Makalah hama Cylas formicaricus

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hama merupakan salah satu penyebab menurunya hasil budidaya baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang disebabkan oleh binatang. Dengan begitu keberadaan hama dianggap merugikan oleh petani. Hama sendiri terdiri dari berbagai jenis binatang yang ada di muka bumi. Salah satu ‘kelas’ binatang yang memiliki potensi untuk menjadi hama adalah yang berasal dari kelas Insecta. Ordo dari kelas Insecta sendiri sangatlah beragam namun yang sering menimbulkan masalah berasal dari ordo Orthoptera, Isoptera, Thysanoptera, Homoptera, hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera, Diptera. Disini akan dibahas mengenai salah satu hama yang berasal dari ordo Coleoptera yaitu Cylas formicarius. C. formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di seluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001). CIP (1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dan termasuk 10 kendala utama yang perlu mendapat perhatian. Di Kenya (Afrika), hama ini merupakan kendala kedua dalam peningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika Serikat), hama ini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula di Indonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C. formicarius merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dan di karantina (Komi 2000; Sheng 2000). Di Indonesia hama ini sering disebut sebagai ‘boleng’. 1.2 Tujuan a. Mengetahui klasifikasi ilmiah, morfologi, ekologi, dan biologi hama Cylas formicarius b. Mengetahui sebaran hama Cylas formicarius c. Mengetahui kerusakan yang ditimbulkan hama Cylas formicarius serta tanaman inang lain dari hama tersebut 1.3 Manfaat a. Dapat mengetahui dan memahami klasifikasi ilmiah, morfologi, ekologi, dan biologi hama Cylas formicarius b. Dapat mengetahui dan memahami sebaran hama Cylas formicarius

Transcript of Makalah hama Cylas formicaricus

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHama merupakan salah satu penyebab menurunya hasil

budidaya baik secara kuantitatif maupun kualitatif yangdisebabkan oleh binatang. Dengan begitu keberadaan hamadianggap merugikan oleh petani. Hama sendiri terdiri dariberbagai jenis binatang yang ada di muka bumi. Salah satu‘kelas’ binatang yang memiliki potensi untuk menjadi hamaadalah yang berasal dari kelas Insecta. Ordo dari kelasInsecta sendiri sangatlah beragam namun yang seringmenimbulkan masalah berasal dari ordo Orthoptera, Isoptera,Thysanoptera, Homoptera, hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera,Diptera. Disini akan dibahas mengenai salah satu hama yangberasal dari ordo Coleoptera yaitu Cylas formicarius. C. formicariusmerupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di seluruhdunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001).CIP (1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dantermasuk 10 kendala utama yang perlu mendapat perhatian. DiKenya (Afrika), hama ini merupakan kendala kedua dalampeningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika Serikat), hamaini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula diIndonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C.formicarius merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dandi karantina (Komi 2000; Sheng 2000). Di Indonesia hama inisering disebut sebagai ‘boleng’.

1.2 Tujuana. Mengetahui klasifikasi ilmiah, morfologi, ekologi, dan

biologi hama Cylas formicarius

b. Mengetahui sebaran hama Cylas formicarius

c. Mengetahui kerusakan yang ditimbulkan hama Cylas formicarius serta tanaman inang lain dari hama tersebut

1.3 Manfaata. Dapat mengetahui dan memahami klasifikasi ilmiah,

morfologi, ekologi, dan biologi hama Cylas formicarius

b. Dapat mengetahui dan memahami sebaran hama Cylas formicarius

c. Dapat mengetahui dan memahami kerusakan yang ditimbulkan hama Cylas formicarius serta tanaman inang lain dari hama tersebut

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi IlmiahKingdom : AnimaliaFilum : ArthropodaKelas : InsectaOrdo : ColeopteraFamili : CurculionidaeGenus : CylasSpesies : Cylas formicarius

2.2 Morfologi, Ekologi dan biologiSiklus hidup C. Formicarius memerlukan waktu 1–2 bulan,

secara umum 35–40 hari pada musim panas. Generasinya tidakmerata, demikian pula jumlah generasi selama setahun. DiIndonesia, terdapat 9 generasi C. Formicarius dalam setahun,(Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di Florida 6–8generasi, di Texas 5 generasi, dan di Louisiana AmerikaSerikat 8 generasi (Waddil 1982; Capinera 1998). Seranggadewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif bilakondisi lingkungan kuran sesuai. Semua fase pertumbuhandapat ditemukan sepanjang tahun jika tersedia makanan yangsesuai.

TelurTelur diletakkan di dalam rongga kecil yang dibuat oleh

kumbang betina dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi.Telur diletakkan di bawah kulit atau epidermis, secaratunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulitdilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). MenurutSupriyatin (2001), telur C. Formicarius sulit dilihat karenaditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat.Telur C. Formicarius berwarna putih krem, berbentuk oval takberaturan (AVRDC 2004, Gambar 1), berukuran 0,46– 0,65 mm(Supriyatin 2001), sedangkan menurut Capinera (1998) panjangtelur 0,77 mm dengan lebar 0,50 mm. Di Florida, lama fasetelur berkisar 5 hari pada musim panas dan 11–12 hari bilamusim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi telur beragamsesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30Oc dan 7, 9hari pada suhu 20Oc. Di Indonesia, rata-rata lama fase teluradalah 7 hari (Supriyatin 2001), sedangkan di India 6,30hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina meletakkan telur

3–4 butir/ hari atau 75–90 butir selama hidupnya (30 hari).Di laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkantelur 122–250 butir (Capinera 1998), sedangkan menurutSupriyatin (2001) sekitar 90–340 butir.

Gambar 1. Telur Cylas formicarius (AVRDC 2004).

LarvaLarva yang baru menetas berukuran lebih besar dari

telur, tanpa kaki, berwarna putih dan lambat laun berubahmenjadi kekuningan (AVRDC 2004, Gambar 2). Larva yang barumenetas langsung menggerek batang atau umbi. Bila larvamenggerek batang, biasanya arah gerekanmenuju umbi. Larva C.Formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instarpertama 8– 16 hari, instar kedua 2–21 hari, dan instarketiga 35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001)melaporkan bahwa larva C. Formicarius terdiri atas 5 instardalam waktu 25 hari. Suhu merupakan faktor utama yangmempengaruhi tingkat perkembangalarva. Perkembangan larvamencapai 10 dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30Oc dan24Oc (Capinera 1998). Di India, fase larva di laboratoriumrata-rata berlangsung 16 hari (Rajamma 1983) dan di Taiwan25–35 hari. Larva instar akhir berukuran panjang 7,50– 8 mmdan lebar 1,80–2 mm (CABI 2001, Gambar 3), berwarna putihkekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjangbadan dan seperdua dari lebar badan. Kepala berwarna kuninghingga cokelat, mandibula kuning hampir hitam dan abdomenlarva agak besar Gambar 1. Telur Cylas formicarius (AVRDC2004).

Gambar 2. Larva Cylas formicarius instar 1(kiri) dan instar 3 (kanan)(Castner,

dalam Capinera 1998).

Gambar 3. Larva Cylas formicarius instar terakhir (CABI 2001).

PupaLarva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang,

berbentuk oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral.Panjang pupa berkisar 6–6,50 mm (Capinera 1998). Pupaberwarna putih, tetapi seiring dengan waktu danperkembangannya, berubah menjadi abu-abu dengan kepala danmata gelap. Lama masa pupa berkisar 7–10 hari, tetapi padacuaca dingin dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Dilaboratorium di India, rata-rata stadium pupa adalah 4,10hari (Rajamma 1983).

Serangga DewasaKumbang yang baru keluar dari pupa tinggal 1–2 hari di

dalam kokon, kemudian keluar dari umbi atau batang. CABI(2001) melaporkan bahwa kumbang C. Formicarius menyerupaisemut, mempunyai abdomen, tungkai, dan caput yang panjangdan kurus (Gambar 4). Kepala berwarna hitam, antena,thoraks,dan tungkai oranye sampai cokelat kemerahan, abdomendan elytra biru metalik (Capinera 1998; Morallo dan Rejesus2001). Supriyatin (2001) juga menyatakan bahwa C. Formicariusmempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna birumetalik, sedangkan kaki dan dadanya cokelat. Tungkaimempunyai cincin di sekeliling tibia. Antena mempunyai 10ruas. Perbedaan kumbang jantan dan betina terletak padaantena. CABI (2001) melaporkan bahwa antena kumbang jantanberbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang sempit,dan tidak sama, berbentuk sosis, dan panjangnya lebih daridua kali panjang flagelum. Antena kumbang betina berbentukgada, jarak ruas antena 2/3 dari panjang flagelum (Gambar5).

Suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan lamahidup C. Formicarius. Mullen (1981) menyatakan bahwa kumbang C.

Formicarius yang dipelihara pada ubi jalar varietas Jewelmenurun perkembangannya sejalan dengan meningkatnya suhudari 20Oc menjadi 30Oc. Kumbang akan hidup lebih lama padasuhu 15Oc sehingga penyimpanan ubi jalar pada suhu 15Ocbelum dapat memusnahkan populasi C. Formicarius. Kumbang betinadapat hidup 113 hari dan mampu bertelur 90– 340 butir.Siklus hidup setiap generasiberlangsung 38 hari, sehinggadalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). DiIndia siklus hidup C. Formicarius berkisar 23,20–24,70 haripada bulan Februari–Mei, 26,20–26,50 hari pada bulan Juni–September, dan 27–29,10 hari pada bulan Oktober–Januari.Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisiberturut-turut adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma1983). Pada suhu 15Oc di laboratorium, serangga dewasa dapathidup lebih dari 200 hari jika makanan tersedia, dan hanya30 hari jika dilaparkan. Namun, lama hidup kumbang menurunmenjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30Oc denganmakanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera 1998). Kumbangdapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnyarelatif dekat. Kaku et al. (1999) melakukan pengamatanterhadap pergerakan kumbang C. Formicarius di laboratorium padasuhu 27Oc, RH 70% dan 16 jam terang serta 8 jam gelap.Persentase kumbang dewasa yang bergerak dari satu umbi keumbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk kumbangjantan dan 40% untuk kumbang betina. Persentase pergerakankumbang jantan pada umbi yang berumur 30 hari adalah 91,90%dan kumbang betina 41,40%. Dengan demikian, kumbang jantanbergerak lebih sering dibanding kumbang betina, dan kumbangjantan tua lebih aktif dibanding kumbang jantan muda

Gambar 4. Kumbang Cylas formicarius (CABI 2001). Gambar 5. Kumbang betina Cylas

formicarius dengan antena bentukgada (CABI 2001)

2.3 Sebaran

Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerahpertanaman ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupunsubtropika. Di Indonesia, C. formicarius banyak ditemukan diPapua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara (Noncidan Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Di AmerikaSerikat, hama tersebut pertama kali ditemukan di Louisianapada tahun 1875, kemudian di Florida tahun 1878 dan Texastahun 1890, dan diduga masuk melalui Kuba. Saat ini hama itusudah ditemukan di seluruh pantai bagian tenggara mulai dariCarolina Utara hingga Texas, juga ditemukan di Hawai danPuerto Rico (Capinera 1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C.formicarius pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1900-ankemudian menyebar ke bagian utara Pulau Amami, Tokara,Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada tahun 1995, C.Formicarius ditemukan untuk pertama kalinya di kota Muroto diKochi Prefecture.

2.4 KerusakanC. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan

mutu ubi jalar (CIP 1991). Di Kenya, hama ini merupakankendala kedua. Di Florida, hama ini selalu ada sepanjangtahun dan dapat menghasilkan 6–8 generasi setiap tahun(Waddil 1982). Kumbang dewasa makan, bertelur, danberlindung pada akar, batang, dan umbi. Kumbang menyerangepidemis akar atau batang dan permukaan luar umbi dengancara membuat lubang gerekan. Larva juga menyerang akar,batang, dan umbi dengan cara yang sama, tetapi sisa gerekanditumpuk di sekitar lubang gerekan (Gambar 2 dan 3) denganbau yang khas. Umbi yang rusak menghasilkan senyawaterpenoid sehingga terasa pahit, dan tidak dapat dikonsumsiwalaupun kerusakannya rendah (Jansson et al. 1987). Hasilpengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akartanaman ubi jalar yang terserang kumbang C. Formicarius selama24 jam akan menghasilkan terpene phytoalexins. Diduga enzimpektolitik yang terdapat pada kumbang C. Formicarius adalahterpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisagerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan,dan patahnya batang rambat serta daun menjadi hijau pucat.Supriyatin (2001) mengemukakan bahwa warna jaringan disekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi lebihgelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsikarena rasanya pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan

merangsang pembentukan senyawa toksik yang dapatmempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin2001).

Di Indonesia, kerusakan akibat serangan kumbang C.Formicarius terjadi sejak tahun 1918. Kehilangan hasil akibatserangan hama ini berkisar antara 10–80%, bergantung padalokasi, jenis lahan, dan musim (Bahagiawati 1989; Widodo etal. 1994). Selanjutnya Nonci dan Sriwidodo (1993) melaporkanbahwa di kebun percobaan Bontobili Sulawesi Selatan padamusim kemarau, persentase umbi rusak oleh C. Formicarius adalah62,41%, 81,88%, 59,99% dengan hasil umbi segar 33,70; 25,39;dan 25,89 t/ha masingmasing untuk varietas Kalasan, Mendut,dan lokal Gowa. Di Homestead Florida, kehilangan hasilakibat serangan C. Formicarius berkisar 60−80%. Kerusakan kecilpun pada umbi menyebabkan umbi tidak layak dikonsumsi karenaadanya senyawa terpenoid (Sato et al. 1982, Jansson et al.1987).

2.5 Tanaman Inang Tanaman inang kumbang C. Formicarius adalah dari famili

Convolvulaceae, terutama genus Ipomoea. Ubi jalar adalah inangyang paling sesuai, diikuti oleh Ipomoea aquatica (bayam air).Kangkung liar (I. pescapreae dan I. panduratea) juga merupakan inangliar yang cocok (Capinera 1998). Selanjutnya Moody et al. (1984)dan AVRDC (2004) melaporkan bahwa selain ubi jalar, tanamanmorning glory (I. triloba) (Gambar 6) juga merupakan inang yangsesuai. Namun, larva C. formicarius lebih menyukai ubi jalardibanding morning glory. Beberapa tanaman dari familiConvolvulaceae, seperti Merramia emerginata, M. mammosa, danIpomoea sp. juga merupakan tanaman inang C. formicarius (Austin1991). Inang antara ini selalu ada sepanjang tahun sehinggaakan mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut.

Gambar 6. Ipomoea triloba L. (morning glory), inang alternatif Cylasformicarius (Moody et al. 1984).

2.6 Upaya Pengendalian

Pengendalian C. formicarius dengan insektisida secarakonvensional sulit dilakukan karena hama ini terdapat didalam batang dan umbi. Pengendalian hama ini akan lebihefektif dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu(PHT). PHT merupakan pendekatan ekologi dalam pengelolaanagroekosistem. Oleh karena itu, PHT mengutamakan berfungsinyamekanisme pengendalian alami yang secara dinamis dapatmenjaga populasi hama tetap berada pada keseimbangan umumyang rendah. Komponen PHT meliputi penggunaan varietas tahan,teknik bercocok tanam, musuh alami, dan penggunaan pestisidabila diperlukan. CABI (2001) melaporkan bahwa beberapakomponen pengendalian C. formicarius yang telah diteliti meliputiteknik bercocok tanam, pemusnahan inang antara, sertapenggunaan varietas tahan, musuh alami, dan seks feromon.

2.6.1 BudidayaPengendalian dengan teknik budidaya meliputi penggantian

atau modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atautidak langsung dapat menurunkan populasi atau memutus siklushidup C. formicarius. Cara ini tidak mencemari lingkungan,relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel denganpengendalian ang lain. Pergiliran tanaman merupakan carabudidaya yang dapat mencegah serangan kumbang C. formicarius.

Dianjurkan menanam ubi jalar hanya sekali dalam 5 tahun,mencegah menanam 2 tahun berturut-turut pada areal yang sama,atau menanam padi di antara dua pertanaman ubi jalar (AVRDC2004). Pada prinsipnya pergiliran tanaman bertujuanmematahkan siklus hidup C. formicarius. Tumpang sari ubi jalardengan buncis, ketumbar, labu, lobak, adas, kacang hijau, dankacang tanah juga dapat mencegah serangan hama tersebut (CABI2001). Retakan tanah merupakan jalan utama bagi hama untukmencapai umbi dan akar untuk meletakkan telur. Umbi yangbertambah besar menyebabkan tanah menjadi retak. Di Taiwan,kerusakan umbi lebih sedikit pada musim hujan karena retakantanah berkurang (AVRDC 2004). Retakan tanah dapat ditutupdengan memberikan air, mencangkul atau menggunakan mulsa.Trustina et al. (1993) menyatakan bahwa tingkat serangan C.formicarius dipengaruhi oleh kadar air tanah. Kadar air tanah

15-35% akan menimbulkan kerusakan 26,19-48,07% di Muneng dankadar air tanah 2035% menimbulkan kerusakan 36,72–37,30% diKendalpayak. Pada periode yang sama di Muneng, bila kadar airtanah konstan sekitar 20%, maka kerusakan menjadi 26% danbila kadar air tanah berkurang hingga 15%, maka kerusakanmenjadi 49%. Sanitasi dengan membersihkan sisasisa tanamansetelah panen juga penting dalam pengendalian C. formicarius,karena hama ini terdapat pada akar dan batang. Dianjurkanmencabut dan memusnahkan semua tanaman inang alternatif.Pucuk batang (25–30 cm) merupakan bibit tanaman terbaik,karena bebas dari telur dan larva (AVRDC 2004).

2.6.2 Inang ResistenDalam kurun waktu 50 tahun terakhir, berbagai penelitian

telah dilakukan untuk mendapatkan sumber ketahanan terhadapC. formicarius dari tanaman inang resisten kemudianmenggabungkannya ke dalam kultivar yang dibudidayakan.Pengujian di laboratorium (USDA dan TITA) di Nigeria danAVRDC Taiwan sejak tahun 1970-an telah mendapatkan beberapakultivar ubi jalar tahan terhadap hama ini. Lingkunganmemegang peranan penting dalam interaksi antara tanaman dan C.formicarius. Mullen (1984) menguji ketahanan 12 kultivar ubijalar di Georgia AS, dan mendapatkan satu kultivar yang tahanyaitu W101. Selanjutnya Talekar (1997) melaporkan bahwa dari1.243 ubi jalar yang dievaluasi di lapangan, dua klon yaitu I123 (6.712) dan I 959 (W-115) dan empat progeni daripersilangan antara ubi jalar dan Ipomoea trifida menunjukkantingkat ketahanan yang sangat tinggi terhadap C. formicarius.Terdapat korelasi positif antara jumlah C. formicarius dalamrambatan atau jumlah tanam rusak dengan diameter batang yangdigunakan sebagai bibit. Supriyatin (2001) telah mengevaluasiketahanan 54 klon harapan ubi jalar di Muneng dan mendapatkan16 klon yang tahan dan agak tahan terhadap C. formicarius. Dari16 klon tersebut, tujuh klon mempunyai potensi hasil lebihdari 10 t/ha, yaitu MSU 98-14, MSU 152-27, Cangkuang, MSU163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1. Pada penelitiantersebut tidak dilakukan infestasi buatan, dan klon Pa’ongsebagai pembanding peka terserang 70% di lahan kering dan 61%di lahan sawah. Beberapa klon potensial yang tahan terhadap C.formicarius adalah klon 490002 di Peru, klon ZS 684, ZS 687,ZS915, dan GN 888 di Cina, serta klon B 0046, B 0056, B 0067,dan B 0226 di Indonesia (CIP 1992).

2.6.3 Musuh AlamiCapinera (1998) melaporkan bahwa beberapa spesies

parasitoid C. formicarius yang telah berhasil diperbanyak dilaboratorium adalah Bracon mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck),Metapelma spectabile Westwood (semua termasuk ordo: Hymenoptera:Braconidae) dan Euderus purpureas Yoshimoto (Hymenoptera:Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin (2001) menyatakan bahwadua jenis parasitoid Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarusefektif menekan populasi C. formicarius. Sharp (1995) melaporkanbahwa Phaidole megacephala (semut berkepala besar) efektifmemangsa C. formicarius. Predator ini lebih efektif dibandinginsektisida dalam menekan populasi C. formicarius. Berdasarkanhasil pengamatan di lapang, pemangsa C. formicarius meliputisemut, kumbang, belalang (Staphylinidae), dan laba-laba yanghidup aktif pada pertanaman ubi jalar (Supriyatin 2001).Musuh alami yang berupa pathogen belum banyak diketahui baikjenis maupun perannya. Beberapa jenis pathogen yang menjadimusuh alami C. formicarius adalah jamur, virus, bakteri,protozoa, dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik,Beauveria bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C.formicarius mencapai 80–90% jika spora B. bassiana diaplikasikanpada tanah steril (Talekar et al. 1989). Capinera (1998)menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yangbesar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatan C. formicariusyang juga tinggi.

2.6.4 InsektisidaSekitar 10% petani ubi jalar di Sulawesi Selatan

menggunakan insektisida untuk mengendalikan C. formicarius (Noncidan Sriwidodo 1993), sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengahsekitar 20% (Supriyatin 2001). Penggunaan insektisidasintetis untuk mengendalikan hama ini tetap dianjurkan, baikinsektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yangsistemik. Aplikasi insektisida pada saat tanam dapat mencegahkerusakan pada bibit, dan aplikasi setelah tanam dapatmencegah serangan C. formicarius dari tanaman di sekitarnya.Penggunaan insektisida akan lebih baik jika dikombinasikanatau dipadukan dengan komponen-komponen pengendalian lainnyaseperti varietas tahan, cara budidaya (pergiliran tanaman,tanam serempak, sanitasi), dan musuh alami (predator danparasit). Nonci et al. (1994) melaporkan adanya interaksi

antara penggunaan Varietas Kalasan dan insektisida(karbofuran). Varietas Kalasan yang dilepas pada tahun 1991mempunyai sifat agak tahan terhadap C. formicarius sertaberadaptasi baik pada lahan kering beriklim kering.Karbofuran dengan dosis 25 kg/ha/aplikasi yang diberikan saattanam dan pada 60 hari setelah tumbuh efektif menekanpopulasi dan kerusakan oleh C. formicarius pada pangkal batangdan umbi. Pada intensitas serangan yang berat, hasil umbisegar varietas local Sidrap tetap tinggi, mencapai 23,10t/ha, namun mutu umbi sangat rendah. Penampilan umbi tampakutuh, tetapi bila dibelah terdapat sisa kotoran larva C.formicarius berwarna hitam pada seluruh umbi. Waluyo (1992)mengemukakan bahwa kotoran C. formicarius dalam umbi menyebabkanumbi bertambah berat dan terasa pahit jika dimakan.

2.6.5 Seks FeromonSeks feromon merupakan salah satu bagian dari sistem

pengendalian hama terpadu. Formulasi seks feromon untuk C.formicarius telah dikembangkan begitu pula desain perangkap dilapangan. Di Taiwan, penggunaan empat perangkap/ 0,10 ha yangdipadukan dengan insektisida mengurangi kerusakan umbi oleh C.formicarius sekitar 57-65% (Hwang 2000). Selanjutnya Supriyatin(2001) menyatakan bahwa kombinasi seks feromon denganpencelupan setek ke dalam larutan karbofuran 0,05% ba/ haselama 20 menit saat tanam, dapat menekan populasi C. formicariussehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada perlakuanlainnya. Perangkap feromon juga dapat digunakan untukmenandai dan memonitor keberadaan C. formicarius di lapang. Hwang(2000) mengemukakan bahwa seks feromon (2)-3-dodecen-1-01(E)-2- butenoate, mampu menarik serangga betina.

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan Boleng disebabkan oleh Cylas formicarius yang merupakan

salah satu hama penting yang menyerang tanaman ubi jalar padabagian akar, batang dan daun sehingga menganggu produktivitasdan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Kerusakan yangditumbulkan oleh hama ini berkisar 10%-90%. Selain menyerangubi jalar, hama ini juga menggunakan tanaman lain sepertibayam air dan kangkung liar sebagai inangnya. Untukmenanggulangi hama ini dapat dilakukan dengan beberapa carayaitu budidaya, iannag resisten, musuh alami, insektisida danseks foremon. Pemilihan cara penanggulangan tergantung denganintensitas serangan dan juga tetap memperhatikan faktor sertaefek lingkungan.

3.2 SaranSemoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan untuk

pembuatan makalah selanjutnya diharapkan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKAKomi, K. 2000. Eradication of sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius from

Muroro Cyty, Kochi. Japan. 5 pp. http://www.agnet,org/library/article/eb4936.html.Capinera, J.L. 1998. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius(Fabricius). Institute of

Food and Agricultural Sciences. University of Florida. 7pp.Morallo, B.R. and R.S. Rejesus. 2001. Biology of insect pestpostharvest significance.

Department of Entomology, University of the Philippinesat Los Banos, Laguna,

Philippines. p. 74−99.Waddil, V.H. 1982. Control of the sweet potato weevil, Cylasformicarius elegantulus by

foliar application of insecticides. Proceeding of theFirst International Symposium

AVRDC Taiwan. p. 157−169.Waluyo. 1992. Perbanyakan hama lanas Cylas formicarius F. digudang. Dalam S.

Hardjosumadi, M. Machmud, S. Tjokrowinoto, S. Pasaribu,Sutrisno, A. Kurnia,

dan N. Mulyono (Ed.). Prosiding Seminar Hasil PenelitianTanaman Pangan. Balai

Penelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm. 33−35.Nonci, N. dan Sriwidodo. 1993. Pengaruh pengendalian Cylasformicarius pada ubi jalar

terhadap kerusakan ubi pada penyimpanan. Laporan HasilPenelitian Jagung dan Ubi-

Ubian (no. 3): 89−97. Balai Penelitian Tanaman Pangan,Maros.Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan carapengendaliannya. Palawija (no. 2):

22−29.

Sheng, H.J. 2000. Integrated control of sweet potato weevil,Cylas formicarius Fabricius,

with sex pheromone and insecticide.http://www/agnet.org/library/article/eb494.htmlNonci, N., Sriwidodo, dan A. Muis. 1994. Pengendalian hama penggerek ubi Cylas

formicarius dengan insektisida pada beberapa varietas ubi jalar. Agrikam, Penelitian

Pertanian Maros (no. 3): 139−146.AVRDC. 2004. Integrated Pest Management of Sweet PotatoWeevil. http://www/

AVRDC org/LC/Sweet Potato/Weevil. Moody, K., C.E. Munroe,R.T. Lubingan, and

E.C. Paller. 1984. Major weeds of the Philippines. University of the Philippines

at Los Banos College, Laguna, Philippines.p. 50−65.Sharp, J.L. 1995. Mortality of sweet potato weevil. Texas Agric. Exp. Stn. Bull. 308: 90

pp.Bahagiawati, A.H. 1989. Bionomics and control of sweet potato weevil, Cylas formicarius

in Indonesia. Bogor Research Institute for Food Crops, Bogor. 10 pp.Austin, D.F. 1991. Association between the plant family Convolvulaceae and Cylas

weevil. In R.K. Jansen and K.V. Raman (Eds.). Sweet PotatoPest Management: A

Global Perspective. Westview Press,Boulder. p. 45−57. CABI. 2001. Crop Protection Compendium.

(CD-ROM), CABI, Rome. CIP. 1991. Annual Report. WorldwidePotato and Sweet Potato Improvement. CIP, Peru.p.130−132.

Jansson, R.K. and K.V. Raman. 1991. Biological control of Cylas spp. In K.V. Raman (Ed.).

Sweet Potato Pest Management: A Global Perspective. Westview Press, Boulder 10:

169−201.Kaku, K., M. Yonena, H. Yoshimura, and N. Ho. 1999. Movement

behavior of adults of Cylas formicarius on host plant. Research Bulletin of the Plant Protection Service, Japan.(no. 35): 81.

Mullen, M.A. 1981. Sweet potato weevil, Cylas formicarius elegantulus (summers): Development, fecundity, and longevity. Ann. Entomol. Soci. Am. 74(5): 478−481.

Rajamma, P. 1983. Biology and bionomics ofsweet potato weevil Cylas formicarius Fabr.

In S.C. Goel, (Ed.). Insect Ecology and Resources Management. Sanatan Dharm

College, Muzaffar Nagar, India. p. 87−92. Sato, K., I. Uritani, and T. Saito. 1982. Properties of

terpene-inducing factor extracted from adults of thesweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera:Brethidae).Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368−374.

Trustina, Nur B., Nasrullah, dan Sumarno. 1993. Tanggap klonubi jalar terhadap hama boleng pada lingkungan kekeringandan kecukupan air. Penelitian Palawija 8(1 & 2): 57−67.

Widodo, Y., Supriyatin, and A.R. Braun. 1994. Rapid assessmentof IPM needs for sweet

potato in some commercial production areas of Indonesia. International Potato Center,

Bogor, Indonesia and Malang Research Institute for Food Crops, Malang, Indonesia.

19 pp.