PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU: INDUSTRI GULA INDONESIA BERPELUANG KEMBALI KE ERA...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU: INDUSTRI GULA INDONESIA BERPELUANG KEMBALI KE ERA...
PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU:
INDUSTRI GULA INDONESIA BERPELUANG KEMBALI KE
ERA KEJAYAANNYA
IDEALS
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1) Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam
perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar
350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula
berbasis tebu merupakan salah satu sumber
pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan
jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar
1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang
relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok,
maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh
langsung terhadap laju inflasi.
2) Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri
gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula
yang beroperasi mencapai 179 pabrik gula (PG),
produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai
11%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar
3 juta ton, ekspor gula pernah mencapai sekitar
2.4 juta ton. Kini, Indonesia merupakan salah satu
importir gula terbesar di dunia dengan volume
impor rata-rata sekitar 1.5 juta ton pada dekade
terakhir.
3) Dinamika industri gula nasional mempunyai
keterkaitan yang erat dengan industri industri
gula dunia. Ketika industri gula dunia terpuruk
dan mencapai titik nadir pada akhir tahun 1990-an,
industri gula nasional juga mengalami tekanan
sehinga sekitar 12 PG harus ditutup. Harga gula
dunia pada periode tersebut mencapai titik
terendah, pernah dibawah US$ 200/ton. Produksi dan
rendemen mencapai titik terendah, dengan impor
meningkat pesat, mencapai lebih 50% dari total
konsumsi. Di samping karena keterpurukan pasar
gula dunia, keterpurukan industri gula nasional
juga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling
terkait seperti penurunan areal tebu, inefisiensi
di tingkat usahatani, inefisiensi di tingkat
pabrik gula (PG), dan distorsi yang tinggi di
pasar interansional.
Pasar Gula Dunia Menuju Keseimbangan Baru
4) Semenjak tahun 2004, industri gula dunia mulai
mengalami perubahan. Selama tiga tahun secara
berturut-turut (2004-2006), industri gula dunia
mengalami defisit yaitu total konsumsi lebih besar
dari total produksi. Sebagai akibatnya, harga gula
terus merambat naik dan mencapai puncaknya pada
awal Februari 2006 denga harga gula putih diatas
US$ 400/ton. Kondisi ini diperkirakan akan menjadi
kecendrungan jangka panjang sehingga industri gula
dunia diduga akan menuju pada keseimbangan baru.
Situasi ini dinilai sebagai awal kebangkitan
kembali industri gula dunia.
2
5) Ada tiga faktor yang bersifat fundamental yang
melandasi pemikiran bahwa industri gula dunia akan
menuju pada keseimbangan baru. Faktor pertama
adalah keberhasilan Hongkong Minesterial Meeting pada
Desember 2005 yang menyepakati penghapusan subsidi
ekspor pada tahun 2013. Penghapusan ini jelas
akan mengurangi kemampuan ekspor gula dari negara
maju, khususnya Uni Eropa (EU), yang ekspornya
dibantu oleh subsidi. Kedua, negara-negara maju,
khususnya EU dan Amerika sedang dalam tekanan
untuk mereformasi industri gulanya dan reformasi
dalam bentuk pengurangan proteksi dan dukungan
domestik yang diperkirakan akan efektif mulai
tahun 2006/2007. Hal ini akan mengurangi kemampuan
produksi dan ekspor negara negara tersebut. Faktor
ketiga adalah kecenderungan kenaikan harga minyak
bumi sebagai bahan bakar. Kecenderungan kenaikan
ini untuk jangka panjang tampaknya tidak dapat
dihindarkan karena minyak bumi adalah sumberdaya
yang tidak dapat diperbaharui sehingga harganya
dalam jangka panjang meningkat, diperkirakan dapat
menembus US$ 80/barrel. Cadangan minyak bumi
Indonesia diperkirakan hanya tersisa untuk 17
tahun. Hal ini akan membuat lebih banyak lagi tebu
di dunia akan dikonversi menjadi ethanol sebagai
bahan bakar alternatif. Ketiga faktor tersebut
diperkirakan akan mendorong kenaikan harga jangka
pajang dan sekaligus mendorong perubahan
3
posisi/pangsa negara dalam produksi dan
perdagangan gula dunia. Untuk jangka panjang,
secara kasar harga gula diduga berkisar antara US$
300-400/ton. Defisit secara beruntun selama tiga
tahun terakhir, harga gula yang mulai meningkat
sejak tahun 2004 dan melonjak diatas US$ 400/ton
pada awal tahun 2006 dinilai sebagai gejala awal
menuju keseimbangan baru tersebut.
Momentum Kejayaan Kembali Industri Gula Nasional
6) Skenario akan terbentuknya keseimbangan baru
pergulaan di pasar internasional dapat menjadi
momentum kebangkitan kejayaan pergulaan nasional.
Jika skenario tersebut bisa terwujud, maka sasaran
untuk mencapai swasembada gula sebelum tahun 2009
lebih mudah dapat diwujudkan. Bahkan, dengan upaya
yang lebih substansial dan sinergis, Indonesia
berpeluang kembali sebagai negara eksportir yang
berarti Indonesia meniti kembali jalan menuju era
kejayaan yang pernah dicapai pada tahun 1930-an.
7) Dalam mewujudkan hal tersebut, industri gula
nasional masih harus menyelesaiakan berbagai
masalah yang saling terkait. Masalah secara garis
besar mencakup penurunan luas areal tanaman tebu
yang beririgasi, banyaknya tanaman keprasan,
inefisiensi di tingkat usahatani, inefisiensi di
tingkat pabrik, distorsi perdagangan gula di pasar
4
internasional yang masih tinggi, serta fluktuasi
harga di pasar domestik.
Strategi dan Kebijakan
8) Berdasarkan potensi yang ada serta masalah yang
dihadapi, maka strategi pembangunan industri gula
nasional difokuskan pada (i) peningkatan
produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat
usahatani maupun pengolahan (PG); (ii) perluasan
industri gula ke luar jawa; (iii) pengembangan
industri berbasis tebu secara terintegrasi; (iv)
penciptaan medan persaingan yang fair bagi
industri gula nasional; (v) stabilitas harga dalam
negeri.
9) Beberapa indikator yang digunakan untuk memonitor
keberhasilan strategi tersebut adalah (i)
produktivitas gula nasional rata-rata 8 ton
hablur/ha; (ii) rata-rata biaya produksi gula
nasional dibawah Rp 3000/kg; (iii) minimal 75%
kelembagaan petani sudah kuat dan mandiri; (iv)
terbangunnya minimal 2 PG di luar Jawa; (v)
terbangunnya minimal 2 PG yang sudah mengembangkan
PPGT secara terintergrasi; (vi) pendapatan petani
minimal Rp 8 juta/ha.
10)Untuk kembali ke masa kejayaan, industri gula
nasional memerlukan dukungan investasi yang cukup
substansial. Untuk mencapai swasembada saja,
diperlukan investasi lebih dari Rp 8.25 triliun
5
yang digunakan untuk investasi di sektor hulu
sekitar Rp 1 triliun dan sekitar Rp 7 triliun
untuk membangun industri berbasis tebu. Untuk
kembali menjadi negara eksportir produk berbasis
tebu, investasi yang diperlukan sekitar Rp. 20
triliun.
11)Agar program dan investasi yang substansial itu
dapat terwujud, dukungan kebijakan pemerintah
merupakan salah satu faktor kunci. Beberapa
dukungan kebijakan yang diperlukan mencakup:
a. Stabilitas dan konsistensi kebijakan pergulaan
nasional;
b. Penciptaan medan persaingan yang fair yang
antara lain dapat dilakukan dengan
mempertahankan kebijakan yang sekarang
berlaku, namun harus dinamis mengikuti
perkembangan kebijakan pergulaan di pasar
internasional;
c. Stabilisasi dan pengendalian harga tertinggi
di tingkat konsumen yang dapat dilakukan oleh
eksportir terdaftar, investor, dan badan
penyangga sebagai wakil pemerintah;
d. Pemberian insentif untuk pengembangan industri
di luar jawa dan produk derivatif gula;
e. Dukungan pendanaan untuk rehabilitasi atau
konsolidasi PG;
f. Dukungan untuk memudahkan privatisasi.
6
12)Sebagai kesimpulan, di hadapan industri gula
nasional saat ini kini terbuka peluang emas untuk
bangkit kembali, bahkan untuk berjaya seperti era
tahun 1930-an. Oleh karena itu, sinergi dari
seluruh stakeholder industri gula nasional kini
sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.
Inilah saatnya bagi mereka untuk dicatat dengan
tinta emas sejarah kebangkitan industri gula nasional.
7
BAB 1
PENDAHULUAN
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam
perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350
ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis
tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja
yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula
juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat
dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan
kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan
mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi,
suatu indikator ekonomi makro yang selalu menjadi pusat
perhatian, baik pemerintah, dunia usaha, dan juga
masyarakat secara umum.
Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri
gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang
beroperasi adalah 179 pabrik gula (PG), produktivitas
sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11%-13.8%. Dengan
produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, ekspor
gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton (Sudana et al.,
2000). Kini, Indonesia merupakan salah satu importir
gula terbesar di dunia dengan volume impor rata-rata
sekitar 1.5 juta ton pada decade terakhir.
Industri dan perdagangan gula memang merupakan
salah satu yang paling dinamis. Pada tahun 1970-an,
harga gula pernah mencapai diatas US$ 600/ton; namun
pada akhir tahun 1990-an, harga gula mencapai titik
terendah dan pernah berada dibawah US$ 200/ton.
Kebijakan pergulaan, baik domestik maupun di pasar
internasional juga sangat dinamis, dimana distorsi pada
perdagangan dan industri gula adalah terbesar kedua
setelah distorsi pada pasar beras.
Memasuki awal abad ke 21, industri dan perdagangan
gula dunia diperkirakan akan mengalami perubahan yang
cukup fundamental dengan dampak bersifat jangka
panjang. Keberhasilan Hongkong Minerterial Meeting di
Hongkong pada 13-18 Desember 2005 dalam kerangka Doha
Development Round yang menyepakati penghapusan subsidi
pertanian pada tahun 2013, merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh pada industri gula dunia. Rencana
reformasi kebijakan industri gula pada tahun 2007 di
Eropa Barat dan Amerika sebagai dua pemain besar,
diperkirakan akan mengurangi produksi gula dunia
sehingga mendorong kenaikan harga gula pada masa
mendatang. Selanjutnya, kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) sebagai sumber energi yang tidak dapat
diperbaharui juga meningkatkan penggunaan tebu untuk
ethanol sebagai bahan bakar alternatif. Semua ini akan
menekan sisi penawaran sehingga akan mendorong kenaikan
harga gula secara substansial dan bersifat jangka
panjang.
Indonesia sebagai salah satu pemain besar dalam
industri gula dunia perlu secara cepat dan tepat
9
mengantisipasi perubahan tersebut. Tekanan pada sisi
penawaran yang akan berakibat pada peningkatan harga
gula pada masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah
satu momentum terbaik kebangkitan industri gula
nasional. Ditambah dengan kebijakan pemerintah saat
ini yang kondusif, kebangkitan industri gula nasional
untyuk mencapai swasembada, bahkan kembali sebagai
negara eksportir gula, bukanlah merupakan sebuah
mimpi, tapi merupakan suatu sasaran yang potensial
untuk diwujudkan.
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan
mencoba membahas bagaimana perubahan dinamika industri
dan pasar gula internasional dapat dijadikan momentum
untuk kebangkitan industri gula nasional. Untuk itu,
organisasi tulisan ini disusun sebagai berikut.
Setelah Pendahuluan ini, sekilas akan dibahas
perkembangan industri gula nasional dan dunia yang
dikaitkan dengan berbagai kebijakan di pasar domestik
maupun internasional. Selanjutnya, pembahasan
ditekankan pada perubahan lingkungan strategis yang
diperkirakan akan terjadi serta dampaknya pada pasar
gula internasional. Berdasarkan hal ini, berbagai
upaya antisipasi dan kebijakan pemerintah yang perlu
dibahas pada bagian selanjutnya. Selanjutnya, tulisan
diakhiri dengan catatan penutup.
10
BAB 2
DINAMIKA INDUSTRI GULA DUNIA DAN DOMESTIK
2.1 Dinamika Terkini Industri Gula Dunia
Kinerja industri gula dunia merupakan salah satu
yang paling dinamis yang dicirikan dengan surplus dan
defisit yang silih berganti diikuti dengan fluktuasi
harga yang cukup tajam. Situasi terkini (periode
2004/05) dapat dikatakan merupakan periode yang cukup
menggembirakan industrui gula dunia, khususnya dari sisi
produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula
mencapai US$ 261.92./ton untuk white sugar dan
US$193.78/ton untuk raw sugar, atau meningkat sekitar
9.8% untuk white sugar dan 24% untuk raw sugar dari rata-
rata harga tahun 2003/04. Hal ini disebabkan pada
periode 2004/05, untuk kedua kalinya pasar gula dunia
kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada
periode 2004/05, produksi gula dunia mencapai 142.5 juta
ton atau meningkat sekitar 1% dari periode sebelumnya
Disisi lain, konsumsi meningkat lebih pesat yaitu 1.3%,
dari 143.3 juta to pada tahun 2004 menjadi 145.1 juta
ton pada tahun2005 (FAO, 2006). Perkembangan kinerja
industri gula dunia pada tiga tahun terakhir dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Situasi pergulaan dunia untuk periode 2005/06
diperkirakan masih mengikuti kondisi periode 2004/05.
Untuk ketiga kalinya, industri gula dunia diperkirakan
akan mengalami defisit, walaupun volume defisit menjadi
semakin mengecil. Pada periode 2005/06, produksi gula
dunia diperkirakan meningkat menjadi 147.8 juta ton,
atau meningkat dengan laju 3.7%. Konsumsi diperkirakan
meningkat dengan laju 2.0% pada periode tersebut,
menjadi sekitar 148 juta ton. USDA (2005) memberikan
proyeksi yang lebih rendah dibandingkan FAO (2006).
Untuk produksi tahun 2005/06, USDA (2005) memproyeksikan
sekitar 144.1 juta ton dengan konsumsi sekitar 142.781
juta ton. Namun demikian, baik FAO dan USDA sama-sama
memperkirakan masih akan terjadi defisit untuk periode
2005/06.
Peningkatan produksi gula dunia kembali dimotori
oleh Brazil sebagai negara produsen terbesar. Pada
periode 2005/06, produksi gula Brazil diperkirakan
mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3.5% bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi iklim
yang baik merupakan salah satu faktor pendukung
peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik
juga terjadi di Mexico sehingga negara tersebut
diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi dengan
volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami
penurunan produksi selama dua tahun, India diperkirakan
akan mengalami proses pemulihan sehingga produksi
diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton
pada tahun 2005/06. Peningkatan tersebut terkait dengan
perluasan areal sebagai akibat harga gula yang cukup
tinggi pada periode 2004/05. China sebagai salah satu
12
produsen besar juga diperkirakan akan mengalami
peningkatan produksi cukup signifikan (6%) sehingga
produksinya diperkiraka mencapai sekitar 10.7 juta ton
pada tahun 2005/06.
Walaupun secara agregat, produksi gula dunia
meningkat, ada beberapa negara yang mengalami penurunan
produksi. Secara umum, negara-negara maju akan mengalami
penurunan produksi. Walau didukung cuaca baik dan
peningkatan produktivtas, produksi gula di Eropa Barat
(EU) diproyeksikan menurun menjadi sekitar 2.7% atau
menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas
areal. Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen
terhadap perubahan regim kebijakan pergulaan di negara
tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun
2006/07. Dengan kebijakan tersebut, dukungan harga gula
akan diturunkan sebesar 36%, walau mereka mendapat paket
kompensasi sebesar 64.2% dari penurunan harga tersebut,
dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan dengan
lingkungan dan standar pengelolaan lahan. Australia juga
diperkirakan mengalami penurunan produksi menjadi 5.3
juta ton atau sekitar 3.5%. Hal ini diduga berkaitan
dengan restrukturisasi industri gula Australia yang
menyiapkan dana sekitar AUS$ 444 juta paket program pada
tahun 2004, termasuk AUS$ 96 juta untuk petani yang
tidak efisien agar bisa keluar dari industri gula (FAO,
2005).
Cuba diperkirakan mengalami penurunan produksi
dengan tingkat produksi turun menjadi 1.3 juta ton.
13
Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau yang
parah ketika musim tanam serta kebijakan restrukturisasi
industri gula di negara tersebut. Kebijakan diversifikasi
produk dari gula ke beberapa komoditi seperti buah-
buahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan
penyebab penurunan produksi gula di negara tersebut.
Afrika secara agregat juga mengalami penurunan produksi
sekitar 4.% dengan volume produksi tahun 2005/06
diperkirakan mencapai 5 juta ton. Beberapa negara
Afrika yang mengalami penurunan produksi adalah
Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali
diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai
akibat kemarau yang dihadapi negara tersebut. Produksi
Thailand pada tahun 2005/06 hanya sekitar 4.6 juta ton,
atau mengalami penurunan sebesar 16% dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Amerika sebagai salah satu produsen
utama, produksinya diperkirakan relatif stabil pada
kisaran 7.9 juta ton.
Pada periode 2005/06, konsumsi gula secara global
diproyeksikan mencapai 148 juta ton, atau mengalami
peningkatan sekitar 2%. Peningkatan konsumsi terutama
terjadi di negara berkembang. Sebagai kebutuhan pokok,
konsumsi gula meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk dan pendapatan, khususnya di negara berkembang.
Dengan pangsa konsumsi sebesar 67%, konsumsi gula di
negara berkembang pada tahun 2005/06 diperkirakan
mencapai 100.1 juta ton atau meningkat sekitar 2.7%
dari konsumsi periode sebelumnya. Negara maju mengalami
14
peningkatan konsumsi secara marginal, yaitu sekitar 0.4%,
dengan volume konsumsi pada tahun tersebut diproyeksikan
mencapai 48.0 juta ton. (FAO 2005)
Diantara 10 konsumen utama, India, Brazil, Rusia,
Pakistan dan Indonesia diperkirakan mengalami
peningkatan konsumsi yang cukup signifikan. India
sebagai konsumen terbesar dengan pangsa konsumsi lebih
dari 13%, diperkirakan akan mengalami kenaikan konsumsi
sekitar 1.5% pada tahun 2005/06 (Tabel 2). China sebagai
konsumen kedua terbesar mengalami kenaikan konsumsi
sekitar 0.9%. Rusia, Pakistan, dan Indonesia
diperkirakan akan mengalami pertumbuhan lebih dari 2%.
Diantara 10 besar konsumen gula dunia, hanya negara yang
termasuk Uni Eropa yang diperkirakan akan mengalami
penurunan konsumsi sebesar 0.6%.
Setelah mengalami pertumbuhan sekitar 1% pada tahun
2004/2005, volume perdagangan (ekspor/impor) gula di
pasar internasional diperkirakan kembali mengalami
peningkatan sekitar 1.5% pada periode 2005/06. Dengan
pertumbuhan tersebut, volume perdagangan gula dunia
diperkirakan berdasarkan rata-rata volume impor dan
ekspor mencapai 45.217 juta ton.
Dari sisi ekspor, diantara 10 besar eksportir gula
dunia, Brazil diperkirakan semakin dominan di
perdagangan gula dunia. Dengan pangsa ekspor sekitar
38%, volume ekspor Brazil pada tahun 2005/06
diperkirakan mencapai 18.250 juta ton, atau meningkat
sekitar 1.3% dibandingkan dengan ekspor pada tahun
15
2004/05. India diperkirakan juga akan menambah volume
ekspor gula dunia karena Negara tersebut merencanakan re-
ekspor dari gula yang diimpor pada periode sebelumnya.
Di sisi lain, beberapa Negara seperti Eropa Barat, Cuba
dan Thailand diperkirakan akan mengalami penurunan
ekspor. Reformasi industri gula di Eropa Barat yang
menyebabkan penurunan produksi menjadi faktor menurunnya
ekspor Eropa Barat, sementara penurunan di Thailand
berkaitan dengan penurunan produksi sebagai akibat
kemarau yang panjang Australia mengalami penurunan
ekspor berkaitan juga dengan penurunan produksi di
Negara tersebut.
Dari sisi impor, China merupakan salah satu Negara
besar yang diperkirakan mengalami peningkatan impor
sebesar 4% sehingga volume impor China diperkirakan
mencapai 1.3 juta ton pada tahun 2005/06. Negara lain
yang mengalami peningkatan ekspor adalah Afrika Selatan
(6.5%) dan Amerika Serikat (USDA, 2005).
2.2 Kebijakan Pergulaan di Pasar Dunia
Industri dan perdagangan gula dunia dinilai sangat
distortif dengan tingkat distorsi nomor dua tertinggi
setelah pasar beras. Sebagai contoh, nilai domestic support
untuk gula mencapai US$ 6.4 miliar per tahun. Negara
produsen dan konsumen utama melakukan subsidi dan
proteksi yang sangat tinggi sehingga perdagangan gula
dunia menjadi sangat distortif (Noble, 1997; Devadoss dan
Kropf, 1996; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001). Rata-
16
rata harga gula dunia pada dekade terakhir sebesar US$¢
8.36/lb yang jauh di bawah biaya produksi yang rata-rata
mencapai US$¢ 17.46/lb, merupakan indikator distortifnya
industri dan perdagangan gula di pasar internasional.
Hasil-hasil studi seperti yang dilakukan oleh
Kennedy (2001) dan Groombridge (2001) menyebutkan bahwa
industri gula merupakan industri dengan tingkat distorsi
tertinggi yang bersumber dari intervensi pemerintah.
Berbagai negara utama melakukan berbagai intervensi
kebijakan untuk melindungi industri gula masing-masing
(Tabel 1).
Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai
kebijakan untuk mendukung/melindungi industri gulanya.
Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari
pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari
kebijakan harga subsidi atau price support. Landasan hukum
terbaru yang digunakan US untuk mendukung kebijakan
tersebut adalah Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002
Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan
adalah kebijakan bantuan domestik (price support loan), tariff-
rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor
(re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk
natura atau payment-in-kind. Untuk gula mentah, perbedaan
antara harga di pasar internasional dan US rata-rata
sekitar US$c 12/lb atau 126%. Sedangkan untuk gula
putih, perbedaan mencapai sekitar US$c 13/lb atau sekitar
104% (USDA 2003).
Tabel 1. Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara
17
Negara Kebijakan Dasar Esensi Kebijakan
Brazil Domestic/priceSupport (US$743 juta/tahun)
Dukungan harga (1998)
India Essential CommoditiesACT 1955Produksi Alokasi dan kontrol
produksi (levy sugar)Distribusi Harga terjangkau oleh
konsumen (ration card)Partial Price Control Jaminan harga tebu dan
gula (levy price danmarket price)
Thailand Price support Dukungan hargaProduction management Pengendalian/quota
produksiJepang Jaminan harga
(Y71 miliar)Kepastian harga
Tarif impor yangtinggi
Membatasi impor
Eropa Barat CAPPrice support Jaminan hargaProduction management Pengendalian/quota
produksiTRQ Pengendalian imporSafe guards Mechanism Pengendalian imporExport Subsidy Penurunan penawaran di
pasar domestikAmerika Serikat 2002 Farm Act dan
FAIR ACT of 1996 (US$1.9 miliar)Price Support Loan Jaminan harga dan
kreditTariff-Rate Quota Pengendalian imporExport SubsidyRe-export pragrams Kompensasi ke industri
berbahan baku gulaPayment-in-Kind Mengurangi keterkaitan
kebijakan dengandistorsi yangditimbulkan
18
Sumber : Susila (2005)
Eropa Barat (EC) dikenal sebagai kelompok negara yang
tingkat distorsinya paling tinggi. Intervensi yang
tinggi tersebut dilakukan hampir pada semua aspek
industri dan perdagangan gula. Untuk melindungi tekanan
dari pasar internasional, tingkat tarif impor yang
tinggi merupakan salah satu instrumen kebijakan yang
digunakan. Sebelum Putaran Uruguay ditandatangani,
instrumen tarif impor berupa kebijakan variable levies.
Dengan perkataan lain, mereka dapat menaikkan tarif
impor jika harga gula di pasar internasional turun
secara signifikan. Setelah PU ditandatangani, EC
menerapkan binding tariff yang relatif masih tinggi yaitu
146% dengan pendekatan fixed tariff.
2.3 Dinamika Industri Gula Nasional
Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an
dengan produksi mencapai 3.1 juta ton dan ekspor 2.4
juta ton, industri gula mengalami pasang surut. Pada
saat ini, luas areal tanaman tebu Indonesia mencapai
344 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah Jawa
Timur (43.29%), Jawa Tengah (10.07%), Jawa Barat
(5.87%), dan Lampung (25.71%). Pada lima tahun
terakhir, areal tebu Indonesia secara keseluruhan
mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar
(Tabel 2). Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir,
luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami
19
penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal
tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha,
walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan.
Perkembangan produksi pada sepuluh tahun terakhir
juga mengalami penurunan dengan laju penurunan sekitar
1.8% per tahun. Namun demikian, semenjak tahun 2004,
produksi gula mulai menunjukan peningkatan. Pada
tahun 1994, produksi gula nasional mencapai 2.435 juta
ton, sedangkan pada tahun 2004 hanya 2.051 juta ton.
Pada dekade terakhir, produksi terendah terjadi pada
tahun 1998 dengan volume produksi 1.494 juta ton.
Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan
tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan
produktivitas berdampak positif guna meningkatkan
kembali produksi gula nasional, khususnya sejak tahun
2004.
Tabel 2. Beberapa Indikator Kinerja Industri Gula
Nasional
TahunLuasAreal(ha)
Produksi(ton
hablur)
Rendemen(%)
Konsumsi(ton
hablur)
Impor(ton
hablur)
19944287
36
245388
18.02 15207
19954360
37
205957
66.97
334305
8
68796
31996 4465 209419 7.32 307376 97583
20
33 5 5 0
19973868
78
219198
67.83
333352
2
13645
63
19983770
89
148826
95.49
273600
2
17304
73
19993422
11
149393
36.96
277894
3
15000
00
20003406
60
169000
47.04
320000
0
15000
00
20013444
41
172546
76.85
325000
0
15000
00
20023507
22
175535
46.88
330000
0
15000
00
20033362
57
163456
07.21
335000
0
15000
00
20043440
00
205100
07.67
340000
0
13483
49
20053658
93
233625
07.72
360000
0
12000
00
Sumber: DGI (2005)
* : perkiraan
Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas
merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an
produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76.9/ha, maka
pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62.7 ton/ha.
Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga
mengalami penurunan dengan laju sekitar –1.3% per tahun
21
pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen
mencapai titik terendah (5.49%). Selanjutnya, rendemen
mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai
7.67 % .
Perkembangan produksi yang cenderung menurun
sebelum tahun 2004 tidak bisa juga terlepas dari
kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada
keberadaan PG. Berdasarkan data sampai dengan tahun
2004, jumlah PG yang beroperasi cenderung menurun, baik
dari segi jumlah PG maupun hari giling. Sampai dengan
tahun 2004, PG yang beroperasi adalah 58 PG yang
terdiri dari 50 PG BUMN dan 7 PG swasta.
Pada dekade terakhir, kinerja PG cenderung
menurun. Di samping disebabkan oleh umur pabrik yang
sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak
mencapai standar. Sebagai contoh, PG-PG yang ada di
Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per
tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia
hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga PG-PG di Jawa
mempunyai idle capacity sekitar 46.2%. Selanjutnya, PG
diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14.2 juta ton,
hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8.6 juta ton,
sehingga idle capacity mencapai 39.4%. Hal ini memberikan
indikasi bahwa PG-PG di Jawa perlu melakukan konsolidasi
dan rehabilitasi.
Berkaitan dengan produk derivat tebu (PDT), pabrik
gula di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintis
produksi produk derivat tebu (PPDT) , namun
22
pengembangannnya kalah cepat dengan investor swasta.
Sebelum berbagai jenis PPDT berkembang seperti saat
ini, pada tahun 1960 telah ada 4 pabrik
alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula. Pada saat
ini sudah ada sekitar 45 buah pabrik PDT dengan 14
jenis produk derivat tebu. Diantara jumlah tersebut
sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula.
Adapun jenis produk PDT yang diproduksi secara
komersial saat ini meliputi 1 jenis produk dari
kelompok produk pucuk tebu, 5 jenis produk dari
kelompok produk ampas tebu dan 8 jenis produk dari
kelompok produk tetes.
2.4 Kebijakan Pergulaan Nasional
Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah
menerapkan berbagai kebijakan, yang secara langsung
ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri
gula Indonesia (Tabel Lampiran 2.). Kebijakan
pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas,
dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan
kebijakan harga. Diantara berbagai kebijakan produksi
dan kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan
dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang
dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975.
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk
meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani
tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat
petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan
23
dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan
teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan
KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara
petani tebu dan pabrik gula.
Di samping kebijakan produksi dan input,
pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan
perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan
harga gula di pasar domestik. Beberapa kebijakan
terpenting adalah Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk
mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula.
Ketika harga gula domestik terus merosot pada
pertengahan tahun 2002 dan tekanan produsen semakin
kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan
untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir
hanya pada importir produsen dan importir terdaftar.
Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP
tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain
untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal
75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam
Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September
2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan
tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila
harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp
3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan
harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan
produsen. Kebijakan ini direvisi dengan Kepmenperindag
24
No. 527/MPP/Kep/9/ 2004 yang mewajibkan IT untuk
menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp
3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat petani yang
merupakan harga minimum dengan mekanisme dana oleh
investor ditetapkan Rp 3800/kg.
2.5 Perkembangan Harga
Harga gula dunia secara umum mengalami fluktuasi
dengan harga terendah tejadi pada periode 1998 - 2003
yaitu sekitar US$200/ton (Gambar 1). Kemudian, karena
pasar dunia terus mengalami defisit, harga gula
perlahan meningkat dan mencapai puncaknya pada awal
tahun 2006 yang mencapai diatas US$ 400/ton. Defisit
produksi selama tiga tahun berturut-turut serta
peningkatan produksi ethanol di Brazil adalah argumen
kenaikan harga tersebut.
Walaupun pemerintah menerapkan berbagai kebijakan
impor gula, harga gula di pasar internasional
berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula di
Indonesia, baik pada tingkat petani maupun konsumen.
Hal ini terutama terjadi ketika semenjak tahun 1998,
Bulog tidak lagi melakukan monopoli impor. Perkembangan
harga gula di pasar domestik secara umum dapat dilihat
pada Gambar 1. Harga gula di tingkat petani sering
diatur oleh pemerintah dengan menetapkan sejenis harga
dasar (harga provenue). Pada saat ini, harga provenue
tersebut dimodifikasi menjadi harga talangan, sejenis
harga minimum yang dijamin oleh investor (pihak
25
swasta). Jika harga gula petani melalui lelang lebih
tinggi dari harga talangan, maka kelebihan tersebut
dibagi antara petani dengan investor dengan pembagian
50% untuk petani dan 50% untuk investor. Pada musim
giling 2005, harga talangan ditetapkan pemerintah
sebesar Rp 3800/kg.
HARG A G ULA INTERNASIO NAL
0
100
200
300
400
500
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006TAHUN
HARG
A GU
LA (U
S$/TON
)
harga gula
Gambar 1. Perkembangan Harga Gula di Pasar Internasional
HARGA GULA DOM ESTIK
01000200030004000500060007000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Tahun
Harga gu
la (R
p/Kg
)
Harga Gula
Gambar 2. Perkembangan Harga Eceran Gula di PasarDomestik.
26
BAB 3
PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU
Setelah mengalami masa suram pada akhir tahun 1990-
an, industri dan perdagangan gula dunia diperkirakan
sudah mengalami titik balik pada awal tahun 2000-an.
Salah satu indikator kebangkitan industri gula dunia
adalah kecendrungan kenaikan harga semenjak tahun 2004.
Jika pada tahun 2003 harga gula putih di London masih
sekitar US$ 200/ton, harga gula pada tahun 2004
menjadi US$ 240/ton. Bahkan pada awal tahun 2006
(Februari 2006), harga gula sudah diatas US$ 420/ ton,
rekor harga tertinggi selama dua dekade terakhir.
3.1 Indikator Awal Kebangkitan Industri Gula Dunia
Banyak analisis menunjukkan bahwa industri gula
dunia akan bangkit pada masa mendatang. Secara lebih
spesifik, dalam jangka panjang, harga gula dunia akan
cendrung meningkat, dan diperkirakan akan diatas rata-
rata biaya produksi gula dunia yang mencapai US$
340/ton.
Tanda-tanda awal kebangkitan industri gula dunia
adalah kecendrungan volume konsumsi yang lebih besar
dari produksi (defisit). Defisit ini telah terjadi
secara beruntun sejak tahun 2004 dan diperkirakan
belanjut sampai dengan 2006. Defisit yang secara
beruntun terjadi selama tiga tahun secara berturut,
patut dinilai sebagai tanda-tanda awal kebangkitan
kembali industri gula dunia. Pada tahun 2004, pasar
gula dunia ditandai oleh terjadinya defisit sekitar 2.2
juta ton sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga
menjadi sekitar US$ 19.1/kg, khususnya pada enam bulan
terakhir tahun 2004. Produksi pada tahun 2004 adalah
sekitar 141.1 juta ton, sedangkan konsumsi mencapai
143.3 juta ton. Pada tahun 2005, produksi gula dunia
kembali diperkirakan akan mengalami penurunan sekitar
0.4% sehingga produksi mencapai 141.5 juta ton. Pada
tahun 2006, defisit diperkirakan antara 0.2 juta ton
(FAO 2005), sedangkan USDA (2005) memperkirakan defisit
sebesar 2.0 juta ton.
3.2 Faktor Fundamental Kebangkitan Industri Gula
Dunia
Dengan tanda-tanda awal kebangkitan tersebut,
industri gula dunia diperkirakan akan mengalami
perbaikan yang bersifat jangka panjang. Dengan
perkataan lain, industri gula dunia diperkirakan akan
mengarah pada suatu keseimbangan baru. Keseimbangan baru
tersebut akan ditandai oleh rata-rata harga gula yang
lebih tinggi dibandingkan dengan periode 1990-2000,
serta perubahan substansial yang terjadi pada beberapa
pemain utama gula dunia, khususnya Eropa barat (EC) dan
Amerika.
28
Keseimbangan baru tersebut paling tidak bersumber
dari tiga faktor fundamental (pilar perubahan) yaitu (i)
kesepakatan yang dicapai pada Hongkong Ministerial Meeting
pada bulan Desember 2005; (ii) perubahan internal atau
reformasi kebijakan pergulaan di EU dan Amerika; dan
(iii) kecendrungan jangka panjang kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM).
Keberhasilan Hongkong Ministerial Meeting
Hongkong Ministerial Meeting pada 13-18 Desember 2005
merupakan salah satu tahapan penting dari Doha Development
Round. Pertemuan tersebut dinilai berhasil terutama
dalam mengembalikan agenda atau arah perundingan yang
sebelumnya mengalami kebuntuan. Salah satu butir penting
yang dicapai adalah kesepakatan untuk mengakhiri semua
bentuk subsidi ekspor produk pertanian selambat-
lambatnya pada tahun 2013.
Seperti disebutkan sebelumnya, EU dan Amerika
menggunakan instrumen ini sebagai salah satu bentuk
dukungan pada industri gulanya. Sebagai contoh, nilai
subsidi ekspor EU yang mencapai US$ 499 juta/tahun atau
bernilai sekitar EU$391.9/ton, harus dicabut paling
lambat pada tahun 2013. Pencabutan subsidi ekspor
tersebut jelas akan mengurangi kemampuan negara-negara
yang melakukan subsidi ekspor untuk melakukan ekspor.
Hal ini berarti secara agregat akan mengurangi volume
ekspor dan sekaligus mengurangi penawaran/pasokan gula
di pasar dunia. Dengan laju pertumbuhan konsumsi yang
29
relatif stabil, maka situasi ini dalam jangka panjang
akan mendorong kenaikan harga gula di pasar
internsional.
Reformasi Kebijakan Pergulaan di Negara Maju
Faktor kedua adalah tekanan yang semakin menguat
dihadapi negara maju khususnya Eropa Barat dan Amerika
Serikat agar mereformasi kebijakan industri gulanya,
baik karena faktor internal maupun eksternal. Secara
internal, dorongan untuk mengurangi berbagai bentuk
subsidi dan proteksi yang merugikan pembayar pajak dan
konsumen serta industri berbahan baku gula di negara
tersebut, semakin menguat. Dengan nilai dukungan
domestik lebih dari US$ 4.5 miliar per tahun di kedua
negara tersebut, nilai tersebut dinilai kurang adil
bagi pendukung reformasi gula di negara tersebut.
Industri dan perdagangan gula dikenal memiliki
tingkat distorsi tertinggi kedua setelah beras. Sebagai
contoh, total nilai bantuan domestik dari industri gula
dunia mencapai sekitar US$ 6.4 miliar per tahun, yang
nilainya hampir sama dengan nilai ekspor semua negara
berkembang. Berbagai kebijakan distortif seperti
bantuan domestik, dukungan harga, tarif yang tinggi,
tariff–rate quota, dan subsidi ekspor mewarnai industri dan
perdagangan gula pada hampir semua negara produsen dan
konsumen utama. Sebagai akibatnya, terjadi kegagalan
pasar yan berimplikasi harga tidak lagi mencerminkan
biaya produksi. Sebuah studi oleh Beghin dan Aksoy
(2003) menyebutkan bahwa kesejahteraan yang hilang
30
akibat distrosi tersebut mencapai US$ 4.7 miliar per
tahun.
EU tampaknya sudah tidak mampu lagi mempertahankan
kebijakan pergulaannya sehingga harus melakukan
reformasi kebijakan secara substansial. Walaupun
perubahan tersebut tidak bersifat total, perubahan
tersebut cukup signifikan sehingga berpengaruh secara
substansial terhadap industri gula dunia. Ada 18 butir
penting dari proposal reformasi kebijakan yang akan
efektif mulai tahun 2007 (Talks, 2005). Tiga butir
penting dari kebijakan tersebut adalah:
1. Dukungan harga gula akan diturunnkan sebesar 36%.
Sebagai contoh, harga referen untuk white sugar yang
semula EU$ 631.9 pada periode 2005/06 akan terus
ditutunkan sampai mencapai EU$ 385.5/ton pada tahun
2009/10.
2. Petani akan diberi kompensasi terhadap perubahan
kebijakan tersebut sebesar 64.2% dari penurunan
harga yang diterimanya dalam bentuk direct income
payment, bukan sebagai dukungan harga.
3. Kebijakan intervensi harga akan dihapus dan diganti
dengan kebijakaan reference price yang dijadikan
landasan untuk memberikan bantuan.
Jika butir-butir reformasi kebijakan tersebut
diterapkan, produksi gula di EU akan turun menjadi
sekitar 12 juta ton, dari sebelumnya seebsar 20
juta ton per tahun. Ditambah penghapusan subsidi
31
ekspor, maka kemampuan EU untuk melakukan ekspor
dikhawatirkan akan menurun dan dalam jangka panjang
EU dapat berubah menjadi negara net importir gula.
Amerika untuk jangka panjang akan secara bertahap
melakukan reformasi gulanya, terlebih jika EU benar-
benar melaksanakan reformasinya tahun 2007. Intervensi
untuk industri gula memerlukan biaya yang cukup mahal.
Sebagai contoh, pada tahun 1998 biaya intervensi
mencapai US$ 1.9 miliar. Pemerintah harus menyiapkan
dana sekitar US$ 1.68 miliar per tahun untuk pembelian
gula. Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai
akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai sekitar
US$ 1 miliar per tahun (Groombridge, 2000).
Sejalan dengan tekanan tersebut, kebijakan pergulaan
Amerika diperkirakan akan mengalami perubahan-perubahan.
Beberapa kebijakan yang dapat menjadi pilihan pada masa
mendatang antara lain kebijakan marketing loan, fixed direct
payment, PIK, dan sugar buy-out program (Kennedy, 2001).
Kebijakan marketing loan pada dasarnya merupakan variasi
dari kebijakan price support loan dengan memberikan tambahan
perhatian pada kepentingan konsumen. Esensi dari
kebijakan tersebut adalah bahwa pemerintah memberikan
jaminan harga, baik pada produsen maupun konsumen.
Kebijakan lain yang mungkin diterapkan adalah fixed
direct payment. Esensi dari kebijakan ini adalah pemberian
kompensasi kepada produsen yang besarnya didasarkan pada
tingkat produksi secara historis (produksi sebelumnya),
32
bukan tingkat produksi terkini. Kebijakan ini tidak
akan merangsang produksi karena besarnya kompensasi
tidak ada kaitannya dengan tingkat produksi terkini dari
petani. Kebijakan ini termasuk kategori “decouple” yaitu
melepaskan tingkat intervensi dari kegiatan produksi.
Kebijakan ini sejalan dengan pasal-pasal yang berkaitan
dengan apa yang disepakati sebagai “green box” yang masih
diperbolehkan dalam era liberalisasi perdagangan.
Kebijakan yang lebih radikal yang mungkin
diterapkan adalah kebijakan sugar ”buy-out” program.
Dikatakan agak radikal karena kebijakan ini dalam
jangka panjang bermaksud menghapuskan proteksi/subsidi
pada industri gula atau membuat tingkat
proteksi/subsidi adalah minimal. Esensi kebijakan ini
adalah dengan memberi kompensasi hanya sekali.
Besarnya kompensasi adalah senilai “present value” dari
perkiraan total aliran bantuan yang akan diterima
petani pada masa mendatang. Selanjutnya, berbagai
intervensi pemerintah ditiadakan atau pada tingkat yang
minimal.
Kenaikan Harga BBM
Faktor ketiga yang juga besifat fundamental adalah
kecendrungan harga BBM yang semakin tinggi. Sebagai
sumber bahan bakar yang bersifat tidak diperbaharui,
kecendrungan kenaikan harga produk tersebut tampaknya
tidak dapat dihindarkan, khususnya dalam perspektif
jangka panjang. Para ahli sepakat bahwa pada suatu saat,
33
persediaan BBM tersebut aka habis; yang belum dapat
dipastikan adalah waktunya. Sebagai ilustrasi,
persediaan minyak bumi Indonesia diperkirakan hanya
cukup untuk 17 tahun ke depan. Dengan situasi tersebut,
harga BBM dalam jangka panjang diperkirakan akan terus
meningkat dan diperkirakan dapat menembus US$ 80/barrel.
Oleh sebab itu, sangat masuk akal bahwa bahan bakar
alternatif pengganti BBM pada masa mendatang akan
memegang peran semakin penting.
Etahnol sebagai salah satu bahan bakar alternatif
sudah menunjukkan perannya. Brazil dengan kebijakan
switch policy, mengubah tebu menjadi gula atau ethanol
dengan perbandingan sesuai dengan perkembangan harga
gula dan BBM. Jika harga BBM tinggi seperti sekarang
ini, Brazil akan lebih banyak memproses tebunya menjadi
ethanol relatif terhadap gula.
Jika dalam jangka pajang harga BBM naik, hal ini
akan mendorong lebih banyak lagi tebu yang diproses
untuk ethanol sebagai bahan bakar alternatif. Brazil
yang secara tradisional menerapkan swicth policy merupakan
faktor penentu utama dalam kasus ini. Sebagai produsen
gula dan ethanol terbesar dari tebu, ketika harga minyak
bumi tinggi, Brazil jelas akan lebih banyak lagi
mengolah tebunya menjadi ethanol sehingga akan
mengurangi potensi produksi/ekspor gula negara tersebut.
Jika dalam situasi harga minyak belum tinggi sekitar 52%
tebunya diolah menjadi ethanol dan 48% untuk gula, maka
ketika harga minyak bumi yang tinggi seperti sekarang
34
ini, proporsi yang diolah untuk ethanol akan meningkat,
dan sebaliknya untuk gula. Dalam jangka panjang,
situasi ini secara ekonomis dan psikologis akan
mendorong harga gula pada kisaran tinggi atau akan ada
harga keseimbangan baru antara BBM dan gula.
Ketiga faktor yang bersifat fundamental tersebut
akan sangat berpengaruh pada dinamika industri gula
dalam jangka panjang. Pasar gula dunia diperkirakan
kini sudah mulai memasuki tahap awal keseimbangan baru.
Dengan berkurangnya distorsi pasar gula dunia
diperkirakan akan tercipta medan persaingan baru yang
lebih fair serta lebih efisien. Pada keseimbangan baru
tersebut, produsen yang tidak efisien, khusunya di
negara maju akan mengurangi produksi dan eskpor
sehingga mengurangi penawaran gula di pasar dunia.
Situasi tersebut akan mendorong kenaikan harga gula
dunia menju keseimbangan baru, baik karena mekanisme
pasar (permintaan-penawaran) gula maupun keseimbangan
baru kaitannya dengan persaingan penggunaan tebu untuk
gula dan ethanol.
Tingkat harga gula pada keseimbangan baru memang
masih sulit di perdiksi. Dari sisi mekanisme pasar gula
sendiri, studi oleh Beghin dan Aksoy (2003)
memperkirakan harga gula dunia akan meningkat antara
20%-40%. Kenaikan tersebut belum mempertimbangkan
dorongan harga sebagai akibat kenaikan harga BBM untuk
jangka panjang. Dengan pengamatan faktor fundamental
tersebut masih bersifat dini, secara kasar harga gula
35
BAB 4
MENUJU KE ARAH KEJAYAAN INDUSTRI GULA NASIONAL
4.1 Momentum Kebangkitan
Berdasarkan perubahan strategis yang sudah dan akan
terjadi serta dampaknya terhadap pergulaan dunia,
Indonesia sebagai salah satu pemain besar perlu
mengantisipasi secara cepat, tepat, dan sistematis.
Dengan perkiraan keseimbangan baru harga gula dunai
akan lebih tinggi dari pada era tahun 1990-an, maka
perubahan tersebut dapat menjadi momentum baru bagi
kebangkitan bahkan kejayaan industri pergulaan nasional
baik.
Terhadap skenario keseimbangan baru dari industri
gula dunia, ada dua konsekeuensi yang dapat
merefleksikan momentum kebangkitan industri gula
nasional, yaitu:
(i) Memudahkan pencapaian sasaran program
swasembada gula;
(ii) Berpeluang untuk kembali sebagai negara
eksportir gula.
Indonesia mentargetkan untuk mencapai swasembada
gula dalam arti dinamis gula paling lambat tahun 2009.
Tingkat swasembada yang ingin dicapai total produksi
gula domestik dapat memenuhi sekitar 90%-95% dari total
konsmsi. Hasil analisis Tim Departemen Pertanian dan
Dewan Gula Nasioal (2005) memberi indikasi bahwa
swasembada tersebut dapat diwujudkan. Perkiraan
perwujudan seasembada tersebut belum memperhitungkan
akan terjadinya perkiraan kenaikan harga gula di pasar
nternasional yang bersifat jangka panjang. Jika ketiga
faktor fundamental tersebut benar-benar medorong
kenaikan harga gula pada keseimbangan yang baru,
pencapaian swasembada gula nasional akan lebih mudah
dapat diwujudkan. Sebagai contoh, dengan harga gula
dipasar internasional sekitar US$ 200/ton dan harga
gula di tingkat petani antara Rp 3800-4200/kg, produksi
gula pada tahun 2004 dan 2005 meningkat masing-masing
dengan laju 25% dan 14%. Jika harga gula pada kisaran
US$ 300-400/ton atau harga tingkat petani antara Rp
4000-5000/kg, produksi akan meningkat lebih pesat. Di
sisi lain, kenaikan harga akan menghambat kenaikan
konsumsi. Resultan dari semua ini adalah lebih
memuluskan upaya pemerintah dalam pencapaian swasembada
gula nasional.
Jika harga keseimbangan baru benar-benar tewujud
pada kisaran US$ 300-400/ton, Indonesia tidak hanya
berpeluang berswasembada gula, tetapi dapat kembali
menjadi negara eksportir gula dan produk berbasis tebu,
mengulang kembali kejayan industri gula Indonesia tahun
1930-an. Di samping didukung oleh faktor pasar gula akan
berada pada keseimbangan baru, kondisi internal industri
gula Indonesia juga sedang dalam posisi yang kondusif.
Iklim yang kondusif yang bersifat internal tersebut
paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi yaitu (i)
38
menguatnya political will dan dukungan kebijakan pemerintah;
(ii) menguatnya kelembagaan petani, dan (iii) hasil
proses belajar PG.
Pertama, menguatnya political will dan dukungan kebijakan
pemerintah harus diakui sebagai suatu pemacu dimulainya
kebangkitan industri gula yang sudah hampir gulung tikar
pada periode 1998-2001. Semenjak tahun 2002, pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan yang dikenal dengan
kebijakan promotif dan protektif, dengan wajah yang lebih
tegas mendukung pembangunan industri gula nasional.
Karena tingkat distorsi perdagangan internasional yang
tinggi, yaitu nomor dua setelah beras dengan nilai
dukungan domestik mencapai US$ 6.4 miliar pertahun,
kebijakan pemerintah yang protektif masih dapat
dijustifikasi, baik dengan argumen ekonomi mapupun non-
ekonomi.
Dukungan political will yang lebih kuat dari pemerintah
tercermin langsung dari tekad Preseiden SBY yang
menargetkan tercapainya swasembada gula pada tahun 2008.
Dukungan langsung dari orang nomor satu di Indonesia ini
merupakan suatu dukungan yang sangat mendasar dan
diperkirakan mempunyai daya implementasi yang cukup kuat.
Hal ini antara lain tercermin dari beberapa departemen
dan lembaga terkait, seperti Departemen Pertanian dan
Dewan Gula Indonesia, yang sudah mulai menindak-lanjuti
tekad Presiden tersebut.
Terlepas dari masih adanya beberapa kelemahan
kebijakan pergulaan yang ada sekarang, kebijakan-
39
kebijakan tersebut sudah sangat memadai sebagai landasan
untuk kebangkitan kembali industri gula nasional. Sebagai
contoh, Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23
September 2002, tentang kebijakan tataniaga impor gula
bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi
hanya importir produsen dan importir terdaftar. Esensi
lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa
impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat
petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini
direvisi dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004
yang mewajibkan importir terdaftar untuk menyangga harga
di tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei
2005, harga ditingkat petani yang merupakan harga minimum
dengan mekanisme dana oleh investor ditetapkan Rp
3800/kg. Kebijakan ini sangat efektif dalam pengendalian
impor dan harga didalam negeri sehingga membangkitkan
kembali gairah industri gula nasional.
Dukungan kebijakan lainnya yang diberikan oleh
pemerintah adalah melalui program-program yang sering
disebut sebagai program akselerasi pembangunan industri
gula Indonesia. Terkait dengan program tersebut,
pemerintah telah mengalokasikan dana sekitar Rp 220
miliar sampai dengan tahun 2004. Pemerintah bahkan
berkeinginan untuk meningkatkan anggaran tersebut pada
masa mendatang untuk mewujudkan swasembada gula.
Kedua, makin menguatnya organisasi petani seperti
Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) juga merupakan
momentum yang baik untuk kebangkitan industri gula
40
Indonesia. Makin solidnya organisasi tersebut memudahkan
dalam melakukan perencanaan, monitoring, dan upaya-upaya
koordinasi baik antar petani, petani dengan PG, dan
petani dengan pemerintah. Di samping itu, solidnya
organisasi petani juga memungkinkan peningkatan bargaining
position industri gula, tidak hanya pada aspek ekonomi,
tetapi juga pada aspek politis.
Ketiga, tekanan yang bertubi-tubi yang sempat dialami
oleh pabrik gula (PG) juga mulai mengajarkan PG untuk
beorperasi secara lebih efisien, responsif, dan
dinamis. Beberapa PG sudah mulai melakukan berbagai
pembenahan, seperti dalam hal pembenahan efisiensi
teknis, perbaikan hubungan kemiteraan dengan petani,
dan berbagai perbaikan manajemen. Pada musim giling
2006, Kementerian BUMN mentargetkan kenaikan rendemen
1% untuk setiap PG BUMN Perkebunan. Deputi Bidang
Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan
Penerbitan, Kementeriaan Negara BUMN, telah menyusun
suatu konsepsi Revitalisasi Gula Nasional. Pendekatan
yang ditawarkan, disebut sebagai “Model Hijrah”, pada
dasarnya menekankan pada pendekatan (i) on-farm untuk
meningkatkan produksi tebu sebesar 2 juta ton; (ii)
pendekatan off- farm untuk meningkatkan rendemen sebesar
1%; dan (iii) pendekatan kelembagaan yang mencakup
pembentukan trading company, pembentukan Holding Company
BUMN Gula, product differentiation, pembentukan sugar fund, dan
restrukturisasi secara menyeluruh BUMN Perusahaan Gula.
Walaupun pembenahan yang dilakukan belum mencapai
41
sasaran secara optimal, upaya-upaya ini jika
dipertahankan tentu merupakan momentum yang baik untuk
membangkitkan kembali industri gula Indonesia.
Harus diakui bahwa untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan kerja keras dan totalitas pembangunan
industri gula nasional. Dalam hal ini sinergi stakeholder
pergulaan nasional yaitu pelaku industri, konsumen, dan
pemerintah mampu merumuskan dan mengimplementasikan
suatu program pembangunan industri gula secara
komprehensif dan berwawasan jauh ke depan.
4.2 Masalah Yang Masih Menghadang
Ketika pasar gula dunia membuka peluang bagi Indonesia
untuk kembali ke masa kejayaannya, industri gula nasional
harus masih berbenah untuk menyelesaikan berbagai masalah
yang saling terkait (Gambar 3). Secara umum, permasalahan
industri gula Indonesia disebabkan oleh empat faktor utama
yaitu :
Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu
tegalan;
Inefisensi di tingkat usahatani;
Inefisiensi di tingkat pabrik;
Perdagangan dan industri gula di pasar internasional
yang sangat distortif;
Harga di tingkat konsumen yang cenderung terlalu
tinggi.
42
Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan. Sampai
dengan tahun 2003, areal tebu Indonesia menurun dengan
laju penurunan –0.5% per tahun. Di samping itu, areal
tebu sawah cendrung menurun dan areal tebu tegalan
cenderung meningkat. Salah satu penyebab situasi ini
adalah persaingan yang semakin tinggi dalam penggunaan
lahan, khususnya dengan tanaman padi (Rusastra et al., 2000;
Sudana et al., 2000). Di samping faktor tersebut, konversi
lahan sawah/tebu untuk industri dan perumahan juga memberi
kontribusi terhadap menurunnya areal tebu di Indonesia.
Konversi lahan di Jawa pada periode tahun 1987-1993 cukup
signifikan dengan laju konversi sekitar 23000 ha/tahun dan
lebih dari 65% dikonversi untuk kegiatan non-pertanian.
43
Gambar 3. Skema permasalahan dan Alternatif
PemecahannyaSumber: Susila (2005)
Kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan kredit untuk
usahatani tebu yang sering terlambat ataupun jumlahnya
tidak memadai menyebabkan areal tebu juga cenderung
menurun (Woeryanto, 2000; Siswono, 2000). Hal ini terjadi
karena usahatani tebu relatif lebih lama dari usahatani
tanaman pangan lainnya seperti padi (Woeryanto, 2000;
Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Pakpahan, 2000).
Budidaya sub-
optimal
Varietas
Keprasan
Sistem bagi hasil
Distorsi pasar
internasional
Harga rendah
fluktuatif
Produktivitas turun Rendeme
n turun
Jadual tanamJadual tebang
Sistem
tebang
Mutu tebu
PG tuaRehabilitasi
Kapasitas
kurang
Konsolidasi PG
Kebijakan sub-optimalkreditjaminan
hargatarif imporsubsidi
input
Investasi di luar Jawa
Produksi
turun
Areal tebu turun
Sumber: Susila
44
Inefisiensi di tingkat usahatani. Bersamaan dengan penurunan
areal, industri gula Indonesia juga mengalami inefisiensi
di tingkat usahatani yang tercermin dari penurunan
produktivitas usahatani tebu (ton tebu/ha). Sebagai
ilustrasi, jika produktivitas tebu pada tahun 1990 adalah
sekitar 76.9 ton tebu/ha, maka pada tahun 1999 hanya 62.7
ton tebu/ha (Hadi dan Sutrisno, 2001), yang berimplikasi
penurunan produktivitas –2.24% per tahun. Seperti terlihat
pada Gambar 3, produktivitas rendah yang berpangkal dari
belum optimalnya sistem budidaya yang digunakan yang
antara lain berkaitan dengan kualitas bahan tanam yang
kurang memadai. Terkait dengan hal ini, kebanyakan petani
tidak melakukan peremajaan secara berkala sehingga
tanaman mereka umumnya tanaman keprasan, bahkan keprasan
tiga atau lebih. Dengan demikian, potensi produktivitas
hanya mencapai sekitar 67%-85% dari tanaman pertama atau
PC (Marjayanti dan Arsana, 1999). Berdasarkan data dari
beberapa sumber, Marjayanti dan Arsana (1999)
memperkirakan tanaman keprasan di Jawa lebih dari 50%.
Rendemen tebu secara umum terus mengalami penurunan.
Pada dekade terakhir rendemen cenderung menurun, dengan
laju penurunan –1.30% per tahun dan pada tahun 1998 ren-
demen rata-rata secara nasional bahkan hanya mencapai
5.49%, terendah sepanjang sejarah. Penurunan rendemen
dapat bersumber dari kualitas tebu (usahatani) dan
inefisiensi pabrik yang masing-masing mempunyai kontribusi
60%-75% dan 25%-40% (Woeryanto, 2000). Secara lebih umum,
45
inefisiensi di tingkat usahatani juga berkaitan belum
harmonisnya hubungan kemiteraan antara petani dan PG
Inefisiensi di tingkat pabrik. Inefisiensi di tingkat pabrik
juga menyebabkan penurunan produktivitas yaitu penurunan
rendemen. Kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa,
umumnya sudah tua, sehingga tidak dapat mencapai
efisiensi yang maksimal (Woeryanto, 2000; Murdiyatmo,
2000; Husodo 2000;). Penurunan rendemen juga disebabkan
oleh keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga
pabrik beroperasi di bawah kapasitas optimal.
Pasar gula dunia yang sangat distortif. Seperti diuraikan
sebelumnya, pasar gula sangat distortif sehingga industri
gula Indonesia menghadapi medan persaingan yang tidak
fair, khususnya sebelum tanggal 23 September 2002, ketika
kebijakan tataniaga impor diterapkan. Pada periode
tersebut, Industri gula Indonesia bersaing di lapangan
permainan (playing field atau playing ground) yang tidak (adil).
Rata-rata harga gula dunia pada dekade terakhir sebesar
US$¢ 8.36/lb yang jauh di bawah biaya produksi yang rata-
rata mencapai US$¢ 17.46/lb, merupakan indikator
distortifnya industri dan perdagangan gula di pasar
internasional. Situasi ini nyaris melumpuhkan industri
gula nasional. Menyadari masalah ini, pemerintah
menerapkan berbaga kebijakan, salah satunya, kebijakan
tataniaga impor yang mengembalikan industri gula nasional
pada medan persaingan yang adil.
46
Harga di tingkat konsumen yang cendrung terlalu tinggi. Akhir-
akhir ini, khususnya periode 2005-2006 ketika medan
kebijakan tataniaga impor sudah mapan dan harga gula dunia
meningkat pesat, harga di tingkat konsumen cenderung
melambung tinggi, di luar mekanisme pasar. Pada bulan
Januari dan Februari 2006, harga gula eceran melambung
sekitar Rp 7000/kg. Kenaikan harga gula yang diatas US$
400/ton memang wajar mendorong kenaikan harga di pasar
domestik sampai ke tingkat sekitar Rp 6000/kg. Namun yang
terjadi adalah diatas harga tersebut. Hal ini menunjukan
masih perlunya adanya perbaikan-perbaikan yang kebijakan
tataniaga impor, distribusi, dan pengendalian harga di
tingkat konsumen.
4.3 Upaya untuk Mewujudkan
Mengacu pada Departemen Pertaniajn (2005), dalam
upaya mengembalikan kejayaan industri gula nasional,
maka strategi dasar pembangunan perkebunan pergulaan
Indonesia adalah:
Peningkatan produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat usahatani
maupun pengolahan (PG). Peningkatan produktivitas
dalam bentuk ton tebu/ha, rendemen, serta
pengolahan di PG merupakan suatu keharusan
untuk mengembalikan kejayaan industri gula
Nasional.
Perluasan industri gula ke luar Jawa. Dengan keterbatasan
lahan serta persaingan yang tinggi dalam
pengunaan lahan di Jawa, pencapaian swasembada
atau kembali sebagai eksportir akan sangat
47
ditentukan oleh kemampuan mengembangkan
industri gula di luar Jawa.
Pengembangan industri berbasis tebu secara terintegrasi. Di
samping untuk memperoleh nilai tambah yang
lebih besar serta sebagai bentuk diversifikasi
untuk mengurangi resiko, diversifikasi
horisontal ini juga merupakan strategi
keharusan. Pengembangan PDT yang sinergik
telah terbukti mampu memberikan dukungan
finansial yang cukup berarti. Profit yang
diperoleh dari PDT bisa mencapai 65 % dari
total profit perusahaan (Rao, 1997). Berbagai
produk berbasis tebu atau produk derivat tebu
(PDT) seperti ethanol (asam asetat, ethyl asetat),
ragi roti, PST (inactive yeast), Ca-sitrat, listrik
wafer pucuk tebu, papan partikel, papan serat,
pulp, kertas, asam sitrat, Ca-sitrat, jamur harus
menjadi bagian terintegrasi dalam pembangunan
industri gula nasional.
Penciptaan medan persaingan yang fair bagi industri gula nasional.
Sebagai industri dan perdagangan dengan tingkat
distorsi terbesar kedua setelah beras,
pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan
yang membuat industri gula nasional bersaing
pada medan persaingan yang fair. Kebijakan
tersebut perlu konsisten diterapkan untuk
memberi kepastian pada investor. Karena
tujuannya menciptakan fairness, maka kebijakan
48
tersebut dapat berubah sesuai dengan dinamika
di pasar internasional.
Keberhasilan strategi dalam mencapai swasembada atau
bahkan sebagai negara ekspotir perlu diukur. Dari
beberapa sumber termasuk Departemen Pertanian (2005),
beberapa indikator pencapaian sasaran tersebut adalah:
Produktivitas gula nasional rata-rata 8 ton
hablur/ha;
Rata-rata biaya produksi gula nasional dibawah Rp
3000/kg;
Minimal 75% kelembagaan petani sudah kuat dan
mandiri;
Terbangunnya minimal 2 PG di luar Jawa;
Terbangunnya minimal 2 PG yang sudah mengembangkan
PPGT secara terintergrasi;
Pendapatan petani minimal Rp 8 juta/ha;
Program Kerja
Mengacu pada Program Akselarasi Peningkatan Produksi
Gula Nasional, maka empat strategi tersebut perlu
diterjemahkan dalam beberapa program berikut :
1. Rehabilitasi atau peremajaan tanaman dengan
menggunakan bibit unggul dan standar teknis yang
efesien.
2. Rehabilitasi, konsolidasi dan modernisasi teknologi
pabrik gula.
3. Perluasan areal tebu di Jawa dan luar Jawa.
49
4. Peningkatan investasi untuk pengembangan industri
gula yang terintegrasi dengan berbagai produk PDT,
baik di Jawa maupun di luar Jawa.
5. Penyediaan fasilitas berproduksi (tax holiday untuk
angka waktu tertentu)
6. Program pengembangan sistem pembiayaan bagi petani
tebu dan pelaku usaha pergulaan
7. Program penguatan lembaga penelitian dan pengembangan
serta lembaga pendidikan pergulaan, termasuk
pengembangan sinergi antar lembaga dimaksud
8. Program pengembangan infrastruktur (irigasi, jalan,
pelabuhan) untuk mendukung pengembangan sistem
industri gula terpadu, termasuk spin off pen
pembentukan SBU untuk masing-masing PG
Kebutuhan Investasi dan Dukungan Kebijakan
Tujuan untuk mencapai swsembada ataupun untuk
kembali menjadi negara eksportir gula memerlukan
investasi yang cukup besar. Tim Badan Litbang Pertanian
(2005) memperkirakan bahwa hanya untuk mencapai
swasembada gula diperlukan investasi sekitar Rp 8.25
triliun. Investasi terbesar merupakan investasi dari
perusahaan yang mencapai sekitar Rp 6.9 triliun,
sedangkan rumah tangga sekitar Rp 1.13 triliun.
Investasi yang menjadi beban pemerintah secara
keseluruhan adalah sekitar Rp 208 miliar. Untuk kembali
sebagai negara eksportir, investasi yang dibutuhkan
diperkirakan sekitar Rp 20 triliun.
50
Untuk swasembada investasi di bidang usaha primer
(usahatani) memerlukan investasi sekitar Rp 1 triliun.
Investasi yang sangat besar diperlukan di bidang
pengolahan dan industri hilirnya termasuk pengembagan
PDT memerlukan investasi sekitar Rp 7 triliun. Komponen
terbesar adalah pendirian dua pabrik gula di luar Jawa
(kemungkinan di Merauke ) untuk mengolah tebu dari
luasan sekitar 40 ribu ha dengan nilai investasi sekitar
Rp 2 triliun. Komponen untuk melakukan rehabilitasi 52
PG di Jawa juga cukup besar dengan nilai Rp 2.163
triliun. Pendirian 2 pabrik ethanol, particle board, dan
energi listrik juga menelan biaya lebih dari Rp 1
triliun.
Agar investor bersedia menanamkan modalnya, maka
lingkungan bisnis untuk industri gula harus ditata
sehingga kondusif untuk menarik investor. Mengacu pada
Badan Litbang Pertanian (2005) serta kondisi masa
pergulaan dunia, beberapa kebijakan yang perlu
ditekankan adalah sebagai berikut.
Konsistensi kebijakan pemerintah. Karena investasi pada
industri gula memerlukan investasi yang sangat
besar dan jangka panjang, konsistensi kebijakan
menjadi salah satu kebijakan kunci. Berbagai
kebijakan pergulaan baik itu kebijakan produksi,
perdagangan, dan investasi seyogyanya konsisten
dijalankan dengan perspektif jangka panjang.
Penciptaan fairness untuk produsen maupun konsumen dan stabilitas
harga gula domestik. Di satu sisi, karena
51
perdagangan gula di pasar internasional
distortif, maka pemerintah perlu menerapkan
kebijakan yang dapat menciptakan medan persaingan
yang adil atau dengan menerapkan kombinasi untuk
industri gula nasional. Di sisi lain, harga gula
dalam negeri juga perlu di kendalikan tidak
terlalu tinggi (fair) yang dapat membebani secara
berlebihan baik konsumen maupun industri makanan
dan minuman. Kebijakan yang kini diterapkan
(tataniaga impor) yang pada esensinya adalah
kebijakan tariff-rate quota yang dikombinasikan dengan
kebijakan jaminan harga, patut dipertahankan
esensinya dengan beberapa penekanan sebagai
berikut.
(1) Tugas untuk mengendalikan harga terendah sehingga harga di
tingkat petani tidak dibawah jaminan harga lebih banyak
menjadi tanggung jawab eksportir terdaftar dan pihak
penjamin harga (sering disebut investor) yang ummnya
adalah mitra PTPN dan petani. Harga minimum di
tingkat petani yang kini berlaku adalah Rp
3800/kg. Dengan kenakan harga BBM dan input
lainnya, harga minimum tersebut perlu ditinjau
kembali. Harga minimum sekitar Rp 4500 dapat
menjadi satu alternatif.
(2) Tugas untuk mengendalikan agar harga di
tingkat konsumen agar tidak terlalu tinggi
merupakan tanggung jawab ET, investor dan
pemerintah. Kerjasama ketiga lembaga tersebut
52
seperti lembaga penyangga untuk menjaga batas
atas harga di tingkat konsumen. Bekerjasama
dengan ET dan investor, pemerintah dapat
menugaskan badan penyangga yang memiliki
kemampuan melakukan penyanggaan dan distribusi
yang handal untuk mengemban tugas tersebut.
Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk
memberi tugas kepada Bulog ataupun lembaga
lainnya untuk memegang sejumlah tertentu stok
gula dapat dijustifikasi.
(3) Tingkat proteksi yang diberikan pemerintah
harus dibuat dinamis mengikuti dinamika
kebijakan industri dan perdagangan di dpasar
dunia. Jika kebijakan di negara lain, seperti
EU dan Amerika mengalami reformasi, kebijakan
Indonesia perlu diturunkan tingkat
proteksinya, walaupun esensinya masih tetap
sama untuk tetap menjaga asas fairness.
Pemberian insentif untuk pengembangan industri di luar jawa dan produk
derivatif gula. Karena industri gula memerlukan investasi
yang besar dan mempunyai peran penting dalam
perekonomian Indonesia, maka pengembangan industri gula
di luar Jawa perlu didorong. Hal ini akan terwujud bila
pemerintah memberikan insentif dan kemudahan seperti
jaminan keamanan dalam berusaha, keringanan perpajakan,
kemudahan perijinan, kemudahan dalam memperoleh lahan,
dan dukungan infrastruktur.
53
Dukungan pendanaan untuk rehabilitasi atau konsolidasi PG.
Keterbatasan dana yang dimiliki PG-PG di Jawa untuk
melakukan rehabilitasi dan konsolidasi memerlukan
dukungan pendanaan dari pemerintah. Hanya memberikan
dukungan pendanaan bagi petani tanpa juga mendukung
pendanaan untuk rehabilitasi PG akan membuat upaya
peningkatan efisiensi akan tidak optimal.
Dukungan untuk memudahkan privatisasi. Dengan kondusifnya
situasi pergulaan nasional, pihak swasta pada dasarnya
berminat untuk menanamkan modalnya, termasuk untuk
melakukan rehabiliatsi PG. Swasta akan mengucurkan
dana mereka bila dana tersebut langsung untuk
merehabilitasi PG, tidak lewat perusahaan holding-nya
(PTPN). Dengan demikian pemerintah perlu mempermudah
proses spin-off atau membuat PG menjadi semacam SBU yang
mandiri.
PENUTUP
Dari berbagai perspektif, industri gula nasional pada
saat ini sebenarnya memang berada pada momentum atau
peluang emas untuk bangkit kembali, bahkan untuk berjaya
seperti era tahun 1930-an, di mana Indonesia berposisi
sebagai salah satu eksportir gula terbesar. Berkobarnya
momentum emas ini paling tidak dapat dilihat dari lima
sisi yaitu (i) menguatnya political will dan dukungan
kebijakan pemerintah; (ii) kesepakatan untuk mengakhiri
subsidi pertanian pada tahun 2003 yang dicapai pada
54
Hongkong Ministerial Meeting; (iii) Rencana reformasi
kebijakan pergulaan dunia, khususnya EU dan Amerika
sebagai pemain utama; serta, (v) kenaikan harga minyak
dan kecenderungan kebijakan energi di negara maju. Oleh
karena itu, sinergi dari seluruh stakeholder industri gula
nasional kini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal
tersebut. Inilah saatnya bagi mereka untuk dicatat
dengan tinta emas sejarah kebangkitan industri gula Indonesia
55
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan ArahPembangunan Industri Berbasis Tebu, BadanPenelitan dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Upaya Pencapaian SwasembadaGula Tahun 2009. Departemen Pertanian, Jakarta.
Departemen Pertanian dan Dewan Gula Indonesia. 2005Devadoss, S dan Kropf, J. 1996. Impacts Of Trade
Liberalizations Under The Uruguay Round On TheWorld Sugar Market. Agricultutal Economics, (15):83-96
FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade.FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome.
FAO. 2005. Commodity Outlook, Sugar, www.fao.orgGroombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar
Policy. Trade Briefing Paper. Center for TradePolicy Study, CATO Institute, Washington DC.
Hadi, S. dan Sutrisno. 2000. Ikhtisar Angka PerusahaanTahun Giling 1999. Pusat Penelitian PerkebunanGula Indonesia, Pasuruan.
Husodo, S. Y. 2000. Menuju Penyelamatan Industri GulaNasional. Dalam Supriono, A., (eds), ProsidingSeminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia,Asosiasi Penelitan Perkebunan Indonesia, 26 Juli2000:26-42.
Kennedy, P. L. (2001). Sugar Policy. Louisiana StateUniversity, Louisiana.
Marjayanti, S. dan W. D. Arsana. 1999. Keragaan BeberapaVarietas Tebu Pada Beberapa Masa Tanam/Kepras DiLahan Kering Jatiroto, Berita P3GI, (24):14-21,Pusat Penelitian Perkebunan Gula.
Murdiyatmo, U. 2000. Dukungan Teknologi Dalam PembangunanIndustri Gula Indonesia. Dalam Supriono, A.,(eds), Prosiding Seminar Sehari Pembangunan
Perkebunan Indonesia, Asosiasi PenelitanPerkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 43-48.
Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. WorldSugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri GulaIndonesia., Direktorat Jenderal Perkebunan,Jakarta.
Rusastra, W., S. Suprihatini, M. Iqbal dan B. Borrell.2000. A Framework For Policy Analysis Of TheIndonesian Sugar Industry. Pusat Penelitian SosialEkonomi Pertanian, Bogor.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T.Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri GulaTerhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan,Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, PusatPenelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Susila, W. R. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia:Analisis Kebijakan dan Keterpaduan SisistemProduksi, Desertasi Doktor, Program Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Talks, P. 2005. EU Proposes Radical Sugar Reform 2005,Gain Report Number E35143, July 15th 2005. USDAForeign Agricultural Service.
USDA. 2005. World Sugar Policy Review. Sugar andSweeteners Outlook, SSS-236, United StateDepartment of Agriculture, Washington DC.
Woeryanto. 2000. Peningkatan Efisiensi Manajemen IndustriGula. Dalam Supriono, A., (eds), Prosiding SeminarSehari Pembangunan Perkebunan Indonesia, AsosiasiPenelitan Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000:49-54
57
Lampiran 1. Kinerja produksi dan Konsmsi Gula Dunia
Tabel Lampiran 1.1. Produksi, Pangsa, dan PertumbuhanProduksi dari Negara Produsen Utama (2004-2006)
Negara Produksi (ribu ton) Pangsa(%)
Pertumbuhan (%)2003/04
2004/05
2005/06
2003/04-2004/05
2004/05-2005/06
Brazil 26400
28175 28700 19.42 6.7 1.9
Uni Eropa (UE)
17132
21825 21233 14.37 27.4 -2.7
India 15150
14210 18430 12.47 -6.2 29.7
China 10734
9826 10500 7.10 -8.5 6.9
58
USA 7847 7146 6824 4.62 -8.9 -4.5Thailand 7010 5187 4330 2.93 -26.0 -16.5Mexico 5330 6149 6000 4.06 15.4 -2.4Australia 5178 5388 5200 3.52 4.1 -3.5Pakistan 4047 2937 2890 1.96 -27.4 -1.6Cuba 2300 2100 2300 1.56 -8.7 9.5
Dunia14110
014250
014780
0 100 1.0 3.7Sumber : USDA (2005)
Tabel Lampiran 1.2 Konsumsi, Pangsa, dan PertumbuhanKonsumsi dari Negara Konsumen Utama (2004-2006)
Negara Konsumsi (ribu ton) Pangsa(%)
Pertumbuhan (%)2003/0
42004/0
52005/0
62003/04-2004/05
2004/05-2005/06
India 18810 19500 19800 13.38 3.7 1.5UE 14358 17626 17525 11.84 22.8 -0.6China 11600 11600 11700 7.91 0.0 0.9Brazil 10400 10600 10800 7.30 1.9 1.9USA 8971 9269 9267 6.26 3.3 0.0Fred Rusia 6100 6300 6450 4.36 3.3 2.4Mexico 5600 5424 5482 3.70 -3.1 1.1Pakistan 3600 3750 3850 2.60 4.2 2.7Indonesia 3400 3550 3800 2.57 4.4 7.0Jepang 2247 2263 2250 1.52 0.7 -0.6
Dunia14330
014510
014800
0 100 1.3 2.0Sumber : USDA (2005)
59
Lampiran 2. Kebijakan Pergulaan Nasional
Tabel 5. Beberapa Kebijakan Pemerintah yang Berkaitandengan Industri Gula
NomorSK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan
Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971
Pengadaan, penyaluran, danpemasaran gula
Menjaga kestabilan gula sebagai bahan pokok
Surat Mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/3/74,27 Maret 1974
Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP
Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP
Inpres No. 9/1975, 22 April 1975
Intensifikasi tebu (TRI) Peningkatan produksigula serta peningkatan pendapatan petani tebu
Kepmen Perdagangan danKoperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981
Tataniaga gula pasir dalamnegeri
Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani
Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987
Penetapan harga gula pasirproduksi dalam negeri dan impor
Menjamin stabilitas harga, devisa, sertakesesuaian pendapatan petani dan pabrik
UU No. 12/1992 Budidaya tanaman Memberikan kebebasanpada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar
Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997
Program pengembangan tebu rakyat
Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas
Kepmen Perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
Komoditas yang diatur tataniaga impornya
Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang
60
Kepmenhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999
Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani
Menghindari kerugianpetani dan mendorongpeningkatan produksi
Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999
Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen
Kepermenindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 5 Juni 1999
Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999
Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri
Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002
Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea masuk
Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23September 2002
Tataniaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen
Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004
Penyempurnaan tataniaga impor gula
IT wajib menyangga harga di tingkat petani dan impor dilakukan bila hargaminimum Rp 3410
Sumber: Sudana et al. (2000) dan Susila (2005)
61