Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan Industrial Indonesia dan Malaysia
Transcript of Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan Industrial Indonesia dan Malaysia
Page 21
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................
.............................................1
DAFTAR ISI
.........................................................
..................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang .........................................
..............................................-
1.2 Pokok
permasalahan .......................................
........................................-
1.3 Kasus
posisi...................................................
..........................................-
BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISA
Page 21
2.1 Alasan memilih
topik.............................................
............................-
2.2Dasar hukum dan analisis
yuridis..................................................
......-
2.3 Hubungan dengan materi
perkuliahan..............................................
....-
2.4 Perkembangan terbaru terkait
kasus....................................................
.-
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.....................................
.................................................
.......-
3.2
Saran...............................................
....................................................
.....-
Page 21
DAFTAR PUSTAKA
............................................................
......................................-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industrial Peace atau situasi dimana buruh tenang dalam
bekerja dan majikan tentram dalam berusaha adalah impian
dari semua pekerja dan pengusaha. Akan tetapi dalam
prakteknya disharmonisasi antara pekerja dan pengusaha
dapat saja terjadi, hal ini biasanya dikarenakan oleh
perselisihan tentang upah, pemutusan hubungan kerja,
ketidak percayaan, egois, diskriminasi, perbedaan
penafsiran, perubahan syarat-syarat pekerja, dan saling
curiga. Hal tersebut tentunya dapat kita mengerti karena
situasi buruh yang sangat menggantungkan hidup dia dan
keluarganya dari penghasilan menjadi seorang buruh.
Pada dasarnya perselisihan yang terjadi antara
pengusaha dan buruh sebaiknya di selesaikan secara
musyawarah sehingga mendapatkan kesepakatan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi dalam
prosesnyaterkadang mengalami suatu jalan buntu dan tidak
Page 21
menemukan solusi, sehingga dalam situasi ini diperlukan
peranan Pemerintah untuk menyediakan prosedur dalam
menyelesaikan masalah tersebut secara legal dan aktual.
Di positifkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Perselisihan Hubungan Industrial merupakan
langkah tepat yang dilakukan oleh Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai salah satu upaya untuk
melindungi Hak para buruh yang memang patut untuk
diperjuangkan. Tujuan dibentuknya pengadilan hubungan
industrial adalah sebagai suatu forum legal untuk
memproses penyelesaian perselisihan hubungan industrial
oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan industrial,
yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri.1 Adapun bentuk perselisihan
yang dapat diajukan ke pengadilan hubungan industrial
hanya meliputi perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja.2
Namun sebelum mengajukan gugatan ke perselisihan
hubungan industrial, maka wajib untuk melakukan beberapa
proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan.3 Pertama-
tama jika terjadi perselisihan hubungan industrial maka
wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan
1 Aloysius Uwiyono,et al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Perse, 2014), hlm.141.
2Ibid., hlm. 1273Ibid., hlm. 142
Page 21
bipartityang menjunjung tinggi prinsip musyawarah untuk
mencapai mufakat. Kemudian penyelesaian perselisihan
melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30
hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila
dalam waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap tidak berhasil.
Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka
salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah
menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak,
Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para
pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan
perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase maka
Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator. Disini mediator bertugas
untuk melakukan mediasi serta mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah
proses penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Page 21
Didalam Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan
akan diperiksa dan diputus oleh hakim, yang terdiri dari
satu Hakim Karier, dan 2 Hakim Ad-hoc yang penangkatannya
atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
Dari ringkasan mengenai Hukum Acara Perselisihan
Hubungan Industrial Indonesia yang sudah disinggung
diatas, sangat menarik tentunya untuk mengkomparasikannya
dengan ketentuan Hukum Acara di Negara lain. Hal tersebut
tentunya akan menambah wawasan penulis dan pembaca yang
berniat untuk mendalami permasalahan Penyelesaian
Hubungan Industrial. Maka dari itu dalam makalah ini
penulis menjatuhkan hatinya kepada Perselisihan Hubungan
Industrial di Negara Malaysia dalam putusan 24/4-270/12
antara Loke Pang Keong dengan Subang Perdana Services
SDN. BHDuntuk di kaji secara lebih mendalam menggunakan
perspektif Hukum Acara.
1.2 Pokok Permasalahan
1. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam
Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia
dalam putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014?
2. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam
Perselisihan Hubungan Industrial di Malaysia
dalam putusan 24/4-270/12?
Page 21
1.3 Kasus Posisi
1.3.1Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014
Penggugat :
Salmon Pahala Simanjuntak, Pekerjaan Swasta,
Alamat di Wonoyoso Nomor 157 Pontianak.
Tergugat :
PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, Alamat
Jalan Imam Bonjol Nomor 84 Pontianak yang
diwakili oleh 3 karyawannya yaitu Tri Yoga
Kuncoro, Eka Agustini dan Makro Prasetyo.
Salmon Pahala Simanjuntak adalah mantan karyawan PT.
Columbindo Perdana Cabang Pontianak. Salmon
bekerjasejak 19 Oktober 2001 hingga 11 Agustus 2014
denganjabatanterakhirsebagaikolektordenganupah
1.591.000 setiap bulannya. Akan tetapipada 28 Juni
2012, telahterjadipemecatankerja yang
dilakukanolehPerusahaansecarasepihakdenganalasan yang
tidaklogis. Setelahterjadipemecetan,
penggugatditawarkanuangkompensasisebesar 5 JutaRupiah
sebagai pesangon,
akantetapiditolakolehpenggugatkarenatidaksesuaidenganm
asakerja yang telahialakukan kepada perusahaan
Page 21
Merasa tidak puas dengan keputusan yang telah dibuat
perusahaan, Salmon memberanikan diri untuk
memperjuangkan hak pesangonnya. Akhirnya pada 23 Juli
2013 Salmon melaporkepada Dinas Tenaga KerjaKota
Pontianak karenatidakjugamenemukan kata
sepakatmengenaipemutusanhubungankerja.
Setelahmendengaradanyalaporantersebut, Dinas Tenaga
Kerja Kota Pontianak memanggilSalmon dan PT.
COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAKuntuk melaksanakan
proses mediasi. Akan tetapi proses mediasi tersebut
bermuara pada kegagalan karena tidak ada kata sepakat
diantara kedua belah pihak. Sehingga Dinas Tenaga
Kerja Kota Pontianak menyimpulkan bahwapada tanggal 29
Oktober 2013 telahputushubungankerja antara Salmon dan
PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAKkarena PHK,
dandianjurkankepada
tergugatuntukmembayaruangkompensasisebesarRp.
29.950.978 kepada Salmon.
Akan tetapitergugattidakmau menjalankan saran
dariDinas Tenaga Kerja Kota Pontianak karena merasa
Salmon tidaklah di PHK akan tetapi hanya ingin
dimutasi saja ke PT. COLUMBINDO PERDANA cabang yang
lain, sehingga menurut hemat tergugat tidaklah perlu
membayar uang pesangon karena Salmon belumlah di PHK.
Setelah melalui proses mediasi antara penggugat dan
tergugat, maka dilakukanlahupayapenyelesaian
Page 21
lainmelaluiupaya bipatritdantipatrit namun
jugatakkunjungmendapatkansolusi diantara keduanya.
Hingga pada akhirnya Salmon membuat gugatan dan di
masukan ke Panitera Pengadilan tertanggal 6 maret 2014
yang telah dilampiri anjuran dan risalah penyelesaian.
Setelah menjalani proses beracara mulai dari,
pengajuan gugatan, pemanggilan para pihak, pemanggilan
saksi dan ahli, eksepsi, mendengarkan gugatan, replik
duplik, dan pembuktian, pada akhirnya tanggal 19 Juni
2014, dikeluarkanlahputusanoleh Hakim yang
beranggotakanAchmad Syaripudin S.H, Alinafiah Damanik
S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E. Inti dari putusan
tersebut adalah mengabulkansebagiangugatanpenggugat
yang
menyatakanbahwapenggugattelahmelakukanperbuatanmelangg
arhukum, bahwapenggugatdantergugatsudahtidakada
lagihubungankerjakarena PHK, dan menghukum tergugat
untuk membayar uang kompensasi kepada Penggugat
sebesar Rp. 29.950.978.
1.3.2 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia
24/4-270/12
Penggugat :
Loke Pang Keong
Tergugat :
Subang Perdana Services SDN. BHD
Page 21
Gugatan diajukan oleh penggugat kepada Pengadilan
Industrial Malaysia tertanggal 13 Oktober 2012.
Pemanggilan para pihak di laksanakan sejumlah 8 kali,
yaitu pada tanggal 24 April 2012,24 Mei 2012, 28 Juni
2012,6 Agustus 2012 ,6 September 2012, 8 Oktober
2012 ,03 Desember 2012, dan16 Januari 2013.
Persidangan dengan agenda mendengar keterangan dari
para pihak dan saksi dilaksanakan pada 16 Januari
2013
Penggugat melakukan cuti dan merasa sudah
mendapatkan izin dari perusahaan, dengan membawa
sejumlah barang yaitu mobil perusahaan, laptop
perusahaan, kunci kantor, dan kartu sehat AIA.
Pada tanggal 26 Mei 2010 tergugat telah mengirimkan
telegram kepada penggugat untuk segera mengembalikan
aset perusahaan berupa mobil perusahaan, laptop
perusahaan, kunci kantor, dan kartu sehat AIA karena
akan digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha.
Tetapi penggugat tidak membalas telegram dari
penggugat dalam jangka waktu yang cukup lama. Tergugat
melakukan pemecatan kepada penggugat, karena menilai
bahwa izin cuti yang dipakainya tidaklah tepat, karena
tidak mendapatkan persetujuan dari perusahaan.
Dalam putusannya, Hakim menilai bahwa alasan
penggugat untuk memberhentikan kerja penggugat
Page 21
sangatlah tidak reasonable jika hanya tidak membalas
telegram. Karena alasan pemecetannya tidak tegas dan
tidak jelas maka hakim menghukum termohon dengan
membayar ganti rugi sebesar RM137,200.00 kepada pihak
penggugat.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISA
2.1 Alasan Memilih Topik
Dari banyaknya topik yang tersedia didalam mata
kuliah Kapita Selekta Hukum Acara Perdata, saya
sepakat untuk menjatuhkan pilihan kepada topik
Penyelesaian Hubungan Industrial karena beberapa
alasan.
Pertama, perlu di akui Indonesia adalah negara
berkembang yang masih banyak mengasilkan banyak
pekerja, bukannya pengusaha.4 Itu artinya banyak
sekali orang Indonesia yang berada dalam hubungan
kerja yang sub-ordinatif (atas bawah) dengan orang
lain, maka dari itu pemahaman mengenai hubungan kerja
dan penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara utuh.
Sehingga apabila terjadi perselisihan antara pekerja
4Badan Pusat Statistik, “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986-2013” http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=5 , diunduh pada 25 Oktober 2014.
Page 21
dan pengusaha, orang-orang Indonesia dapat
memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.
Kedua, ketentuan mengenai hukum perburuhan dan
penyelesaiannya memiliki ciri khas yang sangat unik,
yaitu memilikiunsur publik dalam hubungan keperdataan.
Hal ini dapat dilihat dari mekanisme penyelesaian
secara tripatrit melalui mekanisme mediasi yang
dilakukan oleh lembaga publik berupa Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
Ketiga, penulis sengaja memilih putusan Pengadilan
Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun
2014 dengan Putusan Perselisihan Hubungan Industrial
Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 dengan alasan,
Malaysia merupakan Negara dengan sistem hukum common
law, sedangkan Indonesia adalah Negara dengan sistem
hukum civil law.5 Namun terdapat kemiripan dalam hal
kompetensi absolut penyelesaian sengketa perburuhan,
yakni dengan peradilan khusus berupa Pengadilan
Hubungan Industrial (Indonesia), dan Industrial Court
(Malaysia).Kemudian, dengan banyaknya Tenaga Kerja
Indonesia dan Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di
Malaysia6, sudah menjadi suatu keharusan bagi para Juris
5Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.20.
6Wiji Nurhayat, “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar di Malaysia” , http://finance.detik.com/read/2012/09/26/170223/2038424/4/tena
Page 21
untuk mengetahui ketentuan hukum perburuhan di Negeri
orang, agar saudara-saudara kita yang ada di Malaysia
tidak terus dibodohi karena alasan tidak tahu hukum.
2.2Dasar Hukum dan Analisis Yuridis
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014
Dasar hukum dari penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13
tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.
2 tahun 2004Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Secara substansial perbedaan dari kedua
Undang-Undang tersebut yaitu Undang-Undang No.13 Tahun
2003 lebih menitikberatkan kepada Hukum Materiil tentang
ketenagakerjaan, sedangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
lebih memfokuskan mengenai pengaturan hukum acara atau
hukum formil.
Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2004Pengadilan
Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus terhadap perselisihan
hubungan industrial. Sebelum masuk ke dalam proses
peradilan di Pengadilan Hubungan Industrial terdapat
ga-kerja-indonesia-paling-banyak-tersebar-di-malaysia , diunduh pada 24 Oktober 2014
Page 21
mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu oleh para
pihak, yaitu wajib untuk melakukan beberapa proses
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pertama-tama
jika terjadi perselisihan hubungan industrial maka wajib
diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan
bipartityang menjunjung tinggi prinsip musyawarah untuk
mencapai mufakat. Kemudian penyelesaian perselisihan
melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30
hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila
dalam waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap tidak berhasil.
Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka
salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah
menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak,
Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para
pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan
perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase maka
Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator. Disini mediator bertugas
Page 21
untuk melakukan mediasi serta mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah
proses penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam kasus ini pihak penggugat sudah melakukan
mekanisme bipatrit dengan pihak tergugat membahas
mengenai pemutusan hubungan kerja dan jumlah uang
pesangon yang diberikan, akan tetapi dalam proses
tersebut tidak menemukan suatu solusi. Mengenai mekanisme
bipatrit diberikan waktu selama 30 hari untuk mencapai
kata mufakat, akan tetapi jika dalam waktu 30 hari itu
tidak tercapai mufakat, maka bipatrit dinyatakan gagal.
Proses selanjutnya yang harus ditempuh oleh para
pihak adalah melaporkan hasil bipatrit tersebut kepada
Dinas Tenaga Kerja setempat selaku lembaga tripatrit.
Dalam kasus ini, pihak yang melaporkan adalah pihak
penggugat kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak
tertanggal 23 Juli 2013. Selanjutnya Dinas Tenaga Kerja
diharuskan untuk menawari apakah penyelesaiannya ingin
menggunakan konsiliasi atau arbitrase. Tetapi dalam kasus
ini para pihak memilih untuk tidak menggunakan keduanya,
Page 21
dan lebih memilih menggunakan mekanisme mediasi bersama
mediator dari Dinas Tenaga Kerja. Kemudian dari hasil
mediasi tersebut dinyatakan bahwa pada tanggal 29 Oktober
2013 hubungan antara penggugat dan tergugat telah
berakhir karena PHK, dan tergugat diwajibkan untuk
membayar uang kompensasi sebesar Rp. 29.950.978 kepada
penggugat.
Akan tetapi pihak tergugat tidak menerima keputusan
tersebut, dan tidak bersedia untuk membayar uang
kompensasi sebesar Rp. 29.950.978 karena menilai bahwa
penggugat belumlah di PHK, ia hanya ingin dimutasi saja
ke cabang perusahaan di kota lain. Pernyataan tersebut
tentunya menjadi dasar kepada penggugat untuk mengajukan
gugatan Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam mengajukan gugatan, penggugat harus mengikuti
format gugatan seperti yang diatur di dalam Hukum Acara
Perdata. Dimana gugatan terdiri dari 3 hal yaitu Persona
Standi in Judicio, Posita dan Petitum.7 Dalam petitumnya
pihak penggugat meminta 2 hal, yaitu meminta pengadilan
untuk menyatakan sah putusnya hubungan kerja antara
penggugat dan tergugat, dan meminta kepada pengadilan
untuk menyatakan anjuran tertulis dari Dinas Sosial
7Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2009) hlm.227.
Page 21
Tenaga Kerja Kota Pontianak Nomor : 567/1350/DSTK-HI/2013
adalah sah dan berlaku.
Ketentuan mengenai kompetensi relatif diatur didalam
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, bahwa dalam
mengajukan gugatan harus dimasukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang merupakan
daerah hukum tempat buruh bekerja. Dalam hal ini, buruh
bekerja di PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, yang
berlamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 84 Pontianak. Itu
artinya, sudah tepat jika gugatan tersebut diajukan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di
Pengadilan Negeri Kota Pontianak selaku tempat penggugat
bekerja.
Ketentuan mengenai sidang pertama diatur didalam pasal
88 dan 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Bahwa
selambat-lambatnya dalam 7 hari kerja Pengadilan Negeri
harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri dari
Hakim sebagai ketua majelis dan 2 orang Hakim Ad Hoc
sejak gugatan diterima oleh panitera pengadilan. Itu
artinya, 7 hari kerja setelah 6 maret 2014 Pengadilan
Negeri harus sudah menetapkan Majelis Hakim. Dalam kasus
ini yang menjadi ketua majelis Hakim adalah Achmad
Syaripudin S.H, dan yang menjadi Hakim Adhoc
adalahAlinafiah Damanik S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E.
berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Hubungan
Page 21
Industrial nomor : 14/G/2014/PHI.PN.PTK tanggal 7 Maret
2014. Itu artinya berdasarkan pasal 89 ayat 1, bahwa 7
hari kerja sejak penetapan majelis (7 Maret 2014) harus
sudah dilaksanakan hari sidang pertama.
Berdasarkan pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004, baik pihak penggugat maupun tergugat dapat
mengajukan saksi atau saksi ahli. Akan tetapi dalam
putusan ini para pihak tidak mengajukan baik saksi maupun
saksi ahli.
Selanjutnya mengenai pembuktian tidak diatur secara
terperinci didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, itu
artinya berlakulah ketentuan mengenai Hukum Acara Perdata
dalam hal pembuktian. Bahwa pembuktian diatur dalam pasal
164 HIR jo 284 Rbg jo 1866 BW yang terdiri dari alat
bukti tertulis, saksi,persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Dalam kasus ini, bukti yang diajukan oleh pihak penggugat
adalah Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak Nomor :
567/1350/DSTK-HI/2013, sedangkan dari pihak tergugat
adalah surat peringatan kepada pihak penggugat dan
peraturan perusahaan.
Yang terakhir adalah mengenai pengambilan putusan
yang diatur pada pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004. Bahwa yang paling penting putusan tersebut agar
tidak batal demi hukum haruslah dibacakan dalam sidang
yang terbuka untuk umum. Dalam hal ini, pembacaan putusan
Page 21
dilaksanakan pada hari Kamis, 26 Juni 2014 yang terbuka
untuk umum. Apabila terdapat pihak yang belum puas,
tersedia upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung
sejak 14 hari kerja setelah keluarnya putusan dan harus
diselesaikan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
penerimaan permohonan kasasi.
Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam
putusan 24/4-270/12
Malaysia adalah Negara jajahan Inggirs, maka dari
itu sistem hukum yang dianut adalah sistem hukum common
law. Ketentuan mengenai hukum perburuhan pada dasarnya
diatur dalam 3 Undang-Undang8, Act 265 tentang Employment
Tahun 1955, Act 262 tentang Trade Unions Tahun 1959, dan
Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967. Ketentuan
mengenai Peradilan Hubungan Industrial di Malaysia di
atur secara tegas didalam Act 177 tentang Industrial Relations
Tahun 1967 yang secara khusus dituangkan dalam Bab ke
VII. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia memiliki
8Industrial Court of Malaysia, “Acts”http://www.mp.gov.my/index.php/en/links/acts , diunduh pada 26 Oktober 2014.
Page 21
kompetensi absolut untuk memeriksa perkara mengenai
perburuhan.
Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 menyatakan
bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau Dismissal,
maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu
mekanisme tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur
tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi
(Bab V), Jalur keberatan atau Representations of Dismissal (Part
VI), dan jalur litigasi di Industrial Court (Bab VII).
Dalam Putusan Perselisihan Hubungan Industrial
Malaysia Nomor 24/4-270/12dapat kita lihat bahwa Majelis
Hakim mengabulkan gugatan penggugat secara Verstek atau
tergugat tidak hadir. Sedangkan proses mendengar (hearing)
hanya dilakukan secara ex parte (sepihak). Karena Negara
Malaysia adalah negara dengan tradisi hukum common law,
maka apabila suatu issue tidak diatur didalam peraturan
perundang-undangan maka digunakanlah suatu Yuriprudensi
dari putusan terdahulu. Dalam putusan ini digunakan
Yurisprudensi Wong Brothers Construction v. Choo Chee
Siam (2005) yang menyatakan bahwa apabila perusahaan
absent atau tidak hadir didalam persidangan, maka Majelis
Hakim tetap menjalankan sidang secara In Absentia atau
mendengar keterangan pemohon saja.
Meskipun pada faktanya pihak tergugat sempat hadir
sekali dalam persidangan yang digelar pada hari pertama,
Page 21
akan tetapi pada sidang selanjutnya pihak tergugat tidak
hadir. Kemudian pihak Pengadilan telah melakukan
pemanggilan kepada tergugat sebanyak 8 kali yaitu pada
tanggal 24 April 2012,24 Mei 2012, 28 Juni 2012,6 Agustus
2012 ,6 September 2012, 8 Oktober 2012,03 Desember 2012,
dan16 Januari 2013. Akhirnya putusan dikeluarkan pada 20
Februari 2013, yang menyatakan tergugat harus membayar
sejumlah uang kepada penggugat, dan tersedia waktu 30
hari kerja sejak putusan ini dikeluarkan untuk
melaksanakannya.
Berdasarkan amar putusan tersebut, Tergugat (dalam Act
177 disebut Employer) dihukum membayar ganti rugi kepada
Penggugat (Workmen) sebesar RM137,200.00 yang terdiri
dari pengembalian upah (Backwages) dan kompensasi sebagai
ganti kerugian (Compensation in lieu of reinstatement).
2.3 Hubungan dengan Materi Perkuliahan
Perselisihan Hubungan Industrial menurut Pasal
1Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh
atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK, perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 perusahaan.
Page 21
Dalam kasus ini, penyelesaian perselisihan hubungan
industrial ditempuh melalui Pengadilan Hubungan
Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah suatu
proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial
oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan
industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri.9
Sebab terjadinya perselisihan perburuhan dikarenakan
2 hal, yaitu pelanggaran, dan tanpa pelanggaran.
Pelanggaran: Perselisihan hak
a. Beda pelaksanaan, misal perjanjian kerja menyatakan
bahwa pegawai dikontrak 6 bulan, setelah 6 bulan
kontrak diperpanjang terus hingga 4 tahun, padahal
kontrak kerja menyatakan setelah 3 kali perpanjangan
tidak boleh diperpanjang lagi.
b. Beda perlakuan, terhadap jenis pekerjaan yang sama
akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan antara satu
individu dengan yang lainnya.
c. Beda penafsiran, terdapat perbedaan pengartian
terhadap suatu norma hukum yang ada didalam suatu
perundang-undangan untuk menguntungkan kepentingan
yang bersangkutan.
Tanpa pelanggaran : perselisihan kepentingan
9Ulwiyono, loc.cit.
Page 21
a. Beda penafsiran;
b. Perubahan syarat kerja.
Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan, antara lain:
a. Metode keluh kesah/keberatan kepada atasan langsung
b. Negosiasi dengan jajaran pimpinan perusahaan
c. Mediasi – Konsiliasi: Menghasilkan rekomendasi
d. Arbitrase oleh Arbiter: Menghasilkan Perjanjian
Bersama
e. Gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di
Pengadilan Negeri.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor
14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 dengan Putusan
Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan
24/4-270/12 terdapat beberapa hal yang dapat dicermati,
yaitu :
a. Mengenai Jenis Sengketa
Sengketa yang terjadi berupa perselisihan
Pemutusan hubungan kerja (PHK).Perselisihan
pemutusan hubungan kerja adalan perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak.10 Misalnya : Buruh menolak
untuk diputuskan hubungan kerjanya, karena
10Ibid., hlm. 128
Page 21
pesangonnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku atau nilainya masih lebih rendah daripada
perhitungan undang-undang.Dalam PutusanPengadilan
Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK
Tahun 2014, terjadi perselisihan pemutusan hubungan
kerja antara Salmon Pahala Simanjuntak dan PT.
COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, karena Salmon
sudah merasa di PHK oleh perusahaan, tapi perusahaan
menyatakan belum mem-PHK nya karena tidak mau
membayar uang pesangon yang dibebankan. Selain itu
juga, terjadi perselisihan mengenai uang pesangon,
menurut Salmon jumlah uang pesangon berdasarkan masa
kerjanya adalah sebesar Rp. 29.950.978, akan tetapi
PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK hanya ingin
memberikan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000.
Sedangkan pada Putusan Perselisihan Hubungan
Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12
terjadi PHK terhadap Loke Pang Keong yang dilakukan
Subang Perdana Services SDN. BHD karena terdapat
perselisihan HAK. Perselisihan Hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap suatu peraturan. Dalam kasus
ini, Loke menanggap bahwa cuti yang dilakukan
olehnya telah mendapat persetujuan dari pihak
perusahaan, akan tetapi perusahaan membantah telah
Page 21
memberikan izin kepada Loke karena dalam cutinya ia
membawa barang-barang milik perusahan seperti mobil,
kunci kantor, dan laptop.
b. Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan
Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Kota
Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN. sudah dilakukan
dengan mekanisme yang tepat sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 , yakni melakukan
musyawarah internal terlebih dahulu dengan pihak
tergugat untuk mencari suatu kata mufakat. Apabila
mekanisme tersebut gagal, salah satu pihak (dalam
kasus ini penggugat) dapat mengajukan permohonan
kepada Dinas Tenaga kerja untuk melakukan proses
mediasi. Kenyataanya proses mediasi itu pun tidak
dijalankan oleh pihak tergugat, maka dari itu
penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri
Kota Pontianak, dan gugatannya dikabulkan untuk
sebagian. Dalam hal ini pihak penggugat telah
menjalankan amanat Undang-Undang No. 02 Tahun 2004
dengan baik, yakni dengan menjalani proses bipatrit
dan tripatrit terlebih dahulu, dan kemudian baru
menempuh upaya hukum melalui jalur litigasi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
Page 21
Pada Putusan Peradilan Hubungan Industrial
Malaysia Nomor : 24/4-270/12, pihak penggugat telah
melakukan prosedur yang tepat dengan mengajukan
perkara tersebut kepada Peradilan Hubungan
Industrial Malaysia, hal ini sesuai dengan Act 177
Tentang Industrial Relations Act 1967 yang
menyatakan bahwa peradilan hubungan industrial
Malaysia memiliki kompetensi absolut dalam
menyelesaikan perselisihan suatu hubungan
Industrial. Berdasarkan Pasal 30 ayat 3 Undang-
Undang tersebut, dinyatakan bahwa pengadilan harus
mengeluarkan putusan terhitung sejak 30 hari setelah
gugatan itu dimasukan ke pengadilan. Jadi dalam
kasus ini, dihitung sejak 30 hari setelah 13 Oktober
2012.
c. Mengenai Sebab terjadinya sengketa
Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Kota
Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN diawali oleh adanya
sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh tergugat
tentang perselisihan hak mengenai uang pesangon dan
definisi pemutusan hubungan kerja. Hal ini
disebabkan oleh adanya beda pelaksanaan antara
penggugat dan tergugat mengenai jumlah uang
pesangon, penggugat menyatakan bahwa jumlah uang
Page 21
pesangon harus sesuai dengan Undang-Undang dan saran
dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak, akan
tetapi tergugat hanya ingin memberikan jumlah uang
sesuai nominal orang yang di mutasi saja.
Sedangkan dalam putusan Peradilan Hubungan
Industrial Malaysia Nomor 24/4-270/12 terdapat
pelanggaran tentang perselisihan hak yang disebabkan
oleh terjadinya perbedaan penafsiran oleh kedua
belah pihak. Penggugat mengklaim bahwa cuti yang ia
lakukan telah mendapatkan persetujuan dari
perusahaan, sedangkan tergugat mengklaim bahwa cuti
yang penggugat lakukan tidaklah mendapat persetujuan
karena membawa barang-barang milik tergugat seperti
mobil,laptop, dan kunci kantor. Alasan tersebutlah
yang mendasari tergugat untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja kepada penggugat.
2.4 Perkembangan Terbaru Terkait Kasus
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 di Indonesia , hal tersebut merupakan
cerminan progresivitas pembaruan di dalam konteks
hukum perburuhan. Hal tersebut kiranya patut kita
apresiasi terlebih dahulu.Didalam ketentuan tersebut
terdapat 4 hal yang menarik untuk dikaji lebih
mendalam, yaitu mengenai kewenangan Pengadilan
Page 21
Hubungan Industrial dan mengenai pengangkatan hakim
ad Hoc.
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan
Industrial adalah memeriksa, mengadili dan memutus :
Perselisihan Hak sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan Kepentingan sebagai pengadilan tingkat
pertama sekaligus terakhir.
Perselisihan PHK sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
dalam satu perusahaan sebagai pengadilan tingkat
pertama sekaligus terakhir.
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas,
tentunya terdapat isu yang menarik untuk kita cermati.
Terhadap Perselisihan Hak dan Perselisihan PHK
disediakan upaya hukum berupa kasasi kepada Mahkamah
Agung, itu artinya tidak ada proses banding terlebih
dahulu. Sedangkan untuk perkara mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja
tidak terdapat upaya hukum yang disediakan kepada para
pihak, itu artinya putusan tersebut bersifat final dan
mengikat. Menjadi pertanyaan mengapa terdapat
diskriminasi pemberlakuan upaya hukum didalam masing-
masing perselisihan? Bukankah sebaiknya upaya hukum
disediakan di setiap bentuk perselisihan sebagai
Page 21
sarana bagi pihak yang belum puas untuk mencapai
keadilan yang substantif?
Isu menarik lainnya adalah komposisi Majelis
Hakim dalam Pengadilan Hubungan Industrial. Komposisi
Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial
terdiri dari satu orang Hakim Pengadilan Negeri yang
pengangkatannya langsung oleh Ketua Mahkamah Agung,
satu orang Hakim Ad hoc dari kalangan serikat
pekerja/buruh, dan satu orang Hakim Ad hoc dari
kalangan organisasi pengusaha. Meskipun terdapat
kekurangan dalam hal rekrutmen Hakim Adhoc terkait
akuntabilitas dan prosedur penangkatannya, tetapi ide
tersebut boleh dicoba pada pengadilan jenis lainnya.
Komposisi Hakim di Pengadilan Hubungan Industrial
sangatlah merepresentasikan para pihak yang
bersinggungan, yaitu buruh, pengusaha dan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 tahun 2004Tentang
Page 21
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, kompetensi
absolut Pengadilan Indonesia dalam hal Perselisihan
Hubungan Industrial terletak pada Kompetensi absolut
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.
Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk melawan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial adalah kasasi kepada
Mahkamah Agung.
2. Di Malaysia kompetensi Absolut mengenai sengketa
perburuhan terletak di Industrial Court of Malaysia, hal ini
sesuai Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 yang
menyatakan bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau
Dismissal, maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu
mekanisme tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur
tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi
(Bab V), Jalur keberatan atau Representations of Dismissal (Part
VI), dan jalur litigasi di Industrial Court (Bab VII).
3..Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Pontianak
Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 sudah dilakukan
sesuai dengan mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004,yaitu melewati proses bipatrit terlebih dahulu untuk
mencari mufakat antara buruh dan pengusaha. Apabila
proses tersebut gagal, dilanjutkan dengan mekanisme
mediasi dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Tenaga
kerja di wilayah kota setempat, namun dalam proses ini
juga gagal, karena pihak tergugat tidak mau untuk
Page 21
menjalankan saran dari Dinas Tenaga Kerja untuk membayar
uang pesangon sebesar Rp. 29.950.978. Setelah itu pihak
penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kota Pontianak,
dan ternyata gugatannya dikabulkan untuk sebagian.
4. Pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Malaysia 24/4-270/12 pihak penggugat telah melakukan
prosedur yang tepat dengan mengajukan sengketa kepada
Industrial Court. Karena berdasarkan Act 177, Industrial Court
memiliki kompetensi Absolut untuk mengadili sengketa
perburuhan di Malaysia.
5. Hubungan antara putusan dan materi perkuliahan
dapat ditinjau dari 3 hal, yaitu mengenai jenis sengketa,
mengenai penyelesaian sengketa perburuhan, dan mengenai
sebab terjadinya sengketa
6. Terdapat isu unik didalam ketentuan putusan
tersebut, yaitu Komposisi Majelis Hakim dengan 2 Hakim
Ad-hoc dan upaya hukum yang tersedia hanya dikhususkan
bagi masalah tertentu saja.
3.2 Saran
Perlu di akui Indonesia adalah negara berkembang
yang masih banyak mengasilkan banyak pekerja, bukannya
pengusaha. Itu artinya banyak sekali orang Indonesia
yang berada dalam hubungan kerja yang sub-ordinatif
Page 21
(atas bawah) dengan orang lain atau warga negara lain,
maka dari itu pemahaman mengenai hubungan kerja dan
penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara utuh.
Sehingga apabila terjadi perselisihan antara pekerja
dan pengusaha, orang-orang Indonesia dapat
memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.
Kemudian, dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia
dan Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di Negeri Jiran
Malaysia, sudah menjadi suatu keharusan bagi para Juris
untuk mengetahui ketentuan hukum perburuhan di Negeri
orang, agar saudara-saudara kita yang ada di Malaysia
tidak terus dibodohi karena alasan tidak tahu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aloysius Uwiyono, Siti Hajati Hoesin, Widodo Suryandono,
Melania Kiswandari, .........2014, Asas-Asas _____Hukum
Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers.
Page 21
Goenawan Oetomo, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum
Perburuhan di _____Indonesia, Jakarta: Grhadika Binangkit
Press.
Imam Soepomo, 1999. Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta:
Djambatan.
Regulasi
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun
2003 , LN No.39 Tahun 2003, TLN. 4279
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan ke 23,1990,
Jakarta : Pradnya Paramitha
Malaysia, Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967
Website
Badan Pusat Statistik. “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk
Bekerja, Pengangguran, TPAK ..........dan_TPT,_1986-2013”
.........http://bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=5......... Diunduh
pada 25 Oktober 2014.
Nurhayat, Wiji. “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar
di Malaysia” ,
.........http://finance.detik.com/read/2012/09/26/170223/20384
Page 21
24/4/tenaga-kerja-indonesia- ......... paling-banyak-tersebar-
di-malaysia . Diunduh pada 24 Oktober 2014.
DISCLAIMER : Tulisan ini diperuntukan Penulis untuk
kepentingan tugas perkuliahan sehingga apabila terdapat
kekeliruan mohon dikoreksi. Sebagai insan akademis yang taat.
jika ingin men Copy-Paste harap izin ke nomor berikut
082114497494