“Korean Wave” di Industri Kultur Dunia

12
Korean Wave” di Industri Kultur Dunia Priska Sabrina Luvita BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi merupakan sebuah fenomena, atau era di mana kita hidup sekarang. Istilah globalisasi itu sendiri sebenarnya banyak memperoleh perdebatan oleh para kaum intelektual dunia, namun secara umum, Globalisasi banyak dicirikan dengan kemudahan dan kecepatan memperoleh informasi, perputaran capital di dunia, semakin tidak berartinya batas-batas tiap negara, dan lain sebagainya yang dapat membuat dunia menjadi lebih sempit. Globalisasi sesungguhnya juga memberikan kita kemudahan untuk mentransfer kultur atau budaya beserta ide-ide kreatif masyarakat dunia secara cepat. Maraknya fenomena ―K-Pop‖ atau ―Korean Wave‖ –dapat disebut juga ―Hallyu‖ dalam bahasa Koreamerupakan salah satu dari budaya yang sedang sangat diminati masyarakat dunia sekarang ini. Awal istilah ―Korean Wave‖ ini muncul sebenarnya untuk menunjukkan maraknya produk-produk dari Korea Selatan di luar negerinya, namun pada perkembangannya sekarang, istilah ini berkembang dan digunakan untuk menyebutkan para selebritis-selebritis asal Korea Selatan yang berhasil mengepakkan sayapnya di dunia internasional. Dalam beberapa tahun terakhir ini, ―Korean Wave‖ muncul dan mendominasi kultur masyarakat dunia, mulai banyaknya minat untuk membeli banyak produk-produk Korea Selatan (terutama yang diiklankan atau dipakai oleh selebritis ―Hallyu‖) seperti CD, poster, dan pernak-pernik lainnya. Sepanjang tahun 2009 sampai 2011 pun selebritis- selebritis asal Korea Selatan yang mengadakan ajang temu fans dan konser meningkat drastis. Seringnya diputarkan lagu-lagu selebritis ―Hallyu‖ di televisi dan radio, bahkan

Transcript of “Korean Wave” di Industri Kultur Dunia

“Korean Wave” di Industri Kultur Dunia

Priska Sabrina Luvita

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Globalisasi merupakan sebuah fenomena, atau era di mana kita hidup sekarang.

Istilah globalisasi itu sendiri sebenarnya banyak memperoleh perdebatan oleh para kaum

intelektual dunia, namun secara umum, Globalisasi banyak dicirikan dengan kemudahan

dan kecepatan memperoleh informasi, perputaran capital di dunia, semakin tidak

berartinya batas-batas tiap negara, dan lain sebagainya yang dapat membuat dunia

menjadi lebih sempit.

Globalisasi sesungguhnya juga memberikan kita kemudahan untuk mentransfer

kultur atau budaya beserta ide-ide kreatif masyarakat dunia secara cepat. Maraknya

fenomena ―K-Pop‖ atau ―Korean Wave‖ –dapat disebut juga ―Hallyu‖ dalam bahasa

Korea—merupakan salah satu dari budaya yang sedang sangat diminati masyarakat dunia

sekarang ini. Awal istilah ―Korean Wave‖ ini muncul sebenarnya untuk menunjukkan

maraknya produk-produk dari Korea Selatan di luar negerinya, namun pada

perkembangannya sekarang, istilah ini berkembang dan digunakan untuk menyebutkan

para selebritis-selebritis asal Korea Selatan yang berhasil mengepakkan sayapnya di

dunia internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ―Korean Wave‖ muncul dan mendominasi

kultur masyarakat dunia, mulai banyaknya minat untuk membeli banyak produk-produk

Korea Selatan (terutama yang diiklankan atau dipakai oleh selebritis ―Hallyu‖) seperti

CD, poster, dan pernak-pernik lainnya. Sepanjang tahun 2009 sampai 2011 pun selebritis-

selebritis asal Korea Selatan yang mengadakan ajang temu fans dan konser meningkat

drastis. Seringnya diputarkan lagu-lagu selebritis ―Hallyu‖ di televisi dan radio, bahkan

2

tempat penjualan DVD-DVD di Indonesia yang tadinya hanya memberikan satu slot kecil

untuk DVD-DVD Korea Selatan, bertambah tiga kali lipat di setiap konter DVD.

Fenomena ini juga membuat restoran makanan Korea dan penjualan baju-baju ala Korea

Selatan mulai banyak bermunculan di sekitar masyarakat, seperti masyarakat Indonesia.

Hal menarik lain adalah banyak bermunculannya artis boyband dan girlband di

Asia (bahkan Indonesia) dengan konsep yang sejenis dengan artis-artis ―Hallyu‖ dan

mulai aktif kembali boyband-boyband yang berasal dari Barat seperti New Kids On The

Block dan BackstreetBoys.

Fenomena ini sesungguhnya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas,

terlebih karena fenomena ini merupakan fenomena baru dan tengah berkembang di

masyarakat dan industri kultur dunia. Serta karena masyarakat dunia sekarang ini

cenderung bersikap ―taken for granted‖ fenomena ―Korean Wave‖ ini tanpa mengkaji

apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya fenomena ini di dunia sekarang ini.

I.2. Batasan Masalah

Penulis akan membatasi makalah ini pada periode waktu tahun 2005 sampai

dengan tahun 2011.

I.3. Perumusan Masalah

1. Bagaimana fenomena ―Korean Wave‖ ini berperan dalam industri kultur dunia

sekarang ini?

3

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Kemunculan dan Dampak “Korean Wave” di era Globalisasi

Setelah dilacak awal mula meledaknya fenomena yang sekarang disebut ―Korean

Wave‖ ini, ternyata dimulai dari ekspor Drama Televisi Korea Selatan (mini-series atau

sejenis sinetron di Indonesia) ke China pada tahun 1990an.1 Kemudian muncul istilah

―Korean Wave‖ atau yang kerap disebut ―Hallyu‖ dalam bahasa Korea yang pertama kali

dimunculkan oleh seorang jurnalis China saat menuliskan maraknya minat akan Korea

Selatan beserta produk-produknya di China pada awal tahun 2000.2 Melihat dari awal

kemunculannya, budaya populer atau popular culture (disingkat menjadi pop culture) –

yang dalam hal ini merupakan budaya pop dari Korea Selatan—merupakan suatu

fenomena yang sangat kuat dan signifikan dalam mempengaruhi perkembangan

hubungan perekonomian antara Korea Selatan dan China pada awal tahun 2000. Lalu

berkembang pesat di Jepang pada tahun 2003-2005 dengan diputarnya drama Korea

―Winter Sonata‖.3 Kemudian pada akhirnya mulai mendominasi Asia sekitar tahun 2007-

2009.

Dan lebih dari segalanya, fenomena ini dapat terjadi karena adanya kesempatan

yang diberikan oleh globalisasi itu sendiri, sesuai dengan salah satu deskribsi dari

globalisasi sebagai berikut:

Globalization is an amorphous concept that describes a variety of different

economic, social, and cultural processes. ….increasing speed of

communication and transportation technologies, growing trade

interdependence and capital mobility, shifts in processes of production that

bring multiple countries and regions into single supply chains, the erosion of

national borders through increased immigration, and the growth of global

1 Korean Culture and Information Service. The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon. Korean

Culture and Information Service (Korea Selatan, 2011), 11. 2 http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/08/30/AR2006083002985.html diakses

pada hari Selasa, 20 Desember 2011, pukul 21.22 WIB. 3 Korean Culture and Information Service, Ibid., 23.

4

public goods problems relating to environmental degradation, transnational

crime, and transnational terrorism.4 (Penekanan ditambahkan sendiri)

Kemudian dengan cara yang sama, fenomena ―Korean Wave‖ terus merambah dunia

dengan ikut dalam arus globalisasi dan teknologi informasi yang ada.

―Korean Wave‖ lebih lanjut dalam era globalisasi dimanfaatkan –sengaja

disebarkan untuk menarik dan menumbuhkan minat konsumtif kepada segala produk

buatan Korea Selatan, gaya hidup orang Korea Selatan, menarik para turis untuk datang

dan berbelanja di Korea Selatan, dan bahkan merubah pandangan sentimen akan Korea

Selatan. Hal ini cukup secara eksplisit dijelaskan pada buku yang diterbitkan sendiri oleh

Korean Culture and Information Service (KOCIS) yang bergerak di bawah Kementerian

Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan berjudul The Korean Wave: A New Pop

Culture Phenomenon.5 Pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa ―Korean Wave‖

dimanfaatkan untuk mengubah dan mengatur pola pikir dan keinginan masyarakat dunia

agar pro-Korea (Selatan).

Keberhasilan ―Korean Wave‖, para agensi-agensi penghasil selebriti-selebriti

―Hallyu‖, para produser pencipta drama-drama Korea dan para selebriti-selebriti

―Hallyu‖ itu sendiri inilah yang dari periode sejak munculnya ―Korean Wave‖ yang

membuat maraknya industri hiburan serupa muncul dalam berbagai dimensi. Munculnya

banyak generasi muda yang ingin bercita-cita menjadi selebriti, banyaknya bermunculan

boyband dan girlband secara bertubi-tubi tiap tahunnya di Korea Selatan sendiri –tanpa

menampikkan bahwa telah muncul banyaknya agensi yang menciptakan boyband dan

girlband serupa di Asia Tenggara, seperti Indonesia6, Malaysia

7, dan lain sebagainya.

II.2. “Korean Wave” dan Industri Kultur Dunia

Dari penjabaran singkat kemunculan dan sedikit dampak dari fenomena ―Korean

Wave‖ ini, fenomena ini sesungguhnya dapat dikategorikan dan dianalisa dengan konsep

―Culture Industry‖ yang dicetuskan Theodore W. Adorno dan Max Horkheimer pada

4 Daniel H. Nexon dan Iver B. Neumann. “Harry Potter and International Relations”. Rowman &

Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006), 81. 5 Korean Culture and Information Service, Ibid., 13-14

6 Seperti Cherrybelle, SM*SH, S9B, dan banyak lainnya.

7 Seperti boyband pertama Malaysia, MAX 247 yang muncul di awal tahun 2011 dan girlband Gula-Gula.

5

buku yang mereka tulis bersama berjudul ― The Dialectic of Enlightenment‖8 karena

fenomena ini merupakan pengindustrian dan penyebaran budaya di era globalisasi oleh

kaum kapitalis. Fenomena yang merupakan sebuah skema penipuan di zaman kapitalisme

baru. Budaya, yang pernah bisa memungkinkan adanya unsur kebebasan dan kreativitas

individu, telah –melalui difusi massa film dan radio—menjadi ―industri kultur‖ lengkap

dengan ―cult of celebity‖ (pengkultusan selebriti, atau lebih lanjut dirumuskan dalam

konsep fetishme komoditas) yang memiliki mekanisme sosial tetap untuk menurunkan

derajat setiap orang.9

Mengapa menurunkan derajat manusia? Hal ini dikarenakan industri kultur

mengkontrol dan mengerahkan pikiran masyarakat, membuat suatu ―standarisasi‖ budaya

sesuai dengan budaya ―Korean Wave‖, dan membuat manusia –dalam hal ini selebritis

―Hallyu‖ beserta manusia lain yang menikmati ―Korean Wave‖—tidak lebih sebagai alat

dan komoditas dari kaum kapitalis. Yang seluruh hal tersebut dimanfaatkan kaum

kapitalis untuk menghasilkan profit.

Pertama, masalah industri kultur mengontrol dan mengerahkan pikiran

masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan pada sub-bab selanjutnya, ―Korean Wave‖

beserta seperangkat hasil produksinya (termasuk produk dan selebritinya) mampu untuk

mempengaruhi keinginan masyarakat untuk membeli produk-produk yang bernuansa

Korea Selatan, berwisata ke Korea Selatan, menunggu kedatangan selebriti ―Hallyu‖ di

airport, dan merubah sentimen negatif terhadap Korea Selatan –terutama China dan

Jepang yang memiliki sejarah panjang ketegangan dengan Korea Selatan, yang kemudian

kedua negara ini menjadi sasaran pertama dari ―Korean Wave‖.

Yuko Ishii (53 tahun), seorang pekerja di Tokyo berkata, ―I used to rule out

Korean products, but now I have no problem with them. If my favorite star was

advertising a South Korean TV, I would definitely buy it. I want to feel closer to them by

buying the same products they use.‖10

. Ishii di sini merupakan contoh kongkrit dari

kuatnya industri kultur untuk mengontrol pikiran dan kemauan masyarakat, bahkan

8 Pertama kali buku Dialectic of Enlightenment muncul dengan judul Philosophical Fragments pada tahun

1944 dan berganti dalam judul yang lebih umum dikenal pada tahun 1947. Lebih lanjut lihat di Jenny

Edkins dan Nick Vaughan Williams, ed., Critical Theorists and International Relations (Amerika Serikat:

Routledge, 2009). 9 Ibid., halaman 16.

10 http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-buy-samsung-lg-

goods.html diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2011, pukul 15.32 WIB.

6

masyarakat yang sebelumnya memiliki sentimen negatif terhadap hal tersebut, saat Ia

merasakan perubahan cara pikir pun Ishii tidak merasa hal tersebut sebagai suatu hal

yang salah atau aneh saat ―Korean Wave‖ membuatnya berpikir dan bertindak seperti itu.

Ilusi bahwa dengan membeli produk yang ditawarkan oleh selebriti ―Hallyu‖ membuat

Ishii menjadi lebih dekat dengan selebriti tersebut juga menciptakan ―kebahagiaan palsu‖

yang diberikan industri kultur. Sesuai dengan pernyataan Adorno, “[T]he culture

industry forsakes the promise of happiness in the name of the degraded utopia of the

present. This is the ironic presentation of the present.‖11

Perubahan cara pikir dan sifat

konsumerisme dengan ilusi palsu inilah yang dimaksud Adorno sebagai salah satu

pendegradasian manusia, karena dominasi dan opresi tersebut tidak terlihat dan

tersembunyi.12

Seluruh aksi-aksi yang memerlukan pengorbanan waktu, tenaga pikiran, dan

materi masyarakat tersebut juga dilakukan dengan senang hati. Sesungguhnya

penyebaran fenomena ini sangatlah politis dan kuat, begitu kuatnya sehingga dapat

diterima dengan tangan terbuka. Hal yang patut disayangkan lagi, karena arus globalisasi,

segala macam komoditas –termasuk produk ―Korean Wave‖ dan selebritinya—menjadi

semakin mudah terjangkau dan oleh karenanya lebih mampu mendominasi kesadaran

seseorang.13

Kedua, industri kultur ―Korean Wave‖ membuat sebuah standarisasi budaya.

Pandangan industri kultur yang dikonsepsikan oleh Adorno mengenai standarisasi budaya

adalah bahwa sesungguhnya hasil produksi atau komoditas yang dihasilkan di industri

budaya tertentu akan sama satu dengan yang lainnya. Akan tetapi produksi budaya

tersebut juga menganugrahkan suatu rasa individualitas dalam artian bahwa setiap produk

―memiliki nuansa individual‖.14

Nuansa individual ini berfungsi untuk mengaburkan

standarisasi dan manipulasi kesadaran yang dipraktikkan oleh industri kultur, hal yang

disebut ‗individualisasi semu‘ oleh Adorno. Untuk beberapa orang yang mendukung

fenomena ―Korean Wave‖ dan yang memilih untuk mengabaikannya, mereka tidak akan

11

Theodore W. Adorno. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika Serikat:

Routledge, 1999), 9 12

Ibid. 13

Dominic Strinati. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge (London,

1995), 105. 14

Ibid., 109

7

menganggap adanya standarisasi atas produk ―Korean Wave‖ dan berargumen bahwa

banyak perbedaan-perbedaan ―individualisasi‖ di tiap-tiap produk. Namun, pernahkah

Anda melihat girlband atau boyband ―Hallyu‖ dan berpikir bahwa mereka semua

―sama‖? Atau mendengar sederet lagu-lagu ―Hallyu‖ yang terdengar ―mirip‖ satu sama

lain? Atau menonton suatu film, drama, acara televisi dan berkata bahwa itu ―sangat

Korea‖?

Tanpa disadari, ―Korean Wave‖ menciptakan suatu standart baru untuk kultur di

dunia. Karena melihat minat, atau ―permintaan‖ dalam bahasa kapitalis, akan seluruh

komoditas bernuansa ―Korean Wave‖, maka diproduksilah komoditas serupa untuk

memenuhi permintaan masyarakat –tentunya dengan memberikan individualisasi semu.

Salah satu contoh dari standarisasi ―Korean Wave‖ dalam industri musik yang paling

sederhana adalah jumlah anggota dari boyband atau girlband yang muncul akhir-akhir

ini. Dulu, di saat industri musik boyband datang dari Barat, jumlah anggota sebuah

boyband berkisar antara 4-5 orang per grup.15

Sedangkan boyband dan girlband ―Korean

Wave‖ distandarisasikan berjumlah 6 orang atau lebih, karena pioneer boyband dan

girlband terdepan ―Korean Wave‖ terkenal dengan jumlah anggotanya yang banyak.16

Salah satu hal yang menjadi daya tarik mereka. Standart ini lah yang membuat fenomena

boyband dan girlband yang muncul di kawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini mengikuti

standart ―Korean Wave‖, yaitu beranggotakan 6 orang atau lebih.17

Lebih lanjut, Youtube sebagai website terkenal dalam memberikan sarana video-

video berskala global membuat kategori K-Pop pada 15 Desember 201118

yang

merupakan pertama kalinya sebuah katagori musik suatu negara dijadikan genre musik

sendiri, bahkan J-Pop pun tidak. Hal ini lebih lanjut akan menumbuhkan ―kemiripan,

namun dengan tambahan individualisasi semu‖ pada musik-musik yang termasuk –atau

ingin masuk dalam kategori ini. Yang karenanya, lebih memungkinkan standarisasi

―Korean Wave‖ dapat dilihat dan dirasakan secara lebih eksplisit.

15

Seperti contohnya Backstreet Boys, Blue, Westlife, dan lain sebagainya yang hanya memiliki 4-5 orang

anggota. 16

Seperti Super Junior (13 orang), Girls‘ Generation (9 orang), 2PM (6 orang), dan lain sebagainya. 17

Seperti SM*SH (6 orang), S9B (9 orang), 7Icons (7 orang), CherryBelle (9 orang), Gula-gula (6 orang),

MAX 247 (10 orang) dan lain-lain 18

http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/ diakses pada hari Kamis, 5

Januari 2012, pukul 15.59 WIB.

8

Terakhir, fenomena ―Korean Wave‖ ini sesungguhnya merupakan sebuah

fenomena di mana industri kultur diterapkan sesuai dengan industri komoditas-komoditas

lainnya di dalam logika kapitalisme. Manusia, selebritis-selebritis ―Hallyu‖ dan para

trainee atau orang-orang yang ingin menjadi selebriti ―Hallyu‖, hanya bernilai merupakan

means of production atau alat produksi bagi kaum kapitalis untuk mendapatkan profit.

Manusia dan budaya dinilai tidak lebih daripada benda mati lainnya yang dapat dibuang

dalam proses produksi. Maka dari itu kasus bunuh diri bukanlah suatu hal yang asing

dilakukan oleh selebritis ―Hallyu‖ yang kalah persaingan atau turun pamor. Dan manusia,

menjadi komoditas yang diperjual-belikan demi keuntungan pihak yang diuntungkan –

kaum kapitalis, jika mengikuti pandangan Adorno. Para penikmat fenomena ―Korean

Wave‖ juga dianggap tidak lebih dari suatu massa yang tidak berdaya, publik yang

―regresif‖, bergantung (pada candu budaya yang dihadirkan industri kultur), dan pasif.19

Tidak berharga jika tidak untuk memberikan keuntungan bagi kaum kapitalis.

II.3. Kaum Kapitalis, Industri Kultur, dan “Korean Wave”

Telah disinggung sebelumnya bahwa kaum kapitalis dalam pandangan Adorno

lah yang menjadi pihak pengeruk keuntungan dari fenomena industri budaya yang

semakin besar dampaknya setelah disebarkan melalui arus globalisasi ini. Namun, siapa

persisnya kaum kapitalis yang diuntungkan dalam fenomena ―Korean Wave‖ ini

sesungguhnya tidak dapat ditunjuk satu-per-satu secara jelas. Namun, setidaknya, pihak

yang mendapat keuntungan dari fenomena ini dan dengan sekuat tenaga menyebarkannya

tentu dapat diteliti secara perlahan, tanpa bermaksud menggugat pihak tersebut sebagai

―kaum kapitalis‖ tetapi bermaksud untuk mengidentifikasi tiga pihak –mungkin tidak

seluruhnya dari pihak— yang mendapat untung dan berusaha menyebarkan fenomena ini.

Pertama, pihak yang pasti mendapatkan keuntungan dari ―Korean Wave‖

tentunya merupakan para agensi-agensi besar di Korea Selatan yang pada awalnya

mengekspor hasil produksinya (berupa selebritis atau film). Atau yang dikenal sebagai

―The Big Three‖, yaitu SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment.

Salah satunya, SM Entertainment, merupakan pelopor ―Korean Wave‖ dalam bidang

19

Dominic Strinati. Ibid., 111

9

industri musik untuk memasuki pasar musik di Jepang.20

Namun ketiga agensi besar ini

mendapatkan profit yang terus meningkat seiring dengan kepemimpinannya mengekspor

selebritis ―Korean Wave‖ di industri kultur dunia.

Pandangan bahwa para selebritis ―Hallyu‖ juga mendapatkan keuntungan dengan

fenomena ―Korean Wave‖ di era globalisasi ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan mereka

hidup dengan kontrak yang ketat, bahkan banyak kasus tuntutan untuk agensi-agensi di

Korea Selatan (terutama ―The Big Three‖)21

dari para selebritisnya dan isu-isu ―slave

contract‖ atau kontrak perbudakan. Kasus bunuh diri di kalangan selebritis ―Hallyu‖ juga

bukan hal yang aneh didengar, karena sesuai dengan logika kapitalis, jika tidak

dibutuhkan maka tidak akan ada nilainya, sekalipun itu jiwa manusia. Hal ini kembali

lagi pada kritik kepada industri kultur ―Korean Wave‖ pada sub-bab sebelumnya.

Kedua, para produsen produk-produk Korea Selatan, seperti LG, Samsung, dan

lain sebagainya yang memakai para selebritis ―Hallyu‖ untuk mempromosikan produk

mereka. Karena para selebritis ―Hallyu‖ yang diproduksi oleh industri kultur ―Korean

Wave‖ memiliki kekuatan untuk mengontrol masyarakat untuk membeli produk-produk

yang mereka tawarkan. Seperti Yuko Ishii di atas merupakan salah satu contohnya. Dan

oleh karena itu, para produsen produk-produk Korea Selatan tersebut ikut membantu

mempromosikan ―Korean Wave‖ dengan caranya sendiri, salah satunya memberikan

sponsor. Namun, LG Electronics bahkan membantu mempromosikan ―Korean Wave‖

dengan cara membuka fitur ―K-Pop Service‖.22

Terakhir, pihak yang jelas mendapat untung dan oleh karenanya berusaha sangat

keras untuk mempromosikan fenomena ―Korean Wave‖ adalah Pemerintah Korea

Selatan. Naiknya penjualan produk-produk Korea Selatan, berkembangnya sektor

pariwisata dan berubahnya sentiment masyarakat internasional kepada negara Korea

Selatan secara eksplisit dibanggakan oleh Pemerintah Korea Selatan.23

Pemerintah Korea

20

http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html diakses pada

hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 20.54 WIB. 21

Seperti contoh, tuntutan salah satu anggota boyband Super Junior kepada agensinya, SM Entertainment

dengan alasan ―slave contract‖ dan lain sebagainya. Lebih lanjut lihat

http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-sm-entertainment diakses

pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 21.04 WIB. 22

http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-wave-of-pop-culture-

to-tvs-worldwide.jsp diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.10 WIB. 23

Lebih lanjut baca The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon yang diterbitkan dibawah

naungan Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan.

10

Selatan bahkan sejak awal ikut berperan aktif dalam pengeksportan indusri kultur

―Korean Wave‖. Bahkan secara politis menyebarkan industri ini ini dengan cara

menyebarkan kalender K-Pop ke 170 Kedutaan Besar di dunia pada tahun 2011.24

Dan di

dalam negerinya, Pemerintah Korea Selatan sengaja mengadakan seminar untuk

masyarakat untuk mengangkat derajat ―pekerjaan‖ para selebritis ―Hallyu‖ di mata

masyarakat dengan mengatakan bahwa, “Becoming a celebrity is harder than being

admitted to Seoul University.”.25

Hal yang pada akhirnya tentu akan mendorong

peningkatan generasi muda Korea Selatan untuk ingin mengambil profesi sebagai

selebritis, dan oleh karenanya, sources untuk memproduksi selebritis ―Korean Wave‖

akan terus bertambah, serta industri kultur ―Korean Wave‖ lalu tetap berjalan dan

mendominasi.

24

http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-to-embassies-around-

the-world diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 13.36 WIB. 25

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees

diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.26 WIB.

11

BAB III

PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa fenomena ―Korean Wave‖ yang tengah marak disajikan

dalam globalisasi sekarang ini sesungguhnya tidaklah sebaik apa yang ada di permukaan.

Terlebih, fenomena ini dapat dikaji dan dikatagorikan ke dalam industri kultur yang

memiliki dampak mendegradasi manusia dan budaya menjadi tidak lebih untuk

mendatangkan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu.

Budaya yang diproduksi melalui ―Korean Wave‖ akhirnya menjadi suatu

standarisasi budaya dengan tambahan individualisasi semu untuk menyembunyikan dan

menutupi standarisasi dan proses dominasi. Produk yang dihasilkan juga memberikan

ilusi kebahagiaan semu kepada manusia yang menikmati ―candu budaya‖ tersebut.

Dengan ini penulis berharap bahwa di masa depan kita akan dapat secara lebih

dalam mengkaji fenomena industri kultur yang disebarkan dalam arus globalisasi. Agar

masyarakat memiliki kesadaran akan apa yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu

proses dominasi yang kuat dari industri kultur dunia.

Untuk di masa depan, mungkin industri kultur ―Korean Wave‖ akan digantikan

oleh industri kultur lain, tetapi industri kultur tersebut akan tetap memiliki tujuan yang

sama untuk mengontrol dan mendominasi masyarakat demi mengeruk keuntungan bagi

kaum kapitalis. Maka, kita harus waspada dan secara kritis menganalisa kejadian-

kejadian yang ada sekarang dan membuka dominasi yang ada di dalamnya.

12

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodore W. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika

Serikat: Routledge, 1999)

Edkins, Jenny dan Williams, Nick Vaughan, ed., Critical Theorists and International

Relations (Amerika Serikat: Routledge, 2009).

Korean Culture and Information Service (KOCIS). The Korean Wave: A New Pop

Culture Phenomenon. Korean Culture and Information Service (Korea Selatan,

2011)

Nexon, Daniel H. dan Neumann, Iver B. “Harry Potter and International Relations”.

Rowman & Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006)

Strinati, Dominic. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture.

Routledge (London, 1995)

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-

of-idol-trainees

http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-to-

embassies-around-the-world

http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-

buy-samsung-lg-goods.html

http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html

http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/

http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-wave-

of-pop-culture-to-tvs-worldwide.jsp

http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-sm-

entertainment

http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/08/30/AR2006083002985.h

tml