalam

fungsinya dalam kehidupan masyarakat.

Konsep restorasi ini telah dijadikan sebagai tujuan pemidanaan dalam rangka uupaya

penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa tangung

jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu, salah satunya dalam sistem peradilan pidana

anak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Tidak hanya itu saja,

diharapkan dengan pendekatan keadilan restoratif juga bisa memberikan nuansa edukatif

kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai

kebahagian hidup bersama.

20

Menurut seorang pemerhati anak Indonesia, Seto Mulyadi mengatakan bahwa

tahanan anak tidak perlu ditahan di lembaga pemasyarakatan karena mereka memerlukan

pembinaan positif yang diharapkan akan membuat mereka lebih baik di masa depan.40

"Bisa dititipkan di panti-panti asuhan terdekat.Supaya anak ini tidak merasa menjadi pelaku kriminal.Mohon ada pendekatan manusiawi seperti yang diamanatkan Undang- Undang Perlindungan Anak."41 Menurut Kak Seto, pada prinsipnya anak yang berhadapan dengan hukum juga

membutuhkan perlindungan, dan perlakuan ramah.

"Mereka anak yang butuh perlindungan.Tapi bukan di dalam tahanan karena akan jadi korban, dan membuat mereka malah mendapat pelajaran negatif."42

Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, saya pun

berpendapat bahwa sanksi pidana penjara tidak akan memberikan banyak dampak positif,

sehingga sanksi pidana penjara yang ada di atur dalam Pasal 71 dihapuskan saja dan bisa

digantikan dengan bentuk sanksi lain yang lebih merestorasi pelaku, yakni dengan tindakan

ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya.43Ganti rugi yang dimaksud adalah

sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan pidana anak yang mengharuskan si anak

untuk membayar sejumlah uang atau kerja/ service, baik langsung maupun tidak

langsung.Namun yang paling tepat adalah ganti rugi yang berbentuk kerja dengan alasan

tidak semua narapidana anak berasal dari keluarga mampu secara ekonomi.Sehingga hakim

anak bisa memutuskan bentuk sanksi seperti ini untuk melatih anak bersikap jujur dan

bertanggung-jawab atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya.Bentuk sanksi seperti ini dirasa

lebih memberikan perlindungan kepada mereka, selain menghindarkan dari stigma negatif

masyarakat jika mereka harus di didik melalui sanksi penjara.

3. PENUTUP

Kesimpulan

40http://www.okefood.com/read/2010/03/19/340/314039/selalu-jadi-korban-anak-tidak-

layak-di-penjara, diakses pada tanggal 5 Juli 2013. 41Ibid. 42Ibid. 43 Marlina, Op.Cit, hlm.115.

21

Masih terdapatnya pencantuman sanksi pidana penjara dalam Pasal 71 Ayat 1

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah

jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, bertentangan dengan konstitusi yakni

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta mengancam masa depan si anak,

bahkan menghambat tujuan dari keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri, sehingga

keberadaan pidana penjara dalam pasal ini sudah tidak layak sebagai salah satu alternatif

sanksi pidana bagi anak. Walaupun pidana penjara menempati urutan terakhir dalam

pidana pokok bukan berarti hakim tidak bisa memberikan putusan yang menempatkan si

pelaku anak untuk menjalani sanksi pidana ini.

Pemerintah seharusnya segera melakukan revisi undang-undang ini agar

pendekatan restorative justice bisa dirasakan lebih banyak manfaatnya.Selain itu, paradigma

yang digunakan pun seharusnya menggunakan perspektif anak dimana dalam hal

perspektif anak tidak ada pemidanaan dan penjara bagi anak.44Apapun alasannya dan

apapun tindakan yang dilakukan oleh anak, proses pemidanaan apalagi hingga

pemenjaraan hanya berlaku bagi orang dewasa saja. 45 Untuk reformulasi sanksi yang

berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012,

hukuman terbaik bagi anak dalam sistem peradilan pidana bukan pidana penjara

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 huruf e. Sanksi pembinaan dalam lembaga sudah

cukup adil dan layak diberikan bagi narapidana anak dimana selama pembinaan tadi

mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi berupa ganti rugi menurut

tingkat keseriusan tindak pidananyaAdanya sanksi pidana yang yang telah diatur

sebelumnya sudah dianggap sesuai dengan tujuan dari keadilan restoratif.

Daftar Pustaka

Buku :

Allinson Morris and C.Brielle Maxwell, Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and Circles,

Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001.

Arifin,Pendidikan Anak Berkonflik Hukum; Model Konvergensi Antara Fungsionalis dan Religius, Bandung:

CV.Alfabeta, 2007.

Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Jakarta : Sinar Grafika, 1991.

44 Hadi Supeno. Op.Cit. hlm.194. 45Ibid.

22

------------------------,Pidana dan Pemidanaan,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Barda Nawawi Arief,Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta,

1994.

------------------------,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1998.

------------------------,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP

Baru, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.

David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison,Menyingkap Dunia Gelap Penjara; Authorised

translation from the English Language edition of Psychology in Prisons, Jakarta: PT.Gramedia, 2008.

Hadi Supeno,Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta :

PT.Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Howard Zehr,Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Pensylvania: Herald Press, 1990.

Marlina,Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung:

PT.Refika Aditama, 2009.

Marlina, Hukum Penitensier, Bandung: PT.Refika Aditama, 2011.

Niniek Suparnie,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,

1996.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT.Refika Aditama, 2006.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Internet :

http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/05/teori-teori-pemidanaan.html

23

http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak

http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/23/semakin-banyak-anak-penghuni-penjara.

http://rachmatharyanto.wordpress.com

http://www.okefood.com/read/2010/03/19/340/314039/selalu-jadi-korban-anak-tidak-layak-di-

penjara.