LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

21
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA JUDUL : UJI KLT DENGAN BERBAGAI ELUEN Ditulis oleh : Dian Indrawati santoso 125070507111004 Nindia Alvionita Larasati 125070505111002 Evelyne Ivoryanto 125070500111002 Priscylla Moekti Lestari 125070500111032 Darizki Silviana Putri 125070501111010 Ismal Hakim Al Kautsar 125070500111007 Gystalia Jenny R S 125070500111022 Erlin Aditia P 125070507111015 PROGRAM STUDI FARMASI

Transcript of LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

JUDUL :

UJI KLT DENGAN BERBAGAI ELUEN

Ditulis oleh :

Dian Indrawati santoso

125070507111004

Nindia Alvionita Larasati 125070505111002

Evelyne Ivoryanto 125070500111002

Priscylla Moekti Lestari 125070500111032

Darizki Silviana Putri 125070501111010

Ismal Hakim Al Kautsar 125070500111007

Gystalia Jenny R S 125070500111022

Erlin Aditia P 125070507111015

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

1. Tujuan

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara

polaritas eluen dengan harga Rf

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Kromatografi secara umum

Kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua

fase yaitu fase gerak dan fase diam. Transfer massa antara

fase bergerak dan fase diam terjadi bila molekul-molekul

campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap.

Pada kromatografi kertas naik, kertasnya digantungkan dari

ujung atas lemari sehingga tercelup di dalam solven di dasar

dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas.

Pada bentuk turun, kertas dipasang dengan erat dalam sebuah

baki solven di bagian atas lemari dan solven bergerak ke bawah

oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah

bagian muka solven selesai bergerak hampir sepanjang kertas,

maka pita diambil, dikeringkan dan diteliti. Dalam suatu hal

yang berhasil, solut-solut dari campuran semula akan berpindah

tempat sepanjang kertas dengan kecepatan yang berbeda, untuk

membentuk sederet noda-noda yang terpisah. Apabila senyawa

berwarna, tentu saja noda-nodanya dapat terlihat (Consden,

Gordon dan Martin 1994).

 Consden, Gordon dan Martin, memperkenalkan teknik

kromatografi kertas yang menggunakan kertas saring sebagai

penunjang fase diam. Kertas merupakan selulosa murni yang

memiliki afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bla

air diadsorbsikan pada kertas, maka akan membentuk lapisan

tipis yang dapat dianggap analog dengan kolom. Lembaran kertas

berpran sebgai penyngga dan air bertindak sebagai fase diam

yang terserap diantara struktur pori kertas (Consden, Gordon

dan Martin 1994).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adakah suatu teknik yang

sederhana yang banyak digunakan,metode ini menggunakan lempeng

kaca atau lembaran plastik yang ditutupi penyerap atau lapisan

tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada

kempeng kaca, pada dasarya menggunakan mikro pipet atau pipa

kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam

larutan pengulsi di dalam wadah yang tertutup ( Barseoni,

2005).

Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang

dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida

(alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai

fasa diam. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut

dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas

senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang

berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu.

Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error.Kepolaran eluen

sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang

diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh

komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus

faktor retensi adalah:

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu

pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk

mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel.

Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai

kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut

dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar

akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai

Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8.

Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi

kepolaran eluen, dan sebaliknya  (Ewing Galen Wood, 1985).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah

dan murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikiann

juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis,

peralatan yang digunakan lebih sederhana dan hampir semua

laboratorium melaksanakan metode ini. Kromatografi lapis tipis

(KLT) fase diamnya berupa lapisan seragam (uniform) pada

permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat

alumunium, atau pelat plastik. Fase diam pada KLT merupakan

penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30

μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam, semakin

baik kinerja KLT dalam hal efisien dan resolusinya. Penjerap

yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk

selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama adalah pada

KLT yaitu adsorpsi dan partisi. Untuk tujuan tertentu, pejerap

atau fase diam dapat dimodifikasi dengan cara pembaceman. Fase

gerak dari pustaka dapat ditentukan dengan uji pustaka atau

dengan dicoba-coba karena pengerjaan KLT ini cukup cepat dan

mudah. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut

organik karena daya elusi campuran ini dapat diatur sedemikian

rupa sehingga pemisahan dapat terjadi dengan optimal. Dalam

pembuatan dan pemilihan fase gerak yang harus diperhatikan

yaitu kemurnian dari eluen itu sendiri karena KLT merupak

teknik yang sensitif; daya elusi dari pelarut itu juga harus

diatur sedemikian rupa agar harga Rf berkisar antara 0,2-0,8

yang menandakan pemisahan yang baik; polaritas dari pelarut

juga harus diperhatikan agar pemisahan terjadi dengan

sempurna. Ada 2 cara yang digunakan untuk menganalisis secara

kuantitatif dengan KLT. Pertama, bercak yang terbentuk diukur

langsung pada lempeng dengan menggunakan ukur luas atau dengan

teknik densitometri. Cara kedua yaitu dengan mengorek bercak

lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak

tersebut dengan menimbang hasil korekan.

Identifikasi secara kulitatif pada kromatografi kertas

khususnya kromatografi lapis tipis dapat ditentukan dengan

menghitung nilai Rf. Nilai Rf merupakan ukuran kecepatan

migrasi suatu senyawa. Harga Rf didefinisikan sebagai

perbandingan antara jarak senyawa titik awal dan jarak tepi

muka pelarut dari titik awal (ibnu,gholib 2007).

2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh

Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk

kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan

elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana

fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada

kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang

seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung

oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik.

Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan

sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gholib

Gandjar, 2007).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai

selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif,

kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki

system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam

kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi. Fase

gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak

sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan

secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada

pengembangan secara menurun (descending) (J. Gritter, 1991).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah

dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom.

Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi

lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan

dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan

setiap saat secara cepat.

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini (Gholib

Gandjar, 2007) :

Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan

analisis.

Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan

pereaksi warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan

sinar ultraviolet.

Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun

(descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.

Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen

yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya

komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau

berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas pemurnian,

menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta

memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk

obat. Analisa kualitatif dengan KLT dapat dilakukan untuk uji

identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan

untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif

dilakukan dengan 2 cara, yaitu mengukur bercak langsung pada

lengpeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik

densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak

lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak

dengan metode analisis yang lain, misalnya dengan metode

spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang

ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan yang besar lalu

dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non- dekstruktif.

Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok

dan dilakukan analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).

2.3 Nilai RF

Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang

ditempuh oleh senyawa pada permukaan fase diam dibagi dengan

jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak. Semakin

besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak

bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis

tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah

kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila

senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi

dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis

( Handayani, 2008)

Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam

mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi nilai Rf

memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf Standart dari senyawa

tersebut maka senyawa tersebut dapat dikatakan

memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila

nilai Rfnya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan

merupakan senyawa yang berbeda. Namun perbedaan perlakuan

dalam percobaan kromatografi lapis tipis juga akan

mempengaruhi nilai Rf sampel yang diidentifikasi (Parmeswaran,

2013). Nilai Rf Standart dari piperin adalah 0,42+0,03 (Vyas

et all, 2011)

2.4 Polaritas dalam KLT

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi

lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan

hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2

pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini

dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat

terjadi secara optimal (Gholib, 2007).

Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel

dengan adanya pelarut tertentu dapat dilihat sebagai

pengabungan 2 interaksi yang saling berkompetisi. Pertama,

gugus polar dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit

untuk terikat pada permukaan silika gel. Dengan demikian, jika

pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan berinteraksi

kuat dengan permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit

tempat bagi analit untuk terikat pada silika gel. Akibatnya,

analit akan bergerak cepat melewati fasa diam dan keluar dari

kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada

pelarut dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam

analit dan mencegah interaksi analit pada permukaan silika

gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan cepat

meninggalkan fasa diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat

digunakan untuk kromatografi dapat dievaluasi dengan

memperhatikan tetapan dielektrik (ε) dan momen dipol (δ)

pelarut. Semakin besar kedua tetapan tersebut, semakin polar

pelarut tesebut. Sebagai tambahan, kemampuan berikatan

hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan (Tim

Penyusun, 2010).

2. 5 MSDS Bahan :

1. Piperin

Merupakan senyawa alkaloid dengan kelarutan dalam

air 40 mg/L atau 1g/25L (18C), larut dalam alkohol

(1g/15mL, larut dalam eter (1g/36mL), larut dalam

kloroform 1g/1.7mL). memiliki rumus molekul C17H19NO3

dengan Mr 285,34 g/mol. Densitas senyawa ini adalah 1,193

g/cm3 dan titik lelehnya 1300C (anonim, 2012)

2. Eluen

Memiliki nama IUPAC Methylbenzene dengan rumus

molekul C7H8 dan Mr 92, 14 g/mol. Memiliki densitas 0,87

g/ml dan titik leleh -950C dan titik didih 1110C.

Merupakan hidrokarbon aromatik yang banyak digunakan

dalam industri sebagai solven (Anonim, 2012)

3. Etil Asetat

 adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.

Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat.

Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma

khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et

mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat

diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut.memiliki

Mass Molar 88,12 g/mol. Memiliki densitas 0,897 g/cm3 dan

titil lebur -83,60C serta titik didih 77,10C

(Anonim,2012).

3. Alat dan Bahan

Alat :

Gelas ukur 10 ml dan 25 ml

Pipet tetes

Plat KLT

Pipa kapiler

Chamber

Kertas saring

Cawan petri

Pensil 2B

UV

Label

Penggaris

Bahan :

Toluene

Etil asetat

Dragendorf

Piperin

4. Prosedur Kerja

- Dibersihkan

- Pada chamber A dimasukkan eluen dengan perbandingan

toluen : etil asetat = 70 : 3 atau 9,6 ml toluen dengan

0,4 ml etil asetat

- Pada Chamber B dimasukkan eluen dengan perbandingan

toluen ; etil asetat = 70: 30 atau 7 ml toluen dengan 3

ml etil asetat

- Pada chamber C dimasukkan eluen dengan berbandiangan

toluen : etil asetat = 35 : 3 atau 9,2 ml toluen dengan

0,8 ml etil asetat

- Masing-masing chamber dimasukkan kertas saring dan

ditutup dengan plat kaca agar eluen tidak menguap

- Setelah kertas saring terbasahi maka di ambil kertas

saring tersebut dan chamber siap digunakan.

Pipierin

Chamber

- Di ambil dengan pipa kapiler yang telah di bilas dengan

etanol

- Di totolkan pada 3 plat KLT yang sudah di beri batas

bawah 1,5 cm, dan batas atas 0,5 cm

- Plat di masukkan dalam masing-masing Chamber

- Dieluasi plat pada masing-masing eluen yang telah dibuat

- Diamati plat KLT secara visual

- Di lihat dibawah sinar UV 365 nm

- Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

- Di celupkan pada reagen dragendorft

- Dihitung Rf pada masing-masing KLT

- Didiskusikan mengapa harga Rf berbeda pada setiap platnya

5. Hasil Data Pengamatan :

5.1 Pengamatan warna

No Chamber Secara

Visual

UV – 368

nm

UV – 254

nm

Dragendorf

1. A Tidak

Terlihat

Biru Hijau Kuning

2. B Tidak

Terlihat

Biru Hijau Kuning

3. C Tidak

Terlihat

Biru Hijau Kuning

5.2 Perhitungan Rf

RfA =0,5cm8cm = 0,0625

Hasil

RfB = 3,3cm8cm = 0,4125

RfC = 1,1cm8cm =0,1375

5.3 Gambar (ditempel Plat)

6. Pembahasan

6.1 Perubahan warna

Perubahan warna yang terjadi adalah pada saat diberi sinar UV.

Fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali

memiliki substansi yg ditambahkan kedalamnya supaya

menghasilkan pendaran flour ketika di berikan sinar UV .

Sehingga pada saat dilihat dibawah sinar UV dengan panjang

gelombang 254 , tampaklah warna hijau . Berdasarkan Hernando

dan Leon , terbentuknya warna putih kekuningan pada saat

penyemprotan dragendorff adalah menandakan bahwa dalam bahan

uji terdapat kandungan alkaloid (Hernando,1992).

6.2 Hubungan kepolaritasan dengan nilai Rf

Ketika memisahkan dua atau lebih senyawa melalui kromatografi,

sangat penting untuk memilih pelarut yang benar sebagai fase

gerak. Jika terlalu lemah pelarut yang dipilih dari eluting,

akan memakan waktu yang sangat lama dan volume pelarut yang

digunakan sangat besar untuk mengelusi senyawa. Jika terlalu

kuat pelarut yang dipilih dari eluting

, semua senyawa akan segera dielusi. Senyawa polar dengan

mudah larut dalam pelarut polar

dan memiliki afinitas rendah untuk pelarut nonpolar. Senyawa

memiliki

afinitas tinggi untuk pelarut dengan polaritas yang mirip

dengan diri mereka sendiri (Serma and Bernard, 2003)

Nilai Rf tergantung pada (Bidlingmayer, 1987):

• Sifat polar pelarut yang digunakan

• Sifat Polar dari fase diam

• Sifat Polar sampel

• Kondisi percobaan

Suatu senyawa yang mempunyai nilai lipofilitas tinggi

berarati mudah larut dalam lipid atau pelarut non polar, maka

akan mempunyai harga Rf yang rendah sedangkan senyawa yang

mempunyai nilai lipofilitas rendah berarti senyawa tersebut

tidak mudah larut dalam lipid atau pelarut non polar, maka

harga Rf-nya bernilai tinggi. Fase gerak yang digunakan

dilakukan pemilihan beberapa campuran fase gerak atau eluen

dengan berbagai perbandingan untuk mendapatkan campuran fase

gerak yang optimum (Gunardi, dkk., 2009)

Telah disebutkan sebelumnya bahwa polaritas sampel dan

laju pergerakan berbanding terbalik. Semakin tinggi polaritas

senyawa, fase diam dari senyawa dengan afinitas yang lebih

besar akan mempunyai nilai Rf yang semakin kecil. Semakin

rendah polaritas senyawa, semakin tinggi afinitas untuk

pelarut dan semakin besar nilai Rf. Jika pelarut berubah dari

pelarut polaritas rendah (seperti hexane) ke polaritas yang

lebih tinggi (seperti etil asetat)

kekuatan eluasi akan meningkat dan akan meningkatkan semua

nilai-nilai Rf. Tempat dengan nilai Rf tertinggi adalah yang

paling polar (bergerak tercepat), dan tempat dengan nilai Rf

terendah adalah yang paling polar (bergerak lambat) (Serma and

Bernard, 2003).

6.3 Pembahasan penggunaan kombinasi eluen

Dalam percobaan ini digunakan beberapa macam perbandingan

kombinasi eluen antara toluene dan etil asetat. Hal ini

dikarenakan berbagai senyawa fitokimia memberikan nilai Rf

yang berbeda pada sistem eluen yang berbeda. Variasi nilai Rf

pada fitokimia memberikan petunjuk penting dalam memahami

polaritas senyawa fitokimia serta membantu untuk memilih

sistem pelarut yang sesuai untuk pemisahan senyawa murni

dengan menggunakan kromatografi kolom. Campuran pelarut dengan

polaritas yang bervariasi pada perbandingan yang berbeda-beda

dapat digunakan untuk memisahkan senyawa murni tertentu dari

ekstrak tanaman. Pemilihan sistem pelarut yang sesuai untuk

ekstrak tanaman tertentu hanya dapat dicapai dengan

menganalisa nilai Rf senyawa pada sistem pelarut yang berbeda-

beda. Dengan demikian informasi ini dapat membantu untuk

pemilihan sistem pelarut yang sesuai untuk pemisahan senyawa

lebih lanjut dari ekstrak tanaman (Sharma dan Paliwal, 2013).

6.4 Korelasi nilai Rf hasil dengan Rf piperine serta eluen

yang sesuai untuk identifikasi kualitatif piperin

Dari hasil percobaan dengan ketiga campuran eluen yang

berbeda didapatkan jarak totolan pada perbandingan eluen

toluen:etil asetat = 70:3 adalah 0,5 cm sehingga Rf 0,0625.

Pada perbandingan eluen toluen:etil asetat = 70:30 jarak

totolan adalah 3,3 cm sehingga Rf 0.4125. Sedangkan pada

perbandingan eluen toluen:etil asetat = 35:3 jarak totolan

adalah 1,1 cm sehingga Rf 0,1375. Berdasarkan literature

diketahui bahwa toluen adalah senyawa non polar dan etil

asetat adalah senyawa polar. Sehingga dari ketiga eluen yang

bersifat paling non polar adalah perbandingan eluen

toluen:etil asetat = 70:3, lalu 35:3 dan yang paling polar

70:30. Dengan urutan fase gerak dari yang paling non polar,

didapatkan Rf 0,0625 ; 0,1375 dan 0,4125.

Silica yang merupakan fase diam bersifat polar. Sedangkan

piperin merupakan senyawa non polar. Dari perhitungan Rf pada

percobaan, diketahui bahwa piperin memiliki nilai yang lebih

tinggi pada fase gerak yang lebih polar dan paling rendah pada

fase gerak yang bersifat paling non polar.

Berdasarkan literatur, nilai Rf Standart dari piperin

adalah 0,42+0,03 (Vyas et all, 2011). Oleh karena itu, dari

hasil percobaan ini eluen yang sesuai untuk identifikasi

kualitatif piperin adalah eluen dengan perbandingan toluene :

etil asetat = 70 : 30 dengan nilai Rf 0,4125 karena nilai Rf

tersebut mendekati nilai Rf standart dari piperin.

Seharusnya, semakin rendah polaritas senyawa, semakin

tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf.

Namun pada percobaan ini, piperin yang bersifat non polar

lebih tertarik ke fase gerak yang bersifat paling non polar

yaitu perbandingan eluen toluen:etil asetat = 70:3 tetapi

jarak pergerakan totolan piperin lebih dekat dan diperoleh

nilai Rf yang paling rendah. Hal ini karena pada dasarnya

piperin yang merupakan senyawa non polar akan lebih tertarik

untuk ke fase gerak yang non polar, dibandingkan dengan fase

diam yang polar, sesuai dengan prinsip like dissolve like.

Kesalahan yang terjadi pada praktikum ini disebabkan

karena beberapa hal. Diantaranya perhitungan dan pengukuran

toluene dan etil asetat yang digunakan sebagai eluen sehingga

polaritas campuran berbeda. Saat memasukkan campuran eluen,

kemungkinan pelarut kurang homogen, serta saat memasukkan

pelarut ke dalam chamber kurang hati-hati sehingga sebelum

chamber ditutup pelarut ada yang menguap terlebih dahulu.

Selain itu standar piperin yang digunakan kemungkinan tidak

murni akibat kontaminasi sehingga polaritas piperin pun

berbeda. Kontaminasi dapat pula terjadi akibat pembilasan pipa

kapiler dengan etanol yang kurang sempurna sehingga

mengkontaminasi piperin standar. Di samping itu, saat

mentotolkan standart tidak dalam kondisi yang benar-benar

tegak sehingga terjadilah hasil noda berbentuk lonjong yang

seharusya bulat. Hal tersebut dapat mempengaruhi nilai Rf yang

didapatkan.

7. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa

semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari senyawa

dengan afinitas yang lebih besar akan mempunyai nilai Rf yang

semakin kecil. Dan sebaliknya Semakin rendah polaritas

senyawa, semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin

besar nilai Rf . Menurut hasil percobaan, eluen yang sesuai

untuk identifikasi kualitatif piperin adalah eluen dengan

perbandingan toluene : etil asetat = 70 : 30 dengan nilai Rf

0,4125 karena nilai Rf tersebut mendekati nilai Rf standart

dari piperin yaitu 0,42+0,03.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Material Safety Data Sheet.

http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/piperin. htm.

diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.05.

Anonim, 2012. Material Safety Data. Sheet.

http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/toluen. htm.

diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.15.

Anonim, 2012. Material Safety Data.

Sheet.http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/etil asetat.

htm. diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.25.

Bernaseoni,G. 2005. Teknologi Kimia. PT Padya Pranita. Jakarta.

Bidlingmayer, Bryan A. 1987. Preparative Liquid Chromatograph.

Elsevier Publishing Company Inc. Amsterdam.

Consden, Gordon dan Martin 1994. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan

Istilah. Gramedia, Jakarta.

Ewing, Galen Wood. 1985. Instrumental of Chemical Analysis Fifth

edition. McGraw-Hill. Singapore.

Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Gunardi, Ratna Asmah S, Bambang Tri Purwanto, Edy

Sulistyowati, Siti Musinah., Metode RPTLC dan Optimasi Fase

Gerak Dalam Penetapan Harga Rm Sebagai Salah Satu Parameter

Lipofilisitas Dalam Rancangan Obat. Semarang: Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Indonesia

Wilayah Jawa Tengah, 2009; 5(43), 254-259

Handayani, 2008. Sintesis Senyawa Flavonoid-α-Glikosida secara Reaksi

Transglikosilasi Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Vol. 9,

No. 1, Januari 2008, hal. 1-4

Hernando, J.E. And J. Leon. 1992. Plant Production and Protection

Series. No. 26. FAO. Italy.

Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Keenan, Charles W. dkk.. 2002. Kimia Untuk Universitas Jilid 2.

Erlangga. Jakarta.

Prameswaran, Sandhya. 2013. Quantitation estimation of Piperine, 18-beta

Glycyrrhetinic acid and 6-gingerol from Suryacid tablet formulation by HPLTC

method. Int. J. Res. Pharm. Sci 4(3),453-459.

Roy J. Gritter, 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB.

Bandung.

Serma, J and Bernard F., 2003. Handbook of Thin-Layer Chromatography

Third edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker Inc. New

York.

Sharma, Veena dan R. Paliwal. 2013. Preliminary phytochemical

investigation and thin

layer chromatography profiling of sequential extracts of Moringa oleifera

pods. International Journal of Green Pharmacy. India

Tim Penyusun. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Organik Farmasi. Lab.

Kimia Organik FMIPA ITB. Bandung

Vyas et al., Orient. J. Chem., TLC Densitometric Method for the

Estimation of

Piperine in Ayurvedic Formulation Trikatu Churna. Vol. 27(1), 301-304

(2011)